Sengkala Angin Darah 2
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah Bagian 2
edan. Orang yang berlindung di balik tabir ternya-ta mengetahui kehadiran mahluk
piaraanku ini. Dia bahkan hendak menangkap jinku." Seru si kakek. Suaranya timbul tenggelam,
sedangkan tubuhnya bergetar keras. Tak lama setelah si ka-
kek dapat menguasai diri. Si kakek memukul lan-
tai gua satu kali. Dia juga berseru keras. "Jin sesat, kembali...!"
Seketika itu juga di mulut gua terdengar sua-
ra deru. Hembusan angin yang masuk ke dalam
gua berputar-putar. Tangan Besi kembali men-
cium bau bangkai. Kemudian muncul sosok tipis
dalam ujud mahluk raksasa berambut lebat.
Secara perlahan sosok besar itu kembali me-
mudar menjadi kabut. Kemudian segera bergerak
masuk ke dalam mulut si kakek yang telah terbu-
ka. Dua tangan si kakek yang bersilangan di de-
pan dada segera disentakkan. Bersamaan dengan
gerakan tangan, mata orang tua ini terbuka. Wa-
jah si kakek tampak letih dan bersimbah keringat.
Kemudian dengan tatapan mata kuyu namun pe-
nuh keyakinan dia berkata. "Pulanglah kau! Aku menyanggupi permintaan Sobari.
Pembantuku jin sesat boleh tak sanggup menghadapi orang itu.
Tapi aku Setan Santet Delapan Penjuru punya se-
ribu cara untuk mendapatkan yang kuinginkan.
Beri aku waktu beberapa hari. Jika dalam waktu
yang kujanjikan aku tak datang menemui pange-
ranmu, berarti jangan kau harapkan pertolon-
ganku lagi."
Lega hati Tangan Besi mendengarnya.
Dia menjura hormat ke arah kakek di depan-
nya. Setelah itu Tangan Besi berkata. "Baiklah.
Sekarang aku mohon pamit." Ujar Tangan Besi.
Si kakek anggukan kepala.
Tangan Besi bangkit berdiri. Kemudian dia
segera tinggalkan ruangan itu. Seperginya Tangan Besi, Mbah Dukun tersenyum
sinis. "Benda itu memang harus kutemukan, tapi begitu kudapatkan tak mungkin
kuberikan pada siapapun."
Dengus si kakek.
"Hanya aku yang patut dapatkan benda itu,
aku pula yang berhak menyimpannya. Ha ha ha!"
kata si kakek sambil tertawa tergelak-gelak.
6 Ledakan yang demikian kerasnya membuat
pendekar Sakti 71 terlempar sejauh belasan tom-
bak. Pemuda ini lalu jatuh menggelinding ke arah lereng bukit.
Dia menggeliat, sedang mulutnya merintih tak
berkeputusan. "Aduh sakitnya biyung. Kepalaku sakit seperti mau meledak, perut
mual ingin kencing ingin berak."
Dengan terhuyung-huyung sambil bangkit
berdiri dia pegang kepalanya. Sedang mata me-
mandang jelalatan.
Dia tidak menemukan orang yang dicari. Gu-
runya maupun Anggagini tak ada di sekitar situ.
Karena kepala masih sakit dan matanya berku-
nang-kunang, maka diapun duduk di atas rum-
put. Beberapa kali dia gelengkan kepala untuk
mengusir rasa pusing.
Pada saat dirinya dalam keadaan sedemikian
rupa, tiba-tiba meluncur sebuah benda berwarna
kuning menghantam kepalanya.
Blak! Benda yang menimpa kepala itu kemudian ja-
tuh di atas pangkuan. Setelah diteliti ternyata sebuah rambutan. Gento layangkan
pandang ke se- genap penjuru arah. Tidak ada yang terlihat ter-
kecuali pepohonan yang tumbuh di sekitar bukit.
"Siapa yang berani berbuat kurang ajar pada-ku?" fikir Gento. Dia kemudian
berteriak. "Hei, siapa yang melemparku?"
"Hi hi hi. Pemuda tolol siapa yang melempar-ku" " kata satu suara.
Mendengar suara mencemo'oh Gento berkata.
"Aku memang tolol. Lalu kau yang merasa orang pintar apakah begitu pengecut tak
berani tunjukkan diri?" Gento mendengus disertai senyum mengejek.
"Kau mengatakan aku pengecut" Coba lihat
baik-baik." Setelah berkata begitu satu bayangan
putih berkelebat dari balik kelebatan pohon. Se-
cepat kilat sosok itu bergerak ke arah Gento lalu lakukan serangkaian serangan
gencar. Gento terkesiap mendapat serangan yang ber-
langsung cepat itu. Lebih kaget lagi begitu me-
nyadari datangnya serangan begitu mematikan
dan mengincar bagian tubuh yang lemah.
"Hebat agaknya kau setan gila, sehingga begi-tu datang menyerang orang yang
tidak berdosa."
Desis Gento. Dengan gerakan tidak kalah cepat sang pen-
dekar melesat ke udara, lalu berjumpalitan dekati lawan. Kemudian dengan cepat
pula tangan si pemuda menyambar ke depan.
"Aih, pemuda sialan, manusia kurang ajar!"
maki sosok berbaju putih sambil tekap bagian
dada. Sosok ini kemudian balikkan badan lalu
meluncur ke bawah dan jejakan kaki di atas ta-
nah. Melihat orang tidak menyerangnya lagi Gento pun melesat turun kemudian
jejakkan kaki dua
langkah di depan sosok berpakaian putih.
Sang pendekar memandang ke depan. Dia
kemudian jadi melengak kaget begitu melihat so-
sok berkepala botak itu.
"Kau... rasanya aku pernah mengenalmu,
pemuda cakep berkepala botak. Jika tidak salah
aku menduga bukankah kau orangnya yang ber-
nama Takga alias Botak ke tiga?"
Sosok berpenampilan seperti seorang pemuda
itu tertawa merdu. Dengan sinis dia berkata. "Kau
salah mengenali orang. Otakmu yang miring ru-
panya masih belum lempang hingga kau tak da-
pat mengingat aku. Aku adalah Taktu alias Botak
ke satu." menjelaskan pemuda berkepala botak itu. Untuk lebih jelasnya siapa
Taktu, (silahkan anda baca episode tabib setan).
"Botak ke satu. Sekarang aku baru ingat bu-
kankah kau orangnya yang bernama Ararini" Ka-
sihan sekali, sejak dulu sampai sekarang ram-
butmu botak terus. Yang tumbuh justru tonjolan
bisul di dada. Ha ha ha."
"Kau tidak tahu keadaanku yang sebenarnya.
Tak usah bicara sembarangan. Kau sendiri du-
lunya adalah seorang pecundang. Apakah kau in-
gat bagaimana ketika tabib setan menjitaki kepa-
lamu ketika kau kalah bertarung denganku" Hi
hi." Gento terdiam, mulut tersenyum. Ingat pada peristiwa yang terjadi dimasa
kecilnya memang
membuat wajah sang pendekar jadi memerah.
Tapi dia kemudian masih tertawa cengengesan.
"Waktu itu segalanya cukup memalukan. Tapi
kau jangan lupa aku pernah menolongmu juga
membantu gurumu Sang Cobra. Satu lagi yang
tak boleh kau lupakan. Aku pernah berjanji akan
menjajaki jurus-jurus silatmu."
"Pemuda sinting, aku tak akan pernah melu-
pakan kejadian itu. Kalau kau mau menjadi pe-
cundang lagi, silakan saja. Kau pasti tak bakal
menang !" dengus Taktu.
"Tunggu, sebelum kita memulai aku ingin
mengetahui sesuatu."
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Ee... aku tidak melihat dua saudaramu yang lain. Kemana Takwa dan Takga?" tanya
Gento. Seperti telah diketahui Takwa dan Takga adalah
saudara seperguruan Ararini.
"Buat apa kau tanyakan mereka?"
"Aku hanya ingin memastikan agar tidak ter-
jadi kecurangan. Dulu kalian pernah menge-
royokku! Ha ha ha."
Wajah cantik Taktu bersemu merah. Dengan
suara lantang dia mendamprat. "Untuk menghadapi pemuda sepertimu perlu apa main
keroyok. Dengan kedua tanganku sendiri aku bisa meng-
gebukmu." Gento tersenyum. "Kau nampaknya terlalu
yakin dengan kemampuan yang kau miliki."
"Sejak dulu aku memang yakin dengan ke-
mampuan diri sendiri. Sekarang tunggu apa lagi"
Aku siap menghadapimu." Tantang Taktu.
"Hmm, sebenarnya saat ini aku sedang risau
memikirkan guruku."
"Aku sudah tahu. Gurumu dan gadis baju
kuning itu sudah pergi. Mungkin mereka me-
nyangka engkau sudah mati dihantam pusaran
angin hitam tadi." Dengus sang dara ketus.
Sang pendekar berjingkrak kaget. Dia tentu
tak menyangka Taktu mengetahui kejadian aneh
yang menimpa mereka.
"Jadi kau tahu pusaran angin dan awan tadi
menghantam kami?" tanya Gento seolah tak per-
caya. "Dasar pemuda tolol. Rupanya kau masih be-
lum tahu bahwa dibalik pusaran angin tadi ber-
lindung seseorang yang dikenal dengan julukan
Iblis Awan Hitam?"
Gento gelengkan kepala.
"Aku tidak tahu. Aku juga belum bisa memas-
tikan apakah iblis itu yang telah mendapatkan
Sengkala Angin Darah."
"Mengenai pertanyaanmu itu tak bisa kupas-
tikan. Aku hanya mengikuti orang tadi." Jelas Taktu.
"Jika begitu aku harus menyusul guruku se-
kaligus mencari tahu di tangan siapa benda maut
itu kini berada." Setelah berkata begitu sang pendekar balikkan badan siap
melangkah pergi. Te-
tapi Taktu lakukan satu gerakan cepat. Di lain
saat dia telah berdiri menghadang di depan Gen-
to. "Heh, kau hendak berbuat apa?"
Taktu tersenyum sinis. "Apakah kau telah lu-pa dengan ucapanmu sendiri" Bukankah
kau menantang aku" Jika hari ini tidak kulayani, ke-
lak di kemudian hari kau pasti mengatakan diriku manusia pengecut!"
"Untuk sementara kuharap kau melupakan
masalah tantangan itu." kata Gento mengalah.
"Tidak bisa begitu. Kalau kau tidak mau aku pasti memaksamu!" tegas Taktu tetap
ngotot. Gento menarik nafas pendek. "Kau rupanya
manusia keras kepala. Baiklah tapi jika kau kalah
apakah kau mau menjadi kekasihku" Ha ha ha."
Wajah Taktu bersemu merah. Matanya men-
delik memandang geram pada sang pendekar.
"Sejak kecil sampai sekarang rupanya kau
masih saja bicara sombong bermulut besar. Tin-
dakanmu yang meremehkan orang lain dapat
mencelakakan dirimu sendiri. Lihat serangan...!"
teriak Taktu. Sang dara tiba-tiba saja berkelebat ke depan.
"Hei... tunggu...!" Gento tidak sempat lagi me-lanjutkan ucapannya karena pada
saat itu dua tangan Taktu telah menyambar tenggorokan dan
ke dua matanya.
Meski sempat terkejut melihat serangan Tak-
tu yang maju pesat, Gento tarik kepalanya ke be-
lakang. Dia menggunakan jurus Congcorang Ma-
buk untuk menghadapi lawan. Secepat kilat den-
gan jemari tangan di tekuk dan tubuh bergoyang-
goyang kaki si pemuda menyambar perut, se-
dangkan tangan bergerak menghantam dagu.
Plak! Duk! Dess! Dua serangan Taktu yang ganas dapat dipa-
tahkan oleh si pemuda, sedangkan kakinya me-
nyambar perut. Gadis itu terjajar ke belakang.
Taktu tidak mengeluh, sebaliknya diam-diam
menjadi kaget tak menyangka Gento yang dite-
muinya belasan tahun yang lalu tidak sama den-
gan Gento yang dia hadapi saat ini.
"Kau pasti kalah. Kau harus menjadi keka-
sihku. Ha ha ha." Berkata pemuda itu sambil berkacak pinggang.
"Manusia sombong. Baru bisa membuatku
terjajar bukan berarti kau telah mengalahkan
aku!" belum lagi gema suara teriakan Taktu lenyap. Laksana mata pedang dua kaki
Taktu ber- gerak lincah. Setiap ujung kaki menyentuh batu,
maka batu-batu itu melayang melesat menghan-
tam sang pendekar.
Serangan batu yang datang laksana curah
hujan ini bukan serangan biasa karena selalu te-
rarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buh dan gerak cepat laksana elang menyambar
pemuda ini berkelebat di udara. Gento yang su-
dah mengerahkan tenaga saktinya ke bagian tan-
gan segera menghantam.
Dess! Dess! Angin dingin menderu dari tangan pemuda
itu, lalu bergerak sedemikian rupa sesuai dengan berputarnya tangan. Dan batu-
batu itu segera
berbalik menghantam ke arah Taktu dengan ke-
cepatan berlipat ganda begitu membentur tangan
Gento. Selagi Taktu dibuat sibuk, sang pendekar me-
luncur ke bawah. Tangan kiri terjulur terarah ke bagian kepala, sedang tangan
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kanan meluncur ke
bagian dada. Serangan yang mengarah ke bagian dada ini
sebenarnya hanya tipuan saja karena begitu Tak-
tu memaki sambil lindungi dadanya Gento belok-
kan serangan ke bagian perut.
Dess! Satu pukulan keras melabrak perut Taktu.
Tapi tak terduga Taktu tanpa menghiraukan rasa
sakit segera melompat ke atas. Sambil berkelebat tangannya masih sempat
mengemplang kepala
Gento. Gento memekik keras, dia merasakan ke-
palanya yang dikemplang orang seperti mau mele-
tus. 'Bagus, semula aku menyangka kau hanya
membawa gunung. Tidak disangka ternyata kau
membawa palu godam juga, ha ha ha."
"Pemuda keparat, sebaiknya kau mampus!"
teriak Taktu sambil melepaskan pukulan tangan
kosong. "Ah teganya kau hendak membunuh kekasih
sendiri. Dimana letak kasih sayangmu?" cibir si pemuda menggoda, namun dia tetap
dorongkan kedua tangannya menyambuti pukulan lawan.
"Kasih sayang edan. Kurasa dia telah pergi ke akherat." Sahut Taktu geram.
Jauh di dalam hati sebenarnya Taktu merasa
penasaran karena pemuda yang dimasa kecil per-
nah dia pecundangi ternyata kini memiliki ilmu
kepandaian yang sangat luar biasa.
"Kepada siapa setan gondrong ini berguru"
Tak mungkin si gendut sinting itu mengajarkan
ilmu sehebat ini."
Buum! Benturan keras tidak dapat di hindari lagi.
Lereng bukit bergetar. Akibat ledakan membuat
Taktu terpental tinggi di udara. Sedangkan Gento amblas ke dalam tanah sampai
setinggi lutut. Oh
kekasihku. Bagaimana kau bisa terbang tinggi.
Padahal kau tidak punya sayap. Mulut berkata
begitu padahal dalam hati dia memaki karena
ternyata tidak mudah membebaskan kedua kaki
yang terjepit tanah. Tak punya pilihan lain si pemuda segera kerahkan tenaga
dalamnya yang bersumber dari bagian pusat, kening dan pung-
gung. Di atas sana Taktu kembali mendamprat.
"Pendekar sinting sekarang bersiaplah menerima kenang-kenangan dariku."
Dalam keadaan mengambang di atas keting-
gian gadis itu memutar tangannya. Setelah itu
dengan cepat tangan dihantamkan ke arah Gento.
Secara berturut-turut sinar merah, biru hitam
kekuning-kuningan menderu dari telapak tangan
si gadis. Berturut-turut pula sang pendekar me-
rasakan adanya hawa panas dan dingin menyam-
bar tubuhnya. Gento terkesiap, tapi dua jengkal lagi pukulan
itu menghancurkan tubuhnya, pada waktu ber-
samaan pula dari bagian kening Gento membersit
sinar putih laksana perak memapas habis lima la-
rik sinar maut yang dilepaskan Taktu.
Gento melompat setelah menarik ke dua ka-
kinya yang terpendam. Begitu dua kakinya berada
di atas tanah dia gerakkan tangannya ke arah
empat pohon besar di sebelah kanan, empat po-
hon bertumbangan.
Gento kembali sentakkan tangannya. Empat
pohon besar yang masih beranting dan berdaun
lebat melesat di udara menghantam ke arah Tak-
tu secara susul-menyusul.
Si gadis jadi terkesiap, jantungnya seolah
berhenti berdenyut. Dengan tubuh bersimbah ke-
ringat dingin dia cabut pedangnya. Dengan pe-
dang di tangan Taktu mengamuk seperti orang gi-
la. Dalam waktu singkat daun maupun ranting-
ranting pohon rambas berguguran. Empat pohon
menjadi gundul. Kemudian ketika melihat ke em-
pat pohon yang digunakan untuk menyerang be-
rubah menjadi potongan kecil Gento pun tarik ba-
lik tenaga dalamnya.
Empat batang pohon jatuh berdebum. Taktu
sendiri segera jatuhkan diri. Dia duduk dengan
nafas megap-megap, wajah pucat pakaian ber-
simbah keringat.
Nampaknya Taktu terlalu menguras banyak
tenaga ketika menghadap serangan pohon-pohon
tadi. Sekejap lamanya Gento memperhatikan seke-
lilingnya yang porak poranda. Setelah itu dia be-ralih pada Taktu.
Gento tak dapat menahan tawa melihat Taktu
yang kuyu, meski jauh di lubuk hati terselip juga rasa kasihan.
"Jurus pedangmu ternyata cukup hebat, Tak-
tu. Tapi kau jelas tak bisa mengalahkan aku. Kini apakah kau telah siap menjadi
kekasihku?" tanya Gento.
Sekujur tubuh Taktu menegang, matanya
mendelik sedang mulut terkatup rapat. Dia men-
jadi kesal, marah dan jengkel pada diri sendiri.
Sama sekali dia tak menyangka pemuda itu dapat
menjatuhkannya. Jauh di lubuk hati dia memang
harus mengakui kehebatan Gento, Ilmu pemuda
itu sekarang sudah berada jauh di atasnya.
"Gondrong, sekarang dengan jujur aku men-
gakui segala kehebatanmu. Aku mengaku kalah!"
Gento sama sekali tidak merasa tersanjung.
Sebaliknya dia malah menggoda.
"Apakah kini kau sudah bersedia menjadi ke-
kasihku?" Taktu tersipu, lalu palingkan wajahnya ke ju-
rusan lain. "Dari pada bicara tidak berguna bukankah lebih baik kita cari gurumu
atau benda sakti itu?" ucapnya tanpa berpaling pada Gento.
"Hhh, jadi kau mau ikut denganku" Tapi
mengapa kau tidak mau menjawab pertanyaan-
ku?" "Buat apa aku melayani pertanyaan gila. Jo-doh, hidup matinya seseorang ada
di tangan Gus- ti Allah. Maka lebih baik kau bertanya kepa-
danya." "Bagaimana aku bisa bertanya pada Tuhan?"
"Gampang. Kau mati saja dulu." Sahut gadis itu disertai tawa.
Gadis itu kemudian sarungkan pedangnya.
Setelah itu dia melangkah pergi. Gento segera
mengikutinya. 7 Telaga setan terletak di puncak bukit di sebe-
lah selatan Kediri. Air di telaga itu demikian ke-ruhnya. Sewaktu-waktu air
telaga bisa hilang raib entah kemana.
Saat itu matahari belum lagi menampakkan
diri. Hawa dingin demikian mencucuk. Di pinggir
telaga di atas altar batu bundar berwarna hitam
terlihat satu pemandangan mengerikan. Sedikit-
nya sembilan ekor ular dalam keadaan bergelung
melingkari sosok tubuh berpakaian ala kadarnya.
Sementara itu di lereng bukit satu sosok ber-
pakaian serba kuning nampak berkelebat menuju
ke bagian puncak bukit, sosok berbadan ramping
itu nampaknya dalam keadaan tergesa-gesa.
Tak lama setelah melewati semak belukar
berduri sosok berpakaian kuning yang ternyata
adalah seorang gadis berambut panjang sampai di
tepi telaga. Sejenak si gadis mengatur nafas yang agak memburu, sedangkan mata
memandang ke arah telaga yang mengepulkan uap kebiru-biruan.
"Telaga ini yang dinamakan telaga setan. Aku tidak melihat Iblis Ular Sembilan
ada di sekitar sini." Kata sang dara. Dia lalu melangkah ke sisi sebelah kanan
telaga. Di satu tempat tak jauh da-ri batu bundar langkah si gadis mendadak ter-
henti. Sepasang matanya terbelalak lebar me-
mandang lurus ke arah batu dimana dia melihat
sedikitnya sembilan ular hitam berbelang kuning
menggelungi sosok tubuh bertelanjang dada.
"Iblis Ular Sembilan?" desis sang dara kecut.
Dengan perasaan jijik si gadis kitarkan pan-
dangan. Mata memandang ke segenap sudut pen-
juru. Gadis ini jadi gelisah, pikirannya tidak tenang. Kemudian dia memutuskan
untuk me- manggil Iblis Ular Sembilan. Belum lagi dia laksanakan niatnya. Sembilan ular
yang bergelung ke-
luarkan suara desis. Ular-ular itu agaknya men-
getahui kehadiran sang dara. Terbukti mereka se-
gera bergerak, angkat kepala dan siap menyerang.
Si gadis mengusap tengkuknya. Dia lalu kem-
bali memandang ke arah batu bundar. Dia terke-
jut ketika melihat seorang Laki-laki renta berwajah tirus berkulit hitam duduk
di sana. Sosok itu sama sekali tidak berpakaian.
Auratnya terbungkus secarik kain hitam. Se-
dangkan wajahnya yang keriput nampak demi-
kian kurusnya tidak ubahnya seperti tengkorak
terbalut kulit.
Melihat penampilannya saja sang data ra-
sanya sudah mau pingsan. Dia yang ingin bicara
mendadak seperti kehilangan kata-kata.
Tapi akhirnya dia memberanikan diri juga.
Dengan suara bergetar dia ajukan pertanyaan.
"Aku Pandan Arum. Apakah benar saat ini sedang berhadapan dengan Iblis Ular
Sembilan?"
Di depan sana kakek muka jerangkong mem-
buka matanya yang cekung. Dua bola mata me-
mandang lurus ke arah si gadis. Melihat siapa
yang datang tenggorokan si kakek bergerak naik
turun. Dua matanya timbul tenggelam, sedang-
kan lidahnya yang bercabang dan berwarna hitam
nampak terjulur.
"Tua bangka ini ternyata bukan cuma julu-
kannya saja ular. Tapi lidahnya juga bercabang
seperti ular." Batin Pandan Arum mendadak dia merasa tengkuknya menjadi dingin.
"Di pagi buta aku kedatangan seorang dara.
Seorang gadis yang kuanggap dapat memanaskan
hasrat yang menggelora. Rejekiku besar. Katakan
siapa namamu tadi gadis cantik. Ha ha ha."
Meskipun geram mendengar kata-kata yang
diucapkan si kakek, tapi Pandan Arum terpaksa
memendam kemarahannya karena dia membu-
tuhkan kakek itu. "Aku Pandan Arum. Kekasihku Pasadewa menyuruhku untuk bertemu
denganmu."
"Kekasihmu... Pasadewa kekasihmu. Nama
itu sepertinya tak asing di telingaku." Gumam si kakek.
"Pasadewa adalah pemuda sakti yang memili-
ki tunggangan rajawali siluman. Dia dikenal di
empat penjuru angin, mungkin kau juga menge-
nalinya." Kening si kakek berkerut. Dia kemudian ter-
tawa. Tawa dingin yang membuat tengkuk Pan-
dan Arum merinding.
"Pasadewa manusia cerdik yang punya ambisi
dan cita-cita tinggi. Aku pernah mengenalinya.
Lalu gerangan apa yang membuatmu datang ke-
mari?" "Kekasihku berpesan agar kau sudi berga-
bung dengannya guna mendapatkan Sengkala
Angin Darah." Jelas Pandan Arum.
Lagi-lagi si kakek umbar tawanya mendengar
ucapan si gadis.
"Seumur hidup aku belum pernah diperintah
orang. Bagaimana mungkin bocah ingusan seperti
kekasihmu itu berani-beraninya memerintahku?"
"Aku tidak tahu. Aku cuma ditugaskan. Aku
cuma ditugaskan menyampaikan pesan. Setelah
pesan kusampaikan setuju tidaknya semua terpu-
lang kepadamu!"
Si kakek terdiam, nampaknya dia tengah ber-
fikir. Dua matanya yang liar menjelajahi tubuh
padat si gadis. Tak lama kemudian dia berkata.
"Tawaran Pasadewa itu mungkin saja bisa kuterima, asal kau bersedia memberi ku
kesenangan."
Berkata si kakek sambil tersenyum.
Pandan Arum tercengang mendengar ucapan
kakek jerangkong itu. Dia tidak menduga si kakek meminta sesuatu yang tak
mungkin dia kabul-kan. Melihat tampang Ular Iblis Sembilan saja
Pandan Arum merasa hendak muntah, apalagi ji-
ka harus melayani keinginannya.
"Kau tidak perlu memikirkan baik buruknya,
Pandan Arum. Permintaanku kuanggap sebagai
imbalan dari harapan Pasadewa." Ujar si kakek.
"Cinta suciku hanya kupersembahkan pada
Pasadewa. Bagaimana mungkin aku tega
mengkhianatinya?" dengus sang dara marah.
"Aku tidak meminta cintamu, aku hanya in-
ginkan tubuhmu. Aku cuma sekali bicara, kalau
kau menolak penolakanmu bisa membuat kau
kehilangan kesempatan hidup!"
"Eh, apa maksudmu?"
Si kakek memungut ular hitam berbelang
kuning di depannya. Dia lalu menciumi binatang
menjijikkan itu sambil berkata. "Iblis Ular Sembilan cukup hanya memberi
perintah. Kemudian
salah satu ular ini akan mematukmu. Kau mati
seketika dan tak mungkin lagi bertemu dengan
kekasihmu."
Mendidih darah Pandan Arum mendengar an-
caman si kakek. Ingin dia melabrak si kakek
meskipun sadar dirinya tidak mungkin unggul
menghadapinya. Tapi belum lagi sempat melaku-
kan apa yang menjadi niatnya. Pada waktu itu li-
dah si kakek yang bercabang terjulur panjang. Lidah itu kemudian menjilat mulut
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan hidung Pandan Arum. Melihat gerakan lidah yang dapat memanjang
bukan main kagetnya sang dara. Dia berusaha
menghindar, namun gerakan yang dilakukannya
kalah cepat dengan gerakan lidah Iblis Ular Sem-
bilan. Tak pelak lagi mulut dan hidung sang dara
terkena sambaran lidah kakek itu.
"Tua bangka keparat!" damprat si gadis. Dia menyeka mulut dan hidungnya yang
terkena air ludah. Pada saat itulah dia mencium bau sesuatu
yang tidak sedap. Bau busuk yang membuat ke-
palanya pusing seketika.
Darah Pandan Arum menggelegak seperti ter-
bakar. Ketika dia memandang ke depan dalam
pandangannya sosok si kakek entah mengapa be-
rubah menjadi pemuda tampan luar biasa.
Sang dara merintih lirih. Dia jatuh terduduk,
sekujur tubuhnya menjadi panas diamuk rang-
sangan. Iblis Ular Sembilan tertawa mengekeh.
"Pada akhirnya kau jatuh di dalam pelukan-
ku. Sekarang kau baru mengerti lidahku dapat
merubah keadaan. Mari kita bersenang-senang,
setelah itu baru aku bersedia memenuhi permin-
taan kekasihmu Pasadewa. Ha ha ha!"
Selesai berkata si kakek segera melompat ke
depan Pandan Arum. Tubuh itu kemudian dibo-
pongnya. Setelah Iblis Ular Sembilan berkelebat
ke arah pondok tersembunyi tak jauh dari telaga
dengan diikuti oleh kesembilan ularnya.
Sesampainya di dalam gubuk si kakek menci-
umi Pandan Arum. Sebentar saja pakaian sang
dara sudah tak karuan rupa. Anehnya sang dara
tidak menolak. Dirinya yang sudah berada dalam
pengaruh sirapan malah membalas tak kalah
hangatnya. Si kakek makin bersemangat. Ketika dia hen-
dak melampiaskan kekejiannya tak terduga men-
dadak terdengar suara suitan panjang. Suara sui-
tan disusul dengan suara bergelak membuat gu-
buk bergoyang berderak-derak seperti dihantam
puting beliung.
Si kakek tersentak kaget. Cepat dia bangkit
berdiri, lalu meninggalkan Pandan Arum yang be-
rada dalam pengaruh sirapan.
Dia lalu berdiri tegak di mulut gubuk. Sepa-
sang matanya timbul tenggelam memperhatikan
keadaan di sekitarnya. Tapi dia tidak melihat ada orang di sekitar situ.
"Jahanam yang baru keluarkan siulan. Harap
tunjukkan diri!"
Kembali suara siulan menyahuti ucapan si
kakek. Kemudian ada angin berhembus yang dis-
usul dengan suara ledakan. Semua itu terjadi di
depan hidung si kakek. Asap dan debu membum-
bung tinggi. Ketika kepulan asap yang menyeli-
muti lenyap. Kini di depan Iblis Ular Sembilan
berdiri tegak seorang kakek tua berambut putih.
Kakek itu memakai daster seperti baju hamil ber-
warna biru. Sementara di pinggangnya tergantung
sebuah kendi terbuat dari perunggu berwarna pu-
tih. Sedangkan dari mulut kendi mengepul uap
putih seperti es.
Melihat dandanan serta penampilan kakek sa-
tu in!, siapapun yang melihatnya pasti tidak da-
pat menahan tawa. Betapa tidak. Begitu muncul
si kakek tampak sibuk dan selalu kerepotan
membenahi daster maupun topi tingginya yang
kedodoran. 8 Biarpun penampilan si kakek berdaster biru
selalu mengundang tawa, tapi Iblis Ular Sembilan
yang merasa keinginannya tidak kesampaian ka-
rena kehadiran si kakek daster biru malah men-
jadi berang. Dengan bengis dia membentak. "Kunyuk gila
berdaster biru! Berani kau hadir di Telaga Setan.
Kau bahkan berani mengganggu kesibukan orang
apakah tidak takut mati?"
Si daster biru tidak bergeming, malah dia
dongakkan kepala. Sejenak dia benahi topi ting-
ginya yang berwarna biru. Setelah topi terpasang sebagaimana seharusnya dia
tertawa tergelak-gelak.
"Mengobrak-abrik pakaian orang, ingin men-
coba melampiaskan nafsu bejat apakah itu yang
kau sebut sebagai kesibukan?" tanya si kakek sambil berkacak pinggang.
Merasa diremehkan dan sadar orang telah
mengetahui perbuatannya Iblis Ular Sembilan
membentak. "Pengintip tengik. Apa yang kami lakukan atas dasar suka sama suka.
Kau jangan bicara sembarangan di depanku!"
"Hak hak hak. Aku Ki Comot Jalulata, tukang sulapan dan seorang ahli sihir di
tujuh penjuru bumi, mana mungkin kena dibodohi orang. Ter-
nyata benar seperti kata pepatah lidah tidak ber-tulang. Benar pula kata orang
lidahmu yang ber-
cabang itu berlumur racun keji hingga setiap pe-
rempuan lemah iman terperangkap bujuk rayu-
mu. Iblis Ular Sembilan, kau jangan mencoba
bersilat lidah denganku. Atau mungkin kau ingin
aku merubah lidahmu menjadi sebuah tali yang
melilit lehermu sendiri?"
Iblis Ular Sembilan terperangah. Sama sekali
dia tak menduga orang mengetahui siapa dirinya.
Di tatapnya kakek yang berdiri di depan sana
dengan sorot mata menyelidik. Kini dia baru ingat ahli sihir yang satu ini
sangat jarang sekali muncul di dunia persilatan. Konon dia lebih banyak
mengasingkan diri di daerah Barat Jawa. Dia ta-
hu selain ilmunya sangat tinggi. Ki Comot Jalula-ta sangat ahli pula dalam hal
permainan sihir. Si daster biru ini tidak sendiri, dia masih punya dua saudara
Laki-laki kembar yang sama miring otaknya. Kedua saudaranya itu adalah Ki Betot
Segala dan Ki Edan Samberata.
Iblis Ular Sembilan tidak melihat dua saudara
Ki Comot Jalulata bersamanya. Baginya ini meru-
pakan suatu keuntungan. Dia yakin dengan mu-
dah pasti bisa menghabisi lawan secepatnya.
Sambil tersenyum dia berkata. "Kakek gila kau datang sendiri" Begitu muncul kau
berani men-gancam. Apakah kau tidak menyadari sedang be-
rada dimana?"
"Ha ha ha. Sedang berada dimana ya?" gu-mam Ki Comot dengan lagak seperti orang
bin- gung. Kalau tidak salah aku sedang berada di
tempat mesum. Oh ya... mengenai saudaraku itu
mereka punya kaki. Mereka pergi kemana buat
apa kau bertanya?" setelah menjawab Ki Comot Jalulata mengumbar tawa. Iblis Ular
Sembilan merasa darahnya mendidih. Kali ini dia benar-
benar merasa diremehkan orang. Dengan suara
bergetar dia menggeram." Kedatanganmu kesini tanpa seizinku. Kini kau berani
mengusik kete-nanganku. Dua alasan itu sudah cukup bagiku
untuk membunuhmu seratus kali."
Ki Comot Jalulata tersenyum. Kembali dia
benahi topinya yang miring. Kemudian enak saja
dia berkata. "Yang kuganggu bukan ketenangan-mu. Kau merasa terusik karena tak
sempat ber- buat keji. Kau mengatakan aku datang tanpa izin, padahal aku telah memintanya
pada seseorang."
"Kurang ajar, kau minta ijin pada siapa?"
hardik Iblis Ular Sembilan berang.
Sambil tersenyum-senyum Ki Comot Jalulata
menjawab. "Masa kau sudah lupa. Bukankah aku sudah minta ijin sama bapak emakmu
yang mati penasaran dipancung perwira Kediri?"
Disambar petir Iblis Ular Sembilan rasanya
tak akan seterkejut itu. Yang dikatakan Ki Comot Jalulata memang sebuah
kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri. Ayah Iblis Ular Sembilan dulunya juga manusia keji yang banyak
melakukan berba-gai kejahatan. Dan memang benar dia tewas di
tangan perwira Kediri. Tapi bagaimana Ki Comot
Jalulata bisa sampai mengetahui prihal ayahnya.
Padahal kejadian itu telah berlangsung seratus
tahun lalu. "Kau tak usah bingung. Aku seorang ahli sihir yang selalu gentayangan di tujuh
lapis bumi. Aku baru saja bertemu dengan ayahmu. Ha ha ha."
"Bertemu ayahmu" Dimana?"
"Di neraka... hahaha." Sahut Ki Comot Jalula-
ta disertai tawa tergelak. Mata cekung yang men-
jorok ke dalam rongga itu seperti mau melompat
keluar. Iblis Ular Sembilan menggerung, tanpa bicara dia jejakkan kakinya dengan
satu hentakan keras. Puncak bukit bergetar akibat hentakan ka-
ki si kakek. Bersamaan dengan itu sembilan ular
beracun melesat dari tiga penjuru arah. Di lain
waktu dalam waktu sekejap tubuh si kakek telah
dilingkari sembilan ular hitam berbelang kuning
yang masing-masing kepalanya terdongak meng-
hadap ke arah Ki Comot Jalulata.
Melihat sembilan ular bergelung melingkari
tubuh lawan, Ki Comot Jalulata tertawa tergelak-
gelak meskipun hatinya sempat tercekat. Tapi si
kakek sendiri tetap bersikap tenang. Malah sam-
bil tersenyum orang tua ini berkata. "Iblis Ular Sembilan, saat ini kau sedang
berhadapan dengan seorang ahli sihir. Nama besarmu boleh
membuat gentar dunia persilatan. Kau bakal me-
nyesal menggunakan ular-ular itu."
Iblis Ular Sembilan hanya mendengus.
Ki Comot Jalulata kerahkan ilmu menipu
pandang. Dia segera tarik daster biru yang menu-
tupi kaki. Di balik daster si kakek turunkan cela-na ke bawah. Astaga! Bagian
bawah perut si ka-
kek ternyata licin tanpa aurat. Ki Comot Jalulata turunkan kembali dasternya.
"Kau tahu aku dalam keadaan polos. Aku bisa memindahkan ke-
punyaanmu jika aku mau."
"Kakek jahanam lebih baik kau mati!" berkata begitu Iblis Ular Sembilan
jentikkan tangannya ke
atas. Terdengar suara letusan dan kiranya itu
adalah sebuah isyarat bagi sembilan ular peliha-
raannya. Sembilan ular buka mulutnya. Kemudian
dengan gerakan laksana terbang sembilan ular
melesat ke udara bergerak lurus menyerang Ki
Comot Jalulata. Si kakek berusaha mengelak, tapi gerakan berkelit yang
dilakukannya kalah cepat
dengan gerakan ular-ular yang menyerangnya.
Sembilan ular menghujam di tubuh si kakek
membuat orang tua ini menjerit kesakitan.
Tak lama tubuh si kakek hancur tercabik-
cabik digerogoti sembilan ular berbisa ini. Ketika tubuh itu ambruk, yang
terlihat kini hanya berupa tengkorak dan tulang belulang yang berwarna
putih kemerahan berlumuran darah.
Melihat kejadian ini meledaklah tawa Iblis
Ular Sembilan. "Ternyata hanya begitu saja kekuatan yang dia miliki. Aku sudah
tahu siapapun orangnya pasti tidak bakal sanggup mengalahkan
serangan sembilan ular mautku. Ha ha ha." Dengus si kakek jerangkong sinis.
Tapi selagi si kakek tertawa, saat itu pula ter-
dengar suara ledakan keras.
Buus! Begitu ledakan terjadi seketika terlihat kepu-
lan asap di depan si kakek. Begitu kepulan asap
lenyap, di depan iblis Ular Sembilan sekonyong-
konyong muncul Ki Comot Jalulata dalam kea-
daan segar bugar tidak kekurangan sesuatu apa.
Iblis Ular Sembilan terkejut bukan main. Dia
tercengang, mata mendelik mulut ternganga.
Melihat kesempatan ini Ki Comot Jalulata se-
gera gerakkan tangan kanannya ke bagian se-
langkangan lawan.
Sreet! Setelah dapatkan apa yang dia inginkan orang
tua ini melompat mundur. Dia kemudian acung-
kan tangannya yang memegang benda berlumu-
ran darah. Sambil tertawa mengekeh Ki Comot
Jalulata berkata. "Iblis Ular Sembilan, apakah kau lupa aku adalah seorang ahli
sihir. Ular-ularmu itu cuma bisa menyerang bayanganku.
Kau tak bakal sanggup membunuhku. Sebagai
peringatan sekarang punyamu kutahan. Untuk
sementara kau harus puasa, kelak mungkin aku
akan mengembalikannya. Tapi jika ternyata kau
tidak berubah, senjatamu ini akan kuhanyutkan
di laut. Seumur hidup kau tak bakal lagi bisa me-rusak perempuan. Ha ha ha."
Habis berkata Ki Comot Jalulata masukkan benda berlumur darah
ke dalam kendi peraknya.
Iblis Ular Sembilan tersentak kaget. Dia tak
menyangka orang telah mengambil miliknya tan-
pa rasa sakit. Ketika dia singkapkan kain penu-
tup aurat si kakek merasa nyawanya terbang.
Benda yang berada di situ telah lenyap, polos licin tanpa bekas. Pucatlah wajah
si kakek. Dia pun
kemudian jadi kalang kabut berteriak tak karuan.
"Manusia jahanam. Kembalikan... kembalikan
punyaku...!"
Dia melabrak ke depan. Tetapi Ki Comot Jalu-
lata yang diserangnya telah lenyap.
Sayup-sayup Iblis Ular Sembilan mendengar
suara Ki Comot Jalulata di kejauhan. "Agaknya kau lupa, sesuai julukan Ki Comot.
Aku selalu mengambil barang milik siapa saja yang kua-
nggap tidak layak untuk dipelihara. Waktumu sa-
tu purnama. Jika kau dapat menyerahkan benda
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sakti Sengkala Angin Darah, aku akan berikan
milikmu. Kalau gagal pasti ada burung yang bakal kulepas terbang dan tidak bakal
kembali lagi ke
sangkarnya. Ha ha ha!"
"Kakek terkutuk. Aku pasti akan mencarimu!"
teriak si kakek. Tapi suara teriakannya lenyap begitu saja. Si kakek pun menjadi
marah. Dengan membabi buta dia melepaskan pukulan ke berba-
gai sudut penjuru. Salah satu pukulan menghan-
curkan pondok hingga Pandan Arum yang terbar-
ing di atas ranjang terlempar. Sang dara jatuh ke atas tanah. Begitu dirinya
terjatuh kesadarannya pulih kembali. Dia terkejut ketika dapati dirinya dalam
keadaan polos. Dengan cepat dia mengambil pakaian dan segera mengenakannya.
Semula dia berniat melabrak Iblis Ular Sembilan. Tetapi urung begitu melihat Iblis Ular
Sembilan ternyata telah berdiri tegak di sampingnya dengan wajah
kuyu dan mata menerawang kosong.
"Orang tua apa yang terjadi?" tanya Pandan Arum heran.
"Kau tidak pantas bertanya. Sekarang juga ki-ta temui kekasihmu. Aku..." Si
kakek tidak lanjutkan ucapannya. Pandan Arum tidak berani
bertanya lebih jauh. Dia tahu kakek itu seperti telah kehilangan sesuatu.
Sesuatu apa Pandan
Arum tak dapat menduganya. Tak mau mencari
perkara, Pandan Arum akhirnya memilih diam
sambil mengikuti Iblis Ular Sembilan yang telah
melesat ke arah lereng bukit.
9 Orang tua itu duduk di depan pintu gua. Se-
sekali dia mengusap rambut, cambang serta jeng-
gotnya yang putih panjang menjela.
Kemudian dia dongakkan kepala, mulut ter-
senyum. Dia tidak menghiraukan keadaan di se-
kitar gua yang gelap berselimut kabut. Cukup la-
ma si kakek dalam keadaan seperti itu. Dia lalu
memandang ke depan mencoba menembus kege-
lapan. Tapi konsentrasinya terusik begitu telin-
ganya mendengar suara berdesir serta gemerisik
daun bergesekan. Dia palingkan kepala ke arah
mana suara gemerisik terdengar. Lalu mulutnya
yang tertutup kumis terbuka. "Mahluk tangan roh, apakah engkau yang datang?"
Tidak ada jawaban. Si kakek jadi gelisah. Se-
kejap dia palingkan kepala melirik ke dalam gua.
Menunggu dalam kesunyian membuatnya jadi ti-
dak sabar. Kemudian dia berteriak. "Mahluk Tangan Roh, aku ingin kau jawab pertanyaanku.
Apakah kau sudah tuli bisu?"
Suara si kakek lenyap. Pepohonan di depan
mulut gua tampak bergoyang-goyang. Di kejau-
han sama terdengar suara lolong panjang. Suara
lolong kemudian lenyap berganti dengan suara je-
rit menggidikkan. Setelah itu terdengar pula sua-ra tetabuhan. Suara itu
demikian aneh bagai ira-
ma yang tengah menjalankan acara persembahan.
Suara tetabuhan lambat laun menghilang
dengan sendirinya, bagai ditelan angin lembah.
Sesudahnya sayup-sayup seakan datang dari ja-
rak ribuan tombak terdengar jawaban pelan se-
perti rintihan. "Empu Barada Sukma yang menjadi tugas telah kujalankan. Telah
kusebarkan ka- bar bahwa Sengkala Angin Darah kini telah bera-
da di tangan Gentong Ketawa. Kau tak perlu lagi
mengotori tangan dengan darah musuh besarmu."
Kata satu suara, kakek yang bernama Empu Ba-
rada Sukma tersenyum. "Kau telah lakukan tugas dengan baik, tangan roh. Gentong
Ketawa pasti akan diburu banyak pihak. Walau begitu kita tak
boleh berpuas hati. Dia bukan manusia semba-
rangan. Selusin orang berkepandaian tinggi be-
lum tentu sanggup menghabisinya. Gendut gila
itu mungkin bukan manusia. Apalagi kini kuden-
gar dia punya seorang murid. Murid yang sama
sintingnya dengan gurunya. Kita harus waspada!"
"Empu, kau adalah penguasa tunggal di lem-
bah ini. Perintahmu selain dipatuhi oleh semua
penghuni lembah sesat. Buat apa kau membuang
tenaga. Lagi pula benda itu kini ada di tanganmu.
Kau punya kesempatan memperluas daerah ke-
kuasaan. Sementara muslihat kita telah termakan
oleh mereka yang menginginkan Sengkala Angin
Darah." "Tidak, Tangan Roh! Kita justru harus mem-
persiapkan satu kekuatan. Aku takut perburuan
yang kita rencanakan mengalami kegagalan. Se-
karang kumpulkan penghuni lembah. Setelah itu
kita berangkat tinggalkan lembah ini!" belum lagi mahluk Tangan Roh sempat
menjawab, tiba-tiba
terdengar suara gemuruh datang dari selatan
lembah. "Tangan Roh, aku mendengar suara Rajawali
Siluman. Mahluk itu hanya dimiliki oleh pemuda
bernama Pasadewa. Gerangan apa yang mem-
buatnya sampai datang kemari?" tanya Empu Barada Sukma heran.
"Kau tidak pernah datang ke rumahnya?"
tanya si kakek curiga kalau-kalau orang keper-
cayaannya salah menyebar kabar.
"Aku sungguh tidak tahu." Sahut mahluk Tangan Roh serius.
Sementara suara kepakan sayap burung ma-
kin bertambah jelas. Kemudian di tengah suara
bergemuruh yang terdengar mendadak terdengar
pula suara teriakan yang seakan datang dari lan-
git, "Empu Barada Sukma, aku Pasadewa datang bersama Rajawali siluman. Kuharap
kau mendengar apa yang aku minta." Si kakek dongakkan kepala ke atas. Dia
melihat sosok pemuda duduk di
atas punggung rajawali putih.
"Jahanam!" sang Empu menggeram. Dia lalu
berseru ditujukan pada mahluk Tangan Roh. "Cepat kumpulkan orang-orang kita,
kemudian tung- gu di lorong rahasia." Perintah si kakek.
"Baiklah. Perintah segera kulakukan!" jawab mahluk Tangan Roh di gelapnya
lembah. Sementara di atas sana rajawali siluman ber-
putar-putar. Makin lama terbangnya makin ren-
dah. Setiap kepakan sayap sang burung membuat
pepohonan di sekitarnya bertumbangan. Si kakek
tentu saja tercengang menyaksikan kejadian itu.
Selagi Empu Barada Sukma dibuat terkesima.
Pada waktu itu terdengar suara Pasadewa.
"Empu Barada Sukma. Dari sini aku meli-
hatmu. Kau berdiri di depan mulut gua itu. Men-
gapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" hardik Pasadewa kesal.
"Ha ha ha. Bocah tolol, berteriak seperti orang gila. Sebenarnya kau punya
urusan apa datang
kemari?" "Empu Barada Sukma kau jangan berlagak
pikun. Bukankah Sengkala Angin Darah ada pa-
damu?" sahut si pemuda yang masih terus berputar-putar di atas lembah.
"Sejak menetap di lembah ini belum pernah
aku gentayangan di luar sana. Bagaimana mung-
kin aku dapatkan benda itu?"
"Kau tak usah mungkir. Seseorang telah
memberi tahu aku. Benda itu memang berada di
tanganmu!"
"Yang kau katakan itu adalah sebuah fitnah
keji. Menurut yang aku dengar justru benda itu
telah didapatkan oleh seorang tokoh sakti berna-
ma Gentong Ketawa. Jika kau menghendakinya
mengapa tidak segera mencari kakek itu?"
Di atas burung tunggangannya Pasadewa
sempat dibuat tertegun. Dia menjadi bimbang.
"Gentong Ketawa" Siapa yang dimaksudkannya
itu?" Melihat Pasadewa ragu-ragu si kakek kembali menegaskan. "Kalau kau tak
percaya dan masih saja curiga, kau turunlah kemari. Periksa guaku
ini!" Pasadewa kembali terdiam. Tampaknya dia mulai termakan ucapan si kakek.
Terbukti dia la-lu berkata.
"Baiklah... aku akan mencari orang yang kau maksudkan. Tapi bagaimana jika nanti
kau ternyata membohongiku?"
"Aku sudah mengatakan, silahkan turun dan
periksa tempat tinggalku ini. Aku sudah tua. Aku rela mempertaruhkan nyawa demi
sebuah kejuju-ran, tunggu apa lagi. Turunlah..!" tantang si kakek. Melihat sikap
si kakek yang makin bersung-
guh-sungguh Pasadewa jadi bertambah bimbang.
Dia akhirnya berkata. "Baiklah, sekali lagi aku mempercayaimu. Tapi ingat aku
akan kembali jika yang kau katakan ini ternyata hanyalah sebuah dusta!"
Empu Barada Sukma anggukkan kepala.
Pasadewa sendiri kemudian bersama binatang
tunggangannya segera pergi meninggalkan lem-
bah itu. Seperginya Pasadewa si kakek tidak lagi dapat
menahan tawanya. "Manusia bodoh. Mengaku
cerdik tapi tolol. Ha ha ha."
10 Setelah melakukan pengejaran sekian lama,
Saba Geni merasa sekujur tubuhnya letih bukan
main. Dia kemudian berhenti lalu menghirup
udara segar sepuas-puasnya.
Orang tua ini kemudian menyandarkan tu-
buhnya pada sebatang pohon. Sementara kedua
matanya memandang lurus ke depan.
"Agaknya untuk mendapatkan benda itu tidak
akan mudah. Kalau bukan karena kedua perem-
puan itu tentu urusanku tidak jadi begini. Kini
aku tidak tahu kemana harus mencari orang ber-
pakaian putih yang telah melarikan Sengkala An-
gin Darah."
Kakek berpakaian kembang-kembang ini ter-
cenung. Angannya melayang jauh entah kemana.
Lamunan si kakek buyar seketika begitu dia
mendengar ada suara gemeretak tak jauh di bela-
kangnya. Seketika itu juga Saba Geni palingkan kepala
dan memandang lurus ke belakang.
Kakek ini kaget ketika melihat kehadiran ka-
kek tua berambut panjang awut-awutan. Orang
tua yang baru datang berpakaian serba hitam.
Bagian kepalanya agak botak, wajah angker ber-
mata tajam. Saba Geni sama sekali tidak mengenali siapa
adanya kakek yang satu ini. Tapi melihat cara
orang menatapnya dia punya firasat siapapun
adanya kakek jelek di depannya pasti membawa
maksud dan tujuan buruk.
Saba Geni merasa tidak ada perlunya me-
layani orang tua itu. Tanpa bicara apa-apa dia
memutar tubuh lalu melangkah pergi. Baru saja
beberapa tindak dia melangkah tiba-tiba kakek
angker berambut panjang riap-riapan lakukan sa-
tu gerakan dan di lain saat telah berdiri tegak di depan Saba Geni.
Melihat tingkah orang, Saba Geni yang sedang
kalut ini menjadi marah. Dua matanya mendelik
sedangkan mulutnya membentak. "Siapapun
adanya dirimu aku tidak perduli. Kuharap kau
segera menyingkir dari hadapanku!"
Bukannya patuhi perintah. Sebaliknya kakek
berambut panjang itu malah bertolak pinggang.
Dia kemudian dongakkan kepala sambil tertawa
tergelak-gelak.
"Tua bangka tuli, apakah kau tidak menden-
gar ucapanku?" hardik Saba Geni jengkel.
Kakek di depannya tiba-tiba hentikan tawa.
Dia melangkah maju satu tindak. Setelah itu dia
balas membentak.
"Tua bangka keparat, mestinya aku membu-
nuhmu saat ini juga. Tapi tidak mengapa, mulut
lancangmu yang telah berani memakiku dapat
kumaafkan asal kau mau menjawab pertanyaan-
ku!" ujar kakek berpakaian hitam dengan seringai bermain di mulut.
"Kau siapa hah...?"
"Bagus kalau kau ingin tahu siapa aku. Ha ha ha." Kata orang tua itu sambil
tertawa mengekeh.
Setelah tawanya lenyap kakek berbaju hitam ber-
kata. "Kau dengar baik-baik. Namaku Dukun Kertasona biasa dipanggil Mbah Dukun.
Aku lebih dikenal dengan julukan Setan Santet Delapan
Penjuru, apakah sudah jelas?"
"Setan Santet Delapan Penjuru?" desis Saba Geni. "Siapa yang tidak mengenal
manusia bejat satu ini" Dengan ilmu setannya dia membuat
bencana. Banyak gadis-gadis cantik menjadi kor-
ban kebejatan nafsunya. Dia bukan manusia
sembarangan. Kabarnya dia juga memiliki jin pia-
raan." Setelah tahu siapa gerangan kakek itu Saba
Geni diam-diam mulai berlaku waspada.
"Kulihat wajahmu berubah pucat. Kurasakan
jantungmu berdetak keras. Apakah ini sebuah
pertanda bahwa kau mengenali diriku" Ha ha ha."
Suara Mbah Dukun memecah keheningan. Saba
Geni tersentak kaget, tapi dia tersenyum.
"Dukun Kertasona, hhm... kenal rasanya ti-
dak. Justru yang kudengar selama ini hanya ke-
bejatanmu. Sekarang kau kulihat gentayangan
tak karuan kejuntrungannya. Apa sebenarnya
yang kau cari?"
Mendengar pertanyaan orang sebenarnya pa-
nas juga hati Mbah Dukun Kertasona. Tapi kakek
ini berusaha memendam perasaan, malah dia
kemudian tertawa.
Begitu tawanya lenyap dia segera berkata.
"Aku sendiri rasanya tidak perlu mengenal siapa dirimu. Yang ingin kutanyakan
siapa orangnya
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang telah melarikan Sengkala Angin Darah keti-
ka kau terlibat perkelahian dengan dua gadis
itu?" Rasa kaget di hati Saba Geni tidak terkira.
Dia menyangka kakek itu melihat kejadian yang
berlangsung di tengah hutan Pacitan. Kemudian
secara diam-diam dia mengikuti kemana Saba
Geni pergi. Karena itu tanpa ragu dia berkata.
"Jika kau melihat kejadian itu, mengapa kau tidak segera mengejar orang yang
telah melarikan
Sengkala Angin Darah?"
Mbah Dukun Kertasona tersenyum mengejek.
"Aku tidak melihatnya secara langsung. Apa
yang kulihat semuanya melalui tali sambung ra-
sa. Beberapa pembantuku telah kusebar, mereka
telah meneliti. Dan selain Ki Edan Samberata,
kau adalah dua orang yang dapat kutanyai." Jelas si kakek.
"Ha ha ha. Kalau aku tahu siapa bangsat
yang telah melarikan benda itu apakah kau men-
gira aku bersedia memberitahukannya padamu"
Dan sayang kebetulan aku tidak sempat menge-
nali siapa adanya orang berpakaian serba putih
itu." jawab Saba Geni ketus.
Sayangnya orang seperti Mbah Dultun Kerta-
sona tidak mudah dibuat percaya begitu saja.
"Mulut pandai berdusta, Saba Geni. Siapa
mau percaya dengan bualanmu" Bagaimanapun
kau harus mengatakan padaku siapa yang telah
membawa Sengkala Angin Darah!"
"Manusia keparat keras kepala! Kau pergilah ke neraka. Tanyakan pada penjaga di
sana siapa yang melarikan benda itu!" kata Saba Geni kehilangan kesabarannya.
Mbah Dukun Kertasona sunggingkan seringai
dingin. Dengan tenang dia kembali berucap.
"Apakah ini berarti merupakan suatu permintaan bahwa salah satu diantara kita
harus ada yang mati" Ha ha ha!"
"Mungkin begitu. Kau yang mati sedangkan
aku harus tetap hidup demi mendapatkan Seng-
kala Angin Darah!" sahut Saba Geni.
"Bagus. Ha ha ha. Aku yang mati dan kau
terpaksa kujadikan roh gentayangan." Dengus Mbah Dukun Kertasona sengit.
Saba Geni tidak lagi menanggapi. Kemudian
kakinya bergerak cepat. Tak terduga kakinya di-
hantamkan ke pasir.
Buum! Hentakan itu menimbulkan suara ledakan ke-
ras berdentum. Hamparan pasir muncrat di uda-
ra, lalu menderu menghantam ke bagian wajah
dan sekujur tubuh lawannya.
Serangan ini tentu bukan serangan biasa, ka-
rena bila sampai mengenai mata, pasir yang telah berubah panas membara itu bisa
membuat mata hancur menjadi buta. Andai sempat mengenai tu-
buh akan dipenuhi lubang seperti ditembusi ja-
rum. Mbah Dukun menggeram. "Manusia licik pen-
gecut!" Si kakek lalu dorongkan kedua tangannya ke
depan untuk menangkis serangan itu sementara
dia sendiri melompat ke samping.
Seketika terdengar suara gemuruh dari tan-
gan Mbah Dukun Kertasona. Angin seganas badai
gurun melesat menyambut ribuan pasir yang me-
nyerang ke arah dirinya.
Bess! Preesh! Pasir-pasir itu berhamburan, mental ke sege-
nap penjuru arah begitu terhantam pukulan si
kakek. Malah sebagian diantaranya berbalik
menghantam Saba Geni.
Tapi kakek berpakaian kembang-kembang itu
telah lenyap. Ternyata dia melompat ke udara. Di udara orang tua ini lakukan
gerakan berjumpalitan sedemikian rupa. Setelah posisinya berada di atas kepala
Mbah Dukun Kertasona, tiba-tiba dia
meluncur deras ke bawah. Lalu dua tangannya
dihantamkan ke bagian kepala lawan
Mbah Dukun yang baru lolos dari serangan
pertama segera merasakan adanya hawa dingin
menyambar ubun-ubunnya. Dia segera miringkan
kepala lakukan gerakan menghindar. Tapi sayang
gerakan yang dia lakukan masih kalah cepat den-
gan gerakan lawan.
Tanpa ampun lagi pukulan Saba Geni meng-
hantam di bagian kepalanya.
Deees! Blees! Hantaman cepat yang dilakukan lawan men-
gandung tenaga dalam penuh. Sehebat-hebatnya
Mbah Dukun Kertasona bertahan tak urung dia
amblas ke tanah sedalam dada. Si kakek merasa
kepalanya laksana mau meledak. Pandangan ma-
tanya jadi berkunang-kunang. Dia mengerang
sambil memaki. Sementara tangannya terus
menggapai. Rupanya dia berusaha keluar dari da-
lam tanah. Tapi usaha yang dilakukannya tak
semudah yang dia bayangkan.
Sementara itu di lain pihak Saba Geni telah
jejakkan kakinya tak jauh dari lawan. Ketika ka-
kek itu memutar badan dan memandang ke arah
lawan, Saba Geni benar-benar terkejut. Dia me-
nyadari ketika menghantam kepala lawan tadi dia
merasa tangannya seperti membentur bola besi.
Tangan itu terasa sakit bukan main, celakanya
kini tampak bengkak menggembung.
Si kakek memaki dalam hati, namun biarpun
begitu kini tanpa menghiraukan sakit pada ba-
gian tangan. Apalagi ketika melihat lawan masih
belum dapat membebaskan diri dari pendaman.
Saba Geni tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Selagi Mbah Dukun Kertasona berjuang keras
bebaskan diri, Saba Geni melepaskan satu ten-
dangan ke arah lawan.
Wuuut! Wuuus! Serangkum angin dingin berkiblat dari kaki si
kakek. Sinar putih menyilaukan menghampar di
udara membuat mata tak dapat melihat apa-apa.
Mbah Dukun merutuk habis-habisan mendapat
serangan beruntun seperti itu. Dia batalkan niat untuk bebaskan diri dari
pendaman tanah yang
menghimpitnya. Selanjutnya Mbah Dukun gerak-
kan dua tangannya yang bebas. Tangan itu ke-
mudian didorong dengan kecepatan luar biasa
sambuti tendangan lawan.
Dari telapak tangan orang tua itu mencuat si-
nar biru terang mengandung hawa panas luar bi-
asa. Dua kekuatan bertenaga dalam tinggi ben-
trok di udara. Kawasan di pinggir sungai lagi-lagi dilanda
goncangan hebat begitu terjadi ledakan berden-
tum. Bentrokan kaki dengan dua tangan lawan
membuat Saba Geni terlempar ke udara. Orang
tua itu menjerit, namun begitu jatuh terjengkang dia segera bangkit kembali dan
siap lakukan serangan.
Sementara akibat bentrokan tadi kini Mbah
Dukun makin menderita saja. Tubuh si kakek ki-
ni yang terlihat hanya bagian leher sampai kepa-
la. Walau begitu Mbah Dukun Kertasona tidak
merasa putus asa. Sekuat tenaga dia berusaha
membebaskan diri dari dalam tanah yang hampir
menguburnya hidup-hidup.
Melihat ini Saba Geni tertawa tergelak-gelak.
Dengan sinis dia kemudian berkata. "Mbah Dukun nampaknya kau akan segera mati.
Aku cu- kup menghantammu dengan satu pukulan mema-
tikan maka tamatlah riwayatmu. Ha ha ha!"
Mbah Dukun tidak menjawab. Sebaliknya dia
malah ikut tertawa. Tak lama setelah itu bahkan
kedua matanya terpejam seolah dirinya telah siap menerima datangnya kematian.
Padahal sesungguhnya di dalam hati Mbah Dukun diam-diam
tengah merapal mantra dari ilmu hitamnya.
Sementara melihat sikap lawan, Saba Geni
sendiri sebenarnya siap menyerang kembali. Kali
ini si kakek tak mau bersikap ayal. Si kakek sa-
lurkan tenaga dalam bagian tangan hingga kedua
tangan itu dalam waktu sekejap telah berubah
merah hingga sebatas siku.
Rupanya Saba Geni telah siap melepaskan
pukulan andalannya yang bersumber dari ajian
Gelombang Geni. Sekedar diketahui siapapun
yang terkena ajian pukulan si kakek tubuhnya
pasti meleleh seperti timah dipanaskan.
Mbah Dukun Kertasona sendiri tentu tidak
melihat perubahan tangan lawan karena waktu
itu kedua matanya dalam keadaan terpejam. Se-
mentara mulutnya berkemak-kemik membaca
mantra. Satu-satunya yang dirasakan oleh Mbah
Dukun udara di sekitarnya berubah menjadi pa-
nas seakan dirinya berada dalam tungku bara
menyala. "Tua bangka, ajal dan kematianmu telah
sampai saat ini. Bersiap-siaplah berangkat ke akherat!" Saba Geni berteriak
melengking. Bersamaan dengan itu dia melesat ke depan. Dua tan-
gan dihantamkan ke bagian kepala lawan.
Sinar merah berkiblat. Api menyambar dan
saat itu juga Mbah Dukun Kertasona tenggelam
dalam kobaran api.
Tetapi pada waktu bersamaan terdengar pula
suara raung menggelegar. Asap putih mencuat di
sela-sela kobaran api yang membakar. Bersamaan
dengan Itu terdengar suara ledakan tiga kali berturut-turut. Satu sosok melesat
di udara. Melesatnya sosok itu diikuti dengan muncul-
nya satu sosok lainnya. Sosok tersebut dalam
ujud mahluk raksasa berwajah angker, beralis
tebal dan bermata merah bagai menyala.
Begitu muncul sosok itu menyeringai mem-
perlihatkan gigi-giginya yang runcing mengerikan.
Belum lagi hilang rasa kaget di hati Saba Geni,
sosok mahluk raksasa yang sekujur tubuhnya di-
tumbuhi bulu-bulu halus lebat meniup ke arah
kobaran api. Puuuh! Angin dahsyat menderu dari mulut sosok rak-
sasa. Seketika api yang membakar langsung pa-
dam. Lubang dimana Mbah Dukun terpendam te-
lah kosong bahkan telah hancur porak poranda.
Saba Geni tercengang.
"Aku di sini Saba Geni. Ha ha ha."
Saba Geni memandang ke arah datangnya
suara. Si kakek jadi tercekat begitu melihat Mbah Dukun telah berdiri tegak di
sebelahnya. Kakek
itu tersenyum, sementara sedikitpun tubuhnya
tidak terluka. "Saba Geni! Tenaga dalammu boleh tinggi, il-mu kesaktianmu boleh hebat. Tapi kau
tak bakal lolos dari tangan Jin Sesat mahluk gaib piaraan-
ku. Ha ha ha."
"Aku akan membunuh mahluk terkutuk itu!"
teriak Saba Geni. Dengan cepat dia mengambil
senjatanya berupa tombak bermata tiga. Melihat
lawan menghunus senjata lawan kembali tertawa
mengekeh. "Kau boleh juga menggunakan seribu tombak,
Saba Geni! Ha ha ha!" si kakek kemudian berteriak ditujukan pada Jin Sesat.
"Bunuh dan habisi manusia bersenjata tombak itu!"
Jin Sesat keluarkan suara raungan. Sosoknya
yang besar melesat ke depan. Dua tangan berge-
rak, sepuluh jari berkuku tajam menyambar ke
batang leher Saba Geni. Si kakek tidak tinggal di-am. Dia melompat ke atas
kemudian tusukkan
tombaknya ke dada lawan.
Sinar putih berkiblat menyilaukan mata. Jin
Sesat segera lindungi dada dan matanya yang
menjadi incaran serangan. Sedangkan tusukan
yang mengarah ke bagian tubuh yang lain sengaja
dibiarkan. Braak! Craak! Hunjaman tombak yang mengarah ke bagian
pinggang tidak ubahnya seperti menghantam
tembok baja. Saba Geni malah terdorong mundur.
Lalu meluncur ke bawah. Belum lagi sosoknya ja-
tuh ke tanah, Mbah Dukun menyambut dengan
satu pukulan. Desss! Hantaman keras melabrak punggung Saba
Geni. Tubuh orang tua itu kembali terpental ke
atas. Si kakek menjerit. Dan selagi si kakek menjerit serta kehilangan
keseimbangan, satu tangan menyambar lehernya.
Creep! Sekejap saja leher Saba Geni telah berada di
dalam jepitan Jin Sesat. Si kakek terkejut. Dia
meronta, sedangkan tombak ditusukkan ke ba-
gian dada mahluk angker yang menjepit lehernya.
Si kakek megap-megap. Tusukannya hanya
menimbulkan suara berdentring.
"Jahanam celaka!" keluh si kakek sambil meronta.
"Bunuh dia sekarang!" seru Mbah Dukun Kertasona.
Secepat Mbah Dukun memerintah secepat itu
pula Jin Sesat gerakkan tangannya yang men-
cengkeram leher lawan. Tak lama kemudian ter-
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar suara tulang leher patah dan suara jerit
tertahan. Saba Geni berkelojotan. Darah menyembur
dari mulut dan hidungnya. Orang tua itu tewas
seketika dengan lidah terjulur dan mata mende-
lik. Melihat lawan tewas Jin Sesat lepaskan kor-
bannya. Kakek itu jatuh terbanting dan tidak ber-kutik lagi.
Mbah Dukun Kertasona tertawa tergelak-
gelak. Dia kemudian menyilangkan kedua tangan
di depan dada, sedangkan mulutnya kembali ber-
kemak-kemik. Setelah itu terdengar seruannya.
"Jin Sesat, kembali....!"
Mahluk angker itu kemudian melayang ke
arah si kakek. Setelah berada di atas kepala
Mbah Dukun ujudnya memudar, lalu lenyap be-
rubah menjadi asap biru.
Wuus! Asap pun masuk ke dalam mulut, lalu lenyap
tidak meninggalkan bekas. Mbah Dukun Kertaso-
na tertawa panjang. Dia hampiri mayat lawannya.
Setelah merasa yakin lawan benar-benar tewas
dia berucap. "Aku sudah menduga manusia dengan kepandaian seperti dirimu tak
mungkin sang- gup menghadapi Jin Sesat. Seperti yang kukata-
kan kini arwahmu yang bergentayangan penasa-
ran! Ha ha ha!" sambil tertawa panjang Mbah Dukun Kertasona berkelebat
tinggalkan mayat Saba
Geni. Tamat https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
Tamat Rahasia Istana Terlarang 7 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Naga Sasra Dan Sabuk Inten 32
edan. Orang yang berlindung di balik tabir ternya-ta mengetahui kehadiran mahluk
piaraanku ini. Dia bahkan hendak menangkap jinku." Seru si kakek. Suaranya timbul tenggelam,
sedangkan tubuhnya bergetar keras. Tak lama setelah si ka-
kek dapat menguasai diri. Si kakek memukul lan-
tai gua satu kali. Dia juga berseru keras. "Jin sesat, kembali...!"
Seketika itu juga di mulut gua terdengar sua-
ra deru. Hembusan angin yang masuk ke dalam
gua berputar-putar. Tangan Besi kembali men-
cium bau bangkai. Kemudian muncul sosok tipis
dalam ujud mahluk raksasa berambut lebat.
Secara perlahan sosok besar itu kembali me-
mudar menjadi kabut. Kemudian segera bergerak
masuk ke dalam mulut si kakek yang telah terbu-
ka. Dua tangan si kakek yang bersilangan di de-
pan dada segera disentakkan. Bersamaan dengan
gerakan tangan, mata orang tua ini terbuka. Wa-
jah si kakek tampak letih dan bersimbah keringat.
Kemudian dengan tatapan mata kuyu namun pe-
nuh keyakinan dia berkata. "Pulanglah kau! Aku menyanggupi permintaan Sobari.
Pembantuku jin sesat boleh tak sanggup menghadapi orang itu.
Tapi aku Setan Santet Delapan Penjuru punya se-
ribu cara untuk mendapatkan yang kuinginkan.
Beri aku waktu beberapa hari. Jika dalam waktu
yang kujanjikan aku tak datang menemui pange-
ranmu, berarti jangan kau harapkan pertolon-
ganku lagi."
Lega hati Tangan Besi mendengarnya.
Dia menjura hormat ke arah kakek di depan-
nya. Setelah itu Tangan Besi berkata. "Baiklah.
Sekarang aku mohon pamit." Ujar Tangan Besi.
Si kakek anggukan kepala.
Tangan Besi bangkit berdiri. Kemudian dia
segera tinggalkan ruangan itu. Seperginya Tangan Besi, Mbah Dukun tersenyum
sinis. "Benda itu memang harus kutemukan, tapi begitu kudapatkan tak mungkin
kuberikan pada siapapun."
Dengus si kakek.
"Hanya aku yang patut dapatkan benda itu,
aku pula yang berhak menyimpannya. Ha ha ha!"
kata si kakek sambil tertawa tergelak-gelak.
6 Ledakan yang demikian kerasnya membuat
pendekar Sakti 71 terlempar sejauh belasan tom-
bak. Pemuda ini lalu jatuh menggelinding ke arah lereng bukit.
Dia menggeliat, sedang mulutnya merintih tak
berkeputusan. "Aduh sakitnya biyung. Kepalaku sakit seperti mau meledak, perut
mual ingin kencing ingin berak."
Dengan terhuyung-huyung sambil bangkit
berdiri dia pegang kepalanya. Sedang mata me-
mandang jelalatan.
Dia tidak menemukan orang yang dicari. Gu-
runya maupun Anggagini tak ada di sekitar situ.
Karena kepala masih sakit dan matanya berku-
nang-kunang, maka diapun duduk di atas rum-
put. Beberapa kali dia gelengkan kepala untuk
mengusir rasa pusing.
Pada saat dirinya dalam keadaan sedemikian
rupa, tiba-tiba meluncur sebuah benda berwarna
kuning menghantam kepalanya.
Blak! Benda yang menimpa kepala itu kemudian ja-
tuh di atas pangkuan. Setelah diteliti ternyata sebuah rambutan. Gento layangkan
pandang ke se- genap penjuru arah. Tidak ada yang terlihat ter-
kecuali pepohonan yang tumbuh di sekitar bukit.
"Siapa yang berani berbuat kurang ajar pada-ku?" fikir Gento. Dia kemudian
berteriak. "Hei, siapa yang melemparku?"
"Hi hi hi. Pemuda tolol siapa yang melempar-ku" " kata satu suara.
Mendengar suara mencemo'oh Gento berkata.
"Aku memang tolol. Lalu kau yang merasa orang pintar apakah begitu pengecut tak
berani tunjukkan diri?" Gento mendengus disertai senyum mengejek.
"Kau mengatakan aku pengecut" Coba lihat
baik-baik." Setelah berkata begitu satu bayangan
putih berkelebat dari balik kelebatan pohon. Se-
cepat kilat sosok itu bergerak ke arah Gento lalu lakukan serangkaian serangan
gencar. Gento terkesiap mendapat serangan yang ber-
langsung cepat itu. Lebih kaget lagi begitu me-
nyadari datangnya serangan begitu mematikan
dan mengincar bagian tubuh yang lemah.
"Hebat agaknya kau setan gila, sehingga begi-tu datang menyerang orang yang
tidak berdosa."
Desis Gento. Dengan gerakan tidak kalah cepat sang pen-
dekar melesat ke udara, lalu berjumpalitan dekati lawan. Kemudian dengan cepat
pula tangan si pemuda menyambar ke depan.
"Aih, pemuda sialan, manusia kurang ajar!"
maki sosok berbaju putih sambil tekap bagian
dada. Sosok ini kemudian balikkan badan lalu
meluncur ke bawah dan jejakan kaki di atas ta-
nah. Melihat orang tidak menyerangnya lagi Gento pun melesat turun kemudian
jejakkan kaki dua
langkah di depan sosok berpakaian putih.
Sang pendekar memandang ke depan. Dia
kemudian jadi melengak kaget begitu melihat so-
sok berkepala botak itu.
"Kau... rasanya aku pernah mengenalmu,
pemuda cakep berkepala botak. Jika tidak salah
aku menduga bukankah kau orangnya yang ber-
nama Takga alias Botak ke tiga?"
Sosok berpenampilan seperti seorang pemuda
itu tertawa merdu. Dengan sinis dia berkata. "Kau
salah mengenali orang. Otakmu yang miring ru-
panya masih belum lempang hingga kau tak da-
pat mengingat aku. Aku adalah Taktu alias Botak
ke satu." menjelaskan pemuda berkepala botak itu. Untuk lebih jelasnya siapa
Taktu, (silahkan anda baca episode tabib setan).
"Botak ke satu. Sekarang aku baru ingat bu-
kankah kau orangnya yang bernama Ararini" Ka-
sihan sekali, sejak dulu sampai sekarang ram-
butmu botak terus. Yang tumbuh justru tonjolan
bisul di dada. Ha ha ha."
"Kau tidak tahu keadaanku yang sebenarnya.
Tak usah bicara sembarangan. Kau sendiri du-
lunya adalah seorang pecundang. Apakah kau in-
gat bagaimana ketika tabib setan menjitaki kepa-
lamu ketika kau kalah bertarung denganku" Hi
hi." Gento terdiam, mulut tersenyum. Ingat pada peristiwa yang terjadi dimasa
kecilnya memang
membuat wajah sang pendekar jadi memerah.
Tapi dia kemudian masih tertawa cengengesan.
"Waktu itu segalanya cukup memalukan. Tapi
kau jangan lupa aku pernah menolongmu juga
membantu gurumu Sang Cobra. Satu lagi yang
tak boleh kau lupakan. Aku pernah berjanji akan
menjajaki jurus-jurus silatmu."
"Pemuda sinting, aku tak akan pernah melu-
pakan kejadian itu. Kalau kau mau menjadi pe-
cundang lagi, silakan saja. Kau pasti tak bakal
menang !" dengus Taktu.
"Tunggu, sebelum kita memulai aku ingin
mengetahui sesuatu."
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Ee... aku tidak melihat dua saudaramu yang lain. Kemana Takwa dan Takga?" tanya
Gento. Seperti telah diketahui Takwa dan Takga adalah
saudara seperguruan Ararini.
"Buat apa kau tanyakan mereka?"
"Aku hanya ingin memastikan agar tidak ter-
jadi kecurangan. Dulu kalian pernah menge-
royokku! Ha ha ha."
Wajah cantik Taktu bersemu merah. Dengan
suara lantang dia mendamprat. "Untuk menghadapi pemuda sepertimu perlu apa main
keroyok. Dengan kedua tanganku sendiri aku bisa meng-
gebukmu." Gento tersenyum. "Kau nampaknya terlalu
yakin dengan kemampuan yang kau miliki."
"Sejak dulu aku memang yakin dengan ke-
mampuan diri sendiri. Sekarang tunggu apa lagi"
Aku siap menghadapimu." Tantang Taktu.
"Hmm, sebenarnya saat ini aku sedang risau
memikirkan guruku."
"Aku sudah tahu. Gurumu dan gadis baju
kuning itu sudah pergi. Mungkin mereka me-
nyangka engkau sudah mati dihantam pusaran
angin hitam tadi." Dengus sang dara ketus.
Sang pendekar berjingkrak kaget. Dia tentu
tak menyangka Taktu mengetahui kejadian aneh
yang menimpa mereka.
"Jadi kau tahu pusaran angin dan awan tadi
menghantam kami?" tanya Gento seolah tak per-
caya. "Dasar pemuda tolol. Rupanya kau masih be-
lum tahu bahwa dibalik pusaran angin tadi ber-
lindung seseorang yang dikenal dengan julukan
Iblis Awan Hitam?"
Gento gelengkan kepala.
"Aku tidak tahu. Aku juga belum bisa memas-
tikan apakah iblis itu yang telah mendapatkan
Sengkala Angin Darah."
"Mengenai pertanyaanmu itu tak bisa kupas-
tikan. Aku hanya mengikuti orang tadi." Jelas Taktu.
"Jika begitu aku harus menyusul guruku se-
kaligus mencari tahu di tangan siapa benda maut
itu kini berada." Setelah berkata begitu sang pendekar balikkan badan siap
melangkah pergi. Te-
tapi Taktu lakukan satu gerakan cepat. Di lain
saat dia telah berdiri menghadang di depan Gen-
to. "Heh, kau hendak berbuat apa?"
Taktu tersenyum sinis. "Apakah kau telah lu-pa dengan ucapanmu sendiri" Bukankah
kau menantang aku" Jika hari ini tidak kulayani, ke-
lak di kemudian hari kau pasti mengatakan diriku manusia pengecut!"
"Untuk sementara kuharap kau melupakan
masalah tantangan itu." kata Gento mengalah.
"Tidak bisa begitu. Kalau kau tidak mau aku pasti memaksamu!" tegas Taktu tetap
ngotot. Gento menarik nafas pendek. "Kau rupanya
manusia keras kepala. Baiklah tapi jika kau kalah
apakah kau mau menjadi kekasihku" Ha ha ha."
Wajah Taktu bersemu merah. Matanya men-
delik memandang geram pada sang pendekar.
"Sejak kecil sampai sekarang rupanya kau
masih saja bicara sombong bermulut besar. Tin-
dakanmu yang meremehkan orang lain dapat
mencelakakan dirimu sendiri. Lihat serangan...!"
teriak Taktu. Sang dara tiba-tiba saja berkelebat ke depan.
"Hei... tunggu...!" Gento tidak sempat lagi me-lanjutkan ucapannya karena pada
saat itu dua tangan Taktu telah menyambar tenggorokan dan
ke dua matanya.
Meski sempat terkejut melihat serangan Tak-
tu yang maju pesat, Gento tarik kepalanya ke be-
lakang. Dia menggunakan jurus Congcorang Ma-
buk untuk menghadapi lawan. Secepat kilat den-
gan jemari tangan di tekuk dan tubuh bergoyang-
goyang kaki si pemuda menyambar perut, se-
dangkan tangan bergerak menghantam dagu.
Plak! Duk! Dess! Dua serangan Taktu yang ganas dapat dipa-
tahkan oleh si pemuda, sedangkan kakinya me-
nyambar perut. Gadis itu terjajar ke belakang.
Taktu tidak mengeluh, sebaliknya diam-diam
menjadi kaget tak menyangka Gento yang dite-
muinya belasan tahun yang lalu tidak sama den-
gan Gento yang dia hadapi saat ini.
"Kau pasti kalah. Kau harus menjadi keka-
sihku. Ha ha ha." Berkata pemuda itu sambil berkacak pinggang.
"Manusia sombong. Baru bisa membuatku
terjajar bukan berarti kau telah mengalahkan
aku!" belum lagi gema suara teriakan Taktu lenyap. Laksana mata pedang dua kaki
Taktu ber- gerak lincah. Setiap ujung kaki menyentuh batu,
maka batu-batu itu melayang melesat menghan-
tam sang pendekar.
Serangan batu yang datang laksana curah
hujan ini bukan serangan biasa karena selalu te-
rarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buh dan gerak cepat laksana elang menyambar
pemuda ini berkelebat di udara. Gento yang su-
dah mengerahkan tenaga saktinya ke bagian tan-
gan segera menghantam.
Dess! Dess! Angin dingin menderu dari tangan pemuda
itu, lalu bergerak sedemikian rupa sesuai dengan berputarnya tangan. Dan batu-
batu itu segera
berbalik menghantam ke arah Taktu dengan ke-
cepatan berlipat ganda begitu membentur tangan
Gento. Selagi Taktu dibuat sibuk, sang pendekar me-
luncur ke bawah. Tangan kiri terjulur terarah ke bagian kepala, sedang tangan
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kanan meluncur ke
bagian dada. Serangan yang mengarah ke bagian dada ini
sebenarnya hanya tipuan saja karena begitu Tak-
tu memaki sambil lindungi dadanya Gento belok-
kan serangan ke bagian perut.
Dess! Satu pukulan keras melabrak perut Taktu.
Tapi tak terduga Taktu tanpa menghiraukan rasa
sakit segera melompat ke atas. Sambil berkelebat tangannya masih sempat
mengemplang kepala
Gento. Gento memekik keras, dia merasakan ke-
palanya yang dikemplang orang seperti mau mele-
tus. 'Bagus, semula aku menyangka kau hanya
membawa gunung. Tidak disangka ternyata kau
membawa palu godam juga, ha ha ha."
"Pemuda keparat, sebaiknya kau mampus!"
teriak Taktu sambil melepaskan pukulan tangan
kosong. "Ah teganya kau hendak membunuh kekasih
sendiri. Dimana letak kasih sayangmu?" cibir si pemuda menggoda, namun dia tetap
dorongkan kedua tangannya menyambuti pukulan lawan.
"Kasih sayang edan. Kurasa dia telah pergi ke akherat." Sahut Taktu geram.
Jauh di dalam hati sebenarnya Taktu merasa
penasaran karena pemuda yang dimasa kecil per-
nah dia pecundangi ternyata kini memiliki ilmu
kepandaian yang sangat luar biasa.
"Kepada siapa setan gondrong ini berguru"
Tak mungkin si gendut sinting itu mengajarkan
ilmu sehebat ini."
Buum! Benturan keras tidak dapat di hindari lagi.
Lereng bukit bergetar. Akibat ledakan membuat
Taktu terpental tinggi di udara. Sedangkan Gento amblas ke dalam tanah sampai
setinggi lutut. Oh
kekasihku. Bagaimana kau bisa terbang tinggi.
Padahal kau tidak punya sayap. Mulut berkata
begitu padahal dalam hati dia memaki karena
ternyata tidak mudah membebaskan kedua kaki
yang terjepit tanah. Tak punya pilihan lain si pemuda segera kerahkan tenaga
dalamnya yang bersumber dari bagian pusat, kening dan pung-
gung. Di atas sana Taktu kembali mendamprat.
"Pendekar sinting sekarang bersiaplah menerima kenang-kenangan dariku."
Dalam keadaan mengambang di atas keting-
gian gadis itu memutar tangannya. Setelah itu
dengan cepat tangan dihantamkan ke arah Gento.
Secara berturut-turut sinar merah, biru hitam
kekuning-kuningan menderu dari telapak tangan
si gadis. Berturut-turut pula sang pendekar me-
rasakan adanya hawa panas dan dingin menyam-
bar tubuhnya. Gento terkesiap, tapi dua jengkal lagi pukulan
itu menghancurkan tubuhnya, pada waktu ber-
samaan pula dari bagian kening Gento membersit
sinar putih laksana perak memapas habis lima la-
rik sinar maut yang dilepaskan Taktu.
Gento melompat setelah menarik ke dua ka-
kinya yang terpendam. Begitu dua kakinya berada
di atas tanah dia gerakkan tangannya ke arah
empat pohon besar di sebelah kanan, empat po-
hon bertumbangan.
Gento kembali sentakkan tangannya. Empat
pohon besar yang masih beranting dan berdaun
lebat melesat di udara menghantam ke arah Tak-
tu secara susul-menyusul.
Si gadis jadi terkesiap, jantungnya seolah
berhenti berdenyut. Dengan tubuh bersimbah ke-
ringat dingin dia cabut pedangnya. Dengan pe-
dang di tangan Taktu mengamuk seperti orang gi-
la. Dalam waktu singkat daun maupun ranting-
ranting pohon rambas berguguran. Empat pohon
menjadi gundul. Kemudian ketika melihat ke em-
pat pohon yang digunakan untuk menyerang be-
rubah menjadi potongan kecil Gento pun tarik ba-
lik tenaga dalamnya.
Empat batang pohon jatuh berdebum. Taktu
sendiri segera jatuhkan diri. Dia duduk dengan
nafas megap-megap, wajah pucat pakaian ber-
simbah keringat.
Nampaknya Taktu terlalu menguras banyak
tenaga ketika menghadap serangan pohon-pohon
tadi. Sekejap lamanya Gento memperhatikan seke-
lilingnya yang porak poranda. Setelah itu dia be-ralih pada Taktu.
Gento tak dapat menahan tawa melihat Taktu
yang kuyu, meski jauh di lubuk hati terselip juga rasa kasihan.
"Jurus pedangmu ternyata cukup hebat, Tak-
tu. Tapi kau jelas tak bisa mengalahkan aku. Kini apakah kau telah siap menjadi
kekasihku?" tanya Gento.
Sekujur tubuh Taktu menegang, matanya
mendelik sedang mulut terkatup rapat. Dia men-
jadi kesal, marah dan jengkel pada diri sendiri.
Sama sekali dia tak menyangka pemuda itu dapat
menjatuhkannya. Jauh di lubuk hati dia memang
harus mengakui kehebatan Gento, Ilmu pemuda
itu sekarang sudah berada jauh di atasnya.
"Gondrong, sekarang dengan jujur aku men-
gakui segala kehebatanmu. Aku mengaku kalah!"
Gento sama sekali tidak merasa tersanjung.
Sebaliknya dia malah menggoda.
"Apakah kini kau sudah bersedia menjadi ke-
kasihku?" Taktu tersipu, lalu palingkan wajahnya ke ju-
rusan lain. "Dari pada bicara tidak berguna bukankah lebih baik kita cari gurumu
atau benda sakti itu?" ucapnya tanpa berpaling pada Gento.
"Hhh, jadi kau mau ikut denganku" Tapi
mengapa kau tidak mau menjawab pertanyaan-
ku?" "Buat apa aku melayani pertanyaan gila. Jo-doh, hidup matinya seseorang ada
di tangan Gus- ti Allah. Maka lebih baik kau bertanya kepa-
danya." "Bagaimana aku bisa bertanya pada Tuhan?"
"Gampang. Kau mati saja dulu." Sahut gadis itu disertai tawa.
Gadis itu kemudian sarungkan pedangnya.
Setelah itu dia melangkah pergi. Gento segera
mengikutinya. 7 Telaga setan terletak di puncak bukit di sebe-
lah selatan Kediri. Air di telaga itu demikian ke-ruhnya. Sewaktu-waktu air
telaga bisa hilang raib entah kemana.
Saat itu matahari belum lagi menampakkan
diri. Hawa dingin demikian mencucuk. Di pinggir
telaga di atas altar batu bundar berwarna hitam
terlihat satu pemandangan mengerikan. Sedikit-
nya sembilan ekor ular dalam keadaan bergelung
melingkari sosok tubuh berpakaian ala kadarnya.
Sementara itu di lereng bukit satu sosok ber-
pakaian serba kuning nampak berkelebat menuju
ke bagian puncak bukit, sosok berbadan ramping
itu nampaknya dalam keadaan tergesa-gesa.
Tak lama setelah melewati semak belukar
berduri sosok berpakaian kuning yang ternyata
adalah seorang gadis berambut panjang sampai di
tepi telaga. Sejenak si gadis mengatur nafas yang agak memburu, sedangkan mata
memandang ke arah telaga yang mengepulkan uap kebiru-biruan.
"Telaga ini yang dinamakan telaga setan. Aku tidak melihat Iblis Ular Sembilan
ada di sekitar sini." Kata sang dara. Dia lalu melangkah ke sisi sebelah kanan
telaga. Di satu tempat tak jauh da-ri batu bundar langkah si gadis mendadak ter-
henti. Sepasang matanya terbelalak lebar me-
mandang lurus ke arah batu dimana dia melihat
sedikitnya sembilan ular hitam berbelang kuning
menggelungi sosok tubuh bertelanjang dada.
"Iblis Ular Sembilan?" desis sang dara kecut.
Dengan perasaan jijik si gadis kitarkan pan-
dangan. Mata memandang ke segenap sudut pen-
juru. Gadis ini jadi gelisah, pikirannya tidak tenang. Kemudian dia memutuskan
untuk me- manggil Iblis Ular Sembilan. Belum lagi dia laksanakan niatnya. Sembilan ular
yang bergelung ke-
luarkan suara desis. Ular-ular itu agaknya men-
getahui kehadiran sang dara. Terbukti mereka se-
gera bergerak, angkat kepala dan siap menyerang.
Si gadis mengusap tengkuknya. Dia lalu kem-
bali memandang ke arah batu bundar. Dia terke-
jut ketika melihat seorang Laki-laki renta berwajah tirus berkulit hitam duduk
di sana. Sosok itu sama sekali tidak berpakaian.
Auratnya terbungkus secarik kain hitam. Se-
dangkan wajahnya yang keriput nampak demi-
kian kurusnya tidak ubahnya seperti tengkorak
terbalut kulit.
Melihat penampilannya saja sang data ra-
sanya sudah mau pingsan. Dia yang ingin bicara
mendadak seperti kehilangan kata-kata.
Tapi akhirnya dia memberanikan diri juga.
Dengan suara bergetar dia ajukan pertanyaan.
"Aku Pandan Arum. Apakah benar saat ini sedang berhadapan dengan Iblis Ular
Sembilan?"
Di depan sana kakek muka jerangkong mem-
buka matanya yang cekung. Dua bola mata me-
mandang lurus ke arah si gadis. Melihat siapa
yang datang tenggorokan si kakek bergerak naik
turun. Dua matanya timbul tenggelam, sedang-
kan lidahnya yang bercabang dan berwarna hitam
nampak terjulur.
"Tua bangka ini ternyata bukan cuma julu-
kannya saja ular. Tapi lidahnya juga bercabang
seperti ular." Batin Pandan Arum mendadak dia merasa tengkuknya menjadi dingin.
"Di pagi buta aku kedatangan seorang dara.
Seorang gadis yang kuanggap dapat memanaskan
hasrat yang menggelora. Rejekiku besar. Katakan
siapa namamu tadi gadis cantik. Ha ha ha."
Meskipun geram mendengar kata-kata yang
diucapkan si kakek, tapi Pandan Arum terpaksa
memendam kemarahannya karena dia membu-
tuhkan kakek itu. "Aku Pandan Arum. Kekasihku Pasadewa menyuruhku untuk bertemu
denganmu."
"Kekasihmu... Pasadewa kekasihmu. Nama
itu sepertinya tak asing di telingaku." Gumam si kakek.
"Pasadewa adalah pemuda sakti yang memili-
ki tunggangan rajawali siluman. Dia dikenal di
empat penjuru angin, mungkin kau juga menge-
nalinya." Kening si kakek berkerut. Dia kemudian ter-
tawa. Tawa dingin yang membuat tengkuk Pan-
dan Arum merinding.
"Pasadewa manusia cerdik yang punya ambisi
dan cita-cita tinggi. Aku pernah mengenalinya.
Lalu gerangan apa yang membuatmu datang ke-
mari?" "Kekasihku berpesan agar kau sudi berga-
bung dengannya guna mendapatkan Sengkala
Angin Darah." Jelas Pandan Arum.
Lagi-lagi si kakek umbar tawanya mendengar
ucapan si gadis.
"Seumur hidup aku belum pernah diperintah
orang. Bagaimana mungkin bocah ingusan seperti
kekasihmu itu berani-beraninya memerintahku?"
"Aku tidak tahu. Aku cuma ditugaskan. Aku
cuma ditugaskan menyampaikan pesan. Setelah
pesan kusampaikan setuju tidaknya semua terpu-
lang kepadamu!"
Si kakek terdiam, nampaknya dia tengah ber-
fikir. Dua matanya yang liar menjelajahi tubuh
padat si gadis. Tak lama kemudian dia berkata.
"Tawaran Pasadewa itu mungkin saja bisa kuterima, asal kau bersedia memberi ku
kesenangan."
Berkata si kakek sambil tersenyum.
Pandan Arum tercengang mendengar ucapan
kakek jerangkong itu. Dia tidak menduga si kakek meminta sesuatu yang tak
mungkin dia kabul-kan. Melihat tampang Ular Iblis Sembilan saja
Pandan Arum merasa hendak muntah, apalagi ji-
ka harus melayani keinginannya.
"Kau tidak perlu memikirkan baik buruknya,
Pandan Arum. Permintaanku kuanggap sebagai
imbalan dari harapan Pasadewa." Ujar si kakek.
"Cinta suciku hanya kupersembahkan pada
Pasadewa. Bagaimana mungkin aku tega
mengkhianatinya?" dengus sang dara marah.
"Aku tidak meminta cintamu, aku hanya in-
ginkan tubuhmu. Aku cuma sekali bicara, kalau
kau menolak penolakanmu bisa membuat kau
kehilangan kesempatan hidup!"
"Eh, apa maksudmu?"
Si kakek memungut ular hitam berbelang
kuning di depannya. Dia lalu menciumi binatang
menjijikkan itu sambil berkata. "Iblis Ular Sembilan cukup hanya memberi
perintah. Kemudian
salah satu ular ini akan mematukmu. Kau mati
seketika dan tak mungkin lagi bertemu dengan
kekasihmu."
Mendidih darah Pandan Arum mendengar an-
caman si kakek. Ingin dia melabrak si kakek
meskipun sadar dirinya tidak mungkin unggul
menghadapinya. Tapi belum lagi sempat melaku-
kan apa yang menjadi niatnya. Pada waktu itu li-
dah si kakek yang bercabang terjulur panjang. Lidah itu kemudian menjilat mulut
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan hidung Pandan Arum. Melihat gerakan lidah yang dapat memanjang
bukan main kagetnya sang dara. Dia berusaha
menghindar, namun gerakan yang dilakukannya
kalah cepat dengan gerakan lidah Iblis Ular Sem-
bilan. Tak pelak lagi mulut dan hidung sang dara
terkena sambaran lidah kakek itu.
"Tua bangka keparat!" damprat si gadis. Dia menyeka mulut dan hidungnya yang
terkena air ludah. Pada saat itulah dia mencium bau sesuatu
yang tidak sedap. Bau busuk yang membuat ke-
palanya pusing seketika.
Darah Pandan Arum menggelegak seperti ter-
bakar. Ketika dia memandang ke depan dalam
pandangannya sosok si kakek entah mengapa be-
rubah menjadi pemuda tampan luar biasa.
Sang dara merintih lirih. Dia jatuh terduduk,
sekujur tubuhnya menjadi panas diamuk rang-
sangan. Iblis Ular Sembilan tertawa mengekeh.
"Pada akhirnya kau jatuh di dalam pelukan-
ku. Sekarang kau baru mengerti lidahku dapat
merubah keadaan. Mari kita bersenang-senang,
setelah itu baru aku bersedia memenuhi permin-
taan kekasihmu Pasadewa. Ha ha ha!"
Selesai berkata si kakek segera melompat ke
depan Pandan Arum. Tubuh itu kemudian dibo-
pongnya. Setelah Iblis Ular Sembilan berkelebat
ke arah pondok tersembunyi tak jauh dari telaga
dengan diikuti oleh kesembilan ularnya.
Sesampainya di dalam gubuk si kakek menci-
umi Pandan Arum. Sebentar saja pakaian sang
dara sudah tak karuan rupa. Anehnya sang dara
tidak menolak. Dirinya yang sudah berada dalam
pengaruh sirapan malah membalas tak kalah
hangatnya. Si kakek makin bersemangat. Ketika dia hen-
dak melampiaskan kekejiannya tak terduga men-
dadak terdengar suara suitan panjang. Suara sui-
tan disusul dengan suara bergelak membuat gu-
buk bergoyang berderak-derak seperti dihantam
puting beliung.
Si kakek tersentak kaget. Cepat dia bangkit
berdiri, lalu meninggalkan Pandan Arum yang be-
rada dalam pengaruh sirapan.
Dia lalu berdiri tegak di mulut gubuk. Sepa-
sang matanya timbul tenggelam memperhatikan
keadaan di sekitarnya. Tapi dia tidak melihat ada orang di sekitar situ.
"Jahanam yang baru keluarkan siulan. Harap
tunjukkan diri!"
Kembali suara siulan menyahuti ucapan si
kakek. Kemudian ada angin berhembus yang dis-
usul dengan suara ledakan. Semua itu terjadi di
depan hidung si kakek. Asap dan debu membum-
bung tinggi. Ketika kepulan asap yang menyeli-
muti lenyap. Kini di depan Iblis Ular Sembilan
berdiri tegak seorang kakek tua berambut putih.
Kakek itu memakai daster seperti baju hamil ber-
warna biru. Sementara di pinggangnya tergantung
sebuah kendi terbuat dari perunggu berwarna pu-
tih. Sedangkan dari mulut kendi mengepul uap
putih seperti es.
Melihat dandanan serta penampilan kakek sa-
tu in!, siapapun yang melihatnya pasti tidak da-
pat menahan tawa. Betapa tidak. Begitu muncul
si kakek tampak sibuk dan selalu kerepotan
membenahi daster maupun topi tingginya yang
kedodoran. 8 Biarpun penampilan si kakek berdaster biru
selalu mengundang tawa, tapi Iblis Ular Sembilan
yang merasa keinginannya tidak kesampaian ka-
rena kehadiran si kakek daster biru malah men-
jadi berang. Dengan bengis dia membentak. "Kunyuk gila
berdaster biru! Berani kau hadir di Telaga Setan.
Kau bahkan berani mengganggu kesibukan orang
apakah tidak takut mati?"
Si daster biru tidak bergeming, malah dia
dongakkan kepala. Sejenak dia benahi topi ting-
ginya yang berwarna biru. Setelah topi terpasang sebagaimana seharusnya dia
tertawa tergelak-gelak.
"Mengobrak-abrik pakaian orang, ingin men-
coba melampiaskan nafsu bejat apakah itu yang
kau sebut sebagai kesibukan?" tanya si kakek sambil berkacak pinggang.
Merasa diremehkan dan sadar orang telah
mengetahui perbuatannya Iblis Ular Sembilan
membentak. "Pengintip tengik. Apa yang kami lakukan atas dasar suka sama suka.
Kau jangan bicara sembarangan di depanku!"
"Hak hak hak. Aku Ki Comot Jalulata, tukang sulapan dan seorang ahli sihir di
tujuh penjuru bumi, mana mungkin kena dibodohi orang. Ter-
nyata benar seperti kata pepatah lidah tidak ber-tulang. Benar pula kata orang
lidahmu yang ber-
cabang itu berlumur racun keji hingga setiap pe-
rempuan lemah iman terperangkap bujuk rayu-
mu. Iblis Ular Sembilan, kau jangan mencoba
bersilat lidah denganku. Atau mungkin kau ingin
aku merubah lidahmu menjadi sebuah tali yang
melilit lehermu sendiri?"
Iblis Ular Sembilan terperangah. Sama sekali
dia tak menduga orang mengetahui siapa dirinya.
Di tatapnya kakek yang berdiri di depan sana
dengan sorot mata menyelidik. Kini dia baru ingat ahli sihir yang satu ini
sangat jarang sekali muncul di dunia persilatan. Konon dia lebih banyak
mengasingkan diri di daerah Barat Jawa. Dia ta-
hu selain ilmunya sangat tinggi. Ki Comot Jalula-ta sangat ahli pula dalam hal
permainan sihir. Si daster biru ini tidak sendiri, dia masih punya dua saudara
Laki-laki kembar yang sama miring otaknya. Kedua saudaranya itu adalah Ki Betot
Segala dan Ki Edan Samberata.
Iblis Ular Sembilan tidak melihat dua saudara
Ki Comot Jalulata bersamanya. Baginya ini meru-
pakan suatu keuntungan. Dia yakin dengan mu-
dah pasti bisa menghabisi lawan secepatnya.
Sambil tersenyum dia berkata. "Kakek gila kau datang sendiri" Begitu muncul kau
berani men-gancam. Apakah kau tidak menyadari sedang be-
rada dimana?"
"Ha ha ha. Sedang berada dimana ya?" gu-mam Ki Comot dengan lagak seperti orang
bin- gung. Kalau tidak salah aku sedang berada di
tempat mesum. Oh ya... mengenai saudaraku itu
mereka punya kaki. Mereka pergi kemana buat
apa kau bertanya?" setelah menjawab Ki Comot Jalulata mengumbar tawa. Iblis Ular
Sembilan merasa darahnya mendidih. Kali ini dia benar-
benar merasa diremehkan orang. Dengan suara
bergetar dia menggeram." Kedatanganmu kesini tanpa seizinku. Kini kau berani
mengusik kete-nanganku. Dua alasan itu sudah cukup bagiku
untuk membunuhmu seratus kali."
Ki Comot Jalulata tersenyum. Kembali dia
benahi topinya yang miring. Kemudian enak saja
dia berkata. "Yang kuganggu bukan ketenangan-mu. Kau merasa terusik karena tak
sempat ber- buat keji. Kau mengatakan aku datang tanpa izin, padahal aku telah memintanya
pada seseorang."
"Kurang ajar, kau minta ijin pada siapa?"
hardik Iblis Ular Sembilan berang.
Sambil tersenyum-senyum Ki Comot Jalulata
menjawab. "Masa kau sudah lupa. Bukankah aku sudah minta ijin sama bapak emakmu
yang mati penasaran dipancung perwira Kediri?"
Disambar petir Iblis Ular Sembilan rasanya
tak akan seterkejut itu. Yang dikatakan Ki Comot Jalulata memang sebuah
kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri. Ayah Iblis Ular Sembilan dulunya juga manusia keji yang banyak
melakukan berba-gai kejahatan. Dan memang benar dia tewas di
tangan perwira Kediri. Tapi bagaimana Ki Comot
Jalulata bisa sampai mengetahui prihal ayahnya.
Padahal kejadian itu telah berlangsung seratus
tahun lalu. "Kau tak usah bingung. Aku seorang ahli sihir yang selalu gentayangan di tujuh
lapis bumi. Aku baru saja bertemu dengan ayahmu. Ha ha ha."
"Bertemu ayahmu" Dimana?"
"Di neraka... hahaha." Sahut Ki Comot Jalula-
ta disertai tawa tergelak. Mata cekung yang men-
jorok ke dalam rongga itu seperti mau melompat
keluar. Iblis Ular Sembilan menggerung, tanpa bicara dia jejakkan kakinya dengan
satu hentakan keras. Puncak bukit bergetar akibat hentakan ka-
ki si kakek. Bersamaan dengan itu sembilan ular
beracun melesat dari tiga penjuru arah. Di lain
waktu dalam waktu sekejap tubuh si kakek telah
dilingkari sembilan ular hitam berbelang kuning
yang masing-masing kepalanya terdongak meng-
hadap ke arah Ki Comot Jalulata.
Melihat sembilan ular bergelung melingkari
tubuh lawan, Ki Comot Jalulata tertawa tergelak-
gelak meskipun hatinya sempat tercekat. Tapi si
kakek sendiri tetap bersikap tenang. Malah sam-
bil tersenyum orang tua ini berkata. "Iblis Ular Sembilan, saat ini kau sedang
berhadapan dengan seorang ahli sihir. Nama besarmu boleh
membuat gentar dunia persilatan. Kau bakal me-
nyesal menggunakan ular-ular itu."
Iblis Ular Sembilan hanya mendengus.
Ki Comot Jalulata kerahkan ilmu menipu
pandang. Dia segera tarik daster biru yang menu-
tupi kaki. Di balik daster si kakek turunkan cela-na ke bawah. Astaga! Bagian
bawah perut si ka-
kek ternyata licin tanpa aurat. Ki Comot Jalulata turunkan kembali dasternya.
"Kau tahu aku dalam keadaan polos. Aku bisa memindahkan ke-
punyaanmu jika aku mau."
"Kakek jahanam lebih baik kau mati!" berkata begitu Iblis Ular Sembilan
jentikkan tangannya ke
atas. Terdengar suara letusan dan kiranya itu
adalah sebuah isyarat bagi sembilan ular peliha-
raannya. Sembilan ular buka mulutnya. Kemudian
dengan gerakan laksana terbang sembilan ular
melesat ke udara bergerak lurus menyerang Ki
Comot Jalulata. Si kakek berusaha mengelak, tapi gerakan berkelit yang
dilakukannya kalah cepat
dengan gerakan ular-ular yang menyerangnya.
Sembilan ular menghujam di tubuh si kakek
membuat orang tua ini menjerit kesakitan.
Tak lama tubuh si kakek hancur tercabik-
cabik digerogoti sembilan ular berbisa ini. Ketika tubuh itu ambruk, yang
terlihat kini hanya berupa tengkorak dan tulang belulang yang berwarna
putih kemerahan berlumuran darah.
Melihat kejadian ini meledaklah tawa Iblis
Ular Sembilan. "Ternyata hanya begitu saja kekuatan yang dia miliki. Aku sudah
tahu siapapun orangnya pasti tidak bakal sanggup mengalahkan
serangan sembilan ular mautku. Ha ha ha." Dengus si kakek jerangkong sinis.
Tapi selagi si kakek tertawa, saat itu pula ter-
dengar suara ledakan keras.
Buus! Begitu ledakan terjadi seketika terlihat kepu-
lan asap di depan si kakek. Begitu kepulan asap
lenyap, di depan iblis Ular Sembilan sekonyong-
konyong muncul Ki Comot Jalulata dalam kea-
daan segar bugar tidak kekurangan sesuatu apa.
Iblis Ular Sembilan terkejut bukan main. Dia
tercengang, mata mendelik mulut ternganga.
Melihat kesempatan ini Ki Comot Jalulata se-
gera gerakkan tangan kanannya ke bagian se-
langkangan lawan.
Sreet! Setelah dapatkan apa yang dia inginkan orang
tua ini melompat mundur. Dia kemudian acung-
kan tangannya yang memegang benda berlumu-
ran darah. Sambil tertawa mengekeh Ki Comot
Jalulata berkata. "Iblis Ular Sembilan, apakah kau lupa aku adalah seorang ahli
sihir. Ular-ularmu itu cuma bisa menyerang bayanganku.
Kau tak bakal sanggup membunuhku. Sebagai
peringatan sekarang punyamu kutahan. Untuk
sementara kau harus puasa, kelak mungkin aku
akan mengembalikannya. Tapi jika ternyata kau
tidak berubah, senjatamu ini akan kuhanyutkan
di laut. Seumur hidup kau tak bakal lagi bisa me-rusak perempuan. Ha ha ha."
Habis berkata Ki Comot Jalulata masukkan benda berlumur darah
ke dalam kendi peraknya.
Iblis Ular Sembilan tersentak kaget. Dia tak
menyangka orang telah mengambil miliknya tan-
pa rasa sakit. Ketika dia singkapkan kain penu-
tup aurat si kakek merasa nyawanya terbang.
Benda yang berada di situ telah lenyap, polos licin tanpa bekas. Pucatlah wajah
si kakek. Dia pun
kemudian jadi kalang kabut berteriak tak karuan.
"Manusia jahanam. Kembalikan... kembalikan
punyaku...!"
Dia melabrak ke depan. Tetapi Ki Comot Jalu-
lata yang diserangnya telah lenyap.
Sayup-sayup Iblis Ular Sembilan mendengar
suara Ki Comot Jalulata di kejauhan. "Agaknya kau lupa, sesuai julukan Ki Comot.
Aku selalu mengambil barang milik siapa saja yang kua-
nggap tidak layak untuk dipelihara. Waktumu sa-
tu purnama. Jika kau dapat menyerahkan benda
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sakti Sengkala Angin Darah, aku akan berikan
milikmu. Kalau gagal pasti ada burung yang bakal kulepas terbang dan tidak bakal
kembali lagi ke
sangkarnya. Ha ha ha!"
"Kakek terkutuk. Aku pasti akan mencarimu!"
teriak si kakek. Tapi suara teriakannya lenyap begitu saja. Si kakek pun menjadi
marah. Dengan membabi buta dia melepaskan pukulan ke berba-
gai sudut penjuru. Salah satu pukulan menghan-
curkan pondok hingga Pandan Arum yang terbar-
ing di atas ranjang terlempar. Sang dara jatuh ke atas tanah. Begitu dirinya
terjatuh kesadarannya pulih kembali. Dia terkejut ketika dapati dirinya dalam
keadaan polos. Dengan cepat dia mengambil pakaian dan segera mengenakannya.
Semula dia berniat melabrak Iblis Ular Sembilan. Tetapi urung begitu melihat Iblis Ular
Sembilan ternyata telah berdiri tegak di sampingnya dengan wajah
kuyu dan mata menerawang kosong.
"Orang tua apa yang terjadi?" tanya Pandan Arum heran.
"Kau tidak pantas bertanya. Sekarang juga ki-ta temui kekasihmu. Aku..." Si
kakek tidak lanjutkan ucapannya. Pandan Arum tidak berani
bertanya lebih jauh. Dia tahu kakek itu seperti telah kehilangan sesuatu.
Sesuatu apa Pandan
Arum tak dapat menduganya. Tak mau mencari
perkara, Pandan Arum akhirnya memilih diam
sambil mengikuti Iblis Ular Sembilan yang telah
melesat ke arah lereng bukit.
9 Orang tua itu duduk di depan pintu gua. Se-
sekali dia mengusap rambut, cambang serta jeng-
gotnya yang putih panjang menjela.
Kemudian dia dongakkan kepala, mulut ter-
senyum. Dia tidak menghiraukan keadaan di se-
kitar gua yang gelap berselimut kabut. Cukup la-
ma si kakek dalam keadaan seperti itu. Dia lalu
memandang ke depan mencoba menembus kege-
lapan. Tapi konsentrasinya terusik begitu telin-
ganya mendengar suara berdesir serta gemerisik
daun bergesekan. Dia palingkan kepala ke arah
mana suara gemerisik terdengar. Lalu mulutnya
yang tertutup kumis terbuka. "Mahluk tangan roh, apakah engkau yang datang?"
Tidak ada jawaban. Si kakek jadi gelisah. Se-
kejap dia palingkan kepala melirik ke dalam gua.
Menunggu dalam kesunyian membuatnya jadi ti-
dak sabar. Kemudian dia berteriak. "Mahluk Tangan Roh, aku ingin kau jawab pertanyaanku.
Apakah kau sudah tuli bisu?"
Suara si kakek lenyap. Pepohonan di depan
mulut gua tampak bergoyang-goyang. Di kejau-
han sama terdengar suara lolong panjang. Suara
lolong kemudian lenyap berganti dengan suara je-
rit menggidikkan. Setelah itu terdengar pula sua-ra tetabuhan. Suara itu
demikian aneh bagai ira-
ma yang tengah menjalankan acara persembahan.
Suara tetabuhan lambat laun menghilang
dengan sendirinya, bagai ditelan angin lembah.
Sesudahnya sayup-sayup seakan datang dari ja-
rak ribuan tombak terdengar jawaban pelan se-
perti rintihan. "Empu Barada Sukma yang menjadi tugas telah kujalankan. Telah
kusebarkan ka- bar bahwa Sengkala Angin Darah kini telah bera-
da di tangan Gentong Ketawa. Kau tak perlu lagi
mengotori tangan dengan darah musuh besarmu."
Kata satu suara, kakek yang bernama Empu Ba-
rada Sukma tersenyum. "Kau telah lakukan tugas dengan baik, tangan roh. Gentong
Ketawa pasti akan diburu banyak pihak. Walau begitu kita tak
boleh berpuas hati. Dia bukan manusia semba-
rangan. Selusin orang berkepandaian tinggi be-
lum tentu sanggup menghabisinya. Gendut gila
itu mungkin bukan manusia. Apalagi kini kuden-
gar dia punya seorang murid. Murid yang sama
sintingnya dengan gurunya. Kita harus waspada!"
"Empu, kau adalah penguasa tunggal di lem-
bah ini. Perintahmu selain dipatuhi oleh semua
penghuni lembah sesat. Buat apa kau membuang
tenaga. Lagi pula benda itu kini ada di tanganmu.
Kau punya kesempatan memperluas daerah ke-
kuasaan. Sementara muslihat kita telah termakan
oleh mereka yang menginginkan Sengkala Angin
Darah." "Tidak, Tangan Roh! Kita justru harus mem-
persiapkan satu kekuatan. Aku takut perburuan
yang kita rencanakan mengalami kegagalan. Se-
karang kumpulkan penghuni lembah. Setelah itu
kita berangkat tinggalkan lembah ini!" belum lagi mahluk Tangan Roh sempat
menjawab, tiba-tiba
terdengar suara gemuruh datang dari selatan
lembah. "Tangan Roh, aku mendengar suara Rajawali
Siluman. Mahluk itu hanya dimiliki oleh pemuda
bernama Pasadewa. Gerangan apa yang mem-
buatnya sampai datang kemari?" tanya Empu Barada Sukma heran.
"Kau tidak pernah datang ke rumahnya?"
tanya si kakek curiga kalau-kalau orang keper-
cayaannya salah menyebar kabar.
"Aku sungguh tidak tahu." Sahut mahluk Tangan Roh serius.
Sementara suara kepakan sayap burung ma-
kin bertambah jelas. Kemudian di tengah suara
bergemuruh yang terdengar mendadak terdengar
pula suara teriakan yang seakan datang dari lan-
git, "Empu Barada Sukma, aku Pasadewa datang bersama Rajawali siluman. Kuharap
kau mendengar apa yang aku minta." Si kakek dongakkan kepala ke atas. Dia
melihat sosok pemuda duduk di
atas punggung rajawali putih.
"Jahanam!" sang Empu menggeram. Dia lalu
berseru ditujukan pada mahluk Tangan Roh. "Cepat kumpulkan orang-orang kita,
kemudian tung- gu di lorong rahasia." Perintah si kakek.
"Baiklah. Perintah segera kulakukan!" jawab mahluk Tangan Roh di gelapnya
lembah. Sementara di atas sana rajawali siluman ber-
putar-putar. Makin lama terbangnya makin ren-
dah. Setiap kepakan sayap sang burung membuat
pepohonan di sekitarnya bertumbangan. Si kakek
tentu saja tercengang menyaksikan kejadian itu.
Selagi Empu Barada Sukma dibuat terkesima.
Pada waktu itu terdengar suara Pasadewa.
"Empu Barada Sukma. Dari sini aku meli-
hatmu. Kau berdiri di depan mulut gua itu. Men-
gapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" hardik Pasadewa kesal.
"Ha ha ha. Bocah tolol, berteriak seperti orang gila. Sebenarnya kau punya
urusan apa datang
kemari?" "Empu Barada Sukma kau jangan berlagak
pikun. Bukankah Sengkala Angin Darah ada pa-
damu?" sahut si pemuda yang masih terus berputar-putar di atas lembah.
"Sejak menetap di lembah ini belum pernah
aku gentayangan di luar sana. Bagaimana mung-
kin aku dapatkan benda itu?"
"Kau tak usah mungkir. Seseorang telah
memberi tahu aku. Benda itu memang berada di
tanganmu!"
"Yang kau katakan itu adalah sebuah fitnah
keji. Menurut yang aku dengar justru benda itu
telah didapatkan oleh seorang tokoh sakti berna-
ma Gentong Ketawa. Jika kau menghendakinya
mengapa tidak segera mencari kakek itu?"
Di atas burung tunggangannya Pasadewa
sempat dibuat tertegun. Dia menjadi bimbang.
"Gentong Ketawa" Siapa yang dimaksudkannya
itu?" Melihat Pasadewa ragu-ragu si kakek kembali menegaskan. "Kalau kau tak
percaya dan masih saja curiga, kau turunlah kemari. Periksa guaku
ini!" Pasadewa kembali terdiam. Tampaknya dia mulai termakan ucapan si kakek.
Terbukti dia la-lu berkata.
"Baiklah... aku akan mencari orang yang kau maksudkan. Tapi bagaimana jika nanti
kau ternyata membohongiku?"
"Aku sudah mengatakan, silahkan turun dan
periksa tempat tinggalku ini. Aku sudah tua. Aku rela mempertaruhkan nyawa demi
sebuah kejuju-ran, tunggu apa lagi. Turunlah..!" tantang si kakek. Melihat sikap
si kakek yang makin bersung-
guh-sungguh Pasadewa jadi bertambah bimbang.
Dia akhirnya berkata. "Baiklah, sekali lagi aku mempercayaimu. Tapi ingat aku
akan kembali jika yang kau katakan ini ternyata hanyalah sebuah dusta!"
Empu Barada Sukma anggukkan kepala.
Pasadewa sendiri kemudian bersama binatang
tunggangannya segera pergi meninggalkan lem-
bah itu. Seperginya Pasadewa si kakek tidak lagi dapat
menahan tawanya. "Manusia bodoh. Mengaku
cerdik tapi tolol. Ha ha ha."
10 Setelah melakukan pengejaran sekian lama,
Saba Geni merasa sekujur tubuhnya letih bukan
main. Dia kemudian berhenti lalu menghirup
udara segar sepuas-puasnya.
Orang tua ini kemudian menyandarkan tu-
buhnya pada sebatang pohon. Sementara kedua
matanya memandang lurus ke depan.
"Agaknya untuk mendapatkan benda itu tidak
akan mudah. Kalau bukan karena kedua perem-
puan itu tentu urusanku tidak jadi begini. Kini
aku tidak tahu kemana harus mencari orang ber-
pakaian putih yang telah melarikan Sengkala An-
gin Darah."
Kakek berpakaian kembang-kembang ini ter-
cenung. Angannya melayang jauh entah kemana.
Lamunan si kakek buyar seketika begitu dia
mendengar ada suara gemeretak tak jauh di bela-
kangnya. Seketika itu juga Saba Geni palingkan kepala
dan memandang lurus ke belakang.
Kakek ini kaget ketika melihat kehadiran ka-
kek tua berambut panjang awut-awutan. Orang
tua yang baru datang berpakaian serba hitam.
Bagian kepalanya agak botak, wajah angker ber-
mata tajam. Saba Geni sama sekali tidak mengenali siapa
adanya kakek yang satu ini. Tapi melihat cara
orang menatapnya dia punya firasat siapapun
adanya kakek jelek di depannya pasti membawa
maksud dan tujuan buruk.
Saba Geni merasa tidak ada perlunya me-
layani orang tua itu. Tanpa bicara apa-apa dia
memutar tubuh lalu melangkah pergi. Baru saja
beberapa tindak dia melangkah tiba-tiba kakek
angker berambut panjang riap-riapan lakukan sa-
tu gerakan dan di lain saat telah berdiri tegak di depan Saba Geni.
Melihat tingkah orang, Saba Geni yang sedang
kalut ini menjadi marah. Dua matanya mendelik
sedangkan mulutnya membentak. "Siapapun
adanya dirimu aku tidak perduli. Kuharap kau
segera menyingkir dari hadapanku!"
Bukannya patuhi perintah. Sebaliknya kakek
berambut panjang itu malah bertolak pinggang.
Dia kemudian dongakkan kepala sambil tertawa
tergelak-gelak.
"Tua bangka tuli, apakah kau tidak menden-
gar ucapanku?" hardik Saba Geni jengkel.
Kakek di depannya tiba-tiba hentikan tawa.
Dia melangkah maju satu tindak. Setelah itu dia
balas membentak.
"Tua bangka keparat, mestinya aku membu-
nuhmu saat ini juga. Tapi tidak mengapa, mulut
lancangmu yang telah berani memakiku dapat
kumaafkan asal kau mau menjawab pertanyaan-
ku!" ujar kakek berpakaian hitam dengan seringai bermain di mulut.
"Kau siapa hah...?"
"Bagus kalau kau ingin tahu siapa aku. Ha ha ha." Kata orang tua itu sambil
tertawa mengekeh.
Setelah tawanya lenyap kakek berbaju hitam ber-
kata. "Kau dengar baik-baik. Namaku Dukun Kertasona biasa dipanggil Mbah Dukun.
Aku lebih dikenal dengan julukan Setan Santet Delapan
Penjuru, apakah sudah jelas?"
"Setan Santet Delapan Penjuru?" desis Saba Geni. "Siapa yang tidak mengenal
manusia bejat satu ini" Dengan ilmu setannya dia membuat
bencana. Banyak gadis-gadis cantik menjadi kor-
ban kebejatan nafsunya. Dia bukan manusia
sembarangan. Kabarnya dia juga memiliki jin pia-
raan." Setelah tahu siapa gerangan kakek itu Saba
Geni diam-diam mulai berlaku waspada.
"Kulihat wajahmu berubah pucat. Kurasakan
jantungmu berdetak keras. Apakah ini sebuah
pertanda bahwa kau mengenali diriku" Ha ha ha."
Suara Mbah Dukun memecah keheningan. Saba
Geni tersentak kaget, tapi dia tersenyum.
"Dukun Kertasona, hhm... kenal rasanya ti-
dak. Justru yang kudengar selama ini hanya ke-
bejatanmu. Sekarang kau kulihat gentayangan
tak karuan kejuntrungannya. Apa sebenarnya
yang kau cari?"
Mendengar pertanyaan orang sebenarnya pa-
nas juga hati Mbah Dukun Kertasona. Tapi kakek
ini berusaha memendam perasaan, malah dia
kemudian tertawa.
Begitu tawanya lenyap dia segera berkata.
"Aku sendiri rasanya tidak perlu mengenal siapa dirimu. Yang ingin kutanyakan
siapa orangnya
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang telah melarikan Sengkala Angin Darah keti-
ka kau terlibat perkelahian dengan dua gadis
itu?" Rasa kaget di hati Saba Geni tidak terkira.
Dia menyangka kakek itu melihat kejadian yang
berlangsung di tengah hutan Pacitan. Kemudian
secara diam-diam dia mengikuti kemana Saba
Geni pergi. Karena itu tanpa ragu dia berkata.
"Jika kau melihat kejadian itu, mengapa kau tidak segera mengejar orang yang
telah melarikan
Sengkala Angin Darah?"
Mbah Dukun Kertasona tersenyum mengejek.
"Aku tidak melihatnya secara langsung. Apa
yang kulihat semuanya melalui tali sambung ra-
sa. Beberapa pembantuku telah kusebar, mereka
telah meneliti. Dan selain Ki Edan Samberata,
kau adalah dua orang yang dapat kutanyai." Jelas si kakek.
"Ha ha ha. Kalau aku tahu siapa bangsat
yang telah melarikan benda itu apakah kau men-
gira aku bersedia memberitahukannya padamu"
Dan sayang kebetulan aku tidak sempat menge-
nali siapa adanya orang berpakaian serba putih
itu." jawab Saba Geni ketus.
Sayangnya orang seperti Mbah Dultun Kerta-
sona tidak mudah dibuat percaya begitu saja.
"Mulut pandai berdusta, Saba Geni. Siapa
mau percaya dengan bualanmu" Bagaimanapun
kau harus mengatakan padaku siapa yang telah
membawa Sengkala Angin Darah!"
"Manusia keparat keras kepala! Kau pergilah ke neraka. Tanyakan pada penjaga di
sana siapa yang melarikan benda itu!" kata Saba Geni kehilangan kesabarannya.
Mbah Dukun Kertasona sunggingkan seringai
dingin. Dengan tenang dia kembali berucap.
"Apakah ini berarti merupakan suatu permintaan bahwa salah satu diantara kita
harus ada yang mati" Ha ha ha!"
"Mungkin begitu. Kau yang mati sedangkan
aku harus tetap hidup demi mendapatkan Seng-
kala Angin Darah!" sahut Saba Geni.
"Bagus. Ha ha ha. Aku yang mati dan kau
terpaksa kujadikan roh gentayangan." Dengus Mbah Dukun Kertasona sengit.
Saba Geni tidak lagi menanggapi. Kemudian
kakinya bergerak cepat. Tak terduga kakinya di-
hantamkan ke pasir.
Buum! Hentakan itu menimbulkan suara ledakan ke-
ras berdentum. Hamparan pasir muncrat di uda-
ra, lalu menderu menghantam ke bagian wajah
dan sekujur tubuh lawannya.
Serangan ini tentu bukan serangan biasa, ka-
rena bila sampai mengenai mata, pasir yang telah berubah panas membara itu bisa
membuat mata hancur menjadi buta. Andai sempat mengenai tu-
buh akan dipenuhi lubang seperti ditembusi ja-
rum. Mbah Dukun menggeram. "Manusia licik pen-
gecut!" Si kakek lalu dorongkan kedua tangannya ke
depan untuk menangkis serangan itu sementara
dia sendiri melompat ke samping.
Seketika terdengar suara gemuruh dari tan-
gan Mbah Dukun Kertasona. Angin seganas badai
gurun melesat menyambut ribuan pasir yang me-
nyerang ke arah dirinya.
Bess! Preesh! Pasir-pasir itu berhamburan, mental ke sege-
nap penjuru arah begitu terhantam pukulan si
kakek. Malah sebagian diantaranya berbalik
menghantam Saba Geni.
Tapi kakek berpakaian kembang-kembang itu
telah lenyap. Ternyata dia melompat ke udara. Di udara orang tua ini lakukan
gerakan berjumpalitan sedemikian rupa. Setelah posisinya berada di atas kepala
Mbah Dukun Kertasona, tiba-tiba dia
meluncur deras ke bawah. Lalu dua tangannya
dihantamkan ke bagian kepala lawan
Mbah Dukun yang baru lolos dari serangan
pertama segera merasakan adanya hawa dingin
menyambar ubun-ubunnya. Dia segera miringkan
kepala lakukan gerakan menghindar. Tapi sayang
gerakan yang dia lakukan masih kalah cepat den-
gan gerakan lawan.
Tanpa ampun lagi pukulan Saba Geni meng-
hantam di bagian kepalanya.
Deees! Blees! Hantaman cepat yang dilakukan lawan men-
gandung tenaga dalam penuh. Sehebat-hebatnya
Mbah Dukun Kertasona bertahan tak urung dia
amblas ke tanah sedalam dada. Si kakek merasa
kepalanya laksana mau meledak. Pandangan ma-
tanya jadi berkunang-kunang. Dia mengerang
sambil memaki. Sementara tangannya terus
menggapai. Rupanya dia berusaha keluar dari da-
lam tanah. Tapi usaha yang dilakukannya tak
semudah yang dia bayangkan.
Sementara itu di lain pihak Saba Geni telah
jejakkan kakinya tak jauh dari lawan. Ketika ka-
kek itu memutar badan dan memandang ke arah
lawan, Saba Geni benar-benar terkejut. Dia me-
nyadari ketika menghantam kepala lawan tadi dia
merasa tangannya seperti membentur bola besi.
Tangan itu terasa sakit bukan main, celakanya
kini tampak bengkak menggembung.
Si kakek memaki dalam hati, namun biarpun
begitu kini tanpa menghiraukan sakit pada ba-
gian tangan. Apalagi ketika melihat lawan masih
belum dapat membebaskan diri dari pendaman.
Saba Geni tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Selagi Mbah Dukun Kertasona berjuang keras
bebaskan diri, Saba Geni melepaskan satu ten-
dangan ke arah lawan.
Wuuut! Wuuus! Serangkum angin dingin berkiblat dari kaki si
kakek. Sinar putih menyilaukan menghampar di
udara membuat mata tak dapat melihat apa-apa.
Mbah Dukun merutuk habis-habisan mendapat
serangan beruntun seperti itu. Dia batalkan niat untuk bebaskan diri dari
pendaman tanah yang
menghimpitnya. Selanjutnya Mbah Dukun gerak-
kan dua tangannya yang bebas. Tangan itu ke-
mudian didorong dengan kecepatan luar biasa
sambuti tendangan lawan.
Dari telapak tangan orang tua itu mencuat si-
nar biru terang mengandung hawa panas luar bi-
asa. Dua kekuatan bertenaga dalam tinggi ben-
trok di udara. Kawasan di pinggir sungai lagi-lagi dilanda
goncangan hebat begitu terjadi ledakan berden-
tum. Bentrokan kaki dengan dua tangan lawan
membuat Saba Geni terlempar ke udara. Orang
tua itu menjerit, namun begitu jatuh terjengkang dia segera bangkit kembali dan
siap lakukan serangan.
Sementara akibat bentrokan tadi kini Mbah
Dukun makin menderita saja. Tubuh si kakek ki-
ni yang terlihat hanya bagian leher sampai kepa-
la. Walau begitu Mbah Dukun Kertasona tidak
merasa putus asa. Sekuat tenaga dia berusaha
membebaskan diri dari dalam tanah yang hampir
menguburnya hidup-hidup.
Melihat ini Saba Geni tertawa tergelak-gelak.
Dengan sinis dia kemudian berkata. "Mbah Dukun nampaknya kau akan segera mati.
Aku cu- kup menghantammu dengan satu pukulan mema-
tikan maka tamatlah riwayatmu. Ha ha ha!"
Mbah Dukun tidak menjawab. Sebaliknya dia
malah ikut tertawa. Tak lama setelah itu bahkan
kedua matanya terpejam seolah dirinya telah siap menerima datangnya kematian.
Padahal sesungguhnya di dalam hati Mbah Dukun diam-diam
tengah merapal mantra dari ilmu hitamnya.
Sementara melihat sikap lawan, Saba Geni
sendiri sebenarnya siap menyerang kembali. Kali
ini si kakek tak mau bersikap ayal. Si kakek sa-
lurkan tenaga dalam bagian tangan hingga kedua
tangan itu dalam waktu sekejap telah berubah
merah hingga sebatas siku.
Rupanya Saba Geni telah siap melepaskan
pukulan andalannya yang bersumber dari ajian
Gelombang Geni. Sekedar diketahui siapapun
yang terkena ajian pukulan si kakek tubuhnya
pasti meleleh seperti timah dipanaskan.
Mbah Dukun Kertasona sendiri tentu tidak
melihat perubahan tangan lawan karena waktu
itu kedua matanya dalam keadaan terpejam. Se-
mentara mulutnya berkemak-kemik membaca
mantra. Satu-satunya yang dirasakan oleh Mbah
Dukun udara di sekitarnya berubah menjadi pa-
nas seakan dirinya berada dalam tungku bara
menyala. "Tua bangka, ajal dan kematianmu telah
sampai saat ini. Bersiap-siaplah berangkat ke akherat!" Saba Geni berteriak
melengking. Bersamaan dengan itu dia melesat ke depan. Dua tan-
gan dihantamkan ke bagian kepala lawan.
Sinar merah berkiblat. Api menyambar dan
saat itu juga Mbah Dukun Kertasona tenggelam
dalam kobaran api.
Tetapi pada waktu bersamaan terdengar pula
suara raung menggelegar. Asap putih mencuat di
sela-sela kobaran api yang membakar. Bersamaan
dengan Itu terdengar suara ledakan tiga kali berturut-turut. Satu sosok melesat
di udara. Melesatnya sosok itu diikuti dengan muncul-
nya satu sosok lainnya. Sosok tersebut dalam
ujud mahluk raksasa berwajah angker, beralis
tebal dan bermata merah bagai menyala.
Begitu muncul sosok itu menyeringai mem-
perlihatkan gigi-giginya yang runcing mengerikan.
Belum lagi hilang rasa kaget di hati Saba Geni,
sosok mahluk raksasa yang sekujur tubuhnya di-
tumbuhi bulu-bulu halus lebat meniup ke arah
kobaran api. Puuuh! Angin dahsyat menderu dari mulut sosok rak-
sasa. Seketika api yang membakar langsung pa-
dam. Lubang dimana Mbah Dukun terpendam te-
lah kosong bahkan telah hancur porak poranda.
Saba Geni tercengang.
"Aku di sini Saba Geni. Ha ha ha."
Saba Geni memandang ke arah datangnya
suara. Si kakek jadi tercekat begitu melihat Mbah Dukun telah berdiri tegak di
sebelahnya. Kakek
itu tersenyum, sementara sedikitpun tubuhnya
tidak terluka. "Saba Geni! Tenaga dalammu boleh tinggi, il-mu kesaktianmu boleh hebat. Tapi kau
tak bakal lolos dari tangan Jin Sesat mahluk gaib piaraan-
ku. Ha ha ha."
"Aku akan membunuh mahluk terkutuk itu!"
teriak Saba Geni. Dengan cepat dia mengambil
senjatanya berupa tombak bermata tiga. Melihat
lawan menghunus senjata lawan kembali tertawa
mengekeh. "Kau boleh juga menggunakan seribu tombak,
Saba Geni! Ha ha ha!" si kakek kemudian berteriak ditujukan pada Jin Sesat.
"Bunuh dan habisi manusia bersenjata tombak itu!"
Jin Sesat keluarkan suara raungan. Sosoknya
yang besar melesat ke depan. Dua tangan berge-
rak, sepuluh jari berkuku tajam menyambar ke
batang leher Saba Geni. Si kakek tidak tinggal di-am. Dia melompat ke atas
kemudian tusukkan
tombaknya ke dada lawan.
Sinar putih berkiblat menyilaukan mata. Jin
Sesat segera lindungi dada dan matanya yang
menjadi incaran serangan. Sedangkan tusukan
yang mengarah ke bagian tubuh yang lain sengaja
dibiarkan. Braak! Craak! Hunjaman tombak yang mengarah ke bagian
pinggang tidak ubahnya seperti menghantam
tembok baja. Saba Geni malah terdorong mundur.
Lalu meluncur ke bawah. Belum lagi sosoknya ja-
tuh ke tanah, Mbah Dukun menyambut dengan
satu pukulan. Desss! Hantaman keras melabrak punggung Saba
Geni. Tubuh orang tua itu kembali terpental ke
atas. Si kakek menjerit. Dan selagi si kakek menjerit serta kehilangan
keseimbangan, satu tangan menyambar lehernya.
Creep! Sekejap saja leher Saba Geni telah berada di
dalam jepitan Jin Sesat. Si kakek terkejut. Dia
meronta, sedangkan tombak ditusukkan ke ba-
gian dada mahluk angker yang menjepit lehernya.
Si kakek megap-megap. Tusukannya hanya
menimbulkan suara berdentring.
"Jahanam celaka!" keluh si kakek sambil meronta.
"Bunuh dia sekarang!" seru Mbah Dukun Kertasona.
Secepat Mbah Dukun memerintah secepat itu
pula Jin Sesat gerakkan tangannya yang men-
cengkeram leher lawan. Tak lama kemudian ter-
Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar suara tulang leher patah dan suara jerit
tertahan. Saba Geni berkelojotan. Darah menyembur
dari mulut dan hidungnya. Orang tua itu tewas
seketika dengan lidah terjulur dan mata mende-
lik. Melihat lawan tewas Jin Sesat lepaskan kor-
bannya. Kakek itu jatuh terbanting dan tidak ber-kutik lagi.
Mbah Dukun Kertasona tertawa tergelak-
gelak. Dia kemudian menyilangkan kedua tangan
di depan dada, sedangkan mulutnya kembali ber-
kemak-kemik. Setelah itu terdengar seruannya.
"Jin Sesat, kembali....!"
Mahluk angker itu kemudian melayang ke
arah si kakek. Setelah berada di atas kepala
Mbah Dukun ujudnya memudar, lalu lenyap be-
rubah menjadi asap biru.
Wuus! Asap pun masuk ke dalam mulut, lalu lenyap
tidak meninggalkan bekas. Mbah Dukun Kertaso-
na tertawa panjang. Dia hampiri mayat lawannya.
Setelah merasa yakin lawan benar-benar tewas
dia berucap. "Aku sudah menduga manusia dengan kepandaian seperti dirimu tak
mungkin sang- gup menghadapi Jin Sesat. Seperti yang kukata-
kan kini arwahmu yang bergentayangan penasa-
ran! Ha ha ha!" sambil tertawa panjang Mbah Dukun Kertasona berkelebat
tinggalkan mayat Saba
Geni. Tamat https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
Tamat Rahasia Istana Terlarang 7 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Naga Sasra Dan Sabuk Inten 32