Pencarian

Sengkala Angin Darah 1

Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah Bagian 1


1 Gemuruh angin dan kobaran api menjilat-
jilat melambung tinggi bagai hendak menggapai
langit. Sesekali terdengar suara ledakan berden-
tum. Bebatuan yang dikobari api muncrat di uda-
ra. Suasana di sekeliling lapangan itu berubah terang benderang.
Tidak mengherankan akibat api yang keluar
dari dalam lubang menghitam itu mencuat pepo-
honan yang terdapat di sekitarnya jadi hangus
menghitam. Semburan api dan gemuruh angin yang me-
nebarkan hawa panas itu memang berlangsung
cukup lama. Tetapi kemudian kobaran api men-
jadi surut. Bersamaan dengan itu hembusan an-
gin panas mereda pula. Suasana di sekelilingnya
kemudian berubah menjadi sunyi.
Kesunyian yang terjadi ternyata tidak ber-
langsung lama. Sekejap kemudian di tempat itu
muncul seorang kakek berpakaian kembang-
kembang. Kakek itu berambut panjang, sedang-
kan kedua matanya juling.
Orang tua ini membekal sebuah tombak ber-
mata tiga. Ketika jejakan kaki di tempat itu dia pusatkan perhatiannya ke arah
lubang yang menganga hitam terletak di depan sana.
Setelah memperhatikan lubang yang masih
mengepulkan uap panas, si kakek menelan ludah.
Orang tua berpakaian kembang-kembang ini
dikenal dengan nama Saba Geni. Dia dalam hati
berkata "Sengkala Angin Darah ... Hmmm, ternyata mahluk sakti yang sangat langka
itu jatuh di tempat ini." Sekali lagi matanya yang juling me-nyapu pandang.
Dia melihat pepohonan yang hangus porak
poranda. Saba Geni juga merasakan adanya hawa
panas yang menyengat kepulan asap tebal yang
keluar dari lubang tempat jatuhnya benda terse-
but. "Seperti yang telah kuduga, seperti yang dikatakan sahabatku pula. Sengkala
Angin Darah ak-
hirnya benar-benar munculkan diri. Ini berarti
malapetaka tak mungkin dapat dihindari lagi.
Aku harus mengambil benda itu. Aku tak mung-
kin mau dekati lubang. Benda itu baru saja jatuh dari langit. Jika kupaksakan
diri mau dekati lubang, tubuhku bisa hangus. Dari sini saja aku telah merasakan
kedahsyatannya. Dari sini aku bi-
sa menggunakan tenaga dalam, mengangkat
Sengkala Angin Darah dari jarak yang jauh. Sete-
lah benda yang ujudnya seperti manusia mini itu
kudapatkan selekasnya aku tinggalkan tempat
ini" Setelah berkata begitu si kakek angkat dua tangannya di atas kepala.
Tangan itu disilangkan antara satu dengan
yang lainnya. Setelah itu secara perlahan namun
pasti dia salurkan setengah dari tenaga dalam
yang dia miliki ke arah kedua belah tangannya.
Sekejap saja tangan Saba Geni bergetar keras.
Tak lama kemudian si kakek segera arahkan dua
tangannya yang teraliri tenaga dalam ke arah mu-
lut lubang yang menganga hitam. Dari jarak jauh
si kakek kemudian segera mengangkat benda
yang berada di dalam lubang tersebut. Gambaran
yang didapatnya selama ini hanyalah sekedar ka-
bar yang sempat dia dengar dari dunia persilatan.
Tetapi untuk mengeluarkan Sengkala Angin
Darah dari dalam lubang menganga ternyata bu-
kan pekerjaan mudah. Justru pada gebrakan per-
tama ini saja si kakek sudah merasa ada satu ke-
kuatan luar biasa yang keluar dari lubang itu
mendorongnya. Saba Geni terhuyung tiga tindak
ke belakang. Kakek ini terkejut bukan main, tu-
buhnya keluarkan keringat dingin. Sambil meng-
gerutu dalam hati dia kembali arahkan tangan-
nya. Setelah dua tangan sejajar dengan perut, secara perlahan dia mengangkat
kedua tangan ke
atas. "Ups, celaka! Aku tidak ubahnya mengangkat
benda yang beratnya ratusan kati. Benda itu
memberontak. Dia melakukan perlawanan, na-
mun aku harus mendapatkannya dengan cara
apapun." fikir Saba Geni. Dan orang tua inipun akhirnya memaksakan diri. Justru
apa yang dilakukannya ini membuat tubuhnya makin tergetar
sedangkan kedua kaki amblas ke dalam sampai
tanah ke mata kaki.
Kejut di hati Saba Geni bukan kepalang. Te-
tapi pada sisi lain dia juga merasa penasaran. Karena itu tanpa fikir panjang
lagi dia segera cabut tombak bermata tiga yang tergantung di pung-
gung. Dengan kekuatan penuh senjata dihunjam-
kan ke tanah. Seketika terdengar suara menderu
dan bersuitnya angin menggidikkan begitu tom-
bak melesat ke bawah.
Ketika senjata yang menjadi andalan si kakek
menghunjam ke tanah. Batu-batu sebesar kepala
kerbau berpentalan di udara. Tanah sekawasan
tempat itu bergetar hebat. Sedangkan Sengkala
Angin Darah tampak bergerak naik ke permukaan
dengan posisi kaki menghadap ke atas.
Dengan tubuh serta pakaian bersimbah ke-
ringat si kakek dengan mata berkeriapan meman-
dang ke arah lubang. Mulutnya mengurai senyum
begitu melihat sebagian kaki Sengkala Angin Da-
rah yang besarnya tidak lebih dari boneka itu ter-sembul mencuat di permukaan
lubang. Saba Geni
simpan tombaknya ke tempat semula. Setelah itu
dia kembali salurkan tenaga sakti ke bagian tan-
gan hingga ke dua belah tangan si kakek berwar-
na merah kebiruan hingga sebatas siku.
Dua tangan yang telah berubah merah kebi-
ru-biruan kemudian diangkat ke atas. Setelah itu dengan disertai teriakan
melengking tinggi si kakek melompat di atas ketinggian lalu hantamkan
tangannya ke arah lubang.
Wuuus, wuuus! Buuum! Terdengar suara ledakan menggelegar begitu
pukulan Saba Geni menghantam sisi lubang. Be-
batuan porak poranda. Tanah di sekeliling lubang
berhamburan di udara.
Tak lama setelah gelapnya debu yang menu-
tupi pemandangan lenyap, terlihatlah satu pe-
mandangan aneh namun melegakan hati sekali-
gus mendebarkan.
Di mulut lubang hitam yang hangus porak
poranda Saba Geni melihat satu sosok dalam
ujud manusia. Besarnya sosok manusia dengan
warna kulit kemerah-merahan ini tidak lebih be-
sar dari boneka atau lengan bocah kecil. Sedang-
kan panjang tubuhnya tidak lebih dari dua jeng-
kal. Sosok seperti boneka itu berambut panjang
namun kasar hampir tiga kali dari panjang tu-
buhnya sendiri. Rambut itu berwarna putih, se-
dang sepasang matanya dalam keadaan terpejam.
Wajah angker perpaduan antara manusia dan
monyet dan ditumbuhi bulu-bulu halus.
Sedangkan gigi mencuat, panjang sekaligus
tajam mirip taring dua di atas dan dua di bawah.
Kemudian bagian jemari mahluk aneh ini ditum-
buhi kuku-kuku yang panjang, runcing setengah
melingkar berwarna hitam. Begitu juga halnya
dengan jari kaki sama dengan kuku tangan.
Meskipun sebelumnya Saba Geni sudah per-
nah mendengar tentang ciri-ciri mahluk ini, tak
urung dia sempat tercengang juga.
Saba Geni mengusap matanya. Mahluk aneh
yang dilihatnya masih tetap berada di tempatnya.
Saba Geni terdiam, otaknya berfikir keras
mencari cara terbaik untuk membawa benda sakti
itu. Cukup lama si kakek dalam keadaan seperti
itu. Dia menyadari andai dia mengambil Sengkala
Angin Darah dengan tangan telanjang, meskipun
disertai pengerahan tenaga dalam dapat dipasti-
kan tangannya akan hangus gosong. Bukti nyata
sudah ada di depan mata dengan adanya mayat-
mayat hangus menghitam yang bertebaran di se-
kitar tempat itu.
Satu-satunya cara adalah mengerahkan selu-
ruh tenaga dalam untuk melindungi tubuh dari
serangan ganas yang keluar dengan sendirinya
dari tubuh mahluk itu.
Tapi ada satu hal yang mengkhawatirkan Sa-
ba Geni. Bagaimana andai kesaktian yang dia mi-
liki ternyata kalah kuat dengan pancaran hawa
panas yang bersumber dari Sengkala Angin Da-
rah" Dia dapat memastikan nasibnya bakal tidak
kalah menggenaskan dengan mayat-mayat yang
bertebaran di sekitarnya. Andai itu sampai terjadi Sengkala Angin Darah pasti
bakal jatuh ke tangan fihak ketiga. Dan ini sangat tidak dia ingini.
Selagi Saba Geni memutar otak memikirkan
cara yang terbaik, pada waktu bersamaan terlihat dua bayangan berkelebat. Dua
bayangan berpakaian serba kuning dan sangat menyolok beram-
but panjang. Gerakannya cepat bukan main se-
perti kilat. Melihat kehadiran dua tamu yang tidak diun-
dang ini tentu si kakek tidak tinggal diam. Apalagi salah satu diantaranya
bergerak ke arah Sengkala
Angin Darah. "Pencuri busuk. Aku bersusah payah menge-
luarkan benda itu. Sekarang enak saja kau hen-
dak mengambilnya?" berkata begitu Saba Geni melesat ke depan. Selagi tubuhnya
melesat sedemikian rupa si kakek lepaskan satu tendangan ki-
lat ke arah perut sosok yang berusaha meraih
Sengkala Angin Darah yang tergeletak di atas ta-
nah. "Aih ... Tua bangka edan!" Orang itu keluarkan seruan kaget lalu batalkan
niatnya dan ter-
paksa melompat mundur menjauh dari benda
sakti tersebut. Dengan begitu serangan Saba Geni tidak mengenai sasaran.
Dua sosok serba kuning sama jejakkan kaki
di depan si kakek. Astaga! Ternyata mereka pe-
rempuan semua dan merupakan gadis-gadis yang
masih muda berpakaian transparan, berdandan
menyolok. Beberapa saat lama yang Saba Geni memper-
hatikan perempuan itu. Sebaliknya yang dipan-
dang malah pusatkan perhatiannya ke arah mah-
luk aneh yang tergeletak dalam posisi terjungkir.
"Saudaraku, lihat! Benda yang kita cari itu ternyata benar-benar ada di sini.
Sebaiknya kita ambil sebelum ada orang lain yang mengacaukan
rencana kita!" kata perempuan yang berbadan lebih jangkung.
"Ah, aku gembira sekali, Larti. Ternyata untuk mendapatkannya tidak sulit. Guru
pasti senang bila kita membawa benda itu kepadanya," sahut
satunya lagi siap bergerak ke depan.
Saba Geni tidak tinggal diam. Dia segera
menghalangi. "Jangan lakukan! Tak satupun di antara kalian yang boleh
mengambilnya. Aku
yang telah mengeluarkannya. Benda itu jadi mi-
likku!" sergah si kakek.
Gadis yang bernama Laras dan Larti saling
berpandangan. Lalu dongakkan kepala dan sama
tertawa tergelak-gelak. Puas mereka tertawa pe-
rempuan yang bernama Laras berkata ditujukan
pada temannya. "Hem, kau dengar Larti" Dia ternyata mengaku sebagai pemilik
benda sakti itu."
Yang diajak bicara tersenyum. "Benda itu
sangat diinginkan oleh guru kita. Kalau dia men-
gaku telah mengeluarkannya dari lubang. Kita
wajib berterima kasih padanya karena secara ti-
dak langsung dia telah membantu. Jadi tidaklah
salah jika kita memberikan imbalan pada kakek
ini!" "Eh, apa maksudmu?" tanya Laras.
"Jangan bodoh! Apa salahnya jika kau mene-
mani kakek ini barang satu malam. Sementara
aku yang membawa benda itu untuk kuserahkan
pada guru. Hi... hi... hi."
Laras tertawa lebar. "Aku tidak keberatan, ta-pi apakah laki-laki setua dia
masih sanggup me-
nyenangi diriku" Melihat penampilan dia sudah
tak bisa lagi berbuat apa-apa, apa lagi memberi
ku sorga yang indah. Hi... hi... hi."
"Kalau dia sudah tidak berguna alangkah le-
bih baik jika kita bunuh saja! Sekarang kita ber-
bagi tugas, kau hadapi dia dan aku mengambil
Sengkala Angin Darah!" tegas Larti.
Melihat gelagat yang tidak baik ini, Saba Geni
tidak dapat tinggal diam. Dengan suara melengk-
ing dia berkata. "Berani kalian mengambil benda itu" Jangan salahkan jika aku
terpaksa berlaku
kurang ajar!" Dua perempuan itu saling pandang.
Tanpa menghiraukan ancaman si kakek mereka
sama anggukkan kepala. Kemudian laksana kilat
Larti melewati bagian kepala si kakek.
"Perempuan kurang ajar. Kalian berdua ter-
nyata mencari mati!" berkata begitu si kakek hantamkan tangannya ke atas
mencegah gerakan
Larti yang berniat mengambil benda sakti yang
tergeletak di belakangnya. Melihat temannya
mendapat serangan, Laras pun tidak tinggal di-
am. Dengan gerakan cepat perempuan itu le-
paskan pukulan beruntun ke arah si kakek.
Hawa panas menyambar kaki Saba Geni juga
di bagian dadanya. Kakek bermata juling kelua-


Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rkan suara berdengus, lalu melempar diri ke
samping. Selanjutnya orang tua ini berguling se-
lamatkan diri. Serangan si kakek yang di arahkan ke atas tentu saja luput.
Begitu Larti lolos dari pukulan tangan kosong lawan dia melesat ke bawah
teruskan niatnya menyambar Sengkala Angin
Darah, sedangkan sang teman terus mencecar
kakek itu dengan serangan-serangan mautnya.
"Perempuan tidak tahu diri. Katakan kalian
murid siapa biar kelak mudah bagiku untuk
mengadakan perhitungan!" teriak Saba Geni sam-
bil hindari serangan gencar yang dilancarkan La-
ras. Orang tua ini kemudian balas lakukan satu
serangan balasan dengan melepaskan pukulan
saktinya. Di depan sana Laras malah mengumbar
tawa. Begitu melihat selarik sinar merah melesat dari tangan si kakek dia
melesat ke udara. Di atas ketinggian dia juga melepaskan satu pukulan
yang tidak kalah dahsyatnya.
Dua pukulan bentrok di udara. Satu ledakan
berdentum mengguncang tempat itu. Laras men-
jerit keras, tubuhnya terpental dan jatuh tak jauh dari Sengkala Angin Darah. Di
pihak Saba Geni,
meski tubuhnya sempat terhuyung akibat bentrok
pukulan dengan lawan, tapi begitu melihat lawan
jatuh terkapar segera melesat ke arah Laras. Tan-pa memberi kesempatan pada
perempuan itu dia
hentakkan kakinya ke perut Laras. Dengan sekali
pijak isi perut lawan pasti berburaian. Tetapi gerakan si kakek tiba-tiba
tertahan begitu menden-
gar suara jeritan Larti. Ketika si kakek meman-
dang ke arah datangnya suara dia jadi tercekat.
Di samping sebelah kirinya sana, agak jauh di depan dia melihat Larti yang
berusaha mengambil
benda sakti itu jatuh terkapar. Sekujur tubuhnya mengucurkan darah, sedangkan
kedua tangan yang telah meraih benda sakti yang diperebutkan
tampak melepuh. Larti tampaknya tidak sanggup
bangkit lagi, nafasnya megap-megap sedang dari
mulut dan hidungnya mengucurkan darah. Meli-
hat kenyataan yang tidak terduga ini Laras men-
jerit. "Larti, apa yang telah terjadi denganmu?"
Laras memandang ke arah saudaranya dengan
mata terbelalak, muka pucat dan mulut terngan-
ga. "Cepat... ambil benda itu, Laras.... lekas kau bawa pergi untuk diserahkan
pada guru!" Seru Larti dengan nafas terputus-putus.
Ingat pada tugas yang diberikan oleh gu-
runya, tanpa. pikir panjang lagi. Laras segera melesat ke arah dimana Sengkala
Angin Darah terge-
letak. Dalam keadaan seperti itu agaknya Laras
sudah tidak lagi memikirkan resiko yang dia ha-
dapi. Di depannya Saba Geni anehnya kini tidak
berusaha mencegah atau menghalang-halangi
niat perempuan itu. Dia hanya diam tegak sambil
mengawasi. Ketika Laras berhasil dekati benda itu dengan
cepat dia mengambilnya. Tapi di luar dugaan La-
ras, dari sekujur tubuh mahluk aneh yang telah
berubah seperti mayat yang diawetkan ini mende-
ru segulung hawa panas luar biasa. Hawa panas
menghantam dadanya. Dada perempuan itu ber-
lubang besar, hangus menghitam mengerikan.
Sebagaimana saudaranya, Laras juga jatuh terka-
par. Dia menemui ajal seketika dengan mata
membeliak keluar. Sedangkan Sengkala Angin
Darah yang telah banyak memakan korban jatuh
terpental tergeletak tak jauh dari mayat kedua perempuan itu. Saba Geni
tercengang melihat keja-
dian yang berlangsung cepat dengan akibat san-
gat mengerikan itu. Tapi dia segera menyadari
apa yang harus dilakukan. Ketika melihat Seng-
kala Angin Darah terguling-guling di atas tanah.
Dengan gerakan seperti kilat si kakek segera berkelebat dan menyambar benda itu.
Tetapi belum lagi tangan si kakek yang teraliri tenaga dalam
penuh berhasil meraih benda tersebut. Dari arah
belakangnya terlihat ada satu bayangan berkele-
bat menyambar ke arah benda di depan si kakek.
"Benda sehebat ini hanya pantas berada di
tanganku!" Satu suara bergema di udara. Seketika Saba Geni palingkan kepala ke
belakang. Dia hanya sempat melihat satu tangan berkelebat
menghantam bagian kepalanya, sedangkan tan-
gan satunya lagi berkelebat menyambar Sengkala
Angin Darah yang tergeletak di depan Saba Geni.
Secepat kilat Saba Geni berusaha hindari seran-
gan, sayangnya gerakan yang dilakukannya kalah
cepat dari serangan lawan. Kakek berpakaian
kembang-kembang inipun akhirnya menjerit begi-
tu merasakan kepalanya mau meledak terkena
pukulan lawan. Seketika Saba Geni merasakan pandangan
matanya berubah menjadi gelap. Dia jatuh ter-
sungkur di tanah. Dia mengerang lirih. Dan keti-
ka kakek mata juling bangkit berdiri dia tidak lagi melihat bayangan putih yang
menyerangnya berada di sekitar situ. Kejut si kakek makin menja-di-jadi ketika
dapati kenyataan Sengkala Angin
Darah juga ternyata ikut raib bersama hilangnya
bayangan tadi. Marah dan kecewa Saba Geni tidak terkira.
Dia segera melayangkan pandangan matanya ke
segenap penjuru. Si kakek menggeram setelah
benar-benar mengetahui tak ada lagi orang di
tempat itu. "Keparat! Aku telah bersusah payah mengelu-
arkan benda itu dari lubang. Tak disangka akhir-
nya aku harus gigit jari. Kunyuk berpakaian putih tadi siapa dia yang
sebenarnya. Gerakannya sangat cepat seperti setan. Sangat jarang aku berte-mu
dengan orang yang memiliki kecepatan gerak
seperti dia. Sayang sekali, tadi aku tidak melihat bagaimana raut wajahnya.
Siapa pun dia aku tidak perduli. Benda itu harus kudapatkan. Aku
tak perduli apapun yang akan terjadi. Bagiku
yang terpenting Sengkala Angin Darah harus
menjadi milikku!" dengus si kakek dengan tinju terkepal. Bagaimana pun si kakek
jelas tidak bisa menutupi rasa kecewanya. Benda Sakti itu sudah
ada di depan mata. Jika kini berpindah tangan
dia menganggap hal ini sangat keterlaluan sekali.
Saba Geni sejenak terdiam sambil menarik
napas. Kemudian orang tua ini segera bangkit
berdiri. Belum lagi si kakek sempat beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba terdengar
suara tawa mero-bek kesunyian. Selagi suara tawa masih mengu-
mandang di udara terdengar pula ada orang ber-
kata. "Orang tua. Apa yang kau lakukan di sini"
Kau bingung memikirkan perempuan montok
yang telah menjadi bangkai itu atau memikirkan
apa" Atau mungkin kau sedang berfikir bagaima-
na cara membunuh diri yang paling enak agar
kau bisa menyusul mereka. Ha ha ha!"
2 Walau yang sesungguhnya Saba Geni merasa
kaget mendengar suara orang. Si kakek kiranya
tidak bisa menerima ejekan orang apalagi dirinya saat itu sedang dilanda
kemarahan. Saba Geni
menjadi berang. Orang tua ini segera balikkan
badan. Dia kemudian memandang ke arah da-
tangnya suara. Si kakek melengak kaget begitu
matanya membentur satu sosok laki-laki tua be-
rumur sekitar lima puluh tahun, berambut dan
berjanggut putih. Sosok itu berpakaian aneh ber-
bentuk daster seperti pakaian yang biasa di kenakan perempuan hamil. Sosok
berpakaian serba
biru ini berdiri menyender di sebatang pohon
hangus di sebelah kiri lapangan.
Orang tua itu bersikap acuh tak acuh, mulut-
nya selalu mengumbar tawa dan senyum. Ketika
melihat Saba Geni menatap ke arahnya dengan
mata mendelik tak urung laki-laki itu menyeletuk.
"Orang tua yang sedang dilanda amarah dan bingung. Kau memandangku seperti
melihat setan. Aku berada di sini mengapa matamu jelalatan ke
arah lain" Aku yakin ada yang tidak beres terjadi pada matamu. Mungkin juga kau
selalu mempergunakan kedua matamu untuk mengintip perem-
puan mandi. Kau jadi kualat, lalu matamu dibalik oleh setan. Hik hik hik. Mata
jelek begitu mengapa kau pelihara, mengapa tidak kau ganti saja
dengan telur dadar mata sapi"! Ha ha ha!"
Saba Geni menggeram, mulut terkatup rapat.
Dua pipinya menggembung besar sedangkan peli-
pisnya bergerak-gerak. "Keparat gila berdaster bi-ru. Memangnya kau monyet edan
dari mana. Be- rani kau menghina orang apakah tidak takut ma-
ti?" hardik Saba Geni dengan suara keras meng-geledek. Orang yang bersandar di
pohon hangus bukannya kaget, sebaliknya malah tertawa terge-
lak-gelak. Puas dia tertawa, si kakek gerakkan
tubuhnya. Pada kesempatan lain pinggulnya me-
lenggang lenggok, kaki bergerak lincah sedangkan kepala digolak-golek seperti
orang menari. Sambil menari si kakek tertawa mengekeh. Meskipun si
daster biru menari tanpa irama gendang namun
dia kelihatan begitu menghayati tariannya terse-
but. Lalu sambil melenggang lenggok dia berkata.
"Ah... olala. Dari pada marah, lebih baik menari denganku sampai tua. Goyang
pinggulmu ikut irama gerakanku. Anggap saja kau mendengar
suara gendang di pukul bertalu-talu. Hayo gerak-
kan kaki tanganmu, jangan malu-malu. Jangan
kau fikirkan benda sakti itu, menari saja biar
asyik..." kata si kakek sambil meliuk-liukkan tubuhnya.
Saba Geni surut mundur satu langkah ke be-
lakang. Sepasang matanya yang juling terus
memperhatikan orang di depannya. Si kakek me-
mutar otak, berfikir keras siapa adanya manusia
satu ini. "Kakek geblek berpakaian seperti orang bunting ini, aku pernah
mendengar tentang dirinya. Tapi mana saudaranya yang lain" Aku tahu
dia bukan manusia sembarangan. Dulu dia per-
nah membuat kegegeran di beberapa wilayah di
pulau Jawa ini. Aku harus berhati-hati. Dia ma-
nusia aneh yang sulit ditebak kemauannya. Kalau
terpaksa aku harus membunuhnya." geram si kakek dalam hati.
Selagi Saba Geni berfikir begitu secara tak
terduga kakek berdaster biru hentikan tariannya.
Dengan sikap seperti orang tolol dia ajukan per-
tanyaan. "Kakek mata juling, mengapa kau tidak ikut menari!" Si daster biru
kemudian pandangi wajah Saba Geni. Tiba-tiba dia tepuk keningnya
sambil berkata. "Oh... ternyata fikiranmu sedang keruh. Kasihan...! Mengapa kau
yang sudah tua mau dibuat pusing dengan segala urusan yang
berbahaya?" Si kakek kemudian tertawa lebar.
Tingkah laku si daster biru membuat Saba
Geni menjadi muak. Si kakek makin tambah
jengkel. Dengan suara parau Saba Geni berkata.
"Kalau tidak salah mata ini melihat bukankah saat ini aku tengah berhadapan
dengan salah sa-tu dari tiga manusia kembar?"
Si daster biru bukan menjawab pertanyaan
Saba Geni, sebaliknya kembali tertawa mengekeh.
Setelah tawanya lenyap si kakek usap-usap pe-
rutnya yang terbungkus daster longgar.
"Perut buncit seperti ini bukan berarti aku perempuan yang lagi bunting. Biar
matamu juling memandang tak karuan arah ternyata kau men-
genali orang. Ha ha ha. Kau tidak salah melihat.
Aku memang satu dari tiga manusia kembar. Aku
adalah Ki Edan Samberata. Dan kau sendiri sia-
pa?" "Cuma manusia edan, pantas tingkahnya seperti orang tidak waras." batin si
kakek dalam ha-ti. Biarpun begitu tetap jawab pertanyaan orang.
"Aku Saba Geni."
"Saba Geni...?" desis Ki Edan Samberata. Ma-ta kakek itu berkeriapan, kening
berkerut, agak-
nya dia sedang berusaha mengingat-ingat. Ki
Edan Samberata kemudian gelengkan kepala.
"Rasanya aku tidak mengenalmu! Aneh... ba-
gaimana kau bisa mengenal diriku?" Saba Geni sunggingkan seringai dingin. "Tiga
manusia Kembar dikenal dengan segala perbuatannya yang gi-
la-gilaan. Malah kudengar salah seorang diantara kalian sangat ahli dalam hal
ilmu sulapan."
Ki Edan Samberata tampak tersipu seperti
seorang gadis cantik yang malu-malu. "Ah, kau terlalu berlebihan. Yang punya
ilmu sulapan adalah saudaraku Ki Comot Jalulata. Sedangkan aku
dan saudara satunya lagi cuma punya kebisaan
membetot dan menyambar. Tak usah kujelaskan
kau pasti tahu apa yang aku maksudkan. Ha ha
ha!" "Manusia edan ada kepentingan apa kau datang kemari"' tanya Saba Geni ingin
tahu. Si Ka- kek lagi-lagi tertawa mengekeh. "Kau seperti kura-kura dalam perahu. Sudah tahu
pura-pura tak mengerti maksud kedatanganku. Tujuanku da-
tang kemari kurasa sama saja dengan tujuanmu.
Bukankah kau sendiri sedang berusaha untuk
mendapatkan benda itu?" Sadarlah Saba Geni, ternyata orang-orang dunia
persilatan sudah banyak yang tahu tentang kemunculan benda itu.
Sesaat si kakek terdiam. Diamnya tidak begi-
tu lama. Kemudian dengan berterus terang dia
berkata. "Memang aku sedang mencari Sengkala Angin Darah. Aku bahkan hampir
mendapatkannya. Sayang kemudian muncul dua perempuan
tolol itu." kata Saba Geni sambil menunjuk ke arah dua mayat perempuan cantik
yang telah tewas menjadi korban keganasan Sengkala Angin
Darah. Celakanya lagi begitu aku berusaha me-
raih benda sakti itu tiba-tiba muncul seseorang
yang tidak kukenal berpakaian serba putih. Di-
alah orangnya yang melarikan benda itu. Tapi dia tak bakal lari terus menerus
dariku. Cepat atau
lambat aku pasti akan menangkapnya."
"Ha ha ha. Bagaimana mungkin kau bisa


Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari atau menangkap orang itu sedang wa-
jahnya sama sekali tidak kau kenali." Ki Edan Samberata sunggingkan seringai
sinis. "Diam! Kau tidak berhak mencampuri uru-
sanku. Aku muak melihat tingkahmu. Mulai saat
ini kuharap kau tidak lagi bertemu denganku!" Ki Edan Samberata lagi-lagi
tertawa. "Kau tak mau bertemu denganku" Mengapa" Padahal aku bisa
mengajarimu menari?"
"Perduli setan dengan tarian gilamu itu!"
damprat Saba Geni berang.
"Ah, ternyata kau gampang sekali naik darah, mata juling. Kau mengatakan tidak
mau lagi ber- temu dengan diriku, ada apa rupanya"'
"Ha ha ha. Kau tidak mengerti rupanya" Ka-
rena jika kita bertemu lagi untuk urusan yang
sama aku pasti akan membunuhmu!"
"Ha ha ha. Apakah ini merupakan suatu an-
caman?" "Terserah kau mau menganggap apa. Sengka-
la Angin Darah yang kemunculannya sudah ku-
tunggu-tunggu sejak dulu. Tak akan kubiarkan
benda itu jatuh ke tangan siapa pun!" Habis berkata begitu tanpa menoleh lagi
kakek mata juling balikkan badan dan tinggalkan tempat itu. Saba
Geni sama sekali tidak tahu kalau pada waktu di-
rinya membalikkan badan Ki Edan Samberata
mencomot sesuatu dari balik kantong bajunya.
Tak lama setelah Saba Geni pergi. Ki Edan
Samberata buka jemari tangannya yang dikepal.
Mata si kakek terbelalak begitu melihat benda hitam berbentuk bulat di
tangannya. Si kakek men-
gendus benda tersebut. Dia langsung bersin dan
terbatuk-batuk. Wajahnya merah seketika se-
dangkan darah laksana menggelegak dijalari pe-
rasaan aneh. Setelah menenangkan debaran jan-
tung serta perasaan aneh yang merayapi pera-
saannya. Si kakek berfikir.
Benda itu dia amati. Dan seketika dia tertawa
tergelak-gelak. "Ha.. ha... ha... Kakek bau tanah mata juling tadi. Bagaimana
mungkin sudah mau
mampus masih menyimpan pil pengungkit gai-
rah" Gairah siapa yang hendak dia bangkitkan"
Orang tua tak tahu diri, bukan mustahil nenek
moyang pun disikatnya juga. Ha.. ha.. ha"
Sambil tertawa si kakek segera hampiri kedua
mayat perempuan itu. Dia melihat bagaimana da-
da Laras yang bolong. Dia juga melihat betapa
kedua tangan Larti melepuh hitam. "Mereka menemui ajal akibat serangan benda
yang sama. Ta- pi menemui ajal dengan luka yang berbeda. Aku
merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Benda
itu menyimpan kekuatan dengan daya bunuh
yang berbeda. Apakah mungkin?" desis Ki Edan Samberata sambil gelengkan kepala.
"Aku harus menyelidik. Aku takut seseorang
telah mengatur rencana untuk menjalankan se-
buah tipu muslihat. Apapun rencana itu pasti
bakal menimbulkan kekacauan di rimba persila-
tan. Andai dugaanku tidak meleset, dunia persilatan pasti berada di ambang
bencana perang be-
sar. Aku harus menghubungi dua kembaranku Ki
Comot Jalulata dan Ki Betot. Setelah itu baru ku-hubungi kaum segolongan agar
mereka tidak ter-
libat dalam urusan Sengkala Angin Darah."
Setelah memutuskan begitu dia goyang-
goyangkan pinggulnya. Tak lama kemudian dia
tinggalkan tempat itu.
3 Kakek berpakaian hitam tak terkancing ber-
tubuh gendut besar luar biasa nampak tercen-
gang mendengar penuturan muridnya. Sama se-
kali dia tak pernah menyangka sang murid ber-
temu dengan Manusia Seribu Tahun. Kenyataan
ini memang sulit untuk dipercaya, sebab selama
ini keberadaan Manusia Seribu Tahun tidak
ubahnya seperti sebuah legenda. Bahkan banyak
yang meyakini kakek yang satu itu kehidupannya
setara dengan para dewa-dewa. Lebih menghe-
rankan lagi Gento mengakui Manusia Seribu
Tahun menurunkan beberapa ilmu sakti yang
sulit dicari tandingan yang di dunia ini.
"Ilmu Menitis Bayangan Raga dan ilmu Mem-
belah Jasad bukan ilmu biasa. Bagi Gento kua-
nggap ilmu yang diwariskan oleh manusia seribu
tahun kepadanya merupakan sebuah harta yang
tidak ternilai harganya." Batin si kakek. Dia memandang ke arah sang murid
sejenak. Ketika me-
lihat sebuah kalung tergantung di leher sang mu-
rid kakek gendut Gentong Ketawa ajukan perta-
nyaan. "Jadi kakek sakti itu juga telah memberikan kalung butut itu kepadamu."
Sang pendekar tersenyum. "Kalung ini bukan kalung sembarangan, ndut. Manusia
Seribu Tahun memberinya
nama Batu Raja Langit. Kalau kau mau mencoba
kedahsyatannya boleh saja. Silahkan kau berdiri
di depan sana. Aku di sini dan cukup mengerah-
kan sedikit tenaga dalam ke mata kalung. Setelah itu aku mengusap mata kalung
tiga kali. Kujamin
sekejap saja tubuh gendutmu jadi matang." Si kakek gelengkan kepala.
"Meski pun sudah tua, aku belum siap mati
Gege...!" ujar si kakek menyebut nama panggilan
muridnya sambil memandang ke arah kalung
yang tergantung di leher pemuda itu dengan pe-
rasaan takjub. Dia kemudian ajukan pertanyaan
lagi. "Lalu apa arti rajah Angka 71 yang tertera di telapak tangan kanan dan
dada sebelah kirimu
itu?" Gento tertawa tergelak-gelak mendapat pertanyaan seperti itu. Sebaliknya
tanpa menghirau-
kan pertanyaan si kakek dia melirik ke arah gadis berpakaian serba kuning
berkulit putih berwajah
cantik yang duduk tak jauh dari hadapannya.
Setelah kedipkan matanya ke arah gadis itu
barulah Gento menjawab. "Seperti yang telah ku-katakan Manusia Seribu Tahun
telah berkenan membuka tujuh titik sumber pembangkit tena-
ga dalam. Dia menamakannya tujuh inti Cakra.
Tujuh titik pembangkit tenaga dalam itu dapat
kugunakan sekaligus jika aku menghendakinya.
Karena tujuh sumber pembangkit tenaga dalam
bersumber dari seluruh bagian tubuhku dan di-
pergunakan untuk satu tujuan yaitu menegakkan
keadilan dan menumpas kezaliman. Maka antara
tujuan dan yang satu itu tidak dapat di pisahkan antara yang satu dengan yang
lain. Satu nama
lain saling mengikat. Itulah antara lain arti angka 71" jelas Gento. Dia
kemudian ajukan pertanyaan. "Guru sendiri bagaimana" Sejak tergulung Angin putih
itu aku kehilangan jejak dirimu. Semula aku menyangka tidak ada lagi harapan ba-
giku bertemu dengan dirimu. Tapi ternyata kau
panjang umur."
"Murid geblek. Kau pasti mengatakan diriku
sudah mati, bukankah begitu?" dengus si kakek dengan mata mendelik.
Gento tertawa mengekeh.
"Boleh saja kau bilang. Yang jelas aku merasa senang karena kita pada akhirnya
bertemu kembali. Aku senang kau berumur panjang dan kuha-
rap kau panjang segalanya."
"Heeh... apa maksudmu dengan panjang sega-
lanya itu?"
"Tak perlu kujelaskan kupikir kau tahu sendi-ri. Ha ha ha!" jawab sang pendekar
disertai tawa tergelak-gelak.
Gentong Ketawa mendamprat muridnya begi-
tu mengetahui maksud ucapan Gento. Dengan
wajah merah tanpa sadar si gendut dekap bagian
bawah perutnya. Apa yang dilakukan si kakek
tentu membuat gadis berpakaian kuning yang du-
lunya adalah manusia raksasa Anggagini jadi ikut tertawa namun segera palingkan
kepala ke jurusan lain.
"Ternyata dia tidak berubah." batin sang dara.
Sementara itu Gentong Ketawa kemudian
berkata. "Gege, kau adalah orang yang sangat be-runtung. Di rimba persilatan ini
seingatku belum ada orang atau tokoh manapun yang bisa mengeluarkan tenaga sakti
dari tujuh titik pembangkit tenaga dalam. Manusia Seribu Tahun agaknya telah
memberikan satu kepercayaan kepadamu,
kau tidak boleh menyia-nyiakan amanat orang."
"Aku mengerti guru. Bagaimana dengan diri-
mu sendiri" Kau belum menceritakan pengala-
manmu setelah terpisah denganku."
Sebagaimana telah dikisahkan dalam episode
sebelumnya antara murid dan guru sempat terpi-
sah beberapa waktu lamanya. Si kakek yang ter-
bawa pusaran angin putih mempertemukan di-
rinya dengan Nyi Sekar Langit. Sedangkan Gento
sendiri dibawa ke alam Batas kehidupan atau
alam Luar Pandang oleh manusia Seribu Tahun.
Untuk lebih jelas (baca episode Ki Anjeng Laknat).
Si kakek menarik nafas. Setelah memandang
muridnya sejenak dia alihkan perhatiannya pada
Anggagini. Tak lama orang tua itu membuka mu-
lut. "Kejadian yang kualami kurang begitu menarik untuk kau ketahui. Pusaran
angin putih yang
menyergapku itu sebenarnya adalah sebuah ke-
saktian yang dikerahkan oleh Nyi Sekar Langit
untuk menjemputmu. Tapi rupanya telah terjadi
satu kekeliruan. Sehingga bukan kau yang kena
dijemput melainkan aku."
"Tentunya kau senang bertemu dengan Nyi
Sekar Langit. Orangnya cantik berambut panjang
dan masih muda." sindir Gento. Wajah si gendut berubah cemberut. Dengan mata
menerawang dia menyahut. "Cantik apanya" Kalau dibilang senang ya tidak juga. Aku sendiri malah
dia minta untuk mencari dirimu. Sulit sekali menemukan
kau. Dia pasti korban majikan Mahluk Kutukan
Neraka." ujar si kakek unjukkan wajah sedih.
"Kau tak usah khawatir. Nyi Sekar Langit saat ini pasti dalam keadaan sehat
selalu." "Heh...!" Gentong Ketawa terperangah. "Bagaimana kau bisa memastikan Nyi Sekar
Langit selamat?" Sambil tersenyum Gento menjawab.
"Aku dan Tabib Setan telah menolongnya ketika terjadi keributan besar di teluk
Rembang." "Apa kau masih juga mau meladeni tabib ce-
laka itu" Aku tidak tahu kau telah menolongnya
padahal selama ini aku mengkhawatirkan kese-
lamatannya."
"Ah, agaknya kau telah jatuh cinta padanya.
Jika benar. Aku muridmu cukup tahu diri mela-
markan dia untukmu."
"Murid edan. Jangan bicara ngacok! Kupe-
cahkan batok kepalamu nanti!" berkata begitu si kakek angkat tangannya lakukan
gerakan hendak menggepuk kepala Gento. Tapi sang pendekar se-
gera melompat, jatuhkan diri di samping Anggagi-
ni. Setelah berada di samping gadis itu dia berbi-sik. "Anggagini maafkan aku.
Sejak tadi aku tidak menegurmu karena aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
kakek gendut itu" Anggagini tersenyum. Dia gembira bisa bertemu dengan
Gento kembali. Dan gadis ini jadi semakin kagum
pada Gento setelah melihat kenyataan ternyata
ilmu kesaktian yang dimiliki pemuda itu semakin
maju pesat. "Tidak mengapa Gento. Aku bisa memaklumi.
Sekian lama kalian terpisah tentu di antara kalian timbul kerinduan." ujar sang
dara. Gentong Ketawa turunkan tangannya batalkan niat. Dia kemu-
dian malah menyahut. "Aku sebenarnya muak
melihat tampang bocah edan ini." celetuk si gendut bersungut-sungut.
"Ha ha ha. Kita sama gendut. Aku juga mau
mual melihat tampangmu. Tapi mengingat kau
guruku aku jadi harus tahu diri!"
"Murid sialan. Mestinya kubunuh kau sejak
dulu." maki si kakek. Gento malah ketawa. "Jadi sekarang kita hendak kemana?"
tanya Anggagini mengalihkan pembicaraan.
"Aku terserah gendut saja. Asal tidak ke neraka aku pasti mau ikut." sahut sang
pendekar. Murid dan guru akhirnya saling berpandangan. Si
kakek kemudian malah menguap lebar. Sekejap
kemudian si kakek sudah memejamkan matanya.
"Ah, ndut. Apa yang kau lakukan" Kalau kau
mau tidur, aku dan gadis ini sebaiknya pergi sa-
ja." Gentong Ketawa gelengkan kepala.
"Bocah, siapa yang tidur" Dengarkanlah baik-baik!" ujar kakek itu dengan serius.
Gento cibir-kan mulut. Tapi tak urung ketika melihat kakek
itu sepertinya tidak bercanda. Gento akhirnya
menanggapi. "Jika ada hal penting yang hendak kau katakan lekas katakan!" ujar
Gento. Kakek Gentong Ketawa masih dengan mata setengah
terpejam kemudian berkata. "Beberapa purnama yang lalu dalam semediku, aku
melihat malapetaka bakal terjadi di rimba persilatan. Aku melihat ada cahaya
keluar dari dalam perut bumi. Kemudian kulihat orang-orang dunia persilatan
saling bunuh memperebutkan benda itu. Tidak ada jalan lain, kita harus melakukan
sesuatu untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah."
Bukan cuma Gento yang dibuat terkejut
mendengar ucapan si kakek. Sebaliknya Anggagi-
ni pun sama saja.
"Kek apakah yang kau lihat dalam semedimu
itu bisa dipercaya?" tanya Anggagini.
"Guru. Aku bukannya meragukan apa yang
kau lihat. Dulu pun kau sering mengatakan hal-
hal yang tidak mungkin. Tapi pada akhirnya apa
yang kau katakan ternyata memang terbukti."
"Ada kalanya aku suka bercanda. Tapi kali ini aku bicara yang benar. Ketahuilah
benda yang diperebutkan itu memiliki kekuatan yang sangat
besar. Bentuknya seperti orang tua lanjut usia
yang sudah mati dan telah diawetkan. Kehebatan
benda yang bernama Sengkala Angin Darah dapat


Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghanguskan apa saja. Mahluk yang telah
membatu itu berasal dari alam batu. Usianya ri-
buan tahun dan muncul setiap seribu tahun se-
kali. Ah... ah sungguh mengerikan sekali." berkata begitu tubuh si kakek tiba-
tiba bergetar. Ke-
mudian seolah ada satu kekuatan tak terlihat
mendorongnya si kakek jatuh terjengkang.
"Guru... ada apa guru...!" seru Gento sambil menghampiri gurunya.
"Kek, bangun kek...!" ujar Anggagini pula yang telah berada di samping kanan
kakek Gentong Ketawa.
Si kakek mengerang pendek. Kedua matanya
kembali terbuka sedangkan tubuhnya bersimbah
keringat dingin.
"Guru ada apa sebenarnya, apa yang kau li-
hat?" tanya si pemuda.
"Gento, kita harus memberi tahu para saha-
bat di rimba persilatan." tegas si kakek tanpa menghiraukan pertanyaan muridnya.
"Guru...!'
"Kakek gendut apakah semua yang kulihat
bukan cuma sekedar mimpi?" tanya Anggagini
penasaran. "Aku sama sekali tidak bermimpi kala itu.
Yang kulihat dalam semedi itu kenyataan yang
pasti." jawab si kakek tegas
"Benda yang kau lihat itu berupa mahluk hi-
dup atau apa?" Gento ajukan pertanyaan.
Si kakek tidak segera menjawab. Dia berfikir
sejenak baru kemudian berkata. "Benda sakti itu dulunya mahluk hidup. Suatu
proses alam telah
terjadi pada dirinya. Ujudnya bahkan seperti ma-
nusia, cuma ukurannya lebih kecil. Dia juga
punya hidung, rambut, kumis, kaki juga tangan.
Cuma mahluk ini telah membatu. Biarpun telah
berubah menjadi batu anehnya tetap hidup. Se-
dangkan usianya mencapai ribuan tahun." jelas si kakek.
Anggagini tercengang. Seumur hidup rasanya
baru kali ini dia mendengar ada mahluk seaneh
itu. Belum lagi gadis berpinggul dan berdada ba-
gus itu sempat bertanya. Tiba-tiba Gento ajukan pertanyaan. "Guru andai mahluk
itu seperti manusia apakah dia punya anu juga?"
Mata si kakek mendelik. "Bocah, bertanya bo-
leh saja. Tapi pertanyaanmu jangan konyol." menegur si gendut. "Anu apa
maksudmu" Anu kepalanya" Anunya tentu saja ada. Cuma besar kecil-
nya mana aku tahu." dengus si kakek. Dasar sa-ma sintingnya pernyataan Gento
meski pun membuat si gendut marah tetap dia jawab juga.
Sang dara gelengkan kepala melihat kekonyolan
murid dan gurunya itu.
"Mahluk batu itu kira-kira sebesar apa?"
"Hmm, kira-kira sebesar lengan bocah kecil." polos saja si kakek menjawab. Gento
manggut- manggut. "Kalau cuma sebesar lengan bayi berarti
anunya kira-kira sebesar lidi guru."
"Bocah kurang ajar. Ada-ada saja. Ha ha ha."
si gendut tertawa. Gemuruh angin datang ke arah
mereka. Tiga pasang mata sama layangkan pan-
dang ke arah datangnya suara. Mereka jadi ter-
cengang begitu melihat di atas ketinggian segu-
lung awan hitam berputar putar secara cepat me-
lintas di atas mereka.
"Menghindar! Cari tempat berlindung!" Kakek Gentong Ketawa keluarkan suara
keras. Seperti dikomando ketiganya berlompatan menjauh dari
awan yang berputar di pulau angin ribut. Sayang
gerakan mereka kalah cepat dengan gerakan
awan yang datang bersama hembusan angin. Tak
terduga begitu pusaran awan lewat di atas kepala, mereka merasakan adanya satu
sengatan hawa panas yang sangat luar biasa. Baik si kakek mau-
pun Gento dan Anggagini sama dorongkan kedua
tangannya ke atas menangkis sambaran maut itu.
Tapi mereka berteriak kaget begitu merasakan te-
naga yang datang dari atas sana ternyata jauh lebih besar dari tenaga mereka
bertiga. Buumm! Tiga ledakan terdengar berturut-turut disertai
jeritan dan keluhan panjang. Tiga sosok tubuh
sama terlempar ke udara, lalu jatuh bergedebu-
kan dalam posisi tidak karuan.
Anggagini merintih. Dia menggeliat. Dia mera-
sa sekujur tubuhnya laksana hangus. Ketika dia
duduk, sang dara dapati ada darah meleleh dari
mulutnya. Dengan cepat dia menghimpun tenaga
untuk menyembuhkan si luka dalam yang dia
alami. Tidak berselang lama setelah rasa menye-
sak di dadanya berangsur lenyap dia bangkit ber-
diri. Dia memperhatikan sekelilingnya namun ti-
dak melihat Gento dan gurunya ada di sekitar si-
tu. Sedangkan pusaran angin yang datang dari
awan hitam tadi lenyap. Ketika si gadis alihkan
perhatian ke sudut matanya membentur satu so-
sok bertubuh besar, tubuh gendut Gentong Keta-
wa. Kakek itu dalam posisi menungging seperti
orang menyembah, tangan mendekap dada serta
mulutnya mengerang tak berkeputusan.
"Uhuk... setan apa pula yang lewat tadi" Tak ada hujan tak ada silang sengketa,
mengapa berani menyerang orang yang tidak berdosa" Aduh
panasnya tubuhku ini. Rasanya seperti kambing
yang dipanggang di atas bara." keluh si kakek.
"Kakek gendut. Gento tidak ada di sini. Dia entah jatuh dimana." seru sang dara
yang merasa khawatir atas keselamatan si pemuda.
Si kakek terperanjat. Sambil meringis kesaki-
tan dia bangkit. "Apa katamu" Muridku hilang"
Jatuh kemana bocah gila itu?" desis si kakek.
Perasaan cemas meliputi dirinya. Dia lalu
memandang ke arah lenyapnya pusaran awan ta-
di. Dan tiba-tiba Gentong Ketawa berseru. "Anggagini sebaiknya kita ikuti jejak
awan tadi."
Sang dara tampak kebingungan. "Diikuti ke-
mana kek?"
"Sudah. Jangan banyak tanya. Ikut saja den-
ganku!" tegas si kakek yang sempat melihat di balik gumpalan awan hitam itu tadi
seperti ada ju-
bah melambai. Tanpa fikir panjang sang dara segera mengi-
kuti si kakek tinggalkan tempat itu.
4 Pelita kecil yang menerangi ruangan itu me-
mancarkan cahaya merah temaram. Di atas ran-
jang tergeletak seorang laki-laki bertampang angker. Dalam keadaan polos laki-
laki itu menatap
langit-langit ruangan yang buram.
Tidak berselang lama pintu terbuka. Dari ba-
lik pintu muncul seorang gadis cantik berpakaian hanya sebatas dada. Sambil
melenggang lenggok
dia hampiri laki-laki yang terbaring di atas ranjang. Dia duduk di bibir ranjang
sedang jemari tangannya yang lembut membelai dada si laki-
laki. Laki-laki itu menggeliat. Dia meraih gadisnya lalu memeluk gadis tersebut
dengan erat. Si gadis merintih manja ketika tangan Laki-laki itu mengelus
punggungnya. "Kakang Pasadewa, kau adalah laki-laki perkasa. Aku ingin selalu
bersamamu menikmati hangatnya cintamu sepanjang waktu.
Kakang... oh..." suara manja si gadis mendadak lenyap karena si laki-laki
mendadak tenggelam-kan wajah sang dara di dalam pelukannya.
Tetapi ketika sang dara mulai diamuk gairah,
Pasadewa dorongkan tubuh gadis itu menjauh
dari dirinya. Dia memekik kaget tak menyangka diperlaku-
kan sekasar itu.
Selagi dia terheran-heran laki-laki yang ber-
nama Pasadewa itu meraih pakaiannya yang ber-
tumpuk satu demi satu. "Kakang kau hendak
kemana?" Pasadewa tidak menjawab. Selesai berpakaian dia berkata. "Kau dengar!
Sudah dua hari berlalu. Seharusnya kedua muridmu telah kembali menemui kita di
sini. Kenyataannya sampai
selarut ini mereka tidak muncul. Aku punya fira-
sat mereka tak dapat melakukan tugas. Aku ya-
kin Laras dan Latri telah menemui ajal."
Wajah si gadis sama sekali tidak mancarkan
perubahan. Malah dengan sikap tenang dia ke-
mudian menanggapi. "Kakang Pasadewa, jika du-
gaanmu benar sebaiknya kita tunggu sampai be-
sok pagi. Malam masih panjang. Kita punya wak-
tu untuk bersenang-senang." Gadis itu lalu meraih tangan Pasadewa dan
meletakannya di depan
dada. Darah Laki-laki itu berdesir, namun hanya
berlangsung sesaat. Begitu dia berhasil menekan
gejolak perasaannya, dengan cepat Pasadewa ber-
kata, "Pandan Arum. Jangan kau halangi niatku untuk dapatkan Sengkala Angin
Darah. Bagiku benda itu satu-satunya yang dapat kupergunakan
untuk menundukkan tokoh-tokoh sakti di tanah
Jawa. Jika mereka semua sudah dapat kubuat
bertekuk lutut di bawah kakiku. Kurasa untuk
menguasai dunia persilatan hanya tinggal persoa-
lan waktu."
"Apapun rencanamu aku tetap mendukung
kakang. Sudah lama kita hidup bersama. Bahkan
jiwa ragaku pun telah kuserahkan. Setiap saat
aku siap membantu. Satu pintaku penuhi keingi-
nanku!" kata Pandan Arum disertai lirikan menggoda.
"Kau tidak pernah puas. Kau baru bisa bersenang-senang dengan diriku bila
berhasil membu-
juk Iblis Ular Sembilan agar mau membantu kita."
Pandan Arum terkesiap begitu mendengar
permintaan kekasihnya. Wajah cantik si gadis be-
rubah pucat, sedang bola matanya terbelalak le-
bar. Seolah tak percaya dia ajukan pertanyaan.
"Apakah Iblis Ular Sembilan yang kakang mak-
sudkan adalah kakek yang berdiam di Telaga Se-
tan?" "Ha ha ha. Tentu saja. Apakah di dunia ini
masih ada Iblis Ular Sembilan yang lain?"
"Mengapa kau menyuruhku menemui mahluk
jahanam itu" Aku rela melakukan apa saja asal
jangan kau suruh aku bertemu dengannya." Kata si gadis tampak jerih.
Pasadewa kembali mengumbar tawa. Dia sa-
dar sepenuhnya Pandan Arum tergila-gila kepa-
danya. Setiap saat Pandan Arum selalu mendam-
bakan belaian kasihnya. Dan kesempatan inilah
yang selalu dimanfaatkan oleh Pasadewa. Setelah
puas tertawa Pasadewa kemudian kembali mene-
gaskan. "Perintahku tidak bisa ditawar lagi Pandan Arum. Jika kau benar-benar
mencintaiku kau harus bersedia melakukan permintaanku."
"Bukankah selama ini aku telah banyak ber-
korban untukmu, kakang?"
"Memang. Tapi semua itu belum cukup untuk
mengetahui ketulusan hatimu." Kilah Pasadewa.
"Lagi pula tugas yang kuberikan tidak berat. Kau cukup meminta Iblis Ular
Sembilan bekerja sama
denganku."
"Bagaimana jika seandainya dia marah dan
membunuhku?"
"Orang seperti dia tak pernah membunuh wa-
nita. Kau jangan takut. Dia tak mungkin membu-
nuh perempuan secantik dirimu!" Pasadewa
meyakinkan. Pandan Arum terdiam. Sebenarnya dia mera-
sa berat untuk melakukan permintaan Pasadewa
karena menemui Iblis Ular Sembilan baginya sa-
ma saja dengan melakukan tindakan konyol yang
membahayakan diri sendiri. Tapi bagaimana pun
dia mencintai laki-laki itu. Dia tidak dapat hidup tanpa laki-laki itu.
Dengan berat hati akhirnya dia berkata. "Kalau memang itu permintaanmu, baiklah
kakang. Tapi setelah tugas ini selesai aku laksanakan kau harus menikahi diriku. Di
samping itu kau juga
harus mencari dua muridku!"
"Ha ha ha. Permintaanmu pasti kupenuhi.
Sekarang pergilah!" kata Pasadewa.
Setelah berpakaian rapi Pandan Arum segera
tinggalkan ruangan itu. Sementara sepeninggal-
nya sang dara Pasadewa duduk tertegun di bibir
ranjang. Pemuda itu tersenyum membayangkan
cita-citanya yang kelak bakal dia capai.
Laki-laki itu kemudian bangkit berdiri, na-
mun belum lagi Pasadewa sempat beranjak ting-
galkan kamar mendadak dia merasakan ada hawa
sedingin es menerpa jendela kamar. Pasadewa
terkejut. Sayup-sayup dia mendengar ada suara
orang berkata. "Segala cita-cita manusia pasti akan tercapai selama orang itu
berusaha keras untuk menggapai apa yang dia cita-citakan..."
"Siapa yang bicara?" desis Pasadewa. Dia lalu melangkah ke arah jendela.
Jendela itu segera dibuka. Dia memandang ke
segenap sudut penjuru. Tak ada yang terlihat ke-
cuali kegelapan.
Dalam gelap kembali terdengar suara menge-
keh. "Kau tidak perlu mencari diriku. Mengenai siapa diriku sebenarnya tidak
penting. Kehadi-ranku di sini hanyalah untuk memberi kabar
bahwa benda sakti yang bernama Sengkala Angin
Darah itu kini berada di tangan seorang kakek
sakti bernama Empu Barada Sukma. Jika kau
berminat dengan benda itu sebaiknya kau segera
pergi. Cari orang itu sebelum benda yang berada
di tangannya berpindah ke tangan orang lain."


Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata suara yang tak mau menampakkan ujudnya
tersebut. "Bagaimana aku bisa mempercayai kata-
katamu?" "Kau tak perlu percaya padaku. Kau manusia
cerdik yang bisa mempergunakan otak. Aku
hanya sekedar memberimu kabar agar kau tidak
jadi pusing memikirkan benda itu. Pergilah! Atau kau akan menyesal tidak
mendapatkan benda
itu." Pasadewa sejenak tampak bimbang. Tapi kemudian dia segera memutuskan untuk
menuruti nasehat suara tanpa rupa itu.
"Baiklah. Tapi ingat, jika ternyata kau hanya menipuku. Aku bersumpah pasti akan
mencarimu." Kata Pasadewa.
Tidak ada jawaban. Suara yang didengarnya
tadi lenyap. Kini kegelapan kembali diwarnai ke-
sunyian. "Empu Barada Sukma. Hmm, aku tahu dima-
na harus menemukan kakek itu. Tapi untuk
mencapai tempat itu aku membutuhkan tunggan-
gan. Aku harus menggunakan Rajawali Siluman
untuk mencapai tempat itu!" batin laki-laki tersebut. Tanpa membuang waktu
Pasadewa rang- kapkan kedua tangannya di depan dada. Bersa-
maan dengan itu kedua matanya terpejam, se-
dangkan mulut tampak berkemak-kemik.
"Rajawali Siluman, aku Pasadewa. Titisan Ra-ja Pedang Betala Surya memanggilmu.
Cepat kau datang menghadap! Bawa aku pergi ke tempat tu-
juan." Gumam Pasadewa.
Hanya beberapa saat setelah itu terdengar
suara gemuruh angin dan pekik melengking da-
lam kegelapan di atas sana.
Pasadewa dongakkan kepala memandang ke
arah kegelapan langit. Kemudian dia melihat
mahluk raksasa berupa seekor burung rajawali
putih berkelebat di atasnya.
Burung siluman berputar-putar di atas ru-
mah. Kepakan sayap mahluk itu menimbulkan
deru angin hingga membuat pepohonan di seki-
tarnya bertumbangan. Pasadewa tersenyum.
Dia bersuit tiga kali. Sang rajawali siluman
memekik dan bergerak merendah.
Pemuda itu melesat keluar melalui jendela
yang terbuka. "Sahabatku apakah kau telah siap membawa
diriku?" Kikkk! Mahluk raksasa itu keluarkan pekikan keras.
Pasadewa tak mau menunggu lebih lama. Dia se-
gera lentingkan tubuhnya ke atas. Dan di lain
waktu Pasadewa sudah duduk di atas punggung
rajawali raksasa itu.
Si pemuda bersuit tiga kali. Rajawali siluman
kembali memekik. Kemudian bergerak membu-
bung ke angkasa, lalu lenyap dari pandangan ma-
ta. 5 Puncak gunung Kelud pagi itu diselimuti ka-
but tebal. Hawa dingin terasa sangat mencucuk.
Tapi tak jauh dari kaki gunung di tengah dingin-
nya suasana di antara bebatuan terjal terlihat sa-tu bayangan berkelebat. Di
satu tempat di depan
mulut goa yang terlindung akar menjuntai dan te-
tumbuhan merambat sosok itu hentikan lang-
kahnya. Dia ternyata adalah seorang Laki-laki berwa-
jah angker, bagian kepala botak tepat di bagian
ubun-ubun. Sedangkan di punggung Laki-laki itu
tergantung sembilan golok besar berwarna hitam.
Sekejap si baju ungu berwajah mirip beruang
memandang ke mulut gua. Sedang cuping hi-
dungnya tampak kembang kempis mengendus.
Kemudian muka beruang yang dikenal dengan ju-
lukan si Tangan Besi itu tersenyum.
Dia mengendus bau sesuatu yang sangat
khas, bau kemenyan.
"Dia ada di tempat. Kuharap urusan berjalan lancar. Jika urusanku berhasil Raden
Sobari pasti akan merasa senang."
Sekali lagi Laki-laki itu memandang ke mulut
gua. Dia lalu berteriak. "Kertasona... aku Tangan Besi datang menyambangi. Ada
urusan penting yang hendak kusampaikan kepadamu. Apakah
aku boleh masuk?"
Mula-mula sunyi. Kesunyian yang amat men-
cekam dan membuat Laki-laki itu merasa tidak
enak hati. Membayangkan kekejian yang dilaku-
kan sang dukun. Kesunyian ternyata tidak ber-
langsung lama. Kejab kemudian Tangan Besi di-
kejutkan oleh dentuman suara kentut.
Tangan Besi cepat tekap hidungnya. Tangan
Besi masih saja mengendus bau tidak sedap
hingga perutnya terasa mual.
"Jahanam kurang ajar. Bau isi perutnya bu-
suk bukan main." Rutuk Tangan Besi dalam hati.
Muka beruang bersungut-sungut. Selagi di-
rinya dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dia dike-jutkan oleh terdengarnya
pintu batu yang terbu-
ka. Samar-samar dia melihat ada cahaya biru te-
maram membersit keluar dari dalam ruangan
gua. Seiring dengan terlihatnya cahaya. Dari ruangan dalam terdengar suara serak
seseorang seper-
ti dicekik setan.
"Matahari belum lagi menampakkan diri. Se-
tan gila dari mana di pagi buta berani berteriak di
depan tempat tinggalku?"
Tangan Besi biarpun tidak senang disebut Se-
tan Gila tetap menjura ke arah gua.
"Mbah Dukun Kertasona, aku Tangan Besi
orang kepercayaan Pangeran Sobari. Dulu aku ju-
ga pernah kemari, apakah kau ingat,..?"
"Ha ha ha. Aku baru ingat sekarang. Bukan-
kah kau kunyuknya yang pernah memberi ku ha-
diah berupa lima perawan cantik dari kotaraja"
Kemudian kelima perawan itu kulepas lima bulan
sesudahnya dalam keadaan bunting. Ha ha ha.
Terima kasih!"
"Aku senang Mbah Kertasona merasa se-
nang." "Ya ya... aku senang. Tapi apakah kini kau
datang dengan membawa hadiah yang sama?"
tanya suara di dalam.
"Tidak Mbah. Aku datang membawa maksud
keperluan. Sebagai imbalan kau bakal menda-
patkan barang yang tidak ternilai harganya." Sahut muka beruang.
"Tidak ternilai itu apakah ini berarti tidak ada nilainya sama sekali?" teriak
orang di dalam gua.
"Barang yang kubawa justru memiliki nilai
yang tinggi, terdiri dari permata dan jambrut."
"Hmm, jambrut aku sangat membutuhkan-
nya. Kau tunggulah sebentar!"
Tangan Besi terpaksa menunggu, walaupun
ini adalah hal yang tidak dia sukai.
Belum lama menunggu terdengar suara dari
dalam. "Kau masuklah!"
Sekali berkelebat Tangan Besi telah berada di
dalam ruangan gua. Dia melengak ketika melihat
tiga perempuan cantik terlihat sibuk merapikan
pakaiannya. Mereka pasti korban kebejatan Mbah
Dukun Ketiga perempuan itu selanjutnya pergi me-
ninggalkan ruangan itu. Dengan wajah merah
Tangan Besi balikkan badan menghadap ke arah
sang dukun. Di ranjang batu yang diberi nama Ranjang Pe-
lepas Kesucian Mbah Dukun Kertasona yang juga
dikenal dengan julukan Setan Santet Delapan
Penjuru tampak duduk bersila dengan pakaian
seadanya. Melihat kehadiran Tangan Besi, si ka-kek yang wajahnya ditumbuhi cambang bawuk
lebat menatap ke arah tamunya sejenak.
"Sudah banyak perawan datang padaku. Se-
gala macam santet dapat kulenyapkan. Sebagai
imbalan mereka harus menyerahkan kehorma-
tannya. Ha ha ha!" si kakek tertawa aneh. "Mereka orang bodoh, bertuhan tapi
malah menyembah
aku." Merasa disindir Tangan Besi jadi tidak enak
hati. Tapi dengan menebalkan muka dan mem-
buang rasa malu jauh-jauh dia duduk. Tanpa
sungkan dia ajukan pertanyaan. "Mbah apakah kita sudah bisa memulai sekarang?"
Si kakek batuk beberapa kali. Setelah itu dia
bangkit, melangkah turun dari ranjang kemudian
duduk di depan Tangan Besi.
"Muka beruang, kabar apa yang kau bawa da-
ri Kediri?" tanya si kakek dingin.
Tangan Besi tidak segera menjawab. Dia men-
gambil sebuah kantong berukuran dua kepalan
tangan. Pengikat kantong dibuka, isinya dikelua-
rkan. Mata si kakek yang berwarna putih pucat
seketika berbinar melihat batu jambrut dan per-
mata bertebaran di atas lutut.
Dua dari batu jambrut kemudian diselipkan
di balik topi songkok hitamnya. Sedangkan yang
lain dia masukkan ke dalam kantong.
"Kau membawa hadiah begini banyak, namun
yang paling kusukai adalah hadiah gadis pera-
wan." "Lain kali aku pasti membawa hadiah yang
Mbah minta."
Si kakek manggut-manggut.
"Sekarang katakan apa yang harus aku laku-
kan. Menyantet orang sampai mati, memelet seo-
rang puteri atau mengobati orang sekarat?"
"Bukan... bukan itu Mbah." Ujar Tangan Besi.
"Pangeran Sobari meminta pada Mbah agar sudi membantu kami mendapatkan benda
sakti man-dra guna. Konon menurut laporan mata-mata
kami, benda itu ada di hutan Pacitan. Jika Mbah berhasil mendapatkan benda
langka itu Pangeran
Sobari berkenan memberikan sebidang tanah di
Blitar, berikut rumah termasuk istri. Mbah juga
akan diangkat menjadi tumenggung.
"Ha ha ha, pangeranmu itu ternyata manusia
ngaco. Kau rupanya tidak tahu aku tidak bisa
membaca dan menulis. Lagipula aku tak akan
mau menjadi tumenggung."
"Kalau Mbah tidak mau tidak mengapa."
"Aku memang tak menghendakinya. Aku lebih
suka hidup dengan cara seperti ini karena begitu banyak kesenangan yang bisa
kudapatkan. Tawaran itu aku terima. Tapi sebagai upahnya aku
minta puteri adipati." Tegas si kakek.
Tangan Besi merasa lega mendengar keputu-
san si kakek itu. Dengan cepat dia segera menja-
wab. "Hadiah yang Mbah minta nanti akan aku sampaikan pada adipati. Pangeran
Sobari pasti setuju." Si kakek anggukkan kepala. Setelah itu dia
mengambil sebuah pendupaan besar yang terletak
di sudut gua. Pendupaan itu kemudian diletakkan
di depan Tangan Besi.
Tangan Besi kaget juga. Rupanya dia takut
pendupaan itu dituangkan ke atas kepalanya.
Dugaan Tangan Besi meleset karena pendu-
paan itu kemudian diangkat tinggi melewati ba-
gian atas kepalanya.
Si kakek duduk bersila. Mulut berkemak-
kemik sedang dua matanya dalam keadaan terpe-
jam. Tidak selang berapa lama di tengah suara
rancauannya tubuh si kakek tampak bergetar.
Secara perlahan si kakek dongakkan wajahnya ke
atas. Setelah itu mulut terbuka lebar. Begitu mulut terbuka pendupaan menyala
berisi bara segera dituangkan ke dalam mulut.
Jzzzth! Terdengar suara potongan bara menyentuh li-
dah, asap tebal mengepul. Lalu mulut yang penuh
berisi bara dikatubkan.
Glek! Bara menyala ditelan amblas ke dalam perut
si kakek. Tangan Besi yang tidak sanggup me-
nyaksikan kejadian ini segera palingkan kepala ke jurusan lain.
Setelah bara ditelan, kembali terdengar suara
racauan si kakek. Dari mulut terlihat kepulan
asap tipis keluar.
Meski sempat dilanda ketegangan Tangan Be-
si nyaris tidak dapat menahan ketawa melihat
apa yang dilakukan kakek itu. "Orang tua aneh.
Bara dia makan seperti kerupuk, sungguh luar
biasa." Sementara asap tipis berwarna biru semakin
lama semakin membubung tinggi ke udara. Ke-
mudian bergulung-gulung membentuk sosok be-
sar dalam bentuk samar.
Tapi makin lama makin jelas. Sosok itu tam-
pak sangat angker, dua matanya mencorong ta-
jam. Kedua alisnya yang hitam lebat mencuat ke
atas, hidung tinggi. Ketika menyeringai terlihat dua pasang taringnya yang
mencuat panjang.
Seiring dengan munculnya sosok transparan
serba putih itu tiba-tiba terdengar suara hembu-
san angin kencang. Tangan Besi menggigil. Ber-


Gento Guyon 27 Sengkala Angin Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samaan dengan itu Mbah Dukun yang duduk di
depan Tangan Besi berkata. "Wahai jin sesat pen-
gabdi dari segala kesesatan. Aku junjunganmu
Setan Santet Delapan Penjuru memberi perintah
padamu untuk menyelidiki keberadaan benda
sakti yang bernama Sengkala Angin Darah. Jika
benda itu masih terpendam di dalam tanah, maka
keluarkanlah. Andai benda itu telah berada di
tangan manusia katakan padaku siapa manu-
sianya. Perintahku tidak bisa dibantah. Karena
aku adalah raja dari segala kesesatan. Pergilah!
Bisikkan segala yang kau lihat padaku. Kau baru
boleh kembali setelah kuberi tanda berupa ketu-
kan. Jin sesat lakukan tugasmu!" perintah Mbah Dukun.
Hembusan angin makin bertambah keras ber-
campur dengan busuknya bau bangkai. Kemu-
dian terdengar raungan menggelegar menggetar-
kan dinding gua. Asap yang muncul dari mulut si
kakek lenyap ditiup angin. Begitu asap lenyap sosok tinggi besar yang tercipta
dari asap juga ikut lenyap.
Suasana di dalam gua kembali sepi mence-
kam. Tangan Besi diam menunggu. Tidak berani
bergerak atau bersuara. Hanya sepasang matanya
saja melotot menatap ke arah Mbah Dukun. Ka-
kek itu masih memejamkan matanya.
Tak lama Tangan Besi melihat daun telinga
kiri si kakek bergerak-gerak. Mbah Dukun ke-
rutkan keningnya sedangkan mulutnya mulai
bertutur memberi penjelasan. "Jin sesat mengatakan, benda sakti itu sudah tidak
berada lagi di tempatnya. Seseorang telah mengambilnya. Jin
sesat tak dapat melihat orang itu. Orang yang
menguasai Sengkala Angin Darah dilindungi se-
macam tabir, dia memiliki kesaktian yang sangat
tinggi. Bukan cuma itu yang menjadi kendala.
Benda sakti yang diinginkan pangeranmu itu ter-
nyata mempunyai daya tolak luar biasa. Huh,
Naga Dari Selatan 16 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Kucing Suruhan 12
^