Pencarian

Setan Sableng 1

Gento Guyon 17 Setan Sableng Bagian 1


1 Gulungan kulit harimau itu masih tergeletak di
atas pangkuan Ki Lurah Wanabaya, tergulung rapi di-
ikat dengan kain pita warna kuning. Delapan belas tahun benda ini berada di
tangannya. Selama itu Ki Lu-
rah merasa tidak ubahnya seperti menyimpan bara
menyala. Dia hidup dalam kegelisahan. Setiap waktu
Ki Lurah merasa was-was, takut kalau benda yang dititipkan kepadanya itu sampai
diketahui oleh orang-
orang Adipati Purbolinggo.
Sekarang setelah sampai pada waktu yang telah
dijanjikan, Ki Lurah paling tidak merasa terlepas dari beban berat yang selama
ini harus dipikulnya. Walau
begitu menanti kedatangan orang yang ditunggu juga
merupakan siksaan tersendiri bagi Ki Lurah Wana-
baya. Dia khawatir jika ternyata orang yang sangat dia hormati tidak muncul
malam itu, mengingat delapan
belas tahun yang lalu saja usianya sudah cukup lan-
jut" Kakek tua ini kemudian menarik nafas panjang.
Sepasang mata si kakek berpakaian serba putih, be-
rambut dan berkumis putih ini memandang ke sege-
nap penjuru ruangan kamar yang diterangi cahaya pe-
lita terang temaram. Setelah itu tatap matanya kembali ke arah gulungan kulit
harimau yang tergeletak di atas pangkuan. Memandang pada gulungan kulit lebih
lama menimbulkan perasaan tidak enak dalam dirinya. Ki
Lurah mengambil gulungan kulit, lalu memasukkan-
nya ke balik pakaian.
Sambil menghembuskan nafas Ki Lurah Wana-
baya berucap. "Jika sampai tengah malam nanti Ki Su-ta Soma tidak juga muncul di
rumah ini. Apapun yang
terjadi aku harus menyusul ke Ladang Wadas Ciman-
gu. Akan kukatakan padanya aku tidak bisa menyim-
pan benda ini lebih lama. Orang-orang Adipati cepat
atau lambat pasti segera tahu kalau barang titipan ini ada padaku!" kata si
kakek. Dalam kegelisahannya dia terus menunggu.
Sampai akhirnya dia tersentak kaget begitu mendengar derap langkah kuda yang
dipacu cepat menuju ke
tempat tinggalnya. Segala sesuatunya berlangsung
sangat cepat sekali. Dalam waktu singkat para pe-
nunggang kuda telah mengepung tempat kediaman Ki
Lurah Wanabaya.
"Celaka! Lain yang kunanti lain pula yang da-
tang!" kata Ki Lurah tercekat. Orang tua itu bangkit berdiri, lalu menyambar
Keris Kelabang Geni yang tergantung di sudut dinding kamar.
Keris diselipkan di balik pinggang celana sebelah
kiri. Belum lagi kakek tua ini sempat beranjak tinggalkan ruangan itu terdengar
suara bentakan menggele-
dek di tengah kegelapan malam yang sunyi.
"Ki Lurah Wanabaya, kami tahu Ki Lurah ada di
dalam. Dirimu tidak kami ganggu, jiwamu tidak akan
kami sakiti. Cepat keluar! Serahkan peta penunjuk jalan itu pada kami. Setelah
itu kami orang kepercayaan Adipati segera berlalu dari tempat ini!" teriak satu
suara. Di dalam kamar Ki Lurah gelengkan kepala. Tan-
gan kanannya bergerak, angin menyambar ke arah pe-
lita. Pelita ditengah ruangan padam. Dalam gelap Ki
Lurah Wanabaya memandang ke pintu. Dia tahu dide-
pan pintu salah seorang kepercayaannya selalu berjaga disitu. Dengan suara pelan
Ki Lurah memanggil.
"Jonggol Kethu! Cepat kau masuk, ikuti aku. Kita harus tinggalkan rumah ini
sedapat yang bisa kita lakukan.!" kata Ki Lurah tegas. Gema suara Ki Lurah
lenyap. Sunyi. Tak ada jawaban dari balik pintu. Seba-
gaimana yang dia harapkan.
"Heran. Jangan-jangan....! "Ki Lurah terdiam, tapi otaknya berfikir keras. Dalam
gelap mata Ki Lurah
mendelik besar ketika ingat sesuatu. "Jonggol Kethu, hanya kau yang tahu
pertemuan yang akan berlangsung malam ini. Tidak mungkin para begundal Adipati
gentayangan di malam gelap begini jika kau tak mem-
bocorkan rahasia ini pada mereka. Keparat! Betapa
banyak kau dibayar" Jonggol Kethu, awas. Jika suatu
saat terbukti telah berkomplot dengan mereka, aku
akan mengubermu walau kau bersembunyi di liang ne-
raka sekalipun!" Ki Lurah menggeram. Dia lalu mendekati yang menghubungkan ke
bagian pintu belakang.
Palang pintu ditarik lepas hingga pintupun terbuka.
Dengan mengendap-endap, Ki Lurah akhirnya sampai
dipintu belakang. Melalui celah lubang papan orang
tua ini mengintip keluar. Di depan pintu belakang sedikitnya ada tiga sosok
berpakaian hitam berjaga disana dengan pedang terhunus.
"Kurang ajar, mereka rupanya sengaja menge-
pung rumahku ini! Aku harus membunuh mereka,
kemudian menuju kandang kuda dan tinggalkan tem-
pat ini secepatnya!" berfikir begitu Ki Lurah cabut keris Kelabang Geni yang
terselip di pinggang. Dengan keris tergenggam ditangan kanan, tangan kiri dengan
gerakan tanpa suara sedikitpun membuka pintu. Selagi
pintu baru hendak dibuka lebar, pada saat itu dari bagian depan rumahnya
terdengar suara menggeledek.
"Ki Lurah! Rupanya kau lebih sayang pada peta penunjuk jalan itu daripada
nyawamu sendiri" Kami tidak
punya waktu banyak, jika kau tak mau keluar kami
yang akan menyerbu masuk. Kau hanya tinggal memi-
lih, nyawamu atau peta itu yang hendak kau perta-
hankan. Ki Lurah, waktumu hanya sampai pada hi-
tungan ketiga!"
Suara tadi lenyap, kemudian ada suara lain me-
nimpali tidak sabar. "Kakang Renggo Medi. Bangsat tua itu manusia keras kepala.
Buat apa kita membuang waktu. Kita selesaikan saja dia, kita rampas pe-ta itu.
Kujamin kita mendapat imbalan besar dari adipati karena kita telah membuat jasa
besar!" Orang yang dipanggil Renggo Medi tidak menang-
gapi. Dia bahkan mulai menghitung. "Ki Lurah, ini adalah hitungan pertama.!"
teriak orang di depan sana.
Bersamaan dengan hitungan itu pula Ki Lurah Wana-
baya kuakkan pintu belakang. Begitu pintu terbuka
dengan kerisnya dia menyerbu ke arah tiga penjaga didepannya. Tiga sinar merah
membersit, melesat dari
ujung keris, menghantam tiga laki-laki bersenjata pedang yang berjaga-jaga
disitu. Tidak menyangka ada orang keluar dari pintu
dan menyerang mereka secara tak terduga, ketiga laki-laki itu tersentak kaget.
Dua orang yang berada paling dekat dengan Ki Lurah tidak dapat sempat
menyelamatkan diri.
Mereka terjengkang roboh dengan isi perut terbu-
rai disertai jeritan menyayat. Sedangkan yang satunya lagi karena agak jauh dari
jangkauan senjata Ki Lurah masih sempat melompat mundur dari tusukan senjata
itu. Dia memutar pedang sambil berteriak memanggil
kawan-kawannya.
"Orang yang kita cari ada di sini...!" Suara teriakan orang itu terputus. Ki
Lurah yang berhasil me-
nangkis serangan pedang berhasil pula menikam teng-
gorokan lawannya. Tanpa menghiraukan lawan yang
tergelimpang roboh tertembus senjatanya Ki Lurah
berkelebat ke bagian kandang kuda yang jaraknya
hanya beberapa tombak saja dari pintu belakang ru-
mah. Sementara Ki Lurah sibuk mengeluarkan seekor
kuda dari dalam kandang. Maka jeritan tadi mengun-
dang kehadiran teman-temannya termasuk juga pe-
mimpin rombongan itu yang bernama Ronggo Medi.
Dalam waktu singkat dari samping sebelah kanan dan
sebelah kiri rumah Ki Lurah menghambur sedikitnya
sepuluh ekor kuda masing-masing ditunggangi seorang
laki-laki bersenjata siap di tangan.
Melihat banyaknya orang yang datang, Ki Lurah
tidak mau mengambil resiko. Apalagi dia menyadari
para pembantu Adipati Purbolinggo itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Tanpa membuang waktu Ki Lu-
rah melompat ke atas punggung kuda. Binatang tung-
gangan ini lalu dipacu secepat yang dapat dilakukan-
nya. Yang jadi pimpinan rombongan ini terkejut. Dia yang baru saja hendak
memeriksa ke dalam rumah batalkan niat, lalu berbalik, melompat ke atas kuda
sambil berteriak. "Lurah sial itu hendak meloloskan diri.
Kejar.... bunuh....!" teriak si baju hitam berbadan besar itu dengan suara
keras. Dalam gelapnya malam sepuluh kuda mengham-
bur, mengeluarkan suara ringkikan keras dan berlari
kencang mengejar kuda putih yang ditunggangi Ki Lu-
rah. Karena kuda milik Ki Lurah merupakan kuda pili-
han, tidak mudah untuk menyusulnya. Dalam waktu
singkat mereka tertinggal jauh di belakang. Sambil
menggebah kudanya Ronggo Medi yang jadi pimpinan
rombongan rupanya pantang menyerah. Sambil me-
maki tak karuan laki-laki bertampang sangar ini terus mengejar, menyusul
dibelakangnya si tinggi kurus
bernama Belek Merat. Sedangkan delapan kuda lain-
nya jauh tertinggal dibelakang kedua orang ini.
"Ki Lurah, kau sudah melakukan kesalahan be-
sar. Buat apa bercapai melarikan barang yang bukan
menjadi milikmu. Masih belum terlambat bagimu un-
tuk mendapat. pengampunan, yang terpenting kau ha-
rus serahkan peta rahasia perjalanan itu padaku!" teriakan Ronggo Medi menindih
suara langkah kuda
yang bergemuruh seperti setan berlari dalam gelap.
Ki Lurah Wanabaya sama sekali tidak menangga-
pi, dia malah semakin mempercepat lari kudanya. Ka-
rena suasana dalam keadaan gelap gulita, maka Ki Lu-
rah tidak dapat menentukan arah secara pasti. Yang
dilakukannya saat itu adalah berlari menghindar dari kejaran kaki tangan adipati
Purbolinggo. Sampai di sa-tu tempat dibalik kelebatan semak belukar dan kerin-
dangan pohon. Tiba-tiba kuda yang ditunggangi Ki Lu-
rah meringkik keras dan mengangkat kaki depannya.
Jika Ki Lurah tidak sigap dan cepat memeluk leher
kuda dia pasti terpelanting dari kuda tunggangannya.
"Putih, mengapa kau bertingkah seperti ini?"
hardik Ki Lurah. Kuda putih meringkik, kepala digo-
lang-goleng. Ki Lurah dalam herannya memandang ke
depan. Orang tua ini tercekat, lalu menepuk kepalanya sendiri.
"Astaga! Putih, beruntung kau binatang bijak. Ji-ka tidak kita berdua celaka
terperosok ke dalam jurang sana?" desis Ki Lurah. Matanya memandang ke arah
jurang menganga didepannya. Dasar jurang sama sekali tidak terlihat terkecuali
kegelapan yang hitam pekat. Ki Lurah cepat memutar kuda, dia menghambur
ke sebelah kiri. Tapi ternyata jalan yang hendak di-
tempuhnya buntu. Dalam gelap mata Ki Lurah jelala-
tan menjelajahi alam sekitar. Sekali lagi dia memaki kebodohannya sendiri.
"Tololnya diriku ini, ini adalah jurang Pegat Nyawa. Letaknya pun tak jauh
dariku, mengapa aku sampai lupa pada daerahku sendiri." ka-ta Ki Lurah. Tidak ada
pilihan lain, dia harus memacu balik kudanya, namun ini sulit dilakukan karena
para pengejar kini telah berada di depannya.
Ronggo Medi tertawa tergelak-gelak begitu meli-
hat orang yang dikejar menemui jalan buntu.
"Ki Lurah! Setelah nyawamu berada diam-bang
maut, baru rupanya mau menyerah" Ha ha ha!" kata Ronggo Medi sambil menghentikan
kudanya. Di belakang si badan besar, Belek Merat yang baru berhasil
menyusul sang teman menimpali. "Rejeki kita memang besar. Ki Lurah Wanabaya
malam ini bernasib sial.
Tunggu apa lagi, mengapa tidak segera kita bunuh saja dia?" dengus Belek Merat
sudah tidak sabaran lagi.
Ronggo Medi sunggingkan seringai aneh dibibir-
nya. Dengan tenang dia berkata. "Membunuhnya adalah persoalan semudah
membalikkan telapak tangan.
Bagiku nyawanya tidak penting, yang aku inginkan
adalah peta penunjuk jalan yang berada di tangannya.
Jika peta ada ditangan kita, adipati bisa hidup tente-ram kita sendiri bakal
menikmati kesenangan melim-
pah. Imbalan yang dijanjikan cukup besar. Rahasia
apapun yang tersembunyi di dalam peta penunjuk ja-
lan tidak penting. Yang paling utama saat ini adalah mengambil peta itu dari
tangannya."
Si badan besar dan si kurus memandang tajam
ke arah Ki Lurah beberapa jenak lamanya. Sementara
delapan orang anak buah Ronggo Medi telah sampai di
tempat itu. Begitu sampai mereka langsung menyebar
melakukan pengepungan dengan posisi setengah ling-
karan. Karena Ki Lurah Wanabaya tidak juga menye-
rahkan apa yang diminta oleh Ronggo Medi, habislah
sudah kesabaran laki-laki itu.
"Ki Lurah, waktumu sudah habis. Sekali lagi ku-
tegaskan padamu, serahkan peta penunjuk jalan itu
padaku. Jika kau tetap keras kepala, aku Ronggo Medi tidak akan mengampuni
jiwamu!" hardik kaki tangan adipati tegas.
Ki Lurah dongakkan wajahnya ke atas. Dia tahu
kecil kemungkinan baginya untuk meloloskan diri.
Apalagi mengingat Ronggo Medi dan kembarannya Be-
lek Merat bukan manusia sembarangan. Mereka memi-
liki ilmu serta jurus silat yang hebat di tambah lagi dengan ilmu memainkan
golok kembar yang mereka
miliki. Maka bagi Ki Lurah kedua orang itu bukan la-
wan yang dapat dipandang dengan sebelah mata, wa-
laupun Ki Lurah sendiri mempunyai senjata sakti be-
rupa sebilah keris bernama keris Kelabang Geni. Biarpun begitu, bagi Ki Lurah
Wanabaya yang namanya
amanah titipan orang memang harus dia jaga sedapat
yang mampu dilakukannya meskipun nyawa sebagai
taruhannya. Apalagi amanah itu adalah harapan satu-
satunya bagi orang yang sangat dia hormati untuk di-
jadikan petunjuk mencari anak satu-satunya yang hi-
lang. Akhirnya dengan tegas Ki Lurah berkata. "Ronggo Medi. Sebagai manusia kau
rupanya memang buta
terhadap sejarah perjalanan hidup seseorang. Peta ini tidak pernah kuberikan
pada siapapun, termasuk juga
pada dirimu."
"Kau boleh saja memiliki segudang ilmu. Tapi
dengan segala kehebatan yang kau miliki bukan berar-
ti kau dapat memaksakan segala kehendakmu padaku.
Mungkin aku manusia lemah dimatamu, tapi aku tidak
akan menyerah pada keadaan dan nasib. Sekarang
kau sudah mendengar apa jawabku, apapun yang
menjadi keputusanmu segala resikonya akan ku tang-


Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gungkan!" Mendengar jawaban Ki Lurah Wanabaya kemara-
han Ronggo Medi tak terkirakan lagi, kedua pipinya
menggembung besar, pelipis bergerak-gerak. Dengan
tangan terkepal dia membentak. "Tua bangka tak tahu gelagat. Sikap keras
kepalamu itu hanya akan membawa penyesalan yang tak akan ada habisnya!"
Belek Merat apalagi. Dia langsung berteriak ditu-
jukan pada delapan anak buah mereka yang duduk di
atas kuda masing-masing.
"Anak-anak, bunuh tua bangka busuk itu!"
Ki Lurah Wanabaya menggumam tidak jelas begi-
tu melihat anak buah Ronggo Medi berlompatan dari
atas punggung kuda masing-masing mengepung Ki Lu-
rah dengan senjata terhunus. Delapan senjata mende-
ru di udara. Sinar putih berkilauan memancar dari setiap senjata yang
dipergunakan untuk menyerang Ki
Lurah. Dalam gelap malam tubuh Ki Lurah seolah le-
nyap terbungkus kilatan senjata yang menghantamnya
dari delapan penjuru arah. Mendapat serangan hebat
dari anak buah Ronggo Medi, Ki Lurah tidak tinggal di-am. Dia langsung mencabut
keris Kelabang Geni, ke-
mudian keris diputarnya, menangkis serangan lawan
sekaligus melakukan serangan balasan. Sinar merah
laksana bara menyambar di udara, lalu menangkis se-
rangan delapan senjata yang siap mencincang tubuh
Ki Lurah. Traang! Trang! Traang!
Terjadi benturan hebat ketika senjata Ki Lurah
menghantam delapan senjata lawan. Delapan penye-
rang terdorong mundur disertai seruan kaget. Para penyerang merasakan tangan
yang memegang hulu sen-
jata sakit luar biasa dan sangat panas sekali. Ki Lurah yang masih berada di
atas punggung binatang tung-ganggannya menggigit bibir, tubuhnya sempat tergun-
cang, sedangkan senjata ditangan hampir terlepas. Da-ri benturan yang terjadi Ki
Lurah dapat merasakan
menghadapi delapan penyerang ini saja dia sudah di-
buat repot, apalagi jika Ronggo Medi dan Belek Merat maju secara serentak.
"Apapun yang akan terjadi pada diriku, aku ha-
rus dapat membunuh para begundal adipati ini!" batin
Ki Lurah. Dengan gerakan laksana kilat melesat di
udara, tinggalkan kudanya, sedangkan tangan kiri di-
pergunakan untuk melepas satu pukulan menggeledek
berhawa dingin mematikan. Selagi delapan anak buah
Ronggo Medi dibuat sibuk hindari pukulan yang dilan-
carkan lawan, dengan cepat keris ditangan Ki Lurah
bergerak meluncur deras ke arah dua penyerang yang
ada didepannya.
Buum! Tiga dari penyerang dapat menyelamatkan diri
dengan melompat dari kalangan perkelahian, tiga lainnya nampak terhuyung sambil
mendekap dada. Se-
dangkan pedang yang dipergunakan untuk menangkis
terpental, melayang di udara dan jatuh disertai suara berkerontangan. Dua
lainnya memang sempat melompat ke samping hindari pukulan, namun keduanya tak
dapat meloloskan diri dari sambaran keris ditangan Ki Lurah.
Leher dan dada kedua orang ini robek mengu-
curkan darah, beberapa saat keduanya terhuyung, lalu jatuh terjengkang tak
berkutik lagi. "Kurang ajar! Keris itu sangat beracun!" seru Ronggo Medi. Laki-laki itu
kemudian berteriak ditujukan pada enam anak buahnya yang selamat. "Orang-orang
goblok tidak berguna, menyingkirlah kalian!"
Mendengar aba-aba dari pimpinannya keenam
laki-laki itu serentak berlompatan mundur menjauh,
namun tetap bersikap waspada menjaga segala ke-
mungkinan yang tidak diinginkan.
"Kakang mari kita berebut pahala menghabisi tua bangka jahanam ini bersama-
sama!" kata Belek Merat.
Ronggo Medi anggukkan kepala, disertai teriakan
aneh keduanya melompat dari atas kudanya masing-
masing. Begitu mereka jejakkan kaki didepan Ki Lurah Wanabaya keduanya langsung
menghantam lawannya
dengan pukulan tangan kosong. Ki Lurah dalam
menghadapi kedua lawan tidak mau berlaku ayal. Be-
gitu empat tangan mencecar di delapan bagian tubuh-
nya yang paling mematikan dia menyambut dengan
sambaran kerisnya. Ronggo Medi dan Belek Merat ke-
luarkan seruan kaget ketika merasakan ada hawa pa-
nas menyambar dari senjata ditangan lawan. Mereka
sama batalkan serangan tapi secara serentak lepaskan tendangan ke bagian dada
dan perut lawan.
Serangan ini sungguh tidak terduga. Ki Lurah
melompat mundur, tapi tendangan Ronggo Medi masih
tak dapat dielakkannya.
Bess! "Hegkh...!"
Ki Lurah menjerit tertahan, tendangan yang san-
gat keras membuat orang tua ini terlempar, lalu jatuh menelentang.
Ki Lurah megap-megap, mulut mengucurkan da-
rah, sedangkan isi perutnya serasa seperti diaduk-
aduk. Ki Lurah Wanabaya lalu meraih kerisnya yang
sempat terlempar, dia segera berdiri kembali. Tubuh-
nya limbung, kedua lutut bergetar, wajah pucat se-
dangkan bibir mengernyit menahan sakit. Melihat se-
mua ini Belek Merat dan Ronggo Medi dongakkan ke-
pala lalu tertawa bergelak.
2 Sementara itu dibalik semak belukar sepasang
mata yang terus mengawasi jalannya perkelahian ge-
lengkan kepala disertai seringai mencemo'oh dia berka-ta. "Keris di tangan Ki
Lurah memang hebat. Sayang kepandaian orang tua itu sendiri cuma sejengkal. Da-
lam satu gebrakan lagi aku yakin Ki Lurah terjungkal.
Hemm... aku punya rencana!" batin sosok yang bersembunyi di balik semak dalam
kegelapan. Pada saat itu Ronggo Medi dan Belek Merat men-
dadak hentikan suara tawanya. Masing-masing tangan
kanan orang itu berkelebat menyelinap di balik pa-
kaian. Ketika tangan ditarik kembali, tangan langsung diayunkan ke arah Ki Lurah
Wanabaya. Dua puluh
benda berwarna putih berlesatan di udara disertai terdengarnya suara berdesing.
"Senjata rahasia"!" seru orang tua itu ter-cekat.
Dalam keadaan seperti itu rasanya mustahil bagi Ki
Lurah untuk menyelamatkan diri dari serangan dua
puluh senjata rahasia yang disambitkan oleh lawan-
nya. Apalagi mengingat, masing-masing dari senjata
itu mengincar seluruh bagian tubuh yang mematikan.
Dalam kagetnya Ki Lurah memutar keris ditangan
hingga menjadi sebuah tameng yang kokoh untuk me-
lindungi diri. Tring! Tring! Terdengar suara berdentring keras begitu senjata
rahasia membentur senjata si kakek. Sepuluh senjata
lawan dapat dibuat rontok. Sisanya terpental dan berbalik hampir menghantam
pemiliknya sendiri. Ronggo
Medi memaki panjang pendek tak menyangka lawan
dapat menangkis pisau terbang yang mereka sam-
bitkan. Dengan perasaan penasaran bercampur marah
Ronggo Medi raup senjata dibalik pakaiannya. Kali ini dua tangan kembali
dihantamkan ke arah si kakek.
Puluhan sinar putih bagai kunang-kunang berta-
bur di udara, bergerak laksana kilat ke arah Ki Lurah siap menghujani tubuh
orang tua itu. Melihat serangan senjata rahasia dalam jumlah tak terhitung,
apala-gi saat itu Belek Merat juga melepaskan pukulan maut ke arahnya, kecil
sekali harapan bagi si kakek untuk
menyelamatkan diri. Apalagi saat itu akibat luka didalam membuat tenaganya
banyak terkuras sedangkan
rasa sakit dibagian dada semakin menghebat Ki Lurah
hanya dapat melompat ke samping, sedangkan keris
ditangan bergerak lamban menangkis serangan senjata
Ronggo Medi dan pukulan yang dilontarkan oleh Belek
Merat. Upaya yang dilakukan Ki Lurah untuk menye-
lamatkan diri kiranya tidak banyak membawa arti bagi dirinya sendiri. Sambaran
angin pukulan Belek Merat
membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Padahal
pada saat itu senjata rahasia lawan yang bertaburan di udara siap menghujani
sekujur tubuhnya.
Ki Lurah delikkan mata keris tetap diputar me-
nyambut hujan serangan senjata rahasia lawannya. Di
depan sana Ronggo Medi merasa yakin tidak lama lagi
Ki Lurah pasti terjungkal roboh ditembusi senjata
mautnya. Akan tetapi pada saat yang menegangkan itu
terdengar satu teriakan yang disertai berkelebatnya sa-tu sosok tubuh. Ketika
sosok itu melesat di udara dari dadanya yang terlindung pakaian warna biru
membersit cahaya putih terang menyilaukan. Cahaya aneh itu bukan saja hanya
menghantam runtuh senjata yang
dilemparkan Ronggo Medi, tapi juga memapas pukulan
Belek Merat hingga membuat pukulan berbalik meng-
hantam pemiliknya sendiri.
Berjumpalitan Belek Merat selamatkan diri dari
pukulan mautnya. Tapi hebatnya pukulan itu kini seo-
lah dikendalikan oleh satu kekuatan yang tak terlihat mata terus mengejarnya.
Melihat hal ini Ronggo Medi
selain merasa heran tapi tidak tinggal diam. Dia membantu temannya dengan
menghantam sinar biru dari
samping. Buuum! Satu ledakan mengguncang puncak tebing ditepi
jurang. Batu-batu dan pasir berlesatan di udara dalam
keadaan dikobari api. Ronggo Medi terjajar, sedangkan Belek Merat jatuh dengan
kepala menghantam batu.
Belek Merat menjerit, lehernya patah. Tindakan penyelamatan yang dilakukan sang
teman malah membuat
jiwa Belek Merat tidak ketolongan.
Dalam kagetnya untuk sekian lama Ronggo Medi
hanya mampu delikkan mata. Pada saat itu di samping
Ki Lurah kini telah berdiri tegak seorang pemuda tampan berpakaian serba biru,
berambut panjang di ke-
pang di bagian belakang. Sambil tersenyum sinis pe-
muda itu melirik ke arah Ki Lurah. Setelah itu perhatiannya beralih pada Ronggo
Medi. Sementara dilangit semburat merah sebagai tanda datangnya sang fajar
mulai menerangi langit dibagian timur.
Ki Lurah Wanabaya sendiri merasa dirinya telah
ditolong dan diselamatkan orang langsung membung-
kuk penuh rasa hormat. Dengan sikap sopan dia ber-
kata. "Anak muda, siapapun dirimu. Aku si tua Wanabaya menghanturkan banyak
terima kasih. Semoga
Tuhan membalas semua budi pertolongan yang telah
kau berikan padaku hari ini!"
Ucapan polos Ki Lurah Wanabaya ditanggapi
dengan tatapan dingin oleh pemuda itu. "Setiap pertolongan bukannya ada imbal
baliknya begitu" Ha ha ha.
Ingat dipagi ini aku tidak merasa telah memberikan
bantuan percuma yang bisa diselesaikan dengan uca-
pan terima kasih. Aku telah menghutangkan sebuah
kebaikan yang nantinya harus kau bayar berikut bun-
ganya." tegas pemuda itu dingin.
Sepasang mata Ki Lurah membelalak lebar, alis
mata berkerut. Ki Lurah memandang ke arah pemuda
itu dengan tatapan penuh rasa tidak mengerti.
"Anak muda apa maksud ucapanmu?" tanya
orang tua itu kemudian.
Si baju biru merasa senang melihat kakek tua itu
menjadi bingung. Sambil tertawa dia berkata. "Sekarang tidak ada waktu bagiku
untuk mengatakan segala
sesuatunya. Pergilah, kelak dalam waktu yang tidak
lama aku pasti akan mencarimu. Nantinya akan kuje-
laskan bagaimana caranya kau harus membayar hu-
tang dan bunga seperti yang kumaksudkan! Ha ha ha."
Walaupun hati Ki Lurah merasa tidak puas seka-
ligus tidak enak melihat cara pemuda itu bicara. Na-
mun akhirnya dia surut juga. Keris Kelabang Geni se-
gera dimasukkan ke tempat semula. Kakek ini berge-
gas menghampiri kudanya, lalu naik ke atas punggung
kuda. Sesaat dia menjadi bimbang, mulutnya hendak
menanyakan sesuatu. Tapi pertanyaan ditelannya
kembali. Ki Lurah Wanabaya menggebah kudanya. Di
saat kuda hendak berlari meninggalkan tempat itu,
mendadak terdengar suara teriakan Ronggo Medi.
"Anak-anak, jangan biarkan tua bangka itu lolos!!"
Enam anak buah Ronggo Medi serentak merin-
tangi jalan Ki Lurah sambil babatkan pedang ke bagian kaki kuda si kakek. Kuda
meringkik sedangkan pemuda baju biru tadi menghardik. "Manusia tak tahu celaka!
Berani menentang diriku berarti kematian bagian-
nya!" Baru saja si baju biru selesai berucap. Dari bagian dadanya kembali cahaya
putih seperti kilat me-
nyambar dan menghantam langsung tubuh keenam
anak buah Ronggo Medi. Detik itu juga ke enam laki-
laki bersenjata pedang berpelantingan roboh dengan
sekujur tubuh hangus gosong seperti terbakar api.
Bukan hanya Ronggo Medi yang dibuat tercekat,
sebaliknya Ki Lurah Wanabaya yang merasa ditolong
juga bergidik ngeri. Tubuhnya menggigil sedangkan
tengkuk terasa dingin seperti es. Si kakek tidak me-
nunggu lebih lama. Setelah ke enam penyerangnya
bergelimpangan roboh dia langsung memacu kudanya
tinggalkan si baju biru dan Ronggo Medi.
Kaki tangan adipati ini tidak mau gegabah sete-
lah mengetahui kehebatan yang dimiliki si baju biru.
Untuk sementara walaupun geram dia harus rela
membiarkan Ki Lurah lolos dari tangannya. Seperginya Ki Lurah Wanabaya Ronggo
Medi berkata. "Baju biru siapa dirimu ini" Kau telah begitu berani mengambil
resiko dengan mencampuri urusan Adipati!"
Si pemuda nampak tenang saja mendengar uca-
pan Ronggo Medi, disertai senyum mengejek dia men-
jawab. "Aku bisa saja memperkenalkan seribu nama.
Untuk kau ketahui, agar tidak membuatmu penasa-
ran. Namaku Menak Sangaji." jawab si baju biru. Dia menatap Ronggo Medi sekejap,
setelah itu melanjutkan. "Tadi kau menyinggung dan membawa nama
Adipati. Kau ini apanya Adipati" Kacung, anjing penja-ga atau cuma bangsat
suruhan" Apa kau mengira den-
gan membawa nama Adipati dapat membuatku lari


Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbirit-birit" Huh, seandainya pun kau adalah pan-
glima kerajaan siapa takutkan dirimu?"
Ucapan si baju biru membuat wajah Ronggo Medi
jadi merah padam. Baru sekarang ini dia merasa tidak dipandang muka oleh orang
lain. Dengan suara menggelegar Ronggo Medi berkata. "Bocah sial yang mengaku
bernama Menak Sangaji, siapapun dirimu aku tak
perduli. Kau telah menggagalkan tugas yang dibeban-
kan padaku oleh Adipati Purbolinggo. Selain itu kau
juga telah membunuh orang-orangku. Sebaiknya kau
menyerah untuk menerima hukuman dari Adipati!" teriak Ronggo Medi.
Menak Sangaji tertawa tergelak-gelak. Se-kejab
kemudian tawanya lenyap. Baik wajah maupun tata-
pan matanya kini mendadak berubah dingin.
"Kudengar tadi namamu Ronggo Medi. Kalau aku
mau, dengan mudah aku dapat merubahmu menjadi
memedi sungguhan. Kau tak perlu sesumbar didepan-
ku dengan mengagulkan nama Adipati. Cepat pergi
tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah fikiran!"
hardik Menak Sangaji.
"Bocah keparat, siapa takutkan dirimu. Makan
senjataku ini!" teriak Ronggo Medi tak kalah sengitnya.
Rupanya walau sudah tahu kehebatan yang dimiliki
lawan, namun mengingat kematian Belek Merat dan
delapan pembantunya, laki-laki itu tak dapat lagi menguasai diri. Begitu selesai
berkata Ronggo Medi gerakkan tangan kanannya ke arah lawan. Tangan bergerak
dari setiap ujung jemarinya meluncur masing-masing
sebilah pisau tipis ke arah si baju biru.
Orang yang mendapat serangan sama sekali tidak
bergerak dari tempatnya. Tapi secara tak terduga dari bagian dadanya kembali
melesat sinar putih yang
membuat belasan pisau terbang yang dilepaskan seca-
ra susul menyusul berjatuhan bagai daun disapu an-
gin. Hebatnya lagi seluruh senjata rahasia itu leleh dan mengepulkan uap putih.
Ronggo Medi tercekat, mulut ternganga namun
hati masih diliputi rasa penasaran. Tidak membuang
waktu lagi dia kembali raup senjata di balik pakaian.
Dua tangan bergerak, puluhan senjata rahasia berta-
bur di udara siap menghujam tubuh lawannya. Ronggo
Medi sendiri kemudian berlari ke depan lakukan se-
rangan susulan ke arah Menak Sangaji.
Pemuda yang diserang mendengus. Sekali dia
mengebutkan ujung lengan baju birunya, maka dari
balik ujung jubah menderu segulung angin yang lang-
sung membuat senjata lawan berpelantingan keselu-
ruh penjuru arah. Begitu seluruh senjata dibuat run-
tuh oleh Menak Sangaji, kini ada dua sinar berkelebat menghantam punggung dan
perutnya. Dalam kagetnya
sambil berkelit si pemuda mencoba mengenali senjata
yang dipergunakan untuk menyerangnya. Si baju biru
menyeringai begitu melihat Ronggo Menak mengguna-
kan dua golok untuk menggempur dirinya.
Si pemuda membiarkan salah satu dari golok itu
melewati pinggangnya. Begitu tebasan golok melesat
didepan perut, tangan kanan pemuda itu cepat berke-
lebat mencekal pergelangan tangan lawan yang meme-
gang golok. Tep! Kraak! Terdengar suara tulang lengan berderak patah
disertai dengan jerit kesakitan. Salah satu golok terlepas dari tangan Ronggo
Menak. Sedangkan golok yang
berada di tangan kirinya direnggut lepas oleh Menak
Sangaji. Golok rampasan melesat di udara, membabat
putus lengan pemiliknya. Ronggo Menak menjerit seja-
di-jadinya. Sama sekali dia tidak menduga dalam wak-
tu singkat dia telah kehilangan tangan kiri dan mengalami patah tulang pada
tangan kanan. Menak Sangaji tertawa lebar. Dengan tatapan si-
nis dia berkata. "Manusia tak berguna. Hari ini aku hanya minta sebelah
tanganmu. Lain hari aku minta
nyawamu. Kau boleh melapor pada Adipatimu. Kata-
kan padanya sebaiknya dia serahkan seluruh kadipa-
ten juga kekayaan yang dia miliki, kalau tidak mau
mencari penyakit. Sekarang pergilah! Katakan semua
yang kau ucapkan ini pada majikanmu!"
Rasa dendam dan amarah laksana menggelegak
didalam dada Ronggo Medi. Tapi dia sadar, lawan bu-
kanlah tandingannya. Apa lagi pemuda itu memiliki
kesaktian aneh yang sewaktu-waktu dapat memancar
dari bagian dadanya. Dengan bersusah payah Ronggo
Menak hampiri kudanya. Satu tangan mencengkeram
lehernya. Tapi mendadak dia merasa tubuh laki-laki
ini seperti diangkat, lalu dibanting di atas punggung kuda. Kuda itupun kemudian
seperti kesetanan berlari
kencang tak terkendali. Menak Sangaji tertawa dingin.
Dia tadi yang telah melemparkan Ronggo Menak ke
atas punggung kuda. Dia pula yang memasukkan
jangkerik ke dalam hidung dan telinga kuda, hingga binatang tunggangan itu
berubah beringas dan liar.
3 Empat ekor kuda kurus berlari kencang dengan
posisi saling berdempetan antara pinggul kuda yang
satu dengan kuda yang lainnya. Di atas punggung ku-
da nampak rebah membelintang seorang pemuda ber-
telanjang dada bercelana hijau berambut gondrong di-
ikat pita berwarna hijau. Di atas empat kuda yang tengah berlari kencang itu
tubuh si pemuda berbadan te-
gak terbujur. Dua tangan dipergunakan untuk mende-
kap terompet besar terbuat dari tembaga. Sementara
dua matanya terpejam, suara dengkur si pemuda me-
ningkah suara gemuruh langkah kuda yang menyisir
sepanjang dinding lembah batu cadas.
Sampai di ujung lembah ke empat kuda menda-
dak hentikan larinya. Ke empat kuda kurus meringkik
keras dengan nafas mengengah. Rupanya jalan di
ujung lembah buntu, terhalang dinding tebing yang
menjulang tinggi.
Suara ringkikan tidak membuat pemuda di atas
punggung ke empat ekor kuda terjaga. Rupanya tidur
pemuda itu terlalu nyenyak. Empat kuda kurus yang
dijadikan tempat ketiduran si gondrong mengguncang
badannya sendiri. Si gondrong mengeliat, lalu kedua
mata dibuka lebar. Sekejap tatap matanya menera-
wang ke langit. Tetapi agaknya rasa kantuk menye-
rangnya demikian hebat hingga tak lama kemudian
matanya terpejam kembali. Sebentar saja si gondrong
sudah mendengkur, tapi rupanya empat kuda tak mau
diam. Mereka terus berjingkrak gelisah, membuat tidur si pemuda terusik.
Si gondrong menggerutu, namun dia masih tetap
tergeletak menelentang di atas punggung kuda, tidak perduli panas terik
memanggang tubuhnya.
"Wuah... sudah siang rupanya. Hei...!" si gondrong keluarkan seruan kaget. Dia
melompat, bangkit
berdiri dengan kedua kaki bertumpu pada salah satu
punggung kuda tunggangannya. Setelah itu dengan si-
kap seenaknya dia duduk di atas kepala kuda terse-
but. "Binatang tolol, aku menyuruh kalian mencari jalan keluar agar kita dapat
meninggalkan lembah ini
secepatnya. Lalu mengapa kembali ke ujung jalan bun-
tu ini lagi?" Si gondrong mengomel, mulut cemberut sedangkan wajahnya berubah
masam. Ke empat kuda hanya keluarkan suara ringkikan
halus seperti putus asa. Si pemuda yang mengomeli
binatang tunggangannya kemudian tertawa sambil
memukul keningnya sendiri. Begitu kening dipukul da-
ri dua lubang telinganya keluar asap tipis berwarna kelabu. "Aku lupa, aku
sendiri yang manusia sudah beberapa hari memutar otak tidak juga menemukan jalan
keluar. Apalagi kalian cuma binatang tentu saja tidak punya akal fikiran. Heh...
apa yang harus kulakukan
kini. Dua puluh tahun aku terkurung di lembah Cadas
Setan ini, dari kecil sampai dewasa. Apa mungkin aku ditakdirkan sampai tua
tetap berada disini?" kata si pemuda seperti orang bingung.
Dalam bingungnya si gondrong angkat terompet
bermulut besar. Hulu terompet di dekatkan ke mulut-
nya. Kemudian si gondrong meniup terompet itu den-
gan suara pelan beraturan. Anehnya begitu ke empat
kuda kurus mendengar suara tiupan terompet pemuda
itu, para binatang ini nampak berjingkrak-jingkrak seperti orang menari. Si
gondrong melompat turun dari
atas kepala kuda yang dia duduki, sementara mulut
terus meniup terompet kesayangannya. Kuda terus
berjingkrak, kepala digoyang ke kiri dan ke kanan, sedangkan ekor dikibaskan.
Dari perlahan tiupan terompet semakin lama se-
makin bertambah keras. Seiring dengan suara tiupan
terompet maka gerakan ke empat kuda yang seolah
sedang menari itu kian menggila.
Si gondrong tertawa cekakakan melihat binatang
kesayangannya itu.
"Bagus... bagus. Kuda kurus kuda edan. Kuda
kurang makan, besar kentut sama tulang. Ha ha ha!"
kata si pemuda masih dengan tertawa-tawa. Dia ke-
mudian hentikan tiupan terompetnya. Begitu suara te-
rompet terhenti maka gerakan keempat kuda yang se-
dang menari juga berhenti. Nafas binatang itu kem-
bang kempis, lidah terjulur, sedangkan mata meman-
dang ke arah si gondrong sambil berkedip-kedip.
"Kuda sial! Waduh biung... kepalaku lagi sakit.
Mengapa berlaku tolol dengan mengajak aku bercan-
da?" damprat si gondrong marah.
Seakan mengerti dan tahu diri empat binatang
tunggangan itu tekuk kaki depannya kemudian mere-
bahkan badannya di depan pemuda itu.
Sungguh tak dapat ditebak watak pemuda ini,
sebentar tadi baru saja dia mengumbar amarahnya,
tapi sekarang setelah melihat binatang tunggangannya itu mendekam didepannya
dengan sikap seperti orang
bersujud dia kembali tertawa tergelak-gelak.
"Dasar binatang, sejak kapan aku mengajari ka-
lian agar bersujud di depanku. Binatang tidak bergu-
na.... tidak berguna!" damprat si gondrong berulang-ulang. Ketika pemuda ini
mengucapkan kata-kata itu
berulang-ulang, keempat kuda langsung bangkit berdi-
ri, kemudian meringkik keras lalu membalikkan badan
dan lari meninggalkan si gondrong. Dia jadi kaget, mulut ternganga mata
terbelalak. Ingat akan ajarannya
sendiri kalang kabut si pemuda berteriak. "Kalian sangat berguna... jangan
pergi, kalian sangat berguna.!"
Serentak mendengar ucapan si pemuda ke empat
kuda kurus yang berlari kencang berhenti mendadak.
"Ah... ha ha ha. Aku lupa dengan apa yang aku
ajarkan pada kalian para binatang. Jika kukatakan kalian 'tidak berguna', maka
kalian menjadi sakit hati, la-lu pergi meninggalkan aku. Kalau kukatakan
sebalik- nya kalian menjadi senang hati. Tak pernah ku me-
nyangka binatang juga ternyata punya rasa amarah.
Kuda yang baik, maafkan kesalahanku ini." kata si gondrong. Sesaat lamanya dia
memperhatikan kuda-kuda yang masih tetap berdiri di tempatnya. Dia lalu bangkit
berdiri, dengan sudut matanya si gondrong
melirik ke sudut kiri lamping tebing. Setelah memperhatikan bagian legukan di
dasar tebing itu si pemuda berucap. "Barangkali aku kurang sopan hendak pergi
begitu saja. Mungkin orang tua itu tidak merestui ke-pergianku, hingga sengaja
menyesatkan aku. Mustahil
di lembah lingkaran tebing ini tidak ada jalan keluar.
Aku harus menemui orang tua itu." kata si gondrong.
Sekali pemuda yang memiliki tingkah laku seperti
orang kurang waras ini berkelebat tubuhnya lenyap
dari pandangan mata.
Beberapa saat kemudian si gondrong bercelana
hijau telah berdiri tegak dimulut sebuah gua. Di depan mulut gua yang gelap dan
hanya setinggi kepalanya ini bibir si gondrong berkemak-kemik. Selesai berkemak-
kemik kedua lubang telinga si pemuda mengepulkan
asap tipis warna kelabu. Bersamaan dengan menge-
pulnya asap tipis itu pula dibagian dalam gua terden-
gar suara gemuruh hebat seperti terbukanya pintu ba-
tu. Kemudian kegelapan lenyap berganti dengan ca-
haya merah terang.
Si gondrong kemudian melangkah masuk ke da-
lam ruangan gua yang luas. Seperti biasanya dia men-
gendus bau harum tuak yang menyengat. Si gondrong
menyeringai, lalu dia kitarkan pandangan matanya ke-
segenap penjuru sudut ruangan. Tidak ada siapapun
disitu terkecuali tumpukan kendi dalam jumlah ratu-
san. Seluruh kendi itu berisi tuak yang telah tersimpan selama puluhan tahun.
"Percuma saja aku masuk ke dalam ruangan ini.
Dua puluh tahun aku berada di Lembah Cadas Setan
ini, belum pernah aku bertemu dengan guruku terke-
cuali kampret sial penghuni gua. Mungkin orang yang
telah mendidikku selama ini adalah bangsanya bapak
moyang kampret. Biarlah tidak mengapa asal aku ti-
dak ikut menjadi kampret sungguhan." kata si gondrong sambil gelengkan kepala.
Pemuda itu terdiam, dia memperhatikan tumpu-
kan kendi tuak yang tersusun rapi di sebelah kanan
sudut gua. Melihat kendi-kendi berwarna hitam yang
mulutnya tertutup kain merah timbul keinginan dihati pemuda itu untuk menikmati
tuak harum yang selama
ini sering dicurinya.
"Kepalaku sudah pusing memikirkan jalan ke-
luar. Kurasa sekarang ini baiknya mabuk dulu. Sete-
lah mabuk baru nanti kufikirkan bagaimana caranya
untuk meninggalkan lembah ini!" kata si gondrong dalam hati. Pemuda ini kemudian
melangkah ke sudut
ruangan gua. Tangan dijulurkan untuk mengambil sa-
lah satu kendi berisi tuak. Akan tetapi mendadak dari balik tumpukan kendi-kendi
itu ada segulung angin
menyambar tubuhnya. Si gondrong terhuyung, dia ter-
sentak kaget, kepala menggeleng sedangkan mulut
mengumbar tawa.
"Setan... siapa yang menyerangku?" teriak si gondrong.
Belum lagi lenyap rasa kaget dihati pemuda ini
mendadak sontak terdengar suara bergemuruh yang


Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disertai dengan suara tawa menggeledek. Suara tawa
itu seolah datang dari seluruh penjuru ruangan gua,
membuat batu-batu yang bertonjolan di langit-langit
gua berjatuhan. Si gondrong yang seharusnya surut
melihat semua keanehan yang terjadi, sebaliknya ma-
lah bergerak menyambar kendi besar. Angin deras
kembali menerpanya membuat kendi hampir terlepas
dari tangan pemuda itu. Tegak dengan tubuh sem-
poyongan pemuda ini mengangkat kendi itu, mulut di-
buka. Tuak di dalam kendi mengucur menebarkan bau
harum menyengat.
Gluk! Gluk! Gluk!
"Ha ha ha! Sudah berapa banyak tuakku yang
kau curi. Sudah berapa kendi yang amblas ke dalam
perutmu anak setan.!" satu suara keras mengumandang meningkahi suara gemuruh
angin yang berputar
cepat memenuhi ruangan gua.
"Kau datang lagi orang tua. Seperti dulu sampai sekarang kau tak mau unjukkan
dirimu. Apakah ujudmu seperti angin, tidak terlihat namun ada" Ha ha ha. Gluk gluk gluk. Aku
tidak perduli. Mungkin kau
memang bukan manusia, mungkin kau hantu, dedemit
atau setan! Seperti yang pernah kukatakan aku ingin
keluar dari lembah ini!" sahut si gondrong. Sambil me-neguk tuaknya dia tertawa-
tawa. Kini akibat kerasnya tuak yang dia minum membuat tubuhnya terasa lebih
enteng, badan terasa lebih hangat kepala agak pusing sedangkan matanya nampak
kemerahan. "Anak setan. Kau bocah sableng. Aku bukan de-
demit, yang pasti aku adalah manusia. Ha ha ha!"
Si gondrong yang siap menuang tuak ke dalam
mulut jadi tunda keinginannya. Dengan mata mendelik
dia memandang ke arah darimana suara itu berasal.
Dengan mulut setengah terbuka dia bertanya. "Jadi kau manusia sepertiku?"
"Ha ha ha. Aku yang pantas disebut manusia.
Sedangkan kau bukan?"
Si gondrong belalakkan matanya. "Hah... jadi aku apa?" "Kau Setan Sableng!"
sahut suara itu.
"Aku tidak perduli. Engkau mau mengatakan di-
riku setan atau iblis terserah. Aku mau minum sepua-
sku dulu sebelum kutinggalkan tempat ini. Ha... ha...
ha!" sahut si pemuda.
Gluk! Gluk! Si gondrong terus teguk tuaknya sampai tuntas.
Begitu tuak dalam kendi besar habis, dengan seenak-
nya kendi dibuang ke lantai. Dengan kepala ber-
goyang-goyang Setan Sableng angkat tangan kanan,
tangan itu lalu ditarik kebelakang lakukan gerakan seperti mengambil. Satu kendi
besar kembali melayang
di udara. Kali ini tanpa menyentuh kendi yang men-
gambang di atas kepalanya si gondrong Setan Sableng
membuka mulut. Tuak dalam kendi mengucur deras,
masuk ke dalam mulut Setan Sableng kemudian am-
blas ke dalam perut.
"Enak betul minummu hari ini. Akupun jadi ingin ikutan minum sampai mabuk!" kata
satu suara. "Bapak moyang setan yang tak pernah mau un-
jukkan diri, bagaimana kau bisa minum" Ujudmu tak
pernah terlihat. Apa kau punya mulut" Jika punya
mulutmu berada di atas atau di bawah. Ha ha ha!" ka-ta Setan Sableng.
"Minumku lebih hebat darimu, Setan Sableng.
Sekarang kau lihat mulutku bisa berada di mana-
mana!" sahut suara itu disertai tawa bergelak. Suara tawa lenyap, kemudian Setan
Sableng yang berdiri tegak ditengah ruangan gua merasakan ada angin me-
nyambar didepannya, seolah ada orang yang berjalan
didepan pemuda itu.
Tak berselang lama sepuluh kendi nampak me-
layang, mengapung di udara dengan posisi bertebaran
disetiap sudut. Setelah itu serentak sepuluh mulut
kendi terjungkir isinya tumpah dan mengucur deras ke arah lantai gua. Setan
Sableng terperangah, mata
membeliak. Dia yakin semua tuak yang tercurah dari
sepuluh mulut kendi pasti akan terbuang percuma.
Namun apa yang terjadi kemudian membuat Setan
Sableng jadi golang golengkan kepala. Sejengkal lagi cairan tuak menyentuh
lantai gua. Tuak tiba-tiba raib disertai suara bercelengukan di sepuluh tempat
dimana sepuluh kendi itu bertebaran di udara.
Gluk! Gluk! Gluk
"Ha ha ha! Enak... enak sekali. Baru hari ini kurasakan nikmatnya tuak wangi."
kata suara tanpa ujud itu sambil melahap habis curahan tuak yang
mengucur dari sepuluh kendi. Setelah kendi kosong,
benda-benda itu berlesatan disudut gua berjejer rapi seperti di susun.
"Setan kesasar yang mengaku sebagai guruku,
memangnya kau punya mulut ada berapa" Bagaimana
kau bisa melahap sepuluh kendi tuak yang mengucur
dari tempat yang berlainan?" tanya Setan Sableng yang sempat dibuat tertegun dan
tunda minum tuaknya
yang mengucur di udara.
"Setan Sableng. Tololnya dirimu karena tidak
pernah menganggap aku sebagai gurumu. Hukh.... kau
dengar! Mengenai mulutku tak usah kau tanya ada be-
rapa. Mungkin mulutku ada tiga, bisa jadi ada sepu-
luh" kata suara tak berujud itu disertai tawa pendek.
"Sekarang juga aku harus pergi dari tempat ini!"
"Aku sudah coba melakukannya, tapi yang kute-
mui cuma jalan buntu!" kata Setan Sableng. Pemuda itu kemudian dongakkan
wajahnya ke atas. Kepala di-gelengkan hingga tuak dalam kendi mengucur dan me-
lesat ke dalam mulut Setan Sableng.
"Bocah sableng. Tunda keinginanmu untuk me-
nikmati tuak itu. Aku mau bicara!" hardik suara tanpa rupa berang.
Setan Sableng tertawa. Dengan sikap acuh dia
menjawab. "Sejak tadi aku sudah mendengarmu. Antara mulut dengan telinga tidak
punya hubungan lang-
sung. Aku bisa mendengar sambil minum tuak, biar
suaramu yang sember itu terdengar merdu ditelinga-
ku!" "Baiklah, kalau begitu biar kusumpalkan seluruh tuak ke dalam mulutmu,
setelah itu baru aku bicara padamu!" Gema suara tanpa rupa lenyap. Setan Sableng
berjingkrak kegirangan. Tetapi kegembiraan hati pemuda sableng ini lenyap
seketika begitu melihat seluruh kendi yang bertumpuk di sudut ruangan gua
melesat ke arahnya, menyerang dari berbagai penjuru
arah. Seakan ada satu tangan yang menggerakkan se-
bagian besar isi kendi bertumpahan sebagian masuk
ke dalam mulut Setan Sableng sedangkan sebagian be-
sar tertumpah membasahi tubuhnya. Terhuyung-
huyung disertai tawa bekakakan Setan Sableng acung-
kan telunjuknya ke arah lantai dimana tumpahan tuak
tergenang dilantai gua.
Set! Set! Satu keanehan yang sulit dipercaya terjadi. Tum-
pahan tuak yang tergenang di atas lantai tersedot ke atas dan masuk ke dalam
mulut pemuda itu.
Melihat tingkah pemuda gondrong itu, suara tan-
pa rupa tertawa tergelak-gelak. "Tidak salah aku mem-
berimu nama Setan Sableng! Apa kau lupa empat kuda
kesayanganmu selalu tidur disitu dimalam hari. Mere-
ka memang tahu diri dengan tidak membuang hajat
disini. Tapi kencingnya siapa berani menjamin! Ha ha ha." Mulut Setan Sableng
berdecak, hidung mengen-dus begitu mendengar ucapan sang guru. Dia lalu me-
rasakan diantara bau wangi tuak juga tercium bau
pesing. Mendadak Setan Sableng merasa perutnya
menjadi mual. "Hueek... huek...!" Dengan tubuh sempoyongan Setan Sableng mencoba muntahkan
arak yang dis-edotnya dari lantai gua. Sampai pemuda ini merasakan
tenggorokannya sakit tuak yang diminumnya tidak ju-ga keluar dari perut Setan
Sableng. Si Sableng gelengkan kepala untuk mengusir ra-
sa sakit yang terasa mendera otaknya.
"Pusing ya" Ha ha ha. Itu akibatnya jika kau minum tuak bercampur kencing kuda!"
kata suara tanpa rupa. Bersamaan dengan terdengarnya ucapan itu puluhan kendi
tuak yang bertaburan di udara kembali
melesat dan tersusun rapi di tempatnya semula.
Setan Sableng jatuh terduduk. Dia mengusap pe-
rutnya yang besar akibat terlalu banyak minum tuak
keras. "Sekarang perutku kenyang, mataku jadi men-gantuk. Aku ingin tidur lagi!"
kata Setan Sableng. Mulut si gondrong terbuka lebar, menguap beberapa kali,
sedangkan matanya yang merah nampak mulai terpejam.
4 Melihat Setan Sableng yang siap tertidur itu, ma-
ka suara tanpa rupa bergerak mendekat. Entah apa
yang dilakukannya, yang jelas Setan Sableng menjerit sambil tertawa-tawa. Dia
merasa seperti ada sepasang tangan yang sangat kokoh menggelitik perutnya.
"Tobaat... walah...!" kata pemuda itu sambil me-ronta-ronta. Setan Sableng baru
diam setelah dia me-
rasakan sepasang tangan yang menggelitiknya terasa
menjauh. "Bapak moyang setan' damprat Setan Sableng sambil menghembuskan
nafasnya. "Sekarang ka-takanlah apa yang ingin kau sampaikan.!" kata pemuda itu.
"Kau dengar! Dulu kau bertanya tentang ayah-
mu?" Diingatkan tentang ayahnya Setan Sableng berjingkrak kaget. Dia memandang
ke arah datangnya su-
ara sambil berkata. "Kau benar! Aku memang ingin mencari ayahku. Konon menurutmu
untuk bertemu dengan ayahku yang sedang mengalami seribu pende-
ritaan itu aku harus bertemu dengan Ki Lurah Wana-
baya. Ki Lurah yang harus kutemui itu sekarang bera-
da di mana?"
"Pergilah ke selatan Purbalingga. Disana kau
akan menjumpai sebuah desa bernama Ajibarang. Lu-
rah itu adalah orang satu-satunya yang dapat mem-
pertemukan dirimu dengan ayahmu. Karena dia yang
di percaya oleh ayahmu untuk menyimpan peta raha-
sia perjalanan."
"Peta rahasia perjalanan apa" Kepalaku sekarang sudah pusing, jangan lagi kau
tambah dengan segala
penjelasan yang membuat aku jadi bingung." ujar Setan Sableng.
"Aku tidak tahu apakah peta rahasia perjalanan
itu hanya berupa peta biasa, atau menyimpan rahasia
tertentu. Yang jelas saat ini Adipati Purbolinggo terus mencari peta itu. Dia
bahkan mengerahkan tokoh-tokoh silat cabang atas, dia juga menyebar mata-mata
untuk mencari di tangan siapa peta itu berada." jelas suara tanpa rupa.
"Aku tidak perduli dengan segala macam peta.
Aku ingin bertemu dengan ayahku." tegas Setan Sableng. Pemuda ini terdiam
sejenak, setelah berfikir Setan Sableng melanjutkan ucapannya. "Kau selalu me-
manggilku Setan Sableng, apakah ayahku setan sung-
guhan dan tidak terlihat sebagaimana halnya dirimu?"
"Ha ha ha. Kalau dirimu Setan Sableng, boleh ja-di ayahmu dedemit sableng juga.
Kau carilah sendiri
asal usulmu. Kau telah menguasai segala ilmu yang
kumiliki. Sekarang pergi, tinggalkan tempat ini secepatnya."
"Tunggu.... konon menurut katamu aku mempu-
nyai saudara" Siapa saudaraku itu, laki-laki atau pe-rempuan?" tanya Setan
Sableng. "Saudaramu mungkin laki-laki, bisa jadi perem-
puan. Mana aku tahu" Lebih baik kau tanyakan saja
pada dukun yang menolong saudaramu itu saat mela-
hirkan." sahut suara tanpa rupa.
Mendapat jawaban seperti itu Setan Sableng
langsung meremas rambutnya sendiri. "Kurang ajar.
Bagaimana aku bisa mencari dukun itu?" rutuk Setan Sableng kesal bukan main.
Dengan muka cemberut dia
bertanya, "Guru yang berujud seperti kentut."
"Setan Sableng sialan, berani kau mengatakan
aku kentut?" maki suara tanpa rupa berang.
Setan Sableng tertawa. "Karena yang ku-dengar
selama ini hanya suaramu saja, sedangkan kau tak
mau unjukkan diri apakah aku tidak pantas memang-
gilmu kentut" Ha ha ha!"
"Bocah sial! Katakan apa yang hendak kau ta-
nyakan"!" Akhirnya suara tanpa rupa memberi kesempatan pada muridnya.
"Kalau aku boleh tahu, dimana aku harus me-
nemui dukun beranak yang menolong kelahiran sau-
daraku itu" Siapa pula namanya?"
Kembali terdengar suara tawa mengekeh. "Aku
tidak tahu, kau bisa mencarinya sendiri. Jika waktu
itu umurnya sudah tujuh puluhan. Berarti jika masih
hidup sekarang sudah hampir seratus tahun. Kau bisa
keliling kampung untuk mencari tahu. Kalau tidak kau temukan juga kau bisa
mencarinya dikuburan. Sedangkan nama dukun beranak itu aku juga tidak ta-
hu!" Dengan mulut bersungut-sungut Setan Sableng berucap. "Semua keteranganmu
itu hanya akan menjadi kesulitan bagiku!"
"Sejak kau keluar dari tempat ini, hari-hari hidupmu memang akan banyak
mengalami kesulitan Se-
tan Sableng. Ha ha ha!" sahut suara tanpa rupa.
Meskipun jengkel. Setan Sableng akhirnya ikutan ter-
tawa juga. "Kau tidak dapat menjawab pertanyaanku tidak mengapa. Tapi aku masih
punya satu pertanyaan
yang lain." ujar Setan Sableng begitu hentikan tawanya.
"Apa pertanyaanmu?"
"Jika kau tidak mengetahui nama saudaraku itu,
apakah kau dapat menjelaskan ciri-cirinya?"
Suara tanpa rupa terdiam sejenak. Tak lama se-
telah itu suaranya kembali terdengar. "Saudaramu mempunyai satu tanda berupa
tahi lalat besar di bagian bawah ketiaknya."
"Di ketiak?" desis Setan Sableng hampir berteriak karena jengkel.
"Ya, dibagian ketiak. Kau bisa memeriksa ketiak setiap orang. Kalau perlu semua
laki-laki atau perem-puan yang kau jumpai periksa ketiaknya! Ha ha ha!"
Mulut Setan Sableng ternganga lebar mendengar
jawaban suara tanpa rupa. Tapi dia kemudian terse-
nyum. "Baiklah akan kuperiksa ketiak setiap orang yang kujumpai. Sekarang aku
mohon pamit. Terima
kasih atas budi pertolonganmu selama ini. Kuharap ini bukan perjumpaan kita yang
terakhir kali. Sebelum
pergi aku Setan Sableng memohon ijinmu untuk mem-
bawa serta dua puluh kendi tuak!"
"Ha ha ha! Kalau kuda kurusmu mampu mem-
bawa seratus kendi tuak, aku tidak pernah melarang.
Karena aku tahu Setan Sableng memang doyan tuak.
Sekarang kau pergilah keselatan tebing cadas ini. Disana kau pasti akan
menemukan satu jalan keluar," ka-ta suara tanpa rupa memberi petunjuk. Setan
Sableng tersenyum. Dia kemudian merasakan ada hembusan
angin keras bertiup dan bergerak keluar ke mulut gua.


Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seiring dengan hembusan angin tadi, puluhan kendi
yang tersusun disudut gua lenyap. Kini yang tertinggal hanya satu kendi besar.
Setan Sableng melongo.
"Setan kentut. Kau mengizinkan aku untuk
membawa ratusan kendi tuak. Tapi mengapa yang kau
tinggalkan cuma satu?" teriak si pemuda.
Jauh diluar mulut gua, Setan Sableng sayup-
sayup mendengar suara tawa bergelak disertai mene-
barnya bau tuak harum.
"Apa kau mengira cuma dirimu yang doyan tuak"
Aku juga ingin minum sampai mabuk. Satu kendi yang
kutinggalkan untukmu sudah lebih dari cukup. Di da-
lam kendi besar itu adalah biangnya tuak. Kau minum
satu teguk mabukmu sepuluh hari! Ha ha ha!"
"Oalah... kau guru yang baik, kau setan kentut
yang bijaksana. Terimakasih atas warisan yang kau
tinggalkan ini. Setan Sableng kelak pasti akan terus mengenangnya biarpun cuma
dalam mimpi. Ha ha ha!"
kata pemuda itu. Masih dengan tertawa Setan Sableng
menghampiri kendi besar disudut dinding gua. Kendi
itu kemudian diangkat dan dipanggulnya. Sambil me-
manggul kendi Setan Sableng tinggalkan gua itu.
Ketika Setan Sableng sampai didepan mulut gua
dia melihat empat ekor kuda tungangannya telah ber-
diri berjejer disitu. Si pemuda tersenyum melihat kehadiran empat binatang
kesayangannya ini. Tapi keti-
ka si pemuda meletakkan kendi besar disalah satu
kantong perbekalan yang tersampir di atas punggung kuda sepasang alisnya
berkerut. "Kepala ke empat kudaku bergoyang tak mau di-
am, kedua matanya merah. Lidah terjulur, jangan-
jangan...?" Si gondrong tidak melanjutkan ucapannya.
Dia malah dekatkan hidungnya ke mulut kuda. Si pe-
muda bersin dua kali begitu tercium olehnya bau tuak dari mulut kuda. Komat-
kamit dengan mata mendelik
Setan Sableng mendamprat. "Dasar setan... mengapa kudaku diberi minum tuak, mengapa harus dibuat
mabuk?" teriak si pemuda uring-uringan. Empat kuda meringkik, kepala bergoyang,
mata dikedip-kedipkan.
Agaknya kuda itu hendak mengatakan 'mabuk itu ter-
nyata enak'. Tapi tingkah ke empat kuda ini membuat
Setan Sableng jadi tambah jengkel. "Kuda tolol. Mungkin kalau diberi racun
kalian minum juga. Dasar binatang!" Seakan mengerti majikannya marah binatang
itu hanya diam saja. Kepala tertunduk, kaki diketukkan di atas tanah. Setan
Sableng dengan langkah terhuyung lalu melompat di atas punggung kuda. Begitu
berada di atas empat kuda yang berdiri dengan posisi saling merapat Setan Sableng
rebahkan tubuhnya. Terompet
besar yang sejak berada dalam gua tadi disampirkan
dibagian punggung kini talinya dilepas. Terompet itu lalu didekatkan ke mulut.
Setelah itu mulutnya meniup. "Tret.... tet... tel...! Kuda kurus kuda berguna.
Perjalanan dimulai!" kata Setan Sableng.
Empat kuda berlari kencang, terkadang kuda-
kuda itu terhuyung ke kiri atau oleng ke kanan. Tidak jarang kuda nyaris
tersungkur. Setan Sableng tertawa mengekeh.
"Semula aku mengira terjadi gempa hebat di
Lembah Cadas Setan ini. Kurasakan jalan kuda oleng,
kepalaku pusing. Tapi ternyata akibat ulah setan angin kudaku jadi ikutan mabuk.
Kuda yang ditunggangi
mabuk, orang yang menunggangi Setan Sableng yang
sedang mabuk. Ha ha ha... semakin asyiik mabukku!"
Tret...titet...titet....!" suara terompet kembali terdengar.
Empat kuda mabuk lenyap dari pandangan mata,
berlari cepat menuju ke sebelah selatan lembah den-
gan membawa majikannya yang sedang mabuk.
5 Laki-laki berpakaian dan berbelangkon warna
cokelat itu masih berlutut didepan anak tangga perta-ma tak jauh dari sebuah
gedung tua yang terletak di
kaki gunung Slamet. Dia terus dalam keadaan seperti
itu, tidak berani bergerak apalagi bersuara. Sekujur tubuhnya menggigil, pakaian
basah bersimbah keringat. Masih dengan wajah tertunduk orang tua berusia
lima puluh tahun itu melirik ke arah kudanya yang
tergeletak tak jauh disebelah kanan. Kuda berbulu cokelat yang menjadi
tunggangannya selama ini terkapar
dengan tubuh tercabik-cabik seperti di cacah.
Sementara itu tak jauh dibelakangnya lima bocah
buas yang terdidik seperti serigala nampak mengepung laki-laki berpakaian
bangsawan ini dengan sikap men-gancam. Sadar kelima bocah serigala itulah yang
telah membunuh dan merobek-robek kudanya maka si
orangtua tak berniat bersikap gegabah.
"Wisang Banto Oleng.... kau biarkan diriku mati ketakutan disini" Atau kau
hendak memberikan aku pada lima bocah serigala itu" Selamanya aku tidak
pernah melanggar janji, setiap budi pertolongan yang kau berikan padaku pasti
aku membalasnya dengan
imbalan jasa yang dapat menyenangkan dirimu lahir
batin"! Sekarang mengapa kau membiarkan para bo-
cah asuhanmu membunuh kuda kesayanganku. Wi-
sang Banto Oleng, apakah kau ingin membuat kejutan.
Atau semua apa yang kulihat tadi merupakan ujud da-
ri kemurkaanmu"!" dalam takutnya laki-laki bangsawan itu berkata dalam hati.
Orangtua ini lalu memu-
tuskan untuk mendaki sepuluh anak tangga menuju
bangunan tua. Baru saja dia bangkit berdiri, sepuluh bocah serigala dongak-kan
kepala, mulut menyeringai
memperlihatkan taringnya yang panjang berlumur da-
rah kuda. Kemudian terdengar suara lolong panjang
yang tidak ubahnya seperti suara lolong serigala. Sua-ra lolongan lima bocah
serigala lenyap, lalu sayup-
sayup dikejauhan sana disepanjang lereng gunung Se-
lamet terdengar suara lolongan lain menyahuti.
Orang berbelangkon cokelat urungkan niat. Ke-
dua lututnya bergetar. Tengkuk sudah tidak terasa
tengkuk lagi, tapi berubah dingin laksana batangan es.
Dalam takutnya laki-laki bangsawan itu akhirnya
memberanikan diri berteriak. "Orang tua.... sesepuh puncak dan kaki gunung
Selamet. Aku Suryo Lagalapang datang menyambangi dengan membawa kabar
serta maksud baik. Kesediaanmu menjumpai aku ku-
anggap sebagai satu kebaikan. Setiap kebaikan yang
kau berikan kubalas dengan imbalan yang pantas! Wi-
sang Banto Oleng harap sudi kiranya kau menjumpai
aku!" kata orang ini dengan suara bergetar. Melihat ca-ra bangsawan ini bicara
dan menyebut nama orang.
Jelas sekali kalau dia sangat menghormati orang yang hendak ditemuinya.
Lima bocah serigala yang hendak keluarkan sua-
ra lolong dan siap menerkam laki-laki itu batalkan niat begitu mendengar orang
menyebut nama Wisang Banto
Oleng. Mereka kembali mendekam, bagaikan kawanan
serigala yang siap menerkam mangsanya.
Tidak begitu lama menunggu kesunyian di kaki
gunung kemudian dipecahkan dengan terdengarnya
suara tawa bergelak. Suryo Lagalapang menjura ke
arah terdengarnya suara tawa sampai keningnya me-
nyentuh anak tangga pertama. Perasaan orang tua itu
menjadi lega, karena orang yang hendak ditemuinya
berkenan menunjukkan diri.
"Orang tua terimalah hormatku!" kata Suryo Lagalapang dengan sikap menjilat
namun dalam hati dia
memaki. "Tua bangka keparat! Seharusnya kau yang menyembah padaku, bukan
sebaliknya. Biarlah untuk
sementara ini tidak mengapa, aku yang berlaku seperti seorang pengemis sampai
tiba pada waktunya kau
yang mengemis dihadapanku!"
Dari dalam gedung tua suara tawa mendadak le-
nyap. Kemudian terdengar suara langkah kaki bera-
laskan trompah. Orang tua berpakaian bangsawan
dongakkan kepala memandang pada anak tangga ke-
sepuluh. Di atas puncak anak tangga yang berhubun-
gan langsung dengan lantai gedung itu kini berdiri tegak seorang laki-laki
berbadan kurus berambut putih
sulah dibagian depan. Kakek bercelana hitam dekil ini
bertelanjang dada, tulang rusuk bergonjolan pipi ce-
kung, pelipis menonjol. Dua rongga matanya begitu lebar, kumis menutup bibir.
Selain itu dua tangan hanya berupa kulit pembalut tulang. Sepuluh jari tangannya
ditumbuhi kuku panjang berwarna hitam. Dari penampilan orang tua ini saja
terlihat dia pasti adalah orang yang memiliki tingkat kesaktian tak dapat diduga
dan yang lebih pasti lagi, sepuluh kuku hitam itu merupakan senjata andalan
mengandung racun jahat.
Dengan matanya yang cekung si kakek pandangi
Suryo Lagalapang. Laki-laki berpakaian bangsawan itu kini berdiri tegak dengan
wajah tertunduk. Kakek bermata cekung setelah merayapi sekujur tubuh orang
yang berdiri di anak tangga pertama dengan lirikan
aneh kini beralih pada lima bocah serigala yang selama ini didiknya dengan cara-
cara binatang buas dan ga-nas. Pada kelima bocah berusia sekitar delapan tahun
ini berseru. "Anak-anakku. Kalian terlalu nakal. Mengapa kuda tetamu kita harus
dibunuh" Akh, tak ku-
sangka. Sekarang sebaiknya kalian pergi bermain. Bi-
arkan tetamu kita berbincang denganku mengutara-
kan segala hajatnya!" kata si kakek disertai gelengan kepala.
Lima bocah serigala yang hanya mengenakan pe-
nutup aurat ala kadarnya sama dongakkan kepala.
Mulut menyeringai lalu mengeluarkan suara lolongan panjang. Setelah itu tidak
ubahnya seperti anak-anak serigala dengan gesit kelima bocah ini berkelebat
dibalik semak belukar, kemudian lenyap dari pandangan
mata. Suryo Lagalapang menarik nafas lega. Kini dia
memandang kebagian undakan anak tangga paling
atas. Si kakek yang berdiri disana anggukan kepala
sambil memberi isyarat agar sang tamu datang meng-
hampirinya. Orang tua itu sendiri kemudian balikkan
badan, tanpa menunggu Suryo Lagalapang sampai di
atas undakan anak tangga paling atas si kakek berce-
lana hitam butut melangkah masuk ke dalam gedung
yang menjadi tempat tinggalnya selama puluhan ta-
hun. Ketika laki-laki berpakaian bangsawan sampai
disalah satu ruangan, Wisang Banto Oleng telah du-
duk dilantai ruangan yang hanya beralaskan tikar bu-
tut. Dengan kaki bersila dan dua mata dipejamkan si
kakek berwajah seram membuka mulut. "Adipati Suryo Lagalapang, aku hanya bisa
menyambutmu dengan
keadaan sebagaimana yang kau lihat. Kau boleh du-
duk dimana kau suka."
Suryo Lagalapang yang ternyata adalah seorang
adipati itu memandang ke lantai ruangan yang becek
licin diwarnai noda darah. Tikar satu-satunya yang ada di ruangan itu adalah
tikar butut yang diduduki oleh Wisang Banto Oleng. Duduk bersama di atas tikar
yang kecil itu jelas tidak mungkin karena pemilik rumah yang memiliki sifat
sulit ditebak ini bisa saja be-ranggapan Suryo Lagalapang berlaku kurang sopan.
"Suryo Lagalapang, kau bukan manusia tuli. Tapi mengapa tidak mendengar apa yang
aku perintahkan!"
suara dingin si kakek menggema didalam ruangan
membuat sang tamu cepat jatuhkan diri dengan duduk
dilantai. Orang tua didepan sang adipati lanjutkan
ucapan seolah memberi penjelasan. "Anak-anakku
memang kelewat bandel. Semalam mereka berpesta
pora dengan menyantap mangsanya disini. Tapi kau
tidak perlu risau dengan keadaan ini. Anggap saja saat ini kau sedang berada di
sorga. Ha ha ha!" Wisang Banto Oleng umbar tawanya. Didepan sana Suryo
Lagalapang perasaannya jadi tidak enak. Dia tahu yang
dimaksud mangsa oleh si kakek pastilah manusia yang
menjadi korban kebuasan lima bocah serigala yang te-
lah membunuh kudanya tadi. Seakan mengerti dengan
apa yang dirasakan oleh tamunya si kakek berkata.
"Jangan kau hiraukan segala keanehan yang terjadi disini. Kau datang jauh dari
Purbolinggo sana tentu
bukan untuk mengurusi atau mencari tahu tentang
segala rahasia pribadiku bukan?"
Dengan gugup Suryo Lagalapang menyahut.
"Engkau benar orang tua. Aku datang berkunjung ke-tempatmu ini karena ada satu
urusan penting!"
Perlahan sepasang mata yang terpejam itu mem-
buka. Dia memandang tajam pada tamunya. Sejenak
pandangan mereka bertemu, Suryo Lagalapang Adipati
Purbolinggo cepat alihkan perhatiannya ke lain tempat merasa tak kuat menatap
mata bengis penuh seribu
kekejian didepannya.
"Seperti katamu, setiap kebaikan harus ada im-
balan. Sekarang ini imbalan apa yang hendak kau be-
rikan" Apakah nyawamu" Ha ha ha!"
Ucapan si kakek membuat sang tamu menjadi
gugup, wajahnya basah oleh keringat dingin. Dengan
tangan gemetar dia meraih sesuatu dibalik pakaian ci-kelatnya. Satu kantong
cokelat dikeluarkan, pengikat kantong dibuka, isi dituang. Terdengar suara geme-
rincing. Isi kantong ternyata terdiri dari emas dan
permata. Si kakek angker gelengkan kepala, dari hi-
dungnya terdengar suara mendengus. Suryo Lagala-
pang merasa serba salah.
"Suryo... hadiah itu mungkin menarik bagi orang lain, tapi tidak bagiku. Aku
inginkan suatu bentuk
pemberian yang lain, beda dari yang sudah-sudah. Ka-
lau kau sanggup, pertolongan pasti akan kuberikan!
Jika tidak dapat memenuhi keinginanku, berarti sura-
tan hidupmu berakhir di hari ini. Anak-anakku akan
membunuhmu, begitu malam tiba para sahabat yang
berkeliaran di sekitar kaki gunung ini akan mencabik tubuhmu sampai ujud kasarmu
hanya tinggal tulang
belulang. Ha ha ha!" kata Wisang Banto Oleng disertai gelak tawa.
Seumur hidup, Suryo Lagalapang adalah manu-
sia pemberani yang tak pernah mengenal rasa takut.
Kelicikan serta kekejamannya sungguh luar biasa. Se-
kali dia menginginkan sesuatu, apa yang dia mau ha-
rus tercapai tak perduli dengan cara apapun. Walau
harus mengorbankan hartanya maupun nyawa orang
lain. Tapi sekarang, berada dihadapan momok nomor
satu gunung Selamet ini dia merasa tidak berkutik.
Dan untuk pertama kali dalam hidup Suryo Lagala-
pang merasakan takut yang amat sangat.
6 Dalam keadaan dicekam rasa takut begitu rupa
untuk beberapa saat lamanya Suryo Lagalapang tak
mampu bicara apapun. Di depannya Wisang Banto
Oleng tertawa bergelak. Setelah meraup emas dan


Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permata yang bertumpuk di atas lantai, sambil mema-
sukkan benda-benda berharga itu si kakek angker
berkata. "Suryo Lagalapang, hadiah pemberianmu ini kuterima. Tapi aku masih
inginkan satu hadiah yang
lain." ujar orangtua itu dengan senyum bermain dibibirnya.
Dengan cepat Suryo Lagalapang bertanya. "Orang
tua apapun yang kau minta asalkan tidak nyawaku
pasti akan kupenuhi. Kau hanya tinggal mengatakan
apa yang kau inginkan?"
Wisang Bantu Oleng kembali sunggingkan se-
nyum penuh arti. Dia mengelus-elus jenggotnya, se-
dangkan sepasang mata menerawang. "Kau tentu ingat dengan lima bocah serigala
tadi." ujar si kakek. Suryo
Lagalapang anggukkan kepala. "Kelima bocah itu dari kecil hingga besar berada
dalam asuhanku. Kenakalan
mereka membuat aku senang. Tapi semakin anak-
anak itu bertambah besar, aku jadi repot. Aku ingin
kau mencarikan seorang gadis untuk kujadikan istri!"
kata si kakek dengan muka memerah karena merasa
malu. Suryo Lagalapang tersenyum sekaligus merasa
lega. Semula dia menduga kakek sakti itu meminta se-
suatu yang sulit untuk dipenuhi. Tidak tahunya dia
hanya inginkan seorang istri. Jika itu yang diminta, jangankan cuma satu,
sepuluh gadis cantik pun adipati sanggup menyediakannya. Dengan perasaan senang
Suryo Lagalapang bicara apa andanya. "Orang tua ku-kira permintaanmu itu dapat
kupenuhi. Aku akan
membawakan untukmu gadis yang paling cantik seka-
dipanten. Ha ha ha!"
Wisang Banto Oleng gelengkan kepala tegas. "Ti-
dak! Bukan begitu, Suryo. Aku telah menentukan ga-
dis mana yang harus kau bawa kemari."
"A... apa maksudmu orang tua?" tanya laki-laki itu penuh rasa tak mengerti.
"Ha ha ha. Kau tentu pernah mendengar gadis
bernama Mutiara Pelangi bergelar Puteri Kupu Kupu
Putih" Gadis itulah yang kuinginkan menjadi istriku.!"
kata si kakek. Mendengar penjelasan orang tua itu, Suryo Laga-
lapang tercengang, dia berjingkrak kaget dan surut sa-tu tindak ke belakang.
Apa yang diinginkan oleh kakek itu sungguh tak
pernah diduganya sama sekali. Bagaimana dia kenal
dengan gadis yang dimaksudkan si kakek. Nama gadis
itu beberapa tahun yang lalu sempat menggetarkan
dunia persilatan. Selain cantik, ilmu serta kesaktian yang dimilikinya memang
sangat tinggi. Tapi bukan itu
yang di khawatirkan oleh Suryo Lagalapang. Bagaima-
napun gadis yang diinginkan oleh si kakek masih me-
rupakan keponakan Karma Sudira, bekas Senopati ke-
rajaan sekaligus adipati Purbolinggo yang kini meringkuk didalam penjara Ladang
Wadas Cimangu. Padahal maksud kedatangannya saat itu karena
ada hubungannya dengan paman gadis itu. "Jika per-mintaannya tidak kukabulkan,
dia pasti tidak mau
membantuku. Sebaliknya jika gadis itu kutangkap dan
kuserahkan padanya, cepat atau lambat Mutiara Pe-
langi pasti tahu aku yang telah menggulingkan kekua-
saan pamannya dan menjebloskan orang tua itu ke da-
lam penjara?" fikir Suryo Lagalapang.
"Waktu bagimu untuk berfikir telah habis, Suryo.
Sekarang kau hanya tinggal mengatakan sanggup me-
menuhi permintaanku atau tidak?" suara Wisangka Banto Oleng mengejutkan adipati.
Dengan gugup dia
menjawab, "Permintaanmu pasti kupenuhi!"
Si kakek tertawa puas mendengar jawaban ta-
munya. Sambil memperhatikan orang didepannya si
kakek lalu ajukan pertanyaan. "Sekarang kau hanya tinggal mengatakan pertolongan
apa yang kau minta
dariku?" Dengan bersemangat Suryo menjawab. "Pertama
aku ingin engkau mencari dua putra Karma Sudira
yang sampai saat ini tidak terdengar kabar beritanya."
Si kakek angkat tangannya. "Tunggu... kalau tak salah aku mengingat bukankah
yang bernama Karma
Sudira itu adalah Adipati lama yang kau gulingkan secara pengecut dan kini
mendekam dipenjara terasing
selama lebih dari delapan belas tahun?"
Wajah Suryo Lagalapang berubah merah padam
mendengar ucapan si kakek. Dirinya merasa ditelan-
jangi. Untung tidak ada orang lain di tempat itu. Tapi kemudian dia
Pendekar Patung Emas 11 Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala 5
^