Pencarian

Tangan Rembulan 1

Gento Guyon 10 Tangan Rembulan Bagian 1


1 Terperangkap dalam satu ruangan yang
sangat gelap Memedi Santap Segala yang memiliki
gelar Mahluk Tangan Rembulan sempat dilanda
ketakutan setengah mati. Sejak dirinya terjeblos dalam perangkap dan tanah yang
dipijaknya amblas ke bawah, pemuda yang wajahnya mirip mo-
nyet besar, berkulit hitam legam dengan sekujur
tubuh ditumbuhi bulu-bulu halus dan berperut
besar serta berpuser bodong ini berteriak me-
manggil-manggil majikannya. Tapi suara teria-
kannya lenyap ditelan gemuruhnya suara tanah
yang naik kembali menutup lubang dimana tadi
dirinya meluncur jatuh.
"Datuk Labalang... tolong Datuk. Matilah
saya kali ini Datuk. Ayahku.... ibuku, mereka semua tak tahu saya dan Datuk
telah menyeberang
ke tanah Jawa. Oh... Datuk saya takut....!" jerit pemuda itu dengan perasaan
tegang dan tubuh
basah bersimbah keringat dingin. Di tempat dia
terjatuh, Memedi Santap Segala tidak menyadari
dirinya berpijak pada lantai, tanah atau di dalam air. Pikirannya terlalu kalut,
perasaan diliputi ketegangan dan hati pemuda ini didera rasa takut
yang bukan kepalang. Dalam keadaan dilanda
berbagai perasaan begitu rupa, otaknya yang tolol benar-benar tak dapat
dipergunakan untuk berfikir. Yang dia tahu, sejak tanah yang membuat di-
rinya terjeblos naik ke permukaan dan kembali
menutup, di situlah akhir dari semua perjalanan
hidupnya. Benarkah hidupnya akan berakhir hingga
disitu, terpendam dalam satu ruangan sempit,
disatu tempat jebakan yang entah di buat oleh
siapa. Dalam ruangan gelap dan pengap apa yang
dapat dia lakukan" Mencari jalan keluar untuk
menyelamatkan diri, rasanya itu lebih baik dila-
kukan daripada bersikap pasrah menunggu da-
tangnya ajal. Tertatih-tatih tanpa menghiraukan
pengabnya udara hingga membuat tubuhnya te-
rasa panas laksana terbakar, Memedi Santap Se-
gala segera memeriksa lantai dimana dia berpijak.
Lantai ternyata halus dan licin keras seperti batu namun mengandung air berbau
pesing menyengat. "Mungkin aku jatuh ke dalam jamban,
sungguh malang sekali nasibku tapi kurasa lebih
celaka lagi jika aku tak dapat keluar dari tempat ini" batin si pemuda. Dia
berusaha berdiri tegak, sebentar dia menarik nafas. Udara terasa semakin pengap
dan dadanya mulai sakit mendenyut.
Sambil berjalan tertatih-tatih dalam gelap Memedi Santap Segala mencoba merapat
ke dinding ter-dekat, tangan dijulurkan ke depan meraba. Tak
lama kemudian dia menyentuh dinding yang licin
dan agaknya dinding itu terbuat dari batu.
Sambil melangkahkan kaki, dia meraba se-
panjang dinding batu itu. Tidak ada pintu, tidak ada jendela. Tidak ada pula
jalan keluar! "Celaka...!" desis Memedi Santap Segala
merasa lelah juga diliputi kebimbangan. "Mungkinkah takdir ku harus terkubur
hidup-hidup dis-
ini?" Si pemuda membatin dalam hati. Pada suatu sisi dinding tidak ditemukannya
jalan. Tapi masih ada tiga sisi lainnya. Tiga sisi yang belum sempat diperiksa
itulah merupakan tumpuan harapan sa-tu-satunya untuk menyelamatkan diri.
Mungkin- kah ada pintu di tiga dinding ruangan sempit
yang belum diperiksanya" Si pemuda jadi bim-
bang. Dia menyadari udara yang terdapat di
ruangan itu sangat terbatas. Jika dia terus-
menerus bernafas, udara segar akan habis. Ke-
mungkinannya dia jadi kehabisan nafas, tubuh-
nya menjadi lemas dada bisa meledak dan dia
akan mati secara perlahan. Sungguh tragis sekali.
"Tidak! Aku tidak mau mati sebelum kete-
mu emak, aku tidak mati sebelum jumpa dengan
bapak ibuku." rintih Memedi Santap Segala ketakutan sekali. Dalam keadaan
seperti itu dia ingat pada Tuhan. Hanya kepada Tuhan tempat bagi
manusia untuk meminta dan memohon perlin-
dungan, tapi pemuda ini menjadi malu.
"Aku tidak pernah berusaha mendekat pa-
da Tuhan, aku tidak pernah mengerjakan apa
yang diperintahkannya. Walaupun aku memang
tidak pernah melanggar larangannya. Mungkin-
kah Gusti Allah ingat padaku, sedangkan aku
sendiri tak pernah ingat kepadaNya. Tapi jika tidak pada Tuhan pada siapa lagi
aku berserah di-
ri" Kepada Datuk Labalang" Keberadaan orang
tua itu saja sampai saat ini aku tak tahu." keluh
Memedi Santap Segala. Tidak ada pilihan lain,
pemuda berpuser bodong ini akhirnya terpaksa
mengerahkan segenap akal fikiran yang dia miliki guna untuk mencari jalan
meloloskan diri. Tanpa
menghiraukan panasnya udara yang terasa mem-
bakar di dalam ruangan itu Memedi Santap Sega-
la dengan bertumpu pada dinding segera meram-
bat ke sisi dinding berikutnya. Nafas pemuda ini mulai megap-megap, tubuhnya
basah bersimbah
keringat. Di saat seperti itu kesadarannya mulai timbul tenggelam. Perasaan
lelah mendera sekujur tubuhnya. Belum lagi dia sampai di ujung sisi dinding
kedua mendadak lutut pemuda ini terasa
goyah, sekujur tubuh gemetar. Bersusah payah
dia coba bertahan, namun pada akhirnya dia ter-
gelimpang roboh juga.
"Apa dayaku kini?" rintih si pemuda. Dalam keadaan seperti itu dia teringat pada
kantong perbekalan makanannya. Dia ingin makan sedapat yang dia lakukan. Agar
jika malaikat maut
menjemputnya, dia bisa menutup mata dengan
perut kenyang. Lalu dengan menggunakan tangan
kirinya yang terkulai di atas paha, Memedi Santap Segala bermaksud mengambil
makanan dari kantong perbekalan. Si pemuda mengeluh, dia malah
hampir menangis di saat menyadari kedua tan-
gannya tak dapat digerakkan sama sekali. Jan-
gankan untuk mengambil makanan, sedangkan
digerakkan pun sulit. Seolah tangan itu berubah
berat menjadi ratusan kati.
"Tuhan... mungkin sudah menjadi takdir
ku harus mati dalam keadaan lapar. Oh, jelek
amat takdir ku ini. Tapi jika itu memang harus
terjadi rasanya aku setengah rela, ya Tuhan. Te-
rus terang aku sendiri sangat takut dan belum
siap menghadapi kematian. Bagaimana ini?" kata si pemuda. Gema suaranya hanya
sampai pada batas tenggorokannya saja. Tak kuasa Memedi
Santap Segala menahan berat badannya sendiri
yang semakin lama terasa kian bertambah berat,
pada akhirnya pemuda itu rebah menelentang
tanpa daya. Walaupun dia jatuh rebah di tempat
becek berbau pesing, tapi dia tetap merasakan
sekujur tubuhnya panas laksana dipanggang di
atas bara api. Bahkan tenggorokannya pun terasa
kering. Sehingga ketika dia menelan ludah, ma-
tanya nampak mendelik seperti dicekik.
Beberapa saat dalam keadaan seperti itu,
Memedi Santap Segala mencoba memacu otaknya
yang mulai melemah. Dia kemudian ingat akan
sesuatu "Batu Rembulan....!" desis pemuda itu. Sekelumit harapan muncul di dalam
benaknya. Di- apun mengumpulkan segenap tenaga yang tersi-
sa, tangannya kembali digerakkan. Kali ini di-
arahkannya ke bagian saku celana hitamnya.
Dengan tangan gemetar lima jari tangannya me-
nyentuh benda bulat sebesar telur ayam yang be-
rada di dalam saku kiri.
Batu bulat lonjong itu lalu dikeluarkan.
Dengan mata redup dia mencoba menatap batu
kesayangannya itu. Tapi dalam gelap, jangankan
batu, kedua tangannya sendiri tak terlihat.
"Batu Rembulan batu sakti, tunjukkan se-
gala kesaktianmu. Saat ini aku benar-benar san-
gat membutuhkan bantuanmu. Bantulah aku Ba-
tu Rembulan!" rintih Memedi Santap Segala lirih.
Perlahan dia genggam batu berwarna putih itu
dengan kelima jemari tangannya. Seluruh sisa te-
naga dalam yang dia miliki dikerahkan, lalu dis-
alurkan ke bagian tangan yang memegang Batu.
Begitu tenaga mulai mengalir ke batu bulat lon-
jong itu, maka terjadilah sesuatu yang sangat
menakjubkan. Batu Rembulan memancarkan ca-
haya redup berwarna putih, cahaya itu semakin
lama semakin bertambah terang hingga meneran-
gi seluruh ruangan yang sempit pengap dan cuma
setinggi sosok Memedi Santap Segala sendiri! Wa-
jah yang pias dan bersimbah keringat itu nampak
tersenyum, "Terima kasih. Aku.... aku ingin melihat
apakah di salah satu dinding ruangan ini terdapat pintu. Bergeraklah, teliti
setiap jengkal batu yang terdapat di seluruh dinding ini!" perintah Memedi
Santap Segala. Baru saja suara si pemuda itu lenyap. Satu keanehan lagi terjadi.
Batu melesat meninggalkan telapak tangan pemuda berkulit hi-
tam legam, bergerak mengambang menelusuri
dinding melewati sisi demi sisi, sampai kemudian Memedi Santap Segala keluarkan
satu seruan. "Berhenti di situ Batu Rembulan!"
Seakan mengerti batu yang memancarkan
cahaya putih terang yang semula bergerak mene-
lusuri dinding kini diam tepat di salah satu sudut dimana terdapat empat garis
berbentuk pintu.
Lupa akan keadaannya yang lemah tak bertenaga,
Memedi Santap Segala segera bangkit dan men-
coba mendekati pintu batu. Nafas megap-megap,
kini dia merasakan sekujur tubuhnya seakan su-
dah tidak memiliki tulang.
Dengan tatapan nanar Memedi Santap Se-
gala memandang ke arah Batu Rembulan. Mulut-
nya membuka berucap. "Batu Rembulan batu
sakti, aku telah kehilangan semua daya yang ku-
miliki. Kini aku hanya bisa mengharapkan ban-
tuanmu. Batu Rembulan, andai kau mampu
mendobrak pintu batu itu, mencari jalan selamat
untuk diriku aku pasti akan sangat berterima ka-
sih sekali" kata si pemuda
Batu Rembulan yang mengambang di uda-
ra tiba-tiba saja berputar mengeluarkan suara
angin menderu yang sangat kencang luar biasa.
Bersamaan dengan itu pula mendadak Memedi
Santap Segala merasakan udara yang luar biasa
panasnya di dalam ruangan itu berubah menjadi
dingin. Si pemuda yang semula nampak putus
asa kini tersenyum sambil menghirup udara da-
lam-dalam. "Terima kasih Tuhan, terima kasih Batu
Rembulan!" seru si pemuda sambil bersujud dan bentur-benturkan keningnya di atas
lantai yang becek. Apa yang terjadi pada Batu Rembulan
nampaknya masih terus berlanjut, karena masih
dengan terus berputar Batu Rembulan tiba-tiba
saja melesat menghantam dinding yang berben-
tuk pintu. Sinar putih berkiblat, gemuruh angin
menggila. Ketika Batu Rembulan membentur
dinding batu terjadilah ledakan keras berdentum.
Buuum!" Pintu batu hancur berkeping-keping. Dind-
ing di kanan kiri pintu rengat di sana sini, se-
dangkan tiga sisi dinding lainnya bergetar. Gun-
cangan yang keras membuat Memedi Santap Se-
gala terlempar, jatuh tunggang langgang. Si pe-
muda mengusap keningnya yang benjol besar dan
meneteskan darah akibat terbentur dinding. Den-
gan pandangan nanar berkunang-kunang Memedi
Santap Segala memandang ke arah Batu Rembu-
lan yang kini hampir kehilangan sebagian besar
tenaga dan kesaktiannya akibat menghancurkan
pintu batu tadi. Bukan hanya itu saja, Batu Rem-
bulan sudah tidak seterang tadi. Dan semua ini
merupakan pertanda paling tidak Batu Rembulan
membutuhkan waktu satu hari untuk memulih-
kan kesaktiannya sendiri.
"Aku sudah bisa bernafas, aku sudah be-
bas. Batu Rembulan... aku tahu dirimu sangat le-
lah sekali. Kemarilah.... kau istirahat di dalam kantong ku. "Kata Memedi Santap
Segala yang sudah melihat di balik hancurnya batu menyeru-pai pintu memancar
cahaya merah temaram.
2 Batu Rembulan bergerak cepat, berputar-
putar hingga mengeluarkan suara berdesing. Des-
ing aneh yang ditelinga Memedi Santap Segala ti-
dak ubahnya seperti suara rintih kelelahan. Pe-
muda itu kemudian acungkan telapak tangannya.
Batu Rembulan jatuh di atas telapak tangan si
pemuda. Setelah mencium batu itu beberapa kali
dengan penuh rasa terima kasih, dia masukkan
batu sakti itu ke dalam saku celananya.
"Aku harus keluar dari tempat ini, melalui
pintu batu yang hancur itu agaknya aku bisa me-
nemukan sebuah jalan" fikir Memedi Santap Segala. Dia lalu bangkit berdiri,
berjalan mendekati pintu batu dengan langkah masih sempoyongan.
Begitu pemuda hitam legam ini sampai di
balik pintu di mana cahaya merah membersit ke-
luar dari segenap penjuru langit-langit ruangan
batu, Memedi Santap Segala merasakan ada hawa
dingin menyengat tubuhnya. Tapi si pemuda sa-
ma sekali tak menghiraukannya, sepasang mata
menatap ke seluruh penjuru ruangan yang luas.


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia melihat di tengah-tengah ruangan terdapat
sebuah meja bundar berwarna merah, namun di-
atas meja diberi penutup yang bentuknya seperti
tudung saji. Dari balik penutup meja dia melihat ada cahaya yang membersit
keluar. Cahaya berwarna putih yang tidak ubahnya seperti kristal.
"Ada meja tak ada kursinya. Di balik penu-
tup meja bundar itu mungkinkah terdapat maka-
nan disitu?" fikir Memedi Santap Segala. Saat itu dia merasakan perutnya menjadi
sangat lapar sekali. Dia raba dan usap perutnya yang bundar.
Lidah terjulur begitu terbayang olehnya makanan
yang enak, lezat.
"Ruangan ini sangat bersih, menebar bau
harum semerbak. Mungkin ruangan ini merupa-
kan tempat tidur raja." Si pemuda terdiam, setelah berfikir sejenak diapun
gelengkan kepala. "Kalau tempat tidur mengapa tak kulihat peraduan-
nya. Boleh jadi ruangan ini tempat bersantap
kaum bangsawan." Sambil tersenyum dia membe-tulkan ucapannya yang salah.
Beberapa saat la-
manya Memedi Santap Segala berdiri tegak di-
tempatnya. Setelah memperhatikan meja bundar
sekejab, dia kemudian memutuskan untuk mem-
buka penutup meja.
"Ketika aku terperangkap di dalam ruangan
terkutuk itu hampir saja aku kehilangan harapan
hidup. Kini setelah aku bebas aku ingin makan
sepuas-puasnya. Mudah-mudahan di atas meja
itu terdapat makanan enak. He he he." Sambil tertawa-tawa Memedi Santap Segala
melangkah mendekati meja batu yang bagian bawahnya lang-
sung menempel di lantai. Sejarak satu tombak di
depan meja batu, si pemuda hentikan langkah-
nya. Dia memperhatikan bagian penutup meja. Di
balik penutup yang berwarna putih mengkilap itu, ada cahaya gemerlap yang
memancar terang ben-derang.
"Ada cahaya aneh dibalik tudung meja ini.
Cahaya apakah, rasanya tidak ada makanan di
dunia ini yang memancarkan cahaya," membatin Memedi Santap Segala. Dia tersenyum
tapi otaknya kembali berfikir. "Tidak mungkin yang kulihat ini dijadikan tempat
meletakkan makanan. Sesuatu yang memancar di balik tudung ku rasakan
mengandung getaran aneh. Bisa jadi meja ini di-
jadikan tempat menyimpan benda pusaka. Aku
harus membuka penutupnya!" Si pemuda kemu-
dian melangkah lebih mendekat lagi. Tangan ka-
nan kemudian dijulurkan. Begitu tangan mende-
kat ke bagian atas penutup meja, tangan Memedi
Santap Segata terasa panas dan bergetar. Ada
hawa aneh yang mengalir deras dan menjalar
memasuki tubuh Memedi Santap Segala melalui
bagian ujung jemarinya.
Dengan perasaan kaget diliputi ketegan-
gan, pemuda itu cepat jatuhkan tangannya. Hawa
panas yang mengalir melalui tangan tadi kini te-
rus menjalar ke sekujur tubuh, sebagian meram-
bat ke bagian kepala menembus sel-sel otaknya,
sedangkan sebagian lainnya bergerak ke jantung
perut dan kemudian lenyap di pusat pengendalian
tenaga dalam yaitu disekitar pusat si pemuda
yang bodong. Beberapa saat lamanya puser itu
berkedut, bergerak, cepat seperti denyut jantung.
Tapi pada kesempatan lain Memedi Santap Segala
merasa perutnya menjadi mulas.
"Aduh biung celaka benar nasibku ini." keluh si pemuda sambil terbungkuk-bungkuk
me- megangi perutnya. Perut kemudian diremasnya
sampai dia mengeluarkan suara kentut bertalu-
talu sebanyak lima kali. Satu keanehan menda-
dak terjadi, begitu suara kentut Memedi Santap
Segala menggema di dalam ruangan. Detik itu pu-
la penutup tudung meja batu merah terpental, ja-
tuh di atas lantai merah dan hancur berantakan
menjadi serpihan-serpihan halus.
Memedi Santap Segala yang sempat dibuat
kaget dengan hancurnya tudung meja kini me-
mandang ke arah meja batu merah. Kejut pemuda
hitam ini bukan alang kepalang begitu dia melihat satu legukan di atas meja
dimana di dalam legukan batu itu terdapat sebuah benda berbentuk
bintang dengan empat sudut berwarna putih
mengkilap yang keseluruhan sisinya memiliki ke-
tajaman yang sangat luar biasa.
"Senjata aneh.... putih bercahaya seperti
kristal. Aku menduga mungkin inilah barangnya
yang dicari Datuk Labalang. Aku yakin benda ini
yang bernama Bintang Penebar Petaka. Kalau be-
nar dugaanku berarti saat ini aku berada di da-
lam ruangan tempat penyimpanan senjata maut
ini. Haruskah kuserahkan benda ini pada Datuk
Labalang" Aku sendiri tidak kemaruk untuk me-
milikinya. Dunia persilatan bisa geger jika senjata ini sampai jatuh ke tangan
yang salah." kata Memedi Santap Segala. Sejenak lamanya si pemuda
yang memiliki daya fikir rendah, polos bersahaja ini diam tegak di tempatnya.
Bila semula niatnya untuk mencari jalan keluar guna untuk menye-
lamatkan diri. Maka kini timbul keinginannya un-
tuk mengambil senjata maut berbentuk bintang
persegi empat itu.
"Di tanganku senjata ini mungkin bisa
aman. Aku tak tahu siapa pemiliknya. Tapi pada
yang menyimpan aku ucapkan terima kasih! "kata Memedi Santap Segala. Pemuda ini
julurkan tangannya kembali. Tangan yang tergetar dilanda ke-
tegangan ini kemudian bergerak menyentuh ba-
gian tengah senjata. Begitu pertengahan senjata
yang berlubang tersentuh olehnya, Memedi San-
tap Segala menjerit kesakitan. Jemari tangan
yang memegang senjata terasa panas laksana ter-
bakar. Tapi anehnya begitu dia mencoba melepas
jarinya dari senjata. Jari itu menempel ketat sulit dilepas. Dengan perasaan
bingung si pemuda tarik tangannya. Begitu tangan ditarik maka Bin-
tang Penebar Petaka ikut tertarik keluar dari tempat penyimpanannya.
Dia lalu gerakkan tangannya, diguncang
berulang-ulang, namun senjata tetap menempel.
Sampai Memedi Santap Segala merasa kecapaian
sendiri, tapi Bintang Penebar Petaka tetap me-
nempel ditangannya. Pemuda ini akhirnya henti-
kan gerakan tangan. Dia pandangi senjata itu
dengan tatapan penuh rasa tak percaya. Dia lebih terkejut lagi ketika melihat
cahaya putih gemerlap yang memancar dari senjata yang tengah dicari
banyak tokoh itu mulai meredup. "Bagaimana hal ini bisa terjadi?" Memedi Santap
Segala bergu-mam sendiri. Sekali lagi si pemuda perhatikan
senjata itu. Cahaya berkilau yang memancar dari
senjata tersebut kini lenyap sama sekali. Dengan lenyapnya cahaya putih maka
hawa panas yang
menyengat tangan si pemuda lenyap pula. Dia
kemudian menyimpan senjata itu di dalam kan-
tong perbekalannya.
"Tak pernah kusangka aku yang menda-
patkan senjata ini." Batin Memedi Santap Segala.
Dia lalu melangkah meninggalkan bagian tengah
ruangan menuju anak tangga yang agaknya
menghubungkan ke ruangan lain. Paling tidak
saat itu jikapun benar dia terjebak di dalam salah satu ruangan Kuil Setan, dia
ingin keluar sedapat yang dilakukannya.
Di luar sepengetahuan Memedi Santap Se-
gala sesungguhnya ada sepasang mata yang terus
mengawasi setiap gerak geriknya. Pemilik sepa-
sang mata yang mendekam disalah satu sudut
ruangan besar nampak tercengang seakan tidak
percaya begitu melihat dengan mudahnya Memedi
Santap Segala mengambil senjata Bintang Pene-
bar Petaka. Padahal sebelum kehadiran pemuda
itu tadi, dia sudah berusaha mengambil senjata
tersebut dari tempat penyimpanannya di atas me-
ja. Jangankan untuk mengambil senjata itu, se-
dangkan untuk membuka tudung penutup meja
pun dia tidak sanggup, seolah tudung yang ter-
buat dari kristal itu beratnya mencapai ribuan ka-ti.
"Aneh.... dia sanggup mengangkat tudung
meja, padahal kedua tangannya tidak melakukan
apapun. Ilmu apa yang dia miliki" Yang kudengar
tadi dia memegangi perutnya. Lalu aku menden-
gar suara kentut bertalu-talu sebanyak lima kali.
Mungkinkah kentut itu yang membuat kesaktian
yang menyelimuti meja punah" Atau memang dia
memiliki ilmu yang lain. Apa yang harus kulaku-
kan kini?" batin sosok itu sambil mencoba memutar otak. Dia pun tersenyum ketika
selintas akal menyelinap di dalam fikirannya. "Aku harus me-rampas senjata itu
dari tangan pemuda bermuka
monyet tadi. Tapi aku harus menggiringinya ke-
luar. Cepat atau lambat lenyapnya senjata akan
menimbulkan kegegeran besar bagi Yang Agung.
Rasanya tidak perlu aku membantu mereka. Aku
harus menyelesaikan tugasku sendiri. Sedangkan
mengenai Gento, Ambini dan yang lain-lainnya.
Biarlah Maut Tanpa Suara yang mengaturnya."
kata pemilik sepasang mata itu sambil sungging-
kan seringai. Dia kemudian memandang ke arah
undakan anak tangga. Ternyata pemuda hitam le-
gam yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu su-
dah tidak ada lagi disitu.
Tergesa-gesa pemilik sepasang mata segera
keluar dari tempat persembunyiannya dan lang-
sung mengejar ke arah lenyapnya Memedi Santap
Segala. 3 Sosok besar dalam keadaan tertotok dan
kaku seperti kayu terus dibawa berlari dengan
kecepatan laksana terbang. Sungguhpun sosok
berpakaian serba putih itu memiliki tubuh pen-
dek luar biasa, namun si pendek dengan tinggi tidak sampai sepinggang orang
dewasa itu terus
membawa si gendut Gentong Ketawa menjauh da-
ri Kuil Setan. Padahal besar badan sosok serba
putih bila dibandingkan dengan si kakek gendut
jelas tidak sebanding. Bahkan badan Gentong Ke-
tawa lima belas kali lebih besar dibandingkan besar badan orang yang membawanya.
Semua ini membuktikan kalau sosok pen-
dek kerdil itu disamping memiliki ilmu lari cepat serta ilmu meringankan tubuh
yang sangat luar
biasa, juga memiliki kesaktian yang amat tinggi.
Dalam keadaan dibawa berlari sekencang
itu, mendadak saja si gendut berucap. "Seumur hidup belum pernah aku berlari
dalam keadaan terlentang begini. Kurasa hari ini peruntunganku memang sedang bagus. Sudah
terhindar dari ancaman maut, sekarang digendong pula, Oalah...
rasanya sungguh nyaman sekali hidup ini. Kalau
keadaan menyenangkan ini bisa berlangsung se-
tiap hari, lama-lama tubuhku semakin bertambah
gembul. Ha ha ha....!"
Sosok pendek kerdil yang membawa kakek
Gentong Ketawa diatas kepalanya keluarkan sua-
ra mendengus. Sampai disatu tempat yang dipe-
nuhi semak berduri, sosok berpakaian serba pu-
tih langsung melemparkan si kakek gendut.
Tubuh besar tinggi itu melesat di udara.
Karena dalam keadaan tertotok tentu saja dia tak dapat selamatkan diri atau
menghindar dari semak-semak berduri itu.
Gusraak! Bluk! "Walah, aduh biyung. Habis dipanggul se-
karang kok malah dibanting. Apa salah dosaku?"
pekik Gentong Ketawa yang kini tubuh besarnya
sudah berada di bawah semak-semak berduri ta-
jam. Si pendek kerdil yang membawanya tadi ti-
dak menjawab. Dari mulutnya terdengar suara
mendengus kesal. Sedangkan jari diacungkan ke
arah si kakek gendut besar. Ada hawa aneh
membersit keluar dari jari telunjuknya yang langsung menerpa punggung si gendut
Gentong Keta- wa. Tes! Tes! Hawa dingin menyengat punggung Gentong
Ketawa. Begitu merasakan tubuhnya terbebas da-
ri pengaruh totokan, maka tawa si kakek pun tak
terbendung lagi. "Sekian lama aku dibawa berlari, aku sampai lupa membebaskan
totokan di tubuhku sendiri. Ha ha ha!" kata si gendut.
"Diam! Tidak tahukah kau sedang berha-
dapan dengan siapa?" hardik sosok pendek kerdil dengan suara keras menggeledek.
Bentakan itu membuat tawa si gendut lenyap seketika. Dia se-
gera duduk dan langsung memandang ke arah
penolongnya. Begitu menyadari siapa adanya
orang ini, wajah si gendut yang biasanya cerah
ceria kini mendadak berubah pucat, mata melotot
dan mulut ternganga. Saat itu si gendut tidak
ubahnya seperti melihat hantu di siang bolong.
Tak percaya dengan penglihatannya sendiri orang
tua itu sampai mengusap matanya berulang kali.
"Guru.... Guru Kuntet Mangku Bumi. Ah
tidak kusangka orang yang telah menolongku ter-
nyata Dewa Kincir Samudera. Maafkan muridmu
ini, tadinya aku sudah menduga penolongku ada-
lah guru sendiri. Tapi karena guru tidak menja-
wab, maka aku jadi beranggapan bahwa yang
menolongku adalah orang lain!" kata si gendut Gentong Ketawa. Berapa kali dia
menjura ke arah
kakek renta berpakaian putih berbadan pendek
cebol bermuka asam yang berdiri tegak dihada-
pannya. Melihat pada sikap si gendut yang nam-
pak ketakutan sekali melihat kakek kerdil ini jelas kalau gurunya Gento Guyon
itu merasa jerih pada
si cebol. Di depannya sana si kakek kerdil bernama
Kuntet Mangku Bumi bergelar Dewa Kincir Sa-


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mudera diam tak bergeming. Sepasang matanya
mencorong tajam, memandang pada si gendut be-
sar dengan tatapan tak berkesip.
Melihat si kakek cebol berusia sekitar sera-
tus dua puluh tahun ini hanya diam dan unjuk-
kan tampang mengandung teguran, maka si gen-
dut jantungnya jadi dag dig dug tak karuan. Dia
merangkak mendekat, lalu berlutut di depan gu-
runya si kakek cebol bermuka masam. Sambil
berlutut begitu rupa, dengan wajah ditundukkan
tak berani menatap orang didepannya dia beru-
cap. "Guru, muridmu ini dari kecil sampai tua seperti sekarang memang geblek.
Bahkan aku punya murid kewarasan otaknya tidak dapat ku-
jamin. Hanya biarpun begitu kuharap guru tidak
menjadi marah karena satu kesalahan yang aku
perbuat. Guru saat ini muridku dalam ancaman
bahaya besar. Sebagai murid geblek, aku mohon
petunjuk sekaligus saranmu." ujar si gendut dengan tubuh menggigil dan pakaian
basah oleh ke- ringat. Si Kakek kerdil usap-usap kumis dan jang-gutnya yang lebat memutih.
Setelah memperhati-
kan Gentong Ketawa untuk beberapa saat la-
manya si cebol berkata. "Tua bangka sinting. Apa guna kau diberi kening lebar
jika cara berfikirmu terlalu sempit. Mengurus dirimu sendiri saja kau tak punya
kebecusan apa-apa, bagaimana kau bi-sa mengawasi muridmu. Aku sebagai gurumu
sengaja datang menemuimu bukan karena
mengkhawatirkan keselamatanmu. Kalau kau
mati, karena ketololan mu sendiri mengingat kau
sudah tua mana menjadi penyesalan bagiku.
Yang aku khawatirkan saat ini begitu banyak
orang yang menginginkan senjata maut Bintang
Penebar Petaka. Padahal jika berada di tangan
orang yang salah dia senjata itu bisa menjadi
pangkal dari segala bencana. Saat ini aku sangat ingin sekali bertemu dengan
Yang Agung, mak-hluk jerangkong yang menguasai Kuil Setan. Jika
dia mau menerima saranku, aku ingin senjata itu
dihancurkan saja." ujar Dewa Kincir Samudera. Si kakek gendut jadi tercengang.
"Mengapa harus dihancurkan guru" Jika
senjata itu berada di tangan orang yang bertang-
gung jawab, tentu akan menghasilkan banyak
manfaat." ujar si gendut.
"Kau murid tolol tahu apa" Ketahuilah se-
belum kau muncul di Kuil Setan aku telah me-
nyelidik. Sedikitnya ada tiga orang yang mengin-
car senjata itu. Pertama adalah seorang tokoh da-ri Andalas, orang ini kulihat
lenyap bersama pembantunya dan tidak muncul kembali. Kemu-
dian seorang pemuda berpakaian merah, aku te-
lah menyirap kabar konon dia murid tunggal Be-
gawan Panji Kwalat."
Sepasang mata si gendut membesar men-
dengar disebutnya nama itu.
"Begawan Panji Kwalat. Manusia salah ka-
prah yang dapat menghancurkan lawan hanya
dengan ucapannya saja?" desis Gentong Ketawa.
"Kau benar."
"Lalu yang satunya lagi siapa guru?" tanya si kakek gendut.
"Yang satunya tentu kawanmu, manusia
keblinger Si Tangan Sial. Manusia segala kesialan itu hampir mencelakaimu" jelas
Dewa Kincir Samudera sambil mencibir.
"Tunggu, seingatku walau kami berteman
belum begitu lama, Si Tangan Sial tidak kemaruk
dengan berbagi macam senjata. Lagi pula menga-
pa tiba-tiba dia ingin membunuh Gento. Sekarang
aku curiga bukan mustahil Si Tangan Sial sengaja diperalat oleh seseorang."
"Kalaupun benar, orang yang memperalat-
nya pasti Begawan Panji Kwalat. Aku tahu persis
manusia sesat yang satu itu memiliki berbagai
senjata rahasia yang dapat mempengaruhi dan
menekan seseorang. Salah satu diantaranya yang
paling hebat adalah Jarum Penggendam Roh. Sia-
papun yang ditubuhnya telah ditanam jarum itu,
otak hati dan fikirannya berada di bawah penga-
ruh Begawan Panji Kwalat." Menerangkan bahkan Dewa Kincir Samudera.
"Jika benar, mengapa Begawan itu mengu-
tus muridnya kesini?" tanya Gentong Ketawa heran. Untuk pertama kalinya si kakek
cebol ter- senyum. "Bocah edan ini setelah puluhan tahun terpisah dariku otaknya tetap
goblok seperti dulu-dulu juga." batin si kakek.
"Eeh, mengapa guru tersenyum?" tanya si gendut jadi salah tingkah.
"Aku tersenyum karena merasa menyesal,
mengapa sejak dulu aku tidak memelihara kele-
dai. Karena aku menganggap keledai sama tolol-
nya dengan dirimu." dengus si kakek cebol.
Wajah putih si gendut sempat bersemu me-
rah. Tapi dia sama sekali tidak merasa tersing-
gung mendengar ucapan gurunya yang paling dia
segani. Sebaliknya Gentong Ketawa malah tertawa
tergelak-gelak.
"Kalau dulu kau memelihara keledai, aku-
pun ikut senang. Kemana-mana aku jadi bisa
naik keledai. Ha ha ha." celetuk si kakek diiringi tawa berderai. Melihat
muridnya si kakek gendut
tertawa, maka si kakek pendek cebol mendadak
hentikan wajahnya. Wajah si kakek yang angker
kini berubah masam. "Gentong Ketawa....jadi manusia jika tertawa, tertawalah
sekedarnya. Agar
jika kau bersedih, kesedihan mu hanya sekedar-
nya pula. Saat ini kau sedang menghadapi satu
masalah yang tidak kecil. Muridmu bisa tidak ke-
tolongan jika begini caranya kau mengatasi satu
masalah. Selain itu kita juga harus mencegah
agar Bintang Penebar Petaka jangan sampai jatuh
ke tangan pihak yang salah." kata Kuntet Mangku Bumi alias Dewa Kincir Samudera
tegas. "Guru, untuk memasuki Kuil Setan bukan
suatu pekerjaan mudah. Satu-satunya pintu di
kuil itu hanya terbuka dalam waktu tertentu. Se-
dang saat ini aku tidak tahu dimana muridku di
sekap." ujar si kakek gendut sambil mengusap wajahnya.
Mendengar ucapan muridnya, Dewa Kincir
Samudera delikkan matanya. Hingga membuat si
kakek gendut jadi menciut nyalinya.
"Kelebihan manusia dengan mahluk berka-
ki empat, manusia itu diberi perasaan dan otak
untuk berfikir. Dalam hidup ini hanya orang yang
pandai menggunakan otak dan fikirannya yang
dapat menguasai dunia. Kau punya badan begini
besar, batok kepala juga besar. Di balik batok kepala yang besar itu apakah kau
mempunyai otak sebesar nyamuk?"
"Sialan orang tua ini, menghina tidak pakai kira-kira," gerutu Gentong Ketawa.
Walaupun hatinya kesal mendengar ucapan si kakek cebol,
namun dia menjawab juga. "Otakku cukup besar juga guru. Tapi terkadang sering
keluar kuning-kuningnya dari lubang telinga. Mungkin cairan
yang keluar itu membuat otakku jadi sedikit beb-
al, ha ha ha. "kata si gendut disertai tawa.
"Manusia tolol. Sejak kecil aku memang
sudah memperkirakan kau akan seperti ini bila
besar. Sesuai dugaanku sampai tua ternyata gi-
lamu makin menjadi-jadi. Kau selalu tertawa da-
lam menghadapi persoalan walaupun itu me-
nyangkut urusan mati hidupnya seseorang. Seo-
lah hidup dan dunia ini kau pandang indah dan
menyenangkan. Lain kali jika bertemu denganku
jangan suka tertawa, salah-salah kubetot copot
lidahmu." hardik si kakek cebol.
"Jangan! Ampun!" desah si gendut. Saking takutnya si gendut buru-buru katubkan
bibirnya. "Sekarang jangan membuang waktu lagi.
Sebelum akhir bulan sabit tiba dan muridmu di-
jadikan korban persembahan untuk memuja kea-
gungan Iblis Berjubah Merah kau harus ikut den-
ganku!" tegas gurunya.
"Iblis Berjubah Merah baru kali ini aku
mendengar namanya. Apakah guru dapat menje-
laskan padaku siapa orangnya yang guru mak-
sudkan itu?" tanya Gentong Ketawa.
Dewa Kincir Samudera terdiam sejenak.
Setelah memperhatikan muridnya sejenak baru
kemudian dia berkata. "Iblis Berjubah Merah itulah Yang Agung. Mahluk penguasa
Kuil Setan. Konon kudengar dia masih mempunyai dua orang
murid. Salah satu muridnya berwajah buruk
mengerikan, sedangkan yang satunya lagi seorang
gadis cantik jelita. Konon gadis itu adalah seorang bidadari yang terpesat di
negeri ini dan sedang
mencari jalan pulang ke Kayangan....!"
"Mengenai Yang Agung dan muridnya aku
tidak perduli. Yang ku fikirkan saat ini adalah
tentang keselamatan muridku dan seorang saha-
bat yang bernama Ambini." kata Gentong Ketawa.
"Gendut tolol, apakah kau mengira jika kita dapat menemukan muridmu dan
sahabatmu itu kita dapat membebaskannya begitu saja" Begitu
banyak hal yang tidak kau mengerti dan sulit ba-
giku untuk menerangkannya. Lebih baik kau iku-
ti aku. Aku sudah mengetahui satu jalan rahasia
untuk masuk menyusup ke dalam Kuil Setan." tegas si kakek cebol.
"Apa maksud guru?" tanya si kakek gen-
dut. "Gendut sinting. Sekarang waktunya bagi kita untuk melakukan segala
sesuatunya. Malam
sebentar lagi segera menyelimuti tempat ini. Tiga penjaga Kuil Setan kekuatannya
semakin berlipat
ganda bila malam hari. Menghadapi Maut Kuning
saja aku belum tentu dapat menjatuhkannya,
terkecuali aku mengetahui titik kelemahannya.
Apalagi jika Maut Merah dan Maut Biru mengga-
bungkan kekuatan yang mereka miliki, bukit ini
dengan mudah dapat mereka runtuhkan
"Tapi bukankah sebelum guru membawaku
kemari, guru telah menghancurkan Maut Kuning
dengan pukulan Lima Pusaran Kincir Dewa?"
tanya Gentong Ketawa. Dia lalu ingat, sebelum
gurunya membawanya pergi dari puncak bukit,
dia melihat dua kepala Maut Kuning menggelind-
ing di atas tanah. Selain itu tangan dan kaki putus, pinggang terpotong menjadi
dua bagian. Orang yang sudah dalam keadaan demikan rupa
mungkinkah masih ada harapan untuk hidup
kembali" Setidaknya Gentong Ketawa berfikir de-
mikan. "Kau benar, muridku. Lima sinar mautku memang telah membuat tubuhnya
terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Tapi kau harus
ingat, tiga mahluk iblis itu memiliki ilmu Menyentuh Bumi Menyatu Badan. Jika
bagian tubuhnya
yang terpotong-potong itu menyentuh bumi maka
dia akan hidup kembali. Terkecuali kita dapat
mengetahui titik kelemahannya.
Menerangkan Dewa Kincir Samudera.
"Jadi guru sudah mengetahui titik kelema-
han mahluk jahanam itu?" tanya si gendut.
"Belum. Sedang ku fikirkan." jawab si kakek cebol.
"Apa... Kalau begitu kita sama tidak tahu
dimana titik kelemahan mahluk itu" Padahal kita
tidak dapat masuk ke Kuil Setan dengan leluasa
sebelum dapat melenyapkan tiga mahluk sakti
keparat. Guru kurasa....!" Gentong Ketawa terpaksa telan kembali ucapannya
karena begitu melihat kedepan Dewa Kincir Samudera ternyata
telah lenyap dari hadapannya. Si Kakek gendut
gelengkan kepala. "Kampret juga orang itu. Aku dibiarkannya bicara sendiri
seperti orang gila." gerutu Gentong Ketawa. Sambil tersenyum-senyum
si gendut kemudian berkelebat pergi menyusul
gurunya. 4 Sore harinya di saat matahari hampir teng-
gelam di ufuk barat. Sebagaimana yang telah di-
perintahkan Yang Agung, pemuda berwajah bu-
ruk berpakaian merah ini dengan dibantu oleh
Maut Biru dan Maut Merah segera mengeluarkan
satu sosok berdestar hitam berwajah angker yang
sekujur tubuhnya dililit benang merah. Sosok se-
tinggi galah berkerudung hitam ini bukan lain
adalah salah seorang tokoh dunia persilatan dari tanah Andalas bernama Datuk
Labalang dengan
gelar Datuk Penguasa Tujuh Telaga. Dalam epi-
sode (Maut Merah) telah sama kita ketahui ba-
gaimana Datuk berkeinginan memiliki senjata he-
bat Bintang Penebar Petaka. Tapi ketika dia bera-
da di puncak Bukit di samping Kuil Setan. Maut
Merah telah menghadangnya. Tokoh sakti ini ke-
mudian bahkan dapat diringkus. Celakanya
sungguhpun dia dapat memunahkan totokan
Maut Merah. Tapi dia tak dapat memutuskan be-
nang-benang merah yang melibat tubuhnya. Kini
dalam keadaan terbelenggu demikian rupa Datuk
Labalang hanya dapat delikkan matanya sambil
memaki panjang pendek.
"Keparat jahanam, aku hendak kalian bawa
ke mana?" teriak si kakek berbadan setinggi galah berang. Maut Merah dan Maut
Biru, sosok berbadan besar berleher panjang berkepala empat
hanya keluarkan suara mendengus. Sedangkan
Maut Tanpa Suara yang di bagian keningnya ber-
lubang dimana di dalam lubang itu mendekam
seekor ular berbisa tertawa tergelak-gelak.
"Orang tak dikenal setinggi galah. Kami
akan mengantarmu ke gerbang maut. Kau tidak
perlu takut apalagi gusar dan marah. Karena ada
dua orang lagi yang akan menemani arwahmu


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju ke alam baka. Ha ha ha." jawab pemuda buruk wajah sambil tertawa
terbahak-bahak.
"Pemuda muka setan, aku Datuk Labalang
jangan kira takut menghadapi segala ancaman.
Awas jika aku sampai bisa memutuskan benang-
benang laknat ini tubuhmu akan kubuat hancur
rusak mengerikan!" teriak sang Datuk yang saat itu tengah digotong oleh Maut
Merah dan Maut Biru. Maut Tanpa Suara sunggingkan seringai
mengejek. "Ucapan yang sama sering kudengar sema-
sih dirimu berada di dalam ruangan Penentuan
Ajal. Sekarang dalam keadaan menyedihkan begi-
ni rupa kau masih juga tidak malu bicara besar"!"
dengus Maut Tanpa Suara.
Wajah pemuda itu bergerak-gerak, mata
membeliak mendelik besar rupanya dia merasa
sangat tersinggung mendengar datuk Labalang
menyebutnya 'muka Setan'. Sambil memandang
penuh kebencian, Maut Tanpa suara meneruskan
ucapannya. "Bagimu tidak ada lagi jalan selamat.
Nasib perjalanan hidupmu telah ditentukan be-
rakhir malam ini." Selesai berkata, mulut si pemuda berkemak-kemik seperti orang
membaca mantra. Lalu dia menunjuk ke halaman Kuil Se-
tan sambil berteriak ditujukan pada Maut Merah
dan Maut Biru. "Baringkan dia di ranjang Kebina-saan!" Bersamaan dengan
ucapannya itu dari
ujung telunjuk Maut Tanpa Suara menderu dan
bergulung-gulung serangkum kabut merah. Begi-
tu kabut sampai di arah yang ditunjuk pemuda
itu, maka kabut melebar seluas satu tombak den-
gan panjang lima tombak. Lalu terdengar suara
letupan dua kali berturut-turut.
Bleep! Satu pemandangan aneh sulit dipercayai
kini terbentang di depan mata. Kabut Merah tadi
sekarang telah berubah menjadi ranjang batu
berwarna merah terang, sedangkan permukaan
ranjang nampak basah seperti darah.
Diam-diam Datuk Labalang jadi kaget, jika
pemuda itu mampu menciptakan sesuatu yang
sulit dipercaya, dia tak dapat membayangkan be-
tapa tinggi ilmu kesaktian yang dimilikinya. Sebaliknya Maut Merah dan Maut Biru
tanpa bicara apa-apa segera membaringkan tawanannya diatas
ranjang merah. Ketika tubuh sang Datuk diba-
ringkan dan bagian punggung menyentuh permu-
kaan ranjang batu, orang tua ini menjerit setinggi langit. Dia merasakan tubuh
di bagian punggung
laksana dibaringkan di atas bukit es, begitu dingin membekukan hingga membuat
sekujur tu- buhnya bergetar hebat sedangkan gigi bergemele-
tukan tak sanggup menahan serangan hawa din-
gin. Tak merasa putus asa, Datuk Balabang ke-
rahkan tenaga dalamnya. Lagi-lagi dia dibuat ter-peranjat. Tenaga dalam yang
berpusat di bagian
pusat ternyata tak mau bekerja, seakan pusat
pengendalian tenaga sakti itu telah menjadi lum-
puh kehilangan daya.
"Kurang ajar, ternyata setelah berada di
luar Kuil Setan keadaanku semakin buruk lagi,"
rutuk Datuk Labalang sambil menggigit bibir. Di
depannya sana Maut Tanpa Suara tertawa terge-
lak-gelak. Rupanya dia tahu apa yang hendak di-
lakukan oleh kakek tinggi itu. Dengan suara lan-
tang mencemooh dia berkata,
"Bukan saja hanya tubuhmu yang bisa
membeku seperti patung es, tapi segala kesaktian yang kau miliki saat itu juga
membeku tak dapat
kau pergunakan sama sekali. Ha ha ha....!"
"Terkutuklah kau wahai pemuda buruk
laknat. Jika aku mati arwahku akan mengejarmu
kemanapun kau bersembunyi. Kau dengar .... aku
akan membayangi terus hingga membuat dirimu
tidak enak tidur tidak enak segalanya. Ha ha ha."
Mendengar ancaman Datuk Labalang, rupanya
Maut Tanpa Suara jadi ciut juga nyalinya. Dia la-lu menoleh, memandang ke arah
Maut Biru. "Maut Biru sumpal mulutnya!" perintah si pemuda.
Dua kepala yang menghadap ke depan
mengangguk. Dua tangan berputar-putar di uda-
ra. Wuuut!"
Di tangan Maut Biru tahu-tahu setumpuk
benda hijau kehitaman encer seperti bubur me-
nempel ditangan itu. Sekali tangan Maut Biru
berkelebat maka. Plok! Cairan biru itu menempel
di mulut Datuk Labalang lengket seperti perekat.
Sang Datuk coba buka mulutnya namun tak
sanggup. Hidungnya mengendus-endus. Ternyata
dia mencium bau pesing.
"Jahanam keparat! Aku seperti mencium
bau kotoran kampret!" teriak si kakek dengan ma-ta mendelik. Tapi karena dua
bibirnya terkancing rapat, tentu saja suara Datuk Labalang hanya
sampai sebatas tenggorokannya saja.
"Tua bangka setinggi galah, setelah mulut
mu ditutup dengan campuran air seni dewa ru-
panya kau baru bisa diam. Ha ha ha. Sungguh
akhir hidup ini semakin tidak menyenangkan ba-
gimu." Dengus Maut Tanpa Suara sinis. Dalam
keadaan begitu rupa si Datuk benar-benar mera-
sa mati kutu. Tak ada yang dapat dilakukannya
terkecuali hanya memaki di dalam hati.
Setelah puas tertawa, Maut Tanpa Suara
kemudian berpaling pada Maut Merah, meman-
dang pada mahluk berkepala empat itu baru ke-
mudian berkata. "Maut Merah, cepat kau temui Dwi Kemala Hijau, katakan padanya
agar dia dan Maut Kuning membawa pemuda dan gadis itu
kemari. Sedangkan Maut Biru tetap bersamaku
disini mengatur segala keperluan sebelum Yang
Agung berkenan memimpin jalannya upacara
penghormatan!" perintah pemuda itu. Maut Merah anggukan kepala. Dia kemudian
memutar langkah dan berjalan secepat hembusan angin
memasuki Kuil Setan dimana pintunya dalam
keadaan terbuka.
*** Di dalam ruangan Penentuan Ajal paling
tidak Gento masih dapat bernafas lega melihat
Ambini ternyata dalam keadaan selamat. Dia yang
dibaringkan tidak berjauhan dengan Ambini sejak
pertama dijebloskan di ruangan itu oleh Maut Bi-
ru terus memutar otak mencari jalan selamat. Ta-
pi Gento Guyon masih belum menemukan cara
terbaik untuk menyelamatkan diri, jangankan lagi menolong Ambini.
Dia sudah berusaha memutus benang biru
yang membelenggu tangan dan kakinya. Akan te-
tapi seakan tidak masuk akal benang itu sulit di-putuskan. Malah sampai
tangannya lecet menge-
luarkan darah upaya memutuskan tali benang ti-
dak membawa hasil. Bukan hanya itu saja usa-
hanya untuk memunahkan totokan Maut Biru ju-
ga sia-sia. Berulang kali dia kerahkan tenaga dalam untuk membebaskan diri dari
pengaruh toto- kan. Tapi apa yang terjadi kemudian lebih meng-
herankan lagi. Setiap kali si pemuda kerahkan
tenaga dalam, setiap itu perutnya langsung mu-
las, kepala sakit berdenyut sedangkan pandangan
berkunang-kunang.
"Sial betul nasibku hari ini. Bagaimana be-
nang sekecil ini tak dapat ku putuskan." rutuk murid si gendut Gentong Ketawa.
Sebentar mulutnya komat kamit, entah membaca mantra en-
tah sedang mengomel. Yang jelas suaranya tak
terdengar sama sekali. Selesai komat-kamit mulut Gento cemberut lalu monyong dan
kemudian berubah tegang. Rupanya dia ingat pada Si Tangan
Sial. Sahabatnya sendiri yang oleh Maut Biru di-
katakannya sebagai orang yang membawa Ambini
ke Kuil Setan. "Kampret sialan itu. Sungguh aku tak tahu
apa yang terjadi padanya hingga membuat dia ja-
di gila membawa sahabat sendiri ke tempat celaka ini." geram Gento dalam hati.
Di sebelahnya sana Ambini sejak melihat si
gondrong bertelanjang dada ini dibawa oleh Maut
Biru sesungguhnya jadi kaget juga gembira. Dia
kaget karena tidak menyangka Gento muncul di
tempat itu dan akhirnya kena ditawan.
Gembira karena sampai saat itu Gento ma-
sih dalam keadaan selamat bahkan segar bugar.
Ini berati Si Tangan Sial belum dapat melaksana-
kan niatnya untuk membunuh pemuda yang di-
am-diam sangat dikaguminya itu.
"Aku telah menguras fikiran untuk mem-
bebaskan diri dari libatan benang celaka ini. Tapi aku tak habis fikir mengapa
benang ini tak dapat ku putuskan. Ah... lebih mengherankan lagi, kulihat kau
betah tinggal di ruangan terkutuk ini
Ambini." Satu suara memecah keheningan. Ketika Ambini menoleh ke samping
kirinya, ternyata
yang barusan bicara bukan lain adalah pemuda
yang baru saja difikirkannya.
"Gento sahabatku"!" sahut Ambini dengan suara bergetar diwarnai rasa rindu. Si
gondrong bertelanjang dada hanya menyengir dan tidak da-
pat menangkap getar perasaan Ambini. "Bagaimana kau bisa sampai di tempat ini
dan bersama dalam tawanan Maut Biru itu?" Ambini bertanya heran. Si pemuda tertawa. Polos
saja dia menjawab. "Semula mahluk neraka itu menyaru menja-di gadis cantik.
Setelah merayuku dan aku ham-
pir tertarik padanya. Ah... tidak kusangka tubuhnya berubah menjadi setan
kuburan. Ha ha ha....!" Wajah si gadis sempat bersemu merah Di-am-diam hatinya dijalari
perasaan tidak enak, kalau tak boleh dikata cemburu.
"Jadi kau sempat dipeluk mahluk terkutuk
itu?" dengus si gadis cantik.
"Ha ha ha. Mulanya dirinya hendak ku pe-
luk, tak tahunya malah diriku kena diringkus-
nya." sahut Gento Guyon sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Wajah cantik putih Ambini bersemu merah,
mulut bagusnya mencibir. "Dasar pemuda mata keranjang!" maki si gadis. Tawa
Gento semakin bertambah keras. Ambini yang sempat dibuat
kesal melihat si pemuda masih juga tertawa-tawa, padahal jiwa mereka tengah
berada dalam ancaman bahaya besar segera berkata kembali. "Gento, tahukah kau
apa yang bakal terjadi pada diri kita?" Murid Gento Ketawa mendadak hentikan
tawanya, kepala dimiringkan ke arah kanan. Dia
memandang ke arah si gadis dengan mata berke-
dip-kedip. "Apa maksudmu Ambini" Aku mendengar akan ada pesta besar di pintu
luar depan kuil.
Konon penguasa Kuil Setan sedang berhajat hen-
dak menjodohkan kita. Satu perhelatan besar se-
dang dipersiapkan. Kita akan menjadi raja dan ra-tu semalam suntuk, bukankah
begitu?" ucap
Gento. Mendengar ucapan si pemuda yang terus
saja bergurau membuat Ambini delikkan ma-
tanya. Sungguh mati mata itu semakin bertam-
bah indah bila sedang mendelik. Dan saat itu
Gento merasa jantungnya berdetak lebih cepat,
perasaannya jadi tak karuan membuat dia ingin
menggaruk kepala atau mengusap hidung. Tapi
itu tak mungkin dilakukannya karena dua tan-
gannya dalam keadaan terikat.
"Apa yang kau katakan itu mungkin benar,
Gento." Menyahuti Ambini yang tidak berani be-radu pandang dengan pemuda itu
lebih lama. "Tapi agar kau tahu, Yang Agung bermaksud
menjadikan mu raja di dalam tungku bara nera-
ka. Kau dan aku akan dibunuhnya, dikorbankan
untuk menghormati kekuasaan Yang Agung. Jika
kau memang ingin cepat mati, maka tertawalah
sepuasmu sampai kau bosan. Sementara aku
yang ingin hidup akan berusaha mencari jalan
untuk menyelamatkan diri dari ruangan Penen-
tuan Ajal ini." kata si gadis tegas.
Melihat ucapan Ambini yang nampak ber-
sungguh-sungguh membuat Gento Guyon jadi
tercekat, dia menelan ludah namun mendadak
tenggorokannya terasa kering.
"Ambini, kapan kita hendak dijadikan kor-
ban penghormatan?" Gento Guyon ajukan pertanyaan. Si gadis gelengkan kepala.
"Aku tak tahu, mungkin malam ini tapi bisa jadi lebih cepat dari waktu yang
kuperhitungkan." jawab gadis berpakaian serba putih itu singkat.
"Waduh biyung, matilah aku" Gento men-
geluh. "Semua ini gara-gara si Tangan Sial. Kalau bukan karena ulah dajal
keblinger itu tentu nasib kita agak bagusan sedikit."
"Tak usah mengeluh, tak perlu menyalah-
kan orang lain. Tangan Sial mungkin saja dipera-
lat orang lain. Jika kita bisa membebaskan diri
tentu nantinya kita bisa menyelidiki persoalan
itu." kata si gadis.
Gento Guyon baru saja hendak mengata-
kan sesuatu ketika terdengar suara pintu itu bergeser disertai terdengarnya
langkah-langkah kaki menuruni anak tangga ke bawah bergerak mendatangi mereka.
Gento pasang telinga tajamkan
pendengaran. Mendengar suara yang ada pasti
yang datang ke ruangan itu bukan satu tapi ada
dua orang. Ternyata dugaan si gondrong tidak
meleset. Saat itu dia melihat ada dua sosok da-
tang ke ruangan penyekapan. Karena ruangan ba-
tu tempat mereka disekap diterangi cahaya merah
meskipun temaram, Gento dapat melihat kehadi-
ran sosok serba kuning berkepala empat. Mahluk


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan ini sama persis dengan mahluk biru
yang menyerang Gento. Hanya yang membeda-
kannya kulit tubuhnya saja yang berwarna kun-
ing. Berbeda dengan sosok yang satunya lagi.
Yang satu ini berpakaian serba hijau tipis tembus pandang. Kulitnya putih mulus,
rambut panjang tergerai, wajahnya cantik luar biasa laksana bi-
dadari. Karena saat itu dia berdiri dekat sekali dengan Gento, maka si pemuda
dapat mencium bau harum tubuhnya.
"Gadis ini hantu jejadian atau seorang bi-
dadari" Sejak tadi dia memandangiku. Pertama
melihat aku nampaknya dia seperti terkejut"!" batin Gento.
"Kau pemuda tampan yang malang siapa
namamu?" tanya si gadis serba hijau. Matanya yang bening memandang tajam ke arah
Gento. "Ha ha ha. Sahabatku itu Ambini, aku sen-
diri Gento Guyon. Kau siapa" Benar-benar gadis
cantik atau setan penunggu kuil yang tengah me-
nyaru jadi gadis cantik?" sahut si pemuda sambil ajukan pertanyaan. Si gadis
tersenyum. Ambini
yang melihat itu jadi mendongkol. "Pemuda buaya itu, jangan-jangan begitu
melihat jidad licin jadi lupa daratan." rutuk si gadis.
"Aku Dwi Kemala Hijau. Datang kemari un-
tuk membawamu dan gadis itu keluar." Mene-
rangkan gadis berwajah bidadari ini. Dalam hati
dia berkata. "Tak kusangka orang yang kutunggu itu telah datang. Jika dia dapat
kutolong, kelak mungkin bisa kuharapkan pertolongannya. Tapi
bagaimana caranya" Yang Agung jika sampai ta-
hu aku berkhianat padanya pasti akan menghabi-
si aku. Lalu Maut Tanpa Suara juga pasti tidak
tinggal diam, belum lagi tiga Penjaga Kuil Setan."
"Kemala.... Maut Tanpa Suara memerin-
tahkan pada kita untuk membawa dua tawanan
ini ke luar. Mengapa kita tidak segera laksanakan perintahnya?" Maut Kuning
tiba-tiba menegur.
Dwi Kemala Hijau terkejut. Akan tetapi dia
masih bisa bersikap tenang sambil menyahuti.
"Kau boleh membawa pemuda ini, sedangkan aku yang akan mengurus gadis itu." ujar
si gadis. Sekali lagi dia berfikir. "Jika kuhabisi Maut Kuning sekarang, mungkin
aku bisa menyelamatkan pe-
muda gondrong ini. Aku tahu dimana titik kele-
mahan Maut Kuning. Tapi bagaimana dengan ga-
dis itu, apakah harus kubiarkan mati sia-sia" Ji-ka gadis itu sahabatnya Gento
pasti sebagai sa-
habat Gento tak mau terima temannya tewas pe-
nasaran." Selagi Dwi Kemala Hijau tengah berfikir apa yang hendak dilakukannya.
Pada saat itu Ambini berucap.
"Gadis serba hijau, jika kau ingin membu-
nuh kami mengapa tak kau lakukan sekarang.
Sejak tadi kulihat kau selalu tertegun dan sering memperhatikan sahabatku Gento.
Apakah kau merasa tertarik padanya?" Gento sendiri sempat dibuat kaget mendengar kata-kata
ketus yang di-ucapkan oleh Ambini.
"Apa lagi yang merasuki diri Ambini. Nada
ucapannya ketus seperti seorang kekasih yang di-
bakar rasa cemburu." kata si pemuda pelan.
Dwi Kemala Hijau melengak kaget. Tapi se-
gera berkata tegas karena saat itu dia mendengar ada suara langkah mendatangi.
"Maut Kuning bawa pemuda sinting ini ke-
luar!" perintah si cantik. Berkata begitu dia palingkan wajah, memandang ke arah
anak tangga. Ternyata yang datang adalah Maut merah. "Persoalan cukup rumit, terlalu
berbahaya bagiku jika harus menghadapi dua lawan sekaligus." pikir-nya. Dwi
Kemala Hijau kemudian sengaja bicara
keras ditujukan pada orang yang baru datang.
"Maut Merah, bawa gadis ini keluar!"
"Kebetulan sekali, Maut Tanpa Suara me-
mang memberikan perintah yang sama kepada-
ku." sahut Maut Merah.
Dua mahluk berkepala empat masing-
masing mendatangi Ambini dan murid Gentong
Ketawa. Tidak berapa lama kemudian mereka
membawa si gadis dan Gento meninggalkan ruan-
gan itu. Jika Gento masih dapat tertawa, walau-
pun hatinya dicekam ketegangan luar biasa. Se-
baliknya Ambini yang berada dalam pondongan
Maut Merah saking takutnya terus menjerit-jerit.
Sementara Dwi Kemala Hijau yang masih
berada di dalam ruangan itu terus berfikir. "Belasan tahun aku berada disini,
aku harus mencari
jalan agar dapat kembali ke Kayangan. Mungkin
satu-satunya jalan yang bisa kuharapkan hanya
dari pemuda itu. Tapi bagaimana aku bisa meno-
long pemudanya?" batin si gadis bingung.
5 Satu sosok serba merah mendekam di balik
legukan sejarak dua tombak dari puncak bukit di
sebelah barat. Tak berapa lama sosok itu terus
mengendap-endap merayap memasuki lorong
sempit serba gelap sepanjang lebih kurang dua
puluh tombak. Sampai di ujung lorong gelap dia
menemukan sebuah dinding pembatas yang
menghubungkan ke ruangan dalam dengan dunia
luar. Sosok berpakaian serba merah ini segera
mendorong dinding batu. Karena dengan tenaga
kasar batu yang di dorong tidak bergeming sedi-
kitpun, maka sosok berpakaian merah dan me-
makai ikat kepala warna merah dengan tujuh si-
sik besar berwarna putih yang menyatu dengan
kulit dada ini segera salurkan tenaga dalam ke-
dua belah tangannya.
Tak lama kemudian dia mendorong dinding
di ujung terowongan gelap itu. Sekali dua kali
tangan bergerak, terus mendorong dengan penge-
rahan tenaga dalam penuh.
Terdengar suara batu bergesekan disertai
suara gemuruh perlahan. Batu berbentuk empat
persegi dengan ketebalan lebih kurang sepanjang
siku ini kemudian menggelundung ke dalam. Be-
gitu batu menggelinding, dari balik lubang itu terlihat satu cahaya memancar
dari dalam ruangan.
Dengan tergesa-gesa sosok merah merayap ma-
suk, sampai kemudian tubuhnya lenyap di balik
ruangan. Pada waktu yang bersamaan di ujung luar
lorong tepat dibalik legukan batu muncul pula
dua kakek berbadan tinggi besar luar biasa ber-
sama seorang kakek bermuka asam berbadan
pendek cebol bukan main. Si kakek cebol yang
adalah Dewa Kincir Samudera begitu sampai
langsung masuk ke dalam lorong rahasia. Karena
tubuhnya kecil pendek bukan main, maka dida-
lam lorong gelap itu dia dapat berdiri tegak malah bisa pula berjalan biasa.
Lain halnya dengan si
gendut besar Gentong Ketawa. Karena tubuhnya
besar bukan main, mengingat kecilnya lorong dia
tidak bisa mengikuti gurunya dengan cara me-
rangkak, melainkan merayap seperti seekor ular
besar yang kekenyangan. "Guru mengapa tiba-
tiba berhenti?" tanya Gentong Ketawa ketika si kakek cebol bermata mencorong
tajam hentikan langkah. Karena posisi berdiri Dewa Kincir Samu-
dera persis di depan kepala Gentong Ketawa mau
tak mau si gendut mengendus bokong gurunya. Si
gendut besar bersin beberapa kali.
"Bau apa begini amat" Apa mungkin bau
badan orang tua ini?" keluh Gentong Ketawa. Sebaliknya si kakek pendek kecil
diam tidak me- nanggapi, hanya tatapan matanya memandang
lurus ke depan dimana dia melihat ada cahaya
merah samar membesit dari bagian ujung lorong.
Bila mata si kakek tertuju ke ujung lorong, maka cuping hidungnya mengendus-
endus. "Aku merasakan sudah ada orang yang
masuk mendahului kita, Gentong Ketawa bersiap-
lah menghadapi segala sesuatu yang tidak diin-
ginkan." kata Dewa Kincir Samudera memberi ingat. "Bagaimana kakek cebol ini.
Bisa jadi dia membaui keringatnya sendiri bagaimana dia bisa
berkata sudah ada orang yang masuk ke mari?"
gerutu si gendut dalam hati. Namun dia tetap saja anggukkan kepala sambil
berucap. "Apa yang guru katakan mungkin saja benar. Penciuman
guru sangat tajam. Tapi siapa orangnya yang bisa mengetahui adanya lorong
rahasia ini?"
"Aku tak dapat memastikan mungkin Be-
gawan Panji Kwalat sudah sampai di tempat ini
untuk membantu muridnya. Atau bisa juga murid
manusia laknat itu yang telah masuk kesini." ujar Dewa Kincir Samudera.
Selesai berkata sambil memasang mata
dan telinga si kakek cebol kembali langkahkan
kakinya. Sementara dibelakangnya sambil ber-
sungut-sungut Gentong Ketawa terus mengikuti.
Terus menerus bergerak seperti itu dalam kea-
daan merayap tentu membuat si gendut merasa
lelah apalagi perut besarnya terus bergesekan pa-da tanah yang dia lalui.
"Ini pekerjaan gila, jika terus dalam kea-
daan begini perutku bisa ambrol." gerutu si gendut. Pada akhirnya mereka sampai
juga di ujung lorong dimana batu besar yang menjadi
tembok pembatas antara lorong dan sebuah
ruangan dalam keadaan terbuka lebar.
"Benar dugaanku sudah ada orang yang
sampai di tempat ini mendahului kita. Cepat kita masuk ke dalam ruangan itu!"
perintah Dewa Kincir Samudera pada si gendut.
"Ayolah, tubuhku juga sudah mandi kerin-
gat akibat terlalu lama berada di dalam lorong
pengap ini." sahut Gentong Ketawa sudah tidak sabar lagi.
Sambil tersenyum kakek berkumis dan
berjenggot lebat dan sudah memutih sebagaimana
halnya dengan bagian rambutnya itu melompati
lubang batu berbentuk empat persegi. Kemudian
si gendut Gentong Ketawa juga segera ikut me-
nyusul. Kini mereka sudah berada di dalam sebuah
ruangan luas berlantai batu dan berdinding batu
merah. Di dalam ruangan itu cahaya merah te-
rang menyinari dari setiap sudut.
"Bagian dalam Kuil Setan ternyata begini
indah dan megah. Tidak seperti yang kubayang-
kan....!" "Apa yang ada dalam benakmu sebelum
sampai ke sini?" tanya Dewa Kincir Samudera, sementara tatap matanya liar
memandang kese-genap penjuru sudut. Dia merasa saat itu ada
yang mengawasi kehadiran mereka, hanya si ka-
kek tidak mengatakannya pada sang murid.
"Yang terfikir olehku selama ini Kuil Setan merupakan sebuah tempat angker dan
dihuni oleh para setan gentayangan."
"Dasar murid sinting." dengus si kakek cebol. "Manusia sialan itu ku rasakan
keberadaannya, tapi aku tidak dapat mengetahui dia bersem-
bunyi disebelah mana?"
"Guru, apa yang engkau fikirkan?" tanya Gentong Ketawa yang melihat gurunya
tertegun, mata jelalatan mulut komat-kamit seperti bicara
seorang diri. "Tidak apa-apa."
"Aku tahu kau pasti sedang memikirkan
seseorang yang berada di dalam ruangan ini. Bi-
arkan saja, kita punya kepentingan yang lain. Ke-
selamatan muridku dan juga sahabatku lebih
utama dari pada mengurusi segala macam tikus
pengintip!" kata si gendut dengan suara sengaja dikeraskan. Agaknya supaya sosok
yang mengin-tai mereka sengaja mendengarnya.
"Kalau begitu sebaiknya sekarang ini kita
cari tahu dimana muridmu yang tolol itu dis-
ekap." ujar si kakek cebol. Murid dan guru yang sudah sama kakek-kakek ini
kemudian tinggalkan ruangan itu.
Di balik gundukan batu empat persegi
orang yang mendekam disitu kini bangkit berdiri.
Dia ternyata adalah seorang pemuda berumur se-
kitar dua puluh lima tahun, berpakaian serba
merah, berambut gondrong kaku yang di ikat kain
merah. Pemuda ini beralis tebal, matanya tajam
mencorong menyimpan kebengisan juga kekejian.
Di belakang pakaian merahnya terdapat sulaman
gambar bumi, sedangkan ditengah sulaman gam-
bar bumi membelintang garis putih berkelok-
kelok tidak ubahnya seperti lintasan kilat. Ada-
pun sosok pemuda angker ini bukan lain adalah
Lira Watu Sasangka bergelar Panji Anom Pengge-
tar Jagad murid tunggal Begawan Panji Kwalat.
Memandang ke arah perginya Gentong Ketawa
dan gurunya, si pemuda sunggingkan senyum si-
nis. "Kakek berbadan tinggi besar tadi dan kakek cebol itu, menurut ciri-ciri
yang pernah dite-rangkan oleh guru adalah tokoh-tokoh sakti di-
mana aku harus berhati-hati bila berhadapan
dengan mereka. Orang seperti mereka mengapa
harus ku takuti. Kalau keadaan tidak memung-
kinkan apa salahnya aku membunuh mereka
berdua?" gumam Lira Watu Sasangka disertai seringai mencemo'oh.
Tak lama kemudian pemuda ini mulai me-
meriksa ruangan itu untuk mencari senjata pu-
saka Bintang Penebar Petaka. Setelah mengha-
biskan waktu sekian lamanya ternyata benda
yang dicarinya tidak ditemukan.
"Kurang ajar, berapa banyakkah ruangan
rahasia di dalam Kuil Setan ini. Mungkin aku ha-
rus mencarinya di tempat lain," fikir Panji Anom sambil menggerutu tak karuan.


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia bermaksud memasuki ruangan yang terdapat disebelahnya.
Ketika sampai di depan pintu, langkahnya men-
dadak jadi terhenti karena dia mendengar suara
hancurnya benda-benda keras seperti dibanting
yang kemudian disusul dengan suara teriakan
amarah seseorang.
"Benda pusaka itu bagaimana bisa raib jika
tidak dicuri oleh seseorang" Jahanam keparat
siapa yang melakukan semua ini" Bintang Pene-
bar Petaka... oh, siapakah yang telah mengambil-
nya?" Di balik pintu kening Panti Anom berkerut tajam. "Orang itu mungkin saja
pemilik senjata yang kucari" fikir si pemuda. "Jika benar Bintang Penebar Petaka
telah dicuri oleh seseorang, siapa yang telah mencurinya" Keparat, aku telah
datang terlambat. Mungkin pencuri itu sudah tidak
lagi berada disini. Mungkin pencurinya telah jauh meninggalkan Kuil Setan ini.
Siapapun orang yang berada di dalam ruangan itu aku tidak pe-
duli, aku harus mengejar!" geram si pemuda.
Tanpa membuang waktu lagi dia langsung berke-
lebat tinggalkan tempat itu menuju lorong rahasia tempat dimana pertama kali dia
datang. 6 Empat obor besar dipasang di empat pen-
juru sudut. Cahaya menerangi kegelapan di seki-
tar halaman Kuil Setan. Di langit bulan sabit di-malam ke sembilan masih belum
terlihat, hanya
kerlip bintang bertaburan menerangi. Di tengah-
tengah halaman dibagian dalam dimana obor be-
sar menyala, tiga sosok tubuh tergeletak tanpa
daya di atas sebuah dipan batu merah. Sedang-
kan tiga mahluk aneh berkepala empat terus
menjaga mereka. Maut Tanpa Suara dan Dwi Ke-
mala Hijau masih belum terlihat di tempat pen-
gorbanan guna menghormati Yang Agung, pengu-
asa Kuil Setan.
Dalam kegelapan malam, suasana disekitar
Kuil Setan memang terasa sunyi mencekam. Da-
lam pada itu si kakek setinggi galah yang terbaring di atas batu panjang yang
terletak di sudut
kanan tiba-tiba saja berbisik.
"Siapapun adanya kalian berdua, aku Da-
tuk Labalang berharap hendaknya kita bekerja
sama melakukan sesuatu guna menyelamatkan
diri." kata si kakek setinggi galah melalui ilmu mengirimkan suara.
"Apa maksudmu orang tua tinggi?" tanya Ambini melalui cara yang sama pula.
"Berbuatlah apa saja yang dapat kalian la-
kukan. Memang kita tidak saling mengenal, tapi
apa salahnya kita bekerja sama guna menolong
diri kita masing-masing?"
"Memang tidak ada salahnya, kakek. Tapi
bagaimana kami bisa mempercayaimu, sedangkan
kenal pun kita belum." celetuk Gento Guyon pula.
"Dalam keadaan mau mampus masih kita
harus mengenalkan diri kita masing-masing" Kau
dengar, begitu bulan sabit ke sembilan muncul
nyawa kita sudah mendekati ajal. Kita tidak
punya waktu banyak untuk saling kenal satu sa-
ma lain!" ujar Datuk Labalang.
Mendengar ucapan sang Datuk, baik Am-
bini maupun Gento sama-sama terdiam dan sama
pula berfikir. "Apa yang dikatakannya memang benar.
Tapi dalam keadaan begini apa yang harus kula-
kukan" Jangankan melarikan diri, menggerakkan
tangan dan kaki pun aku tak sanggup!" keluh Gento. Sebaliknya Ambini juga
berkata, "Aku memang tidak dalam keadaan terikat sebagaimana halnya dengan Gento
maupun kakek itu. Tapi
apa bedanya. Aku sama sekali tak dapat mele-
paskan totokan yang dilakukan oleh Si tangan Si-
al!" batin si gadis dalam hati.
Di tempatnya terbaring Datuk Labalang te-
rus memutar otak mencari jalan. Matanya me-
mandang ke berbagai arah. Sampai kemudian dia
melihat obor besar, sekelumit harapan terselip
dalam benak orang tua itu. Dia berfikir panjang
batu maut dimana dirinya terbaring tercipta dari satu ketakutan sakti yang
bersumber dari ilmu
hitam. Andai obor dapat diambil, mungkin bisa
dimanfaatkan untuk memusnahkan ranjang yang
sangat dingin bahkan telah membekukan seba-
gian dari kesaktian yang dia miliki. Tapi siapa
yang dapat mengambil obor itu" Dirinya tidak
mungkin, sedangkan si gondrong itu juga sama
saja. Satu-satunya orang yang tidak dalam kea-
daan terikat hanya gadis berbaju putih itu.
Mungkin gadis itu bisa diharapkan dapat berbuat
banyak untuk menyelamatkan mereka dari ben-
cana maut. Tapi bagaimana pun juga gadis itu tak dapat melakukannya" Beberapa
saat lamanya ha-ti Datuk Labalang diwarnai kebimbangan. Di saat
sang Datuk dalam keadaan seperti itu, di waktu
Gento sendiri Sedang berusaha keras memu-
tuskan benang-benang yang melibat tangan dan
kakinya maka pada detik yang sama pula menda-
dak pintu Kuil Setan yang tadinya dalam keadaan
tertutup kini terbuka kembali.
Satu sosok berpakaian merah dan yang
lainnya berpakaian hijau keluar menuju ke arah
mereka dengan langkah lebar.
Kedua orang yang baru keluar dari dalam
Kuil Setan itu bukan lain adalah Maut Tanpa Su-
ara dan juga Dwi Kemala Hijau.
Ketika sampai di depan para calon korban-
nya, Maut Tanpa Suara hentikan langkah sambil
memperhatikan tiga sosok yang terbaring tidak
berdaya. Lain lagi halnya dengan Dwi Kemala Hi-
jau. Gadis secantik bidadari yang tubuhnya ber-
warna kehijauan ini lebih banyak mencurahkan
perhatiannya pada Gento Guyon. Sejak tadi dia
terus berfikir mencari cara untuk menyelamatkan
Gento sebelum acara pengorbanan itu dilakukan.
"Bulan sabit ke sembilan sudah menam-
pakkan diri di langit sana. Sekejap lagi acara
akan dimulai." berkata Maut Tanpa Suara sambil memandang ke langit. Setelah itu
dia memandang ke arah Maut Merah. Pada mahluk kepala empat
itu dia berkata. "Maut Merah, siapkan kampak pemenggal kepala untuk memotong
leher ketiga orang ini!"
Maut merah mengangguk dengan tubuh
membungkuk kembali tegak, dua tangan yang
menghadap ke bagian dada dihantamkan ke ta-
nah. Tanah amblas disertai letupan keras. Ketika dua tangan ditarik kembali. Di
tangan Maut Merah kini tergenggam sebuah kampak besar ber-
warna putih mengkilat.
"Nampaknya aku harus bertindak. Maut
Merah sudah memegang kampak. Jika tidak ku
cegah, pemuda ini pasti segera menemui ajal!" batin Dwi Kemala Hijau.
"Yang Agung sekejab lagi segera hadir di
tempat ini, Maut Merah tumpahkan darah mere-
ka. Kau, Maut Kuning dan Maut Biru segera ikuti
aku untuk mengucapkan puji-pujian!" Maut Tan-pa Suara tiba-tiba keluarkan suara.
Bukan hanya Gento. Ambini dan Datuk Labalang sendiri mulai
dicekam ketegangan. Terlebih-lebih ketika Maut
Merah dengan kampak siap ditangan mendekat
ke arah mereka.
Dalam kesempatan itu suara racau aneh
keluar dari mulut Maut Tanpa Suara juga dua
mahluk kepala empat lainnya. Suara racau saling
bersahut-sahutan diselingi suara lolong yang ti-
dak ubahnya seperti senandung kematian. Ambi-
ni keluarkan keringat dingin saat kampak di tan-
gan Maut Merah mulai terarah di bagian lehernya.
Melihat ini Gento berteriak keras.
"Mahluk terkutuk! Jika kau bunuh gadis
itu, aku bersumpah akan mencabik-cabik tu-
buhmu!" Maut Merah tidak menanggapi. Hanya dari
ke empat mulutnya terdengar suara erangan aneh
saling susul menyusul. Maut Tanpa Suara sendiri
sepertinya tidak terpengaruh mendengar ucapan
Gento. Mulut tetap meracau, mata terpejam dan
terus memimpin acara puji-pujian.
"Bocah, kekasihmu ternyata mendapat gili-
ran lebih awal untuk berangkat ke akherat. Ha ha ha." Datuk Labalang berkata
dengan suara keras.
"Kakek setinggi galah, nasibmu lebih be-
runtung. Tapi kurasa kematianmu akan lebih
mengerikan lagi!" sahut Gento yang semakin bertambah tegang melihat mata kampak
itu kini su- dah siap memenggal putus kepala Ambini.
Suara racau puji-pujian lenyap. Maut Biru
Maut Kuning katubkan mulut. Masing-masing
mata tunggalnya yang menempel di bagian kening
masih terpejam. Dalam kesempatan itu Maut
Tanpa Suara yang berdiri tak jauh dari Dwi Ke-
mala Hijau memberi perintah.
"Pemancungan dimulai!"
Maut Merah menggerung sambil gerakkan
kampak ditangannya. Datuk Labalang meman-
dang dengan mata mendelik. Sedangkan murid si
gendut Gentong Ketawa berteriak.
"Ambini, gulingkan dirimu ke samping!"
Laksana kilat entah mendapat kekuatan
dari mana si gadis lakukan apa yang diperintah-
kan si pemuda. Dia gulingkan diri dan jatuh di
samping Ranjang Kematian. Mata kampak yang
memancarkan cahaya putih berkilauan itu ber-
desing dan menghantam ranjang batu merah.
Bummm! Hantaman mata kampak yang membentur
ranjang batu mengeluarkan suara dentuman ke-
ras. Puing-puing ranjang bertaburan di udara di-
kobari api. Ambini terus gulingkan diri menjauh
dari jangkauan kampak. Sementara ranjang le-
nyap meninggalkan kepulan asap tipis. Maut
Tanpa Suara yang tidak pernah menyangka
adanya kejadian ini tersentak kaget dan buka ma-
tanya. Melihat apa yang terjadi dengan penuh
kemarahan dia berteriak pada Maut Biru dan
Maut Kuning. "Tangkap dan bunuh ketiganya se-
kaligus." Si pemuda kemudian menoleh ke samping.
Melihat Dwi Kemala Hijau diam tertegun seperti
ragu pemuda buruk rupa ini membentak.
"Kemala mengapa kau tidak segera turun
tangan membantu"!" tanya Maut Tanpa Suara
terheran-heran.
"Pekerjaan semudah itu mereka bertiga
pun sanggup melakukannya!" jawab si gadis
sambil menunggu kesempatan untuk melarikan
Gento. "Kurang ajar, kau terlalu menganggap re-meh para tawanan itu!" pekik Maut
Tanpa Suara. Walau dia berteriak begitu, anehnya pemu-
da ini tidak segera melakukan tindakan atau be-
ranjak dari tempatnya berdiri. Mungkin karena
dia melihat Maut Biru dan Maut Kuning kini su-
dah berkelebat ke arah Gento dan Datuk Laba-
lang, sedangkan Maut Merah mengejar Ambini
sambil mengayunkan kampak besarnya. Walau-
pun jiwa murid Gentong Ketawa sendiri saat ini
berada dalam ancaman bahaya besar karena saat
itu Maut Kuning telah lancarkan serangan, den-
gan hujaman kuku-kuku yang panjang, namun
pemuda ini masih berteriak ditujukan pada Am-
bini. "Kerahkan seluruh tenaga dalammu ke bagian yang tertotok. Setelah itu
jangan kau layani mahluk gila penjagal, lari, tinggalkan tempat ini!"
"Aku tak akan meninggalkanmu! Bagaima-
na aku bisa hidup tenang jika kau tidak selamat!"
sahut Ambini sambil melakukan apa yang dipe-
rintahkan padanya.
Ucapan si gadis memiliki arti serta kesan
mendalam bagi Gento. Dia sendiri sempat menjadi
kaget. Hatinya terharu, tapi juga senang. Namun
dia lebih terkejut lagi ketika melihat sepuluh ku-ku berwarna kuning menderu
mencabik bagian
perut dan lehernya.
"Waduh biyung celaka aku!" desis si pemuda yang jelas tak mungkin mampu
menghindari serangan ganas itu karena kedua kaki dan tan-
gannya dalam keadaan terikat.
Tapi di saat maut mengincar dirinya men-
dadak sontak terdengar suara bentakan mengge-
legar laksana merobek langit disertai dengan ber-kelebatnya satu sosok bayangan
serba hijau ke arah Maut Kuning.
Dilain waktu tubuh Maut Kuning terpelant-
ing ke belakang, jatuh menelentang dengan dada
berubah hijau keracunan akibat terkena pukulan.
Di sebelah sana tepat dimana Datuk Labalang be-
rada juga terdengar pekik kesakitan! Ketika Maut Tanpa Suara memandang ke arah
itu, dilihatnya
Maut Biru yang hendak membunuh sang Datuk
jatuh berlutut sambil dekap perutnya. Sedangkan
tak jauh dari tempat kakek setinggi galah ini terbaring berdiri tegak seorang
pemuda berkulit hi-
Kisah Pedang Di Sungai Es 3 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Bagus Sajiwo 5
^