Pencarian

Tengkorak Hitam 2

Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam Bagian 2


itu menatap lekat-lekat wajah Walet Gading yang can-
tik itu. "Kau percaya dengan kata-katanya tadi bahwa aku
adalah Tengkorak Hitam?" tanya Walet Gading.
"Aku justru tidak tahu-menahu tentang Tengkorak
Hitam." "Jujur saja kukatakan padamu, aku bukan si
pembantai Tengkorak Hitam itu. Kalau aku sering me-
lintasi tanah di dekat Jurang Ajal itu lantaran ada bekas rumah saudaraku di
desa itu. Aku punya teman di
sana dan kami sering saling berkunjung."
"Jelaskan saja kepada Palwa Dirga, jangan kepa-
daku." "Kau sendiri tak punya pendapat apa-apa?"
"Pendapatku hanya satu: kau memang cantik, Nona
Ayu!" Walet Gading berdesir-desir indah, sebab ia terta-
rik dengan ketampanan dan sikap ksatrianya Pandu
Tawa itu. Ketika Pandu Tawa melangkah, Walet Gading
mengiringinya dari samping dan bertanya,
"Kau mau ke mana, Pandu Tawa?"
"Mencari seorang temanku."
"Kalau begitu, bagaimana jika aku menemanimu
dalam perjalanan?"
Pandu Tawa tersenyum, "Aku tak pernah kebera-
tan di temani gadis secantik dirimu, Nona Ayu!" Pada saat itu, Walet Gading
segera tundukkan wajah dan
tersipu malu, tapi hatinya mendesir kembali, penuh
dengan keindahan yang sukar diucapkan.
Pandu Tawa akhirnya mendengar cerita tentang
keganasan Tengkorak Hitam yang membantai banyak
orang dan beberapa keluarga di Desa Kekanjengan.
Melalui penuturan Walet Gading itulah Pandu Tawa
mengetahui bahwa Desa Kekanjengan sedang dicekam
bencana mengerikan yang muncul hampir setiap ma-
lam. "Tetapi sampai sekarang pun belum ada yang ta-hu, siapa orang yang tampil
sebagai Tengkorak Hitam.
Mungkin memang benar-benar tengkorak, atau benar-
benar manusia jadi-jadian. Aku sendiri tak menyangka
kalau akhirnya aku menjadi orang yang dicurigai seba-
gai Tengkorak Hitam. Lain kali aku tak mau lewat ta-
nah sekitar Jurang Ajal itu"
"Kurasa itu hal yang lebih baik, ketimbang kau selalu dicurigai sebagai
Tengkorak Hitam. Kalau toh aku harus curiga, mungkin aku akan mencurigaimu
sebagai Tengkorak Manis."
"Ah...!" Walet Gading mencubit lengan Pandu Ta-wa. Yang dicubit hanya tertawa
saja. Hatinya pun ber-
desir karena Pandu Tawa mengakui kecantikan yang
dimiliki Walet Gading adalah kecantikan yang memikat
hati. Itulah sebabnya Pandu Tawa merasa beruntung
dalam perjalanannya kini ditemani oleh Walet Gading.
Tapi sejauh itu Pandu Tawa masih belum tahu, bahwa
Walet Gading adalah orang yang dicari oleh Yoga, bah-
wa Walet Gading adalah bekas murid Ki Pamungkas.
"Kau sudah punya pendamping hidup, Pandu Ta-
wa?" "Belum. Kau pasti sudah, bukan?"
"Kau memancingku untuk menjawab yang sebe-
narnya, Pandu Tawa. Apakah wajahku kelihatan tua
dan tampak seperti perempuan yang sudah bersuami?"
Tidak." "Kalau begitu kau pasti punya keyakinan sendiri
apakah aku sudah punya pendamping hidup atau be-
lum." Pandu Tawa tidak bisa menjawab, hanya tersenyum lebar sambil hatinya
memuji kepandaian bicara
Walet Gading. Rasa-rasanya Pandu Tawa menjadi be-
tah walau harus berjalan dua hari lagi bersama gadis
yang dipanggilnya Nona Ayu itu.
*** 4 REKSOBUMI, guru dari Roro Intan itu, belum ba-
nyak bicara tentang rahasia yang dimilikinya. Ia baru mendengarkan pengakuan
dari Yoga tentang siapa dirinya dan siapa gurunya. Ternyata Reksobumi menge-
nai nama guru Yoga, yaitu Dewa Geledek. Tetapi Rek-
sobumi hanya mendengar namanya saja, belum per-
nah jumpa langsung dengan guru Yoga tersebut.
"Jadi dugaan hatiku sejak tadi tidak salah, bahwa kau memang satu dari dua
pendekar rajawali yang
mempunyai ciri pada pedang pusakamu itu!" kata Reksobumi. "Hatiku cukup senang
bisa bertemu dengan-
mu, Yoga. Lebih senang lagi jika aku bisa bertemu
dengan Pendekar Rajawali Putih."
"Aku akan bawa dia mengunjungimu. Tapi terlebih
dulu aku ingin mengetahui, siapa penyerang muridmu
itu dan kira-kira apa alasan orang tersebut. Sebelum
aku mengetahui hal itu, hatiku masih belum bisa te-
nang, karena sangat penasaran, Ki Reksobumi!"
"Sebenarnya...," sampai di situ Reksobumi terpaksa hentikan kata-katanya.
Dahinya berkerut dan ma-
tanya memandang aneh. Sepertinya ia merasakan ada
sesuatu yang tak beres sedang mengancamnya.
"Ada apa, Ki Reksobumi?"
"Ada sesuatu yang ingin menyerangku!" Baru saja Reksobumi selesai bicara begitu,
tahu-tahu dua pisau
terbang melayang ke arahnya dari belakang. Zingng,
zingng...! Dengan cepat Reksobumi menghindar, ba-
dannya dimiringkan ke kanan sambil menengok ke be-
lakang dan melihat datangnya dua pisau terbang ber-
gagang benang rumbai-rumbai merah itu.
Gerakan menghindarnya itu tidak disadari telah
membuat pisau itu melayang lurus ke arah Yoga. Den-
gan cepat Pendekar Rajawali Merah kelebatkan tan-
gannya ke depan. Teeb, teeb...! Dua pisau terbang itu terselip di jemari Yoga.
Ia segera membuangnya ke
arah samping. Lalu, dari tempat meluncurnya dua pi-
sau tersebut, muncul dua sosok manusia berwajah
angker. Masing-masing berusia sejajar dengan usia tua Reksobumi. Mereka berjalan
mendekati Reksobumi
dengan langkah tegasnya.
"Siapa mereka, Ki?" tanya Yoga dengan mata tetap terarah kepada dua orang
tersebut. Padahal seharusnya Reksobumi cepat-cepat membawa pergi muridnya
yang terluka racun senjata rahasia tersebut. Yoga saat itu hanya menduga,
"Mungkin salah satu dari mereka yang memiliki senjata rahasia tersebut?"
Reksobumi perdengarkan suara pelannya, "Mereka
adalah si Pisau Terbang dan Tangan Maut. Keduanya
murid Jayagati, dari Perguruan Wesi Kuning. Mereka
musuh lama ku. Padahal... aku harus segera sembuh-
kan lukanya Roro Intan. Sial betul aku bertemu mere-
ka di sini!" "Persoalannya apa, Ki?"
"Mereka selalu memaksaku untuk serahkan Kitab
Bintara Gada! Tapi aku tak akan pernah mau serah-
kan kitab itu, karena Jayagati bukan tokoh putih. Ki-
tab Bintara Gada tak boleh jatuh ke tangan tokoh be-
raliran hitam. Sampai titik darah penghabisan aku te-
tap akan pertahankan kitab pusaka itu."
Yoga manggut-manggut setelah memahami mak-
sud pertikaian tersebut. Sebelum si Pisau Terbang dan Tangan Maut lebih dekat
lagi. Yoga sempat berbisik
kepada Reksobumi,
"Carilah kesempatan untuk larikan diri. Aku akan pancing mereka dengan kesibukan
menahan jurus-jurusku, Ki!"
"Mereka punya ilmu cukup tinggi. Yoga. Apalagi
gurunya, sangat tinggi. Aku khawatir kau celaka di
tangannya."
"Pergilah, Ki. Aku bisa jaga diri!" kata Yoga meya-kinkan sekali.
Dua orang berwajah bengis itu berhenti melang-
kah. Jaraknya dengan Reksobumi hanya tiga tindak.
Matanya sama-sama tajam memandangi Reksobumi
dan Yoga. Sementara dua orang yang dipandangi itu
menampakkan sikap tenang-tenang saja.
Terdengar si Pisau Terbang berkata dengan sua-
ranya yang bulat, sesuai dengan badannya yang besar
itu, "Kali ini kau tak mungkin bisa pertahankan kitab itu lagi, Reksobumi!
Sekalipun kau bersama bocah in-gusan yang mungkin kau anggap lebih lincah dari
ka- mi, tapi kau akan bertekuk lutut di depan kami dan
serahkan kitab pusaka tersebut!"
Reksobumi hanya berkata, "Mudah-mudahan du-
gaanmu meleset!"
"Jadi kau masih bersikeras mempertahankan ki-
tab itu, hah"!" Tangan Maut membentak dengan mata cekungnya yang melotot ganas.
"Apa kau sangka setelah sekian lama kita tak
jumpa aku akan berubah pikiran" Hmmm...! Tidak,
Tangan Maut! Reksobumi yang sekarang tetap saja
Reksobumi yang dulu!"
"Keparat! Heaaah...!"
Wuuttt...! Tangan Maut berkelebat menerjang Rek-
sobumi dengan jurus Tangan Maut'-nya. Tetapi Rekso-
bumi melompat mundur dan Yoga melesat maju. Pu-
kulan Tangan Maut dihadapinya dengan gerakan ce-
pat, sehingga dua tangkisan berhasil dilakukan oleh
Pendekar Rajawali Merah, lalu satu pukulan sodok ta-
pak tangan masuk kenai rusuk Tangan Maut.
Duuhg...! Kerk...l
"Uuhg...!" Tangan Maut mendelik, tubuhnya
bungkuk ke depan dengan mulut terlongong mengala-
mi kesukaran bernapas.
Melihat temannya tampaknya terluka berat pada
bagian dalamnya, pada saat itu juga Pisau Terbang
sentakkan pukulan tenaga dalam yang mempunyai
daya panas tinggi. Wuuukkk...!
Wuusss...! Seperti seekor belalang, Yoga melompat
naik dan bersalto satu kali di udara, melewati kepala Pisau Terbang. Kaki
menendang dalam sentakkan ma-ju mundur. Dug, dug...!
Kepala si Pisau Terbang menjadi sasaran empuk
dari jurus 'Sepak Ganda'. Akibatnya, tubuh besar si
Pisau Terbang itu jatuh tersungkur. Dari lobang hi-
dung, telinga, dan mulutnya, keluarkan darah segar
yang tak bisa dibendung lagi.
Kedua orang tersebut saling mengerang dengan
berusaha untuk bangkit kembali. Sementara itu, Yoga
baru sadar bahwa Reksobumi telah lenyap dari sam-
pingnya bersama tubuh Roro Intan. Tentunya Rekso-
bumi pergi tinggalkan tempat sebelum kedua orang
tersebut ditumbangkan oleh Pendekar Rajawali Merah.
Yoga sebenarnya sempat kebingungan mencari ke
mana arah kepergian Reksobumi. Ia ingin mengejar,
namun langkahnya tertahan oleh suatu kekuatan te-
naga dalam yang menjerat tubuh dan membuatnya su-
lit bergerak. Tenaga telah dikerahkan, tapi kaki Yoga bagaikan tertanam di dasar
bumi. Berat sekali untuk
menggerakkan satu anggota badannya. Yoga sempat
cemas, merasa terkena totokan dari jarak jauh. Ia ya-
kin, bukan Tangan Maut dan si Pisau Terbang yang
melakukannya, pasti ada pihak lain yang ikut campur
pertarungan singkat tersebut.
Ketika Yoga merasakan ada bagian jarinya yang
bisa digerakkan, maka ia pun membatin,
Ternyata aku bukan kena totok, melainkan ada
yang menjeratku dengan kekuatan tenaga dalam cu-
kup tinggi! Aku harus melawannya dengan tenaga lipat
gandaku. Uuuhhg...!"
Daasss...! Tubuh Yoga bagaikan terlepas dari pengikat yang
amat kuat dan alot. Ketika ia bisa terbebas, tubuhnya cepat melenting di udara,
bersalto mundur dua kali
dan mendarat dengan sigap. Matanya menatap sekelil-
ing penuh waspada. Sampai akhirnya ia temukan seo-
rang lelaki tua berambut putih yang usianya sekitar
tujuh puluh tahun lebih. Lelaki itu mengenakan jubah
merah dan pakaian bagian dalamnya warna hitam. Da-
ri raut wajahnya yang bertulang keras serta bertonjo-
lan dapat dipastikan dia adalah tokoh sakti yang
punya keserakahan pribadi serta sulit diajak kompro-
mi. Orang itu berada dalam jarak sekitar lima belas
tombak dari tempat Yoga. Namun dalam satu kedipan
mata ia mampu berada dalam Jarak lima langkah dari
depan Yoga. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak
mungkin dapat lakukan gerakan secepat itu.
"Siapa orang tua ini?" pikir Yoga sambil memperhatikan dengan mata sedikit
menyipit. Orang tersebut berkata, "Kau memang bisa lum-
puhkan kedua muridku dalam waktu singkat, tapi
Jangan harap kau bisa lepas dari cengkeraman ku,
Anak Muda!"
Mendengar orang tua itu menyebut Tangan Maut
dan si Pisau Terbang sebagai muridnya, maka Yoga se-
gera ingat kata-kata Reksobumi, bahwa kedua orang
yang dilumpuhkan itu mempunyai seorang guru yang
bernama Jayagati. Maka, Yoga pun berkata dalam ha-
tinya, "Tak salah lagi, orang ini pasti Jayagati, guru mereka!"
Tanpa senyum seulas pun, tanpa keramahan se-
dikit pun, Jayagati berkata kepada Yoga dengan mata
memancarkan sorot pandangan mata yang amat din-
gin, "Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Merah?"
"Benar!" jawab Yoga tegas. "Rupanya kau telah mengenalku, Ki Jayagati."
"Ciri-cirimu banyak dibicarakan orang. Kesak-
tianmu pun menjadi buah bibir setiap orang. Tapi me-
reka tidak tahu bahwa hari ini Jayagati akan tunduk-
kan pendekar yang kesohor ketampanannya itu!"
Setiap perkataannya bagai mengandung aliran te-
naga dalam yang membuat jantung Yoga berdetak-
detak. Belum pernah Yoga hadapi lawan dengan pera-
saan segelisah saat itu. Tetapi biar bagaimanapun Yo-
ga tetap berusaha untuk kuasai diri dan tenangkan ji-
wanya. "Pendekar Rajawali Merah, aku tak bisa menerima
begitu saja melihat kedua murid kesayanganku kau
lumpuhkan begitu! Rupanya mereka memang bukan
tandinganmu. Tetapi akulah orang yang bakal menan-


Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingi ilmumu, Pendekar Rajawali Merah!"
"Aku minta maaf, Ki Jayagati!"
"Maaf tidak hanya sekadar maaf, kau harus mene-
busnya dengan nyawa! Huhh...!"
Tiba-tiba Jayagati sentakkan kedua tangannya lu-
rus ke bawah samping dengan tapak tangan mengem-
bang. Wuukkk...! Sentakan kedua tangan itu ternyata
melepaskan tenaga dalam dari tengah telapakannya.
Anehnya, mengapa menuju ke tanah"
Kejap berikutnya, barulah Yoga tahu bahwa sen-
takan tangan ke bawah itu ibarat sedang menarik selu-
ruh urat yang ada di tubuh Yoga. Urat-urat di tubuh
Yoga bagaikan lepas dari pusatnya dan mengendor.
Akibatnya, Yoga pun jatuh terkulai di tanah tanpa te-
naga lagi. Bruukkk...! "Celaka...!" sentak batin Yoga. Ia berusaha untuk bangkit, tapi sama sekali tak
memiliki kekuatan sedikit pun. Bahkan dengan enaknya Jayagati dapat
mempermainkan diri Yoga.
Kedua tangan orang kurus itu menghempas ke
depan bagai melemparkan sebatang kayu yang harus
gunakan dua tangan. Wuuutt...! Dan pada saat itulah
tubuh Yoga terlempar serta jatuh terguling-guling. Tak ada daya untuk menahan
angin hempasan yang timbul
dari gerakan kedua tangan tersebut.
Yoga terkapar di tanah, kedua tangannya terkapar
di kanan kiri. Wajahnya menatap langit, jantungnya
terasa berdetak-detak sangat kuat. Yoga telah kecolongan satu gerakan yang tak
diduga-duga, dan membuat
ia menjadi manusia tanpa tulang dan tanpa otot sedi-
kit pun. "Haah...!" Jayagati mempermainkan kedua tangannya, berkelebat ke sana-sini
bagaikan membolak-
balikkan sesuatu. Ternyata tubuh Yoga yang berada
dalam jarak delapan langkah itulah yang sedang di-
jungkir balikkan seenaknya saja. Tubuh Yoga mem-
bentur pohon, batu, dan terhempas di tanah dengan
tanpa bisa lakukan pembalasan apa pun. Tubuh yang
terbanting-banting itu jelas mengalami luka di bebera-pa bagian tubuh tersebut,
termasuk luka pada bibir-
nya yang beradu dengan tanah sekuat-kuatnya. Hi-
dung pun keluarkan darah yang nyaris sukar diben-
dung. Sudah tentu darah itu memerah di pakaian pu-
tihnya. Keadaan Yoga yang seperti itu dimanfaatkan oleh
Tangan Maut untuk memaksakan diri menyerang Yo-
ga. Sebuah tendangan menghentak kuat pada tulang
rusuk Yoga. Buuhg...!
"Eehg...!" Yoga menyeringai menahan sakit. Tapi Tangan Maut sendiri segera
terpelanting. Rupanya ia
tidak mempunyai kekuatan untuk berdiri tapi karena
dipaksakan, maka ia hanya mampu menyerang satu
kali, setelah itu jatuh berlutut sambil mengerang kesakitan pada bagian kepala
dan iganya. Suara Jayagati terdengar dari jarak sekitar tujuh
tombak, "Bangkitlah kalau kau mampu, Bocah Ingu-
san! Bangkitlah dan lawan aku! Rupanya hanya segitu
kecil dan rendahnya ilmumu. Percuma kau menyan-
dang gelar Pendekar Rajawali Merah. Lebih baik gelar-
mu diganti saja menjadi Pendekar Perkutut Merah!"
Panas hati Yoga mendengar seruan dan ejekan se-
perti itu. Namun panasnya hati tinggal dalam kedong-
kolan yang tak terhingga. Ia tetap saja tidak dapat
membalas hinaan Jayagati, juga tidak bisa membalas
serangan lelaki tua itu.
Akhirnya Yoga mendapatkan peluang kecil, yaitu
pada saat Jayagati berusaha menolong kedua murid-
nya, menyembuhkan luka kedua orang itu dengan ke-
saktiannya sendiri. Pada saat itulah, Yoga berhasil sa-tukan pikirannya, memusat
kuat pada satu tenaga
yang tersimpan di ujung tulang ekornya, alias tulang
punggung dekat pantat. Tenaga Kundalini digunakan
mengembalikan kekuatannya.
Jari-jari tangannya mulai bisa digerakkan. Disusul
dengan gerakan kecil pada pergelangan tangan. Kemu-
dian bagian siku juga bisa bergerak sedikit-sedikit,
makin lama semakin banyak yang bisa digerakkan dan
mempunyai tenaga tersendiri. Yoga sempat bangkit,
namun tak bisa berdiri, hanya mampu lakukan duduk
di tempat saja.
Begitu Yoga bisa duduk, pertama-tama yang ia la-
kukan adalah menggenggam tangannya. Tangan ter-
genggam dalam dua jari saja, sedangkan jari kelingk-
ing, jari telunjuk dan jempolnya berdiri tegak. Lalu, tangan itu disentakkan ke
atas, dan dari ketiga jari itu keluar sinar merah melesat ke langit. Tiga larik
sinar merah itu menyatu di angkasa dan menimbulkan le-dakan kecil yang
menggaung. Suara gaung itu mem-
bahana, membuat seekor burung rajawali berbulu me-
rah dan berukuran besar mendengarnya dari tempat
jauh. Isyarat memanggil burung berhasil dilakukan. Bu-
rung Rajawali Merah terbang dari suatu tempat ke pu-
sat suara gaung tersebut. Dari kejauhan sudah ter-
dengar suara pekikan burung besar itu, seakan men-
jawab panggilan tuannya.
"Keaakk...! Keaaak...!
Gaung itu juga membuat Jayagati terkejut dan se-
gera membatin, "Edan bocah itu! Dia bisa kerahkan tenaga lagi"!
Padahal aku sudah melumpuhkannya dengan jurus
'Lepas Raga'"! Hebat sekali ia bisa menandingi jurusku itu"! Tapi kali ini
kurasa ia tak akan mampu berdiri la-gi, bahkan menggerakkan matanya pun tak akan
bisa! Haap...!" Jayagati segera melemparkan kedua tangannya ke
depan, lalu ditarik ke belakang dengan gemulai. Pada
saat kedua tangan menarik itulah suatu kekuatan di-
rasakan oleh Yoga telah menyedot seluruh tenaganya.
Wuuuttt...! Brehg...! Tubuh Pendekar Rajawali Merah terkulai
lemas kembali, Kali ini justru tak bisa menggerakkan
bola matanya. Walau ia dalam keadaan sadar, bisa me-
lihat namun lurus saja penglihatannya, bisa menden-
gar namun tak terlalu peka, bisa merasakan dan men-
cium bebauan, namun tak sesempurna biasanya. Ia
mengetahui gerakan Jayagati yang telah berhasil sem-
buhkan kedua muridnya dengan kekuatan gaib yang
disebut inti kesaktian. Bahkan Yoga mendengar Tan-
gan Maut berkata,
"Izinkan kami membalas serangannya tadi. Guru!"
"Lakukan sekehendak hatimu!" kata Jayagati, ma-ka Tangan Maut dan si Pisau
Terbang segera bergerak
hampiri Yoga untuk menyiksanya.
Tetapi tiba-tiba dari arah timur telah muncul see-
kor burung rajawali berbulu merah. Burung jantan itu
segera terbang merendah dengan kepakan sayapnya
menimbulkan angin badai. Wuuusss...!
Kepakan sayap itu bukan hanya sebentar, namun
beberapa kali kepakan telah menghadirkan kekuatan
tenaga dalam yang mampu menjadikan tempat itu di-
landa angin badai begitu besarnya. Pohon-pohon sem-
pat ada yang tumbang, akarnya terdongkel naik ber-
sama hamburan tanahnya. Bebatuan yang tidak terla-
lu besar sempat ada yang menggelinding ke sana ke-
mari. Tubuh Tangan Maut dan si Pisau Terbang pun
terhempas tak tentu arah. Mereka berdua berguling-
guling, terjungkal ke sana-sini, membentur batang-
batang pohon atau gugusan tanah keras, bahkan be-
berapa kali mereka memekik kesakitan karena tubuh-
nya bagaikan dihantamkan pada benda keras di sekeli-
lingnya. "Burung keparat!" teriak Jayagati yang sejak tadi berusaha berdiri dengan mata
menyipit. Ia menahan
kekuatan badai tersebut, dan akhirnya tak kuat. Sebe-
lum ia terjengkang jatuh, terlebih dulu ia lepaskan pukulan sinar hijau dari
telapak tangannya. Pukulan si-
nar hijau itu melesat ke arah burung Rajawali Merah
itu. Wuuttt...!
Claapp...! Dari mata burung rajawali merah keluar
seberkas sinar merah yang segera menghantam sinar
hijau tersebut.
Blegaarr...! Dentuman hebat terjadi, membuat bumi sekitar-
nya menjadi guncang, pepohonan yang separo tum-
bang dan hanya miring sedikit itu kini menjadi rubuh
dengan menimbulkan suara gemuruh yang menggema.
Jayagati memandang heran kepada burung besar yang
terbangnya diam di tempat sambil tetap menaburkan
badai dari kepakan sayapnya.
Kejap berikutnya, burung yang tahu bahwa tuan-
nya dibuat lumpuh oleh ketiga lawan tersebut, segera
melepaskan sinar merah kembali ke arah Tangan Maut
dan Pisau Terbang. Clap, clap, clap, clap...!
Biar...! Duuaar...! Buummm...! Blaarrr...!
Buummm...! Rupanya burung Rajawali Merah itu mengamuk.
Ia lepaskan sinar dari matanya beberapa kali, dan tak peduli mengenai benda apa
atau mengenai tubuh siapa. Sementara itu, Jayagati merasa dihujani oleh se-
rangan dahsyat dari seekor burung besar tersebut. Ia
mencoba melawan dan menangkisnya, namun beru-
langkali tubuh Jayagati terlempar ke sana-sini, sementara kepakan sayap burung
tetap menyerupai hembu-
san badai yang amat kuat.
Merasa tak mampu mengalahkan burung tersebut
dan tidak mempunyai kesempatan untuk lakukan se-
rangan balasan, Jayagati segera perintahkan kedua
muridnya untuk melarikan diri. Jayagati sendiri ikut
berlari terbirit-birit, karena ia diikuti oleh Rajawali Merah dan sinar merahnya
yang berusaha menghantam
tubuh Jayagati serta dua muridnya.
Burung itu ternyata bisa diajak bekerja sama da-
lam suatu pertarungan. Burung itu mampu mengamuk
bagaikan orang marah membabi buta. Hutan di sekitar
tempat itu menjadi rusak bagaikan habis dilanda kia-
mat kecil. Bukan hanya Tangan Maut dan Pisau Ter-
bang saja yang menjadi ketakutan, namun Jayagati
sendiri menjadi enggan berhadapan dengan burung
yang tidak tahu aturan pertarungan itu. Jayagati me-
rasa sia-sia melayani amukan seekor burung. Ia yakin
bahwa Yoga akan mati, cepat atau lambat, karena ter-
kapar di sana tak berdaya. Kekuatan dan tenaga yang
hilang itu akan menghentikan denyut jantung bebera-
pa saat kemudian. Sebab itu, Jayagati merasa lega wa-
laupun ia harus lari meninggalkan Pendekar Rajawali
Merah. *** 5 MALAM yang sepi kembali disibukkan dengan su-
ara igauan si Tua Usil. Pendekar Rajawali Putih menge-luh dengan hati dongkol.
Yoga pergi mencari Walet
Gading, Pandu Tawa pergi menyusul Yoga, keduanya
kini sudah dua hari belum pulang dan tak ada kabar
beritanya. Lili sempat menyimpan kecemasan, walau
tidak diperlihatkan kepada Bocah Bodoh yang mem-
bantunya merawat Tua Usil. Panas badan Tua Usil
masih tinggi, dan menurut Bocah Bodoh panas badan
itu bisa dipakai untuk mengeringkan cucian basah.
Seperti pada malam kemarin, Tua Usil kembali
berseru dalam igauannya, "Mana batu itu"! Dasar manusia-manusia tolol! Hanya
disuruh mencari Batu De-
lima Sutera saja tak ada yang mampu! Manusia-
manusia macam apa kalian itu, hah"!"
Setiap Tua Usil mengigau dengan suara tua, Bo-
cah Bodoh selalu merasa takut. Wajah takut yang me-
mendam kecemasan itu sering digunakan untuk mena-
tap Lili. Jika Lili kelihatan tenang, Bocah Bodoh pun mengurangi kecemasannya.
Jika Lili menjadi tegang,
Bocah Bodoh sudah lebih dulu menjadi ketakutan.
"Sebaiknya besok saya panggilkan Tabib Perawan
saja, Nona Li!" kata Bocah Bodoh ajukan usul. "Sebab, Tabib Perawan itu memang
tabib ampuh. Buktinya,
guru dari Lintang Ayu dapat disembuhkan olehnya.
Padahal sakitnya lebih parah dari sakit yang diderita Tua Usil ini!"
"Sakitnya Tua Usil ini sepertinya bukan sakit
sembarangan sakit," kata Lili. "Dia seperti orang kesu-rupan."
"Kesurupan atau kesetanan?"
"Keduanya sama saja. Yang jelas, dia tidak sadar
dengan apa yang dikatakannya, dan itu berarti sesuatu telah menggerakkan
mulutnya untuk bicara. Sakit seperti ini sulit dicari obatnya!"
Tua Usil yang sudah mendengkur pelan itu tiba-
tiba berkata dengan mata masih tetap terpejam,
"Obatnya hanya Batu Delima Sutera!"
Lili dan Bocah Bodoh kembali pandangi Tua Usil.
Kemudian, Pendekar Rajawali Putih yang cantiknya
melebihi bidadari itu berkata,
"Jika kau tidak tunjukkan di mana batu itu, kami tidak akan bisa temukan.
Tunjukkan di mana batu itu,
sehingga kami bisa menemukannya dan membawanya
kemari sesuai permintaanmu, Ki!"
"Panggil saja gadis itu!" kata Tua Usil di luar kesa-darannya.
"Gadis yang mana" Gadis siapa maksudmu, Ki?"
"Walet Gading itu! Cari dia dan bawa kemari. Biar aku bicara padanya! Paham"!"
"Ya. Aku paham," jawab Lili dengan tegas dan menunjukkan sikap patuh, sehingga
roh yang bicara den-
gan Tua Usil itu tidak menggerutu.
Lili memutuskan untuk berangkat mencari Walet
Gading melalui udara. Ia akan menggunakan burung
rajawalinya yang berwarna putih itu. Bocah Bodoh
disuruh tunggu di rumah, dan membantu Tua Usil jika


Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membutuhkan sesuatu. Pada siang hari, Tua Usil tetap
berbadan panas, tapi tidak pernah bicara di luar kesa-daran, tidak pernah
mengigau seperti pada malam ha-
rinya. Sebelum Lili berangkat, Bocah Bodoh sempat
berpesan, "Kalau bisa jangan sampai malam, Nona Li!
Saya takut kalau tinggal bersama Tua Usil malam-
malam. Soalnya Tua Usil dalam keadaan begitu."
"Kalau kau takut, jangan jadi lelaki. Jadi perempuan saja!"
"Ah, sama saja, Nona. Jadi perempuan kalau takut juga dihina dan diejek seperti
saat ini," Bocah Bodoh bersungut-sungut.
Lili segera memanggil burung rajawalinya. Kedua
genggaman tangannya saling menempel di dada. Dari
pertengahan genggaman itu melesat sinar putih perak
berbentuk gelombang-gelombang lingkaran yang me-
nuju ke langit. Di Sana gelombang sinar putih perak
itu keluarkan suara denging memanjang dan melengk-
ing. Itulah tanpa bahwa Lili memanggil si Putih, bu-
rung rajawalinya yang berukuran besar itu.
"Kaaakk...! Keaaak...!"
Suara burung sudah terdengar, Lili merasa lega.
Tapi kejap berikutnya ia terkejut, karena yang datang bukan burung Rajawali
Putih, melainkan burung Rajawali Merah. Dahi Lili langsung berkerut. Selama ini
ia tak pernah mengalami peristiwa aneh seperti itu. Ji-ka ia memanggil burung
Rajawali Putih dengan suara
denging, yang datang adalah
Rajawali Putih. Tapi mengapa sekarang Rajawali
Merah yang mendatanginya" Apa ada dengan Yoga" Ke
mana si Putih"
Burung Rajawali Merah mendarat ke bumi lebih
dulu, berjarak tujuh langkah dari tempat Lili berdiri.
Tak berapa lama, tampak sosok Rajawali Putih yang
mengitari angkasa dan siap lakukan pendaratan. Teta-
pi kali ini Lili merasa lebih tertarik dengan kedatangan burung Rajawali Merah.
Maka ia pun bertanya pada
burung itu, "Ada apa kau kemari, Merah" Apakah kau tidak
bersama Yoga?"
"Kaakkk... kaaakkk...! Keaakkk...!"
Lili menampakkan rasa kagetnya melalui peruba-
han raut mukanya. Ia mengerti bahasa burung itu
yang bermaksud memberitahu bahwa Yoga dalam ba-
haya, sekarang keadaannya terluka parah. Lili mulai tegang mendengar suara
burung Rajawali Merah yang
seolah-olah memberi laporan kepada Pendekar Rajawa-
li Putih itu. "Jadi... Yoga dalam keadaan bahaya?"
"Keaakk...!"
"Dan siapa yang menyuruhmu datang kemari"
Apakah Yoga?" "Keak, keaakk...!" burung itu mengangguk-angguk membenarkan dugaan Lili. Maka
tersimpulkan keadaan Yoga dalam batin Lili, bahwa pemuda yang men-
jadi murid angkatnya sekaligus kekasihnya itu dalam
keadaan yang benar-benar berbahaya. Tapi Yoga masih
hidup, terbukti bisa menyuruh si Merah untuk mene-
muinya. "Kkaakkk...! Keaakk...!" terdengar suara si Putih seakan mengatakan agar Lili
lekas-lekas naik dan
akan dibawa terbang menemui Yoga.
"Baik, baik...! Aku akan menemuinya sekarang ju-
ga!" kata Lili, kemudian mempercepat langkahnya menuju Rajawali Putih, dan ia
pun naik ke punggung bu-
rung itu. Sementara itu, burung rajawali berbulu me-
rah itu terbang lebih dulu dan diikuti oleh kekasihnya, yaitu burung rajawali
berbulu putih. Kedua burung itu bagai mengitari langit mencari
tempat di mana Yoga tak berdaya. Rajawali Merah yang
menjadi penunjuk jalan akhirnya berhasil temukan
Yoga dalam keadaan terkapar tanpa tenaga sedikit
pun. Ketika Lili menemuinya, hati Lili menjadi hancur melihat kekasihnya seperti
mayat hidup; bernapas tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Baru sekarang Lili
melihat Yoga menderita seperti itu. Hampir saja Lili titikkan air matanya karena
rasa sayangnya kepada Yoga.
Dengan kekuatan dan ilmu kesaktian yang ada
padanya. Yoga pun segera disembuhkan. Rupanya ke-
datangan Pendekar Rajawali Putih tepat pada wak-
tunya. Terlambat sedikit lagi, Yoga akan kehilangan
denyut nadi dan jantungnya pun akan berhenti berde-
tak. Setelah Yoga sadar dan mulai pulih kekuatannya,
Lili mendesaknya agar mengaku siapa orang yang
membuat Yoga seperti itu. Maka Yoga pun mencerita-
kan perjalanannya dari masalah Tengkorak Hitam
sampai kemunculan Jayagati yang menghendaki pu-
saka sebuah kitab bernama Kitab Bintara Gada milik
Reksobumi. Lili pun menceritakan tentang kepergian Pandu
Tawa dan igauan Tua Usil yang terakhir kalinya diden-
gar. Maka Yoga pun segera ajukan gagasan agar mere-
ka mencari Walet Gading bersama-sama.
"Kita cari dia melalui udara!" kata Lili yang setuju dengan gagasan Yoga
tersebut. "Biarlah orang banyak memperhatikan kendaraan kita itu, yang penting
kita tidak ganggu mereka dan kita punya kepentingan sen-
diri!" "Aku setuju dengan gagasan mu itu. Guru!"
Maka, kedua pendekar rajawali itu segera terbang
bersama burung mereka masing-masing untuk menca-
ri Walet Gading dari udara. Mereka melintasi Desa Ke-
kanjengan dan tanah sekitar wilayah Jurang Ajal.
Sementara itu sepasang insan muda yang sudah
mulai bergandengan tangan itu berhenti dari perjala-
nannya. Mereka sengaja berhenti di tepi sebuah telaga berair bening. Di
pinggiran telaga itu tumbuh pepohonan rindang berdaun lebar, sejenis pohon sukun
na- mun berbuah merah. Di sana ada batu setinggi betis
yang memandang bagaikan punggung naga. Di sanalah
sepasang insan muda itu duduk melepas lelah dalam
bualan indah. Mereka adalah Pandu Tawa dan Walet Gading
yang semakin jauh melangkah semakin terasa akrab di
hati masing-masing. Tetapi sejauh itu mereka belum
saling mengetahui, bahwa Pandu Tawa mencari seo-
rang sahabat, yaitu Yoga, yang sedang mencari Walet
Gading. Pandu Tawa sendiri lupa menanyakan nama
Walet Gading, karena ia sudah terlanjur memanggil
gadis itu dengan sebutan Nona Ayu. Padahal Walet
Gading sudah berkata,.
"Namaku bukan Nona Ayu!"
"Biar saja. Aku suka memanggilmu dengan nama
Nona Ayu! Karena kau memang ayu."
Walet Gading tak bisa bilang apa-apa, karena pu-
jian itu membuat hatinya berbunga-bunga. Di bawah
naungan semilir angin yang meneduhkan bumi, hati
Walet Gading pun semakin terasa teduh saat duduk
merapat di sisi Pandu Tawa.
"Mendiang guruku pernah berkata, jika seorang
pria memandang seorang wanita sebagai sesuatu yang
menyenangkan hatinya, maka pria itu kian lama pasti
akan jatuh cinta pada wanita tersebut," kata Walet Gading memancing. Sambungnya
lagi. "Tetapi Guru juga pernah berkata, ilmu setinggi
apa pun, kesaktian sehebat apa pun, akan tunduk dan
terkalahkan oleh cinta."
Pandu Tawa tersenyum memandangi air telaga
yang bening. "Gurumu memang benar. Karena guruku pun ber-
kata begitu; hati-hati dengan wanita. Ilmu setinggi apa pun dapat luluh di
telapak kakinya."
"Gurumu terlalu berlebihan memuji wanita," kata Walet Gading.
"Tapi kata-kata guru yang berlebihan itu memang
ada benarnya, sebab wanita, terutama seperti kau,
memang mempunyai sesuatu yang lebih dari wanita
mana pun juga. Sesuatu itu makin lama akan semakin
melumpuhkan ilmu ku, sehingga dengan mudahnya
suatu saat kau dapat membunuhku."
Walet Gading tertawa kecil. "Jangan bicara begitu, Pandu Tawa. Lebih baik aku
terluka parah daripada
harus membunuhmu."
Sendang bening berair damai. Damai pula hati
mereka yang saling menghamburkan rayuan demi
rayuan, sehingga hati mereka saling terjerat dan terpikat. Sayangnya keindahan
itu harus dihentikan karena
Pandu Tawa mendengar suara seekor burung memekik
di angkasa. "Keaaak...! Kaaakk...!"
"Kaaakk...! Kaaakkkk...!"
Pandu Tawa sadar, bukan hanya seekor, melain-
kan dua ekor burung yang suaranya tak asing lagi bagi pendengarannya. Pandu Tawa
segera berdiri, memandang ke langit, mencari-cari di sela dedaunan lebar
yang rindang. Walet Gading juga memandang ke atas
sambil berkata,
"Sepertinya aku pernah mendengar suara burung
seperti itu!"
"Yang kutahu, itu pertanda sahabatku berada da-
lam jarak dekat dari sini. Suara burung itu adalah suara burung rajawali yang
menjadi tunggangannya."
"Maksudmu... Pendekar Rajawali Merah dan Pen-
dekar Rajawali Putih?"
Pandu Tawa cepat memandang Walet Gading,
"Kau mengenai mereka?"
"Ya. Aku kenal dengan mereka. Dulu mereka per-
nah datang menjemput seorang calon ketua pergurua-
nku yang bernama Tua Usil dan...."
"Tunggu, tunggu...!" Pandu Tawa terperanjat, "Kau mengenai si Tua Usil juga"!
Hei... siapa kau ini sebe-
narnya?" "Walet Gading."
"Edan!" Pandu Tawa menghantam tangan kanan-
nya ke telapak tangan kirinya. Lalu ia tertawa geli sendiri memikirkan hal itu.
"Justru aku pergi untuk mencari Yoga, untuk
membantu dia dalam mencari seorang gadis yang ber-
nama Walet Gading! Rupanya aku malah sudah sejak
tadi bersama Walet Gading"! He he he...."
Air telaga yang bening itu berguncang kuat, kare-
na sepasang burung rajawali mendarat di tepian tela-
ga. Merusakkan beberapa dedaunan, menimbulkan
angin besar karena kepakan sayap mereka. Yoga dan
Lili sama-sama tersenyum geli melihat Pandu Tawa
sudah bersama Walet Gading. Lili berkata menyindir
kepada Yoga, "Rupanya Pandu Tawa sekarang lebih sakti dari
dirimu, Yo! Buktinya dia sudah lebih dulu berhasil
menemukan Walet Gading, dan... kelihatannya sudah
mampu menjerat hati sang walet."
Pandu Tawa dan Walet Gading tertawa. Kemudian,
mereka mulai membicarakan masalah yang sebenar-
nya. Walet Gading tampak surutkan keceriaannya
mendengar Tua Usil mengigau dengan suara tua yang
diduga adalah suara Ki Pamungkas. Hati Walet Gading
terharu mengenang almarhum gurunya.
"Kalau begitu," kata Walet Gading, "Bawalah aku secepatnya bertemu Tua Usil.
Pasti ada sesuatu yang
akan disampaikan oleh Guru kepadaku melalui raga
Tua Usil."
"Kurasa hanya Batu Delima Sutera itulah yang in-
gin ditanyakan kepadamu, Walet Gading," kata Lili.
"Sebaiknya jika kau mempunyai atau menyimpan batu tersebut, bawalah serta batu
itu." "Aku memang menyimpan batu itu, tapi aku harus
bicara dulu dengan Guru melalui raga Tua Usil itu.
Sewaktu-waktu aku bisa saja mengambil batu terse-
but, jika benar batu itu yang dibutuhkan."
Lili mengetahui maksud Walet Gading. Gadis itu
tidak mudah percaya begitu saja, dan ingin membukti-
kan kebenaran kabar tersebut. Dalam hati Lili memuji
kewaspadaan Walet Gading yang cukup tinggi dan ti-
dak mau bertindak dengan gegabah.
Yoga segera berkata, "Kalian berangkatlah mem-
bawa Walet Gading. Aku akan mencari tempat tinggal
Ki Reksobumi. Karena dia tahu rahasia Tengkorak Hi-
tam. Aku penasaran jika belum menyingkapkan raha-
sia tersebut."
Walet Gading menyahut, "Ki Reksobumi tinggal di
kaki Bukit Sangga Buana. Arahnya di sebelah barat.
Carilah dia di sana! Aku pernah datang ke tempat ting-galnya, karena muridnya
yang bernama Roro Intan itu
adalah teman baik ku."
"Baiklah. Sekarang juga aku akan menuju Bukit
Sangga Buana!" kata Yoga, lalu Pandu Tawa menimpa-li, "Aku ikut kamu, Yo! Aku
lebih tertarik untuk menyingkap tabir rahasia Tengkorak Hitam itu!"
Sebenarnya Walet Gading lebih setuju jika Pandu
Tawa ikut bersamanya. Tetapi agaknya perasaan se-
perti itu harus disembunyikan dulu supaya ia tidak
terlihat terlalu memburu hati pemuda tampan beram-
but panjang yang diikat menjadi kuncir berikat pita
merah itu. Mereka terpaksa berpisah. Walet Gading
ikut Lili, dan Pandu Tawa mengikuti Pendekar Rajawali Merah.
Di atas punggung burung Rajawali Merah, Yoga
dan Pandu Tawa sempat membicarakan tentang keke-
jaman Tengkorak Hitam. Pandu Tawa berkata,
"Baru sekarang aku mendengar ada tokoh sesat
berjuluk Tengkorak Hitam. Mungkinkah dia anak buah
Malaikat Gelang Emas, jika ditilik dari ciri-ciri pakaian dan senjatanya yang
meniru penampilan sosok El
Maut itu."
"Aku tidak bisa memastikan. Yang jelas, Tengko-
rak Hitam pasti punya maksud sendiri mengapa ia
membantai penduduk desa tersebut secara satu persa-
tu. Mungkin...," Yoga terhenti bicaranya karena suara Pandu Tawa berseru,
"Hei, lihat di sebelah kanan itu...! Seseorang sedang bertempur melawan tokoh


Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian hitam dan
bersenjata pusaka El Maut!"
"Celaka! Itu yang bernama Ki Reksobumi! Rupanya
ia bertarung melawan Tengkorak Hitam!"
"Lekas turun, Yo! Bantu dia!"
Agaknya Tengkorak Hitam sengaja memburu Rek-
sobumi untuk menewaskan muridnya, yaitu Roro In-
tan. Karena Roro Intan berhasil membuka kedok Teng-
korak Hitam dan mengetahui siapa yang ada di balik
kedok Tengkorak Hitam dan mengetahui siapa yang
ada di balik kedok berwajah tengkorak itu. Dan ru-
panya Tengkorak Hitam sudah menemukan tempat
tinggal Roro Intan bersama gurunya. Tetapi sudah pas-
ti sang Guru membela muridnya agar tidak sampai
terbunuh oleh tangan Tengkorak Hitam.
Adu kesaktian terjadi beberapa kali di antara me-
reka berdua. Tengkorak Hitam ternyata bukan tokoh
yang mudah dilumpuhkan. Bahkan Reksobumi sempat
terdesak beberapa kali dan mengalami luka di bebera-
pa tempat. Namun Reksobumi tetap mempertahankan
agar jangan sampai Tengkorak Hitam menemukan Ro-
ro Intan di dalam tempat kediamannya. Reksobumi te-
tap berusaha mengusir Tengkorak Hitam dengan men-
gerahkan segala kemampuannya.
Tongkat berujung sabit panjang itu melayang tepat
di atas kepala Reksobumi. Wuuuttt...! Jika Reksobumi
tidak segera tundukkan kepalanya, maka terpenggal
telak leher Reksobumi saat itu juga.
Tapi kibasan tongkat El Maut itu rupanya mem-
punyai gelombang tenaga dalam yang amat besar. Ke-
tika Reksobumi menundukkan kepala, ia seperti ter-
kena hantaman kuat pada kepala tersebut. Seluruh
bagian kepala bagaikan kesemutan dan terasa berat
didonggakkan kembali.
Tengkorak Hitam memutar tongkatnya, Wuuutt...!
Kemudian gagang tongkat disodokkan ke punggung
Reksobumi. Duuuhg...!
"Ahg...!" Reksobumi jatuh tersungkur dengan punggung terbakar dan menjadi
hangus. Pakaiannya
mengepulkan asap dan memancarkan bara api, sisa
pembakaran. Tengkorak Hitam masih belum puas jika belum
membunuh Reksobumi dengan ujung sabit mautnya
itu. Maka tongkat itu pun diayunkan dengan bagian
sabit yang runcing mengarah ke punggung Reksobumi.
Wuuttt...! Blaarrr...! Sinar merah melesat dari mata burung rajawali
atas perintah Yoga. Sinar merah itu tepat mengenai
ujung sabit El Maut yang berkekuatan tenaga dalam
itu. Maka, meledaklah benturan sinar dengan benda
tersebut. Terpental pula tongkat itu, tak jadi mengenai tubuh Reksobumi.
Tengkorak Hitam terkejut dan cepat memandang
ke atas. Sebelum burung besar itu mendarat, Pandu
Tawa sudah lebih dulu melompat dengan tangannya
menyentak ke depan dan keluarkan cahaya biru ba-
gaikan kilatan petir di waktu mendung. Claapp...!
Reksobumi mengerang di tanah. Tengkorak Hitam
melompatinya dalam keadaan mundur, sambil tong-
katnya diputar dengan cepat bagai membentuk perisai
bagi dirinya. Akibatnya sinar biru Pandu Tawa itu tak berhasil kenai tubuhnya
secara telak, melainkan meledak akibat terkena putaran tongkat itu. Duaaarr...!
Tubuh manusia berkerudung hitam dan menge-
nakan kedok tengkorak itu terlempar jatuh dalam ja-
rak empat tindak dari tempatnya. Yoga yang segera
melompat dari punggung rajawali cepat-cepat lepaskan
pukulan bergelombang tinggi. Wuukkk...! Blaabb...!
Pukulan itu sempat ditahan dengan tangan kiri
Tengkorak Hitam yang keluarkan gelombang berkekua-
tan besar juga. Tetapi ia justru terpental dan jatuh
bersama tongkatnya dalam jarak tujuh langkah. Teng-
korak Hitam menjadi tegang. Ia mempunyai perhitun-
gan tersendiri, sehingga ia tak segan-segan untuk ce-
pat-cepat melarikan diri, karena merasa tak cukup
mampu bertahan menghadapi dua pemuda tampan
itu. Pandu Tawa segera mengejar Tengkorak Hitam,
namun tak berhasil.
Yoga buru-buru menolong Reksobumi. Tapi ia ter-
lambat. Reksobumi terluka sangat parah akibat sodo-
kan tongkat tadi. Ia hanya bisa berkata dengan suara
lirih tertahan, Tolonglah... muridku itu...." lalu ia menghembuskan napas
terakhir. Yoga tak mampu
berbuat apa-apa lagi.
*** 6 KEADAAN Roro Intan sungguh menyedihkan. Ra-
cun dari senjata rahasia yang mengenalnya mulai
membusukkan bagian yang terluka. Wajah Roro Intan
berwarna biru legam. Rupanya Reksobumi belum sem-
pat sembuhkan muridnya, tapi harus segera berhada-
pan dengan Tengkorak Hitam. Jika Yoga dan Pandu
Tawa tidak turut campur dalam pertarungan itu, maka
Reksobumi dan Roro Intan sama-sama kehilangan
nyawanya. Untung Yoga dan Pandu Tawa cepat datang. Yoga
segera sembuhkan luka berat yang diderita oleh Roro
Intan. Akibatnya, gadis itu berhasil tertolong dan tidak ikut kehilangan nyawa
seperti gurunya. Hati Roro Intan amat sedih setelah ia sadar dan merasa bebas
dari derita racun ganas itu. Roro Intan sempat menangis
ketika Pandu Tawa dan Yoga memakamkan jenazah
Reksobumi. "Apa pun jadinya, kekejaman ini harus kubalas!
Tengkorak Hitam harus mati di tanganku, tak peduli ia punya ilmu lebih tinggi
dariku. Aku tetap akan mene-bus kematian Guru dengan caraku sendiri!" geram Ro-
ro Intan sambil mengeraskan genggaman tangannya.
Yoga mencoba membujuknya, "Cukup satu saja
dari pihakmu yang menjadi korban Tengkorak Hitam.
Jangan tambah satu korban lagi, Roro Intan. Mengenai
Tengkorak Hitam dan kekejiannya, serahkan kepadaku
dan Pandu Tawa. Kami akan menangkapnya, membu-
ka kedoknya di depan umum dan menyerahkan kepa-
da penguasa setempat sebagai tawanan yang layak di-
adili sebagaimana mestinya."
"Kau selalu menganggap ilmuku lebih rendah dari
Tengkorak Hitam!"
"Bukan itu maksudku, Roro Intan," kata Yoga se-tenang mungkin. "Jika gurumu saja
kalah dan tewas di tangannya, bagaimana dengan dirimu yang hanya sebagai murid
Ki Reksobumi?"
Pandu Tawa memberanikan diri menimbrung kata,
"Benar apa kata Yoga, Roro Intan. Sepertinya, Tengkorak Hitam memang harus kami
lumpuhkan dulu. Sete-
lah itu terserah padamu. Yang jelas kami akan serah-
kan kepada penguasa setempat dan berundinglah den-
gan mereka untuk menangani nasib Tengkorak Hitam
nantinya."
Roro Intan diam dengan kecamuk batinnya sendi-
ri. Ia merasa masih punya satu ilmu andalan yang be-
lum sempat digunakan saat bertarung dengan Tengko-
rak Hitam. Tetapi agaknya niatnya itu dihalang-halangi oleh dua pemuda tampan
tersebut. Sekalipun demikian, Roro Intan tahu apa maksud Yoga dan Pandu
Tawa menghalangi niatnya. Bukan karena niat jahat,
melainkan ingin menolongnya dalam membalas den-
dam kepada Tengkorak Hitam.
Ketika Roro Intan merenungkan hal itu, Pendekar
Rajawali Merah mendekatinya dan berkata,
"Sebelum segalanya terjadi, ku mohon kau mau je-
laskan kepadaku, wajah siapa yang ada di balik kedok
tersebut, Roro Intan."
Gadis itu menatap Yoga, diam beberapa saat den-
gan mata tak berkedip, namun memancarkan dendam
yang tertahan. Ketika Pandu Tawa mendekat dan ber-
kata pula, "Sebaiknya katakan saja, supaya kami bisa me-
nangkapnya secepat mungkin, Roro Intan."
Maka gadis itu pun menjawab. "Yang kulihat di
balik kedok itu adalah wajah anak pemilik kedai."
Yoga tersentak kaget. Matanya sempat melebar.
"Maksudmu.... Maksudmu anak Ki Bantarsuko yang
bernama Sulastri itu?"
"Ya!" jawab Roro Intan dengan geram yang kuat.
"Gadis itulah yang mengenakan kedok tengkorak!"
"Ap... apa... apakah kau tak salah lihat?"
"Cahaya api pada malam itu menampakkan raut
wajahnya dengan jelas. Karena aku mengetahuinya,
maka dia memburu ku supaya tidak mengatakannya
kepadamu, maupun kepada orang-orang Desa Kekan-
jengan. Tetapi baru kalian berdua yang mendengar
pengakuanku ini!"
Bagai petir menyambar di depan mata saat Yoga
mendengar jawaban Roro Intan tadi. Telinganya terasa
rusak dan sepertinya tak yakin dengan apa yang di-
dengarnya. "Sulastri..."!" gumam Yoga di dalam hatinya ketika merenungkan hal itu sambil
tubuhnya bersandar pada
batang pohon. "Sungguh sesuatu yang tak pernah ku-bayangkan sebelumnya, bahwa
Tengkorak Hitam itu
adalah Sulastri. Gadis itu berkesan sebagai gadis desa yang lugu dan tak kenal
dosa. Bahkan ketika ia menceritakan padaku tentang kekejaman Tengkorak Hi-
tam, ia bergidik berulang kali karena merasa ngeri dan merinding. Benarkah gadis
selembut Sulastri itu menjadi malaikat El Maut setiap malam tiba" Rasa-rasanya
tak mungkin. Siapa pun tak mudah mempercayai berita ini. Tapi toh Roro Intan
melihatnya dengan mata kepala sendiri!"
Kepada Pandu Tawa pun Yoga mengatakan hal itu
dengan terlebih dulu menjelaskan sikap dan tingkah
laku yang polos dari gadis bernama Sulastri itu. Yoga terang-terangan mengatakan
bahwa dirinya sangsi
dengan pengakuan Roro Intan.
"Tetapi Roro Intan merasa sanggup menangkap
dan menyeret siapa orang yang menjadi Tengkorak Hi-
tam selama ini. Sekarang juga ia merasa mampu
membuktikannya, bahwa Sulastri mempunyai ilmu
cukup tinggi. Bukan sekadar gadis desa yang polos,
lugu, dan lemah," kata Pandu Tawa mengingatkan pertimbangan Yoga. Sambungnya
lagi. "Di dunia ini tidak ada sesuatu yang tidak mung-
kin. Semua yang tidak mungkin bisa saja terjadi walau hanya sekali dalam sejarah
kehidupan bumi. Orang
tenang bukan berarti orang pendiam, Yo. Orang lemah
bukan berarti orang yang mudah diinjak. Orang lugu
pun belum tentu seorang yang bersih hatinya. Ingat-
ingatlah, mungkin ada sesuatu yang janggal dan kau
alami di sana, tapi belum kau sadari saat itu. Barangkali sekarang setelah tahu
siapa Sulastri, kau bisa temukan dan rasakan kejanggalan itu memang ada."
Cukup lama Yoga merenung dan mengingat-
ingatnya, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang dapat
menimbulkan kecurigaan pada diri Sulastri. Satu-
satunya kejanggalan yang bisa dianggap mencurigakan
adalah sikap Ki Bantarsuko. Pemilik kedai itu mela-
rang Yoga keluar pada saat suara jeritan tengah malam itu terdengar. Ki
Bantarsuko tidak izinkan Yoga cepat-cepat keluar, melainkan menunggu beberapa
saat du- lu, baru mereka keluar bersama. Dan pada malam itu
Yoga tidak sempat berpikir tentang Sulastri.
"Barangkali saja ayah Sulastri tak ingin kau me-
mergoki anaknya memakai pakaian El Maut pada saat
gadis itu akan masuk ke dalam rumah. Setelah gadis
itu masuk rumah dan berganti pakaian, barulah Ki
Bantarsuko mengizinkan kau keluar dari kamar.
Seandainya kau bertemu Sulastri, maka kau tidak
akan curiga bahwa gadis itu adalah orang yang habis
membunuh," tutur Pandu Tawa menjabarkan dugaan-
nya. Yoga manggut-manggut sebentar dalam renun-
gannya, kemudian berkata kepada Pandu Tawa,
"Tapi mengapa Ki Bantarsuko juga merasa ketaku-
tan dan menutup kedainya begitu petang tiba" Bahkan
ia mengingatkan aku agar jangan mengadakan perja-
lanan malam melintasi desa tersebut. Ia juga tak keberatan jika aku menyewa
kamarnya untuk bermalam di
situ?" "Jika Ki Bantarsuko tidak merasa takut dan segera
menutup kedai, maka orang akan curiga padanya, dan
dapat ketahuan rahasia itu. Jika ia tidak melarangmu
mengadakan perjalanan malam, maka ia tidak me-
nampakkan diri di depanmu sebagai orang tak berdo-
sa. Kurasa Ki Bantarsuko mengetahui tentang sikap
dan prilaku anak gadisnya itu! Masalahnya sekarang,
alasan apa yang membuat ayah dan anak itu seakan
menjadi El Maut bagi orang banyak" Apakah mereka
sedang menuntut ilmu yang harus mempunyai tumbal
sekian nyawa?"
"Ilmu apa itu?"
Pandu Tawa angkat pundak, "Tak tahulah. Mung-
kin saja begitu. Karena menurut ceritamu dapat ku
simpulkan bahwa Ki Bantarsuko seolah-olah mendu-
kung segala apa pun yang dilakukan oleh Sulastri."
Sungguh membingungkan masalah itu bagi Yoga.
Hati kecilnya menyanggah tuduhan bahwa Sulastri
adalah si Tengkorak Hitam. Tapi ia alami pula sikap
janggal dari Sulastri dan Ki Bantarsuko. Sulastri sempat berkata kepada Yoga
pada waktu menceritakan
tentang Tengkorak Hitam di dalam kamar yang disewa
Yoga itu, "Tengkorak Hitam punya orang kuat yang memi-
haknya. Karena itu Tengkorak Hitam tidak pernah me-
rasa takut kepada siapa pun."
Dan pada waktu itu Yoga bertanya, "Siapa yang
kuat yang memihak Tengkorak Hitam?"
"Yaaah... tentu saja gurunya sendiri, Tuan."
"Siapa gurunya Tengkorak Hitam?"
"Entah. Mungkin gurunya adalah Tengkorak Kun-


Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ing atau Hijau. Saya tidak tahu tentang gurunya itu,"
jawab Sulastri dengan polosnya.
Dalam hati Yoga saat ini berkata, "Apakah kepolo-san bicara seperti itu patut
dijadikan bahan kecuri-
gaan juga" Atau... barangkali saja Sulastri adalah ga-
dis yang pandai bermain sandiwara" Jika benar begitu, maka pantaslah jika ia
mampu bersikap pura-pura polos dan lugu di depanku!"
Persoalan itu memang persoalan yang membuat
hati Yoga penasaran. Karenanya, Yoga mengajak Pan-
du Tawa dan Roro Intan untuk berembuk lebih matang
dalam upaya menangkap Tengkorak Hitam. Menurut
Yoga, jika ia dan Pandu Tawa tidak segera bertindak,
maka akan lebih banyak lagi korban tak bersalah yang
menjadi sasaran kekejian Tengkorak Hitam tersebut.
Yoga bermaksud membawa Pandu Tawa untuk
bermalam di desa tersebut. Roro Intan ingin ikut ber-
sama mereka, tetapi Yoga berkata,
"Jangan muncul dulu. Kau masih jadi bahan inca-
ran Tengkorak Hitam. Mungkin orang yang melempar-
kan senjata rahasia padamu itu adalah si Tengkorak
Hitam, dan ia pikir kau mati karena racun yang menu-
rutnya tak ada yang bisa menyembuhkannya. Jadi ka-
lau kau muncul di sana, maka ia tahu bahwa kau ma-
sih hidup dan ia akan memburumu lagi!"
"Aku siap menghadapinya!" kata Roro Intan bera-pi-api.
"Bukan soal siap atau tidak, tapi aku ingin usaha-ku ini berjalan lancar tanpa
ada gangguan dari siapa
pun. Aku punya rencana matang dalam hal ini," kata Yoga. "Pandu Tawa harus bisa
menemui Ki Lurah dan seolah-olah melamar sebagai penjaga malam. Aku
akan menginap di kedai Ki Bantarsuko dan selalu ada
di dekat Sulastri. Kita akan tahu, apakah selama Sulastri berada di dekatku si
Tengkorak Hitam masih ber-
keliaran pada malam hari atau tidak. Jika Tengkorak
Hitam berkeliaran pada malam hari, Pandu Tawa pasti
akan tahu. Jika keadaan begitu maka Sulastri bukan
si Tengkorak Hitam. Tapi jika selama Sulastri ada di
dekatku, tapi Tengkorak Hitam tidak pernah muncul,
berarti Sulastri-lah si Tengkorak Hitam Itu. Tinggal
nanti bagaimana kita mengatur jebakannya!"
Menurut Pandu Tawa, itu gagasan yang bagus. Ia
tidak keberatan menjadi penjaga malam di desa terse-
but. Ia bahkan tak sabar segera ingin menemui Teng-
korak Hitam dalam keadaan mau melakukan kejaha-
tan. Karena dalam hati Pandu Tawa sendiri menyim-
pan kegeraman dan rasa penasaran, ingin membong-
kar kedok Tengkorak Hitam.
Rencana itu segera dilakukan, Ki Lurah Wikuto
Legawa dengan senang hati menerima lamaran Pandu
Tawa sebagai penjaga malam. Pada mulanya Ki Lurah
Wikuto Legawa menyangsikan tentang upah yang
hanya tersedia tak seberapa banyak, tapi Pandu Tawa
menyatakan diri tidak terlalu memikirkan tentang
upah tersebut. Sementara itu. Yoga kembali bermalam di rumah
kedai Ki Bantarsuko. Lelaki tua itu sangat senang dan tampak gembira menerima
kedatangan Yoga kembali.
Sulastri pun tersenyum-senyum ceria dan tanpa dis-
uruh telah membersihkan kamar untuk tempat berma-
lam pemuda tampan tersebut. Bahkan ketika Yoga
berpapasan di depan kamar dengan Sulastri, gadis itu
tersenyum malu ketika Yoga bertanya,
"Apakah kau keberatan jika aku bermalam di sini
sampai beberapa hari, Sulastri?"
"Tidak, Tuan. Saya malah merasa senang dan me-
rasa aman jika Tuan ada di sini pada malam hari."
"Aman bagaimana?"
"Aman dari gangguan Tengkorak Hitam," jawab gadis itu sambil menampakkan sikap
tersipu-sipu. "Ji-ka Tuan bermalam di sini, saya tidak merasa khawatir
mendapat giliran disambangi Tengkorak Hitam. Saya
yakin, Tengkorak Hitam takut kepada Tuan."
"Dari mana keyakinanmu itu ada?"
"Karena... karena saya tahu, Tuan berilmu tinggi."
Dalam hati Yoga hanya berkata, "Orang yang bisa
melihat seseorang berilmu tinggi atau rendah hanyalah orang yang bisa merasakan
Pedang Pembunuh Naga 5 Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long Jodoh Si Naga Langit 5
^