Pencarian

Titah Dari Liang Lahat 3

Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat Bagian 3


keningnya mengernyit. "Orang tua. Usia orang bukanlah ukuran bahwa orang yang
lebih tua lebih tahu dari pada orang yang muda!"
"Ah.... Benar juga kata-katamu. Tapi mungkin yang
hendak kutanyakan urusannya lain. Orang yang lebih
tua akan lebih tahu daripada yang muda.... Tapi tidak ada salahnya aku bertanya.
Siapa tahu kau dapat
membantu...."
"Tunggu dulu! Sebelum kau ajukan tanya, boleh
aku tahu siapa dirimu?"
Untuk sesaat laki-laki bercaping lebar tidak segera
menjawab. Rupanya hal ini ditangkap oleh Cucu Dewa
hingga laki-laki bertubuh pendek ini segera berkata.
"Kalau kau tak mau katakan siapa dirimu, aku ti-
dak memaksa.... Aku akan tetap membantumu seda-
pat yang bisa kulakukan...."
"Terima kasih.... Aku tak mau mengatakan bukan-
nya apa. Tentu namaku tidak ada artinya bagimu. Aku
hanyalah laki-laki tua yang tinggal menunggu saat-
saat kematian. Namun sebelum ajal menjemput, ada
sesuatu yang masih menjadi ganjalan pikiranku....
Seandainya kau nanti dapat menghilangkan ganjalan
ini, rasanya aku mati sekarang pun tak apa...."
"Ah.... Mendengar nada ucapanmu, rasanya aku
bakal tidak dapat memberi keterangan yang akan kau
minta...," ujar Cucu Dewa.
"Hem.... Kalau kau merasa bimbang begitu, me-
mang lebih baik aku tidak katakan padamu! Karena
aku sendiri sebelumnya sudah menduga bahwa jawa-
ban yang akan ku peroleh sama seperti jawaban orang-
orang yang kutanya sebelumnya...."
"Jadi, selama ini kau telah bertanya pada beberapa orang..
"Hampir separo dari usiaku kuhabiskan untuk
mencari jawaban...."
Kembali dahi Cucu Dewa berkerut. Setelah agak
lama terdiam, akhirnya laki-laki bertubuh pendek ini
berkata. "Aku jadi ingin tahu apa yang menjadi ganjalan pi-kiranmu. Tapi sebelumnya aku
minta maaf kalau nanti
tidak bisa memberi keterangan...."
"Aku sudah terbiasa tidak memperoleh jawaban.
Jadi tidak usah minta maaf. Kau bersedia mendengar
pertanyaanku saja, aku sudah berterima kasih...," kata laki-laki bercaping lebar
dengan suara pelan, Sebelum Cucu Dewa buka mulut lagi, laki-laki ini telah
lanjutkan ucapannya.
"Untuk mengenangmu, boleh aku tahu siapa kau
adanya?" Cucu Dewa gelengkan kepala, "Bukan aku memba-
las karena kau tadi tak sebutkan diri, Tapi bukankah lebih baik kita tidak
saling tahu nama, asal sama saling mengerti?"
Laki-laki bercaping tertawa agak keras. Lain ang-
guk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian dia ber-
kata. "Menurut cerita yang kudengar dari orang tuaku,
sebenarnya keluargaku masih ada keturunan Raja-raja
Singasari. Malah orang tuaku pernah sebutkan sebuah
nama yang sampai sekarang tetap kuingat....."
Laki-laki bercaping hentikan ucapannya, Dia seo-
lah sengaja memberi kesempatan pada Cucu Dewa un-
tuk bicara. Namun Cucu Dewa tidak angkat bicara.
Laki-laki ini justru sedikit pentangkan sepasang matanya yang sipit perhatikan
laki-laki yang duduk di
hadapannya. Laki-laki bercaping arahkan kepalanya sedikit ke
samping, hingga meski raut wajahnya tidak jelas keli-
hatan, tapi Cucu Dewa masih bisa melihat bagian ba-
wah paras orang.
"Aneh.... Keadaan tubuhnya seperti orang tua betulan. Tapi kulit wajahnya tidak
mengeriput. Giginya
utuh.... Rahangnya kokoh.... Tapi apa peduliku" Uru-
san yang hendak ditanyakan rupanya bukan masalah
nyawa orang seperti sepasang anak muda sableng
itu.... Hem.... Dia katakan dirinya masih keturunan
Raja-raja Singasari. Apa dia tahu kalau...."
Cucu Dewa putuskan membatin saat laki-laki ber-
caping kembali angkat bicara.
"Orang tuaku pernah sebut-sebut nama Ken Raka-
siwi!" Cucu Dewa tak bisa lagi sembunyikan rasa kejut-
nya. Sepasang matanya membelalak. Laki-laki bercap-
ing tertawa perlahan lalu teruskan bicara.
"Aku baru kali ini melihat orang yang kutanya
sempat terkejut. Berarti apa yang selama ini menjadi
ganjalan pikiranku akan terjawab...."
"Orang ini tidak memandang ke arahku. Bagaima-
na dia tahu kalau aku merasa terkejut?" kata Cucu Dewa dalam hati. Namun karena
menduga urusan yang ditanyakan orang tidak ada hubungannya dengan
nyawa orang, meski sedikit merasa tidak enak, laki-
laki bertubuh pendek ini tidak berprasangka lebih
jauh. Malah dia segera buka mulut.
"Lalu apa yang hendak kau tanyakan?"
"Aku bukannya ingin tunjukkan bahwa diriku ma-
sih ada hubungan darah dengan raja, tapi setidak-
tidaknya aku ingin tahu bagaimana silsilah keluarga-
ku. Karena selama ini orang tuaku tidak pernah mem-
beri jawaban! Lebih dari itu, aku ingin menjalin hu-
bungan dengan sanak familiku jika itu masih ada dan
mereka mengakui. Tapi sekali lagi, jangan berprasang-
ka. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari pihak ke-
luargaku jika masih ada. Semata-mata hanya ingin
menyambung darah yang terputus...."
Setelah merenung agak lama, akhirnya Cucu Dewa
berkata. "Sebenarnya tidak banyak yang kuketahui tentang
nama yang kau sebut...."
"Ah.... Tidak banyak pun tak apa. Setidaknya aku sedikit mendapat keterangan.
Karena orang yang kutanya selama ini, jangankan tahu sedikit. Dengar na-
manya pun baru saat aku ajukan tanya!"
"Menurut cerita yang kudengar...." Cucu Dewa mulai memberi keterangan. "Pada
masa kekacauan keturunan Raja-raja Singasari, salah seorang keturunan
raja memang memegang kekuasaan. Sri Baginda ini la-
lu mempersunting seorang gadis berparas cantik ber-
nama Ken Rakasiwi. Tidak banyak orang yang tahu
asal-usul Ken Rakasiwi. Kalangan keluarga Sri Bagin-
da dan orang-orang baru mengenalnya setelah Ken
Rakasiwi dipersunting dan pada akhirnya menjadi
permaisuri. Ken Rakasiwi mempunyai beberapa orang
anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Namun
pada akhirnya diketahui kalau anak laki-laki itu diperoleh dari benih seorang
abdi Sri Baginda. Ken Rakasiwi akhirnya diusir dari Istana. Dia pergi membawa
serta anak laki-lakinya."
Sejenak Cucu Dewa hentikan keterangannya. Lalu
setelah agak lama dia melanjutkan. "Setelah itu tidak diketahui lagi bagaimana
kabar beritanya. Hanya kemudian terjadi huru-hara di istana yang ternyata dida-
langi oleh anak laki-laki Ken Rakasiwi. Huru-hara itu bukan untuk merebut
kekuasaan, sebaliknya ternyata
hanya untuk mengambil benda pusaka kerajaan. Hu-
ru-hara itu akhirnya dapat dipadamkan dan benda pu-
saka bisa diselamatkan. Setelah itu kabar berita ten-
tang anak laki-laki Ken Rakasiwi tidak terdengar la-
gi...." Lagi-lagi Cucu Dewa hentikan penuturan ceritanya.
Malah laki-laki bertubuh cebol ini ikut-ikutan duduk
dengan sepasang mata memandang lekat-lekat ke arah
laki-laki bercaping.
Melihat tingkah Cucu Dewa, laki-laki bercaping se-
gera palingkan kepalanya. Mungkin tidak mau sing-
gung perasaan orang, Cucu Dewa akhirnya juga alih-
kan pandangan pada jurusan lain seraya teruskan ke-
terangannya. "Namun barang pusaka kerajaan nyatanya masih
menjadi incaran orang. Terbukti beberapa tahun ke-
mudian, kembali terjadi huru-hara besar. Anehnya kali ini dilakukan oleh seorang
gadis berwajah cantik yang kemudian dikenal dengan nama Maharani. Entah karena
tingginya ilmu si gadis atau kurang ketatnya pen-jagaan. Maharani berhasil
menerobos masuk bangu-
nan tempat penyimpanan benda pusaka. Pada esok
harinya terjadilah kegemparan. Benda pusaka kera-
jaan hilang lenyap! Demikian pula Maharani.... Hanya
itu yang kuketahui, Orang Tua...."
"Lalu bagaimana dengan keturunan Ken Rakasiwi
dari beberapa anak perempuannya?" tanya laki-laki bercaping.
"Karena suasana saat itu kacau balau, apalagi setelah lenyapnya benda pusaka
kerajaan, tidak ada
orang yang tahu persis bagaimana akhirnya keturunan
Ken Rakasiwi dari beberapa anak perempuannya.
Hanya entah benar apa tidak, sekarang ini ada seorang yang masih anak keturunan
Ken Rakasiwi dari salah
seorang anak perempuannya...."
"Ah.... Kalau begitu aku masih bisa sambung hu-
bungan darah yang putus ini. Siapa orang itu?" tanya laki-laki bercaping.
"Tak tahu jelas siapa nama sebenarnya. Hanya dia dikenal dengan Dewa Orok!"
"Tempat tinggalnya?" tanya laki-laki bercaping masih tanpa memandang.
Cucu Dewa gelengkan kepala. "Tidak ada orang
yang tahu di mana dia bertempat tinggal..."
Laki-laki bercaping anggukkan kepala. "Tak apa.
Aku sudah berterima kasih banyak atas keterangan-
mu. Kalau sudah tahu namanya, mungkin tidak sulit
untuk mencari. Hem.... Satu lagi pertanyaanku...."
Sambil berkata, laki-laki bercaping arahkan kepa-
lanya pada Cucu Dewa hingga untuk sesaat keduanya
saling berpandangan. Kini agak jelas Cucu Dewa dapat
melihat paras wajah orang meski hanya sebatas bagian
bawah matanya. "Benda pusaka apa yang lenyap bersama Mahara-
ni?" "Dua buah kitab...."
Kening di balik caping si laki-laki bergerak men-
gernyit. Kejap lain mulutnya kembali membuka ajukan
pertanyaan. "Kalau pusaka kerajaan, pasti berupa kitab sakti.
Apa kau pernah dengar siapa pencipta dua kitab itu?"
"Entah betul apa tidak, dua kitab itu hasil karya seorang tokoh besar yang
bernama Resi Kamahaya-nan!"
"Hem.... Apa kau juga pernah dengar cerita tentang sebuah kitab yang juga
diciptakan masa Ken Rakasiwi
itu?" "Aku tidak pernah mendengarnya...," jawab Cucu Dewa dengan tengadahkan sedikit
kepalanya. Diam-diam dalam hati laki-laki bertubuh pendek Ini berkata.
"Jangan-jangan pertanyaannya akan terus ngelantur dan menjurus pada orang di
Bukit Selamangleng
itu...." Rupanya dugaan Cucu Dewa tidak jadi kenyataan.
Karena bersamaan dengan itu, laki-laki bercaping ber-
gerak bangkit. "Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas semua keteranganmu. Sayang untuk saat
ini aku tidak memba-
wa apa-apa. Lain kali pasti aku akan datang...."
Cucu Dewa ikut bangkit. Dia gelengkan kepala se-
raya tertawa dan berkata.
"Seandainya kau datang lagi membawa segunung
emas, maaf kalau aku tidak akan menerimanya. Yang
kuminta, kau mau lakukan tidak lebih dari apa yang
kau katakana!"
Laki-laki bercaping berpaling. "Maksudmu,...?"
"Kau minta keterangan untuk menyambung darah
yang terputus. Hal itulah yang membuatku mau berce-
rita padamu. Tapi jika nantinya kau bertindak di luar itu, aku...." Cucu Dewa
tidak lanjutkan ucapannya.
Hanya kepalanya yang bergerak menggeleng beberapa
kali. "Kau tidak usah meragukan kata-kataku...," kata laki-laki bercaping sambil
sunggingkan senyum aneh.
"Kuharap hal itulah kenyataannya nanti...!" ujar Cucu Dewa.
Ucapan Cucu Dewa membuat langkah laki-laki
bercaping yang hendak bergerak melangkah tertahan.
Dia menyahut namun tanpa palingkan kepala.
"Nada ucapanmu sepertinya meragukan kata-
kataku!" Cucu Dewa tertawa pendek. "Aku selalu berpra-
sangka baik pada setiap orang. Kalau tidak, mana
mungkin aku memberi keterangan padamu?"
"Ah.... Aku lupa. Apakah anak laki-laki Ken Rakasiwi tidak punya keturunan?"
Tidak terdengar suara jawaban. Laki-laki bercaping
menunggu karena menduga orang yang ditanya masih
mengingat. Namun begitu agak lama masih juga tidak
terdengar suara jawaban, laki-laki bercaping berpaling.
Laki-laki bercaping terkesiap. Laki-laki bertubuh
pendek sudah tidak terlihat lagi di belakangnya!
"Hem.... Ternyata dia bukan orang sembarangan.
Tapi kalau keterangannya lain dengan kenyataan, aku
tidak peduli siapa dia adanya!" gumam laki-laki bercaping lalu melangkah. Kira-
kira lima belas langkah,
laki-laki Ini berhenti. Kepalanya berputar pelan. Kejap lain dia gerakkan
sepasang kakinya. Sosoknya melesat
cepat laksana dikejar setan.
Pada satu tempat sepi agak jauh dari kuil, laki-laki
bercaping hentikan larinya. Setelah putar kepala, tangan kanannya bergerak ke
atas. Caping lebar yang me-
lindungi kepala dan sebagian atas wajahnya diangkat.
Kini tampak jelaslah wajah laki-laki ini. Ternyata
dia adalah seorang pemuda berwajah tampan bermata
tajam. Rahangnya kokoh. Pemuda ini ternyata tidak
lain adalah Gumara alias Malaikat Penggali Kubur. Se-
perti diketahui, di dalam liang lahat, Malaikat Penggali Kubur menemukan tulisan
yang mengharuskan dirinya mencari anak turunan Ken Rakasiwi untuk di-
musnahkan. Menurut tulisan ini dia harus mencari se-
seorang di kuil pantai timur.
Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur campakkan
caping lebarnya. Namun baru saja caping lebar itu
hancur menghantam tanah, kepala pemuda ini berpal-


Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ing ke arah samping laksana disentak setan. Bahkan
bersamaan dengan itu sosoknya berkelebat. Rupanya
pemuda murid Bayu Bajra yang telah membekal Kitab
Hitam ini maklum kalau ada orang mengawasi gerak-
geriknya. Namun gerakan Malaikat Penggali Kubur terlambat
Dia hanya sekilas melihat satu sosok bayangan berke-
lebat keluar dari balik pohon lalu lenyap di depan sa-na. Meski hanya sempat
melihat bayangan orang, na-
mun Malaikat Penggali Kubur masih dapat mengenali.
'Hem.,.. Manusia cebol itu berani menguntit lang-
kahku! Tunggulah! Tanpa kau ikuti aku akan datang
menjemputmu jika keteranganmu dusta!" Malaikat
Penggali Kubur awasi sejenak ke mana lenyapnya
bayangan yang tak berhasil dikejar namun bisa dike-
nali tadi. Kejap lain pemuda ini tersenyum aneh lalu berkelebat teruskan
larinya. * * * DELAPAN PENDEKAR 131 tegak di bibir jurang dengan mata
mengawasi berkeliling. Sepasang matanya mendadak
menyipit. "Aku melihat bekas-bekas pukulan. Tanda di tem-
pat ini telah terjadi sesuatu.... Tanahnya Berantakan.
Bibir jurang di seberang hancur berantakan. Lamping
jurang terabas rata.... Siapa yang baru saja bentrok di tempat ini?" Murid
Pendeta Sinting terdiam untuk beberapa lama sementara sepasang matanya terus me-
meriksa lebih seksama
"Melihat bekas-bekasnya, jelas siapa pun adanya
orang yang baru bentrok, mereka memiliki kepandaian
tinggi...!" gumam sang Pendekar. Mendadak parasnya
berubah. "Jangan-jangan aku didahului orang dan kitab itu.... Aku harus segera
turun ke bawah jurang!
Melihat hal ini rasanya ucapan manusia iblis itu tidak berdusta! Tapi.... Dia
tahu di mana kitab itu berada.
Tempatnya tidak jauh lagi. Mengapa ia tidak mengam-
bil kitab itu" Atau jangan-jangan dia telah mengambilnya"! Ah.... Mengapa aku
tidak memeriksanya tadi"
Kembali ke sana jelas tidak mungkin! Tapi.... Mana bi-sa semua itu terjawab
kalau aku belum buktikan sen-
diri..."!!"
Murid Pendeta Sinting longokkan kepala ke bawah
jurang. "Hem.... Tidak terlalu dalam...!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Joko segera kerahkan
tenaga dalamnya. Saat lain sosoknya melesat masuk
ke dalam Jurang.
Setelah membuat gerakan berputar empat kali di
lamping jurang, murid Pendeta Sinting mendarat di
bagian bawah jurang.
"Hem.... Di sini juga seperti telah terjadi bentrok....
Hanya saja mungkin dilakukan satu orang..." Ah. Jadi
betul-betul telah ada orang mendahuluiku! Jangan-
jangan manusia Iblis itu.... Tapi aku harus menyelidik dahulu...."
Pendekar 131 melangkah berputar. Tiba-tiba dia
hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya meli-
hat tulisan di bagian samping batu. Tulisan yang ditulis dengan darah itu
dibacanya beberapa kali. Lalu
tanpa pikir panjang lagi dia melangkah ke arah kanan
dengan menghitung.
Saat hitungan langkahnya sampai dua belas, mu-
rid Pendeta Sinting hentikan langkah. "Sepertinya sebuah makam. Anehnya tampak
seperti makam baru!"
Untuk beberapa lama Joko perhatikan gundukan
tanah mirip sebuah makam itu. "Siapa orang yang me-nulis di samping batu itu"
Mana orangnya" Karya....
Apakah yang dimaksud dengan karya adalah kitab itu"
Jelas. Orang yang mendahului datang di sini telah la-
kukan apa yang tertulis pada samping batu itu. Tapi
siapa" Iblis Rangkap Jiwa" Orang lain..." Bagaimana
sekarang..." Apa aku harus melihat siapa adanya
orang yang seperti baru dikubur ini?"
Beberapa lama murid Pendeta Sinting tegak di
samping makam dengan dada dibuncah berbagai per-
tanyaan. Sesaat kemudian dia jongkok perhatikan ma-
kam lebih seksama. Kedua tangannya bergerak. Na-
mun kejap lain ditarik pulang lagi. Kebimbangan jelas terbayang di wajah dan
sikapnya. "Jangan-jangan ini perbuatan orang yang hendak menjerumuskan! Ah.... Urusan Ini
ternyata tidak lebih mudah dari urusan Kitab Serat Biru dan Sundrik Ca-kra
beberapa waktu yang lalu...."
Ketika terus merenung begitu, tiba-tiba telinganya
menangkap ada suara desiran dari jurang. Cepat Joko
bergerak bangkit. Belum sampai bergerak lebih jauh, mendadak satu sosok tubuh
telah tegak lima langkah
dari tempatnya berada.
"Anak sableng sialan!" maki Joko dalam hati begitu mengenali siapa adanya orang.
Dia lantas berpaling
kembali arahkan pandangannya ke makam,
Orang yang baru datang dan bukan lain Putri Sab-
leng tertawa tertahan lalu melangkah satu tindak dan
berkata. "Rupanya kau cerdik juga.... Dengan caramu, ak-
hirnya apa yang kau cari bisa kau temukan!"
"Bukan hanya itu. Kau juga dapat melihat peman-
dangan asyiiikk!" sahut Joko seenaknya namun jelas nada ucapannya bercampur
jengkel. Putri Sableng sahuti ucapan Joko dengan tertawa
cekikikan. Tapi laksana direnggut setan mendadak su-
ara tawa cekikikan si gadis terputus membuat Joko
berpaling. Raut wajah murid Pendeta Sinting berubah. Di ha-
dapannya terlihat Putri Sableng kancingkan mulut.
Sepasang matanya mendelik angker. Dan tangan ka-
nannya menjulur. Saat bersamaan tiba-tiba mulutnya
terbuka. "Mana kitab itu! Serahkan padaku!"
Karena beberapa kali sudah dibuat jengkel dengan
tingkah gadis berjubah merah ini, mendengar dan me-
lihat sikapnya kontan rahang Joko menggembung. Pa-
ras wajahnya membesi dengan sepasang mata balik
mendelik. "Jangan bicara sembarangan! Aku sudah lama me-
nahan sabar!"
Putri Sableng rupanya tidak ambil peduli dengan
nada bicara murid Pendeta Sinting yang mengancam.
Sebaliknya dia tetap bersikap seperti semula dan ber-
kata. "Kitab itu! Mana"!"
Mungkin sudah tidak dapat menindih hawa ama-
rahnya, Joko angkat tangan kirinya. Di hadapannya
Putri Sableng tidak membuat gerakan apa-apa. Hanya
sepasang matanya yang menusuk tajam pada bola ma-
ta murid Pendeta Sinting.
Pendekar 131 menghela napas dalam lalu perla-
han-lahan turunkan tangan kirinya.
"Mengapa tidak jadi kau lakukan"!" tanya Putri Sableng seraya tersenyum
mengejek. Meski dadanya makin bergemuruh, namun Joko
akhirnya hanya bisa menghela napas lalu melangkah
dengan melewati sisi si gadis.
Putri Sableng sejurus lamanya memandang namun
begitu murid Pendeta Sinting sudah berada di bela-
kangnya, gadis ini berkata.
"Kau dengar ucapanku! Serahkan kitab itu atau..."'
Ucapan Putri Sableng terputus tatkala di bela-
kangnya terdengar suara berdebam keras. Saat Putri
Sableng berbalik, terlihat hamburan tanah Ke udara.
Rupanya saking jengkelnya, kemarahan Joko dilam-
piaskan dengan hentakkan kaki kanannya ke atas ta-
nah hingga tanahnya muncrat ke udara.
Muncratan tanah belum sirna, Joko telah balikkan
tubuh lalu berkata membentak. "Aku tidak menemu-
kan kitab itu!. Kalaupun kutemukan jangan harap kau
akan memilikinya!"
"Laki-laki yang marah di hadapan perempuan bi-
asanya menyembunyikan sesuatu atau setidaknya
menutupi sesuatu yang sesungguhnya terjadi. Hik....
Hik.... Hik...!"
"Kau benar-benar gadis menyebalkan! Lihat tulisan itu!" kata Joko sembari
menunjuk ke arah batu yang bertulisan darah.
Putri Sableng arahkan kepala mengikuti arah yang
ditunjuk tangan murid Pendeta Sinting. Karena gadis
berjubah merah ini berada di dekat makam, dia tidak
bisa melihat tulisan yang ada di bagian samping batu.
"Tulisan" Tulisan apa"! Aku tidak melihat tulisan!"
"Kau memang tidak akan melihat tulisan kalau
nongkrong di situ! Lihat dari sebelah sana!" kata Joko sambil menunjuk tempat di
mana tadi dia bisa melihat
tulisan di bagian samping batu.
Mungkin karena penasaran apalagi dilihatnya uca-
pan murid Pendeta Sinting tidak main-main, Putri Sab-
leng segera berkelebat.
Begitu tegak di depan batu, sepasang mata gadis
ini mendelik. Seakan masih tidak percaya dengan pan-
dangan matanya, dia melangkah makin mendekat. Mu-
lutnya terlihat berkemik membaca. Saat lain sepasang
matanya memandang pada murid Pendeta Sinting.
Yang dipandang berpaling lalu berkata. Suaranya
masih menunjukkan rasa geram. "Kau masih meminta
kitab dariku"!"
Putri Sableng tidak menjawab, Sebaliknya gadis ini
segera melangkah seraya menghitung tindakannya. Ke-
tika mulutnya berhenti menghitung, sosoknya tepat
berada di sebelah gundukan tanah makam.
"Ada yang tidak beres! Kita telah kedahuluan
orang!" ujar Putri Sableng setelah agak lama terdiam.
"Bukan kita, tapi aku!" sahut Joko dengan suara dingin.
"Terserah padamu. Yang jelas bukan hanya kau sa-
ja yang menginginkan kitab itu dan ternyata telah ke-
dahuluan orang!"
"Ini gara-gara kau!"
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting kini gan-
ti Putri Sableng yang dadanya bergemuruh. Sepasang
matanya terpentang. Saat lain dia membentak.
"Jangan sembarangan menuduh orang!"
"Aku tidak menuduh. Tapi siapa tahu kau telah
mengatakan urusan kitab ini pada orang lain"!" seraya berkata begitu, murid
Pendeta Sinting balikkan tubuh.
Putri Sableng pandangi sekujur tubuh murid Pen-
deta Sinting dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bi-
birnya tersenyum dingin lalu berkata.
"Meski aku gadis sableng, aku tahu mana urusan
penting mana urusan sepele! Atau jangan-jangan kau
yang kelepasan omong bicara sama seorang gadis can-
tik bertubuh bagus misalnya"!"
Ucapan Putri Sableng membuat murid Pendeta
Sinting sejurus terdiam. Malah dia terlihat tengadahkan kepala dengan kening
berkerut. "Hem.... Aku memang pernah jumpa dengan gadis bertubuh bagus
berwajah cantik, Ratu Pemikat! Tapi aku rasanya tidak mengatakan urusan kitab
ini padanya.... Malah kalau
tidak salah aku telah berbuat kurang ajar padanya!
Tak mungkin dia yang mendahului datang ke tempat
ini. Lalu siapa"!"
Selagi murid Pendeta Sinting mengingat begitu, Pu-
tri Sableng berujar. Namun kali ini suaranya agak me-
rendah. "Melihat tulisan itu serta menghubungkannya den-
gan adanya makam ini, jelas kitab itu sudah di tangan orang! Apa yang sekarang
kita lakukan"!"
"Sejak semula aku tidak mengajakmu ikut serta
dalam urusan ini! Terserah apa yang akan kau laku-
kan! Aku akan lakukan apa yang kumau! Tapi Ingat.
Aku tidak mau lagi melihat tampangmu!"
Putri Sableng bukannya tambah marah mendengar
ucapan murid Pendeta Sinting, gadis berjubah merah
ini justru tertawa cekikikan lalu berujar.
"Tampangku memang jelek, tapi aku juga tidak su-
di selalu kau ikuti!"
"Setan! Siapa yang mengikutimu"!*
Kembali Putri Sableng tertawa cekikikan dahulu
sebelum perdengarkan jawaban.
"Jangan kau kira aku tidak tahu, kau selalu ada di bokongku! Bukankah kau berada
di belakangku dan
sempat mengejarku saat di kuil dekat pantai itu" La-lu... kau ikuti aku ke
puncak ini! Hik.... Hik.... Hik...!
Harap kau tidak merasa malu mengakuinya!"
Habis berkata begitu, tanpa menunggu sahutan
dari mulut murid Pendeta Sinting, Putri Sableng berkelebat dan tahu-tahu
sosoknya telah berada tepat di
lamping jurang.
Putri Sableng tengadahkan kepala. Tubuhnya ber-
gerak hendak berkelebat naik, namun mendadak gadis
ini tahan gerakannya. Kepalanya cepat berpaling. Mu-
lutnya membuka perdengarkan bentakan.
"Dasar, Pemuda Setan! Sudah kukatakan, aku tak
sudi kau ikuti!"
Murid Pendeta Sinting yang kini telah tegak tiga
langkah di belakangnya terkejut. Belum hilang rasa kejutnya, si gadis telah
membentak lagi.
"Awas kalau kau ikuti aku!"
"Aku juga akan ke sana!" kata Joko seraya menunjuk ke atas.
"Aku tak mau tahu kau hendak ke mana! Yang je-
las, aku muak melihat kau berada di belakangku! Kau
dengar"!"
"Gadis ini benar-benar memusingkan kepala! Sebenarnya aku senang mendapat teman
cantik seperti dia. Tapi kalau dia juga menginginkan kitab itu apa artinya" Padahal aku harus
memusnahkan kitab itu! Ba-
gaimana baiknya..." Apa dia kuajak menyelidik kitab


Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sambil kujelaskan duduk masalahnya.... Siapa ta-
hu dia mau mengerti malah bisa membantuku...?"
Berpikir begitu, akhirnya murid Pendeta Sinting
berkata. "Apa kau tahu kitab apa sebenarnya yang sedang
kau cari itu"!"
"Jawabannya kau sudah tahu! Tak perlu bertanya!"
jawab Putri Sableng ketus.
"Yang ku maksud, sebenarnya kitab itu adalah se-
buah kitab sakti yang sangat berbahaya kalau sampai
jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab. Rimba
persilatan akan mengalami bencana! Jadi tujuanku
mencari kitab Itu tidak untuk memilikinya namun un-
tuk memusnahkannya!"
"Persetan kau hendak memilikinya atau memus-
nahkannya. Aku punya maksud lain dengan kitab Itu!
Jawaban Putri Sableng masih terdengar ketus.
"Maksudmu...?" tanya Joko pula.
"Jangan harap kau akan dengar Jawaban perta-
nyaanmu itu!"
Joko menghela napas panjang. Murid Pendeta Sint-
ing ini coba menahan kemarahan yang kembali men-
dera dadanya mendengar Jawaban Putri Sableng. Di
hadapannya, melihat sikap murid Pendeta Sinting, Pu-
tri Sableng menahan tawa.
"Pendekar 131! Kau pikirkan sesuatu"!"
Murid Pendeta Sinting tersentak kaget. Bukan ka-
rena pertanyaan Putri Sableng sebaliknya karena
mendapati si gadis tahu siapa dirinya!
"Bagaimana dia tahu" Apakah dari bentrokan den-
gan Iblis Rangkap Jiwa?"
Mendapati keterkejutan pada Joko, Putri Sableng
perkeras tawanya. Lalu berkata dengan senyum-
senyum. "Aku lebih tahu luar dalam dirimu daripada kau
sendiri! Kau murid tunggal seorang kakek gendeng
bergelar Pendeta Sinting. Sebelum ini kau terlibat urusan dengan gadis-gadis
cantik di antaranya Dewi Seri-
bu Bunga, Sitoresmi, Puspa Ratri, Saraswati Juga to-
koh-tokoh edan seperti Iblis Ompong dan saudara-
saudaranya! Kau juga pernah bercumbu dengan gadis
bahenol bergelar Ratu Pemikat.... Hik.... Hik.... Hik...!
Kalau kau pernah mengintipku mandi, aku pernah me-
lihat bagaimana kau ditelanjangi gadis bertubuh bahe-
nol Ratu Pemikat Itu.... Hik.... Hik.... Hik...!"
Saking kagetnya, sepasang kaki murid Pendeta
Sinting tersurut dua tindak! Mulutnya menganga den-
gan sepasang mata terpentang besar-besar!
Ketika sadar dari rasa kejutnya, Putri Sableng su-
dah tidak tampak lagi di hadapannya!
"Busyet betul! Betul-betul busyet! Siapa sebenarnya gadis sableng itu" Dia
benar-benar mengetahui
luar dalam diriku! Aku masih bingung dengan urusan
Kitab Hitam, kini ditambah lagi dengan pertanyaan
edan mengenai gadis itu!"
Untuk beberapa saat murid Pendeta Sinting mon-
dar-mandir. "Ah.... Peduli setan siapa sebenarnya gadis itu! Aku harus cepat balik ke puncak
bukit. Siapa tahu sebenarnya manusia iblis itu yang telah mengambil kitab!
Dia tahu beradanya kitab itu dan tidak sulit menda-
patkannya!"
* * * SEMBILAN Setelah ditinggal sendirian di puncak bukit oleh
murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng dalam kea-
daan tertotok dan tubuh bagian bawah terbuka, Iblis
Rangkap Jiwa memaki panjang pendek. Namun setelah
sadar bahwa hal itu tidak ada artinya, kakek ini sege-ra pejamkan mata dan
mengatur jalan pernapasan.
Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang to-
koh berilmu tinggi dan para kalangan persilatan pada zamannya telah mengetahui
kalau kakek ini mampu
menahan segala pukulan yang menghantam tubuhnya.
Namun begitu, ada satu hal yang tidak diketahui oleh
si kakek. Dia memiliki kelemahan yang selain jarang
diketahui orang, juga mungkin orang tidak akan men-
duga. Kelemahan kakek ini jika melihat pantat seorang
laki-laki dan perempuan secara bersamaan maka se-
genap kesaktiannya akan lenyap selama setengah hari.
"Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi
menimpa diriku! Kesaktianku mendadak lenyap begitu
melihat bokong! Padahal saat perempuan muda itu
perlihatkan bokongnya pertama kali, aku tidak menga-
lami apa-apa. Tapi setelah melihat bokong dua orang, kesaktianku sirna. Benar-
benar jahanam! Hem....
Orang yang menyuruh dan memberi isyarat adalah
seorang bertubuh cebol berambut kepang dua.... Tak
salah! Dia adalah Cucu Dewa! Mengapa si cebol itu
bersekongkol dengan dua manusia itu" Bukankah se-
lama ini si cebol itu berada di pihak golongan hitam..."
Apakah ini muslihatnya karena berambisi memiliki Ki-
tab Hitam itu" Dia sungkan padaku lalu mencari ke-
lemahanku dan bersekongkol dengan orang! Hem....
Dia telah membuat langkah keliru terhadap Iblis
Rangkap Jiwa!"
Raut wajah angker Iblis Rangkap Jiwa tercenung.
Namun begitu masih tersirat seberkas perasaan lega
pada wajahnya. "Meski samar-samar, aku tadi masih sempat men-
dengar si cebol itu berkata kalau kesaktianku ini
hanya lenyap selama setengah hari! Berarti kesaktian-
ku masih bisa pulih kembali! Kalau hanya lenyap se-
tengah hari, mungkin akan lebih cepat dari waktu itu
kalau aku kerahkan tenaga...."
Berpikir begitu, perlahan-lahan Iblis Rangkap Jiwa
kerahkan sisa-sisa tenaga dalamnya. Sebenarnya ke-
saktian Iblis Rangkap Jiwa tidak lenyap musnah. Ka-
kek ini hanya tidak dapat pergunakan kesaktiannya
selama setengah hari. Namun jika dia kerahkan tenaga
dalamnya, sedikit banyak kesaktiannya akan muncul
meski masih sangat jauh jika dibanding dengan kea-
daan biasanya. Karena Iblis Rangkap Jiwa memiliki tingkat kepan-
daian tinggi, setelah agak tama pusatkan tenaga, per-
lahan-lahan kedua tangannya terlihat bergerak-gerak.
Lalu kakinya melejang membujur. Jelas kalau kakek
ini perlahan-lahan telah mampu buyarkan totokan
yang disarangkan murid Pendeta Sinting.
"Hem.... Aku berhasil..," gumam Iblis Rangkap Jiwa seraya buka kelopak matanya.
Lalu kembali pusatkan
pikiran dan tenaga. Sesaat kemudian kakek ini telah
dapat gerakkan sekujur anggota tubuhnya meski ma-
sih sangat lemah.
Namun lama kelamaan, Iblis Rangkap Jiwa mulai
dapat kuasai diri. Dan begitu merasa kuat, kakek ini bergerak bangkit. Dia coba
mencari serpihan kainnya
yang sempat tersabet tangan murid Pendeta Sinting
hingga aurat bawahnya terbuka. Namun kakek ini
memaki saat melihat kain serpihannya tidak mungkin
lagi dapat digunakan untuk menutup auratnya.
"Anak manusia itu telah mempermalukan aku!
Nyawanya akan kukejar meski ke ujung langit dan ma-
suk ke Liang bumi!"
Iblis Rangkap Jiwa perlahan-lahan melangkah ke
arah utara. Sepasang matanya memandang jauh ke
bawah. "Hem.... Mereka hanya akan menemukan angin!
Tapi aku harus segera sembunyi! Mereka pasti akan
segera kembali ke sini! Saat ini tidak mungkin bagiku melawan mereka! Selain
kesaktianku belum kembali,
mereka telah mengetahui bagaimana cara mengalah-
kanku! Setan betul! Tapi.... Aku tetap akan membalas
semua ini! Aku tahu bagaimana caranya! Aku punya
seribu satu cara!",
Iblis Rangkap Jiwa balikkan tubuh. Namun tiba-
tiba dia urungkan gerakan langkahnya. "Ke mana aku sekarang sembunyi" Lari dari
bukit ini dan mencari
tempat lain" Kalau sewaktu-waktu manusia bergelar
Malaikat Penggali Kubur balik kemari bagaimana" Pa-
dahal aku harus merebut Kitab Hitam itu dari tangan-
nya. Mencari sendiri di luaran sana tentu sangat sulit!
Apalagi dia seorang pemuda! Hem.... Kalau dia berkata hendak balik ke sini,
mengapa aku harus mencari
tempat lain" Sampai kapan pun aku akan menung-
gunya! Hanya untuk sementara ini aku akan menying-
kir dahulu...."
Iblis Rangkap Jiwa gerakkan langkah kakinya. Tak
berapa lama kemudian sosoknya terlihat menuruni
bukit dan lenyap di kerapatan semak dan pohon.
* * * Begitu tubuhnya melewati bibir jurang, Putri Sab-
leng tegak sebentar sambil tengadahkan kepala ke
arah puncak bukit.
"Iblis Rangkap Jiwa...!" desis si gadis. "Keteranganmu tentang di mana beradanya
kitab itu betul. Ma-
nusia sepertimu tidak mungkin sia-siakan kesempa-
tan! Jadi pasti kaulah yang telah mengambil kitab itu!
Hem.... Aku harus segera kembali ke puncak bukit.
Menurut Cucu Dewa, orang itu akan kehilangan ke-
saktian selama setengah hari. Lagi pula dia masih tertotok. Pasti dia masih
tergeletak tak bergerak di sana!"
Putri Sableng hendak berkelebat. Tapi mendadak
gerakannya tertahan. Bahu gadis cantik ini bergun-
cang menahan tawa. Namun tak urung suara cekiki-
kannya masih terdengar. "Bagaimana aku harus me-
meriksanya" Barangnya tidak tertutup! Bagaimana ka-
lau tanganku nanti salah ambil?" Suara cekikikannya makin keras.
"Ah.... Peduli! Terpaksa aku tidak akan pejamkan
mata daripada salah sambil dan menyentuh barang ti-
dak karuan!"
Masih dengan perdengarkan tawa cekikikan, Putri
Sableng berkelebat mendaki Bukit Selamangleng. Da-
lam waktu tidak lama, sosok Putri Sableng telah ham-
pir mencapai puncak bukit. Sebelum tubuhnya benar-
benar berada di puncak bukit, gadis ini putuskan cekikikannya lalu berseru
keras. "Iblis Rangkap Jiwa! Kali ini jangan kau kira dapat
berkata dusta padaku lagi! Serahkan kitab itu padaku!
Aku tahu, kau telah mengambil kitab itu! Jika tidak
kau akan..."
Seruan Putri Sableng terputus. Sosoknya yang kini
telah berada di puncak bukit tegak dengan sedikit bergetar. Mulutnya kontan
terkancing. Setelah kuasai rasa terkejutnya, gadis berjubah
merah ini silangkan sepasang matanya berkeliling. "Ke mana minggatnya manusia
itu" Bukankah waktunya
belum sampai setengah hari" Apakah dia berhasil pu-
lihkan kesaktiannya dan membuyarkan totokan Pe-
muda Setan itu" Hem.... Keterangan Cucu Dewa tidak
mungkin bohong. Kalaupun dia berhasil lepaskan to-
tokan, kesaktiannya tentu belum bisa pulih benar.
Hem.... Dia pasti masih ada di sekitar sini!"
Tanpa menunggu lama, Putri Sableng berkelebat
mengitari puncak bukit. Namun meski telah berputar
dua kali dengan mata liar nyalang, sosok Iblis Rangkap Jiwa tidak ditemukan!
"Tidak kuduga kalau secepat itu dia bisa bebaskan diri..... Tapi aku masih tidak
percaya kalau dia mampu
kembalikan kesaktiannya. Karena dia tidak menunggu
di sini.... Tentu dia belum jauh...."
Putri Sableng memandang sekali lagi dengan putar
kepalanya berkeliling. Kejap lain sosoknya berkelebat
menuruni bukit. Namun mendadak satu suara teguran
menahan gerakannya.
"Mengapa kau lepaskan manusia itu"!"
Meski tanpa berpaling ke arah datangnya suara te-
guran, Putri Sableng sudah bisa menebak siapa
adanya orang. Namun tak urung gadis ini putar kepa-
lanya. Sejarak sepuluh langkah tegak Pendekar 131
dengan arahkan pandangannya pada jurusan lain.
"Ternyata kau masih mengikutiku!"
Murid Pendeta Sinting tidak berpaling. Mulutnya
menyeringai. "Tanpa imbalan pantas, tak mungkin kau be-
baskan manusia itu! Sekarang berikan imbalan itu pa-
daku!" "Kau bisa memintanya di liang akhirat!"
"Hem.... Kau benar-benar ingin dikasari!" sentak murid Pendeta Sinting. "Atau
sebenarnya kau berkom-plot dengan manusia itu"!"
"Yang kutahu, manusia iblis hanya bersekongkol
dengan yang namanya iblis! Apa kau kira aku ini Iblis, hah"!" Putri Sableng
balas membentak.
"Keadaan tubuhmu memang cantik malah aku
pernah melihatmu tidak mengenakan pakaian dan
memang mirip manusia biasa. Tapi kadangkala manu-
sia biasa berhati melebihi Iblis!"
Tampang Putri Sableng langsung berubah. "Ternya-
ta bukan matamu saja yang bertindak tidak pada tem-
patnya! Mulutmu pun bisa bicara ngelantur tak ka-
ruan!" "Hem.... Sekarang tak usah banyak mulut. Kau
mau serahkan kitab itu atau tidak"!" tanya Joko lalu memandang tajam.
"Buka telingamu lebar-lebar! Aku sampai di tempat ini sudah tidak menemukan
manusia itu! Ini menun-
jukkan totokanmu tidak ada apa-apanya! Padahal kau
telah digelari orang sebagai Pendekar! Belum lagi ka-
tanya kau sudah berhasil membekal Kitab Serat Biru
dan kitab bersampul kuning! Jangan-jangan kau yang


Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersekongkol dengan manusia iblis itu! Kau hanya
berpura-pura menotoknya lalu membuat perjanjian!"
"Gila! Gadis ini benar-benar mengetahui diriku...,"
kata Joko dalam hati.
Belum sampai murid Pendeta Sinting ucapkan se-
patah kata. Putri Sableng telah nyerocos lagi. "Kau bertanggung jawab atas
kejadian ini Jika sampai terjadi apa-apa di luaran sana!"
"Bagaimana bisa begitu" Kalaupun memang terjadi
apa-apa, kita berdua yang bertanggung jawab!" sahut Pendekar 131.
"Hem.... Kau mau libatkan orang lain yang tidak
tahu apa-apa"!"
"Kau tahu segalanya! Termasuk tahu luar dalam
diriku!" "Kau Juga tahu diriku...!" Putri Sableng tak mau kalah.
Pendekar 131 gelengkan kepalanya. "Tidak. Aku
memang tahu dirimu serta namamu. Tapi aku tidak
tahu siapa kau sebenarnya! Kalau boleh tahu, siapa
kau sebenarnya..."!" Pada nada ucapannya yang terakhir, Joko terdengar rendahkan
suaranya. "Mengapa hal itu baru kau tanyakan sekarang?"
"Karena sekarang kita harus bersahabat! Kita sa-
ma-sama punya tanggung jawab!"
"Hem.... Begitu" Tidak ada hal lain?"
"Maksudmu..."!"
"Kau mengajak bersahabat hanya karena kau ter-
tarik padaku?"
Pendekar 131 tertawa. "Kuakui kau memang can-
tik. Tapi untuk sekarang aku hanya sebatas menga-
gumi kecantikanmu. Tidak ada rasa tertarik sama se-
kali!" "Kebetulan! Meski kau tampan, tapi aku merasa
muak melihat tampangmu! Hik.... Hik.... Hik...! Kalau Sudah begini persahabatan
bisa langgeng! Karena kadangkala persahabatan bisa rusak bila kedua orang-
nya sudah saling jatuh cinta apalagi cintanya karam di tengah jalan.... Sekarang
apa rencanamu?"
"Kita terus menyelidik! Aku masih ragu, jangan-
jangan jurang yang dikatakan Iblis Rangkap Jiwa me-
nyimpan kitab itu hanya buatannya manusia Iblis itu
sendiri untuk mengelabui orang. Sementara dia sendiri tidak tahu di mana
beradanya kitab itu! Kita harus
menemui seseorang yang kuyakin punya rahasia di
mana sebenarnya kitab itu berada!"
"Siapa orangnya?" tanya Putri Sableng.
"Nanti akan kuceritakan sambil jalan...."
"Ah, rupanya kau masih menaruh curiga padaku!
Padahal kau telah mengajak bersahabat!" kata Putri Sableng pula.
"Bukan karena itu. Kita harus cepat bertindak.
Siapa tahu, kalau memang melarikan diri manusia itu
belum jauh dari sini!"
Habis berkata begitu, Joko anggukkan kepala
memberi isyarat untuk segera turun bukit. Putri Sab-
leng balas anggukkan kepala lalu mendahului melang-
kah menuruni bukit. Murid Pendeta Sinting jalan di
belakangnya. "Aku punya permintaan kalau benar-benar kau
ajak menyelidiki" kata Putri Sableng seraya terus menurun!
"Katakan permintaanmu...."
"Kulitku termasuk kulit aneh. Kalau terkena sinar
matahari akan mengelupas! Jadi aku hanya bisa me-
nyertaimu menyelidik pada malam hari! Dan bisa siang
hari tapi hanya waktu-waktu tertentu...."
"Aneh.... Apa kau keturunan hantu" Hanya hantu
yang keluar malam hari! Lalu kapan selesainya urusan
ini kalau kita menyelidik menunggu malam tiba?"
"Kau tak usah ragu! Kau terus menyelidik. Kau
hanya perlu memberitahukan di mana malam nanti
berjumpa! Aku pasti sudah nongkrong di sana! Pa-
ham...?" "Heran.... Bagaimana bisa begin!?"
"Jangankan kau, aku sendiri heran dengan diriku
sendiri! Maka dari itu... sambil menyelidik kita cari seorang tabib yang bisa
sembuhkan penyakit anehku
Ini. Kau tidak keberatan bukan?"
"Selain itu, apa kau masih punya penyakit aneh
lainnya?" "Betul!"
Murid Pendeta Sinting hentikan larinya. Sepasang
matanya memandang pada sosok bagian belakang
orang di hadapannya.
"Sayang. Cantik-cantik tapi banyak penyakit anehnya...," desis Joko lalu
berkata. "Apa penyakit anehmu yang lain?"
"Aku tak suka mendengar laki-laki bicara dan bertanya terlalu banyak!"
Habis berkata begitu, Putri Sableng terus berlari
menuruni bukit.
"Dasar orang berpenyakitan aneh! Ucapannya pun
aneh-aneh...," kata murid Pendeta Sinting lalu berlari kembali menyusul Putri
Sableng yang telah Jauh di
depan sana. *** SEPULUH SATU bayangan hitam berlari laksana angin. Da-
lam beberapa saat bayangan itu telah nampak berkele-
bat mendaki bukit. Padahal sejenak tadi bayangannya
masih jauh di sekitar kaki bukit. Dan tidak sampai berapa lama, bayangan ini
tahu-tahu sudah tegak di
puncak Bukit Selamangleng.
Bayangan ini ternyata seorang pemuda berparas
tampan dan keras. Rahangnya kokoh dengan sepasang
mata tajam. Rambutnya hitam lebat. Dia mengenakan
pakaian berwarna hitam-hitam.
Begitu injakkan sepasang kakinya di tanah puncak
bukit, kepala pemuda ini laksana disentak setan ber-
putar dengan mata menyelidik. Saat itu di penghujung
malam dan samar-samar lintasan langit telah disem-
burati warna kekuningan bias sinar matahari yang se-
bentar lagi akan unjuk diri.
"Jahanam itu ke mana" Padahal belum lama aku
tinggalkan puncak bukit ini! Jahanam itu telah ingkari ucapannya tidak lakukan
perintahku! Dia mencari
mampus berani berdusta pada Malaikat Penggali Ku-
bur!" Pemuda berpakaian hitam yang ternyata tidak lain
adalah Malaikat Penggali Kubur rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Kelopak matanya perlahan
memejam. Telinganya bergerak-gerak. Sikapnya jelas
kalau pemuda ini tengah pusatkan pikiran.
Tiba-tiba mulut Malaikat Penggali Kubur membu-
ka. Bersamaan itu terdengar suara bentakannya.
"Cepat keluar dari tempatmu! Atau kau ingin
mampus tanpa dikenali!" Malaikat Penggali Kubur lepaskan rangkapan kedua
tangannya. Seraya putar tu-
buh kedua tangannya bergerak.
"Tahan!" satu suara tiba-tiba terdengar.
Malaikat Penggali Kubur buka matanya. Rahang-
nya mengembung besar dan terangkat
Dari balik salah satu pohon, muncul satu sosok
tubuh dan perlahan-lahan melangkah ke arah Malai-
kat Penggali Kubur. Dia adalah seorang laki-laki berkepala gundul dengan
sepasang mata besar menjorok
keluar. Hampir seluruh raut wajahnya tidak tertutup
daging. Laki-laki berkepala gundul yang bukan lain adalah
Iblis Rangkap Jiwa hentikan langkah tujuh tindak di-hadapan Malaikat Penggali
Kubur. "Hem.... Pakaian yang dikenakan berganti. Mencuri di mana bangsat ini" Atau dia
mengambil pakaian
orang yang jadi korbannya?" Malaikat Penggali Kubur membatin seraya
memperhatikan sosok Iblis Rangkap
Jiwa. Iblis Rangkap Jiwa saat itu mengenakan pakaian
berwarna putih bersih.
"Apakah kau telah mendapat korban"!" Malaikat Penggali Kubur ajukan tanya.
Iblis Rangkap Jiwa sejurus memandang pada Ma-
laikat Penggali Kubur. Kepalanya bergerak menggeleng.
"Selama sepeninggalmu belum ada manusia yang kesi-ni! Aku mendapat pakaian ini
di dusun terdekat...,"
ujar Iblis Rangkap Jiwa seolah tahu apa yang terpikir dalam benak Malaikat
Penggali Kubur.
"Tidak kusangka kalau secepat ini dia kembali!
Hem.... Ada apa ini"!" Diam-diam Iblis Rangkap Jiwa merasakan satu keanehan. Dia
menyangka masih la-ma waktunya Malaikat Penggali Kubur kembali ke
puncak Bukit Selamangleng. Apalagi dia telah mem-
bekal kitab sakti. "
Sebenarnya Malaikat Penggali Kubur sendiri semu-
la memutuskan untuk tidak kembali dulu ke puncak
Bukit Selamangleng. Namun begitu menuruti pesan
yang tertulis di dinding Liang lahat dan bertemu serta mendengar keterangan Cucu
Dewa dia berubah pikiran. Dia kini harus mencari orang yang bergelar Dewa
Orok. Sebagai orang yang belum lama terjun dalam
kancah rimba persilatan, dia baru kali ini mendengar nama Dewa Orok. Padahal
seperti keterangan Cucu
Dewa, keturunan Ken Rakasiwi yang diketahuinya ma-
sih hidup adalah Dewa Orok. Dan menuruti pesan dari
Datuk Kematian yang sempat dibacanya di liang lahat,
dia harus memusnahkan semua anak keturunan Ken
Rakasiwi, Mau tak mau dia harus mencari Dewa Orok,
Setelah berpikir panjang dia teringat pada Iblis
Rangkap Jiwa. Dia ingat kalau Iblis Rangkap Jiwa per-
nah mengatakan kalau usianya tiga kali lipat delapan
puluh tahun. Lebih dari itu, Iblis Rangkap Jiwa mengetahui banyak tentang
dirinya juga dunia persilatan padahal menurut ucapannya, Iblis Rangkap Jiwa
sudah ratusan tahun menunggu. Menelusuri perangai Iblis
Rangkap Jiwa begitu, Malaikat Penggali Kubur mendu-
ga mungkin manusia berkepala gundul itu tahu ten-
tang Dewa Orok. Berpikir begitu, Malaikat Penggali
Kubur lalu kembali ke puncak Bukit Selamangleng.
Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya
mengitari puncak bukit. Mendadak dahinya berkerut.
Namun sebelum dia buka mulut ajukan tanya, Iblis
Rangkap Jiwa telah mendahului buka suara.
"Lawan yang hendak kuhadapi sekarang mungkin
ilmunya sudah meningkat. Aku tidak boleh berdiam di-
ri. Aku harus berlatih. Jadi porak-porandanya tempat
ini karena pukulanku waktu berlatih...."
Malaikat Penggali Kubur mengangguk. "Sejauh kau
tidak bertindak mencelakai diriku, peduli setan apa
yang kau lakukan!" katanya dalam hati. Lalu berka-
ta."Aku gembira melihat kau masih berusaha berlatih diri. Aku memang butuh
manusia sepertimu sebagai
pembantu! Dan kedatanganku saat ini tidak lain ada-
lah memberi perintah padamu...!"
"Aku telah berjanji untuk lakukan apa yang kau perintahkan...," ujar Iblis
Rangkap Jiwa meski dalam hati dia memaki habis-habisan. "Manusia Jahanam ini
telah berlaku melampaui batas! Sekarang dia boleh
memerintahku! Tapi hanya sementara! Tak lama lagi,
dia akan kujadikan tumbalku! Tunggulah...!"
"Aku tanya padamu. Dengar baik-baik! Karena aku
hanya akan bicara sekali. Pernah kau dengar seseo-
rang bernama Dewa Orok"!"
Tulang kening Iblis Rangkap Jiwa bergerak-gerak.
Kepalanya yang gundul tengadah seakan berpikir. Ma-
laikat Penggali Kubur perhatikan sikap Iblis Rangkap
Jiwa dengan saksama. "Apa yang ada dalam benak
manusia bangsat ini..."!"
Iblis Rangkap Jiwa diam-diam membatin. "Ada apa
manusia jahanam itu mencari Dewa Orok" Kudengar
selama ini makhluk bergelar Dewa Orok tidak, ada
keistimewaannya! Kalaupun ada itu hanyalah tingkah-
nya yang mirip bayi!"
"Telingamu sudah dengar pertanyaan. Kenapa ti-
dak lekas jawab"!" Malaikat Penggali Kubur membentak karena Iblis Rangkap Jiwa
tidak cepat buka suara.
"Aku memang pernah dengar nama orang yang kau
sebut! Ada apa dengan dirinya?"
"Jahanam! Kau tidak layak ajukan tanya padaku!
Dengar saja ucapanku dan lakukan perintahku!
Kau dengar"!"
Iblis Rangkap Jiwa menjawab dengan anggukan
kepala. Di hadapannya Malaikat Penggali Kubur me-
nyeringai lalu tertawa bergelak sebelum akhirnya ber-
kata. "Kau tahu di mana Dewa Orok bertempat tinggal"!"
"Sebagai orang persilatan, sulit menentukan di
mana dia! Lag! pula aku tidak pernah tanya-tanya di
mana tempat tinggalnya...."
"Kau pernah bertemu dengannya"!" Malaikat Penggali Kubur kembali ajukan tanya.
"Pernah. Tapi aku sudah lupa kapan dan di mana!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang. "Bagus!
Berarti kau tidak akan salah cabut nyawa orang! Seka-
rang pergilah ke pantai timur. Temui seorang bertubuh pendek berambut kelabang
di kepang dua...."
"Cucu Dewa!" seru Iblis Rangkap Jiwa memotong ucapan Malaikat Penggali Kubur.
"Ah.... Rupanya kau juga telah mengenal manusia
cebol itu! Pengetahuanmu benar-benar luas. Untuk ini
kelak kau akan mendapat hadiah dariku...," ujar Malaikat Penggali Kubur.
Mendengar kata-kata Malaikat Penggali Kubur, wa-
jah Iblis Rangkap Jiwa bukannya membayangkan rasa
gembira. Justru raut wajah laki-laki ini sulit dibayangkan.
"Kuteruskan ucapanku. Temui Cucu Dewa! Tanya
padanya di mana tempat tinggalnya Dewa Orok. Tugas
selanjutnya cabut satu-satunya nyawa milik Dewa
Orok! Setelah itu kembali temui Cucu Dewa. Terserah
mau kau apakan orang itu. Yang jelas, aku tak ingin
lagi melihat tampangnya!"
Urusan dengan Cucu Dewa, tanpa mendapat tugas
dari Malaikat Penggali Kubur sebenarnya sudah diper-
hitungkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Namun tidak de-
mikian halnya dengan Dewa Orok. Iblis Rangkap Jiwa
sebenarnya ingin tahu apa sebabnya Malaikat Penggali
Kubur menginginkan nyawa orang itu. Namun keingin-


Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahuannya ditahan demi mengingat ucapan Malaikat
Penggali Kubur tadi.
"Kau telah dengar perintahku. Sekarang lakukan!"
"Tapi...," ucapan Iblis Rangkap Jiwa laksana tercekat dl tenggorokan.
"Ada yang hendak kau ucapkan"! Katakan cepat!"
sentak Malaikat Penggali Kubur.
"Aku rasanya sulit menghadapi Cucu Dewa untuk
saat sekarang ini...."
Mendengar pernyataan Iblis Rangkap Jiwa, mele-
daklah suara tawa Malaikat Penggali Kubur.
"Aku tak mau tahu apa kesulitanmu! Kau manusia
iblis! Tentu punya cara-cara seperti iblis! Yang jelas, kau harus temui orang
itu karena kuduga dia satu-satunya orang yang tahu di mana Dewa Orok berada!
Ingat, nyawamu ada dalam genggamanku. Aku hanya
ingin nyawa Dewa Orok! Kalau kau gaga!, gantinya
adalah nyawamu sendiri!"
"Kalau saja aku tidak menginginkan kitab di tan-
gannya, tidak akan kulakukan pekerjaan tolol ini. Cu-
cu Dewa telah tahu kelemahanku. Hem.... Apa boleh
buat...." Iblis Rangkap Jiwa berkata pada diri sendiri.
"Hanya itu yang harus kulakukan"!" akhirnya Iblis Rangkap Jiwa ajukan tanya.
"Hem.... Rupanya kau minta tugas tambahan" Tapi
untuk sementara kau lakukan apa yang kukatakan ta-
di. Setelah itu tunggu aku di puncak bukit ini!"
"Hem.... Inilah yang kutunggu! Sambil berjalan aku menyusun rencana!" ujar Iblis
Rangkap Jiwa dalam hati. "Pertemuan nanti kuharap pertemuan terakhir dengannya!
Aku harus berhasil merebut kitab itu!"
Raut wajah Iblis Rangkap Jiwa sejenak cerah. Tapi
cuma sekejap. Di lain kejap dia termenung. "Lalu sampai kapan aku menunggu di
sini?" Iblis Rangkap Jiwa lalu tanyakan hal itu pada Ma-
laikat Penggali Kubur. Malaikat Penggali Kubur tertawa panjang mendengar
pertanyaan Iblis Rangkap Jiwa.
"Kau tak perlu tahu kapan aku kembali ke sini.
Kau harus tetap menunggu aku. Kalaupun aku tidak
muncul di sini hingga tubuhmu lapuk, itu berarti na-
sib buruk bagimu! Ha.... Ha.... Ha...."
Suara tawa Malaikat Penggali Kubur menggema ke
seantero Bukit Selamangleng. Tapi mendadak Malaikat
Penggali Kubur putuskan tawanya. Saat lain terdengar
bentakannya. "Apa lagi yang kau tunggu, hah"!"
Iblis Rangkap Jiwa memandang sejurus. Tanpa
berkata-kata lagi dia lalu berkelebat menuruni bukit
diiringi tawa ngakak Malaikat Penggali Kubur.
* * * SEBELAS RUANGAN tidak terlalu besar itu tampak redup.
Selain saat itu sudah menjelang senja, ruangan itu tidak memiliki jendela.
Dinding sekeliling berupa batu
padas hitam. Demikian pula atap langit-langitnya.
Di dalam ruangan redup itu, terlihat dua orang du-
duk berhadap-hadapan. Tapi ada keanehan pada ke-
dua orang ini. Yang sebelah kanan tampak melempar-
lemparkan dua batu kecil dengan tangan kanannya di
depan dada silih berganti. Orang sebelah kiri tampak kembungkan mulut lalu
meniup. Terdengar suara
duutt! Duuutt! beberapa kali. Bersamaan itu sebuah
benda bulat mencuat dari mulutnya dan berputar-
putar mengapung di udara. Tatkala orang Ini membuat
gerakan menyedot, bundaran itu balik lagi melesat
masuk ke dalam mulutnya!
Orang sebelah kanan yang mainkan batu dilempar-
lemparkan silih berganti adalah seorang laki-laki berwajah bulat bermata sipit.
Hidungnya besar. Rambut-
nya hitam lebat dikelabang dua. Laki-laki ini bukan lain adalah orang yang
dikenal dengan Cucu Dewa.
Sementara di hadapan Cucu Dewa, adalah seorang
laki-laki muda berwajah tampan. Tapi dia tidak memi-
liki kedua tangan. Pemuda ini terus mainkan bunda-
ran keluar masuk dalam mulutnya. Bundaran itu ada-
lah sebuah karet mirip dot bayi. Pemuda bertangan
buntung ini tidak lain adalah pemuda yang dikenal
dengan gelar Dewa Orok. (Untuk lebih jelasnya men-
genal pemuda ini silakan baca serial Joko Sableng da-
lam episode: "Tabir Asmara Hitam").
Untuk beberapa saat kedua orang ini sama tengge-
lam dalam mainannya sendiri-sendiri. Namun tak lama
kemudian orang yang di sebelah kanan hentikan lem-
paran-lemparan batunya. Mulutnya yang sedari tadi
terkancing membuka. "Orok.... Aku merasa gembira kau kembali dengan membawa
mahkota bersusun tiga
itu! Tapi sayangnya semua itu diiringi dengan kejadian yang membuat hatiku tidak
enak...." Dewa Orok kembungkan mulut lalu meniup. Bun-
daran karet di mulutnya mencuat keluar lalu menga-
pung di udara. Bersamaan dengan itu terdengar sua-
ranya. "Guru.... Mau katakan apa sebenarnya yang terjadi hingga membuat hatimu merasa
tidak enak...?"
"Beberapa hari yang lalu datang ke sini seorang gadis yang sebutkan diri dengan
Putri Sableng. Dia ber-
wajah cantik jelita dan aku yakin dia bukan orang
sembarangan. Lalu bersamaan dengan gadis itu mun-
cul pula seorang pemuda berwajah tampan yang se-
butkan nama Joko Sableng...."
"Ah.... Kalau yang perempuan aku tidak mengena-
linya. Yang pemuda kalau mendengar namanya pasti-
lah pendekar muda yang bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131!" Dewa Orok memotong ucapan Cucu De-
wa. "Hem.... Aku juga sudah menduga ke arah sana!
Herannya kedua orang anak itu sepertinya mengetahui
jelas tentang sebuah kitab yang pernah kuceritakan
padamu!" "Maksud Guru, Kitab Hitam itu"!"
Cucu Dewa anggukkan kepala. Lalu orang bertu-
buh pendek ini ceritakan peristiwa yang terjadi.
"Jadi kedua orang itu sekarang telah menemukan
kitab itu"!" kata Dewa Orok dengan mata mendelik terkejut.
Cucu Dewa gelengkan kepala. "Aku belum bisa
memastikan. Karena manusia bergelar Iblis Rangkap
Jiwa itu bukan tidak mungkin telah mengambilnya ter-
lebih dahulu! Hanya kalau betul, kenapa kedua orang
itu masih mampu melawannya" Padahal Kitab Hitam
memiliki keanehan luar biasa.... Kalaupun Iblis Rang-
kap Jiwa hilang kesaktiannya, mungkin dengan Kitab
Hitam itu masih bias menundukkan kedua orang mu-
da itu. Tapi kenyataannya tidak demikian.... Itulah
yang membuatku masih ragu!"
Sejenak Cucu Dewa hentikan ucapannya, lalu me-
lanjutkan. "Kau harus tahu, aku menyuruhmu menca-ri mahkota itu selain karena
mahkota itu milik nenek
moyangmu. Juga di dalamnya ada sebuah rahasia....
Tapi dengan munculnya peristiwa di Bukit Selaman-
gleng, rahasia itu tidak ada gunanya lagi. Tapi kau tak
perlu kecewa. Bagaimanapun juga kau telah dapatkan
kembali barang warisan nenek moyangmu...."
"Jadi mahkota itu menyimpan rahasia tentang Ki-
tab Hitam itu?"
Cucu Dewa anggukkan kepalanya lagi. Lalu angkat
bicara. "Tapi sesungguhnya yang membuatku tak enak
adalah datangnya seorang laki-laki yang kutahu dia
menyamar sebagai orang tua. Dia menanyakan tentang
asal-usul Ken Rakasiwi dan anak turunannya, Aku
mengatakan terus terang padanya karena dia menga-
takan masih keturunan Raja-raja Singasari dan ber-
niat menyambung darah yang terputus. Tapi nada
ucapan selanjutnya membuatku curiga. Dia punya
maksud lain... "
Baru saja Dewa Orok hendak buka Mulut, tangan
Cucu Dewa terangkat membuat Dewa Orok urungkan
"Rupanya kita akan kedatangan tamu lagi...," ujar Cucu Dewa setengah berbisik.."
Dewa Orok kempiskan mulut menyedot. Bundaran
Karet yang terapung di udara melesat masuk ke dalam
mulutnya. Bersamaan dengan itu mendadak terdengar
suara keras membahana.
"Cucu Dewa! Kematian telah menunggumu di luar!
Cepat keluarlah!"
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Rendra
Pedang Berkarat Pena Beraksara 10 Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 10
^