Pencarian

Titisan Pamungkas 2

Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas Bagian 2


"Bayi yang kelak akan lahir bukan bayi biasa! Dan
aku yakin salah satu di antara dua gadis itu yang akan mengandungnya!" Yang
berucap kali ini adalah Dewi
Ayu Lambada. Paras wajah murid Pendeta Sinting mendadak be-
rubah tegang. Kepalanya berulang kali menggeleng.
"Terserah padamu mau percaya atau tidak! yang je-
las bayi itu akan lahir dari salah satu gadis itu!" ujar Dewi Ayu Lambada.
"Anak muda.... Aku sekarang tanya dan harap kau
jawab dengan jujur. Apa kau dan keduanya pernah
berbuat yang tidak-tidak"!"
"Aku pernah berada berdua-dua dengan Pitaloka di
tempat sepi. Malah kalau tak salah aku pernah bermesraan dengannya. Setelah itu
aku tak ingat apa-apa la-gi dan begitu siuman ternyata Pitaloka sudah tidak ada
dan pedangku dibawanya! Apakah saat tidak sadar itu aku melakukan sesuatu di
luar batas...." Pendekar 131
membatin mengingat pertemuannya dengan Pitaloka.
(Tentang pertemuan Joko dengan Pitaloka ini silakan baca serial Joko Sableng
dalam episode : "Liang Maut di Bukit Kalingga").
Mengingat akan hal itu, dada murid Pendeta Sinting
berdebar keras. Parasnya makin tegang. Peluh mulai
membasahi wajah dan lehernya.
"Gayamu memberi bayangan kau memang pernah
melakukannya!" kata Dewi Ayu Lambada.
"Tidak, Nek! Aku yakin tidak pernah melukainya!"
"Hem.... Kalau kau mengatakan yakin, berarti hati-
mu masih bimbang!" Yang menyahut Iblis Ompong.
"Aku memang bermesraan dengan salah satu dari
mereka!" Lalu Joko menceritakan peristiwa perte-
muannya dengan Pitaloka sampai hilangnya Pedang
Tumpul 131. "Tapi aku tetap merasa tidak melakukan sesuatu di
luar batas walau aku tidak sadar!" kata murid Pendeta Sinting sambungi
keterangan ceritanya.
"Ah.... Itu urusanmu! Yang jelas sekarang kau telah tahu dari perempuan mana
bayi itu akan lahir!" ucap Dewi Ayu Lambada.
"Kakek ompong! Kurasa tidak ada gunanya lagi kita
berada di sini!" Dewi Ayu Lambada sambungi ucapan-
nya lalu putar diri.
"Anak muda! Sekarang kau tahu apa yang harus
segera kau lakukan! Aku tak bisa membantu banyak.
Hanya kalau nanti sang bayi itu tidak ada yang men-
gakui, aku dengan senang hati rela mengambil ibunya sebagai selir! Dua-duanya
cantik bukan"!"
"Ah.... Kau salah, Kek! Keduanya tidak seperti yang kau katakan! Aku ucapkan
terima kasih kalau kau
punya niat untuk mengambil salah satunya kelak
menjadi selir!"
"Itu tak masalah bagiku, Anak Muda! Yang penting
dia gadis muda dan mau kuambil sebagai selir!"
Pendekar 131 akan berucap lagi, namun tangan
kanan Dewi Ayu Lambada sudah menarik lengan Iblis
Ompong hingga si kakek terputar. Lalu si nenek me-
nyeretnya seraya berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Apa mungkin" Apa mungkin"!" Murid Pendeta
Sinting berkali-kali menggumam seraya perlahan-
lahan melangkah dengan dada masih dibuncah kehe-
ranan. *** LIMA SATU purnama berlalu....
Satu sosok bayangan tampak melangkah perlahan
di antara kerapatan jajaran pohon di sebuah hutan lebat. Dari gerakannya
terlihat kalau bayangan ini sudah mengenal benar situasi kawasan yang dilewati.
Pada satu tempat mendadak si bayangan ini henti-
kan langkah. Sosoknya berputar ke arah dari mana dia tadi melangkah. "Hem....
Berpuluh-puluh tahun
menghuni kawasan ini, baru hari ini telingaku men-
dengar suara isakan tangis.... Ini isakan tangis sungguhan atau hanya
pendengaranku saja yang seolah-
olah mendengar?" terdengar gumaman pelan.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut menge-
nakan pakaian warna putih lusuh. Rambutnya yang
putih disanggul tinggi ke atas. Sepasang matanya sayu dengan paras telah dihiasi
keriput. Untuk beberapa saat si laki-laki tegak dengan ta-
jamkan pendengaran. Saat lain dia mendongak. So-
soknya tampak bergetar. Sepasang matanya yang sayu
dipejamkan. "Telingaku tidak menipu! Adalah aneh kalau di hu-
tan lebat jarang dilewati manusia ada seseorang perdengarkan isakan tangis!
Hem.... Dari isakannya jelas dia adalah seorang perempuan! Ah.... Tanda kalau
ajalku sudah dekat akhirnya datang juga. Tapi menga-pa aku harus takut"! Tanpa
atau dengan tanda itu, aj-al ini bagaimanapun juga pasti akan datang!"
Si laki-laki gerakkan kepalanya lurus ke depan. Se-
pasang matanya dibuka. Saat lain dia berkelebat.
Sementara berjarak kira-kira tiga puluh tombak da-
ri tempat di mana laki-laki berpakaian putih lusuh tadi tegak, satu sosok tubuh
tampak tegak di lamping sebuah tanah ketinggian. Memandang ke bawah terlihat
jurang yang sangat dalam.
Sosok di lamping jurang tegak dengan kedua bahu
berguncang dan kedua tangan menakup di depan wa-
jah. Makin lama guncangan bahu sosok ini makin ke-
ras. Bersamaan dengan itu, suara isakannya yang se-
jak tadi terdengar makin bertambah keras pula.
Tiba-tiba laksana dirobek setan, isakan orang ini
terputus. Guncangan bahunya terhenti. Kedua tan-
gannya yang menakup di depan wajah diturunkan. Ki-
ni sepasang matanya mementang memandang ke ba-
wah. Kejap lain sekonyong-konyong kedua kaki orang
ini bergerak menjejak tanah. Sosoknya melesat amblas ke dalam jurang!
Bersamaan dengan melesatnya orang masuk ke da-
lam jurang, satu bayangan putih berkelebat dan langsung melesat menyusul masuk
ke dalam jurang.
Orang yang melesat terlebih dahulu dan tampak
melayang, sesaat tersentak kaget tatkala merasakan
tubuhnya disambar satu bayangan. Dia cepat berontak dengan kelebatkan kedua
tangannya. Namun bayangan yang menyambar lebih dahulu bergerak. Tangan
kanannya langsung sarangkan totokan pada kedua
lengan orang. Saat lain seraya terus melayang dia putar arah ke lamping jurang.
Kaki kiri kanannya menjejak. Lamping jurang jebol berantakan. Namun bersa-
maan dengan itu si bayangan putih melesat ke atas
dengan kedua tangan membopong sosok orang.
Begitu injakkan kakinya tiba di atas jurang, bayan-
gan putih yang ternyata adalah laki-laki berpakaian putih lusuh perlahan-lahan
meletakkan orang di bo-pongannya ke atas tanah. Tangan kanannya bergerak
bebaskan totokan pada lengan orang.
Orang di atas tanah membuka kelopak matanya.
Sesaat dia memandang ke langit. Lalu melirik ke samping kanan. Mendadak orang
ini bergerak bangkit tatka-la matanya melihat seorang laki-laki tegak tersenyum
padanya. "Kau kira aku akan mengucapkan terima kasih atas
tindakanmu tadi"!" bentak orang yang baru bangkit.
Dia ternyata adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita mengenakan pakaian
warna merah. Rambut-
nya panjang dikuncir tinggi. Sepasang bola matanya
yang bulat tampak sembab dan masih digenangi air
mata. Si laki-laki tua yang dibentak sunggingkan senyum
lalu berkata pelan.
"Aku tidak mengharapkan ucapan apa-apa....
Hanya sayang jika nyawa pemberian Yang Maha Kuasa
harus disia-siakan.... Aku tahu, saat ini kau pasti tengah menghadapi urusan
yang sangat berat. Namun
bunuh diri bukanlah satu-satunya jalan penyelesaian!"
Si gadis pentang matanya memperhatikan orang di
hadapannya. Sementara si laki-laki juga tengah men-
gawasi gadis di depannya.
"Orang tua!" kata si gadis dengan suara keras dan
bergetar. "Apa yang kulakukan adalah urusanku! Jan-
gan berani ikut campur apalagi menghalangi!"
"Aku tahu.... Ini adalah urusanmu, Gadis Cantik.
Aku juga tidak ingin ikut campur apalagi menghalangi.
Kalaupun tadi aku bertindak, aku hanya ingin bica-
ra.... Siapa tahu kau bisa urungkan niat."
"Buang keinginanmu itu, Orang Tua! Apa pun juga
tak akan bisa urungkan niatku! Dan perlu kau tahu.
Justru tindakanmu ini akan menambah panjang pen-
deritaanku!"
Si orang tua gelengkan kepala. "Lalu apakah dengan
jalan yang akan kau tempuh penderitaan itu akan be-
rakhir"!"
Si orang tidak menjawab. Si orang tua sekali lagi
memperhatikan. Lalu berkata seraya tengadahkan se-
dikit kepalanya. "Jika kau berpikir begitu, menurutku salah besar. Tindakanmu
bukannya mengakhiri penderitaan, justru kau menciptakan penderitaan lain!
Bahkan kau menciptakan penderitaan pada orang
lain!" Sesaat si orang tua hentikan ucapannya. Setelah
menghela napas panjang dia kembali sambung uca-
pannya. "Kau tentu punya orangtua atau saudara.
Seandainya mereka tahu apa yang kau lakukan, pasti
mereka akan menderita...."
Tiba-tiba si gadis takupkan kedua tangannya pada
wajahnya. Saat lain terdengar kembali isakannya. Si orang tua memandang sambil
geleng-geleng kepala.
"Orang tua.... Kau tak tahu. Justru seandainya aku
terus hidup, aku akan membuat penderitaan orang
lain! Lebih dari itu pasti mereka akan mengucilkan diriku!"
"Itu hanya perasaanmu saja... Kau takut mengha-
dapi sesuatu yang belum terjadi! Padahal kenyataan
kadangkala jauh dari dugaan! Kau tahu.... Aku pernah mengalami hal yang sama
denganmu. Aku pernah takut menghadapi masa depan. Dan apa akhirnya yang
ku peroleh"! Hidup bertahun-tahun di hutan sunyi ini tanpa teman! Dan begitu aku
sadar, semuanya sudah
terlambat!"
"Orang tua.... Masalah yang tengah kuhadapi
mungkin berbeda dengan masalahmu! Aku bukan
hanya menduga kelak apa yang akan terjadi. Tapi aku sudah bisa pastikan! Jadi
jangan halangi aku! Aku tak ingin membuat derita pada orang yang seharusnya
tidak menderita!"
Habis berkata begitu, si gadis melangkah terhuyung
ke arah lamping jurang.
"Tunggu!" teriak si orang tua seraya berkelebat dan tegak menghadang. "Gadis
cantik.... Kau benar-benar telah memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan jalan
begini"! Kau telah berpikir bahwa inilah satu-
satunya jalan mengakhiri derita"!"
"Aku telah berpikir seribu kali! Dan tidak satu pun keputusan terbaik selain
ini!" "Baiklah.... Kalau kau sudah memikirkan semuanya
aku tidak akan menghalangi. Tapi sebelum kau laku-
kan ini, mau kau katakan apa sebenarnya masalah-
mu"!"
Si gadis gelengkan kepala. "Biar aku sendiri yang
menyimpan urusan ini! Karena kukatakan pun tak ada
gunanya!" "Bagimu mungkin tidak ada gunanya. Tapi bagiku
mungkin lain...."
Untuk pertama kalinya si orang tua melihat sung-
gingan senyum pada bibir si gadis. Meski dia tahu senyum itu dipaksakan.
"Sebenarnya kau gadis yang menawan...," entah sa-
dar atau tidak si orang tua menggumam. "Sayang ka-
lau gadis sepertimu harus mengakhiri hidup dengan
jalan melawan kebiasaan! Sekarang katakanlah apa
sebenarnya yang membuatmu memilih jalan ini...."
Senyum si gadis mendadak pupus. Saat bersamaan
dia kembali terisak. Kedua tangan bergerak mengusap perutnya berulang kali.
Si orang tua kernyitkan kening. "Kau.... Kau men-
gandung"!"
Si gadis bukannya menjawab, melainkan makin ke-
raskan isakan tangisnya. Hal ini sudah membuat si
orang tua maklum. Entah karena ikut terharu dengan
apa yang menimpa gadis di hadapannya, si orang tua
melangkah mendekat. Kedua tangannya menjulur ke
depan membelai rambut si gadis. "Kalau hanya itu ma-salahnya, terjun masuk ke
jurang bukan jawaban yang baik, Anakku.... Masih banyak cara untuk menyelesai-
kannya. Laki-laki itu mengkhianatimu, bukan?"
Si gadis angkat kepalanya lalu menggeleng. Namun
mulutnya tidak membuka ucapan kata-kata.
"Dia lari atau terbunuh"!" tanya si orang tua.
Kembali si gadis berbaju merah gelengkan kepala.
Tapi sejauh ini masih juga belum buka suara.
"Lalu..."!" tanya si orang tua pada akhirnya.
"Dia masih hidup! Tapi aku tak tahu siapa dia se-
benarnya!"
Si orang tua tertawa pelan. "Kau ini aneh.... Kau ta-hu dia masih hidup, tapi
kau tak tahu siapa dia sebenarnya! Bagaimana hal ini bisa terjadi?"
"Dia memperkosaku...."
Si orang tua tersentak. Lalu berucap dengan suara
bergetar. "Tapi setidaknya kau masih bisa mengenali rupanya! Dan kau bisa minta
tanggung jawab atas
perbuatannya!"
"Tidak semudah itu, Orang Tua!"
"Ah.... Kau membuatku bingung...."
"Jahanam itu memiliki sebuah jubah yang membuat
sosoknya tidak bisa dilihat! Seandainya aku mampu,
saat itu juga jahanam itu pasti kubunuh! Tapi keparat itu bukan tandinganku!
Selain itu di tangannya juga menggenggam sebuah kembang yang dikenal orang
dengan Kembang Darah Setan!"
Si orang tua melengak kaget. "Senjata mustika dari
Kampung Setan.... Bagaimana hal ini bisa terjadi" Siapa gerangan yang berhasil
membongkar makam batu
itu" Dadaka..." Atau Galaga"! Atau mungkin Maladewa mampu keluar dari makam batu
itu"!"
"Orang tua.... Apa maksud ucapanmu"!" tanya si
gadis penuh keheranan.
Si orang tua menatap tajam pada gadis di hadapan-
nya. "Anak cantik.... Ku mohon kau urungkan niat-
mu.... Percayalah, semuanya akan kita tangani bersa-ma! Lebih dari itu aku


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memerlukan beberapa keteran-
gan darimu...."
Si gadis gelengkan kepala. "Aku tak ingin meli-
batkanmu dalam urusanku, Orang Tua! Lagi pula ja-
hanam bangsat itu terlalu tangguh untuk dihadapi!"
"Tidak, Anakku.... Bagaimanapun juga aku harus
ikut terlibat! Karena semua ini masih ada kaitannya dengan urusanku!"
"Apa urusanmu"!"
"Kita cari tempat yang enak untuk bicara...." Seraya berkata, tanpa menunggu
jawaban orang, si orang tua telah menggandeng tangan si gadis lalu mengajaknya
melangkah tinggalkan lamping jurang.
Si gadis sesaat tampak enggan. Tapi entah karena
apa, akhirnya dia turuti juga langkah si orang tua.
Pada satu tempat, si orang tua hentikan langkah-
nya. Memandang sesaat pada gadis berbaju merah lalu berkata.
"Mau katakan siapa namamu...?"
"Pitaloka! Kau sendiri siapa"!" jawab si gadis sem-
bari balik bertanya.
"Aku Kigali...," kata si orang tua lalu sedikit tengadah dan lanjutkan ucapan.
"Apakah benar orang yang
kau sebut-sebut tadi telah mengenakan jubah yang
membuat sosoknya tidak kelihatan dan membekal
Kembang Darah Setan?"
"Kalau tidak, tentu aku bisa melihat tampang kepa-
rat itu sekaligus membunuhnya! Kalau kau mengata-
kan urusanmu masih ada kaitannya, apakah kau tahu
siapa manusia jahanam itu"!"
"Memang sulit untuk menentukan! Namun setidak-
nya aku bisa menduga!"
"Katakanlah.... Siapa"!"
"Anakku.... Pada beberapa puluh tahun silam, rim-
ba persilatan pernah dibuat gempar dengan muncul-
nya orang-orang dari Kampung Setan. Tapi berkat ber-satunya kaum persilatan,
akhirnya orang-orang yang
menamakan diri dari Kampung Setan dapat ditumpas.
Namun ternyata masih ada dua orang dari Kampung
Setan yang berhasil selamat. Dia adalah Maladewa dan seorang nenek bernama Nyai
Suri Agung...."
Orang tua yang sebutkan diri sebagai Kigali sejenak hentikan keterangan.
Memandang sesaat pada gadis
berbaju merah yang ternyata bukan lain adalah Pitalo-ka, saudara kembar Putri
Kayangan. Lalu sambung ke-
terangan. "Maladewa adalah seorang laki-laki yang punya am-
bisi besar untuk menegakkan kembali kejayaan Kam-
pung Setan. Hingga menurut kabar, dia memaksa ne-
neknya Nyai Suri Agung untuk menyerahkan seluruh
warisan Kampung Setan. Terutama Kembang Darah
Setan yang memang sudah dikenal sebagai senjata
mustika yang sakti. Entah bagaimana ceritanya, yang
jelas ku tahu, Maladewa akhirnya benar-benar mengu-
asai Kembang Darah Setan."
Untuk kedua kalinya Kigali hentikan keterangan.
Sementara Pitaloka mendengarkan dengan seksama.
"Begitu Kembang Darah Setan berada di tangan Ma-
ladewa, orang ini segera pula melakukan apa yang
menjadi cita-citanya. Yang aku herankan, Maladewa
bukan saja inginkan nyawa beberapa orang yang per-
nah menumpas Kampung Setan, namun juga jiwa Nyai
Suri Agung serta saudara seperguruannya Galaga yang berasal dari golongan orang
di luar kerabat Kampung Setan." Kigali menarik napas. Lalu lanjutkan cerita.
"Aku bersama seorang sahabat bernama Dadaka
adalah dua orang kepercayaan Maladewa yang diberi
tugas untuk mencari sekaligus membunuh Nyai Suri
Agung dan Galaga. Maladewa tidak sadar, kalau sebe-
narnya aku dan Dadaka adalah orang-orang yang be-
rusaha menyusup di Kampung Setan. Tujuanku saat
itu semata-mata memang menginginkan Kembang Da-
rah Setan. Hingga sampai pada satu saat, aku dan Dadaka telah menentukan waktu
untuk merebut Kem-
bang Darah Setan. Tapi nyatanya pekerjaan itu tidaklah mudah. Aku dan Dadaka
tidak berhasil merebut
Kembang Darah Setan dari tangan Maladewa. Kami
hanya bisa memasukkan Maladewa beserta Kembang
Darah Setan pada sebuah makam batu!"
Kigali arahkan pandang matanya jauh ke depan
dengan tatapan kosong. Setelah menghela napas beru-
lang kali, orang tua ini melanjutkan.
"Setelah peristiwa masuknya Maladewa dan Kem-
bang Darah Setan ke dalam makam batu, aku merasa
menyesal. Ternyata semua usahaku bertahun-tahun
tidak menghasilkan apa-apa! Padahal untuk itu aku
telah lakukan apa saja yang diperintah Maladewa. Aku kecewa dan pada akhirnya
memutuskan untuk me-
nyendiri di hutan lebat ini! Kupikir tak ada gunanya hidup tanpa kesaktian.
Sementara kesaktian itu telah sirna bersama lenyapnya Kembang Darah Setan ke
dalam makam batu!"
"Kemudian aku baru sadar jika anggapanku salah.
Tapi datangnya kesadaran ini telah terlambat. Di usiaku yang telah renta begini,
tak mungkin aku bisa berbuat apa-apa lagi.... Namun masih ada sedikit
kebahagiaan hatiku. Karena bersamaan dengan masuknya
Maladewa dan Kembang Darah Setan ke dalam makam
batu, dunia persilatan kudengar aman.... Tidak ada la-gi pembunuhan besar-
besaran dan terbunuhnya bebe-
rapa tokoh secara misterius...."
Untuk kesekian kalinya Kigali hentikan keterangan.
Pandangannya lekat-lekat ke arah Pitaloka. "Anakku....
Ternyata kebahagiaan ada batasnya. Dan batas keba-
hagiaanku adalah begitu kau katakan saat ini telah
muncul seseorang yang menggenggam Kembang Darah
Setan!" "Orang tua! Kau menduga manusia jahanam itu
Maladewa"!" tanya Pitaloka setelah Kigali terdiam agak lama.
Kigali gelengkan kepala. "Aku tak bisa menentukan
siapa dia! Peristiwa masuknya Maladewa dan Kembang
Darah Setan ke dalam makam batu itu telah berlalu
selama kurang lebih tiga puluhan tahun. Aku tak bisa bayangkan, apakah mungkin
seseorang bisa bertahan
selama itu di dalam makam batu! Namun dunia selalu
saja diliputi keanehan dan keganjilan. Bukan tidak
mungkin jika Maladewa masih mampu hidup meski
terkubur puluhan tahun dalam makam batu! Dan ka-
laupun orang itu bukan Maladewa, pasti tidak jauh da-ri Galaga dan Dadaka serta
nenek Nyai Suri Agung
sendiri! Karena hanya mereka yang tahu persis rahasia Kampung Setan...."
"Tentang jubah hitam itu?" tanya Pitaloka.
"Sebenarnya aku tidak paham benar dengan cerita
jubah itu. Namun dari salah seorang yang pernah ku-
temui di hutan ini, aku pernah diberi tahu, jika Kampung Setan masih menyimpan
sebuah senjata sakti se-
lain Kembang Darah Setan. Senjata itu berupa sebuah jubah hitam yang disebut
Jubah Tanpa Jasad. Barang
siapa mengenakan jubah itu, maka sosoknya tidak
akan bisa dilihat mata biasa! Dari cerita orang ini jelas kalau orang yang
mengenakan jubah itu pasti sudah
tahu benar rahasia Kampung Setan. Dan itu tidak
akan jauh dari beberapa orang yang kukatakan tadi!"
"Orang tua.... Keteranganmu tidak membantu apa-
apa padaku! Karena aku masih harus meraba-raba
siapa sebenarnya jahanam pemakai jubah itu! Padahal aku telah bersumpah, lebih
baik mati daripada tidak bisa membalas sakit hati ini! Dan sakit ini tidak
mungkin terbalas selagi jahanam itu masih menggeng-
gam Kembang Darah Setan!"
"Anakku.... Kau tidak boleh punya perasaan den-
dam. Bagaimanapun juga orang itu adalah ayah dari
bayi yang saat ini tengah kau kandung! Bukankah se-
baiknya kau berusaha berbaikan dan mengatakan te-
rus terang apa yang telah terjadi"!"
Pitaloka geleng kepala. Rahangnya mengeras. Ma-
tanya yang masih tampak sembab mendelik. Apakah
masih pantas manusia jahanam itu disebut ayah"! Ti-
dak! Aku tak ingin melahirkan darah daging manusia
keparat itu!"
"Anakku.... Sadarlah. Ini kenyataan yang harus kau
jalani! Siapa pun pasti tidak ingin mengalami nasib seperti yang kau alami. Tapi
takdir telah menulis demikian. Bayi itu memang darah dagingnya, namun sebe-
narnya itu adalah pemberian Yang Maha Tinggi.... Bayi itu tidak bersalah. Kau
juga tidak...! Adalah satu kesa-
lahan besar kalau seseorang menyia-nyiakan pembe-
rian Yang Maha Agung! Meski pemberian itu terasa
pahit...."
Pitaloka terdiam mendengar ucapan Kigali. Kigali
menatap pada perut Pitaloka lalu berkata.
"Anakku.... Kalau kau tetap tidak menginginkan
bayi itu, kuharap kau rela menunggu sampai dia lahir.
Aku bersedia mengambilnya.... Setelah itu kau boleh pergi ke mana kau suka!"
Pitaloka kembali geleng kepala. "Tidak, Orang Tua!
Hal itu akan menambah penderitaanku! Dan bayi itu
harus mati! Aku tak ingin melihat tampang darah daging manusia jahanam keparat
itu!" "Kau jangan salahkan bayi tak berdosa itu, Anak-
ku!" Pitaloka memandang tajam pada Kigali. Kigali terse-
nyum lalu berkata. "Saat ini kau perlu istirahat. Dalam keadaan seperti sekarang
ini, pasti hanya perasaan
dendam yang menyelimuti hatimu. Dan keputusan
yang kau ambil pasti tidak jauh dari apa yang tadi
hendak kau lakukan! Tapi mungkin kau bisa mengam-
bil jalan lain jika pikiranmu sudah tenang.... Aku punya tempat berlindung tidak
jauh dari sini. Di sana mungkin kau bisa istirahat dan tenangkan diri...."
"Tapi...."
"Jangan berprasangka yang tidak-tidak padaku,
Anakku! Aku dahulu memang bukan orang baik-baik!
Tapi lingkungan alam telah membuatku berubah!"
Setelah berkata begitu, Kigali mengambil tangan Pi-
taloka. Kigali sunggingkan senyum. Lalu melangkah
seraya terus memegang tangan Pitaloka. Pitaloka se-
saat ragu. Namun tak lama kemudian dia mengikuti
langkah Kigali.
"Orang tua.... Apa yang kau lakukan di tempat sepi
ini"!" tanya Pitaloka seraya terus melangkah.
"Merenung.... Menghitung apa yang telah kulaku-
kan di masa lalu. Lalu mengambil pelajaran!"
"Jadi selama ini kau tidak pernah keluar"!"
"Kupikir, pergaulan di luar sana hanya akan mem-
buatku berubah lagi! Aku tidak mau mengulangi kesa-
lahan yang pernah kulakukan!"
"Jadi selama ini kau juga tidak tahu bagaimana ka-
bar temanmu bernama Dadaka serta orang yang kau
sebut Galaga dalam ceritamu tadi?"
"Begitulah.... Bahkan aku sudah tidak tahu bagai-
mana dan apa yang terjadi dalam kancah rimba persi-
latan. Dunia yang pernah kudambakan saat aku masih
muda!" "Lalu apakah kau pikir nenek bernama Nyai Suri
Agung itu masih hidup"!"
"Kalau menurut perhitungan manusia biasa, me-
mang hal itu tak mungkin. Namun umur manusia
hanya Yang Maha Tinggi yang tahu. Dan satu hal yang pasti, bukan Nyai Suri Agung
yang mengenakan Jubah
Tanpa Jasad serta membawa Kembang Darah Setan
itu! Terbukti dia bisa lakukan tindakan tidak senonoh padamu!"
"Jadi kemungkinannya tinggal tiga orang!" kata Pi-
taloka. "Maladewa, Galaga, dan sahabatmu Dadaka!"
"Menurut perhitungan memang seharusnya begitu.
Tapi siapa tahu bersama berlalunya waktu ada sesua-
tu di luar perhitungan!"
"Maksudmu..."!"
"Siapa tahu di antara orang-orang yang tahu raha-
sia Kampung Setan membocorkan pada orang lain! Ta-
pi hal itu tidak perlu terlalu kau pikirkan, Anakku....
Percayalah! Bersama berlalunya masa, siapa pun
adanya orang itu, pasti satu saat akan diketahui! Dan bagaimanapun dahsyat
barang mustika yang ada di
tangan orang, satu saat tentu akan ada barang musti-
ka lain yang melebihinya!"
"Kurasa kali ini sulit, Orang Tua.... Beberapa waktu yang lalu, jahanam itu
berhadapan dengan beberapa
tokoh yang saat ini namanya tersohor dalam dunia
persilatan. Namun dikeroyok beberapa orang, si keparat itu mampu menghadangnya!"
"Hem.... Aku tertarik dengan keteranganmu. Siapa
saja tokoh-tokoh itu"!"
"Datuk Wahing, Dayang Sepuh, dan seorang gemuk
besar yang dipanggil dengan sebutan Gendeng Panun-
tun!" "Astaga! Yang kau maksud tentu seorang kakek
bermata buta!"
"Betul! Kau mengenalnya"!"
"Siapa tidak kenal dengan tokoh aneh itu! Selain
memiliki ilmu yang sukar dijajaki, dia juga memiliki keahlian tertentu. Hem....
Apa saat itu Gendeng Panuntun tidak bisa menebak siapa adanya orang yang
mengenakan Jubah Tanpa Jasad"!"
Pitaloka gelengkan kepala. Kigali kerutkan dahi.
"Aneh.... Menurut yang pernah kudengar, tokoh itu bi-as melihat apa yang tidak
bisa dilihat orang biasa!"
"Tapi nyatanya saat itu dia tidak bisa mengenali sosok di balik Jubah Tanpa
Jasad. Bahkan orang di balik Jubah Tanpa Jasad tetap mampu menghadapi meski
tak lama kemudian muncul seorang pemuda yang na-
manya juga sudah mulai terkenal. Yakni Pendekar Pe-
dang Tumpul 131 Joko Sableng! Kau mengenal pemu-
da itu"!" Kali ini suara Pitaloka terdengar lain di telinga Kigali.
Kigali menatap tajam pada Pitaloka. "Kalau dia seo-
rang pemuda, tentu aku tidak mengenalnya. Dan baru
saat ini aku mendengar gelarnya! Namun aku me-
nangkap sesuatu yang lain pada pemuda itu...."
Mendengar ucapan Kigali, kali ini ganti Pitaloka
yang sedikit merasa heran. Tapi belum sampai Pitaloka utarakan keheranannya,
Kigali sudah berucap.
"Anakku.... Kau tertarik dengan pemuda itu"!"
Dada Pitaloka berdebar. Wajahnya berubah merah


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padam. Dia buru-buru alihkan pandang matanya ke
jurusan lain. "Anakku.... Perasaan cinta bisa tergambar dari pan-
dangan dan getaran suara.... Dan aku menangkap se-
mua itu pada dirimu! Kau boleh berkata tidak, tapi
gambaran itu tidak bisa berdusta! Kau menyukai pe-
muda itu!"
Dada Pitaloka makin berdebar. Perasaannya gelisah.
Untuk beberapa saat dia kancingkan mulut tidak me-
nyahut ucapan Kigali. Kigali sendiri tampak sunggingkan senyum lalu berkata
lagi. "Aku tahu sekarang.... Kau tadi hendak bunuh diri
karena takut pemuda itu tahu apa yang kau alami...."
Kigali geleng kepala. "Kau tak usah khawatir, Anak-
ku.... Sebagai seorang pendekar, kalau dia benar-benar menyayangimu pasti tidak
akan melihat apa yang menimpa dirimu. Tentu dia bisa bertindak bijaksana!"
"Tapi hal itu tak mungkin terjadi, Orang Tua...."
"Bagaimana kau bisa mengatakan tidak mungkin"!"
"Selain diriku pernah berbuat curang padanya,
saudara kembarku juga mencintainya! Seandainya
disuruh memilih, pasti dia akan memilih saudaraku!
Selain orangnya cantik, saudaraku lembut dan baik
hati. Tidak seperti aku...."
"Perasaan cinta tidak bisa dilihat dari itu saja,
Anakku! Tapi hal itu lupakan dahulu.... Lihat! Gubuk reot itu adalah
tempatku.... Kuharap kau betah tinggal untuk beberapa lama!"
Kigali mempercepat langkah. Sementara Pitaloka
melangkah perlahan-lahan dengan mata menerawang
jauh. Anehnya yang muncul di pelupuk matanya ada-
lah bayangan sosok Pendekar 131 Joko Sableng!
*** ENAM GADIS berparas luar biasa cantik itu melangkah
dengan mata menatap kosong ke depan. Entah apa
yang sedang menggelayuti dadanya, yang jelas dari sikapnya yang seolah tidak
peduli dengan apa yang ada di sekitarnya, menunjukkan kalau pikirannya sangat
kalut. Mendadak saja dari arah samping kanan terdengar
suara deruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang ga-
nas menggebrak ke arah si gadis yang tengah melang-
kah! Kalau saja si gadis tidak segera melompat selamatkan diri, niscaya sosoknya
akan terhantam gelom-
bang yang nyata-nyata telah dialiri tenaga dalam cukup tinggi, terbukti
gelombang yang gagal menghan-
tam si gadis mampu memporak-porandakan batu agak
besar di sebelah samping sana. Malah tanah di tempat itu sesaat jadi bergetar
dan semburat ke udara.
Gadis berparas cantik berpaling ke samping kanan
dengan mata mendelik. Namun matanya yang bulat ta-
jam tidak melihat siapa-siapa. "Aku yakin orang yang baru saja melepaskan
pukulan ada di sekitar tempat
ini!" gumam si gadis lalu angkat kedua tangannya.
Saat lain kedua tangannya mendorong ke samping ka-
nan, arah di mana pukulan yang tadi dilepas orang
bersumber. Dua gelombang angin menderu angker. Beberapa
batangan pohon yang tegak di sebelah kanan tampak
bergetar hebat. Tak lama kemudian dua batangan po-
hon perdengarkan suara berderak. Lalu tumbang den-
gan suara menggelegar.
Bersamaan tumbangnya batangan pohon, satu so-
sok tubuh melesat keluar dan tegak di hadapan gadis berparas cantik berjarak
sepuluh langkah.
Gadis berparas cantik coba sunggingkan senyum
walau dadanya mulai panas. Lalu buka suara dengan
suara agak bergetar. Tanda dia agak geram mendapati dirinya dipukul orang secara
sembunyi. "Tidak kusangka jika kau adanya! Mengapa kau
hendak mencelakaiku"!"
Orang yang baru muncul bersamaan dengan tum-
bangnya batangan pohon sesaat perdengarkan tawa
pendek. Dia adalah seorang gadis yang juga berparas cantik. Rambutnya hitam
lebat digeraikan. Setelah
menatap sejenak gadis ini berkata.
"Putri Kayangan! Seandainya aku mau, kau pasti
sudah kubuat mampus! Apa yang baru saja kulakukan
adalah satu peringatan padamu!"
Gadis cantik yang tadi dipukul yang ternyata tidak
lain adalah Beda Kumala alias Putri Kayangan, sauda-ra kembar Pitaloka ganti
tertawa pendek lalu berkata.
"Saraswati! Aku merasa heran dengan ucapanmu!
Pasti ini masih ada hubungannya dengan Pendekar
131 Joko Sableng! Kau cemburu!"
Tampang gadis yang baru muncul dan ternyata ada-
lah Saraswati berubah merah padam. "Dengar, Putri
Kayangan! Ini tidak ada kaitannya dengan cemburu!
Hanya aku tidak ingin melihatmu terlibat terlalu jauh!
Biarkan pemuda itu buktikan dirinya dahulu kalau
memang bukan dia manusianya yang bertindak menji-
jikkan!" "Hem.... Jadi kau kira aku...."
"Jangan banyak bicara!" tukas Saraswati. "Yang je-
las aku tidak mau melihatmu terlibat dalam urusan
ini!" "Aku tidak bodoh, Saraswati! Aku punya urusan
sendiri dan tidak ada hubungannya dengan Pendekar
131 Joko Sableng!"
"Bagus! Tapi jika kulihat kau masih juga ikut-
ikutan, aku tidak akan memberi peringatan lagi!"
Habis berkata begitu, Saraswati balikkan tubuh
tinggalkan tempat itu.
"Dengar, Saraswati! Aku memang tidak mau terli-
bat. Tapi kalau aku berada bersama Pendekar 131,
kuharap kau jangan menduga yang tidak-tidak!"
Saraswati tidak menyahut. Dia teruskan langkah.
Sementara Putri Kayangan memandang sesaat lalu pu-
tar diri. Belum sampai Putri Kayangan gerakkan kaki, satu sosok tubuh
berkelebat. Putri Kayangan terkesiap. Belum sempat sang Putri mengenali wajah
orang, sudah terdengar suara.
"Jadi pendekar muda berwajah tampan memang
asyik.... Di mana-mana selalu jadi bahan omong dan
rebutan! Tidak seperti diriku.... Ditawar-tawarkan pun tidak ada yang mau!
Hik.... Hik.... Hik...!"
"Memangnya siapa yang mau dengan tua bangka
karatan sepertimu"!" Satu suara mendadak menyahut.
Bersamaan itu satu bayangan berkelebat dan yang ini langsung tegak tidak jauh
dari Saraswati.
Saraswati yang sudah terkejut mendengar suara
orang yang pertama, makin melengak kaget. Dia cepat putar diri lagi. Saat yang
sama Putri Kayangan juga balikkan tubuh.
Untuk beberapa lama Saraswati dan Putri Kayangan
saling pandang. Saat lain Saraswati alihkan pandang matanya ke samping kanan.
Sementara Putri Kayangan ke samping kiri.
Saraswati melihat seorang perempuan berusia lan-
jut mengenakan pakaian gombrong. Anak gadis Las-
mini itu tidak bisa dengan jelas melihat raut wajah si nenek. Selain dari arah
samping, ternyata si nenek
mengenakan kerudung hitam panjang di kepalanya.
Di pihak lain, Putri Kayangan melihat seorang ka-
kek berambut putih. Karena si kakek menghadap lu-
rus pada sang Putri, saudara kembar Pitaloka ini dengan jelas dapat menangkap
paras muka orang. Kakek
ini mengenakan pakaian agak lusuh. Wajahnya agak
tirus. Kakek ini tidak memiliki leher dan meski tidak berkata-kata lagi,
mulutnya terus menganga! Seolah
ingin menunjukkan kalau mulutnya tidak bergigi alias ompong!
Putri Kayangan segera alihkan pandangannya pada
si nenek. Sementara di seberang sana, Saraswati ganti arahkan pandangannya pada
si kakek. Tiba-tiba dahi Saraswati mengernyit. "Kalau tak sa-
lah aku pernah melihat kakek itu.... Ah, benar! Aku pernah melihatnya di depan
Istana Hantu! Dia adalah sahabat Pendekar 131! Jika tak salah dia adalah Iblis
Ompong.... Hem.... Tapi si nenek itu, aku tak menge-nalinya!"
Kalau Saraswati membatin begitu, Putri Kayangan
tampaknya tidak bisa menduga-duga siapa gerangan
adanya kakek dan nenek yang tiba-tiba muncul di ha-
dapannya Hingga untuk beberapa lama dia hanya me-
mandang silih berganti pada nenek dan kakek yang
bukan lain memang Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lam-
bada adanya. Dewi Ayu Lambada rapikan kerudung hitamnya. La-
lu memberi isyarat pada Iblis Ompong untuk mende-
kat. "Ah.... Di hadapan gadis-gadis cantik begini kau selalu pasang aksi berlagak
mesra! Berarti kau masih
punya cemburu padaku! Takut kalau aku tertarik dan
digaet perempuan lain!" Iblis Ompong berucap. Lalu
sedikit dongakkan kepala dan melangkah ke arah Dewi Ayu Lambada dengan mulut
terbuka lebar-lebar!
"Dasar tua karatan! Mana mungkin aku cemburu
pada gadis-gadis ini"! Tak mungkin mereka mau den-
gan manusia karatan sepertimu!"
"Ah.... Kau hanya memandang dari apa yang terlihat
di luar. Rambut memang sudah beruban. Kulit sudah
mengeriput dan mata telah kabur! Tapi bagian dalam-
nya masih mampu menandingi pemuda belasan ta-
hun!" "Ah.... Kau akan selalu berkoar-koar begitu jika di hadapan gadis cantik!
Kenyataannya...." Si nenek cekikikan dahulu sebelum akhirnya melanjutkan. "Besar
di mulut kurang di tenaga!"
Mendengar ucapan Dewi Ayu Lambada, paras muka
Saraswati dan Putri Kayangan berubah merah. Namun
sejauh ini baik Saraswati maupun Putri Kayangan be-
lum ada yang buka mulut.
"Hai.... Kau kenal dua gadis yang tengah berebut
pemuda ini"!" Dewi Ayu Lambada berbisik pada Iblis
Ompong begitu si kakek berada di sampingnya.
Iblis Ompong gerakkan kepala ke arah Saraswati.
Dewi Ayu Lambada ikut hadapkan wajah pada Saras-
wati hingga si gadis kini dapat melihat jelas paras mu-ka nenek berkerudung
hitam itu. "Yang itu rasa-rasanya aku pernah bertemu! Hanya
saja aku lupa kapan dan di mana! Yang jelas saat itu di sana ada pula pemuda
geblek murid manusia sinting itu!" kata Iblis Ompong. Lalu gerakkan kepala
menghadap Putri Kayangan. Dewi Ayu Lambada kem-
bali ikut gerakan kepala Iblis Ompong.
"Yang itu dalam mimpi pun aku belum pernah ber-
temu! Tapi soal berkenalan serahkan saja pada...," ujar Iblis Ompong lalu
tengadah dengan mulut dibuka lebar.
Dewi Ayu Lambada memberengut lalu berucap.
"Yang kita hadapi adalah perempuan. Biar aku yang
maju!" "Ah.... Nyatanya kau masih juga khawatir padaku!
Kau tahu.... Perempuan biasanya lebih senang berke-
nalan dengan laki-laki! Bukan dengan sesama perem-
puan! Namamu memang yahud dan meyakinkan, tapi
tampangmu tidak bisa dijadikan modal meskipun
hanya dalam berkenalan!"
Dewi Ayu Lambada mendengus. "Dasar tua bangka
tidak tahu diri! Sekarang kau bisa berkata begitu. Tapi dahulu kala kau selalu
memuja-muja dan terus mengikuti ke mana aku pergi! Apa kau lupa peristiwa saat
kau mencium kakiku hanya demi agar aku menerima
cintamu"!"
"Ah.... Kau selalu mengungkit masa yang telah ter-
kubur!" "Diam, Tua Bangka!" hardik Dewi Ayu Lambada.
"Kuperingatkan kau agar tidak ikut bicara! Kalau tidak, mulutmu akan kubuat
tidak bisa terbuka lagi!"
Iblis Ompong tertawa bergelak sambil usap-usap
mulutnya yang terus terbuka. Sementara Dewi Ayu
Lambada melangkah maju tiga tindak. Saat lain pe-
rempuan berkerudung hitam ini putar diri setengah
lingkaran menghadap Saraswati. Bibirnya sunggingkan senyum. Pinggulnya digoyang
dua kali lalu dia menjura dengan kedua tangan ditakupkan di depan kening.
Saraswati tampak salah tingkah dan bingung harus ber-
buat apa. Hingga dia hanya diam dan memandang
dengan menahan tawa.
Dewi Ayu Lambada buka takupan kedua tangannya.
Sosoknya berputar dan kini menghadap ke arah Putri
Kayangan. Kembali si nenek goyang pinggulnya dua
kali seraya menjura hormat. Kedua tangannya lagi-lagi ditakupkan dan dipasang di
depan kening. Putri
Kayangan sunggingkan senyum lalu anggukkan kepa-
la. Dewi Ayu Lambada luruskan tubuh. Lalu melompat
ke samping Iblis Ompong. Begitu injakkan kaki, kepalanya segera berpaling ke
arah Saraswati lalu pada Putri Kayangan yang ada di seberang.
"Gadis-gadis cantik...," kata Dewi Ayu Lambada.
"Kalau tidak merasa keberatan, sudi sebutkan diri pa-da kami siapa kalian
adanya"!"
Untuk beberapa saat baik Saraswati maupun Putri
Kayangan belum ada yang memberi jawaban. Malah
kedua gadis ini saling bentrok pandang beberapa lama.
"Harap tidak punya dugaan yang bukan-bukan!
Kami berdua memang tua-tua bangka yang usil hen-
dak tahu nama orang. Namun kami tidak punya niat
apa-apa! Cuma sekadar ingin berkenalan...." Dewi Ayu Lambada kembali angkat
suara setelah sekian lama di-tunggu tidak juga ada yang buka mulut di antara ke-
dua gadis yang ditanya.
"Nek...!" Iblis Ompong berbisik. "Caramu berkenalan sudah ketinggalan zaman! Aku
berani bertaruh satu
tangan kalau di antara mereka ada yang mau menja-
wab!" Dewi Ayu Lambada melirik pada Iblis Ompong. "Kita
lihat saja nanti! Kalau benar, tanganmu akan kupo-
tong betulan!"
Habis berkata begitu, Dewi Ayu Lambada berpaling
silih berganti pada Saraswati dan Putri Kayangan. Si nenek coba sunggingkan
senyum dan pasang tampang
ramah. Namun sejauh ini Saraswati dan Putri Kayan-


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan belum juga ada yang buka mulut.
"Gadis-gadis cantik.... Kalian merasa keberatan se-
butkan diri"!" Kembali Dewi Ayu Lambada angkat bica-ra begitu mendapati belum
juga ada yang buka suara.
Baik Saraswati maupun Putri Kayangan sebenarnya
tidak merasa keberatan untuk sebutkan diri. Namun
mereka berdua tampaknya menunggu sampai ada
yang mendahului. Hingga karena sama saling me-
nunggu, keduanya tidak ada yang buka suara.
Dewi Ayu Lambada terlihat agak jengkel dengan si-
kap Saraswati dan Putri Kayangan. Dia melirik pada
Iblis Ompong dan berujar pelan.
"Tampaknya mereka bukan gadis yang kita cari
meski kudengar tadi tengah berebut pemuda geblek
itu! Atau jangan-jangan keduanya tidak bisa menden-
gar"!"
"Nek.... Seperti kukatakan tadi, cara berkenalanmu
sudah ketinggalan masa! Cara seperti itu mungkin co-cok pada saat mudamu. Tapi
untuk saat sekarang apa-
lagi dalam situasi seperti saat ini, caramu tidak akan menghasilkan apa-apa
kecuali kecurigaan!"
"Baik! Sekarang aku ingin tahu bagaimana caranya
berkenalan model sekarang!" kata Dewi Ayu Lambada
dengan mata mendelik.
"Hem.... Jadi acara ini kau serahkan padaku"!"
tanya Iblis Ompong.
"Tapi kalau kau bicara yang tidak-tidak, kau akan
tahu rasa nanti!"
Iblis Ompong tertawa panjang. Lalu melangkah dua
tindak ke depan. Tanpa memandang pada Saraswati
dan Putri Kayangan, si kakek langsung angkat bicara.
"Aku tahu.... Kalian berdua jatuh cinta pada Pende-
kar 131 Joko Sableng!"
"Enak saja bicara! Siapa yang jatuh cinta"!" Tiba-
tiba Saraswati menyahut dengan suara keras. "Dia
yang jatuh cinta, bukan aku!" Telunjuk tangan kanan Saraswati lurus mengarah
pada Putri Kayangan.
Putri Kayangan rupanya tidak mau ditunjuk-tunjuk
begitu rupa apalagi langsung dituduh di hadapan
orang. Gadis berpakaian merah ini segera pula arah-
kan telunjuknya pada Saraswati seraya berucap den-
gan suara tak kalah kerasnya.
"Dia yang cemburu padaku! Padahal aku tidak me-
rasa punya hubungan apa-apa!"
"Siapa percaya pada ucapan kalian!" kata Iblis Om-
pong dengan suara keras pula. "Yang jelas dari perde-batan kalian tadi, aku bisa
katakan kalian berdua sa-ma jatuh cinta pada Pendekar 131 Joko Sableng!"
"Orang tua! Jangan bicara sembarangan! Katakan
terus terang apa maumu sebenarnya!" bentak Saras-
wati yang mulai jengkel.
Iblis Ompong berpaling pada Saraswati. "Gadis can-
tik.... Kau tentu tak akan mungkir bila kukatakan kita pernah bertemu! Jadi
jangan kira aku tak tahu siapa dirimu dan apa hubunganmu dengan Pendekar 131!"
Saraswati perhatikan Iblis Ompong dengan mata
melotot besar. Dadanya bergemuruh. Bibirnya tampak
bergetar saat dia berkata.
"Kita memang pernah bertemu! Tapi kau tahu apa
hubunganku dengan pemuda keparat itu, hah"! Jan-
gan berani bicara mengarang cerita!"
Iblis Ompong geleng kepala. "Aku tak akan menga-
rang cerita. Aku juga akan menyimpan rapat-rapat apa yang ku tahu antara kau dan
pemuda yang kau katakan keparat itu. Aku hanya perlu memberi tahu pada-
mu. Pemuda keparat itu sekarang sedang sekarat!"
Laksana terbang Saraswati melompat ke depan. Wa-
jahnya berubah tegang. Untuk beberapa lama dia pan-
dangi Iblis Ompong. Lalu seolah ingin meyakinkan, dia berpaling pada Dewi Ayu
Lambada. Mungkin masih
merasa jengkel dengan sikap Saraswati tadi, si nenek segera buang muka ke
jurusan lain ketika Saraswati
berpaling padanya.
"Orang tua! Kau...."
Belum sampai Saraswati teruskan ucapan, Iblis
Ompong angkat tangan kanannya. Lalu jari telunjuk-
nya dilintangkan di depan mulutnya memberi isyarat
agar Saraswati tidak lanjutkan ucapan.
"Aku tak akan bicara apa-apa lagi padamu, Anak
Cantik! Kau cukup kuberi tahu apa yang tengah terja-di! Kalau kau ingin bicara,
bicaralah! Aku akan sampaikan padanya!
Di lain pihak mendengar keterangan Iblis Ompong,
Putri Kayangan sesaat terkesiap. Seperti halnya Sa-
raswati, dia memandang berlama-lama pada Iblis Om-
pong seolah ingin meyakinkan. Bahkan dia pun sem-
pat arahkan pandang matanya pada Dewi Ayu Lamba-
da. Namun lagi-lagi Dewi Ayu Lambada segera buang
muka dengan tampang ketus.
"Apa benar ucapan kakek itu..." Siapa yang telah
membuatnya begitu"! Saat berpisah tempo hari.... Ah!"
Putri Kayangan tidak dapat lanjutkan kata hatinya.
Matanya mulai berkaca-kaca. Namun setelah sadar di
mana saat berada dan siapa yang ada di hadapannya,
Putri Kayangan cepat usap genangan air matanya lalu melangkah ke arah Iblis
Ompong. Iblis Ompong berpaling pada Putri Kayangan. Sete-
lah menghela napas panjang dan unjuk mimik me-
nyesal, kakek ini berkata.
"Sebenarnya aku tak mau membuat kalian kecewa
dengan kabar tidak enak ini.... Tapi aku akan merasa berdosa jika tidak
menyampaikan amanat orang!"
"Jadi kau sungguh-sungguh"!" Yang bertanya ada-
lah Putri Kayangan.
"Terserah bagaimana kau memandangnya! Yang je-
las aku telah memberi tahu pada kalian!"
"Di mana sekarang dia berada"!" hampir bersamaan
Saraswati dan Putri Kayangan berkata.
Iblis Ompong geleng kepala. "Aku tak bisa memberi
keterangan! Saat ini dia tengah dirawat seseorang.
Namun kecil kemungkinannya dia dapat hidup! Cuma
saja kalau di antara kalian ada yang hendak memberi
pesan terakhir, aku akan sampaikan!"
Saraswati dan Putri Kayangan kembali saling pan-
dang. Iblis Ompong tampaknya maklum. Maka dia se-
gera berucap. "Kurasa mulai saat ini tidak perlu di antara kalian ada silang sengketa karena
cinta!" Iblis Ompong berpaling pada Saraswati. "Anak cantik.... Aku tahu,
mungkin kau malu ucapanmu didengar sahabatmu
ini. Kalau kau masih ingin mengutarakan sesuatu,
mendekatlah! Berbisiklah di telingaku!"
Saraswati sesaat pandangi Putri Kayangan. Putri
Kayangan menghela napas lalu tersenyum dan putar
diri sambil melangkah tiga tindak dan berkata.
"Aku tak akan mendengarkan... Silakan bicara!"
Saraswati bimbang. Namun akhirnya melangkah ju-
ga. Kepalanya segera disorongkan ke dekat telinga Iblis Ompong lalu mulutnya
berkemik. Iblis Ompong mendengarkan dengan seksama. Lalu mengangguk.
Saraswati tarik pulang kepalanya dengan mata ber-
kaca-kaca. Iblis Ompong berpaling lalu bergumam li-
rih. "Anak cantik.... Pesanmu akan kusampaikan. Tapi kalau dia nanti bertanya
siapa yang memberi pesan"!"
Saraswati kembali dekatkan kepalanya lalu se-
butkan diri. Iblis Ompong kembali anggukkan kepala.
Lalu berpaling pada Putri Kayangan.
"Gadis baju merah.... Kau tidak ingin titip sesua-
tu"!"
Putri Kayangan balikkan tubuh. Ketika dilihatnya
Saraswati telah berbalik dan melangkah menjauh, Pu-
tri Kayangan mendekat pada Iblis Ompong dan berka-
ta. "Kek.... Sampaikan saja permintaan maafku pa-
danya!" "Hanya itu"!" tanya Iblis Ompong.
Putri Kayangan anggukkan kepala dengan mata
kembali telah digenangi air mata. "Aku.... Aku Beda Kumala. Tapi orang sering
memanggilku Putri Kayangan...."
Iblis Ompong sesaat tersentak. Namun buru-buru
sadar dan segera anggukkan kepala. Saat lain dia berkelebat dan tegak di samping
Dewi Ayu Lambada.
"Bagaimana"!" tanya si nenek.
"Rezeki kita besar!"
"Besar bagaimana"!"
"Nanti saja kuceritakan! Sekarang kita harus cepat
tinggalkan tempat ini!" bisik Iblis Ompong. Lalu memandang silih berganti pada
Saraswati dan Putri
Kayangan. "Kuharap kalian berdua tidak larut dalam kesedi-
han! Setiap manusia hidup pasti akan mengalami ke-
matian! Kalau takdir nanti menentukan lain, tentu
pemuda itu masih bisa disembuhkan...."
Habis berkata begitu, Iblis Ompong berkelebat di-
ikuti oleh Dewi Ayu Lambada. Saraswati teruskan
langkah tanpa berpaling lagi. Sementara Putri Kayangan balikkan tubuh lalu
melangkah dengan pipi diba-
sahi air mata! *** TUJUH BAGAIMANA"! Bagaimana"! tanya Dewi Ayu Lam-
bada dengan tangan menarik-narik lengan Iblis Om-
pong. Iblis Ompong pasang tampang angker lalu berbisik.
"Jangan keras-keras bicara! Dan lepaskan tanganmu!"
"Dasar tua sialan!" maki Dewi Ayu Lambada seraya
sentakkan tangannya dari lengan Iblis Ompong.
Dua orang ini ternyata tidak berkelebat jauh. Sesaat
tadi keduanya memang seakan-akan tinggalkan tem-
pat di mana mereka bertemu dengan Saraswati dan
Putri Kayangan. Namun begitu agak jauh, keduanya
memutar jalan lalu kembali ke tempat di mana Saras-
wati dan Putri Kayangan berada. Namun kali ini mere-ka berdua tampak mengendap-
endap dan sembunyi-
kan diri di balik batangan pohon agak besar.
Iblis Ompong sesaat memperhatikan Saraswati yang
teruskan langkah dengan kepala menunduk. Lalu ber-
paling pada Putri Kayangan yang juga melangkah ber-
lawanan arah dengan Saraswati.
"Kita ikuti yang berbaju merah...," ujar Iblis Om-
pong ketika dilihatnya Putri Kayangan telah melang-
kah agak jauh. Dia luruskan tubuh lalu keluar dari balik pohon. Saat lain dia
berkelebat. Tapi tiba-tiba gerakannya ditahan tatkala mendapati si nenek belum
juga beranjak dari balik pohon.
"Hai! Ada apa denganmu"! Kita ikuti si baju merah
itu!" Dewi Ayu Lambada mendengus dengan tampang
cemberut. "Kau belum katakan mengapa hendak kau
ikuti si baju merah itu!"
"Astaga!" Iblis Ompong tepuk jidatnya. Lalu mende-
kati si nenek dan berkata.
"Dialah gadis yang kita cari! Dia Putri Kayangan!"
"Apa"!" Laksana disentak setan, Dewi Ayu Lambada
meloncat. Mau tak mau Iblis Ompong harus segera me-
lompat ke samping untuk hindarkan tubrukan. "Apa
katamu" Dia Putri Kayangan"! Gadis yang hamil itu"!"
Iblis Ompong pegangi dadanya sambil memaki da-
lam hati. "Setan.... Kalau saja aku tidak menghindar, tentu dadaku sudah
terhantam tubuhnya! Rupanya
dia sengaja akan memelukku.... Hik.... Hik.... Hik...!
Siapa sudi dipeluk nenek macam dia!"
"Hai! Apa benar dia gadis hamil itu"!" kembali Dewi
Ayu Lambada perdengarkan tanya saat Iblis Ompong
tidak juga memberi jawaban.
"Yang dapat kupastikan, dia adalah Putri Kayangan!
Soal dia yang hamil atau bukan, masih harus kita seli-diki! Karena kita belum
menemukan satunya lagi!"
Habis berkata begitu, Iblis Ompong segera berkele-
bat. Dewi Ayu Lambada segera berkelebat pula menyu-
sul di belakangnya.
"Lalu bagaimana kita harus mengetahui dia hamil
atau tidak"!" tanya Dewi Ayu Lambada seraya terus
mengikuti kelebatan Iblis Ompong.
"Itulah yang tengah kupikirkan! Kalau sekarang kita menemuinya dan berbasa-basi,
pasti dia curiga dengan karangan ceritaku tadi! Dan itu akan membuat rencana
jadi berantakan!"
"Model kau berkenalan memang meyakinkan! Tapi
akibatnya kita akan terjebak! Belum lagi kalau...."
Dewi Ayu Lambada putuskan ucapannya. Dia cepat
tarik pundak Iblis Ompong dan diseretnya merunduk
ke balik semak. Iblis Ompong sudah buka mulut hen-
dak memaki, tapi dia segera kancingkan mulutnya lalu dibuka lagi tanpa
perdengarkan suara. Sebaliknya matanya dibeliakkan memandang tak berkesip jauh
ke depan. Di sampingnya si nenek mengerjap beberapa
kali sebelum akhirnya pentangkan mata.
Di depan sana, Putri Kayangan yang tengah me-
langkah dengan berurai air mata tampak tersentak ketika ekor matanya menangkap
kelebatan satu bayan-
gan. Dia segera angkat kepala. Memandang ke depan,
gadis cantik ini melihat satu sosok tubuh.
"Setan Liang Makam!" gumam Putri Kayangan men-
genai siapa adanya sosok yang telah tegak dengan sikap menghadang di hadapannya.
Orang yang baru muncul adalah seorang laki-laki
yang sekujur tubuhnya hanya merupakan susunan ke-
rangka tanpa daging sama sekali dan tidak lain me-
mang Setan Liang Makam adanya. Cucu Nyai Suri
Agung generasi terakhir dari keluarga Kampung Setan.
"Di antara kita tidak ada permusuhan! Harap tidak
menghalangi langkahku!" Berkata Putri Kayangan se-
belum Setan Liang Makam buka mulut.
Setan Liang Makam gerakkan kepala menggeleng-
geleng. "Kau adalah tebusan nyawaku! Dengan kepa-
lamu aku akan mendapatkan kembali benda-benda
milikku! Tapi aku masih memberimu kesempatan! Kau
ikut denganku secara baik-baik atau terpaksa aku
menyeretmu dengan tubuh tanpa nyawa!"


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau jangan berlaku bodoh! Kau ditipu orang! Meski
kau bawa kepalaku, tak mungkin apa yang kau ingin-
kan akan kau dapat!"
"Setan alas! Beraninya mulutmu mengajariku! Aku
tahu apa yang harus kulakukan!"
"Kalau begitu, aku pun tak akan tinggal diam!"
"Kau telah memutuskan jalanmu!" Setan Liang Ma-
kam angkat kedua tangannya. Sementara Putri Kayan-
gan cepat pula takupkan kedua tangannya di depan
kening. "Bagaimana sekarang"!" ujar Dewi Ayu Lambada
dari tempat persembunyiannya dengan mata terus
menatap ke arah Putri Kayangan.
"Kau terus-terusan bertanya bagaimana!" kata Iblis
Ompong. "Kita lihat dahulu sambil mencari jalan terbaik! Yang jelas kita harus
selamatkan gadis itu walau kita belum bisa memastikan dia yang hamil atau
bukan!" "Kau mengenal manusia jerangkong itu"!" tanya
Dewi Ayu Lambada.
"Kali ini tugasmu untuk melakukannya. Siapa pun
dia yang pasti dia adalah laki-laki. Dan dia akan lebih senang jika berkenalan
dengan perempuan! Untuk
yang satu ini, aku tak peduli kau hendak mengguna-
kan cara bagaimana untuk berkenalan!"
Dewi Ayu Lambada sudah hendak memaki. Tapi
mendadak terdengar gelegar dahsyat. Saking terkejutnya, si nenek hendak
melompat. Tapi buru-buru sadar dia tengah mengikuti orang. Namun dia sudah
telanjur bergerak. Hingga untuk menghindari agar tidak diketahui keberadaannya,
terpaksa si nenek arahkan gerakannya pada Iblis Ompong. Sialnya Iblis Ompong
ten- gah berpaling ke arah suara gelegar. Hingga meski dia sempat menghindar, tapi
sudah terlambat.
Bukkk! Sosok Dewi Ayu Lambada menumbuk tubuh Iblis
Ompong. Iblis Ompong terjengkang di atas tanah. Se-
mentara si nenek cekikikan telungkup di sampingnya!
Di seberang sana, terlihat muncratan tanah ke uda-
ra. Lalu tampak dua sosok terpental. Yang pertama
adalah Putri Kayangan. Gadis ini perdengarkan seruan tertahan sebelum akhirnya
terjerembab jatuh dengan
mulut kucurkan darah.
Sosok kedua adalah Setan Liang Makam. Cucu Nyai
Suri Agung dari Kampung Setan ini terhempas ke be-
lakang sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan mu-
lut megap-megap. Walau dari mulutnya tidak kelua-
rkan darah, namun jelas kalau luka dalam yang dideritanya tidak lebih ringan
dari Putri Kayangan.
"Ompong.... Kita harus segera turun tangan! Kalau
benar dia hamil, terlalu bahaya jika terjadi benturan pukulan lagi! Bayi dalam
kandungannya bisa gugur!
Itu akan membuat penantian makin panjang!" kata
Dewi Ayu Lambada.
"Tapi.... Bagaimana kalau karangan ceritaku tadi
ketahuan"!"
"Peduli setan dengan semua itu! Kau nanti bisa
mengatur bagaimana caranya!"
Selagi Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong berge-
rak bangkit, di depan sana Setan Liang Makam dan
Putri Kayangan telah tegak. Tanpa perdengarkan sua-
ra, Setan Liang Makam angkat kembali kedua tangan-
nya. Putri Kayangan tidak berdiam diri. Kedua tangannya diangkat ke atas kepala
lalu ditakupkan. Saat bersamaan sosok tubuh gadis cantik ini laksana dikobari
sinar berwarna merah.
Setan Liang Makam mendengus. Lalu didahului
bentakan garang, kedua tangannya bergerak melepas
pukulan. Wuutt! Wuuttt! Dua gelombang disertai hamparan warna hitam me-
lesat menggidikkan ke arah Putri Kayangan.
Putri Kayangan perdengarkan pula bentakan. Sinar
merah yang mengobari dirinya mencuat menghadang
gelombang yang datang dari Setan Liang Makam.
Bersamaan dengan mencuatnya sinar merah dari
tubuh Putri Kayangan, dari arah semak belukar mele-
sat dua gulungan awan putih yang bergerak turun
naik makin lama makin besar. Saat yang sama terlihat benda panjang berwarna
hitam melesat deras ke arah
Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam tersentak. Sembari perdengar-
kan makian keras dia kembali akan lepaskan pukulan.
Dia rupanya maklum ada orang lain di sekitar tempat itu. Namun belum sempat
kedua tangan Setan Liang
Makam bergerak, benda hitam telah berkelebat dan
laksana ular benda hitam tadi meliuk deras lalu melilit kedua tangan Setan Liang
Makam. Setan Liang Makam jadi kalap. Dia kerahkan sege-
nap tenaga dalamnya. Namun baru saja hendak berge-
rak, lilitan benda hitam pada kedua tangannya telah menyentak! Sosok Setan Liang
Makam terdorong keras
ke belakang. Saat itulah gulungan awan putih mela-
brak! Terlambat bagi Setan Liang Makam untuk membuat
gerakan membendung. Tanpa ampun lagi gulungan
awan putih menghantam tubuhnya!
Dessss! Setan Liang Makam perdengarkan seruan tertahan.
Saat bersamaan terdengar gelegar keras berte-
munya pukulan Setan Liang Makam dengan kobaran
sinar merah yang melesat dari tubuh Putri Kayangan.
Untuk kedua kalinya Setan Liang Makam perden-
garkan suara. Namun kali ini bersamaan dengan men-
talnya tubuh lima tombak ke belakang!
Setan Liang Makam terkapar di antara ranggasan
semak belukar. Dadanya berguncang keras. Sosoknya
bergeletar. Mulutnya terbuka namun tak perdengarkan suara. Sepasang matanya
terpejam lalu terbuka. Kedua tangannya yang hanya merupakan kerangka tam-
pak menghitam membentuk lilitan!
Di seberang sana, sosok Putri Kayangan tampak ja-
tuh terduduk di atas tanah. Kobaran sinar merah pada tubuhnya lenyap. Raut
wajahnya berubah pucat laksana tidak berdarah. Darah makin banyak mengucur
dari mulutnya. Namun tak berapa lama kemudian,
saudara kembar Pitaloka ini bergerak bangkit.
"Ada orang yang menolongku...," bisik sang Putri seraya arahkan pandangannya ke
samping dari mana
tadi ekor matanya masih bisa menangkap kelebatan
benda hitam dan melesatnya gulungan awan putih.
Di balik semak belukar, Dewi Ayu Lambada tarik
pulang kerudung hitamnya lalu dikenakan di atas ke-
pala. Kerudung panjang berwarna hitam inilah yang
tadi membuat Setan Liang Makam tersentak ke bela-
kang. "Kita keluar sekarang!" bisik si nenek seraya mem-
perhatikan Iblis Ompong yang tampak tegak membela-
kangi dengan kedua tangan masih di depan pantat. Iblis Ompong baru saja melepas
pukulan yang langsung
menghantam sosok Setan Liang Makam hingga mem-
buatnya jatuh. Iblis Ompong balikkan tubuh. "Belum sekarang
saatnya keluar! Aku belum menemukan cara bagaima-
na agar gadis cantik itu tidak merasa curiga dengan karangan ceritaku tadi!"
"Ah.... Itu urusan nanti! Kalaupun nanti dia curiga, apa hendak dikata! Kita
katakan saja terus terang!"
"Mana bisa begitu"!"
Dewi Ayu Lambada tidak pedulikan ucapan Iblis
Ompong. Nenek ini sudah hendak melompat keluar.
Namun gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba Iblis
Ompong melompat dan langsung menyergap. Dewi Ayu
Lambada menjerit. Kedua kakinya goyah. Saat lain sosoknya jatuh bergulingan.
Ketika gulingannya terhenti, si nenek langsung mendelik! Sosok Iblis Ompong
ternyata nangkring di atas tubuhnya!
"Sialan!" maki si nenek. Kedua tangannya cepat
bergerak menghantam ke atas. Namun Iblis Ompong
tidak tinggal diam. Dia cepat pula menghadang han-
taman si nenek dengan palangkan kedua tangannya ke
depan. Bukkk! Bukkk! Terdengar dua benturan. Saat yang sama sosok Ib-
lis Ompong mencelat ke udara. Lalu melayang turun
dan tahu-tahu telah duduk menjeplok di antara semak belukar seraya usap-usap
kedua tangannya. Kepalanya tengadah dengan mulut terbuka lebar;
Tidak jauh di sebelah Iblis Ompong, Dewi Ayu Lam-
bada berguling-guling sebelum akhirnya membuat ge-
rakan satu kali. Tahu-tahu dia telah duduk bersila
dengan kedua tangan memegangi kerudung hitam. Se-
pasang matanya tak berkesip pandangi Iblis Ompong.
Tanpa berucap sepatah kata, kedua tangan si nenek
putar kerudung hitam.
"Tahan, Nek!" bisik Iblis Ompong. "Lihat ke depan!"
Walau masih geram, tak urung juga Dewi Ayu Lam-
bada lirikkan matanya ke depan. Dia buru-buru
urungkan niat gerakkan kerudung hitamnya.
Di depan sana, ternyata Setan Liang Makam telah
tegak berdiri dengan kedua tangan terangkat. Cucu
Nyai Suri Agung ini tampaknya sudah tidak pedulikan keadaan dirinya yang telah
terluka. Sementara mendapati hal demikian, Putri Kayangan yang masih mendu-
ga-duga siapa adanya orang di balik semak belukar
cepat pula kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-
gannya. Namun belum sampai ada yang membuat gerakan,
satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu berjarak
sepuluh langkah di samping Putri Kayangan telah te-
gak satu sosok tubuh.
Setan Liang Makam berpaling. Matanya makin
membeliak. "Kau!" desisnya dengan suara bergetar.
Di lain pihak, Putri Kayangan tersentak. Matanya
memperhatikan orang dari atas hingga bawah. Da-
hinya mengernyit. Dan seolah belum percaya dengan
pandang matanya gadis cantik ini melangkah dua tin-
dak dengan mata makin dibelalakkan.
Orang yang dipandangi senyum-senyum. Dia me-
mandang silih berganti pada Setan Liang Makam dan
Putri Kayangan.
Di balik semak belukar, Dewi Ayu Lambada dan Ib-
lis Ompong sama terkesiap dengan mulut masing-
masing terkancing rapat. Saat bersamaan keduanya
saling berpandangan.
"Gawat.... Hancur sudah rencana kita!" ujar Iblis
Ompong. "Sebaiknya kita segera angkat kaki!"
"Telanjur basah.... Angkat kaki pun tak ada gu-
nanya lagi!" sahut Dewi Ayu Lambada. "Lebih baik kita bicara terus terang agar
tak jadi urusan di kemudian hari!"
Iblis Ompong gelengkan kepala. "Kau bisa bicara
demikian karena bukan kau tadi yang mengarang ceri-
ta! Seandainya kau, pasti kau sudah terbirit-birit! Kita pergi saja.... Urusan
nanti jadi masalah atau tidak, kita urus belakangan!"
Namun si nenek tampaknya tidak acuhkan ucapan
Iblis Ompong. Dia segera melompat keluar dari balik semak belukar! Iblis Ompong
sempat hendak menahan, tapi terlambat. Hingga akhirnya kakek ompong ini hanya
bisa tegak dengan mulut dibuka lebar-lebar.
*** DELAPAN DEWI Ayu Lambada!" seru orang yang baru muncul
yang masih dipandangi Putri Kayangan dengan kehe-
ranan. Ternyata dia adalah seorang pemuda berpa-
kaian putih-putih. Rambutnya panjang sebahu dililit ikat kepala warna putih.
Parasnya tampan.
"Nenek itu!" gumam Putri Kayangan melihat siapa
adanya orang yang muncul dari balik semak belukar.
"Bagaimana ini"! Bukankah kakek yang bersama ne-
nek itu tadi mengatakan Pendekar 131 tengah terluka parah"! Tapi dia muncul di
sini.... Jadi mereka berdusta!" Selagi Putri Kayangan membatin begitu, dari
belakang Dewi Ayu Lambada muncul Iblis Ompong me-
Tujuh Pembunuh 4 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Terbang Harum Pedang Hujan 14
^