Pencarian

Titisan Pamungkas 3

Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas Bagian 3


langkah dengan kepala mendongak dan mulut terbuka
lebar. "Kakek Iblis Ompong!" Lagi-lagi si pemuda berseru.
"Hem.... Rupanya mereka saling kenal! Mungkin
mereka tengah bersandiwara. Apa maksud mereka se-
benarnya"! Hanya ingin tahu kalau aku tertarik pada pemuda itu"!" Membatin Putri
Kayangan dengan paras
merah padam. Antara jengkel dan malu. Jengkel kare-
na tindakan Iblis Ompong dan malu karena merasa si
pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 131 Joko
Sableng kini telah tahu perasaannya. Seandainya tidak tengah berurusan dengan
Setan Liang Makam, ingin
rasanya dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Setelah Joko menjura pada Dewi Ayu Lambada dan
Iblis Ompong, Pendekar 131 putar tubuh menghadap
Setan Liang Makam lalu berkata.
"Sekarang kau telah tahu bahwa bukan aku orang-
nya yang mengambil Kembang Darah Setan.... Dengan
ini kurasa di antara kita tidak ada lagi silang sengketa!" "Ucapanmu salah!
Silang sengketa itu baru kua-
nggap habis kalau kau dan gadis itu mau ikut dengan-ku!" sahut Setan Liang
Makam. "Boleh aku tahu, kau hendak mengajakku ke mana
bersama gadis cantik itu"!" tanya Joko seraya melirik pada Putri Kayangan.
Putri Kayangan berdebar dan makin tak enak men-
dengar pujian Pendekar 131. Wajahnya cepat dipalingkan ke jurusan lain.
"Kau tak usah bertanya!" bentak Setan Liang Ma-
kam. "Baiklah.... Aku setuju saja dengan ajakanmu. Tapi
akan kutanya dahulu gadis cantik itu! Kalau dia setu-ju, aku ikut. Jika tidak,
mana enaknya berjalan-jalan sesama laki-laki"!"
Habis berkata begitu, Joko arahkan pandang ma-
tanya pada Putri Kayangan seraya bertanya. "Bagai-
mana Putri"! Kau setuju dengan ajakan sahabat itu"!"
"Aku masih punya urusan lain!" kata Putri Kayan-
gan tanpa berani memandang.
"Nah, kau dengar sendiri jawabannya!" kata Pende-
kar 131 sembari menghadap ke arah Setan Liang Ma-
kam. "Dia masih punya urusan lain! Berarti urusan jalan-jalan terpaksa kita
tunda dahulu! Lain waktu
mungkin urusan jalan-jalan ini bisa kita bicarakan la-gi!" "Bagaimana kalau aku
saja yang ikut menggantikan gadis itu"!" Yang berkata adalah Dewi Ayu Lambada
seraya melangkah dengan pinggul digoyang dan kedua
tangannya merapikan kerudung hitam di atas kepa-
lanya. "Aku juga ikut menggantikan pemuda itu!" sahut Ib-
lis Ompong lalu ikut melangkah ke belakang Dewi Ayu Lambada.
"Aku Dewi Ayu Lambada, dia Iblis Ompong...," ujar
Dewi Ayu Lambada. "Kurasa kami berdua cukup me-
madai sebagai ganti!"
"Aku tidak butuh kalian!" sentak Setan Liang Ma-
kam. "Hem.... Begitu" Apa gayaku kurang menarik"!"
tanya Dewi Ayu Lambada dan sekali lagi merapikan
kerudung hitamnya. Bibirnya sunggingkan senyum le-
bar. Langkahnya makin diliuk-liukkan. Malah kedua
tangannya segera diangkat lurus ke atas dan digerakkan seolah orang sedang
menari. "Apa tampangku juga kurang meyakinkan"!" Iblis
Ompong menyahut. Dia letakkan tangan kiri kanannya
di atas pinggang lalu teruskan langkah seraya kepala mendongak dan mulut terbuka
lebar-lebar! Setan Liang Makam mendengus. Kedua tangannya
kembali diangkat. Tapi tiba-tiba dia luruhkan kembali kedua tangannya tatkala
merasakan getaran keras pa-da kedua tangannya dan dadanya terasa nyeri. Tam-
paknya cucu Nyai Suri Agung ini maklum jika luka da-
lam yang dideritanya tidak memungkinkan untuk ke-
rahkan tenaga dalam dan lepaskan pukulan. Apalagi
jika menghadapi beberapa orang.
Setan Liang Makam menatap tajam pada Pendekar
131 dan Putri Kayangan. Telunjuk jari tangannya bergerak lurus ke arah Joko lalu
beralih pada sang Putri.
Saat yang sama terdengar ucapannya.
"Kelak aku akan menjemput kalian!" Mata Setan
Liang Makam beralih pada Dewi Ayu Lambada dan Ib-
lis Ompong. "Kalian berdua telah berani lancang ikut-ikutan urusanku! Kelak
nyawa kalian berdua akan ku-
cabut!" Habis berkata begitu, Setan Liang Makam balikkan
tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Hai! Kau benar-benar tidak mau mengajak aku"!"
teriak Dewi Ayu Lambada seraya melepas kerudung hi-
tamnya. "Tahan, Nek...! Biarkan dia pergi tanpamu.... Juga
tanpaku! Dia telah berjanji kelak hendak menjemput.
Berarti kita kelak masih akan bertemu lagi!" kata Iblis Ompong tahu jika si
nenek hendak lepas kerudung hitamnya menghantam pada Setan Liang Makam.
Dewi Ayu Lambada mencibir. Lalu pasang kembali
kerudung hitamnya di atas kepala. Saat lain dia menghadap pada Putri Kayangan.
Namun kali ini bukannya
memandang pada wajah cantik milik si gadis tapi pada perutnya. Di lain pihak,
Iblis Ompong juga berbuat
sama. Di lain pihak, Pendekar 131 segera melangkah
mendekati Putri Kayangan.
"Putri.... Senang bisa jumpa lagi denganmu! Mereka
berdua adalah sahabatku!"
"Aku sudah tahu...," jawab Putri Kayangan dengan
suara ketus. "Hem.... Rupanya kalian sudah berkenalan...."
"Aku masih banyak urusan. Aku harus segera per-
gi!" Tiba-tiba Putri Kayangan berkata lalu hendak berkelebat.
"Putri. Tunggu!" tahan murid Pendeta Sinting lalu
melompat dan tegak di samping si gadis.
"Pendekar 131! Tidak ada yang perlu kita bicarakan!
Lagi pula jangan berharap aku percaya dengan semua
kata-kata atau tindakanmu!"
"Hai.... Ada apa ini"!"
"Kau masih juga berpura-pura! Apa belum cukup
cara kalian mempermainkan aku"! Apa maksud kalian
sebenarnya"! Apa"!" kata Putri Kayangan setengah berteriak dengan dada
berguncang. Pendekar 131 melirik pada Dewi Ayu Lambada dan
Iblis Ompong. Kakek dan nenek ini terlihat saling pandang dan sama angkat bahu.
Namun tangan masing-
masing saling tunjuk.
"Hem.... Pasti mereka berdua baru saja memper-
mainkan gadis ini! Jika tidak, mana mungkin dia jadi berubah"!" Pendekar 131
arahkan pandang matanya
pada Putri Kayangan. "Mungkinkah gadis ini yang ke-
lak akan melahirkan bayi itu"! Siapa ayah dari bayi itu"! Sayang.... Berarti
gadis ini telah...."
Belum sampai Joko lanjutkan kata hatinya, Putri
Kayangan telah berputar dan menatap tajam pada mu-
rid Pendeta Sinting. Kali ini tatapannya lain.
"Pendekar 131! Cepat selesaikan urusanmu! Ada
seseorang yang menunggu penyelesaian ini! Aku tak
mau terus-terusan dituduh gara-gara urusanmu!"
"Dia cemburu pada gadis bernama Saraswati itu!"
bisik Iblis Ompong.
"Hem.... Gadis yang satunya itu"!" tanya Dewi Ayu
Lambada. Selagi kakek dan nenek ini saling berbisik, tiba-tiba Putri Kayangan berkata
dengan suara keras.
"Orang tua! Cukup sekali ini saja kalian memper-
mainkan orang! Harap kalian tidak mengulanginya lagi pada gadis lain!"
"Harap kau memaklumi, Putri...," ujar Iblis Om-
pong. "Itu semua harus kulakukan! Bukan maksud hati
mempermainkan. Tapi di balik semua itu ada sesuatu!"
"Sesuatu apa"!"
"Anak muda!" kata Iblis Ompong pada murid Pende-
ta Sinting. "Sekarang giliranmu buka mulut!"
Pendekar 131 maklum akan maksud Iblis Ompong.
Namun dia tampak canggung untuk memulai. Selain
takut menyinggung perasaan Putri Kayangan, selebih-
nya dia sebenarnya merasa khawatir kalau Putri
Kayangan benar-benar tengah mengandung! Hingga
untuk beberapa lama dia hanya tegak termangu tidak
tahu harus bicara bagaimana.
Putri Kayangan tampak heran dengan sikap orang-
orang di hadapannya. Namun karena tidak bisa men-
duga, akhirnya dia kembali berkata.
"Aku tidak punya waktu banyak! Katakan sesuatu
itu atau aku akan tinggalkan tempat ini!"
Pendekar 131, Dewi Ayu Lambada, dan Iblis Om-
pong sama saling pandang satu sama lain. Karena tidak juga ada yang buka suara,
akhirnya Iblis Ompong berbisik pada Dewi Ayu Lambada.
"Lebih baik kau saja yang bertanya! Kau dan dia
sama-sama perempuan!"
Meski dengan cemberut pada akhirnya Dewi Ayu
Lambada melangkah mendekati Putri Kayangan. Sete-
lah tersenyum dan rapikan kerudung hitamnya, si ne-
nek bertanya. "Putri.... Sebelum kukatakan apa sesuatu itu, harap kau mau jawab dengan jujur
pertanyaanku."
Putri Kayangan hanya memandang tanpa buka mu-
lut menyahut. Tapi dalam hati gadis ini diam-diam
berdebar. Apalagi tatkala dilihatnya baik Pendekar
131, Iblis Ompong, dan Dewi Ayu Lambada sendiri dari tadi selalu melirik ke arah
perutnya. "Putri.... Apakah kau telah punya kekasih"! Eh....
Maksudku punya suami"!"
Raut wajah Putri Kayangan seketika berubah. "Apa
maksud pertanyaan nenek ini" Apa hubungannya san-
diwara yang mereka lakukan dengan pertanyaan tadi"!
"Putri.... Harap tidak ragu-ragu! Dan harap tidak
menyembunyikan sesuatu! Ini demi tenangnya rimba
persilatan!" kata Dewi Ayu Lambada membuat Putri
Kayangan makin heran dan merasa aneh.
Setelah berpikir agak lama pada akhirnya Putri
Kayangan buka mulut menjawab.
"Aku belum bersuami...."
"Lihat.... Pemuda sableng itu tersenyum gembira!"
bisik si nenek pada Iblis Ompong ketika dilihatnya murid Pendeta Sinting
menghela napas lalu tersenyum.
Ketika Putri Kayangan belum menjawab, dada mu-
rid Pendeta Sinting memang berdebar-debar dilanda
perasaan takut dan khawatir.
"Lalu apakah selama ini kau punya sahabat dekat
seorang pemuda"! Eh.... Maksudku pokoknya seorang
laki-laki"!" kembali Dewi Ayu Lambada ajukan tanya.
Untuk kedua kalinya Putri Kayangan berubah pa-
ras. Dia sempat melirik pada murid Pendeta Sinting
sebelum akhirnya menjawab pertanyaan si nenek den-
gan isyarat gelengan kepalanya.
"Benar"!" Yang ajukan tanya kali ini adalah Iblis
Ompong. "Jawabanmu jangan hanya karena adanya
pemuda di sampingmu itu! Untuk sementara ini ang-
gap saja dia tidak ada! Yang ada hanya aku, kau, dan nenek cantik ini!"
"Tidak ada untungnya aku berkata dusta!" kata Pu-
tri Kayangan. "Dan harap segera katakan apa hubun-
gan antara pertanyaan kalian dengan...."
"Nanti akan sampai ke sana!" potong Dewi Ayu
Lambada. Lalu si nenek kembali ajukan tanya. "Apa
benar kau memiliki saudara kembar"!"
"Benar!"
"Laki-laki atau perempuan"!" tanya Iblis Ompong.
"Sama seperti aku!"
"Hem.... Apa saudara kembarmu juga belum punya
suami"!" tanya si nenek.
"Belum...!"
"Di mana dia sekarang"!"
"Aku tak tahu di mana dia sekarang berada! Selang
kira-kira satu purnama yang lalu, kami memang sem-
pat bertemu. Tapi kami terpaksa harus berpisah kare-na keadaan tidak
memungkinkan! Kalian tahu di mana
saudaraku itu"!" Putri Kayangan balik bertanya.
"Kita akan segera mencarinya!" Yang menyahut ada-
lah murid Pendeta Sinting. "Menurut dugaanku, dia
pasti bersama manusia yang mengenakan Jubah Tan-
pa Jasad! Seharusnya Setan Liang Makam tadi kita cegah dahulu kepergiannya.
Tempo hari dia bersatu dengan Setan Liang Makam. Kemungkinan setan tadi itu
tahu di mana Pitaloka berada!"
"Aku tidak mau merepotkan. Mencari saudara kem-
barku sudah menjadi tugas yang harus kulakukan!"
"Tujuan kita sama.... Tapi maksud kita mungkin
lain!" ujar Joko.
"Apakah kau masih sakit hati karena Pitaloka men-
gambil pedangmu"!" tanya Putri Kayangan.
"Pedang itu kini telah berada di tanganku lagi. Urusan itu kurasa sudah
selesai...."
"Lalu mengapa kau hendak mencarinya" Apa ada
masalah lain"!"
"Putri.... Kau sekarang pasti sudah tahu. Dunia
persilatan sedang terancam dengan munculnya orang
yang mengenakan Jubah Tanpa Jasad dan tangannya
menggenggam Kembang Darah Setan. Orang ini sangat
berbahaya jika dibiarkan! Kau sendiri telah menyaksi-kan bagaimana beberapa
tokoh seperti Datuk Wahing,
Gendeng Panuntun, serta Dayang Sepuh tidak mampu
membendung! Menurut seorang sahabat, sosok yang
mengenakan Jubah Tanpa Jasad bisa dihadapi dengan
seorang bayi...."
"Seperti ucapan Kakek Raja Tua Segala Dewa itu"!
Apa mungkin"! Lagi pula aku tidak mengerti maksud
ucapannya!" kata Putri Kayangan memotong ucapan
Joko. Seperti diketahui, saat munculnya Raja Tua Segala


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa, Putri Kayangan saat itu ada dan mendengarkan
ucapan-ucapan Raja Tua Segala Dewa. Namun karena
ucapan kakek ini hanya merupakan isyarat, Putri
Kayangan yang belum mengenal betul Raja Tua Segala
Dewa tidak bisa mengerti ucapan-ucapan si kakek.
"Putri.... Ucapan Raja Tua Segala Dewa banyak be-
narnya! Dan aku yakin bahwa hanya dengan bayi itu si pemakai Jubah Tanpa Jasad
bisa dihadapi!"
"Lalu apa hubungannya dengan Pitaloka"! Apa kau
menduga Pitaloka yang akan melahirkan bayi itu"!"
Putri Kayangan tertawa. "Seperti halnya diriku, meski sudah lama Pitaloka
meninggalkan lereng Semeru dan
tidak pernah bertemu, aku bisa memastikan kalau Pi-
taloka belum bersuami! Dan walau dia sering berlaku sembrono, tapi kurasa dia
tidak akan berlaku bodoh
mau berhubungan dengan laki-laki sampai mengan-
dung! Aku saudara kembarnya.... Aku tahu bagaimana
sifatnya!"
"Semula bisa berubah bersama berlalunya waktu,
Anak Cantik!" sahut Iblis Ompong. "Dan kadang-
kadang lingkungan juga berpengaruh besar!"
Putri Kayangan gelengkan kepala. "Tapi aku tetap
yakin Pitaloka tak akan melakukan tindakan konyol
itu! Sekarang aku ingin tahu, kapan kira-kira bayi itu akan lahir"!"
"Satu purnama mendatang!" jawab Pendekar 131.
Mendengar jawaban Pendekar 131 kembali Putri
Kayangan tertawa. "Ini menambah keyakinanku kalau
dugaanmu salah, Pendekar 131! Bukan Pitaloka
orangnya! Kau tentu tahu sendiri. Satu purnama yang lalu kita bertemu dengan
Pitaloka. Apa kau melihat perutnya besar"! Kalau menurutmu bayi itu akan lahir
satu purnama mendatang, berarti saat ini perut itu
sudah membesar! Setidak-tidaknya orang bisa mendu-
ga jika perempuan itu tengah hamil! Tapi aku tidak melihat semua itu pada
Pitaloka!"
"Atau jangan-jangan dia sendiri yang tengah ha-
mil...," bisik Dewi Ayu Lambada pada Iblis Ompong seraya perhatikan perut Putri
Kayangan. Iblis Ompong mau tak mau perhatikan juga perut
Putri Kayangan. Mendapati hal demikian, murid Pen-
deta Sinting jadi ikut-ikutan arahkan pandangannya
pada perut si gadis.
"Jangan bicara seenak perutmu sendiri, Nek!" jawab
Iblis Ompong dengan berbisik pula. "Perutnya
kempes!" Sementara itu melihat semua orang memandang ke
arahnya, Putri Kayangan jadi tak enak dan buru-buru berkata.
"Kuharap kalian juga tidak menduga yang bukan-
bukan padaku! Aku bukannya berlagak suci. Tapi selama ini aku belum pernah
disentuh laki-laki! Jadi percuma kalian terus menerus mengawasiku!"
Murid Pendeta Sinting buru-buru alihkan pandan-
gannya. Sementara Iblis Ompong cepat-cepat mendon-
gak. Hanya Dewi Ayu Lambada yang masih memperha-
tikan si gadis walau kini beralih pada wajahnya.
"Boleh aku tahu"!" tanya Putri Kayangan setelah
agak lama tidak ada yang buka suara. "Mengapa ka-
lian mencurigai bayi itu akan lahir dari kami bersaudara"!"
"Itu adalah petunjuk...." Yang menjawab Pendekar
131. "Siapa yang memberi petunjuk"! Raja Tua Segala
Dewa itu"!"
"Sebagian.... Sebagian lainnya dari seorang saha-
bat!" "Lupakan petunjuk itu, Pendekar 131! Orang yang
memberi petunjuk itu salah ucap dan kau salah ala-
mat!" "Tapi...."
Belum sampai Joko teruskan ucapan, Putri Kayan-
gan telah menyahut.
"Petunjuk dan bukti, bagaimanapun juga masih
kuat bukti! Dan bukti itu telah kau ketahui sendiri!
Aku dan Pitaloka tidak ada yang mengandung!"
"Ah.... Jangan-jangan pemuda geblek itu salah
tangkap ucapan Dewa Uuk! Eh, maksudku salah tang-
kap isyarat tua bangka bisu itu!" bisik Dewi Ayu Lambada.
"Rasa-rasanya begitu.... Sialan betul! Kerja kita
tampaknya sia-sia! Kita harus mulai lagi...," sahut Iblis Ompong setengah
mengeluh. "Sialnya lagi, kita sekarang bingung. Dari mana kita harus mulia" Eh, maksudku
dari mana kita harus mulai..."! Tak mungkin kita nongkrongi setiap perempuan
yang tengah hamil!"
"Kalau soal nongkrongi perempuan hamil, tak ma-
salah bagiku! Yang jadi masalah justru...."
"Ukkkk! Uuuukkk! Uuuuuukkk!"
Tiba-tiba terdengar suara. Iblis Ompong putuskan
ucapan. Lalu tengadah dengan mulut terbuka. Dewi
Ayu Lambada merapikan kerudungnya. Pendekar 131
berpaling ke arah terdengarnya suara uuukk! Ukkk!
Putri Kayangan kerutkan dahi lalu melirik.
*** SEMBILAN DARI arah seberang samping sana, terlihat seorang
laki-laki berusia lanjut melangkah dengan kepala bergerak-gerak ke samping kiri
kanan. Sepasang matanya selalu jelalatan seolah tengah menikmati pemandan-gan di
sekitar tempat itu. Mulutnya terus terusan perdengarkan suara ukk! Uuk! Uuukk!
Berulang kali sea-
kan mengagumi keindahan tempat yang dilewati.
Entah karena begitu kagumnya dengan pemandan-
gan di sekitar tempat itu, kakek ini bahkan tidak
acuhkan keberadaan Dewi Ayu Lambada dan Iblis
Ompong yang tegak hanya berjarak lima langkah dari
tempat si kakek melangkah.
"Dasar manusia edan! Pada kakak pun sampai ti-
dak ingat lagi! Manusia begini ini biasanya tidak be-rumur panjang lagi!" Dewi
Ayu Lambada berkata se-
raya terus perhatikan orang yang lewat di depannya.
"Menurut Kakek Iblis Ompong, kakek yang tengah
melangkah ini adalah adik kandung nenek itu. Tapi
mengapa mereka tidak saling sapa" Malan pada Kakek
Iblis Ompong juga diam saja"! Hem.... Barangkali Kakek Iblis Ompong berkata
dusta padaku!" kata Joko
dalam hati. Lalu dia pasang tampang begitu dilihatnya kakek yang melangkah
hendak lewat di hadapannya.
Sementara Putri Kayangan hanya memandang dengan
terus dibuncah berbagai tanya.
"Jangan-jangan dia sedang kesurupan! Lihat ma-
tanya terus melotot!" Iblis Ompong sambuti ucapan
Dewi Ayu Lambada. Lalu tengadah dengan mulut ter-
buka. Di depan sana, murid Pendeta Sinting sedikit mera-
sa heran begitu si kakek yang melangkah tidak melihat ke arahnya! Dia terus saja
melangkah dengan kepala
bergerak ke samping kiri kanan.
"Kek!" Joko yang seolah tidak sabar melihat sikap si kakek cepat menegur.
Orang yang ditegur sesaat hentikan langkah. Na-
mun dia bukannya memandang ke arah murid Pendeta
Sinting melainkan pada Putri Kayangan yang tegak tidak jauh dari tempat tegaknya
Pendekar 131. "Busyet! Aku lupa.... Dia tuli! Mana mungkin men-
dengar teguranku!" gumam murid Pendeta Sinting lalu kerahkan sedikit tenaga
dalamnya dan berteriak.
"Kek!"
Putri Kayangan terkejut dan buru-buru berpaling
pada Pendekar 131. Selain ingin tahu juga karena merasa tak enak dipandangi
kakek yang baru saja mun-
cul. Si kakek angkat kedua tangannya ditadangkan di
belakang kedua telinganya. Namun dia belum juga ha-
dapkan wajahnya pada murid Pendeta Sinting.
"Kek! Kau lupa padaku"! Aku Joko!" kembali murid
Pendeta Sinting berteriak dengan suara keras. Putri Kayangan kembali terkejut
dan tutup telinganya dengan tangan.
Si kakek yang baru saja muncul bergerak mengha-
dap ke arah Joko. Tiba -tiba tubuhnya diluruskan
membuat gerakan seperti orang terkejut. Saat bersa-
maan tangan kanannya menunjuk-nunjuk pada Joko.
Lalu menunjuk pada matanya dan kembali menunjuk
pada Joko. "Betul! Kita pernah bertemu dan saling berpandan-
gan!" Joko kembali berteriak seolah mengartikan isyarat orang.
"Putri.... Harap maklumi" ujar Joko dengan suara
dipelankan. "Kakek sahabatku ini pendengarannya ti-
dak normal! Begitu juga bicaranya!"
Putri Kayangan menghela napas panjang. Dalam
hati dia berkata sendiri. "Para sahabatnya banyak yang aneh-aneh...."
"Kek! Kau kenal dengan dua temanku yang tegak di
sana itu"!" kata Joko kembali dengan suara keras seraya menunjuk pada Dewi Ayu
Lambada dan Iblis Om-
pong. Kepala si kakek bergerak mengikuti arah tangan
murid Pendeta Sinting. Sesaat kakek ini kernyitkan
dahi. Namun tak lama kemudian dia kembali luruskan
tubuh dengan perdengarkan suara ukk! Uuuk! beru-
lang kali. Kepalanya bergerak mengangguk lalu tertawa ngakak!
Puas tertawa si kakek menunjuk pada Dewi Ayu
Lambada. Lalu menunjuk pada dirinya sendiri. Lalu ja-ri telunjuknya diangkat.
Tangan satunya membuat
bundaran besar pada perutnya.
"Jadi benar dia saudaramu"!" tanya Joko.
Si kakek acungkan ibu jarinya pada murid Pendeta
Sinting. Memberi tanda kalau ucapan Joko benar. Saat kemudian si kakek menunjuk
pada Iblis Ompong. Lalu
kedua jari telunjuknya saling dipalangkan satu sama lain dan ditekuk sedikit.
"Hem.... Dia memberi isyarat kalau Kakek Iblis Om-
pong adalah sahabatnya...," Joko bergumam mengerti
akan isyarat telunjuk orang.
"Dewa Uuk! Apa kabarmu"!" Dari arah sana tiba-
tiba Iblis Ompong berteriak.
Sesaat si kakek yang dipanggil Dewa Uuk tadang-
kan kedua tangannya di belakang telinga. Kejap lain
dia angkat ibu jarinya sambil tertawa.
"Uukk! Uuukk! Uuukk!" Dewa Uuk menunjuk pada
Dewi Ayu Lambada dan Iblis Ompong. Lalu kedua te-
lunjuk tangan kiri kanannya disejajarkan dan digerakkan perlahan-lahan ke depan.
"Edan! Siapa kawin sama dia"!" Tiba-tiba Dewi Ayu
Lambada membentak.
"Eh.... Jadi adikmu itu memberi isyarat bertanya
apakah kita berdua sudah kawin"!" tanya Iblis Om-
pong. Si nenek tidak menyahut melainkan mendengus.
Sementara di depan sana Pendekar 131 melangkah
mendekati Dewa Uuk lalu berbisik.
"Kek.... Kau dibohongi! Mereka berdua baru saja ja-
di suami-istri!"
"Ukkk! Ukkk! Ukkk!" Dewa Uuk buka mulut sambil
membuat isyarat gerak-gerakkan tangan membuka
menutup. Sementara tangan satunya berada di bela-
kang telinga. "Busyet! Dia tidak bisa dibisiki! Susah kalau begi-
ni...!" kata Joko dalam hati. Tapi dia dekatkan juga mulutnya ke arah telinga
orang lalu berbisik agak keras.
Tiba-tiba Dewa Uuk tertawa panjang. Padahal Joko
belum sampai berbisik, membuat Joko cepat-cepat ta-
rik pulang kepalanya agar tidak tertumbuk guncangan pundak orang.
"Kau dengar apa yang dibisikkan pemuda sableng
itu"!" tanya Dewi Ayu Lambada.
"Untuk apa terlalu pikirkan ulah anak itu!" sahut
Iblis Ompong. "Aku khawatir dia bicara yang tidak-tidak!"
"Hem.... Kau takut anak itu mengatakan kalau kita
sudah jadi suami-istri"!"
"Benar! Jika hal itu sampai tersiar...." Si nenek se-
jenak hentikan ucapannya. Lalu melanjutkan. "Pasti
tidak akan ada yang memperhatikan aku lagi!" seraya berucap begitu si nenek
rapikan pakaian dan kerudungnya.
Mendengar ucapan Dewi Ayu Lambada, tawa Iblis
Ompong meledak. Saat yang sama, tiba-tiba Dewa Uuk
juga perdengarkan tawa ngakak!
"Anak sinting!" Dewi Ayu Lambada berteriak pada
murid Pendeta Sinting. "Kau bicara apa, hah"!"
"Aku tidak bicara apa-apa, Nek!"
"Tidak mungkin dia tertawa begitu rupa kalau kau
tidak bicara yang tak karuan!"
"Nek.... Kalau tak percaya, tanya saja pada Dewa
Uuk!" Dewi Ayu Lambada arahkan pandang matanya pada
Dewa Uuk lalu bertanya.
"Uuk! Apa yang dikatakan pemuda itu"!"
Dewa Uuk putuskan gelakan tawanya. Lalu kedua
telunjuknya disatukan dan menunjuk pada murid
Pendeta Sinting.
"Busyet! Aku tadi berbisik pelan dan baru hendak
bicara keras. Nyatanya dia sudah dengar!" batin murid Pendeta Sinting dengan
salah tingkah. Sementara si
nenek sudah mendelik angker.
Mungkin untuk alihkan perhatian Dewi Ayu Lam-
bada juga Dewa Uuk, murid Pendeta Sinting segera
menggaet lengan Dewa Uuk. Ketika Dewa Uuk berpal-
ing, Joko tunjukkan jarinya pada Putri Kayangan se-
raya tersenyum.
"Gadis cantik ini sahabatku. Namanya Putri Kayan-
gan!" kata Joko sambil melirik ke arah Dewi Ayu Lambada.
Dewa Uuk usap-usap jenggotnya sembari manggut-
manggut. Mendadak si kakek hentikan usapan dan
anggukkan kepalanya. Kepalanya disorongkan ke de-
pan lalu perhatikan Putri Kayangan seolah baru per-
tama kali melihat.
"Kau pernah bertemu dengannya"!" tanya murid
Pendeta Sinting. Dewa Uuk tidak memberi isyarat se-
bagai sambutan pertanyaan orang. Dia terus pandangi si gadis. Di lain pihak
Putri Kayangan memandang tajam pada Pendekar 131!


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat lain tiba-tiba Dewa Uuk tekuk kedua lututnya
lalu duduk bersila di atas tanah. Sekali lagi dia memandang pada Putri Kayangan.
Lalu jari telunjuknya
membuat gambar di atas tanah.
Di seberang sana, Dewa Ayu Lambada cepat meng-
gandeng lengan Iblis Ompong. Tanpa berkata apa-apa
lagi, si nenek cepat melangkah dengan menyeret len-
gan si kakek ke arah Dewa Uuk.
Ketika kakek dan nenek ini tegak di sebelah Dewa
Uuk, keduanya melihat gambar dua kepala di atas ta-
nah. Pada bagian atas gambar diberi angka satu dan
dua. "Uukk! Uuukk! Uuukk!" Dewa Uuk arahkan telun-
juknya pada Putri Kayangan lalu menunjuk pada gam-
bar nomor satu. Saat bersamaan dia memberi tanda silang pada gambar dengan
kepala menggeleng.
"Uuukk! Uuukk! Uuukk!" Dewa Uuk buka mulut la-
gi. Kali ini telunjuknya menekan-nekan pada gambar
berangka dua. Kepalanya mengangguk. Lalu kedua
tangannya disatukan dan diangkat di depan perutnya.
Lalu kedua tangan itu membentuk bundaran di depan
perut. Pendekar 131 dan Putri Kayangan saling pandang.
Sementara Dewi Ayu Lambada sudah berbisik pada Ib-
lis Ompong. "Jadi saudara gadis itu yang kelak melahirkan bayi!"
Pendekar 131 mendekati Putri Kayangan. Meman-
dang sesaat seraya tersenyum lalu berkata pelan. "Pu-
tri.... Kau tentu paham bukan isyarat kakek itu tadi"!"
Walau sebenarnya bisa meraba akan isyarat yang
dibuat Dewa Uuk, namun Putri Kayangan pura-pura
tak mengerti dan berkata.
"Aku tak tahu duduk urusannya! Harap kau suka
memberi tahu...."
"Dua gambar itu menunjukkan kau dan saudara
kembarmu Pitaloka. Tanda silang berarti bukan kau
karena baru saja menunjuk ke arahmu! Sekarang kau
pasti tahu lanjutannya...."
"Jadi kalian tetap menganggap bayi itu akan lahir
dari Pitaloka"!" tanya Putri Kayangan lalu gelengkan kepala. "Aku masih tidak
bisa percaya dengan semua
ini! Tidak mungkin Pitaloka mengandung! Tidak
mungkin itu terjadi padanya!"
"Semuanya memang masih perlu dibuktikan, Pu-
tri...." "Buktinya sudah kau lihat sendiri! Satu purnama
yang lalu perutnya masih biasa-biasa saja! Kalau memang dia, apalagi menurutmu
kelahiran itu tinggal sa-tu purnama lagi, tentu saat itu perut Pitaloka sudah
kelihatan besar!"
"Aku pun sebenarnya berpendapat demikian, Putri!
Namun siapa tahu...."
"Gadis cantik.... Dunia kadang-kadang memuncul-
kan keanehan yang menurut hitungan manusia tak
mungkin!" kata Iblis Ompong.
"Tapi aku tetap belum bisa percaya! Dan aku harus
segera mencarinya!"
"Kita cari bersama-sama, Putri...," kata murid Pen-
deta Sinting. Putri Kayangan geleng kepala. "Pendekar 131! Dia
adalah saudaraku. Biar aku yang mengurusnya!"
"Aku tahu.... Tapi aku juga memerlukan dia! Lagi
pula kau tahu sendiri. Saat itu dia bersama orang yang
mengenakan Jubah Tanpa Jasad. Terlalu berbahaya
kalau kau bertindak sendiri!"
"Aku meninggalkan lereng Semeru dengan men-
gemban tugas mencari Pitaloka sekaligus memba-
wanya ke hadapan Eyang Guru. Mati bukan persoalan
bagiku jika menjalankan apa yang diperintahkan
Eyang Guru!"
"Kau tahu di mana sekarang Pitaloka berada"!"
tanya murid Pendeta Sinting.
"Aku memang tak tahu. Tapi itu bukan halangan
bagiku untuk mendapatkannya!"
"Putri.... Di sini ada Dewa Uuk. Mungkin dia bisa
memberi petunjuk! Walau mungkin kau tidak percaya,
tapi setidaknya kau bisa mendapat gambaran!"
Habis berkata begitu, tanpa menunggu sambutan
Putri Kayangan, murid Pendeta Sinting segera berjongkok lalu berkata pada Dewa
Uuk. "Kek! Kau bisa memberi gambaran di mana seka-
rang gadis saudara kembar Putri Kayangan"!"
Sesaat Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di
belakang telinganya. Saat lain tanpa berkata-kata lagi dia membuat coretan-
coretan di atas tanah.
Walau tidak begitu percaya, namun tak urung Putri
Kayangan perhatikan juga coretan Dewa Uuk. Semen-
tara Joko, Dewi Ayu Lambada, dan Iblis Ompong meli-
hat dengan seksama. Pendekar 131 tampak gelengkan
kepala. Iblis Ompong mendongak dengan mulut terbu-
ka lebat. "Aku tak bisa mengartikan apa maksudnya! Kakek
iblis Ompong pun tampaknya kesulitan menjabarkan!
Hem.... Mungkin nenek itu yang tahu...," kata Joko dalam hati.
"Nek.... Kau tahu apa maksudnya"!"
Dewi Ayu Lambada tersenyum mengejek. Lalu ber-
kata. "Hutan lebat!"
"Hem.... Di dunia ini banyak hutan lebat!"
"Jangan tolol! Kau bisa tanyakan arahnya!" ujar
Dewi Ayu Lambada. "Dan berapa jauh perjalanannya
dari tempat ini!"
Pendekar 131 tersenyum sambil tepuk keningnya.
Lalu berjongkok lagi dan berteriak.
"Kek! Harap tunjuk arahnya dan berapa lama perja-
lanannya dari sini!"
Dewa Uuk bergerak bangkit. Tangan kanannya lu-
rus menunjuk ke arah utara. Lalu tangan satunya di-
ambangkan. Ibu jari dan kelingkingnya ditekuk.
"Perjalanannya tiga hari dari tempat ini. Arahnya
utara!" gumam murid Pendeta Sinting.
"Putri Kayangan.... Kau telah tahu ke mana harus
mencari dan mendapatkan Pitaloka. Kau memang ti-
dak harus percaya. Tapi kalau tidak ingin sia-sia mencari, lebih baik kau ikuti
dahulu petunjuknya!"
"Terima kasih! Aku harus pergi sekarang!" kata Pu-
tri Kayangan lalu setelah memandang pada murid
Pendeta Sinting, gadis cantik ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Putri.... Tunggu! Aku ikut!" teriak Pendekar 131 la-lu berkelebat menyusul.
"Dasar murid manusia sinting! Begitu mendapat
apa yang diminta, ngeloyor tanpa basa-basi!" Dewi Ayu Lambada mengomel.
"Ah.... Kau seperti tidak pernah ketiban cinta saja....
Seharusnya kau maklum!" ujar Iblis Ompong seraya
pandangi sosok murid Pendeta Sinting yang terus berkelebat sambil teriak-teriak
karena Putri Kayangan
seakan tidak mendengar dan malah mempercepat ke-
lebatannya. "Bagaimana sekarang"!" tanya si nenek.
"Kita lanjutkan perjalanan!" jawab Iblis Ompong.
"Bagaimana dengan manusia satu ini"!" tanya si
nenek seraya menunjuk pada Dewa Uuk.
"Dia banyak tahu daripada kita! Kita membutuh-
kannya!" "Jadi kita bawa sekalian"!"
"Kau takut mengganggu acara kita"!" Iblis Ompong
balik bertanya.
"Sialan! Tanpa atau dengan dia, tak ada acara di
antara kita!"
Habis berkata begitu, Dewi Ayu Lambada menggaet
lengan Dewa Uuk. "Kau harus ikut bersama kami!"
Tanpa menunggu isyarat jawaban, Dewi Ayu Lam-
bada sudah berkelebat dengan menggandeng tangan
Dewa Uuk. Iblis Ompong angkat bahu lalu ikut berke-
lebat di belakangnya.
*** SEPULUH KITA tinggalkan dahulu Pendekar 131 dan Putri
Kayangan yang tengah mencari Pitaloka, saudara
kembar Beda Kumala alias Putri Kayangan. Kita ting-
galkan pula Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta
Dewa Uuk yang diam-diam juga tengah mencari Pitalo-
ka. Perempuan yang menurut isyarat Raja Tua Segala
Dewa serta Dewa Uuk adalah perempuan yang kelak
melahirkan bayi.
Kita menuju ke satu tempat tidak jauh dari perba-
tasan sebuah hutan. Matahari sudah beranjak dari ti-tik tengahnya. Sinarnya
masih menyengat hamparan
bumi. Namun sengatan itu tampaknya tidak begitu di-
acuhkan oleh satu sosok tubuh yang duduk di atas
sebuah tanah agak tinggi dengan kedua tangan meno-
pang dagunya. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut menge-
nakan pakaian putih. Rambutnya yang telah memutih
dan panjang dibiarkan bergerai berkibar-kibar ditiup angin. Laki-laki ini
bermata agak sayu dengan salah satu cuping hidungnya dilingkari sebuah anting-
anting. Beberapa kali laki-laki ini menghela napas panjang
dengan memandang jauh. Tatapannya kosong. Tiba-
tiba dia bergumam.
"Lasmini.... Ke mana gerangan perempuan itu"! Se-
harusnya saat ini dia telah berada di sini. Persetan dengan berhasil atau tidak
apa yang dilakukannya!
Namun, hingga saat ini dia tak ada kabar beritanya!"
Lagi-lagi si laki-laki menghela napas. Lalu kepa-
lanya bergerak menggeleng. Saat lain terdengar lagi gumamannya. "Semua rencanaku
tampaknya akan mengalami kegagalan! Bukan saja Lasmini yang tidak
ada beritanya, Kiai Laras pun tak kuketahui di mana beradanya! Padahal saat
perjanjian bertemu sudah lewat.... Ke mami sebenarnya Kiai Laras"! Dan siapa
gerangan manusia yang mengenakan jubah hitam tidak
kelihatan sosoknya itu"! Dan juga menggenggam Kem-
bang Darah Setan! Padahal aku tahu benar, Kembang
Darah Setan telah diberikan Kiai Laras pada Setan
Liang Makam di teluk dekat pesisir utara.... Anehnya, saat berjumpa lagi, Setan
Liang Makam tidak lagi
membawa Kembang Darah Setan, sebaliknya digeng-
gam sosok di balik jubah hitam itu!"
Si laki-laki menyisir geraian rambutnya dengan jari-jari kedua tangannya. "Apa
yang harus kulakukan se-
karang"! Menuruti perintah sosok berjubah hitam un-
tuk menghadapi sekaligus membunuh Pendekar 131"!
Tak mungkin.... Tak mungkin itu kulakukan! Dia terla-lu tangguh untukku! Tapi
kalau tak kulakukan, nya-
waku pun pasti tidak ada artinya berhadapan dengan
manusia tanpa sosok itu! Hem...." Si laki-laki meng-
gumam lalu bangkit.
"Kedua pilihan itu sama saja bagiku! Apa boleh
buat! Yang jelas aku sekarang harus mendapatkan ka-
bar di mana Lasmini dan Kiai Laras. Mungkin kedua-
nya bisa membantu!"
Setelah bergumam begitu, si laki-laki langkahkan
kaki tinggalkan perbatasan hutan. Namun belum begi-
tu jauh melangkah, tiba-tiba satu bayangan hitam
berkelebat. Tidak ada kesempatan bagi si laki-laki untuk berkelebat menyelinap
hingga pada akhirnya dia
palingkan kepala seraya membatin.
"Tidak ada yang tahu tempat ini selain Kiai Laras
dan Lasmini.... Mudah-mudahan salah satunya yang
muncul!" Begitu berpaling, mendadak kedua kaki si laki-laki
langsung bergerak menyurut. Wajahnya berubah te-
gang. Sepasang matanya yang sayu membesar tak ber-
kesip menatap pada sebuah jubah hitam yang tegak
mengapung di udara tanpa terlihat sosok pemakainya!
"Dia!" desis si laki-laki dengan bibir bergetar.
"Kiai Lidah Wetan! Kau terkejut dengan kehadiran-
ku"!" Terdengar ucapan disusul dengan suara tawa
panjang dari sosok tidak terlihat di balik jubah hitam yang tidak lain adalah
Jubah Tanpa Jasad.
"Dari mana dia tahu tempat ini"! Padahal...."
Belum sampai laki-laki yang hidungnya beranting-
anting dan bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan te-
ruskan kata hatinya, sosok di balik Jubah Tanpa Ja-
sad yang tidak lain adalah Kiai Laras telah perdengarkan suara lagi.
"Kiai Lidah Wetan! Jangan mimpi kau bisa lari dari
jangkauan mataku! Dunia ini sudah berada di tangan-
ku! Ke mana pun kakimu melangkah, kau tak bakal
punya tempat untuk sembunyikan diri! Ha.... Ha....
Ha...! Sekarang aku perlu jawabanmu! Mengapa kau
tidak ke tempat yang kukatakan pada waktunya,
hah"!"
"Percuma aku datang kalau tidak berhasil melaku-
kan apa yang kau perintahkan!" jawab Kiai Lidah We-
tan dengan suara bergetar parau.
"Hem.... Jadi kau gagal melakukannya"!"
Kiai Lidah Wetan tidak menjawab. Sebaliknya laki-
laki kakak kandung dari Kiai Laras ini tengadahkan
sedikit kepalanya dengan sosok bergetar.
"Kau tahu apa imbalan bagi manusia yang gagal se-
pertimu"!" kembali Kiai Laras yang tidak bisa dikenali sosoknya karena
mengenakan Jubah Tanpa Jasad
ajukan tanya. Lagi-lagi Kiai Lidah Wetan tidak memberi jawaban.
Sebaliknya dalam keadaan tidak ada pilihan lain dan tahu apa arti pertanyaan
orang, diam-diam Kiai Lidah Wetan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Dia sadar kalau itu tidak ada gunanya. Tapi dia tidak mau tinggal diam dan
mampus tanpa membuat perla-wanan.
Mendapati orang tidak menjawab, Kiai Laras bu-
kannya naik pitam, melainkan tertawa bergelak. Lalu berkata.
"Kiai Lidah Wetan! Manusia dilahirkan telah men-
dapat jaminan untuk mati. Dan jaminan itu telah tiba saatnya bagimu! Tapi aku
tidak mau membuat orang
mampus dengan penasaran dan hati bertanya-tanya!"


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat Kiai Laras hentikan ucapannya. Tertawa pen-
dek sebelum akhirnya berucap lagi.
"Kau tentu ingin tahu siapa aku sebenarnya, bu-
kan"!"
Kiai Lidah Wetan menatap tak berkesip pada jubah
hitam di hadapannya. "Katakan siapa kau sebenar-
nya!" "Kau akan segera tahu...," kata Kiai Laras. Kedua
tangannya segera bergerak lepaskan Jubah Tanpa Ja-
sad. Begitu Jubah Tanpa Jasad jatuh di atas tanah, lak-
sana hendak terbang, Kiai Lidah Wetan melompat ke
depan dengan mata mendelik.
"Laras.... Jadi kau!" desis Kiai Lidah Wetan begitu matanya melihat sosok laki-
laki berusia lanjut yang sangat dikenalnya. Karena dia adalah adiknya sendiri,
Kiai Laras! Kiai Laras kembali tertawa panjang seraya mendon-
gak. Sementara Kiai Lidah Wetan terus menatap seolah masih belum percaya.
"Bagaimana ini bisa terjadi"!" gumam Kiai Lidah
Wetan. "Kau tak usah heran.... Hal ini terjadi karena aku
bukan manusia bodoh sepertimu! Dan agar kau tidak
penasaran, kau akan mendengar ceritanya...."
Kiai Laras melangkah mondar-mandir di sekitar Ju-
bah Tanpa Jasad. Lalu buka mulut. "Kembang Darah
Setan yang kuberikan pada Setan Liang Makam di te-
luk itu adalah Kembang Darah Setan palsu! Hal itu kulakukan agar aku tahu ke
mana gerangan manusia se-
tan itu akan pergi setelah mendapatkan Kembang Da-
rah Setan. Untuk itulah mengapa aku mengajakmu
mengikuti jejak Setan Liang Makam yang ternyata me-
nuju Kampung Setan. Begitu kita tinggalkan Kampung
Setan dan kita berpisah di tengah jalan, aku kembali lagi ke Kampung Setan! Dan
ternyata apa yang kuim-pikan jadi kenyataan! Jubah Tanpa Jasad telah kumi-
liki! Begitu juga Kembang Darah Setan yang asli!"
"Jahanam! Aku tertipu.... Tapi memang ini kebodo-
hanku! Seandainya sejak semula aku tidak mencerita-
kan tentang Kampung Setan, pasti Kembang Darah Se-
tan itu kini menjadi milikku!" diam-diam Kiai Lidah Wetan memaki diri dalam
hati. Seperti diketahui, sebenarnya yang tahu persis ten-
tang masuknya Maladewa alias Setan Liang Makam ke
dalam makam batu adalah Kiai Lidah Wetan. Dia pula
yang mendengar ucapan Nyai Suri Agung bagaimana
dan kapan Maladewa bisa keluar dari makam batu.
Namun karena saat itu Kiai Lidah Wetan dihantui pe-
rasaan takut, dia akhirnya menceritakan semuanya
pada adiknya Kiai Laras, dengan harapan begitu Kiai Laras berhasil mendapatkan
Kembang Darah Setan,
dia akan lebih mudah untuk merebutnya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode :
"Rahasia Kampung Setan").
"Laras...," kata Kiai Lidah Wetan setelah agak lama berdiam diri. "Kita adalah
saudara. Lagi pula dengan petunjukku kau berhasil mendapatkan Kembang Darah
Setan. Apakah kau akan melupakan semua ini"!"
"Ucapanmu benar! Tapi aku tahu apa yang ada da-
lam benakmu! Kau menginginkan Kembang Darah Se-
tan itu bukan"!"
"Kalau aku menginginkannya, aku tidak akan men-
ceritakan padamu! Aku akan mengambilnya sendiri!
Bukankah aku tahu bagaimana cara dan kapan saat-
nya Setan Liang Makam bisa keluar dari makam batu
di Kampung Setan"!"
"Itu juga benar! Tapi kau tak punya nyali untuk
mengambilnya! Lalu kau menceritakan padaku agar
aku mengambilnya! Dengan Kembang Darah Setan di
tanganku, kau berpikir akan mudah memilikinya!
Ha.... Ha.... Ha...! Aku tidak setolol yang kau kira, Lidah Wetan...!"
Kiai Lidah Wetan terdiam. Kiai Laras kenakan kem-
bali Jubah Tanpa Jasad hingga tak lama kemudian so-
soknya tidak kelihatan.
"Sebelum kuucapkan selamat jalan, perlu juga ku-
beri tahu tentang kekasih lamamu...."
"Lasmini...," gumam Kiai Lidah Wetan tanpa sadar.
"Bagus! Kau betul-betul sangat memperhatikannya!"
"Laras! Kau boleh membunuhku! Tapi jangan kau
berbuat macam-macam dengan dia! Dia tidak tahu
apa-apa dalam urusan ini!"
"Dia tahu banyak! Dan tak lama lagi tentu akan se-
gera menyusulmu!"
Tampang Kiai Lidah Wetan berubah beringas. Dia
kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki pada kedua tangannya.
Kiai Laras tertawa. "Kau kuberi kesempatan untuk
lakukan apa yang kau mau, sebelum kuantar ke dunia
lain!" Meski sudah tahu kalau apa yang akan dilakukan-
nya tidak bisa merubah keadaan, tapi Kiai Lidah We-
tan sudah nekat. Didahului bentakan garang, dia melompat ke depan. Kedua
tangannya serta-merta disen-
takkan melepas pukulan dari jarak empat langkah.
Wuutt! Wuuttt! Dua gelombang dahsyat menerjang ganas ke arah
Jubah Tanpa Jasad.
Kiai Laras tidak membuat gerakan. Malah me-
nyongsong gelombang yang datang dengan berkacak
pinggang dan perdengarkan tawa bergelak!
Desss! Desss! Dua gelombang dari kedua tangan Kiai Lidah Wetan
menghantam Jubah Tanpa Jasad. Namun jubah hitam
itu laksana dilapis tembok raksasa. Hingga bukan saja gelombang yang datang
tidak mampu membuat sosok
Kiai Laras jatuh terjengkang, namun gelombang dah-
syat itu segera mental balik dan kini melesat ke arah Kiai Lidah Wetan!
Kiai Lidah Wetan sesaat terkesiap. Namun cepat dia
selamatkan diri dengan jatuhkan diri bergulingan seraya kelebatkan kedua
tangannya. Bummmm! Terdengar gelegar keras ketika gelombang yang
mental dari Jubah Tanpa Jasad bentrok dengan ge-
lombang yang baru saja melesat dari kelebatan kedua tangan Kiai Lidah Wetan.
Bersamaan dengan terdengarnya gelegar, kedua
tangan Kiai Laras tampak membuat gerakan. Saat lain terdengar deruan. Kiai Lidah
Wetan tersentak. Buru-buru dia kelebatkan kembali kedua tangannya tatkala
menyadari Kiai Laras telah lepaskan pukulan ke arahnya.
Bummmm! Untuk kedua kalinya terdengar lagi gelegar tatkala
pukulan yang dilepas Kiai Laras bertemu dengan pu-
kulan hadangan Kiai Lidah Wetan.
Sosok Kiai Lidah Wetan bergulingan lagi karena ha-
rus menahan bentroknya beberapa kali pukulan. Ke-
sempatan ini tidak disia-siakan oleh Kiai Laras yang tampaknya sudah tak sabar.
Hingga begitu mendapati
Kiai Lidah Wetan bergulingan, Kiai Laras cepat ambil Kembang Darah Setan dari
balik pakaiannya. Saat lain tangannya yang tiba-tiba pancarkan sinar tiga warna,
merah, hitam, dan putih telah berkelebat.
Pancaran sinar tiga warna yang tidak lain mencuat
dari Kembang Darah Setan berkiblat angker ke arah
Kiai Lidah Wetan.
Begitu derasnya kiblatan sinar tiga warna, terlam-
bat bagi Kiai Lidah Wetan untuk bergerak selamatkan diri atau membuat gerakan
menghadang. Desss! Desss! Desss!
Kiai Lidah Wetan melolong tinggi. Namun lolongan-
nya terputus mendadak. Kejap lain sosok kakak kan-
dung Kiai Laras ini mengejang lalu diam tak bergerak-gerak lagi dengan sekujur
tubuh menghitam laksana
dipanggang! Kiai Laras tersenyum dingin. Kembang Darah Setan
dimasukkan lagi ke balik pakaiannya. Tanpa melihat
lagi pada sosok mayat Kiai Lidah Wetan, Kiai Laras
berkelebat tinggalkan perbatasan hutan yang tebarkan hawa kematian!
*** SEBELAS EMPAT sosok tubuh bertelanjang dada tampak ber-
kelebat memasuki kawasan lereng Gunung Semeru.
Dua berlari di sebelah depan, dua lainnya berada di belakang. Ketika berjarak
lima belas langkah di depan sana terlihat sebuah batu besar yang membentuk
bangunan, keempat sosok ini sama saling pandang. Lalu
salah seorang yang berada di bagian depan angkat
tangan kirinya memberi isyarat. Keempatnya serentak hentikan lari masing-masing.
Keempat orang ini ternyata adalah laki-laki berke-
pala gundul. Mereka hanya mengenakan celana kolor.
Orang bagian depan sebelah kanan mengenakan cela-
na kolor warna merah. Sementara di sebelahnya men-
genakan celana kolor warna hitam. Orang di bagian belakang sebelah kanan memakai
celana kolor warna
kuning, sedang di sebelahnya memakai celana kolor
warna hijau. Keempat laki-laki ini memiliki paras wajah hampir
sama. Yakni kepalanya membentuk lonjong ke bawah.
Mata masing-masing orang tidak membelah ke samp-
ing melainkan membelah ke bawah. Begitu pula bibir
masing-masing orang. Bukannya membelah ke samp-
ing, melainkan ke bawah.
Laki-laki yang mengenakan celana kolor warna me-
rah yang tadi angkat tangannya dan tampaknya meru-
pakan pimpinan, gerakkan kepala berpaling pada laki-laki di sebelahnya. Lalu
terdengar ucapannya.
"Apa kita langsung menemui Eyang..."!"
Laki-laki di samping si celana kolor warna merah
segera buka mulut menjawab.
"Kalau kita menunggu, beban ini rasanya bertam-
bah berati Apa pun yang nanti terjadi, kita terima! Kita sudah berusaha...."
Si celana kolor warna merah menoleh ke belakang.
Kedua laki-laki yang tegak di bagian belakang sama
anggukkan kepala masing-masing tanpa buka suara.
"Baik.... Biar aku nanti yang bicara!" kata laki-laki bercelana kolor warna
merah lalu mulai gerakkan kaki melangkah diikuti oleh ketiga laki-laki lainnya.
Kira-kira berjarak sepuluh langkah dari batu besar
yang membentuk bangunan, tiba-tiba satu bayangan
putih melesat keluar dari batu besar dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di
hadapan keempat laki-laki.
Sesaat keempat laki-laki sama angkat kepala mas-
ing-masing. Saat lain hampir bersamaan mereka men-
jura hormat. Orang di hadapan keempat laki-laki ternyata adalah
seorang perempuan setengah baya. Rambutnya hitam
lebat dan disanggul di belakang. Perempuan ini masih tampak cantik walau sudah
tidak muda lagi. Dia mengenakan pakaian putih sebatas dada mirip pakaian
yang dikenakan para penari. Pada rambutnya yang hi-
tam terlihat beberapa bunga. Di sela jari telunjuk dan jari tengah kedua
tangannya terlihat pula menyelinap sekuntum bunga.
"Tokoh-tokoh Penghela Tandu...." Si perempuan
berkata. "Kalian pulang tanpa Beda Kumala. Apa yang terjadi"!"
Keempat laki-laki yang memang bukan lain adalah
Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama angkat kepalanya.
Laki-laki yang bercelana kolor merah melirik sesaat pada ketiga laki-laki
lainnya. Saat lain dia angkat bicara. "Eyang.... Putri Kayangan menghendaki agar
kami pulang terlebih dahulu! Sebenarnya kami tak mau melakukannya, tapi Putri
Kayangan memaksa...."
"Hem.... Lalu apakah kalian telah berkunjung ke
Jurang Tlatah Perak"!"
"Kami sudah sampai ke sana. Tapi Pendeta Sinting
tidak ada di tempatnya! Hanya saja kami sempat ber-
temu dengan muridnya, Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng....
"Bagaimana dengan Pitaloka"!"
"Kami belum sampai bertemu dengan Pitaloka. Na-
mun menurut murid Pendeta Sinting, Pitaloka telah
membawa lari Pedang Tumpul 131 milik pendekar mu-
da itu! Dan menurut berita yang tersiar, Kembang Darah Setan telah berada di
tangan pendekar muda itu.
Hanya saja Putri Kayangan belum percaya...."
Si perempuan menghela napas dalam. "Pitaloka....
Kau banyak membuat persoalan. Dengan tindakanmu
ini secara tak langsung kau telah mengadu aku den-
gan beberapa sahabat baikku!"
"Lalu siapa lagi yang sempat kalian jumpai"!" tanya si perempuan setelah terdiam
beberapa lama. "Kami sempat berjumpa dengan seseorang yang
bergelar Datuk Wahing. Lalu Setan Liang Makam serta seorang gadis cantik bernama
Saraswati...."
"Datuk Wahing aku telah mengenalnya. Tapi Setan
Liang Makam baru kali ini aku mendengar gelar itu...,"
gumam si perempuan. "Kembang Darah Setan telah
berada di tangan murid Pendeta Sinting... Hem.... Apa benar berita ini"! Apa
Beda Kumala mengatakan pada
kalian hendak pergi ke mana"!" Perempuan itu ber-
tanya lagi. "Tidak, Eyang.... Putri Kayangan cuma mengatakan
hendak terus mencari Pitaloka dan menyuruh kami
pulang terlebih dahulu untuk menyampaikan apa yang
terjadi!" "Baik! Sekarang kalian tetap tinggal di sini sampai aku pulang! Ingat jangan
sampai ada yang meninggalkan tempat ini sebelum kedatanganku nanti!"
Habis berkata begitu, si perempuan balikkan tubuh
lalu berkelebat kembali masuk ke dalam batu besar
yang membentuk bangunan. Tak lama kemudian ter-
dengar derap langkah kaki kuda. Lalu dari bagian
samping batu besar, muncul seekor kuda dan ternyata penunggangnya adalah si
perempuan yang tadi dipanggil Eyang oleh Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
"Jika Beda Kumala datang mendahului aku, cegah
dia agar menunggu sampai aku kembali!" kata si pe-
rempuan lalu tanpa menunggu jawaban Tokoh-tokoh
Penghela Tandu, si perempuan sudah hentakkan ke-
dua kakinya pada lambung kuda tunggangannya. Bi-
natang itu meringkih keras lalu berlari tinggalkan lereng Gunung Semeru.
*** Setelah berkuda selama dua hari dua malam, si pe-
rempuan berpakaian putih sebatas dada sampai pada


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu kawasan yang dari tempat itu terlihat hutan lebat.
Si perempuan menarik napas dalam-dalam. Kepalanya
didongakkan lalu menghirup udara berlama-lama.
"Aku bisa mencium keberadaan Pitaloka dan Beda
Kumala di sekitar tempat ini! Aneh.... Mengapa mereka berdua berada di hutan
lebat itu" Tapi aku juga dapat mencium aroma beberapa orang lagi.... Hem.... Di
dalam hutan lebat dan sunyi ada beberapa orang. Pasti ada sesuatu di sana....
Tapi mengapa Pitaloka dan Be-da Kumala ikut berada di sana"!"
Selagi si perempuan tengah membatin dan ber-
tanya-tanya sendiri mendadak dia dikejutkan dengan
terdengarnya suara cekikikan.
"Perempuan...," si perempuan di atas kuda meng-
gumam. Lalu melompat turun dari atas kuda tunggan-
gannya dan cepat putar diri menghadap sumber ter-
dengarnya suara cekikikan.
Untuk beberapa lama si perempuan dari lereng Se-
meru memperhatikan ke depan. Dia melihat seorang
perempuan berusia lanjut melangkah sendiri sambil
tertawa-tawa. "Siapa nenek itu" Dandanannya mirip anak gadis
saja...," kembali si perempuan dari lereng Semeru
menggumam dan memperhatikan lebih seksama pada
sosok perempuan berusia lanjut yang tertawa cekiki-
kan sendiri. Perempuan itu ternyata membedaki wa-
jahnya tebal-tebal. Bibirnya dipoles merah menyala.
Pipi kiri kanannya juga diberi pewarna merah muda.
Rambutnya yang putih dan panjang serta lebat dikelabang jadi dua. Pada ujung
kelabangan rambutnya di-
beri pita warna merah. Sama warnanya dengan pa-
kaian yang dikenakannya. Sementara rambut bagian
depannya diponi dan digeraikan pada keningnya.
Nenek ini mengenakan pakaian atas berupa baju
tanpa lengan dan sangat cingkrang hingga bukan saja ketiaknya yang kelihatan,
namun pusarnya yang hitam tampak jelas. Sementara pakaian bawahnya berupa celana
pendek di atas lutut. Hingga pahanya yang berkulit hitam terpampang nyata.
Sambil melangkah dengan tertawa sendiri, tangan
kiri nenek ini memainkan ujung kelabang rambutnya
sementara tangan satunya sesekali merapikan poni
pada keningnya.
Si nenek berambut poni mendadak hentikan lang-
kah. Tawanya diputus dan melonjak kaget tatkala ma-
tanya menangkap adanya orang yang tegak di depan
sana. "Setan! Bikin orang kaget saja! Siapa kau"!" Tiba-
tiba si nenek berambut poni membentak.
Si perempuan dari lereng Semeru sunggingkan se-
nyum walau sedikit merasa heran dengan sikap si ne-
nek. Lalu anggukkan kepala dan buka mulut.
"Aku hanya orang tersesat jalan, Nek..."
Si nenek berambut poni memandang tajam pada
orang. Lalu edarkan pandang matanya berkeliling.
Saat lain kembali dia sudah perdengarkan bentakan
keras. "Jangan berani berkata dusta! Kau tersesat atau
menyesatkan diri"!"
"Aku benar-benar tersesat jalan, Nek...!"
"Setan! Aku bukan nenekmu!" hardik si nenek be-
rambut poni. "Dari mana asalmu hingga sampai terse-
sat di sini"!"
Sambil terus sunggingkan senyum si perempuan
menjawab. "Aku datang dari jauh. Tepatnya dari lereng Gunung Semeru...."
"Jangan senyam-senyum!" bentak si nenek berponi.
"Lalu ke mana kau hendak pergi"!"
"Aku tak tahu akan ke mana. Karena tengah men-
cari dua cucuku...."
Mendengar jawaban orang, sekonyong-konyong si
nenek berambut poni meledak tawanya. "Semuda itu
kau sudah punya cucu.... Dua lagi! Setan sekalipun jarang semuda kau yang
memiliki dua cucu! Apa kau
kawin masih kanak-kanak"!"
"Tidak juga.... Tapi yang jelas aku memang sudah
punya cucu...."
"Sudah seberapa besar cucumu yang kau cari"!"
tanya nenek berambut poni.
"Umur mereka kira-kira tujuh belas tahunan...."
Si nenek berambut poni kerutkan dahi dan pasang
tampang seolah tengah berpikir keras. "Cucumu laki-
laki atau perempuan..."!"
"Boleh aku tahu, mengapa kau menanyakan itu"!"
Si perempuan dari lereng Semeru balik ajukan tanya.
"Setan! Itu urusanku! Jawab saja laki-laki atau pe-
rempuan!" "Keduanya perempuan...."
"Apa mereka lari dibawa laki-laki"!"
Yang ditanya gelengkan kepala. "Mereka kusuruh
menemui seorang sahabatku.... Dan mungkin karena
baru turun gunung, mereka tersesat...."
"Ucapanmu tidak dusta"!" tanya nenek berponi.
"Aku tidak terbiasa bohong...."
"Siapa nama kedua cucumu itu"!"
"Nek.... Pertanyaanmu sudah terlalu banyak! Harap
kau tidak kecewa kalau kali ini aku tidak bisa menjawab tanyamu...."
"Setan! Berarti kau tidak punya cucu! Terbukti kau
tidak bisa katakan siapa nama cucumu! Dan itu tan-
danya semua ucapanmu tadi dusta!"
"Nek.... Aku bicara apa adanya. Terserah padamu
mau percaya atau tidak.... aku sekarang harus per-
gi...." "Setelah mendustaiku, kau kira enak saja bisa per-
gi, hah"! Kau tak akan tinggalkan tempat ini sebelum mengatakan siapa nama kedua
cucumu!" "Nek.... Ada apa sebenarnya"! Mengapa kau begitu
bersikeras hendak tahu nama kedua cucuku"!"
"Bukan saatnya kau bertanya! Tapi waktunya kau
menjawab!"
"Aku tak akan mengatakannya sebelum kau kata-
kan ada apa ini!"
"Hem.... Kau mau aku bertindak sedikit keras, he?"
"Aku tidak menginginkannya! Yang kuinginkan ke-
dua cucuku!"
"Simpan keinginanmu! Kau tidak punya cucu!" ben-
tak nenek berponi.
"Hem.... Tak ada gunanya meladeni nenek aneh
ini.... Aku tak mau membuat urusan. Apalagi aku da-
pat mencium aroma orang tidak jauh dari tempat ini.
Mungkin teman nenek ini.... Lebih baik aku segera
pergi...."
Berpikir begitu, akhirnya tanpa berkata-kata lagi si perempuan dari lereng
Gunung Semeru putar diri setengah lingkaran dan melangkah hendak tinggalkan
tempat itu. Namun baru saja si perempuan gerakkan kaki, tiba-
tiba terdengar suara deruan. Saat bersamaan satu gelombang angin berkiblat ke
arah si perempuan dari lereng Gunung Semeru.
Si perempuan cepat jejakkan kedua kakinya, so-
soknya mental ke udara. Gelombang angin lewat se-
tengah tombak di bawahnya lalu menerabas rimbun
dedaunan di seberang sana hingga bertaburan ke uda-
ra. Mendapati orang dapat menghindar selamatkan diri, si nenek berambut poni
tertawa. Namun pada saat
yang sama kedua tangannya diangkat lalu disentak-
kan. "Brusss! Brusss! Brusss!"
Tiba-tiba terdengar orang bersin-bersin. Satu desi-
ran angin menderu. Hebatnya mampu membuat gera-
kan si nenek berambut poni tertahan.
Si nenek memaki lalu perdengarkan bentakan ga-
rang. "Setan Wahing! Beraninya kau berulah!"
Bersamaan dengan terdengarnya bentakan si ne-
nek, desiran angin menyibak hingga kedua tangan si
nenek kembali leluasa bergerak. Namun belum sampai
si nenek benar-benar gerakkan kedua tangannya,
kembali terdengar bersinan disusul dengan terdengarnya suara.
"Nenek cantik! Tahan dulu hatimu! Lihat dengan te-
liti siapa yang kini ada di hadapanmu!"
Belum lenyap suara orang, satu sosok berkelebat
dan tegak di hadapan si nenek. Dia adalah seorang
kakek berpakaian agak lusuh. Tangan kanannya me-
megang tongkat. Kepalanya selalu bergerak pulang balik ke depan ke belakang
dengan paras wajah seperti orang hendak bersin.
"Datuk Wahing.... Aku sudah menduganya!" gumam
si perempuan dari lereng Gunung Semeru begitu meli-
hat siapa adanya kakek bertongkat yang kepalanya terus bergerak dengan mimik
seperti orang akan bersin.
"Sudah lama kita tak saling jumpa.... Apa kabarmu,
Nyai"!" kata si kakek yang tidak lain adalah Datuk
Wahing. "Setan! Jadi kau sudah kenal dia"! Siapa dia, he"!
Gendakmu"!" bentak si nenek berambut poni.
Datuk Wahing tidak segera menjawab, melainkan
bersin berkali-kali!
SELESAI Segera terbit: NYAI TANDAK KEMBANG
Scanned by Clickers
Edited by Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** DUA *** *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** SELESAI NYAI TANDAK KEMBANG
Duri Bunga Ju 10 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Senopati Pamungkas I 21
^