Pencarian

Nyai Tandak Kembang 1

Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang Bagian 1


Hak cipta dan copyright
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman RI
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Me-
rek di bawah nomor 012875
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU DAYANG Sepuh pasang tampang tidak senang. Apa-
lagi mendapati pertanyaannya tidak memperoleh jawa-
ban dan Datuk Wahing nimbrung campur tangan.
"Hentikan bersinan mu, Setan!" Dayang Sepuh
langsung perdengarkan bentakan keras membahana
kala dilihatnya Datuk Wahing terus-menerus perden-
garkan bersinan.
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya yang
bergerak pulang balik ke depan ke belakang mengikuti bersinannya.
"Nek.... Jangan kau membuat orang jadi heran! Su-
dah kukatakan, lihat dengan teliti siapa adanya pe-
rempuan yang di hadapanmu!"
Walau dengan meredam rasa geram, akhirnya si
nenek yang rambutnya dikelabang dua dan bagian de-
pannya diponi serta mengenakan pakaian cingkrang
tanpa lengan hingga pusar dan ketiaknya kelihatan ini sekali lagi memperhatikan
perempuan berpakaian putih sebatas dada yang tegak di hadapannya.
"Aku tidak bisa mengenali setan perempuan itu! Ka-
takan saja terus-terang! Dia orang baik-baik atau manusia dari golongan setan!"
"Bruss! Brusss! Kau benar-benar membikin aku he-
ran! Meski dia sekarang makin cantik dan membuatmu
lupa, seharusnya kau masih ingat akan beberapa
kembang di rambut serta di sela jari kedua tangan-
nya.... Itulah tanda jika orang di hadapanmu adalah
Nyai Tandak Kembang!"
"Nyai Tandak Kembang...." Dayang Sepuh bergu-
mam mengulangi nama yang baru saja diucapkan Da-
tuk Wahing dengan sibakkan poni di depan keningnya.
Kening si nenek tampak berkerut tanda dia sedang
mengingat. "Astaga! Jadi kaulah manusianya yang pernah
membuat tergila-gila Pendeta Sinting pada beberapa
puluh tahun yang lalu itu"! Pantas.... Di usia yang begini saja wajahmu masih
cantik! Apalagi di masa la-
lu...." Dayang Sepuh berucap.
Perempuan berpakaian putih sebatas dada yang pa-
ras rupanya masih kelihatan cantik walau tidak muda
lagi itu tampak tersipu. Namun dia segera menyahut.
"Semua itu hanya kabar yang tidak benar, Nek....
Antara aku dengan Pendeta Sinting tidak lebih daripa-da sekadar hubungan
bersahabat!"
"Kau salah mengucapkan itu kalau dengan sesama
perempuan! Aku tahu bagaimana sifat perempuan! Ma-
lah tak jarang perempuan mengatakan tidak, walau
dalam hatinya mengucapkan ya!" sambut Dayang Se-
puh. Perempuan cantik di hadapan Dayang Sepuh yang
tadi diperkenalkan Datuk Wahing dengan nama Nyai
Tandak Kembang tersenyum. Namun ekor matanya
melirik ke seantero tempat itu. Dalam hati dia bergumam. "Aku masih dapat
mencium aroma orang lain se-
lain mereka berdua! Orang itu tidak berada jauh dari tempat Ini...."
Seperti diceritakan pada episode "Titisan Pamung-
kas", Nyai Tandak Kembang meninggalkan lereng Gu-
nung Semeru setelah mendapat keterangan dari To-
koh-tokoh Penghela Tandu tentang Putri Kayangan
dan Pitaloka serta keadaan yang kini tengah terjadi dalam rimba persilatan.
Begitu sampai di kawasan yang berbatasan dengan
sebuah hutan lebat, Nyai Tandak Kembang yang memi-
liki keahlian dapat mengetahui adanya orang dengan
penciuman dapat menduga kalau kedua orang yang
tengah dicari, yakni Pitaloka dan Beda Kumala alias
Putri Kayangan berada di sekitar tempat itu. Namun
begitu dia hendak melangkah, muncul seorang nenek
berbedak tebal berbibir merah polesan yang rambut-
nya dikelabang dua dan diponi bagian depannya. Ne-
nek ini tidak lain adalah Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh mengajukan beberapa pertanyaan
pada Nyai Tandak Kembang. Karena terlalu banyak
pertanyaan yang diajukan, pada akhirnya Nyai Tandak
Kembang memutuskan untuk tinggalkan tempat itu
dan tidak meladeni Dayang Sepuh. Rupanya si nenek
tidak membiarkan Nyai Tandak Kembang pergi sebe-
lum menjawab pertanyaannya. Hingga Dayang Sepuh
sempat lepaskan pukulan. Pukulan pertamanya dapat
dihindari Nyai Tandak Kembang. Begitu Dayang Sepuh
hendak susul pukulan, mendadak muncul Datuk Wah-
ing, seorang tokoh yang selalu bersin-bersin.
"Brusss! Brusss! Nyai.... Sebenarnya aku tak mau
membuatmu heran dengan pertanyaanku. Namun da-
ripada aku harus menanggung heran terus-menerus,
kuharap kau mau untuk memberi penjelasan pada-
ku...." Datuk Wahing hentikan ucapannya sesaat un-
tuk bersin. Lalu berucap lagi. "Kau tadi mengatakan
tengah mencari dua orang cucumu. Yang kau maksud
gadis bergelar Putri Kayangan, bukan"!"
Nyai Tandak Kembang sedikit terkejut. Dia melirik
pada Dayang Sepuh. Namun dia tidak buka mulut un-
tuk beberapa saat. Sebaliknya paras wajah perempuan
ini jelas membayangkan kebimbangan. Apalagi dia ya-
kin bahwa tidak jauh dari tempat itu ada orang yang
belum tunjukkan diri.
"Datuk.... Kuharap kau tidak menyesal atau kecewa
jika aku tidak dapat menjelaskan padamu...."
"Putri Kayangan.... Aku sepertinya pernah menden-
gar nama setan itu!" gumam si nenek. "Sepertinya ma-
sih terngiang di telingaku.... Tapi sialan benar! Aku lu-
pa ingat tampangnya!"
"Brusss! Aku tidak heran dengan jawabanmu!" kata
Datuk Wahing. "Mungkin kau takut ada orang lain
yang mendengarnya!" Datuk Wahing hentikan gerakan
kepalanya. Lalu dipalingkan ke kanan. "Nyai.... Kau
tak usah khawatir apalagi heran. Dia adalah sahabat
kita juga...."
Belum sampai ucapan Datuk Wahing selesai, tiba-
tiba dari balik sebatang pohon arah mana Datuk Wah-
ing berpaling, muncul satu sosok laki-laki bertubuh
gemuk besar mengenakan pakaian gombrong warna
hijau. Pada pinggangnya melilit ikat pinggang besar
yang tepat di depan perutnya menggantung sebuah
cermin bulat. Kepala laki-laki ini menghadap lurus ke arah Nyai Tandak Kembang.
Sepasang matanya mengerjap. Bukan karena mengagumi kecantikan orang,
melainkan karena sudah terlalu lama memejam. Selain
itu karena ternyata sepasang mata laki-laki ini ber-
warna putih. Tanda jika dia orang buta.
"Gendeng Panuntun!" bisik Nyai Tandak Kembang
mengenali siapa adanya laki-laki tambun bermata bu-
ta. Laki-laki bermata buta bertubuh tambun dan me-
mang Gendeng Panuntun adanya melangkah ke arah
Datuk Wahing seraya berujar.
"Aromamu makin menusuk hidung saja. Tanda
semakin tambah umur, kau makin tambah cantik me-
narik! Bagaimana kabarmu, Nyai..."!"
"Ucapannya jelas membuktikan kalau dia tahu aku
bisa mengetahui kehadirannya di sekitar tempat ini
dengan penciumanku...." Nyai Tandak Kembang berka-
ta dalam hati. Lalu tersenyum sembari berkata.
"Aku baik-baik saja, Kek...!"
"Huh! Dasar setan laki-laki! Tidak bisa melihat pun
masih bisa berkata memuji!" desis Dayang Sepuh den-
gan monyongkan mulut mendengar ucapan Gendeng
Panuntun. "Itulah setan laki-laki, Nek! Jelek pun kalau ada
maunya pasti dikatakan cantik! Bahkan tidak ada pun
harus diada-adakan!" sahut Gendeng Panuntun.
"Brusss! Herannya, perempuan sering kali takluk
dengan pujian dan terpikat dengan sesuatu yang di-
ada-adakan!" Datuk Wahing sambungi ucapan Gen-
deng Panuntun. "Itu hanya akan dilakukan perempuan dungu dan
perempuan setan!" seru Dayang Sepuh dengan sengit.
Gendeng Panuntun hentikan langkah di samping
Datuk Wahing. Tangan kanannya mengusap cermin
bulat di depan perutnya. Lalu berkata.
"Nyai.... Sebaiknya kita saling berterus terang. Dengan keberadaanmu di sini,
pasti kedua gadis yang kau cari itu ada di sekitar tempat ini! Dan kalau benar
salah seorang gadis itu bergelar Putri Kayangan, kuharap kau nantinya tabah....
Nyai Tandak Kembang terkesiap. Walau belum
mengenal betul Dayang Sepuh, namun karena telah
tahu siapa Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun, ke-
bimbangan Nyai Tandak Kembang jadi sirna. Hingga
akhirnya dia buka mulut.
"Salah seorang yang kucari bernama Beda Kumala
dan di luaran dia memang dikenal dengan Putri
Kayangan! Sebenarnya ada apa dengan gadis itu?"
"Brusss! Dan kau pasti tidak heran bila kukatakan
yang satunya adalah Pitaloka!" kata Datuk Wahing.
"Benar, Datuk...," jawab Nyai Tandak Kembang
dengan dada makin gelisah. "Ada apa dengan kedua
anak itu"! Ucapan Gendeng Panuntun mengisyaratkan
akan terjadi sesuatu musibah.... Apa yang dilakukan
keduanya"!" Nyai Tandak Kembang menghela napas
dalam. Dan seolah tidak sabar menunggu jawaban, pe-
rempuan dari lereng Gunung Semeru ini kembali aju-
kan tanya. "Harap kalian memberi keterangan padaku ada apa
sebenarnya dengan gadis itu?"
"Dia hamil!" Yang menjawab adalah Dayang Sepuh.
Telinga Nyai Tandak Kembang laksana mendengar
gelegar petir di tengah hari. Wajahnya berubah dengan dada berdebar dan sosok
bergetar. Untuk beberapa
lama dia coba kuasai guncangan jiwanya dengan ten-
gadahkan kepala dan memejamkan mata.
Di hadapan Nyai Tandak Kembang, Datuk Wahing
berpaling pada Dayang Sepuh. Saat yang sama Gen-
deng Panuntun hadapkan wajahnya pula pada si ne-
nek. Dayang Sepuh tampaknya dapat menangkap
maksud gerakan kedua orang ini. Hingga dia segera
saja berucap dengan suara ketus.
"Aku tak suka berbasa-basi! Bukankah kenyataan-
nya memang demikian"! Gadis itu hamil!"
"Tak mungkin!" Mendadak Nyai Tandak Kembang
menyahut. "Beda Kumala belum lama meninggalkan
lereng Semeru! Selama ini aku tidak pernah menden-
gar dan tahu dia punya hubungan tertentu dengan
seorang laki-laki! Bagaimana mungkin dia bisa hamil
begitu cepat" Lagi pula.... Apakah di antara kalian benar-benar sudah
membuktikannya"!"
"Nyai.... Sebenarnya kami belum bisa memastikan
siapa yang hamil!" Yang perdengarkan suara Gendeng
Panuntun. "Namun satu hal yang pasti, satu di antara kedua gadis itu
mengandung!"
Nyai Tandak Kembang menggigit bibirnya. Dalam
hati dia berkata. "Apakah Pitaloka" Kepergiannya te-
rakhir kali dari lereng Semeru enam purnama yang la-
lu. Tapi apakah mungkin..."! Dia memang anak yang
kurang hati-hati dan ceroboh! Tapi aku tahu benar
siapa dia! Tak mungkin dia berani bermain api dengan
laki-laki! Hem.... Mereka bertiga pasti salah duga!"
Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya
pada Gendeng Panuntun. Dia sebenarnya tahu bahwa
ucapan Gendeng Panuntun jarang yang meleset. Na-
mun dalam keadaan seperti saat ini, tampaknya Nyai
Tandak Kembang lebih percaya pada apa yang diketa-
huinya. Karena dia telah hidup bertahun-tahun den-
gan Pitaloka dan Putri Kayangan.
"Kakek Gendeng Panuntun!" kata Nyai Tandak
Kembang setelah agak lama terdiam dan bergulat den-
gan batinnya sendiri. "Dan kau Datuk Wahing serta
Nenek.... Kalian boleh menduga, tapi aku bisa pastikan jika dugaan kalian salah!
Tak mungkin salah satu di
antara kedua gadis Ku mengandung! Aku tahu siapa
mereka!" Kepala Gendeng Panuntun manggut-manggut. "Kau
memang berhak memastikan! Namun kau mau dengar
sedikit cerita dariku"!"
Gendeng Panuntun tidak menunggu jawaban orang.
Dia segera buka mulut lagi. "Beberapa waktu yang la-
lu, aku bertemu dengan Raja Tua Segala Dewa. Kau
tentunya tahu siapa dia! Apa yang tadi kukatakan
mengenai kedua gadis itu adalah penjabaran ucapan-
nya! Aku tidak memaksamu untuk percaya. Tapi seti-
daknya kau nanti tidak merasa terkejut...."
"Aku tahu siapa Raja Tua Segala Dewa! Untuk uru-
san lain mungkin aku percaya. Tapi dalam urusan ini, rasanya sulit bagiku untuk
begitu saja percaya tanpa melihat dahulu buktinya!"
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang arah-
kan pandang matanya silih berganti pada ketiga orang di hadapannya.
"Aku melihat keanehan.... Kalian sepertinya tahu
benar urusan kedua gadis itu. Apa sebenarnya hubun-
gan kalian dalam urusan ini"!"
Bruss! Brusss! Saat ini telah muncul seorang ma-
nusia yang kesaktiannya sulit dijajaki! Adalah mengherankan kalau kita harus
berdiam diri walau hanya se-
dikit yang bisa kita perbuat!"
"Hem.... Lalu hubungannya dengan kedua gadis
itu"!" Nyai Tandak Kembang kembali ajukan tanya.
"Kelak bayi dari salah seorang gadis itu yang dapat


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghentikan manusia itu!" Yang menjawab adalah
Gendeng Panuntun.
"Jadi kalian juga tengah mencari kedua gadis itu"!"
"Brusss! Betul! Hanya...."
Belum sampai Datuk Wahing teruskan ucapan, Nyai
Tandak Kembang telah menukas.
"Harap kalian tidak kecewa. Hidup matinya kedua
gadis itu berada di tanganku. Jadi.... Setan pun tak akan kubiarkan untuk
terlibat urusan dengan kedua
gadis itu!"
Mendengar kata-kata Nyai Tandak Kembang yang
sedikit agak keras, Gendeng Panuntun tertawa pelan.
Lalu berujar. "Jangan berpikir terlalu jauh, Nyai.... Yang kami
perbuat hanya sekadar memberi tahu sekaligus me-
nyelamatkan gadis itu...."
"Menyelamatkan bagaimana maksudmu"!"
"Kalau sampai ada orang lain tahu jika bayi itu bu-
kan bayi sembarangan, tentu keselamatan gadis itu setiap saat jadi incaran
orang! Dan kami bertiga cuma
sebatas itu bisa berbuat!"
"Aku belum paham maksudmu!" ujar Nyai Tandak
Kembang. "Kami hanya bisa menjaga keselamatan gadis itu
sampai bayi dalam kandungannya lahir. Setelah itu
hanya ada satu orang yang bisa bertindak dengan bayi itu!"
Nyai Tandak Kembang kembali menghela napas da-
lam. "Kalian pernah bertemu dengan kedua gadis itu"!"
"Brusss! Kami bertemu dengan keduanya kira-kira
satu setengah purnama yang lalu! Seandainya kami ti-
dak berjumpa saat keduanya sama-sama muncul, pas-
ti kami akan dibuat terheran-heran! Karena tentu kami tidak bisa membedakan
antara satu dengan lainnya!"
"Ketika kalian bertemu satu setengah purnama
yang lalu, apakah kalian melihat tanda-tanda jika salah satu dari mereka tengah
mengandung"!"
"Aku tidak bisa melihat. Tapi aku bisa memastikan
saat itu tidak ada yang tengah mengandung!" jawab
Gendeng Panuntun.
"Brusss! Kalau aku bisa melihat. Herannya aku ti-
dak bisa memastikan apakah di antara mereka ada
yang sedang mengandung.... Mungkin pandangan ne-
nek cantik ini lain, soalnya dia perempuan dan sangat banyak pengalaman!
Bagaimana menurutmu, Nek"!"
tanya Datuk Wahing seraya berpaling pada Dayang
Sepuh yang sejak tadi hanya diam.
"Aku tidak tahu soal kandung-mengandungi Karena
aku belum pernah mengalaminya!" jawab si nenek ma-
sih dengan nada ketus.
"Nyai.... Saat itu kami memang tidak terlalu mem-
perhatikan, karena persoalan ini baru kami ketahui setelah pertemuan dengan
kedua gadis itu!"
"Tapi kalian bisa memastikan bukan kalau saat itu
keduanya tidak ada yang tengah mengandung"!"
"Setidak-tidaknya demikian...," kata Gendeng Pa-
nuntun. "Hem.... Kalau satu setengah purnama yang lalu
Gendeng Panuntun bisa memastikan keduanya tidak
ada yang tengah mengandung, tentu kejadiannya tidak
lama berselang.... Ah, mengapa aku jadi ikut-ikutan
percayai. Tidak mungkin mereka melakukannya! Aku
harus segera mendapatkan mereka! Aku bisa memas-
tikan mereka berdua ada di sekitar tempat ini.... Setidaknya tidak berada di
luar kawasan hutan!" Nyai
Tandak Kembang bicara dengan diri sendiri. Lalu ber-
kata. Terima kasih atas penjelasan kalian.... Sekarang
aku harus pergi!"
"Nyai.... Apakah tidak lebih baik kalau kita pergi
bersama-sama"! Kedua gadis itu sangat dekat den-
ganmu. Kau tentu akan lebih bisa memberi pengertian...,"
kata Gendeng Panuntun.
"Brusss! Benar.... Terlalu mengherankan kalau
sampai kita yang memberi pengertian. Sebab kami
khawatir kalau mereka nantinya tidak mau mengerti....
Lagi pula sebenarnya kami takut jika hal ini akan me-nyinggung perasaannya!"
"Betul!" Dayang Sepuh menyahut. "Karena mereka
gadis-gadis setan yang keras kepala!"
Nyai Tandak Kembang geleng kepala. "Aku tidak bi-
sa memenuhi permintaan kalian. Karena aku tidak
percaya dengan semua ini!"
"Hem.... Nenek dan cucu ternyata sama-sama se-
tannya!" desis Dayang Sepuh.
Datuk Wahing menoleh pada Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun sendiri gerakkan kepala mengha-
dap sang Datuk. Saat bersamaan Nyai Tandak Kem-
bang berkata. "Maaf.... Bukannya aku memandang sebelah mata
dengan keterangan kalian. Tapi dalam urusan ini, ku-
rasa apa yang kuketahui tentang kedua gadis itu lebih banyak daripada yang
kalian tahu! Lebih dari itu, aku yakin mereka berdua tak mungkin melakukan
tindakan sejauh yang kalian duga!"
"Nyai.... Apa yang kami lakukan hanya sekadar
memberi tahu. Terserah padamu untuk percaya atau
tidak! Tapi kalau seandainya nanti benar-benar terjadi, kuharap kau mau memberi
pengertian...," ujar Gendeng Panuntun.
"Aku tidak mau berjanji. Karena aku masih belum
membuktikannya!" kata Nyai Tandak Kembang seraya
memandang ke arah hutan lebat di depan sana. "Kalau
boleh tahu. Kapan bayi itu akan dilahirkan"!"
"Bruss! Brusss! Terlalu mengherankan kalau kami
bisa menentukan! Yang jelas dia akan lahir saat bulan purnama!"
"Berarti percuma kalian mencari kedua gadis itu ka-
lau tidak tahu kapan waktu kelahirannya! Seratus ta-
hun lagi mungkin masih ada bulan purnama!"
Habis berkata begitu, Nyai Tandak Kembang arah-
kan pandangannya pada ketiga orang di hadapannya.
"Masih ada yang hendak kalian utarakan"!"
"Kedua cucumu itu sudah ada yang bersuami"!"
Yang bertanya Dagang Sepuh.
"Itulah salah satu sebab mengapa aku belum per-
caya! Jangankan suami, kekasih pun kurasa mereka
belum punya! Jadi adalah satu keanehan kalau mere-
ka bisa hamil!"
Mendengar ucapan Nyai Tandak Kembang, menda-
dak Dayang Sepuh tertawa bergelak. "Kau rupanya lu-
pa.... Kalau mau, tanpa suami atau kekasih pun seo-
rang perempuan bisa mengandung!"
Tampang Nyai Tandak Kembang berubah merah
padam. Namun perempuan ini masih memiliki pera-
saan. Seraya tertawa pendek dia berkata.
"Perbuatan itu hanya akan dilakukan perempuan
konyol! Dan kedua gadis itu bukan perempuan konyol!
Dan perlu kalian ketahui, seandainya salah satu dari mereka mengandung dengan
jalan konyol, aku tak segan-segan membunuhnya!"
"Itu akan membuat suasana makin keruh, Nyai...,"
kata Gendeng Panuntun. "Rimba persilatan akan di-
timpa malapetaka besar!"
"Persetan dengan itu semua! Itu juga bukan uru-
sanku!" "Nyai.... Kuharap kau mengerti. Dan tentunya kau
tak ingin dunia persilatan ditimpa angkara murka!"
"Kurasa semua orang tahu jika kalian adalah tokoh-
tokoh yang berilmu tinggi. Tanpa melibatkan kedua
gadis itu, aku yakin kalian mampu mengatasinya! Apa-
lagi kudengar kalian tadi sebut-sebut tokoh Raja Tua Segala Dewa! Kalau tokoh
seperti dia sudah ikut turun tangan, tentu tidak ada hal yang sulit!"
"Brusss! Brusss! Menurut hitungan mungkin uca-
panmu ada benarnya! Tapi akan mengherankan jika
semua hitungan pasti benar! Kalau Raja Tua Segala
Dewa ikut turun tangan dan mengatakan bagaimana
cara menghadapi, jelas menunjukkan hanya ada satu
jalan! Dan itu sudah cukup bagi kami untuk sadar bila kami tidak bisa berbuat
banyak! Lagi pula kami maklum, apa yang kami miliki hanyalah setetes air dari
lautan yang luas! Kami selalu punya batas. Salah sa-
tunya adalah dalam menghadapi urusan sekarang ini!"
Nyai Tandak Kembang terdiam. Namun diam-diam
dadanya makin tidak enak. "Apakah nasib buruk itu
benar-benar akan menimpa Pitaloka dan Beda Kuma-
la"! Hem.... Sebelum terlambat, aku harus cepat men-
dapatkan keduanya!"
Berpikir sampai di situ, akhirnya Nyai Tandak Kem-
bang gerakkan kaki sembari berkata.
"Aku harus segera pergi. Tapi sebelumnya aku ber-
harap agar kalian justru mau mengerti akan diriku
dengan tidak melibatkan kedua gadis itu dalam urusan ini! Jika urusanku telah
selesai, tentu aku tidak keberatan untuk membantu kalian sesuai dengan kemam-
puanku...."
Tanpa menunggu sambutan dari ketiga orang di si-
tu, Nyai Tandak Kembang berkelebat menuju arah hu-
tan lebat di depan sana.
"Kehadirannya di sini jelas menguatkan petunjuk
kalau kedua gadis itu berada di sekitar tempat ini!"
Berkata Gendeng Panuntun.
"Tapi kemunculan setan itu akan menambah uru-
san baru!" Dayang Sepuh menyahut.
"Brusss! Seandainya manusia sinting dari Jurang
Tlatah Perak hadir di sini, tidak heran jika Nyai Tandak Kembang akan mudah
diatur!" "Ah! Bagaimana mungkin! Justru kalau dia muncul,
urusan akan makin sinting!" ujar si nenek sambil rapikan geraian poni rambutnya.
"Kita harus segera menyelidik hutan di depan itu!"
kata Gendeng Panuntun. Saat bersamaan kakek ber-
tubuh tambun ini membuat gerakan melompat-lompat.
Dalam beberapa kejap sosok besarnya telah lenyap di
antara kerapatan hutan di depan sana.
Dayang Sepuh dan Datuk Wahing saling pandang.
Tanpa ada yang buka mulut, keduanya membuat ge-
rakan. Saat lain kedua kakek-nenek ini telah lenyap
masuk di antara kerapatan pohon dan semak hutan.
*** DUA DI SATU tempat di tengah rimbun jajaran pohon da-
lam hutan, Nyai Tandak Kembang tegak bersandar
dengan kepala tengadah. Terngiang kembali dalam te-
linganya semua ucapan Datuk Wahing, Gandeng Pa-
nuntun, dan Dayang Sepuh. Dada perempuan dari le-
reng Gunung Semeru ini berdegup kencang. Sosoknya
bergetar. Tiba-tiba kaki kanannya menghentak keras.
Hingga tanah di bawahnya langsung terbongkar.
"Aku tak peduli! Siapa pun di antara keduanya yang
berani membuat malu, akan kubunuh! Persetan den-
gan urusan dunia persilatan!"
"Tapi.... Apakah mungkin Pitaloka dan Beda Kumala
melakukan hal yang tidak senonoh itu"!" Nyai Tandak
Kembang kembali dibuncah kebimbangan setelah agak
lama berpikir. "Hem.... Hatiku belum tenang kalau belum bertemu dengan keduanya!
Aku harus segera me-
nemukannya sebelum ketiga orang itu mendahuluiku!"
Nyai Tandak Kembang takupkan kedua tangannya
yang pada sela jari telunjuk dan tengahnya menyelinap sekuntum bunga. Sepasang
matanya dipejamkan. Lalu
menarik napas beberapa kali. Saat lain perempuan ini tarik kedua tangannya yang
menakup ke depan hidungnya. Dia mengendus beberapa kali. Lalu mendon-
gak dengan kepala bergerak memutar dengan hidung
terus mengendus-endus.
"Hem.... Satu berada di arah utara. Satunya lagi di
selatan! Berarti mereka tidak bersama-sama.... Dan
aku mencium kehadiran orang di sekitar tempat ini!
Apa ketiga orang tadi mengikuti langkahku"!" Nyai
Tandak Kembang arahkan kepalanya pada satu juru-
san. Hidungnya mengendus lalu menarik napas dalam-
dalam. "Bukan! Yang ada di sekitar tempat ini hanya satu
orang, Dan bukan salah satu dari ketiga orang tadi!
Hem.... Ternyata di hutan ini telah muncul beberapa
orang! Apakah ini masih ada hubungannya dengan
urusan Pitaloka dan Beda Kumala"!"
Baru saja Nyai Tandak Kembang membatin begitu,
mendadak satu kejutan membuat si nyai melengak ka-
get. Ada orang perdengarkan suara dari arah samping.
"Berada sendirian di hutan yang begini sepi dan le-
bat tentu bukan tanpa maksud! Bukankah begitu"!"
Nyai Tandak Kembang palingkan kepala ke samping
kanan. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut
mengenakan pakaian lusuh.
"Orang tua.... Siapa kau"!" tanya Nyai Tandak Kem-
bang seraya memperhatikan orang di hadapannya
dengan seksama. Di lain pihak, orang yang baru mun-
cul juga tengah mengawasi orang di hadapannya den-
gan hati bertanya-tanya.
"Sejak Pitaloka berada di sini bersamaku, ini adalah orang ketiga yang kutemui.
Dua lainnya adalah seorang gadis dan pemuda. Walau aku belum bertemu
muka dengan gadis dan pemuda itu, namun jelas ke-
munculan keduanya di hutan ini bukan tanpa tujuan.
Karena sudah berhari-hari mereka berdua berada di
hutan ini! Hem.... Sebelum Pitaloka muncul, tidak seorang pun yang merambah
hutan ini. Apa kemunculan
orang-orang ini masih ada kaitannya dengan Pitalo-
ka"!" Si orang tua di hadapan Nyai Tandak Kembang
membatin. Lalu menjawab pertanyaan Nyai Tandak
Kembang. "Aku adalah salah seorang penghuni hutan ini....
Namaku Kigali. Kau sendiri?"
"Dari sorot mata dan ucapannya, tampaknya orang
tua ini berkata jujur. Tidak enak rasanya kalau aku
berdusta...," kata Nyai Tandak Kembang dalam hati.
Lalu buka mulut.
"Aku Nyai Tandak Kembang...."


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah aku pernah mendengar nama yang baru
saja diucapkan perempuan ini?" Orang tua di hadapan
Nyai Tandak Kembang dan bukan lain adalah Kigali,
orang yang telah menolong dan menyadarkan Pitaloka
bertanya pada diri sendiri. "Ah.... Hidup berpuluh-
puluh tahun di hutan ini membuatku lupa sega-
lanya...." (Tentang pertemuan Kigali dan Pitaloka harap baca serial Joko Sableng
dalam episode "Titisan Pa-
mungkas").
"Jangan anggap aku lancang kalau aku berani me-
nanyakan sesuatu...," kata Kigali dengan sunggingkan senyum dan anggukkan
kepala. "Kau tidak secara ke-betulan bukan berada di hutan ini"!"
"Aku tengah mencari seseorang, Kek...."
Dada Kigali mulai berdebar. Seolah tak sabar dia
segera ajukan tanya lagi.
"Boleh aku tahu. Siapa yang kau cari"!"
"Dua orang gadis. Murid sekaligus cucuku."
"Debaran dada Kigali makin keras. Paras wajahnya
yang telah mengeriput berubah sedikit tegang. Nyai
Tandak Kembang tampaknya dapat membaca peruba-
han orang. Hingga dia segera sambungi ucapannya.
"Kalau benar kau salah seorang penghuni hutan ini,
harap kau sudi mengatakan padaku dengan terus te-
rang. Apakah kau pernah bertemu dengan seorang ga-
dis atau bahkan keduanya"!"
"Mengapa kau bertanya begitu" Apa kau yakin gadis
itu berada di hutan ini?" Kigali balik bertanya.
Nyai Tandak Kembang menjawab dengan angguk-
kan kepala. Lalu kembali ajukan tanya. "Kau pernah
bertemu"!"
Entah karena apa, Kigali menjawab pula dengan
isyarat gelengan kepala. Lalu bertanya. "Kau bisa
memberitahukan ciri-ciri atau nama gadis itu?"
Nyai Tandak Kembang sesaat merenung. Dia coba
menyelami sikap orang. Diam-diam dia membatin. "Si-
kapnya berubah.... Kurasa dia menyembunyikan sesu-
atu!" "Mereka berdua adalah saudara kembar. Paras me-
reka boleh dibilang cantik. Mereka sama mengenakan
pakaian warna merah. Yang satu bernama Beda Ku-
mala atau lebih dikenal dengan Putri Kayangan. Sa-
tunya lagi bernama Pitaloka!"
Kalau saja tidak sadar tengah berhadapan dengan
siapa, pasti Kigali sudah surutkan langkah mendengar keterangan Nyai Tandak
Kembang. Untung Kigali segera sadar dan langsung sunggingkan senyum seraya
sambuti ucapan Nyai Tandak Kembang.
"Beberapa hari yang lalu, aku memang bertemu
dengan seorang gadis. Namun dari ciri apalagi na-
manya, dia bukanlah gadis yang kau cari...."
Nyai Tandak Kembang balas tersenyum. "Orang
tua.... Kau telah lama menghuni hutan ini"!"
"Hampir setengah dari hidupku ku habiskan di
tempat ini! Apa boleh buat. Karena aku tidak memiliki sanak saudara lagi!"
Sambil menjawab begitu, sebenarnya Kigali berkata juga dalam hati. "Gadis yang
bersama pemuda itu kukenali juga berpakaian merah.
Apakah dia yang bernama Putri Kayangan"! Sayang
aku belum sempat melihat parasnya.... Apakah perem-
puan ini telah tahu apa yang kini tengah dialami Pitaloka"! Menurut keterangan
Pitaloka, sudah beberapa
purnama dia tidak pulang ke tempat tinggal eyang gu-
runya. Berarti kalau benar perempuan ini yang dimak-
sud Pitaloka dengan eyang gurunya, maka dia pasti belum tahu apa yang saat ini
menimpa Pitaloka! Hem....
Apakah aku harus mengatakannya terus terang"! Ta-
pi.... Aku telah berjanji pada Pitaloka untuk tidak
mengatakan semua ini pada siapa saja! Rahasia ini
hanya aku dan Pitaloka yang tahu...."
"Ditinggal sanak saudara memang sangat menye-
dihkan! Tapi akan menyedihkan lagi kalau ditinggal
cucu dengan satu urusan yang belum diketahui!"
"Ah.... Jadi kedua gadis itu punya satu urusan?"
tanya Kigali ingin tahu apakah Nyai Tandak Kembang
mengerti nasib yang menimpa Pitaloka.
Nyai Tandak Kembang menghela napas panjang.
"Kukira setiap manusia tak lepas dari urusan, Orang
Tua! Hanya aku kadang-kadang merasa heran dengan
seseorang yang coba menyembunyikan sesuatu pa-
dahal orang itu tahu dan bisa membantu urusan
orang!" Paras muka Kigali tampak berubah mendengar
ucapan Nyai Tandak Kembang. "Rupanya dia menyin-
dirku.... Tapi aku tetap akan pegang janjiku pada Pitaloka! Lebih dari itu aku
harus cepat membawa Pitaloka pergi jauh-jauh dari sini! Gadis berbaju merah
serta pemuda itu pasti juga tengah mencari Pitaloka!"
Setelah berpikir begitu, Kigali berucap. "Harap jan-
gan menduga kalau aku tahu urusanmu dan tidak
bersedia membantu! Aku benar-benar tidak pernah
bertemu dengan gadis yang kau cari...."
Nyai Tandak Kembang tersenyum. Namun senyum
itu di mata Kigali tampak lain.
"Orang tua.... Aku harus segera pergi...," kata Nyai Tandak Kembang. Lalu dia
membuat gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah berkelebat dan ditelan rimbunnya
jajaran pohon serta semak belukar di sekitar tempat
itu. "Sebenarnya aku tadi hendak menanyakan uru-
sannya dengan Pitaloka. Namun hal itu mungkin akan
menambah kecurigaannya! Tanpa kutanyakan saja
ucapannya telah mengandung kecurigaan.... Hem....
Aku harus cepat menyingkir bersama Pitaloka! Hutan
ini sudah tidak aman lagi...," gumam Kigali lalu balikkan tubuh dan berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Sepasang mata bulat tampak memperhatikan gerak-
gerik Kigali. Dan begitu Kigali berkelebat, si pemilik mata segera lakukan
gerakan. Semak belukar menyibak. Lalu muncul satu sosok tubuh. "Aku harus men-
gikutinya.... Kurasa dia tahu di mana Pitaloka atau
Beda Kumala berada!" gumam si pemilik mata yang
ternyata Nyai Tandak Kembang. Perempuan dari lereng
Gunung Semeru ini rupanya tidak berkelebat jauh. Dia menyelinap di kerapatan
semak belukar dan mencari
posisi yang dapat mengawasi gerak-gerik Kigali. Dia merasa curiga dengan sikap
Kigali. Maka begitu Kigali berkelebat, Nyai Tandak Kembang segera keluar dari
kerapatan semak lalu ikut berkelebat ke arah mana
tadi Kigali pergi.
*** Walau belum mengenal betul hutan di mana dia be-
rada, namun dengan jalan penciumannya Nyai Tandak
Kembang tidak kesulitan mengikuti jejak Kigali. Hingga meski jarak antara Nyai
Tandak Kembang dan Kigali
terpaut agak jauh, namun jalan yang ditempuh Nyai
Tandak Kembang tidak meleset dari orang yang diikuti.
Di lain pihak, diam-diam sebenarnya Kigali tahu ka-
lau diikuti orang dan dapat menduga siapa adanya
orang yang berada di belakangnya. Namun Kigali te-
ruskan larinya seolah tidak merasa curiga. Namun
Nyai Tandak Kembang tidak tahu, jika Kigali tidak menuju tempat di mana Pitaloka
berada! Nyai Tandak
Kembang pun seakan tenggelam mengikuti jejak Kigali.
Hingga dia lupa jika dengan jalan penciumannya, tadi sudah bisa menentukan arah
di mana Pitaloka atau
Beda Kumala berada. Sementara saat itu dia tengah
berlari mengikuti Kigali yang menuju arah timur!
"Hem.... Bagaimana ini"! Sebenarnya mudah saja
menyesatkan perempuan itu dengan cara terus berpu-
tar-putar. Tapi hal itu tak mungkin kulakukan! Aku
tak bisa meninggalkan Pitaloka terlalu lama. Bukan
tak mungkin gadis dan perempuan itu nanti akan me-
nemukan di mana Pitaloka berada. Belum lagi kalau
masih ada orang lain! Sebaiknya aku menemui dia!"
Kigali akhirnya memutuskan setelah berlari agak jauh
dan merasa Nyai Tandak Kembang terus mengiku-
tinya. Di lain pihak, sebenarnya Nyai Tandak Kembang
mulai sadar. "Ke mana dia berlari"! Sepertinya dia berputar-putar tak tentu yang
ditujui. Jangan-jangan dia tahu kalau sedang kuikuti! Tapi akan kuikuti dahulu
sementara waktu.... Siapa tahu dia coba menyesatkan
jalan orang...." Tiba-tiba Nyai Tandak Kembang hentikan larinya. "Hem....
Sepertinya dia tengah berbalik arah menuju kemari! Apa maksudnya"!" seraya terus
bertanya-tanya dalam hati dengan tindakan orang,
Nyai Tandak Kembang cepat berkelebat mendekam di
balik rumpun semak belukar.
Dan baru saja sosok Nyai Tandak Kembang lenyap
mendekam, muncul sosok Kigali tidak jauh dari men-
dekamnya Nyai Tandak Kembang. Dada Nyai Tandak
Kembang berdebar tidak enak melihat bagaimana Kiga-
li tampak bergerak berputar dengan mata memperha-
tikan sekeliling.
"Rupanya dia tahu...."
Selagi Nyai Tandak Kembang berkata begitu dalam
hati, tiba-tiba Kigali sudah angkat suara.
"Nyai Tandak Kembang.... Aku tahu kau berada ti-
dak jauh dari tempat ini! Harap kau tunjukkan diri! Ki-ta harus bicara agar
tidak ada saling curiga di antara kita!"
Di balik tempat persembunyiannya, Nyai Tandak
Kembang menarik napas panjang. Lalu perlahan-lahan
keluar. Raut wajahnya tampak sedikit berubah.
"Katakanlah apa maumu Nyai Tandak Kembang!
Tak enak rasanya harus berputar-putar dengan dada
saling dipenuhi kecurigaan!"
"Aku menduga kau tahu di mana gadis yang kuca-
ri!" Nyai Tandak Kembang berterus terang.
Kepala Kigali menggeleng. "Kau keliru menduga,
Nyai! Aku tak tahu apa-apa dengan gadis itu!"
"Perubahan sikapmu mengatakan lain!"
"Itu bukan petunjuk kalau aku tahu gadis yang kau
cari! Dan kuperingatkan padamu. Kau hanya akan
buang-buang waktu kalau terus mengikutiku!"
Untuk kesekian kalinya Nyai Tandak Kembang
menghela napas. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia
tinggalkan Kigali.
"Harap kau tidak kecewa dengan ucapanku, Nyai!
Aku tentu akan mengatakannya padamu jika sewaktu-
waktu aku bertemu dengan gadis yang kau cari!" kata
Kigali seraya memandang kepergian Nyai Tandak Kem-
bang. Nyai Tandak Kembang hentikan langkah. Tanpa
berpaling dia berujar.
"Seharusnya hal itu kau katakan sekarang, Orang
Tua! Tapi aku tak mau memaksa jika kau keberatan!"
Kigali gelengkan kepala perlahan. Tanpa buka mu-
lut lagi, dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Hem.... Memang tidak seharusnya aku andalkan
bantuan orang lain!" gumam Nyai Tandak Kembang.
Lalu takupkan kedua tangannya di depan hidung. Saat
lain perempuan dari lereng Gunung Semeru ini berke-
lebat ke arah utara.
"Dia menuju ke utara.... Tapi sebaiknya aku tunggu
dahulu! Siapa tahu ini hanya tipuan!" Kigali bergumam dari balik batangan sebuah
pohon. Ternyata laki-laki ini tidak berkelebat terlalu jauh. Dia sengaja
menyelinap lalu memperhatikan Nyai Tandak Kembang. Kali
ini dia tidak mau lagi diikuti. Maka dia sengaja me-
nunggu agak lama sampai yakin Nyai Tandak Kem-
bang tidak sedang melakukan tipuan dengan berpura-
pura pergi tapi sebenarnya memutar jalan lalu mengi-
kuti secara diam-diam.
Setelah agak lama menunggu dan yakin Nyai Tan-
dak Kembang tidak memutar jalan, Kigali balikkan tu-
buh lalu berkelebat ke arah selatan.
*** TIGA DUA orang itu sama duduk bersandar pada satu
batangan pohon dengan wajah sedikit muram. Tidak
ada yang buka mulut. Malah mata masing-masing
mengarah pada jurusan yang berlawanan. Namun tak
lama kemudian, orang yang duduk di sebelah kanan
tampak cengengesan sendiri dan berpaling pada orang
satunya. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan
mengenakan pakaian warna putih. Rambutnya pan-
jang sebahu dililit ikat kepala berwarna putih pula.
"Kalau sedang bersedih, parasnya makin cantik sa-
ja...," gumam si pemuda seraya terus pandangi orang
yang duduk tidak jauh di sebelah kirinya.
Yang dipandang tampaknya maklum kalau dirinya
tengah diperhatikan orang. Dia buru-buru gerakkan
kepala sedikit. Dia adalah seorang gadis berparas luar biasa jelita mengenakan
pakaian warna merah. Rambutnya hitam lebat dengan hidung mancung.
"Sejak semula aku sudah ragu! Nyatanya keragua-
nku terbukti! Sudah beberapa hari kita berada di hu-
tan ini. Tapi Pitaloka tidak juga kita temukan! Sebaiknya kita pergi dari sini,
Pendekar 131!" Berkata si gadis berbaju merah tanpa memandang.
Si pemuda yang ternyata adalah Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng bergerak bangkit. Tanpa
alihkan pandang matanya dari wajah si gadis, dia berkata.
"Kuharap kau bersabar, Putri Kayangan.... Memang
tidak mudah mencari seseorang di dalam hutan yang
lebat dan luas begini! Tapi setidaknya kita sudah mendapat petunjuk tentang
keberadaan Pitaloka di dalam
hutan ini! Dan kalaupun kita mencari di tempat lain, tentunya kita masih meraba-
raba!" "Itu lebih baik daripada kita diberi petunjuk tapi
nyatanya tidak terbukti, Pendekar 131!"
"Panggil saja Joko, Putri...," ujar murid Pendeta
Sinting seraya melangkah mendekati si gadis yang ternyata adalah Putri Kayangan,
saudara kembar Pitalo-
ka. Seperti diketahui, saat Putri Kayangan terlibat ben-trok dengan Setan Liang
Makam, muncullah Dewi Ayu
Lambada bersama Iblis Ompong. Tak lama kemudian
muncul pula murid Pendeta Sinting. Begitu Setan
Liang Makam sadar siapa yang tengah dihadapi, cucu
Nyai Suri Agung dari Kampung Setan Ini segera pergi.
Dewi Ayu Lambada, Iblis Ompong, serta Pendekar 131
lalu menceritakan terus-terang apa yang didengarnya


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Raja Tua Segala Dewa dan Dewa Uuk. Namun Pu-
tri Kayangan tidak bisa menerima ucapan Dewi Ayu
Lambada, Iblis Ompong, serta murid Pendeta Sinting.
Saat itulah muncul Dewa Uuk yang juga adik kandung
Dewi Ayu Lambada. Pada akhirnya Dewa Uuk memberi
petunjuk di mana arah keberadaan Pitaloka. Walau ti-
dak percaya, namun dengan keyakinan yang dikatakan
Pendekar 131, akhirnya Putri Kayangan pergi juga bersama murid Pendeta Sinting
ke arah yang ditunjukkan
Dewa Uuk. Namun begitu menemukan hutan lebat yang menu-
rut dugaan Joko adalah tempat yang dimaksud oleh
Isyarat Dewa Uuk, Putri Kayangan dan Pendekar 131
belum juga menemukan Pitaloka.
Putri Kayangan menoleh. Untuk beberapa saat ke-
dua orang ini saling pandang. Putri Kayangan rasakan dadanya berdebar setiap
beradu pandang. Hingga dia
tidak berani terlalu lama memandang dan segera alih-
kan pandangan. Diam-diam gadis ini berkata dalam
hati. "Seandainya tidak bersama dengan dia.... Tak
mungkin aku menuruti petunjuk itu! Apakah benar
antara dia dengan Saraswati ada hubungan tertentu"
Gadis itu sangat khawatir dan selalu mencemburuiku!
Ah...." "Kau memikirkan sesuatu"!" Tiba-tiba murid Pende-
ta Sinting ajukan tanya membuat Putri Kayangan ter-
sentak. Lalu gelengkan kepala dan berucap.
"Tak ada yang memenuhi benakku selain bagaima-
na caranya menemukan Pitaloka! Bukan untuk mem-
buktikan semua dugaan-dugaan yang mustahil itu.
Melainkan semata-mata itu perintah yang ku emban
dari Eyang Guru!"
"Selain mencari Pitaloka kau juga pernah mengata-
kan hendak menemui eyang guruku. Boleh aku tahu
siapa eyang gurumu?"
"Dia Guru sekaligus eyangku sendiri! Dia dikenal
dengan sebutan Nyai Tandak Kembang!"
"Sepertinya eyang guruku pernah sebut-sebut nama
itu," ujar Joko pelan. "Kau tahu sampai di mana hu-
bungan antara eyangmu dengan eyang guruku?"
"Aku tak tahu.... Mengapa kau tanyakan hal itu"!"
"Siapa tahu di antara mereka berdua ada hubungan
tertentu! Dengan begitu kita bisa jadi saudara...!"
"Maksudmu"!" tanya Putri Kayangan dengan mata
sedikit membelalak.
"Seandainya eyang guruku ada jodoh dengan
eyangmu...."
Putri Kayangan tertawa. "Jangan berharap yang ti-
dak-tidak! Eyangku memang hidup sendirian. Tapi ku-
kira jauh dari memikirkan soal perjodohan! Apalagi
akhir-akhir ini selalu disibukkan dengan urusan Pitaloka!"
"Pitaloka.... Aku tak habis pikir, mengapa dia bera-
da di hutan ini! Padahal...."
Gumaman murid Pendeta Sinting belum selesai, Pu-
tri Kayangan telah menyahut.
"Itulah salah satu sebab mengapa aku tambah ya-
kin petunjuk dan dugaan tentang Pitaloka tidak benar!
Sudah berhari-hari kita berada di hutan ini. Sejauh ini kita tidak bertemu
dengan seorang pun! Sepertinya hutan ini jarang sekali dirambah manusia. Adalah
hal aneh kalau Pitaloka berada di sini! Untuk apa"! Lebih aneh lagi dia akan
melahirkan pada purnama menda-tang! Padahal purnama sudah tidak lama lagi.
Semen- tara waktu kita bertemu satu purnama lebih yang lalu, aku yakin Pitaloka belum
apa-apa!" "Tapi siapa tahu Pitaloka punya seorang kekasih
tanpa sepengetahuanmu?"
"Itu mungkin saja. Tapi aku tetap kurang yakin ka-
lau Pitaloka sampai berani berbuat terlalu jauh. Selain harus menanggung beban
dengan diri sendiri, dia tentu memperhitungkan eyangku! Dan Pitaloka tak
mungkin berani ambil risiko! Dia tahu bagaimana sifat Eyang...."
Murid Pendeta Sinting geleng kepala. "Putri.... Kau
pernah jatuh cinta"!"
Pertanyaan Joko membuat Putri Kayangan terke-
siap. Air mukanya berubah. Dadanya berdebar lalu
memandang tajam pada Joko. Namun cuma sekejap.
Saat lain kepalanya bergerak memaling. Diam-diam
dalam hati dia berkata.
"Aku tak tahu pernah jatuh cinta atau tidak! Yang
jelas aku selalu damai begitu berada di sisinya! Dan sebenarnya aku tidak suka
dengan sikap gadis bernama Saraswati yang...."
Belum sampai Putri Kayangan sempat teruskan ka-
ta hatinya, murid Pendeta Sinting telah perdengarkan
suara lagi. "Putri.... Menurut orang yang pernah mengalami ja-
tuh cinta, hal apa pun tidak dapat menghalanginya!
Dan risiko apa pun akan diambilnya! Jangankan
hanya hidup di hutan begini rupa atau menghadapi
eyangmu, mati pun mungkin bukan halangan yang be-
rarti!" "Kau pernah mengalaminya"!" Putri Kayangan balik
bertanya. Pendekar 131 bukannya menjawab, sebaliknya
pandangi Putri Kayangan. Di lain pihak, karena agak
lama tidak terdengar jawaban, Putri Kayangan segera
berpaling. Saat itulah murid Pendeta Sinting berucap.
"Rasanya aku belum pernah merasa bahagia seba-
gaimana saat ini! Aku tidak tahu. Apakah perasaan ini awal dari sebuah rasa
jatuh cinta...."
Dada Putri Kayangan berdegup keras. Wajahnya
merah. Untuk beberapa lama dia memandang ke da-
lam bola mata murid Pendeta Sinting. Mulutnya sebe-
narnya sudah hendak membuka. Namun tiba-tiba ter-
lintas bayangan Saraswati di pelupuk matanya. Hingga dia kancingkan mulut
kembali seraya berpaling ke jurusan lain.
Murid Pendeta Sinting menarik napas dalam. Lalu
mendekati Putri Kayangan. Tangan kiri kanannya
mengambil kedua tangan si gadis lalu digenggamnya.
Putri Kayangan bergetar. Namun tak berusaha mena-
rik pulang kedua tangannya. Entah karena apa, tiba-
tiba dia bergumam tanpa berani memandang.
"Saraswati.... Kau masih ingat gadis cantik itu"!"
Belum sampai murid Pendeta Sinting buka mulut,
mendadak satu bayangan putih berkelebat. Putri
Kayangan dan Pendekar 131 segera palingkan kepala.
Memandang ke depan, sekonyong-konyong paras
Putri Kayangan berubah tegang. Pada saat yang sama
kedua tangannya ditarik pulang dari genggaman kedua
tangan murid Pendeta Sinting. Di lain pihak, Joko sesaat memperhatikan orang di
depan sana. "Usianya tidak muda lagi. Tapi rupanya masih can-
tik.... Siapa dia"!" Joko berkata dalam hati melihat seorang perempuan berusia
empat puluh tahunan men-
genakan pakaian putih sebatas dada. Wajahnya keliha-
tan masih cantik. Rambutnya hitam digelung ke bela-
kang. Pada rambutnya tampak beberapa tangkai kem-
bang. Demikian pula pada sela jari telunjuk dan ten-
gah pada kedua tangannya.
Karena sesaat terkesima dengan perempuan yang
baru muncul, murid Pendeta Sinting tidak sempat me-
lihat perubahan pada Putri Kayangan. Malah tarikan
kedua tangan Putri Kayangan diduga hanya karena
malu dengan hadirnya perempuan berpakaian putih.
Hingga dengan, tersenyum lebar Joko segera buka mu-
lut. "Rasanya kita pernah jumpa.... Hanya sayang aku lupa di mana. Tidak
keberatan mengingatkan aku"!"
Perempuan berpakaian putih sebatas dada yang
bukan lain adalah Nyai Tandak Kembang tidak menja-
wab. Bahkan hanya memandang sekilas pada murid
Pendeta Sinting. Lalu menatap tajam pada Putri
Kayangan. Masih dengan tersenyum lebar dan tanpa melihat
pada Putri Kayangan, Pendekar 131 berbisik. "Putri....
Seorang perempuan saja lebih tertarik melihatmu daripada melihat tampangku!"
Putri Kayangan seolah tidak mendengar bisikan Jo-
ko. Dia terpaku dengan mulut terkancing rapat. Paras wajahnya jelas membayangkan
ketakutan dan tidak
berani memandang pada Nyai Tandak Kembang. Da-
danya gelisah tak karuan. Dia tak tahu harus berbuat apa dan berkata bagaimana.
"Bibi cantik...," kata Joko setelah memperhatikan
sekali lagi pada Nyai Tandak Kembang. "Perjumpaan
kita memang sudah lewat terlalu lama. Jadi harap
mengerti kalau aku...."
"Siapa kau, Anak Muda"!" Tiba-tiba Nyai Tandak
Kembang bertanya menukas ucapan murid Pendeta
Sinting. Namun sejauh ini Nyai Tandak Kembang ma-
sih arahkan pandang matanya pada Putri Kayangan.
"Ah.... Ternyata bukan hanya aku yang lupa! Kau
juga tidak ingat padaku! Tapi apakah kau ingat di ma-na terakhir kali kita
bertemu"!"
"Jangan berani bicara lancang, Anak Muda! Kita be-
lum pernah bertemu! Dan lekas katakan siapa kau
adanya!" kata Nyai Tandak Kembang dengan suara
agak keras. Kali ini ekor matanya melirik pada murid Pendeta Sinting.
Pendekar 131 kembali tersenyum lalu berkata. "Aku
Joko.... Joko Sableng. Gadis cantik di sampingku ini Putri Kayangan...."
"Dari mana asalmu"!" Kembali Nyai Tandak Kem-
bang ajukan tanya. Sekarang matanya menatap tajam
pada murid Pendeta Sinting.
Joko tidak segera menjawab, sebaliknya berpaling
pada Putri Kayangan. Sesaat dia mengernyit melihat
perubahan pada sosok Putri Kayangan.
"Putri.... Kau tak usah cemas.... Dari parasnya dia
bukan orang jahat!"
Putri Kayangan sudah hendak buka mulut. Namun
murid Pendeta Sinting sudah berpaling lagi meman-
dang ke arah Nyai Tandak Kembang dan berkata men-
jawab. "Aku lahir di Kampung Anyar.... Kau sendiri siapa"!
Juga dari mana asalmu, Bibi Cantik"!"
"Kau punya gelar"!" Nyai Tandak Kembang bukan-
nya menjawab melainkan ajukan tanya lagi.
"Ah.... Banyak benar pertanyaanmu!" gumam murid
Pendeta Sinting lalu berkata. "Aku memang punya ge-
lar. Tapi aku tak akan mengatakan padamu. Takut
jangan-jangan kau akan lebih banyak tanya. Lebih dari itu mungkin kau tak akan
percaya!" "Kau terlalu banyak mulut, Anak Muda! Katakan
saja siapa gelarmu!" ujar Nyai Tandak Kembang. Kini
pandangannya beralih lagi pada Putri Kayangan.
"Beda Kumala.... Sungguh aku hampir tak percaya
dengan semua ini!" kata Nyai Tandak Kembang dalam
hati dengan dada berdebar kencang. Matanya beralih
dari wajah Putri Kayangan ke perut si gadis. Bahu perempuan dari lereng Gunung
Semeru ini berguncang.
"Apakah keberadaan Beda Kumala dengan pemuda itu
satu petunjuk jika dugaan orang-orang itu akan men-
jadi kenyataan"! Beda Kumala mengandung"! Ah....
Aku tak menduga sama sekali! Tapi mengapa Beda
Kumala" Bagaimana secepat itu bisa terjadi" Bagai-
mana aku bisa salah duga pada Beda Kumala selama
ini"! Ah.... Itu tak penting! Yang jelas sekarang Beda Kumala telah menyia-
nyiakan kepercayaanku!"
"Anak muda! Kau dengar pertanyaanku! Jangan
membuat aku habis kesabaran!" kata Nyai Tandak
Kembang setelah ditunggu agak lama tidak juga ter-
dengar jawaban dari mulut murid Pendeta Sinting.
"Gelarku.... Siluman Lembah Cinta...."
Nyai Tandak Kembang mendelik. Tampaknya dia
tahu kalau ucapan Joko berdusta. Sementara Putri
Kayangan masih salah tingkah dan tampak makin ta-
kut. "Beda Kumala! Mendekatlah kemari!" Tiba-tiba Nyai
Tandak Kembang berteriak.
Putri Kayangan terkesiap. Dia memandang silih
berganti pada Nyai Tandak Kembang dan Pendekar
131. Di lain pihak, murid Pendeta Sinting terkejut
mendapati orang tahu nama asli Putri Kayangan.
"Putri.... Kau mengenal Bibi Cantik itu"!"
Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya melang-
kah takut-takut ke arah Nyai Tandak Kembang.
"Cepat, Beda Kumala!" sentak Nyai Tandak Kem-
bang. Dan seolah tak sabar, Nyai Tandak Kembang
melompat ke depan. Lalu diseretnya Putri Kayangan
menjauh. "Beda Kumala! Katakan apa yang telah kau lakukan
dengan pemuda itu!" Nyai Tandak Kembang sudah
menghardik seraya pandangi perut Putri Kayangan.
"Bibi.... Siapa kau sebenarnya"! Harap tidak ikut
campuri urusanku dengan gadis itu! Dia...."
Nyai Tandak Kembang berpaling. "Tetap di tempat-
mu! Jangan berani mendekat atau kugebuk kepalamu!
Dan jangan buka mulut tanpa kutanya!"
"Lekas katakan, Beda Kumala! Apa yang kau laku-
kan dengan pemuda itu! Jangan berani berdusta atau
tanganku akan membunuhmu!" Nyai Tandak Kembang
kembali perdengarkan bentakan keras.
"Eyang.... Kami.... Kami tak melakukan apa-apa...."
"Astaga! Jadi dia adalah eyangnya...," gumam murid
Pendeta Sinting. Lalu buru-buru melangkah hendak
mendekat. "Tetap di tempatmu!" Nyai Tandak Kembang mem-
bentak tanpa berpaling, membuat Pendekar 131 henti-
kan langkah. Belum sempat Joko buka mulut, terden-
gar Nyai Tandak Kembang sudah membentak.
"Beda Kumala! Aku masih memberimu kesempa-
tan!" "Eyang.... Kami hanya bersahabat.... Harap Eyang
tidak menduga yang bukan-bukan...."
Nyai Tandak Kembang tengadahkan kepala dengan


Joko Sableng 27 Nyai Tandak Kembang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dada bergerak turun naik. Sepasang matanya terpe-
jam. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas tak la-
ma kemudian dia luruskan kepala dengan mendelik
angker pada Putri Kayangan.
*** EMPAT BEDA kumala! Dugaanku selama ini padamu ter-
nyata meleset! Pantas kau menyuruh Tokoh-tokoh
Penghela Tandu untuk pulang dahulu!" Nyai Tandak
Kembang gelengkan kepala. "Kau telah pergunakan
kepercayaanku untuk hal yang tidak semestinya!"
"Eyang...."
"Jangan berdalih!" potong Nyai Tandak Kembang.
"Aku melihat dengan mata kepala sendiri! Dan seka-
rang jawab. Berapa bulan kandunganmu"!"
Putri Kayangan terlengak. Murid Pendeta Sinting
tak kalah kagetnya. Dia sudah buka mulut, tapi Putri Kayangan mendahului.
"Eyang.... Kami tak melakukan apa-apa! Aku tidak
mengandung!"
Nyai Tandak Kembang tertawa pendek. "Berada ber-
sama seorang pemuda di dalam hutan yang sepi begi-
ni, mana mungkin kau tidak melakukan apa-apa! Aku
sungguh menyesal menugaskanmu mencari Pitaloka
kalau kenyataannya justru kau yang terjerumus! Tapi
itu semua tidak ada gunanya lagi. Semua sudah terja-
di. Dan kau harus menerima hukuman! Aku tak mau
punya murid dan cucu yang membuat malu!"
"Eyang.... Kami...."
"Ucapan apa pun tak akan membuatku luluh. Beda
Kumala!" tukas Nyai Tandak Kembang lalu tanpa pe-
dulikan pada Putri Kayangan, Nyai Tandak Kembang
berpaling pada Pendekar 131.
"Kau laki-laki pengecut! Kau membuat malu!" Nyai
Tandak Kembang berteriak setengah menjerit dengan
kedua tangan diangkat.
"Eyang.... Tahan!" seru Putri Kayangan lalu jatuh-
kan diri di hadapan Nyai Tandak Kembang.
"Hem.... Apa pun yang akan kau lakukan, jangan
mimpi aku bisa memaafkan perbuatanmu, Beda Ku-
mala! Sebaliknya kau dan pemuda itu harus mampus
sekarang juga!"
"Eyang...." Joko ikut-ikutan memanggil Eyang pada
Nyai Tandak Kembang. "Harap kau dengar dulu penje-
lasanku!" katanya dengan suara bergetar.
"Aku tak butuh penjelasan! Apa yang kulihat sudah
cukup memberi penjelasan!"
"Tapi kau salah paham! Bukannya Beda Kumala
yang tengah mengandung, tapi...." Joko tak teruskan
ucapannya, sebaliknya memandang pada Putri Kayan-
gan yang saat itu angkat tangannya seolah memberi
isyarat. "Teruskan ucapanmu!" bentak Nyai Tandak Kem-
bang. "Dia tidak mengandung, tapi apa"! Dia hamil,
begitu"!"
"Susah! Apa bedanya mengandung dengan hamil"!"
gumam murid Pendeta Sinting. Kalau saja tidak tengah berhadapan dengan Nyai
Tandak Kembang yang masih
dibalut salah paham, tentu tawa Joko sudah meledak.
"Eyang.... Aku memang belum tahu pasti. Hanya
menurut dugaan beberapa orang, Pitaloka yang seka-
rang tengah mengandung...," kata Putri Kayangan
sambil angkat wajahnya memandang pada eyang gu-
runya. "Kau jangan memutar balik kenyataan, Beda Kuma-
la! Kau yang tengah berduaan dengan pemuda asing,
mengapa Pitaloka yang kau jadikan kambing hitam! Di
mana Pitaloka sekarang"!"
"Kami tengah mencarinya, Eyang...."
Nyai Tandak Kembang kembali perdengarkan tawa
pelan. "Tugasmu memang mencarinya. Tapi bukan di
hutan begini dan tidak bersama pemuda asing!"
"Tapi menurut petunjuk, Pitaloka berada di sekitar
hutan ini...." Yang menyahut murid Pendeta Sinting.
"Itu petunjuk konyol! Kau hanya cari tempat yang
sepi agar bisa melakukan apa saja tanpa ada orang
yang tahu!"
"Eyang.... Kalau Eyang masih tak percaya, aku tak
bisa berkata apa-apa lagi! Tapi sebelum Eyang menja-
tuhkan hukuman, Eyang boleh periksa diriku!" kata
Putri Kayangan seraya beranjak bangkit.
Nyai Tandak Kembang perlahan-lahan turunkan
kedua tangannya. Matanya menatap berkilat-kilat pa-
da Putri Kayangan. Lalu beralih pada Pendekar 131
yang tersenyum sambil anggukkan kepala.
Nyai Tandak Kembang menggumam tak jelas. Saat
lain tiba-tiba kedua tangannya bergerak ke arah perut Putri Kayangan. Untuk
beberapa saat kedua tangan
Nyai Tandak Kembang menakup pada perut si gadis.
Lalu diangkat dan didekatkan pada hidungnya. Nyai
Tandak Kembang menarik napas berulang kali. Se-
mentara Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting
sama memperhatikan dengan seksama, dengan dada
sama berdebar. "Hem.... Aku tidak mencium aroma bayi dalam kan-
dungannya! Berarti anak ini tidak hamil!" Nyai Tandak Kembang berkata dalam hati
sembari menarik napas
lega. Siapa pemuda asing itu, Beda Kumala"!" Tiba-tiba
Nyai Tandak Kembang ajukan tanya dengan suara se-
tengah berbisik.
Putri Kayangan tersenyum. Nada suara eyangnya
sudah cukup membuat sang Putri maklum kalau ke-
marahan eyangnya sudah sirna. Namun dia belum ju-
ga segera menjawab. Bagaimanapun juga Putri Kayan-
gan merasa malu diketahui eyangnya bersama seorang
pemuda. Apalagi saat itu dia tengah saling bergenggaman tangan.
"Beda Kumala.... Siapa pemuda itu"!" Kembali Nyai
Tandak Kembang bertanya. "Aku yakin dia tadi ber-
dusta sebutkan gelarnya padaku!"
"Dia adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng. Murid tunggal Pendeta Sinting...."
Nyai Tandak Kembang sesaat terkejut. Dia segera
alihkan pandangannya pada Joko dan seolah baru saja
melihat, dia tatapi orang lebih seksama. "Hem.... Sikapnya menghadapi orang
memang tak jauh berbeda
dengan Pendeta Sinting...."
"Bagaimana kau bisa bersama dengannya"!" Nyai
Tandak Kembang ajukan tanya lagi dengan suara ma-
sih direndahkan.
"Ceritanya panjang, Eyang.... Yang jelas saat ini aku dan dia tengah mencari Pitaloka."
"Siapa yang memberi petunjuk padamu"!"
"Seorang laki-laki bergelar Dewa Uuk. Saat itu dia
bersama seorang nenek bernama Dewi Ayu Lambada
dan Kakek Iblis Ompong...."
"Hem.... Kalau tokoh-tokoh seperti mereka turun la-
gi dalam kancah rimba persilatan, tentu ada sesuatu
yang luar biasa terjadi! Munculnya Datuk Wahing dan
Gendeng Panuntun memperkuat hal ini! Apa sebenar-
nya yang telah terjadi"! Apakah ini ada kaitannya dengan bayi yang disebut-sebut
itu"!" Nyai Tandak Kem-
bang membatin. "Beda Kumala tidak mengandung....
Apa mungkin Pitaloka"!"
"Beda Kumala. Kau sudah bertemu dengan Pitalo-
ka"!" tanya Nyai Tandak Kembang setelah berpikir
agak lama. "Aku pernah bertemu dengannya. Namun sayang
saat itu aku tak berhasil membawanya..."
"Apa dia bersama seorang laki-laki"!"
"Pertanyaan dan sikapnya yang tadi mencurigaiku
hamil menunjukkan kalau Eyang telah tahu apa yang
saat ini tengah terjadi. Setidaknya telah bertemu dengan orang yang selama ini
menduga akan lahir seorang bayi!" kata Putri Kayangan dalam hati lalu berkata.
"Dia memang sendirian. Tapi saat kutinggalkan, dia
bersama Setan Liang Makam, dan beberapa orang
lainnya." "Apa saat itu kau dapat melihat tanda-tanda kalau
dia tengah mengandung"!"
Putri Kayangan gelengkan kepala. "Eyang percaya
dengan dugaan itu"!"
Nyai Tandak Kembang tidak segera menjawab. Dia
kembali pandangi murid Pendeta Sinting. Lalu berkata.
"Beda Kumala.... Aku memang tidak begitu saja per-
caya. Tapi sebagai nenek dan Pitaloka adalah perem-
puan, kekhawatiran itu jelas ada!" Saat itulah tiba-tiba Nyai Tandak Kembang
teringat pertemuannya dengan
Kigali. "Beda Kumala. Kau pernah bertemu dengan seorang
kakek bernama Kigali"!"
Putri Kayangan menatap sesaat pada eyangnya lalu
menjawab dengan isyarat gelengan kepala. Sementara
murid Pendeta Sinting yang mendengar pertanyaan
Nyai Tandak Kembang tampak kerutkan dahi.
"Kigali.... Aku pernah mendengar nama itu! Betul
aku pernah mendengarnya!" gumam Joko lalu mere-
nung. "Hem.... Aku ingat. Nama itu pernah disebut-
sebut Datuk Wahing!"
"Eyang.... Aku tahu orang yang namanya baru kau
sebut!" Pendekar 131 segera berujar, membuat Nyai
Tandak Kembang sedikit heran.
"Kigali mengatakan setengah dari hidupnya diha-
biskan di dalam hutan ini! Dia juga mengatakan tidak pernah bertemu dengan siapa
pun! Anak itu masih
muda. Adalah aneh kalau dia tahu.... Siapa yang ber-
dusta" Anak itu atau si orang tua yang sebutkan diri sebagai Kigali"!"
Berpikir begitu, akhirnya Nyai Tandak Kembang
buka mulut bertanya.
"Kau pernah bertemu dengannya, Pendekar 131"!"
"Ah.... Panggil saja dengan Joko, Eyang...."
Nyai Tandak Kembang tersenyum. Lalu ulangi per-
tanyaannya. "Aku tidak pernah bertemu dengan Kigali. Tapi aku
pernah dengar ceritanya dari seorang sahabat!"
"Siapa yang bercerita"!"
"Kakek Datuk Wahing!"
"Hem.... Lalu siapa dia sebenarnya"!"
"Menurut Kakek Datuk Wahing, dia dahulu adalah
orang kepercayaan seorang tokoh dari generasi Kam-
pung Setan bernama Maladewa yang sekarang bergelar
Setan Liang Makam. Datuk Wahing menduga, Kigali
bersama seorang temannya yang juga orang keper-
cayaan Maladewa adalah orang yang memasukkan Ma-
ladewa ke dalam makam batu di Kampung Setan!"
"Hem.... Mungkin inilah pangkal sebab munculnya
beberapa tokoh itu! Kudengar Datuk Wahing bersama
Gendeng Panuntun tadi juga sebut-sebut Kembang
Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Lalu mereka
mengaitkannya dengan bayi! Aku sekarang dapat me-
nebak...."
"Eyang mengenal Kigali"! Apa dia masih hidup"!"
Joko ajukan tanya.
"Aku baru saja bertemu dengannya. Aku menduga
dia tahu di mana Pitaloka berada saat ini!"
"Bagaimana Eyang bisa menduga begitu"!" Yang
bertanya kali ini Putri Kayangan.
"Dari perubahan sikapnya. Serta ucapannya yang
mengatakan setengah dari hidupnya dihabiskan di hu-
tan ini. Padahal aku yakin Pitaloka berada di hutan ini!"
"Bagaimana Eyang bisa yakin Pitaloka berada di hu-
tan ini"!" tanya murid Pendeta Sinting.
"Aku tak bisa mengatakan bagaimana. Yang pasti
kalau aku yakin Beda Kumala dan kau berada di sini
dan kenyataannya demikian, tentu keyakinanku ten-
tang Pitaloka tidak akan meleset!"
"Apakah kau juga yakin tentang dugaan beberapa
sahabatku"!"
"Niatku pertama kali memang hanya mencari Pita-
loka! Tapi kali ini sekaligus ingin membuktikan dugaan itu! Beda Kumala sudah
terbukti tidak mengandung.
Kuharap Pitaloka demikian juga!"
Murid Pendeta Sinting memandang silih berganti
pada Putri Kayangan dan Nyai Tandak Kembang. Lalu
bertanya. "Eyang.... Sekarang aku boleh melangkah
dari tempat ini, bukan"!"
Nyai Tandak Kembang tersenyum. Putri Kayangan
melirik malu-malu lalu memandang pada eyang gu-
runya. Joko gerakkan kaki mendekat ke arah Nyai
Tandak Kembang yang tegak di samping Putri Kayan-
gan. "Beda Kumala.... Walau aku mengenal gurunya,
namun aku belum tahu benar muridnya! Kau harus
tetap berhati-hati!" bisik Nyai Tandak Kembang, mem-
buat Putri Kayangan tersipu.
"Kau kutemukan di bagian utara hutan ini. Berarti
Pitaloka yang berada di bagian selatan! Kita harus segera menuju ke selatan!"
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 8 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Tanah Semenanjung 5
^