Pencarian

Tumbal Ratan Segara 2

Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara Bagian 2


Gentong Ketawa, Arum Sedap menunjukkan kamar tempat
penyekapan ketiga temannya. Si kakek yang me-
rasa dipegang hanya senyum-senyum saja. Gem-
bira ada, rasa suka ada.
Tanpa menghiraukan Gento yang sedang
terlibat perkelahian sengit dengan Ki Busrut Rancak Bana mereka mendobrak pintu
belakang. Be- gitu masuk si kakek langsung menghancurkan
pintu kamar tempat di mana ketiga gadis disekap.
Ketiga penari itu langsung merangkul Arum Se-
dap begitu mereka terbebas dari kamar penyeka-
pan. "Oh Arum... kami kira tidak bisa lagi bertemu denganmu. Puji syukur pada
Gusti Allah. Dan kakek ini bukankah..."!" kata salah seorang di antara teman Arum Sedap.
"Ya, aku yang ikutan menari bersama ka-
lian." sahut Gentong Ketawa semakin mekar saja hidung si kakek berada di tengah
para gadis. "Berterima kasihlah padanya. Dia yang
menolong kalian dan aku!" kata Arum Sedap.
"Terima kasih kek." kata gadis yang berbadan agak kurus langsing.
"Aku juga kek. Kau lucu...!" kata gadis kedua. "Aku begitu juga kek. Berterima
kasih padamu lahir batin." menimpali gadis ketiga.
"Sudah jangan banyak peradatan. Mari
tinggalkan tempat ini!" kata si kakek. Arum Sedap dan kawan-kawannya mengangguk.
Mereka melangkah pergi. Tapi baru saja mereka sampai di
depan pintu belakang mendadak terdengar suara
ledakan berdentum. Keempat gadis sama-sama
kaget dan memandang pada Gentong Ketawa. Si
kakek tersenyum saja. Tanpa beban dan seenak-
nya sendiri Gentong Ketawa menjawab. "Biarkan saja, temanku pemuda gondrong itu
memang agak gila. Otaknya miring, dulu bahkan dia per-
nah membunuh sepuluh laki-laki yang sedang
mengerjai seorang gadis." kata si kakek. Tentu ucapan Gentong Ketawa merupakan
suatu kedus-taan belaka.
"Mengapa dia bertindak begitu, kek?" tanya Arum Sedap.
"Karena kekasihnya, eh, maksudku istrinya
dibunuh orang dengan cara keji dan dinodai."
"Ah, kasihan sekali." kata gadis yang lain.
"Ya, itu sebabnya dia mengamuk melihat
tua bangka itu hendak berbuat kurang ajar kepa-
damu." "Masih semuda itu sudah beristri?" tanya Arum Sedap seakan tak percaya.
"Betul. Terkecuali aku. Ha... ha... ha!" kata si kakek sambil tertawa tergelak-
gelak. Keempat gadis gelengkan kepala melihat
tingkah si gendut ini. Mereka terus melangkah
meninggalkan bagian belakang dapur.
Di satu tempat di bawah kerindangan po-
hon si kakek hentikan langkah. Keempat gadis
yang mengikuti memandangnya dengan heran.
"Mengapa harus berhenti kek?" tanya Arum Sedap. "Terus terang maunya aku
mengantar ka- lian sampai ke rumah masing-masing. Tapi aku
masih banyak urusan. Keadaan sudah aman, ka-
lian bisa pulang secara aman tanpa gangguan
apa-apa." ujar Gentong Ketawa.
Arum Sedap meskipun tak bicara namun
tatap matanya memperlihatkan rasa keberatan.
"Kami masih takut kek. Tolong antar kami
sampai ke rumah." kata gadis yang bertubuh
jangkung bernama Sumini. "Nanti sebagai imba-lannya aku akan menjodohkan kakek
dengan ne- nekku!" Tiga gadis tertawa berderai.
Gentong Ketawa tak kuasa menahan ta-
wanya. "Terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku tak ingin berjodoh dengan
nenekmu. Sekarang
kalian harus pergi dan aku harus pula mengerja-
kan semua urusan yang belum terselesaikan!" tegas si gendut.
Tiga gadis jadi terdiam tak berani memak-
sa. Sedangkan Arum Sedap akhirnya berkata.
"Baiklah kek. Terima kasih atas pertolonganmu.
Suatu saat jika aku sudah mempunyai kesaktian
sepertimu, engkau pasti kucari." Selesai bicara Arum Sedap memeluk si kakek. Dia
membisikkan sesuatu di telinga si gendut. Setelah itu mencium pipi Gentong Ketawa kiri
kanan. Tindakan nekad
dan sangat singkat itu tentu di luar sepengeta-
huan kawan-kawan Arum Sedap. Sebaliknya si
kakek merasa kaget tak menyangka Arum Sedap
berlaku nekad. Dia usap pipi dan dadanya.
"Kek, kami pergi. Seperti kataku, aku kelak
akan mencarimu!" ujar Arum Sedap sambil membalikkan badan, melangkah pergi
dengan diikuti kawan-kawannya.
Si kakek tersenyum, wajahnya masih
membayangkan rasa tak percaya. Dalam kesem-
patan itu dia melihat satu bayangan berkelebat
melewati pintu belakang. Si kakek terkejut.
"Eeh, bandot tua itu hendak lari ke mana?"
desis si kakek. Dia pun lalu mengejar ke arah di mana sosok berpakaian hitam
tadi menghilang.
Sambil berlari mengejar dia masih sempat mem-
batin. "Benar dugaanku, ternyata Arum Sedap memang benar." Sekali lagi si kakek
usap dadanya. 7 Sebelum fajar menyingsing Ukir Koro dan
Rono Gandul benar-benar muncul di sebelah sela-
tan ujung dusun Kedung Ombo. Masing-masing
di bahu mereka membawa sebuah karung besar
berlumuran darah. Bukan hanya karung itu saja
yang diwarnai darah, tapi pakaian, wajah serta
tangan kedua pembantu Ki Busrut Rancak Bana
juga berlumuran darah. Ketika mereka sampai di
jalan dusun tiga ekor kuda yang mereka tam-
batkan di situ masih berada di tempatnya, terikat pada sebuah pohon agak
tersembunyi di sebelah
kanan tepi jalan.
Rono Gandul dan Ukir Koro hentikan lang-
kah. Karung besar diturunkan. Sejenak mereka
menarik nafas, menghirup udara segar menjelang
pagi dalam-dalam.
Keletihan yang mendera diri mereka saat
itu memang sungguh luar biasa. Tapi mereka me-
rasa senang karena sanggup menyelesaikan pe-
kerjaan gila yang dibebankan oleh Ki Busrut Ran-
cak Bana. "Kita tunggu orang tua itu sebentar. Ji-ka dia telah muncul, berarti
kita akan mendapat
hadiah." berkata Ukir Koro tiba-tiba. Suaranya yang serak memecah keheningan.
"Bukan hanya hadiah saja, kita juga telah
dijanjikan untuk memiliki bekas istri piaraannya.
Semua ini merupakan satu keberuntungan yang
tiada tara." sahut Rono Gandul. Membayangkan apa yang akan dilakukan nanti
membuat Rono Gandul julurkan lidah membasahi bibir. Kawan-
nya hanya tersenyum.
Rono Gandul kemudian bermaksud me-
naikkan karung besar itu ke atas punggung kuda.
Belum lagi niatnya terlaksana mendadak sontak
dia dikejutkan oleh gelak tawa seseorang. Rono
Gandul dan Ukir Koro terperangah dan saling
berpandangan satu sama lain.
"Celaka"! Suara siapa itu" Apakah junjun-
gan kita telah datang?" kata Ukir Koro berbisik.
"Suara tawa itu datang dari empat penjuru
arah. Ki Busrut Rancak Bana tak mempunyai il-
mu memecah suara seperti itu." jawab Rono Gandul. Sebagai mana temannya Rono
Gandul yang tadinya membungkuk hendak mengangkat ka-
rung berat sekarang ikutan berdiri tegak, tubuh-
nya berputar, mata memandang ke seluruh pen-
juru arah. Tidak terlihat apapun terkecuali kegelapan semata.
Suara tawa kemudian lenyap, kesunyian
mencekam. Ukir Koro dan Rono Gandul bersikap
waspada, tangan masing-masing menempel pada
bagian hulu pedang.
Kesunyian tidak berlangsung lama, karena
di lain kejap terdengar suara teriakan menggele-
dek. "Dua manusia tukang jagal calon celaka. Karena dosa apa mereka kalian
bunuh" Kalian pa-
tuh pada perintah menyesatkan, namun tidak ta-
kut dosa akibat perbuatan kalian sendiri!"
"Kami hanya menjalankan perintah, men-
genai dosa itu urusan nanti. Siapa kau yang se-
benarnya"!" tanya Ukir Koro memberanikan diri.
"Kau tidak layak mengetahui siapa diriku!"
dengus suara itu. "Yang terpenting saat ini kalian harus menyerahkan kepala
kalian. Akan kutam-bah jumlah yang empat puluh sembilan dengan
dua kepala lagi sehingga menjadi lima puluh satu!
Hi... hi... hi!"
Mendengar ucapan suara itu wajah Ukir
Koro dan Rono Gandul berubah pucat pasi. Se-
rentak mereka mencabut pedang yang telah ber-
lumuran darah. Masing-masing pedang dilintang-
kan ke depan dada. "Orang yang bicara harap tunjukkan diri. Kami tidak suka pada
orang yang bersikap pengecut sepertimu!" hardik Rono Gan-
dul. "Benarkah kalian adalah orang-orang pem-berani berjiwa besar" kalian
menentangku di saat maut datang mengintai. Sungguh kau dan temanmu itu akan
membawa penyesalan sampai ke
liang kubur!" dengus suara tersebut. Begitu suara lenyap dari arah depan mereka
melesat dua benda berbentuk bulat berwarna kuning member-
sitkan cahaya dingin. Kedua benda itu langsung
menghantam Rono Gandul dan Ukir Koro. Kedua
laki-laki ini rundukkan kepala, sedangkan pedang dibabatkan ke depan, menangkis.
Cahaya putih menderu ketika pedang di tangan mereka berke-
lebat menyambar ke arah benda bulat yang mele-
sat dari balik kegelapan itu.
Wuuuut! Babatan pedang mengenai tempat kosong
karena secara aneh dan seakan memiliki nyawa
benda-benda itu melenting ke atas, berputar-
putar di udara disertai desing aneh, kemudian
menukik lagi ke bawah menyambar kepala Ukir
Koro dan Rono Gandul. Seperti tadi kedua laki-
laki itu kembali babatkan senjatanya ke atas. Ta-pi mereka kembali dibuat kaget.
Dua benda yang menghantam dari atas sekarang bergerak ke
samping dan membabat leher Rono Gandul dan
temannya dengan gerakan cepat laksana kilat.
Tangkisan ketiga yang dilakukan mereka juga me-
rupakan satu tangkisan yang tidak berguna sama
sekali karena tetap tidak mengenai sasaran. Ma-
lah benda aneh berwarna kuning itu akhirnya
memapas putus batang leher keduanya.
Bluk! Dua kepala jatuh berg?debukan di depan
kaki, darah menyembur sedangkan tubuh tanpa
kepala nampak terhuyung-huyung, menggeletar
hingga pada akhirnya jatuh terjengkang berlumu-
ran darah. Sedangkan kedua benda yang mema-
pas putus kepala Ukir Koro dan Rono Gandul
kembali melesat ke tempat saat pertama kali da-
tang dan lenyap dalam gelap. Kemudian sedetik
setelah itu dari balik kegelapan pula satu sosok berpakaian serba putih memakai
selendang yang dililitkan pada bagian leher ke arah kepala kedua pembantu Ki Busrut Rancak
Bana. Begitu jejakkan kaki, kedua kepala tadi dimasukkan ke da-
lam karung. Dua potongan tubuh tanpa kepala
ditendang hingga bergulingan di tepi jalan. Selanjutnya karung yang sudah diikat
kembali dinaik-
kan ke atas kuda.
"Segala bentuk kekejian ini harus kuhenti-
kan. Sobo Serngenge, kesaktianmu boleh saja
tinggi, tapi kau harus percaya pada ucapan gu-
rumu. Selama ini kau hanya menggapai keinginan
yang menjijikkan. Kau belum tahu siapa Dewi Se-
goro Lor!" kata sosok serba putih itu sambil me-mandangi karung besar berlumuran
darah. "Ki Busrut Rancak Bana, bawalah oleh-oleh
dalam karung itu ke hadapan Sobo Serngenge!"
ucapnya. "Para pembantuku, aku datang." Satu sua-ra terdengar dari arah belakang orang
itu. Ketika dia berpaling ke belakang. Dia melihat satu sosok serba hitam berlari cepat ke
arahnya. Orang ini
nampaknya memang tak ingin dilihat orang, se-
hingga diapun lalu memutar tubuhnya tiga kali.
Wuues! Mendadak ujudnya raib dari pandangan
tepat di saat orang yang berlari dalam keadaan
tergesa-gesa sampai di tempat itu.
"Ukir Koro... Rono Gandul.... di mana ka-
lian....!" seru si baju hitam yang tiada lain adalah Ki Busrut Rancak Bana. Dia
memandang berkelil-ing dengan perasaan cemas dan tegang. Kedua
pembantunya ternyata tak terlihat. Di jalan dia
melihat genangan darah yang mulai membeku,
jantungnya berdebar. Tanpa sadar dia meman-
dang ke arah kuda yang kini telah berada di ten-
gah jalan. Perasaannya menjadi lega begitu meli-
hat dua karung besar berada di atas punggung
kuda. Dia beranggapan pastilah genangan darah
di tengah jalan adalah darah yang berasal dari
kedua karung itu.
"Anak-anak itu rupanya sengaja hendak
membuat kejutan. Mereka menyelesaikan tugas-
nya dengan baik. Kemudian mempersiapkan apa


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang kuinginkan sebaik mungkin. Tak mengapa,
aku bisa berangkat ke Teluk Rembang seorang di-
ri. Mereka mungkin sudah terlalu lelah, biarlah
mereka berdua bersenang-senang dengan bekas
istriku!" kata Ki Busrut disertai seringai aneh.
Kemudian orang tua ini melepaskan gulun-
gan tali. Dengan tali itu kuda yang membawa be-
ban karung digandeng sedemikian rupa. Sedang-
kan bagian ujung tali dipegangnya. Dengan begitu bila dia memacu kuda
tunggangannya maka dua
kuda yang membawa karung segera mengiku-
tinya. "Pekerjaan mudah, sungguh sangat mudah sekali. Semoga guru Sobo Serngenge
tidak kecewa!" batin Ki Busrut. Tanpa menunggu lagi dia segera melompat ke atas
punggung kudanya. Tali
kekang kuda disentakkan, binatang itu meringkik
dan berlari ke depan dengan diikuti dua kuda
lainnya. *** Matahari baru saja munculkan diri di ufuk
timur, embun masih membasahi pucuk-pucuk
dedaunan. Di tempat di mana Ki Busrut baru saja
tinggalkan tempat itu beberapa jam yang lalu
muncul si kakek gendut Gentong Ketawa. Ketika
orang tua ini memandang ke tengah jalan, Gen-
tong Ketawa melengak kaget.
"Ada banyak darah"! Seperti baru saja ter-
jadi penjagalan di sini. Eh... siapa yang dijagal, siapa pula yang menjagal?"
kata si kakek seorang diri. Dia memandang ke depan, ada jejak kaki ku-da di
situ. Ketika si kakek memandang ke samp-
ing jalan orang tua ini bersurut langkah sambil
keluarkan seruan keras.
"Sungguh tak kusangka." desisnya. "Dua orang ini tergeletak tanpa kepala" Cukup
lama ju- ga Gentong Ketawa berdiri tegak di tempatnya.
Tapi kemudian dia segera mendekati kedua mayat
tanpa kepala itu. Dia segera lakukan pemerik-
saan, meneliti mengamat-amati. Walaupun mayat
itu tanpa kepala tapi dia yakin keduanya pasti
merupakan anak buah Ki Busrut Rancak Bana.
"Melihat lehernya yang putus ini, pasti senjata yang digunakan lebih tajam dari
pedang. Siapa yang membunuhnya" Apakah si kumis tebal itu
sendiri yang telah melakukannya?" pikir Gentong Ketawa. Dia jadi teringat pada
sosok yang melarikan diri lewat pintu belakang rumah kediaman Ki
Busrut Rancak Bana. Sekarang dia benar-benar
merasa yakin laki-laki itu pasti berhasil melo-
loskan diri dari tangan muridnya. "Bocah edan!
Meringkus seekor bandot yang sudah jompo pun
tidak becus!" gerutu si kakek bersungut-sungut.
"Aha, pada akhirnya kutemukan juga kau
di sini!" tiba-tiba satu suara berkumandang di tengah suasana pagi yang sunyi.
Sesosok tubuh berkelebat di belakang si kakek. Gentong Ketawa
bersikap acuh tak hiraukan kehadiran orang. Ma-
lah kini dia unjukkan wajah cemberut.
"Guru... tak kusangka kau telah sampai di
tempat ini. Eeh... ada mayat" Siapa mereka?"
tanya orang yang baru datang yang bukan lain
adalah murid orang tua itu sendiri.
"Ke mana saja kau rupanya, Gege. Kau
pasti tak bisa meringkus orang tua itu?" tegur gurunya dengan mimik bersungguh-
sungguh. "Memang betul, ndut. Dia kabur, minggat
entah ke mana. Tapi... eh...!" Gento Guyon yang sempat memandang gurunya tidak
teruskan ucapan, melainkan tertawa terbahak-bahak.
"Bocah edan. Setelah gagal membekuk si
kumis tebal bukannya sedih, tapi malah tertawa
seperti orang sinting. Apakah kau merasa ada ka-
ta-kataku ada yang lucu?" hardik si kakek.
Gento hentikan tawa sambil memegangi pe-
rut. Dia menunjuk-nunjuk ke bagian wajah gu-
runya sambil berkata. "Kau memang guru yang li-cik. Kau suruh aku melawan Ki
Busrut, sedang-
kan kau sendiri bermesraan, berdua melawan
Arum Sedap. Guru macam apa kau?" dengus si
pemuda. Mendengar ucapan muridnya tentu saja
Gentong Ketawa jadi kaget. Dia heran bagaimana
Gento bisa mengetahui dia bertemu dengan Arum
Sedap. Dengan muka sedikit memerah merasa
rahasianya diketahui sang murid si kakek berka-
ta. "Aku bertanya mengapa malah jawabanmu
malah ngaco?"
"Ha... ha... ha. Dasar orang tua gendeng.
Aku tahu kau pasti habis dipeluk dan dicium oleh Arum Sedap. Bagaimana,
ciumannya sedap tidak?" "Heh, bicaramu ngawur, kupecahkan kepalamu!" berkata
begitu si kakek gerakkan tangan.
Laksana kilat tangan menyambar kepala Gento.
Dengan gerakan cepat pemuda ini berhasil meng-
hindar. "Kau tidak mau mengaku" Coba kau lihat
di kedua pipimu terdapat bekas merah. Siapa
yang menciummu, sapi" Ha... ha... ha!"
Si kakek berjingkrak kaget.
"Kau tidak bicara dusta?" seru Gentong Ketawa, mukanya berubah pucat. Dia
mengusap pi- pinya pulang balik, digosok-gosok tapi warna me-
rah tetap tak mau hilang.
"Aku tidak dusta, malah kau yang sering
membohongiku. Kau kuwalat. Ha... ha... ha. Usap
terus sampai tua!" ejek si pemuda.
Si kakek jadi kelabakan dan malu hati. Dia
terus menggosok pipi kiri kanan sampai kedua
pipi itu jadi memerah.
"Bekas bibir itu memakai sejenis pewarna
yang susah dihilangkan. Terkecuali kau kelupas
kulit pipimu, baru tanda merah hilang. Kalau tidak kurasa sampai setahun di muka
tanda itu masih terus membekas. Huh, dasar tua bangka
hidung belang!" cibir Gento.
Merasa serba salah orang tua ini akhirnya
tutupi kedua pipinya yang tembem. Tak lama ke-
mudian dia berkata. "Jangan hiraukan bekas ciuman gila ini. Aku tidak meminta,
tapi dia yang nekat memelukku."
"Bagaimana rasanya dipeluk Arum Sedap?"
"Rasanya aku pingin pipis dan buang ha-
jat." sahut si kakek sekenanya. "Gege kau dengar... aku telah melihat beberapa
penduduk tewas dalam keadaan sebagaimana kedua mayat itu.
Aku yakin Ki Buyut Rancak Bana membawa po-
tongan kepala mereka ke suatu tempat. Kita ha-
rus menyusulnya!" ujar si kakek.
"Caranya bagaimana?" tanya Gento.
Gentong Ketawa terdiam, berpikir beberapa
jenak lamanya hingga kemudian dia berkata. "Ki-ta ikuti ceceran darah dan bekas
kaki kuda ini."
ujar si kakek. "Boleh, aku di belakang guru di depan.
Dengan begitu aku bisa melihat setiap gerak-
gerikmu yang mencurigakan. Tapi sebelum pergi
boleh aku bertanya?"
"Bertanya apa?" dengus Gentong Ketawa sambil melangkah pergi.
"Ke mana perginya Arum Sedap?"
"Ha... ha... ha. Tentu saja pulang ke rumah orang tuanya." sahut Gentong Ketawa
sambil mempercepat langkahnya. Gento bersungut-
sungut. Sambil menggerutu dia mengikuti gu-
runya. 8 Puncak Menara Gila yang terdiri dari batu-
batuan cadas berlumut hitam nampak menjulang
tinggi seakan hendak menggapai langit. Menara
cadas yang terletak di daerah Puncak Wangi ini
merupakan daerah gersang di mana hampir se-
tiap saat angin kencang berhembus tiada henti.
Selain itu bukit cadas yang menjulang tinggi dan berbentuk kerucut itu selalu
bergoyang tak mau
diam. Seakan bukit itu hanya menempel di atas
permukaan tanah.
Siang itu panas terik terasa membakar di
bagian kaki bukit cadas Menara Gila satu sosok
tubuh berpakaian serba putih berwajah cantik
berselendang putih yang dilingkarkan pada ba-
gian lehernya berdiri tegak di tempat itu sambil dongakkan kepala memandang ke
puncak Menara Gila. "Cukup sulit untuk bisa mencapai Menara Gila ini. Tapi aku harus menemui
Manusia Selaksa Guntur. Tidak ada cara lain untuk bisa sampai ke atas sana. Aku
harus menggunakan ajian
Munggah Langit!" batin si gadis cantik dalam hati.
Beberapa saat kemudian bibir si gadis tampak
berkemak-kemik membaca sesuatu. Setelah itu
selendang yang melilit leher dilepaskan. Salah sa-tu ujung selendang digenggam
dengan erat. Se-
lanjutnya selendang itupun dilecutkan ke udara.
Tar! Tar! Begitu selendang putih melecut di udara
selendang berubah memanjang sekaligus mem-
buka lebar. Secara aneh ujung selendang itu me-
luncur deras ke udara, bergerak dengan kecepa-
tan laksana kilat disertai suara angin menderu.
Di saat lain ujung selendang yang digenggamnya.
Kembali satu keanehan terjadi. Selendang yang
tadinya menjulur panjang kini bergerak menyu-
sut. Dengan begitu tubuh si gadis ikut terbetot ke atas mengikuti tarikan
selendang. Hanya dalam
waktu sekian saat lamanya gadis berpakaian ser-
ba putih memakai ikat kepala warna putih itu te-
lah berada di Menara Gila.
Si gadis sentakkan ujung selendang yang
menempel pada salah satu batu. Kemudian kem-
bali melilitkan selendang itu ke lehernya. Sejenak dia menarik nafas, menghirup
udara dalam-dalam. Setelah itu dia kitarkan pandang tanpa
perduli betapa hembusan angin yang sangat ke-
ras terasa menampar-nampar wajahnya.
"Tidak kulihat di mana adanya orang tua
itu. Aku juga tak melihat pondoknya?" pikir si gadis. "Sita Berhala... aku Peri
Bulan datang menyambangimu. Aku berharap engkau mau unjuk-
kan diri. Ada beberapa hal yang ingin kubicara-
kan menyangkut muridmu dan juga Dewi Segoro
Lor!" berkata si gadis menyebut nama asli orang yang dikunjungi.
"Aku ada di sampingmu, Peri Bulan." terdengar satu suara menjawab. Peri Bulan
cepat menoleh ke sampingnya. Kejut gadis ini bukan
alang-alang begitu melihat di samping kirinya duduk sosok tubuh berwajah maupun
rambut se- perti beruang berwarna putih. Hanya badan tan-
gan dan kakinya saja yang sama seperti manusia.
Yang mengherankan bagaimana si orang tua ta-
hu-tahu bisa berada di sampingnya, padahal tadi
Peri Bulan sama sekali tak melihat ada orang di
sekitar puncak Menara Gila"
"Orang tua, aku merasa senang kau pada
akhirnya mau menjumpaiku. Adapun mengenai
kedatanganku ini seperti yang sudah kukatakan
adalah untuk membicarakan tentang muridmu
juga saudaraku Dewi Segoro Lor." kata si gadis setelah menjura hormat dan duduk
tak jauh di depan kakek yang wajah maupun rambutnya
sangat mirip dengan beruang.
Manusia Selaksa Guntur pandangi gadis di
depannya sejenak dengan tatapan matanya yang
mencorong tajam. Dia lalu palingkan wajahnya ke
arah lain. Beberapa jenak lamanya suasana di
puncak Menara Gila dicekam kebisuan. Sampai
akhirnya si kakek berkata. "Apa yang terjadi di antara kita selama ini tentu
bukan hanya engkau
saja yang tahu Peri Bulan" Selama ini antara ke-
luargamu dan diriku tak mempunyai silang seng-
keta. Tapi di antara kita terikat suatu larangan di mana tak satupun dari
anggota keluargamu yang
boleh menjalin hubungan cinta dengan muridku
maupun diriku sendiri. Karena kau tahu, jika hal itu sampai terjadi maka akan
terjadi malapetaka
besar bagi diriku. Kau keturunan bangsa lelem-
but, sedangkan aku turunan setengah manusia
setengah gaib. Dalam kenyataannya aku berada
dalam ujud sebagaimana yang kau lihat. Hidupku
tersiksa selama bertahun-tahun. Karena itu aku
tak pernah melanggar pantangan. Sampai saat ini
diriku tidak ubahnya seperti orang yang sakit. Hidup selama beratus tahun aku
tak mau membuat
kesalahan." menerangkan si kakek panjang lebar.
Setelah diam sejenak dia melanjutkan. "Tapi kemudian aku tak menyangka dihianati
oleh murid- ku sendiri. Bukan hanya itu saja, dia telah berani mencuri kitab Gentar Gaib.
Kitab larangan yang
harus kujaga kerahasiaannya sampai aku mati.
Semua ini juga merupakan alamat celaka bagi di-
riku. Aku tahu saudaramu yang bernama Dewi
Segoro Lor datang menggoda muridku melalui
mimpinya. Menyatakan perasaan cinta lewat
mimpi pula. Ketika Sobo Serngenge mulai tergila-
gila pada saudara tuamu itu, dia mengajukan
syarat agar muridku mendirikan sebuah singga-
sana bernama Rumah Sorga di teluk Rembang.
Aku tak tahu muslihat apa yang ada dalam benak
saudaramu itu. Yang jelas walau Sobo Serngenge
memiliki kesaktian tinggi, tanpa menguasai isi kitab Gentar Gaib dia tidak akan
dapat mewujud- kan semua impiannya itu. Tapi semua itu hanya
membuat aku semakin menderita. Murid terkutuk


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu harus kuhentikan!" ujar si kakek bermuka beruang dengan suara perlahan.
"Untuk persamaan itu pula aku datang
menyambangimu kemari kek. Aku tahu saudara-
ku Dewi Segoro Lor terkadang suka bertindak ne-
kad menuruti kemauan hati sendiri. Aku akan
memberi teguran keras kepadanya. Semula aku
beranggapan kakek tak mengetahui tentang se-
mua yang dilakukan oleh Sobo Serngenge. Se-
hingga aku memerlukan diri untuk datang ke ma-
ri. Tapi syukurlah ternyata kakek mengetahui
semua kejadian di luaran sana menyangkut ten-
tang muridmu dan juga kakakku!" kata Peri Bulan. "Jadi apa rencanamu
selanjutnya?" tanya Manusia Selaksa Guntur ingin tahu.
"Rencanaku tentu mencegah agar kakakku
tidak sampai melanggar pantangan menikah den-
gan muridmu. Tapi semua itu tak mungkin ber-
hasil, sebab terus-terang saudaraku itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Kesaktiannya jauh berada di atasku. Menghadapi Dewi Segoro Lor saja
belum tentu aku sanggup mengalahkannya. Apa-
lagi jika muridmu sampai ikut turun tangan."
Si kakek Sita Berhala, manusia berujud se-
tengah manusia setengah beruang terdiam. Dia
berpikir sampai saat ini Picak Kiri yang diutus
untuk meminta kitab Gentar Gaib yang dicuri So-
bo Serngenge masih belum juga kembali. Padahal
dia berjanji dalam waktu dua hari Picak Kiri akan menemui gurunya seandainya
berhasil mengambil
kembali kitab Gentar Gaib. Aneh, sampai saat ini Picak Kiri masih juga belum
munculkan diri. Di-am-diam perasaan kakek berujud manusia dan
setengah binatang ini jadi gelisah. "Aku sebenarnya tak ingin meninggalkan
Menara Gila ini. Tapi firasatku mengatakan telah terjadi sesuatu pada
Picak Kiri. Seandainya aku tidak ikut campur
tangan dalam urusan ini, dunia persilatan kelak
bisa ditimpa satu malapetaka yang sangat besar!"
pikir Manusia Selaksa Guntur. Dia selanjutnya
berucap. "Sebenarnya aku sejak dulu telah memutuskan untuk tidak meninggalkan
Menara Gila ini. Tapi keinginan itu nampaknya tidak dapat
kupertahankan lebih lama. Aku berjanji akan
pergi ke Teluk Rembang. Tapi harap dimaafkan
karena aku tidak dapat pergi bersama dengan-
mu." tegas si kakek.
Mendengar keputusan Manusia Selaksa
Guntur, Peri Bulan terkejut. Dia sama sekali tak menyangka orang tua setengah
manusia setengah
binatang itu tidak mau pergi bersamanya. "Orang tua, mengapa kau tak mau pergi
bersamaku" Padahal saat ini sudah banyak korban yang jatuh
karena ulah Sobo Serngenge. Banyak mayat kehi-
langan kepalanya. Apakah hatimu tidak tersentuh
melihat kematian mereka?" tanya Peri Bulan.
"Tentu saja perasaan dan naluriku sama
dengan manusia lain. Seperti yang telah kukata-
kan, berdekatan denganmu, berjalan seiring seja-
lan membuat tubuhku terasa panas. Karena itu
sebaiknya berangkatlah kau duluan. Aku pasti
menyusulmu. Karena kitab Gentar Gaib itu bagi-
ku merupakan nyawa yang kedua." ujar si kakek.
Peri Bulan anggukkan kepala.
"Baiklah orang tua. Kalau sudah begitu ka-
tamu aku tentu tak dapat memaksa. Aku pergi
dulu orang tua." berkata begitu Peri Bulan bangkit berdiri. Setelah menjura
hormat gadis cantik itu membalikkan langkah. Selendang yang melilit
leher dilepas. Kembali mulutnya berkemak-kemik
hingga terdengar suara racau dengan irama tak
menentu. Setelah itu selendang itu dikebutkan di udara tiga kali berturut-turut.
Dari ujung selendang menderu asap tebal yang langsung menye-
limuti sekujur tubuh Peri Bulan. Melihat hal ini Manusia Selaksa Guntur berdecak
kagum. Sementara di depannya sana sosok Peri Bulan yang
dilingkupi asap putih tebal mendadak raib dari
hadapan si kakek
"Ilmunya tinggi, bahkan sulit dijajaki. Tapi kepadaku dia masih tetap berendah
hati dengan meminta bantuanku. Sebaiknya sejak sekarang
aku harus bersiap diri. Sobo Serngenge murid
murtad itu harus kubawa ke mari untuk meneri-
ma hukuman dariku." ujar si kakek. Sambil tetap duduk bersila dia tundukkan
kepala. Wuees! Sama seperti gadis tadi, mendadak kakek
Sita Berhala lenyap dari pandangan mata.
9 Di ujung dataran teluk yang menjorok ke
tengah lautan kakek berambut putih laksana pe-
rak masih duduk bersila di tempatnya. Saat itu
matahari susah hampir tenggelam di ufuk sebelah
barat, angin laut berhembus sepoi-sepoi basah. Di tempat duduk si kakek tiba-
tiba julurkan kepala
dan memasang pendengarannya saat mendengar
suara sayup-sayup derap langkah kuda yang ber-
gerak cepat menuju ke arahnya. Semakin lama
derap langkah kuda semakin bertambah dekat,
lalu semak bakau yang berada di depan si kakek
tersibak. Seekor kuda berbulu putih muncul di
tempat itu yang kemudian disusul oleh dua kuda
lainnya berbulu sama. Si kakek memandang lu-
rus ke depan. Dia melihat di atas punggung kuda
yang berada di depan duduk seorang laki-laki
berpakaian hitam berwajah bengis. Keangkeran
wajah penunggang kuda itu tidak menimbulkan
perubahan apapun pada diri si kakek. Dia melirik ke arah karung yang berada di
atas punggung kuda kedua dan ketiga. Masing-masing karung
besar itu terikat pada bagian mulutnya dan sama
bersimbah darah.
"Busrut Rancak Bana, telah kau dapatkan
apa yang dipesan oleh gurumu ini?" kata si kakek sambil memandang muridnya
dengan tatapan dingin menusuk.
Orang tua di atas kuda melompat turun,
lalu menjura hormat pada kakek berambut putih
yang bukan lain adalah Sobo Serngenge. Setelah
duduk bersila di depan sang guru dia menjawab.
"Sesuai pesan guru Sobo Serngenge, saya muridmu tak pernah membuat kecewa. Saya
telah pe- nuhi apa yang guru minta. Karena itu sesuai janji guru, saya berharap kitab
Gentar Gaib nantinya
sudi guru mewariskannya padaku!"
Mendengar ucapan muridnya Sobo Sern-
genge memandang ke arah laki-laki yang berada
di hadapannya sekilas. Setelah itu dia tertawa lebar. "Apa yang ada dalam benak
orang tua ini"
Jalan pikiran dan isi hatinya sulit kutebak. Aku khawatir jangan-jangan dia malah
membunuhku begitu semua keinginannya tercapai!" batin Ki Busrut Rancak Bana.
Dalam pada itu tawa si kakek sudah mulai
mereda. Sebelum memberi jawaban atas keingi-
nan Ki Busrut si kakek ajukan pertanyaan. "Wak-tuku sudah banyak yang terbuang,
Busrut. Seha- rusnya kemarin malam kau sudah sampai. Men-
gapa baru sore ini baru tiba di sini?"
Mendengar pertanyaan Sobo Serngenge, Ki
Busrut Rancak Bana sempat bingung juga. Tidak
mungkin dia mengatakan duduk persoalan yang
sebenarnya. Sehingga diapun menjawab.
"Maafkan saya atas keterlambatan itu. Se-
benarnya tadi malam saya sudah sampai ke sini
jika aku tak dihadang oleh seorang pemuda be-
rambut gondrong dan kakek tinggi gemuk besar
luar biasa. Saya sama sekali tak mengenal mere-
ka. Tapi dari bentrok tenaga dalam, saya menge-
tahui kedua orang itu memiliki tenaga dalam ser-
ta kesaktian yang sangat tinggi!"
Mendengar jawaban muridnya Sobo Sern-
genge terdiam, kedua alisnya berkerut tajam. Se-
telah berpikir sejenak dia bertanya. "Bagaimana ciri-ciri mereka, mengapa kau
sampai berkelahi
dengan mereka?"
Ki Busrut menjawab. "Ciri-ciri mereka,
yang pertama adalah seorang kakek berumur lima
puluh tahun lebih badannya gemuk tinggi dengan
bobot sekitar dua ratus kati. Wajahnya bulat,
kening lebar pipi tembam berbaju hitam tidak
terkancing!" ucap Ki Busrut. Kening Sobo Serngenge berkerut tajam. Dia rasa-rasa
kenal dengan orang tua dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan
muridnya. "Kakek keparat itu pastilah Gentong Keta-
wa. Manusia aneh yang akhir-akhir ini banyak
menarik perhatian kalangan rimba persilatan ka-
rena sepak terjang dan kekonyolannya. Sedang-
kan pemuda yang dimaksudkan muridku tentu
Gento Guyon, murid Gentong Ketawa. Dua manu-
sia berkepandaian tinggi. Bagaimana Busrut bisa
meloloskan diri dari tangan mereka." membatin si kakek berambut putih perak di
hati. Tapi untuk
meyakinkan diri, Sobo Serngenge kembali ber-
tanya. "Kemudian bagaimana ciri-ciri pemuda yang bersama kakek itu?"
"Badannya tegap, rambut gondrong berte-
lanjang dada. Sama seperti si kakek dia juga se-
perti orang kurang waras."
"Kurang waras tapi berilmu tinggi, lalu ba-
gaimana kau bisa sampai selamat sampai ke ma-
ri?" tanya Sobo Serngenge.
Sekali lagi Ki Busrut dibuat bingung. Tapi
sekali lagi dengan ketenangan luar biasa dia menjawab. "Kusuruh muridku
menghadapi mereka.
Mengingat tugas yang guru berikan sangat pent-
ing. Aku terpaksa meninggalkan mereka untuk
membawa kepala yang hendak dijadikan tumbal."
Sobo Serngenge tertawa mengekeh men-
dengar penuturan Ki Busrut Rancak Bana. Masih
dengan tertawa dia lalu berkata. "Bagus, untuk kesetiaan dan itikad baik yang
kau tunjukkan sebentar lagi kitab Gentar Gaib akan kuberikan pa-
damu. Sedangkan mengenai kedua orang itu nan-
ti pasti akan mendapat hukuman dariku," tegas si kakek. "Sekarang ini sebaiknya
kau turunkan kedua karung itu. Aku ingin melihatnya. Jumlah
kepala yang hendak dijadikan tumbal sebenarnya
hanya kurang empat puluh delapan lagi. Akan te-
tapi jika ada kelebihan hal itu malah lebih bagus.
Sekejap lagi teluk ini akan kujadikan daratan, setelah itu aku akan
memerintahkan para siluman
yang dibantu oleh para arwah penasaran untuk
mendirikan singgasana sorga yang diinginkan
Dewi Segoro Lor!" kata Sobo Serngenge.
Tanpa bicara lagi Ki Busrut lakukan apa
yang diminta gurunya. Dua karung besar berisi
potongan kepala diturunkan, lalu dibawa ke ha-
dapan gurunya. Sobo Serngenge bangkit berdiri, pengikat
mulut karung dibukanya. Dia merasa heran sen-
diri. Menurut sang murid kedua pembantunya
sedang menghadapi Gentong Ketawa dan Gento
Guyon. Tapi mengapa tiba-tiba saja sekarang po-
tongan kepala Ukir Koro dan Rono Gandul men-
gapa berada di dalam karung itu"
"Dia telah berani membohongiku, bagai-
mana nanti jika dia telah berhasil menguasai se-
luruh isi kitab Gentar Gaib" Bukan mustahil aku
dibunuhnya!" geram Sobo Serngenge. Orang tua berambut perak itu kemudian membuat
isyarat pada Ki Busrut Rancak Bana. Setelah orang tua
itu mendekat dia berkata. "Menurutmu kedua
anak buahmu sedang bertarung menghadapi mu-
rid dan guru sinting itu, betul?"
"Betul sekali guru." sahut Ki Busrut tanpa ragu. "Orang yang sudah mampus dan
tidak memiliki kepala bisa bertempur. Ilmu setan apa
rupanya yang dimiliki oleh kedua anak buahmu
itu" Sekarang coba kau lihat ini." Selesai bicara dua potongan kepala dilempar
langsung ke arah
orang tua itu. Potongan kepala menggelinding dan berhenti di ujung kaki Ki
Busrut Rancak Bana.
Dia terkesiap, wajahnya berubah pucat, mulut
terngaga dan mata membeliak lebar. Walau ba-
gian wajah potongan kepala itu diselimuti cairan darah yang sudah mengering.
Tapi dia tentu saja
dapat mengenali dua wajah itu. Wajah kedua
pembantunya, Ukir Koro dan Rono Gandul. Diha-
dapkan pada kenyataan seperti itu tentu saja Ki
Busrut Rancak Bana jadi bingung sendiri.
"Guru... sungguh aku tidak berbohong
dengan semua apa yang kukatakan tadi." kata si orang tua heran dan diliputi
perasaan tidak mengerti. Sobo Serngenge menyeringai. "Kuakui semua kejujuranmu
selama ini. Tapi terus terang
hari ini aku sangat kecewa, walaupun kau berha-
sil membawa apa yang aku inginkan. Oleh karena
itu wahai muridku, kini aku berubah pikiran." ka-ta Sobo Serngenge dengan suara
dingin menusuk.
"Guru apa maksudmu?" tanya si orang tua.
Sobo Serngenge sunggingkan seringai sinis. Ke-
dua tangannya yang sejak tadi berada di dalam
kantung mendadak dicabutnya. Kemudian sambil
berteriak keras dia menghantam Ki Busrut Ran-
cak Bana. Sinar kuning kebiruan berkiblat ke
arah Ki Busrut. Tidak mengira mendapat seran-
gan seperti itu dari gurunya sendiri, si orang tua tidak sempat menghindar.
Pukulan ganas yang
melanda dirinya membuat tubuh si kakek terlem-
par disertai jeritan panjang menyayat. Orang tua itu tewas seketika dengan tubuh
hangus gosong. "Ha... ha... ha! Siapapun yang mencoba


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membohongi aku, maka jiwanya tak akan pernah
kuampuni!" teriak Sobo Serngenge sinis. Kemudian tanpa pikir panjang lagi Sobo
Serngenge mencampakkan seluruh kepala yang berada da-
lam karung ke dalam teluk. Begitu seluruh kepala tercebur ke dalam teluk yang
dalam itu, maka
terdengarlah suara bergemuruh hebat. Tanah di
ujung Teluk Rembang di mana Sobo Serngenge
berada bergetar hebat. Dalam gelapnya malam si
kakek jatuhkan diri dan segera duduk. Sementara
di bagian teluk suara gemuruh terus terdengar.
Satu keanehan yang sulit dipercaya terjadi. Tanah di bagian dasar teluk naik ke
permukaan. Bersamaan dengan itu pula di depan Sobo Serngenge
muncul satu sosok tubuh berpakaian serba hitam
ketat berwajah bulat lonjong dengan rambut pan-
jang tergerai. Melihat kemunculan sosok gadis cantik ini
Sobo Serngenge jadi berjingkrak kaget, matanya
terbelalak seakan tak percaya dengan pengliha-
tannya sendiri. Dalam suasana gelap, di mana
matahari telah digantikan dengan rembulan Sobo
Serngenge mengusap matanya sampai dua kali.
Tapi perempuan cantik berumur sekitar dua pu-
luh tahun itu ternyata tidak hilang juga dari pandangan matanya. Malah sosok itu
sunggingkan senyum memikat pada kakek itu.
"Dewi Segoro Lor benarkah engkau ini
adanya?" tanya si kakek, suaranya bergetar antara haru dan bahagia.
"Hik... hik... hik! Kau tak salah melihat,
aku memang Dewi Segoro Lor!" jawab si gadis. Dia melirik ke dalam Teluk Rembang.
Kini di tempat itu terlihat sebuah daratan berpasir luar. Daratan yang tercipta berkat
kesaktian yang dimiliki oleh Sobo Serngenge dan juga tumbal yang telah di-
persembahkan untuk menciptakan daratan itu
sendiri. Sobo Serngenge tersenyum. "Kau telah me-
lihatnya. Aku telah dibantu oleh para arwah le-
lembut untuk menciptakan semua ini. Malam ini
setelah melewati tengah malam akan kubuatkan
singgasana Sorga sebagaimana yang kau minta."
kata kakek tua itu dengan penuh rasa percaya di-
ri. "Oh kakang Sobo, hatimu sungguh mulia.
Cintamu sebening embun menyejukkan hatiku.
Dalam sebuah alam yang jauh telah begitu lama
aku melihatmu. Penglihatan gaib yang kemudian
menumbuhkan rasa cinta di hatiku yang demi-
kian mendalam. Karena itu aku berani menam-
pakkan diri dalam tidurmu, bicara bebas tentang
perasaan kita masing-masing. Tapi kakang Sobo
Serngenge mungkin cinta kita tidak akan berjalan mulus karena aku merasakan ada
beberapa pihak yang mencoba menghalangi niat kita. Padahal da-
ri negeri yang jauh itu aku punya rencana besar
untuk mendirikan sebuah kerajaan besar yang
nantinya dengan kekuatan yang kita miliki serta
bala bantuan dari prajurit dari alam lelembut kita taklukkan seluruh kekuasaan
yang ada di dunia
persilatan ini."
"Aku setuju, aku sependapat. Demi cintaku
kepadamu apapun yang kau rencanakan aku pas-
ti mendukungnya. Malam ini aku akan perintah-
kan para setan, roh dan hantu gentayangan un-
tuk membangun singgasana Sorga sebagaimana
yang kau minta. Kita pasti berhasil mewujudkan
semua itu hanya dalam waktu semalam!" kata
Sobo Serngenge.
Wajah si gadis di bawah keremangan ca-
haya bulan nampak berseri-seri.
"Aku senang mendengarnya. Nanti setelah
singgasana itu telah ditegakkan kita dapat meni-
kah secepat mungkin!" berucap si gadis dengan senyum bermain di bibirnya.
"Aku setuju, aku senang, aku sangat baha-
gia sekali!" menyahuti Sobo Serngenge dengan wajah berseri.
Kakek dan gadis itu saling mendekat, ke-
dua tangan dikembangkan. Nampaknya kedua in-
san berlainan jenis yang usianya terpaut jauh itu siap saling peluk satu sama
lain untuk melepaskan kerinduan di hati masing-masing. Namun
pada saat itulah berkelebat satu bayangan putih
disertai dengan menderunya angin dingin yang
melabrak mereka, hingga membuat keduanya
terhuyung. Belum lagi hilang rasa kejut di hati
mereka terdengar satu bentakan keras melengk-
ing. "Rencana gila itu harus dibatalkan, aku tidak setuju jika kalian sampai
menyatu dalam ke-
luarga!" kata satu suara.
Baik Dewi Segoro Lor maupun Sobo Sern-
genge cepat palingkan wajah ke arah datangnya
suara itu. Sobo Serngenge melengak kaget ketika
melihat tak jauh di depannya telah berdiri tegak seorang gadis cantik,
berpakaian serba putih berambut panjang. Di leher gadis itu dilingkari sebuah
selendang yang juga berwarna putih. Seba-
liknya Dewi Segoro Lor meskipun sempat kaget,
namun begitu mengenali siapa yang datang nam-
pak sunggingkan senyum sinis.
"Tak usah takut. Dia adikku...!" kata gadis berbaju hitam membisiki. Penjelasan
Dewi Segoro Lor sedikitnya membuat perasaan Sobo Serngenge
menjadi lega. Dia hendak mengatakan sesuatu,
namun urung begitu gadis yang di cintainya
memberi tanda. Kini Dewi Segoro Lor melangkah
maju. Dia lalu membentak. "Peri Bulan buat apa jauh-jauh menyusulku ke mari?"
Peri Bulan tersenyum tipis, sikapnya be-
nar-benar penuh ketenangan. Dengan tegas dia
kemudian menjawab. "Dewi Segoro Lor, aku memang sengaja membuntutimu, mengamat-
amati setiap gerak-gerikmu. Akhirnya aku tahu kau
memendam hasrat pada kakek itu. Kau kemudian
meninggalkan alam para peri, mendobrak tabir
gaib dan nekad datang ke sini. Kau jangan ber-
mimpi bisa mewujudkan rencana sintingmu. Kau
harus tahu tidak ada bangsanya peri menikah
dengan manusia. Selain itu antara Manusia Se-
laksa Guntur dan Dewi Kuasa Peri junjungan dari
seluruh peri dan mahluk lelembut telah membuat
satu perjanjian, agar di antara kita dan mereka
tidak melanggar larangan keramat itu. Jika itu
sampai kau langgar berarti malapetaka bagi kita
bangsanya peri dan juga celaka besar bagi Sita
Berhala Manusia Selaksa Guntur."
"Hi... hi... hi. Apapun isi larangan itu aku tak perduli. Mereka yang membuat,
mengapa harus aku yang mematuhinya" Aku sudah bosan
hidup di dunia kita yang tak pernah mengenal ar-
ti kehadiran seorang laki-laki!" dengus Dewi Segoro Lor sinis. Dia kemudian
menambahkan. "Kau gadis kecil tahu apa. Lebih baik kau kembali ke
duniamu. Aku tak punya waktu untuk melayani-
mu!" Peri Bulan gelengkan kepala.
"Dewi Kuasa Peri telah menegaskan pada-
ku agar menyeretmu kembali ke negeri kita. Jika
kau membangkang, aku terpaksa turun tangan
kejam kepadamu!" tegas Peri Bulan.
Dewi Segoro Lor tertawa panjang melengk-
ing. Sebaliknya Sobo Serngenge, bekas murid
Manusia Selaksa Guntur yang telah berhasil
menguasai ilmu gaib dari kitab curian malah me-
langkah maju. Dia pandangi Peri Bulan sejenak
lamanya. Dia harus mengakui, gadis yang satu ini ternyata memang lebih bila
dibandingkan dengan
Dewi Segoro Lor, walaupun mereka sama-sama
dari golongan peri. Selain itu Peri Bulan setiap bertutur kata ucapannya lemah
lembut. Tatapan
matanya juga sangat bersahabat. Jauh berbeda
dengan kakaknya Dewi Segoro Lor yang terkesan
angkuh dan genit. Tapi walau bagaimana pun dia
sudah terlanjur jatuh cinta pada Dewi Segoro Lor sejak gadis itu menjumpainya
dalam mimpi untuk
pertama kali. Sehingga walau bagaimanapun dia
tetap berpihak pada Dewi Segoro Lor.
"Peri Bulan, sebaiknya kau mau memper-
timbangkan apa yang dikatakan oleh kakakmu.
Karena untuk mewujudkan impian serta cita-cita
kami. Terus-terang aku tak akan segan membu-
nuh siapa saja yang mencoba menghalangi, tidak
terkecuali dirimu. Nah, daripada kau kembali ke
tempat asalmu dalam keadaan tanpa nyawa. Se-
lagi ada kesempatan lebih baik kau tinggalkan
tempat ini secepatnya!" perintah Sobo Serngenge tegas. Tapi jawaban peri Bulan
ternyata di luar dugaan kakek itu. "Kakek tua, manusia tak ber-budi pencuri
tengik. Penghianat pada guru sendi-
ri. Tahu apa kau tentang peraturan di daerah asal kami! Aku tahu kau telah
menguasai isi kitab
Gentar Gaib. Apakah dengan begitu kau mengira
aku jadi takut menghadapimu"!" dengus si gadis.
Mendidih darah si kakek mendengar uca-
pan Peri Bulan. Selama ini belum pernah ada pe-
rempuan yang berani bicara seketus dan sekasar
itu. Tapi malam ini tampaknya dia harus menun-
jukkan kewibawaannya.
10 Sekejab dia menoleh dan memandang ke
arah Dewi Segoro Lor. Dengan tegas dia lalu aju-
kan pertanyaan. "Dewi, kekasihku. Jika kubunuh dia apakah kelak kau akan
menyesalkan tinda-kanku?"
"Hi... hi... hi. Kakang, kau bunuh dia sepuluh kali bagiku dia tak mempunyai
arti apa-apa. Tapi kurasa aku yang lebih pantas menghadapi
orang keras kepala seperti dia. Serahkan dia pa-
daku!" kata Dewi Segoro Lor.
Mendadak dia goyangkan kakinya. Di lain
saat gadis berpakaian hitam ini sudah berkelebat ke arah Peri Bulan. Dengan
cepat tangan kanannya dihantamkan ke dada adiknya, sedangkan
tangan kiri menyambar ke bagian leher dengan
posisi mencengkeram.
"Kurang ajar. Kau pergunakan pukulan Pa-
ra Peri Di Tengah Pusara!" seru Peri Bulan. Gadis ini langsung menghindar dengan
miringkan tubuhnya ke kiri. Dia sadar betul pukulan yang di-
lancarkan kakaknya itu selain mematikan juga
membuat kekuatan saktinya lenyap dalam seke-
jap. Dan pukulan ini di negeri mereka memang
sangat jarang dipergunakan mengingat teramat
ganas sekali. Begitu miringkan tubuhnya dari arah ba-
wah dia menggerakkan tangannya ke atas sejajar
dengan dada lawannya. Dewi Segoro Lor yang
menyadari kedua serangannya tak mengenai sa-
saran menghindar ketika merasakan ada samba-
ran angin dingin mendera dadanya. Tapi tidak
urung ujung tangan Peri Bulan menyentuh da-
danya. Meskipun hanya berupa sentuhan, tapi
menimbulkan rasa sakit yang sangat hebat bagi
lawannya. Dewi Segoro Lor bahkan sempat ter-
huyung. Wajahnya agak pucat, sedangkan dari
mulutnya terdengar suara erangan aneh.
"Perempuan sepertimu nampaknya me-
mang tidak perlu diberi hati!" teriak Dewi Segoro Lor. Tanpa berpikir panjang
lagi dia segera mene-kuk kaki kanan, sedangkan kaki kiri ditarik ke
belakang. Sekejap kemudian kedua tangannya
berkelebat berputar aneh di bagian kepala dan
dadanya. "Peri Mengadu Jiwa Di Atas Awan!" gumam Peri Bulan dingin. "Dia hendak mengadu
jiwa denganku hanya demi cintanya pada tua bangka
itu!" Peri Bulan katupkan kedua bibirnya. Begitu melihat Dewi Segoro Lor melesat
ke arahnya sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi, maka gadis
berpakaian putih ini pun tidak tinggal diam. Laksana kilat dia melolos selendang
putih yang dili-
litkan di bagian lehernya. Tenaga dalam dikerah-
kan ke bagian selendang, setelah itu senjata yang dapat memanjang bahkan bisa
berubah kaku laksana baja itu dikebutkannya ke depan menyam-
but pukulan lawan.
Wuus! Segulung angin laksana topan prahara
menderu sebat menerjang ke arah awan, mempo-
rak porandakan pukulan yang dilepaskannya dan
lebih dari itu tubuh Dewi Segoro Lor kini seakan terpental ke udara membubung
tinggi di angkasa.
Bagaikan seekor burung Peri Bulan juga melesat
ke udara. Selagi tubuh mereka berada di udara
terjadilah pertempuran sengit yang berlangsung
sangat cepat dan sulit diikuti kasat mata.
Sobo Serngenge mendongak ke langit ikuti
jalannya perkelahian. Dalam hati dia berkata.
"Kedua gadis itu sungguh luar biasa. Mere-
ka bertarung di udara bagaikan dua ekor elang
ganas. Tapi senjata di tangan Peri Bulan itu sangat berbahaya. Jika tidak
kubantu, Dewi bisa ce-
laka!" kata si kakek seorang diri.
Sementara itu di udara, Peri Bulan kembali
mengebutkan selendang putihnya. Selendang itu
meluncur ke depan. Secara aneh selendang ber-
tambah memanjang dan melebar disertai deru
aneh. Selendang itu kemudian meliuk bagai lidah
ular yang siap melilit mangsanya. Mendapat se-
rangan ganas seperti ini lawan menggunakan il-
mu Kecepatan Bergerak. Tubuhnya berkelebat
menghindari sambaran selendang, sementara ge-
rakannya terus mendekati Peri Bulan, maka tan-
gan kanannya segera dihantamkan ke dada lawan
sedangkan tangan kiri berusaha merampas ujung
selendang dalam genggaman Peri Bulan. Gadis
berpakaian serba putih ini terkejut besar tak menyangka lawan berbuat secerdik


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Namun dia tentu saja tak sudi selendangnya berpindah tan-
gan. Sehingga dengan tangan kiri dia mencoba
menangkis laju gerak tangan lawan yang berusa-
ha merebut selendangnya.
Plak! Dessss! Selendang yang hendak direbut memang
berhasil diselamatkan. Tapi tangan kanan Dewi
Segoro Lor menghantam telak tepat di bagian da-
danya. Peri Bulan menjerit keras. Tubuhnya me-
layang di udara dan terus meluncur ke bawah.
Darah menetes dari bibirnya. Ketika dia jatuh
terhempas di atas tanah, Peri Bulan yang mende-
rita luka dalam di bagian dada merasa sulit ber-
nafas. Dari atas sana lawan yang mengetahui Peri Bulan dalam keadaan terluka
tidak memberi kesempatan lagi pada adiknya. Selagi tubuhnya me-
luncur ke bawah dia kembali hantamkan tangan
kanan kiri ke arah gadis itu. Sinar putih kebiruan mencuat dari telapak tangan
Dewi Segoro Lor.
Sinar itu menderu ganas disertai menebar-
nya hawa dingin laksana es dan langsung mela-
brak tubuh Peri Bulan. Walau terluka parah, na-
mun Peri Bulan pantang menyerah begitu saja.
Dengan tangan kiri dia menyambut pukulan maut
lawannya sedangkan dalam waktu yang sama se-
lendang putih pemberian Dewi Kuasa Peri pe-
mimpin tertinggi dari semua peri langsung dike-
butkannya ke atas.
Cahaya putih melesat dari ujung selen-
dang, dari tangan kiri Peri Bulan menderu pula
serangkum angin berhawa panas luar biasa. Dua
tenaga sakti saling menyongsong di udara, hingga benturan keras pun tak dapat
dihindari lagi.
Buuum! Terjadi ledakan berdentum yang merun-
tuhkan tanah di tebing Teluk Rembang. Sobo
Serngenge sendiri tubuhnya sempat terguncang
akibat pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh
suara ledakan tadi. Di sudut sana dekat semak
belukar Peri Bulan rebah miring sambil menge-
rang lemah. Sebagian selendangnya robek, se-
dangkan luka yang dideritanya makin bertambah
parah. Tak jauh dari Peri Bulan, lawannya nam-
pak jatuh dengan kaki ditekuk. Sedangkan tan-
gannya mendekap dada. Dari kenyataan ini terli-
hat walaupun Dewi Segoro Lor memang memiliki
kesaktian satu tingkat di atas adiknya, tak urung dia menderita luka di bagian
dada juga. "Kekasihku, kau terluka...?" Sobo Serngenge cemas sekali.
Si gadis menyeringai. "Kakang, dia bukan
apa-apa bagiku jika selendang itu tak berada di
tangannya. Cepat rebut! Rampas selendang itu!"
seru Dewi Segoro Lor.
"Hemm, daripada repot, lebih baik kuram-
pas selendang dan nyawanya sekaligus!" dengus si kakek dingin. Kedua tangan yang
terkembang kemudian diputar beberapa kali, hingga dalam
waktu singkat tangan yang diputar menimbulkan
angin bersiuran itu telah berubah merah, memba-
ra. Sambil berteriak keras dengan gerakan laksa-
na kilat kakek berambut putih segera menghan-
tamkan kedua tangannya ke arah Peri Bulan. Da-
lam keadaan terluka parah mustahil bagi si gadis dapat menyelamatkan diri. Tak
ampun lagi sinar
merah menyambar ke arahnya. Tapi belum lagi
sinar maut itu mengenai sasarannya, detik itu
pula dari arah semak belukar terlihat sinar yang sama menderu memapas habis
sinar yang dilepaskan Sobo Serngenge. Terjadi letupan keras,
satu sosok tubuh berkelebat ke arah kakek itu
disertai bentakan.
"Murid murtad. Aku tak rela kau menggu-
nakan pukulan itu, apalagi berniat membunuh
seorang gadis yang sudah tidak berdaya."
Sejenak lamanya Sobo Serngenge yang
sempat terjengkang akibat bentrok tenaga dalam
tadi nampak memandang lurus ke depan. Dia
terkesiap begitu melihat satu sosok berujud se-
tengah manusia setengah beruang berdiri tegak di depannya sambil berkacak
pinggang. "Guru...!" seru Sobo Serngenge, dia jatuhkan diri berlutut di depan kakek
bermuka dan be-
rambut beruang.
Orang tua itu mendengus. "Tak usah kau
berpura-pura dengan menghormat pada tua
bangka ini, Sobo Serngenge?" kata si kakek sambil diam-diam melirik ke arah Dewi
Segoro Lor yang kini tengah duduk bersila memulihkan tena-
ga dalamnya. Jauh di dalam hati si kakek berka-
ta. "Gadis ini rupanya yang telah menjadi biang racun hingga muridku berani
melanggar larangan
bahkan mencuri kitab Gentar Gaib."
"Guru aku mengaku salah. Aku mohon
maafmu dan siap menjalani hukuman." berucap kakek itu sambil menangis mengguguk.
Si kakek bermuka beruang tahu ucapan muridnya itu ada-
lah palsu belaka. Sehingga sedikitpun dia tak
mengurangi kewaspadaannya. Sebaliknya Dewi
Segoro Lor tersentak kaget mengira Sobo Sern-
genge telah melakukan tindakan yang sangat
pengecut. "Aku kecewa mendengar ucapanmu itu ka-
kang Sobo." kata gadis. Tapi dia tidak juga beran-jak pergi dari tempatnya. Sobo
Serngenge terke-
san seperti tak menghiraukan. Setengah meratap
dia berkata. "Guru aku bersalah. Silakan kau hukum jika itu kau anggap perlu.
Tapi sebelum aku
mati kitab akan kukembalikan padamu" ujar kakek berambut putih itu. Dia kemudian
berpura- pura mengambil kitab Gentar Gaib dari balik baju putihnya. Si kakek berwajah
beruang tegak mengawasi.
11 Hanya beberapa saat saja Sobo Serngenge
pura-pura sibuk mengambil kitab dari balik pa-
kaiannya. Tapi pada kesempatan lain sambil ber-
teriak keras dia menghantamkan kedua tangan ke
arah gurunya sendiri.
"Pukulan Penakluk Iblis! Murid keparat!"
seru si kakek. Dia yang memang merasa curiga
sejak tadi langsung melemparkan diri ke samping
sambil balas melepaskan pukulan ke arah murid-
nya. Hawa panas menderu sebat ke arah Sobo
Serngenge, sinar ungu berkiblat. Dua pukulan
sakti saling bertemu di udara hingga terjadilah ledakan menggelegar. Sobo
Serngenge terdorong
mundur dua tindak sambil mendekap dadanya
yang mendenyut sakit. Sebaliknya si kakek ber-
wajah beruang tanpa menghiraukan rasa sakit
yang dideritanya segera melompat berdiri, lalu
berkelebat ke depan sambil menghantam ke ba-
gian wajah muridnya. Sobo Serngenge cepat se-
lamatkan mukanya dengan menarik kepala ke be-
lakang. Tapi tangan kakek muka beruang seolah
berubah memanjang hingga membuat lawan jadi
terkesiap. Dalam keadaan terkejut dia kembali
melepaskan pukulan Penakluk Iblis menyambut
serangan ganas lawannya. Sementara angin me-
nyambar tangan Sita Berhala yang menghantam
kepala bekas muridnya, maka dari arah samping
Dewi Segoro Lor yang sudah mulai dapat memak-
lumi jalan pikiran orang yang dicintainya segera turun membantu. Begitu
menerjang ke depan dia
melepaskan dua pukulan beruntun ke arah si
muka beruang. Dua larik sinar putih berkiblat
menghantam tubuh si kakek. Semua ini tentu
sempat dilihat oleh Peri Bulan. Namun dia yang
terluka parah tidak dapat menolong Manusia Se-
laksa Guntur dari ancaman maut yang datang da-
ri dua arah sekaligus.
"Orang tua awas dari samping kananmu!"
seru Peri Bulan yang masih rebah di tempatnya.
Manusia Selaksa Guntur tentu tak ingin mati ko-
nyol. Sambil melompat mundur tangan kiri dihan-
tamkan ke arah samping menangkis pukulan De-
wi Segoro Lor sedangkan tangan kanan tetap di-
hantamkan ke depan menyambut pukulan Sobo
Serngenge. Dess! Deees! Tiga pukulan saling bertemu membuat Sita
Berhala alias Manusia Selaksa Guntur jatuh ter-
jengkang. Kedua tangannya terasa sakit dan ngilu di bagian dalam, sedangkan
dadanya terguncang.
Wajah si kakek nampak pucat. Di depannya sana
Sobo Serngenge jatuh dengan punggung menyen-
tuh tanah terlebih dulu. Dari sudut bibir si kakek rambut putih menetes darah
segar. Tak jauh di
sampingnya Dewi Segoro Lor begitu bentrok tena-
ga dalam dengan lawannya tampak terpelanting
dan terkapar dengan nafas menguik dan dada
kembang kempis.
Tanpa menghiraukan luka yang mereka de-
rita, baik Sobo Serngenge maupun kakek muka
beruang bangkit lagi. Sadar bekas gurunya me-
mang bukan manusia sembarangan, maka Sobo
Serngenge kini mulai melancarkan serangan den-
gan pukulan-pukulan yang didapatnya dari kitab
Gentar Gaib. Akibatnya tentu sangat memba-
hayakan si kakek. Sehingga jika tadi dia masih
mampu menghadapi dua serangan sekaligus, ma-
ka kini menghadapi serangan gencar bertubi-tubi
yang dilakukan bekas muridnya dia jadi terdesak
hebat. Sementara itu dua pasang mata yang terus
mengawasi jalannya pertarungan sejak tadi kini
nampak saling berbisik.
"Kita harus melakukan sesuatu Gege, ka-
lau tidak kakek muka beruang itu bisa jadi tape.
Murid durhaka itu nampaknya mulai berada di
atas angin. Bahkan serangannya ganas berba-
haya. Lihat... apa saja yang kena dihantamnya ja-di hangus gosong, untung kakek
itu memiliki ke-
cepatan gerak yang sangat luar biasa!" ujar si kakek gendut yang mendekam tak
jauh dari si gon-
drong. "Aku sudah melihatnya ndut. Kau dengar tadi, dia telah menguasai ilmu
siluman yang berasal dari kitab Gentar Gaib. Jika perkelahian ini kita biarkan
sampai lewat tengah malam nanti,
berarti dia bisa memanggil para siluman atau
mahluk gaib apa saja dengan ilmunya itu!" me-
nimpali si gondrong yang bukan lain adalah Gen-
to Guyon. "Kau betul. Sekarang kita sudah menemu-
kan biang bencana yang telah membuat banyak
orang terpaksa kehilangan kepala. Mengapa kita
tidak segera turun tangan membantu kakek mu-
ka beruang dan menolong gadis baju putih yang
terluka itu?" kata si kakek Gentong Ketawa.
"Cepat kau bantu mereka duluan ndut. Un-
tuk menghadapi manusia seperti Sobo Serngenge
harus ada sesuatu yang kulakukan. Konon ku-
dengar orang yang memiliki ilmu itu harus bersih selalu. Aku akan lakukan
kebalikannya. Sekarang
aku membutuhkan daun talas!" ujar Gento.
"Eeh, apa yang hendak kau lakukan Gege?"
tanya gurunya terheran-heran.
"Ah, kau orang tua cerewet amat seperti
perempuan saja. Sudah sana bantu kakek itu!"
tegas si pemuda.
Meskipun masih penasaran dan merasa
tak mengerti dengan apa yang hendak dilakukan
muridnya, namun si kakek segera berkelebat me-
ninggalkan tempat persembunyiannya. Sedang-
kan Gento sendiri setelah mencari kian ke mari
akhirnya menemukan daun talas hutan yang di-
inginkannya. Sambil menyeringai setelah memetik
dua lembar daun talas, Gento menyelinap di balik pohon. Sementara itu Sita
Berhala kini semakin
terdesak hebat. Beberapa kali pukulan yang dile-
paskannya berhasil ditepis atau dibuat mentah
oleh lawannya dengan mudah. Padahal pukulan
yang dilepaskan oleh kakek muka beruang ini
bukan serangan biasa, melainkan serangan dah-
syat yang mengandung tenaga dalam sangat ting-
gi. "Sita Berhala! Mana pukulan Selaksa Gun-
turmu yang menggegerkan itu! Aku Sobo Sern-
genge ingin merasakannya!" tantang si kakek rambut putih. Si kakek muka beruang
menjadi geram mendengar ucapan bekas muridnya itu.
Tulang pelipisnya bergerak-gerak, pipi menggem-
bung dan mulut terkatup rapat. Dia sadar Sobo
Serngenge kini telah mengerahkan jurus maupun
pukulan yang dipelajarinya dari kitab larangan.
Jika tidak pasti sejak tadi dia sudah dapat diro-bohkan oleh kakek muka beruang
ini. "Kau inginkan pukulan itu. Tidak menga-
pa, aku tua bangka yang tidak berguna ini akan
meluluskan permintaanmu!" teriak Manusia Selaksa Guntur. Dengan cepat sekali
orang ini sa- lurkan tenaga dalamnya ke bagian kedua tangan.
Setelah itu sambil melompat ke depan dua tan-
gannya diadu satu sama lain. Dari telapak tangan si kakek kilat menyambar


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disertai dengan terden-garnya suara menggeledek keras menyakitkan te-
linga. Detik itu pula cahaya merah biru dan putih secara berturut-turut
menyambar ke arah Sobo
Serngenge. Kakek berambut putih yang berdiri te-
gak di depan sana tidak tinggal diam. Walaupun
dia tidak menghindar, tapi kedua tangannya dipu-
tar ke depan, hingga membentuk satu perisai per-
tahanan yang sangat hebat. Sekejap kemudian
ketika pukulan Manusia Selaksa Guntur meng-
hantam lawannya, maka terjadi ledakan beruntun
yang menimbulkan guncangan hebat di tempat
itu. Tapi kenyataan yang terlihat kemudian
sungguh membuat kakek Sita Berhala jadi geleng-
gelengkan kepala. Lawan di depan sana yang ter-
kena pukulannya jangankan tewas, terluka pun
tidak. Hanya pakaiannya saja yang robek di sana-
sini akibat terkena sambaran yang dahsyat itu.
"Keparat, semestinya tubuh bangsat itu
hancur berkeping-keping terkena pukulanku. Ta-
pi dia sama sekali tidak bergeming!" rutuk Sita Berhala di tengah-tengah rasa
kejutnya. Belum lagi rasa kaget di hati si kakek le-
nyap. Sobo Serngenge mendadak saja sudah me-
lesat sebat ke arahnya. Sambil hantamkan dua
tangannya sekaligus ke dada si kakek muka be-
ruang dia berteriak. "Bencana Dari Alam Gaib!"
seru Sobo Serngenge menyebut nama pukulan-
nya. Sita Berhala alias Manusia Selaksa Guntur
merasakan adanya hawa aneh menyambar seku-
jur tubuhnya. Sekejap si kakek sempat tercen-
gang, namun sesaat kemudian dia sudah jatuh-
kan diri menghindari dua pukulan itu. Akan teta-
pi orang tua ini benar-benar dibuat kaget, karena sedikitpun dia tak mampu
menggerakkan tubuhnya. Kedua kaki laksana dipantek ke bumi. Tak
terelakkan lagi pukulan Sobo Serngenge mendarat
telak di bagian dadanya.
Manusia Selaksa Guntur menjerit keras,
terpental dan semburkan darah. Di saat seperti
itu pula dari arah belakang melesat satu sosok
serba hitam yang sangat cepat dan langsung
menghantam Sobo Serngenge dengan tendangan
kaki. "Kakang Sobo, di belakangmu!" teriak Dewi Segoro Lor memberi peringatan.
Habis melepaskan pukulan ke arah lawan si kakek rambut
putih memang merasakan adanya sambaran an-
gin berhawa panas mendera punggungnya. Se-
hingga dengan cepat dia menghindar. Tapi gera-
kannya kalah cepat dengan tendangan yang dile-
paskan oleh orang yang baru datang dari arah be-
lakangnya. Dess! "Akh...!"
Sobo Serngenge jatuh tersungkur sambil
menjerit keras. Posisi jatuhnya persis di atas
pangkuan Dewi Segoro Lor, sehingga mengundang
tawa bagi si kakek gendut yang menyerangnya.
"Ha... ha... ha. Terlena dia dalam pelukan
sang kekasih. Asyiik sekali"!" kata Gentong Ketawa sambil menuding ke arah Sobo
Serngenge. Se- dangkan Manusia Selaksa Guntur sendiri akibat
pukulan ganas yang dilakukan si murid murtad
membuatnya menderita luka di bagian dalam.
Sobo Serngenge menggeliat bangkit, Dewi
Segoro Lor begitu melihat orang yang dicintainya dalam keadaan terluka juga tak
mau tinggal di-
am. "Gendut bangsat. Kau kunyuknya yang
bernama Gentong Ketawa!" geram si kakek be-
rambut putih. Melihat orang mengenali dirinya, si kakek
gendut diam-diam jadi kaget. Tapi hanya sekejap, karena dia kemudian tertawa
terbahak-bahak.
"Hebat. Penglihatanmu ternyata cukup awas juga.
Bagus... sekarang menghormat lah pada kakekmu
ini!" kata Gentong Ketawa masih terus tertawa.
"Kakang, manusia gila ini telah mencampu-
ri urusan kita, mengapa tidak kita bunuh saja dia sekarang juga?" teriak Dewi
Segoro Lor berang.
12 Mendengar ucapan gadis berpakaian hitam
Gentong Ketawa unjukkan sikap tidak perduli.
Sebaliknya Manusia Selaksa Guntur merasa ter-
kejut melihat kemunculan si gendut ini. Begitu
juga halnya dengan Peri Bulan. Tapi mereka tidak dapat berbuat atau ajukan
pertanyaan apapun
karena saat itu baik Sobo Serngenge maupun
Dewi Segoro Lor sudah menyerang si gendut be-
sar dari dua arah sekaligus. Mendapat serangan
ganas dari dua lawan yang menghendaki jiwanya,
Gentong Ketawa mengerahkan seluruh ilmu me-
ringankan tubuh yang dia miliki. Tubuhnya yang
besar bukan main itu bergerak lincah menghinda-
ri pukulan maupun tendangan yang dilakukan
dua lawannya. Terkadang tubuhnya meng-
huyung, oleng dan bergerak gerubak gerubuk se-
perti orang mabuk. Tapi di lain saat balas mele-
paskan pukulan ke arah lawannya. Suara angin
berkesiuran ketika kakek ini menghantam ke
arah Sobo Serngenge maupun Dewi Segoro Lor.
Dua orang yang mendapat serangan dengan cepat
membalas serangan dengan melepaskan pukulan
pula. Wuut! Wuuut! Buuum!
Kembali ledakan keras mengguncang Teluk
Rembang. Dewi Segoro Lor terlempar sejauh tiga
tombak. Sedangkan Sobo Serngenge tersurut
sampai satu langkah. Di depannya sana Gentong
Ketawa tergontai-gontai, wajahnya pucat pasi,
dada berguncang keras. Walau di bibirnya mene-
teskan darah, tapi kakek ini masih mampu terta-
wa tergelak-gelak.
"Ha... ha... ha. Hanya usapan kecil yang dilakukan oleh dua bocah nakal. Keluar
kecap se- dikit tidak mengapa!" celetuk si kakek.
"Yang tadi usapan kecil dan yang sekarang
ini adalah usapan yang akan merenggut jiwamu!"
teriak Sobo Serngenge kalap.
Kakek berambut putih ini mendadak han-
tamkan tangannya hingga menyentuh tanah. Be-
gitu tangan yang dihantamkan ke tanah ditarik-
nya ke atas laksana kilat dia mendorongkan ke-
dua tangannya ke arah si kakek gendut.
"Awas. Pukulan Mahluk Alam Gaib Keluar
Dari Dalam Bumi!" seru Manusia Selaksa Guntur yang mengenali pukulan bekas
muridnya. Begitu melihat segulung angin dingin mele-
sat dari kedua tangan kakek rambut putih, maka
Gentong Ketawa maklum lawan mengerahkan
ajian pukulan hebat yang dimilikinya. Tanpa pikir panjang Gentong Ketawa
menghantam ke depan
pula melepaskan pukulan 'Selaksa Duka' dan pu-
kulan Iblis Ketawa Dewa Menangis. Akibatnya
sungguh sangat luar biasa sekali. Kedua orang ini sama jatuh terpelanting. Si
gendut merasakan tubuhnya seperti remuk, nafasnya sesak menguik-
nguik. Sobo Serngenge lebih sengsara lagi. Beruntung dia memiliki ilmu aneh yang
dapat melin- dungi diri dari pengaruh dua pukulan sakti yang
dilancarkan Gentong Ketawa, jika tidak mungkin
nyawanya sudah amblas sejak tadi.
Dengan semangat berkobar-kobar tanpa
menghiraukan rasa panas yang seperti membakar
sekujur tubuhnya Sobo Serngenge kembali berdi-
ri. Dia menyeringai sinis ketika dilihatnya lawan masih terkapar dan terbatuk-
batuk. "Sekali ini tamatlah riwayatmu gendut gi-
la!" rutuk si rambut putih. Dua tangan kemudian bergetar dan mulai berubah
hitam. Sobo Serngenge dengan kecepatan laksana kilat lalu me-
lompat sambil menghantamkan tangannya ke
arah si kakek. Selagi sinar hitam membersit dan melesat
di udara dan menukik ke arah si gendut besar.
Pada saat itu pula terdengar suara bentakan.
"Siapa berani mencelakai guruku. Maka sudah saatnya bagiku mengucapkan terima
kasih dan memberi bingkisan!"
Bersamaan dengan itu pula melesat dua
buah benda bulat berwarna hijau. Benda-benda
itu satu menderu ke arah Dewi Segoro Lor dan sa-
tunya lagi menghantam Sobo Serngenge yang me-
lepaskan pukulan. Selagi dua buntalan menderu
di udara ke arah sasaran masing-masing. Maka
orang yang melemparkan bungkusan tadi berke-
lebat ke arah si gendut bersikap melindungi. Begi-tu jejakkan kaki dia berbalik
menghadap ke de-
pan sambil dorongkan kedua tangan dengan dis-
ertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Brees! Benturan yang sangat keras membuat si
gondrong jatuh rebah di atas tubuh gurunya. Se-
mentara itu Dewi Segoro Lor maupun Sobo Sern-
genge yang tidak menyangka mendapat serangan
benda berwarna hijau segera menghantam benda
tersebut. Wuus! Pyar! Begitu kena dipukul, bungkusan bulat tadi
pecah, isinya yang berbau pesing tumpah meng-
guyur si gadis dan Sobo Serngenge. Kedua orang
ini menjerit keras. Guyuran air berbau pesing itu telah membuat hangus tubuh si
kakek maupun Dewi Segoro Lor. Sobo Serngenge terkapar tewas
seketika itu juga. Sebaliknya Dewi Segoro Lor
yang juga mengalami luka mengerikan itu begitu
ambruk ke tanah langsung raib tak meninggalkan
bekas. "Gege... gege... kau di mana" Bagaimana kau bisa mengetahui kelemahan
ilmu mereka?"
tanya si kakek yang masih rebah di tanah.
"Aku di sini, gendut. Rebahan di atas ba-
danmu sendiri!" sahut Gento Guyon. "Sedangkan mengenai kelemahan ilmu mereka aku
pernah diberi tahu oleh Tabib Setan. Ha... ha... ha!" jawab si pemuda disertai
tawa panjang. "Bocah edan, minggat kau dari perutku."
berkata begitu Gentong Ketawa mendorong tubuh
Gento hingga si pemuda jatuh terguling-guling.
Sambil cengar-cengir pemuda itu bangkit berdiri.
Baru saja dia hendak berbalik menghadap ke
arah gurunya. Dua tangan mendadak menyentuh
bahunya. Satu di kanan satu di kiri. Karena kaget pemuda ini memandang ke kiri
dan ke kanan. "Ehh, kalian. Kakek muka beruang dan ga-
dis cantik"!" desis si pemuda tercengang. Yang memegang bahu kanannya ternyata
memang Peri Bulan, sedangkan yang menyentuh bahu kiri ada-
lah Manusia Selaksa Guntur.
"Kau... kau bocah sinting tapi hebat. Ba-
gaimana kau bisa mengetahui kelemahan mere-
ka?" tanya si kakek.
"Seperti yang sudah kukatakan, aku men-
dapat petunjuk dari Tabib Setan."
"Tabib Setan. Siapapun dia, aku Manusia
Selaksa Guntur mengucapkan rasa terima kasih
padamu." kata si kakek muka beruang.
"Aku Peri Bulan. Atas nama Dewi Kuasa
Peri, penguasa dari segala Peri juga mengucapkan terima kasih padamu dan gurumu
itu!" ujar Peri Bulan sambil memandang Gento Guyon dengan
satu kerlingan aneh namun menyimpan seribu
arti. "Ah tidak mengapa. Tak usah dipikirkan.
Aku Gento Guyon dan guruku Gentong Ketawa
hanya sekedar membantu. Jadi tak usah terlalu
dipikirkan tentang segala macam budi. Bukankah
begitu guru?" ujar si pemuda pula sambil melirik ke arah gurunya.
"Ya... ya memang begitu." sahut si kakek yang kini telah berdiri di samping
muridnya. Beberapa saat lamanya si gendut pandangi gadis
cantik berpakaian putih yang bernama Peri Bulan
dan juga Sita Berhala. Sambil menyeka cairan da-
rah di sudut bibirnya dia membisiki muridnya.
"Yang ini baru sangat cocok buatmu, wajahnya cantik, dagu lonjong alis bagus,
hidung bangir, lehernya juga bagus!" kata si kakek sambil tersenyum-senyum. Senyumnya lenyap
begitu Gento menyodok perutnya dengan siku.
"Kakek muka beruang, maafkan si gendut
ini. Tingkahnya memang terkadang seperti orang
kurang waras. Maklumlah setelah tua dia jarang
mendapat pengajaran!" ujar Gento dengan muka bersungguh-sungguh.
Mendengar ucapan muridnya wajah Gen-
tong Ketawa berubah merah. "Maaf kakek dan gadis cantik. Apa yang dikatakan oleh
muridku sa- ma sekali tidak benar. Apa yang dikatakannya itu sebenarnya adalah menceritakan
dirinya sendiri!"
sergah si kakek.
"Kalian manusia hebat. Sekali lagi aku
mengucapkan terima kasih. Aku ingin mohon di-
ri!" kata si gadis. Gento menatap gadis itu sejenak. Begitu Peri Bulan
memandangnya dengan
kerlingan matanya yang indah. Maka Gento men-
gedipkan matanya. Gadis itu tersipu dan cepat
palingkan perhatiannya ke arah lain. "Kakek Sita Berhala dan kalian semua aku
mohon pamit!"
"Berhati-hatilah Peri Bulan." ujar Manusia Selaksa Guntur. Orang tua ini
kemudian memeriksa pakaian Sobo Serngenge. Setelah itu dia
mengambil sesuatu dari balik pakaian si murid
murtad. Ternyata benda itu bukan lain adalah se-


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buah kitab berwarna hitam.
"Kalian telah menyelamatkan benda ini dan
juga nyawaku. Aku banyak berhutang pada ma-
lam ini. Jika kalian ada waktu datanglah ke Me-
nara Gila. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih.
Selamat tinggal para pendekar gagah!"
Selesai dengan ucapannya si kakek berke-
lebat pergi. Gento gelengkan kepala.
"Kakek aneh dan gadis cantik itu. Mengapa
pergi dengan tergesa-gesa?" gumam si pemuda menyayangkan.
"Ada apa rupanya, kau suka pada Peri Bu-
lan?" tanya si kakek gendut.
"Mungkin juga. Tapi kalau kuguyur dia
dengan air kencingku. Apakah gadis secantik dia
mati juga seperti Dewi Segoro Lor tadi" Ha... ha...
ha!" kata Gento diiringi tawa.
"Bisa jadi begitu. Kencingmu ternyata lebih ganas dari racun cobra. Ha... ha...
ha!" "Mungkin juga, kalau begitu aku tak boleh
jatuh cinta pada Peri Bulan. Sebab akhir dari cin-ta harus menikah. Kalau sudah
begitu kan ha- rus.... ha... ha... ha...! Bisa mati dia." celetuk si pemuda.
Menyadari arti ucapan muridnya Gentong
Ketawa tak kuasa lagi membendung tawanya.
"Bocah edan, murid geblek. Ha.. ha... ha!"
- TAMAT - NANTIKAN EPISODE SELANJUTNYA!!
TOPENG Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Si Tangan Sakti 9 Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Tusuk Kondai Pusaka 16
^