Pencarian

Topeng 2

Gento Guyon 7 Topeng Bagian 2


"Aku tak takut mati, aku tak butuh rasa
belas kasihmu. Kalau kau mau bunuh-bunuh sa-
ja. Aku merasa lebih baik mati daripada hidup
dan melihat Lara Murti berdampingan dengan
orang lain!" teriak Lambang Pambudi. Rupanya setelah mendapat perlakuan begitu
rupa, kini ke-beraniannya jadi timbul. Sebagaimana halnya
dengan manusia lain, walau dia terlihat lemah
dan takut menghadapi sesuatu, tapi dalam kea-
daan terpaksa bisa berubah menjadi nekad. Inilah yang terjadi pada Lambang
Pambudi. Keberanian yang muncul seketika menim-
bulkan amarah dan kebencian di hati Bayu Gen-
dala. Tanpa pikir panjang pemuda itu ayunkan
pedang ke arah kepala Lambang Pambudi. Dalam
kejutnya dengan mata terbelalak sedapat yang dia lakukan pemuda ini mengelak,
jatuhkan diri lalu
bergulingan. Walaupun begitu bagian rambutnya
masih sempat diterabas mata pedang.
"Masih bisa menghindar. Ha... ha... ha. In-
gin kulihat, ingin kulihat!" seru si pemuda. Dia kemudian memutar pedang di
tangannya, setelah
itu tubuhnya melesat ke depan, pedang berkele-
bat menderu menghantam dada Lambang Pam-
budi. Tidak ada lagi kesempatan bagi pemuda ini buat menghindar karena sinar
pedang mengurung jalan geraknya. Dalam keadaan nyawanya
terancam bahaya besar, dia hendak lakukan se-
suatu. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara
teriakan disertai berkelebatnya dua sosok bayan-
gan. Di depan bayangan tadi mendahului berkele-
bat dua larik sinar, satu berwarna putih menebar hawa panas luar biasa, satunya
lagi berupa sinar hitam menebarkan hawa dingin laksana es.
"Asmara celaka, sudah merebut kekasih
orang hendak membunuh secara membabi buta!
Bangsat!" mendumel salah satu dari dua orang yang datang.
Suara bentakan lenyap, dua sinar menderu
sebat, satu menghantam kepala Bayu Gendala
sedangkan satunya menghantam bagian perut.
Pemuda ini tentu jadi kaget besar. Tanpa pikir
panjang dia batalkan serangan, lalu berjumpali-
tan ke belakang. Tapi tak urung dua sinar tadi
menyambar bagian bajunya hingga hangus go-
song. Bukan hanya itu saja, Bayu Gendala juga
merasakan sebagian wajahnya menjadi dingin,
sedangkan bagian perut terasa panas laksana
terbakar. Tak mau mendapat masalah besar, tanpa
pikir panjang begitu ledakan berdentum mengge-
muruh di udara dua kali berturut-turut, sambil
menyeringai kesakitan dia melompat ke atas
punggung kuda dan melarikan diri selagi masih
ada kesempatan.
"Hei kampret bertopeng jangan lari!" teriak satu suara. Dia bermaksud hendak
mengejar. Ta-pi pada saat itu terdengar seruan lain.
"Jangan dikejar!"
Orang yang hendak melakukan pengejaran
terpaksa hentikan langkah sambil mengomel tak
berketentuan. Dia ternyata adalah seorang pemu-
da berambut gondrong, bertelanjang dada. Ketika
dia menoleh ternyata yang bicara tadi adalah
Lambang Pambudi.
"Mengapa kau melarangku?" tanya si gondrong yang bukan lain adalah Gento Guyon
sam- bil bersungut-sungut.
"Orang berbudi, aku berterima kasih kepa-
damu dan pada orang tua itu. Tapi kuharap jan-
gan dikejar, pemuda tadi pikiran sedang sakit.
Sebaiknya jangan sakiti dia!"
"Tangan Sial. Kau dengar betapa baiknya
orang ini. Sudah tahu kepalanya hampir mengge-
linding diterabas pedang. Masih juga dia bisa
memaafkan orang yang hendak membunuhnya!"
kata Gento cemberut.
"Ha... ha... ha! Sobatku, kemuliaan seseo-
rang ditentukan oleh tindakannya. Jika dia bisa
memaafkan musuh, apalagi bisa menjadikannya
sebagai sahabatnya. Ini termasuk perbuatan yang
sangat dianjurkan oleh Yang Maha Kuasa." sahut Si Tangan Sial.
"Hebat. Sejak kapan kau pintar berkhut-
bah, menasehati orang. Kau sendiri sejak dulu selalu mengutuk kemalangan yang
menimpa hi- dupmu. Bahkan kau mengutuk sepasang tan-
ganmu sendiri. Padahal tangan itu pemberian
Gusti Allah. Bagaimana ini" Apakah semua itu
bukan berarti kau tidak punya rasa terima kasih
pada Tuhan! Ha... ha... ha." dengus Gento disertai senyum mencibir.
Sejenak lamanya si orang tua berpakaian
serba merah jadi kelabakan tak tahu harus ber-
kata apa. Hal ini membuat tawa Gento semakin
bertambah keras.
8 Hanya beberapa saat setelah itu secara
aneh Si Tangan Sial ikutan tertawa. Gento Guyon
jadi terdiam, mulut melongo heran. Sedangkan
Lambang Pambudi sejak tadi jadi tercengang me-
lihat tingkah kedua penolongnya yang dianggap
mempunyai perilaku aneh ini.
"Tangan Sial, apa yang kau tertawakan?"
tanya Gento penasaran.
Orang tua itu terus saja tertawa tak hirau-
kan pertanyaan orang sampai akhirnya dia jadi
capai sendiri. Sejenak dia memperhatikan Gento,
lalu tatap matanya beralih pada Lambang Pam-
budi. Setelah itu dia baru berkata ditujukan pada Gento. "Dulu aku memang
begitu, tapi sekarang setelah bertemu denganmu tidak lagi. Mungkin
karena berkawan denganmu otakku jadi ikutan
miring, sehingga aku jadi lupa dengan persoalan-
ku sendiri! Ha... ha... ha!"
"Kakek sial. Bergurau sih boleh saja, tapi
jangan kelewatan. Nanti orang-orang beranggapan
aku tidak waras benaran. Aku bisa malu." dengus si pemuda.
"Sekarang kau baru tahu rasa siapa aku.
Eeh... tapi sobatku, kita punya teman baru men-
gapa kau tak bertegur sapa?" mengingatkan si orang tua.
Gento menepuk keningnya. "Aku sampai
lupa, semua ini gara-gara kau." Lalu Gento me-
mutar badan dan menghadap langsung ke arah
Lambang Pambudi. Sebentar dia memperhatikan
pemuda itu, lalu berucap. "Maafkan kami, bukannya aku tak menghiraukanmu. Semua
karena kawanku sedang angot penyakit gilanya, sehingga
aku terpaksa melayani ucapannya yang melantur.
Oh ya siapa namamu?" tanya Gento unjukkan
tampang serius.
Lambang Pambudi tersenyum sambil
bungkukkan badan menjura hormat, setelah te-
gak dia menjawab. "Namaku Lambang Pambudi.
Aku merasa berhutang nyawa padamu dan juga
pada orang tua itu. Aku hanya dapat berterima
kasih tak dapat membalas kebaikan kalian."
"Eeh, masalah nyawa jangan kau bilang
berhutang padaku apalagi pada pemuda edan itu.
Nyawa urusan Gusti Allah, sedangkan kami
hanya membantumu dari perbuatan jahat ku-
nyuk bertopeng tadi." sergah Tangan Sial.
"Tangan Sial, sekali lagi kuingatkan kau
jangan bicara seenakmu sendiri. Salah-salah ku-
getok kepalamu!" rutuk Gento sambil delikkan mata. Si Tangan Sial malah tertawa
lebar. "Ah, kalian orang berbudi tinggi. Harap
jangan bertengkar. Aku takut kalian berbaku
hantam di sini!" kata Lambang Pambudi benar-benar unjukkan wajah ketakutan.
"Oh tentu saja tidak. Kami ini tadi sebe-
narnya hanya bergurau. Oh ya sebenarnya siapa
pemuda bertopeng tadi?" tanya Gento.
Lambang Pambudi sebenarnya merasa
enggan untuk menceritakan siapa adanya Bayu
Gendala. Akan tetapi demi mengingat pertolongan
yang telah dilakukan Gento dan Si Tangan Sial
juga setelah melihat kenyataan agaknya mereka
adalah orang baik-baik, maka Lambang Pambudi
pun berkata. "Pemuda bertopeng tadi adalah putra Selasih Jingga. Dia datang
padaku sengaja mencari perkara. Karena aku disuruhnya men-
jauhi kekasihku sendiri." ujar Lambang Pambudi, pemuda ini lalu menceritakan
segala sesuatunya
pada Gento dan Si tangan Sial.
Ketika Lambang Pambudi selesai menutur-
kan segala sesuatunya dengan wajah menunjuk-
kan wajah tidak senang Si Tangan Sial berucap.
"Manusia tak tahu diri. Enak saja dia hendak merebut kekasih orang. Kau sendiri
mengapa tak mengambil sikap tegas?"
Lambang Pambudi gelengkan kepala. Wa-
jahnya kuyu menunjukkan ketidak berdaya.
"Dia memiliki jurus pedang hebat, sedang
aku tidak punya kepandaian apa-apa. Mana
mungkin aku sanggup menghadapinya." jawab si pemuda perlahan.
"Ah, kasihan sekali." celetuk Gento tanpa sadar. Dia lalu memandang pada Tangan
Sial. "Sahabatku, menurutmu apakah pemuda tadi
mempunyai jurus-jurus pedang yang luar biasa?"
tanya Gento. Si Tangan Sial tersenyum. "Rasanya sih bi-
asa saja. Mungkin hanya suara teriakan dan ken-
tutnya saja yang hebat. Ha... ha... ha." menyahut
Si Tangan Sial disertai tawa tergelak-gelak.
Lambang Pambudi gelengkan, kepala meli-
hat tingkah laku orang tua dan pemuda itu.
Setelah berpikir sejenak, pemuda berpa-
kaian serba putih ini kemudian ajukan perta-
nyaan. "Aku tak tahu bagaimana, tapi bolehkah aku tahu siapa nama kalian?"
"Ah, betul, kami sampai lupa. Aku sendiri
bernama Gento Guyon. Sedangkan temanku na-
manya entah siapa. Orang memanggilnya Si Tan-
gan Sial, karena kedua tangannya selalu memba-
wa kesialan." kata Gento.
Lambang Pambudi manggut-manggut. "Ka-
lian sebenarnya hendak ke mana?" tanya si pemuda. Tanpa ragu-ragu Gento
menceritakan sega-
la sesuatunya termasuk juga tentang penemuan
mayat tanpa kepala di sebuah rumah tua bebera-
pa hari yang lalu.
"Oh mengerikan sekali. Tapi kurasa aku bi-
sa sedikit menceritakan tentang mayat tanpa ke-
pala yang engkau temukan itu. Aku yakin itu ada-
lah mayat Patira Seta murid sekaligus cucu saha-
bat calon mertuaku. Beberapa hari yang lalu dia
pernah datang ke perguruan Gunung Keramat.
Beberapa hari yang lalu dia pernah datang ke
perguruan Gunung Keramat. Tapi kemudian kuli-
hat dia pergi lagi dengan membawa kepala cu-
cunya untuk mencari si pembunuh keji. Kini
bahkan Dewa Angin Guntur dan istrinya ikut
membantu menemukan jejak sang pembunuh."
"Siapa Dewa Angin Guntur?" tanya Si Tangan Sial.
"Dewa Angin Guntur ketua perguruan Gu-
nung Keramat." menerangkan Lambang Pambudi.
"Calon mertuamu?" ujar Gento menyambu-
ti. Dengan malu-malu Lambang Pambudi
anggukan kepala.
Gento berpaling pada sahabatnya. "Tangan
Sial, berarti guruku dan Ambini telah sampai ke sana. Kebetulan sekali, pemuda
ini, siapa namamu?" "Lambang Pambudi." jawab si pemuda.
"Kebetulan sekali Lambang Pambudi ting-
gal di perguruan itu. Bagaimana jika kita ikut
bersamanya?" tanya Gento.
Si Tangan Sial cibirkan mulutnya. "Aku ta-
hu kau pasti sudah rindu pada Ambini, atau
mungkin juga kau cemburu karena gadis itu ber-
sama gurumu, si gendut sinting. Mengaku saja,
mengapa harus malu-malu" Ha... ha... ha."
"Mungkin... mungkin juga aku rindu. Tapi
terus terang aku punya firasat yang tidak menge-
nakkan." "Mengenakkan bagi gurumu, tak menge-
nakkan bagi dirimu sendiri. Bukankah itu lawa-
tannya?" ejek Si Tangan Sial ketus.
"Ha... ha... ha, bagus kalau kau sudah ta-
hu. Berdua denganmu kurasakan memang tidak
enak, tampangmu membosankan untuk dipan-
dang apalagi bila melihat kedua tanganmu. Go-
song hitam seperti kayu terbakar, masih bagus
lagi memandang kebun bunga ini!" kata si pemuda sambil tertawa tergelak-gelak.
Selagi pemuda ini tertawa dan Si Tangan
Sial unjukkan tampang cemberut pada waktu
bersamaan mendadak terdengar suara raungan
keras. Gento Guyon jadi tercekat, sedangkan
Lambang Pambudi sempat bersurut langkah, wa-
jah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Di de-
pannya sana Si Tangan Sial memandang tajam ke
arah datangnya suara raungan. Sekian lama me-
nunggu tidak terlihat ada orang yang muncul.
Sementara raungan aneh tadi telah lenyap keti-
ganya menunggu dengan berbagai ganjalan di ha-
tinya. Tak lama kemudian terdengar suara orang
bicara seperti orang yang menyenandungkan bait-
bait syair. Sekian sama menunggu, menantikan sau-


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dara yang hilang.
Menanti kedatangan saudara yang malang
Usia si tua banyak terbuang
Kini si anak malang telah datang
Bersama sahabat yang gilanya bukan kepa-
lang Oh dunia...
Kau janjikan seribu keindahan dan mimpi.
Hingga membuat manusia lupa segala, hi-
lang pula jati diri
Dalam penantian aku sendiri
Dalam kemalangan dia juga sendiri
Aku datang padamu wahai saudara
Lepaskan rindu dendam yang sekian lama
tidak bersua! Suara orang bersair kemudian lenyap, mu-
rid Gentong Ketawa dan Tangan Sial saling pan-
dang. Gento mencoba memahami arti ucapan su-
ara orang tadi. Dia kemudian tersenyum. "Aku tahu manusia paling sial di dunia
ini adalah dirimu, Tangan Sial. Aneh... ternyata kau punya
saudara! Mengapa kau tak pernah bilang pada-
ku?" "Mana aku tahu aku punya saudara. Kurasa dia orang gila yang kesasar."
sahut Si Tangan Sial. Dia hendak tertawa, tapi urung. Kini orang tua itu malah
menoleh ke arah Lambang Pambudi, dia jadi heran karena dia tidak melihat pemu-da
lugu yang tidak mengerti ilmu silat itu sudah tidak ada lagi di tempatnya.
"Gento... pemuda itu..."!" desis si orang tua. Serentak Gento pun menoleh,
memandang ke arah mana Lambang Pambudi berdiri. Dia jadi
kaget karena pemuda itu raib.
"Ke mana dia" Jangan-jangan dimakan se-
tan!" kata Gento. Si Tangan Sial dan Gento kitarkan pandangannya ke segenap
penjuru tempat.
Lambang Pambudi tetap tak terlihat seolah pe-
muda itu lenyap amblas ke dalam bumi. Justru
pada saat itu dan arah suara tadi datang berkelebat satu sosok bayangan hitam ke
arah mereka. Lalu.... Pluuk! Sosok itu jatuh di atas tanah di antara
Gento dan Si Tangan Sial berdiri. Dua pasang ma-
ta sama melotot, memandang ke arah yang sama
dengan mulut ternganga.
Di depan mereka kini duduk seorang laki-
laki tua berpakaian hitam, berambut putih wa-
jahnya yang cekung kelihatan memutih tertutup
kapur. Begitu juga dengan rambut, tangan serta
kakinya semua tampak memutih. Hanya saja se-
pasang kaki si kakek tampak mengecil dan tidak
berkembang secara wajar, mungkin cacat kaki ini
sudah dialaminya sejak kecil.
Melihat keadaan fisik orang tua ini, pera-
saan si pemuda iba ada geli juga ada. Malah da-
lam hati dia berkata.
"Orang tua butut rongsokan ini mungkin
bukan orang waras. Air ada di mana-mana dia
malah memilih mandi kapur!"
"Bocah geblek, sekali lagi kau mengatai
aku orang yang tidak waras kupendam dirimu ke
dalam bumi!" hardik si badan jerangkong. Murid kakek gendut Gentong Ketawa tentu
saja jadi melengak. Dia bahkan sampai melangkah mundur.
Bagaimana sosok jerangkong itu bisa menebak isi
hatinya" Sebaliknya Si Tangan Sial terus mem-
perhatikan orang itu.
"Orang tua, siapa dirimu" Aku Si Tangan
Sial bukannya bermaksud mau usil. Tapi kurasa
mengajukan pertanyaan bukanlah dosa!" berkata
orang tua itu dengan suara dibuat sesopan
mungkin. Si kakek jerangkong yang semula sempat
memperhatikan Gento, kini memutar kepala. Dia
memandangi Si Tangan Sial dengan tatap ma-
tanya yang aneh, hingga yang dipandang terpaksa
pejamkan matanya. Tak terduga si kakek jerang-
kong tiba-tiba menangis menggerung, suaranya
sedih berhiba-hiba. Tapi sungguh aneh begitu
tangis si kakek tambah memilukan Gento ikutan
pula menangis, begitu juga halnya dengan Si Tan-
gan Sial. Malah orang tua berpakaian merah itu
duduk menjelepok, kakinya berkelesetan sedang-
kan dua tangan dibanting dan dipukulkan ke ta-
nah. Setiap pukulan yang dilakukan tanpa sadar
ini mengeluarkan suara bergemuruh disertai den-
gan ledakan berdentum. Malah pukulan Si Tan-
gan Sial menimbulkan lubang besar, hangus
menghitam. Di depannya sana antara Si Tangan Sial
dan kakek jerangkong, tangis Gento juga semakin
mengguguk. Tapi dalam keadaan terhanyut oleh
tangisan orang, otaknya masih dapat bekerja. Dia mengerahkan segala daya dan
pikiran agar jangan
sampai terpengaruh tangisan orang. Berulang-
ulang hal itu dilakukannya, sayang usahanya ini
hanya sia-sia. "Kampret gundul, bagaimana si jerangkong
ini bisa mempengaruhi kesadaran orang. Jangan-
jangan dia hantu, atau setan yang gemar menan-
gis dan bersair. Akh... aku tak mau larut dalam
kegilaan seperti ini." batin si pemuda sambil terus memutar otak mencari jalan
agar tidak terus terhanyut dalam tangis dan kepedihan orang. Seje-
nak dia memandang ke arah Si Tangan Sial.
Meskipun air matanya masih bercucuran, meski-
pun kesedihan masih menyelimuti perasaannya
tapi Gento sempat tersenyum melihat sahabatnya.
"Kampret sial itu tangisnya malah lebih hebat, mana pakai mengamuk segala lagi.
Tanah di sana sini dibuatnya berlubang, aku jadi ingat Si Pemacul Iblis. Hampir setiap tanah
dilubanginya." rutuk si pemuda. (Mengenai riwayat Pemacul iblis
baca Episode Tanah Kutukan).
Akan halnya Si Tangan Sial, orang tua itu
sendiri sebenarnya sudah berusaha melepaskan
diri dari pengaruh tangis kakek jerangkong. Akan tetapi untuk diketahui, Si
Tangan Sial tidak memiliki tingkat tenaga dalam tinggi. Sedangkan kesaktian
dahsyat yang terkandung pada kedua be-
lah tangannya memang sudah merupakan ba-
waan sejak lahir. Sehingga walaupun saat itu dia kerahkan tenaga dalam bahkan
kucurkan kerin-gat, tetap saja dia terus ikut menangis.
Kembali pada murid Gentong Ketawa yang
sudah sampai pada puncak kejengkelannya. Di
saat dirinya merasa putus asa karena tak mampu
melenyapkan pengaruh suara tangis orang, men-
dadak dia ingat sesuatu. Dia berpikir karena
mendengar maka dia terpengaruh, karena itu
Gentopun segera menutup indera pendengaran-
nya dengan pengerahan tenaga dalam. Seperti
yang telah dia duga, pengaruh suara si kakek je-
rangkong yang membuatnya ikutan menangis
mendadak lenyap. Sambil bersungut-sungut dia
seka air matanya. Kejap kemudian dia bangkit
berdiri sambil mengumbar tawa.
"Tangan Sial, rupanya kau sudah ikut jadi
gila, menangis tidak karuan kejuntrungannya.
Daripada menangis lebih baik tertawa sambil me-
nari. Kau boleh ikutan, teruskan tangismu sambil memukul tanah. Suara ledakan
itu bagaikan suara gendang bertalu-talu." berkata begitu sambil tertawa-tawa
Gento lakukan gerakan menari.
Pinggulnya melenggang lenggok, kedua tangan di-
gerakkan dengan lemah gemulai.
9 Begitu melihat Gento Guyon kini mulai
menari sambil tertawa, maka si kakek jerangkong
hentikan tangisnya. Tangis terhenti, Si Tangan
Sial langsung hentikan tangis pula. Si kakek je-
rangkong kini pandangi Gento.
"Pemuda ini selain konyol ternyata sangat
cerdik." batin si kakek. Lalu dia berseru. "Hentikan tawa hentikan tari!
Sekarang kau duduk!"
Sekonyong-konyong gerakan Gento terhen-
ti, tawanya lenyap meskipun mulutnya masih ter-
buka. Diam-diam pemuda ini jadi terperanjat saat merasakan ada satu kekuatan
yang tidak terlihat
menekan bahunya kiri kanan. Ketika dia coba
bertahan, maka lututnya jadi goyah. Sekujur tu-
buhnya bergetar.
"Celaka, kakek jerangkong ini ternyata bu-
kan manusia sembarangan. hanya dengan beru-
cap saja dia mampu memaksa orang lain berbuat
sesuai dengan kehendaknya!" keluh si pemuda.
"Duduk!" sekali lagi si kakek berseru.
Laksana dibanting Gento jatuh terhenyak
dengan punggung lebih dulu jatuh ke tanah. Sa-
kit yang dia rasakan tidak seberapa dibanding
dengan rasa kaget juga malu yang harus dia
tanggungkan. "Orang tua, dari tadi kau belum menjawab
pertanyaan sahabatku itu. Siapa dirimu ini yang sebenarnya?" tanya Gento setelah
mengusap wajahnya yang sempat berubah merah.
"Heh," terdengar suara mendengus dari hidung si kakek. Dia kemudian palingkan
wajah ke arah Si Tangan Sial. Beberapa saat dua pasang
mata bertemu pandang. Melihat tatapan mata si
kakek jerangkong yang dingin namun berwibawa,
entah mengapa membuat perasaan orang tua ini
jadi tidak enak. "Aku Begawan Panji Kwalat. Aku saudaramu. Sekarang aku ingin
membawamu ke hutan Banyu Biru. Ada beberapa hal yang ingin
kusampaikan padamu. Karena itu kau harus
ikut!" tegas si kakek jerangkong.
Mendengar Ucapan Begawan Panji Kwalat,
Si Tangan Sial tentu saja jadi terheran-heran.
Seumur hidup dia merasa tidak punya saudara.
Bagaimana mungkin kakek jerangkong itu men-
gaku dia saudaranya"
"Kakek, aku Tangan Sial merasa tak punya
saudara. Mungkin kau salah alamat, mungkin ju-
ga kau salah berucap?" ujar Si Tangan Sial sambil melirik ke arah Gento seakan
minta pendapat.
Mengetahui makna lirikan itu Gento enak
saja menyeletuk. "Sahabat Tangan Sial, walau ki-ta berkawan aku sendiri tak tahu
asal usulmu. Boleh jadi kau malu untuk mengakui kakek
pengkor lumpuh itu saudaramu. Untuk urusan
kakek itu denganmu aku sih tak mau ikut cam-
pur tangan, bukan karena apa. Aku takut jadi
orang kwalat. Lagipula apa kau tidak mendengar
gelarannya Begawan Panji Kwalat. Jika dia sam-
pai kubuat marah lalu mengutukku jadi batu.
Apa iya kau bisa menolongku!" kata si pemuda la-lu palingkan muka ke arah lain.
"Bocah geblek, kau harus percaya aku ti-
dak punya saudara. Boleh jadi dia hendak meni-
puku. Aku... aku...!"
"Urusan kita tidak ada hubungannya den-
gan pemuda konyol itu, Tangan Sial. Jika kau
ikut denganku, di bukit Waton Kapur nanti sega-
lanya baru bisa kujelaskan. Nasehat dan keteran-
gan yang ku berikan menyangkut urusan yang
sangat besar, yang pasti ada sangkut pautnya
dengan kejadian besar beberapa tahun menda-
tang!" kata Begawan Panji Kwalat, suaranya masih tetap tenang dan sabar.
"Kejadian apa?" tanya Gento. Si kakek jerangkong tidak langsung menjawab, tapi
perhati- kan Gento beberapa jenak lamanya. Sepasang
mata si kakek mendelik besar. Dia gelengkan ke-
pala. "Aku telah melihat rentang waktu tersamar dalam tabir gaib. Kau juga salah
satu orang yang ikut terlibat dalam kejadian besar itu." kata Begawan Panji
Kwalat. "Aku" Ah, engkau bisa saja kek." kata Gento sambil tersenyum.
"Aku bicara sebuah kenyataan yang terjadi
di masa yang akan datang. Terserah apapun
tanggapanmu!" Si kakek jerangkong kemudian
bergerak mendekat ke arah Si Tangan Sial. Satu
gerakan yang sulit dipercaya. Bagaimana tidak"
Si kakek lumpuh ini bergerak bukan dengan se-
pasang tangannya atau melompat-lompat. Tapi
tubuhnya mengambang di udara dengan kedua
kaki dalam keadaan bersila.
"Penjelasan kau dapatkan nanti. Sekarang
kau ikut denganku dulu!" berkata begitu Begawan Panji Kwalat sambar krah baju
belakang Si Tangan Sial. Karena masih belum percaya si kakek
lumpuh itu adalah saudaranya. Si Tangan Sial
tentu tak mau dirinya dibawa orang begitu saja.
Sehingga tanpa pikir panjang dia pun hantamkan
salah satu tangannya yang sangat berbahaya itu.
Tapi begitu tangan kiri bergerak, Begawan Panji
Kwalat segera pula berseru. "Tangan Bencana, jangan kau turuti perintahnya.
Diam... diam..!"
Seketika tangan yang siap memukul itu
terhenti di udara. Di lain kejap Si Tangan Sial merasa tubuhnya terbetot, ikut
melayang mengikuti
si kakek lumpuh. Dalam takutnya orang tua itu
berteriak. "Gento... tolong... Gento bantu aku...!"
Melihat sahabatnya dilarikan orang murid
kakek Gentong Ketawa tentu saja tidak tinggal di-am. Dia mencoba mengejar. Tapi
dia jadi tersen-
tak kaget begitu merasakan sekujur tubuhnya tak
dapat digerakkan. "Apa yang telah dilakukan kakek jerangkong tadi kepadaku?"
keluh si pemuda.
Belum lagi rasa kagetnya lenyap, di kejauhan sa-
na Begawan Panji Kwalat berucap.
"Anak muda, uruslah dirimu sendiri. Satu
hal yang tidak boleh kau lupakan, yang terlihat


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lemah belum tentu bodoh. Apapun yang kau la-
kukan nanti semuanya ada di depan mata."
Gento tak tahu apa maksud ucapan Manu-
sia Kutuk Sumpah. Saat itu rasa kesal dan marah
menyelimuti perasaannya. Dia kemudian menge-
rahkan tenaga dalamnya, mula-mula disalurkan
ke bagian kaki. Kedua kaki lalu digerakkan. Ter-
nyata kedua kaki dapat digerakkan. Merasa ter-
bebas dari pengaruh suara aneh orang dia segera
bangkit berdiri.
Saat berdiri berpikir olehnya untuk menge-
jar Manusia Kutuk Sumpah. Rupanya dia takut
terjadi sesuatu pada Si Tangan Sial. Tapi kemu-
dian dia urungkan niat. Kini yang terpikir olehnya adalah tentang Lambang
Pambudi. Pemuda lugu
yang konon tak pandai ilmu silat.
"Ke mana perginya pemuda itu" Mengapa
dia menghilang secepat itu. Padahal dia tidak
memiliki ilmu dan kesaktian apapun." batin Gento. Sejenak dia terdiam, berpikir
dan teringat olehnya tentang ucapan Begawan Panji Kwalat.
"Urus diri sendiri. Yang terlihat belum ten-tu bodoh, semuanya ada di depan
mata." Gento mengulang ucapan Begawan Panji Kwalat. "Teka teki gila apalagi
ini?" gerutu si pemuda sambil memijit keningnya.
Karena tak kunjung temukan jawaban, si
pemuda sambil mendumel segera tinggalkan ke-
bun bunga. Di balik pagar yang mengelilingi lima pon-
dok panjang si kakek gendut Gentong Ketawa
mengintai. Dia melihat puluhan murid-murid per-
guruan Gunung Keramat sedang berlatih ilmu si-
lat di bawah pengawasan seorang gadis cantik
berpakaian serba merah. Di belakang si kakek,
Ambini nampak gelisah. Sebaliknya si kakek gen-
dut malah bersikap tenang-tenang saja.
"Kalau kita hendak bertamu mengapa se-
perti maling begini" Bukankah lebih baik kita datang langsung ke rumah besar
itu?" kata Ambini dengan suara perlahan.
"Kau betul, tapi aku sendiri tidak kenal
dengan pemilik perguruan ini. Lebih baik kita
menunggu barang beberapa jenak lamanya." jawab si kakek sambil menarik nafas dan
jauhkan wajahnya dari pagar bambu. Baru saja si orang
tua hendak memutar badan menghadap langsung
ke arah Ambini dari arah samping melesat dua
sosok bayangan biru ke arah si kakek dan juga
Ambini. "Dua tamu tidak diundang, berani melaku-
kan tindakan tidak terpuji dengan mengintip
orang yang sedang latihan, kupecahkan kepala
kalian!" hardik salah satu dari orang yang baru datang. Bersamaan dengan itu
pula si kakek gendut merasakan ada sambaran angin deras meng-
hantam kepalanya.
"Walah bisa mati aku...!" gerutu si kakek.
Dengan gerakan cepat dia gulingkan diri di atas
tanah. Sementara di belakangnya Ambini sudah
melompat menjauh hindari pukulan yang dilan-
carkan orang itu. Baik Ambini maupun Gentong
Ketawa sama-sama dapat menyelamatkan diri. Bi-
la dia memandang ke depannya, di depan sana te-
lah berdiri tegak seorang laki-laki berambut putih panjang menjela, sepasang
alis orang ini berwarna putih perak. Sedangkan di sampingnya tam-
pak pula seorang perempuan berumur empat pu-
luhan berwajah bulat yang walaupun usianya su-
dah tidak muda lagi, tapi sisa kecantikan di kala muda masih terbayang jelas di
wajahnya. Sama seperti laki-laki itu, dia juga memakai pakaian
serba biru, hanya di bagian rambutnya yang pan-
jang digelung dihiasi dengan bunga mawar putih.
Gentong Ketawa yang baru saja bangkit
berdiri sambil membersihkan pakaiannya yang
kotor memperhatikan orang yang baru saja me-
nyerang mereka. Melihat penampilan serta dan-
danan perempuan itu, walau belum pernah ber-
temu tapi segera kenali ciri-ciri orang.
Si kakek lalu tersenyum unjukkan sikap
bersahabat. "Kalau tak salah penglihatanku bukankah nisanak orangnya yang
bergelar Mawar Selatan, tokoh di daerah utara ini yang dulu na-
ma besarnya sempat menggemparkan dunia per-
silatan" Dan Kisanak ini pastilah Dewa Angin
Guntur, suami dari Galuh Pitaloka." ucap Gentong Ketawa. Laki-laki dan perempuan
yang ber- diri tegak di depan si kakek sama melengak kaget dan tak pernah menyangka orang
tua bertampang jenaka berbadan besar bukan main mengenali diri
mereka. Sejenak lamanya suami istri ini saling
berpandangan. Orang tua berambut putih yang
memang Dewa Angin Guntur adanya melangkah
dua tindak ke depan.
"Orang tua siapa dirimu ini adanya" Siapa
pula gadis yang bersamamu. Kalian datang tidak
sebagaimana lazimnya orang yang bertamu ke
rumah orang ada kepentingan apakah?" tanya
Dewa Angin Guntur bertubi-tubi. Mendapat per-
tanyaan seperti itu Gentong Ketawa sempat me-
longo. Tapi karena kedatangannya bukan mem-
bawa maksud jahat, maka diapun akhirnya men-
jawab. "Sahabat mudaku itu bernama Ambini, putri seorang Raden dari Wonogiri."
menerangkan si kakek sambil melirik pada Ambini. Gadis itu anggukkan kepala.
"Sedangkan aku sendiri Gentong Ketawa!" kata si kakek gendut lagi.
Begitu si kakek menyebutkan namanya,
Dewa Angin Guntur maupun Galuh Pitaloka alias
Mawar Selatan sempat keluarkan seruan kaget.
Suami istri itu sama memandang ke arah si gen-
dut dengan tatapan tak percaya.
"Aku tidak pernah menyangka saat ini ten-
gah berhadapan dengan tokoh dunia persilatan
dari Merbabu. Gentong Ketawa... satu nama besar
yang sudah tersohor di delapan penjuru angin.
Kami ketua perguruan Gunung Keramat hari ini
merasa sangat beruntung sekali." ujar Dewa Angin Guntur.
"Ah... engkau terlalu berlebihan Dewa An-
gin Guntur. Padahal kalian sendiri adalah dua
dari tokoh yang memiliki nama besar, pengaruh
luas. Bahkan kudengar murid-murid perguruan
Gunung Keramat ini tersebar hampir di seluruh
pelosok tanah Jawa." puji si kakek.
Orang tua berambut putih tersenyum. "Apa
yang paman dengar itu terlalu dilebih-lebihkan.
Kami hanya manusia biasa," kata Dewa Angin
Guntur. "Tidak seperti yang paman katakan, kami
ini sesungguhnya adalah orang biasa." Galuh Pitaloka menimpali pula.
"Sudah menjadi kebiasaan orang berbudi
berilmu tinggi. Mereka begitu pintar menyembu-
nyikan kehebatan segala apa yang mereka miliki
dengan bersikap santun, bukankah begitu kakek
gendut"!" kata Ambini membuat kakek Gentong Ketawa terkekeh-kekeh dan pasangan
suami istri itu jadi salah tingkah.
"Kau benar Ambini. Sebenarnya hari ini ki-
talah yang merasa beruntung karena bertemu
dengan mereka." kata si kakek gendut berbobot lebih dari dua ratus kati ini
sambil menekap mulutnya yang kembali hendak tertawa.
Beberapa saat kemudian suasana dicekam
kebisuan. Teringat oleh si kakek tentang maksud
dan tujuan mereka datang ke perguruan ini.
Sehingga dia berkata. "Dewa Angin Guntur
dan Galuh Pitaloka, sebelumnya aku mohon maaf
karena kedatangan kami ke sini pasti sangat ti-
dak kalian duga...."
"Paman Gentong Ketawa, lupakan segala
peradatan dan sikap basa-basi. Jika memang ada
sesuatu yang amat penting yang ingin paman
sampaikan kami siap mendengarkannya."
Gentong Ketawa melirik ke arah Ambini.
"Sebaiknya kau saja yang bicara Ambini!" pinta orang tua itu.
Si gadis yang tidak menyangka kakek gen-
dut mengerjainya merasa serba salah. Dia terdiam sejenak, bingung tak tahu harus
memulai dari mana. Dia sadar bagaimanapun saat ini dia se-
dang berhadapan dengan dua tokoh utara yang
sangat disegani, sehingga dia harus hati-hati
mengatakan segala sesuatunya agar jangan sam-
pai keliru. Barulah setelah gadis cantik jelita ini dapat menenangkan
perasaannya dia membuka
mulut. "Paman Dewa Angin Guntur dan bibi Galuh Pitaloka. Beberapa hari yang lalu
ketika kami melakukan perjalanan di malam buta, di sebuah
rumah tua yang sudah tidak terpakai kami men-
jumpai sosok mayat yang sudah membusuk tanpa
kepala. Orang itu diperkirakan terbunuh sekitar
tiga hari sebelumnya. Yang membuat kami heran
kepala mayat hilang." kata Ambini, dia kemudian menerangkan ciri-ciri si mayat.
Dewa Angin Guntur dan istrinya saling
pandang, wajah mereka menampakkan rasa pri-
hatin yang mendalam.
Galuh Pitaloka kemudian bicara mewakili
sang suami. "Mendengar ciri-ciri yang dikatakan Ambini, kami punya jawaban yang
pasti bahwa mayat yang kalian temukan itu pastilah mayat
Patira Seta, cucu sahabat kami yang dibunuh se-
cara misterius oleh seseorang. Adapun potongan
kepala yang kalian tanyakan dibawa oleh Guru
Lanang Pamekasan, kakek pemuda malang itu
sendiri. Saat ini kami pun sedang berusaha men-
cari pembunuh keparat itu. Sayang kami belum
menemukan titik terang."
"Kami tak mengira dia cucu sahabatmu."
ucap si kakek gendut. "Aku punya dugaan ba-
rangkali sahabatmu itu punya musuh yang me-
mendam dendam berkarat, sehingga cucunya di-
bunuh orang dengan cara yang amat keji." Gentong Ketawa memberi tanggapan.
Wajah Dewa Angin Guntur sempat berubah
menampakkan rasa tidak suka, sedang paras Ga-
luh Pitaloka bersemu merah.
"Paman Gentong kurasa mengatakan suatu
pendapat yang keliru. Untuk kalian ketahui, sa-
habatku itu baru saja datang dari Madura. Keda-
tangannya ke sini adalah untuk menjodohkan cu-
cunya pada putri tunggalku. Di tanah Jawa ini
dulu dia pernah menetap lama, tapi aku yakin
sekali dia tidak punya musuh."
"Tidak punya musuh tapi cucunya dibunuh
orang. Berarti pembunuhnya pasti punya mak-
sud-maksud tertentu...!" sahut si kakek.
Ambini menimpali. "Yang dibunuh cu-
cunya, bukan kakeknya. Aku punya dugaan sang
pembunuh pasti tak menghendaki perjodohan itu
jadi terlaksana," ujar si gadis.
Dewa Angin Guntur dan Galuh Pitaloka
saling pandang. Gadis yang datang bersama ka-
kek Gentong Ketawa itu selain cantik agaknya
memiliki otak yang sangat cerdik. Selama bebera-
pa hari setelah kejadian belum pernah terpikirkan oleh mereka sampai sejauh itu.
Kemungkinan yang dikatakan Ambini mungkin ada kebenaran-
nya. Tapi siapa yang melakukannya" Mengingat
Patira Seta memiliki ilmu serta kepandaian silat tinggi, mustahil pembunuhan itu
dilakukan oleh manusia biasa. Paling tidak dia harus memiliki
kecepatan dalam menggunakan senjata, atau bo-
leh jadi kepandaiannya beberapa tingkat di atas
Patira Seta. Sampai saat ini Dewa Angin Guntur tak bi-
sa menduga lain. Mustahil cucu Guru Lanang
Pamekasan dibunuh murid perguruan Gunung
Keramat, apalagi Lambang Pamudi. Pemuda lugu
itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Dewa
Angin Guntur lalu ingat pada Lara Murti. Ingat
pada putrinya yang sedang melatih murid pergu-
ruan orang tua ini jadi ingat pada Bayu Gendala.
"Lara berulang kali mengatakan pemuda
itu sering mengganggunya. Dia bahkan berani
mengutarakan perasaannya padahal dia tahu
anakku hendak kunikahkan dengan Lambang
Pambudi. Pemuda keparat putra Selasih Jingga
ini kudengar bahkan hampir membunuh Lam-
bang Pambudi dua hari lalu di perkebunan bun-
ga. Mestinya sudah kutangkap atau kuhajar dia,
tapi aku tak mau melakukan tindakan gegabah
sebelum kudapatkan bukti yang kuat untuk
menghukumnya." geram orang tua itu.
"Dewa Angin Guntur," suara Gentong Ke-
tawa memecah kebisuan yang kaku. "Mengingat masalah ini pelik dan rumit. Aku
yang sudah tua bangka ini jadi ikut lancang dan ingin pula me-
nemukan biang racun yang membuat sahabatmu
jadi ikut berduka. Jika kau tak merasa risih, aku dan Ambini akan mencari
pembunuh cucu sahabatmu dengan cara kami sendiri."
Mendengar penjelasan si kakek tentu sua-
mi istri ketua perguruan Gunung Keramat jadi
gembira. "Niat baikmu kami hargai paman. Kami se-
nang mendengarnya!" kata Galuh Pitaloka.
"Begitu juga aku. Atas nama perguruan se-
belumnya aku mengucapkan terima kasih." ujar Dewa Angin Guntur. Dia melirik ke
arah istrinya. Seakan mengerti makna lirikan itu Galuh Pitaloka tersenyum.
"Paman dan Ambini menurutku sebelum


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi ada baiknya kalian masuk dulu ke rumah
kami. Aku membuatkan minuman untuk kalian!"
ujar perempuan itu menawarkan.
Ambini gelengkan kepala kakek. Gentong
Ketawa ragu-ragu, tapi kemudian dia tertawa.
"Kopi dan gula batu, atau teh tubruk memang enak. Tapi kalah enak dengan tuak
keras. Hanya di rumah orang sebersih kalian kurasa apa yang
aku sebutkan belakangan tidak ada. Jadi kami
mohon pamit saja! Ha... ha... ha!" berkata begitu si gendut besar sambar tangan
Ambini. Di lain kejap kedua orang itu telah lenyap dari hadapan
Dewa Angin Guntur.
"Luar biasa. Badannya begitu besar, tapi
gerakannya begitu cepat dan ringan sekali. Jika
tidak melihatnya sendiri rasanya sangat sulit untuk bisa kupercaya!" gumam Galuh
Pitaloka merasa takjub.
"Orang tua seberat dan sebesar itu, mem-
punyai gerakan yang sangat ringan. Sungguh di
atas langit masih ada langit!" timpal Dewa Angin Guntur. "Aku berharap tugas
kita semakin bertambah ringan, jika paman Gentong Ketawa dan
temannya mau membantu kita."
Galuh Pitaloka anggukkan kepala. Dua
pemimpin perguruan Gunung Keramat lalu ting-
galkan tempat itu. Sementara di balik serumpun
semak belukar sepasang mata yang ikut menden-
gar semua pembicaraan dan mengawasi mereka
sejak tadi sambil tersenyum sinis menyelinap
tinggalkan perguruan Gunung Keramat.
10 Malam itu Selasih Jingga nenek tua berba-
dan setengah bungkuk benar-benar tak dapat
memejamkan mata sedikitpun. Padahal malam te-
lah larut, sementara udara dingin terasa mencu-
cuk sampai ke tulang. Karena perasaannya terus
menerus diwarnai kegelisahan orang tua itu lalu
bangkit dan duduk di bibir balai bambu. Selasih Jingga diam sejenak seolah
sedang memikirkan
sesuatu. Mendadak dia tersentak kaget begitu
mendengar suara benda jatuh. Dengan hati ber-
debar si nenek bangkit lalu mendatangi ke arah
mana suara tadi berasal. Ternyata yang jatuh
adalah sebuah kendi air. Si nenek belalakkan ma-
ta, perasaannya semakin tak karuan. Dipandan-
ginya kendi tanah itu yang telah hancur berkep-
ing-keping. Sementara air di dalam kendi itu tampak menggenang memenuhi lantai.
"Alamat buruk, firasat tidak baik." gumam si nenek. Dia berjongkok memunguti
pecahan kendi, kemudian meletakkan puing kendi di atas
meja bundar. Selagi nenek Selasih Jingga bangkit berdiri
pada saat hampir bersamaan mendadak terden-
gar pekikan suara burung gagak. Suara burung
itu terdengar persis di atas rumahnya. Si nenek
tercekat, dia meraba tengkuknya yang mendadak
berubah sangat dingin sekali. "Alamat celaka! Tidak mungkin ada gagak
berkeliaran pada malam-
malam begini. Ini adalah satu pertanda buruk
yang tidak dapat dibantah!" desis si nenek dengan suara tercekat.
Suara burung yang didengarnya kemudian
lenyap. Si orang tua entah mengapa teringat pada anaknya, sehingga dia segera
menuju ke ruangan
depan di mana Bayu Gendala tidur di situ. Nenek
Selasih Jingga jadi kaget ketika melihat tempat tidur pemuda itu dalam keadaan
kosong. Cemas dan bingung si nenek segera menuju ke pintu de-
pan. Pintu dalam keadaan setengah terbuka.
Orang tua ini julurkan kepala keluar, perasaan-
nya berubah menjadi lega ketika dia mendengar
suara orang bersenandung. Senandung kesedihan
dari orang yang merindukan kekasih.
"Dalam keadaan seperti itu tak mungkin
aku mendekati, atau membujuknya. Kasihan dia,
nasib hidupnya begitu buruk. Akupun tak mung-
kin melamarkan Bayu pada Lara Murti. Perbe-
daan antara kami tidak bedanya seperti langit
dengan bumi, semoga Gusti Allah memberi petun-
juk padanya. Semoga dia mau mengerti!" kata si nenek dengan mata berkaca-kaca.
Pintu kemudian ditutupkan, setelah itu dia kembali mere-
bahkan diri di tempat tidurnya. Mungkin si nenek merasa yakin kalau orang yang
bersenandung ta-di adalah anaknya, Bayu Gendala.
Sementara itu pada waktu yang hampir
bersamaan di perguruan Gunung Keramat suasa-
na terasa lebih mencekam lagi. Seluruh murid
perguruan yang tinggal di lima pondok panjang
sudah terlelap dibuai mimpi, sedangkan di rumah
induk yang ditempati oleh keluarga ketua pergu-
ruan Gunung Keramat juga dalam suasana sunyi.
Sementara di bagian samping rumah besar
itu satu sosok tubuh nampak mendekam di balik
gerumul tanaman bunga matahari. Cukup lama
juga sosok serba putih itu memperhatikan kea-
daan di sekelilingya. Sampai kemudian sosok itu
bangkit berdiri. Begitu bangkit dia berjalan men-gendap-endap mendekati daun
jendela kamar yang ditempati oleh Lara Murti. Pintu jendela ternyata dalam keadaan terkunci.
Sosok berpakaian
serba putih dan memakai topeng kayu putih
menggumamkan sesuatu seperti tengah membaca
mantra. Setelah itu kedua tangan diangkat, ba-
gian telapak tangan ditiup sebanyak tiga kali, lalu tangan digosokkan satu sama
lain. Begitu tangan
beradu, terlihat asap tebal berbau aneh mengepul di udara. Bergulung-gulung,
sebagian masuk ke
alam kamar melalui celah jendela disertai bau harum aneh sedangkan sebagian lagi
membubung tinggi di udara sampai akhirnya lenyap ditiup angin. Sosok berpakaian serba
putih itu menye-
ringai, dua tangan lalu ditempelkan ke daun jen-
dela yang tepat diperkirakan di bagian kuncinya.
Wuuus! Jendela hangus menghitam meninggalkan
sepuluh jari tangan. Dengan cepat sekali jendela
dibuka. Asap berbau harum yang ternyata men-
gandung sirep jahat yang membuat orang dapat
tertidur pulas telah membuat penghuni kamar ti-
dak menyadari ada bahaya besar yang sedang
mengancamnya. Begitu melihat Lara Murti dalam keadaan
pulas seperti itu, maka sosok berpakaian putih
memakai topeng itu langsung melompat masuk.
Dia mendekati ranjang. Satu totokan dilakukan di bagian perut serta dada gadis
itu. Baru kemudian Lara Murti dipanggulnya. Semua yang terjadi berlangsung
dengan sangat cepat sekali. Di lain ke-
jap orang ini telah meninggalkan kamar sambil
memanggul Lara Murti di bahu kanannya. Dia
kemudian berlari menjauh dari perguruan itu,
hingga sampai di satu tempat yang cukup aman
orang ini hentikan larinya. Lara Murti segera ditu-runkan dari bahunya dan
direbahkan dengan po-
sisi menelentang. Beberapa saat lamanya orang
bertopeng pandangi gadis yang masih belum sa-
darkan diri itu. Sesungging senyum menghias bi-
birnya. "Malam ini segala malapetaka itu bermula.
Dendamku tak akan impas walaupun aku bisa
melenyapkan seribu nyawa. Gadis ini terpaksa
kujadikan korban, perantara dari segala kemara-
hanku yang tidak pernah padam. Dia harus me-
rasakan penderitaan hebat yang pernah kurasa-
kan dulu. Ha... ha... ha!" kata sosok berpakaian putih dengan nafas memburu
bercampur amarah
dan nafsu. Dia kemudian jatuhkan diri berlutut di
samping si gadis. Tangan kanannya berkelebat.
Bret! Pakaian Lara Murti robek di bagian dada.
Seperti dirasuki setan orang ini mencabik-cabik
pakaian si gadis, hingga keadaan Lara Murti nya-
ris telanjang. Perlakuan yang kasar ini tentu
membuat si gadis terjaga dan jadi terkejut besar begitu menyadari dirinya telah
berada di lain tempat. Lebih terkejut lagi ketika melihat pa-
kaiannya dalam keadaan tak karuan. Lara Murti
memekik keras, dia mencoba menggerakkan ka-
kinya sambil menghantamkan tangan kanan ke
bagian dada sosok bertopeng. Tapi dia jadi terkejut sendiri begitu menyadari
kaki dan tangannya
sulit digerakkan.
"Siapa kau! Lepaskan jahanam terkutuk!
Lepaskan aku!" pekik si gadis. Akan tetapi suara makiannya hanya sampai sebatas
tenggorokan saja. Sementara orang bertopeng putih telah ber-
hasil melakukan perbuatan paling terkutuk pada
dirinya. Lara Murti hanya dapat menangis tanpa
suara. Air mata bercucuran tiada henti, tubuhnya didera rasa sakit yang sangat
hebat. Dalam keadaan seperti itu Lara Murti berusaha mengum-
pulkan tenaga dalam untuk membebaskan toto-
kan. Usahanya itu ternyata berhasil, dia berusaha melompat bangkit berdiri.
Sosok bertopeng menghalangi dengan menekan kepalanya.
"Manusia durjana, kubunuh kau!" pekik si gadis. Dengan perasaan hancur gadis ini
meraih topeng yang dipakai orang yang telah meno-
dainya, sedangkan tangan kanan dihantamkan ke
bagian dada orang itu. Angin menderu disertai
berkiblatnya sinar biru ke arah sosok yang telah menghancurkan dirinya. Tapi
sosok berpakaian
serba putih itu cepat ambil tindakan penyelama-
tan dengan jatuhkan diri di samping si gadis
hingga pukulan ganas itu hanya menghantam re-
ranting dan daun pepohonan. Ranting dan daun
hangus gosong. Sosok bertopeng mencabut pe-
dang, pedang diayunkan tepat searah jantung.
Bersamaan dengan itu pula topeng terenggut le-
pas. "Kau...!" desis si gadis dengan mata terbelalak dan mulut ternganga lebar.
Kelengahan yang
hanya sekejap ini langsung dipergunakan oleh
orang itu, ujung pedang berkelebat menghunjam
dada si gadis. Dia menjerit. Darah menyembur,
sejenak lamanya dengan mata yang semakin
mengabur dia pandangi sosok itu. Bibirnya berge-
rak lemah, mengucapkan kata-kata yang tidak je-
las. Sosok berpakaian serba putih nampak berge-
rak menjauh, terus melangkah mundur seperti
ketakutan sampai akhirnya dia membalikkan
badan dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
Pagi keesokan harinya perguruan Gunung
Keramat menjadi gempar dengan ditemukannya
jenazah Lara Murti oleh salah seorang murid per-
guruan yang saat itu sedang mengambil air di tepi telaga di mana bencana itu
menimpa diri putri ketua perguruan mereka. Semua murid-murid per-
guruan ini menjadi sangat sedih melihat kematian Lara Murti yang mengenaskan,
Lara Murti yang
sangat baik selama ini sudah mereka anggap se-
bagai saudara tua mereka sendiri. Kini tiba-tiba gadis itu dinodai secara keji
dan dibunuh pula,
siapa yang tidak berduka. Dalam kedukaan itu
terbersit pula rasa dendam amarah pada sang
pembunuh. Apalagi mereka di samping pedang
yang dipergunakan untuk membunuh juga me-
nemukan sebuah topeng kayu. Topeng itu sudah
sangat mereka kenal, siapa pemiliknya rasanya
mereka juga sudah tahu. Sebab beberapa kali me-
reka melihat pemuda pemilik topeng tersebut
menggoda Lara Murti. Selain itu si pemuda berto-
peng yang bukan lain adalah Bayu Gendala ini
juga pernah mengancam Lara Murti akan mela-
kukan cara apapun untuk mendapatkannya.
"Jahanam itu kalau diijinkan oleh guru, ra-
sanya aku ingin memenggal kepalanya saat ini ju-
ga!" kata salah seorang pemuda yang berkumpul dengan saudara seperguruan yang
lain di bagian halaman rumah duka.
Di dalam ruangan Lambang Pambudi begi-
tu melihat kematian kekasihnya yang sangat
mengenaskan nampak mengalami guncangan he-
bat. Berulangkali dia tak sadarkan diri. Beberapa murid perguruan yang juga
larut dalam kesedihan nampak tengah berusaha menghiburnya.
Sedangkan Galuh Pitaloka nampak me-
rangkul mayat Lara Murti erat-erat. Dia tidak
perduli darah dari luka si gadis mengalir memba-
sahi sebagian pakaiannya. Melihat keadaan
anaknya yang mengenaskan tokoh utara yang ga-
gah ini nampak cucurkan air mata. Sekujur tu-
buhnya mengkirik, jantungnya serasa mau mele-
dak, tubuh lemas lunglai. Galuh Pitaloka mera-
tap, tak sanggup menyaksikan keadaan anak ga-
disnya tewas begitu rupa.
Di belakangnya Dewa Angin Guntur nam-
pak pejamkan matanya. Walaupun orang tua ini
nampak lebih tabah, tak urung hatinya sempat
terguncang juga menyaksikan kematian putri sa-
tu-satunya yang sangat dia kasihi. Walaupun ke-
pedihan itu mendera batin Si orang tua, dia ma-
sih dapat bersikap lebih tegar. Beberapa saat setelah Dewa Angin Guntur dapat
menenangkan pi-
kiran dan mengumpulkan segenap kekuatan ba-
tin yang sempat tercerai berai akibat musibah besar itu dia segera melangkah ke
tengah ruangan di mana pedang dan topeng putih itu tergeletak.
Pedang yang berlumuran darah di selipkannya di
pinggang sebelah kiri. Setelah itu dia memungut


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

topeng kayu berwarna putih. Dengan mata merah
berkilat penuh rasa benci ditatapnya topeng itu
beberapa kejap lamanya. Tubuh si orang tua ber-
getar hebat. Wajah merah kelam, bibir bergeleme-
letukan sedangkan larang keluarkan suara berge-
lemetukan. Mendidih darah Dewa Angin Guntur
terbakar amarah. Dia lalu berkata dengan suara
menggeledek. "Pemilik topeng keparat ini aku sudah
mengenalnya. Aku tidak bisa menerima kenya-
taan ini. Aku harus menentukan satu kematian
yang paling menyakitkan bagi dirinya. Dia tidak
akan kubunuh begitu saja, terlalu enak baginya.
Dia harus merasakan penderitaan hebat sebelum
kematian menjemputnya!" Sejenak lamanya dia pandangi Lambang Pambudi dan juga
Galuh Pitaloka yang sedang membaringkan jenazah Lara
Murti "Pambudi, kau bantu mengurus jenazah
anakku. Kuburkan dia secara layak. Perintahkan
beberapa muridku untuk membuatkan kubur di
halaman depan." tegas Dewa Angin Guntur.
"Apapun perintah ayah akan saya kerja-
kan. Tapi ayah... saya mohon ayah bisa menghu-
kum pemuda itu dengan seberat-beratnya." pinta Lambang Pambudi. Orang tua itu
anggukkan kepala. Dia lalu memandang ke arah istrinya. "Istriku, jika upacara
penguburan putri kita selesai, engkau boleh menyusul. Kau akan melihat bagaimana
aku menghabisi pemuda bangsat itu!"
berkata begitu dengan menanggung guncangan
batin yang sangat berat Dewa Angin Guntur sege-
ra tinggalkan ruangan itu.
Di bagian halaman depan ratusan murid-
nya telah menunggu. Dengan bersenjata lengkap.
Sebagian di antara mereka bahkan ada pula yang
menunggang kuda.
Dewa Angin Guntur segera melompat ke
atas punggung kuda berbulu hitam. Tak lama
kemudian ratusan murid Gunung Keramat segera
menuju ke arah timur Solotigo.
Melewati beberapa dusun jumlah rombon-
gan semakin bertambah besar. Rupanya kematian
Lara Murti cepat sekali tersebar dari mulut ke
mulut. Dan ini mengundang rasa simpati di hati
mereka sehingga tanpa diminta mereka segera
menggabungkan diri dengan murid-murid Gu-
nung Keramat. 11 Di dalam rumahnya Selasih Jingga alias
Jari Perontok Nyawa nampaknya mondar-mandir
dalam kegelisahan. Sesekali dia memandang ke
arah Bayu Gendala, di lain waktu si nenek don-
gakkan kepalanya ke atas. Dia menarik nafas, la-
lu memandang keluar lewat jendela samping.
"Ibu ada apa" Ibu kulihat seperti orang
bingung?" tanya Bayu Gendala yang merasa serba salah melihat sikap ibunya.
Orang tua itu diam tertegun, setelah itu dia
menoleh dan memandang pada pemuda di de-
pannya dengan tatapan penuh selidik.
"Kau ke mana saja malam tadi?" tanya si nenek curiga.
Mendapat pertanyaan itu Bayu Gendala ke-
rutkan keningnya seperti heran. Tapi kemudian
dia tersenyum sinis. "Aku tidak pergi ke manapun. Aku berada di sebelah timur
pekarangan rumah kita. Memang ada apa bu?" tanya Bayu
Gendala sambil memandangi ibunya.
"Ibu merasakan ada sesuatu yang aneh,
ibu juga mendapat firasat buruk tentang dirimu."
jawab ibunya sambil mencoba menutupi galau di
hatinya. "Ha... ha... ha, ibu ada-ada saja. Segala
macam firasat ibu percaya. Mengenai Lara Murti
ibu tenang saja. Jika aku tidak bisa mendapatkan cintanya, siapapun tidak akan
memilikinya, mungkin juga termasuk orang tuanya sendiri."
Mendengar ucapan pemuda itu nenek Sela-
sih Jingga belalakkan matanya. "Apa maksudmu anakku" Jangan sekalipun kau berani
berbuat nekad" Kau harus ingat, kau harus eling anakku
siapa dirimu itu"!"
Bayu Gendala gelengkan kepala. "Diriku
adalah anak dari seorang ibu yang malang. Ibu
yang tidak pernah punya keberanian menghadapi
kenyataan hidup." dengus si pemuda. "Aku tahu ada sesuatu yang ibu sembunyikan
dariku. Sesuatu yang mungkin menyangkut kejadian buruk
yang pernah ibu lakukan di masa lalu." kata Bayu Gendala.
"Bayu Gendala anakku. Tega sekali kau
berkata seperti itu pada ibumu"!" jerit nenek Selasih Jingga. Perempuan itu lalu
tekad wajahnya dengan kedua tangan. Air mata si nenek bergulir
melewati celah-celah jemari tangannya. Bayu
Gendala sama sekali tidak perduli, sedikitpun tidak ada rasa iba di hatinya
melihat ibunya me-
nangis. Malah dia kemudian berkata menyesali.
"Aku muak hidup dalam keadaan seperti
sekarang ini. Di depanku ibu selalu berpura-pura.
Katakan terus terang ibu, jika ibu adalah orang
baik orang jujur sebagaimana yang kulihat saat
ini mengapa ibu takut menghadapi mereka, men-
gapa sedari kecil hingga ku menjadi besar ibu selalu mengurung diri di dalam
rumah ini. Menga-
pa"!" tanya pemuda itu.
Nenek tua itu turunkan kedua tangannya,
dia pandangi kedua Bayu Gendala dengan sorot
mata seakan tak percaya. Hatinya diam-diam me-
rintih, mungkin semua itu terjadi akibat kejaha-
tan yang pernah dilakukannya di masa yang lalu.
"Mengapa ibu diam?" suara si pemuda
kembali memecah keheningan. Belum lagi nenek
Selasih Jingga sempat menjawab. Pada saat itu
pula terdengar suara teriakan menggeledek yang
datang dari arah bagian depan rumah tinggal me-
reka. "Selasih Jingga! Mana anakmu! Suruh dia keluar mempertanggungjawabkan
segala dosa terkutuknya!" kata satu suara.
Di dalam rumah nenek Selasih Jingga jadi
kaget, begitu juga halnya dengan Bayu Gendala.
Ibu dan anak saling pandang, tapi mereka seperti disentakkan langsung melompat
mendekati dinding bambu. Dari balik dinding mereka mengintai
keluar. Kejut di hati si nenek bukan olah-olah begitu dia melihat rumahnya telah
dikepung oleh ratusan murid perguruan Gunung Keramat. Bukan
hanya itu saja, di samping murid-murid pergu-
ruan ikut tergabung pula puluhan penduduk dari
beberapa dusun. Mereka semua memegang senja-
ta berbagai jenis. Wajah membayangkan keberin-
gasan dan dendam, di antara para pendatang ini
bahkan ada yang memegang obor yang siap di-
nyalakan bila dibutuhkan. Si nenek tahu arti se-
mua itu. "Apa yang telah kau lakukan, Bayu" Men-
gapa mereka datang ke mari?" tanya perempuan itu dengan suara pelan bergetar.
Bayu Gendala yang dibuat bingung melihat kemunculan ketua
perguruan Gunung Keramat dan juga muridnya
jadi gugup. "Aku... aku tidak tahu. Aku merasa belum
pernah melakukan apapun!" sergah si pemuda
mencoba meyakinkan ibunya. Dalam keadaan te-
gang begitu rupa Selasih Jingga alias Jari Perontok Nyawa dapat melihat satu
kejujuran terpancar di mata anaknya.
"Selasih Jingga! Serahkan anakmu untuk
menerima hukuman setimpal dariku. Bayu Gen-
dala telah menodai dan membunuh anakku seca-
ra keji. Sekarang dia harus menerima hukuman
dariku!" kata satu suara. Bila nenek Selasih Jingga maupun Bayu Gendala
mengintip ke arah da-
tangnya suara, ternyata yang berteriak itu adalah Dewa Angin Guntur, ketua
perguruan Gunung
Keramat. "Anakku, aku tahu kau berkata jujur. Tapi
orang-orang di luar sana mustahil percaya den-
gan keteranganmu. Kau larilah dari pintu bela-
kang, selamatkan dirimu. Jangan sekalipun fiki-
ran diriku."
"Tapi ibu...!" Bayu Gendala nampak ragu-ragu, mungkin juga tidak tega melihat
nasib bu- ruk yang menimpa ibunya.
"Kuingatkan lagi, jangan kau pikirkan
ibumu!" tegas si nenek masih dengan suara perlahan. Merasa tidak punya jalan
lain, Bayu Gen-
dala anggukkan kepala. Dia melangkah mendeka-
ti pintu belakang. Sementara itu dari luar sana
kembali terdengar suara teriakan.
"Selasih Jingga tua bangka keparat! Aku
tahu kau berada di dalam sana, aku tahu kau
mendengar. Cepat keluar! Serahkan anak itu! Ini
kesempatan terakhir yang kuberikan padamu. Ji-
ka kau tak mau keluar rumah ini akan kubakar.
Kau dan anakmu bisa terbakar hidup-hidup!"
Dalam keadaan seperti itu di mana suara
teriakan tidak sabar mulai terdengar di sana-sini, Jari Perontok Nyawa sudah
tidak dapat lagi
menggunakan akal sehatnya. Dengan cepat dia
melesat melewati pintu depan. Hanya beberapa
saat saja dia sudah berdiri tegak di depan Dewa
Angin Guntur. Laki-laki berambut putih itu mem-
perhatikan si nenek sekejap, dia lalu mengambil
pedang berlumur darah dari pinggangnya, kemu-
dian dari balik pakaian dia juga mengeluarkan
sebuah benda yang ternyata adalah sebuah to-
peng kayu berwarna putih. Melihat kedua benda
ini nyawa si nenek laksana terbang. Tubuhnya
bergetar kehilangan tenaga sedangkan wajah yang
keriput berubah seputih kertas.
"Kau tentu mengenali kedua benda ini, Se-
lasih?" berkata Dewa Angin Guntur dengan suara keras menyentak. "Pedang anakmu
ini kutemukan tertancap di bagian jantung, sedangkan to-
peng ini tergeletak di samping mayat Lara Murti
putriku. Untuk kau ketahui, sebelum membunuh
anakmu telah berlaku keji terhadap anakku. Se-
karang mana anakmu, cepat kau serahkan pada-
ku!" teriak laki-laki berambut putih ini sudah tidak sabar.
Walaupun si nenek merasa tidak berdaya
melihat bukti-bukti yang ditunjukkan Dewa Angin
Guntur namun dia masih juga berusaha memberi
penjelasan. "Aku akui topeng dan pedang itu adalah milik anakku Bayu Gendala.
Tapi aku tak percaya anakku yang telah berbuat keji bahkan
membunuh anakmu. Demi Tuhan aku berani
menjaminnya!" kata si nenek bersungguh-
sungguh. "Dia berdusta!" teriak murid-murid Dewa Angin Guntur.
"Dia juga harus dibakar hidup-hidup!" teriak puluhan penduduk yang ikut
bergabung dengan mereka. Laki-laki itu memberi isyarat agar murid-
nya diam. Setelah itu dia baru berkata, "Jari Perontok Nyawa, aku tahu sekarang
kau sudah ber- taubat. Aku tahu kau tidak melakukan kejahatan
lagi. Akan tetapi harus kau ingat segala kekejian dan keganasanmu di masa lalu
tidak mudah kau
hapuskan dari ingatan orang. Aku tidak akan
mengusikmu, karena tidak kubunuh pun kau
pasti akan mati dengan sendirinya. Tapi kuperin-
gatkan sekali lagi Bayu Gendala harus kau serah-
kan padaku. Jika kau punya tujuan baik dan be-
nar-benar telah insyaf, kau harus tunjukkan iti-
kad baik dengan tidak membelanya. Dengan begi-
tu aku baru bisa percaya!" hardik Dewa Angin Guntur.
"Mengenai anak itu silahkan cari sendiri.
Dia sudah besar dan bisa menentukan jalan hi-
dupnya! Hanya sekali lagi kutegaskan, sebagai
ibu aku tahu dia tidak melakukan perbuatan se-
bagaimana yang kau tuduhkan."
"Tua bangka gila, apakah bukti yang ku-
bawa tidak cukup jelas bagimu"!" teriak si orang tua kalap.
"Mungkin... mungkin... topeng dan pedang
itu sengaja dipergunakan seseorang untuk menu-
tupi perbuatannya." kata si nenek.
Percuma saja dia memberi penjelasan. De-
wa Angin Guntur dengan cepat segera memberi
isyarat. Belasan orang menyalakan obor, begitu
obor menyala langsung dilemparkan ke atap ru-
mah si nenek. Orang tua ini menjerit kaget. Da-
lam pada itu dari pintu belakang berkelebat satu sosok tubuh melewati kobaran
api yang mulai membakar di sana-sini.
"Jahanam itu lari ke mari!" teriak belasan murid Dewa Angin Guntur yang berjaga-
jaga di belakang. "Jangan biarkan dia meloloskan diri!" te-
riak ketua perguruan Gunung Keramat. Di bela-
kang saja Bayu Gendala yang gagal melarikan diri dari kepungan lawan segera
melolos senjatanya.
Dia telah bertekad untuk membuka jalan darah
demi untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
Sekejap saja dentring beradunya senjata tajam
memenuhi udara. Teriakan geram terdengar pula
di sana-sini. Nenek Selasih Jingga tentu saja terkejut bukan main melihat
anaknya dikeroyok be-
gitu rupa. Dia ingin membantu, tapi jadi ragu-
ragu. Pada saat dirinya lengah, Dewa Angin Gun-
tur tiba-tiba berkelebat melompatinya. Satu totokan menghantam punggungnya
hingga nenek Se-


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lasih Jingga jadi kaku tertotok seperti patung.
12 Mengapa kau perlakukan aku seperti ini,
Dewa Angin Guntur!" teriak si nenek kaget.
"Urusanku dengan anakmu harus kube-
reskan dulu. Setelah itu mengenai dirimu terse-
rah keputusanku nanti!" dengus Dewa Angin
Guntur. Orang tua ini lalu berkelebat menuju ke
arah Bayu Gendala yang sedang dikeroyok oleh
murid-muridnya juga penduduk yang ikut serta
dengan mereka. Melihat kemunculan Dewa Angin
Guntur, Bayu Gendala yang langsung menghan-
tamnya dengan pukulan tangan kosong bertubi-
tubi membuat pemuda ini semakin terdesak he-
bat. Tadi saja sebelum tokoh sakti itu turun tan-
gan dia hanya dapat mematahkan serangan ganas
yang datang bertubi-tubi dari seluruh penjuru
arah. Bayu Gendala yang sebenarnya memiliki
tingkat kepandaian hampir sama dengan murid
perguruan Gunung Keramat kini terpaksa harus
mengerahkan segenap kekuatan yang dia miliki.
Pedang diputar mengeluarkan suara menderu,
benturan yang terjadi membuat murid-murid De-
wa Angin Guntur terdorong mundur, pedang di
tangan mereka bahkan ada yang terpental. Tapi
laksana badai mereka kembali menyerang. Kini
Bayu Gendala mulai terdesak. Beberapa pedang
lawan bahkan berhasil melukai tubuhnya. Darah
mengucur membasahi pakaian si pemuda. Sema-
kin lama pertahanan Bayu semakin melemah,
kembali puluhan pedang menghantam tubuhnya.
Bahkan telinga, hidung serta bibir Bayu tanggal
diterabas pedang yang datang tiada kunjung hen-
ti. "Kini giliranku...!" satu suara berteriak. La-lu satu bayangan berkelebat. Para
pengeroyok berlompatan mundur, satu tangan menghantam
kepala dan satunya lagi menjebol ke bagian perut.
Braak! Breet! "Akh... ibuuu... akh...!" Bayu Gendala menjerit keras begitu kepalanya rengkah
dihantam Dewa Angin Guntur. Bukan hanya itu saja, isi pe-
rut si pemuda terburai berhamburan keluar. Se-
mua ini disaksikan oleh Selasih Jingga. Si nenek menjerit, meraung histeris
melihat nasib buruk
yang terjadi pada putranya.
Tidak sampai di situ saja rupanya, begitu
melihat Bayu Gendala jatuh tergelimpang murid-
murid perguruan Gunung Keramat dengan berin-
gas langsung mencincang tubuhnya.
"Tidak! Jangan... ku mohon jangan laku-
kan itu padanya! Dia tidak bersalah!" teriak si nenek dengan perasa pilu seperti
tersayat-sayat.
Siapapun pasti tidak tega melihat kematian
anaknya, apalagi dalam keadaan se mengerikan
itu, terlebih-lebih dia sendiri merasa tidak punya kekuatan apa-apa untuk
menolong. "Guru, sebaiknya kita habisi saja tua
bangka jahat ini sekalian. Agar kelak tidak men-
jadi biang bencana!" kata salah seorang murid Dewa Angin Guntur. Kemudian tanpa
menunggu jawaban gurunya mereka yang baru saja menyin-
cang Bayu Gendala hingga keadaan mayatnya se-
perti daging dicacah, mereka serentak berbalik,
kemudian berlari menghambur ke arah si nenek
dengan senjata terhunus.
"Selasih Jingga, apapun yang terjadi pada
anakmu dan dirimu pada hari ini anggap saja
semua ini merupakan balasan berikut bunganya
dari segala kejahatan yang pernah kau lakukan di masa lalu!" kata Dewa Angin
Guntur tanpa mau atau berusaha mencegah niat para muridnya juga
para penduduk yang ikut serta untuk menghabisi
si nenek. Dalam keadaan hati diliputi kegundahan
yang mendalam, si nenek yang semula bersikap
pasrah saja melihat tindakan brutal yang dilaku-
kan Dewa Angin Guntur dan para muridnya kini
bertekad untuk membalaskan kematian sang
anak. "Dewa Angin Guntur, ternyata kekejaman-mu dan kekejaman para muridmu
melebihi iblis!
Aku tidak terima!" teriak si nenek. Dia lalu kerahkan tenaga dalam untuk
membebaskan pengaruh
totokan lawan. Tadi dia jadi terkejut sendiri begitu menyadari pengaruh totokan
tidak dapat dipu-nahkan. Malah tenaga dalam yang dipergunakan
untuk melenyapkan totokan kini berbalik menye-
rang dadanya. Si nenek menyeringai kesakitan,
sedangkan Dewa Angin Guntur tertawa terbahak-
bahak. "Sampai mati pun kau tak mungkin bisa membebaskan totokanku!" seru si
laki-laki. Sementara itu jarak antara si nenek den-
gan puluhan murid Dewa Angin Guntur yang
hendak mencincangnya semakin bertambah de-
kat. Nampaknya jiwa si nenek tidak mungkin da-
pat diselamatkan lagi. Karena sudah merasa tidak melakukan tindakan apapun untuk
menyelamatkan diri, si nenek jadi putus asa. Mata dipe-
jamkan siap menerima kematian. Tapi pada saat
itu pula mendadak sontak terdengar suara meng-
gemuruh seperti air bah yang menjebolkan ben-
dungan. Angin deras menyambar menghantam
para murid perguruan Gunung Keramat. Belasan
pemuda berpelantingan jatuh tumpang tindih tak
berketentuan. Walaupun mereka tidak sampai
tewas, tapi banyak di antaranya yang menderita
luka dalam. Dewa Angin Guntur terkejut besar.
Dia secepatnya memandang ke arah datangnya
hembusan angin keras tadi di mana membuat di-
rinya sempat terhuyung.
"Manusia keparat, siapapun yang berani
mencampuri urusanku harap mau menunjukkan
diri!" teriak si orang tua.
Sebagai jawaban terdengar suara siulan
tak berkejuntrungannya. Setelah itu terdengar
pula suara tawa bekakan. Suara tawa itu seakan
datang dari empat penjuru arah, seolah orang
yang tertawa ada empat orang.
Dewa Angin Guntur maklum siapapun
orangnya yang telah menggagalkan niat murid-
muridnya pasti memiliki kesaktian yang tinggi.
Tapi dia tak perduli, siapapun adanya yang berani mencampuri urusannya berarti
dia merupakan musuh yang harus dibunuh. Apalagi bila mengin-
gat orang itu nampaknya membela bekas tokoh
sesat yang dulu sering melakukan berbagai ma-
cam kejahatan. "Kuingatkan sekali lagi, walau kau punya
ilmu memindahkan suara harap tunjukkan diri!"
Dewa Angin Guntur kembali berseru.
"Ha... ha... ha! Sungguh tidak sedap pe-
mandangan hari ini. Aku melihat orang yang
mengaku dirinya sebagai orang gagah tidak ta-
hunya telah berlaku tolol pengecut bahkan tega
hendak membunuh orang yang sudah tidak ber-
daya. Sungguh tanpa akal sehat manusia itu su-
ka melakukan tindakan yang lebih keji bahkan
lebih jahat dari binatang!" kata satu suara. Seiring dengan terdengarnya suara
yang sempat membuat wajah dan telinga Dewa Angin Guntur
jadi panas memerah dari balik pohon besar berke-
lebat satu bayangan ke arah mereka.
Beberapa saat kemudian di depan si nenek
Selasih Jingga telah berdiri dengan sikap melin-
dungi seorang pemuda tampan berambut gon-
drong sebahu. Pemuda itu bertelanjang dada,
sambil bertolak pinggang dia harus saja tertawa
berhehahehe. Dengan mata mendelik Dewa Angin Guntur
memandangi pemuda itu. Semula dia menyangka
orang yang menggagalkan niat murid-muridnya
adalah seorang tokoh sakti sebagaimana dirinya.
Tapi tidak dikira ternyata hanyalah seorang pe-
muda yang tidak dikenal yang agaknya miring
otaknya. Karena itu diapun membentak.
"Pemuda kurang ajar, siapa dirimu. Berani
mati kau mencampuri urusanku?" hardik Dewa
Angin Guntur. Sementara itu murid-muridnya ju-
ga penduduk yang tergabung dengannya sudah
mengepung si pemuda. Merasa dikepung begitu
rupa, pemuda ini malah tersenyum. Dia lalu men-
jawab pertanyaan orang tua itu.
"Namaku Gento Guyon. Aku sama sekali
bukan bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi
sebagai manusia yang dihormati hendaknya eng-
kau berpikir apakah tindakan yang paman laku-
kan tidak keliru dengan membiarkan murid-
muridmu hendak membunuh nenek itu!"
"Dulu dia adalah seorang iblis yang memi-
liki kejahatan selangit tembus." sahut Dewa Angin Guntur sengit.
"Yang paman katakan adalah dulu. Dan
sekarang dia tidak melakukan kejahatan lagi,
mengapa paman hendak membunuhnya"!" tanya
Gento heran. "Penyesalan yang dilakukannya boleh jadi
hanya topeng belaka. Karena itu aku tidak per-
caya padanya bahkan ingin sekali menghabisi pe-
rempuan ini sekarang juga!" tegas Dewa Angin Guntur.
"Apakah dia pernah bersalah padamu?"
tanya murid Gentong Ketawa sambil mengusap
wajahnya. Ditanya seperti itu ketua perguruan Gu-
nung Keramat terdiam. Tapi kemudian dia men-
jawab. "Secara langsung memang tidak, tapi
anaknya telah menodai putriku. Bukan hanya itu
saja. Dia bahkan telah membunuhnya!" dengus si laki-laki tua.
"Anak muda, apa yang dikatakannya bisa
jadi tidak benar. Anakku memiliki ilmu kepan-
daian yang tidak seberapa tinggi. Bagaimana
mungkin bisa berlaku jahat pada Lara Murti"!"
kata nenek Selasih Jingga.
"Perempuan keparat! Dua bukti masih be-
lum kau anggap cukup bagimu! Kau hendak
membelanya hah"!" hardik Dewa Angin Guntur
menjadi marah. "Aku tidak membelanya. Aku hanya tidak
percaya anakku telah membunuh putrimu!" sahut Selasih Jingga.
"Sebaiknya habisi saja nenek keparat dan
pemuda sinting itu guru!" kata salah seorang di antara muridnya sudah tidak
sabar. "Pemuda tolol, kau sudah mendengar ka-
rena kesalahan anaknya. Muridku juga jadi in-
ginkan nyawanya. Jika kau tidak mau cari pe-
nyakit, sebaiknya menyingkirlah sejauh mung-
kin!" perintah Dewa Angin Guntur tegas. Mendengar ucapan Dewa Angin Guntur,
murid kakek Gentong Ketawa tertawa tergelak-gelak. Begitu
tawanya lenyap, pemuda ini berkata.
"Orang tua, kutugaskan padamu, mengenai
kematian anakmu aku punya pendapat lain. Bisa
jadi anaknya nenek ini memang pelakunya, tapi
boleh jadi bukan dia orangnya. Pemuda itu kini
telah kalian jadikan perkedel. Melihat hal itu aku sendiri tidak tega. Lalu
mengapa nenek ini harus menanggung dosa anaknya. Padahal aku merasakan seperti
ada sesuatu yang tidak beres sedang
terjadi!" kata Gento.
"Eeh, apa maksudmu?" tanya Dewa Angin
Guntur dengan kening berkerut juga penasaran.
Gento Guyon berpikir sejenak, lalu berkata.
"Aku berjanji akan menyelidiki semua kejadian yang menimpa anakmu. Beri aku
sedikit waktu untuk mengungkapkannya. Jika nantinya terbuk-
ti memang anaknya yang melakukan semua per-
buatan itu, maka terserah apa yang hendak kau
lakukan kepadanya!" kata si pemuda.
"Bocah kampret sialan. Kau pikir dirimu
siapa" Bagaimana kau bisa berpendapat lain, pa-
dahal bukti-bukti sudah jelas. Lagipula mengapa
kau membelanya?" hardik Dewa Angin Guntur
sengit. "Bukti tidak selamanya mengungkapkan kejadian yang benar. Aku tidak
membelanya. Aku
hanya minta sedikit waktu untuk mengung-
kapkan sesuatu dengan sebenar-benarnya."
"Tidak bisa. Aku tidak mau membiarkan
perempuan itu lolos dari tanganku!" kata si orang tua tegas.
"Orang tua... hendaknya kau mau bersabar
diri. Jika kau menyerangku akan banyak nan-
tinya korban yang tidak berdosa yang berjatuhan.
Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku minta waktu
dua pekan, kelak aku akan datang ke tempatmu!"
ujar si pemuda.
"Guru jangan dengar apa katanya. Kita bu-
nuh saja dia!" teriak murid-muridnya sudah tidak sabar. "Aku sependapat, cepat
lakukan!!" teriak Dewa Angin Guntur. Dia kemudian memberi aba-aba dengan
anggukan kepala. Detik itu juga dari
seluruh penjuru arah murid-murid perguruan
Gunung Keramat menyerbu ke depan menyerang
si nenek juga Gento.
"Kampret! Aku harus menyingkir!" rutuk si pemuda. Dia lalu hantamkan kedua
tangannya delapan kali berturut-turut ke delapan penjuru
arah. Begitu hawa panas berkiblat disertai deru


Gento Guyon 7 Topeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin bergulung-gulung yang langsung menyam-
bar para penyerangnya, maka Gento pergunakan
kesempatan itu sebaik mungkin. Dia menyambar
tubuh si nenek, lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Puluhan orang menjerit
dan berpentalan
roboh. Dewa Angin Guntur melihat pemuda itu
melarikan Si nenek berteriak keras sambil meng-
hantam dengan satu pukulan mematikan.
"Kau tidak akan kubiarkan lolos!" hardik Dewa Angin Guntur.
Di depan sana tanpa menoleh Gento terge-
lak-gelak sambil menghantam ke belakang me-
nyaributi pukulan ketua perguruan Gunung Ke-
ramat. Buuum! Satu ledakan menggelegar di udara. Tanah
terguncang keras, debu mengepul menutupi pe-
mandangan, sedangkan Dewa Angin Guntur tam-
pak terhuyung. Begitu pemandangan jadi biasa
kembali, maka Gento dan si nenek telah lenyap
dari tempat itu.
"Keparat sial! Bocah itu kelak akan mene-
rima hukuman berat dariku!" geram si orang tua sambil kepalkan tinjunya. Dengan
perasaan kecewa dia memerintahkan muridnya untuk kemba-
li ke perguruan. Mereka yang sempat roboh dan
terluka bangkit terus berdiri. Sambil mengikuti
gurunya mereka terus menggerendeng sepanjang
jalan. Dewa Angin Guntur diam tidak menangga-
pi. Dia malah memacu kudanya hingga berlari le-
bih cepat, jauh meninggalkan murid-muridnya.
-TAMAT- SEGERA TERBIT!!
TOPENG KEDUA Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Angin Berbisik 3 Sepasang Garuda Putih Seri Keris Pusaka Sang Megatantra 5 Karya Kho Ping Hoo Kitab Pusaka 1
^