Pencarian

Topeng Kedua 1

Gento Guyon 8 Topeng Kedua Bagian 1


http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Kegelapan baru saja menyelimuti daerah di
sekitar puncak bukit itu. Tak berselang lama se-
cara perlahan purnama menampakkan diri dian-
tara ranting dan daunan. Di sebelah utara pun-
cak bukit terlihat satu-satu pemandangan aneh
dimana satu sosok berpakaian merah terpendam
tubuhnya sampai sebatas dada. Pakaian sosok ini
hancur seperti dicabik-cabik binatang buas, ram-
but acak-acakan sedangkan di bagian dada,
punggung, serta kepala nampak mengucurkan
darah. Dalam keadaan tubuh terpendam seperti
itu nampaknya dia sama sekali tak dapat berge-
rak apalagi saat itu kedua tangannya yang ber-
warna hitam terikat dua lembar benang yang sulit
diputuskan. Dia hanya dapat mengerang ketika
merasakan tubuhnya yang terpendam mulai dari
bagian dada ke bawah terasa panas laksana ter-
bakar. Celakanya sejak dirinya terpendam begitu
rupa, dia sama sekali tak mampu menggerakkan
tubuh juga memutus benang yang mengikat ke-
dua tangannya. Padahal dua tangannya yang sakti selama
ini dapat dipergunakan untuk menghancurkan
benda apa saja. Kini dua tangan sakti yang dia
sendiri selalu menyebutnya dengan Tangan Sial
seakan kehilangan keampuhannya. Dua utas be-
nang-benang yang dipergunakan untuk mengikat
tangan seakan memiliki satu kekuatan yang san-
gat hebat. Bukan hanya itu saja, benang yang me-
lilit bagian tangan itu kini malah terbenam me-
nembus kulit dan daging. Sedangkan dari bagian
luka nampak mengucurkan darah. Ini satu ke-
nyataan yang cukup mengejutkan bagi laki-laki
yang menyandang julukan Si Tangan Sial itu. Be-
tapa tidak" Selama ini tangan itu tidak pernah
mengalami cidera walau dia berusaha memotong-
nya dengan pedang atau menghancurkan sepa-
sang tangan itu dengan batu.
Melihat kenyataan yang terjadi pada di-
rinya si orang tua paling tidak merasa putus asa
atau menjadi ketakutan membayangkan kemung-
kinan buruk yang terjadi pada dirinya. Ternyata
hal seperti itu tidak terjadi. Malah wajah Si Tangan Sial tampak tegar luar
biasa. Untuk pertama kali setelah dirinya merasa
gagal memutus benang yang melibat tangannya Si
Tangan Sial kitarkan pandangan mata. Dia tidak
melihat siapapun disitu terkecuali dirinya sendiri
"Makhluk keparat itu, sama sekali aku tak
tahu apa yang diinginkannya. Dia mengaku seba-
gai saudaraku, padahal aku ingat betul sejak ter-
lahir aku merasa tidak punya saudara. Sekarang
setelah membawaku ke tempat keparat ini tubuh-
ku malah dipendamnya!" Si orang tua sahabat
Gento Guyon merutuk dalam hati. Sejenak dia
terdiam, kepala tertunduk, rasa panas di bagian
tubuh yang terpendam makin menghebat, sakit-
nya tiada tara namun dia tidak lagi mengeluh
apalagi merintih. Perlahan wajah yang tertunduk
berlumuran darah mendongak ke langit. Langit
terang kuning kemilau. Tiga beruang tadi menye-
rangku, pakaian dan tubuhku habis dicakarnya.
Aku yakin makhluk lumpuh itu yang punya pe-
rintah, aku mengetahui kehebatan ucapannya.
Jika dia berasal dari golongan sesat kehadirannya di rimba persilatan bisa
membuat celaka banyak
orang. Fikir Si Tangan Sial.
Sekali lagi dia kitarkan pandangan ke selu-
ruh puncak bukit kapur. Hingga saat itu dimana
udara dingin menyerang dan angin berhembus
kencang orang yang memendamnya di dalam ta-
nah masih belum memperlihatkan tanda-tanda
akan muncul. Sadar kesempatan untuk membebaskan
diri masih terbuka luas, diam-diam Si Tangan Sial kerahkan tenaga dalam kebagian
kedua belah tangannya. Tenaga sakti yang bersumber dari ba-
gian pusernya mengalir deras melalui dada, terus
menjalar ke bagian tangan. Tak berselang lama
kemudian kedua tangan disentakkan.
Breet! Si Tangan Sial menjerit kesakitan. Benang
yang melilit tangannya bukan putus tapi malah
terbenam ke dalam daging, menimbulkan rasa
nyeri dan sakit yang amat sangat. Darah mengu-
cur. Si Tangan Sial mengumpat panjang pendek.
"Benang celaka! Aku tak bisa membetotnya
hingga putus. Malah kini luka dipergelangan tan-
ganku tambah menghebat." Sekali lagi dia perhatikan tangannya yang terluka.
Melihat banyaknya
darah yang mengalir keluar, mendadak timbul ra-
sa takut di hati Si Tangan Sial. Dia takut kehilangan tangannya. Padahal selama
ini bertahun- tahun dia selalu berusaha membuat celaka tan-
gannya sendiri. Sepasang tangan yang dia anggap
sebagai pembawa malapetaka bagi dirinya. Sepa-
sang tangannya memang menyimpan kesaktian
hebat secara alami, bahkan bila dia marah benda
apa saja yang disentuhnya pasti hancur, layu
atau terbakar termasuk juga yang pernah terjadi
pada diri istrinya. Yang mengherankan mengapa
kini sepasang tangan itu seakan tidak berdaya di-
bawa libatan selembar benang yang begitu tipis
bahkan terkesan rapuh.
Kenyataan yang terjadi padanya ini adalah
merupakan suatu kenyataan yang sangat sulit
untuk dipercaya, hingga pada akhirnya Si Tangan
Sial merasa letih sendiri
"Sampai kapan aku berada dalam keadaan
seperti ini" Jika dulu aku ingin agar kedua tan-
ganku terlepas dari badanku, mengapa sekarang
aku seperti merasa takut kehilangan. Tanpa tan-
gan aku kini baru bisa membayangkan betapa hi-
dup ini jadi semakin sulit." gumam si orang tua.
Berkata begitu dia hendak menggaruk hidungnya.
Tapi begitu sadar kedua tangannya dalam kea-
daan terikat niatnya urung malah Si Tangan Sial
menyeringai kesakitan.
Di langit kini cahaya bulan terhalang seke-
lompok awan, suasana di puncak bukit berubah
jadi temaram. Pada saat itulah satu sosok tubuh
tampak melayang dan jatuh di depan Si Tangan
Sial. Bluk! Si orang tua yang tadinya tertunduk kini
mengangkat wajah, dengan matanya yang beng-
kak menggembung karena terluka dia memperha-
tikan. Melihat siapa yang datang Si Tangan Sial
merutuk dalam hati. "Manusia jahanam satu ini kedua kakinya lumpuh tapi dia
dapat pergi kemana-mana. Apa yang hendak dilakukannya pa-
daku" Aku mesti berhati-hati. Bukan mustahil
dia berniat mencelakai aku."
"Ha ha ha, Tangan Sial. Sesuai dengan ju-
lukanmu ternyata sepanjang hidupmu nasib sial
selalu membuntuti dirimu." berkata si kakek berbadan jerangkong berambut acak-
acakan dipenu- hi kapur disertai tawa terbahak-bahak.
"Jerangkong lumpuh apa maksudmu"
Mengapa aku kau bawa kemari" Kau mengatakan
aku ini saudaramu, terus-terang aku tak per-
caya." Kakek jerangkong tatap Si Tangan Sial. Ada kilatan aneh dalam mata si
kakek lumpuh. Satu
seringai menghias bibirnya. Seringai lenyap, wa-
jahnya yang putih berselemot kapur berubah
angker. Di tempatnya terkubur Si Tangan Sial
sama sekali tak bergeming, dia balas menatap si
jerangkong dengan perasaan penuh marah.
"Kalau kau tak percaya aku ini saudaramu,
keyakinanmu itu memang betul. Aku Begawan
Panji Kwalat juga tak pernah merasa punya sau-
dara sepertimu. Walaupun begitu terus-terang
kedatanganmu memang kutunggu. Belasan tahun
aku mendekam disini, sekian lama aku mem-
buang waktu. Aku senang karena ternyata penan-
tian ku tidak sia-sia. Walau lumpuh kaki nasibku
tidak pula seburuk dirimu. Ha ha ha!"
Walaupun Si Tangan Sial sudah menduga
hal ini, namun tetap saja pengakuan si jerang-
kong membuatnya kaget. Si badan jerangkong
bukan saudaranya. Kini dia mencoba mereka-
reka siapa adanya Begawan Panji Kwalat
Melihat caranya bergerak yang bukan den-
gan mempergunakan kaki maupun tangan me-
lainkan melayang, ilmu si jerangkong ini pastilah sangat tinggi. Mungkin juga
beberapa kali lipat di atasnya. Ini dibuktikan dengan hanya mempergunakan benang
saja kedua tangannya yang me-
miliki kekuatan sakti sudah dibuat tidak berdaya.
Malah kedua tangan itu kini terluka.
"Begawan Panji Kwalat. Siapa dirimu aku
tak tahu, sebagaimana yang pernah kukatakan
aku bahkan tak mengenalmu. Diantara kita tak
ada silang sengketa, mengapa kau memperlaku-
kan aku seperti ini, seolah aku ini adalah seorang musuh yang sangat kau benci?"
tanya Si Tangan Sial
"Kaus memang bukan musuhku, bahkan
diantara kita tidak ada saling sengketa. Agar kau tidak penasaran, kukatakan
padamu kalau aku
saat ini mempunyai urusan besar. Urusan ini
hanya bisa terlaksana bila kau mau membantu-
ku." kata Begawan Panji Kwalat. Si Tangan Sial Semakin tidak mengerti saja
kemana arah ucapan
si jerangkong. Pada akhirnya sambil tersenyum
sinis dia berkata. "Setelah aku kau perlakukan seperti ini kau beranggapan aku
mau membantumu, begitu" Ha ha ha. Kau jangan mimpi. Kau
sudah menipuku dan kesalahan ini saja merupa-
kan kenyataan yang tak dapat ku maafkan. Jadi
kuharap kau tak banyak menaruh harap pada-
ku." Ucapan tegas Si Tangan Sial membuat Begawan Panji Kwalat tertawa terkekeh-
kekeh. Saat itu cahaya bulan sudah tidak terhalang awan lagi
sehingga puncak bukit telah kembali berubah
menjadi terang-benderang. Sekejab tawa si kakek
terhenti, dari mulutnya terdengar suara mengge-
rung aneh. Dengan tenang dia dongakkan wajah-
nya memandang ke arah bulan. Mulut si jerang-
kong berucap layaknya orang melantunkan syair.
Sepanjang waktu aku menunggu kehadi-
rannya. Sekarang dia berada dalam genggamanku.
Akan kujadikan dia seorang utusan.
Dia akan menjadi budak yang patuh setia
Peruntungan ku menyangkut kepentingan
besar Jika yang aku mau telah kudapatkan.
Akan ku tempatkan muridku di sebuah kur-
si kekuasaan Akan kubunuh para penentang
Bersama kekuasaan akan ku peluk rembu-
lan Ha ha ha.... Muridku, Kekuasaan dan kedudukan semakin jelas
bagimu Kau akan robah dunia persilatan dengan warna darah
Batu, Muridku Batu adalah muridku!
Suara si kakek jerangkong terhenti hingga
disitu, kini dia kembali pandangi Si Tangan Sial.
Di tempatnya terpendam Si Tangan Sial
sunggingkan senyum mengejek. "Jerangkong
lumpuh, syair mu sungguh pilu menyedihkan.
Tapi di telingaku kedengarannya seperti suara
kere di pasar. Sayang aku tidak punya emas atau
uang kepengan. Jadi syair mu hanya bisa ku-
bayar dengan kentut ku, apakah kau mau" Ha ha
ha." kata Si Tangan Sial diiringi tawa bergelak.
Kakek jerangkong mendengar ucapan Si Tangan
Sial jadi sangat tersinggung. Baru saja dia mem-
buka mulut hendak mendamprat, Si Tangan Sial
meneruskan ucapannya. "Saat itu aku telah kau
buat tidak berdaya. Jika kau punya rencana ka-
takan apa keinginanmu. Semuanya akan kuden-
gar, setelah itu apapun rencanamu kelak semua-
nya kuanggap sebagai angin, sebagai kentut. Ha
ha ha." Sepasang mata si jerangkong yang seolah tenggelam ke dalam rongga
bergerak-gerak, ada
benci dan geram terlihat disana. Sejauh itu dia tetap berlaku tenang.
"Apa yang kau katakan aku tak perduli.
Satu tugas yang harus kau kerjakan kau mesti
pergi ke kuil Setan!" tegas si jerangkong.
Si Tangan Sial jadi melengak kaget.
"Jerangkong keparat itu apa maunya aku
disuruh pergi ke Kuil Setan?" Rutuk Si Tangan Sial. Wajahnya nampak berubah
pucat, namun dia tetap berlaku tenang.
"Aku tahu kau mengenal seluk-beluk dae-
rah itu Tangan Sial. Kulihat wajahmu menunjuk-
kan rasa kaget, mulutmu boleh terkunci tapi ma-
tamu tak bisa menipuku." Begawan Panji Kwalat berkata disertai senyum. "Mungkin


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga kau mengenal nama sebuah senjata hebat Bintang
Penebar Petaka. Senjata dahsyat itu konon berada
di tangan salah seorang penghuni kuil, disembu-
nyikan di suatu tempat yang hanya diketahui oleh
para penghuni kuil." jelas si jerangkong.
Dalam kagetnya Si Tangan Sial tak mampu
keluarkan suara, apalagi bicara. Baginya Kuil Se-
tan bukan sebuah tempat asing. Dulu dia pernah
menetap di daerah ini, punya seorang sahabat
penghuni kuil, namun tak pernah mampu mene-
robos bagian dalam kuil itu. Selain kuil ini diselimuti kabut aneh, setiap dia
hendak masuk ke da-
lam kuil tubuhnya seperti dilemparkan, seakan
ada satu kekuatan yang tak terlihat yang men-
campakkannya. Apa yang terjadi padanya waktu
itu masih belum seberapa. Malah beberapa tahun
yang lalu banyak tokoh golongan hitam maupun
putih tewas di tempat itu. Sekarang bagaimana
mungkin dia menuruti perintah Begawan Panji
Kwalat, apalagi jika disuruh mengambil Bintang
Penebar Petaka.
"Begawan Panji Kwalat, seperti yang telah
kukatakan, kau jangan bermimpi aku mau men-
gerjakan perintahmu. Bagiku lebih baik mati da-
ripada harus pergi ke Kuil Setan." Si Tangan Sial menjawab disertai senyum
mencibir. Sepasang mata angker si jerangkong yang
memerah si bagian lingkaran tepinya membelalak
lebar. Dia lalu berteriak. "Kematian yang kau minta tak akan kuberikan, malah
kau akan ku siksa
yang nantinya akan membuatmu menderita seu-
mur hidup. Pertama sekali aku akan mengambil
kedua telingamu. Bukan melalui ucapanku yang
manjur karena itu kuanggap terlalu enak bagimu.
Telingamu akan ku potong, ku sayat kecil-kecil."
Si jerangkong kemudian julurkan tangan sambil
buntalan yang tergeletak di dalam lubang tidur-
nya. Dari buntalan itu dia mengeluarkan sebilah
golok buntung tumpul karatan, mirip golok yang
terendam di air asin. Melihat karatnya mata golok
Si Tangan Sial jadi miris sendiri. Setelah memperlihatkan golok si kakek
melanjutkan. "Jika daun telingamu sudah ku cacah, baru kemudian ku potong pula
bukit hidungmu. Selesai hidung baru
kucungkil kedua mata setelah itu bibir dan kulit tubuhmu baru ku kelupas, lalu
kedua tangan. Puas aku mendengar suara jeritan mu baru ku
potong lidahmu. Ha ha ha."
Mendengar ucapan Begawan Panji Kwalat,
Si Tangan Sial merasakan dadanya laksana mau
meledak dibuncah amarah. Kedua pelipis berge-
rak-gerak sedangkan mata mencorong tajam.
"Begawan terkutuk! Daripada kau perlaku-
kan aku seperti itu lebih baik kau bunuh saja
aku." kata Si Tangan Sial lantang.
Begawan Panji Kwalat gelengkan kepala
disertai senyum.
"Aku tidak punya niat membunuh, nilai ji-
wamu terlalu mahal bagiku. Terkecuali nanti sete-
lah kau dapat menyelesaikan tugas-tugasmu. Ha
ha ha." "Kau jangan banyak berharap. Kau siksa sekalipun sampai mati aku tak
sudi menjalankan
perintahmu!" tegas Si Tangan Sial. Dalam keadaan seperti itu dia berharap ada
yang datang menolong, dia bahkan tak lupa berdoa meminta
pada Tuhan. Beberapa saat berlalu, tak ada per-
tolongan tak ada pula keajaiban. Dia coba meng-
gerakkan lengannya yang terikat. Sakitnya luar
biasa. Malah rasa sakit makin menghebat tembus
hingga kesumsum tulang. Si Tangan Sial meringis
kesakitan. Sebaliknya Begawan Panji Kwalat ma-
lah tertawa tergelak-gelak.
"Sekarang kau boleh bicara apa saja. Ingin
kulihat sampai dimana ketabahan mu." kata si jerangkong Begawan Panji Kwalat
sambil mengu- lum senyum. Kemudian golok buntung karatan
ditimangnya, lalu hulunya digenggam erat. Selan-
jutnya kakek itu meniup senjatanya sebanyak tiga
kali. Pulang balik dari bagian ujung golok sampai ke hulu. Begitu ditiup golok
yang tadinya berwarna kecoklatan kini berubah merah laksana baru
habis dibakar. "Wahai golok, senjata boleh mencuri di
tempat tukang terasi. Kau sudah mendengar apa
yang kukatakan tadi. Sekarang kau kerjakan pe-
rintahku. Potong bagian anggota tubuh manusia
penuh kesialan itu. Lakukan perintahku, jangan
berhenti sebelum mendapat aba-aba dariku!" Si jerangkong berkata ditujukan pada
golok. Sesuatu yang mengejutkanpun terjadi.
Seakan memiliki nyawa golok yang telah berubah
merah membara itu melesat meninggalkan tangan
si jerangkong. Di udara golok berputar tiga kali
dengan gerakan menggunting disertai suara ber-
dengung menyakitkan telinga. Setelah itu ujung
golok menukik tajam ke bawah, bergerak mengi-
tari kepala Si Tangan Sial. Setelah itu mata golok yang tumpul dan panas luar
biasa menempel di
daun telinga kanan Si Tangan Sial. Mata golok
bergerak maju mundur seperti gergaji. Si Tangan
Sial menjerit kesakitan. Bukan karena akibat ma-
ta golok telah mengiris daun telinga. Jeritan si orang tua akibat begitu
panasnya badan golok itu, hingga membuat daun telinga Si Tangan Sial me-lepuh
hangus menghitam. Si orang tua meronta,
tapi gerakannya tertahan akibat sakit yang men-
dera lengannya.
"Begawan bangsat. Jauhkan benda celaka
itu dari telingaku. Aku... aku...!" suara Si Tangan Sial terputus-putus.
"Tahan...!" Begawan Panji Kwalat berseru.
Bersamaan dengan itu pula gerakan golok jadi
terhenti. Si jerangkong sunggingkan senyum pe-
nuh kemenangan. Dia lalu membuka mulut. "Kau menyerah"! Sekarang katakan
kesanggupan mu untuk lakukan perintahku" katanya.
"Aku... hanya ingin mengatakan golok
tumpul jahanam itu lebih pantas untuk menggo-
rok lehermu sendiri. Ha ha ha!" dengus Si Tangan Sial disertai tawa tergelak-
gelak. Jawaban ini tentu saja membuat Begawan
Panji Kwalat jadi marah besar. Sekujur tubuhnya
bergetar, dua tangan dikepalkan sedangkan gi-
ginya yang hitam mengeluarkan suara bergemele-
tukan. "Golok karatan!" seru Begawan Panji Kwalat kalap. "Tangguhkan perintahku
pertama. Sekarang kau pukul dia, pukul tangannya yang ke-
ras!" Suara si jerangkong belum lagi lenyap, namun pada saat itu golok telah
melesat di udara la-lu berputar menghantam kepala, wajah juga ke-
dua tangan si orang tua. Dalam keadaan terluka
akibat terlilit benang Si Tangan Sial benar-benar mengalami penderitaan yang
sangat hebat. Pelipis
mengucurkan darah, dada serta bagian punggung
bengkak menggembung. Sedangkan bagian kepala
laksana mau meledak. Darah menetes dari sudut
bibir dan hidungnya. Si Tangan Sial merintih, na-
fas megap-megap dan orang tua ini akhirnya tak
sadarkan diri. Entah berapa lama orang tua ini dalam
keadaan seperti itu, ketika dia siuman dia men-
dapati dirinya tidak lagi dalam keadaan terpen-
dam. Saat itu dia terbaring di depan si kakek je-
rangkong. Sedangkan ikatan benang sudah dile-
pas. Walau sakit sudah agak berkurang namun
kedua tangannya masih terasa nyeri
Tangan Sial kerjabkan matanya. Di langit
saat itu bulan telah bergeser ke sebelah barat. Si Tangan Sial mengeluh. Dia
melirik ke samping
dimana si jerangkong lumpuh duduk di atas tum-
pukan kapur. Ingat dengan penipuan serta perla-
kuan yang terjadi atas dirinya mendadak sekujur
tubuh Si Tangan Sial jadi menegang.
"Kupret jahanam ini harus kubunuh!"
menggeram si orang tua dalam hati. Tanpa fikir
panjang dia hantamkan tangan kanannya yang
sakti ke dada Begawan Panji Kwalat. Apa yang
terjadi kemudian membuat Si Tangan Sial jadi
terkejut sendiri. Dia ternyata tak mampu mengge-
rakkan tangannya. Jangankan untuk memukul
remuk dada lawannya, sedangkan untuk men-
gangkat sekalipun sulit bukan main. Seolah tan-
gan itu telah berubah berat menjadi ratusan kati.
Begawan Panji Kwalat yang memiliki ber-
bagai macam kesaktian aneh itu kembali tertawa
lebar. Senyum mengejek yang mentertawai keti-
dak berdayaannya. Rasanya seumur hidup baru
kali ini Si Tangan Sial merasa dipermainkan
orang. Diapun merutuk habis-habisan.
"Apa yang bisa kau perbuat Tangan Sial"
Kau mau membunuhku" Selama kau berada da-
lam kekuasaanku tak satupun yang dapat kau
lakukan untuk menyelamatkan dirimu sendiri."
berkata begitu si jerangkong keluarkan tiga ba-
tang jarum berpentol besar pada salah satu
ujungnya. Jarum berwarna hitam itu kemudian
diletakkan di bagian telapak tangan.
"Makhluk celaka ini hendak berbuat apa
lagi padaku?" gumam Si Tangan Sial dalam hati.
Di bawah sinar bulan yang mulai meredup dia te-
rus perhatikan gerak-gerik orang itu.
"Tiga benda ini akan memaksamu berbuat
apa saja sesuai dengan kehendakku. Kau harus
mengambil senjata itu di Kuil Setan. Bunuh siapa
saja yang kau temui disana." tegas Begawan Panji Kwalat. Dia lalu melanjutkan
ucapannya lagi. "Sa-tu tugas lagi yang harus kau kerjakan, kau mesti
membunuh kawanmu yang bernama Gento
Guyon. Ingat, Gento harus kau bunuh dengan
tangan saktimu!" tegas Begawan Panji Kwalat.
Kejut Si Tangan Sial bukan alang kepalang
mendengar ucapan si jerangkong. Anehnya dia
kemudian malah tertawa terbahak-bahak. Kening
sang Begawan berkernyit, belum lagi rasa heran
si jerangkong lenyap dengan tegas Si Tangan Sial
berkata. "Rencanamu edan amat jerangkong sinting. Dari pada aku membunuh Gento,
lebih baik membunuhmu. Daripada aku melenyapkan nya-
wa pemuda konyol temanku itu lebih baik aku
melenyapkanmu seribu kali. Kau sudah tua,
otakmu jahat, kakimu lumpuh. Daripada menjadi
penyakit bagi orang lain, bukankah lebih baik
membunuh diri saja" Ha ha ha."
Begawan Panji Kwalat merasa geram bukan
main. Sambil menahan geram pula dia berteriak.
"Berani membangkang perintahku berarti kau
mencari penyakit. Sudah menjadi suratan nasib-
mu, sepanjang hidup kau selalu ditimpa kesialan.
Kau berada dalam genggamanku, kau berada di
bawah perintahku. Jawabanmu kutolak, niatku
tetap harus terlaksana!" Begitu usai bicara Begawan ini melapalkan mantra-
mantra, mulutnya
komat-kamit perdengarkan suara racau tak jelas.
Setelah itu dia baru meniup tiga buah jarum di
telapak tangannya. Jarum lenyap dari tangan
sang Begawan. Si Tangan Sial belalakkan mata
begitu dia mendengar suara desing halus di de-
katnya. Bersamaan dengan itu pula si jerangkong
keluarkan ucapan.
"Berdiri!"
Seketika Si Tangan Sial bangkit berdiri.
Tapi kemudian dia menjerit ketika merasakan tiga
buah benda halus menembus bagian belakang
leher dan kedua bahunya kiri kanan. Beberapa
saat kemudian hawa dingin langsung menyerang
si orang tua jadi kelabakan. Hawa dingin terus
menjalar kebagian otak, merasuk ke dalam sel-sel
otak hingga membuat keadaan Si Tangan Sial jadi
setengah sadar.
"Sekarang kau pergilah! Laksanakan tu-
gasmu. Jangan pernah kembali sebelum kau ber-
hasil menyelesaikan semua tugas yang kuberikan
padamu!" tegas Begawan Panji Kwalat.
Tancapan tiga buah jarum yang diberi na-
ma Jarum Penggendam Roh membuat Si Tangan Sial tak mampu lagi menggunakan otak
dan fiki-rannya. Tanpa bicara apa-apa dia langsung balik-
kan badan. Setelah itu berjalan meninggalkan
puncak bukit kapur
Begawan Panji Kwalat pandangi kepergian
Si Tangan Sial sambil tersenyum penuh arti.
2 Si gondrong bertelanjang dada Gento
Guyon murid si gendut besar Gentong Ketawa
sambil berlari memanggul sosok nenek tua bebe-
rapa kali menyempatkan diri untuk melihat ke be-
lakang. Dewa Angin Guntur dan murid-muridnya
ternyata tidak mengejar sebagaimana yang dia
sangkakan. Di satu tempat setelah melewati ti-
kungan jalan di bawah sebatang pohon berdaun
rindang dia hentikan larinya. Gento lalu kitarkan
pandang mencari tempat yang aman. Ketika dia
melihat sebuah gua kecil yang terletak tak jauh di sebelah kiri pohon diapun
melangkah menghampiri. Sampai di mulut gua yang ternyata tidak
seberapa lebar Gento turunkan si nenek dari ba-
hunya. Setelah itu dia melangkah lagi ke depan,
julurkan kepala ke dalam mulut gua sambil men-


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gendus-endus. "Gua ini baunya sungguh tidak nyaman.
Mungkin ini tempat tinggal kampret. Tidak men-
gapa. Nenek itu walaupun manusia seperti aku
tubuhnya sejak tadi juga menebar bau kampret."
Gento mengomel dalam hati. Dia berpaling, me-
mandang ke arah, Gento melihat betapa wajah si
nenek nampak lebih tua dari usia yang sebenar-
nya. Bahkan tatap matanya yang letih banyak
menyimpan beban penderitaan hidup.
"Nek...!" Gento menegur. Si nenek diam tak menjawab, matanya menerawang kosong
seolah telah kehilangan semangat hidup. Gento heran,
tapi juga tersenyum. Setelah itu baru mengusap
wajahnya tiga kali. Dia mendekati si nenek, jari
tangan digoyang pulang balik di depan mata si
nenek. Perempuan tua yang bernama Selasih
Jingga inipun tetap diam tak bergeming. "Nek di dalam gua gelap sekali. Baunya
pesing lagi, jika
kau tidak keberatan daripada bengong begitu ma-
sih bagus tiduran di dalam sana." celetuk Gento lagi. Seakan baru terjaga dari
tidurnya nenek Selasih Jingga kedip-kedipkan kedua matanya.
Beberapa saat dia diam terhenyak seperti orang
bingung. Kemudian air matanya berderai, tangis-
nya terguguk seperti anak kecil. Melihat ini Gento jadi melongo, bingung lalu
usap-usap batang hidungnya.
"Aneh nenek ini. Rasanya tak ada yang ke-
liru dalam ucapanku, mengapa dia jadi menangis
begini?" kata Gento. Dia terdiam, otaknya berfikir barangkali si nenek menangis
karena memikirkan
rumahnya yang ludes terbakar. Merasa iba Gento.
berkata menghibur. "Nek, saat ini jangan lagi kau tangisi rumahmu yang menjadi
abu. Seribu rumah apalagi pondok buruk seperti itu dapat kau
buat bahkan aku kalau diperlukan bersedia
membantu. Kau harus bersyukur pada Gusti Al-
lah karena telah memanjangkan umurmu. Jika
nafas panjang, umur panjang segala sesuatunya
bisa dipikirkan kemudian nek, seribu rencana
bahkan dapat dibuat. Sudahlah jangan menangis.
Atau kau lapar nek" Aku bisa mengambilkan
jambu untukmu"
Bukannya terhenti, tangis si nenek malah
semakin menjadi. Gento jadi serba salah. Karena
tidak tahu harus berbuat apa, maka Gento ikutan
menangis. "Entah mengapa aku jadi ikut sedih.
Hu hu hu hu, sebenarnya apa yang menyusahkan
hatimu. Kalau kau mau berbagi kesusahan aku
mau menerima biar aku jadi ikut susah." kata Gento Entah mengapa si nenek
mendadak jadi hentikan tangisnya. Kini Gento jadi asyik menan-
gis sendiri. "Pemuda gondrong apa yang kau lakukan?"
Sambil menyeka air matanya untuk pertama kali
si nenek membuka mulut ajukan pertanyaan.
Gento jadi kaget, serentak dia memandang
ke arah si nenek sambil kedip-kedipkan matanya.
"Kau telah berjasa besar selamatkan se-
lembar nyawa tua bangka tidak berguna ini. Aku
berterima kasih atas budi pertolonganmu. Tapi
rasa terima kasihku pasti bertambah besar jika
kau membiarkan aku mati dicincang oleh murid-
murid Dewa Angin Guntur." kata si nenek seakan menyesali tindakan pertolongan
yang dilakukan oleh Gento. Murid Gentong Ketawa tentu saja jadi kaget
dan tidak menyangka si nenek akan bicara seperti
itu. Banyak orang berdosa di dunia ini yang ma-
sih inginkan umur panjang saat dirinya berada
dalam ancaman bahaya besar. Tapi sebaliknya
nenek berpakaian hitam ini malah memilih mati.
Sungguh Gento jadi geleng-geleng kepala sendiri.
"Nek... mengapa kau bicara seperti itu" Apa
yang membuatmu merasa putus asa?" tanya Gen-
to. Si nenek tarik nafas panjang. "Percuma
aku hidup jika buah hatiku sudah dibunuh
orang. Sebagai seorang ibu yang melahirkannya
hatiku sangat menderita perasaanku jadi tergun-
cang." berkata si nenek dengan suara tersendat pilu.
Ucapan nenek Selasih Jingga membuat
Gento jadi terdiam. Dia jadi ingat sebelum meno-
long nenek itu dia melihat Dewa Angin Guntur
dan murid-muridnya dengan dibantu puluhan
penduduk dusun mengeroyok seorang pemuda
berpakaian putih. Waktu itu dia hendak meno-
long, tapi dia menganggap pertolongannya tidak
akan berguna mengingat pemuda itu dihujani
berbagai senjata secara bertubi-tubi. Gento baru
mengambil tindakan ketika si nenek yang sudah
dalam keadaan tertotok ini hendak dicincang oleh
murid-murid Dewa Angin Guntur.
Sekarang Gento baru mengerti kiranya pe-
muda itu adalah putra si nenek. Tentu sekarang
dia jadi maklum jika perempuan tua ini merasa
hidupnya sudah tidak berguna lagi. Tapi Gento
berfikir semua itu tidak akan terjadi jika tidak
ada silang sengketa sebelumnya.
"Nek, ketua perguruan gunung Keramat
dan muridnya tidak mungkin berlaku keji pada
puteramu, jika tidak ada persoalan yang amat be-
sar. Konon turut yang aku dengar Dewa Angin
Guntur adalah manusia yang bijaksana. Barang-
kali putra mu pernah melakukan sesuatu hingga
membuat orang itu jadi sangat membencinya?"
"Kau benar," ujar si nenek. Kali ini dia sudah tidak lagi menangis. Setelah diam
sejenak dia lalu melanjutkan. "Belum lama ini putri tunggal Dewa Angin Guntur
dibunuh orang. Sebelum dibunuh dia diperlakukan secara keji. Putraku
Bayu Gendala dituduh sebagai pelakunya karena
disamping mayat ditemukan dua bukti. Sebilah
pedang menancap di dada Lara Murti, selain itu
tak jauh dari korban ditemukan sebuah topeng
kayu." Menerangkan si nenek dengan mata menerawang entah kemana.
"Apa hubungan pedang serta topeng den-
gan anakmu nek?"
"Justru karena pedang dan topeng itu ada-
lah milik anakku, aku tak tahu bagaimana kedua
benda itu bisa berada di tangan si pembunuh."
ujar si nenek bingung.
"Kau yakin bukan anakmu yang membu-
nuh gadis itu?"
"Aku sangat yakin sekali. Aku tahu Bayu
jatuh cinta pada Lara Murti. Dia memang pernah
mengatakan akan menempuh segala macam cara
untuk mendapatkan gadis itu. Tapi aku percaya
dia tak akan sanggup melakukan hal itu karena
aku tahu kesaktian serta ilmu silat jauh lebih
rendah dibandingkan kesaktian yang dimiliki oleh
Lara Murti. Gadis itu mempunyai tingkat kesak-
tian tiga tingkat di atas Bayu Gendala. Tak
mungkin dia bisa menculik Lara Murti apalagi
membuatnya celaka sampai dua kali." ujar si nenek dengan mata berkaca-kaca.
Gento berfikir jika benar apa yang dikata-
kan oleh si nenek, jelas yang membunuh Lara
Murti bukan Bayu Gendala. Tapi mungkin seseo-
rang yang menyimpan dendam kesumat pada
Bayu Gendala atau boleh jadi pada gadis itu pula.
Gento jadi ingat pada kejadian di kebun bunga
beberapa hari yang lalu. Ketika itu seorang pe-
muda bertopeng menunggang kuda putih menye-
rang Lambang Pambudi. Serangan pemuda berto-
peng tidak begitu ganas, jurus-jurus pedangnya
juga terkesan kaku. Mendapat serangan seperti
itu saja Lambang Pambudi terkesan seperti tidak
berdaya. Dia yang konon tidak pandai ilmu silat
nyaris tewas ditembus pedang jika Gento dan Si
Tangan Sial tidak cepat menolong.
Ingat akan semua kejadian itu Gento pun
ajukan pertanyaan. "Nek, apakah anakmu sering memakai topeng dan menunggang kuda
putih?" Pertanyaan ini membuat si nenek ber-
jingkrak kaget dan surut dua langkah. Namun ge-
rakannya jadi tertahan karena pengaruh totokan
kiranya masih menguasai dirinya. Lama si nenek
menatap Gento dengan tatapan curiga juga ber-
campur heran. Akhirnya diapun anggukkan kepa-
la. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku pernah bertemu dengannya beberapa
hari yang lalu." Selanjutnya Gento menceritakan segala sesuatunya yang terjadi
di kebun bunga.
Wajah si nenek mendadak berubah muram. "Jadi kau percaya anakku telah membunuh
Lara Murti?" tanya si nenek putus asa.
Gento menarik nafas, dongakkan kepala ke
langit lalu tertawa tergelak-gelak. "Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan
nek. Di dunia ini
segala kemungkinan bisa saja terjadi. Anakmu
mungkin termakan fitnah orang, bisa jadi anak-
mu memang seorang pembunuh. Jika benar se-
perti katamu gadis itu memiliki kesaktian tinggi.
Setelah aku melihat jurus pedang anakmu aku ti-
dak bisa percaya anakmu yang melakukan pem-
bunuhan itu. Atau mungkin kau punya musuh
lain nek. Coba ingat. Aku percaya sekarang kau
adalah orang baik. Tapi siapa tahu dulu-dulu"!"
kata Gento mendapat pertanyaan seperti itu si
nenek nampak sedih, wajahnya semakin muram
membayangkan rasa putus asa. Ingin rasanya dia
mati saat itu juga, beruntung tubuhnya dalam
keadaan tertotok, jika tidak mungkin dia telah
menghantam remuk batok kepalanya sendiri sak-
ing tak sanggup menahan beban batin yang
mengguncang perasaannya.
"Nek, jika kau tak berkenan mengatakan-
nya lebih baik tak usah jawab pertanyaan tololku.
Aku tidak hendak memaksa, namun jika kau mau
rasanya berterus terang akan lebih baik karena
itu dapat mengurangi beban penderitaanmu. Se-
lain itu dengan berterus-terang mungkin aku da-
pat membantumu dalam menyelesaikan persoalan
ini." kata Gento bernada membujuk. Si nenek
manggut-manggut, namun pada akhirnya dia
mengakui. "Terus-terang dulunya aku memang bukan orang baik. Di waktu muda aku
membuat kekacauan dimana-mana. dengan Ilmu Jari Pe-
rontok Nyawa aku malang melintang menebar ke-
jahatan. Aku bahkan tak segan menjatuhkan tan-
gan jahat pada siapa saja yang berani menentang
kehendakku. Kejahatan yang pernah kulakukan
sedalam lautan selangit tembus. Setelah anakku
terlahir dan suamiku tewas di tangan seseorang
barulah aku menyadari semua perbuatanku itu.
Aku sadar, insyaf dan timbul keinginan untuk
membesarkan anak. Aku mengasingkan diri. Se-
jak kecil Bayu Gendala ku didik menjadi manusia
baik-baik yang kelak kuharapkan dia dapat men-
jadi seorang pendekar penegak keadilan, meno-
long kaum yang lemah lagi tertindas dari tangan
penguasa yang sewenang-wenang. Karenanya aku
tak pernah menurunkan ilmuku yang sangat ber-
bahaya kepada Bayu terkecuali hanya jurus-jurus
pedang sekedar untuk menjaga diri. Kenyataan
yang terjadi dan apa yang kulihat dari anakku
sungguh membuat aku merasa segan untuk hi-
dup lebih lama." sesal si nenek dengan mata berkaca-kaca.
Pengakuan tulus dari seorang ibu yang
sangat menderita tekanan batin hebat ini sung-
guh membuat hati Gento jadi tergugah dan jadi
merasa iba. Sekarang dia bisa mengerti mengapa
Dewa Angin Guntur seolah tak bisa menerima
pengakuannya yang jujur. Kiranya dulunya dia
seorang perempuan berhati jahat.
"Nek, setiap manusia pasti, pernah mela-
kukan kesalahan. Hidup ini bukan. untuk disesali
atau sekedar untuk mengenang masa lalu yang
suram. Aku yakin jika kau sudah bertobat Tuhan
pasti memaafkan dosa-dosamu. Dosa apa saja
terkecuali syirik. Yang terpenting kau tidak men-
gulang lagi melakukan dosa yang sama. Jika itu
kau lakukan berarti sama halnya dengan menge-
jek Tuhan! Ha ha ha." kata Gento diiringi tawa.
Si nenek manggut lagi, dalam hati merasa
kagum mendengar ucapan Gento.
"Tak kusangka dibalik tampangmu yang
sinting ternyata kau mempunyai pandangan yang
luas. Tapi tolong kau bebaskan totokan ini dulu."
Mendengar ucapan si nenek murid si gendut be-
sar Gentong Ketawa jadi melongo.
Gento menepuk keningnya. "Astaga, Nek!
Aku sungguh tak mengira kau masih dalam kea-
daan tertotok." desis Gento. Dia lalu melangkah lebih mendekat lagi. "Di bagian
tubuhmu yang mana kena ditotok Dewa Angin Guntur?"
"Punggung kiri dan leher sebelah kanan."
menerangkan si nenek.
Gento mengitari nenek itu, lalu berhenti se-
telah berada di bagian punggung si orang tua. Se-
telah dapat menemukan bagian yang kena toto-
kan, maka tanpa pikir panjang dia gerakkan ja-
rinya. Desss! Dua jari berkelebat menghantam bagian


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

punggung dan leher sebelah kanan. Sesaat sete-
lah itu si nenek sudah dapat menggerakkan ke-
dua tangan bahkan seluruh tubuhnya. Si nenek
saking gembira berjingkrak-jingkrak seperti orang menari. Gento jadi tertawa
melihat kegembiraan
si nenek. Sadar dirinya ditertawakan orang dan
sadar pemuda itu telah menolongnya, si nenek ja-
tuhkan diri berlutut di depan Gento.
"Nek, rupanya dulu kau seorang penari he-
bat. Sekujur tubuhmu tadi kulihat terus bergerak
tak mau diam. Tapi... eeh... nek apa yang kau la-
kukan ini" Mengapa kau berlutut di hadapanku?"
sergah Gento sempat surut mundur ke belakang
dengan mata terbelalak mulut ternganga.
"Aku merasa terharu, aku merasa berteri-
ma kasih kau mau menolong tua bangka rongso-
kan ini. Aku merasa bersyukur karena kau mau
mempercayai ucapanku, selain itu kau yang begi-
ni muda telah banyak memberi ku pandangan
yang baik. Hingga aku tak mengambil jalan pin-
tas, mencari mati secara menyesatkan." ujar si nenek dengan suara serak terharu
dan nafas kembang kempis.
Gento geleng kepala lalu tertawa pelan.
"Nek... nek. Jadi orang jangan berlebih-
lebihan. Kalau mau bersyukurlah pada Gusti Al-
lah. Aku ini bukan manusia yang selalu berjalan
di atas garis yang lurus. Kebetulan saja aku ber-
temu denganmu dalam keadaan otak lagi lem-
pang. Coba kalau otakku lagi angot, ucapanku bi-
sa ngawur dan bisa membuatmu kalang kabut
bahkan mungkin mati lebih cepat. Ha ha ha." ka-ta pemuda itu seenaknya sambil
tergelak-gelak.
Mendengar ucapan Gento, si nenek yang sedang
mengalami guncangan batin itu mau tak mau jadi
ikut tertawa. "Aku suka melihat gaya mu bicara. Sejak
semula aku memang sudah menduga otakmu ti-
dak beres dan ada sedikit kelainan. Hik hik Hik."
kata si nenek menimpali.
"Terkadang malah lebih parah nek." celetuk Gento lagi-lagi dia mengumbar
tawanya. Si nenek manggut-manggut. "Kau sekarang
hendak kemana?" tanya orang tua itu sambil menatap lawan bicaranya.
Tanpa fikir panjang Gento menjawab. "Aku
akan menyelidik, siapa sebenarnya yang telah
membunuh putri Dewa Angin Guntur. Jika pem-
bunuh itu tak kutemukan, maaf ada kemungki-
nan anakmu adalah pembunuhnya."
Nenek Selasih Jingga tarik nafas pendek.
"Baiklah apapun yang terjadi nanti akan kuterima. Yang penting persoalan ini
harus dijernihkan
dulu." kata si nenek.
"Kau sendiri hendak kemana nek" Apakah
ingin menyatroni perguruan Gunung Keramat?"
sindir Gento. Si nenek tersenyum tipis. "Aku sudah tua,
biarlah semuanya berlalu menjadi kenangan pahit
sekaligus pelajaran bagi orang yang mau mere-
nungkan kejadian ini. Sekarang aku mohon diri."
berkata begitu si nenek langsung berkelebat pergi tinggalkan Gento seorang diri.
Sebelum orang tua itu lenyap Gento masih
sempat berkata. "Nek, moga kau panjang umur.
Moga kau menemukan jodoh pengganti suamimu
yang hilang. Kelak jika kau jadi pengantin jangan lupa kau undang diriku. Aku
yakin bila dirias wajahmu jadi cantik kembali. Menjadi pengantin ko-
non merupakan sesuatu yang sangat berarti. Wa-
lau kau nantinya jadi pengantin kesiangan! Ha ha
ha." "Bocah sialan!" satu suara menyahuti lapat-lapat di kejauhan. Gento
tersenyum. "Dia sudah sangat tua, namun gerakannya
masih cepat. Wajah keriput kulit tangan dan kaki
putih dan masih mulus. Moga nenek itu cepat
dapat jodoh, agar di akhir hayatnya dia tak kese-
pian. Kasihan kalau malam dia cuma berselimut
angin. Ha ha ha." kata Gento sambil tertawa seperti orang linglung.
3 Dewa Angin Guntur memimpin murid-
muridnya kembali ke perguruan. Perasaan puas
menghias di wajahnya. Dia berfikir walaupun Se-
lasih Jingga telah diselamatkan oleh seorang pe-
muda tidak dikenal. Paling tidak dia telah berhasil membunuh Bayu Gendala yang
dia anggap telah
melakukan kekejian sekaligus membunuh Lara
Murti. Sambil terus membedal kuda Dewa Angin
Guntur kepalkan tinjunya. Dia merasa kesal dan
memendam marah pada si gondrong.
"Pemuda itu ilmunya sangat tinggi. Sayang
dia telah berlaku tolol dengan memberikan perto-
longan pada perempuan jahat. Kalau saja dia ta-
hu siapa adanya Jari Perontok Nyawa, pasti ne-
nek keparat itu akan dibunuhnya seribu kali." geram si orang tua. Dia diam
sejenak, sementara ra-
tusan muridnya mengikuti tak jauh di belakang.
Orang tua berambut putih berpakaian biru ini se-
lanjutnya berfikir, siapapun adanya pemuda itu
dia tidak perduli. Nanti setelah masa berkabung
berlalu dia bertekad untuk mencari Selasih Jing-
ga. Jika pemuda itu bersamanya dan tetap berada
dipihaknya, Dewa Angin Guntur telah bertekad
untuk membunuhnya pula.
Orang tua itu tersenyum, sementara mere-
ka sudah hampir memasuki Solotiga ketika tiba-
tiba saja kuda Dewa Angin Guntur meringkik ke-
ras. Kuda berhenti mendadak, sambil mengang-
kat kedua kaki depannya.
"Gendolo Putih ada apa?" seru Dewa Angin Guntur menyebut nama kuda yang menjadi
tunggangannya. Bicara begitu dia raih leher kuda
hingga tidak membuatnya terbanting.
Melihat kejadian itu muridnya segera
menghambur berlarian ke depan menghampiri.
"Guru ada apa?" tanya salah satu diantaranya. Ketua perguruan Gunung Keramat
tidak menjawab, dia memandang ke satu jurusan di-
mana dia melihat satu sosok berkelebat diantara
puncak pepohonan.
Merasa curiga tak menunggu lebih lama
Dewa Angin Guntur berkelebat mengejar. Sampai
di salah satu cabang pohon dia berhenti, matanya
jelalatan memandang ke setiap sudut. Senyum
tersungging di bibir kala dia melihat satu sosok
tubuh mendekam tak jauh darinya dalam posisi
memunggungi. Rupanya perhatian orang itu ter-
tuju pada murid-murid Dewa Angin Guntur.
"Orang yang mengintai perjalananku, siapa
dirimu ini adanya" Gerak-gerikmu mencurigakan.
Sebaliknya menghadaplah kehadapanku!" dengus Dewa Angin Guntur tegas.
Orang itu terkejut dan cepat memutar ba-
dan dan memandang langsung ke arah ketua per-
guruan Gunung Keramat. Dewa Angin Guntur
tercekat ketika melihat sosok yang mendekam itu
ternyata memakai topeng berpakaian putih pan-
jang menjela. "Tak mungkin. Sungguh tak dapat kuper-
caya!" desis Dewa Angin Guntur. Selagi perasaan orang tua ini diliputi rasa
kaget, sosok berpakaian putih bertopeng kayu itu hantamkan tangannya
ke arah Dewa Angin Guntur sambil berkelebat
pergi. Wuuus! Dua pukulan menderu menebarkan hawa
panas luar biasa. Seakan baru tersadar apa yang
terjadi si orang tua langsung melompat menghin-
dari pukulan. Di belakangnya terdengar suara le-
dakan berdentum, pohon rambas hangus terkena
pukulan. Dewa Angin Guntur berhasil selamatkan
diri. Tanpa fikir panjang dia langsung mengejar ke arah lenyapnya orang
bertopeng tadi.
"Bangsat jangan lari!" teriak Dewa Angin Guntur
Kejar mengejar terjadi, namun ternyata
orang yang dikejar lenyap. Dewa Angin Guntur
hentikan langkah sambil kepalkan kedua tin-
junya. Seakan tak percaya dia pandangi ke juru-
san lenyapnya orang tadi. Mulutnya mendesis.
"Rasanya tidak mungkin. Murid-muridku telah
membunuhnya. Tak mungkin dia bisa hidup lagi,
lalu siapa orang bertopeng tadi" Kulihat-topeng
yang dipakainya sama persis dengan topeng yang
sering dipakai Bayu Gendala. Mungkinkah...!"
Dewa Angin Guntur tak lanjutkan ucapan. Dia
raba pakaian di bagian perut, sepasang matanya
terbelalak. Topeng itu tak ada, dia mencoba men-
gingat-ingat. Sekarang dia baru sadar kalau to-
peng itu tertinggal di halaman rumah Selasih
Jingga, jatuh ketika dia berusaha menotok nenek
itu. "Aku tak percaya orang yang mati bisa hidup lagi. Terlebih-lebih tubuhnya
telah hancur seperti dicacah." Dewa Angin Guntur menggu-
mam sendiri. Masih merasa penasaran Dewa An-
gin Guntur lalu berbalik bergabung lagi dengan
muridnya. Akan tetapi belum jauh dia melangkah
pada waktu bersamaan berkelebat dua sosok
bayangan, angin menyambar di depan si orang
tua. Dewa Angin Guntur siap menghantam.
"Hei, tahan...!" satu suara berseru. Hanya sekejap di depan Dewa Angin Guntur
berdiri tegak seorang gadis cantik berpakaian putih dan
seorang kakek berbadan tinggi tambun berperut
gendut berpakaian hitam tak terkancing.
"Paman gendut dan kau... bagaimana bisa
muncul di tempat ini?" tanya Dewa Angin Guntur curiga. Si gendut besar Gentong
Ketawa serta gadis berbaju putih yang bernama Ambini terse-
nyum. Gentong Ketawa tertawa mengekeh. "Dewa Angin, aku sendiri menjadi heran
mengapa kau membawa murid begini banyak, seolah kalian
hendak menghadapi perang besar."
"Saya baru saja menyelesaikan urusan
penting." jawab Dewa Angin Guntur singkat.
"Urusan penting... urusan penting
hemm...!" Gentong Ketawa mengulang ucapannya.
"Urusan penting apa?"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi!" kata De-wa Angin Guntur.
Ambini melirik ke arah si kakek gendut.
Gentong Ketawa kedipkan matanya. Dia maju se-
langkah ke depan Dewa Angin Guntur. Lalu dia
menjawab. "Terus-terang kami sedang mengikuti seseorang, sayang kami kehilangan
jejak. Dia memakai sebuah topeng, gerak-geriknya mencuri-
gakan. Tak dinyana kami bertemu denganmu dis-
ini." kata si gendut.
Mendengar penjelasan Gentong Ketawa,
Dewa Angin Guntur langsung teringat pada orang
tadi, "Apakah orang itu memakai pakaian serba putih?" tanya Dewa Angin Guntur
dengan tatapan menyelidik.
Ambini dan si gendut jadi tercengang. "Ba-
gaimana kau bisa tahu, Dewa Angin" Apa kau ju-
ga bertemu dengan orang itu" Melihat tindak-
tanduknya aku jadi curiga bukan mustahil dia
orangnya yang telah membunuh cucu sahabatmu
itu." kata si gendut lagi.
Dewa Angin Guntur diam membisu. "Aneh
apakah aku telah keliru membunuh orang. Kura-
sa aku telah melakukan suatu tindakan tepat.
Bayu Gendala jelas merupakan pembunuh putri
ku. Tapi mengapa kini muncul orang bertopeng
lainnya" Apakah dia orang yang telah merenca-
nakan pembunuhan atas diri putri ku." gumam
Dewa Angin Guntur jadi bingung
"Apa maksud paman" Siapa, yang telah
paman bunuh?" tanya Ambini.
Wajah Dewa Angin Guntur berubah mu-
rung. Dia kemudian menarik napas panjang baru
berkata. "Beberapa hari yang lalu seseorang telah membunuh putri ku. Bukan hanya
itu saja, sebelum dibunuh dia memperlakukan Lara Murti se-
cara biadab. Rasanya sulit bagiku melupakan ke-
jadian mengenaskan itu. Hingga tanpa fikir pan-
jang aku bersama murid-muridku pergi menjum-
pai Bayu Gendala. Kemudian dia kubunuh. Ini
pun bukan tanpa alasan. Pertama dia sering
menggoda putri ku, beberapa hari sebelumnya
pemuda itu bahkan bermaksud membunuh Lam-
bang Pambudi. Hal yang kedua membuat aku
sangat yakin dia bertanggung jawab dalam keja-
dian ini karena muridku menemukan sebuah pe-
dang berikut topeng miliknya. Alasan-alasan ini
yang membuat aku yakin memang dia orangnya
yang bertanggung jawab atas segala kekejian itu."
jelas Dewa Angin Guntur
"Dewa Angin, ada beberapa hal yang ku ra-
sakan janggal. Kau sebagai orang berilmu tinggi, punya pandangan luas dan sangat
terpandang apakah tidak merasa terburu-buru dalam men-
gambil tindakan?" tanya si gendut disertai senyum Mendengar pertanyaan itu Dewa
Angin Guntur melengak kaget. Apa maksud pertanyaan
itu" "Aku tak mengerti dengan pertanyaanmu itu?" tanya Dewa Angin Guntur heran.
"Maksudku bukan apa-apa. Setelah meli-
hat kemunculan orang bertopeng tadi aku jadi cu-
riga tidak tertutup kemungkinan telah terjadi ke-
salahan dalam menjatuhkan tangan." kata si kakek Di depannya Dewa Angin Guntur
terdiam seolah sedang memikirkan apa yang baru saja di-
katakan oleh si gendut. Gentong Ketawa kemu-


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dian melanjutkan.
"Ketua perguruan Gunung Keramat menu-
rut penglihatanmu antara Bayu Gendala yang kau
bunuh dan anakmu Lara Murti apakah ilmu ke-
pandaian pemuda itu jauh lebih tinggi dibanding-
kan ilmu yang dimiliki anakmu?"
"Tentu saja anakku yang lebih tinggi. Bayu
Gendala hanya pemuda yang suka pamer dan
menyombongkan jurus-jurus pedangnya, padahal
ilmu kesaktian yang dia miliki jauh berada di ba-
wah anakku." jawab Dewa Angin Guntur tegas.
Si gendut Gentong Ketawa mendadak ter-
tawa lebar mendengar jawaban orang tua di de-
pannya. "Paman gendut adakah ucapanku yang
membuatmu merasa lucu?" tanya Dewa Angin
Guntur merasa tersinggung.
Si gendut hentikan tawanya sambil menye-
ka air mata yang bergulir di pipinya yang tembem.
"Ucapanmu tidak ada yang lucu, Dewa Angin. Ta-pi ada satu hal yang tak pernah
terpikirkan oleh-
mu, mungkin semua itu karena kau terlalu marah
dan gelap mata melihat kematian putri tunggal-
mu. Hanya untuk menjadi bahan pertimbangan-
mu apakah mungkin anakmu yang mempunyai
tingkat kepandaian tinggi dari Bayu Gendala da-
pat dicelakainya" Ha ha ha."
Bukan main kagetnya Dewa Angin Guntur
mendengar uraian yang disampaikan oleh Gen-
tong Ketawa. Bagaimana mungkin apa, yang dika-
takan si gendut. Tak pernah terfikirkan olehnya"
Menyadari ketololannya sendiri wajah Dewa Angin
Guntur berubah merah padam.
4 "Apa pun yang kau katakan, mungkin me-
mang ada benarnya paman. Saat itu aku tidak bi-
sa berfikir lain, karena di samping mayat anakku
ditemukan topeng kayu yang sering dipakai oleh
Bayu Gendala. Dari semua bukti yang ditemukan
ditambah beberapa kejadian sebelumnya apakah
aku tidak boleh mengambil keputusan sendiri?"
bertanya Dewa Angin Guntur setelah beberapa
saat lamanya berdiam diri.
Si kakek gendut manggut-manggut, dia
kembangkan jemari tangan, setelah itu si kakek
menggoyangkan tangannya pulang balik dengan
gerakan seperti orang mengipas. "Terlalu banyak kemungkinan yang tidak dapat
diduga. Misalnya
seperti orang bertopeng kayu berpakaian putih
yang kami kejar itu." kata si kakek. Dia lalu bicara ditujukan pada Dewa Angin
Guntur. "Dewa
Angin seperti apakah topeng yang dipakai oleh
pemuda yang kau bunuh?"
Mendapat pertanyaan seperti itu ketua
perguruan Gunung Keramat jadi bingung. Dia
sendiri sudah melihat orang yang dimaksudkan
kakek Gentong Ketawa. Walau tak sempat melihat
wajahnya, tapi topeng yang dipakai orang yang
mendekam diatas pohon baik buatannya, warna
kayu maupun rupanya sama persis dengan to-
peng yang selalu dipakai oleh putra Selasih Jing-
ga alias Jari Perontok Sukma.
Setelah berfikir, dengan mengesampingkan
perasaannya sendiri, dia menjawab. "Topeng yang dipakai Bayu Gendala terbuat
dari kayu, ringan
berwarna putih. Bentuknya lucu, bagian alis
mencuat ke atas, ada dua buah lubang di bagian
mata, bagian mulut membentuk senyum dan di
bagian hidung terdapat sebuah lubang."
"Yang paman terangkan adalah topeng
yang sama seperti yang dipakai orang berpakaian
putih itu," tukas Ambini.
"Dan orang yang kalian maksudkan baru
saja berlalu dari tempat ini!" ujar Dewa Angin Guntur akhirnya berterus-terang.
Ambini dan kakek gendut Gentong Ketawa
terperanjat dan sempat bersurut mundur.
"Tidak pernah saya sangka!" berkata Ambi-ni setelah dapat menenangkan
perasaannya sen-
diri. "Semuanya kini berubah menjadi teka-teki yang membingungkan." celetuk si
kakek gendut. Sementara itu beberapa murid Dewa Angin Gun-
tur telah bermunculan mengelilingi gurunya. Ru-
panya mereka khawatir terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan mengingat Dewa Angin Guntur yang
tadi mengejar sesuatu tidak kunjung muncul me-
nemui mereka. "Apa maksudmu paman gendut. Jika kau
terus-menerus membuatku bingung bisa jadi aku
jadi menaruh curiga kepadamu." kata orang tua itu jadi tidak sabar.
Mendengar ucapan orang, Gentong Ketawa
hanya tersenyum saja. "Dewa Angin curiga pada orang lain saja, tapi jika kau
berani menuduh jangan kira aku takut padamu." sahut si kakek pula membuat perasaan Ambini jadi
tidak enak. "Sekarang kau dengar baik-baik. Saat ini
setelah melihat orang bertopeng tadi, aku mena-
ruh duga mungkin ada orang yang mendendam
padamu." "Tidak mungkin, aku tidak punya musuh!"
bantah Dewa Angin Guntur cepat.
Masih dengan tersenyum si kakek kembali
berucap. "Musuh mungkin kau tidak punya Dewa Angin. Tapi dalam hidup tidak
tertutup kemungkinan orang memiliki rasa benci. Jika penjelasan-
ku ini tidak dapat kau terima. Mungkin ada se-
seorang yang memendam dendam pada Bayu
Gendala. Jika orang sudah kelewat benci pada se-
seorang, dia bisa melakukan apa saja untuk men-
celakakan orang yang sangat dibencinya terma-
suk juga mencuri topeng dan pedang milik Bayu
Gendala topeng itu kemudian dipergunakan oleh
orang itu, aku berani menjamin akibat dari semua
kejahatannya pasti akan ditanggung oleh orang
yang dibencinya."
Apa yang diterangkan oleh kakek gendut
ini cukup mengena di hati Dewa Angin Guntur.
Kalau memang bukan Bayu Gendala yang mem-
bunuh anaknya, lalu siapa" Bukan hanya itu sa-
ja, kematian murid Guru Lanang Pakekasan
hingga sampai saat ini juga belum diketahui siapa yang membunuhnya.
"Paman gendut, keteranganmu mungkin
bisa kuterima. Tapi terlalu rumit untuk ku cerna.
Seandainya Selasih Jingga waktu itu dapat ku-
tangkap dan tidak dilarikan oleh pemuda gon-
drong itu. Mungkin dari mulutnya bisa kukorek
keterangan ada berapa topeng yang dimiliki oleh
Bayu Gendala. Sayang pemuda urakan itu telah
membawanya pergi," geram si orang tua seakan menyesali
"Eh, Dewa Angin. Dapatkah kau terangkan
bagaimana ciri-ciri pemuda itu?" tanya si kakek gendut. Ambini sendiri walau
diam, tapi dia dapat menduga siapa adanya pemuda itu. "Pasti Gento!"
Ambini membatin. Ingat akan Gento Guyon, hati
dan perasaan Ambini tiba-tiba perasaan aneh. Di
matanya Gento walaupun terkesan urakan tapi
mempunyai daya tarik tersendiri bagi gadis ma-
napun. Bagi Ambini setelah bergaul sekian lama
dengan Gento telah menumbuhkan satu kesan
mendalam yang tidak mungkin dapat terlupakan.
Kini setelah mendengar penjelasan Dewa Angin
Guntur yang terkesan tidak suka, Ambini jadi
khawatir takut terjadi kesalahpahaman. Tapi, dia
tidak mungkin mencegah kakek gendut yang su-
dah terlanjur ajukan pertanyaan.
"Pemuda itu berbadan tinggi semampai,
badannya tegap, rambut, gondrong sebahu berte-
lanjang dada!" menerangkan Dewa Angin Guntur.
"Apakah dia memakai celana" Eeh, mak-
sudku apakah dia bercelana hitam?"
"Ya, dia bercelana hitam kumuh dekil?"
sembur ketua perguruan Gunung keramat den-
gan perasaan jengkel.
"Kalau celananya bulukan, bukan murid-
ku, mungkin pemuda itu pengemis dipasar Turi.
Sedangkan muridku...!"
"Kek...!" Ambini bermaksud mencegah ucapan si kakek gendut begitu melihat wajah
Dewa Angin Guntur berubah merah kelam. Si kakek
menoleh dan memandang pada Ambini dengan
perasaan heran. Justru pada saat itulah Dewa
Angin Guntur keluarkan satu bentakan mengge-
ledek. "Semua keteranganmu dapat kuterima,
kau telah membuka jalan fikiranku yang buntu,
gendut! Satu hal yang tidak bisa ku maafkan, jika bocah edan itu muridmu,
berarti kau harus me-nanggung dosa dari kesalahan yang telah dilaku-
kannya!" Mendengar ucapan ketua perguruan Gu-
nung Keramat yang membuat pengang telinganya
itu Gentong Ketawa sempat berjingkrak kaget
"Eeh, bagaimana tutur katamu yang san-
tun kini berubah seperti itu Dewa Angin. Apa kau
tidak takut pamanmu ini memasukkanmu ke da-
lam botol atau ke dalam perut. Ha ha ha! Dasar
orang tua songong gendeng!" kata si kakek dengan mulut berubah cemberut. Wajah
Dewa Angin Guntur berubah menegang, matanya merah ber-
kilat sedangkan sekujur tubuhnya berubah me-
negang. Melihat ini Ambini jadi khawatir, lalu dia berbisik pada si kakek
gendut. "Kek, sebaiknya kita menyingkir. Jangan cari penyakit dengan me-layani
orang gila ini."
Bukannya turuti saran Ambini, sebaliknya
kakek gendut dengan bobot lebih dari dua ratus
kati ini malah tertawa tergelak-gelak. "Kau hen-
dak berbuat apa Dewa Angin Guntur" Ingat Mer-
babu tidak jauh dari sini, kau berbuat kurang
ajar padaku, apalagi berani menyentuh perut
gendutku. Guruku Dewa Kincir Samudera pasti
akan memencetmu sampai mejret. Jika kau ma-
sih punya kewarasan dan bisa mempergunakan
fikiranmu sebaiknya kau pertimbangkan ucapan-
ku dengan baik!" ujar si kakek sambil terus umbar tawanya
Mendengar disebutnya Dewa Kincir Samu-
dera, tokoh sakti setengah manusia setengah de-
wa itu, maka kemarahan Dewa Angin Guntur to-
koh paling disegani di daerah utara jadi surut.
Dia sadar tokoh aneh yang lebih suka tinggal di
atas gelombang lautan itu memiliki ilmu yang ti-
dak tertandingi. Konon tokoh misterius ini bisa
berada dimana saja hanya dalam waktu sekedi-
pan mata. Jika benar Dewa Kincir Samudera ada-
lah gurunya Gentong Ketawa, berurusan dengan
manusia satu ini walau pun belum tentu kalah
tapi sama saja dengan mencari bencana.
"Paman gendut sialan!" dengus laki-laki itu sambil menahan kekesalannya.
"Mengingat dan
demi memandang nama besar Dewa Kincir Sa-
mudera, aku bisa memaafkan dirimu. Tapi den-
gan satu syarat, kau harus memerintahkan mu-
ridmu untuk menyerahkan Selasih Jingga pada-
ku. Kalau dia tidak mau kau dan muridku harus
bisa menangkap orang bertopeng itu atau paling
tidak mencari siapa yang telah membunuh anak-
ku dan juga cucu sahabatku!" tegas Dewa Angin
Guntur. "Walah, tugas si tua ini terasa semakin ber-
tambah berat saja. Tapi tidak mengapa karena
kau mau memaafkan muridku. Dan aku sebagai
gurunya tidak ikutan terbawa sengsara! Apa yang
kau minta akan ku penuhi, kau boleh menunggu
di rumah sambil uncang-uncang kaki. Ha ha ha!"
kata Gentong Ketawa. Dia kemudian berpaling ke
samping, lalu berkata ditujukan pada Ambini.
"Kekasihmu si bocah kampret itu punya masalah karena ketololannya. Kalau kau
sudah kau boleh
ikut denganku. Urusan gila ini harus aku, sele-
saikan secepatnya. Tapi kalau kau mau memilih
jalan sendiri aku tidak bisa melarang."
Gadis cantik berpakaian serba putih itu
terdiam dan berfikir. Dia lalu menjatuhkan pili-
hannya sendiri. "Kek sebaiknya aku pergi sendiri.
Mungkin dengan begitu kita dapat menemukan
pembunuh Lara Murti secepatnya." ujar Ambini.
"Ha ha ha. Semakin tua kiranya diriku se-
makin dijauhi oleh gadis-gadis cantik," si gendut mengendus badannya sendiri.
"Pantas tubuhku
bau asam. Ha ha ha." kata si kakek. Sambil tertawa dia memutar tubuh. Sebelum
kakek ini pergi
dia berkata ditujukan pada Ambini. "Kuharap kau bisa menjaga diri. Eeh, jika aku
bertemu dengan bocah edan itu apa yang harus kukatakan pa-
danya." "Katakan saja apa yang kakek mau!" sahut Ambini lalu berkelebat pergi.
"Kalau begitu akan kukatakan padanya
bahwa kau rindu dan ingin bertemu." kata si kakek. Sambil tertawa-tawa orang tua
ini berkelebat lenyap dari hadapan Dewa Angin Guntur.
Ketua perguruan Gunung Keramat geleng-
kan kepala. "Orang tua sinting, tapi mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
mengagumkan."
gumamnya. Dia lalu memberi isyarat pada murid-
muridnya untuk melanjutkan perjalanan.
5 Di satu tempat di bawah kerindangan po-


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hon sosok berpakaian putih memakai topeng
kayu ini rebahkan tubuhnya. Dia letakkan bunta-
lan putih berbau busuk yang selalu dibawanya
kemana saja dia pergi. Sejenak dia memandang
lurus ke pucuk pohon. Berbagai beban fikiran
berkecamuk di dalam benaknya. Dia menarik na-
fas, lalu menghembuskannya dalam-dalam.
"Pembunuh biadab itu jejaknya saja sulit
kutemukan. Aku telah mencari." keluh si orang bertopeng. Sejenak dia memandang
ke arah buntalan, sepasang mata dibalik topeng itu menda-
dak berkaca-kaca. Tanpa terasa air mata bergulir
lalu terdengar suara isak tangis tertahan.
"Cucuku maafkan kakekmu ini. Pembunuh
itu masih belum kutemukan. Aku sadar arwahmu
pasti tidak tenang di alam sana." kata si orang bertopeng yang bukan lain adalah
Guru Lanang Pamekasan seorang diri.
Dia lalu mengambil sikap duduk, buntalan
berisi potongan kepala cucunya yang telah mem-
busuk dipeluknya. Bau busuk menyengat sudah
tak dia hiraukan. Puas memeluki potongan kepala
sang cucu yang bernama Pattira Seta dia meman-
dang lurus ke depan. Di saat matanya menera-
wang kosong sedangkan fikiran dibalut duka dan
dendam. Pada saat itu sayup-sayup terdengar su-
ara orang seperti sedang bersenandung.
Si kakek tercengang. Dalam hati dia mem-
batin. "Aneh. Di tempat sesunyi ini bagaimana ada penyair gila kesasar dan
lantunkan senandung di malam gelap" Matahari baru saja tengge-
lam, mungkin yang kudengar adalah suara setan
penghuni lembah." katanya lagi. Dia tetap duduk diam di tempatnya, bersikap acuh
namun telinga tetap dipasang baik-baik.
Suara orang bersenandung semakin ber-
tambah jelas. Malam, Ku rindukan selalu kedatanganmu
Saat hati terbalut dendam
Luka dendam di hatiku diatas segala.
Kesunyian Ku sambut kehadiranmu dengan segala
amarah Karena luka di hatiku ini adalah luka yang
tak kunjung tersembuhkan.
Satu korban jatuh
Semua itu bukan batas penentuan.
Akan kubunuh semua orang yang ikut tersa-
lah Hingga segala dendam menjadi impas!
Di tempat duduknya Guru Lanang Pame-
kasan jadi tercekat. Tengkuknya bukan rasa
tengkuk lagi, tapi telah berubah dingin laksana
gundukan es. Siapapun orangnya yang mengu-
capkan kata-kata seperti itu jelas dia menyimpan
dendam kesumat pada seseorang. Begitu terlintas
sesuatu dalam benaknya si kakek bangkit berdiri.
"Kurasa lebih baik aku menyelidik. Men-
dengar suaranya aku yakin dia berada di sekitar
sini." Dengan cepat orang tua memakai topeng penutup wajah ini bangkit berdiri.
Sambil menen-teng bungkusan berisi kepala cucunya orang tua
ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
Tak berselang lama dia sampai di satu
lembah. Dalam gelapnya malam dia mendekam di
balik gundukan lembah di sudut selatan lembah.
Mata dipentang, pendengaran dipasang baik-baik.
Sunyi! Padahal tadi sumber suara jelas berasal
dari situ. "Aneh, aku yakin yang bersenandung tadi
manusia, bukan setan atau roh gentayangan
penghuni lembah."
Selagi matanya sibuk mencari-cari, mem-
perhatikan ke setiap pepohonan yang tumbuh
subur di sekitar lembah, pada saat itu Guru La-
nang Pamekasan dikejutkan oleh terdengarnya
suara tawa bergelak. Bukan hanya itu saja seba-
tang pohon dimana suara tawa terdengar tergun-
cang keras. "Manusia gila. Benar-benar tidak waras!" si kakek merutuk sambil memandang ke
atas ketinggian pohon dengan tatapan tak berkesip.
"Datangnya maut tak mengenal tempat dan
waktu, juga tak dapat ditunda atau dimajukan.
Malam ini akan ada jiwa melayang terbang ke ne-
raka. Dia datang padaku tanpa kuundang!" seru sosok di atas pohon. Dalam
gelapnya malam di
tengah kesunyian suara orang diatas pohon ba-
gaikan suara geledek yang menyambar telinga si
kakek Sosok hitam itu lakukan gerakan berputar
sebanyak tiga kali.
Wuuuttt! Sekejab tubuhnya lenyap dari pandangan
mata. Guru Lanang Pamekasan jadi tercekat me-
lihat sosok diatas pohon mendadak raib.
"Kuya, kemana perginya bangsat gila ta-
di"!" membatin si kakek. Sekali lagi dia memandang ke pohon. Sosok yang berada
di sana tetap tak terlihat. Orang tua itu berfikir sejenak, dia langsung menyadari ada sesuatu
yang tidak beres
bakal terjadi. Tanpa sadar si kakek meraba hulu
celurit besar yang tergantung di bagian pung-
gungnya. Perlahan si kakek bangkit berdiri, matanya
memandang ke setiap sudut kegelapan. Dalam
hati dia membatin. "Dia pergi, aku takut dia pasti
mengetahui kehadiranku."
Belum lagi Guru Lanang Pamekasan sem-
pat beranjak dari tempatnya. Dari balik batu be-
sar mendadak ada suara menegur.
"Kau mencariku orang tua"!"
"Heh...!" Dalam kejutnya si kakek cepat memutar tubuh balikkan badan. Tangan
kanan bergerak mencabut senjata. Ketika balikkan ba-
dan si kakek jadi terperangah melihat sosok ber-
pakaian hitam dan berbaju putih dibagian dalam
telah berdiri tegak disitu dengan bibir sungging-
kan senyum dingin menyeramkan. Yang lebih
mengejutkan lagi orang ini juga memakai topeng
sebagaimana dirinya sehingga diapun tak dapat
mengenali orang itu.
Guru Lanang Pamekasan adalah seorang
tokoh silat berkepandaian tinggi, memiliki ilmu
meringankan tubuh sangat sempurna dan ahli
pula dalam menggunakan celurit. Jika kehadiran
sosok yang wajahnya tertutup topeng sampai ti-
dak dia ketahui, semua itu merupakan suatu per-
tanda sosok yang berdiri di depannya itu memiliki kesaktian tinggi.
"Siapa kau"!" tanya Guru Lanang Pameka-
san dengan sikap waspada.
"Jawabannya tanyakan pada cucumu itu!"
Guru Lanang Pamekasan kembali tercekat,
mulut ternganga sedangkan dada bergemuruh
hebat. "Cucuku" Jadi kau bangsatnya yang telah membunuh cucuku?" tanya si kakek
dengan sua- ra keras bergetar.
Di depannya sosok hitam bertopeng me-
nyeringai dingin. "Aku tak menghendaki antara manusia dengan manusia melakukan
perjodohan. Jodoh hanya Tuhan yang boleh menentukan!" ka-ta sosok bertopeng kayu sinis.
"Apa urusannya denganmu?" hardik si ka-
kek sengit. "Pertanyaanmu baru terjawab setelah kau
berada di alam roh. Sekarang ini sudah tiba wak-
tunya bagimu untuk menyusul arwah cucumu"
kata sosok berpakaian hitam bertopeng. Sekejab
dengan kecepatan laksana kilat. Sosok itu berge-
rak menyambar ke arah guru Lanang Pamekasan,
dua tangan meluncur ke bagian wajah sedangkan
kaki menghantam ke bagian perut serta dada.
Dua serangan dahsyat yang dilakukan secara
bersamaan, bukan serangan sembarangan, apala-
gi disertai menebarnya angin dingin. Si kakek wa-
lau sempat terkesiap namun dengan cepat me-
nyambut serangan itu dengan babatan celurit dari
arah atas meluncur ke bawah.
Sinar putih berkiblat, hawa dingin luar bi-
asa memancar dari celurit. Mendapat sambutan
yang tak kalah hebatnya orang itu kembali berge-
rak dan tarik serangannya.
Wueeees! Tangkisan yang dilakukan kakek itu hanya
mengenai angin. Lawan raib bagaikan setan. Da-
lam kaget, tak menyangka lawan lolos dari serga-
pan senjatanya, kakek itu memutar tubuh sekali-
gus gerakkan senjata di tangannya. Yang celaka
dia tak melihat dimana posisi lawan. Sehingga se-
rangannya dilakukan secara serampangan. Di
saat dilanda rasa bingung seperti itu dia merasa
ada orang mencolek bahunya. Si kakek langsung
melompat ke samping sambil babatkan senjata ke
belakang. Wuuut! "Ha ha ha. Seranganmu ngawur seperti
orang mabuk. Kurasa kau mabuk karena bau bu-
suknya bangkai. Yang sangat disayangkan siapa
aku kau tak akan pernah mengetahuinya. Aku
tahu ilmumu sangat tinggi, disayangkan semua
itu tak banyak artinya di hadapanku. Sekarang
kau lihat kemari orang tua!" kata lawannya. Guru Lanang Pamekasan cepat
palingkan wajahnya,
memandang ke arah mana suara tadi terdengar.
Saat itu si kakek melihat satu kilatan ca-
haya pedang, cahaya angker yang kemudian ber-
kiblat ke arahnya dengan kecepatan laksana kilat.
Sadar dirinya dalam ancaman bahaya besar, tak
menunggu lagi Guru Lanang Pamekasan segera
melepaskan pukulan Gerhana Langit-langit ke
arah pedang, setelah itu dia melanjutkan seran-
gan dengan membabatkan celurit di tangannya.
Sinar hitam berkiblat disertai suara berge-
muruh keras, lalu terjadi suara ledakan berden-
tum. Orang yang diserang lenyap. Bukan hanya
pukulan si kakek saja yang tidak mengenai sasa-
ran, sebaliknya serangan senjatanya juga cuma
membabat angin,
"Aku di sini orang tua!" kembali terdengar suara di belakang si kakek. Dengan
penuh kemarahan karena merasa dipermainkan orang, si ka-
kek membalikkan badan. Saat itulah satu kilatan
cahaya putih menyambar lehernya. Si kakek ter-
kesiap, namun tak sempat selamatkan diri
Craas! Darah tersembur dari kepala si kakek yang
nyaris tanggal. Tubuhnya terhuyung, lalu ambruk
jatuh bergedebukan tak berkutik lagi. Sosok serba hitam, tersenyum dingin dan
dengan cepat tinggalkan tempat itu.
6 Sejak berpisah dengan kakek gendut Gen-
tong Ketawa, hati Ambini selalu diliputi kegelisahan. Kini setelah melakukan
perjalanan seorang
diri fikiran gadis itu selalu teringat pada Gento.
Entah dimana pemuda itu sekarang berada. Dia
ingin mencari atau menemui pemuda itu, menga-
takan segala sesuatu yang didengarnya dari Dewa
Angin Guntur. Tapi dia sendiri jadi bingung hen-
dak mencari kemana. Tak lama setelah memikir-
kan segala sesuatunya sambil berjalan, Ambini
berteduh di bawah pohon di pinggir sungai. Panas
matahari yang terik membakar membuatnya ingin
membasuh muka. Ambini lalu julurkan kedua
kakinya ke dalam air. Terasa sejuk. Dia lalu
menggerakkan tangannya, mengambil air dengan
menggunakan telapak tangan sambil membasahi
bagian wajah. "Nyaman sekali," gumam si gadis sambil
memercikkan air ke sekujur badan hingga pa-
kaiannya menjadi basah. Puas bermain air, gadis
itu kembali duduk di bawah pohon. Kini terfikir
olehnya untuk mencari orang bertopeng yang
pernah lolos dari kejaran mereka.
"Gadis itu sungguh tragis sekali suratan
nasibnya. Entah siapa yang begitu tega melaku-
kan perbuatan terkutuk itu. Jika benar Bayu
Gendala yang telah membunuhnya, lalu siapa
orang bertopeng itu" Topeng yang dipakainya sa-
ma persis dengan topeng milik Bayu Gendala. Bo-
leh jadi topeng pemuda itu sengaja dicuri oleh si pembunuh." kata Ambini.
Selagi si gadis tengah memikirkan segala
sesuatunya, pada saat itu dia mendengar suara
sesuatu yang bergemeretak dibelakangnya. Secara
cepat si gadis menoleh memandang ke arah ter-
dengarnya suara. Ambini belalakkan mata begitu
melihat siapa yang datang. Sekonyong-konyong
dia melompat berdiri. Matanya berbinar, wajah-
nya berubah cerah. Dia hendak berlari menyong-
song kedatangan sosok berpakaian merah itu.
Tapi gerakannya mendadak surut, dia tertegak di
tempatnya. Wajah yang tadinya tegang kini beru-
bah heran. Penglihatannya memang tidak salah,
benar yang berdiri tegak di depannya adalah Si
Tangan Sial sahabatnya, juga merupakan sahabat
Gento Guyon sekaligus gurunya. Tapi sosok yang
dilihatnya kali ini jauh berbeda dengan apa yang
dilihatnya beberapa hari yang lalu.


Gento Guyon 8 Topeng Kedua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman Tangan Sial apa yang terjadi pa-
damu?" tanya Ambini suaranya bergetar pertanda dia tak dapat menutupi rasa
kagetnya. Di depannya sana Si Tangan Sial memandang pada si ga-
dis dengan tatapan matanya yang menerawang
kosong. Ditatap dengan cara seperti itu si gadis
cepat alihkan perhatiannya ke jurusan lain. Da-
lam hati, dia berkata, "Entah apa yang telah terjadi padanya" Kulihat wajah
paman ini seperti
pernah terluka disiksa orang pelupuk matanya
membiru, pipinya ada parut bekas goresan, pa-
kaian hancur compang-camping. Pasti telah terja-
di sesuatu yang sangat hebat pada dirinya.
Mungkinkah orang bertopeng itu yang punya pe-
kerjaan?" "Ambini... aku rasa kenal, aku rasa pernah
berjumpa denganmu. Bukankah kau sahabatnya.
Gento Guyon, murid si kakek tambun Gentong
Ketawa?" kata Si Tangan Sial. Suaranya satu-
satunya, seakan tertahan di tenggorokan. Ambini
jadi tercekat dan mundur satu tindak ke bela-
kang. "Paman Tangan Sial, bagaimana kau bisa lupa dengan sahabatmu sendiri?"
"Sahabatku, siapa sahabatku?" tanya Tangan Sial seperti orang bingung. Mendengar
perta- nyaan orang tua itu Ambini semakin bertambah
kaget. "Bukankah Gento sahabatmu juga?"
Si Tangan Sial tercengang, dia hendak
mengatakan sesuatu. Tapi pada waktu bersamaan
tengkuk dan kedua bahunya mendadak menjadi
sakit. Rasa sakit yang disertai dengan menjalar-
nya hawa dingin luar biasa. Tubuh orang tua itu
bergetar hebat. Dalam keadaan seperti itu lapat-
lapat seperti suara ngiangan nyamuk dia men-
dengar suara orang membisik dari sebuah jarak
yang sangat jauh. "Kau tangkap gadis itu, tinggalkan pesan. Aku jamin urusan
melenyapkan nya-
wa Gento Guyon menjadi satu persoalan yang
mudah." suara lenyap Si Tangan Sial mengang-
guk. "Mungkin orang itu sahabatku, bahkan
siapa diriku sendiri aku hampir tak dapat men-
gingat!" kata Si Tangan Sial
"Siapa yang membuat dirimu berubah se-
perti ini?" tanya Ambini.
Si Tangan Sial gelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, aku sudah lupa." jawab si orang tua. Dia lalu melanjutkan
ucapannya. "Aku ingin menangkapmu, aku ingin membawamu ke
satu tempat ke Kuil Neraka!"
Memanah Burung Rajawali 7 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Renjana Pendekar 7
^