Pencarian

Warisan Laknat 1

Joko Sableng 12 Warisan Laknat Bagian 1


WARISAN LAKNAT Hak Cipta Dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Joko Sableng
Dalam Episode 012 :
Warisan Laknat Di Edit oleh: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Bola jagat belum sampai menapak kaki langit sebelah barat. Namun menjelang
tengah hari tadi, puncak Bukit Selamangleng arah timur Dusun Sumbersuko
perjalanan setengah hari dari Singasari, disaput kabut gelap mencekam. Gumpalan
awan hitam menggantung tebal menutup lingkar terang lintasan bumi.
Warna langit pun berubah menjadi hitam kelam menggidikkan. Angin berhembus
kencang seakan hendak meratakan kawasan mayapada. Sesaat kemudian tampak
seberkas sinar berkiblat ditingkah suara gemuruh yang memecahkan bongkahan awan hitam. Kejap lain
gelantungan awan porak-poranda taburkan curahan hujan badai!
Di puncak Bukit Selamangleng, di atas sebuah batu besar satu sosok tubuh tampak
berdiri tegak menantang badai. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut.
Seluruh raut wajahnya dipenuhi keriputan. Rambutnya yang panjang dibiarkan jatuh
bergerai menutup sebagian wajah dan punggungnya. Sepasang matanya besar dan
mendelik angker menatap hamparan langit yang menghitam. Kedua tangannya
merangkap rapat di depan dada.
Laki-laki ini mengenakan jubah besar dan panjang sebatas mata kaki berwama
hitam, membuat sosoknya laksana tonggak hitam yang terpacak di atas batu.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laki-laki di atas batu buka rangkapan kedua
tangannya. Kepalanya tetap menengadah dengan
sepasang mata masih tidak lepas pandangi kelamnya langit. Kejap lain tangannya
bergerak ke batik jubah hitamnya. Saat kedua tangannya keluar lagi, tampaklah
sebuah kitab berwarna hitam.
Sepasang mata laki-laki ini perlahan memejam. Kedua tangannya yang memegang
kitab bergerak lurus ke atas. Bibirnya yang sedari tadi terkancing rapat
membuka. Lalu terdengarlah suaranya.
"Wahai dunia dan penghuninya! Saksikan olehmu bahwa hari ini telah tercipta
sebuah karya! Kalian semua kelak akan tahu. Barang siapa yang berhasil
mempelajari karya ini, dia akan menjadi seorang maha sakti! Dan akulah orang
pertama yang akan
membuktikannya!"
Ada keanehan. Meski saat itu gemuruh badai lak-sana menyungkup keadaan, namun
suara laki-laki ini terdengar jelas! Dan meski seluruh jubah dan anggota
tubuhnya basah kuyup dari rambut sampai kaki, tapi kitab berwarna hitam itu
tidak tersentuh
curahan air hujan!
Laki-laki di atas batu buka sepasang matanya. Bersamaan dengan itu tiba-tiba
kepalanya berpaling ke kiri. Saat lain kedua tangannya bergerak cepat ke bawah.
Ketika kedua tangannya kembali merangkap di depan dada, kitab hitam sudah tidak
terlihat lagi! "Hem.... Pembuktian maha karya dimulai.
Orang yang datang adalah manusia bernasib buruk!" gumam si laki-laki di atas
batu. Kepalanya kembali mendongak dengan sepasang mata memejam.
Baru saja kelopak mata si laki-laki di
atas batu memejam, di antara suara gemuruh badai terdengar derap langkah-langkah
kaki kuda berpacu. Namun laksana direnggut tangan setan, mendadak suara derapan
kaki-kaki kuda lenyap. Di lain saat dua bayangan berkelebat mendaki bukit. Tahu-
tahu di hadapan laki-laki di atas batu tegak dua orang sejarak dua tombak!
Orang di sebelah kanan mengenakan
pakaian warna putih-putih. Sementara orang di sebelah kiri mengenakan pakaian
hitam-hitam. Kedua orang ini tidak dapat dikenali raut mukanya karena masing-masing
mengenakan topeng yang membungkus seluruh kepalanya.
Untuk beberapa saat, kedua orang yang baru datang arahkan kepala masing-masing
lurus pada laki-laki di atas batu. Kejap lain orang yang berpakaian hitam-hitam
membuat gerakan. Kepalanya dipalingkan pada orang berpakaian putih-putih. Pada
saat yang sama, orang yang berpakaian putih-putih menoleh ke samping kanan.
Orang berpakaian hitam-hitam anggukkan kepala. Sementara laki-laki di atas batu
tetap tengadah seolah tak pedulikan pada kedatangan orang.
Secara berbarengan, tangan kedua orang yang baru datang bergerak ke atas.
Settt! Settt! Topeng penutup kepala masing-masing
orang terbuka. Kini tampaklah wajah kedua orang itu. Orang berpakaian hitam-
hitam ternyata adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh lima
tahun. Berkumis tebal. Sepasang matanya tajam. Rambutnya panjang sebahu. Sedang
orang di sampingnya
ternyata adalah seorang perempuan berusia kira-kira tiga puluh tahunan. Raut
wajahnya masih kelihatan cantik Hidungnya sedikit mancung. Sepasang matanya
bulat tajam. Rambutnya panjang dikuncir tinggi.
Setelah campakkan topeng masing-masing, kedua orang ini serta merta menjura
hormat. Laki-laki berpakaian hitam-hitam buka mulut.
"Ageng Barada... maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Kami datang membawa
pesan!" Laki-laki di atas batu tidak bergeming.
Kepalanya tetap mendongak dengan mulut terkancing.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam
lirikkan mata pada perempuan di sampingnya.
Sementara yang dilirik luruskan pandangannya pada laki-laki di atas batu.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam menarik napas dalam. Lalu buka mulut lagi.
"Ageng Barada. Kami...."
"Katakan pesan apa yang kalian bawa!"
Laki-laki di atas batu yang dipanggil Ageng Barada buka mulut me-motong ucapan
laki-laki berpakaian hitam-hitam.
Ucapan Ageng Barada membuat laki-laki berpakaian hitam-hitam tersentak. Wajahnya
berubah. Untuk beberapa lama dia terdiam dengan mulut sedikit ternganga. Sedang
perempuan di samping si laki-laki sipitkan sedikit matanya. Namun meski
perempuan ini coba menahan rasa terkejutnya, perubahan wajahnya tetap terlihat
jelas. "Kalian dengar ucapanku. Cepat katakan pesan itu atau segera angkat kaki dari
hadapanku!" Ageng Barada berkata masih tanpa memandang.
"Ageng Barada.... Aku adalah Bayumanik.
Di sebelahku ini Sawitri. Kami berdua adalah utusan rahasia Panembahan Suro
Agung...,"
kata laki-laki berpakaian hitam-hitam dengan suara bergetar.
Ageng Barada membuat gerakan. Perlahan kepalanya berpajing lurus. Sepasang
matanya menatap pada masing-masing orang di hadapannya. Biairnya menyeringai.
Lalu angkat bicara.
"Pesan yang kalian bawa. Lekas katakan!"
Laki-laki berpakaian hitam-hitam yang memperkenalkan diri sebagai Bayumanik
bungkukkan sedikit tubuhnya yang basah kuyup.
Dengan suara masih bergetar ia berkata.
"Panembahan Suro Agung mengharapkan kedatanganmu besok malam di tempat biasanya.
Dia hendak membicarakan perihal rencana pengambil alihan kekuasaan. Situasi
daerah Singasari makin tidak karuan!"
Ageng Barada kernyitkan dahi. Sepasang matanya memandang tajam pada Bayumanik
dari rambut hingga kaki.
"Kau jangan membuat cerita bohong!"
Bayumanik dan Sawitri terkesiap. Sejenak kedua orang ini pandangi Ageng Barada.
Lalu saling pandang. Raut wajah keduanya jelas makin ketakutan.
Setelah dapat kuasai diri, Bayumanik kembali angkat bicara.
"Ageng Barada. Harap tidak berprasangka buruk pada kami. Kedatangan kami benar-
benar atas suruhan Panembahan Suro Agung. Lagi pula tak ada untungnya bagi kami
berkata bohong padamu! Kami tahu siapa kau sebenarnya!"
Ageng Barada menyeringai. Kepalanya
bergerak arahkan pandangan ke jurusan lain.
"Aku tahu kapan hams menemui Panembahan Suro Agung! Dan kalian salah ucap kalau
mengatakan besok ma lam adalah waktu yang ditentukan!"
"Ah.... Justru kedatangan kami kemari karena ada perubahan perihal waktu
pertemuan itu!" Yang angkat bicara kali ini adalah Sawitri.
Ketegangan pada raut wajah Bayumanik dan Sawitri sedikit mereda begitu mendengar
apa yang menjadi pangkal sebab ucapan kasar Ageng Barada.
"Hem.... Begitu" Lalu apa lagi pesannya"!" tanya Ageng Barada.
"Hanya tentang perubahan pertemuan itu.
Tidak ada pesan lain," jawab Bayumanik.
Ageng Barada arahkan kembali
pandangannya pada kedua orang di hadapannya.
Namun cuma sekejap. Saat lain dia palingkan kepalanya pada jurusan lain seraya
berucap. Aku berada jauh dari Singasari. Aku ingin tahu apa yang kalian ketahui tentang
situasi di sana!"
"Kami tidak dapat mengatakan bagaimana situasi sebenarnya karena suasana benar-
benar kacau. Bahkan kini kami tidak dapat menentukan mana pihak kita dan mana
pihak lawan!"
Ageng Barada angguk-anggukkan kepala.
Bibir laki-laki ini sunggingkan senyum. Diam-diam laki-laki ini membatin.
"Situasi beginilah yang kutunggu-tunggu. Gerakanku akan lebih leluasa...."
Bayumanik menoleh pada Sawitri lalu mengangguk. Sawitri membalas dengan
anggukkan kepala. "Ageng Barada...," kata Bayumanik. "Kami harus segera pergi!"
Ageng Barada berpaling. Namun sorot matanya kali ini menghujam tajam pada
Sawitri, membuat perempuan ini tidak enak dan menjadi salah tingkah.
"Kalau memang tidak ada yang perlu Ageng Barada tanyakan lagi, kami mohon
diri...," kata Sawitri dengan suara sedikit tersendat dan tidak berani membalas tatapan
Ageng Barada. Ageng Barada hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Sementara Bayumanik telah
bungkukkan tubuh lalu putar diri yang kemudian diikuti oleh Sawitri.
Tunggu!" kata Ageng Barada menahan gerakan Bayumanik dan Sawitri. Sebelum kedua
orang ini balik-kan tubuh kembali, Ageng Barada telah lanjutkan ucapannya. "Aku
titip pesan pada kalian!"
Bayumanik dan Sawitri putar diri
menghadap Ageng Barada. Bayumanik menatap lurus. Tapi Sawitri tampak arahkan
pandangannya pada jurusan lain meski kepalanya menghadap Ageng Barada.
"Harap Ageng Barada katakan pesan yang hendak disampaikan!"
Ageng Barada tampak sunggingkan senyum sebelum akhirnya berkata.
"Pesan ini bukan untuk Panembahan Suro Agung. Tapi untuk semua anak manusia!"
Dahi Bayumanik dan Sawitri mengernyit.
"Maksud Ageng...?" tanya Bayumanik.
"Aku pesan kematian!"
Tanpa sadar, kaki Bayumanik dan Sawitri
tampak tersurut. Mungkin masih belum mengerti arah ucapan Ageng Barada,
Bayumanik berkata.
"Aku belum mengerti maksud Ageng. Harap Ageng suka menjelaskan!"
"Kematian adalah hal yang harus diterima tanpa membutuhkan penjelasan! Karena
penjelasan apa pun tidak akan ada gunanya!"
Belum habis ucapan Ageng Barada, laki-laki ini telah buka rangkapan kedua
tangannya. Kejap lain kedua tangannya bergerak membuat gerakan mendorong ke
depan. Wuuttt! Wuuuuttt!
Dua gelombang dahsyat melabrak ganas ke arah Bayumanik tanpa keluarkan suara.
Menangkap gelagat tidak baik, meski sebelumnya tidak menduga sama sekali,
Bayumanik cepat berkelebat ke samping sambil mendorongkan kedua tangannya.
Sawitri tidak tinggal diam. Perempuan ini segera pula meloncat namun tanpa
membuat gerakan apa-apa.
Dari kedua tangan Bayumanik melesat dua rangkum angin laksana gelombang dahsyat.
"Hem.... Panembahan Suro Agung rupanya pandai juga memilih utusan!" gumam Ageng
Barada. Laki-laki ini putar tubuhnya setengah lingkaran. Tangan kirinya bergerak
ke bawah. Wesss! Bummm! Gelombang angin yang melesat dari kedua tangan Bayumanik serta-merta buyar.
Malah sosok Bayumanik tampak terjajar dua langkah!
"Ageng Barada! Harap...."
"Sudah kukatakah, kematian tidak butuh penjelasan!" potong Ageng Barada. Tangan
kanannya bergerak mendorong. Kejap lain tangan kirinya membuat gerakan mengayun,
lalu ikut mendorong.
Meski Bayumanik masih sempat membuat gerakan, tapi sebelum kedua tangannya
sempat mendorong, tubuhnya telah tersapu deras ke belakang. Belum sampai laki-
laki ini bisa kuasai
diri, gelombang susulan yang
menggebrak dari tangan kiri Ageng Barada telah melabrak.
Bayumanik keluarkan seruan tertahan.
Namun laksana disentak setan, seruan Bayumanik terputus. Tubuhnya jatuh
terjerembab di atas tanah becek dengan mulut dan hidung keluarkan darah!
Sawitri keluarkan jeritan ketika
mengetahui apa yang menimpa Bayumanik.
Perempuan ini sama sekali tidak menduga jika gebrakan Ageng Barada secepat itu
bisa membuat nyawa Bayumanik melayang. Lebih dari itu, dia dibuat tidak mengerti
dengan tingkah Ageng Barada. Karena yang diketahuinya selama ini, Ageng Barada
adalah tangan kanan Panembahan Suro Agung meski dia lebih banyak bergerak secara
diam-diam dan hanya beberapa orang tertentu yang mengetahuinya.
"Ageng Barada! Kenapa semua ini kau lakukan"! Kau mencurigai kami bukan orangnya
Panembahan Suro Agung?" tanya Sawitri setelah dapat kuasai diri. Meski demikian,
suara perempuan ini masih terdengar gemetar.
Perempuan ini maklum kalau Bayumanik bisa dibuat tak berkutik dalam dua gebrakan
maka dia sudah dapat memperhitungkan dirinya, karena dia sadar kalau kepandaiannya tidak
berada di atas Bayumanik. Lebih dari itu dia tahu siapa sebenarnya orang yang
kini ada di hadapannya.
Ageng Barada sunggingkan senyum.
Sepasang matanya menatap tajam.
"Saat ini bukan waktu yang baik untuk menjawab pertanyaanmu! Hujan telah reda.
Kulihat kau basah kuyup kedinginan. Apa tidak lebih baik kita menghangatkan
tubuh?" Walau Sawitri tahu ke mana arah ucapan Ageng Barada, tapi perempuan ini tidak
berani bertindak sembrono. Sebaliknya diam-diam dia berpikir cepat. "Apa pun
yang hendak dilakukan, kalau keadaan terpaksa apa boleh buat. Yang penting aku
bisa selamat dan dapat mengatakan semua ini pada Panembahan Suro Agung...."
Berpikir begitu, Sawitri maju satu
tindak. Lalu berkata dengan sedikit sunggingkan senyum:
"Ageng Barada. Terima kasih kalau kau masih memperhatikan diriku. Tapi aku harus
segera pergi. Panembahan Suro Agung tentu sudah menunggu"
"Kau tak usah begitu mencemaskan Panembahan Suro Agung...."
"Tapi aku adalah utusannya. Bagaimanapun juga dia pasti menunggu kabar!"
Ageng Barada gelengkan kepala. "Dengar!
Sejak hari ini, Panembahan Suro Agung tidak akan mendapat kabar apa-apa! Sejak
saat ini pula, Ageng Barada bukanlah orangnya Panembahan Suro Agung!"
"Kau.... Kau hendak berkhianat"!"
Ageng Barada tertawa bergelak. "Terserah hendak kau sebut apa! Yang jelas sejak
hari ini, Ageng Barada tidak berada di pihak mana pun! Ageng Barada punya tangan


Joko Sableng 12 Warisan Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menggenggam lebih dari apa yang kini
digenggam Panembahan Suro Agung!"
"Kau hendak mengambil...."
Ucapan Sawitri belum selesai, Ageng Barada telah menukas. "Urusan kerajaan
bukanlah hal yang kuinginkan! Aku ingin lebih dari itu!" "Maksudmu..."!"
"Aku ingin seluruh anak manusia berada di bawah kekuasaanku! Mulai hari ini, aku
bukan lagi Ageng Barada. Tapi Datuk Kematian!"
Sepasang mata Sawitri terlihat membesar.
Dada perempuan ini berdegup keras. Kedua lututnya goyah. Namun perempuan ini
tidak hilang akal. Seraya tersenyum dia berkata.
"Ah, kalau hal itu benar aku sungguh senang sekali. Sejak semula aku memang
ingin lepas dari Panembahan Suro Agung! Di bawah genggaman Suro Agung aku tidak
mendapatkan apa yang kuinginkan, padahal apa yang harus kulakukan membutuhkan
taruhan nyawa!"
"Hem..... Kalau mau mengatakan, apa sebenarnya yang kau inginkan"!"
Sawitri melangkah dua tindak ke depan.
Bibirnya kembali sunggingkan senyum.
"Sebagai perempuan memang tak mungkin aku mengambil alih apa yang selama ini
digenggam Panembahan Suro Agung. Apalagi dia bukanlah tandinganku. Tapi
setidaknya sebagai manusia biasa, aku menginginkan kehidupan enak tanpa harus
bersusah payah!"
Ageng Barada yang kini memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian tertawa panjang.
"Dasar perempuan! Selamanya tidak akan mau menerirna apa adanya! Malah mungkin
dia tak akan segan menyerahkan tubuhnya demi keinginannya tercapai!" kata Datuk
Kematian dalam hati. "Ageng Barada. Kalau...."
"Ageng Barada telah terkubur! Aku adalah Datuk Kematian!" potong Datuk Kematian
membuat Sawitri putuskan ucapannya.
Sawitri anggukkan kepala. Lalu buka mulut lagi teruskan ucapannya.
"Datuk Kematian. Kalau kau masih membutuhkan tenagaku, aku dengan suka rela akan
ikut bergabung denganmu!"
Walau Sawitri berucap begitu, sebenarnya dalam hati perempuan ini berkata
sendiri. "Kalau kulawan, aku bukanlah tandingannya!
Padahal aku tidak ingin mengalami nasib sama seperti Bayumanik! Laki-laki ini
pasti tidak akan membiarkan diriku hidup!"
Kalau diam-diam Sawitri membatin begitu, Datuk Kematian diam-diam juga membatin.
"Aku tidak membutuhkan orang macam dia! Kalau dia mau berkhianat hanya karena
melihat temannya menemui ajal, bukan tidak mungkin hal itu akan kembali
dilakukan jika mengalami kejadian yang sama! Aku membutuhkan orang yang benar-
benar dapat kupercaya! Tapi aku tidak akan melewatkan kesempatan ini! Sudah lama
aku tidak merasakan hangatnya tubuh perempuan...."
Sepasang mata Datuk Kematian memandang aneh pada Sawitri. Karena saat itu
pakaian yang dikenakan si perempuan basah kuyup, maka pakaian itu laksana
melekat pada tubuhnya, membuat lekukan dan cuatan dadanya yang membusung kencang
kelihatan jelas.
"Aku memang membutuhkan tenaga. Kalau kau mau bergabung, itu sungguh suatu hal
yang menyenangkan"
"Sekarang apa yang harus kulakukan"!"
Datuk Kematian tidak menjawab pertanyaan Sawitri. Sebaliknya laki-laki berjubah
hitam panjang sebatas mata kaki ini melesat ke depan. Kejap lain sosoknya telah
tegak satu tindak di depan si perempuan. Sawitri berseru kaget. Belum sempat
perempuan ini bergerak mundur, tangan kanan si Datuk telah bergerak cepat ke
arah bahunya. Saat Datuk Kematian tarik pulang tangan kanannya, Sawitri tercekat karena dia
sudah tidak bisa lagi gerakkan tubuhnya! Tubuhnya tegang kaku. Hanya dadanya
yang tampak bergerak turun naik, membuat sepasang mata Datuk Kematian makin
membelalak. "Datuk! Apa yang hendak kau lakukan"!"
kata Sawitri dengan suara bergetar. Perempuan ini hanya dapat bicara tanpa bisa
gerakkan tubuh.
Sang Datuk tertawa panjang. "Bukankah tadi kau menanyakan apa yang harus kau
lakukan" Untuk pertama kali inilah yang harus kau lakukan untukku!"
Belum selesai ucapannya, Datuk Kematian telah gerakkan kedua tangannya ke depan.
Kedua tangan itu sejenak membelai kedua pipi si perempuan. Meski Sawitri tampak
tersenyum, tapi jelas senyum itu dipaksakan. Bahkan dalam hati perempuan ini
memaki panjang pendek.
"Kau tentu membutuhkan kehangatan saat ini! kata Datuk Kematian. Kedua tangannya
perlahan turun ke dada si perempuan.
Sawitri kerutkan kening. Dadanya makin berdebar. Mulutnya kelihatan bergetar.
Meski dia tahu apa yang hendak dilakukan Datuk
Kematian, dan meskipun dia makin ketakutan karena tidak mungkin dapat
menghindar. Tetapi perempuan ini masih juga mencoba berkata.
"Aku tidak akan menolak apa yang kau inginkan, Datuk. Tapi apa tidak sebaiknya
kau biarkan diriku bisa bergerak" Bukankah itu akan membuatmu lebih enak karena
aku bisa melayanimu?"
Datuk Kematian menyeringai. Lalu tertawa pendek dan berucap.
"Aku lebih suka bercinta dengan perempuan yang tidak bisa bergerak! Dan kalau
kau sudah pernah merasakan, tentu setiap bermain cinta kau akan minta ditotok
terlebih dahulu!"
Kedua tangan sang Datuk bergerak ke samping kiri kanan.
Brettt! Breettt!
Pakaian putih-putih bagian atas Sawitri terbuka menganga, membuat payudaranya
tidak tertutup lagi. Sepasang mata Datuk Kematian membeliak besar. Sedangkan
Sawitri kelihatan menggigit bibirnya dengan mata memejam rapat.
Datuk Kematian kembali gerakkan kedua tangannya. Kali ini perlahan saja kedua
tangannya bergerak ke bawah. Kejap lain, pakaian Sawitri melorot jatuh.
Bersamaan itu Datuk Kematian menyergap ke depan. Diciuminya wajah si perempuan.
Sawitri hanya bisa mengerang dengan hati menyumpah-nyumpah!
* * * 2 Datuk Kematian rapikan jubah panjangnya.
Lalu kepalanya mendongak ke atas. Hujan badai telah lama reda. Malah rembulan
tampak menghiasi hamparan langit membuat lintasan bumi sedikit terang.
Bibir Datuk Kematian tersenyum.
Kepalanya lalu berpaling ke kiri. Tampak sosok polos Sawitri tak bergerak-gerak
dengan telentang. Wajah cantik perempuan ini berubah kebiruan. Di hampir sekujur
tubuhnya tampak memar. Malah pada mulut dan hidungnya terlihat gumpalan darah!
Sang Datuk alihkan pandangannya pada sosok satunya yang bukan lain adalah mayat
Bayumanik. Namun hanya sekejap, di lain saat laki-laki ini arahkan pandangannya
jauh ke bawah bukit.
"Dengan tidak munculnya kedua utusannya, kuharap Panembahan Suro Agung akan jadi
gusar. Aku tetap akan menemuinya sesuai perjanjian waktu lalu. Dan saat itu
masih kurang sepuluh hari di muka! Selang waktu itu sudah cukup bagiku untuk
membuat suasana makin kacau! Dan jika tiba saatnya, Panembahan Suro Agung akan
tahu siapa sebenarnya Ageng Barada!"
Datuk Kematian tertawa bergelak. Kejap lain suara tawanya mendadak lenyap.
Bersamaan dengan itu sosoknya sudah tidak kelihatan lagi di puncak Bukit
Selamangleng! Saat hampir menjelang di penghujung
malam, Datuk Kematian telah memasuki sebuah kawasan hutan kecil. Laki-laki ini
terus berk"iebat cepat. Karena suasana masih dibungkus kegelapan sementara sang
Datuk berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya, maka sosoknya
laksana setan gentayangan yang sulit untuk ditangkap mata biasa. Sosoknya hanya
menyerupai bayangan yang berkelebat melintasi semak belukar dan jajaran pohon.
Melihat gerakannya jelas kalau laki-laki ini sudah tidak asing lagi dengan
daerah yang kini dilaluinya.
Ketika cahaya kekuningan mulai menapak di lintasan langit sebelah timur, satu
bayangan putih berkelebat. Kejap lain sosoknya melenting tinggi ke udara lalu
duduk di atas satu ranting dengan sepasang mata menatap tak berkesip pada
bayangan hitam yang berkelebat di bawah sana.
Orang yang duduk di atas ranting adalah seorang laki-laki berambut putih.
Rambutnya digelung tinggi ke atas. Dahinya sudah dihiasi kerutan. Meski
demikian, laki-laki ini masih memancarkan ketampanan wajahnya.
Orang ini mengenakan jubah putih.
Walau laki-laki berjubah putih ini duduk di atas sebuah ranting kecil, anehnya
ranting itu tidak bergeming sama sekali apalagi patah. Menunjukkan bahwa siapa
pun adanya laki-laki berjubah putih, pastilah dia memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Malah dia seolah tahu kalau saat itu ada seseorang hendak menuju
tempatnya! Sejarak sepuluh tombak dari pohon di mana laki-laki berjubah putih berada,
mendadak bayangan hitam yang bukan lain
adalah Datuk Kematian hentikan larinya. Laki-laki dari Bukit Selamangleng ini
rupanya sadar saat itu ada orang lain di sekitarnya meski dia belum dapat
mengetahui di mana beradanya orang itu.
Laki-laki berjubah putih di atas ranting untuk beberapa saat pandangi orang
berjubah hitam di bawah sana. Sepasang matanya menyipit lalu membesar.
"Ageng Barada.... Hampir dua belas tahun aku tidak jumpa dengan dia sejak
peristiwa berdarah di Lembah Ngurawan. Hanya akhir-akhir ini aku mendengar dia
berada di belakang Panembahan Suro Agung. Ada apa dia datang kemari" Meneruskan
urusan lama di Lembah Ngurawan" Hem.... Sebenarnya aku sudah melupakan peristiwa
berdarah itu. Lagi pula aku sudah memutuskan untuk menghindar dari dunia
keramaian dan kancah persilatan...."
Laki-laki berjubah putih menghela napas panjang.
Di bawah sana, Datuk Kematian putar kepalanya. Sepasang matanya liar mengawasi
berkeliling. Mungkin tak sabar karena dia tidak dapat menangkap adanya orang
sementara dirinya yakin kalau di tempat itu ada orang lain, dia buka mulut dan
berteriak lantang.
"Tak usah berlaku pengecut sembunyikan diri! Keluarlah Resi Kamahayanan!"
Laki-laki berjubah putih di atas ranting kembali menarik napas dalam.
"Dia mengetahui aku berada di sini.
Tidak ada gunanya bagiku sembunyikan diri.
Urusan ini harus segera selesai. Jika tidak kesalahpahaman ini akan
berlanjut...."
"Dua belas tahun telah berlalu, Resi
Kamahayanan! Aku datang melanjutkan urusan lama!" Datuk Kematian kembali
berteriak setelah ditunggu agak lama belum juga ada tanda-tanda munculnya orang.
"Dugaanku tidak meleset...," gumam laki-laki berjubah putih. Tapi sejauh ini
orang di atas ranting ini tidak juga membuat gerakan apa-apa.
"Resi Kamahayanan! Kalau kau tak mau unjuk diri, baiklah! Tapi jangan kira aku
berhampa tangan jika meninggalkan tempat ini!" seru Datuk Kematian. Tangan kiri
kanannya bergerak ke belakang. Namun gerakannya tertahan tatkala mendadak saja
semak belukar lima belas langkah dari samping kanan Datuk Kematian bergerak.
Kejap lain satu bayangan berkelebat dan tahu-tahu Satu sosok tubuh telah tegak
berdiri tujuh langkah di hadapan sang Datuk!
Sepasang mata Datuk Kematian mendelik angker memandang orang di hadapannya dari
atas sampai bawah. Orang ini ternyata laki-laki berusia setengah baya mengenakan
pakaian biru gelap. Rambutnya pendek kelimis.
Rahangnya kokoh dengan sepasang mata tajam.
"Jahanam betul! Ternyata bukan Resi keparat itu! Siapa sebenarnya manusia ini"
Sepertinya aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi aku rasanya mengenali
wajahnya! Adakah kemunculannya di sini punya tujuan sama denganku" Atau jangan-
jangan manusia ini telah membuat Resi keparat itu tewas. Kalau demikian halnya,
orang ini harus bertanggung jawab karena dia telah memutuskan dendamku pada Resi
Kamahayanan!"
Datuk Kematian aiihkan pandangannya ke
jurusan lain. Mulutnya membuka keluarkan bentakan.
"Aku hanya berkata sekali. Katakan siapa dirimu! Apa yang sedang kau lakukan di
sini!" Laki-laki berpakaian biru gelap
menyeringai. Tangan kanannya bergerak mengusap dada dan dagunya. Lalu berkata.
"Lain yang dicari tapi lain yang didapat! Tapi kali ini aku mujur!"
Datuk Kematian berpaling. Sekali lagi ditatapnya orang yang tegak di hadapannya
dengan lebih seksama. Namun mulut laki-laki berjubah hitam panjang ini
terkancing rapat.
Hanya hatinya yang terus bertanya-tanya siapa adanya orang.
Laki-laki berpakaian biru gelap goyang-goyangkan kepala. Lalu sepasang matanya
menatap dingin pada Datuk Kematian sebelum akhirnya berkata.
"Perjalanan waktu rupanya telah membuatmu jadi pelupa, Ageng Barada! Tapi aku
tidak akan begitu saja melupakan apa yang pernah terjadi! Lebih dari itu, tidak
akan kubiarkan tanganmu berlumur darah Resi Kamahayanan! Darah Resi itu adalah
hakku! Kau dengar"!"
Walau Datuk Kematian sempat terkejut mendapati orang mengetahui siapa dirinya,
namun laki-laki ini sunggingkan senyum seringai. Sementara laki-laki berjubah
putih di atas ranting sesaat terkesiap melihat kemunculan orang berpakaian biru
gelap. Sebenarnya dia tadi sudah memutuskan untuk turun menemui Datuk Kematian. Namun
gerakannya tertahan tatkala mendadak saja ada orang muncul.
"Sepuh Panjalu!" desis laki-laki berjubah putih mengenali orang berpakaian biru
gelap. "Tidak kusangka sama sekali kalau hari ini aku kedatangan dua orang tamu
yang hendak meneruskan urusan lama!" Laki-laki ini gelengkan kepalanya.
"Kau tidak mau katakan siapa kau sebenarnya. Mungkin kau ingin mampus tanpa
dikenali! Keinginanmu akan kuturuti!" Datuk Kematian berkata seraya dongakkan
sedikit kepalanya.
"Kau salah ucap, Ageng Barada! Justru aku akan mengatakan siapa diriku. Kasihan
kalau orang harus tewas tanpa mengetahui siapa orang yang membunuhnya!"
Laki-laki berpakaian biru gelap tertawa panjang, lalu lanjutkan ucapannya.
"Sembilan tahun silam, kejadiannya di Jurang
Kelampok...."
Datuk Kematian kerutkan kening. "Sepuh Panjalu!" gumamnya.
"Syukur kau masih mengingatnya, Ageng Barada!"
Tiba-tiba Datuk
Kematian perdengarkan
tawa bergelak. Tapi tiba-tiba ia putuskan gelakan tawanya. Tangan kirinya
terangkat dan menunjuk lurus ke arah orang.
"Rupanya nasib baik masih memihak padamu saat itu, Sepuh Panjalu!
Tapi nyatanya nyawamu sudah ditakdirkan untukku! Lebih-lebih lagi kau telah berani menyatakan
darah Resi keparat itu adalah hakmu!"
Mendengar kata-kata Datuk Kematian, Sepuh Panjalu ganti tertawa sambil ikut-
ikutan dongakkan kepala.
"Bicara besarmu tidak berubah dari
dahulu, Ageng Barada! Tapi harus kau ingat.
Sepuh Panjalu yang di hadapanmu kini bukanlah Sepuh Panjalu sembiian tahun
silam!" Datuk Kematian mendengus. "Kau juga perlu tahu. Ageng Barada telah berkubur.
Yang ada di hadapanmu saat ini adalah Datuk Kematian!"
Sepuh Panjalu makin keraskan gelakan tawanya. Namun diam-diam laki-laki ini
telah salurkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Di lain pihak Datuk Kematian rupanya tidak mau kecolongan. Secara diam-diam dia
juga telah kerahkan tenaga dalamnya, hingga tatkala Sepuh Panjalu gerakkan kedua
tangannya, Datuk Kematian serentak berkelebat tiga langkah ke samping seraya
mendorong. Dua gelombang angin dahsyat melesat laksana gelombang prahara dari masing-masing
tangan orang. Kejap lain terdengar suara dentuman keras mengguncang tempat itu.
Datuk Kematian tidak bergeser dari
tempatnya meski sesaat tubuhnya kelihatan bergcyang. Hanya sepasang matanya yang
tampak sedikit menyipit dan kedua tangannya bergetar. Di seberang sana, Sepuh
Panjalu kelihatan hampir saja tersapu. Namun laki-laki ini cepat lipat gandakan
tenaga dalamnya hingga hanya tubuh bagian atasnya yang sempat terdorong tapi
kuda-kuda kakinya tidak bergeming!
"Hem.... Kepandaian mereka ternyata maju begitu pesat!" Laki-laki berjubah putih
di atas ranting bergumam. Sesaat laki-laki ini harus kerahkan tenaga dalamnya
untuk mengatasi guncangan pada ranting yang diduduki akibat bias bentroknya
pukulan Datuk Kematian dan Sepuh Panjalu.
Melihat kenyataan bahwa lawan tidak bergeming, sudah cukup bagi Datuk Kematian
untuk mengetahui kalau lawan memang sudah bukan orang yang dihadapinya pada
sembiian tahun yang lalu.


Joko Sableng 12 Warisan Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Datuk Kematian segera kerahkan kembali tenaga dalamnya. Tanpa didahului ucapan,
sosoknya melesat ke arah Sepuh Panjalu. Laki-laki berpakaian biru gelap ini
tidak menangkap berkelebatnya lawan. Yang dilihatnya saat itu mendadak dua
tangan telah melabrak ganas mengarah pada kepala dan perutnya!
Sepuh Panjalu cepat mundur satu langkah.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya terangkat.
Bukkkk! Bukkkk!
Terdengar bentroknya dua tangan. Sosok Sepuh Panjalu terdorong sampaitiga
langkah ke belakang. Kedua tangannya yang baru saja memangkas pukulan Datuk
Kematian tampak menggembung merah dan bergetar keras. Malah dadanya terasa sesak
dan raut wajahnya berubah pucat pasi. Di lain pihak, begitu terjadi bentrok,
Datuk Kematian cepat tarik pulang kedua tangannya. Lalu melompat mundur dengan
paras pias. Kedua tangannya pun kelihatan bergetar.
"Manusia satu ini harus cepat
kusingkirkan! Jika tidak rencanaku bisa tertunda!" bisik Datuk Kematian dalam
hati. Tangan kiri kanannya bergerak mengusap dadanya di mana tersimpan kitab berwarna
hitam. Sepuh Panjalu terkesiap. Sepasang
matanya membelalak besar. Dari tempatnya
berdiri, laki-laki ini melihat sosok Datuk Kematian bergetar keras. Kejap lain
tiba-tiba seluruh anggota tubuh sang Datuk berubah menjadi hitam!
"Ilmu apa yang dimiliki manusia itu"
Baru kali ini aku menyaksikannya! Jangan-jangan...."
Belum sampai Sepuh Panjalu teruskan membatin, kedua tangan Datuk Kematian yang
mengusap dadanya diturunkan. Anehnya bersamaan dengan turunnya kedua tangan sang
Datuk, dari dadanya terdengar suara deruan keras tanpa adanya sesuatu yang
melesat. Sebagai tokoh yang pernah malang
melintang dalam kancah persilatan, Sepuh Panjalu telah dapat menangkap adanya
bahaya. Dia segera angkat kedua tangannya. Namun gerakan kedua tangannya tiba-tiba
tertahan. Kejap lain sosoknya mencelat mental sampai dua tombak dan jatuh bergedebukan di
atas tanah! Darah hitam tampak mengucur dari mulutnya.
Sepuh Panjalu kerahkan segenap tenaga dalamnya.
Lalu terbungkuk-bungkuk dia
bergerak bangkit.
"Hem.... Hasil ciptaanku ternyata hebat!
Tapi aku kurang puas kalau orang masih mampu tegak sehabis terhantam! Atau ini
karena dia punya tenaga dalam luar biasa?" Datuk Kematian terus pandangi Sepuh
Panjalu. Meski lawan terluka cukup parah begitu terhantam, tapi raut wajah orang
tua ini jelas masih menunjukkan rasa kecewa.
Namun rasa kecewa sang Datuk ternyata hanya sekejap. Kejap lain bibirnya
tersenyum tatkala melihat di seberang sana sosok Sepuh
Panjalu kembali terhuyung-huyung sebelum akhirnya roboh kembali dan muntahkan
darah kehitaman.
Datuk Kematian tertawa pendek. Kaki kanannya menghentak tanah. Saat lain
sosoknya melesat kearah robohnya Sepuh Panjalu. Tahu-tahu laki-laki berjubah
hitam panjang ini telah tegak di samping Sepuh Panjalu dengan kepala mendongak.
"Ternyata kau sia-siakan waktumu yang sembiian tahun, Sepuh Panjalu!" seraya
berkata, masih tetap mendongak Datuk Kematian jambak rambut Sepuh Panjalu. Saat
bersamaan kaki kirinya bergerak ke belakang. Lalu diayun ke depan. Karena
tendangan ini bukan tendangan biasa, maka sekali terhantam, pasti sosok Sepuh
Panjalu akan mencelat mental dengan nyawa putus apalagi Sepuh Panjalu dalam
keadaan luka dalam cukup parah.
Pada saat hantaman kaki kiri Datuk
Kematian sejengkal lagi mendarat dan memutuskan nyawa Sepuh Panjalu, mendadak
terdengar deruan pelan. Hebatnya Datuk Kematian merasakan adanya sebuah kekuatan
dahsyat yang menghalangi hingga bukan saja hantaman kakinya tertahan namun
sosoknya terdorong ke belakang!
* * * 3 Meski sudah dapat menduga kalau ada orang yang ikut campur urusannya, tapi Datuk
Kematian seolah ingin segera menyelesaikan
urusannya dengan Sepuh Panjalu. Hingga dia cepat kerahkan tenaga dalamnya. Lalu
sekali lagi kaki kirinya lakukan tendangan.
Tapi sang Datuk jadi terkesiap. Belum sampai kaki kirinya bergerak lakukan
hantaman, deruan itu kembali terdengar. Kejap lain bukan saja kaki kirinya
laksana kaku, tapi sosoknya tersurut sampai tiga langkah!
"Jahanam!" maki sang Datuk dengan suara bergetar keras. Cepat dia berpaling ke
kanan dari mana suara deruan terdengar.
Datuk Kematian tegak dengan sosok
bergetar. Rahangnya menggembung, namun sesaat kemudian bibir laki-laki berjubah
hitam panjang ini tersenyum.
"Akhirnya kau muncul juga Resi Kamahayanan! Dan berarti aku benar-benar akan
tinggalkan tempat ini tanpa berhampa tangan!
Malah aku telah dapat tambahan satu orang!"
Di hadapan Datuk Kematian tampak tegak bersedekap seorang laki-laki berusia
lanjut dengan rambut putih digelung tinggi ke atas.
Orang ini mengenakan jubah putih. Laki-laki ini tidak lain adalah orang yang
sedari tadi duduk di atas ranting dan bukan lain adalah seorang tokoh dunia
persilatan yang sudah tidak asing lagi bagi kalangan orang persilatan yakni Resi
Kamahayanan. Pada beberapa puluh tahun silam, nama Resi Kamahayanan sempat menjulang meski
saat itu suasana dalam keadaan kacau akibat perang saudara di antara keturunan
Raja-raja Singasari Hal ini karena Resi Kamahayanan selain tidak berpihak pada
salah satu golongan yang sedang terlibat perang, dia juga tak segan-segan turut
campur tangan jika
ada kerusuhan yang merugikan rakyat jelata.
Salah satunya adalah peristiwa berdarah yang terjadi di Lembah Ngurawan. Saat
itu seorang tokoh berilmu tinggi bernama Ageng Barada yang dikenal sebagai-tokoh
hitam dan momok rimba persilatan mengundang beberapa tokoh persilatan dan di
sana Ageng Barada mentasbihkan diri sebagai penguasa tunggal rimba persilatan
dan memerintahkan semua tokoh yang hadir untuk mengangkat sumpah dan harus
menjalankan semua perintahnya. Karena di antara beberapa tokoh yang hadir ada
yang tidak setuju dengan gagasan Ageng Barada maka terjadilah pembantaian besar-
besaran. Malah karena ingin melampiaskan kemarahan dan ingin menunjukkan
kekuasaannya, Ageng Barada tidak segan-segan menghabisi rakyat jelata yang tidak
mengerti apa-apa. Saat itulah Resi Kamahayanan turun tangan. Ageng Barada dapat
diatasi. Lalu pada tahun berikutnya muncul pula tokoh bernama Sepuh Panjalu. Seperti
halnya Ageng Barada, Sepuh Panjalu juga hendak memaklumkan diri sebagai raja
rimba persilatan. Namun niatnya terhalang oleh Resi Kamahayanan lagi.
Sejak peristiwa itu rimba persilatan mereda, meski keadaan masih kacau akibat
perang saudara. Dan sejak itu pula Resi Kamahayanan menghilang dari arena dunia
persilatan. Tidak seorang pun yang tahu kabar tentang tokoh ini bahkan sampai
nama Ageng Barada kembali muncul ke permukaan meski kali ini kemunculannya hanya
diketahui oleh kalangan tertentu dan berada di belakang Panembahan Suro Agung
yang diketahui ingin
mengambil alih kerajaan.
"Ageng Barada.... Harap maafkan diriku kalau kau tersinggung karena aku
menghalangi niatmu...."
Datuk Kematian tersenyum sinis. Lalu berkata dengan sepasang mata menatap tajam.
"Tanpa kusentuh pun anak manusia itu akan mampus! Dan kini tiba giliranmu!"
Resi Kamahayanan tersenyum seraya
gelengkan kepala. "Ageng Barada.
Meski terlambat mungkin tak ada salahnya kalau aku minta maaf atas kejadian pada dua
belasntahun yang lalu. Percayalah. Hal itu sudah kulupakan dan aku sangat
menyesal atas peristiwa itu!"
Datuk Kematian tertawa pendek. "Buka telingamu lebar-lebar! Yang ada di
hadapanmu saat ini bukan Ageng Barada, tapi Datuk Kematian! Kau dengar"!"
Resi Kamahayanan anggukkan kepala. Dia hendak buka mulut berucap, namun sebelum
suaranya terdengar, Datuk Kematian telah mendahului berkata.
"Kedatanganku yang tertunda selama dua belas tahun bukan untuk mendengarkan
permintaan maafmu! Tanpa minta maaf pun aku akan melupakan peristiwa itu asal
aku pulang dengan membawa penggalan kepalamu!"
"Datuk Kematian... tidak adakah jalan lain selain kekerasan untuk melupakan
kejadian itu" Kita sudah sama-sama tua.
Terlalu lucu kalau kita yang sudah tua-tua ini harus menyelesaikan urusan dengan
jalan kekerasan. Lebih-lebih lagi aku sudah lama undur diri dari dunia
persilatan!"
Mendengar kata-kata Resi Kamahayanan,
Datuk Kematian tertawa terbahak.
"Kau rupanya lupa. Kejadian dua belas tahun yang lalu adalah kekerasan. Jadi tak
ada yang dapat menyelesaikannya selain kekerasan! Aku tak peduli kau telah undur
diri atau tidak. Bagiku urusan ini belum selesai kalau salah satu di antara kita
belum berkalang tanah!"
"Menyesal sekali. Ternyata di antara kita ada perbedaan...."
Datuk Kematian mendengus keras. "Itu urusanmu! Urusanku membuatmu seperti anak
manusia bernasib jelek itu!" seraya berkata tangan Datuk Kematian menunjuk pada
sosok Sepuh Panjalu.
Resi Kamahayanan terkejut. Bukan karena ucapan sang Datuk melainkan karena
melihat Sepuh Panjalu. Ternyata laki-laki berpakaian biru gelap ini telah kaku
dengan sekujur tubuh menghitam laksana dipanggang bara api!
"Tak kuduga jika ucapannya akan jadi kenyataan. Orang ini benar-benar mengalami
kemajuan pesat. Dua belas tahun silam dia belum memiliki ilmu yang bisa membuat
orang terkapar dalam beberapa gebrakan dengan tubuh hangus. Dari mana dia
mempelajari ilmu itu"
Selama ini aku belum pernah mendengar ada seorang tokoh yang menciptakan ilmu
seganas itu! Hem...." Resi Kamahayanan menarik napas panjang.
"Kau sudah siap menyusul"!" kata Datuk Kematian tanpa memandang.
"Perihal kematian aku sudah
mempersiapkan diri sejak lama. Tapi perihal urusan di antara kita, aku sejak
lama sudah melupakannya! Kuharap kau mengerti dan
menghilangkan kesalahpahaman ini."
"Bagus kalau kau telah mempersiapkan diri soal kematianmu sejak lama. Hari ini
persiapanmu berakhir!"
Habis berkata begitu, Datuk Kematian berkelebat ke depan. Mungkin untuk
menjajaki kekuatan lawan yang pada beberapa puluh tahun silam dapat
mengalahkannya, Datuk Kematian tidak segera keluarkan ilmu andalannya.
Sebaliknya dia hanya kerahkan setengah tenaga dalamnya lalu menghantamkan kedua
tangannya ke arah kepala Resi Kamahayanan dari arah samping kiri kanan.
Meski semula tidak ingin melayani Datuk Kematian, namun Resi Kamahayanan tidak
begitu saja tinggal diam, apalagi dia menangkap adanya bahaya jika Ageng Barada
yang kini memaklumkan diri sebagai Datuk Kematian itu dibiarkan. Ketika sang
Datuk belum memiliki ilmu andalan saja sudah menginginkan semua orang persilatan
tunduk padanya, apalagi jika kini dia mempunyai ilmu andalan.
Berpikir sampai di situ, niat Resi
Kamahayanan akhirnya berubah. Laki-laki berjubah putih ini segera angkat kedua
tangannya memangkas tangan Datuk Kematian.
Desss! Desssss!
Dua pasang tangan bertenaga dalam
bentrok di udara. Kejap lain keduanya sama mundur dua tindak. Paras keduanya
tampak berubah. Dari bentrokan tadi masing-masing orang sudah cukup mengetahui
tingkat tenaga lawan.
Mungkin sudah dapat menjajaki sampai di mana kemampuan lawan, Datuk Kematian
angkat kedua tangannya. Laksana kilat kedua
tangannya serta-merta didorong ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!
Dua gelombang angin dahsyat melabrak ganas dengan keluarkan suara menggidikkan.
Sesaat Resi Kamahayanan tampak agak terkejut.
Tapi di lain kejap ia sudah gerakkan kedua tangannya.
Dua pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi betemu di udara. Tempat itu
laksana dilanda gempa hebat. Disusul dengan terdengarnya dua seruan lalu tampak
dua sosok tubuh sama mental.
Sosok Datuk Kematian tersapu satu
tombak. Punggung laki-laki berjubah panjang hitam itu sempat meng-hantam
sebatang pohon lalu jatuh terduduk dengan sekujur tubuh bergetar keras. Dia
merasakan dadanya berdenyut nyeri. Namun ia cepat kerahkan tenaga dalam. Saat
lain sosoknya bergerak bangkit.
Di seberang, Resi Kamahayanan terlihat terjengkang. Meski sejenak tadi dia
berusaha bertahan agar tidak terjengkang jatuh, namun rupanya sia-sia. Raut muka
laki-laki itu berubah pucat pasi. Namun begitu dilihatnya Datuk Kematian telah
bangkit, dia cepat pula sentakkan kedua tangannya ke atas tanah.
Sosoknya tegak kembali dengan sepasang mata menatap tajam ke depan.
Di depan sana, Datuk Kematian mendongak.
Kedua tangannya terangkat ke arah dada. Lalu mengusap dada di mana Kitab Hitam
tersimpan di baliknya. Bersamaan dengan itu sekujur kulit tubuh sang Datuk
berubah warna menjadi hitam!
Tahu bagaimana kedahsyatan ilmu yang
hendak dilancarkan Datuk Kematian, Resi Kamahayanan cepat berkelebat ke samping.
Saat kedua kakinya menginjak tanah, laki-laki ini membuat gerakan berputar.
Sebongkah kabut tebal tampak melindungi Resi Kamahayanan hingga sosoknya lenyap
tidak kelihatan. Di lain kejap dua sinar putih melesat dari dalam bongkahan
kabut keluarkan deruan dahsyat memekak telinga.
Datuk Kematian sejenak beliakkan
sepasang matanya dengan kepala diluruskan.
Karena pada dua belas tahun silam pernah bentrok dengan Resi Kamahayanan
menjadikan dirinya tahu bagaimana keganasan pukulan lawan yang kini telah
menggebrak ke arahnya.
Namun Datuk Kematian sekarang bukanlah Ageng Barada pada dua belas tahun lampau
yang tidak berani menyambuti pukulan lawan malah harus terluka karenanya. Datuk
Kematian kini bukan saja tenang-tenang menyambuti pukulan lawan bahkan sambil
terus mengusap-usap dadanya, dia tertawa bergelak.
"Kau salah besar kalau menganggap pukulanmu masih ampuh seperti dua belas tahun
silam, Resi Jahanam!"
Selesai berucap, kedua tangan Datuk Kematian luruh ke bawah. Bersamaan dengan
itu terdengar suara deruan pelan. Tidak ada sinar yang terlihat. Namun hebatnya
dua sinar putih yang melabraknya laksana terhantam kekuatan luar biasa dahsyat.
Saat lain dua sinar putih yang dilancarkan Resi Kamahayanan dari dalam bongkahan
kabut bertabur ke udara keluarkan suara meletup keras. Bukan hanya sampai di
situ, sesaat setelah dua sinar hancur berantakan, bongkahan kabut yang
melindungi sang Resi tampak terdorong keras laksana tersapu gelombang besar.
Datuk Kematian kembali tertawa bergelak.
Sementara bongkahan kabut yang membungkus sosok Resi Kamahayanan terus tersapu
ke belakang. Namun sejauh ini bongkahan kabut itu belum juga dapat terbongkar.
Melihat hal ini, Datuk Kematian putuskan gelakan tawahya. Kedua tangannya
kembali mengusap dadanya. Kejap lain kembali terdengar deruan pelan takkala
kedua tangan sang Datuk telah luruh ke bawah.
Di depan sana, tiba-tiba bongkahan kabut tersibak. Samar-samar sosok Resi
Kamahayanan terlihat. Kedua tangannya yang tampak merangkap di depan dada
terbuka. Lalu bergerak tertarik ke belakang. Tapi sebelum kedua tangan itu
lakukan gerakan berikutnya, mendadak orang tua berjubah putih ini tersentak.
Kabut yang sudah tersibak sekonyong-konyong meletup ambyar. Kejap lain sosok
sang Resi tersapu keras dan terjatuh dua tombak dari tempatnya semula!
Darah kehitaman tampak keluar dari mulut dan hidung Resi Kamahayanan. Gelungan
rambutnya lepas dan sebagian kelihatan terpangkas laksana tersambar kobaran api.
Jubah putihnya hangus. Sosoknya bergetar hebat. Sepasang matanya memejam rapat
dengan mulut keluarkan erangan panjang.
Datuk Kematian mendongak. Suara tawanya kembali menggetarkan tempat itu. Puas
tertawa, laki-laki ini melangkah ke arah jatuhnya sang Resi.
Satu langkah di samping Resi
Kamahayanan, Datuk Kematian hentikan langkah.
Sepasang matanya sesaat perhatikan sosok sang Resi. Meski Resi Kamahayanan sudah
tidak bergerak-gerak lagi karena nyaris pingsan, namun sang Datuk rupanya masih
bersikap waspada. Dia tidak berani langsung jongkok.
Sebaliknya dia angkat kaki kanannya. Lalu diietakkan di atas dada sang Resi.


Joko Sableng 12 Warisan Laknat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hem.... Hanya tinggal nunggu sang pencabut nyawa!" kata Datuk Kematian seraya
tersenyum. "Sebenarnya bisa saja aku langsung membuat nyawanya terputus. Tapi
aku ingin dia merasakan bagaimana nikmatnya sekarat!"
Selesai bergumam begitu, Datuk Kematian tarik pulang kaki kanannya. Menatap
sejurus pada sosok sang Resi yang perlahan-lahan berubah warna kehitaman. Saat
lain sosoknya berputar lalu seraya tertawa terbahak sosok sang Datuk berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Hanya beberapa saat setelah berlalunya Datuk Kematian, satu bayangan berkelebat.
Tahu-tahu bayangan ini telah tegak enam langkah dari tempat terkaparnya Resi
Kamahayanan. Dia adalah seorang pemuda berwajah
tampan mengenakan pakaian putih. Rambutnya hitam tebal dibiarkan bergerai.
Sepasang matanya tajam dengan dada bidang.
Sejurus pemuda ini arahkan pandangannya pada sosok yang tergeletak. Sepasang
matanya menyipit membesar. Kejap lain pemuda ini melangkah satu tindak dengan
pandangan tak berkesip. Namun sekonyong-konyong dia menghambur dengan berseru
keras. "Eyang Guru!"
Si pemuda memeluk sosok Resi Kamahayanan dan mengguncangnya seraya berteriak
memanggil. Namun Resi Kamahayanan tidak membuat gerakan apa-apa. Malah sepasang
matanya tetap memejam rapat dan darah hitam makin banyak mengucur dari mulut dan
hidungnya. Sang pemuda tempelkan telinganya pada dada sang Resi. Lalu dia cepat tarik
pulang kepalanya. Saat lain kedua tapak tangannya telah diietakkan pada dada
sang Resi. Sepasang matanya memejam.
Usaha sang pemuda rupanya tidak sia-sia.
Setelah beberapa saat, mendadak Resi Kamahayanan membuat gerakan. Kedua
tangannya terangkat. Bersamaan dengan itu sepasang kelopak matanya membuka.
"Eyang Guru! Siapa yang berbuat ini?"
Resi Kamahayanan gelengkan kepalanya pelan. Mulutnya membuka hendak berkata. Si
pemuda menunggu. Tapi setelah sekian lama tidak juga terdengar suara.
"Eyang.... Eyang harus katakan siapa yang berbuat ini!" kata si pemuda.
Untuk kedua kalinya Resi Kamahayanan gelengkan kepala. Lalu terdengarlah
ucapannya. "Mara Sakti.... Ada yang lebih...
daripada... pertanyaanmu...," suara Resi Kamahayanan tersendat. "Salurkan...
tenaga murnimu.... pada telapak tangan kiriku...."
Meski tidak mengerti apa maksud ucapan gurunya, si pemuda yang dipanggil Mara
Sakti turuti ucapan sang Resi.
Begitu hawa murni Mara Sakti telah
tersalurkan lewat tapak tangan kirinya, Resi Kamahayanan tampak sunggingkan
senyum lalu buka mulut.
"Pecahkan batu putih sepuluh langkah dari pohon di sebelah utara gubuk kita.
Selamatkan apa yang nanti kau temukan di sana. Jangan kau potong ucapanku, Mara
Sakti...," kata sang Resi begitu melihatsang murid hendak buka mulut. "Waktuku
mungkin tinggai sedikit. Kau hanya perlu
mendengarkan...."
Mara Sakti akhirnya urungkan niat untuk buka suara. Kepala pemuda ini lantas
mengangguk. Sesaat kemudian Resi Kamahayanan buka mulut lagi.
"Ingat, Mara Sakti.... Kau hanya boleh menyelamatkan apa yang nanti kau temukan.
Meski kau adalah satu-satunya muridku, namun kau harus dapat menerima kenyataan
ini. Apa yang nanti kau temukan bukanlah sesuatu yang boleh kau miliki. Kau
hanya bertugas untuk menjaganya sampai suatu waktu kelak ada orang yang
ditakdirkan untuk memilikinya...."
Untuk beberapa lama Resi Kamahayanan hentikan ucapannya. Setelah menarik napas
panjang dia melanjutkan.
"Kalau kau nanti merasa sudah waktunya menghadap Yang Maha Kuasa dan orang yang
ditentukan memiliki apa yang nanti kau temukan belum muncul, kau harus serahkan
sesuatu itu pada orang yang kau percaya.
Namun di balik semua itu, kau tetap bertugas menjaganya sampai nanti jatuh pada
orang yang berhak. Jika semua itu sudah kau laksanakan, berarti tugasmu
selesai...."
Kembali Resi Kamahayanan hentikan
ucapannya. Mungkin karena tidak kuasa menahan keingintahuannya, apalagi setelah
itu sang guru tidak berkata lagi, Mara Sakti beranikan
diri angkat bicara.
"Semua pesan Eyang Guru akan kulakukan.
Tapi harap Eyang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi biar aku tidak merasa
gelap dengan semua ini. Apalagi Eyang telah menugaskanku menjaga sesuatu itu
sampai pada orang yang nanti berhak...."
"Saat ini telah muncul seorang tokoh yang tanpa kuduga sama sekali memiliki ilmu
luar biasa. Sebenarnya aku mungkin dapat bertahan seandainya tenagaku tidak
terkuras masuk pada sesuatu yang nanti kau temukan.
Itulah sebabnya mengapa aku tidak bisa bertahan. Namun mungkin inilah takdir
yang harus kuterima...."
"Harap Eyang mau mengatakan siapa orang itu dan mengapa sampai berbuat keji pada
Eyang...."
"Soal siapa orangnya biarlah aku sendiri yang tahu. Aku tak mau urusan ini
berlanjut. Cukup sampai aku saja! Untuk hal-hal lainnya nanti bisa kau temukan di tempat
yang kusebut tadi...."
Mara Sakti menarik napas dalam. Pemuda ini kelihatan sedikit kecewa dengan
jawaban eyang gurunya. Namun sebagai murid dia tidak berani mendesak apalagi
melihat keadaan sang guru.
"Mara Sakti.... Pesan terakhirku. Kau harus segera mencari tempat baru. Dan
hindari bentrok dengan siapa pun. Tugasmu adalah menjaga apa yang nanti kau
temukan...."
"Semua ucapan Eyang akan kukerjakan.
Sekarang apa yang harus kulakukan untuk menyembuhkan luka-luka Eyang."
Resi Kamahayanan tersenyum seraya
gelengkan kepala. "Tidak ada yang perlu kau lakukan, Mara Sakti. Jika kau
laksanakan apa yang kukatakan itu sudah lebih dari cukup...."
Habis berkata begitu, Resi Kamahayanan tarik tapak tangannya dari tangan Mara
Sakti. Bersamaan dengan itu sepasang matanya memejam. Kejap lain hembusan napasnya
terputus! Mara Sakti yang tidak menyangka
terkesiap. Dia buru-burutempelkan lagi tapak tangannya pada telapak tangan kiri
sang Resi. Namun terlambat.
"Eyang.... Eyang.... Eyang...!" seru Mara Sakti seraya guncang-guncang tubuh
eyang gurunya. Tapi sosok itu tidak lagi bergerak-gerak. Malah sekujur tubuhnya
kini telah menghitam!
Seakan masih tidak percaya, pemuda ini telungkupkan tubuh eyang gurunya lalu
kedua tangannya ditempelkan di punggungnya dan salurkan hawa murni. Namun hingga
keringat membasahi sekujur tubuhnya, sosok Resi Kamahayanan tidak juga mengalami
perubahan. Tetap tegang kaku!
Mara Sakti tarik pulang kedua tangannya dengan menarik napas panjang dan dalam.
Lalu perlahan-lahan dia balikkan kembali tubuh eyang gurunya. Sesaat kemudian
dia telah tegak dengan membopong sosok sang Resi.
"Eyang Guru.... Segala yang kau ucapkan akan kulaksanakan meski sebenarnya aku
ingin membalas pada orang yang berbuat keji itu!"
gumam Mara Sakti lalu melangkah dengan tabahkan hati dan menahan agar air
matanya tidak menetes.
Sejarak dua tombak, Mara Sakti hentikan langkah. Sepasang matanya memperhatikan
pada sosok yang menggeletak yang bukan lain adalah mayat Sepuh Panjalu.
"Jangan-jangan orang ini yang...." Mara Sakti tidak lanjutkan gumamannya. Sekali
lagi dia perhatikan pada mayat Sepuh Panjalu.
"Ah.... Tidak mungkin dia! Apa yang dialami orang ini hampir sama dengan yang
menimpa Eyang Guru. Berarti dia juga korban orang yang berbuat pada Guru.
Hem.... Seandainya Eyang memberitahukan padaku siapa orangnya...."
Mara Sakti pandangi sosok mayat Resi Kamahayanan yang berada di bopongannya.
Lalu gelengkan kepala sambil menarik napas dalam.
"Aku akan mengurus jenazah Eyang dahulu, baru orang itu...."
Mara Sakti putar diri setengah lingkaran lalu teruskan langkah.
* * * 4 MARA Sakti tegak di samping pohon di dekat gubuk dengan sepasang mata memandang
lurus ke utara pada beberapa batu putih yang tampak berjajar rapi.
"Hem.... Aku tidak menyangka kalau Eyang Guru menyimpan sesuatu di salah satu
batu itu. Lebih tidak menyangka lagi kalau Eyang harus secepat itu pergi. Tapi
apa harus dikata.... Semuanya sudah terjadi. Yang pasti aku harus segera
laksanakan pesan Eyang Gu-
ru...." Mara Sakti palingkan kepala kekanan.
Kini sepasang matanya menatap pada dua gundukan tanah merah. Setelah mengerjap
beberapa kali menahan gejolak dadanya, pemuda ini melangkah ke arah utara pada
beberapa batu putih. Seraya melangkah pemuda ini menghitung.
Tepat pada lang kanan kesepuluh, Mara Sakti hentikan langkahnya. Di hadapannya
tampak satu batu putih agak besar. Mara Sakti ulurkan kedua tangannya meraba
permukaan batu putih.
"Heran. Bagaimana mungkin Eyang mengatakan sesuatu itu berada di dalam batu ini.
Padahal batu itu tidak tampak
rengkahan!"
Sekali lagi Mara Sakti meraba-raba
seraya per-hatikan lebih saksama. Tapi sejauh ini sang pemuda memang tidak
menemukan adanya lobang atau rengkahan.
"Apa aku harus memecahnya?" pikir Mara Sakti.
Setelah sekian lama tidak mendapatkan jalan keluar, akhirnya dia memutuskan
untuk memecah batu putih itu. Dia angkat kedua tangannya.
Prakkkk! Karena pukulan itu bukan pukulan biasa, maka sekali pukul batu itu langsung
pecah. Tapi ada keanehan, walau batu putih itu pecah namun langsung membelah. Tidak ada
pecahan kecil-kecill
Mara Sakti tidak pedulikan keanehan itu karena sepasang matanya membentur pada
dua benda berwarna kuning dan biru yang saling
bertumpuk. Di sebelahnya terdapat sebuah daun lontar yang menggulung.
"Kitab!" seru Mara Sakti begitu dapat mengenali dua benda kuning dan biru yang
bertumpuk. Untuk beberapa lama Mara Sakti mengawasi kedua benda yang bertumpuk yang tidak
lain memang dua kitab adanya. Dada pemuda ini berdebar. Kedua tangannya
bergetar. Mara Sakti maju mendekat. Namun pemuda ini tidak berani bertindak
sembarangan. Rupanya dia maklum bahwa bahaya bisa timbul dengan tidak terduga.
Setelah kerahkan segenap tenaga
dalamnya, dia mengawasi keadaan di muka. Saat lain kepalanya berputar dengan
mata mengawasi berkeliling. Begitu merasa tidak ada orang lain, dia ulurkan
kedua tangannya mengambil daun lontar yang tergulung di sebelah dua kitab yang
bertumpuk. Dengan tangan masih bergetar, daun
lontar diambil. Perlahan-lahan daun lontar dibuka. Ternyata di dalamnya terdapat satu butiran sebesar ibu jari
berwarna merah.
Sesaat diperhatikannya butiran merah itu.
Lalu disimpannya ke balik pakaiannya.
Kemudian dia perhatikan daun lontar. Di situ terdapat tulisan.
Kelak hanya anak manusia yang memiliki Pedang Tumpul 131 yang berhak memiliki
Pedang Kunang Kunang 7 Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Beruang Salju 17
^