Pencarian

Api Di Puncak Sembuang 1

Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
API DI PUNCAK SEMBUANG Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
SATU Untuk yang kedua kalinya Pendekar Blo'on
sampai lagi di istana Pasundan atau kerajaan Surga
Dunia. Dalam pada itu keningnya berkerut. Istana da-
lam keadaan lengang, perajurit-perajurit kerajaan memang masih tetap berjaga-
jaga di posisi masing-
masing. Namun nampaknya mereka lebih santai dari
hari-hari biasanya.
Si baju biru seka keningnya, lalu garuk kepala
berulang-ulang. Keningnya mengerenyit.
"Istana dalam keadaan sepi, mustahil pangeran
Suprana berada di tempat" Lalu ke mana" Menurut Si
Kucar-Kacir, Pangeran gila itu pasti kembali ke istana.
Aku khawatir sekali puteri Saba sudah diapa-apainya.
Aku harus menyelidik ke dalam istana itu." tegas Suro dalam hati. Untuk
menghindari perajurit-perajurit kerajaan, ia mengambil jalan di bagian belakang.
Pemuda tampan bertampang ketolol-tololan ini
kemudian melompati benteng istana yang menjulang
tinggi. Ia sampai di taman kaputren. Baru saja ia menyelinap diantara rumpun-
rumpun bunga yang terdiri
dari beraneka rupa itu. Suro mendadak hentikan lang-
kah, memandang ke depan dengan mata terpentang
lebar. Di tengah-tengah taman bunga itu ternyata terdapat sebuah kolam berair
jernih. Di dalam kolam ti-
dak kurang dari lima orang gadis sedang mandi. Dan
di tepian kolam sepuluh gadis sedang berjemur sambil bersenda-gurau. Si konyol
kerjabkan matanya, gadis-gadis itu semuanya dalam keadaan telanjang bulat.
"Ckk... cck...! Ini rupanya gadis-gadis peliha-
raan pemuda edan itu. Mereka sama sekali tidak ber-
malu. Pamer aurat, bertelanjang ria. Ada yang putih, ada yang hitam, ada pula
yang kuning. Terlalu banyak bukit kembar yang mubajir di taman kaputren ini."
Su-ro tiba-tiba senyum sendiri. "Bukit-bukit itu ada yang lebat, ada yang
gersang bahkan ada yang tidak berhutan sama sekali. Apa habis dicukur atau
hutannya memang gundul terkena polusi" Kalau aku punya istri
sebanyak itu, tidak sampai setahun di depan aku sege-ra mati loyo! Gila...!!"
Suro tersenyum. Selanjutnya ia menyelinap ke bagian lain. Di dalam istana
penjagaan memang cukup ketat. Suro terpaksa menotok dan melucuti pakaian seorang
perajurit. Setelah mengenakan pakaian perajurit yang dibiarkan cuma berkolor
saja. Suro dengan bebas dapat memasuki ruangan-ruangan
istana yang sangat banyak sekali.
"Aneh, mereka sama sekali tidak berada di sini.
Lalu kemana perginya Pangeran gila Suprana?" batin Pendekar Mandau Jantan
bingung. Ia kemudian memasuki sebuah ruangan yang tidak lain adalah kamar
para gadis yang menjadi budak-budak nafsu Kumbang
Pemikat. Begitu masuk ia langsung menutup pintu.
Di sini pun Suro melihat pemandangan yang
luar biasa. Bayangkan tidak kurang dari belasan gadis hanya memakai pakaian
teransparan berwarna putih.
Di balik pakaian itu mereka sama sekali tidak mema-
kai apa-apa. Salah seorang diantaranya begitu melihat ke-
hadiran Suro yang berpakaian prajurit langsung mem-
bentak. "Perajurit sialan! Berani sekali kau memasuki ruangan surga. Apakah kau
ingin kepalamu dipan-cung!" Lantang suara gadis berlekuk dagu itu.
Karena Suro tetap tidak beranjak dari situ, ma-
ka ia segera datang menghampiri.
"Kau tidak tuli, bukan?"
Suro menggeleng. Lalu ia menempelkan telun-
juk ke bibirnya. Si konyol membuka penyamarannya.
"Heh...!" Gadis tadi terkejut serentak melangkah mundur. Sedangkan kawan-
kawannya berhambu-
ran menghampiri Suro. Hamba-hamba nafsu ini keli-
hatannya terpesona melihat ketampanan Suro.
"Siapakah Kisanak?" tanya gadis yang membentaknya tadi. Diam-diam ia pun merasa
tertarik. "Aku tidak perlu menjelaskan namaku. Aku in-
gin bertanya apakah Pangeran Suprana ada di istana
ini"!" Belasan gadis itu saling pandang. Lalu gadis yang berlekuk di dagu
spontan menjawab.
"Aku Sri Asih, kepala gadis-gadis Sorga Dunia.
Kalau pertanyaanmu itu ku jawab. Apakah kau berse-
dia memberikan kehangatan pada kami semua?" tantang si gadis, bibirnya yang
kemerahan itu mengem-
bangkan seulas senyum mengundang gairah.
Suro jadi bingung. Gadis itu bukan sedikit, la-
gipula ia bukan tipe pemuda mata keranjang, atau ti-
kus yang mudah masuk perangkap hanya karena sete-
lah melihat terasi mubazir.
"Anu... jawab dulu pertanyaanku...!" sahut Suro gugup dan sekujur tubuhnya pun
langsung keringa-tan.
Sri Asih menghampiri, mengelus-elus dada Su-
ro sambil berkata. "Aku suka padamu. Kau pasti seorang pemuda perkasa yang dapat
memuaskan dahaga
kami!" "Hust, kalau kalian dahaga minum sebanyak-banyaknya. Lebih baik kalian
bantu aku, kelak aku
akan membantu kalian!" jawab Suro tegas.
"Tidak semudah itu, melihat tampangmu yang
tolol begitu apa mungkin kau becus menghadapi Pan-
geran Suprana, Tuhan kesenangan dunia."
Sri Asih ragu-ragu. Lalu salah seorang kawan-
nya yang berambut panjang berdada montok menim-
pali. "Lebih baik kasih keterangan padanya, kakak.
Siapa tahu kelak dia dapat menolong kita!"
"Usulmu bagus juga Kumala." Sri Asih menang-gapi. Sedangkan pada saat itu gadis-
gadis lainnya sudah mulai ada yang mendekap dan memeluk Suro.
Pemuda itu merasa risih, namun ia tidak berani ber-
tindak, khawatir gadis-gadis itu membuat kegaduhan.
Kemudian Sri Asih menjawab. "Pangeran Suprana dan panglima Sang Bala tidak
berada di tempat, mungkin
mereka sekarang sedang mengejar puteri Saba yang te-
lah dilarikan oleh seseorang. Kumbang Pemikat seka-
rang sedang terluka, mereka juga bersama Tabib Dewa
Sesat." jelas gadis itu.
Lega juga hati Suro mendengar semua itu. Na-
mun ia tidak tahu siapa yang telah melarikan puteri
Saba. Kini ia menyadari sedang berhadapan dengan
orang-orang licik. Sedangkan mengenai Tabib Dewa
Sesat, menurut gurunya dulu tokoh berkepala botak
ini memiliki kepandaian tinggi di samping ia ahli me-ramu obat juga racun.
"Terima kasih atas keterangan kalian. Lain hari jika segala urusan telah
selesai, aku datang ke sini lagi untuk membebaskan kalian." tegas Pendekar
Blo'on. Sri Asih dan Kumala kelihatannya dapat men-
gerti. Tapi gadis-gadis lainnya tidak perduli.
"Kau mana boleh pergi begitu saja, arjunaku.
Kemarilah, beri kami kepuasan." desis gadis-gadis itu.
Mereka pun berebut memeluk Suro, dianta-
ranya bahkan ada yang berusaha melucuti pakaian
Suro, ada juga yang tangannya gentayangan ke bagian
selangkangan Suro. Tidak jarang pula yang menjatuh-
kan ciuman bertubi-tubi ke bibir dan wajah Suro. Pe-
muda ini jadi kelabakan, lalu menotok gadis-gadis
yang mengerubuti mereka, sampai kemudian terdengar
suara Kumala. "Hentikan! Biarkan tuan ini pergi, dan jangan
ada yang coba melapor pada Iblis Peruntuh Mahkota."
ancam Kumala. Mereka yang belum sempat tertotok langsung
bergerak mundur. Sri Asih membuka jendela sambil
memberi isyarat pada Suro untuk mendekat.
"Saudara, bagaimana pun kami ingin kembali
menjadi orang baik. Saudara harapan kami. Untuk itu
aku membantumu, lekaslah pergi, sebelum perajurit-
perajurit itu curiga. Sebelum itu aku harus tahu, bagaimana nasib kawan-kawan
kami yang tertotok" Apa-
kah mereka segera mati?"
Suro terpaksa menahan tawa. "Tidak! Mereka
tetap panjang umur, tidak lama totokan akan punah
sendiri!" kata Suro.
Tanpa menunggu lebih lama, Suro langsung ke-
luar dari jendela. Kemudian ia bergerak meninggalkan kerajaan Pasundan yang
terletak di lembah Kahuripan
itu. Setelah cukup jauh si konyol meninggalkan ke-
rajaan. Maka berhentilah ia di bawah sebatang pohon.
Ia gelisah, lalu setelah toleh sana toleh sini ia membuka celananya.
"Aku khawatir burungku sudah diambil oleh
gadis-gadis tadi!" katanya seorang diri. Lalu ia meme-riksa dan akhirnya
tersenyum. "Aman! Aku punya tetap di tempat, ia masih mengeram untung telurnya
ti- dak pecah!"
Suro menarik celananya ke atas lagi. Saat ia
meraba ke bagian pinggang maka pucatlah wajah pe-
muda itu. "Senjataku!" desisnya dengan suara bergetar. Ia meraba-raba lagi,
namun senjata andalannya
Mandau Jantan tetap tidak ditemukannya.
Suro mondar-mandir sambil menepuk-nepuk
keningnya. Bingung! Wajahnya sebentar memucat se-
bentar memerah, ia coba mengingat-ingat di mana sen-
jata itu tertinggal atau kalau benar di curi oleh orang lain siapa orangnya"
"Apa mungkin yang mencuri senjataku perem-
puan-perempuan yang berada dalam istana tadi?" pikir Suro. "Rasanya tidak
mungkin. Hmm, aku bisa mampus menghadapi persoalan besar nanti tanpa senjata
itu! Siapa yang mencurinya, bagaimana mungkin aku
sampai tidak tahu senjataku telah berpindah tangan?"
Suro terdiam lagi, bibirnya bersungut-sungut.
Ada rasa geram di hatinya, ia takut senjata maut itu di salah gunakan orang. Ia
pun tersentak kaget ketika teringat sesuatu.
"Tidak salah, orang yang mengambil senjata
sampai aku tidak merasakannya pastilah hanya orang
yang memiliki kepandaian tinggi dalam hal mencuri!"
desis Pendekar Blo'on. Lalu ia teringat pertemuan yang kedua kalinya dengan
gadis berpakaian hitam. Bukankah pada puteri Saba ia pernah mengaku sebagai Mal-
ing Cerdik. Waktu itu ketika Suro hendak berangkat ke kerajaan Pasundan dalam
usahanya menyelamatkan
puteri Saba ia bertubrukan dengan gadis itu.
"Kurang ajar betul, dia benar-benar maling
yang sangat lihai. Aku harus mencarinya sebelum ber-
temu dengan orang-orang yang harus kutumpas! Hh,
sekarang aku harus pergi, aku rasa dia juga menuju
ke bukit Sembuang." Batin Pendekar Blo'on. (Untuk le-
bih jelasnya siapa gadis berbaju hitam itu dalam Episode Pendekar Kucar Kacir).
Suro bangkit berdiri, dengan mengerahkan ilmu lari cepat Kilat Bayangan. Pe-
muda itu dalam sekejap saja sudah tidak terlihat batang hidungnya.
* * * Seperti diceritakan dalam episode terdahulu,
Tabib Dewa Sesat waktu itu bersedia mengobati racun
jahat ular kuning yang mengeram di tubuh Pangeran
Suprana alias Kumbang Pemikat alias Iblis Peruntuh
Mahkota. Sebagai imbalan ia berhak mendapatkan pu-
teri Saba sebagaimana yang diminta oleh Tabib sesat
berkepala botak ini. Kelicikan dibalas dengan kelicikan. Ketika Pangeran Suprana
mengingkari janjinya.
Tidak tahu tabib ini juga sebelumnya telah memberi
racun dalam salah satu obat yang diberikannya pada
Pangeran Suprana.
Pemuda itu tidak punya pilihan lain. Ia pun
mengabulkan permintaan sang Tabib. Tapi ketika me-
reka hendak mengambil sang puteri, gadis itu lenyap.
Kini Tabib Dewa Sesat tanpa menghiraukan
Pangeran Suprana dan Sang Bala yang menyusul tidak
jauh di belakangnya terus melakukan pengejaran. Se-
kejab tadi ia sempat melihat berkelebatnya bayangan
merah sambil memondong puteri Saba.
Ia mengejar sambil berteriak-teriak. Namun
bayangan merah itu sedikit pun tidak menoleh bahkan
mempercepat larinya. Dalam waktu singkat sang Tabib
telah tertinggal jauh. Adalah suatu kenyataan yang
sangat mengejutkan bila hal ini dapat terjadi mengingat sang Tabib adalah tokoh
aliran hitam yang berpengalaman di samping memiliki ilmu lari 'Kijang Kenca-
na'. Dalam keadaan berlari itu pula terlintas dalam be-naknya apa dan siapa
orang yang telah melarikan pu-
teri Saba. Orang yang dikejar pun menghilang. Sambil
memaki-maki sang Tabib hentikan langkahnya. Rasa
geram mewarnai dirinya. Sekilas ia menoleh ke bela-
kang. Dilihatnya Sang Bala turus mengejar dengan
menunggang kuda. Ia tidak melihat Pangeran Suprana,
pemuda yang telah disembuhkan dari racun ular kun-
ing, namun kini harus menderita keracunan lagi akibat perbuatannya sendiri.
"Manusia berwajah dingin ini aku tidak tahu
sampai dimana kehebatannya. Aku tidak mau bentrok
dengannya. Lebih baik aku mencari Pedang Penyebar
Bencana. Jika senjata itu sudah kudapatkan, aku da-
pat menghancurkan orang-orang itu, kelak aku dapat
menguasai istana sambil uncang-uncang kaki! Ha ha
ha...!" Sang Tabib tertawa terbahak-bahak. Ia mengambil jalan ke kiri dan terus
melanjutkan perjalanannya. Tidak lama muncul Sang Bala. Laki-laki itu te-
rus memacu kudanya menempuh jalan ke kanan. Na-
mun sampai setengah jam kemudian ia juga tidak ber-
hasil mendapatkan apa yang dicarinya. Orang yang te-


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lah melarikan puteri Saba lenyap bagai ditelan bumi, demikian pula dengan Tabib
Dewa Sesat. Dalam keadaan bingung itulah, tiba-tiba ter-
dengar suara pekikan keras di udara.
Sang Bala menengadahkan wajahnya ke langit.
Dilihatnya Pangeran Suprana telah berada di atas
punggang Elang Perak. Burung raksasa yang besarnya
dua kali lipat dari rajawali.
"Hiiiihk...!"
Elang perak menguik keras. Kepakan sayapnya
yang semakin rendah membuat pohon-pohon tergun-
cang keras, sedangkan kuda yang ditunggangi Sang
Bala memberontak.
"Saudaraku Pangeran Suprana. Buruan kita le-
nyap! Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Dari atas punggung Elang Perak yang masih
melayang-layang di udara Iblis Peruntuh Mahkota me-
nyahuti. "Sekarang lebih baik cari Tabib Dewa Sesat du-
lu. Racun yang diberikannya dalam obat itu tampak-
nya tidak bisa dianggap enteng. Itu racun Serat Raga, dua puluh tujuh hari
mendatang jika aku tidak menemukan pemunahnya, tubuhku akan hancur. Cepatlah
cari jahanam berkepala botak itu. Rampas obat pemu-
nahnya, jika obat itu ditelan maka kau korek perut-
nya!" teriak Kumbang Pemikat sambil memegangi dadanya. "Baik, saudaraku. Tidak
kubiarkan kau menderita. Aku siap mengorbankan jiwa dan ragaku demi te-
gaknya kerajaan Sorga Dunia!" sahut Sang Bala.
Pembunuh berdarah dingin yang tidak kenal
asal usulnya dan murid tertua Dewa Kubu ini segera
menggebah kudanya ke arah selatan. Untuk lebih jelas siapa Dewa Kubu, (dalam
episode Undangan Maut).
Sementara Elang Perak kembali membubung tinggi ke
udara, kemudian meluncur ke arah bukit Sembuang.
*** DUA Karena Pangeran Demak Pati alias Pendekar
Kucar Kacir tahu persis di mana letak Bukit Sem-
buang, maka setelah menempuh perjalanan selama tu-
juh hari dengan berjalan kaki. Pemuda itu setelah lewat tengah hari sampai di
tempat yang ditujunya. Bu-
kit Sembuang terasa sunyi, ia berjalan lagi bermaksud mendaki ke puncaknya. Di
waktu itulah ia dikejutkan
dengan adanya mayat-mayat bergelimpangan.
Dengan perasaan tidak enak Pendekar Kucar
Kacir melakukan pemeriksaan.
"Mayat-mayat ini bukan perajurit kerajaan. Aku
tidak tahu mereka datang dari daerah mana. Kurasa
mereka orang-orang dunia persilatan! Tapi siapa yang telah membunuhnya" Kening
mereka berlubang, eh...
aku seperti melihat angka-angka." Pangeran Demak Pati alias Si Kucar Kacir
meneliti. Ternyata bukan angka, huruf-huruf yang mungkin dari paku-paku bera-
cun." si pemuda menggumam. Setelah membersihkan darah kering di bagian kening si
mayat. Maka terlihatlah dua baris kata. 'El Maut'.
"Siapa El Maut" Setan atau manusia juga se-
perti diriku. Tempat ini rasanya sudah tidak aman seperti dulu. Aku merasakan
hawa pembunuhan dima-
na-mana. Ini berarti orang-orang telah memusatkan
perhatiannya ke bukit ini. Edan... ada-ada saja. Aku sendiri tidak tahu dimana
Pedang Pemersatu itu dis-embunyikan ayahanda. Tapi... eh, apa itu...!" Serentak
Pendekar Kucar Kacir bersurut langkah. Ia melihat ada sepasang mata memancarkan
cahaya merah menga-wasinya dari semak belukar yang gelap.
"Apa mungkin ada harimau disini" Perasaanku
semakin tidak enak saja!" desis Pendekar Kucar Kacir.
Belum lagi ia sempat berbuat apa-apa, tiba-tiba
terdengar suara erangan yang membuat seluruh lereng
bukit bergetar. Lalu terdengar lagi bentakan mengakhi-ri suara erangan tadi
"Sudah banyak nyawa yang tercabut. Sudah
banyak jiwa yang terbang ke langit. Aku yang mengirim mereka dengan paksa. Kini
kau datang lagi menambah
jumlah yang ada! Bukit Sembuang sudah tidak nya-
man. Kemana Jasa Raga" Apakah dia telah melupakan
aku si tua bangka?" teriak suara di balik semak belukar.
Mendengar disebut-sebutnya almarhum aya-
handanya. Pendekar Kucar Kacir jadi kaget. Ia tidak
tahu orang itu berada dipihak mana, namun apapun
resikonya ia harus berterus-terang.
"Siapapun dirimu, harap tunjukkan diri! Aku
Pangeran Demak Pati putera almarhum raja Jasa Ra-
ga. Aku datang kemari untuk mengambil Pedang Pe-
nyebar Bencana agar tidak jatuh ke tangan Pangeran
Suprana," "Hik hik hik...! Apa jawabmu jika kutanya ten-
tang kematiannya?" bentak suara tadi. Kemudian dari semak-semak keluar sosok
tubuh tua renta. Pendekar
Kucar-Kacir memperhatikan dengan tatapan tidak ber-
kedip. Ternyata dia adalah seorang perempuan, berpa-
kaian hitam kotor, rambut awut-awutan. Sepasang
matanya merah memancarkan cahaya. Wajahnya yang
mengerikan itu terdapat lima luka yang sangat dalam
seperti dicakar harimau. Walau pun luka-luka itu telah sembuh, namun
meninggalkan bekas yang sedemikian
rupa. Dengan terbungkuk-bungkuk ia terus mende-
kati Pangeran Demak Pati. Si pemuda tidak berani ber-lama-lama memperhatikan
nenek renta itu.
"Kau tadi mengatakan puteranya raja Jasa Ra-
ga?" Dingin suara si nenek.
"Ya...!" sahut Pangeran Demak Pati.
"Bagus!" teriak si nenek. "Jika ayahmu tidak
pernah cerita padamu tentang El Maut. Kau akan ku-
kirim ke neraka dengan arwah penasaran!"
Tiba-tiba saja ia mengangkat tangannya. Dari
setiap ujung jemari si nenek tiba-tiba melesat cairan berwarna putih yang
membentuk seperti tali. Serangan itu berkecepatan di atas suara. Sehingga
Pangeran Demak tidak sempat lagi menghindar. Tahu-tahu tu-
buhnya sudah dibelit cairan berpilin-pilin itu. Hanya dalam waktu sekejap cairan
tadi telah mengering. Kini bentuknya benar-benar seperti tali yang kuat membe-
lenggu tubuh si pemuda.
Pangeran Demak Pati memberontak, namun
usahanya itu hanya sia-sia. Semakin ia bergerak tali tersebut semakin erat
menjeratnya. "Apa salahku?" tanya Pendekar Kucar Kacir tidak berdaya.
"Hik hik hik! Aku tidak perlu jelaskan apa sa-
lahmu. Seharusnya kau sudah kubinasakan. Aku
memberimu hidup beberapa lagi lagi, setelah itu kau
akan kubunuh!" dengus El Maut.
"Huh, aku tidak takut mati. Tapi kau harus
menjelaskan mengapa kau membunuh orang yang ti-
dak bersalah?"
"Diam...!" bentak si nenek.
Simpul-simpul tali yang terbuat dari cairan
aneh disentakkan. Dilain waktu tubuh Pendekar Kucar
Kacir telah berada di atas bahu El Maut. Sekali perempuan aneh bermata seperti
harimau ini menjejakkan
tubuhnya. Maka si pemuda merasa dirinya seperti di-
bawa terbang. Tidak sampai sepemakan sirih ia telah dibawa
ke dalam sebuah gua yang terdapat di puncak bukit
Sembuang. Pendekar Kucar Kacir terheran-heran sen-
diri. Seingatnya dulu ketika ia berumur belasan tahun
ia pernah ikut ke bukit itu. Dia tidak melihat ada gua di sana, namun sekarang"
Gua itu cukup luas, ini
mengingatkan tempat persembunyiannya dulu di dae-
rah Ciujung. Namun yang membuat pemuda ini kaget
adalah terdapatnya mayat-mayat yang tergantung den-
gan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.
El Maut mencampakkan Pendekar Kucar-Kacir
di lantai Gua. Ia memaki-maki dalam hati karena ne-
nek renta itu sama sekali tidak punya belas kasihan.
"Mayat-mayat yang telah kering itu seperti kau
lihat." menjelaskan El Maut. "Mereka masuk ke bukit ini beberapa hari yang lalu.
Tujuannya adalah mencari Pedang Penyebar Bencana. Aku mengawetkannya agar
menjadi pelajaran bagi orang-orang serakah. Huh...
mengapa setiap tersadar dari tidurku aku harus mem-
bunuh! Raja Jasa Raga, mana raja itu" Apakah dia su-
dah lupa pada janji-janjinya" Apakah dia sudah lupa
dengan El-Maut?" Si nenek tiba-tiba menggerung, lalu menangis. Tangisnya sungguh
terasa memilukan hati.
"Untuk apa aku bangkit dari tidurku jika kesengsaraan saja yang kulihat. Ah...
aku harus menggantungmu!
Kelak di keningmu akan kuberi tanda El Maut. Semua
orang yang datang ke bukit ini akan kuperlakukan
sama seperti dirimu!"
"Tunggu...!" Cegah si pemuda ketika melihat si nenek hendak menggantungnya.
"Kau hendak bicara apa, lekas katakan!" perintah El Maut.
"Anda menyebut-nyebut almarhum ayahanda-
ku. Sebenarnya ada hubungan apa antara ayahku
dengan dirimu?" tanya Pangeran Demak penasaran.
Wajah yang rusak seperti bekas cakaran hari-
mau itu tampak berubah-ubah. Matanya yang meman-
carkan cahaya aneh berkedip-kedip. Lalu terdengar
suara tangisnya yang tidak terbendung.
"Bila kujelaskan, hancur hatiku. Bila kupen-
dam sakit perasaanku. Aku memilih hancur hati biar
dapat menggantungmu!" Si nenek menggerakkan tangannya. Lima tali yang mengikat
Pendekar Kucar Kacir terangkat. Tali-tali itu tersangkut di langit-langit gua.
Tubuh pemuda itu kemudian tergontai-gontai dengan
kaki di atas kepala menghadap bawah. Pangeran De-
mak Pati tidak tinggal diam. Ia meronta, si nenek me-mandanginya sambil berkata.
"Jika kau terus begitu, bila tali itu lepas. Maka kepalamu akan hancur. Hik hik
hik! Aku tidak banyak
waktu untuk bicara denganmu! Aku harus keluar!"
"He, tunggu...!" Putera mahkota kerajaan Pasundan ini berteriak. Namun percuma
saja. Karena El
Maut sudah tidak ada lagi di gua itu. Pangeran Demak mulai merasa kepalanya
mendenyut dan berat sekali.
Melirik ke lantai gua ia melihat batu-batu runcing
menghadap kepalanya. Sekarang dia bingung sendiri,
karena ia tidak tahu siapa perempuan aneh tersebut.
Yang membuatnya terheran-heran. Mengapa ia kenal
dengan almarhum ayahandanya" Atau mereka me-
mang punya hubungan tertentu"
Pendekar Kucar Kacir sendiri bingung memikir-
kan semua ini. Pada saat itulah dari lorong bagian dalam gua mancul seorang
gadis berpakaian hitam ring-
kas. Melihat gerak geriknya yang mencurigakan,
Pendekar Kucar Kacir langsung menegurnya.
"Hei, nisanak. Siapakah kau?"
Gadis itu memandang pada sang Pangeran, ke-
ningnya mengerenyit. Kemudian ia segera mengenali.
Dia tidak lain adalah pemuda yang terkapar di atas
bukit. Waktu itu adiknya menangisi pemuda tersebut.
"Oh kau! Rupanya kau tidak mati, pengemis
muda. Tidak kulihat kau bersama gadis itu! Jadi dia
sudah meninggalkanmu! waktu itu aku memang me-
nyarankan agar dia kawin lagi. Untuk apa kawin den-
gan pemuda pengemis!"
Sekarang mengertilah Pangeran Demak Pati
siapa gadis ini. Waktu itu puteri Saba adiknya bercerita tentang gadis yang
mengaku dirinya Maling. Tapi
bagaimana gadis ini bisa masuk ke ruangan gua tanpa
diketahui oleh El Maut"
Ketika Suro dan Maling Jenaka alias Maling
Cerdik ini bertemu untuk kedua kalinya tanpa sengaja.
Setelah bertabrakan dengan pemuda konyol itu si ga-
dis yang bernama Gadis ini segera menuju ke bukit
Sembuang. Berhubung ia sendiri kurang paham arah
yang ditujunya, kebetulan di tengah perjalanan ia melihat serombongan laki-laki
berkuda berasal dari selatan. Setelah mencuri dengar pembicaraan mereka baru
ia tahu bahwa orang-orang itu pergi ke bukit Sem-
buang. Maka secara diam-diam Gadis mengikuti rom-
bongan ini. Namun perjalanan mereka tidak mulus.
Sampai di lereng bukit mereka dihadang oleh seorang
nenek sakti bermata menyala seperti bara. Mereka se-
mua terbunuh secara mengerikan. Kening mereka di-
tembusi paku yang mengukir dua buah kata mendiri-
kan roma. El Maut. Selain itu tiga pimpinan orang-
orang dari selatan ini juga tertangkap. Maling Cerdik mengikuti si nenek dan
ingin tahu apa yang akan dilakukannya pada pimpinan orang-orang selatan itu.
Ternyata sesampainya di dalam gua. Ketiga la-
ki-laki yang menjadi pimpinan rombongan disiram
dengan sejenis cairan. Mereka melolong-lolong kesakitan. Tubuh mereka
mengepulkan asap berwarna putih.
Mereka gembong-gembong persilatan dari Pantai Sela-
tan itu tewas seketika dalam keadaan berdiri kaku.
Orang-orang ini digantung, Gadis memperhati-
kan kejadian ini di tempat persembunyiannya yang
aman. Ketika El Maut keluar kembali meninggalkan
gua. Maka Maling Jenaka menyelinap masuk untuk
mencari Pedang Penebaran Bencana. Karena menurut
perhitungannya pedang tersebut memang disimpan di
dalam gua. Namun Gadis tidak menemukan Pedang Pemer-
satu tersebut. Bahkan ia sendiri hampir ketahuan ka-
rena El Maut, manusia misterius itu telah kembali
dengan membawa seorang pemuda yang telah terikat
dengan tali yang tercipta dari lendir aneh.
Yang membuat Maling Cerdik heran, nenek ren-
ta tersebut tidak membunuh pemuda itu sebagaimana
yang dilakukannya pada tiga gembong Pantai Selatan.
Kini setelah tidak mendapatkan apa yang dicarinya, ia bermaksud meninggalkan gua
tersebut. Itulah sebab-nya tanpa menghiraukan Pangeran Demak Pati ia ber-
balik. "Tunggu! Tolong bebaskan aku dari gantungan celaka ini!" teriak Pangeran
Demak dengan perasaan dongkol.
"Huh, untuk apa aku bebaskan kau. Aku tidak
punya waktu, lagipula kekasih bukan saudara juga
bukan. Biarlah kau digantung di situ sampai mampus!
Aku Maling cerdik tidak punya waktu!" dengus si gadis. Tanpa basa basi lagi ia
langsung berkelebat pergi.
Sekarang hilanglah harapan Pendekar Kucar


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kacir untuk menyelamatkan diri. Ia memandang ke
sekeliling ruangan sambil mencari akal bagaimana ca-
ranya dapat membebaskan diri dari tali terkutuk itu.
* * * Di tikungan jalan bayangan merah menghenti-
kan langkah. Puteri Saba dalam pondongannya segera
diturunkan. Totokan kini sudah dibebaskan. Begitu
terbebas sang puteri yang arif langsung berlutut.
"Kakek siapapun adanya anda, aku puteri Saba
patut menghaturkan rasa terima kasih yang dalam!"
katanya dengan perasaan terharu.
Kakek baju merah berjenggot dan berambut
merah menggumam. Tatapan matanya penuh wibawa,
wajahnya sejuk penuh ketenangan.
"Manusia tidak pantas menyembah manusia.
Walau pun orang itu mempunyai pangkat dan kedu-
dukan tinggi. Berdirilah puteri Saba, aku hanya melakukan apa yang menjadi
kewajibanku sebagai manu-
sia!" kata kakek rambut merah.
"Aku berhutang nyawa dan kehormatan, siapa-
kah engkau kakek?" tanya puteri Saba.
"Bersukurlah pada Gusti Allah. Aku adalah Ma-
laikat Berambut Api!" sahut si kakek.
Puteri Saba terkejut, dia pernah mendengar
nama besar tokoh Pantai Selatan yang konon berdiam
di Pulau Seribu Satu Malam itu. Dan pulau itu sendiri hingga sekarang tidak
seorang pun tahu di mana letaknya secara pasti.
"Saya beruntung bertemu dengan tokoh besar
seperti anda, kek. Sayang urusan kerajaan begini ru-
mit, jika tidak aku ingin berguru padamu!" ucap puteri Saba serius.
Malaikat Berambut Api menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah mengangkat murid selain pada cu-cuku sendiri. Sekarang aku
sedang mencarinya."
"Siapa muridmu, kek?"
"Suro Blondo, pemuda konyol yang tingkahnya
seperti orang kurang waras!" jelas Malaikat Berambut Api sambil menjelaskan
ciri-ciri muridnya secara terpe-rinci. Puteri Saba tampak berubah cerah
wajahnya. Pemuda yang berjuluk Pendekar Blo'on itu tentu dia
pernah bertemu. Pemuda itu pula yang telah menye-
lamatkan Pangeran Demak Pati dari pukulan beracun
Sang Bala, dia juga yang mati-matian membela putera
puteri kerajaan ketika Pangeran Suprana menyerang
mereka dengan Elang Peraknya, (agar lebih jelas dalam Episode Pendekar Kucar
Kacir). Tanpa ragu-ragu lagi
puteri Saba menceritakan pertemuannya dengan Pen-
dekar itu. "Jadi sekarang dimana dia?"
"Waktu Pangeran Jahanam itu menculik aku, ia
bersama dengan kakanda Pangeran Demak Pati. Entah
sekarang?"
Puteri Saba kemudian menceritakan semua
yang sedang terjadi. Kakek yang sangat jarang terse-
nyum apalagi tertawa ini kerutkan keningnya.
"Persoalanmu kelihatannya memang rumit.
Mengenai Tabib Dewa Sesat aku sudah kenal kelici-
kannya. Sedangkan pemuda ingusan yang kau sebut-
sebut sebagai Pangeran Suprana sama sekali aku tidak mengenalnya. Lalu dimana
mahkota itu sekarang?"
"Disimpan Guru Kami Setan Trompet." jawab
puteri Saba. Malaikat Berambut Api angguk-anggukan
kepala. "Menurutmu siapa guru Pangeran Suprana?"
tanya si kakek selanjutnya.
"Saya kurang pasti, kek. Menurut yang kuden-
gar dari pembicaraan antara Pangeran Suprana den-
gan Sang Bala yaitu panglima perangnya sendiri, guru
mereka adalah tokoh dari Andalas yang berjuluk Dewa
Kubu!" "Dewa Kubu"!" desis kakek Dewana, kerut me-rut di keningnya semakin
bertambah dalam.
Ia langsung ingat, dulu Dewa Kubu juga pernah
menjambangi tanah Jawa ketika istrinya Nini Palayan-
gan melarikan diri. Dia juga pernah membuat kegem-
paran dimana-mana. Tokoh yang satu ini sakti bukan
main, jurus-jurus silatnya beragam. Selain itu tokoh setengah roh setengah
manusia ini juga punya tunggangan perkasa yaitu berupa seekor burung langka
yang diberi Nama Elang Perak.
"Apakah guru bocah gila yang mengaku Tuhan
itu pernah datang ke sini?" tanya kakek Dewana.
"Belum pernah, entah saat ini. Tapi yang saya
tahu selama ini Pangeran Suprana selalu menunggang
Elang Perak!" jelas puteri Saba.
Mata Malaikat Berambut Api menyipit. Lama
juga ia terdiam. Ada kegelisahan di wajah kakek ini.
*** TIGA "Elang Perak! Burung raksasa itu tidak dapat
dianggap enteng. Aku sendiri sebenarnya sudah tidak
mau mencampuri urusan yang berbau keduniawian.
Namun setelah melihat musuh-musuh yang bakal ka-
lian hadapi rasanya tidak tega aku membiarkan kalian terbantai begitu saja!"
ujar kakek Dewana.
"Merupakan suatu kehormatan yang sangat be-
sar jika kakek bersedia membantu kami!" kata puteri Saba dengan hati gembira.
Belum sempat Malaikat Berambut Api menang-
gapi ucapan gadis berpakaian putih itu. Tiba-tiba saja terdengar suara gelak
tawa seseorang yang seakan datang dari delapan penjuru angin. Puteri Saba
melengak kaget, sebaliknya kakek aneh Malaikat Berambut Api
hanya diam dengan mata menyipit.
"Sampai pusing aku mencari, tidak tahunya ca-
lon istriku dilarikan kunyuk merah di sini!" kata sebuah suara begitu suara
tawanya melenyap.
Set! Dari balik sebatang pohon besar tampak me-
luncur sosok bayangan berpakaian hitam.
Kepalanya gundul, alisnya berwarna putih tan-
pa jenggot dan kumis. Sebelum kehadirannya tadi ter-
dengar suara berdengung seperti suara ribuan lebah
yang pindah sarang.
Kini setelah melihat siapa kakek berpakaian
merah di depannya kakek gundul itu sempat merendek
kaget. "Cuh! Tidak disangka engkau yang konon telah mengasingkan diri di Pulau
Seribu Satu Malam sekarang gentayangan di rimba persilatan. Apakah engkau
ingin juga memiliki Pedang Penebar Bencana" Jika itu yang kau inginkan, aku
bersedia membantumu! Tapi
tolong kau berikan puteri Saba kepadaku. Karena se-
suai perjanjian dengan Pangeran Suprana, dia telah
dihadiahkan padaku!" kata Dewa Sesat. Rupanya diantara mereka ini sebagai tokoh
angkatan tua sudah saling mengenal dan kelihatannya Tabib Dewa Sesat me-
rasa jeri berhadapan dengan Malaikat Berambut Api.
"Kesesatanmu sejak dulu tidak berkurang Wi-
sang Geni!" dengus kakek rambut merah menyebut
langsung nama Tabib Dewa Sesat. "Kau inginkan gadis ini, kalau kau punya nyali
ambillah dari tanganku!"
"Cuh! Aku tidak mau cari perkara denganmu,
namun jika terpaksa apa boleh buat!" bentak Sang Tabib.
Tiba-tiba secepat kilat ia hantamkan tinjunya
ke wajah Dewana. Kakek rambut merah maklum beta-
pa serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Angin mendesir menebar hawa panas, Malaikat
Berambut Api sama sekali tidak menggeser tubuhnya.
Saat tinju sudah berada di depan hidungnya sang ka-
kek miringkan kepala ke kanan. Lalu tangannya me-
nepis. Plaak! "Ukh...!"
Tepisan yang keras ini membuat Sang Tabib
terhuyung-huyung. Namun ia cepat berbalik dan lang-
sung melepaskan tendangan. Kakek Dewana melompat
ke udara. Lalu kakinya menyapu ke arah dada. Sambil
melompat mundur selamatkan dada Sang Tabib me-
maki. Si botak meludah lagi. Ia sadar betul siapa lawan yang dihadapinya.
Seorang tokoh sakti yang memiliki
kepandaian di atas Penghulu Siluman Kera Putih.
Sekarang ia kerahkan tenaga dalamnya, ma-
tanya setengah terpejam. Sadarlah Malaikat Berambut
Api kalau lawannya bermaksud mengadu kesaktian
dari jarak jauh.
Di masa itu memang sangat jarang tokoh-tokoh
rimba persilatan yang bertarung dengan jarak jauh.
Terkecuali tokoh-tokoh kosen. Si kakek tersenyum me-
lihat kenyataan ini.
"Tabib Dewa Sesat! Kau benar-benar gegabah
dengan langkahmu itu! Huh!" Si kakek mendengus. La-lu ia rangkapkan kedua
tangannya di atas dada. Seke-
jap kemudian menggeletarlah tubuh masing-masing
lawan. Puteri Saba terpaksa menyingkir. Hawa panas
dan dingin seakan saling tindih untuk sama-sama
menghancurkan. Keringat sebesar-besar jagung bercucuran
membasahi sekujur tubuh sang Tabib. Dari ubun-
ubun Malaikat Berambut Api mengepul asap tipis, se-
mentara rambut di kepalanya tegak berdiri tampak
seakan menyala seperti bara.
"Heps!"
Tabib Dewa Sesat pelan-pelan mendorongkan
kedua tangannya ke depan. Tapi ia merasakan suatu
tenaga yang tidak terlihat seakan membenamkannya
ke perut bumi. Kakek botak terkesiap, ia coba mena-
han serangan yang Maha dahsyat ini. Kakinya tiba-tiba amblas. Sementara lawan di
depannya tampak tenang-tenang saja.
Satu pemandangan mengerikan terlihat kini.
Wajah si kakek tampak mengelam. Rambutnya yang
semakin bertambah merah berkibar-kibar. Mata sang
tabib melotot. Tampaknya ia mati-matian memperta-
hankan diri. "Gila! Aku tidak pernah melihat ada tokoh
mempunyai kemajuan sepesat ini dalam waktu sepu-
luh tahun saja." maki Sang tabib.
Sementara itu kakinya semakin membenam
jauh hingga sampai sebatas paha. Dalam kesempatan
itulah terdengar seruan Malaikat Berambut Api.
"Tabib Dewa Sesat! Jika kau tidak mau me-
nyingkir dari hadapanku! Hanya dalam waktu singkat
nyawamu tidak akan tertolong!"
"Jahanam!" maki si kakek botak.
"Untuk makianmu itu! Aku akan hadiahkan se-
buah kenang-kenangan padamu!" dengus kakek De-
wana dingin. Malaikat Berambut Api tiba-tiba saja meng-
goyangkan jari telunjuknya. Ada tenaga besar yang tidak terlihat meluncur deras
ke arah Tabib Dewa Sesat.
"Wuaakh...!"
Sang Tabib menjerit keras dengan mulut me-
nyemburkan darah kental bergumpal-gumpal. Ia ter-
kulai setengah pingsan setengah sadar.
Malaikat Berambut Api dengan sikap mengan-
cam menghampirinya. Kakinya menginjak punggung
sang Tabib yang setengah membungkuk.
"Aku sudah tua, kau sudah tua. Terus-terang
sekarang kami akan pergi ke bukit Sembuang. Jika
kau muncul disana, maka aku akan membunuhmu!"
ancam si kakek.
Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu ke-
saktian yang dimiliki oleh Malaikat Berambut Api. Padahal Tabib Dewa Sesat
sendiri adalah seorang tokoh
yang memiliki kepandaian tinggi di samping ia ahli dalam masalah obat dan racun.
"Sekarang apa jawabmu?" tanya kakek rambut merah setelah melihat lawannya hanya
diam saja. "Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah! Aku
bersumpah, kapan pun jika ada kesempatan untuk
membunuhmu, aku pasti membunuhmu!" geram sang
Tabib. "Sayang aku tidak suka membunuh lawan yang sudah tidak berdaya." sahut
kakek Dewana. Selanjutnya ia berpaling pada puteri Saba. "Mari kita tinggalkan
sampah dunia ini, puteri!"
Malaikat Berambut Api tanpa menoleh lagi
langsung menyambar lengan puteri Saba. Gadis itu
merasa tubuhnya melayang seringan kapas. Tabib De-
wa Sesat mengobati luka-luka dalam yang dideritanya.
Bagaimana pun jika luka dalamnya telah sembuh ia te-
tap meneruskan niatnya untuk pergi ke bukit Sem-
buang. * * * Setelah melihat tidak adanya jalan lain kiranya
Pangeran Suprana telah mengerahkan seluruh bala
tentaranya ke bukit Sembuang. Sementara penderi-
taannya karena racun Serat Raga semakin bertambah
hebat. Bila racun itu menyerang, maka sekujur tubuh-
nya menggigil. Kini perhatiannya benar-benar terpecah belah. Yang pertama ia
ingin segera mendapatkan pedang Pemersatu dan mahkota itu, sedangkan yang ke-
dua yang tidak kalah pentingnya ia harus mencari Ta-
bib Dewa Sesat untuk merampas obat pemunah racun
tersebut. Demikianlah iring-iringan bala tentara kerajaan yang sangat besar itu
bergerak bagaikan air bah.
Sementara itu Iblis Peruntuh Mahkota tetap berada di atas burung tunggangannya
yang terus melayang-layang di udara.
"Kiiiik...!"
Elang Perak memekik keras. Ia mulai bergerak
liar hingga membuat Pangeran Suprana kerutkan ke-
ningnya. "Ada apa sahabatku?"
"Hiiii...!"
Elang Perak terbang merendah. Pangeran Su-
prana memandang ke bawah. Tiba-tiba ia berseru kegi-
rangan ketika melihat sosok tubuh berpakaian kulit
harimau tampak duduk di atas batu besar.
"Guru...!"
Serentak dengan seruan Kumbang Pemikat ini,
maka perajurit-perajurit kerajaan hentikan kudanya.
Elang Perak melayang-layang lalu hinggap di depan
kakek berpakaian kulit harimau. Dengan terhuyung-
huyung Pangeran Suprana melompat turun dari pung-


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gung Elang Perak. Ia langsung menghaturkan sembah.
"Sungguh satu keberuntungan guru telah me-
nyusul ke tanah kelahiran muridmu! Tapi...!"
Dewa Kubu, laki-laki yang wajahnya tertutup
rambut panjang menjela itu menyahut. "Aku tahu kau dalam keadaan terluka. Coba
hadapkan wajahmu padaku!" pinta kakek itu.
Pangeran Suprana mengangkat wajahnya, se-
mentara itu para perajurit kerajaan menunggu dengan
perasaan cemas. Dewa Kubu terkejut sekali melihat
wajah Iblis Peruntuh Mahkota yang telah berubah bi-
ru. "Kau keracunan muridku, racun Serat Raga.
Siapa yang melakukan ini padamu?" tanyanya penuh amarah.
"Tabib keparat Dewa Sesat!" sahut Pangeran Suprana menahan geram.
"Hmm, manusia kurcaci itu pasti telah melici-
kimu. Sungguh keji racun itu. Aku tidak punya obat
pemunahnya, tapi aku dapat menyembuhkannya!" ka-ta Dewa Kubu.
Tokoh dari Andalas ini kemudian memerintah-
kan muridnya agar mendekat. Pangeran Suprana
mendekati gurunya. Setelah mereka saling berhadap-
hadapan, maka Dewa Kubu menempelkan telapak tan-
gannya di punggung si pemuda. Tenaga sakti dikerah-
kannya, tubuh Pangeran Suprana menggigil. Wajahnya
tampak mengejang, lalu terdengar suara jeritannya
yang melolong-lolong bagaikan kerbau disembelih.
Dari setiap celah pori-pori di tubuh pemuda itu
keluar cairan berwarna biru berbau tidak sedap Dewa
Kubu terus mengerahkan tenaga dalamnya, sampai
kemudian Pangeran itu terkulai tidak sadarkan diri.
Perajurit kerajaan tampak khawatir melihat
keadaan raja mereka yang mengkhawatirkan. Dewa
Kubu tanpa menghiraukan perajurit-perajurit itu sege-ra mengurut bagian-bagian
tubuh muridnya. Tidak
sampai sepemakan sirih pemuda itu sudah sadar
kembali. "Guru, terima kasih atas pertolonganmu!"
ucapnya dengan penuh rasa syukur. Kini pengaruh ra-
cun Serat Raga telah hilang dalam dirinya.
"Jangan kau pakai segala macam peradatan.
Sekarang coba jelaskan apa sebenarnya yang akan kau
cari di bukit Sembuang"!"
Iblis Peruntuh Mahkota langsung menjelaskan
duduk persoalan yang sebenarnya. Sementara gurunya
nampak mendengarkan dengan seksama.
"Kalau itulah yang kau kehendaki, aku bisa
membantumu! Salah satu dari apa yang kau inginkan
telah aku dapat dari manusia yang berjuluk Setan Te-
rompet!" Dewa Kubu mengeluarkan sesuatu dari bun-talan yang dibawanya. Setelah
terlihat benda itu ternyata mahkota kerajaan yang sah. Bukan main gi-
rangnya hati Pangeran Suprana tidak tertahankan.
"Bagaimana guru, bisa mendapatkannya?" sera Pangeran Suprana.
"Tentu aku merampasnya dari tangan Setan Te-
rompet dan merampas nyawanya juga! Sudahlah, se-
karang lebih baik kau kerahkan perajurit-perajurit itu untuk mengadakan
pembersihan di bukit Sembuang.
Kalau kau merasa yakin pedang itu ada disana, nanti
kita ambil!" janji Dewa Kubu.
Tanpa menunggu-nunggu lagi, Pangeran Su-
prana segera memerintahkan ratusan perajurit itu ke
bukit Sembuang. Setelah perajurit-perajurit pergi. Ia kembali menghadap gurunya.
"Apa yang akan kita lakukan, guru?"
"Itu kita atur nanti. Sekarang aku ingin tahu
kemana saudara tuamu Sang Bala?" tanya Dewa Ku-
bu. "Dia kuperintahkan untuk mencari pedang dan
puteri Saba di bukit itu juga. Apakah guru ingin men-jumpainya?" tanya Kumbang
Pemikat pula. "Rasanya perjalanan yang kulakukan cukup
melelahkan. Aku ingin istirahat di kerajaanmu. Ku-
dengar kau menyimpan gadis-gadis cantik di istana-
mu. Aku yang sudah tua ini ingin juga mencicipi ba-
gaimana lezatnya daun muda!" kata Dewa Kubu.
"Gampang diatur. Marilah kita pulang ke istana
dulu. Guru nanti hanya tinggal memilih mana yang
guru inginkan!"
Murid dan guru yang sama-sama gilanya ini
kemudian kembali ke istana dengan menunggang
Elang Perak. * * * Hujan turun tiada henti. Di bagian jendela ban-
gunan tua yang berada di bukit Cadas Lintang tampak
seorang berpakaian serba biru duduk sambil meme-
gangi lututnya. Sekali ia memandang ke depannya, la-
lu mendongak ke langit.
"Hujan deras sekali. Perjalananku jadi terha-
lang, persoalan yang harus kuhadapi padahal sangat
banyak sekali. Aku khawatir senjata itu dipergunakan untuk maksud-maksud yang
tidak baik oleh Maling
Jenaka. Sayang sekali gadis secantik dia jadi maling.
Rasanya kalau bertemu aku tidak dapat mengampu-
ninya. Akan kuhajar dia sampai mampus, atau aku
akan menciumnya sampai hidung atau wajahnya ru-
sak. Kurasa lebih bagus lagi kalau kucium bibirnya
sampai dower!" gerutu si pemuda. Lalu ia menggaruk rambutnya yang agak basah.
Pada saat itu ia mendengar suara langkah-
langkah kaki mendekat dengan tergesa-gesa. Suro
Blondo langsung menyelinap ke balik tembok yang su-
dah rapuh. Tidak lama muncul seorang laki-laki ber-
tubuh tambun bermata merah seperti kurang tidur.
"Bocah bengal itu sudah tidak pulang-pulang,
sekarang entah pergi kemana" Jangan-jangan ia tidak
laksanakan perintahku. Aku Dewa Petir, Dewa Maling
dan Dewa Copet. Kalau dia berani melanggar perintah
aku bersumpah akan mengawinkan dia dengan pemu-
da mana pun yang aku suka. Biar dia jangan banyak
ulah. Biar nanti dia tahu rasa kalau sudah punya su-
ami. Aku rasanya kewalahan mengatur dia!" Kakek berwajah awet muda ini mengomel
sendiri. Seraya duduk di lantai bangunan tua itu. He-
rannya lagi meskipun tadi ia berlari-lari di tengah hujan, namun pakaiannya
tidak basah. Suro yang men-
gintip dari bagian luar bangunan saja sampai tercen-
gang-cengang. "Dia mengatakan dirinya maling dan copet, de-
wanya lagi. Jangan-jangan orang ini gurunya gadis itu.
Bangsat! Sekejap lagi senjata itu harus kuminta!" geram Suro dalam hati.
Selagi Pendekar Blo'on sibuk bicara dengan di-
rinya sendiri, Dewa Petir bicara lagi.
"Seharusnya ia sudah muncul ke sini, kasih la-
poran bagaimana perkembangan di bukit Sembuang.
Dasar sial, ia masih belum datang, juga!"
Kakek tambun menyandarkan punggungnya ke
dinding tembok. Matanya segera terpejam. Dalam wak-
tu tidak lama kakek ini pun segera tertidur.
*** EMPAT Di saat itulah Pendekar Blo'on menggebrak
dinding yang dijadikannya tempat bersembunyi. Dind-
ing hancur, sehingga dari lubang besar itu dapat melihat Dewa Copet yang
tersentak kaget.
Ketika melihat seraut wajah di depannya, Dewa
Petir bukannya marah melainkan tertawa terbahak-
bahak. "Tikus buduk! Ha ha ha...! Kau pemuda gila ke-sasar dari mana" Mukamu
celemongan bekas kecupan
bibir. Apa kau habis pesiar dengan para pelacur" Kau benar-benar gila!!" kata
Dewa Petir sambil memegangi perutnya.
"Jangan tertawa, kudengar tadi kau mengata-
kan dirimu Dewa Copet! Serahkan muridmu untuk ke-
lancangannya telah mencopet senjataku!" dengus Suro bersungut-sungut.
"Heh, pemuda edan! Boleh-boleh saja kau bica-
ra, tapi bekas kecupan bibir merah di pipimu itu ha-
pus dulu!"
Suro jadi melengak. Ia khawatir kakek tambun
itu mempermainkan dirinya. Namun begitu ia tetap ke-
luar dari bangunan tua tersebut. Setelah sampai dekat air tergenang yang jernih
maka ia pun berkata.
"Astaga! Sudah berhari-hari bekas kecupan ini
tanpa aku sadari. Pantasan orang-orang di jalan se-
mua mentertawaiku!" Cepat-cepat Suro membasuh
mukanya. Setelah bersih ia masuk lagi. Kakek tambun
memandangnya sebentar, lalu tertawa lagi.
"Sudah berapa hari kau dipeluki pelacur. Bica-
ramu ngelantur tidak karuan. Eeh... barusan kau
mengatakan muridku mencuri senjatamu. Apa betul
bicaramu?"
"Aku tidak berdusta! Waktu itu dia menabrak-
ku, dan senjataku lenyap!"
Mata Dewa Petir melotot. "Kau sempat berta-
brakan dengan muridku. Kurang ajar sekali. Belum ja-
di suami isteri sudah berani tabrakan! Kalau muridku sampai hamil aku akan
membunuhmu!" ancam Dewa
Petir sinis. Bibir Suro termonyong-monyong. "Bicaramu jangan ngelantur orang
tua. Dia yang sengaja mena-brakku, dan kami sama-sama berpakaian. Bagaimana
hanya dengan begitu saja orang bisa hamil!"
"Waktu itu barangmu dimana?" tanya Dewa
Copet. Entah mengapa begitu bertemu dengan Suro
Blondo ia langsung menyukai pemuda bertampang ke-
tolol-tololan itu.
Karena si kakek tetap tidak mau serius maka
Suro menunjuk-nunjuk keningnya. "Kupajang di jidad ini!"
Lagi-lagi Dewa Petir tertawa membahak. Pemu-
da berambut kemerahan itu benar-benar kocak, Dewa
Petir cepat merasa akrab.
"Guru, aku datang!" kata sebuah suara.
Tidak lama setelah suara merdu tadi lenyap.
Maka muncul sosok gadis bertubuh ramping berpa-
kaian hitam ringkas. Gadis itu kelihatan kaget ketika melihat Suro juga berada
di situ. "Guru. Mengapa monyet jelek ini kau biarkan
disini! Dia mata-mata kerajaan guru!" tegas Maling Jenaka tidak senang.
"Ha ha ha! Mau mata-mata kerajaan atau mata
setan mana aku perduli. Sekarang cepat kau laporkan
hasil penyelidikanmu!"
"Dengan adanya dia disini?" Gadis membela-
lakkan matanya.
"Biarkan saja, dia tidak bisa apa-apa." sergah Dewa Petir.
Kemudian dengan bersungut-sungut Maling
Cerdik menceritakan kejadian demi kejadian di bukit
Sembuang. Pendekar Blo'on jadi kaget juga ketika ga-
dis itu menyebut-nyebut Pendekar Kucar Kacir.
"Hei kamu maling! Bagaimana keadaan saha-
batku itu. Apakah dia masih hidup?" tanya Suro ingin tahu. "Perlu apa kau
bertanya padaku!"
"Kurang ajar, mentang-mentang di depan gu-
rumu kau berani bicara begitu apa kau kira aku takut dengan Dewa Maling?" dengus
Suro tidak kalah ketus-nya. Melihat suasana yang tidak menyenangkan ini
Dewa Petir langsung berdiri gerakannya ringan saja. Ia memandang pada muridnya.
"Gadis! Menurut pemuda itu kau telah mencuri
senjatanya. Kalau benar cepat berikan!" perintah si kakek. Kening Gadis
mengerenyit. Tidak biasanya gurunya membela orang yang tidak dikenalnya.
"Mengapa guru membelanya"!" protes Maling
Jenaka. "Kau lihatlah baik-baik, tampangnya yang menyedihkan itu. Barangkali dia
sudah yatim piatu. Apa kau tega mencuri senjata pemuda seperti dia" Cepat
kau kembalikan senjatanya!"
Maling Jenaka cemberut, meskipun begitu
membuat wajahnya semakin ayu sedap dipandang.
"Dari semula aku memang menduga. Dia pe-
muda yang tidak becus apa-apa. Terbukti ketika senja-
tanya kuambil dia tidak tahu" dengus gadis itu sinis.
Suro garuk-garuk kepala.
"Aku tidak mau melayani perempuan, nanti di-
kira orang banci! Urusanku tidak sedikit, diantara kita tidak ada silang
sengketa. Kembalikanlah senjataku!
Atau...!" Suro ragu-ragu
"Atau apa?" tantang si Gadis. "Kau punya tangan punya kaki, silakan ambil
sendiri dari balik ping-gangku!"
Merah kelam wajah Pendekar Blo'on. Dan gadis
itu tampaknya sengaja mempermainkan Suro. Dan
senjata pemuda itu diambilnya karena iseng saja, bu-
kan untuk apa-apa.
"Kalau dikira aku pengecut, keterlaluan na-
manya. Apa susahnya berhadapan dengan maling se-
pertimu!" Pendekar Blo'on tiba-tiba saja melompat. Tan-
gannya bergerak menyambar pinggang Maling Jenaka.
Gadis berkelit. Dewa Copet tertawa-tawa melihat per-
kelahian antara muridnya dengan pemuda berambut
kemerahan itu. Serangan tadi luput. Suro menggaruk rambut-
nya, sedangkan Gadis mentertawai lawannya. Sambil
menggeram si konyol menyerang lagi, kali ini keliha-
tannya ia tidak mau bersikap setengah-setengah lagi.
Segera ia mengerahkan kemampuannya. Gerakan pe-
muda ini mulai grubak-grubuk. Sekali-sekali ia ber-
jingkrak atau berjongkok sambil melompat-lompat
menghindari serangan balasan. Bibirnya mendesis dis-
ertai suara ngak ngik nguk seperti suara monyet. Bila serangan yang dilakukannya
tidak mengenai sasaran,
Suro menggaruk tubuhnya.
Gerakan yang terkesan seperti langkah-langkah
seekor monyet ini tidak bisa dipandang enteng. Ter-
bukti gadis sudah mulai keluarkan keringat dalam
menghindari serangan-serangan yang dilancarkan oleh
si pemuda. Wuut! Serentak Suro menghantam wajah dan perut
Gadis bertubi-tubi. Serangan kilat itu menimbulkan
deru angin dingin, Gadis sontak mundur ke belakang.
Hatinya diam-diam kaget tidak menyangka lawan ter-
nyata mempunyai jurus-jurus simpanan yang hebat


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan aneh. Suro terkesan tidak memberi kesempatan lagi,
Gadis terus mundur dan mundur. Hingga pada suatu
saat ia pun melompat ke udara.
"Hia...! "
"Haiit!"
Tangan yang halus mulus itu menampar kepala
Suro. Pemuda ini miringkan tubuhnya. Serangan tan-
gan lolos, namun tendangan kaki meluncur ke bagian
pundaknya. Serangan ini terkenal cepat sesuai dengan nama jurus yang
dipergunakannya, 'Camar Menepuk
Buih'. Sehingga Dewa Petir sendiri merasa yakin kini si pemuda tidak dapat
menghindarinya.
"Huh...!"
Sambil mendengus, tiba-tiba saja Suro berbalik
dengan gerakan cepat sulit diikuti mata.
Plak! Benturan keras itu membuat Gadis tergetar.
Walau pun ia masih dapat menjejakkan kakinya, tapi
ia sempat goyah juga. Gadis kolokan ini tentu bertambah marah. Sekarang ia
mendahului menyerang den-
gan jotosan-jotosan kilat yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Namun Suro sudah berke-
lebat lenyap. Terdengar suara tawa disana-sini hingga membuat konsentrasi lawan
terganggu. Ke arah
bayangan-bayangan biru itulah Gadis melepaskan pu-
kulan namun tidak satu pun serangan yang dilancar-
kannya mengenai sasaran.
Kesempatan ini dilakukan Suro untuk menyer-
gap. Walaupun Gadis mencoba menghindar ia masih
kalah cepat dengan lawannya. Dalam waktu singkat
Gadis sudah kena dipeluknya. Karena posisi senjata
itu tidak diketahui persis letaknya sehingga tangan Su-ro bergerak seperti
menggerayanginya. Ia bahkan sem-
pat meraba dada si gadis. Lalu mendapati senjatanya
di pinggang kiri Maling Jenaka.
Merasa diperlakukan kurang ajar, Gadis meng-
gerakkan lututnya tepat menghantam selangkangan si
konyol. Duuk! Sambil memegangi senjatanya Suro terguling-
guling. Karena terasa mulas bukan main, maka ia pun
pegangi perutnya. Gadis yang merasa dipermainkan
apalagi mengingat dadanya sempat dipegang-pegang
oleh si konyol tadi langsung saja bergebrak.
Terpincang-pincang Suro menghindar. Gerakan
yang dilakukannya bukan grubak-grubuk lagi atau
berjingrak seperti monyet. Melainkan sudah ngawur tidak beraturan. Rupanya
pendekar Blo'on telah mem-
pergunakan jurus kacau balau.
Melihat lawan sulit ditaklukkan, maka Gadis
dengan geram mencabut pedang tipis. Di saat itulah
terdengar suara seruan,
"Tahan...!!"
Maling Cerdik cepat menoleh. Ternyata Dewa
Copet yang telah mencegahnya.
"Guru, mengapa kau membelanya" Aku akan
membunuh pemuda sontoloyo ini. Ia telah memperma-
lukan aku!" dengus Maling Jenaka masih tidak dapat
menahan kegusarannya.
"Aku tidak menyuruh kalian saling bunuh! Mu-
ridku tidakkah kau lihat kehebatan di balik ketololannya" Semestinya kau maklum
dia bukan lawanmu!
Ayo cepat simpan pedang itu kembali!!" perintah Dewa Copet. Kesal si murid manja
ini banting-banting kakinya. Dewa Petir tersenyum lalu hampiri Pendekar
Mandau Jantan. "Kulihat gerakan silatmu yang kacau, kulihat
pula jurus-jurusmu yang hampir sama dengan tingkah
monyet. Hayo mengaku siapa gurumu?"
Suro menyimpan senjatanya.
"Aku Suro Blondo!"
"Aku tidak tanya namamu, goblok!"
"Aku tidak mau jawab siapa guruku, tolol!" Su-ro balas memaki.
"Kau tidak mau mengatakannya, tapi aku su-
dah bisa menebak siapa gurumu. Gadis, muridku. Ke-
tahuilah pemuda ini pasti muridnya dua tokoh sakti
Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut
Api. Hayo mungkir?"
Suro kelabakan sekaligus tercengang. Bagai-
mana kakek tambun ini dapat mengetahui siapa gu-
runya. "Bukankah apa yang kukatakan ini betul semua, Suro?"
"Ya, aku tidak dapat memungkirinya. Lalu ka-
kek ini siapa?" tanya Suro suaranya berubah lunak.
"Apakah Penghulu Siluman Kera Putih tidak
pernah bicara padamu?"
Suro menggeleng.
"Aku ini Dewa Petir, sahabatnya juga yang su-
dah karatan. Mujur sekali sahabatku punya murid se-
tampan kau. Sayang aku kurang akrab dengan Malai-
kat Berambut Api. Wah, ini kegembiraanku yang gila.
Aku punya murid cantik, sahabatku punya murid
tampan, meskipun tolol. Bukankah cocok jika kalian
mulai saat ini kujodohkan" Ha ha ha...!"
"Guru?"" Maling Jenaka protes dengan muka
cemberut. Sedangkan Suro melongo. "Macam-macam saja
ulah Dewa Maling ini. Kenalpun aku belum dengan
mereka. Enak saja main jodohkan seperti ayam!" gerutu Suro dalam hati.
"Bagaimana Suro, apakah kau setuju?" desak Dewa petir.
"Entahlah, kek. Urusanku begitu banyak. Aku
perlu membantu Pangeran Demak Pati. Pedang Pemer-
satu kerajaan Pasundan harus ditemukan. Rasanya
untuk saat ini aku belum sempat berpikir masalah
yang bersifat pribadi. Lagi pula, akh... maafkan aku, kek. Aku bukan bermaksud
mengecewakanmu!"
Tanpa malu-malu Dewa Petir pun mengakui
bahwa ia juga memang bermaksud memiliki pedang itu
untuk menambah koleksi senjatanya. Namun sekarang
setelah mendengar keterangan Suro. Ia malah bersim-
pati untuk membantu pemuda itu.
"Baiklah, masalah jodoh nanti bisa kubicarakan
langsung dengan Penghulu Siluman Kera Putih saha-
batku. Sekarang aku ikut ke bukit Sembuang!" kata Dewa Petir memutuskan.
Muridnya yang bernama Gadis terus cemberut.
Tampaknya ia kurang suka melihat sikap gurunya
yang kelewat baik pada si konyol itu. Ia menjadi malu dengan pembicaraan gurunya
tentang perjodohan.
Seakan ia Gadis perawan cantik yang tidak laku ka-
win. "Tunggu apa lagi, Maling Cerdik. Sekarang kita
berangkat, mengapa bengong di situ?"
"Cih, kalau guru membicarakan masalah jodoh
lagi. Aku bersumpah akan meninggalkanmu untuk se-
lama-lamanya!" ancam Maling Cerdik cemberut.
"Ha ha ha...! Ada apa rupanya, kalau kau tidak
suka aku juga tidak mau memaksa! Bukankah begitu,
Sur...!" Dewa Petir tidak melanjutkan ucapannya karena Suro ternyata telah
meninggalkan mereka.
"Apa kataku, bukankah dia juga tidak suka di-
jodohkan!" cibir Maling Cerdik.
"Kalau kalian yang muda-muda tidak suka. Be-
rarti cuma aku yang suka. Benar-benar anak muda
sekarang bodoh semua!" Dewa Petir mengomel.
* * * El Maut nenek renta berambut riap-riapan itu
terus mendekam di tempat persembunyiannya. Semen-
tara itu tidak jauh di bawah lereng bukit sana terlihat dua orang laki-laki yang
satu bertubuh kurus kering dan satunya berperawakan sedang sambil melakukan
pendakian tampak terlibat percakapan serius.
"Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengan mu-
ridmu Pangeran Demak Pati. Lihatlah, sejak tadi kita menjumpai mayat-mayat yang
sudah membusuk...!"
"Kakang Sapta Dewa, aku Setan Terompet! Ber-
sumpah jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada kedua muridku itu.
Aku akan menuntut ba-
las pada para pelakunya!" jawab si kurus. Kemudian ia meniup terompetnya
sehingga terdengar suara yang
menyakitkan gendang-gendang telinga.
"Hentikan tiupanmu itu, berisik!" maki kakek bertubuh sedang. Melihat
kebiasaannya yang suka
bersin-bersin, tidak salah dialah orangnya yang berjuluk Ki Bersin alias Sapta
Dewa. (Untuk lebih jelasnya baca Episode Pendekar Kucar Kacir.)
"Lagi pula apa kebisaanmu sejak dulu. Kau su-
dah pernah kojor ketika menghadapi Dewa Kubu. Ka-
lau bukan karena aku cepat hadir disana, kau pasti
benar-benar mampus selamanya! Hasyiih...!"
"Ssst...!" Setan Terompet memberi isyarat agar saudaranya jangan berisik. "Aku
merasa seperti ada orang yang mengawasi kita!"
Sapta Dewa hentikan langkahnya. Kemudian ia
memandang ke sekelilingnya.
"Mungkin karena kau sudah pernah mengalami
mati, sehingga pendengaranmu jadi rusak!"
Aki Braja alias Setan Terompet sama sekali ti-
dak menyahut. Ia terus mengamati suasana di sekeli-
lingnya dengan cermat.
*** LIMA Setan Terompet lagi-lagi memandang ke satu
arah. Tidak lama mereka mendengar suara mengge-
ram. Seiring dengan suara erangan marah tersebut
muncul sosok tubuh setengah bungkuk. Mata perem-
puan renta itu mencorong tajam seperti memancarkan
cahaya. "Siapa kalian?"
"Aku Sapta Dewa sedangkan yang ini adikku,
Setan Terompet. Kami mencari murid bernama Pange-
ran Demak Pati." sahut Ki Bersin, tanpa menjelaskan tujuan lainnya yaitu ingin
mencari Pedang Penebar
Bencana. "Hmm, sia-sia saja kalian mencari muridmu!
Siapa saja yang datang ke bukit Sembuang ini dengan
tujuan mencari Pedang Penebar Bencana. Dia harus
menerima hukumanku! Aku El Maut sebagai penjaga
pedang itu tidak akan membiarkan tangan yang usil
menjamahnya!"
Sekarang baik Setan Terompet maupun Ki! Ber-
sin jadi mengerti. Untuk tidak mencari perkara. Maka secara cerdik Ki Bersin
bertanya. "Apakah Nisanak menawan muridku?"
"Hi hi hi! Muridmu sudah ku tawan menjalani
hukuman gantung. Dia terlalu gegabah karena men-
ginginkan pedang Pemersatu."
"Jadi sekarang dia sudah tewas di tanganmu?"
tanya Setan Terompet dengan mata melotot.
"Belum, esok atau lusa mungkin aku akan
membunuhnya!" dengus El Maut tegas.
"Jangan kau bunuh dia! Lebih baik kau ampuni
jiwanya. Pendekar Kucar Kacir adalah putera pertama
almarhum raja Jasa Raga. Ia mencari pedang itu sema-
ta-mata karena tidak ingin jatuh di tangan Pangeran
Suprana yang sesat dan mengaku dirinya sebagai Tu-
han Kenikmatan Dunia. Kerajaan Pasundan saat ini
sedang kacau. Pangeran Suprana dan gurunya Dewa
Kubu harus dihentikan!" jelas Setan Terompet.
El Maut terdiam. Wajah di balik rambut yang
menjuntai itu mengerenyit.
"Aku baru bangun dari tidurku, keadaan sim-
pang siur. Agar kalian tahu. Raja Jasa Raga adalah
muridku yang suka lupa pada gurunya. Ia selalu ingat diriku bila dirinya dalam
keadaan terdesak. Sekarang pemuda yang bernama Demak Pati itu harus ku tawan.
Sampai nanti segalanya menjadi terang dan jelas. Nah
menyingkirlah kalian! Aku mendengar suara derap ra-
tusan kuda ke sini!"
Serentak Ki Bersin dan Setan Terompet mem-
pertajam pendengarannya. Memang mereka menden-
gar ada suara langkah-langkah kuda yang dipacu den-
gan cepat ke arah bukit itu.
"Bukankah lebih baik kami membantumu!
Apapun yang terjadi kita harus bahu membahu demi
tegaknya kembali kerajaan Pasundan!" ujar Ki Bersin.
"Aku tidak meminta kalian untuk berbuat itu.
Tapi jika kalian menghendaki. Jangan salahkan aku
jika kalian mampus di tangan mereka!" tegas El Maut.
Kedua kakak beradik dari Kutai itu menunggu. Tidak
lama kemudian bermunculan ratusan perajurit pe-
nunggang kuda. Ketika melihat ada tiga orang laki-laki dan perempuan menghadang
mereka, para perajurit
itu menghentikan tunggangannya.
"Siapa kalian" Sebaiknya menyingkir! Kami pe-
rajurit kerajaan bermaksud mengobrak-abrik tempat
ini untuk mencari pedang Pemersatu kerajaan yang
disimpan di bukit ini!" teriak seorang perwira dengan suara lantang.
"Perajurit ini sudah di bawah pengaruh Pange-
ran Suprana!" Ki Bersin mengisiki El Maut melalui il-mu menyusupkan suara.
Maka sebagai jawaban. El Maut mengedipkan
matanya lima kali berturut-turut ke arah perajurit-
perajurit itu. Sepuluh larik sinar merah panas bukan main
meluncur laksana kilat meluncur menghantam para
penunggang kuda yang berada di bagian depan. Mere-
ka tidak sempat lagi mengelak atau menghindar. Maka
di sana sini terdengar suara jeritan yang mengerikan.
Para perajurit termasuk dua perwira yang malang itu
jatuh dari atas kudanya dengan dada berlubang.
Apa yang terjadi selanjutnya setelah kematian
perwira dan perajurit benar-benar sulit dilukiskan
dengan kata-kata. Ratusan perajurit kerajaan yang dilanda marah bagaikan air bah
yang tidak terbendung
lagi langsung mengepung dan mengeroyok ketiga tokoh
ini. Denting senjata segera terdengar bercampur suara hiruk pikuk dan ringkik
kuda. Setan Terompet mempergunakan senjata anda-


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lannya, yaitu meniup terompetnya dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi. Demikian pula Ki Bersin. Ia bersin-bersin terus. Tentu saja
baik suara terompet mau pun suara bersin Sapta Dewa membuat perajurit-perajurit
yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi langsung berpelantingan dari atas kuda
mereka. Telinga dan hidung mengucurkan darah. Mere-
ka tewas dengan mata melotot dan syaraf otak hancur.
Namun, walau kawan-kawan mereka tewas se-
cara menggenaskan. Serangan dari perajurit-perajurit lainnya kian menghebat. Di
tengah-tengah amukan
kuda yang mulai sulit dikendalikan oleh penunggang-
nya. Ki Bersin, Setan Terompet dan El Maut menghin-
dari bacokan senjata. Hujan senjata tidak kepalang
tanggung. El Maut tetap mengedip-ngedipkan matanya.
Atau terkadang ia mengangkat tangannya. Dari sepu-
luh jari tangannya itu meluncur cairan berwarna putih yang membelit perajurit-
perajurit di depannya.
Cairan putih cepat sekali mengering dan beru-
bah seperti tali yang tidak dapat diputuskan meskipun dengan mempergunakan
pedangnya. Pertempuran sengit ini terus berlanjut, darah
mulai membasahi lereng bukit Sembuang. Kelihatan-
nya masih belum kelihatan ada tanda-tanda bahwa pe-
rajurit itu akan mundur.
Suara terompet, suara bersin terus menggema.
Di samping itu Sapta Dewa juga mempergunakan tan-
gan kosong untuk menghajar lawan-lawannya. Kea-
daan semakin bertambah seru saja.
Walaupun begitu Ki Bersin dan Setan Terompet
yang menghadapi gelombang serangan besar itu tidak
luput dari luka-luka. Mereka terus mengamuk mem-
babi buta. Menghadapi keroyokan besar dengan berba-
gai senjata yang mengancam dari setiap sudut. Me-
mang harus diakui sangat menguras tenaga dan sege-
nap kemampuan yang ada.
Walau pun demikian, mereka ini adalah tokoh-
tokoh yang mempunyai kepandaian tinggi. Apalagi ne-
nek yang berjuluk El Maut itu. Tidak seorangpun tahu sampai dimana dan seberapa
tinggi kehebatannya.
Semakin lama semakin banyak sajalah peraju-
rit yang bergelimpangan diantara mereka ada yang da-
lam keadaan terikat simpul tali aneh yang tercipta dari lendir tersebut.
"Desak mereka supaya meninggalkan bukit ini!"
teriak Setan Terompet.
"Jangan cuma bicara saja, mari kita bahu
membahu membantai mereka!" sahut Ki Berlin dengan suara keras.
"Sialan, perajurit ini kentut dulu sebelum mati!"
kata Setan Terompet lalu meniup terompetnya keras-
keras. Dua orang laki-laki berkuda yang berada di depannya langsung berpentalan.
"Huakh...!"
"Oh, kakang Bersin. Orang ini ku hibur tapi
nyawanya malah terbang ke neraka!" Setan Terompet menggerutu.
"Suara terompetmu tidak berkenan di hatinya,
ia memilih cari hiburan di neraka!" Ki Bersin menimpali.
"Manusia jahanam!" Maki seorang perajurit, ia mengayunkan pedangnya yang besar
dan panjang. "Haiat...!"
Setan Terompet merundukkan kepala. Lalu
menangkis dengan mempergunakan terompetnya.
Treeng! "Wakh...!"
Perajurit terpental dari kudanya. Mulut terom-
pet yang lebar ditutupkan ke kepala perajurit itu, kemudian punggungnya
ditendang hingga mengeluarkan
suara berderak "Akh...!"
Terdengar jeritan panjang. Perajurit itu mengge-
linjang lalu terdiam untuk selama-lamanya. Melihat
hal ini kawan-kawannya segera menyerbu. Namun dari
arah samping Eli Maut telah mengedipkan matanya,
sinar merah meluncur deras ke arah perajurit-perajurit itu.
Tes! Tes! Tes! "Ukh...!"
Lagi-lagi perajurit bergelimpangan. Melihat
jumlah mereka semakin bertambah sedikit saja. Maka
ciutlah nyali sisa-sisa perajurit itu. Mereka tanpa di-komando lagi langsung
berserabutan menyelamatkan
diri. Ki Bersin tidak mau membiarkan para perajurit kerajaan itu lolos begitu
saja. Ia bermaksud melakukan pengejaran, namun El Maut mencegahnya.
"Biarkan saja! Percuma saja kita membantai
mereka, orang-orang itu hanya menjalankan perintah
rajanya." "Lihat!" Setan Terompet tiba-tiba berseru. Ia menunjuk ke satu arah di mana saat
itu tampak seorang laki-laki bertubuh besar berseragam panglima
muncul dengan menunggang seekor kuda berbulu pu-
tih. Laki-laki ini tampaknya kaget sekali ketika me-
lihat mayat-mayat perajurit yang bergelimpangan ro-
boh. Seperti kita ketahui Sang Bala waktu itu sedang mengejar sosok bayangan
yang melarikan puteri Saba.
Namun ia kehilangan jejak. Ia sama sekali tidak me-
mimpin para perajurit itu.
"Siapa yang telah melakukan perbuatan keji
ini?" tanya Sang Bala dengan sorot mata dingin meng-gidikkan.
"Kami!" Ki Bersin menyahuti.
"Kalian telah lancang tangan. Di dunia ini cuma aku yang punya hak mencabuti
nyawa manusia!" dengus tangan kanan Pangeran Suprana yang masih terhi-
tung saudaranya sendiri itu.
"Lalu apa tujuanmu kemari setelah melihat
anak buahmu jadi bangkai?" tanya Setan Terompet disertai senyum mencibir.
"Pertama aku ingin mencari pedang Penebar
Bencana untuk kuberikan pada saudaraku Pangeran
Suprana. Sedangkan yang kedua aku harus menying-
kirkan orang-orang yang menjadi penghalangku!" tegas Sang Bala.
Ki Bersin, Setan Terompet saling berpandan-
gan. Sedangkan El Maut hanya mendengus. Lalu ma-
tanya kembali mengedip terarah pada Sang Bala.
Laki-laki itu sama sekali tidak mengelak. Ketika
sinar merah menghantam tubuhnya. Sama sekali ia ti-
dak mengalami cedera apa-apa. El Maut tersentak ka-
get. Sang Bala tersenyum sinis.
"Sebelum kalian mampus, keluarkan apa saja
yang kalian miliki!" teriak Sang Bala.
Seraya lalu menggebrak kudanya menerjang El
Maut. Melihat keadaan seperti ini dan setelah menya-
dari lawannya kebal senjata. Maka Ki Bersin dan Setan Terompet tidak tinggal
diam. Mereka langsung mengeroyok Sang Bala.
Setan terompet meniup terompetnya dengan
segenap tenaga dalam yang dimiliki. Sehingga lereng
bukit Sembuang seakan hendak runtuh. Sebaliknya
demikian juga dengan Ki Bersin. Dalam bersinnya ia
mengerahkan tenaga dalam tinggi. Sehingga di tempat
itu jadi hingar-hingar seperti mau kiamat saja.
Celakanya Sang Bala tidak terpengaruh dengan
bunyi-bunyian yang dapat menghancurkan gendang-
gendang telinga itu. Malah ia mengimbanginya dengan
tawa membahak. Sehingga kekuatan-kekuatan dah-
syat itu saling menghimpit.
"Hiaa...!"
Sang Bala berteriak melengking tinggi. Kudanya
tersungkur dengan telinga serta hidung mengeluarkan
darah. Ki Bersin dan Setan Terompet jatuh terpelant-
ing. Ujung terompet hancur. Dengan cekatan mere-
ka bangkit berdiri. El Maut tidak tinggal diam melihat orang-orang yang baru
dikenalnya dalam keadaan terdesak. Tangannya bergerak ke depan. Lima ujung je-
Sang Penerus 1 Si Racun Dari Barat See Tok Ouw Yang Hong Tay Toan Karya Jin Yong Pendekar Super Sakti 18
^