Pencarian

Jodoh Di Gunung Kendeng 2

Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng Bagian 2


paskan pukulan 'Pemutus Raga Mencabut Sukma' sa-
lah satu pukulan yang tentu saja menjadi andalannya.
Hanya dalam waktu yang teramat singkat, menggele-
tarlah sekujur tubuh Hantu Pemenggal Kepala. Kedua
telapak tangannya sampai ke siku telah berubah men-
jadi hitam menebarkan asap tipis berbau sengit. Untuk
diketahui, Hantu Pemenggal Kepala adalah seorang ja-
goan bayaran berasal dari daerah Pagar Alam. Ia juga
memiliki kepandaian tinggi, terlebih-lebih dalam mem-
pergunakan guntingnya.
Sekejab kemudian menderulah sinar hitam me-
labrak Dewa Sabrang. Pemuda itu segera mempergu-
nakan tangannya untuk lindungi kepala. Sedangkan
tangan lainnya yang telah berubah memutih akibat
pengerahan tenaga dalam langsung dikibaskannya ke
depan. Wuuut! Buum! Terjadilah ledakan yang sangat keras, hingga
membuat dua sosok tubuh terlempar jauh dari kalan-
gan pertempuran. Hantu Pemenggal Kepala dengan ce-
pat berusaha bangkit berdiri. Darah meleleh dari hi-
dung dan sudut-sudut bibirnya. Dewa Sabrang sendiri
tidak mengalami akibat apa-apa. Hanya wajahnya ber-
selimut debu. Ia duduk bersila, matanya terpejam.
Menduga lawannya terluka dalam, maka Hantu
Pemenggal Kepala yang sudah tahu kehebatan lawan-
nya langsung mengambil gunting besar yang selalu
tergantung di punggungnya.
Ckrek! Ckrek! Suara angin disertai bunyi gunting yang men-
gatup dan membuka terdengar jelas. Namun sama se-
kali Dewa Sabrang seakan tidak menghiraukan bahaya
yang mengancamnya.
Craak! Craak! Ketika gunting maut itu menghantam leher dan
bagian tubuh lain Dewa Sabrang. Tidak sedikitpun
senjata itu mampu melukai lawannya. Hantu Pemeng-
gal Kepala melompat mundur saking kagetnya. Di saat
belum lagi hilang kecut di hati laki-laki itu, Dewa Sa-
brang sudah lepaskan pukulan menggeledek ke arah
Hantu Pemenggal Kepala.
Orang ini mencoba selamatkan diri. Ia bergul-
ing-guling menjauhi sinar hitam putih yang menghan-
tam dirinya. Namun dengan cepat sekali pukulan jarak
jauh itu meluas. Hingga tidak urung Hantu Pemenggal
Kepala terhantam pukulan yang dilepaskan oleh la-
wannya. "Haaakh!"
Hantu Pemenggal Kepala terkapar. Luka yang
dideritanya memang cukup parah. Dewa Sabrang ter-
senyum sinis, menghampiri lawannya dengan langkah
satu-satu. Tangan pemuda itu mencengkeram leher la-
wannya. Sekali sentak, maka berdirilah Hantu secara
paksa. "Setan! Kau pandanglah mata dan wajah ku
baik-baik. Kau lihatlah!" seru Dewa Sabrang. Dengan bersusah payah Hantu
Pemenggal Kepala membuka
matanya, memperhatikan wajah Dewa Sabrang dengan
perasaan kecut.
"Bukankah kau lihat sisa-sisa penderitaanku!
Agar kau dapat mengetahuinya, seperti ini rasanya!"
dengus Dewa Sabrang. Seraya mencengkeram rambut
Hantu Pemenggal Kepala. Tiba-tiba saja kedua tan-
gannya sama bergerak dan....
Kraak! Kraak! Kraak!
"Akrrrkh...!"
Terdengar sebuah jeritan yang sangat mengeri-
kan. Tubuh Hantu Pemenggal Kepala patah menjadi ti-
ga bagian. Matanya melotot, darah menyembur dari
mulut laki-laki itu tiada henti. Ketika Dewa Sabrang
mencampakkan tubuh lawannya. Maka tidak terlihat
adanya gerakan lagi. Hantu Pemenggal Kepala tewas
penasaran. "Aku telah membunuh, puah!" Inilah pembu-
nuhan pertama yang kulakukan. Apa mungkin aku
dapat berhenti dari membunuh" Ini adalah awal,
mungkin baru akan berakhir setelah aku dapat mema-
tahkan kepala Sunan Bandi Suliwa!" desis Dewa Sa-
brang, wajah pemuda itu semakin bertambah murung.
* * * Sunan Bandi Suliwa jelas menjadi gusar ketika
melihat kenyataan bahwa putrinya dan Puteri Kilat
Bayangan sang keponakan melarikan diri. Lebih gusar
lagi, karena ada orang lain yang ikut ambil bagian da-
lam pelarian itu sebagaimana penjelasan pengawal
yang sempat ditotok oleh Bayangan Biru. Tidak kalah
geramnya, Kala Demit maupun Macan Terbang. Lebih
panik lagi Sidra Gagap dan Randu Walang. Mereka ti-
dak hentinya, menjerit atau meraung seperti orang gi-
la. Patut dimaklumi, baik Sidra Gagap maupun
Randu Walang adalah pemuda jelek dan punya kesia-
lan pula. Kesialan itu berupa penyakit gagap, sedang-
kan yang satunya lagi kudisan dan kepala botak pula.
Sedangkan kedua gadis yang akan menjadi calon isteri
adalah gadis-gadis cantik. Bukan gadis kampungan
yang hanya dengan memandangnya langsung kenyang.
Puteri Kilat Bayangan sangat aduhai dan memikat. Itu
calon pasangan Randu Walang yang botak kudisan.
Sedangkan puteri Reza Baiduri cantik pula, walau ma-
tanya memang tidak memancarkan pesona tinggi.
Yang mereka khawatirkan, bagaimana sean-
dainya kedua gadis itu diperistri oleh Bayangan Biru
yang telah membawa lari mereka. Sebaliknya Sunan
Bandi Suliwa lain lagi. Ia menyangka yang melarikan
puterinya tentu Ambar Alam kekasih puterinya ia hu-
kum pendam selama lima tahun di gua sempit. Padah-
al sampai sekarang ini Hantu Pemenggal Kepala yang
dipercaya mengawasi gerak-gerik Ambar Alam tidak
muncul juga. "Kita tidak bisa berpangku tangan lebih lama.
Sekarang ini harus ada kerjasama di kedua belah pi-
hak agar kita dapat menemukan puteriku dan juga ke-
ponakan murtad itu!" berkata Sunan Bandi Suliwa
sambil berusaha menekan kemarahannya. Laki-laki
kurus ceking berwajah kelimis tersenyum, tokh se-
nyumnya tidak dapat memendam kegelisahan hatinya.
"Pemuda yang melarikan kedua puteri itu be-
nar-benar anak setan yang sudah bosan hidup, sobat
Macan Terbang. Apa benar kau pernah bertemu den-
gan pemuda gendeng itu?"
"Benar. Dia bahkan sempat membunuh salah
seorang anak buahku ketika aku melakukan perjala-
nan ke sini." sahut Macan Terbang. Ia kemudian menjelaskan ciri-cirinya secara
terperinci. Penjelasan Ma-
can Terbang membuat kening Kala Demit menggerimit
dalam. "Rambutnya, tampangnya rasanya tidak salah.
Dua puluh tahun yang lalu aku menginginkannya. Ti-
dak kusangka bibit bencana itu sekarang sudah men-
jadi biang penyakit yang cukup berbahaya. Bagaimana
pun aku harus menemukan cara untuk melenyapkan-
nya!" pikir Kala Demit. Untuk lebih jelasnya bacalah (Dalam episode Neraka
Gunung Bromo & Bayang-Bayang Kematian).
"Apa jawabmu sahabat Kala Demit?" tanya Su-
nan Bandi Suliwa seakan bosan menunggu.
Kala Demit usap-usap jenggotnya. "Muridku
dan putera Macan Terbang sebaiknya bergabung dan
sama-sama melakukan pencaharian. Sedangkan aku
dan Macan Terbang mencari mereka bersama-sama,
kurasa Sunan sendiri sebaiknya membawa sebagian
pengawal untuk menelusuri tempat-tempat yang kita
anggap mencurigakan. Sekitar tiga hari lagi kita ber-
kumpul di sini. Apapun hasilnya!"
"Aku setuju sobat Kala Demit. Kalau mau be-
rangkat, sekaranglah waktunya bagi kita!" ujar Sunan Bandi Suliwa seakan tidak
sabar. Siang hari itu juga
berangkatlah tiga rombongan yang telah disepakati ini.
Mereka sama-sama menunggang kuda. Sidra Gagap
dan Randu Walang bergerak mencari kedua putri yang
melarikan diri dengan disertai oleh seluruh anak buah
ayahnya Macan Terbang. Masing-masing menempuh
jalan yang berbeda. Ini dimaksudkan agar pencaharian
tidak berlangsung lama.
* * * Senja hari, pemuda rambut hitam kemerahan
duduk di atas sebuah pohon yang sangat tinggi. Tata-
pan matanya memandang jauh pada hamparan gu-
nung Kendeng yang menjulang tinggi. Lalu di tengah-
tengah semilirnya angin senja yang sepoi-sepoi menye-
jukkan. Pemuda itu melantunkan lagu-lagu yang tidak
jelas dan kurang teratur. Terkadang suaranya me-
lengking tinggi meledak-ledak seperti suara monyet
yang berteriak. Atau di lain waktu berubah pelan men-
dayu-dayu, kemudian berubah sangat pelan tidak ter-
dengar, tidak bedanya seperti orang yang berkemak-
kemik membaca doa.
Setelah letih menyanyi si pemuda garuk-garuk
kepala. Melihat ke bagian lain dari atas pohon itu, terdapat sebuah sungai
berair jernih. Bahkan dari atas
pohon Pendekar Blo'on dapat melihat adanya ikan
yang sedang bermain-main.
"Terbit seleraku bila memandangmu. Tapi...
akh...!" Si konyol garuk-garuk kepala. Wajahnya berubah murung. "Yang satu ini
sangat lain. Sudah sering kulihat gadis cantik, yang hitam manis, yang kuning
langsat. Yang hitam macam pantat kuali, yang umit-
umit, eeh... yang imut-imut. Yang besar pantatnya,
yang kempes dadanya. Yang besar dadanya kempes di
pantat. Semua itu adalah keindahan, tapi yang satu ini
lain sekali. Begitu ketemu jantungku langsung ser-
seran, melihat wajahnya hatiku bergetar. Belum per-
nah aku seresah ini. Mungkin inilah yang rasanya ja-
tuh cinta pada pandangan pertama. Semestinya aku
tidak meninggalkan mereka. Uhh... nenek jelek kaki
buntung itu membuat aku kesal. Apakah aku harus
kembali ke sana?" Suro jadi ragu-ragu.
Tokh keragu-raguan itu tidak berlangsung la-
ma. Suro memutuskan untuk kembali menjumpai pu-
teri Reza dan Puteri Kilat Bayangan di lereng bagian
selatan gunung Kendeng. Sementara itu puteri Reza
secara diam-diam rupanya meninggalkan Nini Suri
Pamungkas dan juga kakak misannya. Gadis ini masih
penasaran dan tetap ingin mencari Pendekar Blo'on
yang dianggapnya memang mengetahui di mana Am-
bar Alam berada. Karena sejak kecil gadis berbaju pu-
tih ini memang tidak pernah pergi kemana-mana.
Tentu saja suasana di daerah pegunungan yang
ditumbuhi hutan lebat cukup membingungkannya. Ia
pun tersesat. "Kemana perginya pemuda geblek itu?" Puteri
Reza menggumam seorang diri. "Hutan di lereng gu-
nung ini sangat luas sekali. Eeh... aku seperti menden-
gar suara langkah-langkah kuda kemari!" Gadis berba-ju putih tercekat. Dalam
keadaan bingung seperti itu
terlintas dalam benaknya untuk bersembunyi. Namun
apa yang hendak dilakukannya terlambat. Karena si
penunggang kuda telah melihatnya.
"Kurang ajar. Si gagap itu rupanya mencariku!"
Karena melihat tidak ada kesempatan lain. Ma-
ka puteri Reza berlari selamatkan diri.
"A-a-aku... calon suamimu. Meng-meng-apa ta-
kut." kata Sidra Gagap dengan suara terbata-bata. Ti-ba-tiba ia melompat dari
punggung kudanya. Dikejar-
nya puteri Reza yang sekarang sudah berada di pinggir
sungai. "Pergi kau dariku pemuda goblok!" teriak gadis itu ketakutan. Karena Sidra Gagap
terus mengejarnya.
Maka akhirnya puteri Reza melompat ke sungai. Pa-
kaiannya jadi basah sehingga bagian-bagian tubuhnya
yang indah itu terlihat dengan jelas. Sungai itu ternya-ta hanya sedalam betis
saja. Sidra Gagap gemetar tu-
buhnya. Seraya leletkan lidah begitu melihat kain yang
membalut pinggul si gadis tersingkap sampai sebatas
pertengahan paha. Melihat kaki yang halus mulus ini.
Sidra Gagap jadi tergoda. Ia melompat ke sungai.
"Ak-aku... ja-jadi tidak sabar menunggu malam
per-pertama. Ka-u calon isteriku. Se-se-sekarang dan
nanti sama saja...!" kata si gagap. Puteri Reza meronta-ronta di saat pemuda
berwajah angkuh itu memeluk-
nya. Sidra Gagap ternyata semakin kurang ajar saja. Ia
meremas-remas dada sang puteri yang membayang ke-
tat di balik pakaiannya yang basah.
"Ki-kita bersenang-senang... ti-ti-tidak ada yang
melihat. Hanya kita saja berdua...!" desis si pemuda sementara tangannya tiada
henti meraba-raba kian
kemari. Selain bertambah kecut gadis ini tentu marah
bukan main. Disayangkan puteri Reza memang tidak
memiliki kepandaian apa-apa. Ia hanya menjerit-jerit
di saat Sidra Gagap mencopoti kancing pakaiannya
dan menarik lepas kain yang membalut tubuhnya. Ga-
dis itu benar-benar dalam keadaan setengah telanjang.
Si gagap melototkan matanya melihat keindahan di
depannya. Nafsu kelakiannya terbangkitkan.
*** 7 Dipeluknya puteri Reza erat-erat, ia menciumi
wajah sang puteri. Dari wajah beralih ke leher, dari
leher Sidra Gagap memberanikan wajahnya di antara
kedua bukit kembar sang puteri. Gadis ini menjerit-


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jerit ketakutan. Terlebih-lebih lagi ketika Sidra Gagap tanpa melepaskan
pelukannya langsung melucuti pakaian sendiri. Terakhir ditariknya secara paksa
penu- tup bagian terlarang milik si gadis.
Sidra Gagap memang tidak ubahnya binatang
jalang yang liar. Ia terus berusaha menerobos kesucian
si gadis secara paksa. Namun hal itu tentu saja tidak
mudah dilakukannya. Karena puteri Reza berusaha
mempertahankan kehormatannya dengan cara mera-
patkan kedua kakinya. Didera oleh luapan nafsu
yang meledak-ledak. Tentu saja lama-kelamaan Sidra
Gagap menjadi tidak sabar. Ia berusaha menguakkan
kedua kaki si gadis dengan paksa. Sehebat-hebatnya
tenaga perempuan. Lama kelamaan melemah juga. Ke-
dua kaki si gadis akhirnya merenggang. Sidra melihat
hal ini langsung menyusup di antara kedua kaki
mangsanya. Namun kelihatannya nasib baik memang masih
berpihak pada puteri Reza. Karena pada waktu itu te-
rasa ada angin dingin berkesir, sosok Bayangan Biru
berkelebat. Sedetik kemudian terdengar Suara jeritan
Sidra. Tubuhnya terpelanting ke belakang, beberapa
buah rambutnya jebol. Di belakangnya terdengar suara
nyanyian tidak menentu persis orang yang memaki-
maki. Melihat dirinya yang dalam keadaan telanjang
bulat itu. Puteri langsung menyambar sebagian pa-
kaiannya yang hanyut. Lalu dengan sekenanya ia me-
nutupkan kain dan baju ke bagian-bagian yang berton-
jolan. Sidra Gagap sendiri jadi kaget. Ia pegangi kepalanya. Ternyata ada yang
botak. Pada bagian yang bo-
tak meneteskan darah. Artinya seseorang telah mena-
rik rambutnya hingga bagian kulitnya ikut tersobek.
Sakit bukan main rasanya, nafsu bejadnya sontak
menjadi lenyap. Puteri Reza langsung bersembunyi ke
tempat yang aman. Sedangkan Sidra Gagap berdiri,
memutar-mutar dan langsung menghadap ke pinggir
tebing. Di sana ternyata telah berdiri seorang pemuda
berpakaian serba biru berwajah ketolo-tololan, se-
dangkan tatapan matanya angker menyorotkan ama-
rah. "K-k-kau sia-apa, monyet be-be-berani men-campuri urusan orang lain!"
bentak Sidra dengan sua-ra tergagap-gagap. Si baju biru yang tiada lain adalah
Suro Blondo mendengus sinis. Ulah si gagap ini telah
dilihatnya tadi di atas pohon. Bahkan kedatangannya
juga sudah diketahuinya. Tanpa memberi jawaban,
Suro menendang sebuah batu kerikil. Batu meluncur
lurus persis ke tengah-tengah selangkangan Sidra Ga-
gap. Si pemuda gagap saking kagetnya rupanya masih
belum merasa saat itu ia sedang tidak berpakaian.
Takkk! Batu kerikil langsung menghantam batang
anunya yang cukup besar dan mulai mengempis. Ka-
ruan saja Sidra menjerit kesakitan sambil jejingkra-
kan. Ia menggerung, mendekap sambil memegangi pe-
rutnya yang mulas. Batang anunya bengkak membiru,
salah satu telurnya juga biru, mungkin juga pecah.
"Aduh biyung... sakitnya... keparat! Anak setan,
tol-tolol, sontoloyol" Sidra memaki-maki. Anunya semakin bertambah bengkak saja.
Suro tertawa bekaka-
kan. Bibirnya termonyong-monyong, sedangkan tangan
kiri garuk-garuk rambut di atas kuping.
"Bicaramu saja masih tidak lempang! Kau pikir
aku kepincut melihat anumu yang item itu" Pakai dulu
pakaianmu, jika kau masih penasaran aku menung-
gumu di sini!" dengus Pendekar Blo'on sinis.
Sidra sama sekali tidak menyahuti. Ia segera
memakai pakaiannya. Selesai berpakaian ia melompat
ke bibir sungai.
"Bunuh manusia keparat itu, Suro!" teriak pu-
teri Reza dengan penuh kebencian.
"Jangan khawatir. Dia pasti menerima ganjaran
setimpal dariku!" sahut Suro. Sidra menunjuk-nunjuk Suro dengan berangnya.
Matanya melotot, lidahnya
terjulur seperti anjing. Rupanya inilah puncak kema-
rahan si pemuda.
"Kk... kau tel-lah merusak, kes....!"
"Keselo...!" Suro menyambuti. Lalu tawanya
kembali terdengar.
"Ja-jahanam! Gur... gur-uku, pasti tidak aa-
akan ting-ting....!"
"Tinggi hati!" Lagi-lagi Suro menyahuti
Mendapat ejekan sedemikian rupa, semakin ka-
laplah Sidra Gagap. Kemarahan itu ditindihnya. Ia be-
rusaha bicara sebaik mungkin.
"An-anak Setan! Kau telah melarikan calon is-
is...!" "Istana surgamu! Gila betul. Bicara saja kau tidak becus! Sekarang
katakan padaku siapa gurumu!?"
dengus Suro tidak sabar.
"Hh... ha ha ha...! Gur-guruku Kala Demit.
Tampangmu yang konyol itu pasti akan dibuatnya
hancur!" teriak Sidra Gagap penuh rasa percaya diri.
Wajah pemuda bertampang ketolol-tololan itu
berubah kelam seketika. Sekujur tubuhnya menggele-
tar. Matanya melotot seakan baru saja melihat gelegar
halilintar di siang bolong. Ketika pemuda ini tertawa,
maka tawanya kini terasa lain, berubah menyeramkan
dan mendirikan bulu roma. Suro acungkan tinjunya ke
udara, kemudian terdengar siulan panjang tidak tera-
tur. "Ha ha ha! Kala Demit! Sebuah nama jahanam
yang terukir di dalam kalbuku. Sembilan buah huruf
yang tidak pernah terhapus dari dalam kepalaku! Ber-
tahun-tahun aku mencarinya. Dia adalah satu dari
Sepasang Iblis Pegat Nyawa yang terdaftar dalam buku
lembaran yang paling hitam. Kau muridnya" Ha ha
ha...! Jika semula aku punya rencana bagus untukmu,
maka kini rencanaku lain lagi. Sebentar lagi kau bera-
da dalam genggamanku, Kala Demit harus datang ke-
padaku untuk menyerahkan nyawa busuknya!" jerit
Pendekar Blo'on.
"Ka-kau siapa?" tanya Sidra Gagap sinis.
"Agar kau tidak semakin gagap penasaran. Ke-
tahuilah bahwa aku adalah anak yang kedua orang tu-
anya terbunuh pada malam satu Asyuro di lereng gu-
nung Bromo. Gurumu adalah salah seorang dari tiga
pembunuh orang tuaku. Kau dengar" Gurumu pem-
bunuh orang tuaku!" jawab murid Penghulu Siluman
Kera Putih dan murid Malaikat Berambut Api tegas.
Sebagai seorang murid, tentu saja Sidra pernah
mendengar tentang apa yang dikatakan oleh pemuda
itu dari gurunya. Namun sekarang ia menjadi heran
sendiri setelah melihat pemuda yang waktu kecilnya
jadi rebutan. Pemuda bertampang goblok itu bagaima-
na menjadi pusat perhatian dan rebutan para tokoh"
Bahkan mereka rela saling berbunuhan untuk menda-
patkannya. Padahal Sidra merasa yakin, otaknya pasti
tidak lebih cerdik dari otak keledai.
"Ja-jadi kau-lah orangnya yang dimak-sudkan
oleh guruku! Kebetulan sekali, kesalahanmu sudah
tumpuk undung padaku. Jika aku meringkusmu, ten-
tu aku dapat tunjuk-kan pada guru, bahwa dia dulu
telah memperebutkan bu-bualan pertapa gila! Huh...
mampus!" teriak Sidra Gagap.
Bibir Sidra membulat kecil, seraya lalu meniup
dengan keras. Dari dalam mulutnya melesat lima buah
jarum berwarna putih mengkilat. Jika saja Suro tidak
awas sejak tadi, pasti mata dan wajahnya sudah ditan-
capi senjata-senjata rahasia milik lawan. Suro menja-
tuhkan tubuhnya lalu terus berguling-guling. Gerakan
yang dilakukannya itu bukan menjauh, melainkan
mendekati lawan, lalu kakinya menendang.
Des! Sidra Gagap meraung keras. Tinjunya kanan
kiri menghantam dada dan muka Suro dengan telak. Ia
merasa yakin pukulan itu pasti tidak meleset. Apalagi
kelihatannya lawan merasa kesulitan untuk menghin-
dar, setengah jengkal lagi serangan mengenai sasaran.
Suro menarik tubuhnya ke belakang dengan gerakan
setengah berjingkrak. Lalu ia melompat, kepalanya di-
miringkan ke kiri dan ke kanan. Begitulah yang dila-
kukan berulang-ulang. Tidak satu pun serangan gen-
car Sidra yang mengenai sasaran.
"Huk! Nguk! Nguk!" Untuk beberapa saat la-
manya itulah yang dilakukan Suro secara terus mene-
rus. Tingkahnya memang hampir sama dengan gerak
seekor monyet yang menari-nari. Terkadang sambil
menghindar ia garuk-garuk kepala, garuk hidung atau
menggaruk punggungnya. Di dalam kesempatan lain-
nya seraya melompat dengan kaki ditekuk. Kakinya
melesat... Wuuk! Sidra Gagap melompat, serangan luput. Di saat
Suro sedang berjumpalitan di udara. Sidra membaren-
ginya dengan pukulan telak.
Buuk! "Hukh!"
Ketika menjejakkan kakinya di atas tanah, Suro
langsung terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya.
"Kau segera mampus, pemuda setan! Pukulan
'Mendobrak Benteng Membunuh Setan' tidak bisa di-
anggap main-main!" desis Sidra kata-katanya agak
lancar. "Setan jelek tidak becus bicara! Besar juga kau punya mulut! Huh...!"
Suro tiba-tiba saja berjongkok, lalu segera menerjang ke depan. Namun sungguh
sial, belum lagi ia mencapai sasaran, Sidra sudah mele-
paskan pukulan jarak jauhnya.
Hawa panes bergulung-gulung menyambar wa-
jah Suro. Pemuda itu meraung keras, lalu membanting
tubuhnya ke kiri.
Buumm! Terlihat sebuah lubang sangat besar ketika le-
dakan itu terjadi. Suro leletkan lidah. Wajahnya masih
terasa panas, ia bangkit berdiri. Mulutnya pletat-pletot, sekejap kemudian murid
Penghulu Siluman Kera Putih
ini dorongkan kedua tangannya. Angin kencang men-
deru, hawa dingin menghampar disertai sinar putih
bagaikan salju. Sidra Gagap merasa pukulan susulan
yang dilepaskannya membalik. Ia berusaha memperta-
hankan diri dengan melipat gandakan tenaga dalam-
nya. Tubuhnya malah tergetar, kakinya terseret-seret.
"Aaak...!"
Sidra terguling-guling. Ia terkapar dengan mu-
lut menyemburkan darah. Suro tersenyum sinis, den-
gan cepat ia menghampiri lawannya. Begitu dekat ia
bermaksud mencengkeram baju lawannya. Diluar du-
gaan Sidra menghantamkan kebutan ke dada Suro.
Prat! Pendekar Blo'on memekik kaget. Ia terhuyung
mundur, dadanya meneteskan darah.
"Penipu licik! Kau akan tahu rasa nanti." desis si pemuda disertai seringai
kesakitan. "Ha ha ha! Ka-ka-u ternyata memang Pendekar
Goblok!" sahut Sidra Gagap sambil mengibas-
ngibaskan kebutan di tangannya.
"Ya... mungkin saja aku goblok. Tapi kau, ha-
haha...! Manusia sinting yang mesti ku potong lidah-
nya!" Pendekar Mandau Jantan acungkan tinjunya
ke depan. Tinju itu diputar-putarnya. Dengan mem-
pergunakan jurus "Serigala Melolong Kera Sakti Ki-
baskan Ekor', pemuda ini langsung melabrak lawan-
nya. Serangan-serangan yang dilancarkan oleh Suro
memang sangat cepat di samping mengandung teka-
teki yang sulit dipecahkan. Suatu saat tinju Suro men-
deru disertai tendangan kaki. Melihat serangan yang
datang secara bersamaan. ini. Tentu Sidra segera ber-
jumpalitan ke belakang. Tapi ternyata Suro merubah
gerakannya, ia berputar ke arah lawannya bergerak.
Sesekali terdengar suara lolongan panjang. Ketika Si-
dra menjejakkan kakinya. Tentu pemuda gagap ini jadi
kaget karena lawan ternyata Suro telah berada di bela-
kangnya. Dengan tangan terkepal dihantamnya wajah
Sidra. Dieng! Pukulan keras itu laksana palu godam meng-
hantam kepala. Sejuta bintang bertaburan di mata Si-
dra Gagap, kepalanya mendadak sontak jadi pusing.
Selagi ia sempoyongan, Suro melompat, tangannya
bergerak cepat.
Breet! Senjata itu pun berpindah tangan. Serta merta
gagang kebutan digetokkan lagi ke kepala Sidra Gagap.
Kepala pemuda itu pun benjol-benjol. Ia jatuh terdu-
duk. Melihat pemuda itu dalam keadaan tidak berdaya,
maka puteri Reza berlari menghampiri, lalu lepaskan
tendangan bertubi-tubi dengan tenaga kasarnya.
"Sudah biarkan saja!" Suro Blondo mencegah.
"Bunuh dia!!" perintah si gadis. Suro gelengkan kepala. "Kau membelanya?" Puteri
Reza belalakkan mata. "Kau salah, puteri. Ketahuilah. Guru pemuda sableng ini
adalah orang yang kucari-cari selama ini.
Kala Demit telah membunuh ayah dan ibuku di gu-
nung Bromo. Jika dia kubunuh, maka aku kehilangan
kesempatan untuk menagih hutang nyawa. Sekarang
aku punya rencana!" Tiba-tiba saja Suro menotok Sidra Gagap. Lalu lanjutkan
ucapannya. "Nenek kaki
buntung itu kulihat punya dua ekor monyet. Rencana-
ku bagaimana jika kita sandingkan dia dengan mo-
nyet-monyet itu di atas pelaminan. Ha ha ha...!"
"Nenek itu pun punya rencana yang sama den-
gan rencanamu! Aku setuju saja, walau pun sebenar-
nya aku muak melihat tampangnya!"
"Untuk itu kita jangan buang-buang waktu.
Mari!" Suro memanggul Sidra di bahunya. Setelah itu mereka berjalan melewati


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semak belukar yang terdapat
di sekelilingnya.
* * * "Reza hanya membuat urusan jadi tertunda-
tunda. Jika ia sampai ketahuan ayahnya atau calon
suaminya. Tentu masalahnya semakin gawat. Kasihan
sekali nasibnya. Gunung Kendeng ini sangat luas, di-
mana aku harus mencarinya?" pikir gadis baju hijau.
Puteri Kilat Bayangan akhirnya berlari-lari menelusuri
lereng gunung di sebelah barat.
"Rasanya tidak mungkin dia berada di sekitar
tempat ini. Heh, aku melihat semak-semak belukar di
sebelah sana bergerak-gerak." kata Puteri Kilat. Ia kemudian memanggil-manggil
adik misannya itu. Namun
sampai suaranya serak tetap tidak ada sahutan.
"Puteri Reza...!!" teriaknya berulang-ulang.
Karena tetap tidak ada jawaban, maka Puteri
Kilat Bayangan mendekati semak-semak yang dicuri-
gainya. Setelah menyelidik kian kemari, ternyata ia ti-
dak melihat siapa-siapa di situ. Gadis ini lama kela-
maan menjadi kesal juga.
"Heh, ada kuda di sini" Kuda milik siapa?" Gadis baju hijau tersentak kaget.
"Bukankah ini kuda milik paman. Aku merasa seperti ada beberapa pasang
mata mengawasiku!" Puteri Kilat Bayangan merasa tidak enak. Ternyata dugaannya
memang tidak meleset,
sebab tidak lama bermunculan beberapa orang laki-
laki dari balik semak belukar. Orang-orang bertam-
pang angker ini langsung mengurung si gadis.
"Ha ha ha...! Kalau memang sudah jodoh, ke-
mana pun kau pergi akhirnya kami temukan juga!" ka-ta sebuah suara.
"Keparat! Bukankah itu suara Randu Walang?"
desis Puteri Kilat Bayangan kecut.
*** 8 Ternyata setelah terlihat dengan jelas, memang
Randu Walang dan beberapa orang anak buahnya yang
telah mengepung Puteri Kilat Bayangan. Salah seorang
diantaranya adalah laki-laki berkuping tunggal yang
tempo hari berhadapan dengan Pendekar Blo'on dan
hampir saja menjadi sasaran goloknya sendiri.
"Calon isteriku, mengapa kau tega-teganya me-
larikan diri dariku. Apakah kau tidak suka padaku?"
tanya Randu Walang. Pemuda yang sekujur tubuhnya
di penuhi penyakit kurap itu tiada hentinya mengga-
ruk-garuk sekujur tubuhnya. Apalagi ketika itu panas
sedemikian teriknya, sehingga tubuhnya yang keringa-
tan membuat penyakit kurapnya semakin menjadi-
jadi. "Orang jelek kudisan. Terus terang aku me-
mang tidak suka padamu. Kurasa kambing congekan
pun tidak sudi menjadi isterimu. Sebaiknya kau urus
penyakit menjijikkan yang menghinggapi tubuhmu.
Jangan coba-coba membujukku. Sekali pun tidak ter-
lintas dalam pikiranku untuk berumah tangga. Sean-
dainya aku punya keinginan nanti, tentu bukan den-
gan dirimu!" bentak Puteri Kilat Bayangan sinis.
Jawaban ini tentu saja membuat Randu Walang
merasa terhina. Apalagi anak buahnya yang berkuping
sebelah. "Anak ketua, sebaiknya serahkan saja urusan
perempuan ini kepada kami. Kalau sudah kena diring-
kus tentu dia tidak akan banyak tingkah lagi...!"
"Ha ha ha! Tentu saja gadis ini menjadi ba-
gianmu untuk menaklukkannya. Tapi ingat, kau tidak
boleh menyakitinya, bahkan membuat lecet tubuhnya
sedikit pun tidak boleh!" sahut Randu Walang.
Begitu mendapat aba-aba, Jalak Abang dan li-
ma orang anak buahnya langsung mengurung si gadis
Secantik bidadari ini. Kelima laki-laki berbadan tegap
yang di dadanya terdapat tatto bergambar harimau be-
sar ini Secara bersamaan mencengkeram lawannya.
Gerakan mereka cepat sekali. Bahkan lebih cepat dari
dugaan Puteri Kilat Bayangan.
Wuus! Lima buah tangan laksana setan gerayangan
menjamah bagian-bagian tubuh si gadis. Gadis baju
hijau memaki-maki dalam hati. Tiba-tiba saja secepat
kilat tubuhnya melesat ke udara sambil lepaskan ten-
dangan memutar.
"Hiyaa...!"
Spontan kelima laki-laki itu menarik pulang
tangannya. Tendangan kilat itu hanya membeset uda-
ra. Selagi Puteri Kilat berputar-putar di atas kepala lawan-lawannya. Maka dua
diantara penyerangnya juga
melompat ke udara.
Tindakan mereka yang nekad itu di sambut
oleh gadis baju hijau dengan hentakan kedua tangan-
nya. Bukk! Walau pun serangan kilat yang dilakukan oleh
Puteri Kilat Bayangan kelihatan pelan. Namun akibat-
nya sungguh sangat luar biasa sekali. Kedua laki-laki
itu seperti dibanting gajah. Mereka menggeliat, kawan-
kawannya langsung menyerbu. Kini mereka sudah mu-
lai mengeluarkan jurus-jurus harimau yang sangat
berbahaya sekali.
Gadis baju hijau tersenyum mencibir. Tiga laki-
laki langsung menerkam Puteri Kilat. Sesuai dengan
julukannya, gadis ini cepat sekali berkelebat. Tahu-
tahu lawannya menghantam angin. Si gadis memutar
tubuhnya, kedua tangannya menderu. Kiri kanan
menghantam dada lawan.
Buk! Buuk! "Wuakh...!"
Kedua orang ini terpelanting roboh, tulang ru-
suknya patah dan mereka menjerit-jerit kesakitan. Pu-
teri Kilat Bayangan tidak memberi kesempatan lagi.
Sekali lompat ia sudah menginjak perut kedua laki-laki
itu hingga mata mereka melotot. Melihat keganasan si
gadis Jalak Abang dan dua orang kawannya cabut sen-
jata. Mereka sudah tidak menghiraukan teriakan Ran-
du Walang yang khawatir gadis baju hijau menjadi sa-
saran senjata. "Jalak Abang jangan lukai dia. Calon isteriku
jangan sampai lecet! Awas aku potong kupingmu jika
sampai calon isteriku terluka!"
Wut! Wut! Tiga buah golok menderu, membelah, mencin-
cang, menebas dan membabat tubuh lawannya. Puteri
Kilat Bayangan tidak bedanya dengan seekor burung
walet. Berkelebat kian-kemari, menyambar atau terka-
dang menerobos ke pertahanan lawannya.
Tapi pertahanan Jalak Abang dan dua kawan-
nya cukup kokoh juga. Tubuh mereka diselubungi si-
nar golok yang berwarna putih bagaikan bintang-
bintang yang bertaburan.
"Bunuh!" teriak Jalak Abang prustasi.
"Jalak Abang! Kau berani melawan kehendak-
ku! Jika gadis itu terbunuh, kepalamu nanti akan
menjadi gantinya. Tidak cukup itu saja, anak binimu
juga akan kubunuh semuanya!"
Maka pucatlah wajah Jalak Seta ketika diin-
gatkan tentang anak isterinya. Ia menjadi ragu-ragu
untuk melampiaskan keinginannya, justeru kesempa-
tan ini langsung dimanfaatkan oleh Puteri Kilat
Bayangan. Si gadis lepaskan pukulan 'Bidadari Kilat
Halilintar'. Kedua tangannya diadu satu dengan yang
lainnya. Terdengar ledakan dahsyat, sinar merah kun-
ing dan biru bertebaran bagai bunga api.
Jalak Abang terbelalak matanya, serangan la-
wan yang datang secara tiba-tiba itu tidak mungkin di-
elakkannya. Maka golok di tangan langsung diputar-
nya. Lima larik sinar melabrak tubuhnya, golok lang-
sung leleh, Jalak Abang terpaksa lepaskan senjata
sambil menjerit-jerit. Praktis ia tidak memiliki pelin-
dung apa-apa. Bum! Buum! Jeritan keras laksana merobek langit. Jalak
Abang tubuhnya terbelah menjadi empat bagian.
Sungguh mengenaskan keadaan laki-laki ini. Sedang-
kan kedua kawannya juga mengalami nasib sial. Seba-
gian pukulan Puteri Kilat Bayangan mengenai mereka.
Sungguh pun tubuh orang-orang ini tidak tercerai be-
rai. Namun nyawa mereka tidak terselamatkan lagi.
Puteri Kilat Bayangan membalikkan tubuhnya,
memandang pada Randu Walang dengan tatapan mata
sinis. Pemuda itu tercekat, hanya dalam waktu belasan
jurus saja semua anak buah ayahnya sudah terkapar
tanpa nyawa. Hal-hal seperti ini sangat jarang terjadi, sama sekali ia tidak
menyangka gadis itu mempunyai
kepandaian tinggi. Saking bingungnya Randu Walang
garuk-garuk koreng di sekujur tubuhnya.
"Kau mengapa bertindak kejam begitu, calon is-
teriku!" desis Randu Walang kecut.
"Hei... botak kurapan, jangan lagi kau sebut
aku calon isterimu jika tidak ingin mampus!" dengus si gadis sengit. Memang
sejak pertama bertemu dengan
pemuda ini sedikit pun tiada rasa simpati di hatinya.
Malah kebenciannya meledak-ledak. Benci botaknya,
benci kurapnya, pokoknya benci segala-galanya.
"Kau... mengapa begini galak. Apa kau ingin
agar aku bertindak kasar padamu...?" bertanya Randu Walang disertai senyum
terkekeh-kekeh.
"Hi hi hi...! Kau rupanya masih belum tahu sia-
pa aku! Jika kau mampu menangkapku, mungkin aku
bersedia mempertimbangkan permintaan gilamu.
Mungkin juga aku bersedia tidur denganmu, dengan
syarat kau bisa menangkapku!" kata Puteri Kilat
Bayangan berbohong. "Tapi jika sepuluh jurus di depan kau tidak bisa berbuat
apa-apa. Kau akan kujo-
dohkan dengan monyet milik nenekku!"
"Tawaranmu sangat mengesankan hatiku, calon
isteriku. Jangankan cuma menangkap, membelai dan
memeluk pun aku sanggup. Ayolah aku sudah tidak
kuat lagi menahan keinginanku!" desis Randu Walang, kata-katanya bernada mesum.
"Orang gila! Hiya...!" teriak Puteri Kilat Bayangan. Berhadapan dengan Randu
Walang tentu saja si
gadis tidak mau bersikap untung-untungan. Ia menge-
luarkan segenap ilmu meringankan tubuh yang dimili-
kinya. Sebaliknya Randu Walang karena terdorong
keinginan nafsunya yang meledak-ledak segera beru-
saha menangkap gadis baju hijau.
Tidak heran bila pertempuran itu sekejap saja
sudah menjadi sengit luar biasa. Pada dasarnya Randu
Walang adalah pewaris tunggal jurus-jurus Macan
Terbang milik ayahnya. Tidak heran jika serangannya
lebih berbobot dan sangat berbahaya sekali.
"Haiit! Kena...!" teriak Randu Walang dengan
gerakan orang memeluk.
Set! Secepat kilat gadis baju hijau telah melesat ke
samping. Randu Walang memeluk angin. Ia meludah
dan memaki kegagalannya sendiri. Tiba-tiba saja si
pemuda botak silangkan kedua tangannya di depan
dada. Tubuhnya sebentar saja sudah menggeletar,
dari ubun-ubunnya yang gesang mengepul kabut tipis
berwarna merah. Mulutnya meraung seperti jeritan ha-
rimau. Kaki kanan kemudian ditarik ke belakang, se-
dangkan kedua tangannya kini secara serentak berge-
rak ke samping ditarik ke belakang, kemudian dido-
rong ke depan. Setiap gerakan apapun yang dilaku-
kannya selalu menimbulkan desir angin yang sangat
panas sekali. Lalu...
Graaung! Satu sentakan yang disertai dengan gerakan
kaki membuat tubuh Randu Walang melesat laksana
terbang. Cengkeramannya terarah pada bagian batok
kepala Puteri Kilat. Gadis baju hijau melihat betapa
berbahayanya serangan ini. Ia menjatuhkan pung-
gungnya. Kaki terangkat dan menghantam dada Randu
Walang. Pemuda ini memekik keras, sepuluh jurus
hanya dalam waktu singkat telah terlewati. Sejauh itu
pemuda kurapan masih belum dapat menyentuh tu-
buh Puteri Kilat Bayangan. Maka bertarunglah mereka
tanpa memakai peraturan lagi.
"Gadis sebaiknya kau menyerah saja! Percuma
kau mengadakan perlawanan!" teriak Randu Walang
memberi aba-aba.
"Menangkap sapi saja kau tidak becus, ternyata
mulutnya hanya mampu berkoar!" sahut Puteri Kilat
sinis. "Hmm, pandai juga kau bicara. Wajahnya cantik seperti bidadari, kuharap
kau juga pandai melaya-
niku bila sudah di atas ranjang!"
Wuut! Plakk! Randu Walang terhuyung ke belakang. Dua
buah giginya rontok, Puteri Kilat rupanya menjadi gu-
sar ketika mendengar ucapan Randu Walang yang ti-
dak senonoh itu.
Pruuh! Dua buah gigi berpentalan keluar dari mulut
Randu Walang bersamaan menyemburnya ludah ber-
campur darah. "Betina setan! Rasakanlah pembalasanku!" te-
riak si pemuda botak kudisan.
Sret! Sing! Randu mencabut pedang pendek dari balik
punggungnya. Dengan masih mempergunakan jurus-
jurus dasar Macan Terbang ia mendesak Puteri Kilat
Bayangan. Si gadis mengandalkan ilmu meringankan
tubuh dan gerakannya yang cepat seperti kilat terus


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghindar. Tapi gempuran Randu Walang semakin
lama semakin bertambah cepat bahkan membahaya-
kan keselamatannya.
"Haiit...!"
Gadis baju hijau membentak keras. Tubuhnya
bersalto sebanyak tiga kali. Melihat gerakan itu Randu
membarenginya dengan satu tusukan dan sabetan.
Puteri menjadi gugup, tiba-tiba posisi berbalik,
hingga membuat si gadis jelita jadi terdesak. Walau
pun begitu gadis baju hijau terpaksa berguling-guling
untuk selamatkan diri. Ternyata senjata lawan telah
mendahuluinya. Pedang itu menyambar bagian dada
hingga ke perut.
Breet! Kancing-kancing baju si gadis terbeset lepas,
pakaian bagian dalamnya juga berantakan angin nakal
ikut menyibakkannya. Sehingga terlihatlah dada Puteri
Kilat yang mulus padat menantang. Merah wajah gadis
ini, ia berusaha menutupi bagian yang terbuka itu
dengan menautkan pakaiannya. Bibir mungilnya yang
tipis kemerah-merahan memaki.
"Kau telah berani mempermalukan aku! Nanti
akan kau rasakan akibatnya...!" teriak si gadis.
"Ha ha ha...! Bila kau marah-marah, di mataku
semakin bertambah cantik saja. Di sini cuma kita ber-
dua, mengapa kita tidak bersenang-senang saja."
"Hmm, bicaramu semakin kurang ajar saja"!"
jerit Puteri Kilat Bayangan. Tangan kiri menutupi da-
da, tangan kanan digerak-gerakkan ke atas kepala se-
dangkan jemari tangannya menyatu rapat seperti pa-
ruh burung. Kaki kiri si gadis diangkat ke atas, gera-
kan-gerakan ini terkenal sangat cepat.
"Kau..." Bukankah itu jurus 'Congcorang'...!"
desis Randu Walang dengan mata melotot kaget.
"Ya, berhati-hatilah kau. Salah langkah kau bi-
sa kehilangan mata!" tegas si jelita. Apa yang dikata-kannya itu bukan gertakan
kosong. Sebab begitu Ran-
du Walang menyerang. Maka gadis itu telah lenyap da-
ri hadapannya. Randu jadi bingung. Ia berbalik, di
waktu itu tendangan lawan telah menghantam da-
danya dengan sangat keras sekali.
Pemuda botak kudisan memang sial nasibnya.
Ia terguling-guling. Justru pada waktu itu wajahnya
mencium kotoran kuda.
"Bangsat! Kuda goblok, berak tidak bilang-
bilang! Hiaaa...!" Merasa penasaran bercampur rasa malu. Randu Walang bangkit
berdiri. Dengan beringas
ia menusukkan senjata ke perut Puteri Kilat Bayangan.
Serangan itu tidak dielakkan oleh lawan. Tetapi di saat pedang hampir menembus
kulitnya yang putih itu.
Jemari tangan si gadis bergerak cepat.
Taap! Badan senjata terjepit di antara jemari lawan-
nya. Puteri Kilat berputar-putar seperti gerakan seekor belalang yang
menghindari patukan burung. Randu
Walang ternyata tidak dapat mengikutinya, sehingga
pedangnya berpindah ke tangan lawannya. Gadis baju
hijau melemparkan senjata itu ke semak-semak. Di
saat Randu terperangah menyaksikan keajaiban yang
terjadi. Satu jari tangan Puteri Kilat mencoblos ma-
tanya. "Wuaakh...!"
"Mataku, akhh... mataku...!" jerit Randu Wa-
lang sambil memegangi sebelah matanya yang hancur.
Ia berguling-guling seperti setan gila yang prustasi.
"Bangun!" bentak si gadis.
Merasakan penderitaan yang teramat sangat
itu, tentu saja Randu Walang tidak menghiraukan
ucapan si gadis. Ia terus berguling-guling sambil pe-
gangi sebelah matanya yang hancur.
Buuk! "Ukh...!"
Randu menjerit tertahan ketika kaki si gadis
menghantam punggungnya. Puteri Kilat Bayangan ter-
senyum sinis. "Kini telah terbukti, kiranya kau hanya bermu-
lut besar saja!" dengus si gadis. Kemudian ditotoknya Randu Walang. Tangannya di
ikat dengan tali yang ter-sampir di atas pelana kuda. Tidak berselang lama Pu-
teri Kilat Bayangan telah berada di atas punggung ku-
da. Maka Randu Walang pun diseret menuju lereng
gunung Kendeng. Keadaan pemuda kudisan itu benar-
benar sangat mengenaskan. Tubuhnya terhempas-
hempas di atas tanah berbatu.
"Niatmu untuk menjadi pengantin akan kami
turuti, sebentar lagi! Hi hi hi...!" Puteri Kilat Bayangan tertawa mengekeh.
*** 9 Kasunanan Parit Wolu di pagi itu dalam kea-
daan sepi. Bangunan megah ini hanya dijaga oleh be-
berapa orang pengawal saja bersenjata lengkap. Sudah
hampir dua hari ini Sunan tidak berada di tempat. Ru-
panya usaha Sunan untuk menemukan puterinya
kembali belum mendatangkan hasil. Sepagi itu dari
bagian luar tembok benteng, tampak sesosok tubuh
bergerak cepat mendekati gerbang utama. Pemuda be-
rambut riap-riapan memakai baju biru bercelana hi-
tam komprang ini langsung dihadang oleh pengawal
yang bertugas di tempat itu.
"Berhenti!!" perintah salah seorang dari dua
pengawal dengan lagak memuakkan. Si pemuda henti-
kan langkahnya, memandang sejenak ke arah si pen-
gawal dengan tatapan mata bosan.
"Mau apa kau kemari, orang muda kulit hitam
putih?" tanya yang lainnya.
"Huh, aku hendak bertemu dengan kanjeng
Sunan. Apakah dia ada di tempat?" tanya si pemuda
dingin. "Beliau tidak ada. Kalau pun ada, tentu kau tidak boleh masuk!" jawab si
pengawal ketus. Kedua ra-hang si pemuda mengatup rapat dan tampak meng-
gembung menahan marah.
"Kalian berdua sama bangsatnya dengan Sunan
Bandi Suliwa! Kalau tidak mau mampus sebaiknya
kau menyingkir!" tegas pemuda itu.
"Monyet gila kesasar, sadarkah kau sedang
berhadapan dengan siapa?" tanya si pengawal, seraya menodongkan pedangnya ke
leher Dewa Sabrang.
Namun tanpa disangka-sangka si pemuda me-
nepiskan senjata itu, lalu membalikkannya ke tenggo-
rokan pengawal. Gerakan yang dilakukannya ini san-
gat cepat bukan main. Tahu-tahu leher pengawal ma-
lang ini mengucurkan darah. Si pengawal menjerit
sambil mendekap tenggorokannya yang nyaris putus.
Pedang disentakkan dari tangan lawan. Sekelebatan
senjata telah berpindah tangan. Belum lagi pengawal
kedua sempat berbuat sesuatu, pedang di tangan De-
wa Sabrang sudah amblas di bagian perutnya.
Kedua pengawal ini kemudian roboh tidak ber-
kutik, yang lain-lainnya langsung berhamburan keluar
begitu mendengar suara jeritan kawannya. Betapa ka-
getnya mereka ketika melihat seorang pemuda berdiri
tegak dengan tatapan matanya yang dingin menusuk.
Di tangan pemuda itu tergenggam sebilah pedang ber-
lumuran darah. "Hei... siapa kau...?" teriak salah seorang diantara belasan pengawal ini sambil
mencabut senjatanya.
Dewa Sabrang tersenyum tipis. Tatapan matanya
sungguh menggidikkan bagi yang memandangnya.
Masa lalu sering terlupakan
Tapi aku tidak bisa melakukannya
Saat aku berada di simpang keraguan
Kusadari matahari sudah makin meninggi
Aku hampir tidak dapat lagi membedakan
Cinta Tuhanku dan sayang manusia
Masa lalu telah menusukku dengan sembilu te-
ramat dalam... Hal ini sangat melukai, melukai teramat dalam
Salahkah aku menggantung harap
Antara harapan dan sia-sia
Aku datang bukan tuk mengharap cinta dan ka-
sih dari seorang anak manusia
Aku hanya ingin bertanya, mengapa orang-orang
tersalah masih bisa tertawa
Mengapa pula orang-orang benar malah menan-
gis Aku datang bukan untuk menghapus luka atau
perturutkan nafsu kebencian.
Aku datang semata-mata untuk meluruskan
jalan agar tidak semakin menyesatkan!
Menyingkirlah! Menyingkir!!
Jawaban Dewa Sabrang yang tidak ubahnya
seperti orang yang melantunkan bait-bait sair ini tentu
saja membuat pengawal-pengawal itu menjadi sangat
marah. Salah seorang diantaranya dengan tidak sabar
langsung menyerbu ke arah Dewa Sabrang. Namun
pemuda itu laksana kilat langsung menyambitkan sen-
jata berlumuran darah di tangannya. Senjata itu me-
luncur laksana kilat dan tidak terelakkan lagi.
"Wuaaak...!"
Gerakan si pengawal tertahan, matanya mende-
lik. Ia dekap pedang itu dan berusaha mencabut senja-
ta yang membenam di perutnya. Tindakan yang dila-
kukannya ini hanya mempercepat kematiannya saja. Ia
terguling, yang lain-lainnya sempat terperangah. Tapi
hanya sebentar saja. Di lain waktu mereka sudah me-
nyerbu sambil mengibaskan senjata di tangan masing-
masing. Menghadapi hujan senjata yang bertubi-tubi
ini, Dewa Sabrang hanya menghindar seenaknya saja.
Sehingga tidak dapat dicegah beberapa senjata milik
lawannya mengenai tubuhnya. Tapi serangan itu tidak
membawa akibat apa-apa. Untuk kedua kalinya para
pengawal ini dibuat terkejut. Dewa Sabrang tertawa
dingin. Tangannya yang sudah berwarna putih kehi-
tam-hitaman itu akhirnya bergerak laksana kilat.
Buk! Buk! Buk! Pukulan-pukulan yang dilakukan oleh Dewa
Sabrang membuat lawannya menjerit kesakitan. Mere-
ka roboh, tubuh berubah berwarna hitam. Darah ken-
tal meleleh dari hidung mereka. Dewa Sabrang ru-
panya sudah tidak dapat lagi mengendalikan amarah-
nya. Sehingga secara tidak sadar ia sudah mempergu-
nakan pukulan Racun Dewa. Akibatnya tentu sangat
mengerikan sekali. Apa yang terjadi pada kawan-
kawannya membuat sisa-sisa pengawal menjadi kecut
kehilangan nyali.
"Lebih baik jangan kalian halang-halangi aku,
jika ingin selamat!" dengus Dewa Sabrang. "Pergilah sebelum kalian mengalami
nasib seperti kawan-kawan
kalian!" bentak Dewa Sabrang.
Melihat tidak ada kemungkinan lain lagi. Para
pengawal ini pun berserabutan meninggalkan halaman
Kasunanan. Dewa Sabrang memperhatikan tingkah
pengecut pengawal-pengawal itu untuk kemudian
langsung bergerak memasuki ruangan besar dihada-
pannya. Tidak sampai setengah jam kemudian Dewa
Sabrang telah keluar lagi dengan perasaan kecewa.
"Aku tahu kemana puteri pergi! Kurasa kesana-
lah aku harus mencari!" pikir Dewa Sabrang. Pemuda ini kemudian menghampiri
seekor kuda putih yang
terdapat di samping bangunan itu. Dengan memper-
gunakan kuda itu ia berangkat menuju gunung Ken-
deng. * * * Tetabuhan ala kadarnya sudah tersedia di ba-
wah tratak. Perhelatan besar itu agaknya sudah ham-
pir dimulai. Pengantin perempuan sudah dirias ala ka-
darnya. Sedangkan mempelai laki-laki memakai topi
caping yang terbuat dari kulit kayu. Wajahnya coreng
moreng dengan warna kontras, hitam merah dan biru.
Kedua mempelai laki-laki ini memakai pakaian kedo-
doran. Tubuh mereka dibaluri warna yang terbuat dari
tanah liat. Bibirnya diberi warna merah menyala.
Tampaknya di lereng gunung Kendeng sedang
diadakan pesta besar. Dua pasang pengantin disan-
dingkan sekaligus. Di samping mempelai laki-laki du-
duk dengan resah mempelai perempuan. Mempelai pe-
rempuan tidak henti-hentinya cengar-cengir atau ga-
ruk-garuk kepala. Terkadang bahkan tidak segan-
segan mempelai perempuan mencari kutu di kepala
pasangannya. Sementara di samping mempelai laki-
laki tersedia arak keras, mereka tidak henti-hentinya
meneguk minuman memabukkan itu hingga membuat
mata memerah dan bicara melantur tidak karuan. Pa-
da deretan sebelah kiri, tampak mempelai laki-laki du-
duk dengan santai. Kelihatan sekali ia kurang menghi-
raukan matanya yang bengkak membiru. Wajahnya
juga coreng moreng, bicaranya ngawur tidak karuan.
Terkadang ia tertawa-tawa sendiri, sedangkan mempe-
lai perempuan yang duduk di sampingnya terdiam
dengan mulut melongo.
Pada setiap pasangan pengantin itu. Di sam-
pingnya berdiri seorang gadis berpakaian dayang me-
megang kipas dari daun pisang. Para gadis itu tidak
henti-hentinya tersenyum. Wajah mereka juga coreng
moreng, bergincu tebal dan memakai alis berukir tebal
pula. Para gadis pengiring ini mengenakan kostum
yang sepenuhnya terbuat dari rangkaian bunga. Walau
patut diakui dibalik semua itu mereka berpakaian
lengkap. Kipas daun pisang tidak henti-hentinya diki-
baskan. Lalu mempelai perempuan nyengir lagi sambil
melahap pisang yang terdapat di sampingnya.
Tidak lama kemudian muncul seorang nenek
dipanggul oleh dua ekor monyet besar. Dia tidak lain


Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah nenek kaki dan tangan buntung yang lebih di-
kenal dengan Nini Suri Pamungkas. Perempuan cacat
ini memperhatikan dua pasang pengantin yang kini ke-
lihatan sibuk dengan urusan masing-masing. Pengan-
tin perempuan terus menerus makan pisang, sedang-
kan mempelai laki-laki tiada henti meneguk minu-
mannya. "Nguk! Nguk!"
Kedua monyet yang memanggul si nenek tam-
pak ribut. Namun monyet-monyet ini tidak berani me-
lakukan sesuatu yang membuat majikannya bisa ma-
rah. Nini Suri Pamungkas menepuk-nepuk bahu ke-
dua monyet yang selalu memanggulnya kemana pun
nenek ini pergi.
"Jangan cemburu, Nyet Tam, Nyet Tih!" kata si nenek (Maksudnya monyet hitam dan
monyet putih). "Isteri-isteri kalian hanya dipinjam sementara waktu buat kedua pemuda yang gila
kawin ini. Nanti jika pesta besar ini selesai. Mereka pasti kembali pada kalian
juga!" "Nenek jelek! Cepat tepung tawari pasangan mempelai ini. Sebagai tanda
restu darimu, aku sudah
tidak sabar memukul tetabuhan ini!" ujar pemuda baju hijau yang sedari tadi
tiada henti mencuri pandang
pada gadis pengiring mempelai yang berada di sudut
kanan. "Hik hik hik! Pemuda tolol! Tanganmu gatal ingin memukul tetabuhan atau
kau merasa pingin seper-
ti mempelai ini. Lalu siapa yang ingin kau jadikan pa-
sangan" Cucuku Puteri Kilat Bayangan atau mempelai
yang suka makan pisang itu?" ejek Nini Suri Pamungkas. Puteri Kilat Bayangan
tundukkan wajahnya.
Seandainya wajahnya tidak tertutup pewarna. Tentu
terlihat betapa paras gadis secantik bidadari itu beru-
bah memerah seperti tomat matang. Suro Blondo
nyengir, walau hatinya memang tidak pernah tenang.
"Jangan kau menyindir ku, Nek! Aku khawatir
malah kau ingin kawin yang kedua kalinya. Jangan se-
rakah, aku yang muda-muda saja belum pernah mera-
sakan jadi pengantin. Ha ha ha...!"
"Anak setan sontoloyo. Tutup mulutmu, seka-
rang aku hendak memberikan restu pada kedua pa-
sang pengantin ini. Nah tabuhlah kendangmu, ayo pu-
kul!" perintah si nenek.
Plak! Dut! Plak! Dut! Duuut!
Kendang dipukul bertalu-talu. Tentu saja ira-
manya sesuka hati si pemuda. Sementara di bawah
tratak si nenek mulai menaburkan bunga-bunga hutan
yang terdiri dari berbagai jenis. Baik puteri Reza mau-
pun Puteri Kilat Bayangan sama menahan tawa meli-
hat cara si pemuda memukul tetabuhan yang kedenga-
rannya seperti orang yang kentut di tengah orang ra-
mai hingga tertahan-tahan. Suro termonyong-monyong
melihat mempelai perempuan jejingkrakan sambil me-
makan pisang. Sesekali mempelai perempuan men-
cium mempelai laki-laki tanpa rasa malu.
Clepot! "Dasar binatang! Tidak ada pikirannya, betul-
betul gendeng!!" gerutu Suro.
"Ayo yang keras kau menabuh kendang. Jan-
gan pelan seperti cacing kurang makan. Ayo lebih ke-
ras lagi. Biar para tetamu tidak nyasar kondangan di
tempat lain!" perintah Nini Suri Pamungkas.
Si pemuda pun akhirnya memperkeras puku-
lannya. Saking kerasnya, hingga tetabuhan menjadi
robek. Suro melempar tabuhan yang robek dan meng-
gantikannya dengan tetabuhan yang lain. Sementara
mempelai yang sedang bersanding tampak tersenyum-
senyum. "Hei bagaimana rasanya jadi pengantin?" tanya Si Bocah Ajaib di tengah-tengah
kesibukannya. Perta-nyaannya ditujukan pada Randu Walang yang sudah
mabuk berat. "Ha ha ha...! Jadi pengantin kepala rasanya
muter terus. Endah juga sih, tapi ada mual sedikit-
sedikit...!" jawab Randu Walang yang memang sudah
mabuk berat. "Uh... uh...! Aku lain, kawanku itu salah. Jadi
pengantin rasanya seperti berada di atas angin, me-
layang timbul tenggelam. Kepala agak sakit dan dunia
ini rasanya milik orang-orang kaya. Lalu jalan tidak ra-ta, tratak ini bergerak-
gerak mengerikan. Uh... uh...!"
Sidra Gagap dengan lancar ikut menanggapi perta-
nyaan Suro Blondo.
"Orang-orang mabuk, disandingkan dengan
monyet pun bagi kalian indah saja!" teriak Pendekar Blo'on, kemudian terdengar
suara tawanya bergelak-gelak.
* * * Kita tinggalkan kesibukan pesta gila yang terja-
di di lereng gunung Kendeng. Sementara itu di bagian
lain lereng gunung, tampak Sunan Bandi Suliwa dan
para pengawalnya yang berjumlah belasan orang tam-
pak terns memacu kudanya. Baik para pengawal mau-
pun Sunan Bandi Suliwa sendiri sudah sama-sama le-
tih. Apalagi mengingat sudah dua malam mereka tidak
istirahat barang sedikit pun.
"Kanjeng Sunan, bagaimana jika kita melepas
lelah sebentar!" tanya salah seorang pengawal dengan perasaan takut.
"Siapa yang mau istirahat silakan. Tapi istira-
hatnya seumur hidup!" dengus Sunan tanpa mengu-
rangi kecepatan kudanya yang sudah sangat kelela-
han. Pengawal ini langsung katupkan bibirnya. Ku-
da-kuda itu terus berlari bagai dikejar-kejar setan. Setelah melewati tikungan
tebing curam. Mendadak saja
tiga orang pengawal di depan menjerit dan langsung
terlempar dari atas pelana kudanya. Begitu menyentuh
tanah para pengawal yang malang ini langsung terdiam
tidak berkutik. Sunan menghentikan kuda, belum lagi
hilang rasa kagetnya dan belum pula sempat meneliti.
Dari balik batu besar menderu sinar hitam putih dan
langsung melabrak pengawal yang berada di belakang-
nya. Sunan tidak sempat lagi memberi peringatan. Li-
ma orang pengawal langsung roboh bersama kuda
tunggangan mereka. Sekujur tubuh pengawal-
pengawal ini berubah menghitam keracunan.
Pukulan gelap tadi benar-benar sangat dahsyat.
Sunan sendiri seakan hampir tidak percaya dengan
apa yang disaksikannya. Tiga orang bisa pengawal
menjadi kecut. Selagi ia hendak bicara, dari balik batu besar muncul seorang
pemuda terambut riap-riapan
berwajah dingin. Dari kepala hingga ke dada kulit pe-
muda itu hitam pekat, sedangkan dari dada hingga ke
ujung kaki berwarna putih seperti kapas. Walau pun
peristiwa itu sudah berlangsung lima tahun yang lalu,
tapi Sunan masih dapat mengingat bekas bendaha-
ranya itu. "Kau rupanya!?" desis Sunan Bandi Suliwa sinis. "Ya, aku Ambar Alam si Dewa
Sabrang. Orang yang lima tahun lalu kau hukum pendam di mulut gua
celaka itu. Tidak ada jalan bagimu untuk selamat Su-
nan. Aku tahu muslihatmu. Dulu kau bersekutu den-
gan tokoh-tokoh sesat yang akan menjadi besanmu ke-
tika menghancurkan orang tua Puteri Kilat Bayangan.
Kini kau memperkosa kemerdekaan hati manusia den-
gan kehendak gilamu!" dengus Dewa Sabrang.
"Rupanya kau merasa sakit hati karena aku
melarangmu berhubungan dengan putriku. Ha ha ha!
Sebaiknya kau berkaca siapa dirimu!"
"Bukan persoalan sakit hati atau putus hara-
pan. Aku hanya ingin membuatmu mengerti bahwa
manusia tidak punya kuasa atas jiwa orang lain!
Heaa...!" Dewa Sabrang berteriak keras dan langsung lepaskan pukulan "Payung
Dewa'. Udara panas mem-
bakar bergulung-gulung, angin sambarannya saja su-
dah membuat tiga pengawal Sunan Bandi Suliwa ter-
kapar tidak berdaya.
Sedangkan Sunan sendiri langsung melompat
dari punggung kudanya. Gerakannya cukup menga-
gumkan. Kuda Sunan menjadi sasaran. Terdengar
dentuman sangat keras menggelegar. Kuda hitam itu
terbanting ke tanah. Sunan yang sekarang sudah be-
rada dekat dengan Dewa Sabrang dengan penuh kema-
rahan juga lepaskan pukulan 'Tapak Sakti'. Suasana
mendadak sontak berubah panas seperti berada di ne-
raka. Dewa Sabrang tidak tinggal diam. Ia pun le-
paskan pukulan dengan tenaga berlipat ganda.
Buum! Ledakan-ledakan itu sangat mengerikan sekali.
Masing-masing pihak sempat terangkat ke udara. Ru-
panya Dewa Sabrang sudah memperhitungkan betapa
hebatnya kesaktian yang dimiliki oleh Sunan Bandi
Suliwa. Sehingga di saat berhadapan ia langsung me-
lepaskan pukulan-pukulan yang sangat mematikan.
Sunan terkejut sekali melihat kemajuan pesat yang di-
peroleh Ambar Alam. Ia kelihatan seakan-akan tidak
percaya melihat kehebatan Dewa Sabrang.
Menyadari lawannya sekarang bukan pemuda
yang lemah lagi, maka Sunan Bandi Suliwa pun segera
mengerahkan jurus-jurus yang paling diandalkannya.
Tidak terelakkan lagi terjadilah pertempuran sengit di
mana masing-masing pihak melepaskan pukulan-
pukulan dahsyat yang menjadi andalannya masing-
masing. "Kini saatnya, Sunan!?" teriak Dewa Sabrang
histeris. "Jangan kau bermimpi!" dengus Sunan Bandi.
Laki-laki itu kemudian hentakkan kedua tan-
gannya ke depan. Sekejab saja terlihat tiga leret sinar
meluncur deras ke arah Dewa Sabrang. Pemuda ini
pun tidak mau kalah. Ia lepaskan pukulan untuk me-
nyambut serangan lawannya. Sinar putih menyilaukan
melesat laksana kilat. Lalu terjadi ledakan keras
menggelegar. Dua-duanya tercampak, tapi diantara
mereka berdua tidak satu pun yang terluka. Sunan
Bandi Suliwa terpaksa cabut senjatanya. Sebuah pe-
dang berwarna kuning dan dikenal dengan nama pu-
saka Wesi Kuning ini lalu ditusukkan ke dada Dewa
Sabrang. *** 10 "Haiit!"
Dewa Sabrang berguling-guling, senjata itu me-
nyerempet di bahunya. Si pemuda menjerit keras. Ter-
nyata senjata ampuh itu mampu menembus kekebalan
tubuh Dewa Sabrang. Pemuda rambut riap-riapan
bangkit lagi. "Aku dan dia sama-sama kebal. Tapi kurasa aku mampu mengatasinya."
pikir Dewa Sa- brang. Terlintas sebuah akal di benaknya, ia merasa
yakin sekali Sunan Bandi Suliwa tidak mungkin dapat
dirobohkan terkecuali dengan mempergunakan senjata
miliknya sendiri. Untuk itu ia harus dapat merampas
senjata dari tangan lawannya. Mengingat sampai kesi-
tu, maka sambil lindungi kepala Dewa Sabrang men-
coba mendesak, baru beberapa gebrakan ia sudah ter-
dorong mundur lagi karena senjata lawan terus saja
berkelebat-kelebat menyambar ke arah tubuhnya.
Dewa Sabrang terpaksa bersurut mundur lagi
sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke
bagian telapak tangan. Sebentar saja kedua tangannya
telah berwarna hitam keputih-putihan. Sunan kaget
sekali melihat perubahan ini. Ia lalu memutar senjata
lindungi diri. Badai topan mengandung hawa panas
bergulung-gulung.
Wuuk! Wuuk! Senjata kanjeng Sunan diputar membentuk pe-
risai. Sekejab kemudian laki-laki itu langsung dapat
merasakan sebuah tekanan yang dahsyat. Kedua tan-
gannya goyah, pedang Wesi Kuning menggeletar. Lalu
serangan itu semakin tindih menindih, hingga Sunan
terdorong dan akhirnya terlempar. Senjata di tangan
terlepas. Dewa Sabrang yang memang menghendaki
kejadian ini langsung menyerbu, lalu memungut senja-
ta milik lawan.
Sunan Bandi Suliwa yang masih jungkir balik
langsung berubah pucat wajahnya melihat senjatanya
sudah berpindah ke tangan musuh.
"Serahkan senjataku!" teriak Sunan dengan su-
ara bergetar. Dewa Sabrang menyeringai sinis. Di lain kejab
tanpa didahului oleh ucapan apapun ia sudah membu-
ru Sunan. Lawan berkelit menghindar sambil menepis
lengan Dewa Sabrang. Gerakan itu dapat dihindari
oleh si pemuda. Senjata di tangannya kembali berkib-
lat. Sunan terdesak, namun masih berusaha lepaskan
tendangan. Wuus! Lagi-lagi serangan itu gagal mengenai sasaran.
Sementara senjata di tangan Dewa Sabrang sudah me-
nerobos pertahanannya. Tidak terelakkan lagi senjata
maut itu pun menembus perut kanjeng Sunan.
Ces! "Akh...!"
Kanjeng Sunan Bandi Suliwa memekik terta-
han. Perutnya yang tertembus pedangnya sendiri men-
gepulkan asap menebar bau sengit. Matanya mendelik
sedangkan tubuhnya menggeletar untuk beberapa saat
lamanya. Setelah itu Sunan Bandi Suliwa terkapar ti-
dak bangun-bangun lagi. Dewa Sabrang setelah men-
gamankan pedang Wesi Kuning milik lawannya lang-
sung memanggul tubuh Sunan yang sudah tidak ber-
nyawa. Setelah itu ia langsung menaiki kuda yang dis-
embunyikannya di semak-semak. Mayat Sunan Bandi
Suliwa disampirkannya ke bagian depan pelana, ke-
mudian itu tali kekang disentakkan dan kuda pun ber-
lari meninggalkan mayat-mayat pengawal yang berge-
limpangan.

Pendekar Bloon 13 Jodoh Di Gunung Kendeng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * "Tamu akhirnya datang juga!" sera Pendekar
Blo'on. Dan tetabuhan di depannya dipukul dengan
keras. "Setiap tamu yang datang mengapa tidak disambut?" menimpali Nini Suri.
Pamungkas. "Mereka masih heran melihat pengantin! Di
atas pelaminan putra dan murid mereka tampak gagah
seperti macan loyo!" kata Pendekar Blo'on. Seraya hentikan tetabuhannya. Lalu
berdiri tegak di depan mem-
pelai yang sedang bersanding.
Tidak jauh di seberang teratak, Macan Terbang
dan Kala Demit Sudah melompat dari punggung kuda
masing-masing. Mata mereka terbelalak melihat anak dan mu-
rid mereka bersanding dengan monyet besar. Lebih he-
ran lagi karena baik Sidra Gagap dan Randu Walang
dihias secara asal-asalan dan kedua pemuda itu keli-
hatannya sedang dalam keadaan mabuk berat.
"Siapa yang berani melakukan tindakan gila itu
pada muridku!" teriak Kala Demit marah besar.
"Ha ha ha...! Orang jelek. Bukankah kau men-
ginginkan muridmu menjadi pengantin. Kini mereka
sudah bersanding dan tampak bahagia, kenapa tamu
datang marah-marah" Aku dan nenek itu yang me-
riasnya tanpa harus membayar. Mana rasa terima ka-
sihmu!" ejek Suro Blondo sambil garuk-garuk kepala.
"Bangsat! Permainan gila ini harus diakhiri dan
kalian mesti menyerah pada kami!" teriak Macan Terbang tidak sabaran.
"Walah... bebaskan dulu putramu. Baru nanti
kita bebas bicara. Lihatlah dia sudah mabuk berat.
Apa kau juga ingin mabuk seperti anakmu!" dengus
Suro dengan tangan berkacak pinggang.
Kata-kata Pendekar Blo'on yang seenaknya itu
tentu membuat Macan Terbang menjadi kalap. Ia
pun melompat ke depan dengan maksud memberi pe-
lajaran pada si konyol sekaligus menarik putranya dari
atas pelaminan. Namun tidak terduga-duga rupanya
bagian lantai tratak di pasang lubang besar. Begitu
menginjakkan kakinya di bawah teratak. Macan Ter-
bang langsung terperosok ke dalamnya. Walau pun
Macan Terbang telah berusaha menyelamatkan diri
namun lubang itu terlalu lebar. Sehingga ia kehilangan
keseimbangan. Tidak ayal lagi tubuhnya meluncur ke
bawah. Sedetik kemudian terdengar suara jeritannya
yang menyayat. Tubuh Macan Terbang tertembus
bambu-bambu runcing berceragah yang dipasang di
bawah lubang tersebut. Kala Demit telan ludah melihat
kematian Macan Terbang yang mengenaskan itu. Ia ti-
dak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya yang
tercebur ke dalam lubang tersebut.
Sementara itu, Puteri Kilat Bayangan dan Nini
Suri Pamungkas sudah mengepung tokoh sesat.
"Kalian manusia-manusia pengecut yang sangat
licik!" dengus Kala Demit marah sekali.
"Jangan banyak bacot, Kala Demit. Segala
kebusukanmu bersama Sunan sudah diketahui oleh
semua orang yang berada di sini. Kau dulu ikut mem-
buntungi kaki dan tanganku bersama Sunan Bandi
Suliwa. Sekarang tibalah saatnya bagimu untuk mera-
sakan penderitaanku dan juga penderitaan Puteri Kilat
Bayangan!" tegas Nini Suri Pamungkas.
"Tunggu dulu!" Suro Blondo tiba-tiba saja me-
lompat dan kini berdiri tegak di tengah-tengah mereka.
"Kala Demit punya seribu hutang yang harus dibayarnya hari ini. Siapapun yang
berada di sini tidak boleh
ikut campur! Dia menjadi bagianku!"
Tokoh sesat itu memandang lurus pada Suro.
Setelah memperhatikan ciri-ciri pemuda itu, sekarang
yakinlah dia bahwa pemuda berambut hitam kemera-
han ini adalah si Bocah Ajaib yang terlahir pada ma-
lam satu Asyuro di lereng Bromo.
Mendengar ucapan Suro, Nini Suri Pamungkas
dan Puteri Kilat Bayangan langsung mundur teratur.
Sebaliknya Kala Demit melangkah maju menghampiri
Pendekar Blo'on.
"Kau si bocah ajaib itu?"
"Betul!" sahut Suro ketus.
"Menyesal aku telah membunuh orang tuamu.
Jika cuma beginilah tampangnya bocah yang kami pe-
rebutkan tempo hari. Tentu aku tidak akan ikut ambil
bagian dalam urusan gila itu. Sekarang kau mau apa?"
"Ha ha ha...! Ayah, ibu...!" Suro menengadah-
kan wajahnya ke langit. "Hari ini aku telah bertemu dengan orang yang
menyebabkan kematianmu! Hutang-hutang itu harus impas! Ha ha...!" Suro
berteriak-teriak seperti orang gila. Kala Demit yang sudah men-
dengar kehebatan pemuda berwajah ketolol-tololan ini
tidak membiarkan kesempatan berlalu begitu saja.
Dengan cepat ia layangkan pukulannya ke bagian dada
Suro Blondo. Serangan ini dua kali kecepatan suara. Tiba-
tiba saja Suro sudah jatuh terpelanting. Ia menggerung
marah, dengan mulut peletat-pletot seraya melompat
berdiri. Berhadapan dengan musuh besarnya Pendekar
Blo'on tidak mau bersikap ayal-ayalan lagi. Mendadak
sontak terdengar suara tawa yang tiada henti-hentinya
dari mulut si pemuda. Suara yang sedemikian menye-
ramkan membuyarkan konsentrasi lawannya. Lalu tu-
buhnya berkelebat, gerakannya sangat cepat, namun
terhuyung-huyung seperti kera mabuk.
Kala Demit jadi terkesiap. Ia langsung mengha-
lau setiap serangan si pemuda yang mengandung ber-
macam-macam muslihat, meskipun jurus-jurus dan
setiap gerakannya sangat aneh sulit dipecahkan.
"Astaga! Itu adalah jurus Tawa Kera Siluman
milik Penghulu Siluman Kera Putih!" desis Nini Suri Pamungkas. Rupanya si nenek
kenal dengan Barata
Surya tokoh sakti bukan main yang punya watak ko-
nyol, angin-anginan itu. "Pantas tingkah pemuda itu sangat mirip dengan tokoh
aneh itu."
Di tengah-tengah pertempuran yang sengit di
antara dua musuh bebuyutan ini. Muncul Dewa Sa-
brang, pemuda itu sama sekali tidak menghiraukan
mereka yang bertempur, melainkan menghampiri Nini
Suri Pamungkas dan dua gadis dengan dandanan
aneh. "Kakang Ambar!?" seru puteri Reza sambil memeluk Dewa Sabrang. Ia menangis
terisak-isak di dada
kekasihnya yang terpisah selama lima tahun.
"Apa yang terjadi disini?" tanya Dewa Sabrang dingin. "Kami mengecoh paman Sunan
dan para sahabatnya!" Puteri Kilat Bayangan yang menyahuti.
"Nenek, Reza. Aku telah membunuh Sunan
Bandi Suliwa. Jika kalian membenciku aku tidak akan
sakit hati. Perbuatan gila itu harus dihentikan!"
"Dia memang pantas menerima hukuman itu."
Kata Puteri Kilat. "Kurasa Puteri Reza dapat memak-luminya. Aku pesankan padamu,
lindungilah adik mi-
sanku itu baik-baik. Sayangilah dia sebagaimana dia
menyayangimu!"
"Betul, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi."
Nini Suri Pamungkas menimpali.
"Kau mau mengampuni aku, Reza?" tanya De-
wa Sabrang kelihatan kurang puas.
"Aku memaklumi tindakanmu, kakang, Semoga
Gusti Allah mau memaafkan kau dan ayahku!"
"Oh, kau selalu baik padaku. Mari kita bawa
mayat ayahmu untuk dikuburkan secara layak!"
Puteri Reza Baiduri menganggukkan kepala.
Setelah berpamitan pada Nini Suri dan Puteri Kilat,
mereka meninggalkan tempat itu.
Kini tinggallah Puteri Kilat dan neneknya yang
terus mengawasi jalannya pertempuran yang semakin
sengit itu. Pada waktu itu Pendekar Blo'on memang
sudah tampak terluka. Ia telah mengerahkan segenap
kesaktian yang dimilikinya. Sekarang pemuda ini
menghadapi tekanan-tekanan yang tidak ringan dari
Kala Demit. Apalagi tokoh sesat ini telah melepaskan
pukulan-pukulan yang sangat dahsyat. Menghadapi
serangan gencar yang seakan tidak ada habis-habisnya
ini. Suro terpaksa mengeluarkan jurus 'Neraka Pem-
basmi Iblis', salah satu jurus tingkatan terakhir wari-
san kakek gurunya Malaikat Berambut Api.
Di satu kesempatan Kala Demit berusaha me-
nerobos pertahanan lawannya. Di saat pemuda itu me-
lompat ke udara. Maka tinjunya yang telah berwarna
hitam itu menderu. Suro melihat kelebatan tangan la-
wan segera menangkis.
Dess! "Heh...!"
"Eeh...!"
Dua-duanya sama terkejut. Warna merah
membekas di telapak tangan Suro. Sedangkan Kala
Demit dalam keadaan terhuyung-huyung langsung le-
paskan pukulan "Menerobos Langit Membelah Mataha-
ri'. "Terimalah kematianmu, anak setan!" Sekejab
saja kedua tangannya dihentakkan. Melihat hal ini Ni-
ni Suri Pamungkas jadi khawatir atas keselamatan si
pemuda. Ia bergerak ke depan sambil mengebutkan
ujung jubahnya. Sinar biru tampak melesat, lalu me-
nepis sinar hitam kuning di tengah jalan.
Buum! "Akh...!"
Nenek kaki dan tangan buntung menjerit keras.
Tubuhnya terlempar dari bahu-bahu monyet yang
mendukungnya. Ketika Puteri Kilat hendak membantu
Suro yang dalam keadaan kalang kabut itu. Si pemuda
membentak keras.
"Jangan mendekat, Puteri Kilat!" Pendekar
Blo'on memperingatkan. Pemuda itu tiba-tiba saja hen-
takkan tangannya. Di lain kejab terlihat bayangan hi-
tam berkelebat-kelebat disertai terdengarnya suara
ringkik, ratapan tangis dan tawa bergelak-gelak. Ki-
ranya pemuda itu sudah mempergunakan Mandau
Jantan yang sangat hebat itu.
Wuus! Kini posisi berbalik, Kala Demit jadi kalang ka-
but dan berusaha menghindari tebasan-tebasan senja-
ta lawan. Bet! Karena tidak melihat adanya peluang lain. Ma-
ka laki-laki itu langsung mengeluarkan kebutan. Na-
mun senjata mautnya ini hanya dapat melindungi di-
rinya beberapa saat saja. Ketika Suro melompat, Man-
dau Jantan di tangannya memapas senjata lawan.
Pres! Kebutan itu jadi berantakan. Mandau bergerak
lagi, sementara Kala Demit bergerak mundur menjauh.
"Hiya...!"
Crees! "Akh...!"
Kala Demit meraung keras. Tangannya terbabat
putus sebatas lengan. Darah mengucur. Namun Suro
yang sudah kalap ini terus memburunya. Sebelum
senjata mengenai sasaran yang diharapkan. Terdengar
suara ledakan yang disertai menebarnya asap hitam
menutup pandangan. Suro terpaksa menahan gera-
kan. Tidak lama setelah asap hitam menghilang, maka
ia tidak melihat Kala Demit maupun Randu Walang
dan Sidra Gagap di situ.
"Jahanam! Dia melarikan diri. Ukh..,!" desis Su-ro agak terbungkuk-bungkuk.
Rupanya ia menderita
luka dalam yang tidak pernah dihiraukannya sejak ta-
di. "Cucuku, bawalah pemuda itu ke pondok. Lu-
ka-lukanya harus diobati. Dia murid tokoh hebat. Kau
harus mengenalnya lebih dekat lagi! Hik hik hik!" kata Nini Suri Pamungkas.
Gadis secantik bidadari ini
dengan malu-malu memapah Suro yang tampak kele-
lahan. Tubuhnya gemetar, bukan karena menahan ra-
sa sakit saja, melainkan juga karena didera oleh pera-
saan aneh terhadap Puteri Kilat Bayangan. Untuk
pertama kalinya ia tidak dapat bertingkah macam-
macam. Bahkan untuk bicara saja Suro tidak berani.
Mungkin inilah yang dikatakan cinta pada pandangan
pertama, Suro tidak tahu. Pendekar Blo'on hanya da-
pat berharap meskipun ia gagal membunuh orang
yang telah mencelakakan orang tuanya. Mudah-
mudahan si jelita yang penuh seribu pesona itu punya
perasaan yang sama.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pedang Pembunuh Naga 5 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Suling Naga 4
^