Pencarian

Api Di Puncak Sembuang 2

Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang Bagian 2


marinya mengeluarkan lendir dan terus meluncur
menghantam Sang Bala. Hanya dalam waktu singkat
sang pembunuh ini sudah tidak mampu bergerak lagi.
Namun tenaga yang dimilikinya sungguh sangat luar
biasa. Ia meronta, tali-tali yang terbuat dari lendir itu putus. Ki Bersin yang
telah melepaskan pukulan dah-
syat bertubi-tubi namun tidak menghasilkan apa-apa
kini jadi sasaran. Sang Bala mencengkeram tubuhnya,
lalu Ki Bersin dibantingnya dengan keras. Tenaga luncuran yang sedemikian
dahsyat membuat Ki Bersin ti-
dak dapat menyelamatkan diri. Untung sebelum kepa-
lanya terhempas di atas batu, El Maut sudah me-
nyambarnya. Maka selamatlah Ki Bersin dari maut. Kini yang
menjadi sasaran Sang Bala adalah Setan Terompet. Ti-
ba-tiba tangannya menyambar dengan cepat. Tapi Se-
tan Terompet telah melepaskan pukulan dan dia me-
lompat mundur sambil memaki.
"Jadah!"
Mendengar makian Sang Bala hanya menden-
gus. Kakinya menendang, angin bersuit. Setan Terom-
pet lepaskan tinjunya.
Buuk! Kraak! Kaki Sang Bala tidak mengalami cidera sedang-
kan tangan lawannya remuk. Setan Terompet meraung
keras dalam kesakitan yang amat sangat. Dalam pada
itu El Maut berpikir keras, kalau tubuh lawan kebal, berarti ia harus mencari
titik kelemahan Sang Bala.
Kemudian ia menyambar pedang perajurit yang
tergeletak tidak jauh darinya. Dengan gerakan secepat walet terbang El Maut
mencecar dengan pedangnya.
Tubuh Sang Bala ternyata keras bukan main. Semen-
tara itu ia telah berhasil mencengkeram Ki Bersin. Tidak lama kakek tua itu pun
sudah dihantam kepa-
lanya hingga remuk. Ki Bersin dicampakkan begitu sa-
ja, nyawanya melayang. Setan Terompet melihat ini ja-di terkesiap. Ia bermaksud
melompati mayat sauda-
ranya. Dengan ajian Pati Darah tentu saudaranya itu
dapat hidup kembali. Tapi usaha yang dilakukannya
tidak mudah. Karena lawan selalu menghalangi gera-
kannya. Akhirnya Setan Terompet jadi nekad dan be-
rusaha menerobos pertahanan lawannya.
Justru apa yang dilakukannya berakibat fatal
pada dirinya sendiri. Ketika ia mengirimkan pukulan
dengan tangan kirinya yang masih utuh, sang bala
berkelit. Secepat kilat ia menangkap Setan Terompet.
Laki-laki itu dibanting lalu diinjak-injaknya. Sehingga Setan Terompet pun
menemui ajalnya.
El Maut jadi geram sekali. Ia mengambil pedang
lainnya. Selagi lawan sedang memandangi mayat mu-
suh-musuhnya. Maka secara asal-asalan El Maut me-
nusukkan pedang itu ke dubur Sang Bala.
Bless! Kali ini apa yang dilakukannya benar-benar
berhasil. Sang Bala menjerit. Ia meronta dan tangan-
nya menyampok ke kanan dan ke kiri. Gerakannya ini
tidak beraturan. Ia berusaha mencabut pedang yang
menancap di pantatnya. Usaha ini tidak mendatang-
kan hasil. Rupanya memang disanalah letak titik ke-
lemahan Sang Bala. Tidak lama Sang Bala sudah ter-
huyung-huyung, kemudian ia roboh sambil mengerang
kesakitan. El Maut melihat lawannya sekarat langsung melompat mendekati. Pedang
di tangan diayunkan ke
arah batang leher lawannya.
Cras! Kepala Sang Bala terpisah dari badannya. Ru-
panya setelah bagian kelemahan laki-laki ini tertambus pedang. Maka tubuh Sang
Bala sudah tidak kebal lagi
terhadap berbagai jenis senjata.
Kening Sang Bala ditancapi paku-paku, sehing-
ga terlihatlah dua buah kata 'El Maut'. Kepala itu kemudian digantungnya di atas
pohon sejarak satu ba-
tang tombak dari atas tanah. Sehingga siapapun yang
datang dapat, melihatnya.
El Maut memanggul mayat Setan Terompet dan
Ki bersin untuk dibawanya ke dalam gua.
*** ENAM "Aha, kalian adalah gadis-gadis yang montok.
Aku menyukainya! Sudah dua malam aku bersenang-
senang dengan kalian. Rasanya aku tidak pernah
puas. Aku seperti berada di tengah lautan, minum air asin sebanyak banyaknya
namun tidak pernah merasa
kenyang!" kata kakek berambut awut-awutan tersebut.
Sementara tangannya terus meremas-remas
dada kedua gadis yang dalam keadaan polos telentang
menemaninya. Gadis-gadis itu tampak tersenyum, me-
reka sama sekali tidak mengenai rasa malu meskipun
saling mempertontonkan auratnya.
Kenyataan guru kurang waras ini selama dua
hari berada di istana sudah delapan wanita yang di-
ajaknya tidur bersama. Ia tidak ubahnya seperti buah kelapa, semakin tua semakin
berminyak. Gadis-gadis
itu tampaknya juga mendapatkan kepuasan lebih be-
sar dari pada harus melayani Pangeran Suprana.
"Hmm, jika aku masih muda. Tentu aku sang-
gup bermesraan dengan kalian empat orang sekaligus.
Aku suka melihat keadaan kalian yang polos seperti
ini!" kata Dewa Kubu.
Tidak lama berselang, si kakek pun kembali
mencumbu perempuan cantik yang berada di sebelah-
nya. Sedangkan gadis yang satunya lagi tampaknya ju-
ga tidak sabar menunggu giliran. Mereka tidak ubah-
nya seperti binatang yang tidak punya rasa malu. Wa-
laupun mereka berhubungan intim dengan disaksikan
oleh perempuan lain mereka tidak merasa risih. Lalu
terdengar suara rintihan-rintihan manja. Dewa Kubu
terus menghempas-hempas. Hingga akhirnya terden-
gar suara erangan panjang. Tubuhnya pun terdiam.
Begitulah perbuatan terkutuk itu terjadi silih
berganti. Bila si kakek sudah merasa bosan, maka ia
memanggil perempuan lainnya. Setelah hari menjelang
malam, Dewa Kubu keluar dari kamarnya dengan wa-
jah lesu seperti orang yang baru saja melakukan perjalanan yang cukup jauh.
"Muridku! Kau benar-benar telah menciptakan
sorga di istanamu! Kau murid yang berbakti, aku me-
rasa terhibur dan betah disini!" kata si kakek tanpa malu-malu.
"Cita-citaku memang sudah hampir berhasil,
guru. Guru juga telah menyelamatkan aku. Sekarang
yang merisaukan hatiku, hingga saat ini saudara tua-
ku Sang Bala mengapa belum kembali" Dan perajurit
baru saja melapor mereka hampir saja musnah terban-
tai. Ternyata si bukit Sembuang sudah ada orang yang menghadang mereka."
Dewa Kubu menyibakkan rambutnya yang
menjuntai menutupi wajahnya.
"Ha ha ha...! Siapa yang sanggup membuat
Sang Bala tewas" Tubuhnya kebal dan titik kelema-
hannya tidak seorang pun yang tahu terkecuali aku!"
sahut Dewa Kubu penuh keyakinan. "Lalu siapa yang dihadapi oleh perajurit-
perajuritmu itu?"
"Dua orang laki-laki tua dan seorang perem-
puan renta. Perempuan itu menyerang dengan mem-
pergunakan matanya. Ia juga meringkus perajurit-
perajuritku dengan mempergunakan cairan yang dapat
berubah menjadi benang-benang putih yang berpilin!"
jelas Iblis Peruntuh Mahkota.
Kening dibalik wajah yang tertutup rambut itu
berkerut dalam. Ia sama sekali tidak mengenal perem-
puan itu. Juga laki-laki yang ciri-cirinya baru saja dis-ebutkan muridnya.
"Jangan kau merasa khawatir. Aku Dewa Kubu,
setengah manusia setengah roh. Mereka semua akan
mendapat bagian diriku. Siapapun yang bercokol di
bukit Sembuang akan ku sikat habis. Sampai pedang
Pemersatu kutemukan dan menjadi milikmu!" janji Dewa Kubu.
"Sekarang masalahnya hanya tinggal pedang itu
dan puteri Saba. Gadis cantik yang membuat aku ter-
gila-gila dan tidak enak makan tidak enak tidur. Selain itu aku juga harus
memastikan Pangeran Demak Pati
dan pemuda berambut kemerahan itu mati di tangan-
mu, guru."
"Hal itu tidak perlu kau ragukan. Esok pagi-
pagi aku segera berangkat! Kalau kau mau menunggu
besok kita bisa berangkat bersama. Tapi kalau tidak
sabar, terserah bagaimana maumu!"
"Guru dapat melakukan perjalanan secepat an-
gin. Sedangkan aku memilih berangkat ke sana seka-
rang juga!" Pangeran Suprana memutuskan.
"Sekarang?"
"Ya, kurasa Elang Perak tidak akan tersesat
kemana-mana, bukankah binatang itu lebih tajam
penglihatannya pada malam hari"!"
"Ya, itu salah satu kelebihan yang dimiliki
Elang Perak. Mengingat segala ilmu yang telah kuberikan padamu, rasanya aku
tidak perlu mengkhawatir-
kan keselamatanmu!" ujar Dewa Kubu tanpa ragu-
ragu. "Malam ini guru boleh bersenang-senang di is-
tana sorga ini dengan gadis-gadis yang guru sukai. Besok pagi jangan lupa
menyusulku. Sekarang aku mo-
hon pamit!" kata Pangeran Suprana.
Ia segera meninggalkan ruangan pribadinya se-
telah mengenakan mahkota asli lambang kekuasaan
raja. Malam itu juga Pangeran dengan menunggang
Elang Perak segera meninggalkan singgasana.
* * * Sesosok bayangan berkelebat di antar pohon-
pohon pinus yang menjulang ke langit. Orang ini kelihatannya heran melihat nyala
obor di sana sini. Ia terus menyelinap di antara pohon yang satu dengan
yang lainnya. "Nyala obor itu mengapa tidak bergerak! Apa
mungkin orang-orang kerajaan sudah sampai dan
mengepung daerah ini" Atau ada kelompok lain yang
mencoba mempertahankan bukit setelah tahu Pedang
Pemersatu ada di sini?" desis sosok berbaju hitam sambil meludah. Ia mendekati
salah satu obor itu, ia jadi bersurut langkah. Ternyata di sana tidak ada siapa
pun. Obor ditancapkan ke tanah seperti sengaja dipasang ke sekeliling bukit.
"Obor-obor ini jumlahnya ratusan. Adalah pe-
kerjaan yang gila bila seseorang melakukan perbuatan ini. Eh... aku seperti
melihat salah suatu di dekat obor itu?" batin si laki-laki
Ternyata ia menemukan sepotong kayu berisi
sebaris kalimat peringatan.
'Melewati obor apalagi mendaki ke puncak bukit
berarti kematian!'
El Maut Laki-laki botak mendengus, lalu meludahkan
sirihnya. Ia memandang ke atas bukit. Tokh ia tidak
melihat apa-apa terkecuali kegelapan yang mencekam.
"Sebelum aku memutuskan untuk ke atas sa-
na. Lebih baik aku teliti ke sekeliling bukit ini!" katanya memutuskan. Lebih
kurang sepuluh batang
tombak ia melangkah. Tiba-tiba melihat sebuah pe-
mandangan mengerikan yang belum pernah dilihatnya
seumur hidup. Mayat-mayat bergelimpangan dalam
keadaan tumpang tindih, serta darah yang mengge-
nang disana-sini.
"Gila, ternyata telah terjadi pembantaian disini.
Mereka perajurit-perajurit kerajaan. Lalu siapa yang telah melakukannya?" desis
si botak. Ia melangkah mundur ke samping. Tapi kepalanya malah menyeng-gol
sesuatu. Ketika ia meneliti, maka tengkuknya pun merinding. Apa yang tersentuh
oleh kepalanya tadi
ternyata adalah potongan kepala manusia dengan ma-
ta melotot lidah terjulur.
"Siapa yang menggantung kepala ini" Pastilah
ini kepala milik Sang Bala yang mengejarku beberapa
hari yang lalu. Aku yakin pembunuhnya memiliki ke-
pandaian yang sangat tinggi. Apakah orang yang bergelar El Maut itu" Bukankah El
Maut artinya si Pencabut Nyawa?"
Krosak! Laki-laki botak ini tiba-tiba dikejutkan oleh su-
ara berisik di samping kirinya. Cepat ia membalikkan tubuhnya ke arah datangnya
suara. "Siapa disitu?" bentaknya dengan suara bergetar,
"Situ sendiri siapa?" Yang ditanya balas bertanya. "Jangan sembunyi di situ,
cepat tunjukkan diri atau aku akan menghajarmu!" ancamnya.
"Lihatlah bangkai di depanmu. Jumlahnya
mencapai ratusan, jika ditambah dengan darahmu. Itu
pun belum cukup untuk membasahi seluruh bukit ini.
Aku tahu kau datang ke sini pasti menginginkan pe-
dang itu!" dengus sebuah suara.
"Jahanam, tunjukkan dirimu!" teriak si botak.
Lalu melepaskan pukulan jarak jauh ke arah datang-
nya suara. Terjadi ledakan, namun tidak menimbulkan
reaksi apa-apa.
Si botak heran, tiba-tiba seseorang menyentuh
bahunya hingga membuatnya terlonjak kaget. Cepat
sekali ia berbalik. Di depannya tampak seorang pemu-
da berbaju biru sedang cengar-cengir sambil garuk-
garuk kepala. "Siapa kau?"
"Aku... ha ha ha...! Aku adalah orang yang ingin menambah jumlah korban disini."
sahut si pemuda seenaknya.
"Kau yang telah memasang obor dan membu-
nuh perajurit-perajurit itu" Cepat katakan!!" bentak si botak yang tidak lain
adalah Tabib Dewa Sesat.
"Yang memasang obor boleh jadi setan penung-
gu bukit ini."
"Jadi bukan kau yang membunuh perajurit-
perajurit itu?" Tabib Dewa Sesat yang semula telah menciut nyalinya kini


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertambah semangat lagi. Apalagi setelah melihat tampang si pemuda yang tidak
begi-tu menyakinkan dan terkesan seperti orang bodoh.
"Jika kau punya tujuan ingin mencari pedang
Penebar Bencana. Aku juga bisa membuatmu seperti
mayat-mayat itu!" tegas Pendekar Blo'on.
"Keparat! Kau kira dirimu siapa, eh...?" dengus Tabib Dewa Sesat penasaran.
"Aku Suro Blondo, Pendekar Blo'on! Ingat baik-
baik, aku Pendekar Blo'on!" Tingkah si pemuda terkesan sangat meremehkan.
"Huh, hanya kunyuk bodoh rupanya! Apa pun
tujuanmu ke bukit ini, aku harus menyingkirkan
orang yang coba-coba menghalangi langkahku!" geram Tabib Dewa Sesat.
Kakek botak itu tiba-tiba melolos tali pinggang-
nya yang ternyata adalah sebuah pedang tipis yang
dapat berubah kaku sesuai dengan pengerahan tenaga
dalam dan sangat tajam sekali.
Seketika pedang itu meluncur membelah bahu
Suro. Pemuda itu pencongkan mulutnya. Dengan ge-
rakan ringan ia berkelit menghindar. Serangan lawan-
nya tiba-tiba berbalik, kini mengancam rusuk Suro.
Cepat bukan main serangan itu, Suro berjum-
palitan. Lalu masih dalam keadaan bersalto ia menen-
dangkan kakinya seperti gerakan kaki belakang kuda.
Duuk! Tabib Dewa Sesat langsung terjajar. Ia mengge-
ram marah, setelah itu si botak menyerbu lagi dengan babatan pedangnya yang kian
menghebat mengurung
gerakan Suro Blondo. Pemuda ini segera mengerahkan
jurus khusus menghindar yang dikenal dengan nama
'Kacau Balau'. Setiap gerakan kaki maupun tangan
Suro sudah tidak beraturan. Aneh, cepat dan terkesan serampangan.
Gerakan yang grubak-grubuk itu ternyata,
membuat serangan-serangan yang dilancarkan oleh
kakek botak selalu gagal dari apa yang diharapkannya.
"Hiya...!"
Tabib Dewa Sesat disertai dengan bentakan ke-
ras tiba-tiba merubah jurus-jurus pedangnya. Seka-
rang senjata itu terus memburu bagaikan seekor bu-
rung terbang. Lalu berbalik, mengikuti gerakan Suro
Blondo. Pemuda cerdik bertampang Blo'on ini tidak
tinggal diam. Tiba-tiba ia melompati bahu lawannya.
Dalam pada itu kepala lawan yang licin dielus-elusnya kemudian dihantamnya
dengan siku. Dewa Sesat langsung terhuyung-huyung. Kepalanya jadi pusing. Se-
hingga untuk sesaat ia kehilangan konsentrasi. Ini me-rupakan penghinaan bagi
dirinya, lawan pemuda itu
mampu menyentuh kepala bahkan menghantam den-
gan sikunya. Dengan kemarahan berkobar-kobar ia
berbalik, sementara Suro bersiul-siul sambil melonjak kegirangan. Kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh lawan. Pedangnya meluncur, Suro tersentak kaget. Ia
cepat berkelit, serangan pedang luput. Namun kaki
Tabib Dewa Sesat menghantam pinggangnya.
"Ukh...!"
Suro sempoyongan, ia menggeliat seperti cacing
kepanasan. Belum lagi ia sempat melancarkan seran-
gan balasan. Tinju lawannya sudah menghantam ba-
gian dada. Diegkh...! Kali ini Pendekar Blo'on benar-benar terpelant-
ing. Darah menyembur ke udara.
"Melihat gerakanmu, aku tahu kau muridnya
Malaikat Berambut Api. Kepalang tanggung, kalau ti-
dak dapat kukalahkan gurunya. Dapat membunuh
muridnya pun sudah menjadi kepuasan bagiku!" teriak Tabib Dewa Sesat dengan
penuh nafsu membunuh.
Pedang tipis diputar-putarnya di atas kepala.
Suara angin menderu disertai berkelebatnya cahaya
putih menyilaukan mata. Setelah itu si kakek botak
menerjang dengan pedang terhunus. Suro merasa ji-
wanya benar-benar dalam keadaan terancam.
Di saat tubuh lawannya masih mengambang di
udara. Maka pemuda berambut hitam kemerahan ini
lepaskan pukulan 'Matahari Rembulan Tidak Bersinar'.
Terlihat sinar biru kemerah-merahan meluncur ganas
dari telapak tangan Suro. Kakek botak terkesiap, ia ja-di gugup. Pedang yang
semula dipergunakan untuk
menyudahi hidup lawannya kini terpaksa diputar un-
tuk melindungi keselamatannya.
Buuuum! Tabib Dewa Sesat menjerit tertahan. Ia tergul-
ing-guling sambil mendekap dadanya. Meskipun luka
dalam yang dideritanya akibat pukulan tadi cukup pa-
rah. Namun setelah menelan obat mujarab yang di-
buatnya sendiri ia bangkit lagi. Dalam keadaan gelap begitu mana Suro dapat
memastikan lawannya tewas
atau masih bertahan.
Pemuda itu perlahan bangkit sambil member-
sihkan debu yang menempel di bajunya. Di saat itulah ia merasa adanya sambaran
angin yang begitu cepat.
Ia terperangah melihat lawannya membacokkan pe-
dang ke bagian ke kepala.
Cepat sekali ia meliukkan tubuhnya. Posisi pe-
dang kini berubah menusuk. Suro dengan mulut ter-
pencong memaki, lalu melompat. Dan....
Breet! "Akh...!"
Pemuda ini menjerit, ketiaknya terserempet pe-
dang dan mengucurkan darah. Tabib Dewa Sesat tidak
puas dengan apa yang dicapainya. Ia berbalik, pedang terarah memenggal ke bagian
kepala. "Setan! Sudah melukai ketiak kini minta kepa-
la!" maki Suro Blondo.
Sing! Sambil meredam kemarahannya, Pendekar
Mandau Jantan ini cabut senjata. Sehingga seketika
itu juga terdengar suara ringkik kuda, suara kuda berubah jadi rintihan tangis,
kemudian berubah lagi
menjadi tawa berkepanjangan sesuai dengan cara si
pemuda menggerakkan Mandau tersebut. Terjadi ben-
turan keras. Pedang Tabib Dewa Sesat patah dua,
Mandau terus meluncur dan menghantam lengan Ta-
bib Dewa Sesat.
Tes! Dapat dibayangkan betapa ampuhnya senjata
Suro Blondo. Tangan lawan putus. Betapa tajamnya
senjata itu sampai-sampai Tabib tidak merasakan sa-
kit apa-apa. Ia baru sadar ketika melihat tangannya jatuh dekat kakinya. Cepat
potongan tangan diambilnya.
Lalu ia melemparkan sebuah benda berwarna hitam ke
arah Suro. Terjadi ledakan disertai menebarnya kabut hi-
tam. Suro yang bermaksud mengejar jadi urung dan
terbatuk-batuk.
Sayup-sayup di kejauhan ia mendengar suara
seseorang penuh ancaman.
"Hari ini kau membuat rasa maluku bertam-
bah-tambah. Lain kali aku akan mencarimu untuk
mengadakan perhitungan lagi!"
"Bagus, lain hari aku lebih senang mengambil
kemaluanmu, agar tidak punya malu sama sekali!" ka-ta Suro tidak kalah kerasnya.
Pemuda itu kemudian mengobati luka di bagian
ketiaknya. Sambil menggerutu mendaki ke puncak
Bukit Sembuang.
"Sialan, jalan tolak pinggang sebelah begini.
Nanti orang menyangka aku sok jagoan! Padahal kare-
na luka celaka di ketiakku ini!"
*** TUJUH "Nenek gila yang bergelar El Maut! Permainan
dan muslihat apa lagi yang hendak kau tunjukkan ke-
padaku?" bentak Pangeran Demak Pati ketika melihat si nenek mulai menurunkan
tali putih yang menggantung pemuda itu.
"Diam! Bila kau jatuh, kau bisa mampus seke-
tika!" bentak El Maut.
"Bukankah kau yang gila membunuh ingin
mengakhiri riwayatku?"
"Setan! Aku kata diam, kau harus diam. Ada
sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu!" gerutu si nenek. Tidak lama Pendekar
Kucar Kacir sudah berada
di lantai gua dengan kepala terlebih dulu menyentuh
tanah. Si nenek berambut awut-awutan yang matanya
senantiasa memancarkan cahaya merah ini meludahi
tangannya. Tangan yang sudah basah oleh ludahnya
sendiri kemudian diusapkannya ke bagian tali-tali
yang mengikat Pangeran Demak Pati. Secara menak-
jubkan tali-tali yang tercipta dari cairan lendir putih itu meleleh
Begitu terbebas Pangeran Demak Pati langsung
melompat berdiri. Dengan sewot ia menuding El Maut.
"Kau manusia keterlaluan. Sudah kau gantung
aku selama berhari-hari kini tiba saatnya bagimu un-
tuk terima hukuman dariku!" Baru saja ia katubkan
mulutnya ia memukul El Maut. Tapi pukulannya me-
lenceng, karena sesungguhnya keseimbangan memang
belum pulih benar.
Pemuda ini jatuh bangun, padahal El Maut sa-
ma sekali tidak bergeser dari tempatnya berdiri.
"Kau perlu waktu untuk mengembalikan tenaga
dalammu. Tetaplah kau disini aku ada membawa oleh-
oleh yang mengejutkan buatmu!" El Maut meninggalkan Pangeran Demak. Si pemuda
tentu saja tidak me-
nyia-nyiakan kesempatan ini. Menyangka ia akan men-
jalani hukuman mati, maka cepat ia bersila untuk
memulihkan kondisinya yang belum normal.
Bruk! Bruuk! Terdengar suara bergedebukan. Pangeran De-
mak kaget, lalu buka matanya lebar-lebar. Pemuda ini tiba-tiba meraung begitu
mengenali salah satu dari
mayat yang dibawa oleh El Maut.
"Guru...! Huhu hu...!" serunya. Serta merta ia melompat dan menubruk gurunya
yang telah kaku
menjadi mayat. Pangeran Demak Pati menangis dan te-
rus menangis. Tiba-tiba ia menengadahkan wajahnya
dan memandang penuh rasa benci pada si nenek.
"Kk... kau telah membunuhnya! Guruku telah
kau bunuh"! Apa dosanya, apa salahnya dan mana
mahkota itu?" seru Pendekar Kucar Kacir.
"Bocah edan, main tuduh sembarangan. Kau
sangka aku telah membunuhnya! Coba kau tanya pa-
da mayat itu siapa yang telah membunuhnya?"
"Gila! Mana mungkin dia dapat bicara" Lalu
siapa yang telah membunuhnya?" dengus Pendekar
Kucar Kacir marah.
"Yang membunuh gurumu dan saudaranya
adalah Panglima Kerajaan!" jelas El Maut dengan sikap
acuh tak acuh. "Dan kau hanya berdiam diri menonton" Sang
Bala itu manusia keparat, kalau kau tidak menggan-
tungku di sini. Tentu aku sudah dapat membunuhnya.
Sial betul nasibku! Orang ini pasti saudaranya guru-
ku!" "Memang, namanya Ki Bersin. Manusia sepertimu becus apa, Pangeran goblok"
Kalau gurumu saja
bisa kojor di tangan Sang Bala, apalagi manusia ber-
tampang sepertimu itu. Kepandaian yang kau miliki itu tidak ada arti sama sekali
jika harus menghadapi Sang Bala!" ejek El Maut meremehkan.
"Hmm, kau kira aku manusia pengecut macam
apa, nenek jelek. Cepat tunjukkan dimana Sang Bala.
Aku akan membawa tangannya untukmu!" teriak Pangeran Demak Pati tidak senang.
"Sekarang dia sudah mampus, kepalanya bah-
kan sudah kugantung. Kalau suka makan dagingnya,
bangkai Panglima itu ada di lereng bukit sana!" kata El Maut sambil menunjuk
keluar gua. Pangeran Demak Pati kontan terdiam, ia sendiri
heran melihat sikap si nenek yang telah berubah lu-
nak. "Katanya kau mau membunuhku, mengapa se-
karang tidak kau bunuh?" pancing si pemuda.
"Kau benar-benar keturunannya Jasa Raga. Ke-
tahuilah, aku dulu adalah guru ayahmu. Pedang Pene-
bar Bencana sengaja kuberikan pada ayahmu karena
ia kuanggap sebagai murid yang bijaksana." tegas si nenek. Kini gantian Pangeran
Demak Pati yang terke-sima. "Kalau benar ayahmu telah mangkat, aku sangat
menyesalkannya. Lalu siapa yang telah membu-
nuhnya?" Mendengar El Maut adalah guru almarhum
ayahnya, maka sikap Pendekar Kucar Kacir pun beru-
bah lunak. "Ayahanda meninggal secara misterius. Beliau
diracun orang. Sekarang setelah kerajaan jatuh ke
tangan Pangeran Suprana, aku merasa yakin dialah
yang telah membunuh ayah. Aku ingin tahu, benarkah
ayah ada menyimpan pedang itu di sini?"
"Sekitar dua belas tahun yang lalu, ayahmu
memang menitipkan pedang maut itu padaku." sahut El Maut sambil menghembuskan
nafas dalam-dalam.
"Waktu itu ia mengatakan ada yang tidak beres dalam istana. Ia punya firasat
akan terjadi perebutan kekuasaan secara halus. Kini baru kusadari bahwa apa yang
dikatakannya memang benar. Sampai sekarang senjata
itu ada padaku, karena asalnya memang dari aku pu-
la. Kudengar kau punya seorang adik! Lalu dimana
adikmu sekarang?"
Ditanya tentang puteri Saba, Pangeran Demak
Pati jadi sedih.
"Waktu itu ia diculik oleh Pangeran Suprana.
Aku dan Suro Blondo tidak dapat mencegahnya karena
Pangeran jahanam itu melarikan diri bersama Elang
Perak! Dan...!"
"Sssst...!" El Maut memberi isyarat pada, Pendekar Kucar Kacir agar diam.
Sementara perempuan
renta berwajah buruk bekas cakaran harimau itu
mengendap-endap mendekati mulut gua. Ketika meli-
hat ada bayangan lain di mulut gua, maka El Maut
langsung bersembunyi di balik batu besar. Tidak lama tampak seorang pemuda


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbaju biru masuk ke dalam
gua dengan berkacak pinggang tapi hanya tangan ka-
nannya saja. Begitu melihat Pangeran Demak Pati. Pemuda
ini jadi kegirangan dan langsung menyalami Pendekar
Kucar Kacir dengan tangan kirinya.
"Aha, kita bertemu lagi, Kucar Kacir! Bagaima-
na keadaanmu" Kupikir kau sudah mati seperti orang-
orang di lereng bukit itu, lho! Eh... mengapa kau malah bengong! Dulu ada
tetanggaku yang mati karena
bengong terlalu lama!" kata si pemuda yang tidak lain adalah pendekar Blo'on.
"Aku gembira bertemu denganmu, tapi kau jan-
gan bicara sembarangan!" Demak Pati mengisiki, sedangkan matanya tiada henti
memperhatikan batu be-
sar yang terletak dekat gua.
"Apa yang membuatmu takut" Setan pasti
tunggang langgang melihat aku" celetuk Suro. Lalu ia mengedarkan pandangannya ke
sekeliling gua. "Eh, mayat-mayat itu sejak kapan kau membuat ikan asin
disini?" tanya Suro sambil garuk-garuk kepala.
"Hmm, lancang sekali kau masuk ke dalam gua
ini. Kau pemuda gila dari mana?" bentak El Maut yang baru saja keluar dari
tempat persembunyiannya.
Suro dengan cepat menoleh ke belakangnya. Ia
kerutkan kening dengan mulut termonyong-monyong.
"Siapa dia?" tanya Suro ditujukan pada Pendekar Kucar-Kacir.
"Dia nenek guruku!" jawab si pemuda.
"Nenek gurumu mengapa jelek amat?"
"Jangan sembarangan kau bicara!"
"Apa tadi yang baru saja kau ucapkan pemuda
geblek?" tanya El Maut dengan mata melotot.
Kini giliran Pendekar Blo'on yang telan ludah
setelah melihat betapa mata perempuan tua itu me-
mancarkan cahaya merah menyilaukan.
"Maafkan sahabatku ini, Nek. Dia memang agak
sinting, maklum waktu lahir umurnya belum genap
sembilan bulan." Pendekar Kucar Kacir menengahi.
Rupanya ia merasa tidak enak bila sampai nenek renta itu menurunkan tangan kejam
pada sahabatnya Pendekar Blo'on.
Dikatakan sinting Suro langsung cemberut.
"Betul nek, aku agak sinting. Tapi kawanku ini
sangat miring. Ia bahkan punya penyakit gila yang dapat menular. Dan...!"
"Diam!" El Maut membentak garang. "Gua ini bukan pasar tempat orang jual bacot!"
Suro memegang mulutnya. "Bacotnya siapa
yang dijual, nek!" celetuk Suro hingga membuat El Maut semakin bertambah gusar
saja. "Rupanya kau ingin agar aku membunuhmu!"
geram El Maut. Nenek renta itu tiba-tiba saja mengedipkan ma-
tanya. Dua larik sinar merah meluncur ke arah Suro.
Pemuda ini dengan kalang kabut segera bergerak
menghindar. Sehingga kedua sinar tadi menghantam
dinding gua di belakang Suro. Terjadi ledakan. Ketika Suro menoleh ke arah bekas
ledakan, maka wajahnya
pun mendadak berubah pucat. Untung bukan dirinya
yang jadi sasaran kalau tidak ia bisa mampus.
"Apakah kau ingin nasibmu seperti batu itu,
pemuda edan?" bentak El Maut.
"Oh, mudah-mudahan dijauhkan Tuhan, nek.
Maafkan aku!" kata Suro, lalu pemuda itu menjura hormat. "Huh, kau katakan
padaku apa tujuanmu datang kemari?" tanya El Maut dengan tatapan penuh se-lidik.
Suro garuk-garuk kepala. "Ketika kulihat banyak obor dipasang di sekeliling
bukit ini. Maka aku mengira ada pesta besar. Tidak tahunya kulihat ba-
nyak perajurit-perajurit yang tewas di bawah sana. La-lu aku bertemu dengan
Tabib Dewa Sesat. Ia mencari
pedang Penebar Bencana. Dia kemudian bentrok den-
gan aku. Tangannya dapat kubuntungi. Tapi dia juga
dapat melukai ketiakku. Lihatlah aku terpaksa berto-
lak pinggang seperti ini!"
Melihat cara Suro bicara sebenarnya El Maut
merasa geli sendiri. Namun sedikit pun ia tidak tertawa atau tersenyum. Dalam
kesempatan itu Pendekar Kucar Kacir bertanya tentang adiknya puteri Saba.
"Maaf kawanku. Aku memang telah sampai di
istana. Sayang aku tidak menemukan puteri Saba,
Pangeran gila itu pun tidak kulihat batang hidungnya.
Sedangkan batang yang lain mungkin ada bersama
pemiliknya. Kerajaanmu benar-benar telah berubah
menjadi sorga terkutuk. Banyak bukit-bukit dan hutan rimba mubazir disana."
Jelas Suro sambil menahan senyum.
"Apa maksudmu bukit dan hutan rimba.
Mungkinkan istana kami sekarang sudah tidak terurus
lagi?" "Oh, kau ini Pangeran goblok. Lebih baik kau memelihara kambing dari pada
memelihara ketololan-mu!" kata Suro disertai tawa terkekeh-kekeh.
"Cukup! Kau benar-benar pemuda tolol, pewa-
ris kerajaan yang bodoh. Kawanmu yang sinting itu
kan bermaksud bicara tentang aurat perempuan. Ar-
tinya di istanamu sekarang bercokol perempuan-
perempuan pemuas nafsu pangeran jahanam itu, bu-
kankah begitu pemuda sedeng"!" maki El Maut.
"He he he! Begitulah kurang lebih, nek. Dan
nenek jangan marah, apa yang kukatakan ini adalah
yang sesungguhnya!"
"Sudah, jadi kalian bersahabat. Pemuda-
pemuda seperti kalian memang seperti pinang di belah dua. Sama gobloknya sama
tololnya dan sama-sama
miring. Sekarang aku ingin tanya di mana Pangeran
itu dan gurunya?"
"Wah aku juga tidak tahu, nek. Kalau tahu
buat apa aku ke sini?"
"Sontoloyo, kau dengan Pangeran Demak Pati
sama saja seperti manusia tidak punya guna." gerutu El Maut.
Suro Blondo hanya dapat cengengesan, se-
dangkan Pendekar Kucar Kacir memilih diam.
"Keadaan di sini benar-benar sudah tidak aman
lagi. Sekarang kalian semua ikut!" perintah perempuan renta itu. Suro dan
Pendekar Kucar Kacir segera mengikuti dari belakang. Lorong di dalam gua itu
ternyata cukup panjang dan berliku-liku di samping banyak je-bakan disana-sini.
Sampai-sampai El Maut memperin-
gatkan. "Ikuti setiap langkahku, jangan sampai me-nyimpang kalau tidak ingin
mampus!" "Kau dengar itu, Kucar-Kacir, jangan salah
langkah. Nanti isi perutmu bisa berantakan!" kata Su-ro menimpali.
Si nenek renta berpakaian hitam hentikan
langkah dan berpaling. "Kulihat mulutmu sejak tadi seperti mulut perempuan!
Kalau kau tidak mau diam
aku bisa membunuhmu!"
Pendekar Blo'on langsung terdiam, El Maut me-
lanjutkan perjalanan lagi yang segera diikuti oleh kedua pemuda itu. Sampai di
ujung gua, ternyata lorong itu semakin menyempit.
El Maut mendorong batu, lalu menekan-nekan
sebuah tombol, sehingga terdengarlah suara bergemu-
ruh, seolah-olah gua seperti hendak runtuh. Pendekar
Kucar Kacir terpaksa tutupi telinga.
Sesuatu yang menakjubkan kemudian terlihat
begitu pintu batu terbuka. Sebuah ruangan yang luas
terhampar di depan mereka. Ruangan itu seperti sing-
gasana kecil. Bagian dinding gua dan langit-langitnya dihias sedemikian rupa.
Sehingga suasana di dalamnya terasa nyaman dan sejuk sekali.
"Masuk!" perintah El Maut. Dengan patuh kedua pemuda itu segera melakukan apa
yang diperin- tahkan oleh El Maut. Setelah mereka berada di dalam
ruangan luas itu, maka pintu batu tadi menutup den-
gan sendirinya.
"Kalian berdiri di situ. Jangan melangkah ke-
mana-mana! Aku tahu lawan yang akan kita hadapi
cukup berat. Aku sendiri belum tahu apakah aku
mampu mengalahkan manusia setengah roh yang ber-
juluk Dewa Kubu itu. Mungkin hanya pedang Pemer-
satu itu saja yang dapat menandingi kesaktiannya. Ta-pi jika pedang itu ku cabut
dari rangkanya, terkecuali yang memegang senjata itu. Maka manusia yang berada
di sekelilingnya akan hancur menjadi debu. Aku tidak main-main bicara, aku
menjelaskan kharisma pe-
dang yang penuh keajaiban itu sesungguhnya. Kalau
keadaan terpaksa, kalian pergilah dariku sejauh-
jauhnya." pesan El Maut.
Setelah melihat kedua pemuda itu saling men-
ganggukkan kepala tanda mengerti. Maka El Maut se-
gera mendekati ranjang berselimut berbagai jenis kulit binatang buas.
Ujung bagian sisi ranjang ditekannya. Lagi-lagi
terdengar suara bergemuruh. Dinding gua di samping
ranjang terbuka sedikit berbentuk empat persegi.
El Maut melangkah menghampiri dinding, di-
mana pada bagian itu terlihat seperti ada cahaya putih
memancar. Sebuah rangka pedang terlihat. Hanya di
dalam ruangan semakin bertambah dingin. Namun ca-
haya putih yang terdapat di dalam lubang empat per-
segi itu terus memancar. Entah benda apa yang me-
mancarkan cahaya itu, hanya El Maut saja yang tahu.
"Inilah pedang Penebar Bencana!" jelas si nenek renta pada kedua pemuda di
depannya. Suro meneliti dengan sudut matanya. Ternyata
hulu pedang berbentuk tengkorak manusia. Pada ba-
gian warangkanya yang berwarna hitam berukir tulang
belulang berserakan. Senjata itu jelas menyimpan ke-
kuatan gaib yang sangat keji. Sementara itu lubang
berbentuk persegi empat tadi telah menutup. Suro in-
gin bertanya benda apa yang memancarkan cahaya
kemilau tadi, namun urung.
"Sekarang kita tinggalkan tempat ini! Besok,
begitu matahari sudah berada di kaki langit. Kau dan Pangeran Demak Pati segera
pergi ke bagian utara bukit! Sedangkan aku harus menempuh daerah selatan!"
tegas si nenek. Seraya lalu menyelinapkan senjata
yang menghebohkan itu ke balik pakaiannya.
*** DELAPAN "Kak! Kak!"
Terdengar suara pekik keras suara burung
mengelilingi bukit Sembuang. Waktu itu kabut tebal
masih menyelimuti puncak bukit, embun menetes di
pucuk dedaunan. Di angkasa sana terlihat seekor bu-
rung raksasa tampak melayang-layang di udara. Di
atas punggung burung tersebut duduk seorang pemu-
da berwajah tampan dengan gagahnya. Rambutnya
berkibar-kibar.
Tiga kali pemuda itu mengelus leher Elang Pe-
rak. Lalu terdengar suaranya ditujukan pada burung
tersebut. "Terbangkan aku ke bawah sana. Aku melihat
burung-burung gagak, rasanya perajurit-perajuritku
mati di sana." kata Pangeran Suprana, suaranya sungguh tidak sedap didengar.
"Hiii...!"
Elang Perak meluncur cepat ke bawah, seakan
mengerti apa yang dikatakan oleh majikannya. Tidak
lama burung raksasa itu pun telah menjejakkan ka-
kinya di atas dataran yang luas.
"Kau tunggulah di sini, sahabat. Jika ada yang
tidak beres, kau siap-siap melindungi aku!" pesan sang Pangeran.
"Kaak!"
Elang Perak memekik keras. Pangeran Suprana
segera meninggalkan tunggangannya. Ia menyelinap di
balik semak-semak. Matanya terbelalak ketika melihat mayat-mayat perajuritnya
bergeletakan dalam keadaan
menyedihkan. Karena hari sudah mulai terang. Maka
pemuda ini sebentar saja sudah melihat potongan ke-
pala Sang Bala yang tergontai-gontai tertiup angin.
Pemuda ini memekik keras. Ia menangisi po-
tongan kepala saudara tua seperguruannya yang men-
gerikan itu. "Suadaraku, mengapa begini buruk nasibmu"
Tidak kusangka kau yang kebal pukulan kebal senjata
menemui ajal begini menyedihkan. Siapa yang mela-
kukan perbuatan ini padamu" Siapa?" pekik Iblis Peruntuh Mahkota.
Walaupun Pangeran ini menangis air mata da-
rah. Rasanya kepala yang telah terpisah dari badannya ini mustahil menyatu
kembali. Pangeran Suprana tiba-tiba saja bangkit berdi-
ri. Matanya berubah merah karena menahan tangis
dan amarah. "Jahanam, kepada penghuni bukit harap tun-
jukkan diri. Aku bersumpah tidak akan tinggal diam
melihat panglimaku diperlakukan begini rupa! Aku
akan melakukan pembalasan melebihi kejamnya ma-
nusia manapun yang paling kejam di permukaan bumi
ini! Hea...!"
Dalam amarahnya yang tiada terkirakan itu.
Pangeran Suprana seperti orang yang kesurupan me-
lepaskan pukulan saktinya ke arah pohon-pohon pinus
yang terdapat di sekelilingnya.
Terdengar suara ledakan-ledakan yang hiruk
pikuk disana sini. Pohon-pohon bertumbangan, dian-
taranya bahkan ada yang terbakar. Cukup lama juga
pemuda ini mengumbar kemarahannya. Hingga akhir-
nya ia terengah-engah sendiri.
Di kala ia sedang dilanda kegusaran seperti itu-
lah, tiba-tiba terlihat dua bayangan berkelebat. Yang satu berpakaian hitam
bertubuh ramping. Sedangkan
satunya lagi bertubuh tambun. Sekejap saja di depan Pangeran Suprana tampak
berdiri seorang kakek dan
seorang gadis cantik dengan lekuk yang manis di da-
gunya. "Mengamuk membabi buta seperti orang gila.
Apakah kau benar-benar orang yang tidak waras Pan-
geran Gila?" tanya si kakek yang tidak lain adalah De-wa Petir.
"Kalian siapa?" tanya Pangeran Suprana, seraya memandang tajam pada gadis di
samping Dewa Maling.
"Aku Dewa Petir, datang ke sini adalah untuk
membantu sahabatnya Pendekar Blo'on untuk menda-
patkan pedang Penebar Bencana!" jawab si kakek.
"Oh begitu rupanya" Siapapun orangnya yang
tidak berada di pihakku, berarti dia musuhku yang
nyata. Setiap musuh wajib bagiku untuk mele-
nyapkannya dari permukaan bumi ini!" Pangeran Suprana mendengus tajam.


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Burung raksasa melihat majikannya terlihat
perdebatan tampak mulai gelisah.
"Pangeran jahanam! Kudengar kau mengakui
dirimu sebagai Tuhan! Ingin kulihat, jika tidak mati-mati barulah aku berpikir
untuk bersekutu dengan-
mu!" "Ya, sebagai imbalannya. Tentu aku punya hak meniduri gadis cantik yang
bersamamu itu!" kata Pangeran bermahkota raja ini disertai tawa bergelak-gelak.
"Bangsat! Biarkan aku yang membungkam mu-
lutnya yang kurang ajar itu!" teriak Gadis yang lebih dikenal dengan julukan
Maling Jenaka. Gadis itu langsung kirimkan satu pukulan ke
arah Pangeran Suprana. Serangan itu cukup terarah,
namun dengan mudah lawan dapat menghindarinya
bahkan balas melepaskan tendangan. Angin bersuit ta-
jam, Maling Jenaka terpaksa bersalto. Pangeran Su-
prana mengejar, serangan balasan yang dilakukannya
benar-benar terarah pada bagian-bagian sensitif di tubuh lawannya. Sesungguhnya
ia memang bermaksud
kurang ajar pada gadis itu.
Maling Jenaka tampaknya menyadari apa yang
diinginkan oleh lawan yang ia dengar memang suka
mencabuli gadis-gadis yang masih perawan. Ia mem-
bentak garang dan kerahkan jurus 'Mengukir Batu
Memecah Karang", salah satu jurus terhebat yang di-
milikinya. Untuk beberapa jurus lamanya Pangeran Su-
prana tampak terdesak. Kesempatan ini tidak disia-
siakan oleh Gadis. Ia cabut pedangnya, begitu senjata berkiblat di udara. Maka
pedang itu seakan berubah
menjadi banyak! Bergerak menusuk terarah ke sepu-
luh jalan darah, hingga membuat lawannya terpaksa
bergerak mundur untuk kemudian balik menyerang
dengan jurus-jurus anehnya.
Maling Jenaka tidak perduli. Ia tetap bertahan
atau menyerang setiap ada kesempatan. Pemuda tam-
pan itu tiba-tiba saja bersalto, Gadis menggerakkan pedangnya ke atas. Tapi
lawan sudah meluncur deras
di belakangnya. Dengan tangan terkembang dihan-
tamnya punggung Maling Jenaka. Tidak ayal lagi Mal-
ing Jenaka tersungkur dengan mulut menyemburkan
darah. Dari sini dapat diketahui bahwa Maling Jenaka ini bukanlah tandingan
murid Dewa Kubu.
Dewa Petir alias Dewa Copet alias Dewa Maling
tidak tinggal diam. Ia segera menyerbu ke depan.
"Bagus! Rasanya kau sedikit berisi, ingin ku ta-hu apa kehebatan di balik
julukanmu!" dengus Pangeran Suprana. Tanpa membuang waktu ia sambut se-
rangan gencar yang dilancarkan Dewa Petir. Rupanya
ia ingin mengetahui sampai dimana kehebatan tenaga
dalam yang dimiliki oleh Dewa Petir. Sehingga ia pun menangkis serangan lawan.
Duuk! "Hmm...!"
Iblis Peruntuh Mahkota menggumam pelan, tu-
buhnya sempat tergetar namun Dewa Petir juga tidak
kalah kagetnya. Lawan masih muda, tidak disangka
memiliki kepandaian dan tenaga dalam tinggi, disamp-
ing itu mengandung hawa racun pula.
Kini masing-masing lawan tampaknya memang
sama-sama ingin menyelesaikan pertarungan itu den-
gan cepat. Pangeran Suprana murid gemblengan Dewa
Kubu tiba-tiba melompat, tinju dan tendangannya
menderu. Kakek tambun melihat betapa tangan lawan
telah berubah menghitam sebatas siku. Ia pun kerah-
kan tenaga dalam lindungi diri dari pengaruh racun.
Maka serangan beruntun itu bukan dihindarinya, tapi
malah ditepisnya secara tepat.
Plak! Duk! Duk! "Wuakh...!"
Dewa Petir terdorong mundur, lawan menyerin-
gai sinis. Lalu secepat kilat ia lepaskan pukulan
'Penghancur Bala'. Sinar hitam pekat menebar bangkai menderu. Dewa Petir
terkesiap, namun ia tiba-tiba
mengadu kedua tangannya. Sehingga terdengarlah su-
ara menggeledek. Dari sela-sela jemari tangannya
mencuat sinar pelangi.
Sinar itu meluncur deras ke satu arah. Hawa
panas dan dingin datang silih berganti, hingga akhirnya terdengar sebuah ledakan
yang sangat dahsyat.
Dentuman itu membuat sebuah lubang besar,
tanah berhamburan di udara. Dewa Petir jatuh terdu-
duk dengan kaki menekuk. Pangeran Suprana ter-
huyung-huyung seperti orang bingung sambil meme-
gangi dadanya. Melihat kejadian ini Elang Perak tidak tinggal
diam. Begitu sayapnya mengepak maka menderulah
angin laksana topan. Melihat burung raksasa itu hen-
dak menyerang gurunya. Maka Gadis tidak tinggal di-
am. Ia cabut pedang kembali. Dengan penuh kebera-
nian ia menyerang burung tersebut sambil lepaskan
pukulan bertubi-tubi.
Pukulan jarak jauh yang dilakukannya hanya
sia-sia. Karena begitu Elang Perak mengepakkan
sayapnya, maka buyarlah serangan Gadis.
Di rimba persilatan, si kakek sampai diberi ju-
lukan Dewa Petir karena setiap tangannya diadu satu
dengan lain akan mengeluarkan suara menggeledek
seperti petir. Namun kini berhadapan dengan Pangeran Suprana ia merasa kesulitan
untuk menjatuhkannya.
Sungguh pun demikian ia tetap bertekad mem-
bunuh Pangeran itu. Kumbang Pemikat bangkit lagi
membangun serangan-serangan yang lebih gencar.
Tanpa mereka sadari kini pertempuran sudah
berlangsung tiga puluh jurus masih belum ada tanda-
tanda siapa yang kalah dan siapa yang menang. Maka
bertarunglah mereka dengan segenap kemampuan
yang mereka miliki.
Sementara itu menghadapi burung raksasa
yang tampaknya sangat terlatih itu Gadis mulai kere-
potan, bahkan ia sampai jatuh bangun menghindari
hantaman sayap, patukan paruh ataupun cengkera-
man cakar Elang Perak. Setiap Elang Perak mengepak-
kan sayapnya lebih keras sambil memekik nyaring.
Maka angin laksana badai topan menderu, hantaman
angin membuat Maling Jenaka terguling-guling.
Kini Elang perak terbang rendah, sementara itu
pula baik Pangeran Suprana maupun Dewa Petir mulai
sama-sama terluka.
"Kiiiik!"
Sang raksasa berputar-putar di atas kepala
Gadis. Terbangnya miring lalu menukik secepat kilat.
Gadis mengibaskan pedangnya ke arah sayap Elang
Perak. Senjata malah terpental, sayap Elang Perak tidak dapat ditembus karena
terlindung bulu yang se-
demikian lebat.
Maling Jenaka terkesiap, sementara Elang Pe-
rak sudah menukik lagi, walau Gadis sudah merun-
dukkan tubuhnya. Punggung si ayu masih kena dihan-
tam. Braak! "Aaaa...!"
Gadis baju hitam memekik, tubuhnya terlem-
par dan menderita luka dalam cukup parah. Dewa Pe-
tir tentu saja menjadi khawatir begitu mendengar sua-ra teriakan muridnya. Ia
pun berpaling, kesempatan
ini tidak disia-siakan oleh Pangeran Suprana. Ia melu-ruk cepat ke depan. Lalu
ia hantamkan pukulan
menggeledek ke arah dada Dewa Petir.
Dess! Kakek tambun memekik kaget. Ia terguling-
guling dengan darah mengucur dari mulutnya. Pange-
ran Suprana walau pun merasa lelah luar biasa kini
cabut pedangnya dan bermaksud mengakhiri perlawa-
nan Dewa Petir. Di saat itulah dua bayangan putih dan biru berkelebat. Yang satu
menghantam tangan Pangeran Suprana hingga pedang terlepas. Sedangkan
bayangan biru lepaskan pukulan ke arah Elang Perak
yang hampir berhasil mencengkeram dada Maling Je-
naka dengan maksud dibawanya terbang dalam ke-
tinggian untuk kemudian dijatuhkan.
"Kiiik!"
Elang Perak menjerit, pukulan jarak dekat yang
dilepaskan pemuda baju Biru sempat melukai bagian
dada burung raksasa itu. Hingga bulu-bulunya ber-
hamburan. Elang Perak membubung tinggi dilanda
amarah dan kesakitan. Si baju biru yang tidak lain
adalah Pendekar Blo'on cepat menolong Gadis yang
terkapar dengan nafas megap-megap.
"Telanlah obat ini sebelum elang itu datang la-
gi!" Gadis menerimanya, sambil menelan obat itu ia
memandang pada Suro dengan tatapan penuh arti.
"Burung keparat itu tidak dapat kita hadapi be-
gitu saja, ia bahkan lebih berbahaya dari majikannya!"
berkata Gadis dengan suara tersendat-sendat.
"Kau masukkan ini dalam kantongmu, jika
nanti keadaan memaksa lepaskan dia ke dalam telinga
Elang Perak!"
Suro dengan bingung menggenggam tangan
Gadis yang mulai terbuka. Ternyata setelah dilihat gadis baju hitam ini
memberinya seekor jangkrik. Dengan cepat Suro sudah dapat mengerti apa yang
diinginkan oleh Maling Jenaka.
Ia memasukkan jangkerik ke dalam sakunya.
Pada waktu itu, Pendekar Kucar Kacir sudah
melindungi Dewa Petir dengan menghunus pedang
siap menghadapi Pangeran Suprana yang masih belum
hilang dari rasa kagetnya.
"Bangun, paman! Marilah kita hadapi si jaha-
nam ini sampai takdir menentukan, dia atau kita yang mati.!" desis si pemuda
penuh rasa kebencian. Pada hakekatnya Dewa Petir adalah orang yang sudah banyak
berpengalaman. Sehingga dalam waktu yang
singkat ia sudah dapat memulihkan luka dalam yang
dideritanya. Melihat kehadiran Pendekar Blo'on dan Pange-
ran Demak Pati yang tiba-tiba ini. Pemuda bermahkota itu sadar semakin bertambah
berat lawan yang dihadapi. Padahal tadi ia sudah hampir mencapai keme-
nangan. Namun apalah artinya mereka dibandingkan
dengan kemewahan yang ia miliki. Semua musuh yang
berada di situ harus ditumpasnya, hingga tidak lagi
menjadi duri dalam daging selamanya.
"Pangeran dungu! Janganlah kau pernah ber-
mimpi dapat merebut tahta kerajaan lagi. Kau lihat
mahkota di kepalaku" Kini aku hanya tinggal mencari
pedang itu! Kalian semua akan kubunuh!" teriak Iblis Peruntuh Mahkota.
"Kita lihat saja nanti!" sahut Pangeran Demak Pati. Mengingat betapa liciknya
lawan mereka, maka
kini secara bahu membahu Dewa Petir dan Pendekar
Kucar Kacir menyerang lawannya. Pangeran Suprana
bersuit nyaring memanggil Elang Perak untuk mem-
bantu. Di udara terdengar sahutan. Elang Perak me-
luncur ke bawah lagi. Sekarang yang menjadi incaran
utamanya adalah Pendekar Blo'on, pemuda yang sem-
pat melukai dirinya"!
Wuees! Elang Perak menyambar, Suro terpaksa kerah-
kan jurus Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau. Gera-
kan pemuda ini benar-benar sangat cepat luar biasa.
Seakan-akan tubuhnya bertambah banyak. Sang
Elang sesaat menjadi bingung. Serangannya melenceng
dan malah menghantam batu-batu di sekeliling mereka
hingga berantakan.
Namun rupanya sang Elang mempunyai pen-
glihatan yang lebih tajam dari manusia biasa. Terbukti, sekarang ia sudah
bergerak mengikuti kemana saja
Suro mencoba menghindar.
Pendekar Mandau Jantan kalang kabut.
"Awas Suro!" teriak Maling Jenaka ketika melihat paruh burung hampir mematuk
kepala Suro. Suro membanting tubuhnya, dengan keadaan
terlentang ia lepaskan pukulan Ratapan Pembangkit
Sukma. Angin kencang laksana badai salju menderu.
Elang Perak rupanya cerdik pula, ia mengepakkan
sayapnya keras-keras. Pukulan membalik, nyaris
menghantam Pendekar Blo'on.
Pemuda ini berguling-guling menjauh. Tepat
dimana dia telentang tadi terdengar dentuman meng-
gelegar. Akibatnya sebuah lubang besar tercipta, si konyol urut dada, seka
keringat dingin di wajahnya sambil golang-goleng kepala dengan muka pucat.
"Hiii...!"
Elang Perak memekik tidak puas. Kini seran-
gannya semakin menghebat. Gadis yang mulai
mengkhawatirkan keadaan Suro akhirnya turun tan-
gan juga. Kelihatannya ia sudah tidak mengkhawatir-
kan keselamatannya lagi, meskipun ia sendiri masih
terluka. Sebenarnya dengan terjunnya Maling Jenaka,
membuat Suro semakin bertambah repot. Karena ia
juga harus melindungi keselamatan Gadis. Dugaan si
konyol tidak meleset. Baru sepuluh jurus di depan Gadis sudah kena dicengkeram
Elang Perak. Pendekar Blo'on, murid Penghulu Siluman Kera
Putih dan Malaikat Berambut Api itu tentu tidak tinggal diam. Sebelum Elang
Perak terbang tinggi memba-
wa gadis. Ia menyambar ekor burung raksasa tersebut.
Pada bagian buru ekor elang itulah ia pontang-panting bergelantungan sambil
berusaha mencapai punggung
binatang raksasa tersebut.
"Tetaplah kau bertahan! Usahakan kau berpe-
dang pada kakinya agar ia tidak mudah menjatuh-
kanmu!" kata Suro memperingatkan.
"Kakinya kelewat besar!" sahut Maling Jenaka panik. Untuk pertama kali dalam
hidupnya gadis ini


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru mengenal rasa takut.
"Kalau begitu pegang jarinya!" teriak Suro Blondo. Elang Perak terus membubung
tinggi mener-bangkan dua anak manusia dalam isyarat maut.
Apa yang terjadi pada Maling Jenaka dan Pen-
dekar Blo'on bukan tidak dilihat oleh Dewa Petir dan Pendekar Kucar Kacir. Namun
mereka sama sekali tidak dapat menolong, karena pertempuran dengan la-
wan sedang berlangsung seru dan menegangkan.
Walau pun Pangeran Suprana mempunyai ke-
pandaian tinggi. Dikeroyok sedemikian rupa lama-
kelamaan terdesak juga. Di saat itulah sambil memba-
batkan pedangnya Pendekar Kucar Kacir berseru.
"Akuilah kau yang telah meracuni, ayahanda,
Patih, Panglima, Penasehat kerajaan dan juga ibunda-
ku ratu Diah Mustika!"
"Ha ha ha...! Kau bertanya tentang orang-orang
yang sudah menjadi cacing tanah. Memang akulah
yang telah mengirim mereka ke liang kubur!" jawab Iblis Peruntuh Mahkota
disertai tawa membahak.
"Manusia jahanam!" maki Pendekar Kucar Ka-
cir. Dewa Petir mengadu kedua tangannya lagi.
Terdengar ledakan disertai melesatnya sinar pelangi ke arah Pangeran Suprana.
Pemuda ini cepat menghindar, sehingga serangan itu tidak berhasil mengenai
dirinya. Namun pada saat itu pula ujung pedang Pange-
ran Demak menembus celah-celah rusuknya.
Pemuda ini menjerit, laksana kilat Pendekar
Kucar Kacir mencabut pedang berlumuran darah, se-
kali lagi ia menusuk lambung Pangeran Suprana. Iblis Peruntuh Mahkota
tergelimpang roboh. Begitu geram
dan dendamnya Pangeran Demak Pati sehingga ia
mengayunkan pedang berulang-ulang ke arah mayat
lawannya. Kalau saja tidak dicegah oleh Dewa Petir.
Tentu tubuh Pangeran Suprana yang sudah tidak ber-
nyawa terus dicincangnya hingga tidak berbentuk lagi.
"Tidak baik kau memperlakukan orang yang
sudah mati seperti itu!"
"Dia telah membuat sengsara kami selama ber-
tahun-tahun, bahkan dia pula yang membuat kami
menjadi yatim piatu!" dengus si pemuda kesal.
"Tokh sekarang dia sudah memperoleh ganja-
ran akibat perbuatan sendiri" sergah Dewa Petir. "Aku khawatir dengan nasib
muridku dan pemuda itu. Tadi
kulihat mereka dibawa ke arah sana!"
Barulah Pendekar Kucar Kacir tersadar.
"Akh, betul. Aku baru ingat dengan Suro! Mari
kita cari mereka!" ajak si pemuda sambil menyarung-kan pedangnya kembali.
Maka berjalanlah kedua orang ini meninggal-
kan mayat Pangeran Suprana yang sudah mulai mem-
beku. Dalam perjalanan Pendekar Kucar-Kacir sibuk
memasukkan mahkota kerajaan ke balik pakaiannya.
* * * Laki-laki berpakaian kulit harimau yang berja-
lan mengambang di atas tanah itu tampak hentikan
langkahnya. Dari sela-sela rambut yang menutupi wa-
jahnya ia mengedarkan pandangan.
Ia tahu pasti ada sepasang mata yang terus
mengawasi gerak-geriknya sejak tadi. Karena di tunggu tidak muncul juga,
akhirnya ia membentak.
"Aku mencium bau busuk kehadiranmu disini.
Aku juga mencium bau darah muridku yang telah kau
bunuh! Nyawamu, dan pedang itu bagiku tidak ber-
harga dibandingkan nyawa muridku Sang Bala. Kalau
kau benar-benar El Maut cobalah datang ke hadapan-
ku. Aku ingin tahu apakah kau mampu mencabut
nyawaku"!" Kakek berpakaian kulit harimau mendengus geram.
Lalu terdengar suara jawaban yang tidak kalah
dinginnya. "Kudengar kebesaran namamu. Kubayangkan kesaktianmu, ku hitung pula
kemampuanmu. Ku-
akui kau salah satu tokoh dari Andalas. Tapi mengin-
gat jalanmu yang sesat, bagiku lebih baik menumpas
manusia yang bergelar Dewa Kubu. Hingga kenyataan
akan membuktikan siapa yang akan terkapar menjadi
bangkai!" Begitu hilang suara tadi, maka tampak melesat
sosok bayangan. Kemudian di depan Dewa Kubu yang
kakinya tidak menjejak tanah itu berdiri seorang nenek setengah bongkok berwajah
mengerikan, sedangkan
sebagian rambutnya menutupi wajah angker tersebut
"Mahkota sudah didapat, sekarang serahkan
Pedang Pemersatu berikut nyawamu!" kata Dewa Kubu serius. "Hi hi hi...! Pedang
bukan milik nenek
moyangmu, kerajaan bukan pula milik muridmu! Se-
dangkan nyawa, rasanya segan meninggalkan raga
rongsokan ini!" sinis suara nenek bungkuk tersebut.
"Kau segera akan tahu siapa Dewa Kubu!" teriak si kakek. Ia sentakkan rambutnya.
Lalu duduk bersila dengan keadaan mengambang dua jengkal di
atas tanah. Maka dilain waktu ia sudah bergerak me-
lakukan serangan hebat dengan rambutnya yang telah
berusaha menjadi kaki laksana kawat baja.
El Maut adalah tokoh sakti pula yang memiliki
berbagai keanehan baik dalam ilmu maupun jurus-
jurus silatnya. Melihat serangan itu, maka ia tidak
tinggal diam. *** SEMBILAN El Maut pentang matanya. Dari mata yang ber-
warna merah membara itu melesat dua larik sinar me-
nerabas rambut Dewa Kubu. Si kakek menepis dengan
tangannya. Set! Set! Dua sinar melenceng dan menghantam pohon
yang terdapat di sampingnya. Pohon hangus terbakar,
El Maut sudah menduga, sebagaimana muridnya Sang
Bala, tentu Dewa Kubu ini juga kebal dengan pukulan
atau pun senjata. Sehingga ia bersiap-siap dengan serangan berikutnya. Sepuluh
jari diangkat serentak
tinggi-tinggi ke udara. Lalu dari setiap ujung jari itu meluncur cairan putih
menghantam rambut Dewa Ku-bu.
Si kakek menganggap enteng serangan ini. Se-
hingga rambutnya terus meluncur menghantam dada
si nenek. El Maut berguling-guling, sedangkan Dewa Ku-
bu mulai menyadari ada sesuatu yang terasa aneh pa-
da rambutnya. Benar saja rambutnya yang panjang itu
sekarang menyatu padu dengan lainnya sehingga sulit
digerakkan. Ia menjerit marah dan kini menghujani
lawan dengan pukulan-pukulan yang menggeledek.
El Maut ternyata sangat lincah dalam meng-
hindari setiap serangan lawannya. Sambil berkelit dan mengumbar jurus-jurus
andalan, terkadang ia mengedipkan matanya sehingga bertaburanlah sinar merah
balas menghujani lawannya.
Sebuah pertempuran yang sangat seru dan
menegangkan terus berlangsung. Mereka kelihatannya
sama-sama mengincar kelemahan lawannya. Namun
El Maut tidak mengulur-ulur waktu. Segera ia menge-
rahkan jurus 'Menipu Pandang Mengukur Jarak'.
Nenek renta itu kembali menjentikkan jema-
rinya, sehingga cairan merah melesat dari setiap ujung jarinya yang berlubang.
Cairan itu tidak ditepis oleh Dewa Kubu. Ia melesat tinggi ke udara. Sambil ber-
jumplitan ia sambitkan keris-keris kecil berwarna kuning ke arah lawan. El Maut
meniup. Senjata-senjata
rahasia rontok. Melihat ini Dewa Kubu lepaskan puku-
lan ke arah El Maut.
Melihat sinar hitam menggebu-gebu hendak
memanggang tubuhnya. Maka El Maut lepaskan puku-
lan pula. Sehingga terjadilah dentuman-dentuman ke-
ras menggeledek.
El Maut sempat terjajar, dadanya mendenyut
sakit. Dewa Kubu tertawa membahak lalu lepaskan
pukulan lagi. Namun lawan tiba-tiba saja lenyap. Tahu-tahu
sudah berada di belakang si kakek sambil lepaskan
pukulan pula. Wuuk! Duk! El Maut lagi-lagi dibuat kaget. Ia tidak ubahnya
seperti menghantam batu karang saja layaknya. Dalam
pada itu pula, Dewa Kubu berbalik kakinya menghajar
dengan telak. Des! El Maut tergontai-gontai. Namun sambil meng-
geram marah ia sudah menyerang kembali. Anehnya si
kakek sama sekali tidak menghindar. Si nenek terus
menghujaninya dengan pukulan. Tiba-tiba terdengar
seruan di sampingnya.
"Apakah kau sudah gila. Tunggul kayu kau ha-
jar!" kata Dewa Kubu yang rupanya telah mempergunakan ajian 'Pelebur Mata'.
Dapat dibayangkan betapa tingginya kesaktian yang dimiliki oleh Dewa Kubu ini.
Padahal El Maut adalah tokoh yang sangat kawakan
dan sudah matang dalam ilmu tenaga dalam. El Maut
terperangah melihat kenyataan bahwa ia menghajar
batang pohon yang sudah kering.
Di waktu ia sedang lengah itulah Dewa Kubu
melepaskan tiga kali tendangan beruntun ke arah dada lawannya.
Duk! Duk! Duk! Tendangan pertama membuat El Maut terjajar,
tendangan kedua membuat dadanya mengalami gun-
cangan hebat, sedangkan tendangan ketiga membuat-
nya mengalami luka dalam yang hebat.
El Maut terhempas. Nafasnya megap-megap,
dalam keadaan sekarat seperti itu, ia melihat lawannya bermaksud mengakhiri
hidupnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Ia mengambil pedang berikut warang-
kanya dari balik pakaian yang berlumuran darah. Ce-
pat sekali ia hendak mencabut Pedang Penebar Benca-
na. Karena ia tahu, tidak seorang pun yang dapat bertahan menghadapi kharisma
senjata mustika itu. Sia-
papun orangnya selain pemegang itu sendiri akan han-
cur menjadi debu terkena cahaya pedang itu. Namun
pada waktu itu terdengar suara bentakan keras.
"Jangan kau lakukan itu, Gayatri!" pinta sebuah suara seolah-olah
memperingatkan.
Dewa Kubu bersurut mundur, tadi wajahnya
sempat pucat melihat lawan hampir mencabut Pedang
Penebar Bencana. Sebaliknya El Maut jadi kaget pula
mendengar seseorang menyebut namanya.
Rasanya di dunia ini hanya tinggal beberapa
orang saja yang mengetahui namanya. Jantungnya
berdebar keras. Antara percaya dan tidak, namun juga penuh kebencian. Dalam
keadaan telentang tidak berdaya sambil memegangi pedang ia teringat peristiwa
sekitar lima puluh tahun yang lalu. Ada yang indah,
menyenangkan, menjengkelkan, menyakitkan, benci
dan akhirnya berubah menjadi dendam.
Pabila Dewa Kubu menoleh maka di samping-
nya terlihat seorang kakek berpakaian serba merah,
berjanggut dan berambut merah berdiri tegak dengan
mata menyorot tajam.
El Maut coba meneliti siapa yang baru bicara
tadi. Dalam pandangannya yang semakin mengabur,
meskipun samar ia masih kenal dengan Malaikat Be-
rambut Api. Dadanya tiba-tiba saja menyesak dan El
Maut pun tidak sadarkan diri.
Kejadian ini tidak dilihat oleh Dewana alias Ma-
laikat Berambut Api. Pada saat itu pula berkelebat sosok bayangan lain, bayangan
itu menyambar pedang
dalam dekapan si nenek. Hanya sekejap saja, lalu
bayangan tadi menghilang laksana setan.
"Kakek!" seru Puteri Saba. Seraya menunjuk ke arah El Maut. Maka terkejutlah
Malaikat Berambut Api melihat Pedang Penebar Bencana lenyap dari pandangan mata.
"Siapa yang mengambilnya?" teriak si kakek gusar. "Ada bayangan tadi mengambil
pedang itu, bahkan saya tidak sempat mengenali wajahnya!" sahut puteri Saba
gugup. "Puteri, kau uruslah nenek El Maut! Aku ber-
sumpah akan mencabik-cabik tua bangka setengah
manusia setengah roh ini dengan sepuluh jariku!" geram Malaikat Berambut Api
dengan wajah kelam
membesi. Entah ada hubungan apa antara kakek rambut
merah ini dengan El Maut, namun kelihatannya ia be-
gitu gusar. "Malaikat Rambut Api!" kata Dewa Kubu den-
gan suara lebih rendah. "Diantara kita tidak ada per-musuhan dan silang sengketa
apa-apa. Mengapa kita
harus saling bunuh?"
Kakek Dewana mendengus. "Pangeran Suprana
adalah muridmu. Dia telah membuat kehancuran
moral wanita. Kau bersekutu untuk merebut pedang
itu. Dan kau hampir membunuh El Maut!"
"Perempuan itu apamu?" tanya Dewa Kubu.
"Rahasiaku terpendam di lima petala bumi" sahut si kakek. Mendengar pertanyaan
Dewa Kubu tadi Malaikat Berambut Api merasa jantungnya seperti di-
remas-remas. Rambut si kakek yang merah itu seakan-akan
berubah menyalakan api. Dewa Kubu tersentak. Ia du-
lu sering juga mendengar kehebatan manusia aneh
yang satu ini. Kini untuk mundur sudah kepalang
tanggung, ia pun ingin menjajaki tokoh misterius itu.
Maka terjadilah pertempuran yang sengit seka-
li. Dewa Kubu kini benar-benar merasa mendapat la-
wan yang seimbang atau boleh jadi memiliki kepan-
daian di atasnya.
Untuk sementara kita tinggalkan dulu dua to-
koh sakti yang sedang terlihat pertempuran sengit itu.
Kita ikuti Suro Blondo dan Maling Jenaka yang sedang terombang ambing
dipermainkan Elang Perak yang
bermaksud mencelakai mereka.
Saat itu Elang Perak terbang menjauh mening-
galkan Bukit Sembuang. Meskipun terbangnya tidak
begitu tinggi, namun jika mereka sempat terjatuh pasti


Pendekar Bloon 15 Api Di Puncak Sembuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati juga. Suro yang telah berada di punggung Elang Pe-
rak bingung memikirkan bagaimana caranya menghen-
tikan burung itu. Sedangkan ia sendiri melihat kenyataan bahwa Gadis tidak
mungkin dapat bergelantun-
gan seperti itu dalam waktu yang lebih lama lagi.
"Maling! Jika kutebas pangkal sayapnya ini
dengan senjataku, kalau ia jatuh maka kau bisa mati
tertimpa tubuhnya. Atau lehernya saja kupotong" Ka-
lau begitu aku juga bisa mati." Suro tampak ragu-ragu.
"Masukkan jangkrik ke telinganya, goblok!" teriak Gadis.
Justru itu yang ditakutinya. Burung itu kepa-
lanya terus bergoyang-goyang. Tapi apa boleh buat, tidak ada pilihan lain lagi.
Dengan hati-hati ia terpaksa memanjat leher burung dengan bersusah payah.
Berulang kali ia nyaris jatuh karena Elang Perak terus bergerak-gerak. Namun
lama kelamaan ia pun berhasil
memasukkan jangkerik itu ke dalam lubang telinga
sang elang. Sang jangkerik tentu saja masuk terus ke da-
lam liang telinga Elang Perak. Hingga kemudian terlihatlah reaksinya. Elang
Perak memekik keras, terbang dengan tidak beraturan, sedangkan kepala terus
dige-leng-gelengkan tidak menentu.
Lama kelamaan ia pun memberontak. Bergerak
kian kemari dan terbangnya semakin merendah seperti
bingung bercampur kesakitan.
"Di depan sana ada air! Eh telaga yang cukup
besar. Jika elang ini ke sana sebaiknya kita terjun!" teriak Gadis merasa ada
harapan. Terbang sang Elang semakin oleng, ternyata
seperti dugaan Gadis, elang itu meluncur di atas tela-ga.
"Hayo terjun!" perintah Suro.
Keduanya pun langsung terjun ke dalam telaga
berkedalaman dua batang tombak. Elang Perak terus
bergerak tidak tentu arah seperti kesurupan sambil
memekik-mekik, sampai akhirnya hilang dari pandan-
gan mata. Dua sosok tubuh di permukaan air telaga.
Yang satu mengambang tidak bergerak sedangkan sa-
tunya lagi tampak bingung.
"Dia pingsan! Aku harus menolongnya!" kata Suro Blondo dengan perasaan cemas.
Gadis dibawanya berenang ke tepi telaga, pa-
kaian Maling Jenaka basah kuyup, kancing bajunya
ada satu yang lepas, sehingga dadanya yang putih mu-
lus dan mencuat kencang terlihat nyata. Pakaian gadis ini memang tidak utuh
lagi, sobek di sana sini terkena cengkeraman cakar Elang Perak.
Suro dengan hati berdebar segera mengangkat
Gadis, kemudian membawanya ke tempat terlindung
untuk diobati. Sementara saat itu pertempuran antara kakek
Dewana dan Dewa Kubu sedang seru-serunya. Mereka
sama mengumbar pukulan mereka juga sama-sama
mengerahkan jurus-jurus yang paling dahsyat. Se-
hingga puteri Saba sendiri merasa kepalanya jadi
mendenyut melihat bayangan-bayangan di depannya
yang saling hantam dan pukul ini.
Kakek licik berpakaian kulit harimau sama se-
kali tidak dapat mempergunakan ajian-ajiannya yang
dapat mengelabui mata lawannya. Karena lawannya ti-
dak dapat ditipu.
Sampai akhirnya manusia setengah roh ini me-
rasa tidak ada gunanya ia terus bertahan bertempur,
karena pedang Penebar Bencana telah berpindah tan-
gan. Ia memilih lebih baik mengejar bayangan yang te-
lah melarikan pedang Pemersatu tadi. Walau pun saat
itu dirinya boleh dikata belum kalah dan ia sendiri
memang tidak dapat mencedrai Malaikat Berambut Api
yang tangguh itu.
Dewa Kubu kemudian merapal inti dari segala
kesaktian yang dimilikinya sehingga tidak lama berselang tubuhnya menghilang
dari pandangan kakek De-
wana. Malaikat Berambut Api terkesiap melihat la-
wannya lenyap. Ia hanya mendengar gelak suara tawa
di kejauhan. "Jangan merasa menang, Malaikat Rambut Api.
Kau belum dapat mengalahkan aku. Di suatu saat se-
telah pedang Pemersatu kudapatkan, bahwa kau bu-
kanlah apa-apa. Kau sangat kecil dimata Dewa Kubu!"
"Bangsat! Manusia pengecut!" geram si kakek.
Lalu ia menghampiri El Maut. Ternyata nenek
itu belum sadarkan diri juga.
"Puteri, sebaiknya kita bawa dia ke tempat ting-galnya di atas bukit itu. Mari
ikuti aku, jika dia sembuh. Aku berjanji untuk mengambil pedang itu dari
pencurinya!" kata si kakek sambil memanggul tubuh El Maut.
Puteri Saba hanya mampu menganggukkan ke-
pala. Begitu banyak persoalan-persoalan lain muncul
di luar dugaan dan rasanya sangat sulit di mengerti.
Siapa sesungguhnya yang melarikan pedang Penebar
Bencana. Ada hubungan apa Malaikat Berambut Api
dengan El Maut"
TAMAT Ikuti Kisah Selanjutnya:
RAHASIA PEDANG BERDARAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Biang Ilmu Hitam 2 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya 3
^