Pencarian

Datuk Sesat Bukit Kubur 2

Pendekar Bayangan Sukma 25 Datuk Sesat Bukit Kubur Bagian 2


mengejar Pandu, seakan mengajak Pandu untuk
bersama-sama ke tempat maut. Pandu sendiri se-
bisanya menghindar, dia tak mau kena makan
oleh senjata itu.
Rupanya secara diam-diam Pandu memiliki se-
dikit kepandaian bersilat, hingga tubuhnya dapat bergerak dengan lumayan cepat.
"Tugi Sama! Kau bawalah gadis itu ke Bukit Kubur! Cepat, kulihat bulan di atas
sebentar lagi berada tepat di kepala kita!" kata Sura Jaya sambil terus mencecar
Pandu dengan cakram yang sudah
dialiri tenaga dalam.
"Baiklah kalau begitu!" Tugi Sama menarik pulang senjata cakramnya.
Lalu dia menghampiri Tari yang masih dalam
keadaan pingsan. "Kita jalan-jalan lagi, Manis!" desisnya sambil memanggul tubuh
Tari kembali. Dengan sekali lompat Tugi Sama sudah berada
di atas kudanya dan memacunya dengan cepat.
"Tariiii...!" jerit Pandu yang melihat kekasihnya kembali dilarikan. Dia
bermaksud hendak mengejar, tetapi sambaran cakram itu menghalanginya.
Bahkan menyambar bagian bahu sebelah ka-
nannya. "Akkkhh!" tubuh Pandu bergulingan. Lalu dite-kapnya bahunya yang mengeluarkan
darah. Ma- tanya melotot nyalang. "Bangsat!"
Sura Jaya terbahak.
"Sebentar lagi kau akan mampus setan!" geramnya sambil menangkap pula cakramnya
dan hendak dilemparkannya lagi ke arah Pandu yang
nyalang dengan tatapan marah.
Tetapi tiba-tiba selarik sinar merah melesat ke
arahnya. Mengurungkan niat Sura Jaya untuk me-
lemparkan cakram itu.
"Anjing buduk!" makinya sambil bersalto. "Siapa yang berani menyerang Sura Jaya
dengan keadaan pengecut seperti ini, hah"! Cepat keluar!"
*** 5 Mendadak dari atas sebuah pohon melihat dua
sosok tubuh dan hinggap dengan ringannya di de-
pan Sura Jaya. Sura Jaya melotot marah. Dia bersyukur dapat
menghindari serangan gelap itu. Bila tidak, maka hancurlah tubuhnya termakan
pukulan sinar merah yang dilepaskan oleh Pranata Kumala.
Melihat keadaan Pandu yang sudah terdesak
dan terluka, Pranata akhirnya tidak tahan untuk membantu. Maka dilepaskannya
pukulan sinar merahnya. "Maafkan aku, Ki sanak... yang kiranya mengganggu dan sok ikut campur dalam
masalah ini...."
kata Pranata Kumala sambil menjura yang diikuti oleh istrinya.
Sikapnya santun.
Tetapi di mata Sura Jaya, keduanya adalah ma-
nusia-manusia yang harus dihabisi dan dimampu-
sinya, karena berani-beraninya turut campur da-
lam urusannya. "Bangsat! Siapa kalian!" maki Sura Jaya dengan
kejengkelan yang amat luar biasa.
Masih tetap dengan suara yang santun, Pranata
Kumala menjawab, "Sekali lagi maafkan kami, Ki sanak. Namaku... Pranata Kumala
dan ini istriku...
Ambarwati.... Kami mengucapkan salam perkena-
lan pada Ki sanak."
"Bangsat! Jangan kalian berbasa-basi segala!
Kalian telah membuat kelancangan di sini! Dan
kalian tengah berkenalan dengan salah seorang
gerombolan Carok dari Barat...."
"Kalau begitu adanya... salam perkenalan dari kami untuk Gerombolan Carok dari
Barat...." kata Pranata pula, masih tetap menjura.
Sikap Pranata Kumala yang masih santun, ma-
lah membuat Sura Jaya murka. Pikirnya sikap itu sangat merendahkannya karena
selama ini Sura
Jaya tak pernah berbuat santun. Dia hidup dalam alam kekerasan.
"Bangsat! Kau harus mampus di tanganku!"
"Tenang, Ki sanak. Kalau boleh kami tahu, siapakah nama Ki sanak gerangan?"
"Hmm... namaku Sura Jaya!"
"Sura Jaya... sejak tadi kami memperhatikan sepak terjang dari Ki sanak. Dan
nampaknya Ki sanak beserta teman Ki sanak yang pergi memba-
wa seorang gadis, tidak bersahabat dengan Sauda-ra yang terluka itu. Benarkah
dugaan saya adanya?" "Benar sekali, Orang lancang! Kami memang tak bersahabat dengan pemuda yang
terluka itu! Nah, kau mau apa?" balas Sura Jaya dengan nada congkak.
Sementara itu Pandu yang merasa tertolong
oleh Pranata Kumala menjadi heran. "Siapakah dia" Mengapa menolongku?" tanyanya
dalam hati. Tetapi dia merasa berterima kasih sekali karena merasa diselamatkan nyawanya
oleh Pranata Kumala. Bahkan dia berharap, orang yang telah me-
nolongnya itu dapat membantunya. Juga memban-
tu desanya dari cengkraman orang-orang jahat da-ri Gerombolan Carok dari Barat.
Lalu didengarnya lagi suara dari Pranata Kuma-
la, "Hm... kalau boleh aku tahu ada masalah apakah gerangan?"
"Orang lancang! Kau tak boleh tahu apa yang terjadi di antara kami! Nah,
sebaiknya kau menyingkir saja dari sini! Tapi... hehehe... kau tinggalkan
istrimu itu untukku! Agaknya dia cukup
hangat untuk menemaniku tidur... hehehe!"
Pranata mencoba menahan emosinya, istrinya
dilecehkan. Tetapi lain dengan Ambarwati atau istrinya,
yang sangat geram oleh Sura Jaya. Tanpa banyak
cakap lagi, dia melompat sambil mencabut pe-
dangnya menyerang Sura Jaya.
"Mulutmu kotor, Sura Jaya!" bentaknya.
"Hehehe... ternyata galak juga betina ini!" sambil menyambut serangan, Sura Jaya
keluarkan kata-kata yang kotor, "Tapi lumayan untuk menemaniku tidur... hehehe!"
Sura Jaya bersalto ke belakang. Pikirnya dia
mampu dengan mudah menghindari serangan pe-
dang Ambarwati. Tetapi ia menjadi terkejut ketika pedang Ambarwati menyerangnya
susul menyusul.
Cepat. Tangkas. Dan mengejutkan.
"Hei! Rupanya berisi juga betina ini!" makinya sambil menghindar dan membalas.
"Keluarkan semua kebisaanmu, Sura Jaya! Mulutnya patut dibungkam oleh pedangku
ini!" seru Ambarwati dan terus menyerang dengan cepat.
Sura Jaya pun tak mau menganggap remeh lagi.
Dia pun membalas dengan satu pukulan ke depan,
namun buru-buru ditariknya tangannya karena
pedang yang di tangan Ambarwati mengibas den-
gan cepat. Dan bergerak dengan satu tusukan ke perut.
Membuat Sura Jaya melompat ke samping dan
melancarkan satu tendangan ke arah kemaluan
Ambarwati. "Heit! Cabul!" maki Ambarwati sambil melenting ke belakang dan hinggap dengan
ringannya. Sementara Sura Jaya sudah bangkit berdiri dan
terkekeh. "Hehehe... lumayan, lumayan kau, Manis. Ayo...
buat apa kau bersusah payah untuk membunuh-
ku! Ayo, ikutlah denganku... kau akan kuberikan emas dan intan yang banyak...
hehehe!" "Cabul!" bentak Ambarwati yang sangat tidak tahan mendengar kata-kata busuk itu.
Lalu dia menerjang lagi kali ini dengan gerakan cepat.
Pedangnya pun menyambar-nyambar.
Pranata Kumala membiarkan saja istrinya men-
gumbar kemarahannya. Dia pun sebenarnya su-
dah tidak dapat menahan emosinya karena kata-
kata jorok itu.
Tetapi dia ingin mengukur sampai di mana ke-
hebatan Sura Jaya.
Sedangkan Pandu merasa heran karena Pranata
Kumala tidak menolong atau pun membantu is-
trinya. Bila dia yang mengalami hal seperti itu, sudah dibunuhnya manusia yang
berani menghina
istrinya dengan kata-kata busuk seperti itu!
Sementara Ambarwati terus menyerang dengan
hebat. Sura Jaya pun melayaninya dengan hebat
pula. Suatu ketika padang Ambarwati bergerak cepat
dan menyambar ke bagian kaki Sura Jaya. Sura
Jaya sambil memekik terkejut melompat ke atas
dan kesempatan itu dipakai oleh Ambarwati den-
gan menyambarkan pedangnya ke kepala Sura
Jaya yang tak ada kesempatan lagi untuk meng-
hindar. Namun sungguh di luar dugaan Ambarwati. Da-
lam posisi yang cukup berbahaya itu, Sura Jaya
dengan kecepatan per detik melemparkan cakram-
nya. "Siiingg!"
Siap mencabut nyawa Ambarwati.
Serentak Ambarwati mengurungkan niatnya un-
tuk menebas kepala Sura Jaya. Dibelokkannya pe-
dangnya ke arah cakram itu.
"Traaaaanggg!"
Dua senjata itu pun beradu.
Ambarwati merasakan tangannya kesemutan.
Sedangkan senjata cakram milik Sura Jaya tak bi-sa kembali pada tuannya. Karena
tenaga dalam yang dikerahkan oleh Ambarwati lebih besar, se-
bab pedang itu berada di tangannya, dialiri langsung oleh tenaga dalamnya.
Sedangkan cakram
milik Sura Jaya hanya dialiri oleh tenaga dalam dari jarak jauh.
Hingga cakram itu akhirnya jatuh ke tanah.
Dan sulit untuk ditarik kembali melalui tenaga
dalam yang dialiri dari jarak jauh.
Sura Jaya mencoba menubruk senjata cakram-
nya karena dilihatnya gelagat yang tidak menguntungkan.
Namun Ambarwati lebih cepat bergerak.
Pedangnya menyambar.
"Creess!"
Pedang itu mengenai tangan kanan Sura Jaya
hingga buntung.
Terdengarlah raungan kesakitan yang terlontar
dari mulut Sura Jaya membelah malam.
Menyayat. Dan mencekam. Lalu tubuh itu ambruk, bergulingan di tanah
dengan menahan rasa sakit yang luar biasa.
Ambarwati menghentikan serangannya.
"Hhh! Seharusnya kututup mulutmu dengan
pedangku, Manusia cabul!" geramnya.
Namun tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, sebatang
anak panah meluncur dengan deras ke arah Sura
Jaya. Sura Jaya yang dalam keadaan kesakitan tak
mampu lagi untuk menghindar. Tanpa ampun lagi,
anak panah itu tepat mengarah ke jantungnya.
"Akkhhhh!"
Tubuh itu kelojotan sejenak. Lalu ambruk me-
regang nyawa dengan tangan yang buntung akibat
tebasan pedang Ambarwati yang keras.
Ambarwati terkejut.
Begitu pula dengan Pranata Kumala.
Sementara Pandu yang melepaskan anak panah
itu tersenyum puas.
"Rasakan kematianmu, Manusia dajal!" rutuk-nya sambil meludah.
"Ki sanak... mengapa kau lakukan itu"!" seru Pranata Kumala yang tidak menyangka
hal itu akan terjadi. Bila dia tahu, tentunya akan dila-rangnya.
Mendengar suara yang penuh nada teguran itu,
membuat Pandu menoleh dan menjura.
"Maafkan saya, Kakang Pranata... Nama saya Pandu... pemuda desa dari Jati
Gede...." Sikap pemuda itu yang sopan membuat Pranata
menurunkan nada suara mendengusnya. Dia
mendesah panjang.
"Tentunya kau sudah mengetahui namaku dan
nama istriku tadi...."
"Benar, Kakang Pranata."
"Pandu... mengapa kau bunuh Sura Jaya?"
tanya Pranata Kumala kemudian.
"Maafkan saya, Kakang.... Tetapi manusia seperti dia memang harus dibunuh. Sudah
banyak nyawa yang dicabutnya tak ubahnya bagai malai-
kat pencabut nyawa."
"Baiklah... ceritakanlah mengapa sampai kau melakukan hal seperti itu. Terutama
lagi, mengapa nampaknya kau bermusuhan dengannya, salah
seorang dari Gerombolan Carok itu?"
Lalu Pandu pun menceritakan apa yang telah
menimpa desanya. Bagaimana keadaan desanya
yang menjadi bagai neraka sejak orang-orang itu datang. Dia pun menceritakan
bagaimana nasib
penduduk yang harus tunduk diperintah apa saja, bila tidak mau menjalankan
perintah dari gerombolan itu, maka mautlah taruhannya. Belum lagi
dengan nasib para kaum wanita yang dijadikan
pemuas nafsu orang-orang itu.
"Begitulah, Kakang... keadaan desa kami menjadi sangat mengerikan sekali...."
kata Pandu di akhir ceritanya. "Itu sebabnya saya menjadi geram melihat Sura
Jaya masih hidup. Dan keinginan
untuk membunuhnya sudah gatal sekali rasanya.
Bila saya tidak membunuhnya, ini akan mengaki-
batkan penyesalan yang besar bagi saya dalam hidup saya!"
Pranata Kumala pun menjadi maklum.
Tiba-tiba Ambarwati berkata, "Oh! Bagaimana dengan gadis yang dilarikan itu?"
Mendengar kata-kata Ambarwati, Pandu seperti
disadari kembali akan nasib kekasihnya Tari yang diculik oleh Tugi Sama dan


Pendekar Bayangan Sukma 25 Datuk Sesat Bukit Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilarikan ke atas Bukit Kubur.
"Oh, Tuhan! Tariii!" desisnya.
Pranata menjadi sigap melihat kepanikan Pan-
du. "Tenang, Pandu... sebaiknya kita tenang dulu."
"Tapi... tapi... dia... oh, Tari kasihku... bagaimana nasibmu sekarang?"
Pranata pun menenangkan kembali Pandu.
"Tenanglah... sekarang ceritakan nasib apa yang telah menimpa kekasihmu itu...."
Lagi Pandu bercerita tentang setiap malam Ju-
mat seorang anak perawan dari desa Jati Gede diculik. Entah dipersembahkan
kepada siapa. "Tetapi yang pasti dibawa ke Bukit Kubur."
"Kalau begitu... sebaiknya kita cari kekasihmu itu," kata Pranata Kumala
akhirnya. *** 6 Sementara itu di dalam goa yang terdapat di
atas Bukit Kubur, datuk sesat Tumbalpala tengah menyiapkan beberapa ramuan di
dalam kuali besar. Dan menggodoknya.
Datuk bertubuh kerempeng itu sekali-sekali me-
lirik pada Tari yang kini terlentang dalam keadaan terikat di atas sebuah batu
yang berbentuk dipan.
Dan di sampingnya Tugi Sama duduk bersim-
puh memperhatikan apa yang sedang diperbuat
datuk Tumbalpala.
"Hahaha... dengan darah perawan yang me-
nyembur dari kemaluan anak perawan ini, maka
sempurnalah sudah ilmu yang kupelajari ini! Ha-
haha... sebentar lagi, sebentar lagi aku akan turun bukit untuk menantang jago-
jago rimba persilatan... hahaha!"
Tari yang sudah sadar dari pingsannya terkejut
melihat dirinya terlentang terikat, juga kaget begitu mengetahui di mana dirinya
berada. Dia mencoba meronta, namun ikatan itu terlalu
kuat untuk diputuskannya.
Tumbalpala bangkit dari duduknya, lalu berja-
lan mendekati Tari yang langsung menutup ma-
tanya melihat betapa buruknya dan mengerikan-
nya wajah manusia kerempeng ini.
"Hihihi... mengapa kau tutup matamu, Manis...
sebentar lagi... sebentar lagi akan kuperas darah keperawananmu dan kuminum
setelah kucampurkan dengan ramuanku itu... Hahaha... dan se-
lesailah sudah ilmu yang akan kupelajari... yang membuatku tak mempan oleh
senjata sakti apa
pun dan pukulan sakti macam apa pun... hahaha!"
"Lepaskan aku... lepaskan aku, Orang kerempeng!" maki Tari masih dengan menutup
matanya. Wajah yang terpampang di hadapannya sungguh
menakutkannya. "Hahaha... lepaskan" Hahaha... orang kerempeng" Oh, Manis... mengapa kau tutup
matamu, hah" Bukankah wajahku cukup tampan untuk di-
nikmati... hahaha?"
Tangan Tumbalpala menggerayang ke dada Tari
yang menjerit-jerit minta dilepaskan.
Betapa menakutkannya detik ke detik yang ha-
rus dilaluinya. Mengerikan.
"Hahaha... tubuhmu, oh, tubuhmu montok se-
kali, Manis... sayang... aku tak butuh tubuhmu...
aku hanya butuh darah perawanmu yang akan
kusedot dengan mulutku... hahaha... kau akan
merasakan keenakan... kau akan merasakan kege-
lian... hahaha...."
"Lepaskan, lepaskan aku, Kerempeng! Le-
paskan... tolong... oh, tolong aku!" jerit Tari dengan suara yang menyayat.
Ketakutannya sangat menjadi-jadi.
"Hehehe... bukalah matamu, Manis... buka-
lah.... Nikmatilah wajahku yang tampan ini...." ka-ta Tumbalpala masih tetap
menggerayang tangan-
nya. Dan tiba-tiba tangan kanannya menotok urat
mata Tari, hingga gadis itu terbelalak dengan ter-paksa dan sulit untuk
dipejamkan kembali ma-
tanya. "Hehehe... bukankah dengan begitu kau lebih leluasa menikmati wajahku... Aduh,
betapa mon-toknya dadamu ini...."
Tiba-tiba tangan itu bergerak dengan cepat.
"Breeet!"
Baju di bagian dada Tari terbuka, menampak-
kan sepasang buah dadanya yang montok.
"Benar dugaanku... benar sekali... oh, betapa indahnya... hehehe... indah
sekali...."
Sementara Tugi Sama melotot melihat keinda-
han buah dada milik Tari. Diam-diam dia menelan ludahnya.
"Hei!" dirasakannya sebuah sambaran menepak kepalanya. "Jangan melotot, ke
sini!" "Oh... maafkan saya, Datuk...." kata Tugi Sama terkejut dan buru-buru
memalingkan wajahnya.
Sialan, ketahuan lagi! Bukankah itu sebuah pe-
mandangan yang sangat mengasyikan mata"
Tari menangis dalam hati. Malunya minta am-
pun. Apalagi ketika tiba-tiba saja datuk kerempeng itu membuka celananya sendiri
sambil terkekeh.
"Hehehe... bagaimana dengan tubuhku, Manis"
Ayo, nikmatilah tubuhku ini, Manis... nikmati-
lah...." Tari hanya bisa mengeluh. Matanya mau tak
mau tetap terbuka, karena dalam keadaan terto-
tok. Ini membuat Tari semakin mau mati saja. Karena pemandangan di hadapannya
berubah menji- jikkan di samping menyeramkan dan mena-
kutkannya. "Hahaha... bagus, bukan?"
Sementara Tugi Sama mau muntah melihat tu-
buh datuk Tumbalpala itu telanjang bulat. "Kamb-ing diberi obat perangsang pun
belum tentu mau
sama datuk itu," katanya dalam hati.
Tiba-tiba datuk sesat itu mendongak, menatap
langit-langit goa.
Dia bergumam, "Hmm... agaknya waktu telah
datang, Manis. Nah... bersiaplah untuk kusedot
darah perawanmu dan kucampurkan dengan ra-
muan sakti buatanku.... Hahaha... kau sudah
siap, Manis?"
Detik ke detik semakin mencekam dirasakan
Tari. Kejadian-kejadian yang tadi dialaminya saja sudah sangat mengerikan dan
menakutkan, belum
lagi dengan kejadian selanjutnya.
Tumbalpala mengenakan kembali pakaiannya.
Lalu berjalan ke kuali ramuannya.
Dia mengaduk-aduk sebentar.
Lalu diambilnya anglo dan dibakarnya dupa
hingga mengeluarkan asap tebal dan bau yang
menusuk. Dia duduk bersila di depan dupa itu.
Mulutnya berkomat-kamit.
Dan tiba-tiba dia berdiri. Wajahnya kali ini terlihat lebih mengerikan. Sepasang
matanya menyala-
nyala. Alisnya bergerak ke atas. Mulutnya tersenyum mengerikan.
Dia tak ubahnya iblis belaka.
Tugi Sama sendiri terkejut melihat perubahan
wajah Tumbalpala.
Dan perlahan-lahan Tumbalpala melangkah
mendekati Tari yang menjerit ketakutan melihat
wajah yang semakin menyeramkan. Gadis itu
mendadak pingsan karena tak tahan melihat wa-
jah itu. Sungguh mengerikan.
Tiba-tiba Tumbalpala mengikik. Suaranya mirip
kuntilanak yang sangat mengerikan.
Tiba-tiba lidahnya terjulur keluar.
Dan dengan sekali jambret, Tumbalpala melu-
cuti pakaian Tari hingga gadis itu bertelanjang bulat. Lalu datuk sesat itu pun
berjalan mendekati pangkal paha Tari yang masih dalam keadaan
pingsan. Lidah Tumbalpala makin terjulur. Ma-
tanya tetap memerah. Dan perlahan-lahan kepa-
lanya mendekati kemaluan Tari yang terbuka le-
bar. Siap untuk menyedot darah perawan Tari hing-
ga habis dan gadis itu akan mati dengan tubuh
kering dan hangus. Tak ubahnya tubuh terbakar
api. Namun mendadak saja, kepala Tumbalpala ber-
paling ke kiri. Telinganya yang terlatih untuk men-
dengar bunyi yang sekali pun, menangkap suatu
gerakan yang mencurigakan dari luar sana.
Tugi Sama pun mendengarnya. Dan bersiap.
Dia merasa beruntung karena mendengar suara
itu. Baginya melihat Tumbalpala menyiangi kor-
bannya sangat mengerikan sekali.
Tugi Sama segera melompat.
"Siapa di sana"!" bentaknya.
Lalu muncullah tiga sosok tubuh dari pintu goa
bagian dalam. Ketiganya tak lain dari Pranata Kumala, Ambarwati dan Pandu. Bila
mereka terlam- bat sedetik saja, tamatlah riwayat Tari, mati dengan keadaan tubuh kering
kerontang. Mereka melihat satu pemandangan yang menge-
rikan di hadapan mereka. Kening ketiganya berkerut ketika beradu pandang dengan
Tumbalpala. "Mayat hidupkah?" tanya ketiganya dalam hati.
Namun begitu melihat keadaan Tari yang telan-
jang bulat dan pingsan, membuat jantung Pandu
berdetak lebih cepat. Bersamaan dengan kemara-
hannya yang naik sampai ke ubun-ubun dan siap
meledak. "Tari!" panggilnya dan hendak memburu.
Tetapi tangannya ditahan oleh Pranata.
"Hati-hati, Pandu... agaknya orang kerempeng yang mirip mayat hidup itu sangat
berbahaya. Tidakkah kau melihat sepasang matanya yang nya-
lang siap memangsa siapa saja?"
Pandu menelan ludahnya. Hatinya galau dan pi-
lu menyaksikan keadaan kekasihnya.
"Hahaha... tikus-tikus cilik, selamat datang di kediaman Tumbalpala, majikan
Bukit Kubur!" ma-
nusia kerempeng itu terbahak dengan sikap yang
mengerikan. Ambarwati sendiri berusaha menenangkan ha-
tinya. Dia merasakan getaran angin yang cukup
kuat menerpa telinganya saat orang kerempeng itu bersuara.
Begitu pula yang dirasakan oleh Pranata Kuma-
la dan Pandu. Desiran angin itu cukup kuat tera-sa. Pranata bergumam dalam hati,
"Bukan main tenaga dalam yang dimiliki manusia kerempeng
itu." Sementara Tugi Sama mendengus begitu men-
genali salah seorang di antara ketiga orang itu.
"Hhh! Kau rupanya pembokong busuk! Punya
nyali juga kau mendatangi tempat ini, haha"! Rupanya kau memang ingin mati!"
"Hhh! Manusia busuk! Kau yang akan mati,
menyusul kawanmu yang telah mampus menjadi
mayat!" "Bangsat!" geram Tugi Sama murka. "Kau telah membunuh Sura Jaya"!"
Pandu melipat kedua tangannya di dada.
"Hmm... sebentar lagi nyawamu yang akan kuca-but, untuk menemani temanmu di
neraka sana!"
Sehabis berkata begitu, Pandu segera mema-
sang anak panahnya pada busurnya. Tetapi satu
gerakan telah dilakukan oleh Tugi Sama dengan
melemparkan cakramnya.
"Wuuut! Siiingg!"
Cakram itu bergerak menghantam busur yang
dipegang Pandu dan kembali lagi pada tuannya.
Pandu sendiri terkejut melihat serangan yang
mendadak itu. Tangannya terasa kesemutan oleh
getaran yang cukup kuat yang menimpa tangan-
nya. "Anjing!" makinya.
"Hahahaha...." terbahak Tugi Sama.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakangnya
dengan suara yang angker penuh tenaga dalam.
"Tugi Sama! Hantam mereka! Dan bunuh!"
"Baik, Datuk!"
"Cepat! Aku harus menyelesaikan ilmuku sekarang juga!" kata Tumbalpala dan
kembali mende-katkan kepalanya pada pangkal paha Tari.
Melihat bahaya hendak menimpa gadis itu, Pra-
nata Kumala cepat bersalto sambil melancarkan
pukulan sinar merahnya.
"Siiing!"
Secepat kilat Tumbalpala tarik kepalanya kem-
bali. Dan menoleh dengan marah. Tiba-tiba dia
mengibaskan tangan kanannya.
Serangkum angin besar menderu menerpa Pra-
nata Kumala hingga jatuh terguling.
"Kakang!" jerit Ambarwati terkejut dan hendak menghampiri. Namun urung ketika
dirasakannya desir angin mendekat padanya. Rupanya senjata
cakram milik Tugi Sama sudah melancarkan tu-
gasnya. "Bangsat!" maki Ambarwati seraya bersalto menghindar. Dan segera membalas
menyerang Tu-gi Sama dengan sambaran pedangnya.
Begitu pula dengan Pandu. Dia mengambil
kembali anak panah dan busurnya. Lalu membidik
Tugi Sama yang bersalto ke sana ke mari sambil
mempertahankan aliran tenaga dalamnya pada
cakram yang berputar-putar mencari mangsa.
Sementara itu Tumbalpala semakin murka pada
Pranata Kumala karena telah mengganggu ker-
janya. Apalagi ketika dia merasakan waktu untuk me-
nyempurnakan ilmu yang dipelajarinya telah ha-
bis. Dan tak bisa diulangi kembali.
Semua itu membuatnya makin murka. Dia


Pendekar Bayangan Sukma 25 Datuk Sesat Bukit Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali mengibaskan tangan kanannya dan se-
rangkum angin besar kembali menderu pada Pra-
nata. Tetapi kali ini Pranata lebih sigap. Dengan ge-
sitnya dia berguling. Namun belum lagi dia bisa bernafas dengan lega, kembali
serangan-serangan itu dilancarkan oleh Tumbalpala. Membuat Pranata Kumala
menjadi kalang kabut.
Tetapi tiba-tiba Pranata berseru keras dan men-
dadak tubuhnya melenting ke atas. Lalu dia pun
segera membalas Tumbalpala dengan pukulan si-
nar merahnya. "Sing!"
"Sing!"
Tumbalpala cuma terkekeh. Dan menghindar ke
kiri seraya melompat menerjang dengan pukulan
lurus ke depan.
Pranata merasakan angin yang keras keluar
saat kepalan itu mendekati wajahnya. Buru-buru
ia menunduk dan memutarkan tubuhnya ke ba-
wah. Lalu satu jotosan dia lancarkan pada bagian ra-
hasia Tumbalpala. Yang segera menangkisnya
dengan tangan kirinya.
Kedua tangan itu berbenturan.
Dan benturan keduanya mampu mendatangkan
rasa kesemutan pada tangan Pranata. Lain halnya dengan Tumbalpala yang terkekeh-
kekeh. "Hahaha... hanya begitu saja kebisaanmu, Bocah! Tetapi kau tak akan kuampuni!
Kau telah lancang membuat kesalahan di depanku! Kau
mengeri"!"
"Manusia busuk! Bukankah kau sendiri yang
berbuat salah! Bukankah kau yang tengah mela-
kukan kelaknatan yang tak bisa dimaafkan"!"
"Ini demi sempurnanya ilmu yang kupelajari!"
"Tetapi tidak dengan mengorbankan orang lain!
Darah perawan itu kau hisap, lalu kau campurkan pada ramuanmu! Bukankah itu
perbuatan biadab"!"
"Hhh! Nyawamu tak akan kuampuni, Bocah!
Nah, sebelum kau mampus katakan siapa kau se-
benarnya!"
"Namaku Pranata Kumala dari laut Selatan.
Dan perempuan itu istriku, namanya Ambarwati.
Sedangkan pemuda yang sedang membantu istri-
ku menghadapi anak buahmu, bernama Pandu!
Sudah cukup puas" Sekarang siapa kau adanya,
Datuk sesat"!"
"Hhh! Namaku Tumbalpala! Dan orang-orang
rimba persilatan memanggilku Datuk Sesat Bukit
Kubur!" "Kau memang manusia sesat!"
"Hhh, Bocah! Kau telah menggangguku me-
nyempurnakan ilmuku! Nah, katakan siapa guru-
mu, hah"!"
"Guruku majikan Gunung Muria. Beliau ber-
nama Ki Ageng Jayasih!"
"Hmm... rupanya dia gurumu. Boleh juga. Kupikir... kau murid dari manusia dewa
yang maha sakti, Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan
Sukma! Bila iya, katakan padanya, aku pun akan
menaklukkannya!"
"Apakah kau tidak jeri bila kukatakan sesuatu?"
"Bangsat! Katakan, tak perlu menggertak!"
"Pendekar yang namanya baru saja kau se-
butkan, adalah ayahku!"
"Ayahmu"! Bagus, ini akan kuuji sampai di ma-na kehebatan anaknya Madewa
Gumilang!"
Usai berkata begitu tubuh Tumbalpala melesat
bagaikan terbang. Pranata terkejut dan sebisanya memapakinya. Dia merasakan
sekujur tubuhnya
bagai kesetrum saat tangannya berbenturan den-
gan tangan Tumbalpala.
Datuk bertubuh kerempeng itu memang luar
biasa. Dia menyerang dengan sikap tenang saja,
namun di balik semua itu terdapat kegeraman
yang sangat luar biasa. Dan siap menyambar nya-
wa Pranata Kumala.
Pranata sendiri sudah mengeluarkan jurus Tan-
gan Bayangannya. Namun jurus itu tak berarti banyak buat menghadapi datuk sesat
Bukit Kubur, yang dengan sigapnya menangkis dan membalas.
Belum lagi gempuran-gempurannya yang setiap
kali bagian tubuhnya bergerak menimbulkan sua-
ra atau angin yang cukup keras.
Lewat lima belas jurus, terlihat Pranata Kumala
mulai terdesak.
"Des!"
Satu gedoran pada dadanya membuat ter-
huyung ke belakang. Lalu disusul dengan samba-
ran lagi pada bagian punggungnya, membuat Pra-
nata Kumala terhuyung lagi.
Dan muntah darah.
"Hhh! Terimalah ajalmu, Orang iseng!" seru Tumbalpala dan segera menyiapkan satu
pukulan yang terangkum di tangan kanannya.
Dan tubuh itu pun melesat. Namun kembali
bersalto ketika sebatang anak panah menyambar
ke arahnya. "Setan alas!"
Maki Tumbalpala dan ganti berbalik arah mele-
paskan pukulannya pada Pandu yang tengah me-
masang kembali anak panahnya.
Namun lagi-lagi Tumbalpala urung karena sela-
rik sinar merah melesat ke arahnya. Disusul dengan anak panah yang dilepaskan
Pandu. "Bangsat!" makinya sambil bersalto.
Sementara Ambarwati terus mengimbangi se-
rangan-serangan dari Tugi Sama, yang dengan
senjata cakramnya mampu membuat Ambarwati
pun tunggang langgang. Namun dengan satu sen-
takan kuat, cakram itu berhasil dipukul jatuh.
Tugi Sama menjadi geram melihatnya.
Dia menjerit menyerang dengan satu pukulan
lurus ke depan.
Ambarwati merundukkan kepalanya hingga pu-
kulan itu mengenai angin. Lalu dengan satu ten-
dangan memutar dia berhasil memukul bagian
punggung Tugi Sama hingga tersuruk.
Dan kesempatan itu digunakan oleh Ambarwati
untuk menusukkan pedangnya. Namun tanda di-
duganya, Tugi Sama berhasil memukul pergelan-
gan tangannya. Hingga pedangnya terlepas.
Mendadak Ambarwati bersalto dan dengan satu
gerakan yang menakjubkan diperlihatkan perem-
puan itu. Sambil bersalto dia menendang tangkai pedangnya yang terlepas di
udara. Des! Tepat mengenai ujung tangkainya.
Dan pedang itu meluncur dengan deras ke arah
Tugi Sama yang tidak menyangka sama sekali.
Lalu terdengarlah jeritan kematian menggema di
dalam goa itu. "Akkhhhhhkhhh!"
*** 7 Tumbalpala sendiri kaget melihat gerakan yang
hebat itu diperlihatkan Ambarwati. Namun ba-
ginya hal itu bukanlah sesuatu yang menakjub-
kan.. Dia terus mencecar Pranata Kumala dan Pandu.
Pandu sendiri sebenarnya sudah tak bisa berbuat apa-apa. Dia pun sudah berkali-
kali terkena pukulan Tumbalpala.
Sedangkan Pranata Kumala terus mencoba ber-
tahan. "Ambar! Cepat kau bawa gadis itu, dan pergilah dari sini! Cepat!" serunya.
Ambarwati pun bergerak cepat. Dia membuka
tali yang mengikat Tari dan membebaskan totokan pada urat matanya hingga matanya
perlahan-lahan terkatup.
Lalu dibopongnya gadis itu dan dilarikannya ke-
luar. Melihat hal itu, Tumbalpala menjadi murka. Dia
menyerang dengan satu pukulan jarak jauh. Na-
mun Ambarwati berkelit dengan gesit. Lalu melesat keluar.
Melihat istrinya sudah berhasil melarikan gadis itu dan meloloskan diri, Pranata
Kumala yang merasa tak akan bisa bertahan menghadapi seran-
gan-serangan Tumbalpala, berseru pada Pandu.
"Pandu cepat kau tinggalkan tempat ini! Biar aku yang menahan manusia sesat
ini!" "Tapi, Kakang...." desis Pandu ragu-ragu.
"Cepat kataku, cepat!"
Tanpa banyak cakap lagi, Pandu segera melesat
keluar dari goa itu.
Melihat seorang berhasil pula meloloskan diri,
kegeraman Tumbalpala semakin menjadi-jadi.
"Kau harus mampus di sini, Bocah!" geramnya dan menyerang kembali.
Pranata sendiri dengan sebisanya melepaskan
pukulan sinar merahnya berkali-kali. Dan begitu dilihatnya kesempatan untuk
meloloskan diri, dia pun melesat berlari.
Dan berseru pada Pandu dan istrinya yang me-
nunggu di luar. "Ayo pergi dari sini!" seru Pranata.
Lalu ketiganya segera memacu kuda-kuda me-
reka berlari secepat angin.
Tumbalpala hanya tiga detik terlambat keluar.
Dia menggeram marah. Wajahnya yang menye-
ramkan semakin tambah menyeramkan.
Tiba-tiba dia menggeram.
"Bangsat! Kalian tak akan bisa lolos dari tanganku!" bentaknya keras ke penjuru
Bukit Kubur. Tiba-tiba tangannya bergerak ke dinding atas pintu ke goa.
"Duar!"
Terdengar ledakan keras begitu angin yang ke-
luar dari tangannya menyambar dinding goa. Dan
mendadak saja dinding goa itu runtuh.
"Ke mana pun kalian akan kucari!" maki Tumbalpala sambil melesat meninggalkan
tempat itu. Sementara batu-batu yang berasal dari dinding
goa yang dihancurkannya berguling ke bawah.
Menimbulkan suara bergemuruh.
*** Ketiga orang yang melarikan diri dari Bukit Ku-
bur itu, tidak mengarahkan kuda-kuda mereka
menuju desa Jati Gede. Tetapi mereka bersem-
bunyi dulu di sebuah hutan. Karena menurut me-
reka, pasti datuk sesat itu akan mencari mereka di desa Jati Gede.
Di hutan itu, Pranata berusaha menyadarkan
Tari dari pingsannya. Begitu siuman, gadis itu tersentak kaget melihat
sekelilingnya gelap dan menyeramkan.
Namun begitu didengarnya suara Pandu, gadis
itu menjadi terisak.
"Kakang Pandu?"
"Iya, Tari... aku Pandu...." kata Pandu terharu.
"Oh... Kakang!" seru Tari sambil merangkul Pandu. Kegembiraannya tak terkira.
Bibirnya terus menyunggingkan senyuman yang manis.
Lalu Pandu memperkenalkannya pada Pranata
Kumala dan Ambarwati yang telah membantunya
membebaskan Tari dari cengkraman datuk sesat
itu. Tari pun segera mengucapkan terima kasih.
Lalu Pranata nampak bersemedi, untuk menghi-
langkan rasa sakit pada dadanya. Dibantu dengan Ambarwati yang mengalirkan
tenaga dalamnya melalui punggungnya, dan hawa murni yang telah di-buka, rasa
sakit pada dadanya berangsur-angsur
mulai menghilang.
Lalu dadanya terasa pulih kembali.
Ambarwati tersenyum. Tadi saat dia disuruh
meloloskan diri, betapa kuatirnya melihat keadaan suaminya yang terdesak hebat
oleh Tumbalpala.
"Sebaiknya kita istirahat saja dulu di sini," kata Pranata Kumala. "Besok pagi,
barulah kita berang-kat ke Jati Gede untuk membebaskan para pen-
duduk dari cengkeraman orang-orang jahat itu!"
Usul itu pun disetujui. Dan mereka pun segera
terlelap di dalam hutan dengan tubuh lebih yang amat sangat.
*** 8 Agung Seta tersentak begitu mendengar suara
menggelegar membentaknya. Terdengar kalau yang
membentak itu dalam keadaan marah yang amat
sangat. Agung Seta langsung melompat dari peraduan-
nya, memakai pakaiannya kembali. Dan mening-
galkan perempuan yang berada di peraduannya,
yang segera menangis karena merasa bahagia ter-
bebas dari jamahan Agung Seta lagi.
"Agung! Ke luar kau!"
Tergopoh-gopoh Agung Seta keluar. Suara itu
menggelegar kembali.
"Anak monyet! Cepat keluar!"
Kini Agung Seta sudah berada di luar. Dia tak
menyangka kalau yang berada di hadapannya da-
tuk sesat Tumbalpala Begitu pula dengan teman-
temannya yang keluar dan tempat masing-masing.
"Ada apa, Datuk?" tanya Agung Seta dengan hormat. Dia ngeri melihat wajah mirip
iblis itu tengah marah-marah. Agung Seta yang terkenal ben-
gis, sadis dan tak berperi kemanusiaan, harus merasa jeri melihat gurunya dalam
keadaan murka. "Hhhh! Kau cari orang yang bernama Pranata Kumala, Ambarwati dan Pandu!"
"Ada apakah gerangan, Datuk" Dan siapa pula mereka, hah?" tanya Agung Seta.
"Mereka adalah orang-orang yang akan kubuat mampus! Mereka mengganggu kerjaku
dalam

Pendekar Bayangan Sukma 25 Datuk Sesat Bukit Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggarap bagian terakhir dari ilmu kebalku! Dan
yang perlu kau ketahui, anak buahmu Tugi Sama
dan Sura Jaya sudah mampus di tangan mereka!"
Wajah Agung Seta menjadi marah.
Malam yang mendekati pagi, saat itu pula dia
memerintahkan sisa-sisa anak buahnya untuk
mencari ketiga orang itu.
Dan malam yang hening itu harus kembali diro-
bek oleh hiruk pikuk dan jerit ketakutan para
penduduk. Namun bayangan ketiga orang itu tidak nam-
pak. Begitu pula dengan Tari.
Sebagian penduduk merasa gembira karena
Pandu dan Tari selamat. Mereka tidak menyangka
kalau Pandu akan nekat menolong kekasihnya.
Dan mereka juga gembira mendengar dua nama
asing tadi disebutkan. Apakah mereka manusia-
manusia penolong yang dikirimkan oleh dewata"
Namun kegembiraan itu hanya sejenak, karena
Tumbalpala menjadi murka begitu Agung Seta me-
laporkan tak ada tanda-tanda ketiga manusia itu berada di sana.
"Bunuh semua penduduk!" serunya keras.
Dan pembantaian itu pun terjadi dengan hebat.
Jerit kematian dan darah mengalir membasahi de-
sa itu. Agung Seta, Morodama, Wiromaya, Surapati
dan Baurekso, secara membabi buta melemparkan
cakram mereka yang dengan ganasnya mencari
mangsa. Di samping itu mereka juga geram dengan te-
wasnya lagi sahabat mereka Tugi Sama dan Sura
Jaya. Namun tiba-tiba melesat selarik sinar merah
dan beberapa anak panah ke arah mereka.
Semuanya tersentak kaget.
Serentak Agung Seta, Morodama dan Baurekso
menghindar. Namun malang bagi Wiromaya dan
Surapati yang harus termakan oleh sinar merah
itu dan anak panah.
"Bangsat! Cepat kalian keluar dari tempat persembunyian kalian! Jangan mirip
perempuan yang hanya bisa menangis dan bersembunyi!" bentak Agung Seta sambil menarik pulang
senjata cakramnya.
Dan ketiga pasang itu terbelalak ketika sosok
tubuh keluar dari balik semak. Sosok tubuh gemulai dan aduhai dengan wajah
jelita. Dia tak lain adalah Ambarwati.
"Hihihi... apakah aku mirip perempuan" Aku memang perempuan! Kau salah memaki,
Manusia besar!" Dari rasa marah dan murka, Agung Seta berba-
lik gembira. "Hahaha... rupanya kelinci manis yang berbuat onar seperti ini! Hei, menyerahlah
kau! Sini men-dekatlah padaku, biar kau kudekap dan tak kule-
paskan lagi... kayaknya kau cukup layak mene-
maniku tidur!"
Ambarwati menekan rasa marah dan muaknya.
Dia melangkah dua tindak dan berkata, "Manusia-manusia bejat, hendaknya kalian
tinggalkan tempat ini! Dosa kalian sudah terlampau banyak
dan tak terhitung!"
"Hahaha... kau menasehatiku, Manis" Oh, itu
baik sekali! Aku suka diberi nasehat oleh kelinci manis dan montok macam kau!"
Tiba-tiba terdengar suara Tumbalpala dengan
nada angker. "Agung Seta! Buat apa kau banyak cakap lagi, hah"! Cepat kau tangkap perempuan
itu! Dia adalah salah seorang dari tiga pengacau yang meng-
ganggu kerjaku! Cepat kau bereskan dia! Dan cari yang dua orang lagi! Cepat, aku
sudah tidak tahan untuk menyianginya dan membunuhnya secara
perlahan-lahan!"
Agung Seta mendesah pelan. Agaknya merasa
sayang melihat gadis itu yang harus ditangkap dan diserahkan pada Tumbalpala.
Yang tentunya akan
membunuhnya dengan kejam.
Namun tak ada pilihan lain kecuali bergerak
menangkap gadis itu.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan,
Ambarwati pun meloloskan pedangnya.
"Hahaha... rupanya kelinci manis ini galak juga!
Morodama, kau tangkap dia!" seru Agung Seta.
Morodama terkekeh sambil menggebrak maju.
Ambarwati pun segera melayaninya.
Pukulan ke depan yang dilancarkan Morodama,
hanya disambutnya dengan memiringkan kepa-
lanya ke kiri. Lalu ditebaskannya pedangnya ke arah leher
Morodama yang bersalto ke belakang.
"Hebat!"
"Kau akan melihat lagi pertunjukan yang hebat sebelum lehermu putus kutebas!"
seru Ambarwati.
Morodama pun mempergencar serangannya.
Dan serangan itu sungguh suatu serangan yang
sangat cabul. Tangan-tangannya malah berusaha
menyentuh dan menepuk bagian-bagian tubuh
terlarang dari Ambarwati.
"Setan!" maki Ambarwati sambil menebaskan pedangnya ke tangan Morodama yang
hendak menyentuh buah dadanya.
"Hehehe... kau pelit sekali, Manis. Hanya sedikit saja kusentuh tak kau
perbolehkan. Kau macam
apa sebenarnya, hah"! Ayolah, jangan berpura-
pura. Bukankah kau memang menginginkannya"!"
"Setttaaann!" jerit Ambarwati murka. Lalu dia bergerak cepat menyerang.
Namun Morodama tetap saja mengimbanginya
dengan santai. Bahkan sekali waktu tangannya
berhasil menepuk pinggul Ambarwati.
"Hehehe... betapa montok dan lembutnya ping-gulmu, Manis.... Buat apa kita
bersusah payah bertempur" Lebih baik kau menyerahkan diri saja!
Dengan senang hati kami akan menyambut keda-
tanganmu itu... hehehe!" tertawa Morodama sambil cengengesan.
"Setan!" maki Ambarwati geram. Lalu dengan cepat dia kembali menyerang.
Kibasan pedangnya gencar dan cepat mencari
sasaran. Kali ini Morodama tidak bisa berbuat banyak, karena dia tengah melawan
Ambarwati yang tengah murka. Dan di ambang kewalahannya, Morodama tiba-
tiba bersalto dan mencabut senjata cakramnya.
Lalu dilemparkannya pada Ambarwati yang masih
terus menyerang.
"Wuutt! Suiiing!" Sambaran angin dan desing suara senjata itu bagaikan maut yang
siap men-jemput. Dan seakan ada ribuan tawon yang me-
nyerbu dengan sengatan-sengatan yang memati-
kan. Sebisanya Ambarwati menangkis, menghindar,
bergulingan menghindari sambaran-sambaran ca-
kram itu. Namun tiba-tiba senjata yang cukup aneh itu
mendadak terpental karena selarik sinar merah
menghantamnya. Dan sungguh menakjubkan,
sambaran sinar merah itu demikian kerasnya,
hingga senjata cakram itu terpental pulang pada pemiliknya.
Morodama menjadi terkejut, sebisanya dia
menghindar. Namun tak urung bahunya terserem-
pet oleh senjatanya sendiri. Mengeluarkan darah.
"Anjing! Siapa yang membokong ini!" makinya sambil menekap darah yang mengalir.
Dari balik semak-semak, meloncatlah dua orang
laki-laki. Mereka adalah Pranata Kumala dan Pan-du. Ambarwati sendiri mendesah
lega. Bila saja suaminya terlambat membantu, tentu nyawa tak
akan bisa selamat. Tetapi dia yakin, tentunya suaminya tak akan membiarkannya
celaka ataupun terluka. Melihat dua orang datang lagi, Morodama men-
dengus. Begitu pula dengan Agung Seta dan Bau-
rekso. Keduanya langsung mencari lawan masing-
masing. Dan tak ada yang banyak bicara lagi.
Mereka sudah saling tempur dengan hebat.
Para penduduk yang menyaksikan pertempuran
tadi dari dalam rumah masing-masing.
Mereka terkejut melihat Pandu berada di antara
yang saling tempur. Dan mereka berdoa agar ketiganya bisa memenangkan
pertempuran itu.
Agaknya Pranata Kumala dan istrinya mampu
mengimbangi kedua lawannya. Sementara Pandu
yang menghadap Baurekso harus menerima bebe-
rapa kali pukulan dan tendangan dari lawannya.
Melihat hal itu, Pranata segera melepaskan pu-
kulan sinar merahnya pada Baurekso. Baurekso
yang sedang asyik dan geram melepaskan pukulan
dan tendangannya secara beruntun pada Pandu,
tidak melihat selarik sinar merah menuju padanya.
Tanpa ampun lagi, tubuhnya terkena sinar me-
rah itu. Dan ambruk dengan tubuh hangus tanpa
bisa menjerit sedikit pun. Mati!
Melihat hal itu Agung Seta dan Morodama se-
makin mempergencar serangannya. Pranata Ku-
mala pun segera mengimbanginya dengan jurus
Tangan Bayangannya.
Ambarwati pun mempergencar permainan pe-
dangnya. Sementara Pandu menyingkir sambil menahan
rasa sakitnya. Tiba-tiba Pranata Kumala dan Ambarwati mera-
sakan ada serangkum angin besar menuju pa-
danya. Keduanya tak sempat mengelak.
Keduanya terpelanting.
Keduanya ambruk.
Dan keduanya muntah darah.
Ketika mereka melihat siapa yang menyerang,
datuk Tumbalpala sudah berdiri dengan kaki ter-
buka gagah di hadapan keduanya.
"Hhhh! Kalian sudah ditakdirkan untuk mam-
pus di tempat ini rupanya!" berkata Tumbalpala dengan wajah yang menyeringai
menyeramkan. Mirip iblis. "Hhh! Kami tidak takut mati untuk membela
kebenaran!" seru Pranata Kumala.
"Besar pula omonganmu!"
"Lakukanlah bila kau mampu!" tantang Pranata Kumala dengan gagah.
"Setan!" Lalu tangan kanan Tumbalpala bergerak lagi. Dan serangkum angin besar
menderu menghantam Pranata Kumala hingga bergulingan.
"Kakang!" jerit Ambarwati yang melihat suaminya kelojotan kesakitan dan muntah
darah. Dipegangnya tangan suaminya yang nampak
lemah, namun suaminya masih berusaha untuk
tersenyum. "Rayi...."
Hati Ambarwati menjadi pilu dan marah. Tiba-
tiba dia berdiri menyerang Tumbalpala. Pedangnya mencecar dengan hebat.
Namun datuk sesat itu hanya terkekeh dengan
wajah iblisnya. Membiarkan saja pedang Ambar-
wati membacoki seluruh tubuhnya.
Dan tak satu pun bacokan pedang itu yang
membuat tubuhnya terluka.
Begitu pula dengan panah Pandu yang harus ja-
tuh ke tanah setelah mengenai sasarannya. Dan
tak membuat tubuh Tumbalpala terluka.
Malah tubuh Pandu yang harus bergulingan ke-
tika tangan kanan Tumbalpala bergerak.
Begitu pula dengan Ambarwati yang harus kelo-
jotan muntah darah. Dadanya bagaikan dihantam
oleh godam yang sangat keras dan berat, hingga
membuatnya remuk terasa di dada.
Tumbalpala pun tak mau bertindak tanggung
lagi. Dia menyiapkan kembali pukulan pada kedua tangannya, yang siap dikibaskan
pada orang-orang yang telah tak berdaya itu.
Dan kedua tangan itu bergerak.
Namun suatu keajaiban terjadi. Saat kedua tan-
gan itu bergerak, tubuh Tumbalpala terjengkang
ke belakang. Dan pukulan Serangkum Angin yang
menderu pada Pranata Kumala dan Ambarwati,
membelok ke kiri dan menghantam sebuah pohon
besar hingga tumbang.
Tumbalpala terkejut. "Mengapa jadi begini?"
Begitu pula dengan Agung Seta dan Morodama.
Tak kalah herannya Pranata Kumala dan Am-
barwati yang hanya bisa memejamkan mata me-
nunggu ajal. Dan tak jauh dari mereka berdiri dua sosok tu-
buh dengan gagah. Yang satu seorang laki-laki setengah baya yang arif dan
bijaksana. Wajahnya
memancarkan sinar yang menyejukkan. Dia men-
genakan jubah berwarna putih. Yang seorang lagi, seorang wanita yang nampak
cantik jelita. Di
punggung wanita itu terdapat dua buah pedang
yang bersilangan.
"Ayah! Ibu!" seru Pranata Kumala dan Ambarwati berbarengan begitu mengetahui
siapa kedua orang itu adanya.
Kedua orang yang muncul itu tak lain dan tak
bukan adalah Madewa Gumilang alias Pendekar
Bayangan Sukma dan istrinya Ratih Ningrum.
Keduanya tersenyum pada Pranata Kumala dan
Ambarwati. Ratih Ningrum segera menghampiri
anak dan menantunya. Sementara Madewa Gumi-
lang berdiri gagah berhadapan dengan Tumbalpala yang sudah terdiri kembali.
Madewa tersenyum arif.
"Maafkan aku, Saudara... yang telah lancang mengganggu keasyikan Saudara!"
Tumbalpala yang mendengar tadi Pranata Ku-


Pendekar Bayangan Sukma 25 Datuk Sesat Bukit Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mala memanggil kedua orang yang baru datang
"ayah dan ibu," langsung menduga siapa laki-laki ini adanya. Tentunya dia Madewa
Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma.
"Hmm... rupanya kau Madewa Gumilang alias
Pendekar Bayangan Sukma, bukan?" katanya dengan suara yang angker. "Ah, nama
besarmu agaknya sudah setinggi langit dan sedalam lautan.
Dengan Pukulan Bayangan Sukma kau dianggap
sebagai manusia dewa di dunia ini, karena tak ada satu pun yang dapat menandingi
kesaktian pukulanmu itu. Dan tak satu benda pun yang dapat
sanggup menahan hebatnya pukulanmu. Tapi di
hari ini, aku Tumbalpala, majikan Bukit Kubur
yang akan menghentikan semuanya. Bahkan
membunuhmu, Madewa Gumilang!"
Madewa tetap tersenyum arif. Dia sudah bisa
menduga siapakah orang ini sebenarnya. Juga dua orang yang berdiri di dekatnya
yang memegang senjata berupa cakram.
Madewa pun menduga apa yang telah menimpa
desa ini, melihat situasi desa yang sunyi dan len-gang. Dan kini porak poranda
dengan mayat ber-
gelimangan di sana sini.
Tentunya orang itu dengan telengas menurun-
kan tangannya. "Sebenarnya kita tidak punya silang sengketa, Tumbalpala. Tapi agaknya keonaran
yang kau timbulkan ini memanggil naluriku untuk meng-
hentikannya. Maafkan aku, yang mengganggu ke-
tenanganmu."
"Jangan jual lagak di depanku! Sudah lama aku ingin menaklukkan jago-jago rimba
persilatan. Dan agaknya, kaulah orang pertama yang akan
mampus di tanganku!"
"Maafkan aku...."
"Manusia sombong! Awas seranganku!" Tumbalpala menggerakkan tangan kanannya.
Serang- kum angin besar menderu pada Madewa.
Madewa melompat ke kiri dengan ringannya.
Angin itu menerpa sebuah pohon yang langsung
tumbang, roboh.
"Luar biasa!" desis Madewa.
"Dan kau akan menyaksikan yang lebih hebat lagi!" seru Tumbalpala seraya
menerjang dengan pukulan-pukulan saktinya, cepat dan membabi
buta. Madewa pun menggunakan jurus menghindar-
nya, jurus Ular Meloloskan Diri. Lalu disusul dengan jurus Ular Cobra Bercabang
Tiga, yang mem-
buat tangannya seolah bergerak bagaikan seribu.
Cepat dan tangkas.
Tumbalpala pun sudah menggunakan jurus
yang dipelajarinya. Yaitu jurus ilmu kebalnya.
Patukan-patukan jurus ular Madewa tak ba-
nyak berarti bagi tubuh Tumbalpala.
Madewa bersalto dan menarik kembali jurus-
nya. Tumbalpala terbahak.
"Hahaha... rupanya hanya begitu saja nama besar dari Madewa Gumilang! Nama yang
ternyata kosong belaka! Cepat kau keluarkan pukulan sak-
timu itu, Madewa! Pukulan Bayangan Sukma! Ayo,
mengapa kau ragu" Atau kau ngeri melihat kehe-
batan ilmu kebalku"!"
Madewa tetap tersenyum arif.
"Kau agaknya terlalu sesumbar dan meman-
dang sebelah mata padaku, Tumbalpala...."
"Malah aku memandangmu dengan kedua mata
tertutup! Karena nama besarnya tak lebih dari
seonggok taik kucing belaka, Madewa!"
"Nah, kau bersiaplah sekarang!" desis Madewa sambil membuka jurusnya lagi.
Pukulan Tombak Menghalau Badai.
"Hahaha... keluarkan semua jurus yang kau
punya! Ayo, hantam aku! Hantam!"
Sementara Agung Seta dan Morodama pun ten-
gah bersiap-siap untuk membokong Madewa den-
gan melemparkan senjata cakram mereka.
Keduanya yakin nama besar Madewa Gumilang
bukanlah nama kosong belaka.
Dan keduanya mempersiapkan senjata mereka.
Namun agaknya Ratih Ningrum dapat mencium
gelagat yang tidak menguntungkan itu. Dia pun
bersiap-siap untuk menghadapi kedua manusia
itu. Begitu Madewa melepaskan pukulannya pada
Tumbalpala. serentak pula Agung Seta dan Moro-
dama melemparkan senjata cakram mereka. Dan
melesat pula Ratih Ningrum sambil mencabut ke-
dua pedang kembarnya dan memapaki senjata ca-
kram itu. "Trang!"
"Trangg!"
Senjata-senjata itu beradu. Dan kedua cakram
itu pun jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ratih Ningrum untuk maju
menyerang. Agung Seta dan Morodama yang tidak me-
nyangka kalau sikap pengecut mereka diketahui
oleh Ratih Ningrum, tak bisa berbuat banyak
menghadapi serangan-serangan sepasang pedang
kembar Ratih Ningrum.
"Ces!"
"Ces!"
Keduanya pun tersambar oleh pedang itu dan
terluka. Hal ini makin membuat keduanya nekat.
Ratih Ningrum pun bergerak dengan cepat. Dia
memasukkan jurus pukulan tangan seribunya
dengan gerakan pedang.
Dan pedang itu bergerak seakan menjadi seribu.
Membuat Agung Seta dan Morodama menjadi
kaget, terkejut dan kewalahan.
Pedang itu bergerak dengan kecepatan yang
luar biasa. Dua jurus kemudian, Agung Seta dan
Morodama mati langkah. Tanpa ampun lagi pe-
dang Ratih Ningrum pun menemui sasarannya.
Matilah sisa dari gerombolan carok itu.
Sementara itu, Madewa tengah melancarkan
pukulan Tembok Menghalau Badainya. Namun la-
gi-lagi Tumbalpala hanya tertawa-tawa saja begitu pukulan tadi mengenai bagian-
bagian dari tubuhnya.
Ilmu kebal yang dipelajarinya hampir mencapai
tingkat yang sempurna.
Madewa bersalto ke belakang.
"Hebat! Sayang ilmu sehebat itu kau gunakan untuk kejahatan, Tumbalpala!"
"Hahaha... bilang saja kau jeri menghadapi ilmu kebalku, Madewa!" seru
Tumbalpala sambil terbahak. Lalu ganti dia menyerang dengan Pukulan
Tapak Anginnya. Yang menderu-deru dengan dah-
syat menimbulkan angin yang cukup besar.
Madewa dengan menggunakan jurus Ular Melo-
loskan Diri berhasil menghindari serangan-
serangan itu. Namun lewat lima jurus kemudian, satu puku-
lan masuk menggedor dada manusia sakti itu.
"Hahaha... terimalah ajalmu sekarang, Made-wa!" seru Tumbalpala sambil menyerang
lagi. Tetapi keajaiban terjadi. Tangan Tumbalpala
yang sudah dialiri tenaga sakti dan tubuh yang
melesat dengan cepat, mendadak tubuh itu berba-
lik, seolah menerpa sebuah tembok yang sangat
tebal. "Akkkh!" jerit Tumbalpala sambil jatuh bergulingan.
Itulah salah satu kesaktian dari Madewa Gumi-
lang. Dulu secara tidak sengaja dia menghisap sari rumput sakti Kelangkamaksa
yang membuatnya
menjadi sakti dengan adanya tenaga dorongan
yang keluar dari tubuhnya tanpa bisa dia rasakan (Baca: Pedang Pusaka Dewa
Matahari). Kesaktian itu keluar bila keadaan Madewa ter-
desak, dan emosinya menurun. Tetapi bila dia dalam keadaan emosi, kesaktian yang
tak bisa terlihat oleh pandangan mata itu tak akan keluar.
"Bangsat! Ilmu apa yang kau pakai itu, Made-wa"!" seru datuk kerempeng sambil
mengusap mu-lutnya yang mengeluarkan darah.
Madewa tersenyum arif.
"Sadarlah, Tumbalpala...."
"Anjing buduk! Jangan berkhotbah di depanku, Madewa!" maki Tumbalpala sambil
menyiapkan kembali pukulan Tapak Anginnya. Kali ini diim-bangi dengan ilmu
kebalnya. Madewa masih berusaha menyadarkan Tum-
balpala. "Sadarlah, Tumbalpala...."
"Bangsat! Keluarkan ilmu pukulan Bayangan
Sukma! Ayo, aku ingin melihat sampai di mana
kehebatannya!"
Madewa tersenyum. "Bila itu yang kau inginkan, baiklah."
Madewa lalu merapal ilmu pukulan Bayangan
Sukma. Dan merangkum kedua tangannya di da-
da. Terlihatlah asap putih mengepul dari kedua
tangannya. "Bersiaplah, Tumbalpala!"
"Hahaha... pukulan Bayangan Sukma tak ba-
nyak membawa arti buatku, Madewa!" katanya sombong dan congkak. "Majulah!"
Lalu Madewa pun menderu maju.
Begitu pula dengan Tumbalpala yang sudah
menyiapkan pukulan Tapak Anginnya dan ilmu
kebalnya. Suasana mencekam. Tegang dan hening.
Dan kedua pukulan maha sakti itu pun berben-
turan. Hingga menimbulkan ledakan yang hebat.
"DUUUAAARR!"
Tubuh keduanya terpental ke belakang. Madewa
bergulingan dan muntah darah. Begitu pula den-
gan Tumbalpala. Tetapi datuk kerempeng itu cepat bangkit dan terbahak.
"Hahaha... hanya segitu saja Pukulan Bayangan Sukmamu, Madewa!" serunya lalu
bergerak perlahan.
Dar mendadak gerakannya menjadi pelan, ma-
kin pelan dan sangat pelan. Tiba-tiba dia muntah darah. Dan ambruk dengan
meregang nyawa!
Madewa mendesah panjang. Betapa hebatnya
ilmu kebal milik Tumbalpala. Andaikata sudah
mencapai tingkat yang sempurna, mungkin tak sa-
tu pukulan pun yang bisa mengalahkannya.
Ratih Ningrum menghampiri suaminya.
Begitu pula dengan Pranata Kumala dan Am-
barwati. "Tamat sudah riwayat Tumbalpala," kata Madewa. "Dinda Ratih... apakah tidak
sebaiknya kita pulang, kembali ke Perguruan Topeng Hitam" Bukankah rindumu sudah
tuntas melihat Pranata
Kumala dan Ambarwati?"
Ratih Ningrum mengangguk sambil tersenyum.
"Iya, Kanda... rindu Dinda sudah tuntas. Pranata dan Ambar, apakah kalian akan
meneruskan petualangan kalian?"
Pranata mengangguk. "Iya, Ibu. Saya dan istri saya akan melanjutkan petualangan
kami...." "Kalau begitu, hati-hatilah. Mari, Kanda!" kata Ratih Ningrum. Dan "wuuut!"
tubuh keduanya sudah lenyap dari pandangan mata.
Pandu yang masih terluka, bangkit mengu-
capkan terima kasih pada Pranata Kumala dan is-
trinya. Lalu Pranata dan istrinya pun berpamitan untuk meneruskan petualangan
mereka. TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Document Outline
*** 2 *** 3 *** *** 4 *** 5 *** 6 *** 7 *** *** 8 TAMAT Kelelawar Hijau 6 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Kisah Tiga Kerajaan 31
^