Pencarian

Pertarungan Para Pendekar 1

Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar Bagian 1


PERTARUNGAN PARA
PENDEKAR Oleh Fahri Asiza
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode: Pertarungan Para Pendekar
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Padepokan Angsoka pagi itu sunyi. Tak bersua-
ra. Bahkan kokok ayam jantan pun nyaris hilang.
Embun pagi masih basah. Membasahi rumput-
rumput hijau dan pohon-pohon yang berada di se-
kitar sana. Di ujung sana, Gunung Lawu berdiri dengan
angker. Ditutupi kabut tebal. Udara dingin, me-
nembus tulang sumsum. Penuh misteri.
Begawan Batista menatap murid-muridnya yang
duduk berlutut dengan sikap semedi. Tak ada
yang membuka mata. Begawan itu berjalan perla-
han, hilir mudik. Memperhatikan murid-muridnya
yang tetap terpejam.
Sikapnya tegang.
Penuh pikiran. Begawan yang sudah berusia 65 tahun itu ber-
henti melangkah. Mendesah. Pelan. Dingin. Kaku.
Dia mengusap dagunya yang berjanggut putih.
Pelan. Diresapi. Tapi jelas penuh pikiran.
Perlahan keluar kata-kata dari bibirnya, "Mungkin kalian heran mengapa aku
menyuruh kalian
berkumpul di sini. Memang ada sesuatu yang hen-
dak kubicarakan."
Hening. Hanya desir angin yang terdengar.
Murid-muridnya hanya bertanya dalam hati.
Ada apa" Kenapa Sang Guru memanggil dan men-
gumpulkan mereka pagi ini"
"Ada apa?"
"Semalam aku mendapat surat misterius, entah dari siapa," Sang Begawan berkata
lagi. "Surat itu berisi, menantang padepokan kita untuk bertarung
di Gunung Pengging."
"Semalam aku bingung memikirkannya. Entah
dengan maksud apa pengirim surat misterius itu
menantang kita. Dan yang ku tahu, padepokan
Resi Gohkarna berdiam di sana. Dugaanku, apa-
kah dia yang telah mengirimkan surat tantangan
itu?" Hening. Hanya langkah sang Begawan yang terdengar.
Murid-muridnya yang berjumlah lima puluh orang,
menggeram dalam hati.
Jengkel. "Dalam hal ini, kuharap kalian jangan terpengaruh. Itu hanya dugaanku. Pagi ini,
aku mengum- pulkan kalian, hendak menugaskan beberapa
orang di antara kalian untuk menyelidik ke sana.
Hanya menyelidik. Aku juga menduga, mungkin
ada orang ketiga yang hendak mengadu domba."
"Sekarang buka mata kalian, kerahkan pernafasan selembut mungkin. Tahan dan
lepas perlahan-
lahan." Murid-murid sang Begawan melaksanakan pe-
rintahnya. Dengan tujuan agar rasa jengkel meng-
hilang. Sang Begawan menatap tiga orang murid-
nya yang duduk paling depan.
"Lesmana, Mantari Dan Anggada, kalian adalah murid-murid pilihanku yang
mengemban tugas ini.
Bagaimana pendapat kalian?"
Lesmana, pemuda bertubuh tegap dengan wa-
jah tampan dan dagu kukuh menjawab, "Guru...
apakah tidak sebaiknya kami melihat dulu surat
misterius itu?"
"Benar, Guru," sambung Mantari seorang gadis yang berumur delapan belasan sambil
mengangguk. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya hitam.
Wajahnya cantik. Alisnya tebal. Dan bibirnya me-
merah. Kedua matanya bersinar terang, menanda-
kan dia gadis yang ceria.
"Maafkan aku, untuk saat ini tak akan kuperlihatkan."
"Kenapa, Guru?" tanya Anggada. Pemuda yang bertubuh besar dengan wajah yang
terlihat kasar itu mengerutkan keningnya.
"Kalian hanya aku beri tugas untuk menyelidik.
Bukan untuk melihat surat misterius itu," sahut sang Begawan tegas. Ia duduk
bersimpuh di hadapan para muridnya. Jubah putihnya menutupi ke-
dua lututnya yang kukuh jika berdiri.
Tak ada yang bersuara. Padepokan itu hening
kembali. Namun pertanyaan dalam hati murid-muridnya
bertalu-talu. Bagaimana mungkin surat misterius
itu bisa datang tanpa sepengetahuan mereka" Ju-
ga sang guru. Apakah sangat tinggi ilmu yang dimiliki pengi-
rim surat misterius itu, sehingga sang guru yang
tinggi ilmunya pun tidak mengetahuinya"
Sebenarnya, Begawan Batista sudah mengira-
ngira, siapa yang bisa melakukan itu tanpa sepen-
getahuan mereka. Hanya Resi Gohkarna dengan
ajian Bayumati, itu sebabnya dia menugaskan ke-
tiga murid pilihannya untuk menyelidik ke sana.
Untuk tahu apa maksud Resi Gohkarna menan-
tang mereka. Sang Begawan menatap ketiga murid yang dipi-
lihnya. "Siapkah kalian untuk melaksanakan tugas
ini?" Ketiga muridnya yang digemblengnya hampir
sepuluh tahun itu mengangguk dengan mantap.
"Hanya ingat," sambung Sang Begawan, "Jangan membuat onar. Tunjukkan bahwa
kedatangan kalian dengan maksud baik. Ingat pula, ini bukan
menjawab tantangan. Tapi untuk mengetahui,
mengapa mereka mengirim tantangan pada kita."
"Baik, Guru." Lesmana mengangguk seraya menghormat.
"Mantari," panggil Sang Begawan.
Mantari mengangguk. "Ya, Guru?"
"Kau seorang gadis, cantik pula. Ada baiknya kau menyamar sebagai laki-laki
sebelum berangkat."
"Baik, Guru."
"Anggada."
"Ya, Guru."
"Kau jaga kedua adik seperguruanmu ini, Jan-
gan sampai mereka lewat dari garis yang telah ku-
tetapkan."
"Baik, Guru." Pemuda bertubuh tegap itu mengangguk.
"Nanti malam, kalian temui aku di ruang sema-diku. Sedangkan yang lain, tetap
berlatih seperti
biasa. Menjaga ketentraman padepokan ini."
Begawan Batista berdiri, murid-muridnya seren-
tak berdiri. Memberi hormat. Begawan Batista se-
gera melangkah ke ruang khususnya, yang dina-
makan ruang semadi.
Murid-muridnya bubar.
Berlatih seperti biasa.
Padepokan Angsoka adalah sebuah padepokan
yang terkenal yang terletak di sebelah utara Gu-
nung Lawu. Padepokan yang dipimpin oleh Bega-
wan Batista sendiri.
Dulu Sang Begawan adalah ksatria Majapahit
yang mengabdi selama tiga puluh tahun. Setelah
Raden Wijaya meninggal, dia pun mengundurkan
diri. Selama lima tahun dia bertapa di Gunung Lawu
sampai akhirnya mendirikan padepokan Angsoka
yang berarti di atas langit ada langit.
Walaupun memiliki ilmu kanuragan yang hebat,
Begawan Batista tak pernah menggunakannya un-
tuk kejahatan. Bahkan sebelum dia bertapa di le-
reng Lawu, di sana ada komplotan perampok yang
sangat kejam. Penduduk di sekitar gunung itu se-
lalu dicekam rasa ketakutan.
Tak ada yang berani melawan.
Melihat keangkaramurkaan itu, Begawan Batis-
ta segera turun tangan. Dilatihnya para pemuda
desa itu ilmu kesaktian dengan dorongan seman-
gat yang membaja. Lambat laun mereka mau ber-
tindak. Dengan keberanian yang luar biasa, mere-
ka membasmi para perampok itu sampai ke akar-
akarnya. Begawan Batista yang waktu itu masih bernama
Wilkatama diangkat sebagai kepala desa. Namun
sang Begawan menolak. Dia menyingkir agak ke
Utara. Untuk menyumbangkan ilmu kesaktian yang
dimilikinya, akhirnya Wilkatama mendirikan pade-
pokan Angsoka dan bergelar Begawan Batista.
Selama sepuluh tahun lebih keadaan padepo-
kan Angsoka aman dan tentram.
Tak ada goresan noda di atas nama itu.
Namun semalam, tanpa diduga datang surat
tantangan entah dari siapa. Walaupun Begawan
Batista menduga kuat kalau surat itu datang dari
Resi Gohkarna, namun dia masih tetap ragu, men-
gingat hubungan mereka selama ini sangat akrab.
Bahkan mereka pernah menganggap diri seba-
gai saudara. Lalu apa maksud dari semua ini"
Siapa yang harus dicurigai"
Suasana yang mengherankan itu dibicarakan
Lesmana, Mantari dan Anggada di ruang belakang.
"Apakah ini bertanda tidak baik, Kakang Les-
mana?" tanya Mantari dengan suara lembutnya.
"Aku pun tidak tahu, Rayi Tari," Lesmana menarik nafas panjang. Menatap Anggada,
"Bagaimana dengan tanggapan Kakang Anggada?"
"Entahlah, Lesmana. Aku pun tidak tahu. Tapi kuharap, dugaan Rayi Tari tidak
menjadi kenya-taan." Walaupun wajahnya kasar dan seram, namun Anggada punya
sifat yang dibanggakan. Dia
penyabar. Penyayang. Bahkan suka mengalah wa-
laupun dengan adik-adik seperguruannya.
"Bagaimana jika benar, Kakang?" tanya Mantari.
"Apakah Rayi mengharapkan demikian?" tanya Anggada sungguh-sungguh menatap wajah
cantik gadis lereng Lawu itu.
Mantari menggelengkan kepala. "Sudah tentu
tidak, Kakang. Namun aku kuatir. Ketentraman
yang selama ini telah terjadi bisa jadi berantakan."
"Aku pun menguatirkan itu." Anggada menatap Gunung Lawu yang berdiri tegar.
Kabut mulai menepi. Matahari menyapu seisi alam, terang. Namun
alam tetap bertahan dengan misterinya.
"Kakang..." panggil Lesmana. "Jika memang orang-orang Resi Gohkarna yang berbuat
apa yang harus lakukan" Menyerang mereka?"
"Sudah tentu tidak, Lesmana. Kita harus mema-tuhi tugas yang diberikan guru.
Kita hanya menye-
lidiki, apa mereka yang mengirimkan surat itu dan kenapa mereka menantang kita?"
"Andaikata benar, seharusnya kita sikat saja, Kakang!" Tari menggeram sambil
mengepalkan tangannya. "Tidak. Jangan lakukan itu."
"Mereka menghina kita, Kakang!" kata Mantari keras kepala. Marah dia karena ada
yang berani menantang padepokan mereka.
"Tari... belum tentu mereka yang melakukan
ini." Sahut Anggada sabar.
"Kan kubilang jika benar!" sahut Mantari ngotot.
Sifatnya yang sebenarnya sudah kelihatan.
Anggada tersenyum sabar. "Kita lihat apa yang akan dikatakan Guru nanti malam."
Mantari mendengus. "Seharusnya kita sikat sa-
ja!" gerutunya sambil berlalu. Jalannya dihentak-kan. Mulutnya cemberut.
Lesmana terbahak.
Anggada tersenyum.
"Guru agaknya salah menugaskan Mantari," desisnya.
"Ha ha ha ha apa Kakang tidak tahu, kalau Rayi Tari suka pada Kakang?" Terbahak
Lesmana. Anggada tersipu. "Jangan mengada-ada, Les-
mana." "Kakang memang kuno! Tidak tahu hati perem-
puan! Lihat saja kalau dia menatap Kakang, begitu mesra!"
"Itu hanya perasaan kau saja, Lesmana. Tidak usah mengada-ada!" Desis Anggada
yang entah kenapa dadanya berdebar.
Lesmana masih terbahak. "Payah! Rayi Tari cantik, Kakang! Apa Kakang tidak
tertarik?"
Anggada terdiam. Benarkah dugaan Lesmana
itu" Memang, akhir-akhir ini dia suka melihat si-
kap Mantari yang lain seperti biasanya. Sering pu-la Anggada melihat adik
seperguruannya itu men-
curi pandang. Kalau bentrok tersipu.
Memerah. Ah... andaikata benar" Lho, kenapa jadi ke sa-
na. Anggada menepiskan bayangan itu.
Menatap Lesmana yang masih tertawa.


Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Atau kau yang sebenarnya naksir pada Rayi
Tari, Lesmana?" kata Anggada tiba-tiba.
Tawa Lesmana seketika terhenti. Tapi kemudian
dia tertawa. "Kau segitu saja sudah cemburu, Kakang..."
"Aku serius. Kau yang lebih pantas bersanding dengan Rayi Tari."
Kata-kata itu membuat Lesmana terdiam. Te-
gang. Tapi kemudian lagi-lagi tertawa.
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu dipikirkan itu."
"Memang tidak perlu kita pikirkan, ayo kita lihat yang lain latihan."
Keduanya melangkah.
Di depan halaman Padepokan Angsoka sekitar
40 orang murid sedang berlatih ilmu toya. Mantari yang memberi contoh berseru-
seru. "Kalian harus penuh! Jangan tanggung men-
gayunkan toya. Sabet dengan keras! Ayo lakukan
lagi!" Anggada yang melihat dari jauh tersenyum. Be-
nar-benar cekatan. Ah, dia pun seperti baru me-
nyadari akan kecantikan adik seperguruannya itu.
Dia manis. Cantik. Manja. Namun kadang suka
ngambek pula. Andaikata benar yang dikatakan Lesmana,
alangkah senang. Tapi apa benar dia menyukaiku"
Dia masih muda.
Aku" Sudah berumur 28 tahun. Perbedaan se-
puluh tahun itu sangat jauh. Dia lebih cocok den-
gan adik Lesmana yang baru berusia 23 tahun!
Wajah Lesmana pun lebih tampan daripadaku. En-
tah kenapa tahu-tahu Anggada mengeluh. Lesma-
na yang agak bandel, menoleh. Lalu tersenyum
melihat pandangan kakangnya lekat pada Mantari.
"Dia memang cantik,," katanya tanpa menoleh
pada Anggada, seolah berucap sendiri. "Luwes.
Menggemaskan. Manja. Juga... ya cantik..."
Anggada seperti tersadar. Dia melirik, "Siapa maksudmu Lesmana?" tanyanya polos.
"Dia memang cantik, Kakang." Lesmana tetap tidak menoleh. Malah mengangguk-
angguk. "Siapa?"
"Siapa lagi?" Lesmana tersenyum menggoda.
Kali ini menoleh.
Kening Anggada berkerut. "Aku tidak mengerti,"
katanya polos masih belum tahu kalau sedang di-
goda. "Ya... si Rambut Panjang itu. Rayi Mantari, Kakang," sahut Lesmana seraya
berlari sebelum Anggada sempat memukulnya karena gemas.
Dia bergabung dengan yang sedang latihan,
sambil tersenyum-senyum.
Anggada mendesah dalam hati.
Panjang. Gemas. Tapi senang.
Tak sadar dia memperhatikan terus Mantari
yang tengah melatih para murid lainnya.
Malamnya, ketiga murid Padepokan Angsoka itu
menghadap Begawan Batista. Sang Begawan me-
mang sudah menunggu, terbukti dengan kopi pa-
hitnya yang tinggal setengah.
Ketiganya duduk di hadapan sang Guru.
Anggada merasa heran, karena tiba-tiba saja dia
merasa kikuk berdekatan dengan Mantari yang
terlihat sekali-sekali meliriknya. Dan terlihat wajahnya yang kadang memerah.
Lesmana hanya mesem-mesem saja.
Sekali lagi Sang Begawan menerangkan tugas
yang diberikan pada mereka.
Setelah itu dia berkata, "Aku bermaksud mem-
berikan kepada kalian tiga buah kitab kesaktian
yang sangat langka. Kitab ini kudapat dari orang
sakti yang bernama Trijata yang sudah lama wafat, dan makamnya berada di Gunung
Muria. Kini Gunung Muria didiami oleh sahabatnya yang sangat
sakti, Ki Ageng Jayasih. Konon kabarnya dia telah memiliki dua orang murid.
Pertama, Nindia yang
bergelar Dewi Penyebar Maut yang telah mati di
tangan manusia dewa Madewa Gumilang (baca:
Kakek Sakti dari Gunung Muria).
Lalu Pranata Kumala, dia adalah putra manusia
dewa Madewa Gumilang yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma. Konon kesaktian manusia dewa
itu tak ada yang menandinginya sampai saat ini.
Dia adalah Pendekar budiman dari golongan putih
yang selalu memerangi kejahatan. Pendekar yang
arif dan bijaksana."
Ketiga muridnya mendengarkan dengan tertib.
"Nama pendekar sakti itu sudah melambung ke
langit ke tujuh dan ke dasar bumi. Aku yang su-
dah tua ini sebenarnya sangat berharap sekali da-
pat berjumpa dengan manusia dewa itu, tetapi
agaknya jarak yang memisahkan kami sangat jauh
adanya. Nah, Anggada, untukmu pelajarilah kitab
Tapak Sepuluh. Lesmana, pelajarilah kitab Abot
Sewu. Dan untukmu Mantari, pelajarilah kitab
Manuk Mabur. Dan yang penting kalian ingat, ki-
tab itu hanya bisa dipelajari dalam satu malam.
Tidak bisa lebih. Matahari menampakkan biasnya,
harus sudah selesai. Jika kalian gagal, berarti se-
muanya gagal. Berarti kitab-kitab ini tidak berjo-doh dengan kalian. Dan tidak
bisa mengulangi
mempelajarinya lagi. Kalian mengerti?"
"Ya, Guru," ketiganya mengangguk.
"Nah, terimalah kitab ini." Sang Begawan Batista memberikan masing-masing
muridnya satu ki-
tab yang telah dipilihkannya. "Kalian harus mempelajarinya malam ini juga.
Besok, jika matahari
sudah sepenggalah, kalian harus segera berangkat
ke gunung Pengging. Dan ingat, aku sendiri yang
akan mencoba kemampuan kalian setelah mempe-
lajari kitab-kitab itu masing-masing, setelah bias matahari terlihat. Kalian
mengerti?"
"Kami mengerti, Guru," ketiganya mengangguk dengan sikap hormat.
"Nah, terimalah kitab ini." Sang Begawan memberikan masing-masing satu kitab.
"Kalian harus cepat mempelajarinya."
Walau terasa ngeri, mereka mengangguk.
Hanya satu malam, setelah itu dicoba pula.
Dan malam itu pula ketiganya segera mempela-
jari kitab yang diberikan guru mereka dengan te-
kun. Sedikit pun mereka tidak mengantuk, Ber-
konsentrasi penuh. Masing-masing berusaha me-
namatkannya. Hanya satu malam.
Luar biasa. Hanya satu malam.
Sebelum bias mentari pagi nampak, dari tempat
masing-masing terdengar desahan lega.
Mereka selesai.
Berhasil. Namun dalam kondisi yang sebenarnya sangat
letih itu, Begawan Batista mencoba kemampuan
mereka. Tapak Sepuluh yang dipelajari Anggada, adalah
sejenis ilmu kesaktian untuk berkelit. Sulit dikejar.
Langkahnya bagai berada di sepuluh penjuru. Dan
yang dahsyat, dalam berkelit secepat angin, Ang-
gada mampu mengeluarkan desingan angin yang
memekakkan telinga.
Abot Sewu yang dipelajari Lesmana, menjadi-
kannya bagaikan gunung yang tegar. Tak goyah
oleh hembusan apa pun dan dorongan tenaga apa
pun. Malah membuatnya sangat kebal terhadap
pukulan. Manuk Mabur yang dipelajari Mantari sama se-
perti ilmu yang dipelajari Anggada, hanya bedanya kedua tangan Mantari dapat
mematuk bagai burung dengan cepat. Dan hasil patukannya sangat
luar biasa, mampu menghancurkan batu sebesar
kambing hingga berkeping-keping.
Sang Begawan Batista tersenyum sangat puas
ketika melihat hasilnya setelah uji coba itu selesai dilaksanakan. Ketiga
muridnya benar-benar telah
berhasil menamatkan kitab-kitab sakti itu.
"Kalian harus berhasil melakukan penyelidikan ini. Saat ini pula kalian harus
meninggalkan padepokan. Doaku, semoga berhasil!"
Ketiganya mengangguk mantap.
Mentari sepenggalah, bersinar terang.
Lalu tiga sosok pun keluar meninggalkan Pade-
pokan Angsoka. *** 2 Matahari telah tinggi ketika mereka beristirahat
di sebuah hutan yang agak lebat. Suasana angker.
Sunyi. Sengatan matahari tak begitu terasa.
Terhalang pepohonan tinggi.
Selesai makan, Mantari yang sudah menyamar
sebagai laki-laki berkata, "Kakang... aku ingin mandi dulu. Kulihat ada sungai
di sana" Tari men-gipas-ngipas tubuhnya. Dia kelihatan berkeringat.
"Apakah tidak perlu menunggu sore, Rayi Tari?"
kata Anggada yang menyandarkan tubuhnya di
batang pohon. "Kakang Gada gimana sih!" Mantari merengut.
"Namaku Surajaga! Bukan Mantari lagi!"
"Ah... aku lupa," Anggada tersipu.
Lesmana mengulum senyum. "Soalnya namamu
melekat terus di benak Kakang Anggada, Sura,"
katanya menggoda.
Mantari yang menyamar sebagai Surajaga tersi-
pu. Lalu buru-buru lari ke sungai yang tak jauh
dari sana. Lesmana menatap Anggada yang terdiam, "Gi-
mana, Kakang" Benarkah dugaanku, kalau Rayi
Tari menaruh hati pada Kakang?"
"Kau ini masih bercanda saja, Lesmana. Sudahlah, istirahat dulu, Kita harus
meneruskan perja-
lanan lagi."
Lesmana tertawa pelan. Anggada memejamkan
matanya. Di sungai, Mantari sudah asyik berenang ke sa-
na ke mari. Air sungai yang sejuk membuatnya se-
gan untuk keluar dari sana. Mantari berendam.
Dibasuhnya sekujur tubuhnya.
Mentari tidak begitu panas. Walau menjilat tu-
buhnya yang kuning langsat.
Tiba-tiba Mantari memiringkan kepalanya. Ma-
tanya terpusat pada semak-semak yang bergerak,
tapi begitu dia memalingkan kepalanya, semak itu
diam. Sunyi. Terdengar gemerisik angin. Gemericik air. Dan
beberapa kicau burung.
Tak lebih. Tapi mata Mantari tetap pada semak itu. Dia
yakin, melihat sosok tubuh di sana.
Hati-hati dia berenang ke tepi.
Mencari pakaiannya. Lebih gila, pakaiannya ti-
dak ada! Mantari panik mencari-cari.
Tiba-tiba kepalanya berpaling lagi pada semak
tadi. Jelas, dia melihat sepasang mata buas tera-
rah padanya. Mantari buru-buru bersembunyi di
balik batu besar.
"Siapa di sana" Kakang Lesmana, ya"!" teriaknya yang tahu Kakang Lesmana suka
menggo- danya. Tak ada jawaban.
Hanya kicau burung yang tetap terdengar.
Mantari mempererat kain yang melilit tubuh-
nya. "Siapa di sana"!" teriaknya lagi. Dalam berkain basah yang mencetak tubuhnya
seperti ini bukan
main malunya jika diintip orang. Terutama laki-
laki. Ini aib. Tetap tak ada jawaban.
Mantari penasaran. Tiba-tiba dia mengibaskan
tangannya ke arah semak itu. Seperti ada doron-
gan angin yang kuat semak itu terkuak.
Sosok tubuh meloncat dari sana.
Berdiri kukuh di batu besar.
"He he he he..." tawanya dengan suara yang sengau. Laki-laki itu bertubuh
pendek, bulat. Hi-dungnya besar, begitu pula dengan matanya, seo-
lah melotot. Di dadanya ada gambar tengkorak.
Kedua tangannya yang pendek melingkar sepasang
gelang bahar hitam. Keduanya kukuh, ada gelang
sama. Mantari mengira-ngira siapa laki-laki ini. Keda-
tangannya mengherankan. Tak kedengaran. Tak
ada tanda-tanda.
"Siapa kau orang jelek"!" bentaknya jengkel karena merasa diintip.
"He he he he... jelek. Ya, ya aku jelek. Aku jelek." Orang itu terkekeh. "Tapi
kamu cantik. Ya cantik. Kamu cantik. He he he orang jelek bertemu orang cantik.
Ya, ya... jelek... cantik... he he he he."
"Jangan ketawa terus, Jelek!" bentak Mantari jengkel. Pasti si Jelek itu yang
menyembunyikan pakaiannya. Aduh, kenapa dia tidak hati-hati tadi.
"Senang ya dengar ketawaku" Tawaku bagus
ya" Ya, ya... bagus. Bagus. Bagus." Orang itu terkekeh lagi.
Mantari masih jengkel. Dia berharap Kakang
Anggada atau Lesmana menyusul.
"Gadis cantik... siapa namamu, hah" Siapa" Ya, ya... siapa" Pasti bagus. Pasti.
Ya, ya... pasti... he he he he."
"Kesudian sekali aku beritahu namaku padamu, Jelek!" bentak Mantari sengit.
"Jangan ragu-ragu, Cantik. Ayo... katakan, biar aku, Ki Condromuko tahu namamu.
He he he he... ya, ya, tahu... siapa, siapa he he he he..."
Laki-laki pendek yang setiap bicara terkekeh te-
rus itu makin memualkan perut Mantari.
Tahu-tahu Mantari menyambar sebutir batu
dan menyambitnya ke arah laki-laki itu.


Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun entah dengan tenaga apa batu itu me-
lenceng dari sasaran.
Mantari ternganga. Padahal dia yakin, batu itu
akan tepat pada sasarannya! Wajah jelek itu yang
masih terkekeh.
"He he he he he... menyerang Ki Condromuko
susah! Ya, ya... susah! Susah... siapa namamu,
Cantik?" "Persetan!" geram Mantari di hati. Tapi dia bisa mengukur kesaktian si Jelek
yang menamakan dirinya Ki Condromuko itu.
"Mau apa kau tahu namaku"!"
"He he he... hanya mau tahu. Ya, ya, mau ta-
hu..." Mantari mendengus. "Kembalikan dulu bajuku!"
"Namamu dulu he he he he..."
"Kembalikan bajuku! Awas kau nanti"!"
"He he he... ya, ya nanti. Nanti. Baju. Ya, namamu dulu. Namamu..."
"Awas kalau kau tidak mengembalikan bajuku
nanti!" "Ki Condromuko tak pernah berbohong he he
he..." "Namaku Ramasita!" seru Mantari berbohong.
Ki Condromuko terdiam. Manggut-manggut.
"Ramasita... he he he... Ramasita... berarti bukan kau yang kucari... he he he
he... bajumu ada di balik pohon itu... Aku akan pergi... he he he... Eh, nanti
dulu. Ya, ya... nanti dulu..."
"Apalagi?" bentak Mantari jengkel. "Aku sedang mencari seorang gadis. Ya, ya...
seorang gadis...
Kau kenal Mantari" Ya, ya... Mantari" Ah pasti kau tidak kenal. Sudahlah... he
he he... bajumu di sa-na..." Laki-laki itu meloncat dan langsung menghilang.
Namun kekehannya terdengar nyaring. Mantari
yang hendak memanggil tidak jadi. Orang itu men-
cari Mantari" Apakah dia mencari aku" Iya" Tapi
aku tidak mengenalnya.
Mantari buru-buru mengambil pakaiannya. Se-
bentar saja dia sudah menjelma menjadi laki-laki.
Rambutnya digulung. Ditutup caping. Mengenakan
kumis palsunya. Tipis.
Dia bukan Mantari lagi, tapi Surajaga. Sambil
menunggu kainnya kering, Surajaga memikirkan
tentang laki-laki aneh tadi. Dia mengaku bernama
Ki Condromuko. Mencari Mantari. Apakah aku"
Aku" Kenal dia saja tidak.
Tapi kenapa dia mencari aku" Atau hanya na-
maku saja yang sama dengan yang dicarinya"
"Hei, sedang apa kau melamun di sini?" sebuah
teguran terdengar. Surajaga bersiap menoleh. "Ah, Kakang Lesmana. Mengagetiku
saja." "Sudah mandimu" Kakang Anggada mengajak
kita melanjutkan perjalanan."
Surajaga memeriksa kainnya yang dijemur di
batang pohon. Sudah agak kering. Lalu keduanya
kembali ke tempat semula.
Anggada yang menunggu sudah bersiap. Mereka
berkemas. Surajaga bermaksud hendak menceritakan laki-
laki aneh tadi, tapi Anggada sudah menyuruh me-
reka untuk melanjutkan perjalanan.
*** 3 Laki-laki itu berusia 23 tahun. Bertubuh tegap.
Dia memakai baju putih yang kelihatan sudah
agak lusuh, wajahnya letih. Tapi matanya berkilau.
Jelas dia habis melakukan perjalanan jauh. Ram-
butnya yang agak panjang diikat dengan secarik
kain putih di keningnya. Dia memegang sebuah
buntalan kecil.
Ketika dilihatnya ada sebatang pohon besar
yang dapat melindunginya dari sengatan matahari,
dia berhenti. Membuka bekalnya.
Menikmatinya dengan ditemani oleh kicau bu-
rung kecil. Santai. Tapi tiba-tiba dia membentak, masih tetap me-
nikmati bekalnya, "Yang mengintip silahkan keluar. Kalau ingin makan bersama,
silahkan! Kalau
ingin berbuat jahat, tidak ada barang berharga mi-likku yang patut dirampas!"
Dari beberapa semak, berloncatan lima orang
laki-laki berwajah bengis, dengan wajah sedikit
merah. Memandang galak.
Golok mengkilat ada di tangan masing-masing.
Tetapi pemuda itu tetap acuh tak acuh.
Makan dengan nikmatnya.
Salah seorang membentak, "Pemuda sombong!
Berani-beraninya kau lewat tempat ini?"
"Kenapa?" Pemuda itu masih tetap makan. Lalu minum. Lalu makan lagi.
Orang yang membentak tadi menggeram. "Se-
tan! Angkat kepalamu kalau berhadapan dengan-
ku!" "Kenapa?" Masih tetap makan.
"Aku penguasa di sini! Kau sedang berhadapan dengan Tanasura!"
"Oh..."
Hanya itu. Lalu membuang bungkusan bekal-
nya. "Bangsat!" sergah orang tadi geram. Dia menga-cungkan goloknya. "Pemuda edan,
belum merasakan golokku rupanya!"
Tiba-tiba wajah pemuda itu memucat. Seperti
baru menyadari kalau orang-orang itu memegang
golok. Berbeda sekali dengan sikapnya yang santai tadi.
"Oh... jangan, jangan bunuh aku... Aku, aku tidak bersalah..." Dia beringsut
ketakutan. Orang itu tertawa. Begitu pula dengan teman-
temannya "Pemuda edan! Ketahuilah, kami adalah murid-murid padepokan Gohkarna
yang berdiri megah di gunung Pengging!"
"Jangan... jangan bunuh aku..." Pemuda itu ketakutan.
Wajahnya pucat. Berbeda dengan sikapnya tadi
yang santai dan tenang.
"Jangan sok tahu! Cepat berikan barang-barang yang kau bawa!"
"Aku... aku tidak punya apa-apa..."
"Bajingan! Mau kupenggal kepalamu"!"
"Aku... aku tidak punya apa-apa..."
"Cepat berikan!"
Salah seorang beranjak, merampas buntalan
yang dipegang pemuda itu yang sia-sia memperta-
hankannya. Memeriksanya. Hanya ada dua buah
baju yang kumal dan bau. Belum dicuci.
Orang itu membantingnya.
"Hhh! Kepalamu harus sebagai gantinya!"
"Jangan... jangan bunuh aku!"
"Lalu apa yang hendak kau berikan pada kami"
Kedua kaki"!"
"O... jangan, jangan... Aku... aku dengar, orang-orang dari padepokan Gohkarna
baik hati. Kena-
pa... kenapa kalian kejam padaku?"
"Itu dulu! Kau tahu! Resi Gohkarna, guru kami, telah menantang beberapa pendekar
dari beberapa padepokan untuk bertarung! Memperebutkan ke-
dudukan di rimba persilatan ini!"
"Tapi..."
"Bajingan!" salah seorang yang berberewok rupanya tidak sabar dengan percakapan
itu. Dia mengayunkan goloknya.
Belum lagi golok itu mengenai sasaran, sebutir
batu meluncur. Tepat menghalangi laju golok itu.
Tangan orang tadi gemetar.
Golok itu terlepas.
Sosok tubuh melompat dari jalan setapak yang
terhalang pohon.
Kelima orang itu bersiap. Berbalik dengan ga-
rang. Pemuda tadi beringsut ketakutan.
"Hhh! Rupanya bocah ingusan ingin ikut cam-
pur dalam urusan ini!" salah seorang membentak.
Orang yang menghalangi laju golok tadi itu tak
lain adalah Surajaga alias Mantari. Surajaga ber-
kacak pinggang.
"Tidak tahu malu! Lima orang mengeroyok satu orang."
"Ini urusan kami, Setan!"
"Kudengar kalian orang-orang dari padepokan
Gohkarna!?"
"Hm... ternyata orang-orang gunung Pengging
sudah merubah adat! Menjadi kejam, bengis dan
tak bersahabat!"
"Jangan banyak mulut! Siapa kau sebenarnya!?"
"Aku Surajaga, yang kebetulan melihat keinginan kalian untuk berbuat keji pada
pemuda itu!"
"Jangan sombong, Bocah tengik!" salah seorang membentak, dan menyerang. Surajaga
mengesam-pingkan sedikit tubuhnya, serangan itu meleset.
Dan dengan gerakan yang ringan, Surajaga meng-
gerakkan tangannya. Seperti menepuk bahu laki-
laki itu, tapi akibatnya dia tersaruk beberapa meter. Teman-teman orang itu
kaget. Pemuda yang kelihatan sombong tapi tak bisa
apa-apa itu pun ternganga.
Dia bertepuk tangan.
"Hebat, hebat. Hajar lagi, hajar lagi!" Wajahnya berseri.
Surajaga memang sudah bersiap ketika seran-
gan selanjutnya datang. Golok-golok itu berterbangan.
Orang-orang itu kaget. Seketika jadi panik.
Surajaga berpura-pura hendak menyerang, tan-
pa diperintah lagi orang-orang itu kabur tunggang-langgang.
Pemuda yang ketakutan itu berdiri dan terba-
hak-bahak. "Ha ha ha... besar lagak saja! Rasain! Syukur!
Coba hajar saja sampai mereka mampus, Kawan!"
katanya pada Surajaga.
Tanpa sungkan dia mendekati dan mengulur-
kan tangannya. "Aku Pratama. Pengembara."
Mau tak mau Surajaga mengulurkan tangannya
pula. Kalau mau mengikuti kata hatinya, sebenar-
nya Surajaga tidak mau bersentuhan dengan laki-
laki. Tapi dia sudah mengulurkan tangan itu.
"Surajaga."
"Ha ha ha... Kakang Surajaga hebat sekali. Sekali hajar orang-orang itu lari.
Kakang Surajaga
hendak ke mana?"
"Aku pun pengembara," sahut Surajaga yang ingat kata-kata Anggada dan Lesmana.
Kedua ka- kangnya sebenarnya berada tak jauh dari mereka.
Tadi ketika mereka lewat, mereka melihat pemuda
itu tengah dipermainkan orang-orang tadi.
Mantari segera menyodorkan diri untuk mem-
bantu. Kedua kakangnya hanya mengangguk saja.
Dan sekarang keduanya muncul sambil terse-
nyum. Surajaga mengenalkan mereka.
Pratama ternganga. Kelihatan kalau dia sangat
kagum melihat kedua pemuda yang baru muncul
itu. "Oh... aku sangat bahagia sekali bisa berkenalan dengan orang-orang dari
Padepokan Angsoka,"
katanya tulus. "Telah lama aku mendengar orang-orang golongan putih yang
bernaung di padepokan
Angsoka." "Tidak perlu memuji setinggi langit, Saudara,"
kata Anggada. "Hmm... sebenarnya... siapakah Saudara ini?"
"Aku?" Pratama bingung. Kan tadi sudah tahu.
"Ya, Saudara." Anggada tersenyum bijaksana.
"Aku mengembara."
"Saudara dari Timur?"
"Ya. Kalau Saudara Anggada bertanya di mana
rumahku, jawabanku, tanah inilah lantai rumahku
dan langit atap rumahku. Tujuan kalian sendiri
hendak ke mana?"
"Kami pun sama seperti Saudara. Pengembara.
Tak punya tujuan," Anggada menyembunyikan
maksud mereka sebenarnya. Suaranya datar.
Enak didengar. Pratama manggut-manggut.
"Tidak bisakah kita berjalan bersama?" tanyanya berharap.
"Maafkan kami, Saudara Pratama. Kita harus
berpisah. Pengembara... hanya arah angin jadi tu-
juan. Silahkan tuju ke arah angin mana yang akan
Saudara tuju."
"Selatan."
"Selatan." suara Lesmana agak kaget. Anggada, Surajaga pun begitu.
Ke arah Selatan berarti ke gunung Pengging!
Apa orang ini punya tujuan ke sana, atau hanya
spontan menjawab"
"Iya. Ke Selatan. Aku ingin melihat pegunungan yang indah di sana," sahut
Pratama mantap, tanpa menghiraukan keheranan mereka.
"Kalau begitu tujuan kita sama. Kami pun ingin ke Selatan," kata Lesmana.
"Ke Gunung Pengging juga?"
"Ya."
Sudah terlanjur dijawab. Lesmana pun baru
menyadari keceplosannya. Menolak, sulit. Diajak
serta, lain tujuan.
Bagaimana"
Anggada berkata, "Kita bisa berjalan bersama saudara Pratama. Tapi sekali lagi,
maafkan kami, kami tidak bisa mengajak Saudara bersama. Kare-
na kami punya masalah yang lain. Maafkan."
Pratama tersenyum. Dia merangkum kedua
tangannya di dada.
"Tidak jadi masalah. Biar aku pergi sendiri.


Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang sudah keinginanku demikian."
"Saudara Pratama," panggil Surajaga. "Hati-hati."
Pratama berhenti. Tertawa. "Jangan kuatir, Surajaga. Aku pasti bisa menghadapi
tantangan. Iya tidak" Ha ha ha... Pratama!" Dia menepuk da-
danya, lalu berlalu.
Surajaga mendengus gemas. Lesmana berkata
pelan, "Maafkan aku, Kakang. Aku keceplosan."
"Sudahlah. Ayo kita cari tempat bermalam. Sebentar lagi malam akan tiba."
*** 4 Desa Manur Biru adalah desa yang tentram. Pa-
ra penduduknya sebagian besar bertani dan ber-
dagang. Satu sama lain saling menghormati. Ru-
kun. Ki Lurah Aryopraksa memimpin daerah itu den-
gan satu kesatuan yang utuh. Tak membedakan
mana yang kaya dan miskin. Sama.
Bahkan Ki Lurah sendiri pun akan suka turun
bersama penduduknya jika mereka panen bersa-
ma. Bergembira. Mendendangkan Kidung Senja,
Kidung yang berisikan persatuan, persahabatan
dan persaudaraan yang kokoh.
Tapi sore ini nampak Ki Lurah Aryopraksa se-
perti sedang kebingungan. Jelas sekali kalau dia
gelisah. Nyi Lurah sendiri tidak tahu kenapa suaminya
begitu. "Sikapmu tidak seperti biasanya, Pak," kata Nyi Lurah penasaran, jawaban yang
diberikan suaminya tadi tidak memuaskannya.
"Sungguh, Bu. Tidak ada apa-apa. Kemala su-
dah pulang?"
"Belum. Mungkin sebentar lagi."
Nyi Lurah menyiapkan sirihnya.
Ki Lurah mendesah dalam-dalam. Memang ada
yang dipikirkannya. Dia baru saja menerima surat
dari padepokan Gohkarna, yang meminta upeti se-
tiap bulan berupa lima puluh keping uang emas.
Kalau tidak, desa dan seisinya akan dihancur-
kan. Itu yang mengkhawatirkan Ki lurah.
Tapi dia tidak ingin kebingungannya ini menu-
lar. Tapi kalau didiamkan, warganya bisa kelaba-
kan. Tiba-tiba Ki Lurah bangkit.
"Mau ke mana, Pak?"
"Alun-alun."
Nyi Lurah bingung. "Ada apa?"
"Nanti kau akan tahu, bu!"
Ki Lurah bergegas hendak keluar. Nyi Lurah
menyusul. "Pak!"
"Aku tidak lama, Bu! Kalau Kemala pulang, jangan kasih ke mana-mana!"
Ki Lurah bergegas. Belum dua puluh meter dari
rumahnya mendadak saja dia merasa kakinya ter-
kena sesuatu. Dan dirasakannya tubuhnya kaku.
Darahnya seolah berhenti mengalir.
Ki Lurah bingung. Kenapa aku" Kenapa tidak
mau digerakkan kakiku" Ki Lurah mengerahkan
tenaganya. Tapi tetap gagal.
Malah semakin sakit.
Kedua mata kakinya perih. Kakinya seolah ter-
paku di tempatnya, seolah ada tangan kuat yang
menggenggamnya.
"Hi hi hi... jangan coba-coba berbuat nekat, Ki Lurah!" terdengar suara dari
atas pohon. Ki Lurah mendongak. Seorang gadis cantik du-
duk dengan kaki menjuntai.
Tersenyum manis. Cantik.
Tatapannya jalang.
Bibirnya merekah.
Dengan satu gerakan ringan dia meloncat tu-
run. "Ingat pesan suratku, Ki Lurah?" gadis cantik itu berkata sambil mengikik.
Suaranya merdu.
Mampu membuat setiap pria berdebar jantungnya.
"Jangan ganggu ketentraman kami, Iblis beti-
na!" geram Ki Lurah marah.
"Hi hi hi hi... nyalimu sungguh besar, Ki Lurah.
Aku hanya melaksanakan pesan Resi Gohkarna.
Kau setuju bukan dengan keinginannya?"
"Iblis! Apa dia tidak pikir, dari mana kami mendapat uang sebanyak itu setiap
bulan, hah!?"
"Itu urusanmu, Ki Lurah. Kami hanya menadah
hi hi hi hi... terserah mau kau laksanakan atau tidak."
Ki Lurah Aryopraksa mengatupkan kedua ra-
hangnya. "Tidak!" semburnya geram.
"Hi hi hi... kau tidak ingin bukan melihat war-gamu kami hajar habis-habisan?"
"Jangan lakukan itu pada mereka! Lakukan itu padaku!" bentak Ki Lurah.
"Semudah menjetikkan kuku, Ki Lurah!"
"Ayo lakukan, biar kau puas! Setelah itu tinggalkan tempat ini! Jangan ganggu
ketentraman kami!" "Hi hi hi... nyawa tuamu tidak berguna. Bagaimana dengan Kemala" Putrimu yang
cantik itu"
Bukankah dia sangat bermanfaat" Tubuhnya mon-
tok. Wajahnya cantik. Bukankah ini sangat bergu-
na untuk orang-orang liar yang mau bergabung
dengan kami?" Gadis itu terkikik lagi.
"Laknat!" geram Ki Lurah sengit. Dia meronta.
Tapi kakinya bagai terpaku keras. Sakit. Malah terasa tangannya mulai melemah.
"Bagaimana" Setuju?"
"Iblis!"
Satu tamparan membuat bibir Ki Lurah Aryo-
praksa berdarah. Perihnya minta ampun. Sakitnya
terasa ke hati.
Tapi ditahannya.
Matanya makin melotot. Memancarkan kegera-
man yang luar biasa.
"Orang sepertimu mati tak pantas, hidup pun
tak pantas, settttaaaan"!"
"Hi hi hi... kau pikir, kau pantas?" Gadis itu terkikik. Walau lembut terdengar
dingin. Matanya
berkilau, indah, namun dibalik semua itu tersim-
pan mata berbahaya yang siap menerkam bahkan
mencabut nyawa Ki Lurah.
"Bilang sama Resi Gohkarna, aku, Aryopraksa
siap mati untuk kebenaran!"
"Nyali yang luar biasa!" Gadis itu geleng-geleng sambil menyeringai.
Tiba-tiba terdengar teriakan ramai. Warga da-
tang menyerbu dengan senjata di tangan. Golok.
Klewang, Clurit. Pentungan. Pisau. Mereka siap
mencabut nyawa gadis cantik itu.
Tapi gadis itu malah tertawa.
Dingin. Sedikit pun tak kelihatan gugup.
Matanya berkilat lebih membahayakan.
Orang-orang itu langsung menyerbu, gadis can-
tik itu melompat sambil terkikik, melewati gerom-
bolan orang itu.
"Aku di sini, orang-orang dungu!"
Orang-orang itu berbalik dan menyerang den-
gan pekikan yang gegap gempita.
Gadis itu malah terkikik. Tiba-tiba dia menca-
but sesuatu dari balik baju belakangnya. Sebuah
pecut yang ujungnya berduri.
Pecut itu bergerak.
Bergeletar. Bercampur jeritan mengerikan. Keras. Beberapa
orang yang menyerang ambruk dengan wajah ber-
darah. Kikikan iblis betina itu semakin mengerikan.
Tangannya bergerak ke sana kemari. Pecutnya
bergeletar semakin hebat. Pekikan penduduk yang
ambruk dengan luka yang sangat parah mengge-
ma. Tak sedikit yang langsung mati.
Ki Lurah menahan pedih hatinya.
Namun tubuhnya tetap terpantek dengan kuat.
Tak bisa digerakkan. Dia tidak tega membiarkan
warganya habis dibunuhi gadis si penyebar maut
itu. "Tahan!" serunya keras.
Namun orang-orang yang kalap itu terus me-
nyerang. Mereka sebenarnya sudah tahu dari Ke-
mala, yang mencuri baca surat ancaman yang di-
terima ayahnya.
Mereka sudah bersiap untuk menyambut keda-
tangan penyebar maut. Namun sekarang, apakah
mereka mampu menanganinya, ini baru satu
orang yang datang, bagaimana kalau banyak"
Kebencian warga Glagah Wangi terhadap Resi
Gohkarna semakin menjadi-jadi. Resi baik hati,
bersaudara dan selalu menolong, telah menurun-
kan maut melalui kaki tangan anak buahnya. Apa
penyebabnya"
Mereka tahu, menghadapi orang-orang resi
Gohkarna sangat sulit. Namun demi kebenaran
mereka rela berkorban.
Tapi untuk apa berkorban kalau sia-sia belaka"
"TAHAAAAAAAAN!" teriak Ki Lurah Aryopraksa keras.
Serentak orang-orang itu berhenti. Memandang
penuh kemarahan.
Gadis cantik itu terkikik. "Hi hi hi hi... bagaimana, Ki Lurah" Kau terima?"
"Iblis betina!" geram Ki Lurah putus asa.
"Tidak! jangan biarkan orang-orang Gohkarna
menginjak-injak kita, Ki Lurah!" seru yang bertubuh besar. Dia memegang klewang.
"Maumu apa hi hi hi..." si gadis terkikik.
"Membunuhmu, setan!" Orang itu mengacungkan klewangnya. "Kau telah membunuhi
saudara-saudaraku!"
"Hi hi hi silakan, kalau kau mampu?"
"Bangsat!" orang itu menggeram hebat dan menyerang. Baru satu tindak, pecut si
gadis sudah menyambutnya dan bersarang di lehernya. Dan
sekali tarik orang itu terbang menabrak pohon.
Hancur dengan kepala berdarah.
Orang-orang memekik antara takut dan marah.
Ki Lurah mendesah panjang, dalam, putus asa.
Tak ada jalan lain. Harus dipenuhi.
"Jangan teruskan!" serunya pada gadis cantik itu yang hendak bersiap mengayunkan
pecutnya lagi. "Kami akan penuhi!"
"Hi hi hi... kenapa tidak sejak tadi kau bicara begitu, Ki Lurah Bukankah
urusannya akan jadi
cepat selesai?"
"Bajingan!" geram beberapa orang yang masih marah. Mereka kecewa melihat sikap
Ki Lurah yang kalah. Dengan jengkel ketiga orang itu bergerak dengan cepat.
Si gadis itu memang luar biasa. Tanpa menoleh
atau melirik sedikit pun, dia menggerakkan tan-
gannya. Pecutnya bergerak, bergeletar. Terdengar
jeritan merobek sore yang berdarah itu.
Ketiganya ambruk.
Bersimbah darah dengan luka robekan yang da-
lam di dada. "Sudah kubilang, jangan lakukan itu lagi!" geram Ki Lurah marah.
"Hi hi hi... kau melihatnya sendiri, bukan" Jangan salahi aku! Mereka yang
salah!" Gadis itu terkikik. Wajahnya sudah tidak kelihatan cantik lagi.
Mirip setan yang haus darah.
Tatapan yang jalang semakin jalang.
Memerah. Seperti harimau lapar yang melihat daging em-
puk. "Ingat Ki, dua minggu lagi aku akan datang untuk mengambil upetimu itu! Dan
ingat, jika tidak, maut akan bertebar lagi di desa ini! Hi hi hi... yang lebih
penting, Kemala, anakmu itu... Tubuhnya bi-sa jadi makanan empuk orang-orang
liar yang in- gin bergabung dengan kami! Jangan coba-coba
membohongi kami Ki. Hi hi hi... salam dari Gu-
nung Pengging! Dari yang mulia Resi Gohkarna! Hi
hi hi...!" tawa itu menggema keras dan sosok itu menghilang dengan cepat.
Bagaikan angin yang
berdesir cepat dan kencang.
Ki Lurah merasa ada sesuatu yang mengenai
kakinya dan seketika kakinya bisa terangkat.
Dia menatap warganya yang masih setengah ge-
ram dengan lemah.
"Maafkan aku, Saudara-saudara. Aku tak tahu
lagi harus berbuat apa. Hanya itu yang dapat ku-
lakukan," katanya pelan. Ia menunduk. Tatapannya tak lagi berwibawa.
Tapi sebagian warganya mengerti akan persoa-
lan yang mulai gawat ini.
Ada yang mengusulkan untuk segera bersiap-
siap dan berlatih jika si Penyebar Maut itu datang lagi.
Ada yang mengusulkan untuk minta bantuan
orang-orang padepokan Angsoka.
Ada yang mengusulkan untuk melapor pada ke-
rajaan untuk minta perlindungan.
Ki Lurah bingung mau memutuskan bagaima-
na. Dia mengusap wajahnya yang kelihatan lebih
tua. Lemah. "Dalam hal ini, kita memang tidak bisa berdiam diri. Tidak boleh pasrah atas
kehendak Tuhan. Ki-ta harus bisa merubahnya. Karena nasib suatu
kaum, berada di tangan kaum itu sendiri."
"Tapi menghadapi orang-orang Resi Gohkarna,
sama dengan menghadapi dewa Syiwa. Kita tak bi-
sa berbuat apa-apa. Tidak bisa berbuat banyak.
Perlawanan kita akan sia-sia."


Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berlatih dan bersiap hanya itu yang bisa kita lakukan. Minta bantuan orang-
orang Padepokan
Angsoka, sama saja kita mengadu antara mereka
dengan orang-orang Resi Gohkarna. Ini lebih gawat lagi. Perpecahan akan semakin
besar. Kudengar
orang-orang Tartar sudah mulai masuk ke sini.
Dan yang kudengar lagi, Resi Gohkarna mengun-
dang para pendekar untuk bertarung di gunung
Pengging. Dalam hal ini, keadaan semakin me-
runcing. Lebih baik kita bersiap. Minta bantuan
kerajaan, belum tentu mereka mau memperhati-
kan suara kita. Suara rakyat kecil yang tak banyak
memberi apa-apa. Tapi memang ada baiknya dico-
ba. Yah... mulai besok kalian harus berlatih dan
bersiap untuk menyambut kembali si Penyebar
Maut itu. Sekarang mari kita kuburkan saudara-
saudara kita yang menemui ajalnya..."
Orang-orang segera bekerja. Pekik tangis anak,
istri dan orang tua yang gugur terdengar.
Begitu menyayat.
Menyakitkan. Ki Lurah Aryopraksa menatap mega yang makin
hitam. Lagi dia mengusap wajah tuanya.
Di dalam rumah, Kemala mendesah pilu. Kare-
na salah seorang yang gugur adalah Mariodewo,
kekasihnya yang sangat disayanginya.
Mariodewo adalah pemuda yang nekat menye-
rang si Penyebar Maut tadi dengan beraninya!
*** 5 Sebuah Bayangan berkelebat dengan cepat
sambil terkikik dengan nada mengerikan. Membe-
dah langit, merobek alam yang kian sunyi.
Malam dingin. Keheningan itu dirobek oleh tawa yang menye-
ramkan, yang mampu mengundang bulu kuduk
berdiri lebih lama.
Bayangan itu terus berkelebat sambil terus ter-
tawa. Menjelang tengah malam, bayangan itu masuk
ke perbatasan Keraton Selatan.
Jalan sepi. Kiri kanan penuh rumah penduduk
yang sunyi. Hanya sekali-sekali terlihat para pe-
ronda yang sedang menjalankan tugasnya.
Bayangan itu bersembunyi. Lalu berkelebat lagi
setelah para peronda itu menjauh. Bayangan itu
mendengus. "Sial! Hampir saja ada yang melihat kedatan-
ganku menuju Keraton Selatan."
Dengan sekali melompat, bayangan itu sudah
berada di belakang tumenggungan. Tempat yang
luas dan dijaga ketat itu membuatnya agak bim-
bang untuk masuk.
Dia menggerutu lagi, "Sialan! Kenapa Raden Wijaya menyuruhku untuk datang malam-
malam be- gini"!"
Bayangan itu memperhatikan sekitarnya.
Tiba-tiba dia tersenyum. Mengambil sebutir
benda kecil dari kantungnya yang terikat di ping-
gangnya. Lalu melemparkannya ke halaman Keraton Se-
latan. Benda itu jatuh tepat di beberapa penjaga yang
sedang menjaga. Setelah mengeluarkan asap ben-
ing yang tidak tampak oleh mata, beberapa menit
kemudian nampaklah para penjaga itu berdiam
kaku. Seperti terhipnotis.
Bayangan itu terkekeh. Lalu melompat. Dengan
sekali lompatan dia sudah ada di atap keraton
yang tinggi. Lalu celingak-celinguk dengan gerakan
ringan. Lalu dia melompat turun setelah melihat se-
buah kamar yang terang.
Dia mengetuk jendela kamar itu dengan hati-
hati. "Raden... Raden..." desisnya.
Jendela itu terbuka. Seraut wajah tampan den-
gan pakaian yang indah muncul.
"Lama sekali, Nimas..."
"Sulit untuk menembus kemari, Raden..." kata bayangan itu sambil melompat masuk.
Lalu Raden Wijaya menutup kembali jendela
kamarnya. Menatap bayangan itu yang menjelma
menjadi gadis yang sangat cantik sekali setelah berada di dalam kamar yang
terang. Wajahnya berki-
lau bagai rembulan karena kena sinar lampu.
Dadanya yang setengah membusung turun naik
karena nafasnya masih memburu.
Raden Wijaya yang berpenampilan necis dan
genit itu merangkulnya sambil tertawa.
"Kau semakin menggemaskan aku saja, Ni-
mas..." desisnya sambil menciumi bagian leher belakang gadis tadi.
Tapi gadis itu menarik kepalanya.
"Nanti dulu, Raden... bagaimana dengan tawa-
ranku itu" Kau belum menjawabnya, Raden..."
"Itu mudah."
"Raden akan memenuhinya?" Mata itu berkilau penuh harap dan bibirnya terbuka
menampakkan senyumnya yang indah menawan.
"Ya, rencanamu sendiri bagaimana?" Raden Wijaya melepaskan rangkulannya. Menuang
arak merah ke gelas.
Memberikannya sebuah pada gadis itu.
"Setelah semua padepokan dan para pendekar
yang ada di sekitar sini saling hantam, kita tinggal masuk saja, Raden. Bukankah
begitu?" "Hahaha... bagus, bagus, Nimas Priatsih. Setelah itu, kita yang akan merampok
tahta kerajaan selagi para pendekar dan padepokan saling han-
tam. Sehingga mereka lupa akan kerajaan yang
dalam keadaan berbahaya!" Raden Wijaya terbahak sambil meminum araknya.
"Rencana Raden bagaimana?"
"Keraton Selatan harus kita kuasai."
"Bagaimana dengan ayah Raden sendiri?"
Kali ini wajah tampan itu sesaat terdiam. Te-
gang. "Kita harus menggulingkannya. Aku ingin men-
jadi penguasa di sini. Juga beberapa keraton lain.
Rencanamu untuk mengadu domba semua pade-
pokan dan para pendekar itu bagus sekali. Karena
mereka yang menyulitkan kita. Para orang-orang
sakti, terutama dari Padepokan Angsoka dan Goh-
karna, adalah bawahan ayahku. Mereka sangat
patuh pada ayahku. Ini sangat berbahaya bagi ki-
ta. Untuk itu, kita harus mengadu dan menghan-
curkan mereka dengan jalan mengadu domba. Ini
merupakan jalan yang sangat baik. Dengan begitu
mereka akan saling menghantam. Kau sendiri
punya rencana lain, Nimas?"
"Sebenarnya iya, Raden. Tapi bagaimana den-
gan Keraton Barat, Timur dan Utara?"
"Setelah aku jadi penguasa di sini dengan keku-
atan yang ada, kita akan menyerang ke sana. Mau
tak mau, orang-orang sakti akan tunduk padaku
karena akulah yang menjadi raja di sini. Bukan
begitu, Nimas?"
Nimas Priatsih mengangguk-angguk.
"Nimas... bagaimana dengan desa-desa lain?"
"Maksud, Raden?"
"Desa Manur Biru. Glagah Wangi. Cempaka. Itu merupakan pos-pos yang harus kita
tempati." Nimas Priatsih tersenyum. Genit. "Itu sih beres, Raden. Hamba sudah mengatur
semuanya. Ketiga
desa itu sudah menjadi marah pada Padepokan
Gohkarna. Bahkan hamba sendiri baru saja
menghantam desa Manur Biru. Ini bukankah se-
buah berita yang baik, Raden?"
Raden Wijaya terbahak. "Betul. Biar orang-
orang Gunung Pengging akan kelabakan karena
banyaknya orang-orang sakti yang akan menye-
rang ke sana."
"Tapi, Raden?"
"Bagaimana, Nimas?"
"Kapan Raden akan memenuhi keinginanku?"
"Untuk mengangkatmu sebagai permaisuriku"
Hahaha... tak lama lagi, Nimas. Bukankah malam
ini kau akan pergi ke nirwana bersamaku" Haha-
ha..." Raden Wijaya merangkul sosok yang menggai-
rahkan itu. Nimas Priatsih terkekeh genit dan
menjerit manja ketika tubuhnya didorong ke pera-
duan. Sebenarnya Raden Wijaya bukanlah anak kan-
dung dari raja Keraton Selatan. Dia hanyalah anak
angkat yang ditemukan baginda raja ketika sedang
berburu. Bocah itu ditemukan saat anak itu beru-
sia dua tahun, sedang menangis karena orangtua-
nya mati dibunuh para perampok.
Baginda tidak tega untuk tidak memungutnya.
Lalu diambilnya bocah itu dan diberi nama Wijaya.
Saat itu istri baginda sendiri sedang hamil tua
anak yang pertama mereka.
Setelah anak kandungnya lahir, perhatian ba-
ginda tidak ada saling memihak. Dia menganggap
Wijaya pun sebagai anak kandungnya. Tak dibe-
dakan dengan anak kandungnya.
Namun ketika keduanya menjelang masa ka-
nak-kanak, Wijaya sudah menunjukkan sifat yang
tidak baik. Dia galak. Suka mencuri. Dan irinya
kadang berlebihan. Tetapi baginda tetap sabar ka-
rena dia pun menyayangi Wijaya bak anak kan-
dungnya. Raden Wijaya seharusnya berterima kasih kare-
na dengan fasilitas dan kasih sayang yang diberi-
kan sang raja begitu biasa.
Tak pilih kasih.
Namun ketika dia mendengar desas-desus,
bahwa Raden Wiladalah yang akan menggantikan
kedudukan raja. Ini membuatnya marah dan iri,
meskipun dia tahu bukan anak kandung raja tetap
dia marah. Wijaya merasa dialah yang berhak menduduki
tahta kerajaan menggantikan ayahnya yang sudah
tua. Sudah tentu keinginannya itu sulit untuk di-
terima mengingat dia bukanlah keturunan darah
biru. Hal inilah yang menyebabkan Raden Wijaya
menjadi semakin dengki, apalagi akhir-akhir ini
adik angkatnya, Raden Wilada, semakin disanjung
oleh rakyat. Ini membuatnya semakin marah,
jengkel dan mendendam.
Dengan bantuan kekasih gelapnya Nimas Priat-
sih dari Daratan Pantai Timur, Raden Wijaya ber-
maksud hendak menggulingkan kerajaan ayahnya.
Dialah yang membuat rencana mengadu domba
para padepokan dan para pendekar dengan mak-
sud saat mereka bertarung mereka melupakan ke-
rajaan. Dan ini sangat memudahkan Raden Wijaya
untuk membunuh baginda raja.
Sedangkan Nimas Priatsih senang saja mem-
bantu. Dia adalah murid tunggal nenek jahat
Eyang Pratikanisti yang dulu pernah menyerang
desa di lereng Gunung Lawu membantu perampok
Bongsa. Tetapi serangan itu gagal berkat bantuan
Begawan Batista. Bahkan Eyang Pratikanisti tewas
di tangan Begawan Batista.
Selain itu, Raden Wijaya juga menjanjikan ke-
dudukannya sebagai permaisuri.
Lalu mulailah Nimas Priatsih menyebarkan beri-
ta palsu tentang ancaman dan tantangan yang di-
lontarkan oleh majikan gunung Pengging. Dia pun
mulai menyebarkan teror di desa-desa dengan
mengatasnamakan Resi Gohkarna, agar orang-
orang marah dan menyerangnya.
Politik adu domba itu terus dijalankan.
Kedua manusia itu kini terbaring lemas di pera-
duan. Menatap langit-langit kamar dengan nafas
turun naik. Kadang memejamkan matanya sekali-
sekali. "Nimas..."
"Ya, Raden?"
"Mendadak saja timbul sebuah rencana yang ji-tu dalam benakku."
Nimas Priatsih melirik. "Apakah itu, Raden?"
"Bagaimana jika kau menggoda adik angkatku,
Raden Wilada?" tanya Raden Wijaya berhati-hati.
Nimas Priatsih kaget. "Maksud Raden?"
"Goda dia. Jerumuskan dia ke lembah nista.
Dengan begitu, kedudukannya sebagai calon peng-
ganti ayahku akan berantakan. Ayah akan mem-
bencinya dan kecewa padanya. Begitu pula dengan
rakyat, mereka tentu tak akan setuju mempunyai
seorang raja yang berkelakuan kotor."
"Tapi, Raden..." Nimas Priatsih tercenung.
"Aku mengerti, Manis..." Raden Wijaya menge-cup bibir yang memerah itu. "Aku
mengerti. Kau pasti tidak rela tubuhmu dinikmati oleh Raden Wilada, bukan"
Memang bukan itu maksudku. Aku
pun tak rela tubuhmu harus dinikmati olehnya.
Aku cinta padamu, Nimas. Mana mungkin aku
membiarkan Raden Wilada menikmati tubuhmu."


Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu maksud, Raden?" Gadis itu separuh ber-nafas lega. Dia pun mencintai Raden
Wijaya. "Kau hanya menggodanya saja. Kalau bisa bawa dia ke tempat Kembang Mawar milik
Nyai Alas Ratih. Dengan begitu dia akan lupa diri. Dan ini
membuat kita lebih mudah menyingkirkannya se-
belum menyerang kerajaan. Bagaimana Nimas"
Kau sanggup melakukannya?"
Nimas Priatsih mengangguk.
Raden Wijaya terbahak.
Merangkul Nimas Priatsih yang terkikik genit
dan manja itu. "Setelah semuanya berhasil, tentunya raja akan marah padanya dan akan
membatalkan pencalo-nannya sebagai penggantinya. Nah, dalam kea-
daan seperti itu, pasti raja akan menunjuk ku un-
tuk menggantikan kedudukannya. Ini adalah sasa-
ran yang sangat empuk. Selagi pikiran raja kacau
balau oleh perlakuan Raden Wilada, aku akan me-
nyuruh Paman Patih Coro Ijo untuk segera me-
mimpin pasukannya menyerbu istana. Kesempa-
tan ini sangat langka, karena para pendekar yang
berpihak pada kerajaan tentunya sedang berta-
rung di gunung Pengging. Ini memudahkan kita
untuk segera menggulingkan tahta kerajaan. Sete-
lah itu, aku akan masuk membantu kerajaan. Ten-
tunya pasukan yang dipimpin Paman Patih Coro
Ijo akan mengalah dan melarikan diri. Sebagai
gantinya, beberapa pengawal akan dibuat kambing
hitam dan dibunuh karena telah berkhianat pada
raja. Dan namaku akan semakin harum di mata
raja dan rakyat, bukan?"
Nimas Priatsih terkikik.
"Hebat sekali akalmu, Raden. Benar, dengan
begitu semuanya akan berjalan lancar."
"Ini tergantung bagaimana kau menjalankan tugas yang kuberikan."
"Tenang, Raden... percayalah padaku, aku akan menjalankan tugas ini sebaik-
baiknya. Bukankah
aku calon permaisurimu, Raden?"
"Benar, Nimas... kau benar. Dan ingat, besok
Raden Wilada hendak pergi berburu ke hutan
Lampor. Kalau tidak salah, dia hanya ditemani
oleh Mona dan Prakista."
"Percayalah padaku, Raden..."
*** Hutan Lampor adalah hutan yang paling angker
di sekitar Keraton Selatan. Hutan yang konon per-
nah dihuni oleh seorang raksasa yang mati karena
tersambar geledek dan mayatnya hancur menjadi
debu. Konon hutan itu banyak pula dedemit yang me-
nyamar menjadi manusia.
Tetapi Raden Wilada telah menetapkan tekad-
nya, karena dia belum pernah berburu ke sana.
Dan keinginannya itu harus tercapai. Di samping
berburu adalah salah satu kegemarannya sejak
kecil. Raden Wilada berkulit putih. Wajahnya tidak
begitu tampan. Alisnya tebal dengan kumis tipis di atas bibirnya. Di belakang
bahunya terdapat sebuah busur dan beberapa anak panah. Matanya,
waspada, memperhatikan sekitarnya. Dia menden-
gar di hutan ini banyak rusa-rusa muda yang ber-
keliaran. Di belakangnya, dua buah ekor kuda mengikuti.
Dengan masing-masing penunggangnya.
Yang menaiki kuda berbulu hitam bernama
Mona. Dia seorang abdi yang sangat setia pada
Sang Raden. Usianya kira-kira sama. Sekitar 23
tahun. Tubuh Mona besar dengan dagu yang ku-
kuh. Dia pun menyandang busur dan anak panah.
Yang menunggang kuda berbulu coklat berna-
ma Prakista. Seorang abdi yang bertubuh pendek,
tapi tidak gemuk. Boleh dikatakan cebol. Tapi ke-
tangkasannya menunggang kuda tidak kalah den-
gan Mona atau pun Raden Wilada sendiri. Bahkan
kalau dia mau dia lebih hebat dari Raden Wilada.
Tapi karena tidak mau mengalahkan junjungan-
nya, Prakista selalu berusaha untuk nampak le-
mah. "Sejak tadi tidak kulihat seekor rusa, Mona dan Prakista," kata Wilada sambil
menghentikan jalan kudanya.
"Entahlah, Raden. Mungkin sedang bersem-
bunyi," sahut Prakista sambil tertawa.
"Mungkin kita belum melihatnya saja, Raden."
kata Mona dengan suaranya yang berat. Dia me-
mang lain dengan Prakista yang selalu ingin ber-
gurau saja. "Atau... mereka sedang pesta, Raden," kata Prakista.
"Atau juga... mereka yang hendak memburu ki-
ta?" "Ha ha ha..." Raden Wilada tertawa. "Ada-ada saja kau, Prakista."
"Cebol! Jangan bercanda terus!" bentak Mona.
"Lho, kok jadi marah" Apa aku salah ngomong
begitu" Kan siapa tahu"!" balas Prakista sambil tertawa.
"Ayo kita jalan lagi," kata Wilada sambil menjalankan kudanya perlahan.
Kedua abdinya mengikuti.
Mona menajamkan kedua matanya, barangkali
ada rusa yang berkelebat. Sedangkan Prakista
bernyanyi-nyanyi dengan riang.
Matahari baru sepenggalah. Udara cerah. Kicau
burung kecil terdengar ramai. Pijakan kaki kuda
yang kadang mematahkan ranting kecil yang ber-
serakan, kadang terdengar.
Tiba-tiba sebatang anak panah meluncur ke
arah Raden Wilada dengan cepatnya.
Wilada yang sedang memperhatikan sekitarnya,
cepat melompat karena mendengar desingan yang
mengarah padanya.
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 4 Pendekar Kembar Karya Gan K L Pedang Naga Hitam 1
^