Pencarian

Hianat Empat Datuk 2

Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk Bagian 2


bahaya. Maka Penggoro Bumi kembali meledak-
kan asap penghilang jejak.
Buuum! Untuk yang kedua kalinya suasana kemba-
li berubah gelap. Laki-laki baju hitam ini langsung berkelebat pergi. Di
kejauhan terdengar
sayup-sayup suara Penggoro Bumi.
"Tumenggung, hati-hatilah. Aku akan da-
tang lagi dalam waktu yang tidak begitu lama!"
"Keparat! Manusia licik pengecut, mengapa tidak sekarang saja kau berhadapan
dengan ka-mi!?" teriak Datuk Empat.
"Jangan kejar, adikku. Tumenggung dalam
keadaan terluka. Kita harus menolongnya!" cegah Patuk Satu.
Ketika keempat Datuk itu menghampiri
Tumenggung, Dewi Anggini sedang berusaha
membalut luka di bagian perut ayahnya.
"Biarkan kami yang merawatnya, Anggi!"
ujar Datuk Satu.
"Boleh saja. Tapi aku harus mendampingi
ayah. Aku khawatir atas keselamatannya!" sahut Dewi Anggini cemas.
Maka Tumenggung Dadung Ampel mereka
boyong menuju kamar peristirahatannya. Se-
dangkan beberapa pengawal yang ikut menyaksi-
kan pertarungan tadi kembali ke tempat tugasnya masing-masing.
ENAM Keesokan paginya Dewi Anggini langsung
menemui Suro Blondo. Pemuda ini terkejut sekali melihat kehadiran Dewi yang
pernah mengan-camnya ketika beberapa waktu yang lalu mereka
bertemu di pinggir hutan.
"Akhirnya kau nekad juga datang kemari,
Suro. Tapi entah mengapa aku yakin kau mera-
hasiakan sesuatu. Kenyataan ini lebih kuyakini lagi ketika kau berpura-pura
seperti orang tolol ketika berhadapan dengan Datuk Empat." kata gadis itu sambil
memandang tajam pada Suro
Blondo. "Apakah ini kau anggap suatu kesalahan
yang sangat fatal?" tanya Pendekar Blo'on.
"Tentu saja tidak. Cuma kau harus berte-
rus terang padaku apakah kau tahu siapa sebe-
narnya Ki Marunda?"
Suro Blondo garuk-garuk kepalanya, ke-
mudian menyeringai. "Seharusnya kau tidak bertanya kepadaku. Karena tadi malam
pun kau te- lah mendengar secara langsung dari orangnya. Ki Marunda alias Penggoro Bumi aku
pernah mendengar laki-laki itu berdebat dengan kakang kandungnya di gunung Lawu.
Persoalannya dengan
orang tuamu adalah sebuah persoalan yang san-
gat klise. Kau tahu mereka meributkan persoalan asmara nenek-nenek yang telah
terkubur di dalam tanah. Karena orang tuamu masih berhu-
bungan darah dengan putri Prada yang sampai
sekarang tentu sudah menjadi tulang belulang.
Maka Penggoro Bumi menuntut ayahmu. Tentu
bagi kita hal ini sangat ironis bukan" Padahal mereka bukanlah pasangan suami
istri. Ha ha ha...
Sungguh bodoh sekali mereka, Penggoro Bumi le-
bih tolol lagi!"
"Mengapa kau tertawa?" bentak Dewi Anggini gusar.
Rupanya walau bagaimanapun Dewi Ang-
gini merasa bahwa persoalan yang dihadapi oleh orang tuanya termasuk persoalan
yang sangat serius. "Aku tertawa karena aku merasa ada yang lucu. Mana mungkin
aku menangis bila sedang
gembira atau tertawa bila sedang bersedih. Jangan-jangan orang akan mengatakan
bahwa aku ini...!" "Orang gila...!" potong Dewi Anggini masih tetap cemberut.
"Ya... orang gila." Pendekar Blo'on katupkan bibirnya. Tidak lama setelah itu
sikapnya berubah serius. "Dewi yang cantik dan yang baik.
Jika kau mau percaya padaku. Aku mempunyai
berita yang besar untuk keluargamu. Berita itu tidak ubahnya dengan penyakit
koreng yang sangat kronis lagi menular, bila aku biarkan, bukan mustahil dalam
waktu dekat seluruh keluargamu
dan juga semua penghuni Katemenggungan ini
terkena wabahnya."
"Apa maksudmu Suro?"
"Ah...!" Pendekar Blo'on celingukan seakan takut apa yang ingin disampaikannya
didengar oleh orang-orang yang tidak dikehendakinya.
"Katakanlah apa saja yang ingin kau sam-
paikan, jangan terlalu bertele-tele...!" Dewi kelihatan sudah tidak sabar lagi.
"Untuk mengatakan sesuatu yang sangat
rahasia. Sebaiknya kita bicarakan di dalam saja."
kata Suro Blondo sambil menunjuk ke arah be-
deng yang ditempatinya.
Karena memang merasa penasaran ingin
mendengar apa yang ingin disampaikan oleh pe-
muda berambut hitam kemerahan ini. Maka Dewi
Anggini mengikuti ucapan si pemuda.
Tidak lama kemudian mereka telah berada
di dalam ruangan yang tidak begitu luas. Kemu-
dian Suro dengan gamblang menceritakan segala
sesuatu yang diketahuinya termasuk rencana
yang akan dilakukan oleh empat datuk bersama
laki-laki tua bercaping dan bermata buta.
Jika saja Suro Blondo tidak menyinggung
tentang kehadiran laki-laki bercaping tentu Dewi Anggini tidak percaya. Tidak
karena Suro menyebut-nyebut tentang si Mata Iblis. Mau tidak mau Dewi
terperanjat juga. Sungguhpun begitu ia juga harus berhati-hati. Karena
sesungguhnya ia sendiri tidak tahu siapa Suro Blondo yang sesung-
guhnya. "Waktu penyerangan sudah semakin ber-
tambah dekat. Jika kau mau, sebaiknya cepat
kau kabarkan berita ini pada orang tuamu. Saat sekarang ini posisi
Katemenggungan Kediri benar-benar dalam keadaan yang sangat mengkhawatir-
kan...!" kata pemuda berbaju biru ini khawatir.
"Rasanya sulit untuk mengatakan sesuatu
yang sangat rahasia sifatnya. Karena diantara
empat Datuk. Terkadang selalu mendampingi
ayahanda kemanapun beliau pergi."
"Tapi... sebagai anak, tentu kau punya banyak kesempatan untuk mengatakan apa
yang kau ketahui. Hari tinggal empat hari lagi. Aku akan melakukan sesuatu yang tentu
saja dengan dalih yang tidak dapat disangkal oleh Empat Datuk. Sebagaimana pembicaraan
mereka yang aku
dengar. Mereka akan menyerang Katemenggun-
gan ini dengan melibatkan rakyat yang tidak ber-
dosa." "Bagaimana mungkin dapat terjadi?" Dewi Anggini semakin bertambah was-
was. "Mata Iblis, kalaupun matanya memang
bukan mata ikan asin. Kudengar-dengar mempu-
nyai kemampuan untuk menundukkan orang
lain. Aku tidak tahu cara mereka melakukannya.
Tapi menurut kawanku Dogma, orang-orang di
luar Katemenggungan sekarang mempunyai tin-
dak tanduk yang cenderung memberontak."
"Kau harus katakan padaku, Suro. Siapa
Dogma yang sebenarnya?" desak Dewi.
Pendekar Mandau jantan ini geleng-
gelengkan kepala sambil menggaruk rambutnya
berulang-ulang.
"Dogma menurut penglihatan adalah laki-
laki banci. Aku tidak tahu siapa dia sesungguhnya. Ibunya, neneknya atau
saudara-saudaranya.
Karena ketika aku mulai bekerja disini dia me-
mang sudah ada."
Dewi hampir tertawa mendengar ucapan
Suro. Pemuda ini sungguhpun tampan tampang-
nya tolol. Namun dibalik ketololannya ia memiliki kecerdikan dan rasa humor yang
tinggi. Ia merasa tidak yakin kalau Suro Blondo merupakan pemuda biasa. Paling
tidak ia mempunyai kepandaian tersembunyi. Tokh kalau memang benar. Mengapa ia
menyembunyikan kepandaiannya dan mau
menjadi tukang pengurus kuda"
"Baiklah, Suro. Apa yang kudengar dari
akan kusampaikan pada ayah. Tapi ingat, jika
kau berbohong padaku. Maka kau akan kami
gantung di alun-alun Katemenggungan!" ancam Dewi Anggini.
Suro Blondo mengedipkan matanya. "Aku
tentu suka digantung oleh gadis secantikmu. Tapi harus kau ingat, apa yang baru
saja kusampaikan ini jangan sampai tercium oleh empat Datuk!"
Dewi Anggini menganggukkan kepala. Ia
bangkit berdiri, namun entah mengapa ia merasa berat untuk meninggalkan Suro
Blondo. Pemuda tampan berambut kemerahan ini.
"Baiklah sekarang aku harus pergi dulu.
Aku takut Empat Datuk mengetahui aku berada
disini." Suro Blondo mengantarkan tamunya sampai di depan pintu. Dipandanginya
kepergian De-wi Anggini sampai gadis itu menghilang dari pandangan mata Pendekar
Blo'on. *** Pendekar Blo'on baru saja hendak mening-
galkan pintu ketika ia mendengar suara langkah-langkah kaki mendekatinya. Dengan
cepat ia me- noleh. Pemuda ini tersenyum ketika melihat siapa yang datang. Kali ini untuk
pertama kalinya ia memandangi Dogma dengan tatapan mata tidak
berkedip sedikitpun.
"Mata itu... mengapa baru sekarang aku
seperti mengenalnya" Aku merasa seperti pernah bertemu dengannya." batin
Pendekar Blo'on da-
lam hati. "Kau baru saja bertemu dengan seorang
gadis dan merupakan putri keluarga terhormat,
sobat!" desah Dogma. Ia tanpa menunggu lagi langsung masuk kedalam ruangan.
Ketika melihat ada kendi menggeletak di
atas meja jati. Dogma langsung meneguknya.
"Ah nyaman sekali air ini. Tapi... mengapa rasanya seperti ini?" Lidah Dogma
mendecap-decap. Ada yang terasa lain pada air yang baru diminumnya. Dogma
meneguknya lagi. Pada saat
itu Suro buru-buru berkata.
"Hei... jangan kau minum...! Itu... itu...!"
Gluk! Gluuk! "Aduh celaka. Mengapa kau habiskan air
itu?" Suro Blondo geleng-gelengkan kepala. Kemudian ia pun tertawa membahak
hingga mem- buat Dogma terheran-heran.
"Ada apa sobat?"
"Kalau mau minum bilang-bilang dulu pa-
daku." "Kenapa rupanya?"
"Air... air didalam kendi itu kencing kuda yang akan kupergunakan untuk menyiram
tana-man di taman... ha ha ha ha...! Rupanya kau paling suka kencing kuda.
Pantesan kau tidak per-
nah mau minum arak wangi, Dogma!"
Wajah Dogma berubah merah padam. Pe-
rutnya mendadak terasa mual. Namun ia tidak
dapat memuntahkan air yang diminumnya sung-
guhpun ia telah berusaha memuntahkannya.
"Kau mengapa tidak mau mengatakannya
sejak tadi?" dengus Dogma marah.
"Aku salah" Bukan aku yang salah. Kaulah
yang salah! Seharusnya kau bertanya dulu pada-
ku jangan asal main sambar saja." Suro Blondo masih tetap tersenyum.
Dogma memalingkan wajahnya ke arah
lain. Tidak seorangpun yang dapat membaca pikirannya saat itu.
"Aku heran, Katemenggungan benar-benar
diambang bahaya. Tapi kau masih dapat tertawa
dan tersenyum seperti orang gila!" tegas Dogma serius. "Aku lebih heran lagi,
entah siapa kau ini.
Tubuhmu harum seperti perempuan. Tatapan
matamu seperti pernah kulihat. Lalu apa renca-
namu untuk mengatasi persoalan majikan kita
ini?" "Aku tidak becus apa-apa."
"Ha ha ha...! Janganlah berbohong padaku.
Aku dapat melihat pakaianmu. Tapi aku tidak
dapat melihat apa yang tersembunyi dibalik pa-
kaianmu... Sungguhpun begitu aku tahu sebe-
narnya kau mempunyai kepandaian yang cukup
lumayan. Sekarang sudah waktunya bagi kita un-
tuk mengatur rencana selanjutnya." Suro Blondo kemudian duduk di pinggir dipan
bambu. Sementara Dogma berjalan mondar-mandir di depannya
seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu
yang rumit. "Apa kau punya pendapat jika kita ba-
riskan kuda dan anak-anaknya dihalaman Kate-
menggungan?"
"Aku setuju karena akupun baru saja be-
rencana begitu. Ah... mengapa jalan pikiran kita hampir sama?" Pendekar Blo'on
tepuk-tepuk keningnya.
"Apa coba kelanjutannya?" pancing Dogma.
"Kuda-kuda itu kita ikat antara satu den-
gan yang lainnya. Pintu dan tembok kita bongkar.
Bila ada penyerangan kita hanya tinggal menghalau kuda-kuda itu. Sehingga mereka
akan berlari tunggang langgang. Dibelakang barisan kuda ba-ru kita siapkan
pasukan pemanah itu. Setelah itu baru kita persiapkan pula prajurit-prajurit
perang. Bagaimana?"
"Aku setuju. Memang itulah rencana yang
sedang ku pikirkan!"
"Nah sekarang kita tinggal minta izin pada Tumenggung."
"Jadi kau belum membicarakannya pada
Dewi?" Dogma kaget.
"Belum." jawab Suro polos.
"Yaa... ampun. Jadi apa saja yang kau bi-
carakan dengannya, sobat?"
"Tentang rencana empat kampret yang
akan menggulingkan kekuasaan Tumenggung."
"Seharusnya kau sudah mengatakan pada
Dewi, tadi."
"Aku lupa." Pendekar Blo'on garuk-garuk rambutnya.
"Baiklah, rencana ini harus kita jalankan
secepatnya! Sekarang kita bagi tugas. Kau harus dapat menyakinkan Tumenggung!"
"Bagaimana dengan Empat Datuk?"
"Pagi tadi aku melihat mereka keluar dari tembok belakang. Kurasa mereka akan


Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengadakan serangan malam hari. Sasaran kita sudah jelas, orang-orang itu pasti
menjadi umpan."
"Dan aku tidak tega membunuh orang-
orang yang tidak mempunyai salah apa-apa. Ba-
gaimana ini?"
"Jangan bodoh sahabat Suro. Mereka ada-
lah orang-orang yang telah dikendalikan oleh sebuah kekuatan. Jika kita tidak
membunuhnya, pasti kita atau Tumenggung yang akan terbu-
nuh!" "Itulah yang membuat hatiku risau. Tapi jangan pula kau pikirkan!"
Suro Blondo menganggukkan kepala.
TUJUH Ketika tengah hari Suro Blondo menjumpai
Tumenggung Dadung Ampel di ruangan priba-
dinya dengan ditemani oleh Dewi Anggini. Laki-
laki berbadan semampai dan berambut kelimis ini jadi tercengang mendengar usul
si pemuda. Namun untuk melarang semuanya sudah terlambat.
Benteng yang mengelilingi kediaman Katemeng-
gungan pada bagian depannya telah terbuka le-
bar. "Ini merupakan tindakan yang sangat ke-
terlaluan! Kepada siapa kau minta ijin, Dewi"
Dengan terbongkarnya benteng depan. Sama ar-
tinya bahwa gerakan lawan tidak akan terben-
dung. Lagipula Datuk Empat mana mungkin
berkhianat pada kita. Aku tahu pengabdian me-
reka, sungguhpun mereka belum lama mengabdi
di Katemenggungan ini. Sedangkan kau orang
muda, siapakah kau yang sesungguhnya...?" suara Tumenggung Dadung Ampel tajam
menusuk. Suro Blondo terdiam.
"Cepat katakan atau aku akan memerin-
tahkan pada para pengawal untuk menjeb-
loskanmu kedalam penjara!"
"Maaf gusti. Aku tidak dapat mengatakan
siapa diriku. Yang jelas aku punya tujuan yang baik untuk membantu gusti
Tumenggung di sini."
desah Suro Blondo menghaturkan sembah.
"Jika kau mempunyai tujuan yang baik.
Mengapa kau merahasiakan siapa dirimu yang
sesungguhnya?" tanya Tumenggung Dadung Ampel curiga.
"Coba berterus teranglah, Suro agar ayah
dapat memahaminya!" ujar Dewi.
"Saya adalah orang yang tidak suka dian-
cam, gusti. Kalau gusti tetap mencurigai saya.
Maka lebih baik saya pergi dari sini. Dan Tu-
menggung akan menghadapi serangan massa seo-
rang diri, sementara Empat Datuk akan membo-
kong Tumenggung dari belakang."
"Hmm, begitu. Kalau Empat Datuk mau
berterus-terang siapa mereka. Apakah sekarang
aku harus membiarkan orang yang tidak mau
berterus-terang tentang siapa dirinya"!"
"Kalau Tumenggung memaksa juga. Saya
akan mengatakan siapa sesungguhnya saya
ini...!" sahut Pendekar Blo'on. Saking kesalnya ia menggaruk kepala berulang-
ulang. "Nah, katakanlah...!"
"Namaku Suro Blondo. Aku berasal dari
gunung Bromo dan guruku membesarkan aku di
gunung Mahameru. Julukanku Pendekar Blo'on.
Apakah keteranganku ini sudah cukup bagi an-
da?" Tumenggung Dadung Ampel jadi terkesima.
Begitu juga halnya dengan Dewi Anggini. Sama
sekali mereka tidak menyangka bahwa pendekar
yang akhir-akhir ini namanya sering dibicarakan orang-orang persilatan kini
telah berhadapan
langsung dengan mereka. Tumenggung Dadung
Ampel tiba-tiba merasa dirinya kerdil didepan Su-ro Blondo.
"Pendekar Blo'on. Tidak kusangka aku da-
pat bertemu dengan orang yang tersohor seperti-mu. Betapa beruntungnya aku ini."
guman sang Tumenggung penuh rasa takjub.
Sebaliknya pemuda baju hijau ini hanya
menggaruk rambutnya. Dalam hati ia merasa ka-
sihan juga melihat keadaan Tumenggung yang be-
lum sembuh sepenuhnya
"Rupanya kau sengaja menyusup ke kan-
dang kuda untuk menyelamatkan kami, Pende-
kar?" kata Dewi Anggini penuh rasa kagum.
"Kurasa tidak ada cara lain, Anggi. Aku takut Empat Datuk mengetahui semua
rencanaku. Itulah sebabnya aku rela jadi pecundang ketika Empat Datuk menanyaiku. Setelah
mengurus ku-da aku jadi pecundang kudu pula"
"Baiklah, anak muda. Sekarang setelah
mendengar dan mengetahui asal usulmu. Tentu
aku tidak meragukan rencanamu. Terus terang
Katemenggungan ini punya pengawal terbatas.
Jika Datuk Empat menyerang kemari, aku tentu
kurang dapat membantu mengingat lukaku be-
lum sembuh. Bagaimana pun tidak bisa berpang-
ku tangan. Jadi kekuatan untuk menghadapi
Empat Datuk dan gurunya tergantung sepenuh-
nya di pundakmu. Apa mungkin kita minta ban-
tuan jago-jago bayaran?"
"Jago bayaran kurasa sulit dicari. Tapi jika Tumenggung berkenan, aku punya
kawan seorang pengurus kuda juga. Namanya Dogma Pali-
wara." "Dogma Paliwara memang telah bekerja dengan kami sebelum kau kemari.
Sungguh pun makannya banyak, kurasa dia tidak punya ke-
pandaian apa-apa. Aku ragu!"
Pendekar Blo'on tersentak kaget menden-
gar penjelasan Tumenggung Kediri. Sebab sein-
gatnya Dogma tidak lain adalah seorang laki-laki berbadan ramping. Makannya
sedikit sekali seperti makan ayam. Dadanya membusung. Selain
itu suaranya pun mirip perempuan yang sedang
batuk. "Gusti ada menyinggung Dogma merupakan laki-laki berbadan besar?"
bertanya Suro seakan tidak percaya.
"Betul. Ada apa rupanya?"
Suro jadi kelabakan. Haruskah ia mene-
rangkan ciri-ciri yang dimiliki Dogma" Bagaimana pula bila Dogma yang bekerja
dengannya adalah
orang yang sedang melakukan penyamaran" Pen-
dekar Blo'on jadi pusing sendiri.
"Jadi bagaimana selanjutnya, Suro?" tanya Dewi. "Kita hanya menunggu malam. Jika
Empat Datuk tidak merubah rencananya. Tentu malam
ini kita akan menghadapi pertempuran sengit."
"Aku telah mempersiapkan segala-galanya.
Pasukan pemanah dan juga prajurit-prajurit yang siap tempur." tegas Dewi
Anggini. "Bagus anakku. Sungguh pun aku tidak
menyukai pertempuran ini. Tapi nampaknya kita
tidak punya pilihan lain." desah Tumenggung dengan wajah muram.
Suro geleng-gelengkan kepala.
"Kalau punya pilihan lain tentu aku tidak mau membicarakan persoalan ini
denganmu, Tumenggung!" batin pendekar Blo'on.
*** Suara lolongan anjing sejak menjelang ma-
lam tadi terus terdengar mendayu-dayu. Membuat
tengkuk setiap orang yang mendengarnya mere-
mang berdiri. Malam ini kota Kediri terasa begitu sunyi, tidak sebagaimana
biasanya pada saat-saat seperti ini selalu terdengar suara kentongan atau suara
tawa dan canda orang-orang yang sedang
bertugas jaga. Di depan halaman Katemenggungan yang
sunyi sepi itu. Belasan ekor kuda tampak mulai mengantuk. Berbeda halnya dengan
sepasukan pemanah dan para pengawal yang siap tempur.
Mereka semuanya tampak tegang. Dogma
berdampingan dengan Tumenggung Dadung Am-
pel juga Dewi Anggini. Sedangkan Pendekar
Blo'on berkeliaran bebas memantau setiap per-
kembangan di luar sana.
Hingga jauh malam Empat Datuk yang ter-
diri dari Datuk Satu, Dua Tiga dan Empat masih belum juga kembali. Ini semakin
memperkuat keyakinan sang Tumenggung bahwa apa yang di-
katakan oleh Pendekar Blo'on memang benar
adanya. "Kuda-kuda itu memang tidak tahu ba-
haya. Dari pagi kuberi mereka makan hingga ke-
nyang. Kotorannya saja yang banyak, sekarang
malam mau membesarkan taik mata. Dasar bina-
tang!" Suro Blondo menggerutu.
Dalam kegelapan malam itu mata sang
pendekar mencari-cari. Tiba-tiba matanya terbelalak lebar. Dari tiga penjuru
arah ia melihat cahaya obor bergerak ke Katemenggungan. Sayup-
sayup terdengar sorak sorai mereka. Orang-orang
yang membawa berbagai jenis senjata ini rata-rata bertampang dingin. Tatapan
mata mereka kosong
tanpa cahaya kehidupan. Dan yang sungguh
membuat Pendekar Blo'on gelang-gelengkan kepa-
la karena yang berasal dari bagian utara semuanya memakai pakaian serba merah.
"Inikah yang mereka katakan sebagai pem-
berontak merah?" Si Pemuda membatin. Lalu ia menoleh ke arah selatan, dari
bagian selatan tampak serombongan dalam jumlah besar mema-
kai pakaian serba hitam. Lalu dari timur berbaju serba kuning.
"Merah hitam dan kuning! Empat Datuk
benar-benar seorang pengendali dan pengatur pasukan yang sudah sangat terlatih."
Pemuda tampan berambut hitam kemera-
han ini kemudian mengirimkan isyarat berupa siulan panjang.
Pasukan pemanah langsung merentang
busur. Rasa tegang jelas menghinggapi jiwa setiap orang. Apalagi mengingat
semakin lama mereka
semakin bertambah dekat saja.
Ketika jarak mereka semakin bertambah
dekat, maka terdengarlah suara teriakan di sana-sini. "Serbu...!!!"
"Bunuh Tumenggung Dadung Ampel!"
"Ganyang...!"
"Sikat...!"
Suara hiruk pikuk dari orang-orang yang
dilanda kemarahan ini kemudian diwarnai dengan
suara ringkik kuda yang bergerak liar tak kendali memporak porandakan barisan
penyerang yang terdiri dari rakyat biasa ini.
Para penyerang sebagian tunggang lang-
gang. Mereka ada yang tewas seketika karena terinjak kuda-kuda yang dipasang
tali-tali. Suasana tentu saja semakin hingar bingar ketika lampu-lampu
dinyalakan. "Panah...!" Tumenggung Dadung Ampel
memberi aba-aba.
Tanpa ampun panah-panah yang dile-
paskan oleh barisan pemanah langsung meng-
hunjam kebagian tubuh sasarannya.
Jerit kematianpun terdengar, mayat-mayat
bergelimpangan. Lalu diantara massa yang beru-
bah beringas melihat kematian saudara-
saudaranya ada yang menjadi nekad. Mereka
langsung menerjang barisan pemanah dengan
senjata terhunus. Pertempuran besar dalam jarak yang cukup dekat pun tidak dapat
dihindari lagi.
Denting suara beradunya senjata tajam pun tera-sa merobek keheningan malam.
Tentu saja kor-
ban terlalu banyak jatuh di pihak penduduk biasa yang telah berada dalam
pengaruh kekuatan Mata Iblis. Karena pada dasarnya mereka memang tidak tahu
menahu tentang seluk beluk peperan-
gan. Sungguhpun tidak dapat dipungkiri bahwa
di pihak Katemenggungan korban juga mulai ber-
jatuhan satu demi satu.
Dogma, Dewi Anggini serta Tumenggung
Dadung Ampel akhirnya tidak dapat tinggal diam
juga. Mereka terpaksa turun tangan ketika melihat jumlah penyerang semakin lama
semakin ber- tambah banyak dan datangnya bagaikan gelom-
bang air bah. Dengan turunnya ketiga orang ini, maka
dalam waktu yang singkat, para penyerang yang
jumlahnya mencapai tiga kali lipat dibandingkan pasukan Katemenggungan ini mulai
menyusut. Namun anehnya sampai sejauh itu Empat
Datuk tidak juga muncul. Padahal inilah saat-
saat yang paling dinanti-nantikan oleh Suro
Blondo. Lebih kurang tiga setengah jam pertarun-
gan berkecamuk. Tumenggung Dadung Ampel
mengamuk bagaikan banteng yang terluka. Seba-
liknya Dogma yang menggebrak lawannya dengan
mempergunakan senjatanya yang berupa trisula
inipun mulai tampak kelelahan, begitu juga halnya dengan Dewi yang mempergunakan
pedang- nya untuk membantai lawan-lawannya.
Pada saat-saat seperti itu pula muncul tiga
orang berpakaian serba hitam memakai kedok
penutup wajah. Kehadiran mereka tentu saja
membangkitkan semangat penyerang yang sudah
lumer. "Tumenggung! Hari ini hancurlah sudah kekuasaanmu! Kalian harus
menyerahkan diri
kepada kami!" dengus salah satu dari ketiga pen-datang ini dengan kasar.
"Hh, aku tahu siapa kalian. Empat Datuk
pengkhianat. Mana kawan kalian yang satu lagi.
Aku pun tidak melihat si buta mata. Mengapa kalian memperalat orang-orang yang
tidak berdosa?"
desis Tumenggung Dadung Ampel berang.
Ketiga laki-laki berkedok itu terkejut sekali.
Mereka rupanya tidak menyangka Tumenggung
Kediri mengetahui siapa mereka. Tentu saja me-
reka merasa percuma memakai kedoknya lagi.
Sehingga dengan serentak mereka membuka ke-
doknya masing-masing.


Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu dari atas atap Suro Blondo
terus mengawasi. Tapi akhirnya ia tidak tahan ju-ga setelah melihat tampang-
tampang Empat Da-
tuk berkepala botak ini. Sehingga iapun melom-
pat turun dengan gerakan yang sangat ringan sekali.
DELAPAN "Ha ha ha! Terus-terang sesungguhnya
kami memang menginginkan kematianmu dan ju-
ga kematian keluargamu, Tumenggung. Jika guru
kami Mata Iblis nanti menemuimu, maka kau
akan tahu mengapa kami sangat membencimu.
Rupanya rencana kami agak menemui hambatan
karena ada seseorang yang telah membocorkan
rahasia kami!" kata Datuk Tiga.
"Setiap perbuatan busuk cepat atau lambat akhirnya akan ketahuan juga datuk-
datuk berkepala gundul. Seperti gundul kalian itu. Tentu saja rambut segan
tumbuh diatasnya karena otak dan
kepala kalian selalu dipenuhi oleh rencana yang ngeres-ngeres!" celetuk Pendekar
Blo'on hingga membuat tiga datuk menoleh ke arahnya. Mereka
terkesima begitu mengetahui siapa yang bicara.
Sementara itu pertempuran antara pengawal-
pengawal Katemenggungan dengan penduduk
yang kena dihasut terus berlangsung. Sungguh-
pun jumlah mereka sudah tidak begitu banyak
lagi "Kau... bukankah tukang kuda yang tolol itu?" tanya Datuk Tiga.
"Aku sesungguhnya bukan tukang rawat
kuda. Hanya karena aku mendengar bakal ada
perebutan kekuasaan disini dan juga siasat keji.
Makanya aku terpaksa harus rela menjadi tukang kuda." kata Suro Blondo. Kemudian
ia menggaruk-garuk kepalanya. "Sayang aku turut mendengar pembicaraan kalian
beberapa malam yang la-
lu dengan seorang laki-laki buta bertampang jelek. Apakah orang itu bapak moyang
kalian atau guru, eh...!"
"Bangsat! Semuanya sudah kepalang ba-
sah. Semula kami hanya bermaksud menghukum
Tumenggung Dadung Ampel. Tapi karena manu-
sia setololmu ikut campur tangan. Untuk mem-
buat agar dunia tidak rusak karena kehadiran
orang dengan semacammu. Maka kami juga ter-
paksa membunuhmu!" Datuk Dua tiba-tiba hantamkan tinjunya ke dada Suro.
Sedangkan Datuk
Tiga dan Datuk Empat menyerang Tumenggung
Dadung Ampel secara keroyokan. Melihat kenya-
taan ini, Dewi Anggini dan Dogma tentu saja tidak tinggal diam. Bahu membahu
mereka menghadapi Datuk Tiga dan Empat.
"Bagus! Majulah kalian semua biar kami
tidak usah bersusah payah dan mengulur-ngulur
waktu!" "Banyak bacot! Hiyaa...!" Dogma membentak garang. Tubuhnya dengan ringan melesat
ke depan sambil kirimkan satu tendangan kilat ke
dada Datuk Empat. Sementara dari arah lain De-
wi Anggini telah memasukkan pedangnya ke ba-
gian punggungnya.
Sambil memaki Datuk Empat membuang
badannya ke samping lalu lepaskan pukulan ja-
rak jauh ke arah dua lawan sekaligus.
Dewi maupun Dogma tidak mau kalah.
Dengan gerakan yang sangat indah sekali mereka bersalto ke belakang, lalu
jatuhkan diri dan berguling-guling.
Tumenggung Dadung Ampel ketika itu juga
sedang menghadapi tekanan dari Datuk Tiga.
Tapi ia tetap tenang dalam menghadapi la-
wan yang satu ini. Apalagi mengingat keempat
Datuk hanya menjadi lebih berbahaya bila me-
nyerang secara bersamaan. Dengan tidak hebat-
nya ia membalas setiap serangan yang dilancar-
kan oleh Datuk Tiga.
Kini ia terpaksa mengerahkan jurus "Peng-
hancur Karang' ketika Datuk Tiga menyerangnya
dengan jurus andalan 'Prahara Melanda Samu-
dra'. Kedua-duanya saling serang dan pukul. Ti-
dak jarang mereka bentrok dan tampak ter-
huyung-huyung bila terjadi bentrokan fisik diantara mereka.
Sementara itu pertempuran yang terjadi
antara Suro Blondo dengan Datuk Dua berlang-
sung lebih seru lagi.
Sungguhpun tidak meremehkan lawannya,
tapi pemuda ini nampaknya sedang berusaha
memancing kemarahan lawannya.
Ia mempergunakan jurus 'Kera Putih Me-
milah Kutu' ketika Datuk Dua mempergunakan
jurus "Badai Gurun Pasir'. Jurus yang dipergunakan Datuk Dua ini sebenarnya
tidak dapat dianggap main-main. Karena pada saat kaki dan tan-
gannya menyapu ke depan. Pada saat itu juga angin menderu disertai menebalnya
pasir yang seakan terangkat dari permukaan tanah.
Tapi dengan gerakan yang sangat lucu dan
seakan tanpa kontrol, Suro selalu dapat meng-
hindari serangan yang datang. Sekali-sekali ia berjongkok dan melompat-lompat
dengan kaki di-tekuk, lalu tangannya menggaruk-garuk ke ba-
gian punggungnya. Namun begitu lawan mele-
paskan tendangan dengan cepat ia sudah melom-
pat ke samping lalu menangkap kaki Datuk Dua.
Begitu tertangkap kaki lawan langsung di-
pelintirnya sehingga membuat lawan jatuh ter-
hempas dengan posisi menelungkup. Laksana ki-
lat Suro Blondo melompat lagi lalu menginjak-
injak punggung lawannya.
Hentakan kaki yang dilakukannya cukup
keras, hingga membuat Datuk Dua berteriak ke-
sakitan. Seraya kemudian berbalik dan hantam-
kan tangannya ke kaki Pendekar Blo'on. Tokh
pemuda ini sudah melompat menjauh. Dengan
geram sekali Datuk Dua himpun tenaga dalam-
nya. Rupanya ia telah bersiap-siap melepaskan
pukulan 'Bintang Kemukus'.
Sekejap kedua tangan Datuk telah berubah
menjadi terang. Sinar biru bercampur kuning
memedar dari kedua tangannya yang saling ber-
tautan. Pendekar Blo'on pencongkan mulutnya. La-lu ia melompat ke belakang pada
saat Datuk Dua hentakkan kedua tangan ke arahnya.
Sinar biru, merah kuning datang mengge-
bu. Pendekar Blo'on terkesiap lalu sambut pukulan lawannya dengan satu pukulan
warisan gu- runya Penghulu Siluman Kera Putih.
"Kera Sakti Menolak Petir!" teriak Suro Blondo.
Wus! Wus! Secara berturut-turut Suro Blondo melam-
baikan tangannya memapaki serangan lawan
yang menderu kencang ke arahnya.
Sinar putih laksana perak ini kemudian
melesat dari telapak tangan Suro Blondo. Tidak pelak lagi, udara malam yang
terasa dingin berubah menjadi panas laksana berada ditengah-
tengah bara api. Kemudian....
Buum! Buum! Terjadi ledakan yang sangat keras sekali.
Bumi terasa bagai diguncang gempa. Mereka yang sedang terlibat pertempuran
tampak bergetar. Su-ro sendiri sempat menjerit dan bersalto menghindar ketika
hawa panas terasa seperti membalik
dan membuat leleh tulang dan dagingnya.
"Uhuk...! Huuk! Hoeek!"
Ketika ia terbatuk maka darah meleleh dari
bibirnya. Datuk Dua segera memperbaiki kuda-
kudanya yang sempat goyah. Kini ia merasa bera-da diatas angin setelah melihat
keadaan lawan- nya. Dengan penuh nafsu ia menghimpun kemba-
li tenaga dalamnya. Lalu segera mengerahkannya kebagian kedua tangannya. Melihat
lawan bersiap-siap melepaskan pukulan dahsyat untuk
yang kedua kalinya. Pendekar Blo'on menyeringai.
"Tuyul iblis ini ternyata tidak dapat dianggap main-main. Kurasa hanya pukulan
'Ratapan Pembangkit Sukma' saja yang dapat mengimbangi
pukulannya." Pendekar Blo'on menggumam dihati.
Seraya kemudian memperbaiki posisinya.
Selanjutnya dengan mata setengah terpejam ia telah mengeluhkan tenaga dalam yang
dimilikinya. Masih dengan mengandalkan jurus 'Serigala Me-
lolong Kera Sakti Kipaskan Ekor' tubuhnya bergerak cepat. Mulutnya terus
memperdengarkan su-
ara aneh seperti orang yang menjerit-jerit histeris.
Suara yang ditimbulkannya jelas mengganggu
konsentrasi lawannya. Bahkan Datuk Tiga dan
Datuk Empat yang sedang menghadapi Tumeng-
gung, Dogma dan Dewi pun merasa terganggu.
"Keparaaaat...! Hiyaaa...!"
Ditengah-tengah teriakan kemarahannya
itu Datuk Dua mendorongkan kedua tangannya
ke depan. Wuuukh...! Splash! Sinar merah biru dan hitam kembali meng-
gebu. Kali ini tentu saja dengan kekuatan berlipat ganda. Si pemuda seka
keningnya, lalu melam-baikan tangannya pula untuk memapaki pukulan
yang menderu ke arahnya.
Sinar putih perak melesat bagaikan kilat.
Hanya dalam waktu sepersekian detik kedua tan-
gan sakti ini saling bertemu.
Bumm...! "Aaaa...!"
"Iiikh...!"
Baik Datuk Dua maupun Suro sama-sama
menjerit. Tubuh mereka terlempar sejauh tujuh
tombak. Lebih celaka lagi Datuk Dua jatuhnya
menghantam tembok benteng.
Sekujur tubuh laki-laki berkepala botak ini
berubah menghitam. Sedangkan Suro Blondo
sambil memegangi pinggangnya yang seperti pa-
tah bangkit berdiri secepatnya.
"Mati kau...!" desisnya sambil berusaha mengembalikan nafasnya yang tersendat-
sendat. Diluar dugaan ternyata Datuk Dua masih
mampu bangkit lagi. Sungguhpun sebagian ba-
dannya nyaris hangus.
"Kampret! Alot juga nyawa keledai gundul
ini!" batinnya dalam hati.
Sriing! Pendekar Blo'on kemudian mencabut sen-
jatanya berupa Mandau Jantan berwarna hitam
dengan empat lubang miring pada bagian tengah-
tengahnya. Ketika pemuda ini mengerahkan tena-
ga dalam dan memutar senjata maut dengan ga-
gang berbentuk pertapa berkepala gundul ini.
Maka terdengarlah suara rintihan kuda jantan
dan juga suara tangis yang begitu menyentuh
kalbu. Semua orang yang berada disekitar per-
tempuran sempat terkesima. Datuk Dua tidak ka-
lah kagetnya, ia mencabut rantai berbandul bola berduri. Namun sebelum ia sempat
memutar senjata aneh dan berbahaya di tangannya. Lawan telah melesat ke arahnya.
Demikian cepat gerakan Pendekar Blo'on
ini, lebih celaka lagi sulit untuk diduga. Dalam keadaan terluka parah itu Datuk
Dua masih berusaha mengelak. Namun senjata pemuda be-
rambut hitam kemerahan ini bergerak lebih cepat dari dugaannya.
Datuk Dua masih berusaha menangkis
dengan mempergunakan rantai ditangannya. Tapi
hanya dengan sekali babat saja rantai itu putus menjadi dua. Mandau jantan terus
meluncur dan menghantam dada Datuk Dua.
Crook! "Ayaaaak...!" Datuk Dua terpelanting sambil mengeluarkan suara jeritan menyayat.
Da- danya terbelah sampai ke perut dan mencapai
bagian kemaluannya. Darah menyembur tidak
ada henti dari luka yang sungguh menggiriskan
itu. Tanpa menghiraukan lawannya yang mere-
gang nyawa. Kini pendekar bertampang konyol ini melompat ke arah lain.
Sasaran berikutnya adalah Datuk Tiga
yang kini mulai berada diatas angin dalam menghadapi Tumenggung Dadung Ampel.
Sedangkan Tumenggung Kediri itu sendiri kala itu sudah
menderita luka dalam yang tidak ringan. Lebih
dari itu dibeberapa bagian tubuhnya sekarang
terlihat bekas luka-luka akibat terkena pedang milik Datuk Tiga.
"Menyingkirlah gusti Tumenggung! Aku ha-
rus mengirimkan datuk keparat ini menyusul ka-
wannya ke neraka!" kata Suro Blondo.
Melihat kehadiran Pendekar Blo'on Tu-
menggung Dadung Ampel segera menarik diri dari kalangan pertempuran. Tapi begitu
melepas lawannya, ia langsung bergabung dengan Dogma
dan anaknya Dewi Anggini.
Jika tadi menghadapi dua lawan Datuk
Empat sudah kerepotan, apalagi mengingat Dog-
ma dengan senjatanya yang berupa trisula me-
mang tidak dapat dianggap enteng. Apalagi kini ia menghadapi tiga orang lawan
sekaligus. Sementara itu Datuk Tiga sendiri mulai
tampak terdesak manakala Pendekar Blo'on men-
gerahkan jurus 'Tawa Kera Siluman'. Keistime-
waan pada jurus ini dan tidak pernah ada pada
jurus-jurus Suro lainnya adalah pada saat me-
nyerang. Tidak henti-hentinya ia tertawa. Se-
dangkan dalam suara tawa itu terkandung tenaga dalam yang dapat menghancurkan
konsentrasi lawannya. Di tambah lagi dengan gerakan-
gerakan yang dilakukannya tidak teratur dan
terkesan sembarangan namun sangat berbahaya.
Maka lengkaplah sudah penderitaan yang dirasa-
kan oleh Datuk Tiga. Laki-laki berbadan agak lebih pendek dibandingkan tiga
lainnya ini telah mengerahkan semua kemampuan yang dimilikinya. Tapi permainan
jurus-jurusnya tidak ber-kembang. Ketika Datuk Tiga melepaskan pukulan
'Lintang Kemukus' dan juga pukulan 'Bayang-


Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayang Langit'. Tetap saja pukulannya itu tidak mampu menembus pertahanan Suro
akibat pemuda itu mempergunakan senjatanya untuk me-
lindungi diri. Dalam keadaan begitu rupa, tiba-tiba Pen-
dekar Blo'on melepaskan pukulan 'Ratapan Pem-
bangkit Sukma'.
Angin kencang menderu disertai udara
dingin yang semakin lama berubah menjadi buti-
ran-butiran es. Beberapa batang pohon yang ter-dapat di halaman Katemenggungan
itu bertum- bangan dan segera terbungkus uap putih seperti salju. Datuk Tiga terkesiap,
sungguhpun ia telah melepaskan pukulan untuk memunahkan pengaruh udara dingin
yang membekukan itu. Tetap
saja pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma' mela-
braknya. Tidak pelak lagi Datuk Tiga menggerung
dahsyat saat pukulan itu menghantam tubuhnya.
Laki-laki berkepala botak itu jatuh terguling-
guling dengan jiwa melayang dan tubuh membe-
ku. Pada saat yang sama pula terdengar suara
lolongan Datuk Empat. Rupanya Tumenggung
Kediri, Dewi Anggini dan Dogma, laki-laki ber-
tampang seperti perempuan dan bersenjata Trisu-la itu telah berhasil
menjatuhkannya.
Tapi akibat pukulan yang dilepaskan oleh
Suro Blondo tadi, mereka terpaksa mati-matian mengerahkan tenaga untuk
menghilangkan pengaruh hawa dingin yang ikut menyerang mereka.
Pendekar Blo'on masukkan senjata ke da-
lam rangkanya. Ia bersiul tapi siulannya terasa begitu menyedihkan. Dengan
gontai ia menghampiri Tumenggung Dadung Ampel.
"Inilah pemandangan yang sangat menye-
dihkan gusti Tumenggung. Halaman ini penuh
tumpukan mayat dan genangan darah. Esok ma-
sih membutuhkan waktu satu hari untuk mengu-
burkan mereka. Padahal kita tidak tahu kapan
Datuk Satu dan Mata Iblis akan datang kemari."
"Sudah menjadi resiko. Untuk pertama ka-
linya Tumenggung Kediri dilanda musibah begini menyedihkan."
"Lalu apa rencanamu, Pendekar?" Dogma tiba-tiba bertanya.
Pemuda itu memandang ke arah Dogma
dengan perasaan heran tapi juga tercengang.
"Kau. Kau pasti bukan...!" Suro golang-gelengkan kepalanya. "Kau pasti bukan
laki-laki. Senjatamu sangat kukenal. Pasti kau Dewi Bu-
lan!" lanjut pemuda berambut kemerah-merahan ini dalam hati.
Dogma menyeringai, dalam hati ia merasa
geli. Sebab ia tahu kira-kira apa yang ingin dika-takan oleh pemuda yang selalu
hadir dalam ha-
tinya ini. "Dugaanmu tepat, Suro. Aku memang Dewi
Bulan." kata Dogma dalam hati.
"Kawanmu ini juga telah banyak memban-
tu kami, Pendekar. Aku tidak tahu bagaimana ja-dinya kalau tidak ada kalian."
"Ah, Tumenggung terlalu berlebihan. Seka-
rang sudah menjelang pagi. Sebaiknya Tumeng-
gung dan Dewi beristirahat. Biarkan kami yang
melakukan penjagaan dan mengatur penguburan
mayat-mayat ini."
"Tidak bisa! Mereka dapat muncul sewak-
tu-waktu. Bagaimana pun aku tidak dapat mem-
bebankan persoalan ini sepenuhnya pada orang
lain." "Kalau Tumenggung sudah bicara begitu, siapa berani melawan siapa biasa
membantah. Marilah kita berjaga sampai pagi!" ujar Suro Blondo jenuh.
SEMBILAN Penguburan massal mayat-mayat pendu-
duk yang ikut dalam penyerbuan maupun mayat-
mayat pengawal Katemenggungan tidak terlalu
jauh dari pusat pemerintahan Tumenggung Kedi-
ri. Namun karena jumlahnya begitu banyak,
baru menjelang jam dua siang penguburan itu berakhir. Atas perintah Tumenggung,
kubur para pengawal Katemenggungan tentu dipisahkan den-
gan kubur masyarakat umum.
Baru saja acara penguburan masal itu
usai. Dari arah lain terlihat Datuk Satu dan seorang laki-laki bercaping bambu
bergerak cepat menghampiri Tumenggung dan Pendekar Blo'on
yang sedang beristirahat di bawah sebatang po-
hon yang cukup rindang
"Dua iblis telah datang. Gerangan apa yang mereka inginkan" Iblis yang satu
tidak punya ma-ta, baunya busuk melebihi bangkai. Ah... sayang, kubur disini
sudah semakin sempit. Jika mereka ingin mati, tentu tidak tersedia lagi tempat
bagi kalian. Terkecuali jika mayat kalian dilempar ke jurang!" Seakan ditujukan
pada diri sendiri Pendekar Blo'on menggumam.
Mata Iblis dan Datuk Satu yang baru saja
sampai di depan Tumenggung Dadung Ampel
sungguhpun geram namun tidak begitu menghi-
raukan ucapan si pemuda. Sebaliknya Mata Iblis segera bicara yang ditujukan pada
Tumenggung Dadung Ampel. "Setelah melihat rupa dan keadaanku, ten-
tu kau tidak lupa siapa aku bukan" Lima belas
tahun aku terbuang di Nusa Kambangan. Lima
belas tahun pula badan ini terlunta dan tersiksa.
Jika sekarang aku datang, apakah kau telah siap membayar hutang-hutangmu,
Tumenggung?"
"Hmm, aku selalu ingat siapa kau yang se-
benarnya, Mata Iblis. Bagiku Solodra atau siapapun kau berganti nama. Tetap saja
kejahatan yang kau lakukan kepada keluargaku tidak per-
nah kulupakan." sahut Tumenggung Dadung Ampel tegas.
"Keparat! Kau telah memutar balikkan fak-
ta. Aku tidak perlu banyak bicara padamu. Per-
tama aku akan meminta matamu, setelah itu aku
akan meminta nyawamu dan juga nyawa keluar-
gamu. Selain itu aku juga harus membawa putri-
mu ke Nusa Kambangan sebagai pendamping hi-
dupku!" "Puih, siapa sudi!" Dewi Anggini mendengus marah.
"Sudahlah Iblis Mata Buta. Kau telah men-
gorbankan tiga muridmu secara sia-sia. Lebih
baik kau pulang ke negerimu. Bukannya aku
sangat kasihan melihatmu karena tidak bisa me-
lihat!" kata Pendekar Blo'on sambil garuk-garuk kepalanya.
Melihat gurunya dihina oleh pemuda ber-
tampang tolol yang pernah dipecundanginya. Ten-tu saja Datuk Satu tidak senang.
Maka laki-laki berusia lima puluh tahun dan berkepala gundul
ini langsung melabrak Suro Blondo. Tapi sebelum pemuda ini bertindak. Dogma dan
Anggini telah menghadangnya dan langsung menyerang Datuk
Satu dari dua arah sekaligus. Pendekar Blo'on segera maklum apa yang diinginkan
oleh Dewi dan Dogma. Paling tidak mereka menghendaki agar ia berhadapan dengan Mata Iblis yang
mereka anggap memiliki kepandaian jauh di atas Tumeng-
gung Dadung Ampel.
Pemuda ini tentu tidak membuang kesem-
patan begitu saja. Ia mengedipkan matanya pada sang Tumenggung. Tumenggung
langsung men-gerti dan ia segera membantu putri dan juga tukang rawat kudanya.
Sementara itu untuk mengecoh lawannya,
Suro Blondo tanpa bicara lagi segera mendahului melakukan serangan. Pendekar
Blo'on menyadari
lawannya merupakan guru dari tiga lawan yang
telah tewas ditangannya. Untuk itu begitu menyerang ia mengerahkan jurus Tawa
Kera Siluman dan juga jurus 'Kacau Balau'. Jurus yang disebut terakhir ini merupakan warisan
dari kakek sekaligus gurunya Malaikat Berambut Api yang tinggal di Pulau Seribu
Satu Malam. Ini merupakan jurus pada tingkatan kedua
dari dua jurus yang diwariskan oleh kakek berta-biat aneh tersebut.
"Hrrt...! Kau bukan Tumenggung Dadung
Ampel. Jurus-jurusmu aneh dan gerakan-
gerakanmu sangat berbeda dengannya. Siapakah
kau bangsat!" Mata Iblis menggerung marah.
"Ha ha ha! Bangsat itulah aku!"
"Goblok tolol. Kau benar-benar kapiran telah berani berurusan denganku!"
Mata Iblis menggebrak ke depan. Tongkat
ditangannya menderu. Pada awalnya bukan se-
rangan tongkat itu yang dianggap berbahaya oleh Suro, melainkan serangan-
serangan gencar dengan mempergunakan tangan kiri.
Terbukti sepuluh jurus kemudian jemari
tangan Mata Iblis sudah dapat menarik robek ba-ju Pendekar Blo'on sehingga
membuat pemuda itu leletkan lidah dan melompat mundur selamatkan
mukanya dari cakaran tangan kiri Mata Iblis. Begitu serangan luput, Mata Iblis
tusukkan tongkat ke arah dada Suro. Inilah jurus tongkat "Menggebrak Bala
memukul Gunung". Salah satu jurus aneh yang sangat ditakuti oleh lawannya karena
cepat dan berbahaya sekali.
"Uuts!"
Pemuda berambut hitam kemerahan ini
sempat terkesiap. Lalu membuang diri ke samp-
ing dan pergunakan jurus Kacau Balau untuk
mengatasi serangan tongkat dan tendangan kaki
kiri kanan lawannya yang datangnya bertubi-tubi ini.
Wus! Wuus! Lima kali serangan serupa luput. Mata Iblis
menggeram marah dan jadi panas hatinya.
Kali ini ia merubah jurus silatnya. Tongkat
ditangannya tidak lagi bergerak dan menusuk pa-da tempat-tempat tertentu. Pasti
sudah mengarah pada kedelapan jalan darah.
Suro Blondo seka keringat yang mengucur
diwajahnya. Ia sadar betul betapa berbahayanya serangan tongkat lawannya itu
sekarang. Namun ia masih tetap mempergunakan Il-
mu Kacau Balau yang memiliki keunikan tersen-
diri itu. Walaupun begitu, kiranya lawan yang telah
matang dalam pengalaman ini tidak menyerah
begitu saja. Berulang kali serangannya dapat dihindari oleh lawannya. Pada kesempatan berikutnya sambil berteriak lantang ia
menyerbu ke depan. Tongkatnya menyodok ke bagian lambung
dan leher Suro Blondo. Pemuda ini cepat sekali mengegoskan badannya, tangan
kanan menghantam ke dada. Tidak disangka-sangka ditangkis
oleh Mata Iblis.
Duuk! Pemuda ini mengeluh ketika tangannya
membentur tongkat hitam yang kerasnya melebihi batu. Mempergunakan kesempatan
yang singkat ini tinju Mata Iblis menghantam telak perut si pemuda.
Buk! Keras bukan main hantaman tersebut
hingga membuat Suro Blondo jatuh terpelanting
dan semburkan darah segar.
Mata Iblis yang bertarung hanya mengan-
dalkan ketajaman pendengaran dan mata hati ini terus memburu. Tongkatnya
menghunjam ke da-da si pemuda. Tapi Suro Blondo cepat bergulin-
gan lalu menendang kakinya ke bagian selang-
kangan Mata Iblis.
"Wuaaakh...!"
Mata Iblis terpincang-pincang. Perutnya te-
rasa sakit bukan main. Ia merasa saat itu bola kramatnya telah pecah. Sehingga
membuat kemarahannya meluap-luap.
"Rintihan Neraka!" teriak laki-laki bercaping ini sambil memutar tongkat
ditangannya. Suara menderu-deru terdengar. Kini tubuh Mata Iblis tertutup sinar
hitam yang keluar dari tongkat di tangannya. Suro Blondo selamatkan diri sambil
mengerahkan jurus Neraka Pembasmi Iblis. Inilah sebuah jurus pamungkas. Jurus
terhebat yang diwariskan oleh kakek gurunya Malaikat Berambut Api. Jelas sekali semakin
lama pertempuran antara kedua tokoh sakti ini semakin bertambah seru. Debu
berterbangan menyertai berge-
raknya masing-masing lawan. Dalam keadaan
yang semakin bertambah menegangkan itu. Mata
Iblis lepaskan topi capingnya dan segera ia lem-parkan ke arah Pendekar Blo'on.
Pemuda yang telah menderita luka dalam
ini sempat tercekat juga ketika caping itu menghantam ke arah kepala.
Ia segera lepaskan pukulan Neraka Hari
Terakhir. Pukulan Maha dahsyat yang juga meru-
pakan warisan dari Malaikat Berambut Api.
Ketika angin kencang panas membakar
menderu, terdengar suara jeritan disana-sini.
Udara berubah merah dan bumi bagai terbelah.
Mata Iblis sungguhpun tidak dapat melihat tapi dapat merasakan betapa dahsyatnya
pukulan itu. Tubuhnya sendiri sempat limbung dan seperti
hendak hangus. Tapi ia cepat kerahkan tenaga
dalam lindungi diri.
Praaakk...! Byaaar! Caping itu hancur berkeping-keping. Suro
Blondo yang seperti orang kesurupan ini sekarang mengarahkan pukulannya pada
Mata Iblis. Laki-laki bertampang mengerikan ini juga
terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya dan ber-
siap-siap melepaskan pukulan 'Badai Halilintar'.
Panas melawan panas. Pohon-pohon menghijau
disekitarnya menjadi hangus. Dan tidak dapat
disangkal memang jika suasana disekitarnya tidak jauh bedanya dengan di neraka.
Ledakan-ledakan keras terjadi. Baik Suro
Blondo maupun Mata Iblis berulangkali jatuh
tunggang langgang. Pakaian mereka sudah terca-
bik-cabik, wajah dan tubuh mereka kotor berse-
limut debu. Tidak dapat dihindari lagi, masing-masing
lawan menderita luka dalam yang sangat parah.
Sementara itu Datuk Satu yang sudah mu-
lai kucar-kacir menghadapi tiga lawan sekaligus kini mulai menjauhi pertempuran.
Rupanya baik Datuk Satu maupun Tu-
menggung Dadung Ampel dan dua orang lainnya
sama-sama tidak tahan menghadapi pengaruh
hawa panas yang bersumber dari kedua tokoh


Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sakti ini. Ia telah mengerahkan seluruh jurus pe-
dangnya, ia bahkan telah mempergunakan puku-
lan-pukulan handal yang dimilikinya. Tapi kerja sama lawan-lawannya yang sangat
baik membuatnya jadi pecundang.
Menjelang empat puluh jurus tubuhnya
bahkan sempat tertusuk Trisula milik Dogma. Pedang di tangan Dewi menghantam
punggungnya sehingga meninggalkan luka yang sangat lebar
dan parah. Saat Tumenggung Dadung Ampel mengge-
brak dari arah kanan. Ia sudah kehilangan kekuatan untuk menangkis serangan
lawannya. Creep! "Haaaak...!"
Ambruklah Datuk Satu dengan luka-luka
mengerikan di sekujur tubuhnya.
Kini tinggal Pendekar Blo'on dan Mata Iblis
yang terlibat pertempuran. Tampaknya mereka
memang berniat mengadu seluruh kepandaian
yang mereka miliki. Atau kalau perlu mereka lelah siap mengadu jiwa.
Mata Iblis sendiri sesungguhnya telah
menderita luka dalam dan luka bakar yang cukup parah. Tapi tampaknya ia memang
memiliki daya tahan yang sangat hebat.
"Bocah gila! Kau rupanya benar-benar he-
bat. Tapi kurasa kau juga tidak dapat memungkirinya bahwa aku juga orang yang
pantas menang dalam pertarungan ini!"
"Sebaiknya jangan banyak bicara. Kita
buktikan siapa yang bakal mampus lebih awal!"
dengus Suro Blondo, lalu gelang gelengkan kepalanya. Jeet! Deb! Bet!
"Hiiii...!"
Tiba-tiba pemuda berambut hitam kemera-
han ini hantamkan kembali tangannya ke depan.
Mata Iblis yang telah terluka parah ini memutar tongkatnya begitu merasakan
datangnya hawa pukulan menyengat tubuhnya. Gerakannya me-
mang cukup cepat. Namun Pendekar Blo'on yang
telah mengerahkan tiga perempat dari tenaga dalam yang dimilikinya tidak dapat
dianggap main-main. Kali ini hawa panas menyengat menerjang.
Mata iblis tidak dapat bertahan dan ter-
buntal pukulan Neraka Hari Terakhir yang dile-
paskan oleh Pendekar Blo'on.
"Akkh...!"
Mata Iblis memang tidak mampu menghin-
dar lagi. Di tengah-tengah luapan hawa panas itu terdengar suara lolongannya
yang begitu memilu-kan. Laki-laki bermata buta ini langsung terkapar. Tubuhnya
hangus, tongkat hitamnya menjadi debu. Suro leletkan lidah, ia langsung duduk
bersila untuk menyembuhkan luka dalam yang dide-
ritanya. Dogma yang diam-diam mengkhawatirkan
keselamatan Pendekar konyol ini segera meng-
hampiri. Namun ia tidak berani mengusik pemu-
da itu. Tidak lama kemudian Tumenggung Da-
dung Ampel dan Dewi Anggini juga menghampiri
Suro. "Bagaimana keadaannya?" tanya Tumenggung pada Dogma.
"Kurasa si konyol dapat mengatasi apa
yang telah terjadi padanya, Tumenggung." sahut Dokma.
Sekejap kemudian murid Penghulu Silu-
man Kera Pulih dan Malaikat Berambut Api ini
sudah bangkit berdiri.
"Sukurlah kau tidak apa-apa, Suro." seru Dewi Anggini dengan perasaan lega.
"Sebaiknya mari kita masuk ke rumahku.
Masih banyak yang ingin kuketahui di antara sekian banyak yang kalian
rahasiakan. Di samping aku juga ingin mengucapkan rasa terima kasihku pada
kalian berdua." kata Tumenggung Dadung Ampel. Dogma tersenyum malu-malu. Suro
nyengir, dalam hati ia berkata....
"Aku tahu siapa kau, tukang rawat anak
kuda. Matamu, he he he...! Mana bisa matamu
menipuku!"
Di ruangan yang cukup besar itu Tumeng-
gung Dadung Ampel, putrinya dan juga Dogma
duduk saling berhadap-hadapan. Tidak jauh dari mereka Pendekar Blo'on tidak
henti-hentinya memandang Dogma yang salah tingkah. Beberapa
jenis makanan istimewa dihidangkan. Di tengah-
tengah mereka sedang menikmati hidangan itulah Tumenggung Dadung Ampel buka
suara. "Atas nama Katemenggungan aku mengu-
capkan rasa terima kasih yang tidak terhingga
pada kalian. Jika bukan karena bantuan kalian, aku tidak dapat membayangkan
bagaimana nasib
Katemenggungan Kediri di masa yang akan da-
tang. Untuk itu kalian pantas mendapatkan ha-
diah yang cukup besar dari kami. Kalian hanya
tinggal menyebutkan hadiah apa yang kalian min-ta!"
"Gusti Tumenggung." Suro menanggapi.
"Sama sekali aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa. Apa pun yang kulakukan
semata-mata berdasarkan niat baik untuk menegakkan kebe-
naran. Lain tidak...!"
"Hmm, kau benar-benar Pendekar Sejati.
Lalu bagaimana dengan kawanmu" Aku yakin dia
bukan Dogma tukang rawat anak kuda yang se-
benarnya. Siapa kau ini, penolong kami"!" tanya Tumenggung.
"Sekarang memang sudah saatnya bagiku
untuk mengatakan siapa aku yang sebenarnya."
Dogma palsu menarik lepas penutup kepalanya.
Rambutnya yang panjang tergerai. Kumis tipis di-tarik, begitu juga dengan
alisnya. Dan....
Terlihatlah wajah seorang gadis cantik
dengan tahi lalat di dagu. Tumenggung dan pu-
trinya belalakkan mata. Sedangkan Pendekar
Mandau Jantan ini malah tergelak-gelak.
"Ha ha ha...! Aku memang sudah menduga
siapa kau, Dogma. Bau harum tubuhmu, mata-
mu"! Semuanya mana bisa menipuku. Mana
mungkin ada laki-laki dadanya berbukit, pinggulnya besar, lalu suaranya seperti
perempuan. Terkecuali banci. Dogma alias Dewi Bulan, ha ha
ha...!" "Tutup mulutmu pemuda konyol." dengus Dewi Bulan bersungut-sungut.
"Tumenggung, maafkan aku. Karena untuk beberapa waktu lawannya aku terpaksa
menyuruh pengasuh ku-
damu pulang kampung. Aku terpaksa melakukan
semua ini demi mempertahankan Katemenggun-
gan!" "Malah aku sangat berterima kasih. Rupanya kalian saling kenal. Kalau
boleh tahu setelah melihat kehebatanmu, siapakah gurumu?"
"Guruku...?" Dewi Bulan menjadi ragu-ragu. Suro nyeletuk. "Katakan terus terang
saja, tukang rawat anak kuda. Bukankah gurumu,
paman Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng. Yang
satu kurus macam cacing kurang makan dan...!"
"Suro...!!" Dewi Bulan mendelik. Hingga membuat Pendekar Blo'on katupkan
mulutnya rapat-rapat. "Betul, Gusti. Guruku adalah dua orang
yang disebut oleh pemuda gendeng barusan tadi."
sahut si gadis cemberut.
"Nah hadiah apa yang kau inginkan?"
"Aku tidak menginginkan hadiah apa-apa."
jawab gadis itu pasti.
"Kalian semua tidak mengharapkan hadiah
apa-apa. Sungguh aku merasa malu pada kalian.
Kalau pun memang tidak menghendaki hadiah.
Sebaiknya kalian tidak boleh menolak tawaran-
ku." "Apa maksud Tumenggung?" tanya Suro heran. "Tinggallah kalian disini untuk
beberapa waktu lamanya. Aku merasa berhutang nyawa
peda kalian. Rasanya dengan cara apapun aku tidak mungkin dapat membalas semua
kebaikan kalian." kata Tumenggung. Sebenarnya ia ingin mengutarakan keinginannya agar
Pendekar Blo'on tetap tinggal di Katemenggungan untuk sela-manya. Bahkan ada
pula keinginan Tumenggung
untuk menjodohkan putrinya yang cantik itu Su-
ro. Mengingat pemuda bertampang ketolol-tololan ini mempunyai kepandaian tinggi.
Tentu kelak dapat melindungi Katemenggungan dari ancaman
musuh. Namun ia merasa tidak enak karena dis-
itu juga ada Dewi Bulan yang tidak ia ketahui sejauh mana hubungan pemuda itu
dengan si ga- dis. Walaupun Suro tidak memperlihatkan tanda-
tanda khusus, tapi Tumenggung sempat melihat
tadi bagaimana wajah Dewi Bulan yang bersemu
merah ketika melihat Anggini bicara dengan Suro.
"Aku tidak dapat menolak penghargaan ini.
Untuk tinggal satu dua hari tentu saja aku mau."
"Pemuda geblek ini tentu saja tidak kebera-
tan" Menggerutu sang Dewi dalam hati. "Dewi Anggini cantik, si konyol ini tentu
saja sama dengan laki-laki mana pun di bumi ini. Ia kepincut dengan kecantikan
wanita, apalagi Anggini gadis bahenol!"
"Bagaimana dengan kau, Dewi Bulan?"
tanya Tumenggung.
"Aku, eh... baiklah. Untuk sehari dua tidak mengapa." tegas si gadis. Legalah
hati sang Tumenggung mendengar jawaban Dewi. Untuk me-
reka berdua Tumenggung menyediakan kamar-
kamar yang sangat istimewa.
Yang lebih senang mendengar keputusan
Suro tentu saja Dewi Anggini. Gadis itu semakin merasa takjub setelah melihat
kehebatan Pendekar Blo'on dalam menghadapi lawan-lawannya.
Diam-diam ia telah jatuh cinta pada si ko-
nyol. Tetapi mungkinkan pemuda berambut ke-
merahan-merahan ini belum punya kekasih" Hal
itulah yang merisaukan hatinya.
SEPULUH Malam hari suasana di Katemenggungan
Kediri terasa sangat sunyi sekali. Di dalam kamarnya Dewi Bulan tidak dapat
memejamkan ma- tanya. Ia gelisah memikirkan kekasih pujaannya.
Kegelisahan itu berubah jadi rasa kecemburuan
yang tidak karuan juntrungannya. Sebagai wanita tentu saja ia sadar bahwa Dewi
Anggini juga di-
am-diam menaruh hati pada si konyol.
"Mengapa jantungku jadi nyut-nyutan se-
perti ini" Makan tidak enak, mau tidur mata terasa kering. Pokoknya semuanya
terasa menyebal-
kan. Aneh, padahal dia tidak pernah mengatakan cinta padaku. Apakah berarti aku
hanya bertepuk sebelah tangan" Sungguh malu-maluin diriku
ini!" gerutu si gadis. Dewi Bulan lalu berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya.
Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Mendatangi kamar
pemuda itu untuk sekedar berbincang-bincang
dan menumpahkan segenap perasaan yang ada"
Wah. Mau ditaruh dimana mukanya" Dilipat-lipat lalu di simpang di bawah kasur"
Sementara itu Suro asyik gorak-garuk
rambutnya di bangku yang terletak di bagian taman belakang. Sesekali ia
memandang ke langit, bulan waktu itu sedang terang benderang. Suro
lalu tersenyum, matanya berkedap-kedip seperti akan yang kelilipan.
"Bulan itu indah, padahal permukaannya
tidak rata. Kalau begini paling enak orang yang punya pacar. Lalu... hmm, gila
betul." gerutu si konyol. Dan senyumnya pun semakin lebar.
"Eheh...!"
Pendekar Blo'on terkejut ketika mendengar
suara batuk-batuk kecil di belakangnya. Seketika ia menoleh, ternyata yang
datang adalah Dewi
Anggini, bukan Dewi Bulan.
"Belum tidur, Suro?" tegur gadis itu.
Seraya duduk di samping Suro. Hidung si
pemuda kembang-kempis seperti ikan yang keha-
bisan air. Bau wangi tubuh Anggini memang tera-sa lain malam ini. Bahkan boleh
dikata beda dari yang ada.
"Belum." sahut Suro.
"Kau segera akan pergi tidak lama lagi?"
desis Anggini seakan merasa tidak rela.
"Ya, begitulah. Aku seorang pengembara,
aku tidak pernah menetap di suatu tempat. Dunia ini penuh dengan orang-orang.
Orang susah, orang sengsara, orang terlunta-lunta, orang tertindas angkara murka."
"Setelah itu Katemenggungan akan menjadi
sepi." Wajah Anggini tertunduk. Rambutnya yang tergerai menutupi sebagian
wajahnya. Si konyol menyibakkan sebagian rambut
itu, diperhatikannya wajah si gadis. Mereka saling bersitatap. Anggini merasa
dadanya bergemuruh, sedangkan Suro wajahnya anget-anget saja.
"Aku ingin memberimu sebuah kenang-
kenangan!" kata Anggini. Tiba-tiba saja ia menyerahkan sebuah liontin berikut
gantungannya. Liontin terbuat dari batu jambrut, berwarna biru berbentuk hati.
Si konyol memperhatikan. Liontin tersebut.
Lalu ia tersenyum lugu. Dewi Anggini terheran-
heran. "Kok malah tertawa" Jelek ya?"
"Tidak. Bentuk liontin ini seperti kue yang ku makan di warung bik Rabiah dua
pekan yang lalu." jawab Suro tanpa maksud melucu.
"Hust! Ini bentuk hati manusia. Kau tentu tahu maksudku. Ini kenang-kenangan
dariku." jelas Anggini tanpa malu-malu.
"Aku...! Aku juga akan memberimu ke-
nang-kenangan." kala Suro sambil nyengir. Karena merasa tidak ada yang hendak
diberikannya. Maka ia pun berkata....
"Pejamkanlah matamu!"
Anggini tanpa perasangka apa-apa dan
dengan hati berdebar memejamkan matanya.
Dengan lembut Suro mengecup bibir Anggini yang kemerah-merahan. Bibir merah
tanpa polesan tentu. Di luar sepengetahuan si konyol kiranya ada sepasang mata yang
memperhatikan kejadian
di taman tersebut. Spontan wajahnya berubah
memerah, air mata bergulir jatuh menuruni bi-
birnya. Dewi belum merasa dadanya semakin se-
sak. "Tidak kusangka, dia pemuda mata keranjang!" rintih si gadis. Cepat sekali
ia memalingkan wajahnya dan bermaksud meninggalkan tempat
itu. Namun niatnya urung ketika melihat sesosok bayangan berkelebat.
Grosak!

Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Anggini yang sudah mulai terhanyut
dalam ciuman yang penuh kenikmatan jadi ter-
sentak kaget. Suro apa lagi.
"Ada orang mengintip!" desis Suro.
Belum juga hilang rasa kaget di hati Suro.
Di bagian halaman depan terdengar suara benta-
kan-bentakan keras.
"Ada yang tidak beres disini! Ayo...!!" Tanpa menunggu Dewi Anggini lagi Suro
langsung melompati pagar taman. Sampai di halaman Kate-
menggungan ia melihat Dewi Bulan sedang ber-
hadapan dengan seorang laki-laki berpakaian hitam. "Kalian berdua sebaiknya
menyingkir. Urusan ini hanya dapat diselesaikan antara aku dan Tumenggung
keparat itu!" teriak si baju hitam yang tidak lain adalah Penggoro Bumi.
"Kau orang jelek. Bukankah telah hampir
membunuh Tumenggung beberapa hari yang la-
lu?" tanya Suro
"Ya, betul. Sekarang aku datang untuk
meminta nyawanya. Kalian orang-orang bodoh
sebaiknya menyingkir!"
"Suro Blondo manusia mata keranjang.
Kau hadapilah dia. Aku tidak mau ambil perduli.
Aku harus pergi dari sini secepatnya!" celetuk Dewi Bulan yang telah dibakar
rasa cemburu ini ketus. "Dewi tunggu...!"
Percuma saja Suro berteriak. Dewi Bulan
sudah berkelebat pergi dengan-membawa rasa
sakit di hatinya. Si konyol jadi salah tingkah.
"Dia pasti telah melihatku tadi. Gobloknya aku, mengapa jadi runyam begini?"
batin Suro. Tokh pemuda ini tidak sempat berpikir lebih jauh lagi. Karena ia sedang
berhadapan dengan Penggoro Bumi
"Pendekar Gendeng! Mengapa kau tidak
ikut merat bersama kekasihmu" Apakah kau in-
gin cepat-cepat mampus?" bentak Penggoro kalap.
Sementara itu Tumenggung Dadung Ampel
telah berada di situ pula disertai Dewi Anggini.
"Ha ha ha...! Bicaramu sembarangan, apa
kau kira dirimu Malaikat pencabut nyawamu"
Mana ada Malaikat jelek kayak tampangmu?"
"Bangsat! Rupanya aku harus menyingkir-
kan kunyuk sepertimu baru kemudian berurusan
dengan Tumenggung itu! Heaa...!" Disertai teriakan keras Penggoro Bumi yang
sempat terluka beberapa hari yang lalu ketika berhadapan den-
gan Empat Datuk langsung menerjang Pendekar
Blo'on. Suro pernah mendengar kehebatan laki-
laki itu. Ia tidak mau bersikap ayal lagi. Melihat serangan datang sedemikian
cepatnya, Suro langsung melompat ke udara. Tiga kali ia bersalto, saat tubuhnya
meluncur ke bawah kakinya menyapu kepala lawannya.
Namun Penggoro Bumi cepat tundukkan
tubuhnya, serangan luput. Penggoro menyeringai sinis. Lalu lepaskan pukulan
dahsyat ke arah lawannya.
Wuut! Angin disertai hawa panas bergulung-
gulung menerjang Suro. Pemuda ini berjingkrak-
jingkrak menjauh. Rambut Suro berkibar-kibar.
Ia tidak mau dirinya menjadi konyol. Untuk itu Suro langsung lepaskan pukulan
"Ratapan Pem-
bangkit Sukma'.
Begitu ia kibaskan kedua tangannya. Detik
itu juga menderu angin laksana topan dan mene-
bar hawa dingin membekukan.
Buummm! Ledakan keras itu mengguncang bangunan
Katemenggungan. Suro terjajar ke belakang. Se-
dangkan Penggoro malah jatuh terduduk. Ketika
ia bangkit ada darah yang meleleh dari sudut-
sudut bibirnya.
"Uhuk...!"
Suro batuk dan muntahkan darah segar.
Pendekar Blo'on memutar tangannya di udara se-
perti seekor monyet yang sedang menggapai-gapai angin. "Heaa...!"
Wuuk! Kejab kemudian Pendekar konyol itu han-
tamkan kedua tangannya ke depan dengan mulut
termonyong-monyong. Kali ini terdengar suara jeritan di sana sini. Suara-suara
aneh, jerit kematian, lolong kesakitan yang seakan datang dari jurang neraka.
Sinar hitam dan merah melesat,
menghampar hawa panas yang luar biasa tiada
tertahankan. Rupanya Pendekar Blo'on saat itu
sudah melepaskan pukulan 'Neraka Hari Terak-
hir'. Penggoro Bumi yang selalu merasa yakin
dengan kemampuannya sendiri ini sempat terke-
siap. Tubuh laki-laki itu tiba-tiba saja melesat ke
udara. Tangannya juga dihentakkan ke arah la-
wannya. Sinar biru langsung bergulung-gulung
menghadang serangan lawannya. Lalu....
Buummm! Terjadi ledakan menggelegar di udara. Si-
nar merah hitam yang bersumber dari pukulan
Suro Blondo terus meluncur tanpa mampu dihin-
dari lagi oleh lawannya.
Braak! "Haagkh...!"
Menjeritlah Penggoro Bumi setinggi langit.
Spontan ia ambruk dan tidak dapat bangkit lagi untuk selama-lamanya.
Suro menyeringai kesakitan. Namun ia ti-
dak mungkin berlama-lama disitu lagi. Dewi Bu-
lan telah pergi, ia harus mengejar untuk menjelaskan duduk persoalan yang
sebenarnya. "Walah, gadis itu ngambek. Bagaimana
nanti aku mengatakan alasanku. Siapa yang sa-
lah" Kurasa bibir ini yang salah!" gerutu si pemuda di sertai seringai
kesakitan. Plok! Suro menepuk bibirnya sendiri. Kemudian
tubuhnya berkelebat lenyap meninggalkan Kate-
menggungan. Di kejauhan terdengar suara nya-
nyian si konyol yang semakin tidak menentu ka-
rena di landa bingung.
Dewi Anggini hanya dapat tundukkan ke-
pala. Hatinya mendadak terasa hampa. Ada sesu-
atu yang hilang dari hati si gadis. Perlahan ia mengusap bibirnya. Dia berjanji
bibirnya yang cuma dua itu tidak akan diberikan pada laki-laki lain.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Kucing Suruhan 3 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Pendekar Patung Emas 11
^