Pencarian

Pertarungan Para Pendekar 2

Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar Bagian 2


"Hei!"
Anak panah itu lewat dan menancap di batang
pohon. Mona dan Prakista segera waspada.
"Siapa adanya yang telah menyerang junjungan kami?" Mona membentak dengan sikap
waspada. Suaranya menggema dengan keras.
Dari balik semak belukar muncul sosok tubuh
yang indah terbalut pakaian ringkas berwarna pu-
tih. Di tangannya memegang busur. Wajah gadis
itu cantik. Kelihatan keningnya berkerut melihat
ketiganya yang diam terpaku, seolah kaget melihat kecantikannya.
Bidadari manakah ini" desis Wilada dalam hati.
Prakista terbahak. "Ha ha ha... rupanya gadis cantik yang menyerangmu, Raden?"
Wilada seperti tersadar. Mona sendiri menghela
nafas dalam. "Siapakah gerangan kiranya Nona?" tanya Wilada lembut.
Tapi gadis itu malah semakin mengerutkan ke-
ningnya. "Ha ha ha.... dia kelihatan naksir padamu, Raden," tawa Prakista terdengar lagi.
Kali ini kening gadis itu berubah. Matanya me-
lotot marah pada Prakista.
"Hei, Cebol! Jangan sembarangan omong! Siapa yang naksir orang ini, heh"!"
bentaknya marah.
Tetapi Prakista malah semakin terbahak.
"Si Cantik rupanya galak, Raden."
"Cih!" gadis itu meludah.
Wilada tersenyum. Kuatir bisa salah paham.
"Maafkan kawanku ini, Nona. Siapakah geran-
gan Nona?"
Gadis itu yang tak lain Mantari melipat kedua
tangannya di dadanya, sikapnya acuh tak acuh.
"Mau apa tanya-tanya namaku?"
"Karena anak panah Nona hampir saja menan-
cap di tubuhku."
"Biar saja! Kan aku tidak salah. Aku tengah
memanah kelinci"!" bentak Mantari yang kesal. Si-al, kenapa aku tadi harus
melepas samaranku, de-
sisnya dalam hati. Ah, kenapa aku tidak menuruti
nasehat Kakang Anggada" Ingat Anggada menda-
dak wajahnya memerah. Ih!
Perubahan itu disangka Prakista karena gadis
itu malu pada Raden Wilada.
Dia terbahak sambil menggoda, "Benarkan du-
gaanku, Raden. Gadis itu naksir padamu."
Kali ini kemarahan Mantari berlipat ganda. "Cebol jelek! Jangan sembarangan
omong!" bentaknya sambil menyerang.
Prakista menghindari serangan itu sambil ter-
tawa-tawa. Gerakannya ringan dan gesit.
"Haa ha ha... yang seperti ini tidak cocok untukmu, Raden! Galak!"
"Setan!" bentak Mantari semakin jengkel. "Siapa yang kesudian jadi pacar orang
jelek itu!"
"Kau belum tahu siapa dia"!" Prakista menghindar dengan lincahnya.
Mantari jadi jengkel. Tiba-tiba dia bergerak ba-
gaikan burung dengan cepat. Kali ini Prakista ke-
bingungan. Belum lagi sadar sebuah sodokan telah
menyodok dadanya.
Prakista terhuyung.
Dadanya sakit. Mantari tertawa. "Rasakan itu, Cebol!"
Mona yang sudah bersiap hendak menyerang
ditahan oleh Wilada.
"Tahan! Jangan teruskan lagi! Kita hanya salah paham! Maafkan kelakuan kawanku
itu, Nona."
Mantari mendongakkan kepalanya angkuh.
"Sikat saja, Raden! Biar dia tahu siapa Raden!"
seru Prakista biarpun dadanya terasa sakit dia
masih bisa tertawa dan bergurau. "Tangkap dan cium, Raden!"
"Bangsat!" wajah Mantari merah padam dan bersiap menyerang lagi.
"Tahan, Nona! Maafkan kawanku, ini!" kata Wilada sambil menangkis serangan
Mantari. Mantari merasakan menghantam batu yang ko-
koh. Jemarinya terasa nyeri.
Wilada merangkum kedua tangannya di dada.
"Maafkan kami, Nona. Prakista, Mona, ayo jalan!"
Mereka menaiki kuda masing-masing.
Prakista terkekeh-kekeh. "Untung saja ditahan oleh Raden Wilada, kalau tidak
kucium kau!"
Mantari melotot marah.
Kuda-kuda itu melaju.
"Sialan!" Mantari meringis kesal. "Ada-ada saja gangguan. Hhh! Lebih baik
kembali pada Kakang
Lesmana dan Anggada."
Mantari melompat ke balik semak dan menghi-
lang. Sementara itu Prakista masih menggoda Raden
Wilada. "Kenapa tidak Raden tangkap saja. Lumayan
Raden, biar galak tapi cantik. Yang begitu lebih
asyik, bukan" Ha ha ha!"
"Kau terlalu bertindak gegabah tadi, Prakista,"
kata Wilada tenang. Tapi menyesali juga mengapa
hanya sesingkat itu pertemuannya dengan si can-
tik tadi. Yang lebih sial, dia belum tahu siapa namanya!
"Dia memang cantik, Raden. Bukankah Raden
belum punya calon" Nah, ambil saja dia. Paling tidak gadis dari Glagah Wangi
atau Cempaka. Ke-
dua desa itu memang penuh dengan gadis-gadis
cantik, Raden."
"Sudahlah."
"Tapi masih terkenang, bukan?" Prakista, menggoda lagi.
"Kau ini ada-ada saja, Prakista. Aku kenal saja baru tadi. Namanya juga belum
aku tahu. Tapi yah... dia memang sangat cantik."
Tiba-tiba Raden Wilada menghentikan kudanya.
Begitu pula dengan kedua abdinya. Mereka men-
dengar suara isak dari balik pohon di depan sana.
Ada apa lagi ini"
"Jangan-jangan dedemit, Raden," Prakista timbul isengnya lagi.
"Lebih baik kita ke sana."
Ketiganya agak mempercepat laju kuda mereka.
Isakan itu semakin jelas, dari balik pohon. Keti-
ganya turun dan mendekati.
Dan ketiganya terkejut.
Seorang gadis yang cantik! Ya ampun, banyak
sekali gadis-gadis cantik berkeliaran di sini" Gadis itu kelihatan kaget dan
takut. Raden Wilada membungkuk, bertanya, "Kenapa
gerangan Andika menangis?"
Gadis itu malah undur ketakutan. Matanya
mencari-cari. "Sana! Sana! Aku sudah tidak punya apa-apa
lagi! Sungguh, aku tidak punya apa-apa lagi!" je-ritnya takut.
Wilada sesaat terdiam. Mengira-ngira apa yang
telah terjadi pada gadis ini.
"Tenang, Nona. Saya tidak bermaksud jahat.
Apa yang telah terjadi?" tanyanya lembut.
Gadis itu memperhatikan ketiganya dengan
seksama, seolah masih ragu akan kata-kata Wila-
da. sinar matanya masih ketakutan.
Wilada tersenyum. "Percayalah, kami tidak bermaksud jahat."
Sekali lagi gadis itu memperhatikan mereka. La-
lu katanya dengan terbata-bata, "Aku... aku baru...
baru saja dirampok..."
"Dirampok?"
Gadis itu mengangguk sambil terisak. "Ya, ya...
semua barang-barangku dibawa para perampok
itu..." Raden Wilada yang baik hati dan seringkali tim-
bul rasa kasihannya, "Lalu Andika hendak ke ma-na?"
Gadis cantik itu menunduk. "Aku... aku tidak tahu..."
"Ha ha ha... kenapa tidak dibawa ke tumeng-
gungan saja, Raden?" kata Prakista. "Gagal yang galak, yang lembut ini lebih
baik. Bukan begitu,
Raden?" Prakista terbahak lagi. Mona hanya melipat ke-
dua tangannya. Sifatnya tak banyak bicara menja-
dikannya seperti patung diam. Dia hanya bicara
seperlunya. Menatap gadis cantik yang sedang dibimbing
Wilada ke kudanya.
"Lebih baik Andika tinggal di tumenggungan sa-ja." "Aku... aku tidak pantas
bersahabat dengan orang-orang tumenggungan..." desis gadis itu takut-takut,
menolak untuk dinaikkan ke kuda.
"Kau sudah bercakap-cakap dengan kami. Ka-
mu telah bersahabat dengan kami." Wilada tersenyum.
Gadis itu nampak gugup. Ia memandang keti-
ganya bergantian.
"Siapa... siapa gerangan Andika adanya?" tanyanya terbata-bata.
"Ha ha ha ah..." Prakista terbahak. "Rupanya kau belum mengenal Raden Wilada,
Nona" Inilah
Raden Wilada, putra kandung Pangeran Wilwatik-
ta." "Oh!" seketika gadis terduduk berlutut berkali-kali menyembah. "Maafkan
sikapku, Raden, yang tidak tahu siapa Raden sebenarnya."
Wilada jadi kikuk. Dia melirik Prakista tajam.
Yang dilirik hanya mesem saja.
Wilada buru-buru menyuruh gadis itu berdiri.
"Janganlah bersikap demikian, Nona. Ya, aku
memang Raden Wilada. Tapi sudahlah, janganlah
kau merubah sikap. Tetaplah seperti tadi. Kita
akrab. Hm... siapakah nama Andika?"
"Namaku... namaku... Rastili... Aku... aku dari desa Glagah Wangi..." gadis itu
malah menundukkan kepalanya.
Raden Wilada makin kikuk.
Prakista terbahak. "Nyiur melambai, jadi lambang. Jadi sarang, burung elang.
Jangan ragu, jangan bimbang, segeralah Raden, bawa pulang.
Ha ha ha..."
Sikap Raden Wilada jadi makin kikuk.
Rastili tersipu. Dan malu-malu dia melompat ke
kuda Wilada. Dadanya berdebar keras ketika Wila-
da menaikkannya ke kudanya.
Lalu...oh, Gusti, sang Raden berada di bela-
kangnya! Prakista sudah gatal saja mulutnya.
Sambil melompat ke kudanya, dia berseru, "Tidak dapat rusa muda, kelinci muda
juga tidak apa-apa. Bukan begitu, Raden?"
Wilada melotot.
Rastili menunduk. Wajahnya merona.
Perlahan kuda-kuda itu bergerak. Wilada men-
jalankan kudanya dengan hati-hati.
Di belakangnya Prakista mendendangkan lagu
asmara yang sendu. Sedangkan Mona hanya diam
saja. Terus mengikuti kuda-kuda itu berjalan.
Terdengar suara Prakista menggoda, "Kita tidak jadi berburu, Raden?"
*** 6 Mantari muncul dengan mulut menggerutu. Dia
melemparkan pantatnya di dekat kedua kakak se-
perguruannya, masih tetap menggerutu.
Lesmana tertawa. "Hei, hei... ada apa, Rayi" Apa mulutmu pagi ini senang
mengomel?"
Mantari malah makin cemberut.
"Tidak lucu!"
"Lho?" Lesmana terbahak. "Aku memang tidak sedang melucu!"
"Sudah diam!" Mantari melotot, nampak semakin cantik.
Anggada yang baru saja bersemadi untuk me-
lancarkan jalan pernafasan menoleh, masih bersila dengan bahu tegak.
"Mana hasil buruan mu, Rayi?"
"Buruan apa, Kakang?" kali ini suara Mantari tidak lagi judes, malah ada kesan
tersipu. "Bukankah kau pergi berburu?"
Mantari hanya mendesah dalam. Ih, kenapa ka-
lau yang bertanya Kakang Anggada hati ini selalu
tentram saja"
Dia pura-pura menurunkan busur dan anak
panahnya. Lesmana yang suka iseng, mendehem. Bermak-
sud menggoda. Sambil menatap ke atas dia berka-
ta, "Heran... kalau aku yang bertanya, kenapa selalu marah ya" Tapi kalau Kang
Anggada yang ber-
tanya, sambutannya mesra. Tersipu. Bahkan se-
perti berharap. Hmm... heran, heran." Dia menggeleng-geleng.
Mantari tahu kalau dia sedang digoda. Makanya
dia langsung mendongak, melotot pada Lesmana.
"Kakang kok ngomongnya gitu?"
Lesmana pura-pura kaget. "Lho, aku ngomong
apa" Aku tidak merasa omong apa-apa?"
"Tadi?"
"Lho" Aduh, Rayi Mantari ini bagaimana, sih"
Aku sedang bicara sendiri..."
"Bohong! Kakang menggodaku!" suara Mantari tersekat, seperti mau menangis.
"Lho, lho... kok jadi begini" Aku tidak mengerti?"
Lesmana masih berpura-pura, membuat Mantari
semakin sebal. Malu. Jengkel. Tapi juga senang.
"Jangan berpura-pura! Kakang jahat!" sembur Mantari, kali ini suaranya bagai
isakan belaka. Lesmana hanya mengangkat bahu. Masih ber-
pura-pura tidak mengerti. "Aneh... aku bicara sendiri kok dibilang menggoda"
Rayi bertemu dedemit
mana tadi, hingga marah-marah tidak karuan pa-
daku?" Wajah Mantari merah padam. Malunya tidak ke-
tulungan. Lesmana bermaksud hendak menggoda
lagi, tapi ketika diliriknya Anggada nampak sedang memperhatikan sesuatu dia
segera terdiam. Sikapnya jadi waspada.
Begitu juga dengan Mantari. Ngambeknya agak
menghilang. Dia berbisik pada Anggada, "Ada apa, Kakang?"
Anggada hanya terdiam. Memperhatikan ke


Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah Timur dari mereka beristirahat.
Mantari jadi penasaran, bercampur ngeri, "Kakang... ada apa?"
Tanpa menoleh Anggada menyahut, "Aku men-
dengar sesuatu yang mencurigakan.."
"Apa itu, Kakang?"
"Tajamkan pendengaranmu," kata Anggada.
Tampak dia seperti bersiap tempur. Dadanya yang
tegap semakin nampak kokoh ketika dia melipat
kedua kakinya ke bawah.
Lesmana berdiri. Menajamkan telinganya.
"Ada langkah yang menuju kemari, Kang Ang-
gada," bisiknya.
Mantari juga mendengar.
"Seperti langkah ratusan orang yang berbaris."
Anggada mengangguk. "Ya. Dan membuatku
curiga. Kita berada di kerajaan Kuripan. Tapi mau apa orang-orang itu seperti
menuju kemari."
Keadaan yang agak sepi, pecah dengan derap
langkah yang terdengar agak keras. Kali ini seperti berpencar.
Ketiganya segera waspada.
Berdiri mengambil posisi dengan sigap.
Tiba-tiba muncul enam orang laki-laki berusia
sekitar 45-an. Mereka mengenakan pakaian merah
semua, salah seorang memakai jubah hitam.
Anggada tahu, dia tanda dari orang-orang pade-
pokan Gohkarna. Lalu ada apa mereka hingga
sampai ke sini" Apa perlu mereka" Setahu Angga-
da, orang-orang padepokan Gohkarna hanya mau
turun jika raja Kuripan membutuhkan bantuan
mereka. Kalau begitu adakah sesuatu yang gawat"
Belum lagi Anggada bisa menganalisa semua
itu, salah seorang bergerak ke arahnya dengan
tangan terkepal.
Anggada kaget. Tapi cepat menyambutnya. Dia
menangkap kepalan tangan itu dan memuntirnya
ke kiri. Tapi orang itu dengan cepat bergerak, dan tangannya terlepas dari
genggaman Anggada. Lalu
dia mengirimkan jotosan ke wajah Anggada.
Anggada menundukkan kepala dan bersalto
menghindar. "Hmm... ada apa orang-orang Gunung Pengging
menghalangi perjalanan kami?" serunya sementara kedua adik seperguruannya
bersiaga. "Hhh! Kami ingin membuat kalian mampus di
sini!" Orang itu melesat lagi. Anggada pun tak mau dirinya dijadikan sasaran
empuk serangan itu. Dia pun membalas.
Empat orang kawan berjubah merah itu segera
mengurung Lesmana dan Mantari.
Dan sebentar saja di tempat itu sudah ramai
oleh pertarungan yang hebat, sengit dan kejam.
Orang-orang berjubah merah itu memperlihatkan
jurus-jurus yang tangguh. Tetapi tiga orang murid Padepokan Angsoka pun segera
mengimbanginya dengan hebat. Sampai dua puluh jurus berlangsung, tak seo-
rang pun yang nampak terdesak. Tetapi lewat dua
jurus kemudian, Mantari sudah nampak kepaya-
han karena dua orang yang menyerangnya terus
mendesak dengan gigih.
Tenaga Mantari sudah semakin terkuras.
Dia pun sudah mengeluarkan jurus Manuk Ma-
burnya. Tetapi dua orang penyerang dengan gesit
menghindar dan membalas.
Melihat hal itu, Anggada dengan pukulan keras
hingga terhuyung beberapa tindak.
Anggada menyeka darah yang keluar dari mu-
lutnya. "Bangsat! aku akan mengadu jiwa denganmu!"
"Hahaha... murid-murid gunung Lawu hanya
begitu saja kemampuannya sudah berani-
beraninya menyerang ke Gunung Pengging! Maju-
lah, akan kubuat mampus kau!"
Kembali keduanya bertarung.
Sementara Mantari kian terdesak, satu gedoran
pun membuatnya ambruk. Dan dengan cepat sa-
lah seorang yang berjubah merah itu menotoknya
hingga tak mampu bergerak.
Melihat hal itu Anggada dan Lesmana pun
mempercepat serangannya dan meningkatkan ju-
rus-jurusnya. Tetapi lawan-lawannya begitu tang-
guh. Belum lagi dua lawan Mantari tadi datang
membantu, semakin membuat keduanya kerepo-
tan. Dan kini maut pun mengancam keduanya.
Tiba-tiba saja dua larik sinar berwarna merah
melesat ke arah orang-orang berjubah merah itu.
Serentak orang-orang itu bersalto menghindari
hantaman sinar merah yang kini menghantam po-
hon hingga hangus.
"Bangsat! Siapa yang beraninya hanya membo-
kong!" Terdengar derap langkah kuda menuju ke arah
mereka. Nampaklah dua ekor kuda dengan mas-
ing-masing penunggangnya. Yang satu seorang la-
ki-laki muda berwajah tampan. Yang satu seorang
wanita muda yang berparas jelita dengan sebilah
pedang di punggungnya.
Yang laki-laki berkata, "Maafkan aku... yang ikut campur dalam urusan ini... aku
tidak begitu suka melihat kalian bertingkah pengecut menge-
royok dua lawan yang sudah kehabisan tenaga..."
"Hhhh! Anak muda, siapakah kau gerangan"!"
seru salah seorang yang bernama Morojarot.
"Aku dan istriku hanyalah pengelana dari Laut Selatan. Namaku Pranata Kumala.
Dan ini istriku,
Ambarwati. Salam kenal untuk kalian, orang-orang
berjubah merah."
"Hhh! Nama kosong belaka yang kau pamerkan
di hadapan kami!"
Orang yang tak lain Pranata Kumala dan is-
trinya Ambarwati itu tersenyum. Mereka memang
sedang meneruskan petualangan. Dan secara ti-
dak sengaja mereka tiba di daerah ini.
Mendengar laki-laki itu menyebutkan namanya,
ketiga murid Padepokan Angsoka tertegun. Laki-
laki inikah yang pernah diceritakan guru mereka
sebagai murid dari Ki Ageng Jayasih majikan gu-
nung Muria" Bila benar adanya, mereka akan me-
rasa tertolong.
"Pranata, cepatlah kau berlalu dari sini!" kata Morojarot. "Tapi ingat,
tinggalkan istrimu di sini!
Lumayan untuk menghangatkan tubuh kami!"
Mendengar kata-kata yang menjijikkan itu, Am-
barwati menggeram. Dan dengan sekali salto dia
menerjang Morojarot sambil mengayunkan pe-
dangnya yang dengan cepat sudah berada di tan-
gannya. "Aih! Rupanya pemarah benar kau!" seru Morojarot sambil menghindar. Tetapi
Ambarwati terus
mencecarnya. Dan "Brekk!" jubah merah yang dikenakan Morojarot robek terkena
sabetan pedang-
nya. "Bangsat busuk! Kau rasakan itu! Sebentar lagi nyawamu yang akan kucabut!" geram
Ambarwati. Morojarot pun tak kalah kagetnya. Tadi dia
menganggap enteng lawannya dan tak menyangka
kalau jubah merahnya akan berhasil disambar pe-
dang yang di tangan gadis itu.
Dia menggeram. "Bangsat!" serunya sambil menerjang. Tetapi segera bersalto
kembali karena sinar merah itu kembali menyerangnya.
"Maafkan aku, Kisanak... Sungguhan, aku dan
istriku tidak tahu apa yang tengah terjadi di antara kalian..." kata Pranata
Kumala. "Bangsat! Majulah kau!" seru Morojarot dan serentak keempat kawannya pun
mengurung Prana-
ta Kumala dan istrinya. Serentak pula mereka se-
gera menyerang.
Tetapi lagi-lagi serangan mereka kandas karena
pukulan sinar merah kembali dilontarkan oleh
Pranata Kumala yang membuat orang-orang itu
harus bersusah payah menghindar. Bahkan tiga
orang dari mereka mati dengan tubuh hangus ter-
sambar sinar merah itu.
Hal ini membuat Morojarot murka. Dia mener-
jang lagi. Dan kali ini Pranata pun bersalto dari kudanya, melayani Morojarot
dan kedua temannya.
Serangan-serangan kedua orang itu cepat dan
berbahaya. Pranata pun sudah menggunakan ju-
rus Tangan Bayangannya. Pertarungan pun tak te-
relakkan lagi. Tetapi murid Ki Ageng Jayasih itu
dapat mengimbangi keduanya. Di samping mereka
tengah murka hingga tidak mengontrol serangan-
serangan mereka juga ilmu mereka yang berada di
bawah ilmu Pranata Kumala.
Sebentar saja salah seorang dari mereka sudah
ambruk dengan muntah darah. Melihat hal itu,
Morojarot pun segera melarikan diri.
Setelah merasa yakin, Morojarot tidak datang
lagi, Pranata pun menghampiri Anggada dan Les-
mana. Sementara Ambarwati menghampiri Manta-
ri. Merasa diri mereka sudah cukup pulih setelah
menelan pil yang diberikan keduanya, mereka pun
menjura. "Terima kasih atas pertolongan, Kisanak."
Pranata tersenyum. "Aku paling tidak menyukai kekerasan. Hmmm... sebenarnya ada
apakah hingga kalian berbentrokan dengan orang-orang
jubah merah?"
"Maafkan kami sebelumnya, Kisanak. Kalau bo-
leh kami tahu, apakah Kisanak murid dari Ki
Ageng Jayasih, majikan Gunung Muria?"
Masih tetap tersenyum Pranata menjawab, "Be-
nar, Kisanak."
"Oh, terima kasih atas pertolongan, saudara
Pranata... Namaku Anggada, ini Lesmana dan
Mantari dua adik seperguruanku."
Lalu Anggada pun menceritakan mengapa me-
reka sampai bentrok dengan orang-orang berjubah
merah. Juga maksud mereka menuju Selatan.
"Apakah hal ini biasa dilakukan oleh orang-
orang Gunung Pengging?" tanya Pranata.
"Tidak, Saudara. Itulah sebabnya, guru kami
menugaskan kepada kami untuk menyelidik ke
sana." Pranata terdiam. "Kalau aku boleh bicara, sepertinya ada yang ingin mengadu
domba di antara
sesama. Mengingat tak pernahnya Resi Gohkarna
berbuat seperti ini. Apalagi dia dikenal sebagai la-ki-laki bijaksana."
"Maksud Saudara... ada yang hendak menghan-
curkan kami dengan jalan mengadu domba?"
"Benar,. Hmm... apakah ada sesuatu yang terja-di di Keraton Selatan?"
"Setahu kami, Raden Wilada hendak menggan-
tikan ayahnya sebagai raja."
"Apakah Raden Wilada punya saudara?"
"Ya, dia bernama Raden Wijaya. Setahu kami,
dia adalah anak angkat baginda raja..."
Pranata Kumala terdiam. Lalu katanya, "Bagaimana bila kita bersama-sama menuju
Keraton Se- latan lebih dulu sebelum ke Gunung Pengging?"
"Dengan senang hati, Saudara Pranata."
*** 7 Saat itu di halaman belakang Keraton Selatan,
baginda raja sedang menunggu kedatangan pu-
tranya, Raden Wilada. Sejak beberapa hari bela-
kangan ini, Wilada sering terlambat pulang.
"Mungkin dia sedang pelesiran, Ayahanda," kata Raden Wijaya, yang sejak tadi
menemaninya. "Pelesiran?"
"Biasa saja, Ayah. Wilada adalah laki-laki yang tentunya tak akan pernah menyia-
nyiakan kesempatan selagi muda."
"Kau omong apa, Wijaya?" Kening baginda berkerut, tidak senang.
"Ini dugaan saya, Ayah. Karena beberapa pen-
gawal sering melaporkan hal itu pada saya. Kabar-
nya, Wilada sering mendatangi tempat pelesiran
Nyai Alas Ratih."
"Kalau memang benar adanya, Wilada tak pan-
tas menggantikan kedudukanku," kata raja marah.
Lalu memerintahkan pengawalnya untuk mencari
Raden Wilada di tempat Nyai Alas Ratih.
Benar saja, para pengawal yang ditugaskan itu
menemukan Raden Wilada sedang dalam keadaan
mabuk di pelukan dua orang pelacur.
Ketika mereka melaporkan pada raja, betapa
murkanya sang baginda. Saat itu juga dia meme-
rintahkan menangkap Wilada dan mengurungnya
di penjara bawah tanah.
Wijaya tersenyum dalam hati. Rupanya Nimas
Priatsih hebat dalam menjalankan tugasnya. Dan
itu membuatnya semakin besar untuk menjadi ra-
ja menggantikan ayahnya.
"Ayah... bagaimana mungkin Wilada dipenjara-
kan sedangkan dia hendak dijadikan pengganti
ayah?" tanya Wijaya berpura-pura tidak tahu dan menutupi kegembiraannya.
Wajah baginda menjadi lesu. Tetapi dia tak
mungkin mengizinkan dan memberikan tahta ke-
rajaan kepada Wilada yang ternyata laki-laki bu-
suk belaka. Baginda tak pernah menyangka Wila-
da akan berbuat seperti itu.
Perlahan-lahan baginda menatap Wijaya yang


Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhir-akhir ini di matanya nampak begitu baik.
Yang ditatap berlagak menunduk padahal hatinya
tengah gembira.
"Wijaya... agaknya memang kaulah yang pantas untuk menduduki tahta kerajaan di
Keraton Selatan ini..."
"Ayah..."
"Wilada tak seperti sangkaanku semula, Wijaya.
Nah, dua minggu kemudian, aku akan mengu-
mumkan bahwa kaulah yang menggantikan kedu-
dukanku..."
"Ayah... apakah saya pantas?"
"Ya, kau memang pantas..."
"Terima kasih, Ayah..." kata Raden Wijaya dengan hati yang bergembira karena
semua siasatnya
berhasil. Dan kini dia tengah menunggu para pen-
dekar saling bertarung.
*** Senja hari di Gunung Pengging.
Padepokan Gohkarna amat terkenal di sekitar
sana. Juga di beberapa daerah. Pemimpin Padepo-
kan itu seorang resi yang amat bijaksana. Usianya sebaya dengan Begawan Batista
dari Padepokan Angsoka. Senja itu Resi Gohkarna sedang kedatangan be-
berapa orang tamu. Mereka adalah jago-jago yang
terkenal di dunia persilatan. Kedatangan mereka
sebagian besar meminta pertanggungjawaban Resi
Gohkarna yang telah membuat onar.
Sudah tentu Resi Gohkarna merasa heran kare-
na merasa tidak berbuat apa-apa. Bahkan dia bin-
gung ketika salah seorang dari tamunya mengata-
kan dia menantangnya.
"Tenang, tenang, Saudara-saudaraku," kata sang Resi dengan suara berwibawa.
"Sebaiknya ki-ta bicarakan masalah ini dengan tenang."
"Jangan banyak bacot lagi kau, Resi Tua!" seru salah seorang laki-laki yang
berdiri gagah, di
punggungnya tersampir dua buah pedang. Wajah
laki-laki itu tampan. Dia bernama Jaya Tunggal.
"Kau harus membayar nyawa adik seperguruanku yang dibunuh oleh anak buahmu!"
"Sabar, Saudaraku Jaya Tunggal. Terus terang, tak satu pun muridku yang
kuizinkan meninggalkan tempat ini!"
"Bagaimana bila mereka kabur begitu saja?"
"Mati ganjarannya!"
"Nah, mengapa tidak kau bunuh satu per satu
muridmu yang telah membunuh adik sepergurua-
nku?" Wajah Resi Gohkarna merah padam.
Sebagian orang yang datang pun berseru untuk
menuntut balas.
"Saudara-saudaraku, tenanglah..."
"Buat apa kami tenang, hah"! Kami datang un-
tuk menuntut kematian saudara-saudara kami
yang telah dibunuh oleh murid-murid dari Gunung
Pengging ini!"
"Dengan bukti apa kalian menuduh murid-
muridku yang melakukan semua ini"!" tanya Resi Gohkarna masih bersabar.
"Dengan bukti apa" Murid-muridmu semuanya
memakai jubah berwarna merah. Sama seperti
yang dipakai oleh orang-orang yang menyerang
kami! Dan sama seperti yang dipakai sekarang
oleh murid-murid di samping kanan kirimu itu!"
"Tapi...."
"Jangan banyak bacot lagi, Resi Tua! Kau harus membalas nyawa adik seperguruanku
saat ini ju-ga!" Lepas berkata begitu, Jaya Tunggal melesat menerjang dengan
mengibaskan kedua pedangnya
ke arah Resi Gohkarna.
Resi tua yang tangguh dan perkasa itu meng-
hindari serangan tadi dengan sekali melompat.
Dan "Tep!" salah sebuah pedang yang berada di tangan Jaya Tunggal kini berpindah
tangan. Membuat yang hadir mau tak mau berdecak
kagum. Tetapi bagi Jaya Tunggal ini merupakan
suatu penghinaan. Dia pun menerjang kembali.
Kali ini beberapa orang murid padepokan Gohkar-
na yang melayani.
Jaya Tunggal pun segera mengimbanginya den-
gan permainan pedangnya yang kini tinggal se-
buah. Sambil menghindar dan membalas menyerang
dia berseru pada orang-orang gagah yang ada di
sana, "Hei, kalian semua! Mengapa hanya ber-
pangku tangan saja, cepat kalian bunuh Resi Goh-
karna yang berubah itu!"
Orang-orang gagah yang hadir di sana pun sa-
dar, kalau kedatangan mereka hendak menuntut
balas pada resi Gohkarna. Sebentar saja beberapa
orang pun sudah mengurung resi yang gagah per-
kasa itu. Mau tak mau di Padepokan Gohkarna terjadilah
pertarungan sengit para pendekar. Beberapa mu-
rid padepokan itu pun bergerak membantu guru
mereka. Dan terdengar jerit kesakitan yang mengundang
wabah maut dari beberapa orang murid.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang men-
gandung tenaga dalam, "Hentikan semua!"
Serentak yang sedang bertarung menghentikan
gerakannya. Dan melihat sosok tubuh berjubah
putih dengan wajah yang arif dan bijaksana. Dia
yang tadi membentak.
"Siapa kau"!" bentak Jaya Tunggal.
Sosok itu tersenyum berwibawa dan berkesan
bijaksana. "Namaku mungkin tak banyak berarti, tak ba-
nyak orang mengenalnya."
"Jangan banyak omong, katakan siapa kau se-
benarnya!" bentak Jaya Tunggal lagi.
"Aku hanya kebetulan lewat jalan ini. Dan aku merasa ada sesuatu di sini, itulah
sebabnya aku keluar dari kediamanku di sebelah Barat sana..."
"Atau kau datang untuk membunuh Resi Goh-
karna?" bentak Jaya Tunggal lagi.
"Tidak, aku datang ingin bertanya ada apa hingga kalian orang-orang gagah
bertempur di sini?"
"Karena Resi Gohkarna menantang kami, dan
telah membunuh beberapa orang teman kami!"
Resi Gohkarna yang merasa sedikit tertolong
karena orang-orang itu menghentikan serangan-
nya, memandang sosok berjubah putih. Lalu ber-
tanya, "Kisanak yang perkasa, siapa Kisanak gerangan adanya" Akulah Resi
Gohkarna yang me-
mimpin padepokan di Gunung Pengging ini..."
Sosok berjubah putih itu tersenyum. "Aku" Ah...
namaku tak berarti. Tapi kalau kalian memang
memerlukan namaku, baiklah. Namaku... Madewa
Gumilang."
"Apa"!"
"Siapa"!"
"Madewa Gumilang"!"
"Pendekar Bayangan Sukma!"
Seruan-seruan kaget terdengar. Sosok berjubah
putih yang ternyata memang Madewa Gumilang
alias Pendekar Bayangan Sukma itu tersenyum.
"Pendekar gagah budiman, ternyata aku yang
tua ini masih diberikan kesempatan oleh Gusti Al-
lah untuk berjumpa denganmu! Salam hormat dari
kami, padepokan Gohkarna!" kata Resi Gohkarna sambil menjura yang diikuti oleh
murid-muridnya.
Begitu pula dengan beberapa pendekar yang
hadir. "Aah, sikap kalian seolah-olah aku ini dewa,"
kata Madewa dengan suara yang arif. "Katakanlah... ada apa sebenarnya hingga
kalian bertarung di sini?"
Menerangkanlah Resi Gohkarna tentang kea-
daan yang menimpa padepokannya.
Madewa manggut-manggut.
Tapi tiba-tiba Jaya Tunggal berseru membentak,
"Hei, manusia sombong! Kalau kau memang benar Madewa Gumilang alias Pendekar
Bayangan Sukma, aku akan mengujimu!"
"Saudara... kita tidak ada silang sengketa. Uji menguji bisa menimbulkan dendam
bagi yang kalah."
"Sombong sekali ucapanmu! Tahan serangan!"
Jaya Tunggal pun menderu maju. Tetapi Made-
wa hanya mengibaskan tangan kanannya. Menda-
dak saja tubuh Jaya Tunggal berbalik terpelanting ke belakang.
Orang-orang berdecak kagum.
Jaya Tunggal menjadi marah. Dia berbuat lagi.
Tetapi kembali Madewa menggerakkan tangan ka-
nannya hingga Jaya Tunggal terpelanting lagi.
"Hentikan, Saudara," kata Madewa. "Dan men-gakulah di hadapan orang-orang gagah
ini atas ke- salahanmu. Bertobatlah sebelum berlarut-larut."
Orang-orang gagah yang berada di sekitar sana
heran mendengar suara Madewa Gumilang.
"Saudara Yang agung... apa maksud Saudara
berkata begitu?" tanya seorang kakek yang bernama Sambar Tiga.
"Hm... ketahuilah... sebenarnya kalian para
pendekar hanyalah diadu domba oleh orang-orang
yang hendak berkhianat pada kerajaan. Dan salah
satunya adalah Saudara Jaya Tunggal ini..."
"Bohong! Fitnah! Dusta!" seru Jaya Tunggal
"Tak kusangka manusia dewa seperti kau menyebarkan fitnah sekeji itu!"
"Mengakulah, Saudara..."
"Bangsat! Kau menyebarkan fitnah yang sangat keji, Madewa!" sambil berseru
begitu, Jaya Tunggal kembali menderu menyerang. Kali ini dia tak mau
tanggung lagi, dia mengibaskan pedangnya dengan
hebat. Namun serangannya itu pun harus kandas.
Dengan menggunakan jurus Ular Meloloskan Diri
dan Ular Mematuk Katak, Jaya Tunggal harus ter-
pelanting ke belakang.
"Tahan!" terdengar seruan Madewa dan tubuh Jaya Tunggal yang hendak bangkit
menjadi kaku. "Aku mempunyai seorang saksi dalam kasus ini!
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya aku sudah men-
cium tentang para pemberontak yang akan menye-
rang istana. Tetapi belum kuketahui siapa sesung-
guhnya otak semua ini!"
Madewa Gumilang mengangkat tangan kanan-
nya. Mendadak satu sosok tubuh melenting bersal-
to ke arahnya dan hinggap di sampingnya dengan
ringan. Sosok tubuh itu adalah Pratama, yang pernah
dijumpai Anggada, Lesmana dan Mantari atau Su-
rajaga yang sedang dihajar oleh para perampok.
"Ketahuilah Saudara-saudaraku..." kata Madewa. "Pemuda ini bernama Pratama. Dia
adalah salah seorang murid dari Perguruan Topeng Hitam,
perguruan yang aku pimpin sesudah Paksi Uluda-
ra (baca: Keris Naga Merah), yang sedang mengiku-
ti petualangan yang dilakukan anak dan menan-
tuku, Pranata Kumala dan Ambarwati. Dia telah
menyelidiki kejadian yang menimpa antara kalian,
para pendekar. Dan dia pun telah menyelidiki ke-
jadian yang menimpa Keraton Selatan! Pratama,
ceritakanlah semuanya pada para pendekar di si-
ni!" Pemuda yang nampak lemah yang ternyata seorang murid Perguruan Topeng Hitam
menjura, "Salam hormat buat para pendekar semua! Rupanya
kita tengah diadu domba oleh satu gerombolan
pemberontak yang berkhianat pada Keraton Sela-
tan. Dan salah seorang di antara mereka adalah
Jaya Tunggal. Juga yang telah menyebarkan surat
tantangan ke beberapa padepokan dan orang-
orang gagah."
"Saya juga melihat, ada beberapa pasukan lengkap dengan senjatanya yang akan
menyerbu kera- jaan. Dugaan saya, beberapa orang sakti dan to-
koh persilatan kerajaan ikut terlibat. Hanya
sayang, siapa yang menjadi dalang dari semua
perbuatan ini belum diketahui! Untuk itu, atas
nama Madewa Gumilang, atau guruku, kalian
hendaknya saling minta maaf dan menghilangkan
silang sengketa di antara kalian! Terutama pada
perguruan atau padepokan Gohkarna!"
Mendengar penjelasan itu, orang-orang gagah
yang hendak menyerang dan menghancurkan pa-
depokan Gohkarna menjadi malu. Mereka pun
meminta maaf pada Resi Gohkarna yang sudah
tentu memaafkan.
"Untunglah pertumpahan darah ini berhasil kita selesaikan secara damai. Saudara
Madewa yang agung, kami mengucapkan banyak terima kasih
atas bantuan Saudara. Bila saja Saudara terlam-
bat datang, mungkin darah akan mengalir di pa-
depokan Gohkarna ini."
"Sebaiknya kalian segera bersiap untuk mem-
bantu Keraton Selatan! Karena menurut perki-
raanku, subuh nanti para pemberontak akan me-
nyerang istana! Ingat, pekerjaan mereka sangat
rapi dan tertutup."
"Tetapi tak ada salahnya bila kalian menjagajaga di sana!"
"Tahan!" terdengar seruan yang keras. Muncul seorang laki-laki berusia 60-an
dengan gagah mendekati mereka.
"Begawan Batista!" seru Resi Gohkarna.
Orang yang ternyata memang Begawan Batista
itu mendekat. Dia menjura pada Madewa Gumi-
lang. "Aku yang sudah tua ini ternyata masih diberi kesempatan untuk mengenal Madewa
Gumilang atau Pendekar Bayangan Sukma! Kusampaikan


Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salam hormat dan kenalku kepada saudara Pen-
dekar Budiman!" kata Begawan Batista sambil
menjura. "Aku pun senang berkenalan dengan Begawan
Batista yang bijaksana!"
"Hmm... aku sudah mendengar apa yang se-
sungguhnya terjadi. Saat ini pula aku minta maaf
pada padepokan Gohkarna yang telah menuduh
kalian menjadi pengkhianat dan sombong, men-
gingkari janji dan sumpah orang-orang dari golon-
gan putih!"
"Hahaha... sudahlah, Begawan Batista. Kita semua pun salah paham dalam masalah
ini!" "Sebaiknya kalian segera bersiap!" kata Madewa Gumilang kemudian.
*** 8 Tengah malam menjelang.
Lima sosok bayangan mendekati Keraton Sela-
tan. "Saudara Pranata... bagaimana bila dugaanmu
salah?" terdengar salah seorang bertanya.
"Anggada... tak mungkin aku berbuat kesala-
han. Karena kupikir, pertarungan para pendekar
yang akan terjadi disebabkan oleh adu domba dari
orang-orang yang hendak berkhianat pada kera-
jaan Keraton Selatan. Mengingat mereka adalah
orang-orang yang sangat mengabdi dan setia pada
kerajaan. Dan di saat mereka saling bertarung, pa-ra pemberontak itu akan
menggunakan kesempa-
tan menyerang kerajaan. Dengan begitu mereka
akan aman dari orang-orang gagah yang patuh
dan setia pada kerajaan Keraton Selatan. Bukan-
kah ini suatu akal yang sangat licik dan jitu?"
"Tapi... sepertinya tak ada tanda-tanda pembe-rontakan bekal terjadi."
"Ingatkah kau bahwa saat ini Raden Wilada calon pengganti Baginda raja tengah di
penjara di bawah tanah" Dan ingat pula, Raden yang baik
hati itu mendadak saja terjerumus pada perbuatan
nista. Bukankah ini hal aneh?"
"Jadi maksudmu ada yang hendak mengguling-
kan kerajaan dan merebut tahta kerajaan dari ca-
lon raja Raden Wilada?"
"Benar."
"Kalau begitu... kau menduga Raden Wijaya
yang mengatur semua ini?"
"Benar. Hanya dialah seorang yang bisa meng-
gantikan kedudukan Raden Wilada bila dia sudah
tersingkir."
"Tapi... mengapa dia masih mau memberontak,
bukankah saingannya sudah disingkirkan?"
"Aku pun tidak tahu. Hmm... sebaiknya kalian tetap di sini. Aku akan menyelinap
ke keraton!"
"Hati-hati."
"Kakang..." terdengar suara Ambarwati.
"Tenang, Rayi... tak ada yang perlu dice-
maskan," kata Pranata Kumala yang dapat melihat sinar mata cemas dari kedua mata
istrinya. Sinar
bulan di atas menerangi semua itu dan menje-
laskannya. "Hati-hati, Kakang..."
Pranata mengangguk. Lalu hati-hati dia menye-
linap di tembok keraton. Dan dengan sekali salto
dia sudah berada di dalam keraton. Matanya awas
memperhatikan sekelilingnya. Suasana Keraton
nampak aman-aman saja. Beberapa orang prajurit
tengah menjaga keraton tanpa mengantuk sedikit
pun. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Tetapi tiba-tiba matanya menangkap sosok tu-
buh yang menyelinap ke belakang keraton. Dan
memasuki Tumenggungan. Lalu tubuh itu menye-
linap. Pranata menjadi penasaran dan rasa ingin ta-
hunya timbul. Dia pun mengikuti sosok tubuh itu
yang kini tengah melompat masuk dari jendela se-
buah kamar yang terang.
Pranata sempat melihat sosok tubuh yang
membuka jendela itu. Diakah Raden Wijaya" Men-
gingat dari pakaian yang dikenakannya mirip seo-
rang pangeran"
Hati-hati Pranata mendekati kamar itu. Dan
menguping pembicaraan dari luar.
"Bagaimana, Paman Patih?"
"Semua beres, Raden," kata sosok yang baru datang itu yang ternyata Patih Coro
Ijo. "Bisa kita melakukan penyerangan subuh nan-
ti?" "Bisa, Raden. Dalam kesempatan penyerangan ini, sasaran kita adalah Ki
Condro Seta atau si
Tangan Beracun. Agaknya hanya dia yang belum
terpengaruh, Raden. Dia sungguh-sungguh manu-
sia yang bersih."
"Yang lain?"
"Beres, Raden. Setelah Ki Condro Seta berhasil kami lumpuhkan, barulah Raden dan
pasukan Raden menyerang kami. Seolah-olah Raden men-
gusir kami. Tentu saja kami akan mengalah. Den-
gan begitu nama Raden sebagai calon pengganti
raja setelah Raden Wilada dipenjara akan semakin
disanjung rakyat. Dan nama Raden akan tetap
bersih." "Bagus. Hahaha... rencanamu matang juga Pa-
man Patih. Sebentar lagi Nimas Priatsih akan
muncul ke sini..."
Mendengar kata-kata itu, Pranata langsung per-
gi dari situ. Dia tak mau dipergoki. Hmmm... be-
rarti Raden Wijayalah yang menjalankan siasat
adu domba itu. Sebaiknya aku harus membebaskan Raden Wi-
lada lebih dulu. Lalu Pranata Kumala kembali ke-
pada teman-temannya dan istrinya. Dia pun men-
ceritakan apa yang telah didengarnya tadi.
"Kalian tetap waspada di sini. Aku akan mem-
bebaskan dulu Raden Wilada." kata Pranata Kumala. "Ingat, subuh nanti
penyerangan itu dilakukan."
Sehabis berkata begitu, Pranata pun melesat
kembali ke dalam keraton. Dia menyelinap ke da-
lam. Beberapa penjaga yang tengah menjaga dito-
toknya hingga kaku.
Lalu dia menuju tangga bawah tanah.
Ada dua orang penjaga di sana.
Namun keduanya pun tak bisa berbuat banyak.
Mereka pun ditotoknya. Lalu dia mencari penjara
Raden Wilada. Setelah ditemukannya dia berbisik. "Raden...
Raden..." Raden Wilada yang tengah menyesali dirinya ka-
rena mau dibujuk oleh Rastili alias Nimas Priatsih ke lembah nista, terkejut
karena ada yang me-manggilnya.
"Siapa yang memanggilku?" tanyanya.
"Sttt! Jangan berisik, Raden. Nama saya Pranata Kumala."
"Hmmm... mau apa kau ke sini?"
"Tenang, Raden. Saya datang untuk membe-
baskan Raden."
"Hei, apa maksudmu?"
"Keadaan Keraton dalam bahaya, Raden."
"Aku tidak mengerti apa maksudmu?"
Lalu Pranata menceritakan rencana keji dari
Raden Wijaya. Wilada menggeram.
"Wijaya busuk! Rupanya dia menyebabkan aku
menjadi begini! Pasti gadis yang mengaku bernama
Rastili itu kaki tangannya!"
"Benar, Raden... kita tidak punya banyak wak-tu! Cepatlah!"
Lalu Raden Wilada keluar dari penjara yang te-
lah dibuka Pranata dengan kunci yang diambilnya
dari penjaga tadi.
"Raden... sebaiknya kita ke kamar baginda raja.
Raja harus segera disingkirkan."
"Tapi ayah masih marah padaku."
"Saya yang akan menjelaskan semuanya."
Tentu saja baginda raja terkejut ketika Raden
Wilada dan orang yang tak dikenalnya masuk ke
peraduannya. Tetapi setelah dijelaskan oleh Prana-ta Kumala, dia pun mengerti.
Sejak kejadian yang menimpa Raden Wilada,
sebenarnya raja sangsi mengapa Raden Wilada
berbuat seperti itu. Lalu dia pun membangunkan
istrinya. Setelah itu Pranata membawa ketiganya keluar
dari keraton. Dan menyuruh Ambarwati dan Man-
tari menyembunyikan mereka. Mantari kini sudah
kembali pada aslinya membuka samarannya seba-
gai Surajaga. Tepat subuh menjelang, terdengarlah pekik dan
jeritan ke arah keraton. Derap langkah kuda me-
nerjang pintu gerbang keraton. Para penjaga ber-
hamburan keluar dan menahan serangan para
pemberontak. Seketika di Keraton istana terjadi keributan dan
banjir darah. Ki Condro Seta alias si Tangan Beracun melom-
pat dari tempat tidurnya yang terletak di pojok
Tumenggungan. Dia pun menerjang keluar dan
terkejut melihat pertempuran sedang terjadi.
Ki Condro Seta tak mau berpikir panjang lagi.
Dia pun memasuki kancah pertempuran. Patih
Condro Ijo yang menyamar dengan menggunakan
sebuah topeng segera menyambutnya.
Terjadilah pertempuran yang sengit antara Ki
Condro Seta dan Patih Coro Ijo.
Di tempat lain, Nimas Priatsih yang juga men-
genakan sebuah topeng mengamuk menyabetkan
pedangnya. Jeritan terdengar. Darah pun berham-
buran. Sejumlah pengawal istana terdesak hebat kare-
na jumlah pemberontak yang sangat banyak. Te-
tapi mereka berusaha bertahan sekuat tenaga.
Namun semua itu sia-sia belaka.
Ki Condro Seta sendiri pun sudah beberapa kali
kena sambaran pedang Coro Ijo yang kin dibantu
oleh beberapa anak buahnya.
Tiba-tiba masuk tiga orang laki-laki ke kancah
pertempuran itu yang langsung mengobrak-abrik
barisan pemberontak. Patih Coro Ijo dan Nimas
Priatsih terkejut. Siapa pula mereka ini"
Sementara semangat Ki Condro Seta muncul
kembali. Dia tidak tahu siapa ketiga pendatang itu, tetapi agaknya ketiga
pendatang itu berpihak padanya melihat mereka menghantam para pembe-
rontak. Pukulan tangan beracunnya pun berkelebat la-
gi. Tiga orang pemberontak menjerit dan ambruk
dengan tubuh membiru.
Melihat hal itu, Patih Coro Ijo menjadi murka.
Dia menerjang hebat Ki Condro Seta yang menjadi
kewalahan dan akhirnya ambruk. Mati dengan
leher hampir putus tersabet pedang Patih Coro Ijo.
Lalu Patih Coro Ijo segera menyambarkan pedang-
nya kepada tiga orang pendatang itu. Begitu pula
dengan Nimas Priatsih yang datang membantu.
Tiga orang yang datang itu tak lain Pranata
Kumala, Anggada dan Lesmana. Mereka pun
membalas serangan-serangan yang datang dengan
gesit dan tangkas.
Masing-masing sudah mengeluarkan jurusnya.
Saling serang. Saling bertahan.
Suara-suara jerit kematian masih terdengar.
Sampai suatu ketika pedang Patih Coro Ijo me-
nyambar bahu Lesmana.
"Mundur kau, Lesmana!" seru Anggada sambil berguling dan menggedor maju ke arah
Patih Coro Ijo. Patih Coro Ijo pun membalas dengan hebat.
Sementara Pranata Kumala yang berhadapan
dengan Nimas Priatsih terus bertempur dengan
hebat. Ternyata Nimas Priatsih begitu tangguh. Serangan-serangan Pranata Kumala
berhasil dipa- tahkannya. Bahkan berkali-kali dia membalas.
"Terimalah ajalmu, Manusia Sombong! Makanya
jangan ikut campur dalam urusan ini!" seru Nimas Priatsih sambil mengirimkan
pukulannya. "Manusia busuk! Nyatanya kau yang ditunggu
semalam oleh Raden Wijaya!" balas Pranata Kumala sambil bersalto menghindar.
Nimas Priatsih menjadi kaget. Berarti ada orang
yang mengetahui semua rencana mereka. Kalau
pun pasukan Raden Wijaya masuk dengan bala
pasukannya seolah-olah mengusir para pemberon-
tak, akan sia-sia belaka.
Berarti rencana ini sudah gagal, sudah dicium
orang. Hal ini membuat Nimas Priatsih menjadi marah.
Dia mempergencar serangannya.
Kali ini Pranata pun sudah mengeluarkan jurus
pukulan sinar merahnya yang mampu membuat
Nimas Priatsih tunggang-langgang menghindari se-
rangan itu. "Setan!" rutuknya.
"Kau yang setan, Perempuan busuk!"
Tiba-tiba terdengar derap langkah kuda mema-
suki tempat itu. Disusul dengan suara, "Hei, para pemberontak! Menyerahlah
kalian!" Para pengawal istana gembira begitu melihat


Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raden Wijaya dan pasukannya datang membantu.
"Raden!"
"Bantu kami!"
"Pemberontak-pemberontak ini begitu banyak
jumlahnya!"
Seruan-seruan penuh semangat membahana.
"Tenang, Para pengawal! Ayo, kita singkirkan para pemberontak ini!" seru Raden
Wijaya sambil mengibaskan pedangnya ke sana kemari.
Nimas Priatsih yang merasa sia-sia sandiwara
Raden Wijaya bersalto mendekatinya.
"Raden... tidak usah bersandiwara lagi! Rencana kita sudah diketahui orang!"
"Apa maksudmu, Nimas?"
"Hahaha... jangan berpura-pura lagi, Raden Wijaya yang berhati busuk!" terdengar
tawa Pranata Kumala di dekat mereka. "Hentikan semua sandi-waramu ini! Dan
menyerahkan diri!"
Raden Wijaya yang segera tanggap apa yang te-
lah terjadi, menggeram marah.
"Manusia lancang! Kau harus mampus!" serunya sambil menggebrak kudanya ke arah
Prana- ta. Pranata cepat menghindar dengan jalan bersal-
to. "Raden... biar aku yang hadapi manusia lancang itu!" berseru Nimas Priatsih
sambil melompat. "Sebaiknya kau mencari raja dan Wilada! Bunuhlah
mereka!" Raden Wijaya berlari ke kamar ayahnya. Tetapi
kamar itu kosong. Begitu pula dengan kamar
ibunya. Kosong melompong.
Raden Wijaya menggeram.
Lalu dia berlari ke penjara bawah tanah. Begitu
pula adanya, penjara tempat Raden Wilada dihu-
kum kosong melompong.
"Bangsat! Berarti mereka sudah diselamatkan
orang-orang itu! Laknat! Kalian harus mampus!"
Raden Wijaya pun melesat keluar lagi. Dia me-
merintahkan pasukannya untuk membunuh keti-
ga pendatang itu. Sudah tentu pasukannya dan
penjaga istana yang tidak tahu apa yang sesung-
guhnya telah terjadi keheranan.
"Bagaimana, Raden?"
"Laksanakan perintahku cepat!"
Dan serentak pasukan itu pun mengurung Pra-
nata Kumala, Anggada Dan Lesmana. Yang harus
mempertahankan selembar nyawa mereka secara
mati-matian. Ketiganya pun sudah merebut senjata dari tan-
gan para prajurit dan menggunakannya untuk
membela diri. Tiba-tiba Pranata Kumala bersalto menghindar,
sambil mendekati Anggada dan Lesmana.
Lalu dia berbisik. "Kerahkan tenaga dalam kalian dan alirkan pada kedua telinga
kalian. Bila nanti kalian merasakan sakit yang teramat sangat,
lebih baik kalian pergi meninggalkan tempat ini.
Mengerti"!"
Walaupun tidak sepenuhnya mengerti, tetapi
keduanya mengangguk. Lalu mereka menyalurkan
tengah dalam mereka ke telinga.
Sementara Pranata Kumala menghindari lagi
serbuan dari Nimas Priatsih. Sambil melenting di
udara dia mencabut sesuatu dari balik bajunya.
Itu Seruling Naga! Seruling sakti warisan dari
ayahnya, Madewa Gumilang. Sedangkan Madewa
sendiri mendapatkan dari gurunya Ki Rengsersari
(baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
"Senjata apa yang kau keluarkan itu manusia
lancang!" seru Nimas Priatsih.
Pranata langsung bersalto dan ketika hinggap di
tanah sudah dalam posisi bersila. Dia mengelua-
rkan hawa murninya. Menenangkan pikiran dan
dirinya. Dan perlahan-lahan dia mulai meniup seruling-
nya. Terdengarlah alunan perlahan-lahan. Merdu
dan lembut. Namun lambat laun terasa menyentak
di telinga. Mendadak saja orang-orang yang berada di sana, bagai diserang oleh
ribuan tawon yang
mendengung di telinga.
Menyakitkan. Nimas Priatsih, Patih Coro Ijo dan Raden Wijaya
segera mengerahkan tenaga dalam mereka yang
dialiri ke telinga untuk menutup jalan pendenga-
ran dari suara seruling itu.
Sedangkan pemandangan lain pun terlihat. Be-
berapa orang yang mempunyai tenaga dalam pas-
pasan sudah tergeletak kelojotan dengan telinga
berdarah. Lalu meregang nyawa.
Anggada dan Lesmana sendiri pun telah me-
nyumbat telinga mereka dengan tenaga dalam.
Suara seruling yang terdengar merdu itu malah
menyakitkan di telinga.
Itulah kesaktian dari Seruling Naga yang di ten-
gah tubuh seruling itu ada gambar dua ekor naga
sedang bertarung.
Perlahan-lahan pemandangan mengerikan pun
terlihat. Satu per satu ambruk dengan telinga berdarah sebelum meregang nyawa.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang men-
gandung tenaga dalam, "Pranata! Hentikan tiupan seruling itu!"
Seruling Naga yang dipegang oleh Pranata terle-
pas, menandakan betapa tingginya tenaga dalam
orang yang membentak tadi.
Pranata pun menjadi siaga.
Di hadapannya kini berdiri sosok tubuh menge-
nakan jubah putih.
"Ayah!"
Madewa Gumilang yang membentak tadi terse-
nyum, "Bila tak kau hentikan alunan serulingmu, betapa banyaknya nyawa orang
yang tak berdosa
harus putus..."
"Maafkan aku, ayah... keadaanku sudah sangat terdesak. Jumlah mereka sangat
banyak, Ayah..."
"Ya, aku pun sudah tahu apa yang telah terjadi di sini!"
Lalu muncullah beberapa orang-orang gagah ke
tempat itu. Mereka sangat terkejut menyaksikan
pemandangan berdarah yang terpampang di hada-
pan mereka. Tiba-tiba Begawan Batista berseru, "Baginda ra-ja!" Beberapa orang hendak
menyerbu masuk ke istana, tetapi Anggada berseru, "Tahan, Guru!"
"Kau, Anggada" Lesmana!" seru Begawan Batista sambil melongok mencari Mantari.
"Di mana adik seperguruan kalian"!"
"Dia berada di satu tempat yang aman, Guru."
Begawan Batista menghela nafas lega. "Bagai-
mana keadaan Baginda Raja?"
"Beliau dalam keadaan sehat walafiat di satu tempat yang sangat tersembunyi. Dia
bersama istrinya, Raden Wilada, Rayi Mantari, dan Mbakyu
Ambarwati."
"Siapa Ambarwati"!"
"Beliau adalah menantuku, Begawan Batista,"
kata Madewa Gumilang.
Begawan Batista menoleh. "Jadi... yang meniup seruling tadi anakmu" Pranata
Kumala" Murid da-ri Kakek sakti Ki Ageng Jayasih?"
"Benar, Begawan..."
"Hei, lihat!" terdengar seruan dari Pranata Kumala. Nampaklah Nimas Priatsih,
Patih Coro Ijo dan Raden Wijaya bangkit hendak melarikan diri.
Mereka merasa sudah tak berguna lagi berada
di sini. Mereka juga merasa tak akan mungkin bisa meneruskan rencana keji
mereka. Apalagi sekarang betapa banyaknya pendekar yang berdatan-
gan, yang mereka adu domba untuk saling bersi-
lang sengketa. Itulah sebabnya mereka mencoba melarikan di-
ri. Tetapi langkah mereka tertahan, karena bebe-
rapa pendekar yang merasa geram sudah bersalto
mengurung ketiganya.
"Menyerahlah kalian!"
"Hhh! Sebelum tubuh berkalang tanah, kami
tak akan menyerah!" seru Nimas Priatsih sambil menyerang.
Terjadilah pertempuran kembali. Patih Coro Ijo.
Nimas Priatsih dan Raden Wijaya yang tak kalau
mereka menyerah, ditangkap dan diadili.
Madewa berseru, "Tangkap hidup-hidup! Mere-
ka harus merasakan hukuman terlebih dahulu se-
belum mati!"
Karena para pendekar itu bekerja sama, maka
dengan cepat ketiga orang itu berhasil diringkus
dan diikat. Tiba-tiba muncul sosok tubuh pendek dengan
kedua pergelangan tangan memakai gelang bahar.
"Ya, ya... hehe... aku terlambat, terlambat... hehehe... pestanya sudah
selesai... hehehe selesai..."
Orang-orang menoleh pada sosok bundar yang
baru datang itu.
Begawan Batista memanggil, "Ki Condromuko..."
"Ya, ya... aku... aku Ki Condromuko... Oh, kau rupanya, Begawan. Begawan
Batista... hehehe...
ya, ya... aku tidak bisa menemui muridmu yang
bernama Mantari... heheh... ya, ya... Mantari...
maafkan aku... hehehe... Ki Condromuko minta
maaf... Ya ya... minta maaf..."
"Tidak apa-apa. Kau tetap sahabatku yang seja-ti. Kau telah melakukan perjalanan
yang cukup jauh untuk mengikuti ketiga murid Padepokan-
ku... Tidak apa-apa..."
"Benar... hehehe... benar tidak apa-apa... hehe...
Ya, ya... tidak ketemu... hehehe..."
Laki-laki yang setiap bicara selalu terkekeh itu
adalah Ki Condromuko yang pernah bertemu den-
gan Mantari saat gadis itu sedang mandi. Ternyata dia adalah sahabat Begawan
Batista yang ditugaskan sang Begawan untuk mengikuti jejak keti-
ga muridnya. Tetapi agaknya Ki Condromuko tidak mengenal
mereka. Tiba-tiba laki-laki pendek bundar itu tertekun
pada Madewa Gumilang. Lalu dia terkekeh lagi se-
perti biasanya.
"Hehehe... bukankah kau Madewa Gumilang...
ya, ya... Madewa Gumilang... hehehe... Pendekar
Bayangan Sukma... Hehehe... apa kabar Pergu-
ruan Topeng Hitam... ya, ya... Perguruan Topeng
Hitam?" "Salam kenal dariku, Ki Condromuko... Kabar
Perguruan Topeng Hitam dalam keadaan baik," ka-ta Madewa Gumilang.
"Hehehe... tak kusangka... hehehe... ya, ya... tak kusangka... aku akan bertemu
dengan kau... hehehe... ya, ya... ini kabar bagus... hehehe... ini hari
bagus..." Dari arah gerbang Keraton muncullah raja ber-
sama yang lainnya.
Serentak orang-orang di sana menjura hormat
pada Raja. Baginda raja cuma tersenyum, lalu me-
lirik Raden Wijaya, Patih Coro Ijo dan Nimas Priatsih yang menunduk.
Lalu raja melangkah mendekati Raden Wijaya.
"Anak tak tahu diuntung! Kau telah berbuat sesuatu yang keji! Pengawal, mulai
besok umumkan pada seluruh rakyat, bahwa Raden Wilada tidak
bersalah. Dia tetap akan menjadi calon pengganti-
ku! Dan umumkan pula pada rakyat, bahwa Ra-
den Wijaya akan dihukum seumur hidup! Begitu
pula dengan Patih Coro Ijo! Sedangkan wanita iblis ini, akan dihukum mati!" seru
Raja murka. Lalu berkata pada orang-orang yang hadir, "Terima kasih atas bantuan kalian
semua. Ternyata
kalian masih tetap setia kepadaku! Anak muda..."
panggilnya pada Pranata Kumala. "Terima kasih atas pertolonganmu... aku akan
mengangkatmu menjadi Panglima di Keraton Selatan ini..."
"Maafkan hamba... baginda Raja. Bukan mak-
sud hamba ingin menolak, tetapi hamba dan istri
hamba, Ambarwati... akan meneruskan petualan-
gan hamba..."
Raja mendesah. Terlihat kekecewaan di ma-
tanya. Tetapi dia tak bisa menolak keinginan Pra-
nata Kumala dan istrinya untuk meneruskan pe-
tualangannya. "Baiklah kalau begitu. Khusus kepada Pendekar Bayangan Sukma... rasa terima
kasihku tak ter-hingga padamu..."
"Baginda..." kata Madewa dengan suara yang arif. "Sudah sepatutnya kita
memerangi kejahatan, bukan" Nah, aku permisi!" Sesudah berkata begi-
tu, tubuh Madewa menghilang dari pandangan.
Orang-orang berdecak kagum.
"Dia memang manusia dewa yang baik dan bu-
diman," kata Begawan Batista dan Resi Gohkarna berbarengan.
Sementara Pranata Kumala dan istrinya, Am-
barwati pun pamit mundur untuk meneruskan
perjalanan dan petualangan mereka yang mereka
tidak tahu sampai kapan akan berakhir.
Yang pasti, mereka kagum pada ayah mereka,
Madewa Gumilang yang bisa melihat kejadian-
kejadian yang berada jauh darinya.
Dan tanpa setahu mereka, Pratama, salah seo-
rang murid Perguruan Topeng Hitam terus mem-
buntuti keduanya.
TAMAT Scan: Clickers Juru Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu keisel
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Document Outline
*** 2 ***

Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

3 *** 4 *** 5 *** *** 6 *** 7 *** 8 TAMAT Pendekar Pedang Pelangi 3 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Pusaka Pulau Es 9
^