Pencarian

Lima Utusan Akherat 2

Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat Bagian 2


Walau pun demikian Malaikat Penderita
terpaksa turun dari kudanya ketika melihat pe-
rempuan berpakaian merangsang melambaikan
tangannya. "Tu... tuan...! Tolonglah beri aku sedikit air.
Aku sangat haus dan lapar sekali!" rintihnya dengan suara memelas.
Si kakek mengambil air, kemudian membe-
rikannya pada si gadis. Setelah minum air terse-
but tidak disangka-sangka ia bangun, dan lang-
sung merangkul Malaikat Penderitaan. Tentu saja
kakek bermata awas ini langsung menepisnya dan
melompat menjauh.
"Tuan...!" desahnya dengan tatapan ma-
tanya yang sayu. "Saya tidak mengharap balasan apa-apa, semua ini saya lakukan
demi membalas kebaikan tuan yang telah memberi ku air kehidu-
pan." "Aku tidak meminta balasan apa-apa. Ber-terima kasihlah pada Tuhan!" seru
si kakek. Baru disebut kata 'Tuhan', maka gadis itu
tampak belalakkan matanya. Ada yang berubah
lewat tatapan matanya, sorot mata itu penuh ke-
bencian. Tidak lama terciumlah bau Bunga
Mayat, bau bunga stanggi, bau kemenyan yang
sedemikian menusuk.
Malaikat Penderitaan tiba-tiba bicara den-
gan suaranya yang menyentak.
"Kau... kau pasti Sang Maha Sesat! Terak-
hir naluri ku mengatakan kau telah mempenga-
ruhi hartawan Abdi Banda. Kau janjikan ia tidak
akan pernah mengalami kematian, padahal sia-
papun tidak dapat membantah bahwa setiap
makhluk yang bernyawa pasti bakal mengalami
kematian! Hu hu hu...!" kakek itu itu tertawa, namun suara tawanya seperti orang
menangis, sedih menghiba-hiba.
"Hi hi hi...! Bagus kalau kau mengetahui
siapa aku makhluk antara ada dan tiada. Hidup-
mu terombang ambing dalam ketidak pastian.
Kau tentu sangat gelisah pada manusia yang se-
makin lupa menyembah Tuhannya. Mereka lebih
cenderung menempuh jalan yang salah seperti ja-
lanku. Ini merupakan suatu bukti secara tidak
sadar bahwa sesuatu yang menyesatkan, sesuatu
jalan yang membuat manusia terjerumus ke ne-
raka sangat disukai oleh manusia. Nah... aku ti-
dak banyak cingcong, serahkan surat Kedamaian
Dunia padaku! Cepat serahkan...!" perintah Sang Maha Sesat yang telah menjelma
menjadi gadis cantik berpakaian merangsang itu tegas.
"Kakek moyangnya iblis, biangnya setan!
Sesungguhnya kau adalah makhluk yang terlak-
nat karena kesombonganmu dulu. Surat Keda-
maian Dunia hanya Anak Langit yang berhak
membukanya dan memberitakan isinya pada se-
tiap manusia. Meskipun sekarang kitab berisi su-
rat itu ada padaku. Namun aku tidak akan mem-
berikannya pada siapapun meskipun jasad ka-
sarku menjadi taruhannya!" tegas Malaikat Pen-
deritaan. "Hmm, begitu" Aku jadi ingin tahu apakah
kau mampu mempertahankannya?" dengus Sang
Maha Sesat tidak kalah sinisnya.
Sebagaimana telah kita ketahui, Sang Ma-
ha Sesat mengiringi hartawan Abdi Banda sampai
ke istana raja Ujung Dunia. Setelah berada disana rupanya hartawan itu gelisah
tentang keselamatan kitab yang dulu diambilnya dari seorang Kyai
Akbar Abadi di tempat pengasingannya. Untuk itu
ia minta tolong pada Sang Maha Sesat untuk
mengambil barang yang Maha penting tersebut.
Sebagai makhluk yang tercipta dari api, tentu ia
dapat bergerak cepat. Tidak sampai sekedipan
mata, maka sampailah Sang Maha Sesat digu-
dang penyimpanan harta di hutan larangan. Tapi
apa yang dicarinya telah hilang. Ia jadi curiga, ketika ia kembali maka
terlihatlah iringan kereta
kuda yang dihela oleh seorang kakek tua. Dengan
kekuatannya yang dahsyat ia dapat mengetahui
bahwa barang yang dicari-carinya ada pada si ka-
kek yang tidak lain adalah Malaikat Penderitaan.
Maka menjelmalah dia sebagai seorang gadis pen-
gembara yang kelaparan.
Kini gadis cantik berpakaian merangsang
itu sudah menggerak-gerakkan tangannya ke
udara. Maka sekejap saja telah tercipta kabut
yang kemudian berubah menjadi algojo-algojo
pembunuh yang sangat kejam.
"Bunuh dia! Bunuh... bunuh... bunuh!" perintah Sang Maha Sesat.
Sepuluh orang algojo yang tercipta dari
asap menyerang Malaikat Penderitaan. Walau pun
algojo-algojo ini menyerang tanpa memperguna-
kan senjata, namun setiap serangan mereka me-
nebarkan asap tipis. Asap inilah yang sangat ber-
bahaya karena mengandung racun yang dapat
melumpuhkan orang.
Malaikat Penderitaan tentu tidak mau me-
layani serangan algojo-algojo ciptaan ini dari jarak dekat. Ia melompat mundur
ke belakang. Tokoh
sakti ini kemudian putar-putar tangannya di atas
kepala. Bibirnya berkomat-kamit. Terdengar sua-
ranya di sela-sela isak tangisnya, suara antara
doa dan penyesalan....
Demi Zat yang jiwa seluruh makhluk berada
dalam genggamanNya
Sesungguhnya aku ini adalah orang yang
sangat kejam pada diri sendiri....
Jangan Kau jadikan diriku di antara golon-
gan orang-orang yang merugi
Jadikan diriku dari salah satu orang yang
Kau tunjuki jalan lurus, bukan jalan yang
menyesatkan....
Palingkan aku dari godaan makhluk yang
Maha terkutuk ini....
Engkau Maha perkasa lagi Maha Gagah,
bagiMu tempat aku minta pertolongan....
Maka enyahkanlah dia dari jalan yang ku-
tempuh... "Hiya...!"
Malaikat Penderitaan tiba-tiba hentakkan
kedua tangannya ke sepuluh penjuru arah. Ada
angin dingin menderu, antara rasa ada dan tiada
namun pasti. Angin bersiut, cahaya putih menerabas
hanya berupa lintasan kilat, sekejap namun bera-
kibat sangat fatal. Dentuman keras terdengar, su-
ara jeritan-jeritan dalam kegaiban terdengar pula.
Sepuluh algojo yang tercipta dari kabut lenyap.
Kini yang tertinggal hanya Sang Maha Sesat beru-
jud seorang gadis cantik berpakaian tipis mem-
bayang auratnya.
"Hmm, ternyata kau boleh juga, Malaikat
Penderitaan. Kali ini kau benar-benar akan ku-
buat menderita!" dengus si gadis.
Sepuluh jari terkembang, dari setiap ujung
jemari tangan itu meluncurlah lidah api menye-
rang Malaikat Penderitaan. Kakek tua berpakaian
putih berambut putih pejamkan matanya.
"Gusti Allah! Sesungguhnya aku lemah.
Engkau yang menciptakan api dan Engkau Maha
Berkehendak, aku berlindung padamu dari tipu
daya makhluk ini...!" desis si kakek seperti orang yang berdoa.
Sepuluh lidah api menghantam tubuh Ma-
laikat Penderitaan. Keanehan terjadi. Tubuh Ma-
laikat Penderitaan memancarkan cahaya putih
berpedar-pedar. Tapi sedikit pun api itu tidak
membakar tubuh si kakek. Bahkan pakaian yang
melekat di tubuhnya tetap utuh.
Di lain waktu Malaikat Penderitaan meng-
guncangkan kepalanya. Lalu sepuluh lidah api
kembali berbalik menyerang Sang Maha Sesat.
Gadis jelita itu menghindar dengan gerakan lak-
sana kilat. Sembilan lidah api dapat dielakkan-
nya. Lidah api itu terus meluncur kemudian
menghantam bukit di belakangnya.
Buuum! Ledakan keras membuat bukit berlubang
besar seperti kawah gunung. Jika manusia yang
terkena serangan itu tubuhnya pasti berkeping-
keping. Satu lagi lidah api ditepisnya sehingga
padam dan tidak menimbulkan bekas sama seka-
li. "Bangsat!! Hiya...!" teriak Sang Maha Sesat Murka. Tiba-tiba saja tubuhnya
melesat ke depan.
Di saat itulah Malaikat Penderitaan berputar-
putar. Tubuhnya bagaikan angin puyuh yang siap
memporak-porandakan apa saja yang dilaluinya.
Kemudian seleret sinar putih menggulung tubuh
si gadis. Terdengar nafas terengah-engah. Namun
keanehan terjadi, tubuh si gadis berubah besar
dan semakin tinggi. Bertambah tinggi menjulang
ke langit ujudnya juga berubah menjadi sosok
mengerikan. Makhluk yang tercipta dari api itu
kemudian memberontak dari kungkungan sinar
putih yang membelenggunya dengan ketat. Apa
yang dilakukannya tidak sia-sia, ia pun terlepas.
Ujudnya melayang di angkasa. Inilah ujud yang
paling buruk mengerikan yang sangat jarang lihat
oleh manusia. Lalu terdengar suara tawa Sang Maha Se-
sat seakan merobek langit, meruntuhkan hampa-
ran gunung-gunung di sekitarnya.
"Hi hi hi! Ha ha ha...! Malaikat Penderitaan, engkau orang yang tidak pernah
berpaling dari Gusti Allah. Kau hebat walau pun aku belum bisa
dikatakan kalah. Perlu kau catat, aku akan
menggoda semua manusia sepanjang jaman. Aku
akan goda mereka sampai nyawa di tenggorokan,
mereka kelak akan menjadi pengikut-pengikut ku
di neraka!! Ingat, aku akan hadir dalam berbagai
rupa berbagai persoalan!" Sang Maha Sesat kembali tertawa. Sosok mengerikan itu
kemudian be- rubah menjadi kabut. Kabut itu secara perlahan
mulai lenyap hingga akhirnya hilang sama sekali.
Malaikat Penderitaan terduduk lesu. Lalu
ia menangis tersedu-sedu. Tubuhnya terguncang
dan tangisnya semakin lama semakin bertambah
keras. Di sela-sela isak tangisnya itu terdengarlah suaranya yang terbata-bata
seakan bicara pada
dirinya sendiri.
"Ya Gusti Allah, jika manusia tahu sebu-
ruk-buruknya wajah. Itulah wajah bapak
moyangnya setan. Tapi mengapa manusia memi-
lih jadi pengikutnya" Padahal sudah jelas neraka
adalah tempat kembali seburuk-buruknya! Oh...
moga saja surat yang kubawa ini mengandung
hikmah kebenaran!"
Malaikat Penderitaan usap matanya bebe-
rapa kali. Kemudian ia menghampiri kereta ku-
danya. Tidak lama ia pun sudah meneruskan per-
jalanannya menuju kota raja Ujung Dunia.
*** Balairung pertemuan itu sekarang menjadi
tempat tertumpahnya kemarahan seorang raja
yang kejam. Wajah-wajah yang penuh takut, ke-
pala-kepala yang patuh itu tertunduk dalam
"Aku tidak suka melihat orang asing jual
lagak didaerah orang lain. Ini merupakan penghi-
naan besar yang tidak dapat dimaafkan!" kata ra-ja Lalim Durjana di depan
pembesar, pejabat
tinggi, panglima dan patih kerajaan. Nada sua-
ranya meninggi pertanda amarahnya sudah me-
muncak. Sejurus ia berpaling pada Panglima Arung
Garda. Lalu....
"Panglima! Persiapkan sebagian armada pe-
rang kita. Mereka tidak perlu dikasih hidup,
musnahkan mereka semua dan bawa kepala pim-
pinan Lima Utusan Akherat kehadapanku!"
"Perintah kami laksanakan paduka." sahut Panglima Arung Garda mantap.
"Kau, orang yang baru bergabung dengan
kami! Kau punya julukan keren amat. Aku ingin
melihat kebolehan mu, untuk itu kau tetap bera-
da di istana ini. Aku takut sewaktu-waktu orang
yang tidak kita harapkan menyerbu kemari...!"
kata Lalim Durjana ditujukan pada Raja Tega
"Ha ha ha...! Paduka tidak usah ragukan
kemampuan saya. Saya akan mengatasi persoa-
lan disini sebagaimana yang paduka harapkan!"
jawab Raja Tega.
Sang raja anggukan kepala. "Sekarang kau
berangkat, Panglima...!" perintah baginda seakan tidak sabar.
Tidak lama kemudian berangkatlah Pan-
glima Arung Garda memimpin tidak kurang tiga
ratus tentara kerajaan bersenjata lengkap. Mere-
ka memang tampak seperti tergesa-gesa sekali.
Sementara itu masih di ujung jalan besar kotaraja Ujung Dunia, tampak dua orang
pemuda yang sa-tu berpakaian biru dan berbaju putih sedang ber-
jalan melenggang.
Pemuda baju putih bertampang lugu seper-


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ti bayi tanpa dosa. Sedangkan yang baju biru ti-
dak lain adalah si konyol. Lagaknya celingak-
celinguk sambil garuk-garuk kepala. Terkadang ia
nyengir sendiri dengan mulut termonyong-
monyong. Rupanya ia merasa heran juga melihat su-
asana kota yang lengang dan tidak terlihat kesi-
bukan sebagaimana mestinya kota-kota besar.
"Sobatku! Kita ini sedang berada di kubu-
ran atau dimana?" tanya Si Bocah Ajaib sambil menyeka keningnya.
Pendekar Lugu menoleh, memandang he-
ran pada si geblek di sampingnya yang selalu
membuat geli di sepanjang perjalanan.
"Apa maksudmu, saudaraku?" bertanya
Wahyu Sakaning Gusti.
"Kota besar kok sepi begini" Apa penghuni
kota pada tidur, atau mereka memang tidak bera-
ni keluar?"
"Wah mana aku tahu. Kurasa banyak
penghuni kota ini yang pindah tempat. Karena
mereka bukan keong tentu saja rumahnya diting-
galkan!" "Entah mengapa perasaanku tidak enak.
Aku seperti diawasi oleh berpasang-pasang mata
yang sangat misterius!" kata Suro dengan mulut monyong-monyong.
"Segala sesuatu yang meragukan, sebaik-
nya kau hilangkan dari hatimu!" Pendekar Lugu menasehati.
"Menghilangkan bagaimana" Apa hatiku
musti dicopot?"
"Tolol kau pelihara. Kalau hatimu dicopot
tentu kau tidak lagi punya perasaan dan cinta"
sahut Pendekar Lugu seadanya.
"Cinta itu artinya kan Cium itu nanti tau akibatnya' , wah padahal itu-nya yang
sangat menyenangkan. Ha ha ha...!"
"Pendekar goblok, kau harus selalu ingat
pada siapa kau bicara?" tegas Pendekar Lugu.
Suro bersungut-sungut dan katupkan bi-
birnya rapat-rapat. Mereka terus melangkahkan
kakinya menelusuri jalan besar berbatu halus
tersebut Namun mendadak Suro Blondo hentikan
langkahnya. Telinganya yang sudah sangat terla-
tih itu mendengar suara langkah kuda yang dipa-
cu cepat ke arah mereka.
"Aku mendengar ada kuda menuju kemari.
Sebaiknya kita bersembunyi!" usul si konyol.
"Tapi aku tidak melihat apa-apa?"
"Tentu saja tidak kau lihat, Sobatku. Di
depan itu kan tikungan jalan!"
"Coba kita tunggu saja!" Pendekar Lugu
bersikeras. "Walah kau ini kok bandel sekali. Mari...!"
Suro terpaksa menjewer telinga Pendekar Lugu
hingga pemuda itu mengikuti kemana pun Pen-
dekar Blo'on bergerak.
Kalau bukan Pendekar Blo'on murid Peng-
hulu Siluman Kera Putih dan cucu sekaligus mu-
rid Malaikat Berambut Api yang memperlakukan-
nya begitu, pasti Suro sudah ditendangnya. Ia
maklum, pemuda berambut hitam kemerahan ini
bocah ngeblek, sinting dan penuh keedanan.
Ternyata tidak lama kemudian dari tempat
bersembunyian di balik tembok rumah penduduk
mereka melihat serombongan besar pasukan pe-
rang menuju keluar kota. Wahyu Sakaning Gusti
saling berpandangan dengan Pendekar Blo'on.
TUJUH "Menurutmu mereka mau kemana, sauda-
raku?" tanya Pendekar Lugu.
Suro menggerutu dengan mulut terpencong
"Tentu saja perang, masa mau pergi kondangan,"
dengus Suro dengan mata mendelik.
"Galak amat?"
"Habisnya kau Pendekar Goblok sih!"
"Iya sama, kau juga Pendekar gendeng!"
balas Pendekar Lugu.
Selagi mereka sedang berpikir untuk me-
nentukan langkah selanjutnya. Tiba-tiba saja di
balik tembok menyeruak tiga ekor anjing dan
memburu ke arah mereka berdua.
"Weih gila...! Dia mau menggigit kita...!" desis Pendekar Lugu yang pantang
bersentuhan dengan anjing. Pemuda ini langsung berlari tung-
gang langgang, kini Suro yang jadi sasaran. Tidak sempat berpikir lagi si konyol
pun lari terbirit-birit. Kawanan anjing tadi terus mengejar, eeh,
Suro baru ingat bahwa ia punya ajian Kilat
Bayangan. Bet! Sekelebatan saja tubuhnya pun lenyap. Ke-
tiga ekor anjing yang menyerang jadi melongo.
"Bangsat betul! Dasar binatang, ketahuan
orang masih hidup sudah diminta tulangnya!" gerutu Suro Blondo sambil garuk-
garuk kepala. Kedua orang ini kemudian mendekati tem-
bok istana yang cukup tinggi. Di setiap sudut
tembok terdapat menara, di atas menara itulah
terlihat pengawal-pengawal bersenjata lengkap
tampak bersiap siaga.
"Benteng istana ini tingginya bukan main.
Kita sama saja dengan dua ekor tikus yang ma-
suk perangkap. Dua katak mau melawan lembu!"
kata Suro sambil mondar-mandir di depan Pen-
dekar Lugu. "Tapi sebagian pasukan pergi dari istana.
Bagaimana jika kita menyusup ke dalam?" tanya Pendekar Lugu.
"Sebagian pasukan pasti bertahan dalam
benteng. Namun apa pun yang terjadi kita harus
tangkap raja dan hartawan Abdi Banda. Gendut
jelek itu harus mempertanggung jawabkan perbu-
atannya terhadap Puspita. Aku juga sudah ber-
janji di depan mayat isterinya akan mentatto dada Abdi Banda dengan tongkat yang
paling besar di
dunia! He he he...!" Suro terkekeh-kekeh.
"Tongkat?" gumam Pendekar Lugu dengan
kening berkerut.
"Iya, itu lho senjata maut yang dapat mem-
besar dan mengempis!" sahut si konyol sambil nyengir.
Pendekar Lugu geleng-gelengkan kepala
sambil mengurut dada.
"Dari pada bicara nggak karuan, sebaiknya
kita bergerak sekarang!?"
"Hmm, aku mendukungmu, kuharap kali
ini kau tidak menjadi beban bagiku...!"
Wahyu Sakaning Gusti diam saja. Benteng
setinggi empat batang tombak ini ia lewati. Kedua pemuda ini di lain waktu sudah
berada di dalam
tembok benteng.
Ternyata seperti yang mereka duga, di da-
lam benteng itu banyak prajurit-prajurit bersenja-
ta lengkap. Mereka menyelinap, belum apa-apa
sudah ketahuan.
"Hei berhenti...!" teriak salah seorang pengawal. "Tuh kan... kubilang apa,
ketahuan juga akhirnya...!" kata Si Bocah Ajaib. Mereka sama sekali tidak
bergerak, namun Suro tetap dalam
posisi semula. Tiga orang pengawal dengan senja-
ta terhunus tergesa-gesa menghampiri. Di saat
mereka berada dalam jarak satu tombak ketika
itulah Pendekar Mandau Jantan ini berbalik dan
lepaskan pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir".
Sinar putih menderu, lalu menghantam ke-
tiga prajurit itu. Mereka menjerit keras dan terhempas. Melihat kawan-kawannya
tersungkur ro- boh maka yang lain-lainnya pun datang menye-
rang. "Sobat Lugu, kita sikat mereka! Inilah pesta liar yang sangat aku tunggu-
tunggu dan...!"
Suara Suro terhenti ketika sebuah mata
tombak menyodok mulutnya. Sedangkan dua
lainnya mengarah perut serta dada, dari bela-
kangnya menderu pula dua buah pedang siap me-
robek punggungnya.
"Hmm, prajurit-prajurit ini memang pantas
digebuk mampus! Heaa...!"
Suro Blondo melompat ke udara, ia kerah-
kan jurus 'Kera Putih Memilah Kutu', sebentar sa-
ja begitu kakinya menjejak ke tanah Suro sudah
melompat, kemudian ia berjingkrak, melompat,
berjongkok sambil garuk-garuk kepala atau ke-
dua tangannya mencakar-cakar.
Mulut pemuda itu pletat pletot, tiba-tiba
saja ia melompat, tangannya menghantam ke tiga
arah sekaligus.
Buk! "Akh...!"
Tiga orang prajurit menjerit keras, mulut-
nya menyembur darah. Tapi yang datang semakin
bertambah banyak. Suro tentu tidak ingin dirinya
menjadi sasaran hujan senjata. Ia pun semakin
memperhebat gerakannya.
"Nguk! Nguk... Nyiet... Nyiet...!"
Gerakan menghindar yang dilakukan Si
Bocah Ajaib memang tampak lucu terkadang
terkesan asal-asalan saja, tidak jarang bahkan ia jungkir balik seperti orang
yang sedang main sirkus. Namun sehebat-hebatnya serangan para pra-
jurit itu, namun tidak satu pun senjata lawan
mengenai sasarannya.
"Pendekar Lugu, aku bosan melihatmu ma-
sih tetap memberi hati pada prajurit setan itu.
Mengapa menghindar terus, bunuh mereka!" te-
riak Suro. Pemuda baju biru ini akhirnya memu-
tuskan untuk mengambil tindakan yang sangat
tepat. Tiba-tiba ia melepaskan pukulan 'Matahari
dan Rembulan Tidak Bersinar'.
"Haiyaa...!"
Jeritan Suro disertai dengan melesatnya
sinar redup berwarna biru ke delapan penjuru
arah sekaligus. Kemudian pukulan itu secara te-
lak menghantam prajurit-prajurit yang menge-
royoknya. Puluhan prajurit berpelantingan roboh.
Mayat mereka tumpang tindih, kalau pun ada
yang setengah mati terkena pukulan Suro, maka
nyawa mereka akhirnya putus juga karena di-
himpit kawannya yang sudah mati.
Kelihatannya pemuda berambut hitam ke-
merahan ini terus mengumbar pukulan mautnya
sehingga lawan-lawannya tidak berani menge-
royok dalam jarak yang sangat dekat. Dalam pada
itulah terdengar suara teriakan.
"Panah...!"
Maka hujan panah pun bertubi-tubi meng-
hantam tubuh Pendekar Blo'on dan Pendekar Lu-
gu. Pemuda ini sambil melompat-lompat menco-
pot bajunya. Baju itu kemudian dikebutkan dan
diputar-putar sehingga menderulah angin yang
membuat panah-panah itu berbalik ke arah pemi-
liknya. Maka prajurit-prajurit yang di atas menara pun berjatuhan. Suasana tiba-
tiba saja berubah
kacau. Prajurit-prajurit yang mengeroyok Pende-
kar Blo'on dan Pendekar Lugu berhamburan ke
arah lain. "Emas... emas... hujan emas...!" seru prajurit-prajurit itu. Mereka berserabutan
mengambil emas-emas berharga itu. Sehingga mereka sudah
tidak menghiraukan lagi adanya dua lawan di si-
tu. Pendekar Lugu yang tidak pernah membunuh
ini langsung menotok dengan gerakan yang cepat.
Sehingga sebentar saja puluhan prajurit sudah
dibuat kaku. Nasib prajurit ini masih tergolong
untung, karena Pendekar Lugu hanya menotok-
nya tanpa membunuh. Lain lagi yang dilakukan
oleh Suro Blondo, begitu prajurit-prajurit berebut emas yang bertebaran bagaikan
hujan, ia langsung memungut salah satu pedang yang tergele-
tak dekat kakinya. Dengan punggung pedangnya
yang tebal itu, maka digetoknya setiap kepala prajurit yang seakan lupa daratan
dalam memungut emas. Prajurit-prajurit itu ada yang bergelimpan-
gan, ada pula yang tersungkur. Tidak jarang pula
yang kelenger atau mampus dikemplang pung-
gung pedang di tangan Suro.
Hampir enam puluh orang prajurit dibuat
tidak berdaya. Tiba-tiba di atas tembok terdengar suara tawa tapi seperti orang
yang menangis. "Prajurit-prajurit itu masih banyak lagi
jumlahnya! Lihatlah, mereka terpedaya oleh kese-
nangan dunia yang cuma sedikit!" berkata kakek berambut putih, Malaikat
Penderitaan Melihat kehadiran Malaikat Penderitaan.
Maka meledaklah tawa si konyol.
"Ha ha ha...! Kat... Malaikat... kau datang
tepat waktu! Aku senang kau ke sini. Yang mem-
buat aku kurang senang, mengapa kau curi harta
benda milik hartawan gemblung ini. Apakah per-
buatanmu bukan salah satu dosa?"
"Aku hanya mengambil, bukan untuk ke-
pentinganku. Tapi untuk kepentingan menegak-
kan keadilan. Ini suatu contoh, betapa lemahnya
manusia itu. Baru melihat harta mereka, mening-
galkan pertempuran, sungguh mereka termasuk
dalam golongan orang-orang yang berpaling! hu
hu...! Aku sedih."


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, kakek yang tertawa tapi seperti me-
nangis. Menangis tapi seperti tertawa. Apakah
anda ingin membantu kami! Sungguh aku meng-
harapkan bantuanmu. Pendekar Lugu sama seka-
li tidak membantu, sebab dia selalu kasihan pada
musuh...!"
Suara si konyol terputus, sementara ratu-
san prajurit lainnya telah mengurung mereka
dengan rapat. Maka datanglah para pentolan is-
tana. Mereka itu tidak lain adalah Patih Lura-
gung, Raja Tega, Raja Lalim Durjana dan tidak
ketinggalan si takut mati hartawan Abdi Banda.
Melihat Suro dan Wahyu Sakaning Gusti
hartawan Abdi Banda langsung berseru....
"Paduka, itulah kunyuknya yang telah
menghancurkan kekayaanku, dia juga yang telah
membunuh kakangku!"
"Hmm, dia pasti akan mendapat ganjaran
yang setimpal dari kita!" desis Lalim Durjana.
Pendekar Blo'on memandang tajam pada
sang hartawan, mulutnya peletat-pletot pertanda
amarahnya sudah memuncak pula. Walau sikap-
nya sangat serius, tetap saja tidak dapat mengha-
pus kesan konyol di wajahnya.
"Hartawan Abdi Banda, hartawan penuh
keedanan, kegilaan, kesintingan dan lain-lain.
Dosamu tujuh langit tembus. Kau kemanakan
Puspita" Awas, kalau dia sudah tidak utuh lagi,
apalagi sampai lecet! Huh... kekuasaan harta mu
hampir berakhir, begitu juga kekuasaan raja La-
lim Durjana. Nah, sekarang tunjuk tangan siapa
yang mau mati duluan"!" kata Suro. Ucapan Pendekar Blo'on yang apa adanya ini
membuat Pen- dekar Lugu terpaksa menahan geli.
Tiada jawaban apa-apa, raja Lalim Durjana
menggerakkan kepala memberi isyarat. Raja Tega
maju ke depan. Ia memandang sinis pada Suro
yang berdiri tolak pinggang.
"Kau Suro Blondo" Kau Pendekar Blo'on,
pantas sekali tampangmu memang tidak meya-
kinkan. Manusia sepertimu hanya membuat aku
muak, hari ini aku Raja Tega dari Sampuran Ha-
rimau akan membuatmu menjadi sate!"
"Baik, perkenalkan dulu kau punya gelar,
atau namamu sekaligus nama ayahmu!" ujar Su-
ro. "Mengapa kau tanya nama ayahku?"
"Ha ha ha...! Raja Tega, pulan bin pulan,
nama ayahmu sangat perlu agar Malaikat tidak
salah catat kau keturunan setan mana!"
Raja Tega menggembor marah. Ia kelua-
rkan topi maut bergerigi yang telah memupus ra-
tusan kepala. Topi itu mendesing membelah uda-
ra. Bocah Ajaib yang sudah memperhitungkan se-
gala sesuatunya segera menghindar, selanjutnya
ia melompat kian kemari seperti anak kecil yang
sedang bermain tali. Atau terkadang terhuyung-
huyung seperti monyet mabuk terasi, dari bibir-
nya terdengar suara ngak-ngik nguk. Tidak jarang
ia melakukan gerakan seperti gerakan monyet
yang sedang bergelayutan. Di saat itulah....
Zing! Secara aneh topi bergerigi yang dapat dita-
rik kembali ke arah pemiliknya ini membalik. Se-
mua orang dapat memastikan kali ini si konyol
bakal celaka. Karena senjata itu bergerak sepuluh kali kecepatan biasa. Kucar-
kacir si konyol sambil pencongkan mulutnya jatuhkan diri, lalu ia berguling-
guling menjauh. Ketika ia bangkit berdiri
senjata sudah menderu lagi menerabas perutnya.
Suro terpaksa bersalto, namun senjata itu
terus bergerak mengejarnya. Pemuda ini memaki-
maki dalam hati. Kemudian ia pergunakan jurus
'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. Sekejap,
Raja Tega dibuat tertegun dan keluarkan keringat
dingin. Sadarlah ia bahwa pemuda berambut hi-
tam kemerahan ini tidak dapat dianggap enteng.
Apalagi kini tubuh pemuda itu telah bergerak le-
nyap berubah menjadi bayang-bayang. Lalu terli-
hat bayangan biru menyeruduk ke arahnya. Raja
Tega menyingkir, namun kaki lawan menendang-
nya dengan telak.
"Hek!"
Raja Tega terbungkuk-bungkuk, sakit yang
dirasakannya memang cukup hebat, namun lebih
hebat lagi rasa malu yang dideritanya. Ia pun
menggeram dahsyat. Topi mautnya digantung di
bagian punggung, selanjutnya ia menyerang den-
gan jurus-jurus tangan kosong yang sungguh he-
bat. Sementara itu diluar dugaan dari luar ben-
teng ratusan penduduk yang sudah tertekan se-
lama ini juga menerobos masuk ke benteng den-
gan berbagai senjata di tangan. Mereka langsung
berhadapan dengan para prajurit kerajaan yang
juga tidak kalah banyaknya.
Hanya dalam waktu singkat berkecamuk-
lah perang besar di tempat ini. Jerit pekik kesakitan mewarnai denting beradunya
senjata tajam. Pendekar Lugu juga tidak kalah sibuknya. Ia te-
rus bergerak menghindari serangan prajurit-
prajurit yang menyerangnya. Setiap ada kesempa-
tan, maka ia melumpuhkan lawan-lawan yang di-
hadapinya dengan cara menotoknya.
Malaikat Penderitaan sampai sejauh itu be-
lum turun tangan. Malah ia terus menangis ter-
sedu-sedu di atas tembok benteng. Sedangkan
Patih Luragung sampai sejauh itu masih juga be-
lum turun tangan. Mereka terus menyaksikan
pertempuran antara Pendekar konyol dengan Raja
Tega. Dalam pada itu Sang Maha Sesat makhluk
alam gaib mendekati Hartawan Abdi Banda.
"Mengapa kau tunggu di sini hartawan! Se-
baiknya kau tinggalkan tempat ini dan pergi ber-
sembunyi di ruangan rahasia bersama putri serta
selir-selir kerajaan yang cantik-cantik!"
"Aku takut pada baginda?" desis Abdi Ban-da
"Mengapa harus takut, katakan saja pa-
danya bahwa kau tidak kuat melihat darah...!"
Hartawan yang selalu takut mati ini me-
nyeringai, ia kemudian berbisik-bisik di telinga
Raja Lalim Durjana.
Raja yang paling kejam di kolong langit itu
mengangguk-anggukkan kepala sementara perha-
tiannya tetap tertuju pada pertempuran. Harta-
wan Abdi Banda kemudian meninggalkan tempat
itu. Ia bergegas menuju ruangan lain yang tentu
saja atas petunjuk dan bimbingan Sang Maha Se-
sat. Hartawan ini sama sekali tidak tahu bahwa
ulah Sang Maha Sesat ini semata-mata untuk
mengadu domba agar terjadi perselisihan besar.
"Aku takut tindakanku ini ketahuan" Kau
sendiri telah gagal mengambil surat dalam kitab
yang kusimpan di gedung harta!"
"Tidak usah kau ragukan masalah surat,
sekarang berada di tangan Malaikat Penderitaan.
Monyetnya sudah ada disini, aku pasti punya ke-
sempatan untuk mengambilnya. Kerjakan saja
apa yang menjadi kesukaan mu...!"
Hartawan Abdi Banda terkekeh senang. Ia
terus berlari-lari menuju ruangan rahasia utama
yang terletak di bagian belakang kerajaan. Sang
Maha Sesat kembali ke depan,
Pertempuran antara Suro Blondo dan Raja
Tega berlangsung semakin seru. Pemuda beram-
but hitam kemerah-merahan ini selain terluka ke-
lihatannya sudah mulai terdesak. Ia sekarang te-
lah mengerahkan jurus 'Tawa Kera Siluman', pe-
muda ini sambil menyerang mulai tertawa-tawa.
Suara tawanya sedemikian keras menyakitkan te-
linga. Raja Tega sempat terhuyung. Konsentra-
sinya terganggu, namun setelah ia mengeluarkan
jurus 'Prisai Naga Di Balik Sampuran Harimau',
sambil membentak keras ia menerjang kembali.
Kali ini keduanya memang tampak ingin mengadu
tenaga dalam. DELAPAN Bayangan biru bergerak dari arah utara,
dari selatan terlihat bayangan hitam. Masing-
masing tangan lawannya menderu ke depan,
hingga benturan pun tidak dapat dielakkan lagi....
Bruk! "Wuakh...!"
Dua-duanya sambil menjerit keras sama
terpental kembali ke belakang. Darah tampak
menyembur ke udara. Pendekar Lugu yang hanya
tinggal menghadapi beberapa orang lawan ini
tampak tegang dan merisaukan keselamatan Pen-
dekar Mandau Jantan ini. Sementara Malaikat
Penderitaan masih belum mengambil tindakan
apa-apa, malah tangisnya semakin keras. Tadi
sempat kelihatan darah Suro dan darah Raja Tega
menyembur ke udara. Si Konyol jatuh terduduk
sambil meringis kesakitan. Ia melirik ke atas tembok. "Kakek tua Malaikat
Penderitaan! Begitu
tololnyakah kau, Kat" Aku sudah hampir mam-
pus kau masih juga enak-enakkan menangis?"
bentak Si Bocah Ajaib.
"Hu hu hu...! Kulihat darah, kulihat mayat
bergelimpangan membuat aku semakin menderi-
ta. Aku sangat menderita sekali karena melihat
manusia saling berbunuh-bunuhan!" sahut Ma-
laikat Penderitaan masih terus menggerung-
gerung di atas tembok.
"Samber geledek! Kau benar-benar sobat
yang tidak berguna!" maki Si Bocah Ajaib. Mulutnya sampai termonyong-monyong
saking kesal- nya. Tokh Suro tidak punya waktu lagi men-
gumbar kemarahannya, Raja Tega telah mengelu-
arkan jurus paling ampuh, hingga membuatnya
dijuluki Iblis Pembawa Bencana. Itulah Jurus
'Memupus Nyawa Memenggal Kepala'.
Sring! Pedang di punggungnya keluar dari rangka,
pedang tersebut selain sangat tajam juga besar
bukan main, namun tipis. Ketika senjata itu ber-
kiblat. Maka Suro mulai lakukan langkah-
langkah gila, tidak salah memang ketika itu si
konyol sudah mengerahkan jurus 'Kacau Balau'
warisan kakek gurunya Malaikat Berambut Api.
Pemuda ini memang tampak serius sekali,
gerakannya sungguh kacau tidak ketulungan. Se-
tiap langkahnya membingungkan lawannya. Bah-
kan ketika pedang lawannya bergulung-gulung
mengurung dirinya, dari setiap celah sambaran
pedang ia selalu dapat meloloskan diri.
"Pendekar goblok ini memang bukan main-
main kehebatannya! Gerakannya sungguh ajaib
dan penuh teka-teki!" geram Raja Tega dalam ha-ti.
Tiba-tiba ia putar pedangnya, lalu senjata
meluncur, Suro geser kakinya dan di angkat agak
tinggi. Eeh... nggak dinyana pedang membalik
arah kini membacok lehernya. Suro selamatkan
leher, lalu melompat dengan terhuyung-huyung
seperti orang mau jatuh.
Di saat itu tanpa disadari oleh lawan, ram-
but si pemuda yang kemerah-merahan ini mulai
berubah memerah seperti api. Ini merupakan
suatu tanda bahwa murid si konyol setengah sint-
ing Penghulu Siluman Kera Putih sudah menge-
rahkan tenaga intinya yang tingkatannya terpaut
satu tingkat di atas tenaga dalam
"Heaa...!"
Raja Tega melesat ke depan, Suro putar
langkah, maksudnya hendak lepaskan tendangan.
Ee... senjata lawan hampir membeset anunya.
Untuk selamatkan anunya Suro dengan lincah
terpaksa berputar lagi. Kini bagian pantatnya
yang jadi sasaran....
Brebet! "Bangsat sialan! Lawan keparat. Kau hen-
dak telanjangi aku!" maki Suro. Wajah konyolnya semakin bertambah konyol. Raja
Tega menyeringai. "Kali ini baru pantatmu yang keserempet
sedikit, sebentar lagi pasti kepalamu yang kubuat menggelinding!" dengus Raja
Tega sambil tergelak-gelak.
Tidak memberi kesempatan, tiba-tiba Suro
lepaskan pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma',
salah satu pukulan dahsyat yang tingkatannya di
bawah pukulan 'Neraka Hari Terakhir'.
Segulung angin kencang menghampar si-
nar putih bagaikan salju menderu-deru. Raja Te-
ga terkesiap dan belalakkan mata. Ia menangkis
dengan pedangnya.
Braang! Sungguh celaka, pedang ditangan nyaris
terpental sedangkan gelombang angin kencang
laksana badai topan tadi terus melabraknya tan-
pa ampun. "Buaam...!"
Tubuh Raja Tega menabrak tembok ben-
teng, tembok hancur Raja Tega sendiri megap-
megap macam ikan kekeringan. Ia kerahkan te-


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naga dalam untuk melancarkan jalan darahnya
yang seakan membeku dan tersendat-sendat, ma-
tanya mendelik seperti melihat setan.
Di sudut lain Raja Lalim Durjana berbisik-
bisik pada Patih Luragung diam-diam mereka
menyelinap pergi. Memang sudah hampir tidak
ada lagi yang mereka harapkan. Setelah prajurit
terbantai oleh amukan dan amarah rakyat. Raja
Lalim Durjana ternyata memilih menyelamatkan
diri. Sementara itu Raja Tega sudah bangkit
berdiri, nafasnya masih mpis-mpisan.
"Malaikat Penderitaan!" kata Pendekar
Blo'on sambil pegangi pantatnya yang sobek, se-
dangkan darah sudah mengering di sudut-sudut
bibirnya. 'Di atas tega masih ada tega lagi sehing-ga ia menyandang gelar Si
Raja Tega', hilang rasa kemanusiaannya, dan yang pasti ia tega berbuat
apa saja. Aku akan menghukumnya...!"
"Eiit, Suro, jangaaan...!?" cegah Malaikat Penderitaan.
Seruan si kakek terlambat. Yang terdengar
saat itu hanyalah suara ringkik kuda, jeritan tawa dan tangis di sertai
berkelebatnya cahaya hitam
di tangan Si Bocah Ajaib.
Tes! Tes! Tes! "Auuuu...!"
Di lain waktu Raja Tega telah kehilangan
dua tangan dan satu kakinya. Ketika Suro hen-
dak menghantam kepala Raja Tega, maka Malai-
kat Penderitaan gerakkan tangannya, sinar putih
melesat dan menahan gerakan tangan Suro di
udara. Suro terkejut, ia menggerakkan tangan-
nya, namun tangan si pemuda seperti tertotok
Pluk! Tahu-tahu Malaikat Penderitaan sudah
berdiri di samping Pendekar Blo'on. Ia tanpa bica-ra menotok urat besar di kedua
tangan dan sebe-
lah kaki Raja Tega yang buntung.
Laki-laki sadis ini tetap saja menjerit-jerit
kesakitan. Malaikat Penderitaan berdiri lagi dan
mengambil senjata ampuh di tangan Suro Blondo.
"Sungguh senjata yang sangat berbahaya
sekali!" guman si kakek, ia lalu mengurut pangkal lengan Suro hingga membuat
Pendekar Blo'on
dapat bergerak lagi. Begitu terbebas Si Bocah
Ajaib langsung memaki.
"Kakek goblok! Apa-apaan kau ini" Bukan
membantu malah aku yang ditotok! Sinikan sen-
jataku...!?" pinta Suro sambil merengut.
"Aku sedih jika kau membunuhnya, bu-
kankah apa yang kau lakukan telah membuatnya
menderita. Biarkan dia tetap hidup, kelak ia akan tahu betapa sulitnya Berjalan
Ke alam Baka!"
"Lebih baik kau bunuh saja aku, bocah
rambut hitam kemerah-merahan. Hidup dalam
keadaan begini rupa, hanya membuat aku men-
derita dan menyesal sepanjang sisa usia. Kau bu-
nuhlah aku, bunuh...!" pinta Raja Tega meratap menghiba-hiba.
Suro merebut senjatanya, diacung-
acungkannya sebentar. Namun kemudian secara
tidak terduga-duga dimasukkannya ke dalam
rangkanya. "Kalau kupikir-pikir betul juga bicaramu!
Baginya terlalu enak mati! Lebih baik kita biarkan dia hidup dulu! Nah...
sekarang lebih baik kakek
urusi penduduk itu. Aku ragu jangan-jangan ter-
jadi apa-apa dengan Puspita."
"Ah...!" Suro tepuk keningnya berulang-
ulang. Kuncinya pada hartawan itu! "Eeh... raja Lalim Durjana dan patihnya juga
telah minggat"
Mestinya kakek dan Pendekar Lugu tidak mem-
biarkannya melarikan diri!" tegur Suro.
"Dia tidak akan pergi kemana-mana, mere-
ka pasti masih berada di sekitar istana juga...!"
kata Malaikat Penderitaan.
"Tugasmu, Kat mencari mereka. Aku curiga
jangan-jangan bala tentara tadi sedang mencari
orang-orang kita! Biar kususul mereka!" kata Su-ro Blondo.
Kemudian pemuda ini tanpa menunggu le-
bih lama segera meninggalkan Malaikat Penderi-
taan dan Pendekar Lugu.
Si kakek segera menghampiri para pendu-
duk yang tampak mulai tidak sabar menyerbu
masuk ke istana.
"Saudara-saudara semua. Kalian lebih baik
menahan diri! Urusan raja dan keluarganya ada
di tangan kami." Seru si kakek.
"Mana bisa begitu, raja keparat itu harus
dihadapkan pada kami karena telah membuat
kami menderita lahir batin!" salah seorang dari penduduk itu bicara mewakili
kawan-kawannya "Betul! Lalim Durjana telah membuat keru-
sakan besar di muka bumi ini!" kata yang lain lainnya hampir serentak.
"Nah bertindak mengikut amarah hanya
akan merugikan diri sendiri. Sebaiknya kalian pu-
langlah, serahkan urusan ini pada kami!" tegas Malaikat Penderitaan.
Manalah orang-orang kalap ini mau men-
gerti saran si kakek. Mereka tetap bersikeras in-
gin menyerbu ke dalam istana.
"Tidak bisa! Amarah ini harus dilam-
piaskan!" kata wakil mereka.
"Hmm, kalau kalian bersikeras tidak men-
gapa, tapi kalian harus melewati ini...!"
Malaikat Penderitaan kemudian mengge-
rakkan tangannya. Maka menghamparlah api di
depan mereka. Orang-orang ini terkejut, lalu ter-
surut mundur. "Siapa yang berani melewati api ini silah-
kan masuk dan berbuat sekehendak hatinya."
ujar si kakek. Orang-orang ini terdiam, kemudian berba-
lik langkah dan meninggalkan alun-alun kerajaan
yang dipenuhi mayat dan darah.
"Pendekar Lugu." desah Malaikat Penderitaan. "Sebaiknya kita periksa ke dalam
istana. Sementara kita biarkan saja Si Raja Tega disini!"
"Bagaimana jika dia melarikan diri"!"
"Kakinya buntung, tangannya juga. Kalau
dia nekat melarikan diri tentu dia akan kehabisan darah." Pendekar Lugu
anggukkan kepala, selanjutnya mereka melangkahkan kakinya memasuki
istana. *** Hartawan Abdi Banda memang manusia
bangsat yang selalu memuja kesenangan dunia.
Setelah memasuki ruangan rahasia yang ternyata
dilengkapi dengan berbagai jenis keperluan seha-
ri-hari, ia menyikat apa saja. Makanan yang
enak-enak dan juga arak wangi yang menjadi ke-
sukaannya. "Arak dan makanan ada, hanya wanita
yang tidak ada!" pikir sang hartawan.
Ia tertawa terkekeh-kekeh. Pada saat me-
nyantap ayam panggang dilihatnya ada seorang
pelayan datang menghampiri.
"Tuan, makanan ini untuk putri dan selir-
selir baginda!" kata pelayan menegur.
"Ha ha ha...! Aku lapar, keadaan di luar
sana sangat menegangkan. Tapi kalau tidak boleh
tidak apa-apa. Oh ya... dimanakah puteri dan ra-
tu bersembunyi?"
"Di dalam kamar di ruangan rahasia ini,"
sahut dayang berbadan gembrot ini sambil terse-
nyum. Tanpa bicara apa-apa Hartawan Abdi Ban-
da berlalu dari meja hidangan. Ia melihat-lihat
suasana di sekelilingnya. Ternyata di dalam ruan-
gan rahasia itu cukup luas juga, tidak bedanya
dengan istana kedua. Banyak kamar di kanan kiri
lorong, semakin ia berjalan ke dalam lorong yang
remang-remang itu, maka semakin banyak pula
kamar yang dijumpainya.
"Hmm, kamar begini banyak. Aku tidak ta-
hu di mana selir dan putri raja berada...?" guman sang hartawan.
Sang hartawan meneruskan perjalanannya
kembali, sampai di ujung lorong tiba-tiba saja ia melihat seorang gadis cantik
berpakaian mewah
berjalan ke arahnya.
"Tuan puteri, dimanakah aku dapat beristi-
rahat!" tanya hartawan yang menyangka bahwa
gadis berkulit hitam manis tersebut adalah putrid raja. "Hi hi hi...! Aku bukan
putri raja, tuan hartawan. Aku adalah selirnya yang paling muda.
Baru dua bulan aku diangkat menjadi selirnya!"
Abdi Banda berdecak kagum, gadis ini can-
tik sekali, sayang sudah menjadi selir raja.
"Namamu siapa?"
"Aku selir Seriti, eh... kalau tuan mau. Aku bisa menunjukkan kamar yang bagus
untuk tuan!" kata Seriti.
"Berjalan di lorong begini bersama selir raja apakah tidak menimbulkan
kecurigaan orang
lain?" pancing si gendut.
"Tidak mengapa, hampir semua selir-selir
disini pernah melakukan penyelewengan...!" kata selir genit ini sambil mengedip-
ngedipkan matanya. Ibarat gayung bersambut, maka hartawan
ini pun segera mengikuti selir Seriti. Mereka me-
masuki sebuah kamar yang cukup mewah tidak
ubahnya seperti berada di sebuah penginapan
yang mahal. "Disini tuan dapat beristirahat!" kata Selir Seriti sambil menutupkan pintu
kamar sekaligus
menguncinya. "Eh, jangan...!" seru hartawan berpura-
pura kaget. "Hi hi hi...! Apakah perempuan makhluk
yang menakutkan bagimu?" cibir selir hitam manis ini. "Tidak juga, malah
terkadang perempuan menyenangkan, di lain saat menyebalkan, di lain
waktu menjengkelkan dan membuat frustrasi"
"Tentu aku tergolong yang pertama tuan
sebutkan! Suasana disini sangat dingin, bukan"
Tapi aku punya minuman jahe hangat yang dapat
membuat tuan bersemangat!"
Tanpa kata-kata lagi Seriti segera men-
gambil minuman di dalam kendi antik dan menu-
angkannya di atas sebuah cawan.
"Minumlah, tuan...!" Seriti menyodorkan cawan tersebut, Abdi Banda menerimanya
dengan gembira. Tanpa merasa curiga apa-apa sang har-
tawan langsung meneguk air jahe itu hingga tun-
tas. Ada hawa hangat menjalar turun dari tenggo-
rokan, lalu ke bagian lambung. Tidak sampai lima
menit, hartawan ini merasakan sekujur tubuhnya
menjadi hangat. Namun dalam waktu bersamaan
pula ia merasakan sesuatu yang sangat lain seka-
li. Di matanya senyum selir raja sedemikian me-
mikat dan membuat jantung hartawan berdetak
lebih keras lagi.
"Bagaimana tuan, apakah tuan merasa ti-
dak ingin lagi?" Hartawan Abdi Banda menjawab dengan gelengan kepala.
"Tuan pasti punya tenaga simpanan, kalau
boleh minta tolong pijitilah saya...!" rengek Seriti.
Laki-laki berperut bundar macam kuali
tengkurap ini terkekeh-kekeh.
"Memijit perempuan cantik sepertimu, jan-
gankan baru satu orang, sepuluh orang pun aku
sanggup!" kata sang hartawan.
"Kalau begitu tuan punya tenaga yang san-
gat besar!" puji sang selir. Ia merebahkan tubuhnya, mata hartawan yang selalu
penuh keedanan ini berbinar liar saat melihat pinggul selir Seriti.
Tanpa berkata apa-apa lagi si gendut jelek
mulai memijat si genit. Saat itu hartawan Abdi
Banda sudah terasa kepalanya sakit berdenyut-
denyut. SEMBILAN Pijit memijit itu pun terus berlangsung. Se-
riti memejamkan matanya. Semakin lama pijitan
sang hartawan semakin bertambah ngawur saja.
Gilanya lagi selir Seriti malah membimbing tan-
gan hartawan tersebut ke bagian mana yang dia
sukai. "Seriti... kau...!" Sang hartawan menggeram lirih. Selir Seriti tersenyum
menggoda, mereka
akhirnya bercumbu. Maka terjadilah perbuatan
yang sangat terkutuk itu. Dinding-dinding ruan-
gan menjadi saksi atas perbuatan mereka. Tubuh
mereka bermandi keringat.
Setengah jam kemudian suasana pun
sunyi. Di sepanjang lorong terdengar suara lang-
kan tergesa-gesa. Ternyata yang datang adalah
raja Lalim Durjana, Patih Luragung di kawal oleh
beberapa Punggawa tinggi kerajaan.
"Celaka, pasti baginda yang datang!" desis hartawan Abdi Banda. Seraya dengan
tergesa-gesa mengenakan pakaiannya kembali. Demikian
juga halnya dengan Selir Seriti.
Rupanya setelah berada di dalam ruangan
rahasia, baginda langsung mengadakan pemerik-
saan. Mula-mula ia menjumpai permaisuri dan
putri-putrinya, kemudian ia memeriksa kamar se-
lir-selirnya. "Cepatlah sembunyi di bawah kolong
tuan!?" perintah selir Seriti. Dengan gugup, Abdi Banda langsung menyelinap di
bawah kolong ranjang. Bersamaan itu pula pintu diketuk oleh se-
seorang di luar. Seriti dengan tergesa-gesa mem-
buka pintu.

Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baginda...!"
"Hmm, apakah kau melihat sahabatku har-
tawan Abdi Banda?" tanya raja Lalim Durjana
agak curiga. "Tidak, paduka." jawab Seriti disertai gelengan kepala.
"Ya sudah. Tutup pintu, jangan biarkan
siapapun masuk ke kamarmu!" perintah sang ra-ja.
Raja kerajaan Ujung Dunia dan Patih Lu-
ragung berlalu. Rupanya mereka memeriksa tem-
pat lain masih di sekitar ruangan rahasia yang
luas. "Aku harus meninggalkan kamarmu! Jika kita berdua ketahuan raja, kurasa
tidak ada maaf lagi. Kita akan dipancung. Betapa sangat menye-
dihkan sekali!" kata Abdi Banda yang baru saja keluar dari bawah kolong.
Selir Seriti membukakan pintu, setelah pin-
tu terbuka maka si gendut jelek ini langsung me-
nyelinap keluar.
"Aman...!" pikirnya.
Ia pun kemudian berpura-pura sebagai
orang yang baru memasuki ruangan rahasia itu.
Namun tiba-tiba saja terdengar suara bentakan
keras tidak jauh di sampingnya. Yang membentak
barusan tidak lain adalah raja Lalim Durja sendi-
ri.... "Darimana saja kau sahabatku, hartawan Abdi Banda?" tanya sang raja
disertai senyum mengejek.
"Ak... aku baru saja sampai ke tempat ini.
Ternyata tidak mudah menemukan ruang bawah
tanah ini!" kata hartawan gendut, suaranya terbata-bata seperti orang gugup.
"Begitu?" Raja zalim ini mendekatinya.
"Benar."
"Tapi kulihat badanmu berkeringat, bibir-
mu menyisakan senyum kenikmatan. Kau bicara
dusta pada sahabatmu, sekaligus raja yang ber-
kuasa yang seharusnya kau junjung tinggi. Apa-
kah kau tidak menodai ranjang tidur orang lain,
Abdi Banda?"
"He he he! Paduka bergurau, tentu saja
aku tidak berani kurang ajar dengan perbuatan-
perbuatan yang menghina raja, paduka jangan
bercanda?" ujar Abdi Banda mulai gelisah.
"Apakah kau lihat aku sedang bercanda,
hartawan. Persoalan di luar sana begitu rumit,
membingungkan antara hidup dan mati. Ternyata
kau berkhianat padaku!" dengus Lalim Durjana.
Ia kemudian berpaling pada Patih Luragung. "Patih seret perempuan jalang itu
kemari!" "Baik, paduka." Dan Patih Luragung den-
gan tergesa-gesa masuk ke dalam kamar. Tidak
lama la sudah keluar lagi sambil menyeret Selir
Seriti. Perempuan itu berlutut di kaki sang raja, lalu menangis tersedu-sedu.
"Ampunilah hamba yang hina ini, paduka.
Ampuni...!" tangisnya meratap menghiba-hiba.
"Kau ingat, bukan sekali saja kau menco-
reng mukaku ini dengan sesuatu yang teramat
kotor. Kau menjatuhkan wibawa dan martabatku
dengan bersenang-senang dengan laki-laki lain.
Tidak ada hukuman yang setimpal terkecuali di-
pancung kepalamu!"
"Baginda...!" seru Selir Seriti.
Sring! Percuma selir malang itu minta ampun. Ke-
tika senjata di tangan sang raja berkiblat, maka
menggelindinglah kepala selir tersebut. Darah
menyembur membasahi lantai lorong. Sang raja
menyeringai dingin. Lalu tiba-tiba ia berbalik pa-
da hartawan Abdi Banda.
"Kepadamu kuberi kesempatan pilih antara
memotong auratmu atau kau memilih mati di
tanganku?"
"Baginda!!" Sang hartawan tercengang.
"Cepat kau potong auratmu sendiri!"
"Bb... baiklah...!"
Dengan perasaan cemas luar biasa, maka
hartawan ini langsung memotong auratnya. Na-
mun sebelum hal itu benar-benar terlaksana
Dari arah lain menyambar sinar putih. Pi-
sau kecil yang baru diterima oleh hartawan itu
dari sang raja langsung tercampak. Sinar putih
berubah menjadi kemerahan-merahan, hingga
akhirnya berubah pula menjadi merah seperti ba-
ra api. Kemudian terdengar suara....
"Jangan coba-coba ganggu hartawan Abdi
Banda, ia berada dalam lindunganku. Siapapun
berada dalam lindunganku harus patuh padaku!"
Raja Lalim Durjana dan Patih Luragung
tersentak kaget. Mereka bahkan bersurut mundur
dua langkah. Memandang ke atas langit-langit lo-
rong maka terlihatlah sinar merah laksana bara.
Panas menghanguskan, sampai suasana dingin di
ruangan rahasia itu tiba-tiba berubah panas.
"Kau siapa?" tanya Lalim Durjana.
"Akulah Sang Maha Sesat raja di raja yang
menguasai alam kegelapan. Untuk itu jangan kau
sakiti orang yang berada dalam lindunganku!"
"Tapi dia telah...!"
"Ha ha ha! Sesungguhnya kalian sama sa-
ja, mengapa harus saling menyakiti dan saling
bunuh" Lupakanlah masalah yang tidak seberapa
besar itu. Kalian lebih baik bahu membahu mela-
wan Anak Langit, Pendekar Lugu, Malaikat Pen-
deritaan yang saat ini sedang mencari-cari ka-
lian." "Huh, itu persoalanku, orang luar tidak boleh turut campur!" dengus Lalim
Durjana. "Secerdik-cerdiknya kau, bagaimana pun
masih membutuhkan aku. Kalian tidak dapat
berdiri sendiri atau bekerja sendiri. Semuanya tetap membutuhkan uluran
tanganku!" kata suara gaib tersebut pelan namun menggetarkan.
"Boleh, aku akan mempertimbangkan
usulmu. Namun aku harus memotong dia punya
yang ngawur itu!" Selesai bicara raja Lalim Durjana langsung menyerbu ke depan.
Namun sebelum ia menyentuh hartawan Abdi Banda sinar merah
tadi sudah melabraknya. Tahu-tahu sang Raja
sudah jatuh terhempas. Dengan geram raja Lalim
Durjana bangkit kembali. Ia melabrak lagi ke de-
pan. Pisaunya meluncur deras ke selangkangan
sang hartawan. Namun untuk yang kedua ka-
linya.... Tes! "Wuak!"
Kali ini sang raja tercampak cukup jauh
juga. Punggungnya sampai menabrak tembok
pembatas lorong. Dengan susah payah sang raja
bangkit, Patih Luragung mendekatinya.
"Sebaiknya yang mulia pertimbangkan usul
Sang Maha Sesat. Kita harus tahu dulu rencana
apa yang dijalankannya." Saran Patih Luragung.
"Hmm, hartawan bangsat itu telah mem-
buat aku malu besar, masa' aku tidak membalas!"
gerutu sang raja.
"Masih banyak persoalan yang lebih besar
dari pada apa yang dilakukan oleh hartawan gila
itu. Bahkan keselamatan kerajaan saat ini tengah
terancam, kita tidak boleh berpangku tangan atau
lengah hanya karena masalah yang kecil!"
Agaknya usul Patih Luragung dapat diteri-
ma oleh sang raja. Terbukti tidak lama setelah itu beliau langsung terdiam.
Patih Luragung merasa
lega melihat perubahan ini.
"Bagaimana raja Lalim Durjana" Apakah
menerima usulku?" Suara Sang Maha Sesat
menghentak kembali.
"Sebelum menerima usulmu, maka aku in-
gin mengajukan pertanyaan padamu bahkan ka-
lau mungkin pada bekas sobatku hartawan Abdi
Banda!" ucapnya sang raja.
"Apa pertanyaanmu?"
Raja Lalim Durjana menarik nafas dalam-
dalam. "Panglima ku mengatakan ada Lima Utusan Akherat datang diwilayah
kekuasaanku ini.
Mereka konon mencari surat Kedamaian Dunia
yang saat ini entah berada di tangan siapa. Nah
apakah isi surat itu dan apakah Lima Utusan Ak-
herat merupakan ancaman besar bagi kekua-
saanku?" Hartawan Abdi Banda katubkan bibirnya
rapat-rapat. Ia merasa was-was kalau-kalau apa
yang menjadi rahasianya diceritakan pada raja la-
lim Durjana oleh Sang Maha Sesat.
"Mengenai kitab itu aku sendiri tidak tahu
apa isinya. Namun yang jelas Lima Utusan tentu
saja merupakan ancaman besar bagimu! Untuk
itu kusarankan sebaiknya perintahkan Patihmu
untuk pergi ke Bukit Kematian. Di sana ia dapat
menjumpai Pertapa Seribu Abad. Katakan pa-
danya aku Sang Maha Sesat yang menyuruh Pa-
tihmu menjumpainya. Minta pertolongannya. Ka-
rena hanya dia yang dapat membantuku dalam
menghadapi musuh-musuhmu kelak. Cepatlah
jangan kau ragukan lagi...!" perintah Sang Maha Sesat. "Bukit Kematian?" Raja
Lalim Durjana belalakkan matanya, terlihat pula kekhawatiran di
matanya. "Bukit Kematian sama dengan bukit Setan, tempat paling terkutuk dan
merupakan ne- raka dunia. Belum pernah ada orang yang berani
datang ke sana kalau memang tidak ingin cari
mampus! Apa katamu nanti menghadapi tuntutan
ku jika sampai terjadi apa-apa dengan Putihku?"
tanya Sang raja.
"Aku berani memerintah, tentu aku punya
tanda. Inilah tanda yang harus dibawa oleh Pa-
tihmu...!"
Cahaya merah laksana bara itu kemudian
bergetar, dari bagian tengahnya melesat sebuah
benda terbuat dari logam yang juga berwarna me-
rah. Benda tadi terjatuh di atas lantai. Patih Lu-
ragung mengambilnya, memperhatikan logam
berbentuk aneh dan berbau busuk itu sekejap
kemudian memasukkannya ke dalam saku.
"Jadi aku harus berangkat"!" tanya Patih Laragung ragu-ragu.
"Ya... kau memang harus berangkat seka-
rang. Sebaiknya kau lewat lorong rahasia. Di ba-
gian istana sekarang Malaikat Penderitaan dan
Pendekar Lugu sedang mencari-cari kalian!" Sang Maha Sesat mengingatkan.
"Itulah musuh yang kutunggu-tunggu!
Mengapa kami harus bertahan di sini" Pendekar
Lugu orang yang kucari-cari!" Raja Lalim Durjana tidak sabar.
"Tidak"! Kau atau patihmu bukanlah apa-
apa jika harus berhadapan dengan Anak Langit
atau Malaikat Penderitaan. Kalian harus tahu,
aku sendiri tanpa bantuan pertapa Seribu Abad
juga tidak akan berdaya menghadapi Anak Langit.
Hanya Iblis Seribu Akal itu saja yang dapat kua-
jak bekerja sama menghancurkan si teguh hati,
dan makhluk tanpa nafsu! Bersabarlah kalian di
sini. Persoalan tidak ringan, inilah saat bagi manusia untuk melakukan
perjalanan ke alam baka!
Nah, tunggu apa lagi, berangkatlah paman Patih
menuju Bukit Kematian!" kata Sang Maha Sesat.
"Berangkatlah, paman. Kuharap kau ber-
hati-hati, jangan sampai terjadi sesuatu yang ti-
dak diingini padamu!" pesan Lalim Durjana.
Laki-laki separoh baya ini menjura hormat.
Tidak lama kemudian ia sudah meninggalkan lo-
rong itu. Raja Lalim Durjana yang masih me-
nyimpan kekesalan pada hartawan Abdi Banda
segera berlalu begitu saja. Dalam hati diam-diam
akan mengadakan pembalasan yang setimpal atas
perbuatan sang hartawan terhadap selirnya. Har-
tawan itu sendiri tentu tidak merasa gentar walau pun ia telah membuat kesalahan
yang cukup besar. Karena bagaimanapun Sang Maha Sesat sela-
lu melindunginya.
*** "Lebih baik kalian menyerah kepada kami!
Kalian semuanya sudah terkepung!" perintah
Panglima Arung Garda lantang.
Rupanya ketika itu Lima Utusan Akherat
dan juga Puspita serta Raja Kodok sedang mele-
wati sebuah lembah dan dua bukit yang mengapit
jalan yang mereka lalui.
Kagetlah para pimpinan Lima Utusan meli-
hat kehadiran bala tentara kerajaan yang jumlah-
nya satu setengah kali lipat jumlah mereka. Tidak lama terdengar suara terompet
perang di antara
kedua bukit tersebut.
Kemudian bermunculanlah ratusan praju-
rit bersenjata lengkap dan siap tempur pula. Pus-
pita yang berada paling depan saling pandang
dengan Raja Kodok.
"Bagaimana pendapatmu, Raja Kodok! Apa
kita ikut bergabung dengan para utusan ini un-
tuk menghadapi prajurit dan Panglima itu?"
"Krokok! Kung! Kata sepakat sudah kita
dengar sejak awal perjumpaan dengan mereka.
Mereka pun kelihatannya orang-orang baik untuk
apa kita menjadi pengecut dengan melarikan diri
dari pertempuran! Sikat saja!" jawab Raja Kodok, sedikit pun wajahnya yang
hampir menyerupai
kodok tidak membayangkan kegelisahan.
"Jumlah mereka sangat banyak, kita harus
meletakkan pelontar peledak ini agak jauh agar


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan sampai dapat dirampas oleh mereka! Jika
kita terdesak, maka kita dapat mempergunakan
senjata maut ini untuk menolong diri sendiri!"
Dunga tiba-tiba menyela.
"Tapi jumlah peledak itu sangat terbatas!"
Dendra salah satu pimpinan Kapuas Hulu ikut
bicara. "Saudara Dunga sebaiknya bersiap siaga!
Biarkan kami dari Empat Utusan berikut anggota
yang turun tangan, tentu di bantu nona Puspita
dan saudara Kung (maksudnya Raja Kodok)
"Baik!" kata laki-laki berambut merah ini.
Lalu dengan cepat mereka menyingkir ke tempat
yang tidak terjangkau lawan. Sementara itu dari
atas bukit sudah terdengar teriakan Panglima
Arung Garda kembali.
"Tidak ada tempat bagi kalian mencari se-
lamat. Jalan satu-satunya adalah menyerah pada
kami secara baik-baik!"
Puspita mendengus. "Bicaramu keren amat
Panglima! Jika kau punya kemampuan mengapa
sekarang tidak turun kemari?" ejek si gadis jelita.
"Hei... kau, bukankah kau yang telah
memporak-porandakan tempat usaha hartawan
Abdi Banda" Kau juga termasuk orang yang ter-
daftar dalam buronan kerajaan. Nah menyerah-
lah!" "Betul! Aku dan Pendekar Blo'on yang telah menghancurkannya. Nah kau
sekarang mau apa?" dengus Puspita Sari.
"Serang dan bunuh mereka...!" teriak Panglima Arung Garda.
Lima belas perwira tinggi langsung me-
mimpin prajurit-prajurit kerajaan yang berjumlah
tidak kurang dari tiga ratus orang ini. Suara ge-
gap gempita pun mewarnai tempat itu. Inilah per-
tempuran dalam jumlah besar yang sungguh
mengerikan akibatnya. Dari kedua belah pihak ti-
dak lama kemudian mulai jatuh korban. Pekik
kesakitan, jerit kematian serta beradunya senjata tajam datang silih berganti
seakan tidak ada putus-putusnya.
Engku Bonang, Datuk Pala Seribu serta
Malaikat Berung dan Dendra berhadapan dengan
lima belas orang perwira yang rata-rata memiliki
kepandaian hebat dalam mempergunakan pe-
dang. Tokoh dari Ujung Kulon, Utusan dari Teluk
Nibung, Indera giri dan Kapuas tampak pula me-
nyerang panglima Arung Garda.
Sedangkan Raja Kodok dan Puspita ketika
itu membaur dengan anggota Lima Utusan Akhi-
rat SEPULUH Raja Kodok dengan jurus-jurus kodoknya
yang terkenal aneh mulai mendesak prajurit-
prajurit itu. Hujan senjata yang menderanya,
memaksa laki-laki gemuk pendek ini menggelind-
ing kian kemari. Sedangkan Puspita melihat se-
rangan prajurit yang bertubi-tubi tidak mau ambil resiko. Ia langsung cabut
pedang tipis dari ping-gangnya. Dengan mempergunakan senjata itu
mengamuklah dia bagaikan singa betina yang ter-
luka. Sementara itu Manggar Kesuma, Bias Pati
dan Ubudana yang sedang menghadapi Panglima
Arung Garda tampak berusaha mendesak lawan-
nya. Manggar Kesuma bahkan sudah mencabut
pedangnya yang berbentuk sangat aneh itu. Bias
Pati dan Ubudana sudah mengambil ular cobra
yang dikenal sebagai satu-satunya senjata ampuh
yang mereka miliki.
Panglima Arung Garda sebagai manusia
yang kebal senjata, sekarang tampak terkesiap
melihat serangan Ubudana dan Bias Pati. Seba-
liknya ia malah tidak menghiraukan serangan
Manggar Kesuma meskipun serangan itu ganas
dan cukup dahsyat sekali. Namun Arung Garda
yakin sekali dengan kekebalan tubuhnya. Seba-
liknya yang perlu diwaspadai adalah serangan
dua ekor raja cobra yang terus mematuk-matuk
ke arah dirinya.
Tokoh paling sakti di kerajaan Ujung Dunia
ini sambil melompat mundur langsung cabut pe-
dangnya. Di saat pedangnya menderu, dari bela-
kang senjata Manggar Kesuma membacoknya. Se-
rangan itu sengaja tidak dihindari lagi oleh Arung Garda, sebaliknya ia terus
memutar senjatanya
untuk lindungi diri dari pagutan ular yang bagian ekornya dipegang oleh kedua
lawannya. Crakk! "Heh...!"
Manggar Kesuma terhuyung mundur. Rasa
kagetnya bukan kepalang, ia sama sekali tidak
menyangka lawannya kebal senjata. Merasa pe-
nasaran ia menusukkan senjatanya lagi.
Cep! " Gila...!" desisnya.
Belum hilang rasa kaget di hati Manggar
Kesuma ini, tiba-tiba Arung Garda yang sedang
sibuk menghadapi serangan dua ekor ular itu
berbalik dengan kecepatan laksana kilat kakinya
melayang. Manggar Kesuma tidak lagi sempat
menghindar. Telak sekali tendangan Panglima
Arung Garda menghantam perutnya.
Laki-laki berjenggot panjang utusan penca-
ri Surat Kedamaian Dunia ini terpelanting. Darah
menyembur dari mulutnya. Di saat itu salah satu
ular lawan hampir saja mematuk lengannya. He-
batnya ia masih sempat melompat kemudian ki-
baskan senjata di tangannya. Ubudana tarik
ularnya kembali, serangan balik lawan juga luput.
Dari samping meluncur ular milik Bias Pati.
Arung Garda dengan mengandalkan jurus 'Iblis
Merubah Bayangan' langsung melompat ke udara.
Dengan posisi tubuh melayang di udara ia ki-
baskan pedang tipisnya.
Tes! Maka putuslah ular di tangan Bias Pati
terhantam pedang milik lawannya. Tidak sampai
di situ saja rupanya tindakan panglima sakti ini.
Setelah menjejakkan kakinya di atas tanah ia me-
lakukan gerakan berputar setengah lingkaran.
Tanpa diduga-duga pedangnya menghantam ke-
pala Bias Pati. Laki-laki berkulit hitam legam ini menghindar dengan cara
meliukkan tubuhnya.
Tapi serangan lawan datangnya lebih cepat.
Cesss! "Akh...!"
Menjeritlah Bias Pati ketika pedang lawan
membelah tubuhnya. Ubudana terkesima, tapi te-
tap melakukan serangan lebih gencar lagi. Dia
memaki-maki dengan kata-kata yang membuat
marah lawannya. Manggar Kesuma yang melihat
kejadian itu langsung bangkit berdiri. Walau pun
ia menderita luka dalam yang tidak ringan.
Sementara itu tokoh dari Ujung Kulon juga
dari Hilir tampaknya dalam posisi yang mengun-
tungkan. Satu demi satu perwira-perwira kera-
jaan yang mengeroyoknya berguguran di ujung
senjata mereka. Walau pun memang tidak dapat
dipungkiri Engku Bonang dan Kalingga Jati sem-
pat terluka di sekujur tubuhnya akibat terkena
tendangan maupun sabetan senjata lawannya.
Puspita dan Raja Kodok yang memang bu-
kan lawan prajurit-prajurit itu terus mengganas, puluhan nyawa telah melayang di
tangan mereka, Raja Kodok bahkan tidak mau bersusah payah, ia
dengan enaknya melepaskan kodok-kodok bera-
cunnya ke arah prajurit-prajurit yang menye-
rangnya. Bila kodok melompat ke arah wajah praju-
rit, maka terdengarlah suara jeritan mereka.
Orang-orang kelabakan, kiranya kodok-kodok be-
racun itu mengencingi mata mereka, hingga seke-
tika mata pun menjadi buta. Tentu saja prajurit
yang buta semakin ngawur dalam bertempur, ti-
dak jarang mereka membabat teman sendiri atau
bahkan menjadi sasaran senjata kawannya.
Melihat hal ini Raja Kodok berjingkrak
sambil bergoyang-goyang seperti orang menari.
"Bagus kawan-kawanku, kencingi saja me-
reka! Kalau sudah buta mereka saling berbunu-
han seperti orang gila!" kata Raja Kodok sambil menghindari serangan-serangan
yang menghujani
dirinya. Hanya dalam tempo satu jam, suasana di
lembah memang berubah menjadi pemandangan
yang sangat mengerikan. Darah mengalir menga-
nak sungai, mayat-mayat bergelimpangan di ke-
dua belah pihak. Namun yang terbanyak adalah
di pihak Lima Utusan Akherat. Karena para ang-
gota utusan ini tingkat kepandaiannya hanya bi-
asa-biasa saja, walau pun yang menjadi pimpinan
mereka punya kepandaian tinggi juga.
Dunga yang sudah siap memasang alat pe-
lontar peledak memang tidak mampu menutupi
rasa cemasnya. Sebab seluruh anggota utusan
hanya tinggal bersisa beberapa gelintir saja. Ia ingin melepaskan peledak, namun
khawatir terkena
kawan sendiri. Sementara prajurit kerajaan ketika itu
hanya tertinggal sekitar seratus orang lagi.
Panglima Arung Garda ketika itu sudah
melumpuhkan Ubudana setelah membabat putus
menjadi tiga bagian ular Cobra yang menjadi an-
dalannya. Kini ia berbalik menyerang Manggar
Kesuma. Laki-laki berjenggot panjang yang sudah
terluka ini hanya dapat menghindar dan menang-
kis menghadapi serangan Arung Garda yang tam-
pak semakin menggila ini.
"Ha ha ha...! Sebentar lagi segera kau rasa-
kan betapa enaknya mati di tanganku, orang as-
ing!" teriak laki-laki sadis ini.
"Aih...!"
Manggar Kesuma melompat ke samping,
tusukkan pedangnya ke perut lawan. Tusukan
pedang tidak dielakkan oleh Arung Garda. Namun
sama seperti tadi senjata tidak dapat menembus
tubuh lawannya. Manggar Kesuma frustrasi, ia
melompat lagi ke samping, namun sebelum ka-
kinya menjejak ke tanah, ujung senjata lawan su-
dah menembus dadanya.
"Akk...!"
Tokoh Teluk Nibung terjengkang sambil
mendekap dadanya. Ketika pedang disentakkan
oleh lawan, maka di saat itulah nyawanya me-
layang. Panglima Arung Garda tertawa menye-
ramkan. Sejenak ia putar pandangan, lalu tubuh-
nya melesat seperti terbang ke arah Puspita dan
Raja Kodok. "Kini giliran kalian berdua yang harus me-
nebus dosa besar karena telah berani membuat
onar dan kerusuhan!" geram Panglima sadis ini,
"Krok! Kerusuhan kepalamu benjol, Pan-
glima! Dari dulu kerajaan Ujung Dunia terkenal
kebobrokan moral dan tindakan rajanya yang
sangat kejam. Lebih gilanya lagi, manusia diburu
seperti binatang untuk kepuasan hati sang raja.
Mestinya aku marah, orang-orang marah. Kok
malah terbalik kau yang marah-marah!" dengus Raja Kodok.
"Kau panglima bangsat yang katanya kebal
senjata itu!" kata Puspita. menimpali.
"Hmm...!" Panglima Arung Garda menggu-
man tidak jelas.
"Kekejamanmu telah melampaui batas,
Panglima! Heaa...!" Puspita berteriak keras. Ia menerjang, pedangnya meluncur
deras menusuk perut. Namun dengan gesit Panglima sudah me-
nangkisnya, sehingga terjadi benturan yang san-
gat keras sekali.
Traang! Puspita terdorong mundur, telapak tan-
gannya langsung lecet. Ini jelas merupakan per-
tanda bahwa tenaga dalam Panglima itu jauh be-
rada di atas tenaga dalam yang dimiliki oleh sang
dara. Pada waktu mereka terlibat pertarungan
sengit, ketika Dendra, Engku Bonang, Datuk Pala
dan Malai Berung baru selesai mengakhiri per-
tempuran dengan perwira-perwira kerajaan. Di
waktu itu pula terdengar suara ledakan-ledakan
keras menghujani sisa-sisa prajurit kerajaan yang baru saja memenangkan
pertempuran melawan
anggota utusan.
Di tengah-tengah ledakan itulah pertempu-
ran sengit antara Puspita, yang dibantu Raja Ko-
dok melawan Panglima kerajaan Ujung Dunia ber-
langsung. Tidak perduli lembah terguncang akibat
pengaruh ledakan tersebut. Mereka tampaknya
memang sudah siap menyabung nyawa!
Sementara itu di atas bukit pemuda berba-
ju biru yang baru saja sampai ini terus mengawa-
si ke arah lembah. Ada rasa cemas membayang di
wajahnya yang ketolol-tololan, walau pun tampak
juga kelegaan disana.
Dentuman-dentuman keras terus berlang-


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sung sampai-sampai Suro yang berada di atas
bukit dan masih duduk di punggung kudanya
terguncang dan nyaris terbanting. Pemuda itu se-
benarnya bingung, ia tidak tahu siapa orang-
orang yang mempergunakan bahan peledak itu,
mengapa Puspita malah bergabung dengan orang-
orang ini. Maka kemudian ia tepuk keningnya
"Bukankah waktu itu Malaikat Penderitaan
ada menyebut-nyebut Lima Utusan Akherat! Me-
nurut kakek itu mereka bukan orang jahat, pan-
tas saja jika Puspita bergabung dengan mereka."
Suro mengurut dada. "Syukurlah Puspita selamat, mungkin orang pendek jelek macam
kodok membawa sumpit itu yang menolongnya" Ekh...
kelihatannya walau pun mereka telah mengeroyok
Panglima Arung Garda, tapi mereta seperti terde-
sak. Sebaiknya aku kesana untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak di ingini!" pikir Pendekar Blo'on. Murid Penghulu Siluman
Kera Putih dan Malaikat Berambut Api ini kemudian berlari-lari
menuruni bukit. Waktu itu suara ledakan sudah
tidak terdengar lagi.
Setelah Suro benar-benar dekat, maka dili-
hatnya Puspita memang sudah semakin terdesak.
Bahkan Raja Kodok yang dikenal punya jurus-
jurus simpanan yang sangat aneh ini pun seakan
kehabisan akal untuk menghadapi Panglima
Arung Garda. "Kali ini tidak ada jalan meloloskan diri ba-gi kalian!" dengus Arung Garda.
Laki-laki itu mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi, ketika
senjata itu digerakkan dengan pengerahan tenaga
dalam yang sangat tinggi, maka terlihatlah sinar
pelangi bertebaran bagaikan kunang-kunang di
udara. Sing! Puspita yang berada paling dekat dengan
lawannya langsung tutupi matanya. Justru ke-
sempatan ini dipergunakan oleh Arung Garda.
"Hiya...!"
Pedang Panglima itu meluncur. Suro me-
lompat mendorong tubuh Puspita. Tidak urung
tubuhnya terkena ujung pedang lawannya. Gadis
itu menjerit. Dekat lambungnya robek besar, Pan-
glima itu kembali berbalik. Namun begitu senjata
berkiblat dengan maksud mengakhiri perlawanan
Puspita, sinar hitam berkiblat di tangan Suro
Blondo. Lalu terdengar suara ringkikan panjang,
suara tawa, suara tangis sambung menyambung.
Traang! Panglima Arung Garda tersentak, pedang-
nya buntung menjadi tiga bagian. Suro Si Bocah
Ajaib langsung mengayunkan Mandau di tangan-
nya. Secepat-cepatnya Panglima menghindar,
namun gerakan senjata Si Bocah Ajaib ini lebih
cepat lagi. Mandau Jantan tersebut menebas pu-
tus kepala Arung Garda. Jeritan terdengar, kepala tidak sampai menggelinding,
cepat sekali Suro
sudah menangkapnya. Kemudian dilemparkannya
pada Raja Kodok sambil berseru...
"Larikan kepalanya ke kota Raja, sobat je-
lek muka kodok!"
Seperti orang bego, Raja Kodok menurut
pula. Pemuda berbadan pendek dan selalu basah
itu terus berlari sambil mengempit kepala Arung
Garda. Hebatnya, tubuh tanpa kepala dan berlu-
muran darah ini tetap bertahan. Ia malah berba-
lik dan mengejar Raja Kodok yang telah membawa
lari kepalanya.
"Krak... kok... kok, kakkok... (Kembalilah
kepalaku... kembalikan kepalaku...)!" Begitulah kira-kira Arung Garda yang
sedang mengejar Raja
Kodok ini jika saja ia bisa bicara. Pemandangan
ini sekilas memang tampak lucu sekaligus menge-
rikan. Betapa tidak, Arung Garda yang sudah ter-
babat putus kepalanya dan kini sedang dilarikan
Raja Kodok melakukan pengejaran tanpa henti.
"Ilmu gila! Wong sudah nggak ada kepa-
lanya kok bisa lari, benar-benar Edan...!" gerutu Suro Blondo.
Pemuda itu garuk-garuk kepala ketika utu-
san Indera Giri, utusan dari Kapuas dan Teluk
Nibung datang menghampiri.
"Kalian siapa?" tanya Suro.
"Kami Lima Utusan Akherat!" sahut Dendra mewakili kawan-kawannya.
"Ternyata saudara sangat hebat sekali!
Kami sudah hampir kehilangan akal menghadapi
panglima itu"!" kata Engku Bonang.
"Walah ada orang begini rupa, tidak perlu
puji-pujian dan tepuk tangan segala, bukankah
begitu?" sahut Suro sambil garuk-garuk kepala.
"Kami ingin mencari...!"
Suro cepat menggelengkan kepala. "Jangan
bicarakan masalah itu dulu. Lebih baik kalian to-
long kawan-kawan anda yang perlu ditolong. Nan-
ti kita bisa saling kenalan, dan membicarakan
kepentingan tuan atau pun kepentingan kami.
Sobatku ini terluka, aku perlu merawatnya!" ujar Pendekar Blo'on. Sisa-sisa Lima
Utusan ini segera
menghampiri kawan-kawannya yang tewas mau-
pun yang terluka. Sedangkan Suro sudah berada
di samping Puspita.
"Aih... bagaimana keadaanmu Rana Un-
ggul, eeh... Puspita. Lukamu kelihatannya cukup
parah juga. Aku harus mengobatinya...!"
"Aduh... rasanya sangat perih sekali, Suro.
Mungkin ini sudah nasibku. Akh... uuu...!"
"Jangan... jangan kau mati, nanti aku tidak
punya gadis secantikmu!" sergah Suro, serius.
Puspita meringis kesakitan. Darah semakin
banyak yang menetes. Suro memeriksa luka-luka
itu. Ternyata cukup parah juga.
Ditotoknya urat darah dekat ketiak Puspi-
ta. Kemudian murid Penghulu Siluman Kera Pu-
tih dan Malaikat Rambut Api mengeluarkan obat
pulung. Setelah dihancurkan, maka serbuknya
ditaburkan di atas luka memanjang itu. Puspita
menjerit-jerit kesakitan.
"Kk... kau apakah kau mau membunuh-
ku?" "Hust, gadis secantikmu masa tega aku membunuhmu, orang-orang yang punya
isteri jelek saja jangan dikubur dulu kalau belum mati!"
kata Suro sambil nyengir.
"Suro... aku harus bangun, pakaianku ber-
lumuran darah! Aku sudah tidak betah mema-
kainya...!" kata si gadis, matanya mengerling penuh arti.
"Boleh tapi jangan disini, nanti dilihat oleh orang-orang itu. Bukannya malu.
Sayang badan- mu yang bagus itu kalau dilihat mereka...!" kata Suro sambil nyengir.
"Dasar edaaan...!"
"Ha ha ha...! Suro memang penuh keeda-
nan, tapi aku takut adikku malah lebih edan lagi.
Adik buta, tidak punya mata!"
Mendengar kelakar si konyol yang rada-
rada miring itu, Puspita terpaksa menahan se-
nyum. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Istana Pulau Es 4 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 10
^