Pencarian

Lima Utusan Akherat 1

Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya ke-
betulan belaka.
LIMA UTUSAN AKHIRAT Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : BUCE Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Lima Utusan Akhirat
http://duniaabukeisel.blogspot.com
SATU Banjir besar yang melanda hanya dalam
waktu beberapa jam saja sudah mulai surut. Ba-
nyak pula akibat yang di timbulkannya, puluhan
bahkan ratusan ekor ternak penduduk mati dan
hanyut. Korban manusia pun tidak sedikit.
Memang kalau di pikir sungguh hebat ben-
cana alam. Sudah hampir setahun musim kema-
rau. Banyak tumbuhan dan manusia yang mati,
sekali turun hujan maka manusia jadi korban.
Siapa yang salah, Malaikat atau karena alam
memang sudah bosan bersahabat dengan manu-
sia. Banjir berlalu, air kali Meruya tidak lagi
meluap. Di kanan kiri tanggul sungai tampak ri-
buan ekor kodok berderet-deret di sertai dengan
terdengarnya suara riuh kodok berbagai jenis.
Tampaknya binatang-binatang dua alam ini se-
dang berpesta pora dengan datangnya banjir dan
hujan. Suara-suara ribuan kodok seketika lenyap
ketika semak-semak di sepanjang sungai tersebut
tersibak. Yang muncul ternyata seorang laki-laki
berumur sekitar 55 tahun. Tubuhnya besar bu-
kan main, perutnya membusung seperti perut ga-
jah. Ia memakai baju mewah namun tidak ter-
kancing. Di bahu laki-laki berwajah bundar ini
tergeletak sosok tubuh berpakaian ala Ninja.
Tampaknya orang yang berada dalam pondon-
gannya tidak dapat bicara dan bergerak-gerak
akibat pengaruh totokan.
"He...he he...! Habis dah semua harta ben-
daku tersapu banjir terkutuk. Biar semua habis,
aku tokh masih punya satu gudang harta lagi
yang tidak ludes dimakan tujuh turunan. Dan
gadis ini, he he he...! Murid kakangku yang paling cantik. Sayang sudah di lamar
dengan segerobak
emas malah kabur dan milih bermesra-mesraan
dengan bocah goblok itu. Dasar jodoh, sekarang
kudapatkan kembali! Aku jadi tidak sabar nih...!"
kata si gendut sambil leletkan lidah.
Dengan tidak sabar ia mencari-cari tempat
untuk melampiaskan niat terkutuknya. Akhirnya
ia melihat juga apa yang di inginkannya. Tidak
jauh dari pinggir sungai itu terdapat sebuah gu-
buk-gubukkan yang kelihatannya seperti tempat
mainan anak-anak. Gubuk tersebut roboh dan
atapnya bertumpuk. Ke sanalah, si gendut yang
tidak lain adalah si kikir hartawan Abdi Banda
langkahkan kakinya.
Gadis berpakaian hitam ini di rebahkannya
di atas tumpukan atap-atap yang berserakan. Da-
lam kesempatan itulah terdengar suara gaib ber-
bisik di telinganya.
"Hartawan, kau tunggu apa lagi" Inilah ke-
sempatanmu untuk mencicipi kehangatan gadis
yang kau damba. Kalau kau mau berumur pan-
jang dan harta bendamu tetap terjaga, maka kau
harus menuruti setiap langkah Sang Maha Sesat!"
"Memang, aku tidak bisa memungkiri ba-
gaimana perasaanku, tapi aku masih harus me-
mastikan apakah tempat ini cukup aman?" sahut Abdi Banda. Karena hartawan itu
sendiri yang dapat mendengar suara Sang Maha Sesat maka
sepintas lalu hartawan itu seperti sedang bicara
dengan diri sendiri. Kalau orang tidak tahu pasti menganggap hartawan ini sudah
sinting. "Tempat ini cukup aman! Kau dengar....
cukup aman..! Tidak ada yang melihatmu terke-
cuali kodok-kodok bodoh! Nah kau tunggu apa la-
gi?" Sang Maha Sesat kembali mengisiki.
"He, he he he...! Betul! Anda memang betul.
Tapi tolong awasi daerah ini, aku ingin melaksa-
nakan tugasku." kata hartawan Abdi Banda.
Tidak terdengar jawaban apa-apa. Harta-
wan Abdi Banda dengan di warnai nafsu mengge-
bu-gebu mencopot penutup wajah Rana Unggul
alias Puspita Sari. Penutup kepala terbuka, maka
terlihatlah seraut wajah cantik yang sungguh
sangat menggoda.
"Ha ha ha... Kau tetap cantik, semakin ber-
tambah cantik malah!" puji sang hartawan sambil mengelus-elus pipi si gadis yang
halus mulus! Jika Puspita dapat bicara, tentu hartawan
itu sudah dimakinya. Atau jika saja ia dapat
menggerakkan tubuhnya, mungkin sang harta-
wan sudah dibuat babak belur. Sayang sekali ia
dalam keadaan tertotok, Datuk Alam Salindra
yang menotoknya. Agar lebih jelas (Dalam Episode
Sang Maha Sesat).
"Wajahnya saja sudah membuat darahku
memanas, coba kubuka bagian yang lain!" pikir Abdi Banda.
Maka secara kurang ajar tangan hartawan
itu melepaskan kancing-kancing baju Puspita. Ti-
ga kancing terbuka, kedua bukit yang mulus ter-
sebut terlihat demikian menantang. Jemari tan-
gan hartawan kikir ini menyelinap di balik pa-
kaian Puspita, lalu meremas dada si gadis.
Wajah Puspita tampak merah padam. Ke-
marahannya berkobar-kobar, ia telah bertekad
akan membunuh hartawan gila itu jika dirinya se-
lamat. Jemari tangan itu terus bergerak liar men-
gusap dan meremas, bahkan hartawan sinting ini
kemudian menciumi kedua bukit itu silih bergan-
ti. Bret! Bret! Rupanya sang hartawan semakin keseta-
nan, ia tidak sabar dan mencabik pakaian hitam
Puspita. Gadis pemberani ini mencoba berontak,
sayang usahanya ini hanya sia-sia saja. Sementa-
ra keadaannya sendiri sudah setengah telanjang.
Hartawan Abdi Banda mulai menggeluti tubuh
mulus Puspita. Namun sebelum aib besar me-
nimpa diri Puspita, tiba-tiba dari balik atap terlihat gerakan-gerakan yang
aneh. Hartawan me-
nyangka bahwa yang bergerak-gerak adalah Pus-
pita. Sehingga ia tertawa...
"A ha ha ha...! Ternyata kau lebih berpen-
galaman dari istri-istriku. Belajar dimanakah?"
desisnya penuh semangat.
Braak! "Auuh....!"
Hartawan Abdi Banda memekik kaget. Atap
jebol, si gendut terjengkang, sedangkan Puspita
terguling-guling dalam keadaan menelungkup.
Dari balik atap gubuk yang sudah rata dengan
tanah terdengar suara berkorokokan seperti suara
kodok. "Huaaa....!"
Atap pun berserakan kemana-mana, ke-
mudian terlihat sosok tubuh berkulit kecoklatan.
Wajahnya hampir mirip dengan muka kodok, se-
kujur tubuhnya basah, perutnya gendut. Kaki
pendek, tangan pun pendek. Ia hanya memakai
cawat saja. Memandang pada Puspita ia langsung tu-
tupi wajahnya, ketika tatapan matanya beralih
pada hartawan Abdi Banda. Maka kumisnya yang
cuma beberapa lembar itu bergerak-gerak. Ma-
tanya membulat lebar.
"Aku gendut, dia juga gendut! Tapi yang sa-
tu ini benar-benar gendut sialan. Kau mau meng-
ganggu orang yang sedang tidur, kau mengganggu
kebiasaan raja. Bangsat betul, gila, sinting edan!
Apa yang hendak kau lakukan padanya?" tanya si gendut pendek macam kodok ini
tanpa ekspresi.
Hartawan Abdi Banda sama sekali tidak
mengenali siapa gendut pendek yang tidur bawah
atap gubuk roboh tersebut. Sehingga dengan see-
naknya dia membentak...
"Hei, kau gendut pendek muka kodok. Be-
rani betul kau mengganggu kesenangan orang
lain?" "Ee... perempuan itu apamu" Sudah kau telanjangi begitu apa mau kau paksa
supaya mandi?" "Dia calon istriku, apapun yang kulakukan
padanya tidak seorang pun yang boleh mengha-
langi!" dengus Abdi Banda.
"Hmm, baru calon isteri. Kulihat mukanya
dia sangat membencimu! Kalau kubebaskan toto-
kannya bukan mustahil jika ia membunuhmu!"
kata si gendut pendek muka kodok. Ia terdiam se-
jenak, mulutnya mendecap-decap. "Aku tau sekarang... kau pasti mau
mengencinginya. Mengapa
kau mau kencing pada perempuan yang bukan is-
trimu" Mengapa tidak kencing pada sapi saja
atau kerbau saja, atau gajah yang paling besar"
Aku Raja Kodok benci pada laki-laki seperti itu.
Aku benci... benci dunia dan sampai ke akhe-
rat...!" teriak Raja Kodok.
Entah karena sebab apa wajah si Raja Ko-
dok berubah kelam membesi. Tatapan matanya
pun berubah liar tidak terkendali. Di pinggiran
kali, di tempat-tempat tersembunyi di balik semak belukar terdengar suara ribuan
kodok yang saling
bersahut-sahutan. Mereka kelihatannya marah
sebagaimana Sang Raja Kodok.
"Hei... siapa kau, mengapa kau marah" Bi-
arkan aku pergi meninggalkan tempat busuk
ini...!" kata hartawan Abdi Banda begitu melihat gelagat yang tidak baik ini.
Raja Kodok tertawa mengekeh, namun sua-
ra tawanya seperti orang menangis bagaikan
orang yang menderita tekanan batin yang Maha
berat. "Sudah kukatakan aku Raja Kodok. Manusia gendut perut jelek, selain
sorga. Kurasa di dunia ini tidak ada tempat yang tidak busuk. Dunia
memang sampah segala kebusukan. Dunia ini ti-
dak ada apa-apanya di bandingkan surga. Hatimu
juga sangat busuknya, isi otakmu hanya kebusu-
kan, isi hatimu busuk. Kau manusia palsu, aku
palsu, kesenangan dunia palsu, penderitaan ma-
nusia palsu, hidupmu, hidupku, hidup semua
mahluk di muka bumi ini palsu. Dunia penuh
dengan kebusukan dan kepalsuan. Hik hik hik!
Yang aku tahu dan tidak palsu hanyalah Tuhan.
Oh... oh... Aku bosan melihat kepalsuan,
aku ingin jumpa denganNya aku ingin melihat
Sorga, surga abadi yang tidak palsu....!"
Raja Kodok tiba-tiba menangis tersedu-
sedu. "Raja Setan! Kalau kamu mau melihat sorga aku bersedia mengantarmu kesana.
Tapi biar- kan aku membawa gadis calon isteriku ke lain
tempat!" kata Abdi Banda.
"Oh, kau mau menikmati kesenangan pal-
su. Silakan... bawalah cepat!" bentak Raja Kodok.
Puspita yang semula berharap Raja Kodok
bisa menyelamatkannya dari aib yang memalu-
kan. Kini harapan itu musnah, ternyata Raja Ko-
dok tidak dapat dijadikan tempat bergantung di
saat dirinya terancam bahaya.
"Terima kasih atas pengertianmu!" sahut hartawan Abdi Banda. Ia segera
menghampiri tubuh setengah telanjang Puspita. Namun sebelum
ia berhasil menyentuh gadis itu. Selarik sinar
dingin melesat ke arahnya. Sinar itu langsung
menghantam tubuhnya. Hartawan Abdi Banda
menjerit kesakitan, tubuhnya sempat terhuyung,
namun tidak sampai terjatuh.
Hartawan itu mengusap dadanya yang ter-
kena sinar dari jari tangan lawannya.
"Itulah pengertian ku! Jika kau tetap mem-
buru yang palsu, maka sebentar lagi aku akan
membutakan matamu! Pernahkah kau bayangkan
betapa tidak enaknya hidup dalam kegelapan"!"
Hartawan Abdi Banda sama sekali tidak
menyahut. Ia menggeram marah, Hartawan yang
selalu takut dengan datangnya kematian ini me-
nerjang Raja Kodok.
"Kok! Krokok! Kok... kok kung....!"
Seenaknya Raja Kodok sudah menggelun-
dungkan tubuhnya. Serangan hartawan itu hanya
mengenai tempat kosong. Raja Kodok berguling-
guling kembali. Kakinya yang pendek menendang.
Des! Sang hartawan terguling-guling. Perutnya
yang besar luar biasa bergoyang-goyang. Raja Ko-


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dok seperti sedang berhadapan dengan musuh
besarnya saja langsung menghantam kembali.
Sekali ini bagian wajah sang hartawan yang jadi
sasaran. Pada dasarnya hartawan ini memang
kurang pandai dalam hal ilmu silat. Sehingga wa-
lau ia sudah berusaha menghindar sedapat-
dapatnya, tetap saja kaki lawan mengenai mu-
kanya Des! "Akh...!"
Abdi Banda jatuh terduduk. Dalam kesem-
patan itulah terdengar kisikan di telinga kirinya.
"Dia manusia pendendam, jika mau pan-
jang umur, sebaiknya kau tinggalkan tempat ini
secepatnya! Aku akan melindungimu...!" kata
Sang Maha Sesat.
Baru saja bisikan gaib tersebut lenyap. Ra-
ja Kodok sekarang sudah menyerangnya lagi den-
gan satu pukulan jarak jauh yang sangat berba-
haya sekali. Secara aneh sinar biru dingin yang melun-
cur deras membelah udara itu membalik. Dan
hampir saja menghantam tubuhnya sendiri.
Braak...! Sinar biru menghantam pohon di belaka
Raja Kodok. Pohon tersebut roboh dengan bagian
batang berserabut. Ketika Raja Kodok meman-
dang ke arah musuhnya, maka hartawan Abdi
Banda sudah menghilang dari hadapannya.
Raja Kodok membanting-banting kakinya
berulangkali ia mengeluarkan suara kang-kung
kang-kung yang sangat aneh. Lalu di sekeliling
Raja Kodok bermunculan berbagai jenis kodok
yang sangat besar jumlahnya.
"Sahabat-sahabatku! Kita mendapat saha-
bat baru. Diamlah kalian, jangan berisik lagi.
Orang gendut jelek itu sudah minggat, sekarang
sudah waktunya bagiku untuk membebaskan to-
tokannya!"
Laki-laki yang tampangnya mirip kodok ini
langsung menghampiri Puspita. Diurutnya pung-
gung si gadis. Puspita dapat merasakan betapa
dinginnya tangan laki-laki bertelanjang dada ini.
Tidak lama. Puspita sudah dapat bergerak
dan bersuara. Pertama yang dilakukannya begitu
terbebas dari totokan adalah merapikan pakaian-
nya yang berantakan. Setelah itu ia menghadap
langsung pada Raja Kodok.
"Kau, aku bukan tidak tahu budi karena
telah selamatkan aku. Namun sangat kusesalkan
mengapa kau biarkan manusia setan itu melo-
loskan diri?" dengus si gadis marah.
"Aku tidak sempat mencegahnya. Betulkah
dia calon suamimu?"
"Apa" Suami" Manusia bangsat itu hanya
mengada-ada. Benci ku sedalam perut bumi. Dia
manusia keparat yang pantas di kirim ke neraka!"
Raja Kodok menggelengkan kepala seperti
orang frustrasi. "Maafkan aku. Sama sekali aku tidak bermaksud melepaskannya,
hanya aku terpaksa menghindar jika tidak ingin terkena puku-
lanku sendiri. Siapakah dia?"
"Jika kau mau tahu, itulah hartawan Abdi
Banda! Mata yang agak sipit itu terbelalak lebar.
"Hartawan Abdi Banda" Mestinya aku membu-
nuhnya pulang pergi!"
"Kau mengenalnya?" tanya Puspita ingin
tahu. Raja Kodok tundukkan kepala. Bibirnya
mendesis hingga terdengarlah suara kang-kung.
Bagian keningnya yang menonjol tampak berkerut
dalam. Lalu tangisnya pun meledak.
"Hu hu hu...! Mestinya aku sudah bunuh
manusia bangsat itu! Dia telah membuat sengsara
ibuku lahir batin!" kata pemuda berbadan besar pendek ini lalu membanting-
banting kakinya.
"Seharusnya aku potong lidahnya, cungkil ma-
tanya, potong dia punya kaki dan tangan dan di
potong dia punya aurat. Hu hu hu...! Itu pun ti-
dak cukup, tubuhnya harus di kuliti, kemudian di
jemur di atas matahari. hu hu...! Bukan emak sa-
lah mengandung, tapi mengapa kakek dan ne-
nekku terlalu gila harta milik hartawan itu....!"
Puspita Sari terdiam, ia memperhatikan
Raja Kodok yang terus menangis sambil bergul-
ing-guling di atas tanah.
DUA Lama kelamaan tangis Raja Kodok terhenti
sendiri. Tubuhnya yang senantiasa basah ber-
tambah basah. Barulah Puspita ajukan perta-
nyaan. "Apa yang membuatmu membenci harta-
wan Abdi Banda?"
Raja Kodok hentak-hentakkan kakinya, la-
lu kepala digeleng-gelengkan berulang-ulang sea-
kan ingin mengusir segala kepedihan dan pende-
ritaan hidup yang selama ini dialaminya.
"Aku terlahir dari rahim seorang ibu yang
frustasi. Kakek dan nenekku tinggal di desa Mun-
cang Bledek. Mereka kini sudah meninggal terse-
rang penyakit aneh. Ibuku bernama Ararini, ko-
non ia wanita yang cantik sekali. Sehingga pemu-
da desa dulu banyak yang jatuh cinta, diantara
mereka ada yang ingin melamar Ibu, tapi karena
pemuda itu anak orang miskin kakekku meno-
laknya. Padahal ibu sangat mencintainya juga.
Kata kakek manusia hidup tidak cukup hanya
dengan modal cinta. Kakek ingin punya menantu
orang kaya raya. Sehingga kecewalah pemuda
baik dan ahli agama itu. Sejak kakek menolak
lamarannya, pemuda kekasih menghilang dari de-
sa ini. Entah kemana pergi, konon ia menyebar
agama di mana-mana. Padahal pemuda itu sangat
baik sekali manusia lurus, dalam hidupnya tidak
pernah marah, tidak sombong, tidak iri, tidak
dendam dan tidak pernah berbuat maksiat...!" ka-ta Raja Kodok.
Puspita tertegun mendengar ucapan Raja
Kodok, "Siapa nama pemuda yang mencintai
ibumu itu?"
"Kalau tidak salah, Wahyu Sakaning Gus-
ti," sahut Raja Kodok.
Puspita tercekat kaget. Ia sendiri bertemu
dengan Wahyu Sakaning Gusti yang tidak lain
adalah Pendekar Lugu. Jika orang yang dimaksud
adalah pemuda itu. Mengapa masih tetap awet
muda. Padahal sekarang Raja Kodok paling tidak
telah berumur dua puluh tahun. Sedangkan pe-
rawakan Pendekar Lugu sepantasnya ia baru be-
rumur dua puluh delapan tahun. Mungkinkah
Pendekar Lugu punya ilmu Awet Muda"
"Lalu apakah pemuda yang kau sebutkan
itu ayahmu?" tanya Puspita.
Raja Kodok menggelengkan kepala. "Wahyu
Sakaning Gusti bukan ayahku. Ia manusia suci
yang tidak pernah berbuat maksiat."
"Jadi...!"
"Jadi ayahku adalah manusia bangsat ta-
di." geramnya. "Ia menjadikan ibuku tidak ubahnya pelacur. Setelah ia
mendapatkan kehorma-
tannya, lalu ibu diperjual-belikan pada laki-laki hidung belang. Padahal ibuku
sudah mengandung. Ibuku sangat menderita lahir dan batin.
Yang paling celaka adalah kakek dan nenekku. Ia
menikmati kemewahan di atas penderitaan anak-
nya. Duh... sesungguhnya kesenangan dan ke-
mewahan dunia ini cuma sedikit. Aku tidak men-
gerti mengapa kakekku begitu terlena. Sean-
dainya aku Malaikat penyiksa tentu aku akan
memasukkan hartawan serta kakek dan nenekku
ke neraka yang menyala-nyala...!"
"Kau benci pada mereka?"
Raja Kodok tertawa, tapi tawanya seperti
orang yang menangis.
"Aku tidak benci pada mereka, aku benci
pada kelakuannya yang terlalu memuja dunia!"
"Lalu sekarang kemana ibuku?" tanya Puspita. Tampak jelas wajah Raja Kodok
semakin sedih dan menderita saja.
"Ibuku mati bunuh diri setelah mengha-
nyutkan aku ke kali ini. Rupanya hidup ibuku
yang kecewa itu semakin bertambah kecewa saja
setelah melihat keadaanku yang sangat jelek be-
gini. Tuhan masih melindungiku. Bidadari Sungai
Ilir perempuan misterius itu membesarkan aku
bersama kodok-kodoknya di daerah ini. Ia juga
menurunkan jurus-jurus kodok yang sangat dah-
syat serta beberapa kesaktian lainnya. Tapi hing-
ga saat ini aku masih belum puas. Aku belum
menemukan diriku yang sebenarnya karena diha-
tiku masih ada dendam, amarah dan penasaran.
Aku ingin mencari paman Wahyu Sakaning Gusti,
aku ingin belajar berbagai hal tentang jalan yang lurus dan kebaikan. Agar kelak
aku tidak tergolong salah satu dari sekian banyak penghuni ne-
raka." "Jadi kau ingin bertemu dengan Wahyu Sakaning Gusti?"
"Ya, sangat ingin sekali!"
"Aku mungkin bisa mempertemukan kau
dengannya." janji Puspita.
Mata yang penuh kehampaan hidup dan
rasa frustrasi ini membulat lebar. Terlihat ada ke-gembiraan di sana.
"Benarkah?" tanyanya dengan mata berbi-
nar-binar. "Ya, aku janji. Untuk itu ikutilah aku."
"Tunggu dulu. Aku harus membawa ka-
wan-kawanku, mereka bisa membantu jika aku
dalam kesulitan!"
Sambil melonjak-lonjak kegirangan Raja
Kodok kembali menyusup ke balik atap gubuk ro-
boh. Ketika ia keluar lagi, maka di bahunya su-
dah menyandang sebuah keranjang bulat berisi
beraneka macam kodok yang belum pernah dili-
hat Puspita seumur hidupnya.
"Untuk apa itu?"
"Ha ha ha...! Biasanya manusia memburu
kodok. Tapi kebalikannya kodok juga bisa mence-
lakakan manusia. Ketahuilah, kodok-kodok ini
sangat beracun. Air kencingnya dapat membuta-
kan mata. Jika kita dikeroyok orang tentu mereka
tidak akan tinggal diam!"
Puspita terpaksa menahan senyumnya. Ra-
ja Kodok mengeluarkan suara aneh. Dari semak
belukar terdengar suara ribuan kodok lainnya
seakan mereka mengucapkan selamat jalan pada
pemuda berjuluk Raja Kodok itu. Maka berang-
katlah kedua orang yang baru saling mengenal ini
meninggalkan Kali Meruya.
*** Kerajaan Ujung Dunia adalah sebuah kera-
jaan yang sangat besar sekali. Disekeliling istana yang besar itu berdiri
benteng yang cukup tinggi.
Di setiap sudut benteng terlihat para pengawal
bersenjata anak panah. Kerajaan ini dipimpin
oleh seorang raja Besar Lalim Durjana. Angkatan
perangnya cukup kuat, kerajaan ini juga terma-
suk kaya raya. Sayang kehidupan rakyatnya
sengsara dan serba dalam kemiskinan. Peninda-
san terjadi dimana-mana. Banyak pejabat tinggi
kerajaan yang melakukan korup dan pemerasan
secara terang-terangan maupun sembunyi-
sembunyi. Prajurit kerajaan pun demikian, terlebih-lebih yang bertugas dalam
bidang keamanan.
Tidaklah mengherankan jika kemakmuran
hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Penin-dasan, kekerasan, pemerasan
dan ancaman me-
mang sudah menjadi kebiasaan dan merupakan
santapan hidup bagi rakyat-rakyat yang sengsara.
Namun apalah artinya rakyat kecil yang tidak
punya kekuatan apa-apa. Mereka selalu takut
pada tentara kerajaan. Apalagi mereka bukan sa-
lah mengayomi kehidupan rakyatnya. Tidak ja-
rang diantaranya malah ada yang menjadi momok
bagi penduduk. Kebiasaan raja Lalim Durjana selain aneh
juga terbilang sadis. Mereka yang tertangkap dan
tertuduh sebagai pelaku kejahatan biasanya lang-
sung dipancung tanpa menjalani proses pengadi-
lan. Kalau pun pengadilan dilakukan itu semata-
mata hanya kedok saja. Tidak jarang bahkan di-
antara penentang raja atau sekelompok orang
yang dicurigai sebagai pemberontak dilepaskan di
sebuah tempat terkurung tembok yang dikenal
dengan nama 'Ladang Perburuan'. Mereka yang
dilepas ini bukan dibiarkan hidup. Melainkan un-
tuk diburu oleh sepasukan pengawal bersenjata
anak panah dan pedang, untuk dijadikan sasaran
anak panah mereka atau pun dijadikan sasaran
berburu sekawanan harimau kelaparan yang dile-
pas di situ. Biasanya sang raja yang menyaksikan
atraksi mengerikan ini tertawa-tawa dengan pera-
saan puas. Sungguh raja yang punya tiga isteri
dan empat puluh orang selir ini merupakan raja
yang paling kejam lagi tidak mengenal rasa pri
kemanusiaan. Siang itu selepas menghadiri pembantaian
di 'Ladang Perburuan', raja Lalim Durjana berja-


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lan-jalan keliling kota kerajaan Ujung Dunia. Dia yang didampingi langsung oleh
Patih Luragung ini
duduk di atas sebuah kereta kuda yang sangat
mewah. Sikapnya jumawa dan terkesan angkuh.
Tidak jauh di depannya beberapa orang pengawal
berkepandaian tinggi terus melakukan pengawa-
lan ketat. Anak-anak kecil yang menonton iring-
iringan raja kebanyakan ditendang atau dipukul
oleh pengawal yang berada dibarisan depan.
Para orang tuanya tidak ada yang berani
keluar apalagi melihat iringan rombongan raja
tersebut. Sementara itu dari arah depan mereka
di jalan yang sama tampak seorang laki-laki ber-
badan gendut besar bukan main sedang memacu
kuda ke arah iring-iringan raja.
Kuda yang ditunggangi oleh si gendut keli-
hatannya sudah sangat kelelahan sekali, lidah
terjulur, tubuhnya telah basah oleh keringat bah-
kan jalannya pun sudah miring-miring seperti bi-
natang yang menderita sakit pinggang campur
encok. Melihat kehadiran orang yang tidak dikenal ini, beberapa orang pengawal
langsung menyong-song ke depan. Senjata mereka terhunus siap
menyerang kelihatan sekali kalau pengawal-
pengawal ini sangat menjilat.
"Berhenti di situ, silahkan putar kuda dan
lewat jalan lain!" Salah satu pengawal berwajah angker memberi perintah.
Suaranya keras sengaja
mencari perhatian.
Kuda yang ditunggangi si gendut kontan
berhenti, kaki kuda tampak gemetaran pertanda
habis dipacu dari perjalanan yang sangat jauh.
"Saya hartawan Abdi Banda sahabat raja
Besar. Ingin bertemu dengan beliau untuk me-
nyampaikan sebuah persoalan yang besar...!" kata si gendut kikir.
Pengawal yang membentaknya tadi meno-
leh ke belakang, ke arah kereta kuda dimana raja
Lalim Durjana berada di dalamnya. Kebetulan
sang raja tampakkan wajahnya julurkan kepala.
"Ada apa pengawal?" tanya laki-laki bertubuh tambun itu, suaranya serak dan
berat me- nyimpan angkara murka.
Seperti seekor anjing yang takut pada
tuannya, pengawal itu berlari-lari kecil meng-
hampiri kereta kuda. Ia membungkukkan kepala
dalam-dalam. "Ampun paduka, ada orang gendut menga-
ku sebagai hartawan Abdi Banda. Dia ingin ber-
temu dengan paduka...."
Wajah raja Iblis Durjana berubah cerah.
"Perintahkan dia memutar kuda dan mengikuti
kita menuju istana!"
"Baik Paduka!"
Pengawal ini balik ke tempat semula, lalu
memberitahukan apa yang disampaikan rajanya.
Mereka akhirnya bersama-sama menuju ke ista-
na. Patih Luragung mengajak Abdi Banda men-
jumpai raja Lalim Durjana yang sudah masuk ke
istana kerajaan lebih awal.
Singgasana tempat pertemuan itu dijaga
ketat oleh para pengawal. Di tengah-tengah ruan-
gan terdapat kursi kebesaran, di atas kursi me-
wah itulah seorang laki-laki berkumis tebal ber-
wajah angker dan memakai mahkota duduk me-
nunggu. Hartawan Abdi Banda langsung duduk
bersimpuh di depan raja kemudian memberi
penghormatan pada raja Ujung Dunia.
"Sobatku! Apa kabar dan bagaimana Mage-
tan saat ini?" tanya sang Raja.
"Baginda, sahabat lama yang selalu dijun-
jung tinggi setiap titahnya. Keadaanku baik-baik
saja. Aku datang dengan membawa kabar buruk!"
jawab Abdi Banda.
Kening sang raja langsung mengkerut.
"Kabar apa?"
"Kakangku Datuk Alam Salindra mungkin
saat ini sudah mangkat. Harta bendaku sebagian
berceceran di sepanjang jalan, rumah madat, ru-
mah pelacuran, rumah judi semuanya mus-
nah...!" "Ini kabar paling buruk yang pernah ku-dengar darimu, sobatku! Aku
sedih mendengar-
nya. Namun aku yakin setiap akibat ada sebab-
nya, nah katakan apa yang menyebabkan kau
mengalami kejadian menyakitkan seperti itu?"
"Kejadian ini bermula dengan munculnya
seorang Pendekar muda berwajah tolol, kemudian
muncul pula seorang murid murtad calon isteriku
yang gagal. Lalu muncul Pendekar Lugu, Anak
Langit dan Malaikat Penderitaan pun tunjukkan
diri...!" Raja Lalim Durjana tersentak kaget. "Mengenai Malaikat Penderitaan
sedikit banyaknya aku
sudah dengar. Tidak ada yang tahu pasti siapa
namanya dan asal usulnya. Ia manusia setengah
gaib, yang aku tidak tahu adalah tentang Pende-
kar Lugu dan Anak Langit. Dapatkah kau terang-
kan padaku siapa mereka?" pinta raja Lalim Durjana. Kemudian secara terperinci
hartawan Abdi Banda menceritakan apa yang diketahuinya ter-
masuk juga kehadiran Pendekar Lugu dalam
mimpi-mimpinya.
"Lalu Anak Langit itu siapa?"
"Aku sendiri kurang tahu, paduka. Anak
Langit kurasa bukan manusia, bukan jin dan bu-
kan pula setan. Mungkin ia sejenis malaikat. Dia
penyampai kebenaran, kalau pun bukan Malaikat
mungkin makhluk yang tercipta dari cahaya."
"Sungguh sulit dipercaya. Kemudian Pen-
dekar yang kau sebutkan siapa?"
"Dia punya gelar Pendekar Blo'on, wajah-
nya ganteng tapi tampangnya goblok kekanak-
kanakan. Rambutnya hitam kemerahan, dia
punya senjata dapat merintih, menangis, mering-
kik bahkan tertawa. Kepandaiannya tidak dapat
diragukan lagi!" jelas hartawan Abdi Banda.
"Paman Patih, apakah engkau tahu siapa
Pendekar yang disebutkan oleh hartawan ini?"
Sambil bertanya raja Lalim Durjana me-
mandang pada laki-laki tua berselempang merah
di sebelah kirinya.
"Ampun, gusti. Menurut hemat hamba,
pemuda yang dimaksudkan oleh tuan hartawan
memang pernah hamba dengar tentang kehebatan
sepak terjangnya. Bertemu langsung sih hamba
belum pernah, konon sekarang selain membabat
habis tokoh aliran hitam dia juga sedang mencari
pembunuh orang tuanya. Saran hamba sebaiknya
kita kirimkan pasukan untuk menangkapnya!"
"Aku rasanya sangat setuju dengan gaga-
sanmu itu, paman." kata raja Lalim Durjana. Kemudian beliau berpaling pada
hartawan kikir.
"Nah, jika kau merasa terancam, sebaiknya untuk sementara waktu tetaplah berada
di kerajaan ini,
kau berada dalam lindunganku, sobatku gendut!"
"Katakan juga pada raja ini, bahwa seka-
rang telah datang Lima Utusan Akherat di pantai
Selatan!" Sebuah suara yang tidak asing mengisiki
hartawan Abdi Banda. Itulah suara Sang Maha
Sesat. Maka kemudian hartawan itu mencerita-
kan tentang kemunculan Lima Utusan Akherat di
pantai Selatan sebagaimana yang dikatakan oleh
Sang Maha Sesat.
"Ha ha ha...! Sobatku, terima kasih atas
peringatanmu. Aku pribadi kemarin telah men-
dengar laporan itu. Mungkin besok aku akan
mengirimkan pasukan ke sana." sahut raja.
"Sebenarnya apa maksud kedatangan
orang-orang asing itu, paduka?" tanya si hartawan harap-harap cemas.
Raja Lalim Durjana tersenyum sinis.
"Jika tidak ada berada, mana mungkin
tempat bersarang rendah. Tujuan mereka yang
sebenarnya segera kita ketahui begitu kita ring-
kus mereka!"
Maka diam-diam legalah hati hartawan Ab-
di Banda. Semula ia merasa khawatir jangan-
jangan Lima Utusan Akherat mengincar kitabnya.
Kitab yang berisi surat petunjuk bagi manusia
yang ingin menempuh jalan lurus.
"Sobatku hartawan yang paling kaya di du-
nia. Sebaiknya kau istirahat dulu. Mengenai ke-
matian abang mu, jika benar Pendekar itu yang
membunuhnya dia pantas mendapat ganjaran
yang setimpal. Acara penangkapan segera dilaku-
kan. Pendekar Blo'on, Pendekar Lugu, Malaikat
Penderitaan juga gadis calon istrimu itu tentu dalam waktu tidak lama lagi akan
mendapat huku- man berat dari kerajaan!"
"Paduka...!"
"Hmm...!" Raja Lalim Durjana menggumam
tidak jelas. "Mengenai calon isteriku sebaiknya segala
urusan serahkan padaku. Aku punya cara terbaik
untuk menghukumnya!" pinta sang hartawan.
"Ha ha ha...! Itu persoalan mudah. Kau ti-
dak usah takut! Sekarang biarkan paman Patih
mengantarmu untuk istirahat!"
Baik hartawan maupun Patih Luragung se-
gera menjura penuh rasa hormat. Sekejap kemu-
dian mereka telah berlalu dari hadapan raja Lalim Durjana.
TIGA Tenda-tenda yang dipasang dekat perahu
di tepi pantai selatan itu seluruhnya berjumlah
lima buah. Para penghuninya juga terdiri dari li-
ma golongan dan berasal dari lima daerah yang
terdapat di nusantara ini.
Penghuni tenda pertama yang terletak di
sebelah utara adalah utusan dari Indera Giri Hilir.
Anggota mereka cukup banyak juga, seluruhnya
hampir lima puluh orang. Pimpinan utusan itu
adalah Engku Bonang dan Bias Pati.
Sedangkan di tenda kedua mereka berasal
dari Teluk Nibung, pimpinan mereka bernama
Datuk Pala Seribu dan Manggar Kesuma, kedua
orang ini lebih dikenal dengan julukan Bayangan
Putih. Tenda ketiga berasal dari Kapuas Hulu,
pimpinan utama adalah Dendra dan Malai Be-
rung. Penghuni tenda keempat berasal dari
Ujung Kulon, pimpinan mereka Pati Ubudana dan
Kalingga Jati. Yang terakhir di tenda kelima berasal dari
Madura. Rombongan ini dipimpin oleh Cak Bu-
lang Kumbang dan Kala Dirga.
Pada mulanya Lima Utusan Akhirat ini
memang tidak saling mengenal satu sama lain.
Sebagai tanda-tanda mereka ini adalah bendera
putih yang terdapat di haluan perahu.
Lalu apakah yang terjadi sehingga mereka
mendarat di pantai selatan" Marilah kita ikuti
pertemuan pimpinan masing-masing utusan yang
berlangsung tidak jauh dari perahu mereka.
Ada sepuluh orang duduk melingkar men-
gelilingi sebuah lilin yang menyala dengan segan.
Tiba-tiba bicara laki-laki berjenggot panjang me-
makai ikat kepala warna putih. Orang ini tidak
lain adalah Engku Bonang utusan dari Indera Giri
Hilir. "Saya, Engku Bonang dari Indera Giri, datang ke tanah Jawa ini semata-
mata karena men-
dapat wangsit bahwa di daerah ini tersimpan se-
buah surat dalam kitab perdamaian dunia. Di sini
pula akan turun Anak Langit. Tetua dan ahli pe-
dang kami mengutus saya dan sahabat Bias Pati
ke sini. Sebagai tanda kebenaran yang sah, saya
membawa simbol bintang empat persegi." Engko Bonang kemudian mengeluarkan sebuah
logam berbentuk empat persegi. Simbol utusan ini ke-
mudian diletakkannya di atas pasir. Kemudian
orang yang duduk di sampingnya buka bicara.
Laki-laki ini berkulit hitam macam arang. Puser-
nya yang bodong kelihatan, ia memakai baju ala
kadarnya. "Saya Datuk Pala Seribu dan kawan saya
ini Manggar Kesuma, kami dari Teluk Nibung. Se-
suai wangsit pula, kami datang kemari untuk me-
lihat kebenaran dan apa sesungguhnya rahasia
yang tersimpan dalam surat Kedamaian Dunia.
Kalau tidak boleh membawa surat itu pulang ka-
mi cukup puas jika sudah mengetahui isinya.
Semua tentu terpulang pada anak langit. Ini tan-
da utusan yang sah dan tidak diragukan kebena-
rannya...!" Datuk Pala Seribu mengeluarkan logam berbentuk empat persegi.
Manggar Kesuma pun mengeluarkan benda yang sama kemudian
meletakkannya di atas pasir.
"Saya, Dendra...!" Berkata laki-laki setengah baya berkumis tebal. Kawan saya,
Malai Be- rung, kami dari Kapuas Hulu. Datang ke sini den-
gan membawa urusan yang sama. Kitab Keda-
maian Dunia itu harus diketahui oleh seluruh
penduduk kolong langit ini, agar mereka tahu dan
tidak saling membunuh sesamanya dan tidak


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berperang untuk menindas dan menjajah kehidu-
pan orang lain. Dendra pun kemudian mengelua-
rkan benda yang sama.
Setelah orang ketiga selesai bicara, kini gi-
liran laki-laki tua bermata agak kecil berkulit
kuning langsat.
"Kami dari Ujung Kulon, aku Pati Ubudana
dan Kalingga Jati kawanku. Kami diperintahkan
oleh ketua untuk mengetahui isi Surat Keda-
maian Dunia. Agar sesama kaum di rimba persila-
tan tidak saling perang lagi. Saya sedih melihat
orang-orang saling berbunuhan. Ini tanda dari
saya...!" Pati Ubudana meletakkan bintang empat
persegi tanda utusan ke tengah-tengah lingkaran.
"Saya datang dari sebuah daerah yang ti-
dak jauh dari sini, tepatnya dari Madura tak iye.
Nama saya Dunga, kedatangan kami semata-mata
bukan hanya ingin melihat isi Surat Kedamaian
Dunia, tapi juga ingin mendapat petunjuk dari
Anak Langit menuju jalan yang benar!" jelas laki-laki bertubuh jangkung
tersebut. "Nah sekarang kita sudah saling mengeta-
hui bahwa kita adalah orang-orang yang memiliki
tujuan yang sama. Apa langkah yang harus kita
ambil?" tanya Engku Bonang.
Lima Utusan Akherat lainnya saling ter-
diam. Lama sekali suasana hening mencekam.
Lalu Datuk Pala Seribu ajukan pendapat.
"Daerah ini adalah tempat yang asing bagi
kita. Kudengar di daerah ini ada sebuah kerajaan
besar, namun kita tidak dapat minta petunjuk-
nya. Karena rajanya kejam dan selalu menanam
permusuhan serta rasa curiga pada siapa saja!"
"Orang yang harus kita temui sesuai petun-
juk dari pimpinan kami adalah Pendekar Lugu.
Sedangkan orang itu sendiri kita tidak tahu bera-
da dimana!" Pati Ubudana menimpali.
"Kalau begitu kita tidak boleh terpisah an-
tara satu utusan dengan utusan yang lain. Ku-
dengar pula di Jawa ini banyak tokoh-tokoh serta
ahli silat berkepandaian tinggi. Salah kita me-
langkah maka misi mulia ini bisa berantakan se-
luruhnya" Ujar Dunga.
"Sebaiknya mulai besok kita mencari surat
petunjuk Kedamaian Dunia. Usahakan hindari
bentrok dengan pihak kerajaan." pesan Kalingga Jati. "Kami setuju!" jawab yang
lainnya hampir bersamaan.
"Sekarang kita sudahi pertemuan ini. Be-
sok kita sudah harus melakukan perjalanan jauh
yang tidak terbatas!" kata Engku Bonang
Maka setelah mereka selesai bermufakat
para pimpinan Lima Utusan Akherat kembali ke
tendanya masing-masing. Malam berlalu, di pan-
tai suara deburan ombak tetap terdengar hingga
pagi. *** Pemuda baju putih dan pemuda baju biru
itu baru saja selesai melakukan sujud terakhir
sholat Asar. Kemudian setelah selesai berdo'a ke-
duanya keluar meninggalkan surau kecil di tepi
telaga. Suasana Surau yang lengang mengundang
tanya di hati pemuda berwajah ganteng namun
punya tampang ketolol-tololan ini.
Penduduk di sekitar Surau cukup banyak,
tapi mengapa Surau dibiarkan sepi bahkan lantai
Surau terlihat kotor berdebu seakan jarang dipa-
kai beribadah"
Hari sembilan bulan sembilan sudah terle-
wati beberapa pekan yang lalu. Suasana tetap ti-
dak berubah, matahari tetap terbit dari timur, tidak dari barat, utara maupun
selatan. Satu hal
yang membuat hati pemuda baju biru gelisah
adalah tentang Puspita Sari. Sebagaimana dike-
tahui Puspita gadis berpakaian ala Ninja ini telah dilarikan oleh hartawan
gemblung Abdi Banda.
(Untuk lebih jelasnya dalam episode Sang Maha
Sesat). Sedangkan waktu itu Suro Blondo Pende-
kar Mandau Jantan murid Penghulu Siluman Ke-
ra Putih dan murid Malaikat Berambut Api ini se-
dang terlibat pertempuran sengit dengan Datuk
Alam Salindra abang hartawan itu.
Si konyol tidak tahu bagaimana nasib gadis
jelita murid guru penuh keedanan Datuk Alam
Salindra. Hanya dia bisa berharap, moga tidak
terjadi apa-apa dengan Puspita. Kalau sampai ga-
dis malang itu diapa-apain oleh hartawan sinting
itu, tentu Suro tidak tinggal diam.
"Saudaraku, sejak tadi kau kuperhatikan
terus gorak-garuk kepala melulu. Sebenarnya ada
apa sih...?" bertanya Pendekar Lugu si pemuda baju putih berwajah polos tapa
dosa. Mulut Suro termonyong-monyong. Mimik-
nya berubah serius namun risau.
"Sobat Pendekar Lugu, kau ini Pendekar
goblok! Kerjamu cuma memikirkan bagaimana
memperbaiki dan mengajak manusia lain menuju
jalan yang lurus. Kerjamu cuma kerat-kerutkan
jidad dan mengingatkan manusia agar jangan
menyembah harta, menyembah kedudukan, me-
nyembah bini cantik atau menyembah dunia ini.
Kau tahu nggak" Aku ini pusing... kawan kita
Puspita diculik oleh hartawan gendeng itu. Aku
takut keselamatannya, hartawan itu punya pe-
dang. Pedang itu bisa membuat Puspita masuk
angin. Aku tidak suka melihat hartawan menga-
cak-acak sawah orang. Kalau sawahnya sendiri
mau dipacul mundur, dipacul terbalik atau dipa-
cul sambil duduk mana aku perduli Ak... pelaku
pusiing...!" kata Pendekar Blo'on
Pendekar Lugu tersenyum
"Kau seperti kambing kebakaran jenggot.
Memang Puspita itu pacarmu! Mengapa kau begi-
tu khawatir?" Suro garuk-garuk rambutnya sambil nyengir. "Pacar sih belum, lah
wong dia nggak pernah ngomong gitu kok." sahut Suro seadanya saja. "Kau suka
padanya?" tanya Pendekar Lugu tanpa ekspresi apa-apa.
"Entahlah, aku suka pada setiap perem-
puan. Tapi terus terang aku belum pernah berte-
mu dengan gadis yang sesuai dengan keinginan-
ku." jawab pemuda berambut hitam kemerah-
merahan ini dengan mulut termonyong-monyong.
Pendekar Lugu yang kurang suka bicara
soal perempuan ini tersenyum simpul. Ia sendiri
tidak ingin mengingat yang namanya makhluk
wanita, sebab pengalaman pada wanita begitu
pahit menyakitkan.
"Gadis macam apa yang kau idam-
idamkan?" pancing Pendekar Lugu.
Si konyol tertawa. "Aku ingin punya seo-
rang kekasih yang baik hatinya. Penuh perhatian
dan keibuan. Selain itu dia juga harus takut pada Tuhan dan dapat menerima aku
apa adanya!"
"Hmm, tampangmu tolol begitu punya
keinginan yang muluk-muluk. Kan susah jaman
sekarang cari perempuan seperti itu. Kalau pun
ada bisa di hitung dengan jari." kata Pendekar Lugu. Si konyol Pendekar Blo'on
melirik lawan bi-caranya. Sekilas ia melihat ada kesuraman di wa-
jahnya. "Eeh... kulihat kau sedih. Apakah kau
punya masa lalu yang sepahit empedu?"
"Ha ha ha...! Setiap orang punya masa lalu,
masa laluku sendiri sudah lama kulupakan." tegas Pendekar Lugu sambil
menggelengkan kepala.
"Sebaiknya kita kembali pada titik persoalan."
"Persoalan kita kan pergi ke kota raja
Ujung Dunia. Kupikir hartawan Abdi Banda ber-
sembunyi di sana. Kalau kita sudah sampai, kita
bisa sekalian melihat kekejaman raja Lalim Dur-
jana." kata si Bocah Ajaib pula.
"Dua persoalan besar sebagaimana yang
dikatakan oleh Anak Langit kurasa bukan hanya
menyangkut hartawan dan raja itu saja. Belakan-
gan ia datang padaku bahwa bahaya yang kita
hadapi juga datang dari Sang Maha Sesat. Lalu...
surat dalam kitab Kedamaian Dunia juga perlu ki-
ta tahu isinya."
"Mengenai kitab itu, sekarang bukan lagi
tersimpan dalam gudang harta milik Abdi Banda.
Seorang kakek mengaku dirinya sebagai Malaikat
Penderitaan telah mengambil kitab itu. Waktu itu
aku ingin tahu isinya, tapi kakek yang selalu se-
dih itu katanya tidak punya hak membuka surat
yang tersimpan dalam kitab!"
"Surat itu sebenarnya merupakan ancaman
bagi Sang Maha Sesat. Bagaimana bentuk anca-
man itu bagi Maha Sesat, tentu hanya Anak Lan-
git yang tahu. Aku tidak punya hak mengeta-
huinya, menurut hematku pula Malaikat Penderi-
taan pasti punya wangsit untuk menyelamatkan
Surat Kedamaian Dunia tersebut."
"Jadi apakah kita harus menembus ben-
teng istana" Kerajaan Ujung Dunia punya ratusan
prajurit tangguh. Bagaimana kita bisa kesana?"
"Dua tugas yang diberikan oleh Anak Lan-
git padaku dan padamu tidak dapat ditunda-
tunda. Raja Lalim Durjana harus digulingkan un-
tuk menghentikan kekejamannya. Hartawan Abdi
Banda juga tidak dapat kita biarkan begitu saja
karena kehadirannya hanya merusak martabat
kaum perempuan!"
Suro garuk-garuk kepala. "Kita yang cuma
berdua ini harus menghancurkan sebuah kekua-
saan besar. Kalau kau tidak bermimpi, tentu
kowe sudah gendeng Pendekar Lugu"!" dengus
Suro sengit. "Anak Langit pasti akan datang membantu,
Malaikat Penderitaan juga. Bagiku lawan yang
paling berbahaya bukan prajurit tentara kerajaan, melainkan Sang Maha Sesat."
Suro Blondo tercenung, mulutnya melongo.
Lalu ia teringat tentang beberapa muda mudi
yang mati kering. Ketika ia berada di Magetan
bersama Puspita Sari. Bukan itu saja, sebagai
anak ajaib ia juga pernah mencium bau wangi
bunga stanggi, bunga kuburan. Di Magetan ia
mencium bau bunga iblis itu, begitu juga ketika
berada di kuil bobrok.
"Mungkinkah Sang Maha Sesat melakukan
pembunuhan?" tanya Suro.
"Ya, mungkin sekali. Untuk kesenangannya
atau sekedar berhura-hura untuk menakut-
nakuti. Itu merupakan suatu pertanda kehadi-
rannya!" "Menurutmu apakah Sang Maha Sesat
punya racun Bunga Asmara?" tanya si konyol ter-bodoh. "Hmm, betul. Ia bahkan
punya racun apa saja yang sangat berguna untuk menjerumuskan
manusia ke jalan yang salah. Suatu saat ia bisa
saja menjelma sebagai manusia. Musuh besar
makhluk yang tercipta dari api itu adalah manu-
sia yang selalu patuh pada TuhanNya, ia paling
benci pada manusia seperti aku...!" jelas Pendekar Lugu alias Wahyu Sakaning
Gusti. Pemuda yang
dapat merubah dirinya menjelma jadi anak kecil,
kakek-kakek dan gadis cantik itu tampak sangat
serius sekali kini.
"Oh gitu. Apa ini ada hubungannya karena
terlalu seringnya kau keluar masuk Surau?"
tanya Suro heran.
Pendekar Lugu, pemuda yang wajahnya po-
los seperti bayi ini tersenyum.
"Tololmu kau pelihara terus, bagaimana
kau bisa pintar saudaraku. Keluar masuk Surau
itu bukan suatu bukti, walaupun mendekati bakti
pada Tuhan. Tapi Tuhan tidak menilai wajah atau
kecantikan seseorang. Yang dinilai niat dan isi
hatinya. Hampir sebagian manusia di dunia ini
memakai topeng. Jika topeng ditanggalkan maka
terlihatlah isi hatinya. Tidak sedikit manusia jadi penjilat seperti anjing,
tidak sedikit pula manusia memberi karena berharap imbalan atau memberi
sekedar ingin dipuji orang lain. Aku benci pada
orang yang punya hati berserabut seperti biji ke-
dondong. Tapi aku lebih benci lagi pada manusia
yang bermuka dua. Aku benci pada orang kaya
sombong, tapi aku lebih benci lagi pada orang
kere sombong. Aku tidak suka pada orang yang
keras hatinya, namun aku lebih benci lagi pada
orang marah namun tidak ada habis-habisnya.
Segala sesuatu yang ku benci sebaliknya sangat
disukai oleh Sang Maha Sesat. Pahamkah kau
saudaraku?"
"Ya... ya... paham sedikit-sedikit. Sebaik-
nya memang sedikit, kalau kebanyakan kepalaku
malah puyeng...!"
"Saudaraku, kau memang Pendekar tolol,
tampangmu geblek, namun bagaimana pun aku
tetap membutuhkan bantuanmu. Sekarang se-
baiknya kita teruskan perjalanan ke kota raja
Ujung Dunia!" Pendekar Lugu berkata sambil
mempercepat langkahnya.
"Tunggu sobatku Pendekar Goblok! Kau li-
hatlah ada mayat-mayat tanpa kepala disini!


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ihh... mengerikan sekali...!" desis Suro. Seraya tutup hidungnya karena mayat-
mayat yang terdiri
dari kaum laki-laki dan perempuan itu sudah
mulai membusuk.
Pendekar Lugu hentikan langkah, baru
memeriksa satu dua mayat ia sudah bersurut
mundur sedangkan bibirnya berkomat-kamit se-
perti orang yang sedang mohon keampunan Gusti
Allah. "Sungguh biadab perbuatan orang itu. Mereka membunuh tanpa sebab-sebab
yang jelas."
geram Wahyu Sakaning Gusti.
"Apa ini bukan hasil perbuatan Sang Maha
Sesat?" tanya si konyol dengan kening berkerut-kerut. "Aku tidak yakin. Sang
Maha Sesat adalah
kakek moyangnya iblis dan setan. Dia tidak per-
nah membunuh dengan cara seperti ini. Ini ada-
lah perbuatan manusia yang nyata. Sebaiknya ki-
ta susul orang sadis itu!" tegas Pendekar Lugu dan wajahnya yang polos itu
tampak jelas dilanda
kedukaan. EMPAT Panglima Arung Garda bisa diibaratkan se-
bagai tombak dan benteng bagi jayanya kerajaan
Ujung Dunia. Ia manusia sakti yang mempunyai
kekebalan terhadap berbagai jenis senjata. Ia juga ahli dalam hal siasat perang.
Laki-laki jangkung
berkumis tipis bertampang dingin ini bahkan di-
juluki dengan julukan 'Kuda Perang Pedang Ter-
bang'. Jika senjata telah berada ditangannya, ma-
ka senjata itu tidak akan berhenti sebelum semua
lawan-lawannya binasa.
Panglima perang Arung Garda memang fi-
gur panglima yang penuh kejutan. Ia mengabdi
pada raja Lalim Durjana kurang lebih hampir dua
puluh tahun. Berkat kepandaian dan kesaktian,
semula panglima ini yang hanya sebagai prajurit
tempur biasa dengan mudah naik menjadi perwi-
ra, sampai kemudian diangkat menjadi panglima
perang. Ia punya kesaktian setara dengan Patih
Luragung. Hanya kekurangan Patih, beliau tidak
memiliki ilmu kebal senjata.
Pagi itu setelah mendapat kabar dari petu-
gas pengintai, maka berangkatlah Panglima Arung
Garda bersama prajurit-prajurit pilihan yang se-
luruhnya berjumlah hampir lima puluh orang.
Namun Panglima ini sangat kecewa sekali karena
ketika sampai di pantai Selatan yang mereka
jumpai hanya lima buah perahu besar dan lima
buah tenda darurat kosong.
"Sial...! Mereka telah pergi, aku tetap ber-
keyakinan mereka masih berada di tanah Jawa
ini. Kalau begitu, sebaiknya bakar kapal-kapal
yang berlabuh di pantai itu...!" perintahnya pada semua prajurit berkuda yang
menyertainya. Lima puluh orang prajurit yang rata-rata
berwajah bengis langsung melaksanakan perintah
Arung Garda. Hanya dalam waktu tidak sampai
setengah jam, lima buah kapal besar milik Lima
Utusan Akherat terbakar musnah. Panglima haus
hiburan ini tertawa senang.
"Sekarang kita kejar mereka! Tugas apapun
yang mereka bawa dari daerahnya kita harus ta-
hu!" tegas laki-laki itu.
Maka tidak lama terdengar suara derap
langkah kuda meninggalkan pantai selatan. Be-
lum jauh rombongan panglima Arung Garda me-
ninggalkan pantai selatan. Tiba-tiba dari sebuah
pohon yang rindang mendesing sebuah tanda
berwarna putih mengkilat. Bentuknya bulat se-
perti topi waja, setiap sisinya bergerigi tajam.
Benda bulat menyerupai topi dan bertali
panjang ini langsung menghantam leher pengawal
yang berada di bagian depan.
Pengawal malang tadi tidak sempat menje-
rit. Tahu-tahu kepalanya menggelinding diterabas
senjata aneh bergerigi itu. Tubuh tanpa kepala
yang berada di atas kuda langsung tersungkur.
Kejadian memang berlangsung sangat cepat. Ti-
dak sampai sepersekian detik, terdengar suara je-
ritan pengawal lagi. Hingga hanya dalam waktu
yang sangat singkat sekali lima orang pengawal
telah menjadi mayat tanpa kepala.
"Berlindung!" teriak Panglima Arung Garda.
Ia sendiri menggebah kudanya menyusul ke de-
pan. Melihat korban bergeletakan tanpa kepala,
maka terkejutlah panglima Arung Garda. Ia meli-
hat ke arah rimbunan pohon di mana senjata
berbentuk aneh tadi berasal. Namun matanya
terhalang kelebatan daun-daun, sehingga ia tidak
dapat melihat siapa yang sembunyi di balik ke-
rimbunan pohon tersebut.
Dengan geram panglima ini lepaskan puku-
lan saktinya ke arah pohon. Segulung angin ken-
cang disertai berkiblatnya sinar merah biru mele-
sat cepat ke arah sasaran. Terjadi ledakan meng-
gelegar. Sebagian cabang pohon hancur berderak,
daun-daunnya langsung kering seperti terbakar.
Setelah menunggu sebentar ternyata tidak
ada reaksi apa-apa. Dari balik pohon yang gundul
sebagian tetap sunyi seakan tidak ada tanda-
tanda kehidupan disana.
"Bangsat! Jika manusia tunjukkan muka,
kalau iblis sebaiknya perlu diketahui bahwa aku
Panglima Arung Garda tidak pernah merasa takut
pada siapapun!" bentak laki-laki berkumis tipis itu. Sedangkan kudanya
meringkik-ringkik gelisah. "Ha ha ha...! Lagakmu keren amat, Panglima!" sebuah
suara yang tidak kalah dinginnya menyahuti. "Kudengar kerajaan Ujung Dunia
adalah kerajaan besar. Banyak orang-orang sakti
berhimpun dan mencari rejeki di sana. Kenyataan
yang kulihat pengawal-pengawalmu lindungi ke-
pala saja tidak mampu...!"
"Setan! Tunjukkan diri perkenalkan nama,
aku tidak suka menunda waktu...!" bentak Panglima Arung Garda.
"Ha ha ha! Kau meminta aku memenuhi.
Lihatlah baik-baik siapa aku!" seru suara tadi Maka daun di pucuk pohon itu
tersibak, dari dalamnya melesat sosok tubuh berpakaian
jingga. Ia jungkir balik, melakukan atraksi dengan gerakan-gerakan seperti
pemain sirkus. Kemudian tubuhnya meluncur deras ke bawah.
Tep! Bila kedua kakinya menjejak ke tanah,
maka tidak terdengar suara sedikit pun. Ternyata
adalah seorang laki-laki memakai baju ungu, se-
buah pedang membelintang di punggungnya.
Umur baru sekitar 55 tahun. Wajahnya yang din-
gin tidak terlihat jelas karena tertutup topi lebar terbuat dari anyaman daun
kirai (rumbia).
Mata Panglima menyipit, kumis tipisnya
bergerak-gerak. Bibirnya terkatup rapat. Setelah
meneliti dengan seksama, ternyata Panglima me-
mang merasa tidak mengenal laki-laki sadis ini.
Melihat kebolehan yang telah diperlihatkan tadi,
tentu orang ini agaknya bukan manusia semba-
rangan. Panglima ini pun langsung mengatur sia-
sat. "Kisanak, dapatkah anda katakan apa tujuan anda membunuh prajuritku?"
"Hik hik hik! Membunuh atau terbunuh
bukankah sesuatu yang lumrah dalam hidup ini.
Jika aku mau membunuh manusia, apakah aku
harus mencari apa salahnya" Bagiku membunuh
orang adalah satu kesenangan, satu hiburan me-
narik. Aku suka melihat darah, aku senang pula
melihat senjataku menari-nari di atas bangkai
atau kepala orang lain!" dingin suara laki-laki berpakaian ungu ini.
"Dapatkah anda mengatakan asal usul,
atau mungkin gelar jika punya?" tanya Panglima Arung Garda. Diam-diam hatinya
mendongkol bukan main. "Si angkuh ini belum ku tahu kehebatannya, tapi jika ternyata ia
tidak berguna dan cuma besar mulut dia akan tahu rasa nanti!" ancam benteng
kerajaan ini dalam hati.
Laki-laki setengah tua bertopi rumbia
kembali tertawa. Suara tawanya melengking me-
nyakitkan telinga. Sehingga empat puluh lima
orang prajurit jadi kaget dan tutupi telinganya.
"Aku datang dari seberang lautan, asalku
Sampuran Harimau. Asahan nama tempatku. Aku
Si Raja Tega, nah jelaskah bagimu keteranganku
ini Panglima?" dengus Raja Tega dingin.
Panglima Arung Garda tersentak kaget. To-
koh dari Andalas yang satu ini tentu dia pernah
mendengarnya. Ia manusia sesat yang selalu haus
darah dan yang paling tega di kolong langit. To-
koh ini konon sangat hebat dalam permainan pe-
dangnya "Raja Tega" Mengapa kau membunuh pra-
jurit-prajurit ku?" tegur Panglima Arung Garda merasa tidak senang.
"Ha ha ha!" Raja Tega tertawa dingin." Aku membunuh sesuka hatiku. Jika aku mau,
kau pun bisa kubunuh! Cuma aku tidak mau mela-
kukannya karena aku punya kepentingan dengan
raja Lalim Durjana. Aku ingin menjadi anggota
kalian asal saja rajamu itu bersedia membayar ku
dengan mahal...!" kata laki-laki berwajah sangat dingin itu sinis.
"Hmm, begitu! Untuk menjadi pasukan ter-
kuat tidak mudah, apalagi kau minta bayaran
tinggi. Aku secara terbuka tidak keberatan mene-
rimamu! Tapi aku harus mengujimu!" tegas Panglima Arung Garda, dalam hati ia
geram bukan main melihat keangkuhan si Raja Tega.
"Ha ha ha...! Dengan cara apa engkau ingin
menguji ku, Panglima" Apakah melalui permai-
nan senjata atau adu kesaktian?" Tantang Si Raja Tega. "Aku mau saja kau uji,
tapi serahkan dulu sekantung emas sebagai tanda jadi!"
"Permintaanmu kukabulkan!" sahut Pan-
glima Arung Garda semakin dongkol saja.
Ia mengeluarkan sekantung emas kemu-
dian dilemparkannya pada Si Raja Tega. Laki-laki
bertopi daun kirai ini menimang-nimang emas di
tangannya. Serta leletkan lidah, setelah emas disimpan di balik bajunya, Raja
Tega memandang lu-
rus ke depan. "Bersiap-siaplah Panglima, mata pedangku
tidak punya peradatan!" ujar laki-laki itu.
Sriiing! "Hiyaaa...!"
Panglima Arung Garda tidak sempat lagi
melihat bagaimana bentuk pedang lawannya. Ka-
rena senjata maut itu langsung berputar, mende-
ru dahsyat menimbulkan angin bergulung-
gulung! Hanya sekejap manusia yang paling tega
di dunia ini memutar-mutar senjata di depan
Panglima perang kerajaan Ujung Dunia. Ketika ia
mengeluarkan jurus andalan 'Deru Sampuran
Harimau', maka tubuh laki-laki itu tiba-tiba saja melesat ke depan. Pedang di
tangannya meluncur
dengan kecepatan dua kali kecepatan suara.
"Huup...!"
Secepat kilat Panglima Arung Garda me-
lompat ke udara hindari serangan. Namun sece-
pat apa pun ia bergerak, pedang di tangan Raja
Tega tahu-tahu terasa menyambar di atas kepala.
Wees! Ketika Panglima ini menapakkan kakinya
di atas tanah, maka ia telah kehilangan topinya,
sedang kuda tunggangannya terbabat putus men-
jadi enam bagian.
Panglima Arung Garda belalakkan ma-
tanya. Ia sendiri adalah ahli dalam memperguna-
kan pedang dan dikenal sangat cepat pula. Tapi
laki-laki yang berjuluk Raja Tega ini lebih hebat lagi. Merasa penasaran ia
cabut senjata. Wajah
laki-laki itu kelam membesi.
Ia berjingkrak-jingkrak, sehingga baju be-
sinya mengeluarkan suara bergemerincingan.
"Permainan pedangmu boleh juga, mari ki-
ta main-main sebentar!" dengus Panglima perang kerajaan Ujung Dunia
"Ha ha ha! Silakan, berapa jurus pun eng-
kau mau aku akan melayaninya!" tantang Si Raja Tega, manusia yang tidak pernah
mengenal peradatan sama sekali.
"Lihat pedang!" teriak Panglima memberi peringatan.
Belum hilang gema suaranya, tiba-tiba saja
Panglima sudah menerjang ke depan. Senjata di
tangannya bergulung-gulung berusaha menem-
bus sepuluh jalan darah di tubuh lawannya.
Tring! Tring! Tring!
Berulang kali terjadi benturan hebat, hing-
ga terlihatlah bunga api berpijar. Tubuh kedua
orang yang sedang bertarung ini berubah lenyap.
Yang terlihat hanya bayang-bayang ungu dan hi-
tam. Tampaknya Panglima Arung Garda sedang
berusaha mendesak musuhnya dengan cara
mempersempit ruang geraknya.
Dalam kenyataan yang sesungguhnya se-
lama beberapa jurus Raja Tega tampak terdesak.
Ia hanya mampu menangkis tanpa mampu mela-
kukan serangan balik. Raja Tega bergumam, lalu
melompat dari sinar pedang yang bergulung-
gulung. Selanjutnya disertai bentakan keras iamelompat ke udara.
"'Gemuruh Sampuran Harimau'! Hiya...!"
Raja Tega tiba-tiba saja melakukan gera-


Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan yang sungguh sulit dilakukan oleh tokoh silat lain umumnya. Tubuhnya
berputar di udara, sedangkan kepala menghadap bawah. Pedang di
tangannya menusuk, membabat secara menyi-
lang. Lalu.... Trak! Trak! Punggung dan kepala Panglima itu terhan-
tam senjata milik Raja Tega. Panglima Arung Gar-
da terhuyung-huyung. Jika saja ia tidak kebal
senjata, tentu kepalanya sudah terbelah. Diam-
diam ia terkejut. Raja Tega meskipun dalam per-
janjian hanya bersikap diuji, namun ternyata ia
hampir saja mencelakainya. Ternyata laki-laki
bertopi kirai ini punya kegilaan membunuh yang
menggebu-gebu. "Cukup...!" teriak Panglima tiba-tiba begitu melihat Raja Tega hendak melakukan
serangan kembali. Traak! Secepat kilat Raja Tega memasukkan sen-
jatanya ke dalam rangkanya kembali. Kini mata
Panglima Arung Garda berbinar.
"Aku percaya kehebatan jurus-jurus pe-
dangmu. Gilanya kau mau membunuhku! Nah
sekarang kau kuterima sebagai pendamping ku
untuk mengurus masalah-masalah besar!" kata
Panglima. "Engkau kebal senjata, Panglima. Aku suka
hal itu. Karena kerajaan telah membayar ku. Ma-
ka sekarang tentu aku harus melaksanakan ke-
wajibanku. Nah tugas apa yang harus kukerja-
kan?" Panglima Arung Garda putar-putar kumisnya yang membelintang. Keningnya
berkerut da- lam "Sekarang ini aku sedang mencari lima
rombongan asing yang datang memasuki wilayah
kerajaan Ujung Dunia. Apakah kau melihatnya?"
tanya Sang Panglima.
"Aku memang sempat melihat mereka. Ke-
marin mereka lewat di sini dalam rombongan cu-
kup besar juga! Jumlah mereka hampir dua ratus
orang dan aku sempat mencuri dengar pembica-
raan mereka. Nah kalau panglima menginginkan-
nya tentu aku dapat menyusul mereka."
"Apa yang mereka bicarakan?" Selidik
Arung Garda. "Katanya mereka hendak mencari Pendekar
Lugu dan menemui Anak Langit. Mereka juga ada
menyebut-nyebut tentang Surat 'Kedamaian Du-
nia'." jawab Si Raja Tega.
Panglima terdiam, ia tidak tahu surat apa
yang dimaksud. "Pernahkah kau tahu mereka mencari su-
rat apa?" "Kalau tidak salah surat yang tersimpan
dalam kitab tipis Kedamaian Dunia."
"Jadi Pendekar Lugu yang menyimpan su-
rat itu?" "Kurang tahu pasti. Saya hanya melihat be-
tapa pentingnya surat tersebut mengingat begitu
seriusnya mereka bicara!"
Panglima Arung membuang pandangan
matanya jauh-jauh ke depan. Jumlah anggota
utusan itu tergolong besar. Bukan mustahil me-
reka juga punya maksud menyerbu ke istana.
Tindakan ini tidak boleh terjadi, bagaimana pun
sebagai Panglima perang ia harus melindungi apa
yang menjadi tanggung jawabnya.
"Sebaiknya kita susul mereka saja!" tegas Panglima tersebut.
Seorang prajurit mengantar dua ekor kuda,
satu untuk Panglima mereka sedangkan yang sa-
tunya lagi untuk Arung Garda. Orang yang baru
tergabung dalam pasukan itu.
Maka tidak lama kemudian berangkatlah
rombongan pasukan berkuda itu menyusul Lima
Utusan Akherat.
Sementara Lima Utusan Akherat saat itu
telah sampai di sebuah kota kecil Kemusuk. Ang-
gota yang terdiri dari berbagai daerah ini sedang melepas lelah. Sebagian
diantara mereka ada
yang cari keterangan. Namun orang-orang ini se-
lain pimpinannya tidak mengetahui bahasa se-
tempat. Sehingga tidak jarang diantara penduduk
dengan para Utusan ini terjadi perdebatan sengit.
"Orang-orang biasa tidak mungkin tahu di
mana Pendekar lugu. Sebaiknya untuk mencari
seorang Pendekar, kita harus menghubungi
orang-orang persilatan golongan lurus!" berkata pimpinan utusan dari Kapuas
Hulu. "Kita sendiri pendatang disini. Kita tidak
tahu yang mana golongan lurus dan golongan se-
sat." Sela Bias Pati wakil utusan dari Indera Giri.
"Segalanya memang terasa sulit, kita tidak
dapat membedakan mana kawan dan mana la-
wan!" ujar Dunga, tokoh dari Madura.
Sedang mereka terlibat pembicaraan seper-
ti itu, tiba-tiba saja mereka mendengar derap sua-ra langkah kuda dalam jumlah
cukup besar. Se-
makin lama suara langkah kuda semakin ber-
tambah jelas, hingga akhirnya terlihat sepasukan
prajurit kerajaan yang dipimpin oleh seorang
Panglima dan laki-laki berpakaian biasa.
LIMA Rombongan berkuda itu berhenti tepat di
depan anggota Lima Utusan Akherat sebagai pen-
datang, tentu mereka bersikap ramah. Bahkan
kepala utusan Teluk Nibung, Datuk Pala menyapa
mereka dengan sikap penuh rasa hormat dan per-
saudaraan. "Merupakan satu kehormatan, karena kami
bertemu dengan pasukan kerajaan pelindung ke-
tenteraman rakyat."
Panglima Arung Garda merengut, ia meng-
gebrakkan kudanya ke depan.
"Kalian siapa dan ada keperluan apa men-
ginjak tanah leluhur kami?" sentaknya dengan tatapan penuh rasa curiga.
"Kami Lima Utusan Akherat datang ke dae-
rah tuan bukan untuk mencari permusuhan, ka-
mi semata-mata ingin mencari persaudaraan se-
banyak-banyaknya." kata Dunga dengan logat
bahasa daerahnya yang kental. "Terus-terang agar Panglima tidak curiga, kami
sebenarnya ingin
mencari Pendekar Lugu dan Anak Langit. Kami
melihat tanda-tanda untuk mencapai kedamaian
manusia di dunia. Dan tanda-tanda itu ada di
daerah tuan Panglima...!"
"Ha ha ha...! Kalian kira Pendekar Lugu
dan Anak Langit itu siapa" Mereka adalah orang-
orang buruan kerajaan sejak mereka memporak-
porandakan harta kekayaan hartawan Abdi Ban-
da. Jika kalian mengaku sebagai orang yang ingin
minta kejelasan tentang isi kitab Kedamaian Du-
nia. Maka ketahuilah bahwa kalian sesungguhnya
berpihak pada musuh kerajaan. Secara tidak
langsung kalian adalah musuh kami...!" Panglima Arung Ganda mendengus sinis.
"Kami tidak cari permusuhan jauh-jauh
meninggalkan daerah kami. Kami juga merasa ti-
dak yakin orang yang ingin kami temui pembawa
angkara murka!" potong Dunga tiba-tiba.
Mata panglima Arung Garda yang dingin
semakin bertambah dingin, sebaliknya Raja Tega
lebih dingin lagi.
"Sebaiknya kalian menyerahlah pada kami
untuk diadili. Jika kalian membangkang sungguh
kalian benar-benar menempuh jalan yang paling
sulit! Kalian tidak bisa lari, kapal kalian sudah kami bakar!"
"Ya, Allah, betapa kejamnya manusia ini!"
desis Manggar Kesuma.
"Ya Tuhan, sungguh tidak kami sangka!"
Utusan dari Kapuas Hulu dan Teluk Nibu meng-
gumam serentak.
"Semprul! Tingkah laku mereka seperti Se-
rigala gila. Kapal-kapal kami mereka bakar...!" se-ru Malai Berung pula.
"Pengawal! Ringkus mereka hidup atau ma-
ti...!" teriak Panglima Arung Garda disertai tawa tergelak-gelak.
Para pengawal yang selalu haus darah ini
mana mau membuang kesempatan lebih lama.
Mereka dengan masih tetap menunggang kuda
langsung menerjang anggota Lima Utusan Akhe-
rat dengan pedang terhunus.
Menghadapi serangan yang tidak pernah
mereka perkirakan ini, tentu saja Lima Utusan
Akherat tidak tinggal diam. Mereka pun cabut
senjata masing-masing untuk membela diri.
"Bagus! Ternyata kalian bersenjata! Dengan
begitu jelas bagi kami bahwa kalian adalah orang-
orang yang bermaksud merongrong kewibawaan
kerajaan kami!"
"Tuan Panglima, sungguh tuduhanmu itu
merupakan sebuah fitnah yang paling keji!" bantah Engku Bonang.
Percuma saja mereka membantah, suara
mereka hilang sia-sia. Yang terdengar adalah jerit kematian di sana-sini, serta
denting beradunya
senjata tajam dari Lima Utusan Akherat dan pa-
sukan pihak kerajaan.
Di kedua belah pihak memang sudah mulai
jatuh korban. Tampaknya prajurit-prajurit kera-
jaan itu punya kemampuan hebat dalam mem-
pergunakan senjata. Sebaliknya demikian juga
halnya dengan anggota Lima Utusan Akherat. Ka-
rena begitu besarnya anggota Lima Utusan Akhe-
rat ini, maka dalam waktu singkat empat puluh
lima prajurit bergelimpangan.
Melihat kenyataan ini, mendidihlah amarah
Panglima Arung Garda. Ia segera memberi isyarat
pada si Raja Tega. Laki-laki bertopi daun kirai itu langsung meloloskan senjata
maut berupa topi
bergerigi. Kehebatan senjata maut itu tidak perlu diragukan lagi, terlebih-lebih
panglima memang
sudah pernah menyaksikannya.
Siing! Melesatlah senjata berwarna putih itu. Se-
kejap saja terdengar suara jerit dimana-mana. Se-
tiap topi maut itu disentakkan, maka kepala ang-
gota utusan menggelinding. Suara mendesing-
desing terus terdengar sebagai isyarat maut
Anggota Lima Utusan Akherat menjadi je-
rih, sebaliknya Dunga yang paling tidak sabar ini
segera memberi isyarat pada anggotanya untuk
menyingkir. Di sebuah tempat yang agak jauh
mereka mulai memasang pelontar peledak untuk
menghentikan keganasan Si Raja Tega.
"Sobat-sobatku, menepilah! Kita datang
jauh-jauh ke sini bukan untuk membuang nyawa
percuma. Sebaliknya jika ada musuh menyerang
mengapa kita harus menolak"!" dengus Dunga
sengit. Engku Bonang, Bias Pati, Datuk Pala Seri-
bu, Manggar Kesuma, Dendra, Malai Berung, Pati
Ubudana dan Kalingga Jati segera menyingkir.
Sementara anak buah mereka lari tunggang lang-
gang menyelamatkan diri.
Raja Tega yang tidak tahu kehebatan sen-
jata peledak itu tertawa mengekeh sambil jilati
darah yang menempel di topi mautnya. Dalam
pada itulah berapa buah benda bulat melesat ke
arah mereka dan langsung meledak sekelilingnya.
Buum! Dar! Dor! Dar! Ledakan-ledakan yang terjadi menggun-
cangkan bumi. Panglima Arung Garda terlempar
dari kudanya. Sedangkan kuda tersebut hancur
berkeping-keping. Untung tubuh Panglima ini
kebal, sehingga badannya tidak hancur cerai be-
rai. Raja Tega yang dibuat kalang kabut. Tu-
buhnya tidak kebal bahan peledak. Sehingga ia
sibuk menghindar kian kemari. Sampai kemudian
ia berlari menjauh sambil menahan geram.
"Panglima, kemari!" teriak Raja Tega sambil leletkan lidah.
Panglima Arung Garda sambil memaki-
maki segera menghampiri Raja Tega. Nafasnya
mpis-mpisan, wajahnya sedikit pucat berselimut
debu. "Bangsat! Mereka punya senjata aneh yang belum pernah kulihat seumur
hidupku! Kita harus melapor pada raja tentang bahaya ini!" tegas Arung Garda.
"Hmm, begitu. Aku kurang setuju. Kau su-
dah membayar ku, sebagai orang bayaran tentu
aku punya seribu cara untuk menghancurkan
senjata peledak itu...!" geram Raja Tega.
"Tidak usah ngotot, kita harus membicara-
kan hal ini pada raja. Jika nanti kata sepakat sudah didapat, kita bisa
mengerahkan seluruh pra-
jurit yang ada untuk membinasakan mereka!" ka-ta Panglima perang kerajaan Ujung
Dunia. Setelah berfikir sejenak, ternyata keputu-
san Panglima dapat diterima oleh Raja Tega.
Maka kemudian dengan mempergunakan
kuda yang masih selamat, berangkatlah kedua
orang itu menuju kota kerajaan. Begitu terge-
sanya mereka, hingga kuda itu dipacu laju ku-
rang laju. Lari kuda pun seperti seekor anjing
yang terbirit-birit.
***

Pendekar Bloon 11 Lima Utusan Akherat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah Panglima Arung Garda dan Raja
Tega pergi. Maka rapat kilatpun dilakukan oleh
para pimpinan Lima Utusan Akherat! Mereka ru-
panya menjadi cemas setelah bentrok dengan
panglima tadi. "Urusan kita bisa jadi menyimpang karena
peristiwa berdarah tadi. Panglima itu pasti kem-
bali ke kerajaan! Bala tentara segera datang ke-
mari. Dan kita telah melakukan kesalahan besar!"
ujar Bias Pati.
"Kesalahan apa"!" sergah Dunga. "Kita wajib membela diri. Kejadian-kejadian ini
sudah ku- duga, untuk itu sebelum berangkat aku telah
mempersiapkan segala sesuatunya."
"Kau membawa-bawa peralatan perang
termaju, hal itu hanya menimbulkan dugaan-
dugaan yang tidak baik bagi daerah yang kita da-
tangi!" kata Dendra agak tegang.
"Menurutku berangkat ke suatu tempat
tanpa perbekalan yang cukup, kita bisa mati sia-
sia. Orang mana mau perduli dengan tujuan baik
kita. Coba kalau aku tadi tidak mempergunakan
bahan peledak. Apakah kalian pikir senjata maut
milik pembunuh berdarah dingin tadi tidak
menghabiskan anggota kita. Kalian lihat betapa
kejamnya orang itu!" sahut Dunga membela diri.
"Hmm... kata kawan kita memang benar.
Kita tidak perlu tarik urat leher sambil plotot-
plototan. Sesama sendiri harus banyak sabar, ka-
lau nasib buruk menimpa kita, namanya suratan
nasib," kata Pati Ubudana.
"Sekarang kita kembali ke tujuan semula!"
Bias Pati menengahi. "Kita lanjutkan saja perjalanan. Isi surat Kedamaian Dunia
harus kita keta-
hui, Pendekar Lugu harus ditemukan, sementara
kita juga berharap dapat bertemu dengan Anak
Langit!" Tiada bantahan lagi, kata sepakat dengan
tujuan semula tampaknya sudah mereka temu-
kan. Maka para pimpinan utusan ini bangkit ber-
diri. Selagi mereka belum menentukan arah mana
yang akan mereka tempuh. Tiba-tiba terdengar
seruan terkejut tidak jauh di depannya.
"Ya Gusti Allah, apa yang terjadi disini!
Mayat-mayat ini sungguh menyedihkan! Huk huk
huk. Ada yang tubuhnya hancur, ada pula yang
kepalanya tanggal."
Para Utusan ini serentak memandang ke
arah datangnya suara. Saat itu anggota mereka
hanya tinggal sekitar dua ratus orang saja.
Ternyata lebih kurang sepuluh batang
tombak dari mereka telah berdiri seorang pemuda
bertampang aneh seperti kodok, memakai cawat,
perut bundar tubuh pendek. Di sampingnya seo-
rang gadis memakai baju hitam ketat berwajah
cantik mendampingi. Perbedaan antara gadis
dengan pemuda membawa keranjang di pung-
gungnya itu memang seperti langit dengan bumi.
Yang satu jelita berkulit putih, sedangkan sa-
tunya jelek pendek berkulit hitam. Mereka berdua
tidak lain adalah Raja Kodok dan Puspita Sari.
Raja Kodok melompati mayat-mayat itu,
sedangkan Puspita mengikuti tidak jauh di bela-
kangnya. "Kalian ini siapa Kisanak-Kisanak?" tanya Raja Kodok terheran-heran.
Pimpinan para utusan ini menjura hormat
pada pemuda pendek jelek berkulit hitam. Lalu
salah seorang diantaranya mewakili....
"Kami 'Lima Utusan Akherat!"
"Lima Utusan Akherat!"
"Ya...!"
"Kalian orang asing?" tanya Raja Kodok, matanya yang bulat berputar-putar
seperti mata boneka. "Ya...!" sahut Dunga.
"Lalu mayat-mayat itu" Kulihat ada juga
mayat prajurit kerajaan. Apa sebenarnya yang te-
lah terjadi disini?" tanya Puspita pula.
Kemudian Dunga menceritakan duduk
persoalan yang sebenarnya, juga tentang tujuan
mereka datang ke tanah Jawa.
Puspita kaget sekali mendengar penuturan
Dunga. Ia tidak menyangka masalah Surat Keda-
maian Dunia yang tersimpan dalam kitab kecil itu
di ketahui oleh orang lain.
"Sungguh sulit kupercaya!" desis Puspita.
"Kami diutus oleh para pemuka agama, tu-
gas kami bukan untuk mengambil kitab itu dari
tangan yang berhak, kami hanya ingin mengeta-
hui isinya saja!"
"Mungkin anda dapat membantu kami me-
nemukan Pendekar Lugu agar kami dapat mena-
nyakan duduk pangkal yang sebenarnya!" pinta
Dendra penuh harap.
"Orang-orang ini baru pertama bertemu den-ganku. Mungkinkah aku memberitahukan
pada mereka bahwa aku kenal dengan Pendekar Lugu?"
memikir Puspita. "Tapi kelihatannya mereka orang baik-baik."
"Bagaimana, apakah anda bersedia mem-
bantu?" Dendra mengulangi pertanyaannya.
"Baiklah, aku sekarang tidak meragukan
kejujuran kalian. Aku memang mengenal Pende-
kar Lugu, bahkan Raja Kodok juga mencarinya.
Dan saat ini aku tidak tahu dia berada dimana,
kupikir ia dan Pendekar Blo'on sedang menuju ke
kerajaan Ujung Dunia. Akan ada keramaian di
sana. Itu pun kalau mereka selamat di tangan
Datuk Alam Salindra."
"Apa maksudmu?"
"Panjang ceritanya, yang perlu kalian tahu.
Ketika ku tinggalkan Pendekar Lugu menemui ke-
sulitan besar. Tapi kawanku Suro Blondo datang
membantu, mudah-mudahan saja mereka sela-
mat!" jelas Puspita.
"Untuk keperluan apa mereka datang ke
Kerajaan Ujung Dunia" Bukankah di sana tempat
kediaman raja yang Zalim?" bertanya Manggar
Kesuma dengan perasaan tidak mengerti.
"Akan terjadi peristiwa besar disana, dima-
na kitab berisi surat Kedamaian Dunia di buka,
Anak Langit hadir begitu juga Sang Maha Sesat
yang tidak suka adanya kitab itu."
Pimpinan para utusan itu saling pandang
sesamanya. "Urusan semakin kacau! Kerajaan telah
mencap kita sebagai pendatang yang telah mela-
kukan kejahatan. Lalu apa pendapat kalian?"
tanya Dunga ditujukan pada ketua Empat Utusan
lainnya. "Langkah jauh sudah kita tempuh. Anak
Langit memilih tempat itu tentu juga karena ia ingin melihat berjalannya hukum
bagi sang raja dan hartawan yang disebut-sebut oleh Panglima
tadi!" "Apakah nona dapat mengantar kami?"
"Hi hi hi! Kebetulan kami sendiri memang
tengah menuju ke sana. Jika kalian mau sebaik-
nya kita berangkat bersama-sama!"
Lima Utusan Akherat langsung setuju. Se-
mentara Raja Kodok berbisik pada Puspita.
"Aku tidak suka melihat manusia macam
dodol itu. Badannya gemuk seperti badanku!"
Orang yang dimaksudkan Raja Kodok tidak
lain adalah Kalingga, utusan dari Ujung Kulon.
"Hussst, jangan menghina orang lain. Se-
panjang dia tidak punya maksud jahat, bukankah
dia makhluk Tuhan juga." sahut Puspita sambil berbisik pula.
"Aku sendiri sudah benci pada badan sen-
diri. Ditambah kehadirannya jadi kebencian ku
berlipat-lipat. Aku jadi tidak enak, nih. Kalau
orang macam dodol itu nanti berguru pada Pen-
dekar Lugu, aku pasti tidak tinggal diam. Aku ti-
dak suka ada orang lain meniru-niru badanku,
seperti hartawan keparat itu misalnya...!"
"Sudahlah, jangan membesar-besarkan
masalah kecil. Sekarang sebaiknya kita ikuti me-
reka, bukankah semakin banyak kawan, kita ti-
dak terlalu repot menghadapi tentara kerajaan
berikut para pembesarnya?"
Raja Kodok katupkan bibirnya yang agak
dower rapat-rapat, ia menganggukkan kepala
"Saudara semua." kata Puspita lantang.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang. Ingat, jika tujuan kalian ingin bertemu
dengan Pendekar Lu-gu maka apa pun yang menghadang di depan ki-
ta, kita harus bahu membahu mengatasinya"
"Beres!" sahut para Lima Utusan Akherat.
Tidak lama kemudian berangkatlah para
utusan ini dipimpin oleh Puspita dan Raja Kodok.
ENAM Kereta kuda bermuatan penuh tampak ber-
lari kencang. Di depan kereta duduk seorang laki-
laki tua baju putih berambut serba putih. Wajah-
nya sedih dan berselimut debu-debu jalanan.
"Harta tidak berguna!" Si kakek menggeru-tu. "Lebih baik nanti ku taburkan di
kerajaan. Masa' orang yang sedang perang tidak tergiur,
mustahil sekali. Menghadapi pasukan besar ha-
rus pakai akal pakai cara, agar tidak rugi. Hi hi hi... aku sedih. Malaikat
Penderitaan sedih, se-
mua sedih terkecuali setan-setan gentayangan ti-
dak pernah sedih!" kata si kakek sambil menggebah kuda penghela kereta.
Orang yang duduk di atas kereta kuda ini
tidak lain adalah Malaikat Penderitaan menarik
nafas dalam-dalam. Semula laki-laki ini memang
bermaksud langsung menuju ke kota Ujung Du-
nia, ia tinggalkan Suro dan Puspita yang saat itu berada di dalam gudang harta.
Namun di tengah
perjalanan terlintas satu akal dibenaknya. Jika
harta itu dipergunakan untuk memancing perha-
tian seandainya terjadi pertempuran nanti. Tentu
para prajurit yang rakus itu akan terpecah perha-
tiannya. Maka tanpa menunggu lagi Malaikat Pen-
deritaan langsung berbalik. Ia mengambil sebuah
kereta kuda kemudian membawanya ke hutan la-
rangan. Sayang ketika ia sampai disana, ia tidak
melihat Pendekar Konyol dan kawannya. Seba-
nyak-banyaknya harta benda tadi dibawanya, wa-
laupun tetap tidak terangkut keseluruhannya.
Tidak lama kemudian berangkatlah Malai-
kat Penderitaan meninggalkan hutan Larangan.
Kurang lebih setengah hari melakukan per-
jalanan, di sebuah tempat yang cukup sepi Malai-
kat Penderitaan terpaksa hentikan kereta ku-
danya. Keningnya berkerut, ia melihat seorang
wanita muda berpakaian minim sekali tergeletak
di tengah jalan dalam keadaan sekarat.
Yang membuat Malaikat Penderitaan curiga
dari kejauhan tadi ia tidak melihat siapa-siapa di
situ. Padahal jalan lurus, apapun yang berada di
depannya pasti terlihat dengan jelas.
Istana Kumala Putih 16 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Tangan Geledek 13
^