Pencarian

Muslihat Sang Durjana 2

Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana Bagian 2


ku. Tapi..., kalau
ada orang menempelkan batu mustika 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air' ke tengkuk ku, pusar ku
akan langsung copot! Oleh karena itu, aku harus memusnahkan batu mustika itu"
"Begitukah?"
"Ya! Sekarang, berikan batu mustika yang kuminta itu!"
Pendekar Bodoh menggaruk-garuk pantatnya
yang terasa gatal. Lalu, dia nyengir kuda beberapa lama. Ditatapnya wajah Setan
Bodong lekat-lekat. Mendadak, hati pemuda remaja itu jadi ragu. Apakah Setan
Bodong tak akan menipunya"
"He he he.... Aku bisa membaca jalan pikiranmu, Bocah Bagus...," ujar Setan
Bodong sambil tertawa
terkekeh-kekeh. "Jangan khawatir! Aku tak akan menipumu. Serahkan saja batu
mustika yang kuinginkan, baru nanti kau kubantu mengembalikan tenaga
dalam...."
"Benar kau tak akan menipuku?" tanya Seno
untuk menegaskan.
Setan Bodong tertawa lagi.
Pendekar Bodoh menatap lekat wajah kakek
berkepala gundul licin itu. Karena mudah percaya pada orang lain walau orang itu
baru dikenalnya, Pendekar Bodoh mengangguk saat melihat Setan Bodong
menadahkan telapak tangan kanan ke arahnya. Tanpa
curiga sama sekali, dia keluarkan batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang tersimpan
di balik kain bajunya. Dengan raut wajah yang terlihat
amat lugu, Seno menyerahkan batu mustika berbentuk limas segi tiga berwarna biru
itu kepada Setan Bodong!
Dan..., begitu menerima batu mustika yang sebenarnya milik Raja Penyasar Sukma
itu, Setan Bodong langsung tertawa bergelak-gelak. Kedua bola matanya berbinar-
binar penuh rasa gembira. Karena tawanya sangat panjang, perutnya yang gendut
tampak bergoyang-goyang beberapa lama. Gumpalan pusarnya
pun bergerak mengibas-ngibas tiada henti.
"Pak Tua! Kau jangan tertawa terus!" tegur
Pendekar Bodoh. "Apa yang kau minta sudah kuberikan. Sekarang, kau harus
menepati..."
Kalimat Pendekar Bodoh terpotong oleh suara
gelak tawa Setan Bodong yang tiba-tiba terdengar lebih
keras. "Ha ha ha...! Akulah orang yang paling beruntung di dunia ini! Akulah orang yang
paling berbahagia
di dunia ini! Ha ha ha...!"
"Pak Tua!" tegur Pendekar Bodoh lagi, tapi Setan Bodong tak mempedulikannya.
"Ha ha ha...! Batu ini kuhancurkan saja! Ya!
Batu ini kuhancurkan saja! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak-gelak, Setan Bodong
meletakkan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas
Dalam Air' ke permukaan bongkah batu yang kebetulan berada di dekatnya.
Sementara, Seno cuma menatap apa yang dilakukan kakek itu tanpa berbuat apaapa.
Beberapa kali dia menggaruk pantatnya yang terasa amat gatal sambil cengar-
cengir seperti orang tak
waras. Sesaat kemudian, mulut Setan Bodong mengeluarkan suara mendengung seperti suara
sekelompok lebah sedang terbang. Seno tetap cengar-cengir saja
saat melihat seluruh kulit tubuh Setan Bodong berubah warna menjadi merah
seperti warna buah tomat
matang. Dan, gumpalan pusar Setan Bodong yang juga
telah berubah warna tiba-tiba berdiri tegak, sehingga
bagian ujungnya menyentuh dada si kakek. Lalu....
Sambil berjongkok, Setan Bodong mengangkat
telapak tangan kanannya tinggi-tinggi di atas kepala.
Di lain kejap, pergelangan tangan kanan si kakek diselubungi lidah-lidah api
merah yang panas menyalanyala!
Wuttt...! Blarrr...! Timbul ledakan keras menggelegar saat Setan
Bodong menghantamkan telapak tangan kanannya ke
batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air'.
Batu mustika itu langsung hancur luluh menjadi serbuk halus yang tak mungkin
dapat disatukan lagi.
Bongkah batu yang dijadikan tumpuan turut hancur
luluh. Pecahannya yang berupa serbuk lebih halus
langsung menebar ke berbagai penjuru.
"Ha ha ha...! Kini, tak akan ada manusia yang
dapat mencopot pusar ku! Ha ha ha...!"
Ketika tertawa, perlahan kulit tubuh Setan Bodong berubah warna menjadi warna
aslinya. Lidahlidah api yang menyelubungi pergelangan tangan si
kakek juga lenyap perlahan. Gumpalan pusarnya pun
tak lagi berdiri tegak. Gumpalan Paging sebesar buah
terong tua itu menggantung kembali, tapi tetap terus
bergerak-gerak tiada henti.
"Lekaslah, Pak Tua...," desak Pendekar Bodoh
yang melihat Setan Bodong masih saja tertawa pan-
jang. "Ha ha ha...! Ya! Kini, aku akan menepati janji
ku!" sahut Setan Bodong di antara derai tawanya. "Duduklah bersila!"
"Untuk apa?" tanya Pendekar Bodoh, amat lugu.
"Kau mau mendapatkan kembali tenaga dalammu atau tidak"!" bentak Setan Bodong.
"Eh! Ya! Ya!"
Walau belum tahu apa maksud perintah Setan
Bodong, Send duduk bersila juga. Sementara, Setan
Bodong langsung melangkah di belakang pemuda lugu
itu. "Tarik napas dalam-dalam!"
"Ya!"
Saat Pendekar Bodoh menarik napas dalam,
Setan Bodong berjongkok. Tiba-tiba..., kedua pergelangan tangan kakek gendut itu
diselubungi sinar merah
yang amat menyilaukan! Lalu....
Buk! Buk! Buk! "Hk! Uh! Hoekkk...!"
Tiga kali Setan Bodong menghantam punggung
Pendekar Bodoh!
Pada hantaman ketiga, tubuh Pendekar Bodoh
yang tengah duduk bersila tampak melesat ke depan
sejauh dua tombak. Wajah murid Dewa Dungu itu
langsung memucat dengan bola mata melotot besar.
Gumpalan darah berwarna hitam pekat menyembur dari mulutnya!
*** Dengan keringat membanjir, Setan Selaksa Wajah merayap bangkit dari atas tubuh
Bidadari Alam Ke-
lam. Kakek berwajah pemuda itu langsung membetulkan letak bajunya yang
kedodoran. Sementara, Bidadari Alam Kelam masih terbaring di lantai. Kelopak
matanya tertutup rapat.
Namun, dilihat dari raut wajah dan senyum
yang mengembang di bibirnya, jelas sekali bila wanita
bertubuh sintal montok itu merasa amat puas dan senang.
"Bangunlah! Kita harus bicara lagi, Manisku...,"
pinta Setan Selaksa Wajah, berjongkok di sisi kiri Bidadari Alam Kelam.
Namun, Bidadari Alam Kelam tetap diam tak
bergeming. Kelopak matanya pun tetap tak terbuka.
Setan Selaksa Wajah berjongkok seraya mencium kening wanita cantik itu.
"Bangunlah, Sayang...,"
bisiknya. "Kau tahu kalau aku dalam kesulitan, bukan?"
Mendengar bisikan itu, Bidadari Alam Kelam
menekuk lutut kanannya ke atas. Dan mendadak...,
dia merengkuh bahu Setan Selaksa Wajah seraya menjatuhkan kepala kakek itu di
atas dadanya. "Hmmm..."
"Ahhh...."
Merasakan sentuhan lembut kenyal pada kulit
wajahnya, Setan Selaksa Wajah lupa sejenak pada persoalan yang tengah
dihadapinya. Aroma harum yang
menebar dari tubuh Bidadari Alam Kelam membuat
aliran darahnya kembali berdesir aneh.
Mengikuti gejolak hasratnya yang tiba-tiba
menggebu lagi, Setan Selaksa Wajah kembali menelusuri tubuh wanita cantik itu.
"Semakin tua..., kau semakin perkasa saja,
Mahisa Lodra...," desis Bidadari Alam Kelam di antara
dengus nafasnya yang memburu.
Setan Selaksa Wajah tak menyahuti. Bibirnya
sibuk mengulum dan mencium. Hingga, napas kedua
anak manusia berlainan jenis itu semakin terdengar
memburu. Namun mendadak, tatkala Bidadari Alam Kelam sampai pada puncak gejolak
hasratnya, Setan Selaksa Wajah melepas pelukan. Lalu, kakek bertubuh
kekar itu merayap bangkit lagi.
"Kenapa?" tanya Bidadari Alam Kelam, tak
mengerti. "Aku bisa memenuhi keinginanmu kapan saja
kau mau, tapi...."
Kalimat Setan Selaksa Wajah terpotong. Bidadari Alam Kelam menarik tangan kanan
si kakek dan meletakkannya di atas dadanya.
"Ah! Dengar kata-kataku, Sayang...," bisik Setan Selaksa Wajah, menarik tangan
kanannya dengan
lembut. "Aku sedang mengemban tugas yang maha berat. Tak seharusnya aku
bersenang-senang seperti
ini...." "Aku akan membantumu..., asal kau tunjukkan
dulu keperkasaan mu sekali lagi...," desak Bidadari
Alam Kelam, mendesis membuka bibir.
Namun, Setan Selaksa Wajah cuma mencium
keningnya. "Kau buatkan aku 'Benteng Rajah Abadi',
Sayang.... Setelah aku menyelesaikan tugas, sampai
seratus kali pun aku mau menuruti apa maumu...."
"Tidak! Aku ingin saat ini juga!"
Tiba-tiba, Bidadari Alam Kelam membentak seraya bangkit duduk. Direngkuhnya bahu
Setan Selaksa Wajah. Dia berusaha menjatuhkan tubuh kakek itu
ke dalam pelukannya. Tapi, tubuh Setan Selaksa Wajah diam tak bergeming, kaku
seperti patung batu.
"Sudah kukatakan, jika aku telah menyelesai-
kan tugas, sampai seratus kali pun aku mau menuruti
kemauanmu. Akan kubuat kau merintih tiada henti....
Akan kubawa jiwamu terbang melayang ke angkasa
luas tak bertepi.... Tapi, itu nanti, setelah aku menyelesaikan tugas...!?"
Bidadari Alam Kelam terdiam. Dia lepaskan cekalan tangannya pada bahu Setan
Selaksa Wajah. "Benarkah itu?" tanya Bidadari Alam Kelam,
sedikit ragu. "Kapan aku pernah berbohong kepadamu" Setelah Pendekar Bodoh dan Setan Bodong ku
binasakan, aku akan tinggal di Lembah Dewa-Dewi ini selama kau inginkan...."
Mendengar kalimat Setan Selaksa Wajah yang
penuh kesungguhan itu, Bidadari Alam Kelam terdiam
lagi. Ditatapnya lekat-lekat wajah si kakek.
"Kau bisa memegang kata-kataku...," janji Setan Selaksa Wajah.
"Hmmm.... Baiklah. Tapi, andai kau berbohong,
kau akan tahu sendiri akibatnya!" sambut Bidadari
Alam Kelam seraya mengancam.
Bersorak girang Setan Selaksa Wajah dalam hati saat melihat Bidadari Alam Kelam
membetulkan letak bajunya.
Setelah pakaian Bidadari Alam Kelam terlihat
rapi kembali, wanita cantik itu berdiri mematung. Usai
berpikir-pikir, Bidadari Alam Kelam berjalan menuju
ke ruang pemujaan.
Tanpa berkata apa-apa, Setan Selaksa Wajah
mengekor langkah wanita bertubuh sintal montok itu.
Setan Selaksa Wajah berjalan dengan mulut terkunci
rapat bagai kerbau dicocok hidungnya.
Sesampai di ruang pemujaan, Bidadari Alam
Kelam mengambil bendera-bendera kecil dari dalam
peti besi yang terletak di sudut ruangan. Lebar bendera yang terbuat dari kain
kuning itu tak lebih besar dari telapak tangan. Bidadari Alam Kelam
menghitungnya sampai jumlah tiga puluh.
Tanpa berkata apa-apa pula, Bidadari Alam Kelam menata ketiga puluh bendera kain
yang melekat di
sebatang lidi bambu itu ke atas altar. Setan Selaksa
Wajah menatap sambil tersenyum senang saat melihat
Bidadari Alam Kelam membuat tulisan rajah di permukaan kain bendera.
Sesaat kemudian, setelah kain-kain bendera selesai ditulisi rajah semua,
Bidadari Alam Kelam mundur dua langkah. Ditatapnya patung Dewa Langit beberapa
lama, lalu dia berkata....
"Wahai kau Dewa Langit..., penguasa alam kegelapan, bantu aku membuat 'Benteng
Rajah Abadi'. Aku percaya..., dengan kekuatan hitam yang kau miliki, 'Benteng Rajah Abadi'
yang kubuat akan mempunyai kekuatan dahsyat..., yang amat sulit ditembus!
Ya! Aku percaya!"
Di ujung kalimat Bidadari Alam Kelam, mendadak Dewa Langit yang hanya berupa
patung batu berwujud manusia berkepala kerbau tampak bergetar tubuhnya!
Bidadari Alam Kelam melangkah dua tindak ke
depan seraya meraup tiga puluh bendera kuning yang
terletak di atas altar. Lalu, wanita cantik bertubuh sintal montok itu melangkah
menghampiri Dewa Langit.
Tiga puluh bendera yang tercekal di kedua tangannya,
dia dekatkan ke hadapan patung batu pualam itu.
Lama sekali Bidadari Alam Kelam merapal mantera-mantera. Setan Selaksa Wajah
yang berdiri di dekat pintu menjadi tak sabaran. Berkali-kali kakek berwajah
pemuda itu mendesah dan mengepal tinju.
Tapi..., bibir Setan Selaksa Wajah langsung tersenyum senang manakala melihat
patung Dewa Langit
bergetar lagi. Lalu....
Cusss...! Srattt...! Dari kedua mata Dewa Langit melesat seberkas
cahaya merah terang. Menerpa tiga puluh bendera
yang tercekal erat di kedua tangan Bidadari Alam Kelam. Aneh! Tulisan rajah pada
kain bendera yang semula berwarna hitam, karena memang ditulis dengan
tinta hitam, tiba-tiba berubah menjadi merah darah!
"Terima kasih! Terima kasih, wahai kau Dewa
Langit...," ujar Bidadari Alam Kelam sambil membungkuk hormat. "Kau telah
menyalurkan kekuatan hitammu ke 'Benteng Rajah Abadi' yang kubuat. Aku
percaya! Aku percaya bila tiga puluh bendera ini akan
membuat kekuatan dahsyat yang amat sulit ditembus!"
"Sudah selesai, Manisku Bidadari Alam Kelam?"
tanya Setan Selaksa Wajah, melangkah menghampiri.
Bidadari Alam Kelam tak menjawab. Dia melangkah keluar, kembali ke ruang remang-
remang yang terletak di sisi kanan ruang pemujaan. Setan Selaksa


Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah mengekor lagi.
Sesaat kemudian, kedua bola mata Setan Selaksa Wajah tampak berbinar-binar.
Kakek bertubuh kekar itu menatap Bidadari Alam Kelam yang tengah
membungkus tiga puluh bendera kuning dengan kain
lebar berwarna hitam. Bungkusan bendera-bendera
yang disebut sebagai 'Benteng Rajah Abadi' itu lalu diletakkan di atas meja.
"Telah ku turuti apa yang menjadi permintaanmu. Ingat janjimu!" seru Bidadari
Alam Kelam. "Satu lagi!" sahut Setan Selaksa Wajah seraya
berjalan mendekati. "Aku tak tahu di mana Pendekar
Bodoh dan Setan Bodong sekarang ini. Dengan
'Mustika Terawang'-mu kau pasti bisa menunjukkan di
mana mereka berada...."
"Cari sendiri!" bentak Bidadari Alam Kelam tiba-tiba.
Namun, walau wajah cantik wanita itu berubah
ketus dengan sorot mata tajam menusuk, tapi dia tersenyum dalam hati. Dia sedang
menjalankan akal bulusnya untuk dapat membuat Setan Selaksa Wajah jatuh ke dalam
pelukannya lagi.
"Ah! Kenapa kau marah, Manisku...," sahut Setan Selaksa Wajah. "Aku cuma waktu
tiga hari. Kalau
harus mencari-cari, pasti akan banyak membuang
waktu. Apakah kau tidak ingin aku segera kembali ke
tempat ini" Apakah kau tidak ingin.... Hmmm...."
Setan Selaksa Wajah memeluk erat tubuh Bidadari Alam Kelam. Dilumatnya bibir
wanita cantik itu
beberapa lama. Namun, cepat dia melepas ciumannya
saat Bidadari Alam Kelam balas memeluk dan mencium.
"Kenapa?" tanya Bidadari Alam Kelam, kecewa.
"Cukuplah! Kalau aku sudah dapat menjalankan tugas, aku tak akan pernah
mengecewakan mu,"
ujar Setan Selaksa Wajah. "Tunjukkan aku di mana
Pendekar Bodoh dan Setan Bodong berada...."
Bidadari Alam Kelam menarik napas panjang,
berusaha mengusir rasa kecewanya. Setelah menatap
lekat wajah Setan Selaksa Wajah, dia melangkah mendekati lemari berukir. Dari
dalam lemari yang bersandar di dinding ruangan itu, dia mengeluarkan sebuah
bola kristal berwarna putih bening, dan langsung diletakkan di atas meja.
"Nah! Begitu! Kau memang seorang kekasih
yang amat baik, Manisku...," ujar Setan Selaksa Wajah
dengan senyum senang mengembang di bibir. Bidadari
Alam Kelam tak menyahuti. Wanita cantik itu mengusap-usap bola kristalnya yang
disebut sebagai 'Mustika
Terawang'. Setelah merapal mantera-mantera, dia berkata....
"Pendekar Bodoh.... Apakah dia seorang pemuda remaja bertubuh tinggi tegap,
mengenakan pakaian
biru-biru dengan ikat pinggang kain merah?"
"Ya! Tepat sekali! Di ikat pinggangnya terselip
sebatang tongkat pendek berwarna putih!" sahut Setan
Selaksa Wajah. "Hmmm.... Ya! Dia berada di pinggir Hutan Saradan!"
"Lalu, Setan Bodong?"
"Juga berada di sana! Entah apa yang dilakukan kedua orang itu...," ujar
Bidadari Alam Kelam, terus menatap bola kristalnya. "Tapi tampaknya..., Pendekar
Bodoh baru saja memuntahkan gumpalan darah
mati..." "Aku harus ke sana sekarang!" sahut Setan Selaksa Wajah seraya menyambar
bungkusan bendera
yang terletak di dekat bola kristal.
"Hei! Tunggu!" cegah Bidadari Alam Kelam.
"Aku harus segera pergi...!"
"Tidak!"
"Ah! Kau jangan begitu, Manisku..."
Bibir Bidadari Alam Kelam tersenyum aneh.
Tiba-tiba, wanita bertubuh sintal montok itu
menerkam Setan Selaksa Wajah. Karena tak menyangka, Setan Selaksa Wajah tak
dapat mengelak.
Tampak kemudian, tubuh Setan Selaksa Wajah
terhuyung-huyung, lalu jatuh telentang di atas lantai.
Dan... Bidadari Alam Kelam yang tak dapat memendam gejolak hasratnya langsung
menggumuli tubuh
kekar kakek berwajah pemuda tampan itu.
Setan Selaksa Wajah jadi sulit bernapas saat
Bidadari Alam Kelam melumat bibirnya penuh nafsu.
Namun, dia tak berani berlaku kasar. Dia tahu benar
ilmu kesaktian Bidadari Alam Kelam yang tak bisa dianggap remeh. Kalau wanita
cantik itu marah, justru
Setan Selaksa Wajah akan mendapat kesulitan besar.
"Uh! Hep! Aku harus pergi, Sayang...," ujar Setan Selaksa Wajah saat ciuman
Bidadari Alam Kelam
mengendor. "Kau boleh pergi! Tapi..., aku ingin merasakan... hmmm... sekali lagi. Ayolah!"
Tak dapat menolak Setan Selaksa Wajah ketika
Bidadari Alam Kelam menanggalkan bajunya. Sementara, melihat wajah cantik dan
tubuh sintal Bidadari
Alam Kelam, hasrat kelelakian si kakek pun bangkit
kembali. Dan..., bergumullah mereka di atas lantai yang
dingin. Mereka saling peluk, saling cium..., berusaha
terbang ke puncak kenikmatan....
"Kau... kau harus berjanji, Sayang...," bisik Setan Selaksa Wajah di antara
dengue nafasnya yang
memburu. "Dengan ilmu gaib 'Tabir Pengirim Raga',
kau harus membawaku pergi ke hadapan Pendekar
Bodoh dan Setan Bodong!"
"Ya! Ya!" sahut Bidadari Alam Kelam tanpa pikir
panjang. Kedua anak manusia berlainan jenis itu bergelut lagi.
Mengikuti desakan nafsu birahi....
*** 6 HUK! Huk! Ap... apa yang kau lakukan padaku
Pak Tua..."!" tegur Pendekar Bodoh dengan muka pucat.
Pemuda itu hendak bangkit, tapi dia jatuh terduduk lagi. Tubuhnya malah terasa
amat lemas. Setelah batuk-batuk beberapa lama, kembali gumpalan darah hitam
pekat menyembur dari mulutnya!
"Huk! Hoekkk...! Ap... apa kau hendak membunuhku, Pak Tua"!"
Pendekar Bodoh menegur lagi. Tubuhnya tampak terbungkuk-bungkuk karena menahan
batuk. Sementara, Setan Bodong yang baru saja menghantam
punggung murid Dewa Dungu itu tampak tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he.... Tunggulah beberapa saat! Kau
akan segera...."
"Sampai ke neraka!"
Tiba-tiba, terdengar suara keras membentak
yang menyahuti ucapan Setan Bodong. Ternyata, dari
balik jajaran pohon jati telah muncul dua orang kakek
yang sama-sama mengenakan pakaian kuning-hitam.
Namun, yang seorang bertubuh kurus tinggi, dan yang
satunya lagi bertubuh gemuk bulat. Wajah mereka
tampak garang dengan sorot mata yang menyiratkan
kekejaman. Mereka adalah Dua Iblis Dari Gunung Batur.
Yang kurus terkenal dengan julukan Iblis Perenggut
Roh, dan yang gemuk biasa disebut Iblis Pencabut Jiwa!
Si Pendekar Bodoh Seno Prasetyo membelalakkan mata penuh rasa heran. Bagaimana
mungkin Dua Iblis Dari Gunung Batur berani muncul di hadapannya" Tempo hari, bukankah dua
kakek jahat itu telah
dihajarnya sampai kapok" Bahkan, dua tulang Iga Iblis
Perenggut Roh telah dibuat patah! (Tentang peristiwa
ini, baca serial Pendekar Bodoh dalam episode : "Setan
Selaksa Wajah").
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak si kurus Iblis Perenggut Roh. "Bocah geblek!
Melihat matamu yang terbelalak lebar itu, aku bisa menduga apa yang ada di
hatimu! Kau tentu heran melihat aku segar bugar seperti ini. Aku adalah anggota
Komplotan Lembah Dewa-Dewi. Dan, tentu saja Raja Penyasar Sukma tak
mau membiarkan anak buahnya menderita luka. Dengan ilmu kesaktian sang
pemimpinku itu, dua tulang
igaku yang kau patahkan tempo hari telah dapat dipulihkannya! Ha ha ha...!"
"Lalu... lalu apa maksud kedatanganmu ini?"
tanya Seno, tergagap. Pemuda lugu ini tentu saja merasa khawatir mengingat
keadaan tubuhnya yang tak
memungkinkan untuk dibuat bertempur.
"Hmmm.... Selain mematahkan tulang iga adik
seperguruanku, tempo hari kau juga menyiksaku dengan ilmu totokanmu! Hmmm....
Maksud kedatangan
kami ini tak lain hanya untuk mencabut nyawamu!"
sahut si gemuk Iblis Pencabut Jiwa.
"Dan... ha ha ha...!" Iblis Perenggut Roh tertawa
bergelak lagi. "Aku tahu kau baru muntah darah! Aku
tahu ada sesuatu yang tak beres di dalam tubuhmu!
Hmmm.... Agaknya, riwayatmu hanya cukup sampai di
sini!" Semakin memucat wajah Seno saat melihat
Dua Iblis Dari Gunung Batur melangkah bersamaan
mendekatinya. Seno menoleh ke belakang. Ditatapnya
Setan Bodong dengan seribu tanda tanya dan seribu
pengharapan. Tapi..., Setan Bodong cuma tertawa terkekeh-kekeh. Si kakek sama
sekali tak bergeming dari
tempatnya berdiri walau melihat jiwa Seno dalam bahaya!
"Jahanam kau, Pak Tua!" geram Seno pada Setan Bodong. "Rupanya, kau Iblis culas
yang sengaja hendak mencelakakan aku!"
"He he he...," tawa kekeh Setan Bodong. "Kau
jangan melihatku, Bocah Bagus! Lihatlah ke depan!
Kedua orang itu benar-benar hendak membunuhmu!"
Tepat di ujung kalimat Setan Bodong, Dua Iblis
Dari Gunung Batur menerjang bersamaan. Tak tanggung-tanggung lagi, mereka
langsung mengeluarkan
ilmu pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa' yang
menjadi ilmu andalan mereka.
Kepala Seno langsung pening saat mencium
bau anyir darah yang menebar dari pergelangan tangan Dua Iblis Dari Gunung
Batur. Namun sebelum kepalan tangan kedua kakek itu mengenal sasaran, cepat
Seno beringsut ke samping.
"Astaga!"
Berseru kaget Seno.
Pemuda itu merasakan tubuhnya melesat cepat. Dia tak menyangka sama sekali bila
ilmu 'Lesatan Angin Meniup Dingin' telah dapat dikeluarkannya lagi.
Hingga akibatnya, pukulan Dua Iblis Dari Gunung Batur hanya mengenai tempat
kosong. "Jahanam! Walau baru muntah darah, agaknya
kau masih dapat bergerak cepat," dengus Iblis Perenggut Roh. "Tapi, jangan
keburu girang dulu! Malaikat
kematian tetap akan menjemput nyawamu hari ini juga!"
Sambil menggembor keras, kakek kurus itu
menerjang lagi. Kali ini dia gunakan jurus 'Mencari
Roh Mengirim ke Neraka'!
Iblis Pencabut Jiwa turut menerjang dengan jurus yang sama. Kedua kakek itu
tetap menyertai serangannya dengan ilmu pukulan 'Merenggut Roh Mencabut Jiwa'.
Maka, bau anyir darah yang menebar dari
kedua pergelangan tangan mereka semakin tercium
menusuk hidung!
Mengetahui dirinya terkepung bahaya maut,
bergegas Seno bangkit berdiri. Murid Dewa Dungu itu
berseru heran lagi. Tubuhnya terasa amat ringan.
Bahkan, terasa lebih ringan dari biasanya!
"Ilmu peringan tubuhku telah kembali!" ujar
Seno kepada dirinya sendiri seraya melentingkan tubuhnya ke atas.
Menggeram gusar Dua Iblis Dari Gunung Batur.
Mereka terus menerjang semakin gencar. Namun, mereka tetap tak dapat menyentuh
tubuh Pendekar Bodoh yang berkelebatan amat cepat
"Hei, Bocah Bagus!" teriak Setan Bodong tibatiba. "Kau tahu kalau mereka orang
jahat, bukan" Kenapa malah kau ajak bermain-main" Cobalah ilmu pukulanmu! Buat
mereka jera seumur hidup!"
Seperti tak mendengar teriakan Setan Bodong,
Pendekar Bodoh terus berkelebatan menghindari serangan Dua Iblis Dari Gunung
Batur tanpa balas menyerang. Namun, diam-diam pemuda lugu itu mencoba
mengalirkan kekuatan tenaga dalam ke kedua pergelangan tangannya.
"Astaga!"
Kembali Seno berseru kaget. Kekuatan tenaga
dalamnya tiba-tiba telah kembali seperti sediakala, dan
dapat dialirkan pula ke kedua tangannya.
Tapi, terus saja Pendekar Bodoh terhantam keterkejutan. Kedua pergelangan
tangannya mendadak
berubah warna berlainan. Yang kiri berwarna putih
berkilat, sementara yang kanan berwarna kuning keemasan!
"Ya, Tuhan...," sebut Seno sambil menghindari
serangan Dua Iblis Dari Gunung Batur. "Bila aku mengeluarkan ilmu pukulan 'Dewa
Badai Rontokkan Langit', kedua pergelangan tanganku akan berubah warna
menjadi putih berkilat. Tapi..., kenapa tangan kananku
kali ini berwarna kuning keemasan" Oh! Apa yang telah terjadi pada diriku?"
Karena terus tergeluti perasaan heran, Seno jadi kurang waspada. Pemuda remaja
itu terkejut setengah mati saat melihat kepalan tangan kanan Iblis Perenggut Roh
telah berada di dekat kepalanya. Sementara, Iblis Pencabut Jiwa melancarkan
tendangan amat cepat ke dadanya
"Mati kau!" seru Dua Iblis Dari Gunung Batur,
bersamaan. Dengan wajah pucat, terpaksa Seno menghentakkan kedua tangannya yang telah
berubah warna. Karena tak mau menjatuhkan tangan maut, Seno cuma mengeluarkan seperempat bagian
tenaga dalamnya. Namun...
Wesss...! Dari telapak tangan kiri Seno melesat lidahlidah api putih yang menebarkan hawa
panas luar biasa. Dan, dari telapak tangan kanannya, keluar lapisan salju
berwarna kuning keemasan. Lapisan salju itu
menebarkan hawa sangat dingin yang sanggup membekukan cairan apa pun!
Karena lesatan pukulan jarak jauh itu amat cepat tiada terkira, Dua Iblis Dari
Gunung Batur tak
sempat mengelak lagi. Hingga....
Blarrr...! "Wuahhh...!"
Diiringi jerit panjang menyayat hati, tubuh Dua
Iblis Dari Gunung Batur terlontar cepat ke angkasa.
Dan ketika jatuh ke tanah, tubuh kedua kakek itu
hanya tinggal kerangka tulangnya saja!
Tulang-belulang tubuh Iblis Pencabut Jiwa
yang tertimpa lapisan salju kuning keemasan tampak


Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diselubungi bunga-bunga salju berwarna serupa. Sebaliknya, tulang-belulang Iblis
Perenggut Roh yang tertimpa lidah-lidah api putih berkilat tampak terbakar
beberapa lama! "Aku telah membunuh orang! Aku telah membunuh orang!" seru Pendekar Bodoh, kaget
setengah mati. Bagaimanapun, pemuda lugu itu tak bermaksud menjatuhkan tangan maut terhadap Dua
Iblis Dari Gunung Batur. Oleh karenanya, dia tadi hanya mengeluarkan seperempat bagian
tenaga dalamnya. Namun..., kenapa akibat yang diterima Dua Iblis Dari
Gunung Batur begitu menggiriskan"
"Apa yang terjadi padaku, Pak Tua?" tanya
Pendekar Bodoh kemudian kepada Setan Bodong. Setan Bodong tak menjawab. Kakek
gendut itu cuma tertawa terkekeh-kekeh. "Pak Tua!" bentak Seno. "Aku
bertanya! Kau dengar atau tidak"!"
"He he he.... Mendengar atau tidak, kau mau
apa?" Satan Bodong malah balik bertanya.
"Uh! Kalau terus berdekatan denganmu, lamalama rasanya aku bisa gila!"
"Gila! He he he.... Kalau kau jadi itu malah bagus! Dunia ini sudah gila! Jika
para penghuninya turut
gila, tak akan ada lagi kejahatan! Semua orang akan
sibuk memikirkan keadaannya sendiri yang sudah gila!
He he he...!"
"Ngawur!" bentak Seno lagi. "Aku tak mau gila!
Kaulah sendiri yang gila! Tapi, jika kau masih waras,
cobalah jawab pertanyaanku, Pak Tua!"
"Bagaimana mungkin aku bisa menjawab pertanyaanmu kalau sekarang ini aku sudah
gila!" "Uh!"
Kesal sekali hati Pendekar Bodoh mendengar
ucapan Setan Bodong yang berbelit-belit. Ingin rasanya
Pendekar Bodoh menampar mulut si kakek yang amat
nyinyir. Ingin rasanya Pendekar Bodoh menjitak kepala
si kakek yang gundul licin. Tapi, dia tak melakukan
keinginannya itu. Apa yang baru dialaminya, ketika
bertempur dengan Dua Iblis Dari Gunung Batur, menunjukkan bahwa Setan Bodong
tidak menipunya. Si
kakek benar-benar dapat mengembalikan kekuatan
tenaga dalamnya. Oleh karena itu, untuk apa dia menyakiti orang yang telah
menolongnya"
Namun, melihat sikap Setan Bodong yang mirip
orang tak waras, Pendekar Bodoh tak dapat menahan
rasa sebal dan kesalnya. Karena pertanyaannya tak
pernah terjawab, Pendekar Bodoh bermaksud pergi
meninggalkan kakek gendut itu.
"Eh! Eh! Tunggu!" cegah Setan Bodong.
Terhenti langkah Seno seketika. Ditatapnya wajah Setan Bodong lekat-lekat. Kali
ini wajah kakek
yang hanya mengenakan rompi dan celana pendek putih kusam itu tampak penuh
kesungguhan. "Ada apa?" tanya Seno, sedikit ketus.
"Kau belum memberi nama dua ilmu pukulan
barumu," ujar Setan Bodong, tak main-main.
"Hmmm.... Yah! Aneh sekali! Kenapa tiba-tiba
ilmu pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit' yang
kumiliki bisa jadi dua bagian?" ujar Seno, lirih seperti
menggumam. "Kau ingin tahu apa jawabnya?" cetus Setan
Bodong, tak tertawa-tawa lagi.
"Tentu saja!" sambut Seno, melonjak girang.
"Aku tadi menghantam punggungmu berapa
kali?" "Tiga kali."
"Dengar baik-baik!"
"Apa?"
"Hantaman pertama berguna untuk membuka
beberapa aliran darahmu yang tersekat oleh gumpalan
darah mati."
"Hantaman yang kedua?"
"Hantaman yang kedua untuk memisahkan tenaga dingin yang berasal dari 'Tenaga
Inti Es Biru', yang ku masukkan ke tubuhmu ketika kita masih berada di Lembah Rongga Laut?"
"Dipisahkan" Dipisahkan dengan apa?"
"Uh! Tolol benar kau! Tentu saja dipisahkan dari tenaga panas yang bersumber
dari benda ajaib Kodok Wasiat Dewa, yang telah lebih dulu kau telan!"
"Begitukah" Hmmm.... Ya! Ya! Aku mengerti.
Lalu, hantaman yang ketiga untuk apa?"
"Kau pikir dulu! Kira-kira untuk apa?"
"Hmmm.... Untuk apa, ya?"
Seno memutar otak. Beberapa kali dia nyengir
kuda. Beberapa kali pula dia menarik celananya yang
melorot. Wajahnya jadi tampak amat lugu dan kebodoh-bodohan.
"Hmmm.... Apa, ya?" desis Seno.
Sesaat kemudian, murid Dewa Dungu itu tampak terlongong bengong menatap wajah
Setan Bodong. "He he he...," tawa kekeh Setan Bodong. "Rupanya, kau benar-benar pemuda tolol!"
"Huh! Aku tidak tolol! Kau yang tolol!" bentak
Seno tiba-tiba, tak mau dikatakan tolol.
"He he he.... Kalau tidak tolol, kenapa kau tidak
tahu apa yang telah terjadi pada dirimu sendiri?"
"Oh! Iya, ya"! Aku memang tolol...," desis Seno
lagi. "Tapi tidak! Aku tidak tolol! Walau aku dikatakan
orang sebagai Pendekar Bodoh, tapi aku tetap tak mau
dikatakan tolol! Aku memang tidak tolol!"
"He he he...," Setan Bodong tertawa terkekehkekeh, panjang sekali. Lalu katanya,
"Terserah apa katamu! Tapi, sudah tahu jawabannya atau belum?"
"Apa?"
"Huh! Dasar tolol!"
"Aku tidak tolol!"
Melihat air muka Pendekar Bodoh yang tibatiba menegang, Setan Bodong tertawa
panjang lagi. Namun, si kakek tak hendak mempermainkan pemuda
lugu itu. "Ketahuilah, Bocah Bagus...," kata Setan Bodong kemudian. "Hantaman ketiga yang
bersarang tepat di tengah punggungmu kumaksudkan untuk
membangkitkan kekuatan dua tenaga dalam yang berbeda sifat, yang telah ku
pisahkan. Sekaligus untuk
mengeluarkan gumpalan darah mati yang mengganggu
peredaran darahmu!"
"Ooo, begituuu...," Seno mengangguk-angguk.
"Apa tadi nama Ilmu pukulanmu?" tanya Setan
Bodong. "'Dewa Badai Rontokkan Langit'," jawab Seno,
tetap mengangguk-angguk.
"Nama ilmu pukulan itu masih bisa kau pakai.
Tapi, untuk membedakan mana yang bersifat panas
dan mana yang bersifat dingin, kau bisa pakai nama
'Pukulan Inti Panas' dan 'Pukulan Inti Dingin'. Bagaimana?"
"'Pukulan Inti Panas'" 'Pukulan Inti Dingin'?"
desis Pendekar Bodoh sambil menggaruk-garuk pantat, yang entah gatal entah
tidak. "Bagaimana?"
"Sebentar! Ku pikirkan dulu!"
*** "Sekarang, antarkan aku ke hadapan Pendekar
Bodoh dan Setan Bodong," pinta Setan Selaksa Wajah,
keringat masih berlelehan di sekujur tubuhnya.
Bidadari Alam Kelam tak menjawab.
Wanita cantik itu sibuk merapikan pakaiannya.
"Aku sudah menuruti apa maumu. Bergegaslah
kau keluarkan ilmu 'Tabir Pengirim Raga', Manisku Bidadari Alam Kelam...," desak
Setan Selaksa Wajah.
"Hmmm.... Kupikir..., ada baiknya bila kau
tinggal di sini selama dua hari...," sahut Bidadari Alam
Kelam, pelan sekali.
"Tidak! Jelas itu tidak mungkin, Manisku...," tolak Setan Selaksa Wajah.
"Waktuku sangat singkat!"
"Pikirlah baik-baik! Kalau kau mau tinggal di
sini dua hari lagi, berarti kau masih punya waktu satu
hari untuk membinasakan Pendekar Bodoh dan Setan
Bodong. Tapi, kau jangan khawatir tak akan dapat
menjalankan tugas. Aku bersedia membantumu!"
Terdiam Setan Selaksa Wajah. Apa yang dikatakan Bidadari Alam Kelam jelas
merupakan satu tawaran amat bagus. Setan Selaksa Wajah tahu benar
ketinggian ilmu kesaktian Bidadari Alam Kelam. Bila
bekerja bahu-membahu dengan wanita cantik itu, Setan Selaksa Wajah yakin
semuanya akan berjalan lancar. Tapi..., ada sesuatu yang mengusik pikiran si
kakek. "Sebenarnya, aku ingin sekali menerima tawaran wanita cantik itu...," pikir
Setan Selaksa Wajah.
"Tapi, dia tidak tahu kalau aku tengah menyusun sebuah siasat. Karena aku tak
mau ada orang yang tahu
siasat ku itu, terpaksa sekali aku menolak tawaran
baik Bidadari Alam Kelam...."
"Kenapa kau diam, Mahisa Lodra?" tegur Bidadari Alam Kelam yang melihat Setan
Selaksa Wajah berdiri termenung.
"Hmmm.... Kau amat baik, Manisku...," sahut
Setan Selaksa Wajah. "Aku tak mau membuatmu bersusah payah memeras tenaga.
Biarlah aku sendiri
yang melaksanakan tugas dari sang pemimpin. Sekarang ini, kau cukup membantu
menghadapkan aku
pada Pendekar Bodoh dan Setan Bodong."
"Jadi, kau menolak tawaranku?"
"Bukan begitu, Manisku. Cuma orang gila yang
akan menolak tawaran baikmu. Hanya saja kau mesti
tahu..., aku tak mau kehilangan waktu banyak-banyak
dalam melaksanakan tugas. Aku ingin selekasnya
membunuh Pendekar Bodoh dan Setan Bodong! Kalau
hari ini juga aku dapat membunuh mereka, bukankah
kau akan segera bertemu lagi denganku, Sayang?"
Bidadari Alam Kelam tampak berpikir-pikir.
Namun, tak seberapa lama kemudian, dia berkata,
"Baik! Baik, ku hadapkan kau pada Pendekar Bodoh
dan Setan Bodong saat ini juga! Tapi..., setelah berhasil membinasakan mereka,
kau harus segera kembali
ke tempat ini! Ingat janjimu! Jika ingkar, kau akan celaka!"
"Ya! Ya!" sambut Setan Selaksa Wajah. Nada
suaranya tak jelas menyiratkan apa. Entah senang,
atau malah takut mendengar ancaman Bidadari Alam
Kelam. "Duduklah bersila!" perintah Bidadari Alam Kelam kemudian.
Setan Selaksa Wajah menatap wajah cantik Bidadari Alam Kelam sejenak, lalu
mengikuti perintah
wanita bertubuh sintal montok itu tanpa berkata apaapa.
Begitu Setan Selaksa Wajah duduk bersila, Bidadari Alam Kelam mengangkat kedua
tangannya seraya menengadahkan wajah.
"Wahai kau Dewa Langit..., kau tentu tahu
keinginanku," ujar Bidadari Alam Kelam dengan suara
bergetar. "Aku ingin memindahkan tubuh orang ini ke
pinggir Hutan Saradan. Dengan ilmu 'Tabir Pengirim
Raga', terlaksanalah keinginanku!"
Selesai berkata, mendadak di kedua telapak
tangan Bidadari Alam Kelam muncul gumpalan sinar
berwarna merah terang. Perlahan namun pasti, gumpalan sinar itu membesar dan
terus membesar....
Wusss...! Gumpalan sinar merah yang berada di atas telapak tangan Bidadari Alam Kelam
dilontarkan ke tubuh Setan Selaksa Wajah. Gumpalan sinar itu langsung
menyelubungi tubuh si kakek. Dan..., perlahanlahan tubuh kakek berwajah pemuda
itu terangkat dari permukaan lantai!
"Pergilah ke hadapan Pendekar Bodoh dan Setan Bodong!"
Sambil berseru demikian, Bidadari Alam Kelam
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Serangkum angin pukulan meluruk deras!
Wesss...! Serangkum angin pukulan itu tepat menerpa
tubuh Setan Selaksa Wajah yang telah terselubungi
gumpalan sinar merah! Di lain kejap, tubuh si kakek
tampak melesat cepat, keluar dari Lembah DewaDewi....
"Uh! Walau tubuhnya masih perkasa, rupanya
Mahisa Lodra telah jadi kakek-kakek pikun!" ujar Bidadari Alam Kelam tiba-tiba.
Perlahan wanita berpakaian gemerlapan itu
memungut bungkusan kain hitam yang terletak di atas
meja. Bungkusan berisi 'Benteng Rajah Abadi' Itu
agaknya lupa dibawa oleh Setan Selaksa Wajah.
"Hmmm.... Aku bermaksud baik pada Mahisa
Lodra. 'Benteng Rajah Abadi' ini sebaiknya kusampaikan kepada Mahisa Lodra
dengan ilmu 'Tabir Pengirim
Raga'...."
Berpikir demikian, Bidadari Alam Kelam mengangkat lagi kedua tangannya seraya
menengadahkan wajah. Setelah berkata-kata dengan raja junjungan ilmu hitamnya yang bernama
Dewa Langit, di kedua telapak tangan wanita cantik itu segera muncul gumpalan
sinar merah terang.
Di lain kejap, 'Benteng Rajah Abadi' melayang
keluar dari Lembah Dewa-Dewi. Menyusul lesatan tubuh Setan Selaksa Wajah!
*** 7 WALAH... walah! Mengambil keputusan tentang
nama saja, lama benar kau berpikir!" seru Setan Bodong, mencetuskan rasa tak
sabaran. "Uh! Rupanya, kaulah yang tolol, Pak Tua!" sahut Pendekar Bodoh, membentak.
"Menentukan nama
itu tidak mudah! Nama seseorang, nama julukan, atau
nama apa saja, akan dibawa sampai mati, Pak Tua!
Menentukan nama tidak boleh sembarangan! Tidak boleh asal bunyi! Pokoknya, tidak
boleh asal-asalan!"
"Ya! Ya, aku mengerti! Tapi, nama yang kuberikan pada dua ilmu pukulanmu tadi,
apakah kelihatan
asal-asalan?"
Berkerut kening si pemuda lugu Seno Prasetyo.
"Hmmm.... 'Pukulan Inti Panas'..." 'Pukulan Inti
Dingin'...?" desisnya, mengulang nama pemberian Setan Bodong.
"Apakah kedua nama itu terdengar asalasalan?" sahut Setan Bodong menatap wajah
Seno lekat-lekat.
"Eh! Iya, ya...! Kedua nama itu enak didengar
dan amat sesuai dengan sifat ilmu pukulanku. Baiklah! Aku menerimanya, Pak Tua!"
"Huh! Mengambil keputusan begitu saja memakan waktu sekian lama! Apalagi nanti
kalau mengambil keputusan tentang masalah penting! Bisa-bisa dunia keburu kiamat


Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru kau dapat menentukan sikap!"
sambut Setan Bodong dengan menggerutu.
"Ya! Ya! Aku memang lambat berpikir!" sahut
Seno, jengkel. "Sekarang aku mau pergi ke suatu tempat, kau
ikut atau tidak?" cetus Setan Bodong kemudian.
"Ke mana?"
"Padang Angin Malaikat!"
"Padang Angin Malaikat?"
"Ya!"
"Untuk apa?"
"Kau telah mendengar nama Raja Penyasar
Sukma, bukan?"
Seno mengangguk.
"Aku hendak menghukum murid murtad ku
itu!" "Kalau begitu, aku ikut!" seru Seno, tegas. "Aku
juga ingin membuat perhitungan dengan manusia jahat itu! Dia telah membunuh
ibuku!" "Ibumu" Bagaimana ceritanya?"
"Ah! Lain waktu saja kuceritakan! Aku ingin
menemui Banyak Langkir secepatnya! Ayolah, Pak
Tua!" desak Seno, menyebut nama kecil Raja Penyasar
Sukma. Setan Bodong mengangguk gembira. Jika Pendekar Bodoh ikut bersamanya, dia yakin
urusan dengan Raja Penyasar Sukma akan lebih mudah dibereskan. Namun ketika dia
menjejak tanah untuk segera berkelebat pergi, Pendekar Bodoh mencegah.
"Tunggu dulu, Pak Tua!"
"Ada apa lagi?"
"Aku harus menguburkan kerangka Dua Iblis
Dari Gunung Batur!"
"Peduli amat!"
"Jangan begitu, Pak Tua! Walau mereka orang
jahat, mereka tetap manusia juga. Mereka pantas
mendapat perlakuan seperti manusia pada umumnya.
Mayat mereka walau telah menjadi tulang-belulang,
harus tetap dikuburkan!"
Mendadak, Setan Bodong tertawa terkekehkekeh. "He he he.... apanya yang mesti
dikuburkan"
Apa kau bisa" Lihat itu!"
Tersentak kaget Seno seketika. Tulang-belulang
kerangka Dua Iblis Dari Gunung Batur ternyata telah
ambyar menjadi serbuk halus, yang segera lenyap tertiup angin!
"Ya, Tuhan...," sebut Seno. "Kenapa aku bisa
memiliki ilmu pukulan yang amat kejam seperti itu?"
"Tolol!" sentak Setan Bodong. "Ilmu pukulanmu
tidak kejam, tapi dahsyat!"
"Apa bedanya?"
"Jelas berbeda! Tergantung untuk tujuan apa
kau menggunakan ilmu pukulanmu itu! Kalau kau
menggunakannya untuk mengumbar nafsu jahat,
orang boleh mengatakan ilmu pukulanmu itu kejam
karena si empunya memang kejam. Kalau tidak, ya tidak!"
Seno nyengir kuda.
Tak seberapa paham ucapan Setan Bodong.
"Ayo, berangkat!" ajak Setan Bodong kemudian
"Ke mana?"
"Uh! Selain tolol, rupanya kau juga pikun! Bukankah kita hendak ke Padang Angin
Malaikat?"
"Oh, iya ya.... Baiklah kita berangkat.... Heh"!
Apa Itu?" Bola mata Pendekar Bodoh melotot besar. Pemuda lugu itu menatap tak berkedip
segumpal sinar merah terang yang melesat dari tenggara. Lebih terkejut lagi Pendekar Bodoh
manakala tahu bila gumpalan
sinar bergaris tengah satu depa itu menuju ke arahnya!
"Ya, Tuhan...," sebut Seno seraya melompat ke
belakang. Setan Bodong yang berdiri di dekat Seno turut
melompat ke belakang. Walau kakek gendut itu juga
terhantam keterkejutan, tapi dia bisa bersikap lebih
tenang. Bola matanya tak sampai melotot besar. Jauh
berbeda dengan Pendekar Bodoh yang lugu. Mulut si
pemuda tampak ternganga lebar. Dan, tatapannya pun
jelas menyiratkan rasa giris.
Wusss...! Ssshhh...! Gumpalan sinar yang dilihat Pendekar Bodoh
dan Setan Bodong mendarat perlahan di permukaan
tanah. Setelah mengeluarkan suara mendesis seperti
desis puluhan ular sedang meleletkan lidah, gumpalan
sinar itu meredup. Dan,.., di dalamnya tampak sesosok
tubuh manusia! "Mahisa Lodra...!" seru Pendekar Bodoh, benarbenar kaget.
Sosok manusia yang tengah duduk bersila di
dalam gumpalan sinar merah, yang memang Mahisa
Lodra atau Setan Selaksa Wajah, tampak bangkit berdiri perlahan. Kakek berwajah
pemuda itu langsung
mengedarkan pandangan. Begitu melihat sosok Pendekar Bodoh, dia tertawa panjang
bergelak. "Ha ha ha...! Kita jumpa lagi, Bocah Gemblung!
Tentu masih segar bugar dalam ingatanmu kejadian di
Padang Angin Malaikat tempo hari. Kau memang berhasil mempecundangi ku. Tapi,
bagaimana kalau aku
menantangmu bertempur lagi esok hari di tempat yang
sama" Ha ha ha...!"
"Jahanam! Menyesal aku waktu itu tak menghancurkan seluruh urat darahmu.
Kiranya, sekarang
kau masih berlagak besar mulut di hadapanku!" geram
Pendekar Bodoh.
"Hmmm.... Kau belum menjawab pertanyaanku,
Bocah Gemblung! Bersediakah kau bila ku tantang
bertempur seribu jurus di Padang Angin Malaikat esok
hari?" "Kenapa tak bersedia" Untuk meladeni orang
jahat macam kau, aku selalu punya waktu!" sambut
Seno, keras menggeram.
"Hati-hati, Bocah Bagus!" Setan Bodong mengingatkan. "Aku tahu betul siapa itu
Mahisa Lodra! Dia
durjana culas yang punya selaksa akal licik! Janganjangan dia hendak
menjebakmu!"
Kembali Setan Selaksa Wajah tertawa bergelak.
Kata-kata Setan Bodong yang jelas menyindir dirinya
cuma dia tanggapi dengan gelengan kepala sambil tetap tertawa. Bola mata kakek
berpakaian merah-merah
itu berbinar-binar penuh luapan kegembiraan. Dia yakin benar bila siasat yang
telah disusunnya akan berjalan dengan lancar.
"Hei kau, Setan Bodong Setan!" seru Setan Selaksa Wajah kemudian, "Baik benar
keberuntunganmu
hingga kau dapat keluar dari Lembah Rongga Laut!
Aku tahu..., gumpalan pusar yang telah melekat kembali di perutmu itu
menunjukkan bahwa ilmu kesaktianmu sudah kau miliki lagi. Oleh karenanya,
datanglah kau bersama bocah gemblung itu ke Padang Angin Malaikat esok hari!
Akan kuhadapi kalian berdua
sekaligus! Ha ha ha...!"
Untuk kesekian kalinya, Setan Selaksa Wajah
tertawa bergelak. Namun... mendadak, air muka kakek
bertubuh kekar itu berubah pucat. Bola matanya
membesar, dan tawanya pun langsung terhenti seketika.
"Astaga! Di mana 'Benteng Rajah Abadi'...?" lonjak si kakek, "Oh! Aku lupa
membawanya! Oh! Pelupa
benar aku ini!"
"He he he...," Setan Bodong tertawa terkekehkekeh melihat sikap Setan Selaksa
Wajah yang tampak
kalut dan bingung. "Apa yang kau cari, Kerbau Dungu,
kaki-tangan si keparat Banyak Langkir"!" cibirnya.
"Nyawamu cuma satu! Kebetulan masih melekat di badan kotormu itu! Apa lagi yang
kau cari?"
Setan Selaksa Wajah tak memperhatikan ejekan Setan Bodong. Dia terus meraba-raba
kain bajunya. Tapi, tentu saja 'Benteng Rajah Abadi' tak ditemukannya. Benda
berwujud bendera-bendera kecil
kuning itu memang lupa dia bawa.
"Celaka!" seru Setan Selaksa Wajah dalam hati,
"Bagaimana aku bisa menjalankan siasat yang telah ku
susun kalau aku tidak membawa 'Benteng Rajah Abadi" Oh! Bagaimana ini?"
"Hei, Mahisa Lodra!" bentak Pendekar Bodoh.
"Kau datang tiba-tiba dan langsung menyemburkan
kata-kata kesombongan. Lagak-lagu mu tadi menunjukkan seakan kau telah memiliki
kesaktian setinggi
dewa. Tap! sekarang..." Hemm.... Sikap yang kau tunjukkan sekarang ini persis
seekor monyet yang telah
kehilangan ekornya! Hmmm.... Kau memang seekor
monyet, Mahisa Lodra! Seekor monyet yang harus dikubur hidup-hidup!"
Usai berkata, Pendekar Bodoh melesatkan tubuhnya seraya menerjang Setan Selaksa
Wajah. Karena Pendekar Bodoh amat benci pada Setan Selaksa
Wajah yang nyata-nyata memang seorang durjana licik, pemuda itu langsung
mengeluarkan salah satu jurus terhebat yang berasal dari Kitab Sanggalangit.
Sambil mengerahkan ilmu peringan tubuh 'Lesatan
Angin Meniup Dingin', Pendekar Bodoh mengeluarkan
jurus 'Dewa Badai Menghitung Bintang Menyapa Bulan'!
Maka dalam sekejap mata, tubuh Pendekar Bodoh seakan telah berubah menjadi
segumpal asap berwarna biru. Timbul tiupan angin yang menderu ganas setiap murid Dewa Dungu
itu melancarkan pukulan dan tendangan. Sementara, Setan Selaksa Wajah
yang masih kebingungan karena 'Benteng Rajah Abadi'-nya tertinggal, bergerak ke
sana-sini dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bernama
'Angin Pergi Tiada Berbekas'. Hingga, tubuh Pendekar
Bodoh dan Setan Selaksa Wajah hanya terlihat berupa
dua gumpal asap yang terus berlesatan dengan cepat.
"Kenapa kau tak membalas seranganku, Monyet Bau"!" sentak Pendekar Bodoh di
sela-sela serangannya.
"Hmmm.... Sengaja aku tak membalas! Bukankah kau dengar tadi" Aku menantangmu
bertempur esok hari di Padang Angin Malaikat!" sahut Setan Selaksa Wajah.
"Kenapa mesti menunggu esok hari" Hari ini
juga aku harus dapat menghentikan semua kejahatanmu! Hiahhh...!"
Memekik keras Pendekar Bodoh. Dia menyerang makin gencar. Kedua tangan dan
kakinya tiada henti mengirim serangan mematikan. Namun, tetap saja Setan Selaksa Wajah tak
balas menyerang. Entah
apa yang ada di benak kakek berwajah pemuda itu.
"Baik! Baik! Kalau kau tak mau bertempur dengan jurus-jurus yang kau anggap
picisan, aku tantang
kau mengadu ilmu pukulan!"
Usai berkata, Pendekar Bodoh melentingkan
tubuhnya beberapa tombak dari hadapan Setan Selaksa Wajah. Begitu mendarat di
tanah, langsung dia persiapkan ilmu pukulan 'Dewa Badai Rontokkan Langit'.
Di lain kejap, pergelangan tangan kanan murid Dewa
Dungu itu berubah warna menjadi kuning keemasan
yang menebarkan hawa amat dingin menusuk tulang.
Agaknya, Pendekar Bodoh mengeluarkan salah satu
bagian ilmu pukulan "Dewa Badai Rontokkan Langit'nya yang baru saja diberi nama
'Pukulan Inti Dingin'!
Setan Selaksa Wajah yang belum mengenal ilmu pukulan itu tampak tercengang.
Walau dia berdiri
sekitar lima tombak dari hadapan Pendekar Bodoh, tapi hawa dingin yang menebar
dari pergelangan tangan
pemuda remaja itu terasa hendak membekukan cairan
darahnya. Hingga, Setan Selaksa Wajah terlihat menautkan jajaran giginya untuk
menahan hawa dingin
yang memang hebat Luar biasa
"Aku tak mau bertempur sekarang, Bocah
Gemblung!" seru Setan Selaksa Wajah di antara rasa
kaget dan gentar. Suara kakek ini terdengar tak begitu
jelas karena dia berkata sambil menautkan gigi.
"Apa pun katamu, aku tetap akan menghentikan kejahatanmu sekarang ini!" sahut
Seno. "Kalau
kau tak mau mati konyol, segera keluarkan ilmu pukulan 'Pelebur Sukma'-mu!"
Terdiam Setan Selaksa Wajah.
Kakek berwajah pemuda itu tak mau mempersiapkan ilmu pukulan andalannya. Tapi,
diam-diam dia mempertinggi kewaspadaan. Dia tak hendak memapaki ilmu pukulan Seno dengan
ilmu pukulan pula.
Bila nanti pemuda lugu itu melepas ilmu pukulannya, Setan Selaksa Wajah hanya
akan bergerak menghindar. Setan Selaksa Wajah ingin tahu seberapa
dahsyat akibat yang akan ditimbulkan oleh ilmu pukulan Seno. Dengan kata lain,
Setan Selaksa Wajah ingin
mengukur kedahsyatan ilmu pukulan Pendekar Bodoh.
"Ayolah! Tunggu apa lagi, Mahisa Lodra"!" bentak Pendekar Bodoh yang melihat
Setan Selaksa Wajah
cuma diam. "Cepatlah kau persiapkan ilmu pukulan
'Pelebur Sukma'-mu!"
"Hmmm.... Kalau ingin segera membunuhku,
kenapa hanya gembar-gembor saja?" cibir Setan Selaksa Wajah.
"Jahanam!" geram Seno. "Baiklah kalau itu
maumu! Hiahhh...!"
Sambil menggembor keras, Pendekar Bodoh
melepas 'Pukulan Inti Dingin'-nya. Tapi, karena pemuda lugu itu tahu Setan
Selaksa Wajah tak akan mema-
paki ilmu pukulannya dengan ilmu pukulan 'Pelebur
Sukma', dia cuma mengerahkan setengah bagian tenaga dalamnya. Pendekar Bodoh
yakin, walau hanya
mengerahkan setengah bagian tenaga dalam, tubuh
Setan Selaksa Wajah pasti akan hancur menjadi serbuk halus bila tertimpa dengan
telak. Apa yang telah
terjadi pada Iblis Pencabut Jiwa sudah cukup dijadikan bukti kedahsyatan ilmu
'Pukulan Inti Dingin'.
Sesaat kemudian..., tampak lapisan salju berwarna kuning keemasan meluruk deras
ke arah Setan Selaksa Wajah. Namun, Setan Selaksa Wajah yang telah mempersiapkan Ilmu peringan
tubuh 'Angin Pergi
Tiada Berbekas' cepat sekali berkelit. Tubuh kakek
berpakaian merah-merah itu tiba-tiba lenyap berpindah tempat.
Wusss...! Blammm...! Lapisan salju yang melesat dari telapak tangan
kanan Pendekar Bodoh hanya menerpa pepohonan dan
permukaan tanah. Diiringi ledakan keras menggelegar


Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahsyat, batang-batang pohon yang tertimpa pukulan
jarak jauh Pendekar Bodoh langsung tumbang, dan
hancur luluh menjadi serbuk halus! Gumpalan tanah
tampak berhamburan ke mana-mana. Bongkahbongkah batu besar yang terletak di
sekitar pusat ledakan berlontaran ke berbagai penjuru. Begitu jatuh
ke tanah, batu-batu itu langsung pecah berantakan
menjadi butiran pasir Sementara, lapisan salju berwarna kuning keemasan terlihat
berlebaran. Hingga,
hawa siang hari di pinggir Hutan Saradan itu terasa
amat dingin menusuk!
"Astaga!" seru Setan Selaksa Wajah yang berhasil menghindari ancaman maut
Tubuh murid murtad Dewa Dungu itu tampak
terlapisi salju tipis yang berwarna kuning keemasan
pula. Padahal, dia berdiri tak kurang dari dua puluh
tombak dari pusat ledakan!
Namun, rasa gentar dan keterkejutan di hati
Setan Selaksa Wajah segera terkikis habis manakala
kakek itu melihat gumpalan sinar merah terang melesat di angkasa menuju ke
arahnya. Gumpalan itu melesat dari arah tenggara, arah di mana Setan Selaksa
Wajah muncul tadi
"Aku yakin, di dalam gumpalan sinar merah itu
pasti terdapat 'Benteng Rajah Abadi'," pikir Setan Selaksa Wajah. "Bidadari Alam
Kelam pasti mengirimkan
barang itu kepadaku dengan ilmu Tabir Pengirim Raga.
Aku harus bertindak cepat sebelum Pendekar Bodoh
menyerangku lagi!"
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas Setan
Selaksa Wajah meloncat tinggi untuk menyambar
gumpalan sinar merah yang masih melayang di udara.
Tapi.... Setan Bodong yang sedari tadi cuma diam,
tampak meloncat tinggi pula. Kakek gendut itu juga
ingin menyambar gumpalan sinar merah!
"Lewat ilmu tembus pandang ku, aku tahu
gumpalan sinar itu berisi 'Benteng Rajah Abadi'. Benda
berkekuatan sihir itu tak boleh jatuh ke tangan orang
jahat macam Mahisa Lodra!" pikir Setan Bodong.
Wutttt...! Srattt..! Tampak kemudian, gumpalan sinar merah yang
melayang di udara pecah menjadi dua bagian. Bungkusan kain hitam yang berada di
dalam gumpalan sinar itu robek, dan isinya yang berupa bendera-bendera
kecil berwarna kuning jatuh bertebaran ke atas tanah!
"Jahanam kau, Setan Bodong!" maki Setan Se-
laksa Wajah, menyimpan geram kemerahan di hati.
Tak mau kehilangan kesempatan, kakek berwajah pemuda itu bergegas memunguti
bendera kuning yang bertebaran di atas tanah. Namun, Setan Bodong
juga berbuat serupa! Maka, jadilah kedua kakek itu
berlomba mengadu kecepatan.
Dan.., ternyata hasilnya seimbang. Satan Selaksa Wajah berhasil memungut lima
belas bendera kuning. Setan Bodong juga mendapat hasil yang sama.
"Awasss...!" teriak Pendekar Bodoh tiba-tiba.
Pemuda remaja itu melihat Setan Selaksa Wajah hendak membokong Setan Bodong.
Tapi tampaknya, Setan Bodong selalu bersikap
waspada. Dia cuma merundukkan sedikit kepalanya
untuk menghindari tendangan maut Setan Selaksa
Wajah. Sementara, Pendekar Bodoh yang menyimpan
dendam kesumat terhadap Setan Selaksa Wajah langsung menerjang lagi!
"Kalian berdua memang Jahanam!" seru Setan
Selaksa Wajah. Mengetahui keadaannya tidak menguntungkan,
mendadak kakek bertubuh kekar itu berkelebat lenyap
meninggalkan tempat. Namun sebelum pergi dia berkata, "Kutunggu kalian berdua di
Padang Angin Malaikat
esok hari! Tepat ketika matahari memayung di atas
kepala!" Pendekar Bodoh hendak mengejar, tapi Setan
Bodong mencegah.
"Sudahlah! Untuk apa kita mengejarnya" Bukankah dia menantang kita bertempur di
Padan Angin Malaikat esok hari?"
"Tapi...."
"Tak ada kata 'tapi'! Turuti saja apa kataku! Kita pikir dulu cara untuk
melumpuhkan durjana itu!
Dia berbahaya sekali karena membawa 'Benteng Rajah
Abadi'...!"
"'Benteng Rajah Abadi'..." Apa itu?" tanya Seno,
tak mengerti. "Bendera-bendera yang kubawa inilah," beri tahu Setan Bodong. "Untung aku
berhasil merampasnya
sebagian."
"Cuma bendera! Apa hebatnya?"
"Uh! Tolol benar kau! Walau cuma bendera, tapi
benda ini bisa memenjarakan raga dan roh seseorang
sampai kiamat!"
"Ah! Begitukah?"
Pendekar Bodoh nyengir kuda.
Setengah tak percaya.
*** 8 PADANG Angin Malaikat...
Wajah sang baskara muncul tersenyum di kaki
langit timur. Hangat sinarnya menyapa ramah, menandakan hari telah berganti.
Namun, walau cerah suasana pagi baru menampakkan diri, Setan Selaksa Wajah telah
duduk terpekur di tengah Padang Angin Malaikat.
Kakek yang mampu merubah raut wajahnya
menjadi seorang pemuda tampan itu tak peduli pada
hembusan angin kencang yang terasa membeset kulit.
Rambut dan kain bajunya tampak berkibaran. Tapi, si
kakek tetap diam tertunduk tanpa bergeming sedikit
pun. Sorot matanya tajam menusuk, menatap bungkusan kain hitam yang di dalamnya
terdapat dua gumpal benda bulat.
Sejak fajar menyingsing tadi, Setan Selaksa Wajah telah berada di hamparan tanah
luas berpasir itu.
Ada seseorang yang tengah dinantikannya. Pendekar
Bodoh dan Setan Bodong" Ternyata tidak!
"Banyak Langkirrr...!" teriak Setan Selaksa Wajah, menyebut nama kecil Raja
Penyasar Sukma. "Aku
menunggumu sedari tadi di tempat ini! Tidakkah kau
ingin tahu akhir dari tugas yang kau beri kan...?"
Teriakan murid murtad Dewa Dungu itu membahana di seantero Padang Angin
Malaikat. Butiran
pasir yang berada di hadapan si kakek tampak menyembur tinggi ke angkasa. Dan,
agaknya Setan Selaksa Wajah tak perlu menunggu terlalu lama lagi karena....
"Kaukah itu, Mahisa Lodra" Kenapa kau datang
sebelum waktu yang ku tentukan" Apakah kau begitu
pintar sehingga dapat menjalankan tugas lebih cepat?"
Lamat-lamat terdengar suara seorang lelaki
yang menyahuti teriakan Setan Selaksa Wajah. Menilik
dari nada tekanan dan warna suaranya, jelas sekali bila yang menyahuti teriakan
Setan Selaksa Wajah itu
adalah Banyak Langkir atau Raja Penyasar Sukma!
"Aku ingin kau segera datang ke hadapanku,
Banyak Langkir! Bukankah kau ingin melihat kepala
Pendekar Bodoh dan Setan Bodong?" teriak Setan Selaksa Wajah lagi.
Tepat di ujung kalimat si kakek, dari arah barat
melesat segumpal cahaya kuning. Lesatan segumpal
cahaya yang menimbulkan suara bergemuruh keras
itu menuju ke hadapan Setan Selaksa Wajah!
Bibir Setan Selaksa Wajah tersenyum tipis. Matanya tak berkedip menatap gumpalan
cahaya kuning yang turun perlahan sekitar tiga tombak dari hada-
pannya. Anehnya, begitu menyentuh permukaan tanah
berpasir, gumpalan cahaya itu langsung lenyap. Sebagai gantinya, muncul seorang
kakek berpakaian serba
kuning. Kulit wajah dan tubuhnya berwarna kuning
pula seperti dilumuri air perasan kunyit. Warna rambutnya juga demikian.
Kakek yang baru muncul itu duduk bersila di
atas lempengan batu pipih. Dan, saat dia mengeluarkan suara menggerendeng,
lempengan batu yang didudukinya langsung terangkat lagi ke udara. Hingga
tampak kemudian, kakek bertubuh padat berisi itu
duduk bersila di atas lempengan batu yang terus mengambang di udara!
Dia Raja Penyasar Sukma!
"Kau datang lebih cepat dari waktu yang ku
tentukan. Teriakan mu tadi menyiratkan bahwa kau
telah berhasil menjalankan tugas. Benarkah begitu,
Mahisa Lodra...?" ujar Raja Penyasar Sukma, menyelidik.
"Kau lihat bungkusan kain hitam yang berada
di hadapanku ini, bukan?" sahut Setan Selaksa Wajah,
tetap duduk bersila di tempatnya. "Bukalah! Kau akan
segera tahu sendiri, aku berhasil menjalankan tugas
atau tidak...."
Raja Penyasar Sukma menatap tajam bungkusan kain hitam yang berada di hadapan
Setan Selaksa Wajah. Lalu, dia meluruskan telunjuk jari tangan kanannya. Dengan kekuatan
tenaga dalamnya, dia hendak membuka bungkusan kain hitam itu. Namun....
"Kau harus membukanya dengan kedua tanganmu, Banyak Langkir!" cegah Satan
Selaksa Wajah seraya menyorongkan kedua telapak tangannya untuk
menutupi bungkusan kain hitam.
"Apa maksudmu?" dengus Raja Penyasar Suk-
ma. "Walau kau sangat membenci Pendekar Bodoh
dan Setan Bodong, tapi setelah mereka menjadi mayat,
apakah kau masih tetap menyimpan kebencian itu?"
ujar Setan Selaksa Wajah penuh kesungguhan. "Pendekar Bodoh dan Setan Bodong
adalah manusiamanusia jantan yang bersikap amat ksatria. Tidakkah
kau ingin memberi penghormatan terakhir kepada mereka" Kebencian memang awal
dari permusuhan. Tapi,
seorang musuh yang dapat menunjukkan sikap ksatria
layak diberi penghormatan.... Oleh karena itu, bukalah
bungkusan kain hitam yang berada di hadapanku ini
dengan kedua tanganmu, Banyak Langkir...."
Berpikir sejenak Raja Penyasar Sukma. Namun,
tak seberapa lama kemudian, kakek berpakaian serba
kuning itu menjentikkan kedua jempol kakinya ke
lempengan batu yang didudukinya. Lempengan batu
itu langsung melayang turun ke dekat bungkusan kain
hitam. Setelah lempengan batu menyentuh permukaan
tanah berpasir, Raja Penyasar Sukma menjulurkan
kedua tangannya untuk membuka bungkusan kain hitam. Sementara, Setan Selaksa
Wajah tampak beringsut mundur dari hadapan Raja Penyasar Sukma.
Namun..., alangkah terkejutnya Raja Penyasar
Sukma. Bungkusan kain hitam yang disangkanya berisi kepala Pendekar Bodoh dan
Setan Bodong ternyata
hanya berisi kepala dua ekor kerbau!
"Haram Jadah!" umpat Raja Penyasar Sukma
seraya mengangkat wajah.
Tapi, sosok Setan Selaksa Wajah tak tampak
lagi! Setan Selaksa Wajah telah melentingkan tubuhnya sekitar lima tombak dari
permukaan tanah.
Dan, ketika masih melayang di udara, kakek yang
punya seribu muslihat licik itu mengeluarkan 'Benteng
Rajah Abadi' yang disembunyikan di balik baju. Lalu....
Wuttt...! Srat! Srat! Srat!
'Benteng Rajah Abadi' yang berupa benderabendera kecil terbuat dari kain kuning
dilontarkan mengelilingi tubuh Raja Penyasar Sukma. Dan, karena
gerakan Setan Selaksa Wajah amat cepat luar biasa,
Raja Penyasar Sukma tak sempat berbuat apa-apa. Dia
baru menyadari keadaan saat gagang bambu lima belas bendera kuning telah amblas
ke dalam tanah berpasir, mengelilingi tubuhnya!
"Jahanam kau, Mahisa Lodra!" geram Raja Penyasar Sukma. "Kau telah menipuku! Apa
pula yang kau lakukan ini"!"
Mahisa Lodra yang telah mendarat sigap di tanah, tertawa bergelak. "Ha ha ha...!
Kau adalah manusia yang tak tahu diri, Banyak Langkir! Dulu, aku adalah sahabat
baikmu! Tapi setelah kau berhasil menguasai ilmu kesaktian yang berasal dari
Kitab Tiga Dewa,
perbuatanmu sungguh-sungguh amat menyebalkan!
Kau main perintah seenak perutmu sendiri seakan aku
telah menjadi budakmu! Apa kau kira aku manusia
berotak bebal yang mau menuruti segala perintahmu"
Huh! Ketahuilah, Banyak Langkir..., saat ini aku telah
mengurung mu dengan 'Benteng Rajah Abadi'! Ha ha
ha...!" Karena terlampau mendidih darah Raja Penyasar Sukma mendengar ucapan Setan
Selaksa Wajah, kakek berkulit kuning seperti warna kunyit itu sampai
tak bisa berkata-kata. Jajaran giginya saling bertautan
amat rapat, dan memperdengarkan suara gemelutuk
keras. Dengan rahang menggembung, dia menatap so-
sok Setan Selaksa Wajah penuh amarah meluap-luap!
"Banyak Langkir...," sebut Setan Selaksa Wajah. "Sengaja aku membawakan mu
kepala dua ekor
kerbau. Kau tahu apa maksudku" Hmmm.... Kerbau
adalah binatang yang amat tolol! Dan, ketololan kerbau itu adalah cermin dari
ketololan mu! Ha ha ha...!"
Semakin menggelegak panas darah Raja Penyasar Sukma. Dadanya sampai sesak karena
desakan hawa amarah. Namun, yang bisa diucapkannya hanyalah kata-kata kotor yang tak
seberapa jelas terdengar.
"Banyak Langkir...," sebut Setan Selaksa Wajah
lagi. "'Benteng Rajah Abadi' akan mengurung mu sampai datangnya kiamat. Tapi,
kau jangan khawatir. Kepala dua ekor kerbau yang ada di dekatmu itu adalah
kerbau betina. Bila kau merasa kesepian, bolehlah kau
tumpahkan hasrat mu kepada mereka! Ha ha ha...!"
"Jahanam!" maki Raja Penyasar Sukma, keras
menggelegar. "Bagaimana mungkin kau bisa mendapatkan 'Benteng Rajah Abadi'"! Kau
pasti bersekongkol
dengan Bidadari Alam Kelam!"
"Aku tidak tolol seperti dirimu, Banyak Langkir!" sahut Setan Selaksa Wajah.
"Ada banyak jalan
untuk mewujudkan cita-cita. Ada banyak cara untuk


Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mewujudkan keinginan! Aku terlalu pandai untuk kau
jadikan budakmu! Aku terlalu pintar untuk kau perintah seenak perutmu! Dan...,
kenyataan telah membuktikannya! Ha ha ha...!"
"Jahanam!"
Sambil mengumpat, Raja Penyasar Sukma meloncat untuk menyerang Setan Selaksa
Wajah. Tapi, tubuh kakek berpakaian serba kuning itu terpental balik, lalu jatuh berguling di
sisi lempengan batu. Tubuh
Raja Penyasar Sukma benar-benar telah terkurung
oleh kekuatan gaib yang berasal dari 'Benteng Rajah
Abadi'! "Banyak Langkir...," sebut Setan Selaksa Wajah
untuk kesekian kalinya. "Sebenarnya, 'Benteng Rajah
Abadi' dapat mengurung mu sampai maut menjemput
mu. Tapi, agar kau tak bosan menunggu datangnya
Malaikat Kematian, sebentar lagi akan datang dua
orang lelaki yang akan mewakili mencabut nyawamu!
Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak, Setan Selaksa Wajah
membalikkan badan seraya melangkah pergi....
"Jahanam!" geram Raja Penyasar Sukma.
Terdorong hawa amarah, Raja Penyasar Sukma
jadi lupa keadaan. Dia lancarkan pukulan jarak jauh
ke arah Satan Selaksa Wajah. Namun, selarik sinar
kuning yang melesat dari telapak tangan kanannya
membentur kekuatan gaib yang berasal dari 'Benteng
Rajah Abadi'. Akibatnya, selarik sinar kuning itu terpental balik, dan membentur
tubuh Raja Penyasar
Sukma sendiri. Blarrr...! Breees...! Tubuh Raja Penyasar Sukma terpental, lalu
membentur kekuatan gaib yang mengelilinginya. Hingga, tubuh kakek yang telah
termakan tipu muslihat
Setan Selaksa Wajah itu terpental lagi, dan jatuh berdebam di sisi lempengan
batu yang semula dijadikannya sebagai tempat duduk.
"Argh...!"
Memekik kesakitan Raja Penyasar Sukma. Kain
bajunya hangus terbakar sebagian. Dari mulutnya menyembur darah segar. Jelas
bila dia menderita luka dalam.
Namun, tentu saja Raja Penyasar Sukma tak
mau menyerah begitu saja. Dia segera duduk berse-
madi untuk menghimpun seluruh daya kekuatannya.
Sementara, sosok Setan Selaksa Wajah sudah
lenyap dari pandangan. Dan, perlahan namun pasti,
mentari mulai bergeser naik. Hari menjadi siang....
Sesaat kemudian, dua orang lelaki tampak berjalan menuju tengah Padang Angin
Malaikat. Yang satu seorang kakek gendut berkepala gundul licin, mengenakan
rompi dan celana pendek putih kusam. Pusarnya berupa gumpalan daging sebesar
buah terong tua, dapat bergerak-gerak dengan sendirinya. Dan,
yang satu lagi seorang pemuda remaja berwajah tampan, mengenakan pakaian biru-
biru dengan ikat pinggang kain merah. Sorot mata si pemuda menyiratkan
keluguan dan kejujuran.
Mereka adalah Setan Bodong dan Pendekar Bodoh!
"Banyak Langkir...!" seru kedua orang itu saat
melihat sosok Raja Penyasar Sukma yang tengah duduk bersila.
Apa yang akan mereka perbuat"
SELESAI Segera menyusul:
PENGEJARAN KE MASA SILAM
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 10 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Pedang Bengis Sutra Merah 3
^