Neraka Gunung Bromo 2
Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo Bagian 2
tampak tercekat. Tenggorokannya turun naik, mata mereka terbelalak lebar.
Sama sekali mereka tidak menyangka kalau gadis yang sejak tadi
memunggungi mereka ini memiliki wajah yang sangat cantik luar biasa. Melihat
kecantikan si gadis. Semakin berani dan kurang ajar sajalah tindakan
mereka ini. Salah seorang dari laki-laki berpakaian hitam ini mencolek dagu si
gadis. Melihat gadis itu hanya diam sama. Maka dua lainnya tertawa mengekeh.
"Merpati cantik ini ternyata
sangat jinak sekali, kawan-kawan!"
"Dia sangat pantas untuk kau
jadikan istrimu, Kakang Wongso!" Yang berbadan lebih pendek menyahuti.
"Betul! Jika gadis ini mau
kujadikan istriku. Maka istriku yang sepuluh itu akan kuceraikan semua...!
Bagaimana Nduk, apakah kau mau menjadi istri orang kepercayaan penguasa
Gunung Bromo?"
"Kakang! Biasanya seorang gadis memang suka malu-malu! padahal hatinya sih
mau...!" berkata Karsa Jaliteng.
Yaitu laki-laki yang paling muda di antara mereka. Memerah wajah gadis cantik
ini. Tubuhnya gemetar, pertanda ia sedang berusaha meredakan
amarahnya. "Pak Tua! Siapkan hidangan yang paling istimewa buat kami dan gadis ini!"
perintahnya tegas. Hingga membuat pemilik warung yang sudah
mengetahui keganasan ketiga laki-laki kepercayaan penguasa Gunung Bromo ini
dengan tergopoh-gopoh segera
menyediakan pesanan mereka.
Ketika orang-orang berbaju hitam
ini bermaksud duduk mengelilingi gadis berbaju kuning gading. Sebuah bentakan
terdengar. "Jangan berani lagi bertindak macam-macam di depanku! Sekali kau duduk di situ!
Jangan salahkan aku jika aku terpaksa harus melempar
kalian keluar dari warung ini!"
"Eeh...!" Tiga Iblis Pemburu Nyawa sama-sama melengak. Di mata mereka semakin
marah gadis ini semakin bertambah cantik wajahnya. Tiba-tiba ketiga laki-laki
bertampang angker ini tertawa tergelak-gelak.
Bahkan laki-laki berbadan pendek
bernama Karsa Jalinteng yang sudah gatal, tangannya dengan cepat menjulur ke
dada si gadis yang padat membusung.
Tapi gadis itu dengan gerakan yang sangat sulit diikuti mata biasa sudah
mencengkeram tangan yang kurang ajar itu. Lalu....
Wuss! Sosok tubuh laksana
kilat melayang keluar melalui pintu depan.
Bruuk...! "Akkh...!" terdengar suara teriakan kesakitan di luar sana. Karsa Jaliteng
dengan terhuyung-huyung
bangkit berdiri. Sementara dua
kawannya yang masih berada di dalam warung tersentak kaget dengan mata
terpentang lebar.
"Perempuan bangsat!" maki Karsa Jaliteng yang sekarang telah berdiri di ambang
pintu. Wajah laki-laki itu berselot debu. Hidungnya mengucurkan darah. Bibirnya
jontor dan tangan
kirinya tampak bengkok. Patah.
TUJUH Semakin bertambah kaget saja dua
orang kawannya melihat Karsa Jaliteng dalam keadaan begitu rupa. Jika semula
mereka hanya bersikap ingin
mempermainkan gadis cantik yang duduk tenang di tempatnya. Maka kini
kemarahan telah menguasai jiwa mereka.
Wongso Mendit bahkan mencengkeram bahu si gadis. Laki-laki ini dapat
meremukan tulang belulang lawannya.
Untuk itu ia dikenal sebagai Tangan Baja. Setengah jengkal lagi tangan Wongso
Mendit menyentuh bahu si gadis.
Plaak! "Akhh...!" Wongso Mendit memekik keras. Tidak sampai sekedipan tangan si gadis
menghantam dadanya tanpa
menoleh sedikit pun. Laki-laki
berbadan jangkung ini terjajar dan memegangi dadanya yang terasa seperti remuk.
Bila ia melihat ke dadanya
sendiri. Maka terkejutlah ia. Bagian dada yang terkena tinju si gadis
tampak memerah memar.
"Betina liar. Kau benar-benar tidak melihat tingginya gunung di
depanmu ini!" bentak Lingga. Tiga Iblis Pemburu Nyawa tiba-tiba sambil
menggembor marah bermaksud meringkus gadis itu. Tangan mereka yang terkepal
menderu dahsyat menimbulkan angin
panas memerihkan kulit. Namun sebelum ketika serangan beruntun yang
dilakukan oleh kaki tangan penguasa Gunung Bromo sampai. Dengan gerakan yang
cepat dan indah gadis berpakaian ringkas telah melompat ke udara.
Ia menjenjakkan kakinya persis
di tengah-tengah ruangan warung.
Menyadari serangan mereka yang dapat dihindari oleh lawannya. Tiga Iblis
Pencabut Nyawa kertakkan rahang.
"Gadis liar! Tertawalah kau
sepuasmu! Jika kau telah berada dalam genggaman kami, kau pasti minta
ampun!" desis Karsa Jaliteng.
"Cepat kita ringkus! Betapa aku ingin menelanjangi tubuhnya yang mulus itu!"
kata Wongsi Mendit.
"Iblis-iblis Hina! Kalian adalah manusia rendah bermulut besar! Kalau belum
kurobek mulutmu yang kotor itu, tidak puas
hatiku!" geram gadis
berbaju kuning. Tubuhnya tiba-tiba berkelebat lenyap bagaikan bayang-bayang.
Wongso Mendit, Lingga dan
Karsa Jaliteng yang melakukan serangan ganas lebih awal jadi kelabakan.
Bahkan lebih celaka lagi. Setiap
serangan yang mereka lakukan hanya mengenai sasaran kosong.
Des! Dess! Dua kali tendangan telak membuat
Lingga dan Karsa Jaliteng jatuh
terpelanting tubuh mereka menabrak kursi dan meja yang terdapat di dalam ruangan
warung. Lalu tidak sampai
disitu saja, gadis cantik ini terus berkelebat. Dilain kejab.
"Huup!"
Tap! Kedua kakinya mendarat di
punggung Wongso Mendit. Jemari tangan yang lentik namun kokoh mencengkeram bibir
atas dan bibir bawah lawannya.
Week! Terbelahlah bibir Wongso Mendit.
Laki-laki berbadan tinggi semampai ini menjerit keras. Darahnya langsung
mengucur dari luka lebar di mulutnya yang terbelah.
"Untuk kenang-kenangan!
Berikan ini pada majikan kalian!"
Plaak! Satu hantaman keras mendarat di
kening Wongso. Bukan main kerasnya pukulan itu sehingga membuat pembantu majikan
Gunung Bromo jatuh terduduk tidak sadarkan diri.
Ruangan warung berubah sunyi.
Gadis berbaju kuning gading itu sudah lenyap. Sementara Lingga dan Karsa
Jaliteng yang kena tendangan dahsyat si gadis tampak berusaha bangkit
berdiri. Bergetar tubuh mereka berdua ketika melihat bibir Wongso Mendit
terkoyak lebar hampir mencapai
telinga. Lebih terkejut lagi saat
melihat secarik kain yang melekat di jidat kawannya. Dengan langkah
terhuyung-huyung Karsa Jaliteng
menghampiri kawannya yang tidak
sadarkan diri. Sementara itu Lingga hanya memandang dari tempatnya berdiri
dengan mata liar mencari-cari.
"Celaka! Gadis liar itu telah melarikan diri!" desisnya geram.
"Lihat ini lebih celaka lagi!"
teriak Karsa Jaliteng ketika
mendapatkan sobekan kain berwarna
kuning yang menempel ketat di jidat kawannya. Lingga datang mendekat.
"Sial dangkal! Bagaimana paku itu bisa menancap di kening kawan
kita" Coba cabut...!"
Dengan sangat hati-hati Karsa
Jaliteng mencabut paku berikut sobekan kain kuning berlumur darah.
"Ada tulisannya!" teriak Karsa Kaliteng dalam kejutnya.
Mereka pentang sobekan kain
bercampur darah. Maka terbaca beberapa baris kalimat yang membuat darah
mereka serasa mendidih.
Empat tokoh yang tergabung dalam partai Dunia Akhirat! Saat kematian bagi kalian
sudah hampir tiba!
Secepatnya persiapkan kubur kalian masing-masing. Tujuh belas tahun yang lalu
kalian berhutang nyawa kepadaku!
Dewi Bulan Wajah Lingga dan Karsa berubah
kelam membesi. Jelas ancaman itu
ditujukan pada majikan mereka. Tapi yang membuat mereka geram adalah
karena gadis yang bernama Dewi Bulan itu telah merat dari hadapan mereka.
"Apa yang kita lakukan?" Lingga berpaling pada Karsa Jaliteng
"Tidak ada pilihan lain. Kita bawa Wongso Mendit dan laporkan
peristiwa memalukan ini pada ketua kita!" Tanpa banyak cakap, Lingga langsung
memanggul tubuh Wongso
Mendit. Ketika sampai di halaman depan warung. Mereka lebih terkesima lagi
ketika melihat kuda tunggangan mereka terkapar mati dengan leher berlubang
besar. "Keparat! Sungguh keparat!
Betina itu benar-benar menginginkan kematian dari kita!" Lingga menggeram marah.
Kumisnya yang melintang tampak bergerak-gerak pertanda kemarahannya sudah sampai
di ubun-ubun. "Kita pakai kuda pemilik
warung!" Orang-orang ini segera
melepaskan kuda yang terdapat di
kandang belakang. Sekejap saja kuda-kuda itu telah melesat meninggalkan debu-
debu di udara. "Kudaku! Ah... maling-maling
pemeras rakyat itu...!" desis bapak pemilik warung tanpa mampu berbuat apa-apa.
*** Puncak gunung Mahameru yang
biasanya sepi, pagi-pagi itu
dipecahkan oleh suara bentakan-
bentakan disertai teriakan
menggelegar. Bumi laksana terbelah, langit bagai terkoyak. Terlebih-lebih ketika
terjadi ledakan-ledakan dahsyat di satu tempat. Daun-daun jati tampak
berguguran. Segala jenis binatang lari terkencing-kencing meninggalkan
sarangnya. Monyet-monyet siluman
menyelamatkan diri mencari tempat
sembunyi. Dan bila memandang ke puncak Mahameru. Maka di sana terlihat dua sosok
tubuh sedang bertarung.
Pertarungan yang bukan saja Maha
dahsyat, namun juga sangat mengerikan.
Betapa tidak dua orang yang terlibat pertempuran sengit itu berkelebat
laksana bayang-bayang saja. Angin
pukulan yang mereka lepaskan terasa memanggang tubuh. Debu dan batu-batu kecil
beterbangan. Pohon-pohon di
sekitarnya meranggas tanpa daun akibat pertempuran itu. Sesekali terdengar
bentakan dahsyat, lalu ada makian dan sumpah serapah. Tapi anehnya suara tawa
pun terkadang menggema di sana.
"Kerahkan jurus 'Kera Putih
Memilah Kutu', Suro...!" terdengar teriakan laki-laki berbaju serba putih dan
berambut, jambang serta jenggot berwarn a putih.
"Guru, kau...!" Pemuda gagah yang berdiri bertolak pinggang memakai baju warna
biru muda tidak dapat teruskan ucapannya. Kakek serba putih di depannya sambil
keluarkan bentakan melengking langsung menerjang ke
depan. Tangan kanan menotok ke sepuluh bagian jalan darah. Tangan kiri
menyiku ke perut sedangkan kaki yang setengah berjongkok berjingkat-jingkat
memburu. Walaupun jurus yang dilancarkan
si kakek terkesan lucu dan terkadang tangan menggaruk-garuk seperti orang kena
penyakit gatal. Tapi serangan itu benar-benar sangat berbahaya. Suro Blondo
pemuda berambut gondrong
memakai ikat kepala warna biru belang-belang kuning sadar benar bahaya besar
sedang mengancamnya. Untuk itu ia
menggenjot kedua kakinya. Tubuhnya melesat ke udara kemudian melakukan salto
beberapa kali. Begitu tubuhnya menderu ke bawah. Maka ia sudah
hantamkan kedua tangannya dengan
mempergunakan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'. Inilah
salah satu jurus yang tidak kalah
dahsyatnya dengan jurus yang
dilancarkan oleh si kakek.
Wuuk! Buuk! Buuk! "Gila! Gila betul!" desis Suro Blondo sambil menyeringai kesakitan.
Ia memang berhasil memukul punggung kakek yang menyerangnya dengan ganas.
Tapi kakek itu dengan gerakan yang sangat aneh sekali sempat menghantam jidat
pemuda baju biru muda. Kepalanya mendenyut sakit, seribu kunang-kunang bertabur
di matanya. "Sebentar lagi Suro! Sebentar lagi kau mampus!" Si kakek miringkan badannya.
Tangan diputar-putar sambil menggaruk-garuk sekujur tubuhnya tidak ubahnya
seperti tingkah seekor monyet.
Tangan si kakek bergetar hebat.
Tangannya bergerak cepat, hingga
dilihat sepintas lalu tangan itu
berubah menjadi ribuan jumlahnya.
"Eeh.. dia mengerahkan jurus
'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'.
Benar-benar edan! Ia ingin membunuhku rupanya!" desis si pemuda.
"Jangan memaki bocah blo'on.
Mampus...!" teriak si kakek. Tangan yang telah berubah banyak itu menderu ke
seribu arah. Angin kencang
berhembus, udara berubah panas seperti di neraka.
"Hiyaat...!" Suro Blondo tidak menunggu lebih lama lagi. Tubuhnya berkelebat
terhuyung-huyung, terkadang ia berjongkok dan melompat-lompat.
Sungguh aneh dan lucu gerakannya. Tapi tidak lama setelah itu terdengar suara
tawanya yang tidak beraturan. Tawa itu terdengar melengking tinggi,
menyakitkan gendang-gendang telinga.
Kadang berubah pelan mendayu-dayu.
Namun dilain saat telah berubah
seperti suara rintihan tangis,
memilukan. Tangan dan kaki mendorong ke segala penjuru arah. Selanjutnya
melompat dan menendang. Inilah jurus
'Tawa Kera Siluman'.
Si kakek menggeram marah,
mulutnya mengomel panjang pendek. Lalu terdengar suara bentakan dahsyat
merobek langit. Tangan-tangannya yang seakan berubah menjadi banyak itu
menghantam dengan kecepatan dua kali kecepatan suara.
Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Edan! Kau benar-benar mau membunuhku!" Suro Blondo meradang. Ia berkelit
secepat yang ia mampu.
Wuus! "Hups...!" Walaupun pemuda berbaju biru muda memakai ikat kepala warna biru
belang kuning dapat
menghindari tinju yang menggeledek itu. Tidak urung ia menjerit ketika sambaran
angin panas menyengat
melabrak dada. Suro Blondo usa-usap dadanya. Tampak dada itu memerah. Ia
langsung melompat menjauh. Hatinya menggerutu,
mulutnya pletat-pletot,
lalu tersenyum.
"Ha ha ha...! Bagus! Gila, tolol blo'on, sedeng! Tidak sia-sia! Tidak sia-sia.
Kau dengar...!" Melihat gurunya tertawa dan tampak hentikan serangan. Maka Suro
Blondo pemuda tampan bertampang, konyol, kocak dan blo'on ini ikut tertawa-tawa.
"Bagus! Ha ha ha...! Guru hampir membunuhku! Ha ha ha... gila benar!"
Ucapan dan tawa Suro Blondo melenyap.
Terlebih-lebih setelah melihat kedua telapak tangan kakek baju putih
menapak tanah. Suro Blondo segera
menyadari kalau gurunya bermaksud
melepaskan pukulan yang sangat
dahsyat! "Hah... dia ingin melepaskan
pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'.
Aku harus mempergunakan pukulan apa?"
memaki Suro Blondo dalam hati. Tiba-tiba saja ia berteriak: "Guru! Kau jangan
main-main dengan pukulan itu.
Aku bisa mati...!"
"Kalau semua akal yang kau
miliki sudah hilang! Maka kau memang pantas mati di tanganku!" menggeram
Penghulu Siluman Kera Putih.
DELAPAN "Walah, mati aku!" Suro Blondo menggerendeng. Ia melihat gurunya yang dalam
posisi berjongkok dan tangan mentetak tanah semakin bergetar hebat.
Kedua tangannya memancarkan sinar
merah kehijau-hijauan. Udara di
sekitarnya telah berubah pula menjadi panas menggila.
"Nguk! Nguk! Hiyaa...!" sambil berteriak tinggi melengking hingga membuat runtuh
daun-daun jati pada pohon-pohon sekitarnya. Tubuh Barata Surya melesat ke atas,
dua tangannya menghantam ke depan.
"Kiamat...!" teriak Suro Blondo.
Tanpa sungkan-sungkan lagi ia pun
segera mengerahkan tenaga dalam yang telah mencapai tarap kesempurnaan.
Dilain kejap dengan kaki kiri ditekuk ke depan. Ia dorong tangannya yang telah
berubah menjadi biru terang.
Seleret sinar biru redup datang
bergulung-gulung menyongsong pukulan dahsyat yang dilepaskan oleh si kakek.
Udara di sekitarnya berubah dingin dan panas tidak ketulungan. Puncak
Mahameru seakan dilanda gempa hebat.
Bummm! Buummmm! "Edan! Curang! Kau curang...!"
memaki Penghulu Siluman Kera Putih ketika melihat kenyataan bahwa Suro Blondo
mempergunakan pukulan dahsyat
'Matahari dan Rembulan Tidak
Bersinar'. Pukulan itu adalah pukulan dahsyat yang diwariskan oleh kakek Suro
Blondo sendiri.
"Ha ha ha! Mampus...!" Suro Blondo terkekeh-kekeh saat melihat gurunya jatuh
terguling-guling.
Bibirnya mengalirkan darah. Tapi tidak lama kakek baju putih telah bangkit
berdiri. Malah ia tertawa pula, seakan tidak merasakan sakit yang
dideritanya. Pada dasarnya guru dan murid ini memang sama-sama konyol, sama-sama
sinting dan blo'on pula.
Sehingga walaupun Suro Blondo sendiri sempat merasakan dadanya seperti
dihimpit batu ribuan kati. Ia juga tetap tertawa-tawa.
"Kau curang! Matahari dan
Rembulan Tidak Bersinar bukan
milikku." kakek baju putih bermonyong-monyong.
"Memang! Kakek Malaikat
Berambut Api yang mengajarkannya
padaku! Tapi kan sama saja! Orang tua itu adalah guruku juga!" Suro Blondo
pemuda bertampang tolol berambut merah ini usap-usap dadanya.
"Ujian dariku telah selesai,
Suro! Pohon-pohon telah roboh, daun-daun telah berguguran. Dan puncak
Gunung Mahameru ini hampir runtuh!
Tapi masih ada satu ujian lainnya yang tidak kalah dahsyat! Kakekmu sebentar
lagi pasti muncul di sini. Ingat di hadapannya kau tidak bisa cengengesan kayak
kunyuk sebagaimana berhadapan denganku. Gurumu yang satu ini harus kau hadapi
dengan serius. Kalau kau memang tidak ingin dikemplang kepala dan ditendang
pantatmu."
"Saya mengerti, Guru!"
"Mengerti apa?"
"Mengerti kalau guru yang di
hadapanku ini, gila, miring
otaknya...!"
"Edan! Jangan sekali lagi kau menghinaku! Aku tidak main-main bocah Blo'on...!"
Suro Blondo katupkan mulutnya ketika melihat Penghulu
Siluman Kera Putih pelototkan mata.
"Mohon maafmu!"
"Jangan kau tunjukkan sikap
konyolmu di depan kakekmu! Beliau
merupakan orang yang tidak suka main-main. Karena beliau ingin mengujimu.
Kuharap kau lebih ber-hati-hati dalam menghadapinya. Salah sedikit kau punya
badan bergerak atau menghindar. Bisa-bisa tubuhmu terbelah dan dicincang jadi
perkedel!"
"Jangan sampai."
"Jangan sampai apa?"
"Jadi perkedel! Aku mau jadi
menusia saja, guru!"
"Kalau kau ingin menjadi manusia sejati maka kau harus membela orang tuamu. Kau
tahu siapa kedua orang
tuamu, Suro?" tanya Barata Surya sambil memandang tajam pada muridnya.
Suro Blondo mengangguk.
"Siapa orang tuamu?"
"Guru dan kakek Malaikat
Berambut Api!"
"Buset! Goblok benar kau ini,"
maki Barata Surya. Diam-diam hatinya geli juga melihat ketololan muridnya.
"Kau punya kemaluan jenis apa, Suro?"
"Sialan! Dia bertanya yang
bukan-bukan!" maki Suro Blondo dalam hati.
"Tolol! Memaki pula kau! Coba sebutkan?"
"Batangan, Guru!"
"Aku punya juga batangan! Kalau kakekmu?"
"Eee...!" Suro Blondo mengusap-usap dadanya. "Sama batangan juga guru."
"Batangan lawan batangan apa
mungkin menghasilkan kau yang bego!"
"Wah tidak tahu! Soalnya guru dan kakekku tidak pernah kasih tahu!"
sahut Suro Blondo.
Sikap Barata Surya kemudian
berubah serius. "Ketahuilah, kedua orang tuamu berjuluk Sepasang Golok Terbang!
Mereka tewas di tempat
kediamannya di Gunung Bromo sesaat setelah melahirkan kau!"
Suro Blondo kertakkan rahang.
Sekujur tubuhnya menggigil dijalari luapan amarah. "Apakah ayah dan ibu tewas
karena melahirkan aku?"
"Goblok! Yang melahirkan itu
ibumu! Sedangkan ayahmu hanya
berpartisipasi saja atas kehadiranmu!
Ingat.... Suro. Yang membunuh orang tuamu adalah Kala Demit dan juga
Sepasang Iblis Pegat Nyawa. Mereka itu adalah manusia-manusia berhati kejam yang
menginginkan dirimu pada masa itu. Kau carilah mereka dan buat
perhitungan yang setimpal! Jangan kau buat kecewa arwah orang tuamu, Suro.
Dan selalu berhati-hatilah, karena mereka merupakan orang-orang sakti
berkepandaian sangat tinggi!" Pesan Penghulu Siluman Kera Putih.
Wajah Barata Surya tertunduk.
Dilain saat matanya memandang jauh ke depan. Ada kesedihan membayang di
wajahnya. Terlebih-lebih bila
mengingat waktu berpisah di antara mereka semakin bertambah dekat.
Bagaimana pun Suro Blondo adalah
seorang murid yang sangat dikasihinya.
Meskipun wajahnya yang tampan itu
terkesan tolol, tapi semua pelajaran silat tingkat tinggi yang diberikan padanya
dapat dipelajarinya dengan baik. Watak konyol, sifat sintingnya sama benar
dengan watak Barata Surya.
Walaupun ia juga dapat bersikap serius berkat disiplin yang diterapkan oleh
Malaikat Berambut Api. Namun semua itu tidak mampu menghapus kesan blo'on di
wajahnya. "Guru sedih?"
Ucapan Suro Blondo membuat
Barata Surya terkekeh. "Siapa yang sedih Suro. Siapa menangis bila
berpisah dengan murid tolol
semacammu!" desis kakek baju putih terus tertawa-tawa. Suro Blondo pun ikut
tertawa walau tawanya terdengar sumbang.
Tawa mereka serta merta lenyap.
Angin kencang menderu-deru. Lalu
terdengar suara menggeram menyertai berhembusnya angin kencang itu. Barata Surya
memandang ke arah datangnya badai topan dan ke arah muridnya silih berganti.
"Sudah waktunya Suro. Sudah tiba waktunya bagimu menghadapi kakekmu sendiri!"
Tubuh Barata Surya bergetar hebat. Sinar putih laksana kilat
menggebu dan mengurung sang guru.
Dilain kejap sosok Barata Surya yang berujud siluman melenyap.
"Guru...!" Suro Blondo berseru kaget.
Dilain kejap di hadapan Suro
Blondo berdiri seorang kakek jangkung berambut merah dan berbaju serba
merah. Berbeda dengan Penghulu Siluman Kera Putih yang kocak, konyol dan
sinting. Sedangkan kakek berjenggot merah ini tampangnya dingin berwibawa.
Dalam segala hal ia tidak pernah
tertawa. Suro Blondo menjura hormat.
Sikapnya jelas-jelas tampak lucu
sekali. Bukan satu kebiasaan yang
dibuat-buat tapi memang begitulah
kebiasaan pemuda itu.
"Suro! Akhir penggemblenganmu sudah sampai pada batasnya! Sekarang pergunakanlah
segala yang pernah kau dapatkan selama ini! Huups...!" Tanpa banyak cakap lagi,
Malaikat Berambut Api berteriak keras. Tubuhnya
berkelebat lenyap laksana bayang-
bayang. Tangannya melakukan totokan ke batang leher Suro, kaki menendang
keselangkangan. Serangan beruntun yang datang secara bersamaan ini sungguh
dahsyat alang kepalang. Jika bukan Suro Blondo yang menghadapinya,
mungkin sejak tadi tubuh orang itu terjengkang roboh. Jemari tangan si kakek
yang terkembang tampak menyapu, membabat dan menusuk. Sambaran angin bersiuran
dan dingin bukan main.
Setiap pohon-pohon yang terkena
sambaran ujung jari si kakek terbabat roboh seperti dipotong benda tajam.
Dapat dibayangkan berapa dahsyatnya serangan kakek serba merah ini.
Menghadapi serangan ganas ini
Suro Blondo tidak bersikap sungkan lagi. Ia mengerahkan jurus 'Kacau
Balau'. Yaitu salah satu jurus yang pernah dipelajarinya dari kakek tua yang
menyerangnya. Gerakan hebat yang dilakukan oleh Suro Blondo benar-benar tidak
teratur. Tubuhnya huyung ke
kanan huyung ke kiri. Tangan kanan menderu dahsyat menghantam dada
lawannya, sedang tangan kiri mencakar wajah si kakek.
"Hmm...!" Malaikat Berambut Api menggeram tidak jelas. Ia menarik
kembali serangannya. Tubuh laki-laki ini terus berkelebat. Kaki deras
menyambar. Dengan gerakan-gerakan yang semakin kacau, namun cepat luar biasa
Suro Blondo bersalto ke belakang.
Sehingga serangan ganas yang dapat meremukkan dadanya luput. Ia tidak sempat
lagi menarik napas. Dengan
ganas dan sambil cengar-cengir ia
melakukan serangan balasan.
"Bagus! Hebat!" Malaikat Berambut Api berseru memuji. Lalu
tangannya diputar sedemikian rupa di atas kepala. Sinar merah bergulung-gulung
menerjang Suro Blondo sekaligus menyerang dan mengepungnya.
"Huup!"
Suro Blondo menghindar ke
samping. Tinju Malaikat Berambut Api tiba-tiba menggebrak dadanya. Ia tidak
menunggu, sikut kanannya menghadang.
Duuk! Malaikat Berambut Api tertawa
rawan. Tangannya yang membentur sikut muridnya tampak memerah, tubuhnya
sempat tergetar pula. Sebaliknya Suro Blondo meringis kesakitan. Ia usap-usap
sikunya sebentar, lalu sambil cengar-cengir ia mendahului menyerang gurunya.
Gerakan yang dilakukan Suro
Blondo cepat bukan main. Dalam waktu hanya sekejap mata pekikan-pekikan
menggelegar laksana menghancurkan
gendang-gendang telinga, menggetarkan puncak Gunung Mahameru sekaligus
memporak-porandakan hutan di
sekelilingnya. Inilah jurus 'Neraka Pembasmi Iblis' yang ganas itu. Hanya dalam
waktu tujuh jurus setelah Suro Blondo mengerahkan jurus 'Neraka Pembasmi Iblis'.
Malaikat Berambut Api tampak mulai terdesak. Angin kencang bergulung-gulung
membuntal tubuh si kakek. Laki-laki berbaju merah ini ganda tertawa menyadari
tubuhnya mulai terdorong hebat akibat gempuran
dahsyat muridnya. Kemudian ia
membentak. Serangan ganas dan deru angin kencang seakan tertahan dan membalik
menyerang Suro Blondo.
"Gila betul!" pemuda berambut merah ini menggerendeng. Kakinya
setengah tertekuk ke depan. Mulutnya berkomat-kamit disertai menyemburnya suara
tawa yang membuat budek gendang-gendang telinga dan menyempitnya
pembuluh darah.
'"Ratapan Pembangkit Sukma'...!"
teriak Suro Blondo. Tangannya yang melintang ke depan dada dan diputar ke atas
dan ke depan tiba-tiba melambai ke arah Malaikat Berambut Api.
"Mari kita sama-sama mengadu
jiwa!" desis kakek berambut merah.
Tubuhnya bergetar keras. Tangannya diputar sedemikian hebat laksana
titiran. Di lain saat di tangan kakek tua ini terdapat sebilah senjata
berbentuk aneh. Senjata aneh itu
mengeluarkan bunyi seperti orang
meratap dan menghiba-hiba. Dilain
kejab berubah menjadi suara siulan atau ringkikan kuda. Sinar hitam
dingin menggidikkan bergulung-gulung membentuk sebuah perisai yang sangat hebat.
"Hiyaa...!" Sinar putih laksana salju melesat dari telapak tangan Suro Blondo.
Akibat lesatan sinar itu
membuat suasana di sekitarnya berubah dingin menggidikkan. Ditambah lagi udara
dingin yang terpancar dari
senjata aneh warna hitam di tangan gurunya. Maka udara di sekelilingnya
menghampar hawa dingin mematikan.
Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bumm! Buuummmm! "Wuakh... celaka...!" Suro Blondo memekik setinggi langit.
Pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'
yang dilepaskannya kandas terhantam senjata aneh di tangan gurunya.
Dentuman keras akibat benturan dahsyat tadi membuat tanah di depan mereka
berlubang besar. Suro Blondo
terhuyung-huyung. Meskipun tubuhnya seperti remuk, ia masih mampu
cengengesan. SEMBILAN Malaikat Berambut Api lintangkan
senjata berbentuk aneh itu ke depan dada. Mulutnya menyeringai, wajahnya yang
kemerah-merahan berubah kelam membesi.
"Suro Blondo! Kau memiliki
pukulan Maha Dasyat yang kuberi nama pukulan 'Neraka Hari Terakhir'! Kurasa
hanya pukulan itulah yang mampu
menandingi Mandau Jantan di tanganku ini. Ini adalah senjata sakti yang tidak
dapat dibuat main-main, Suro!
Perhatikanlah...!"
Suro Blondo tidak sempat lagi
perhatikan senjata di tangan si kakek.
Laki-laki di depannya sambil
mengerahkan tenaga dalam ke bagian tangannya memutar senjata berwarna hitam itu
hingga menimbulkan angin dahsyat menderu-deru. Bahkan sekarang seluruh rambut
kakek tua itu telah berubah merah menyala. Sadarlah pemuda bertampang Blo'on di
depan si kakek.
Bahwa kakek merangkap guru ini telah mengerahkan tenaga dalam pada puncak
tertinggi. "Weleh, kakek sinting itu
rupanya benar-benar ingin membuat aku mampus...!" Suro Blondo leletkan lidah. Ia
menarik kaki kirinya ke
belakang. Tangan disilangkan ke depan dada dalam keadaan terkepal. Tubuhnya
bergetar hebat ketika Suro Blondo
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Akibat pengerahan tenaga
dalam sampai pada puncaknya disertai hawa amarah yang menggelagak. Maka secara
aneh rambut Suro Blondo yang kemerah-merahan itu berubah merah
bagaikan api. Itulah pukulan 'Neraka Hari Terakhir' yang telah siap
dilepaskan oleh si pemuda tampan
bertampang blo'on.
Sontak sekujur tubuhnya
mengepulkan uap panas. Udara di
sekitar puncak gunung hingga ke lereng Mahameru berubah panas seperti di
neraka. Daun-daun berubah layu,
berguguran akibat sengatan hawa panas mamatikan itu. Dalam keadaan
berkelebat lenyap itu. Malaikat
Berambut Api menggeram. Ia babatkan senjata sakti Mandau Jantan di
tangannya. Suro Blondo memekik kaget.
Tapi cepat hantamkan kedua tangannya memapaki senjata maut di tangan
gurunya. Sinar merah panas membutakan mata bergulung-gulung menerjang ke arah si
kakek. Laki-laki itu segera merasakan bagaimana panasnya api yang menyengat. Ia
kiblatkan Mandau Jantan di tangannya. Hawa dingin menghadang dan menghalau sinar
merah menghanguskan yang nyaris menghantam tubuhnya.
Blaar! Blaar! Dentuman-dentuman keras
menggelegar laksana membelah langit.
Membuat tanah puncak Mahameru menjadi longsor. Pohon-pohon besar
bertumbangan. Baik Malaikat Berambut Api yang rambutnya berubah merah
memancarkan cahaya maupun pemuda
tampan bertampang blo'on sama-sama terlempar jauh dari kalangan
pertempuran. Bahkan sebagian longsoran tanah sempat menimbun tubuh mereka.
Sehingga tampak hanya tinggal rambut mereka saja yang berwarna merah
menyala. "Uhuk! Uhuk...! Tobat-tobat...!"
kata Suro Blondo yang baru saja keluar dari reruntuhan tanah. Sementara itu
Malaikat Berambut Api
yang juga mengalami nasib sama telah duduk di atas gundukan tanah yang menguruknya dengan
mata terpejam. Suro Blondo seka jidatnya yang mengucurkan keringat.
Sebentar ia memandangi kakeknya yang diam tidak bergeming.
"Ufss... napasku sesak. Sekujur tulangku seperti mau remuk. Mata pedih kulit
hangus. Ah... guruku apakah ia menderita luka dalam juga. Aku harus
menolongnya!" Suro Blondo melompat ke depan. "Guru... kau...!" kata-kata pemuda
tampan bertampang blo'on
tertahan. Ia melihat mata gurunya
terbuka kembali. Tatapan matanya
memandang tajam ke arah Suro Blondo.
Sedangkan dipangkuannya terlihat
senjata aneh yang tadi telah
dipergunakannya untuk menyerang Suro Blondo.
"Duduklah mendekat, cucuku!"
terasa berat suara Malaikat Berambut Api. Pemuda berbaju biru tampak ragu-ragu.
Namun matanya tidak lepas
memandang senjata hampir sepanjang pedang, namun memiliki ujung runcing pada
punggungnya, sedangkan di tengah-tengahnya yang berbentuk pipih
memiliki empat lubang miring. Gagang Mandau Jantan seperti yang dikatakan
gurunya tadi. Tampaknya terbuat dari mata akar bahar berbentuk seorang
pertapa berkepala gundul dan mempunyai kuncir di atas kepala botaknya. Suro
hanya dapat menduga, mungkin empat lubang miring di tengah-tengah senjata itulah
yang tadi saat dipergunakan mengeluarkan suara yang aneh-aneh.
"Mendekatlah kemari, mengapa
takut"!"
Sambil menyeka keningnya yang
terus berkeringat, Suro Blondo
menyeringai. Ia segera duduk di depan kakeknya.
"Di depanku kuharap kau jangan cengengesan seperti gurumu yang
sinting itu...!" kata Malaikat Berambut Api. Suaranya tajam, namun tegas. Suro
katupkan bibirnya rapat-rapat. Ia teringat pesan Barata Surya tentang bagaimana
ia harus bersikap bila berhadapan dengan kakek
kandungnya ini.
"Suro Blondo! Kau tahu mengapa hari ini kakekmu ini menguji segala kemam-puanmu
yang telah kau pelajari dariku juga dari gurumu Barata Surya?"
"Tahu guru, eeh... Kakek...!"
"Apa?"
"Kakek mungkin mau hadiahkan
padaku sebuah senjata aneh yang dapat merintih, dapat bersiul dan dapat pula
meringkik seperti kuda!"
"Gundulmu! Bukan itu tujuan
utama!" Malaikat Berambut Api mendengus gusar.
"Maaf, kalau begitu aku tidak tahu!" kata Suro sambil menjura lucu.
Dewana alias Malaikat Berambut Api geleng-geleng kepala. Sekeras-kerasnya
Malaikat Berambut Api mendidik Suro Blondo dalam berdisiplin. Namun karena
dasarnya ia memang memiliki watak yang kocak, konyol dan lucu. Tetap saja Suro
Blondo menjadi dirinya sendiri.
Belum lagi bila mengingat begitu
dekatnya Suro Blondo dengan Penghulu Siluman Kera Putih yang memang miring.
"Suro! Tahukah kau sudah berapa tahun kau tinggal dan berguru di
puncak Mahameru ini?"
"Ee... kalau tidak salah baru lima tahun!"
"Blo'on. Jangan bergurau."
rungut kakek berbaju merah.
"Kalau tidak salah sudah hampir delapan belas tahun!"
"Bagus!" Malaikat Berambut Api tersenyum puas. "Selama itu kau sudah mempelajari
seluruh ilmu sakti yang kami punya. Kau harus ingat. Bila kau meninggalkan
puncak Mahameru ini. Maka orang-orang yang perlu kau cari adalah musuh besarmu
yang telah membunuh
kedua orang tuamu! Selain itu
pergunakanlah segala kesaktian yang kau miliki untuk menolong
sesama manusia yang membutuhkan pertolongan.
Jangan congkak dan takabur terhadap apa yang kau punya. Karena di atas langit
masih ada langit!"
Suro Blondo mendongak ke langit
tiba-tiba. "Ah, kakekku pikun barangkali. Sejak dulu langit cuma satu." membatin
Suro Blondo. "Sinting! Maksudku semuanya
adalah perumpamaan." desis kakek Dewana yang seakan mengerti apa yang dipikirkan
oleh cucunya. Suro tepuk-tepuk jidatnya.
"Disamping itu, Suro Blondo.
Akhir-akhir ini kudengar di puncak Gunung Bromo ada sekawanan manusia iblis yang
telah begitu berani membuat cemar dan mengobrak-abrik tanah milik leluhurmu!
Juga merupakan tugasmu
untuk membasmi manusia-manusia durjana pemeras rakyat itu. Lakukanlah apa yang
dapat kau lakukan. Pergunakan apa yang dapat dari kami untuk kebenaran.
Apakah kau mengerti Suro?"
"Mengerti, Kek?"
"Mengerti apa?"
"Semua ilmu yang Kakek dan guru Barata Surya berikan kepadaku, hebat semua!"
sahut Suro Blondo, mimiknya terkesan serius.
"Geblek! Sinting! Bukan itu
maksudku!"
Pemuda bertampang blo'on usap-
usap keningnya. "Sekarang aku sudah mengerti apa yang Kakek maksudkan. Dan aku
berjanji tidak akan membuat Kakek kecewa." kata Suro Blondo serius.
Malaikat Berambut Api, tokoh
sakti dari pulau Seribu Satu Malam dari laut selatan ini terdiam. Ia
menimang-nimang senjata Mandau Jantan yang berwarna putih itu dari
pinggangnya. Suro memperhatikan semua itu tanpa pernah berkedip sekali pun.
Sreek! Senjata berbentuk aneh dengan
lubang miring di tengahnya itu
dimasukkan ke dalam rangkanya.
"Kau sudah melihat senjata maut tadi, Suro?" kakek Dewana memandang tajam pada
muridnya. Suro Blondo
mengangguk. "Hampir tujuh puluh tahun aku membuat senjata sakti itu, Suro.
Segenap kemampuan dan kesaktianku
kucurahkan pada senjata ini. Dalam umur delapan puluh lima tahun. Sudah saatnya
bagiku untuk menyerahkan
senjata sakti ini pada orang yang
pantas!" Suro Blondo tersentak kaget.
Semula ia menyangka umur kakeknya
paling baru lima puluh tahun. Tidak tahunya sudah delapan puluh lima.
"Kupesankan padamu. Rangka
Mandau Jantan ini dapat melenyapkan segala macam bisa! Kau dapat
mempergunakannya jika sewaktu-waktu kau benar-benar membutuhkannya. Nah sekarang
terimalah...!" Malaikat Berambut Api mengangsurkan tangannya pada Suro Blondo.
"Guru, Kakekku! Mana berani
aku...!" "Goblok! Terima kataku!" bentak kakek Dewana, marah bukan main.
"Tapi...!" Suro masih ragu-ragu.
"Kenapa?"
"Apa aku pantas menerima
kepercayaan ini?"
"Tentu saja. Karena senjata ini khusus kuciptakan untuk orang
sepertimu. Perlu kau tahu, mulai saat ini karena tampangmu yang tolol itu.
Maka kau pantas kuberi gelar Pendekar Blo'on...!"
Suro Blondo kerutkan kening.
Wajahnya tampak berubah memerah. Tapi kemudian terdengar suara tawanya
membahak. Tawa itu semakin lama
semakin meninggi membelah langit. Jika bukan Malaikat Berambut Api yang
berada di depan Suro Blondo. Niscaya orang itu terjengkang roboh akibat pengaruh
suara tawa si pemuda.
"Diam! Kenapa kau tertawa?"
Malaikat Berambut Api meradang.
(Meradang = marah).
"Pendekar Blo'on... guru Barata Surya juga pernah berkata begitu. Aku setuju...
ha ha ha.... Blo'on...! Tapi pintar...!" Suro Blondo tertawa dan tertawa lagi.
Perutnya terguncang-guncang. Matanya sampai terpicing
karena geli. Namun pemuda ini tampak terkejut
ketika membuka mata, Malaikat Berambut Api sudah lenyap dari hadapannya. Suro
Blondo mencari-cari. Dikejauhan sayup-sayup terdengar suara Dewana.
"Aku akan pulang ke pulau Seribu Satu Malam. Sekarang sudah waktunya bagimu
untuk turun gunung...!"
"Wah aku harus turun gunung.
Bagaimana ini... ke mana perginya
guruku, si sinting yang satunya lagi ke mana dia. Beliau sekarang berada di
mana?" Suro Blondo usap-usap jidatnya yang keringatan. Tiba-tiba terdengar
sebuah suara yang seakan datang dari sebuah tempat yang sangat jauh seperti dari
perut gunung Mahameru.
"Anak bodoh! Jangan cuma
celingak-celinguk seperti kunyuk!
Lekas kau merat tinggalkan tempat
ini! Aku sudah muak lihat tampangmu!"
Jelas yang bicara melalui ilmu
mengirimkan suara itu adalah Barata Surya, gurunya yang konyol.
"Walah! Siluman jelek! Aku sudah bosan mendekam terus di puncak
Mahameru ini!" Ucapan itu disambung dengan suara tawa membahak yang tidak putus-
putusnya. Hingga membuat suasana di sekelilingnya seperti diguncang petir.
SEPULUH Adalah satu kecelakaan besar
bagi siapa saja yang berani
menentang kekuasaan partai Dunia Akhirat. Balung Raja, Braja Musti, Baja Geni
dan Ki Rambe Edan jadi
uring-uringan setelah membaca
sobekan kain kuning yang dibawa oleh Tiga Iblis Pemburu Nyawa. Hampir enam belas
tahun selama mereka mendirikan markas besar di puncak gunung Bromo.
Belum pernah ada seorang pun orang-orang rimba persilatan berani mengusik atau
mencampuri sepak terjang mereka yang ganas. Tapi hari ini tiga
pembantu utama telah jadi pecundang seorang gadis cantik yang tidak pernah
mereka kenal sama sekali.
Sungguh pun suasana di dalam
markas yang mirip istana kecil ini semakin memanas. Namun karena begitu
banyaknya urusan yang harus
diselesaikan oleh pentolan-pentolan yang tergabung dalam partai Dunia
Akhirat. Maka mereka hanya mengirimkan seorang tokoh sakti bernama Braja
Musti. Pagi-pagi sekali laki-laki bertampang kejam bersenjata bola berduri ini
dengan diiringi oleh Tiga Iblis Pemburu Nyawa tampak menggebrak kuda
tunggangannya menuju daerah
Nongkojajar. Seperti dikejar-kejar setan mereka memacu kuda-kuda
tunggangan itu. Setiap orang yang
dijumpai di tengah jalan, cepat-cepat menyingkir saat melihat siapa para
penunggang kuda tersebut.
"Heya...!"
"Heya...!" suara teriakan-teriakan menyelingi derap langkah kaki kuda. Debu
mengepul ke udara. Semakin lama para penunggang kuda itu semakin jauh
meninggalkan lereng Gunung Bromo.
Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum sampai di daerah
Nongkojajar di sebuah tempat yang agak tersembunyi terdapat sebuah telaga yang
cukup luas. Airnya terasa sejuk karena memang di atas telaga itu
tertutup pohon-pohon liar yang cukup tinggi. Masih dari atas telaga,
terdengar suara seseorang
bersenandung. Menilik besarnya suara pastilah pemiliknya merupakan seorang
gadis. Atau mungkin juga seorang
banci, atau boleh jadi kuntilanak.
Terlebih-lebih mengingat di daerah itu tidak satu pun terlihat ada rumah
penduduk. Seorang pemuda yang baru saja muncul dari arah utara. Mendadak saja
menghentikan langkahnya. Ia
menarik napas dalam-dalam saat mencium bau harum yang sangat menyengat.
Sesaat pemuda berbaju biru muda
memakai ikat kepala warna biru belang-belang kuning ini celingak-celinguk
menyapu pandang tempat di
sekelilingnya. Wajah pemuda ini
sebenarnya cukup tampan, rambutnya hitam kemerah-merahan. Cuma tampangnya
seperti orang Blo'on. Lagaknya yang cengar-cengir menimbulkan kesan lucu yang
polos. "Bau wangi ini apakah bau setan"
Tapi ada orang menyanyi-nyanyi. Ah...
sepertinya dari sana...!" Tanpa prasangka apa-apa, pemuda berbaju biru muda ini
bergerak mendatangi. Semakin dekat ia ke arah telaga, maka suara nyanyian
semakin bertambah jelas, bau harum yang sempat terendus hidungnya juga semakin
menyesakkan dada. Si
pemuda yang tiada lain Suro Blondo alias Pendekar Blo'on segera
bersembunyi di balik sebuah batu besar ketika melihat air telaga bergolak besar.
Semula ia menyangka orang yang bernyanyi-nyanyi dalam telaga itu
adalah bidadari yang baru turun dari kayangan. Dengan takut-takut ia
tongolkan kepalanya.
"Busyet! Orang itu tidak
berpakaian. Mengapa tidak seperti aku"
Dia punya bisul kembar di dadanya! Ini pasti porno. Baiknya aku cepat
pergi...!" Dengan wajah memerah karena dengan tidak sengaja ia telah
mengintip gadis cantik yang sedang mandi. Suro Blondo bermaksud
meninggalkan tempat secepatnya.
Tapi celakanya kakinya
tergelincir karena memang batu yang dipijaknya licin bukan kepalang.
Grosak! "Aduh...!" Suara berisik semak-semak dan keluhan pendekar Blo'on
terdengar oleh gadis yang baru saja mengenakan pakaiannya kembali.
"Pengintip kurang ajar! Jangan lari...!"
"Ala emak, mati aku!" Si pemuda mengeluh. Setelah celingak-celinguk dan tidak
melihat orang di situ.
Dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh yang sudah sangat sempurna ia
menjejak kakinya. Tubuhnya melesat ke udara. Dilain saat ia telah
bersembunyi di atas cabang pohon
paling tinggi. "Mudah-mudahan gadis itu tidak melihatku! Malu aku kalau ketahuan!"
batin Suro Blondo.
Dugaan pemuda tampan berambut
merah pirang ini memang tidak meleset.
Beberapa saat tampak seorang gadis berpakaian serba kuning berambut
panjang telah berdiri disitu. Matanya memandang berkeliling tapi ia tidak
melihat siapa pun disitu.
"Tadi aku mendengar suara orang di sini! Betul... ini bekasnya...!
Jelas-jelas ia mengintipku! Kurang ajar betul!" maki si gadis dengan wajah
berubah merah jengah.
"Pengintip kudisan! Aku tahu kau masih bersembunyi di sekitar sini.
Cepat tunjukkan diri kalau tidak ingin kupecahkan kepalamu!"
Suro Blondo memperhatikan kulit
tangannya. "Ah... aku tidak kudisan seperti yang dikata gadis itu. Kalau begitu
pasti ada orang lain lagi di sini selain aku!" Suro Blondo usap-usap keningnya
yang keringatan.
Namun tiba-tiba saja pemuda ini
jadi kelabakan ketika tangannya mulai diserang semut-semut merah. Semakin ia
berusaha menahan serangan semut-semut itu. Maka semakin bertambah banyaklah
makhluk-makhluk kecil ini yang
menggigitnya. "Celaka...!" Walau suara Suro Blondo tidak keras, namun cukup di dengar oleh
gadis di bawahnya. Sontak ia mendongakkan kepalanya ke atas
pohon. "Monyet pengintip baju biru,
harap turun tunjukkan tampang!" teriak gadis baju kuning sambil bertolak
pinggang. "Sudah ketahuan begini, terpaksa aku turun...!" Dengan gerakan yang sangat indah
sekali, pendekar Blo'on bersalto beberapa kali. Dengan kedua kakinya ia menjejak
persis di depan gadis itu. Ia usap-usap keningnya yang berkeringat. Lagaknya
cengar-cengir. Gadis di depannya yang semula tampak marah, kini malah terkejut.
"Aneh...! Pemuda ini tampan,
tapi mimiknya tampak tolol! Lagi pula mengapa rambutnya bisa berwarna merah
pirang begitu?" membatin gadis berbaju kuning.
Sebaliknya Suro Blondo memandang
ke arah si gadis tidak berkesip."
Cantik... cantik bukan main. Kulitnya putih bersih, ada tahi lalat pula di
dagunya. Siapakah dia" Apakah benar dia seorang bidadari?"
"Pemuda mata keranjang! Berani kau memandangku" Sudah mengintip
sekarang kau melihatku begitu rupa!"
Membentak gadis baju kuning, hingga membuat Suro Blondo terjingkat kaget.
"Ma... maaf Nisanak! Sebenarnya aku bukan mengintipmu. Aku tidak
sengaja... sungguh...!" sahut si
pemuda dengan mimik lucu. Sungguh pun ia telah berusaha bersikap serius.
"Dusta...!"
"Aku tidak berdusta!"
bantah Suro Blondo.
"Tampangmu saja seperti orang bego. Padahal kau pengintip licik!
Rasakan nih! Hiyaa...!" Tidak banyak cakap, dara berbaju kuning berwajah cantik
ini langsung kirim satu
tendangan dahsyat ke arah dada Suro Blondo. Melihat angin kencang menderu ke
dadanya. Suro Blondo yakin
tendangan yang dilakukan si gadis
mengandung tenaga dalam tinggi. Suro Blondo terkesiap. Ia melompat mundur sejauh
dua tombak. "Nisanak! Jangan...! Kau salah sangka...!" Pemuda itu berusaha membela diri.
Namun manalah gadis baju kuning mau mengerti. Ia terus
menyerang bahkan sekarang mulai
melepaskan pukulan-pukulan tangan
kosongnya. Suro Blondo terus mengelak.
"Mengelak terus bisa kojor aku!"
membatin si pemuda. Untuk menghindari serangan yang semakin bertambah ganas itu.
Suro Blondo kerahkan jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'. Spontan tubuhnya meliuk-
liuk, gerakan-gerakan yang
dilakukannya tidak ubahnya seperti tingkah seekor monyet. Terkadang
tangannya menggaruk, kaki berjingkat-jingkat. Atau menangkis dengan sikap
seperti main-main.
"Bagus! Rupanya kau hanya
sejenis kunyuk yang hanya pandai main sulap. Kerahkan semua yang kau punya!
Aku ingin melihat tiga jurus di muka kau masih mampu melompat lompat
seperti monyet!" bentak dara baju kuning marah bukan main.
"Ah... ah... jangan marah terus.
Nisanak salah paham!"
"Persetan dengan salah paham!
Mampus...!" Gerakan silat dara baju kuning berubah seketika. Jika tadi ia
menyerang dengan gerakan yang sangat teratur mengundang maut. Kini diawali
dengan satu bentakan menggeledek.
Tubuhnya berkelebat lenyap, hingga tinggal berupa bayang-bayang kuning saja.
Satu hantaman keras menderu ke bagian wajah Suro Blondo. Ia tersentak kaget
sekaligus menarik wajahnya ke depan.
"Mati aku...!" Suro Blondo menggerutu. Tangannya menyodok ke
depan dengan maksud menangkis tangan kiri lawan yang mencengkeram bagian
lambungnya. Namun rupanya serangan itu hanya tipuan belaka. Sebaliknya kaki dara
baju kuning sudah menghantam perutnya. Suro Blondo tidak dapat
selamatkan perutnya.
Buuk! Pemuda berbaju biru muda berikat
kepala warna biru belang-belang kuning ini jatuh terguling-guling. Isi
perutnya seperti diaduk-aduk. Anehnya ia masih mampu cengengesan seakan
tidak merasakan akibat apa-apa. Selain kaget, gadis ini tentu saja marah
sekali. Tendangan yang dilakukannya jelas mengandung tenaga dalam tinggi.
Paling tidak pemuda tampan bertampang tolol di depannya menderita luka dalam
yang tidak ringan. Tapi ternyata
pemuda itu malah cengengesan.
Semakin panas semakin bertambah
penasaran, dara baju kuning. Hingga amarahnya yang meluap-luap itu
dilampiaskannya dengan menyerang Suro Blondo lebih dahsyat lagi.
"Ups... tidak puaskah kau
setelah hampir membuat remuk ususku, Nisanak...!" pekik Suro Blondo.
"Mana aku bisa puas kalau belum membuat remuk mukamu yang konyol itu!"
bentak dara baju kuning.
"Gadis liar ini kalau belum
kubikin kapok semakin besar kepala saja...!" rutuk pendekar Blo'on. Saat ia
melihat serangah dara baju kuning menderu lagi menyerang sepuluh jalan darah.
Sadarlah Suro Blondo lawannya tidak main-main dengan ancamannya.
"Hiiiiiit...!" disertai suara menggeredeng panjang. Jemari tangan si pemuda
terpentang ke depan. Pinggulnya bergoyang seperti orang yang sedang menari.
Mulutnya pletat-pletot seakan mengejek. Hampir sama dengan gerakan monyet
melompat. Suro Blondo menerkam ke depan dengan badan setengah
membungkuk. Dara baju kuning terkesiap. Ia
menyambuti cengkeraman jemari tangan si pemuda dengan tendangan kaki yang
terarah pada bagian kepala lawannya.
Gerakan yang menganggap enteng lawan ini segera disambut Suro Blondo
Jab! Tangan kanan si pemuda
mencengkeram kaki lawannya. Kemudian dengan tenaga kasar didorongnya kaki sang
dara. "Ups...! Keparat betul...!" Sang dara terpaksa jungkir balik untuk
menyelamatkan kepalanya yang terus meluncur ke arah sebongkah batu di
belakangnya. Jlik! Kini gantian dara baju kuning
yang terbengong-bengong. Sama sekali ia tidak menyangka pemuda tampan
bertampang tolol itu dapat
menyerangnya sedemikian rupa. Lebih tidak menyangka lagi, pemuda berambut pirang
itu ternyata memiliki
kepandaian tinggi. Jika ia memang mau mencelakai. Pasti sejak tadi pemuda itu
telah mempergunakan tenaga
dalamnya untuk mencelakai dirinya.
Sungguh pun begitu ia masih merasa penasaran. Ia ingin menjajal sekaligus
menjajaki kemampuan yang dimiliki oleh pemuda di depannya. Namun sebelum
niatnya kesampaian. Ia mendengar derap suara langkah kaki kuda mendekat ke arah
mereka. "Jangan ke mana-mana, pemuda
Blo'on. Urusan kita belum selesai. Aku merasa perlu mengurus kunyuk-kunyuk jelek
berkuda yang baru datang
itu...!" desis dara baju kuning. Ia memandang ke arah datangnya suara
kuda. Sungguh pun masih agak jauh, namun ia sudah dapat melihat siapa-siapa saja
penunggang kuda itu,
terkecuali satu orang di antaranya ia memang tidak mengenalnya sama sekali.
SEBELAS Benar saja tidak lama para
penunggang kuda berpakaian serba hitam telah berhenti di depannya. Begitu sampai
salah seorang di antara mereka langsung menuding dara berbaju kuning gading.
"Itu dia gadis liar yang telah berbuat kurang ajar pada kami,
tetua...!" Yang bicara adalah Wongso Mendit yang bibirnya pernah disobek oleh
sang dara saat bentrokan di
warung beberapa hari yang lalu. Braja Musti, laki-laki tegap berperut buncit
berkumis melintang macam tambang dada menggeram. Tenggorakannya turun naik
setelah melihat kecantikan sang dara.
"Kulihat di tempat ini seperti bekas terjadi pertempuran!" Braja Musti yang
biasanya bersikap kasar ini bicara pelan. Suaranya juga lunak.
Dara baju kuning meludah ke tanah. Ia melihat ke arah pemuda berambut
pirang. Tapi dara baju kuning
terkesiap, karena melihat pemuda itu tampan berambut merah bertampang tolol
sudah tidak ada lagi di situ.
"Tampaknya kau kehilangan lawan, anak manis! Tapi kau tidak perlu
berkecil hati! Kami pantas menjadi lawanmu setelah kau merobek mulut
salah seorang anak buahku! Sebelum itu coba kau jelaskan mengapa kau begitu
berani mencari penyakit mengusik
ketentraman kami!" sambil berkata mata Braja Musti menjelajah lekuk liku
tubuh si gadis dengan jalang.
"Manusia anjing kurap!"
mendamprat dara baju kuning." Delapan belas tahun yang lalu, kau dan tiga
kawanmu telah membunuh orang-orang hamil tidak berdosa di lereng Gunung Bromo.
Sekarang saatnya bagimu untuk mempertanggung jawabkan dosa-dosa
kalian!" Kening Braja Musti laki-laki berusia hampir tujuh puluh tahun ini
berkerut dalam.
"Kau tidak perlu kerutkan kening segala! Berpura-pura lupa telah
menghutang nyawa ayah ibuku!" semakin lantang suara sang dara. Jelas ketika itu
ia benar-benar dikuasai amarah menggelegak. Seumur-umur belum pernah Braja Musti
dibentak oleh orang lain, apalagi oleh seorang gadis yang tidak dikenalnya sama
sekali. Wajahnya pun berubah memerah.
"Eeh... siapakah kau...!"
"Aku Dewi Bulan! Sengaja datang kemari ingin mencabut nyawa empat
tokoh sesat yang sekarang bercokol di puncak Gunung Bromo!"
Saat itu Suro Blondo yang
sengaja menghindar dan bersembunyi di kerimbunan pohon tampak melongo. Ia seka
keringat di dahi, matanya terus memandang ke bawah.
"Tidak kusangka aku mempunyai tujuan yang sama dengan gadis itu.
Tapi kurasa kunyuk jelek itu bukan orang yang membunuh orang tuaku!" Suro Blondo
menduga-duga. Namun kemudian ia teringat pesan Malaikat Berambut Api.
"Walaupun bukan pembunuh orang tuaku! Guru berpesan agar aku juga mengusir
orang-orang partai Dunia
Akhirat! Lebih baik kutunggu dulu apa yang terjadi."
Sementara Dewi Bulan yang
terlihat tegang tarik urat sudah tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Begitu
membentak ia sudah lepaskan satu
serangan dahsyat ke arah Braja Musti.
Orang yang diserang terkekeh. Ia
papaki serangan tangan kosong lawan dengan mempergunakan kaki kanan-nya.
Serangan menyamping itu luput. Dewi Bulan merasa gusar, tangannya tidak ditarik
pulang tapi terus meluncur ke kepala kuda Braja Musti.
Praak! Kuda tunggangan meringkik keras.
Braja Musti hampir terpelanting jika saja ia tidak cepat lakukan jungkir balik,
lalu jejakkan kaki ke tanah sambil memaki.
"Bocah liar! Kau akan merasakan betapa pedihnya siksaanku. Tapi
Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelum kematianmu. Aku akan
memanfaatkan kebagusan tubuhmu untuk bersenang-senang!" Braja Musti mengekeh
panjang. "Puih! Manusia hina! Mampuslah kau...!" jerit Dewi Bulan. Sekaligus menerjang,
sekarang ia mengerahkan jurus 'Dibalik Mega Gajah Semburkan Air'. Segelombang
angin kencang dingin membekukan datang bergulung-gulung melabrak tubuh Braja
Musti. Laki-laki tua ini sempat terkesiap, namun tanpa membuang waktu lagi
segera melompat ke samping. Lalu ia memutar tangannya ke arah datangnya angin
serangan itu. Buss! Serangan gencar yang dilakukan
sang dara seakan tertahan. Braja Musti membentak. Dan tubuhnya berkelebat ke
depan sambil hantamkan dua
tinjunya secara beruntun. Tanpa ayal lagi Dewi Bulan menyambuti serangan itu.
Saat tinju datang, ia menepis dengan tangan kanannya.
Plaak! "Iiih...!" Dewi Bulan berseru tertahan. Tubuhnya sempat tergetar.
Sedangkan tangan yang dipergunakan untuk menepis terasa panas mendenyut.
Sebaliknya Braja Musti juga sempat terperangah. Ia tidak menyangka gadis semuda
itu telah memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Lima jurus telah berlalu.
Braja Musti menggembor.
Tubuhnya berkelebat lenyap laksana bayang-bayang. Angin kencang
bersiuran. Sehingga dara baju kuning itu sekarang tampak terkurung
bayangan hitam yang terus melancarkan serangan-serangan mautnya.
Tawa Dewi Bulan menggema,
tubuhnya bersalto ke udara. Ketika ia berbalik ke bawah satu pukulan jarak jauh
dilepaskannya. Wuiss! "Hmm...!" Braja Musti
menggerendeng. Ia angkat tangannya tinggi-tinggi. Serangkum sinar panas datang
menggebu menyongsong pukulan yang dilepaskan oleh lawannya.
Blaar! Blaar! Dua kali ledakan dahsyat
terdengar berturut-turut. Dewi Bulan terpental sejauh tiga tombak. Wajahnya
berubah pucat. Sebaliknya Braja Musti jatuh terduduk. Mulutnya menyeringai, dada
terasa sesak seperti ditindih batu gunung.
Dewi Bulan bangkit berdiri,
dengan langkah agak terhuyung-huyung ia mencabut pedang pendek berwarna putih
berkilauan. Saat itu Wongso
Mendit, Lingga dan Karsa Jaliteng yang mempunyai dendam tersendiri terhadap
gadis itu sudah menyerbu Dewi Bulan dengan pedang terhunus di tangan
masing-masing. "Walah ini yang namanya tidak adil!" gerutu Suro Blondo. Ia memutus empat buah
ranting lalu menyambitkannya ke arah Tiga Iblis Pemburu Nyawa bersamaan waktunya
dengan berkelebatnya pedang di tangan lawan-lawan Dewi Bulan.
Traang! Terdengar tiga kali suara
berdentang. Tiga Iblis Pemburu Nyawa memekik kaget. Tangan mereka bergetar
hebat. Hawa panas terasa menyengat bagian telapak tangan sehingga membuat pedang
di tangan masing-masing hampir terlepas dari tangan.
Braja Musti sendiri sempat
tertegun melihat anak buahnya sempat tersentak ke belakang dan menjerit-jerit
seperti kesetanan.
Di saat itulah terlihat sosok
tubuh berbaju biru muda melayang turun dari kerimbunan pohon. Ia menjejakkan
kedua kakinya persis di samping Dewi Bulan. Gadis itu sempat pelototkan mata
ketika mengenali pemuda di
sampingnya. Suro Blondo tersenyum.
"Dalam keadaan seperti ini
jangan kau marah padaku, Nisanak.
Musuh-musuh yang kau hadapi adalah musuhku juga...!" Dewi Bulan akhirnya hanya
diam saja. Sementara Braja Musti sambil menggembor marah melompat
mendekati lawannya.
"Pemuda bertampang tolol! Jangan campuri urusan orang lain!
Menyingkirlah sebelum orang-orangku menggorok lehermu!" bentaknya dengan
kemarahan menggelegak.
Suro Blondo cengengesan.
Mulutnya yang pletat-pletot menggeram:
"Masa aku hanya diam saja melihat seorang gadis dikeroyok oleh empat monyet
brewok bertampang iblis!"
"Bangsat! Siapakah kau?"
"Mengenai siapa aku tidak
penting!" kata Suro Blondo mengejek.
"Cuma sedekar kalian ketahui. Aku juga mempunyai tujuan yang sama dengan
nisanak ini...!"
"Ha ha ha! Bocah bau ingus! Kau akan menyesal seumur-umur karena telah begitu
berani mengusik kewibawaan
kami!" "Tetua! Mengapa harus bertele-tele! Serahkan pada kami biar kami bereskan dua
ekor tikus yang tidak tahu peradatan ini!" menyela Karsa Jaliteng tidak sabar.
"Bunuh mereka!" teriak Braja Musti.
Ini adalah perintah yang sangat
di-tunggu-tunggu oleh Tiga Iblis
Pemburu Nyawa. Tanpa berpikir lagi, mereka sudah menerjang saling dahulu
mendahului. Pedang di tangan mereka menderu, berkelebat-kelebat menyambar dengan
ganasnya. Suro Blondo ganda tertawa. Tubuhnya melompat ke atas.
Lalu pergunakan jurus 'Serigala
Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'.
Sungguh lucu dan konyol gerakan silat yang dimainkan oleh pemuda ini. Tapi
setiap serangan balasan yang
dilakukannya cukup berbahaya disamping mengeluarkan angin menderu-deru.
"Hiya! Nguk! Nguk...!" Suro Blondo melompat-lompat. Pinggulnya bergoyang-goyang.
Tubuhnya seruduk sana seruduk sini. Karsa Jaliteng
penasaran bukan main melihat
serangannya selalu menghantam tempat kosong. Saat pemuda lawannya melakukan
sergapan ke arahnya. Pedang di
tangannya kembali menderu membacok dan membabat.
"Ups...!" Dengan gerakan yang sungguh lucu dan konyol. Suro Blondo berhasil
mengelakkan serangan lawan.
Tangan kanannya menjulur ke bagian pertahanan lawan yang lowong.
Praak! "Akkhgh...!" Karsa Jaliteng melolong setinggi langit. Tubuhnya terbanting
mukanya hancur terhantam pukulan lawannya. Wajah tokoh Tiga Iblis Pemburu Nyawa
mandi darah. Tubuhnya diam, nyawanya putus
seketika. Sementara itu Dewi Bulan juga
telah berhasil mendesak dua lawannya.
Pedang pendek di tangannya terus
menderu-deru. Mati-matian Wongso
Mendit dan Lingga berusaha bertahan.
Tapi setiap ia melakukan serangan
balasan selalu dapat dihalau oleh Dewi Bulan.
"Terus... terus...! Bunuh saja monyet jelek itu, Nisanak!" Suro Blondo memberi
semangat. Ia bahkan bertepuk tangan. Melihat ini Braja Musti berang bukan main.
"Monyet tolol! Jangan hanya
bertepuk tangan disitu! Makanlah
senjataku!" Teriak laki-laki berusia enam puluhan ini. Bola berduri di
tangannya menderu dan menimbulkan
udara dingin menusuk sumsum.
"Hups! Kurang ajar. Monyet
jelek, curang!" Suro Blondo meliukkan tubuhnya dengan gerakan yang sangat indah
sekali. Bumm! Satu ledakan terdengar ketika
senjata berbentuk aneh itu menghantam batu di belakang pendekar Blo'on. Suro
Blondo geleng-geleng kepala melihat lubang besar akibat hantaman senjata maut
lawannya. '"Seribu Kera Sakti Mengecoh
Harimau'...!" jerit pemuda tampan bertampang blo'on ini. Seketika
gerakannya berubah cepat bukan main.
Tubuhnya bergerak laksana kilat.
Tangan, kaki yang menendang tampak berubah menjadi banyak sedemikian
rupa. Seakan tubuh Suro Blondo berubah menjadi ratusan mengelilingi Braja Musti
dari segala penjuru arah.
Seumur hidup belum pernah Braja
Musti mendapat lawan yang memiliki jurus seaneh ini. Sambil kertakkan rahang,
Braja Musti semakin
memperhebat serangannya. Tapi hanya dalam beberapa jurus kemudian laki-laki ini
terpelanting roboh ketika tersapu tendangan kaki lawannya. Dalam waktu
bersamaan, tubuh Dewi Bulan tampak berputar sebat laksana sebuah
gading. Pedang di tangannya laksana kilat membacuk, menebas menusuk dan
menghantam pertahanan lawannya yang sudah morat-marit.
"Hiyaa...!"
Crass! Craas! Wongso Mendit dan Lingga tampak
melintir tubuhnya. Tenggorokannya
robek besar. Darah mengucur deras dari luka itu. Mata mereka tampak melotot
seakan tidak percaya dengan apa yang mereka alami. Tubuh kedua orang ini
langsung terguling roboh menyusul
kawannya. Trek! Dewi Bulan memasukkan pedang
pendek ke dalam sarungnya. Ia
memandang pada Suro Blondo yang terus menyerang Braja Musti dengan bola
berduri milik lawannya yang berhasil dirampasnya.
Entah mengapa sekarang timbul
rasa sukanya setelah melihat kehebatan dan kekonyolan pemuda itu.
"Lekas bunuh monyet brewok itu.
Ayo...!" Dewi Bulan berteriak-teriak ditujukan pada si pemuda. Dengan mimik
serius, Suro Blondo terus menerjang.
Braja Musti yang tampak selalu gagal melepaskan pukulan jarak jauhnya jadi
terdesak. Geram campur marah menyatu dalam jiwanya. Suro Blondo yang ketika itu
telah mengerahkan jurus tingkat tinggi. Yaitu jurus 'Tawa Kera
Siluman', benar-benar sudah tidak
dapat tertahan lagi gelombang
serangannya. Satu ketika Braja Musti bermaksud merebut senjata andalannya
kembali. Namun bersamaan dengan itu Bola Berduri rampasan tepat menderu ke
dadanya. Gerakan itu cepat bukan main.
Sehingga Braja Musti tidak mampu
menghindarinya lagi.
Braak! Bola Berduri langsung amblas ke
dalam dada Braja Musti. Laki-laki ini terhuyung, bibirnya mengeluarkan suara
seperti tercekik. Tubuhnya melejang-lejang. Kemudian mati dalam keadaan jatuh
terduduk. "Ha ha ha! Mati...! Satu dari empat iblis telah mati...!"
"Kisanak! Karena kau telah
menyelamatkan aku. Aku menganggap
urusan di antara kita telah selesai.
Oh ya... siapakah namamu?" tanya Dewi Bulan. Ditanya dengan ramah oleh gadis
cantik yang tadi sempat hampir
mencelakainya. Jantung Suro Blondo terasa dek-dekkan juga.
"Nisanak tidak marah lagi
padaku?" "Kalau masih marah, sudah
kugebuk kau sejak tadi!"
Suro Blondo sebelum menjawab
usap keningnya yang keringatan.
"Namaku Suro Blondo!"
"Pantasan...!" Dewi Bulan tidak meneruskan ucapannya.
"Pantasan apa?"
"Wajahmu ganteng tapi tampangmu bego...!" Dewi Bulan tersenyum.
Sungguh mendebarkan senyumnya. Karena dua pipinya membentuk lesung pipit.
"Kau juga cantik! Sayang ceriwis dan pemarah!" sahut Suro Blondo, cengengesan.
Anehnya Dewi Bulan tidak marah. Malah ia balas tersenyum.
Sesaat ia memandangi pemuda tampan bertampang blo'on di depannya.
Bersamaan waktunya Suro Blondo
memandang pula ke wajah si gadis.
Tatapan mata mereka bertemu. Hati Dewi Bulan berdebar keras. Wajahnya bersemu
merah. Ia cepat palingkan wajah ke arah lain.
"Suro! Maaf perjumpaan kita
sampai di sini saja. Aku ada urusan mendesak di Gunung Bromo...!" Hanya dalam
sekedipan mata saja, Dewi Bulan telah lenyap dari hadapannya.
"Hei... tunggu...! Aku juga mau ke Gunung Bromo...!" teriak Pendekar Blo'on
memanggil. Ia pun mengejar ke arah lenyapnya si gadis sambil
mengerahkan ilmu lari cepat Kilat
Bayangan. Bagaimanakah nasib Dewi
Bulan dan Pendekar Blo'on" Mampukah mereka menghadapi orang-orang yang telah
membunuh kedua orang tua mereka"
Petualangan Suro Blondo,
Pendekar Blo'on Mandau Jantan
selanjutnya, dalam episode 'Bayang Bayang Kematian'.
TAMAT Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel Tukang Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pendekar Pedang Kail Emas 7 Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Neraka Hitam 8
tampak tercekat. Tenggorokannya turun naik, mata mereka terbelalak lebar.
Sama sekali mereka tidak menyangka kalau gadis yang sejak tadi
memunggungi mereka ini memiliki wajah yang sangat cantik luar biasa. Melihat
kecantikan si gadis. Semakin berani dan kurang ajar sajalah tindakan
mereka ini. Salah seorang dari laki-laki berpakaian hitam ini mencolek dagu si
gadis. Melihat gadis itu hanya diam sama. Maka dua lainnya tertawa mengekeh.
"Merpati cantik ini ternyata
sangat jinak sekali, kawan-kawan!"
"Dia sangat pantas untuk kau
jadikan istrimu, Kakang Wongso!" Yang berbadan lebih pendek menyahuti.
"Betul! Jika gadis ini mau
kujadikan istriku. Maka istriku yang sepuluh itu akan kuceraikan semua...!
Bagaimana Nduk, apakah kau mau menjadi istri orang kepercayaan penguasa
Gunung Bromo?"
"Kakang! Biasanya seorang gadis memang suka malu-malu! padahal hatinya sih
mau...!" berkata Karsa Jaliteng.
Yaitu laki-laki yang paling muda di antara mereka. Memerah wajah gadis cantik
ini. Tubuhnya gemetar, pertanda ia sedang berusaha meredakan
amarahnya. "Pak Tua! Siapkan hidangan yang paling istimewa buat kami dan gadis ini!"
perintahnya tegas. Hingga membuat pemilik warung yang sudah
mengetahui keganasan ketiga laki-laki kepercayaan penguasa Gunung Bromo ini
dengan tergopoh-gopoh segera
menyediakan pesanan mereka.
Ketika orang-orang berbaju hitam
ini bermaksud duduk mengelilingi gadis berbaju kuning gading. Sebuah bentakan
terdengar. "Jangan berani lagi bertindak macam-macam di depanku! Sekali kau duduk di situ!
Jangan salahkan aku jika aku terpaksa harus melempar
kalian keluar dari warung ini!"
"Eeh...!" Tiga Iblis Pemburu Nyawa sama-sama melengak. Di mata mereka semakin
marah gadis ini semakin bertambah cantik wajahnya. Tiba-tiba ketiga laki-laki
bertampang angker ini tertawa tergelak-gelak.
Bahkan laki-laki berbadan pendek
bernama Karsa Jalinteng yang sudah gatal, tangannya dengan cepat menjulur ke
dada si gadis yang padat membusung.
Tapi gadis itu dengan gerakan yang sangat sulit diikuti mata biasa sudah
mencengkeram tangan yang kurang ajar itu. Lalu....
Wuss! Sosok tubuh laksana
kilat melayang keluar melalui pintu depan.
Bruuk...! "Akkh...!" terdengar suara teriakan kesakitan di luar sana. Karsa Jaliteng
dengan terhuyung-huyung
bangkit berdiri. Sementara dua
kawannya yang masih berada di dalam warung tersentak kaget dengan mata
terpentang lebar.
"Perempuan bangsat!" maki Karsa Jaliteng yang sekarang telah berdiri di ambang
pintu. Wajah laki-laki itu berselot debu. Hidungnya mengucurkan darah. Bibirnya
jontor dan tangan
kirinya tampak bengkok. Patah.
TUJUH Semakin bertambah kaget saja dua
orang kawannya melihat Karsa Jaliteng dalam keadaan begitu rupa. Jika semula
mereka hanya bersikap ingin
mempermainkan gadis cantik yang duduk tenang di tempatnya. Maka kini
kemarahan telah menguasai jiwa mereka.
Wongso Mendit bahkan mencengkeram bahu si gadis. Laki-laki ini dapat
meremukan tulang belulang lawannya.
Untuk itu ia dikenal sebagai Tangan Baja. Setengah jengkal lagi tangan Wongso
Mendit menyentuh bahu si gadis.
Plaak! "Akhh...!" Wongso Mendit memekik keras. Tidak sampai sekedipan tangan si gadis
menghantam dadanya tanpa
menoleh sedikit pun. Laki-laki
berbadan jangkung ini terjajar dan memegangi dadanya yang terasa seperti remuk.
Bila ia melihat ke dadanya
sendiri. Maka terkejutlah ia. Bagian dada yang terkena tinju si gadis
tampak memerah memar.
"Betina liar. Kau benar-benar tidak melihat tingginya gunung di
depanmu ini!" bentak Lingga. Tiga Iblis Pemburu Nyawa tiba-tiba sambil
menggembor marah bermaksud meringkus gadis itu. Tangan mereka yang terkepal
menderu dahsyat menimbulkan angin
panas memerihkan kulit. Namun sebelum ketika serangan beruntun yang
dilakukan oleh kaki tangan penguasa Gunung Bromo sampai. Dengan gerakan yang
cepat dan indah gadis berpakaian ringkas telah melompat ke udara.
Ia menjenjakkan kakinya persis
di tengah-tengah ruangan warung.
Menyadari serangan mereka yang dapat dihindari oleh lawannya. Tiga Iblis
Pencabut Nyawa kertakkan rahang.
"Gadis liar! Tertawalah kau
sepuasmu! Jika kau telah berada dalam genggaman kami, kau pasti minta
ampun!" desis Karsa Jaliteng.
"Cepat kita ringkus! Betapa aku ingin menelanjangi tubuhnya yang mulus itu!"
kata Wongsi Mendit.
"Iblis-iblis Hina! Kalian adalah manusia rendah bermulut besar! Kalau belum
kurobek mulutmu yang kotor itu, tidak puas
hatiku!" geram gadis
berbaju kuning. Tubuhnya tiba-tiba berkelebat lenyap bagaikan bayang-bayang.
Wongso Mendit, Lingga dan
Karsa Jaliteng yang melakukan serangan ganas lebih awal jadi kelabakan.
Bahkan lebih celaka lagi. Setiap
serangan yang mereka lakukan hanya mengenai sasaran kosong.
Des! Dess! Dua kali tendangan telak membuat
Lingga dan Karsa Jaliteng jatuh
terpelanting tubuh mereka menabrak kursi dan meja yang terdapat di dalam ruangan
warung. Lalu tidak sampai
disitu saja, gadis cantik ini terus berkelebat. Dilain kejab.
"Huup!"
Tap! Kedua kakinya mendarat di
punggung Wongso Mendit. Jemari tangan yang lentik namun kokoh mencengkeram bibir
atas dan bibir bawah lawannya.
Week! Terbelahlah bibir Wongso Mendit.
Laki-laki berbadan tinggi semampai ini menjerit keras. Darahnya langsung
mengucur dari luka lebar di mulutnya yang terbelah.
"Untuk kenang-kenangan!
Berikan ini pada majikan kalian!"
Plaak! Satu hantaman keras mendarat di
kening Wongso. Bukan main kerasnya pukulan itu sehingga membuat pembantu majikan
Gunung Bromo jatuh terduduk tidak sadarkan diri.
Ruangan warung berubah sunyi.
Gadis berbaju kuning gading itu sudah lenyap. Sementara Lingga dan Karsa
Jaliteng yang kena tendangan dahsyat si gadis tampak berusaha bangkit
berdiri. Bergetar tubuh mereka berdua ketika melihat bibir Wongso Mendit
terkoyak lebar hampir mencapai
telinga. Lebih terkejut lagi saat
melihat secarik kain yang melekat di jidat kawannya. Dengan langkah
terhuyung-huyung Karsa Jaliteng
menghampiri kawannya yang tidak
sadarkan diri. Sementara itu Lingga hanya memandang dari tempatnya berdiri
dengan mata liar mencari-cari.
"Celaka! Gadis liar itu telah melarikan diri!" desisnya geram.
"Lihat ini lebih celaka lagi!"
teriak Karsa Jaliteng ketika
mendapatkan sobekan kain berwarna
kuning yang menempel ketat di jidat kawannya. Lingga datang mendekat.
"Sial dangkal! Bagaimana paku itu bisa menancap di kening kawan
kita" Coba cabut...!"
Dengan sangat hati-hati Karsa
Jaliteng mencabut paku berikut sobekan kain kuning berlumur darah.
"Ada tulisannya!" teriak Karsa Kaliteng dalam kejutnya.
Mereka pentang sobekan kain
bercampur darah. Maka terbaca beberapa baris kalimat yang membuat darah
mereka serasa mendidih.
Empat tokoh yang tergabung dalam partai Dunia Akhirat! Saat kematian bagi kalian
sudah hampir tiba!
Secepatnya persiapkan kubur kalian masing-masing. Tujuh belas tahun yang lalu
kalian berhutang nyawa kepadaku!
Dewi Bulan Wajah Lingga dan Karsa berubah
kelam membesi. Jelas ancaman itu
ditujukan pada majikan mereka. Tapi yang membuat mereka geram adalah
karena gadis yang bernama Dewi Bulan itu telah merat dari hadapan mereka.
"Apa yang kita lakukan?" Lingga berpaling pada Karsa Jaliteng
"Tidak ada pilihan lain. Kita bawa Wongso Mendit dan laporkan
peristiwa memalukan ini pada ketua kita!" Tanpa banyak cakap, Lingga langsung
memanggul tubuh Wongso
Mendit. Ketika sampai di halaman depan warung. Mereka lebih terkesima lagi
ketika melihat kuda tunggangan mereka terkapar mati dengan leher berlubang
besar. "Keparat! Sungguh keparat!
Betina itu benar-benar menginginkan kematian dari kita!" Lingga menggeram marah.
Kumisnya yang melintang tampak bergerak-gerak pertanda kemarahannya sudah sampai
di ubun-ubun. "Kita pakai kuda pemilik
warung!" Orang-orang ini segera
melepaskan kuda yang terdapat di
kandang belakang. Sekejap saja kuda-kuda itu telah melesat meninggalkan debu-
debu di udara. "Kudaku! Ah... maling-maling
pemeras rakyat itu...!" desis bapak pemilik warung tanpa mampu berbuat apa-apa.
*** Puncak gunung Mahameru yang
biasanya sepi, pagi-pagi itu
dipecahkan oleh suara bentakan-
bentakan disertai teriakan
menggelegar. Bumi laksana terbelah, langit bagai terkoyak. Terlebih-lebih ketika
terjadi ledakan-ledakan dahsyat di satu tempat. Daun-daun jati tampak
berguguran. Segala jenis binatang lari terkencing-kencing meninggalkan
sarangnya. Monyet-monyet siluman
menyelamatkan diri mencari tempat
sembunyi. Dan bila memandang ke puncak Mahameru. Maka di sana terlihat dua sosok
tubuh sedang bertarung.
Pertarungan yang bukan saja Maha
dahsyat, namun juga sangat mengerikan.
Betapa tidak dua orang yang terlibat pertempuran sengit itu berkelebat
laksana bayang-bayang saja. Angin
pukulan yang mereka lepaskan terasa memanggang tubuh. Debu dan batu-batu kecil
beterbangan. Pohon-pohon di
sekitarnya meranggas tanpa daun akibat pertempuran itu. Sesekali terdengar
bentakan dahsyat, lalu ada makian dan sumpah serapah. Tapi anehnya suara tawa
pun terkadang menggema di sana.
"Kerahkan jurus 'Kera Putih
Memilah Kutu', Suro...!" terdengar teriakan laki-laki berbaju serba putih dan
berambut, jambang serta jenggot berwarn a putih.
"Guru, kau...!" Pemuda gagah yang berdiri bertolak pinggang memakai baju warna
biru muda tidak dapat teruskan ucapannya. Kakek serba putih di depannya sambil
keluarkan bentakan melengking langsung menerjang ke
depan. Tangan kanan menotok ke sepuluh bagian jalan darah. Tangan kiri
menyiku ke perut sedangkan kaki yang setengah berjongkok berjingkat-jingkat
memburu. Walaupun jurus yang dilancarkan
si kakek terkesan lucu dan terkadang tangan menggaruk-garuk seperti orang kena
penyakit gatal. Tapi serangan itu benar-benar sangat berbahaya. Suro Blondo
pemuda berambut gondrong
memakai ikat kepala warna biru belang-belang kuning sadar benar bahaya besar
sedang mengancamnya. Untuk itu ia
menggenjot kedua kakinya. Tubuhnya melesat ke udara kemudian melakukan salto
beberapa kali. Begitu tubuhnya menderu ke bawah. Maka ia sudah
hantamkan kedua tangannya dengan
mempergunakan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'. Inilah
salah satu jurus yang tidak kalah
dahsyatnya dengan jurus yang
dilancarkan oleh si kakek.
Wuuk! Buuk! Buuk! "Gila! Gila betul!" desis Suro Blondo sambil menyeringai kesakitan.
Ia memang berhasil memukul punggung kakek yang menyerangnya dengan ganas.
Tapi kakek itu dengan gerakan yang sangat aneh sekali sempat menghantam jidat
pemuda baju biru muda. Kepalanya mendenyut sakit, seribu kunang-kunang bertabur
di matanya. "Sebentar lagi Suro! Sebentar lagi kau mampus!" Si kakek miringkan badannya.
Tangan diputar-putar sambil menggaruk-garuk sekujur tubuhnya tidak ubahnya
seperti tingkah seekor monyet.
Tangan si kakek bergetar hebat.
Tangannya bergerak cepat, hingga
dilihat sepintas lalu tangan itu
berubah menjadi ribuan jumlahnya.
"Eeh.. dia mengerahkan jurus
'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'.
Benar-benar edan! Ia ingin membunuhku rupanya!" desis si pemuda.
"Jangan memaki bocah blo'on.
Mampus...!" teriak si kakek. Tangan yang telah berubah banyak itu menderu ke
seribu arah. Angin kencang
berhembus, udara berubah panas seperti di neraka.
"Hiyaat...!" Suro Blondo tidak menunggu lebih lama lagi. Tubuhnya berkelebat
terhuyung-huyung, terkadang ia berjongkok dan melompat-lompat.
Sungguh aneh dan lucu gerakannya. Tapi tidak lama setelah itu terdengar suara
tawanya yang tidak beraturan. Tawa itu terdengar melengking tinggi,
menyakitkan gendang-gendang telinga.
Kadang berubah pelan mendayu-dayu.
Namun dilain saat telah berubah
seperti suara rintihan tangis,
memilukan. Tangan dan kaki mendorong ke segala penjuru arah. Selanjutnya
melompat dan menendang. Inilah jurus
'Tawa Kera Siluman'.
Si kakek menggeram marah,
mulutnya mengomel panjang pendek. Lalu terdengar suara bentakan dahsyat
merobek langit. Tangan-tangannya yang seakan berubah menjadi banyak itu
menghantam dengan kecepatan dua kali kecepatan suara.
Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Edan! Kau benar-benar mau membunuhku!" Suro Blondo meradang. Ia berkelit
secepat yang ia mampu.
Wuus! "Hups...!" Walaupun pemuda berbaju biru muda memakai ikat kepala warna biru
belang kuning dapat
menghindari tinju yang menggeledek itu. Tidak urung ia menjerit ketika sambaran
angin panas menyengat
melabrak dada. Suro Blondo usa-usap dadanya. Tampak dada itu memerah. Ia
langsung melompat menjauh. Hatinya menggerutu,
mulutnya pletat-pletot,
lalu tersenyum.
"Ha ha ha...! Bagus! Gila, tolol blo'on, sedeng! Tidak sia-sia! Tidak sia-sia.
Kau dengar...!" Melihat gurunya tertawa dan tampak hentikan serangan. Maka Suro
Blondo pemuda tampan bertampang, konyol, kocak dan blo'on ini ikut tertawa-tawa.
"Bagus! Ha ha ha...! Guru hampir membunuhku! Ha ha ha... gila benar!"
Ucapan dan tawa Suro Blondo melenyap.
Terlebih-lebih setelah melihat kedua telapak tangan kakek baju putih
menapak tanah. Suro Blondo segera
menyadari kalau gurunya bermaksud
melepaskan pukulan yang sangat
dahsyat! "Hah... dia ingin melepaskan
pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'.
Aku harus mempergunakan pukulan apa?"
memaki Suro Blondo dalam hati. Tiba-tiba saja ia berteriak: "Guru! Kau jangan
main-main dengan pukulan itu.
Aku bisa mati...!"
"Kalau semua akal yang kau
miliki sudah hilang! Maka kau memang pantas mati di tanganku!" menggeram
Penghulu Siluman Kera Putih.
DELAPAN "Walah, mati aku!" Suro Blondo menggerendeng. Ia melihat gurunya yang dalam
posisi berjongkok dan tangan mentetak tanah semakin bergetar hebat.
Kedua tangannya memancarkan sinar
merah kehijau-hijauan. Udara di
sekitarnya telah berubah pula menjadi panas menggila.
"Nguk! Nguk! Hiyaa...!" sambil berteriak tinggi melengking hingga membuat runtuh
daun-daun jati pada pohon-pohon sekitarnya. Tubuh Barata Surya melesat ke atas,
dua tangannya menghantam ke depan.
"Kiamat...!" teriak Suro Blondo.
Tanpa sungkan-sungkan lagi ia pun
segera mengerahkan tenaga dalam yang telah mencapai tarap kesempurnaan.
Dilain kejap dengan kaki kiri ditekuk ke depan. Ia dorong tangannya yang telah
berubah menjadi biru terang.
Seleret sinar biru redup datang
bergulung-gulung menyongsong pukulan dahsyat yang dilepaskan oleh si kakek.
Udara di sekitarnya berubah dingin dan panas tidak ketulungan. Puncak
Mahameru seakan dilanda gempa hebat.
Bummm! Buummmm! "Edan! Curang! Kau curang...!"
memaki Penghulu Siluman Kera Putih ketika melihat kenyataan bahwa Suro Blondo
mempergunakan pukulan dahsyat
'Matahari dan Rembulan Tidak
Bersinar'. Pukulan itu adalah pukulan dahsyat yang diwariskan oleh kakek Suro
Blondo sendiri.
"Ha ha ha! Mampus...!" Suro Blondo terkekeh-kekeh saat melihat gurunya jatuh
terguling-guling.
Bibirnya mengalirkan darah. Tapi tidak lama kakek baju putih telah bangkit
berdiri. Malah ia tertawa pula, seakan tidak merasakan sakit yang
dideritanya. Pada dasarnya guru dan murid ini memang sama-sama konyol, sama-sama
sinting dan blo'on pula.
Sehingga walaupun Suro Blondo sendiri sempat merasakan dadanya seperti
dihimpit batu ribuan kati. Ia juga tetap tertawa-tawa.
"Kau curang! Matahari dan
Rembulan Tidak Bersinar bukan
milikku." kakek baju putih bermonyong-monyong.
"Memang! Kakek Malaikat
Berambut Api yang mengajarkannya
padaku! Tapi kan sama saja! Orang tua itu adalah guruku juga!" Suro Blondo
pemuda bertampang tolol berambut merah ini usap-usap dadanya.
"Ujian dariku telah selesai,
Suro! Pohon-pohon telah roboh, daun-daun telah berguguran. Dan puncak
Gunung Mahameru ini hampir runtuh!
Tapi masih ada satu ujian lainnya yang tidak kalah dahsyat! Kakekmu sebentar
lagi pasti muncul di sini. Ingat di hadapannya kau tidak bisa cengengesan kayak
kunyuk sebagaimana berhadapan denganku. Gurumu yang satu ini harus kau hadapi
dengan serius. Kalau kau memang tidak ingin dikemplang kepala dan ditendang
pantatmu."
"Saya mengerti, Guru!"
"Mengerti apa?"
"Mengerti kalau guru yang di
hadapanku ini, gila, miring
otaknya...!"
"Edan! Jangan sekali lagi kau menghinaku! Aku tidak main-main bocah Blo'on...!"
Suro Blondo katupkan mulutnya ketika melihat Penghulu
Siluman Kera Putih pelototkan mata.
"Mohon maafmu!"
"Jangan kau tunjukkan sikap
konyolmu di depan kakekmu! Beliau
merupakan orang yang tidak suka main-main. Karena beliau ingin mengujimu.
Kuharap kau lebih ber-hati-hati dalam menghadapinya. Salah sedikit kau punya
badan bergerak atau menghindar. Bisa-bisa tubuhmu terbelah dan dicincang jadi
perkedel!"
"Jangan sampai."
"Jangan sampai apa?"
"Jadi perkedel! Aku mau jadi
menusia saja, guru!"
"Kalau kau ingin menjadi manusia sejati maka kau harus membela orang tuamu. Kau
tahu siapa kedua orang
tuamu, Suro?" tanya Barata Surya sambil memandang tajam pada muridnya.
Suro Blondo mengangguk.
"Siapa orang tuamu?"
"Guru dan kakek Malaikat
Berambut Api!"
"Buset! Goblok benar kau ini,"
maki Barata Surya. Diam-diam hatinya geli juga melihat ketololan muridnya.
"Kau punya kemaluan jenis apa, Suro?"
"Sialan! Dia bertanya yang
bukan-bukan!" maki Suro Blondo dalam hati.
"Tolol! Memaki pula kau! Coba sebutkan?"
"Batangan, Guru!"
"Aku punya juga batangan! Kalau kakekmu?"
"Eee...!" Suro Blondo mengusap-usap dadanya. "Sama batangan juga guru."
"Batangan lawan batangan apa
mungkin menghasilkan kau yang bego!"
"Wah tidak tahu! Soalnya guru dan kakekku tidak pernah kasih tahu!"
sahut Suro Blondo.
Sikap Barata Surya kemudian
berubah serius. "Ketahuilah, kedua orang tuamu berjuluk Sepasang Golok Terbang!
Mereka tewas di tempat
kediamannya di Gunung Bromo sesaat setelah melahirkan kau!"
Suro Blondo kertakkan rahang.
Sekujur tubuhnya menggigil dijalari luapan amarah. "Apakah ayah dan ibu tewas
karena melahirkan aku?"
"Goblok! Yang melahirkan itu
ibumu! Sedangkan ayahmu hanya
berpartisipasi saja atas kehadiranmu!
Ingat.... Suro. Yang membunuh orang tuamu adalah Kala Demit dan juga
Sepasang Iblis Pegat Nyawa. Mereka itu adalah manusia-manusia berhati kejam yang
menginginkan dirimu pada masa itu. Kau carilah mereka dan buat
perhitungan yang setimpal! Jangan kau buat kecewa arwah orang tuamu, Suro.
Dan selalu berhati-hatilah, karena mereka merupakan orang-orang sakti
berkepandaian sangat tinggi!" Pesan Penghulu Siluman Kera Putih.
Wajah Barata Surya tertunduk.
Dilain saat matanya memandang jauh ke depan. Ada kesedihan membayang di
wajahnya. Terlebih-lebih bila
mengingat waktu berpisah di antara mereka semakin bertambah dekat.
Bagaimana pun Suro Blondo adalah
seorang murid yang sangat dikasihinya.
Meskipun wajahnya yang tampan itu
terkesan tolol, tapi semua pelajaran silat tingkat tinggi yang diberikan padanya
dapat dipelajarinya dengan baik. Watak konyol, sifat sintingnya sama benar
dengan watak Barata Surya.
Walaupun ia juga dapat bersikap serius berkat disiplin yang diterapkan oleh
Malaikat Berambut Api. Namun semua itu tidak mampu menghapus kesan blo'on di
wajahnya. "Guru sedih?"
Ucapan Suro Blondo membuat
Barata Surya terkekeh. "Siapa yang sedih Suro. Siapa menangis bila
berpisah dengan murid tolol
semacammu!" desis kakek baju putih terus tertawa-tawa. Suro Blondo pun ikut
tertawa walau tawanya terdengar sumbang.
Tawa mereka serta merta lenyap.
Angin kencang menderu-deru. Lalu
terdengar suara menggeram menyertai berhembusnya angin kencang itu. Barata Surya
memandang ke arah datangnya badai topan dan ke arah muridnya silih berganti.
"Sudah waktunya Suro. Sudah tiba waktunya bagimu menghadapi kakekmu sendiri!"
Tubuh Barata Surya bergetar hebat. Sinar putih laksana kilat
menggebu dan mengurung sang guru.
Dilain kejap sosok Barata Surya yang berujud siluman melenyap.
"Guru...!" Suro Blondo berseru kaget.
Dilain kejap di hadapan Suro
Blondo berdiri seorang kakek jangkung berambut merah dan berbaju serba
merah. Berbeda dengan Penghulu Siluman Kera Putih yang kocak, konyol dan
sinting. Sedangkan kakek berjenggot merah ini tampangnya dingin berwibawa.
Dalam segala hal ia tidak pernah
tertawa. Suro Blondo menjura hormat.
Sikapnya jelas-jelas tampak lucu
sekali. Bukan satu kebiasaan yang
dibuat-buat tapi memang begitulah
kebiasaan pemuda itu.
"Suro! Akhir penggemblenganmu sudah sampai pada batasnya! Sekarang pergunakanlah
segala yang pernah kau dapatkan selama ini! Huups...!" Tanpa banyak cakap lagi,
Malaikat Berambut Api berteriak keras. Tubuhnya
berkelebat lenyap laksana bayang-
bayang. Tangannya melakukan totokan ke batang leher Suro, kaki menendang
keselangkangan. Serangan beruntun yang datang secara bersamaan ini sungguh
dahsyat alang kepalang. Jika bukan Suro Blondo yang menghadapinya,
mungkin sejak tadi tubuh orang itu terjengkang roboh. Jemari tangan si kakek
yang terkembang tampak menyapu, membabat dan menusuk. Sambaran angin bersiuran
dan dingin bukan main.
Setiap pohon-pohon yang terkena
sambaran ujung jari si kakek terbabat roboh seperti dipotong benda tajam.
Dapat dibayangkan berapa dahsyatnya serangan kakek serba merah ini.
Menghadapi serangan ganas ini
Suro Blondo tidak bersikap sungkan lagi. Ia mengerahkan jurus 'Kacau
Balau'. Yaitu salah satu jurus yang pernah dipelajarinya dari kakek tua yang
menyerangnya. Gerakan hebat yang dilakukan oleh Suro Blondo benar-benar tidak
teratur. Tubuhnya huyung ke
kanan huyung ke kiri. Tangan kanan menderu dahsyat menghantam dada
lawannya, sedang tangan kiri mencakar wajah si kakek.
"Hmm...!" Malaikat Berambut Api menggeram tidak jelas. Ia menarik
kembali serangannya. Tubuh laki-laki ini terus berkelebat. Kaki deras
menyambar. Dengan gerakan-gerakan yang semakin kacau, namun cepat luar biasa
Suro Blondo bersalto ke belakang.
Sehingga serangan ganas yang dapat meremukkan dadanya luput. Ia tidak sempat
lagi menarik napas. Dengan
ganas dan sambil cengar-cengir ia
melakukan serangan balasan.
"Bagus! Hebat!" Malaikat Berambut Api berseru memuji. Lalu
tangannya diputar sedemikian rupa di atas kepala. Sinar merah bergulung-gulung
menerjang Suro Blondo sekaligus menyerang dan mengepungnya.
"Huup!"
Suro Blondo menghindar ke
samping. Tinju Malaikat Berambut Api tiba-tiba menggebrak dadanya. Ia tidak
menunggu, sikut kanannya menghadang.
Duuk! Malaikat Berambut Api tertawa
rawan. Tangannya yang membentur sikut muridnya tampak memerah, tubuhnya
sempat tergetar pula. Sebaliknya Suro Blondo meringis kesakitan. Ia usap-usap
sikunya sebentar, lalu sambil cengar-cengir ia mendahului menyerang gurunya.
Gerakan yang dilakukan Suro
Blondo cepat bukan main. Dalam waktu hanya sekejap mata pekikan-pekikan
menggelegar laksana menghancurkan
gendang-gendang telinga, menggetarkan puncak Gunung Mahameru sekaligus
memporak-porandakan hutan di
sekelilingnya. Inilah jurus 'Neraka Pembasmi Iblis' yang ganas itu. Hanya dalam
waktu tujuh jurus setelah Suro Blondo mengerahkan jurus 'Neraka Pembasmi Iblis'.
Malaikat Berambut Api tampak mulai terdesak. Angin kencang bergulung-gulung
membuntal tubuh si kakek. Laki-laki berbaju merah ini ganda tertawa menyadari
tubuhnya mulai terdorong hebat akibat gempuran
dahsyat muridnya. Kemudian ia
membentak. Serangan ganas dan deru angin kencang seakan tertahan dan membalik
menyerang Suro Blondo.
"Gila betul!" pemuda berambut merah ini menggerendeng. Kakinya
setengah tertekuk ke depan. Mulutnya berkomat-kamit disertai menyemburnya suara
tawa yang membuat budek gendang-gendang telinga dan menyempitnya
pembuluh darah.
'"Ratapan Pembangkit Sukma'...!"
teriak Suro Blondo. Tangannya yang melintang ke depan dada dan diputar ke atas
dan ke depan tiba-tiba melambai ke arah Malaikat Berambut Api.
"Mari kita sama-sama mengadu
jiwa!" desis kakek berambut merah.
Tubuhnya bergetar keras. Tangannya diputar sedemikian hebat laksana
titiran. Di lain saat di tangan kakek tua ini terdapat sebilah senjata
berbentuk aneh. Senjata aneh itu
mengeluarkan bunyi seperti orang
meratap dan menghiba-hiba. Dilain
kejab berubah menjadi suara siulan atau ringkikan kuda. Sinar hitam
dingin menggidikkan bergulung-gulung membentuk sebuah perisai yang sangat hebat.
"Hiyaa...!" Sinar putih laksana salju melesat dari telapak tangan Suro Blondo.
Akibat lesatan sinar itu
membuat suasana di sekitarnya berubah dingin menggidikkan. Ditambah lagi udara
dingin yang terpancar dari
senjata aneh warna hitam di tangan gurunya. Maka udara di sekelilingnya
menghampar hawa dingin mematikan.
Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bumm! Buuummmm! "Wuakh... celaka...!" Suro Blondo memekik setinggi langit.
Pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'
yang dilepaskannya kandas terhantam senjata aneh di tangan gurunya.
Dentuman keras akibat benturan dahsyat tadi membuat tanah di depan mereka
berlubang besar. Suro Blondo
terhuyung-huyung. Meskipun tubuhnya seperti remuk, ia masih mampu
cengengesan. SEMBILAN Malaikat Berambut Api lintangkan
senjata berbentuk aneh itu ke depan dada. Mulutnya menyeringai, wajahnya yang
kemerah-merahan berubah kelam membesi.
"Suro Blondo! Kau memiliki
pukulan Maha Dasyat yang kuberi nama pukulan 'Neraka Hari Terakhir'! Kurasa
hanya pukulan itulah yang mampu
menandingi Mandau Jantan di tanganku ini. Ini adalah senjata sakti yang tidak
dapat dibuat main-main, Suro!
Perhatikanlah...!"
Suro Blondo tidak sempat lagi
perhatikan senjata di tangan si kakek.
Laki-laki di depannya sambil
mengerahkan tenaga dalam ke bagian tangannya memutar senjata berwarna hitam itu
hingga menimbulkan angin dahsyat menderu-deru. Bahkan sekarang seluruh rambut
kakek tua itu telah berubah merah menyala. Sadarlah pemuda bertampang Blo'on di
depan si kakek.
Bahwa kakek merangkap guru ini telah mengerahkan tenaga dalam pada puncak
tertinggi. "Weleh, kakek sinting itu
rupanya benar-benar ingin membuat aku mampus...!" Suro Blondo leletkan lidah. Ia
menarik kaki kirinya ke
belakang. Tangan disilangkan ke depan dada dalam keadaan terkepal. Tubuhnya
bergetar hebat ketika Suro Blondo
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Akibat pengerahan tenaga
dalam sampai pada puncaknya disertai hawa amarah yang menggelagak. Maka secara
aneh rambut Suro Blondo yang kemerah-merahan itu berubah merah
bagaikan api. Itulah pukulan 'Neraka Hari Terakhir' yang telah siap
dilepaskan oleh si pemuda tampan
bertampang blo'on.
Sontak sekujur tubuhnya
mengepulkan uap panas. Udara di
sekitar puncak gunung hingga ke lereng Mahameru berubah panas seperti di
neraka. Daun-daun berubah layu,
berguguran akibat sengatan hawa panas mamatikan itu. Dalam keadaan
berkelebat lenyap itu. Malaikat
Berambut Api menggeram. Ia babatkan senjata sakti Mandau Jantan di
tangannya. Suro Blondo memekik kaget.
Tapi cepat hantamkan kedua tangannya memapaki senjata maut di tangan
gurunya. Sinar merah panas membutakan mata bergulung-gulung menerjang ke arah si
kakek. Laki-laki itu segera merasakan bagaimana panasnya api yang menyengat. Ia
kiblatkan Mandau Jantan di tangannya. Hawa dingin menghadang dan menghalau sinar
merah menghanguskan yang nyaris menghantam tubuhnya.
Blaar! Blaar! Dentuman-dentuman keras
menggelegar laksana membelah langit.
Membuat tanah puncak Mahameru menjadi longsor. Pohon-pohon besar
bertumbangan. Baik Malaikat Berambut Api yang rambutnya berubah merah
memancarkan cahaya maupun pemuda
tampan bertampang blo'on sama-sama terlempar jauh dari kalangan
pertempuran. Bahkan sebagian longsoran tanah sempat menimbun tubuh mereka.
Sehingga tampak hanya tinggal rambut mereka saja yang berwarna merah
menyala. "Uhuk! Uhuk...! Tobat-tobat...!"
kata Suro Blondo yang baru saja keluar dari reruntuhan tanah. Sementara itu
Malaikat Berambut Api
yang juga mengalami nasib sama telah duduk di atas gundukan tanah yang menguruknya dengan
mata terpejam. Suro Blondo seka jidatnya yang mengucurkan keringat.
Sebentar ia memandangi kakeknya yang diam tidak bergeming.
"Ufss... napasku sesak. Sekujur tulangku seperti mau remuk. Mata pedih kulit
hangus. Ah... guruku apakah ia menderita luka dalam juga. Aku harus
menolongnya!" Suro Blondo melompat ke depan. "Guru... kau...!" kata-kata pemuda
tampan bertampang blo'on
tertahan. Ia melihat mata gurunya
terbuka kembali. Tatapan matanya
memandang tajam ke arah Suro Blondo.
Sedangkan dipangkuannya terlihat
senjata aneh yang tadi telah
dipergunakannya untuk menyerang Suro Blondo.
"Duduklah mendekat, cucuku!"
terasa berat suara Malaikat Berambut Api. Pemuda berbaju biru tampak ragu-ragu.
Namun matanya tidak lepas
memandang senjata hampir sepanjang pedang, namun memiliki ujung runcing pada
punggungnya, sedangkan di tengah-tengahnya yang berbentuk pipih
memiliki empat lubang miring. Gagang Mandau Jantan seperti yang dikatakan
gurunya tadi. Tampaknya terbuat dari mata akar bahar berbentuk seorang
pertapa berkepala gundul dan mempunyai kuncir di atas kepala botaknya. Suro
hanya dapat menduga, mungkin empat lubang miring di tengah-tengah senjata itulah
yang tadi saat dipergunakan mengeluarkan suara yang aneh-aneh.
"Mendekatlah kemari, mengapa
takut"!"
Sambil menyeka keningnya yang
terus berkeringat, Suro Blondo
menyeringai. Ia segera duduk di depan kakeknya.
"Di depanku kuharap kau jangan cengengesan seperti gurumu yang
sinting itu...!" kata Malaikat Berambut Api. Suaranya tajam, namun tegas. Suro
katupkan bibirnya rapat-rapat. Ia teringat pesan Barata Surya tentang bagaimana
ia harus bersikap bila berhadapan dengan kakek
kandungnya ini.
"Suro Blondo! Kau tahu mengapa hari ini kakekmu ini menguji segala kemam-puanmu
yang telah kau pelajari dariku juga dari gurumu Barata Surya?"
"Tahu guru, eeh... Kakek...!"
"Apa?"
"Kakek mungkin mau hadiahkan
padaku sebuah senjata aneh yang dapat merintih, dapat bersiul dan dapat pula
meringkik seperti kuda!"
"Gundulmu! Bukan itu tujuan
utama!" Malaikat Berambut Api mendengus gusar.
"Maaf, kalau begitu aku tidak tahu!" kata Suro sambil menjura lucu.
Dewana alias Malaikat Berambut Api geleng-geleng kepala. Sekeras-kerasnya
Malaikat Berambut Api mendidik Suro Blondo dalam berdisiplin. Namun karena
dasarnya ia memang memiliki watak yang kocak, konyol dan lucu. Tetap saja Suro
Blondo menjadi dirinya sendiri.
Belum lagi bila mengingat begitu
dekatnya Suro Blondo dengan Penghulu Siluman Kera Putih yang memang miring.
"Suro! Tahukah kau sudah berapa tahun kau tinggal dan berguru di
puncak Mahameru ini?"
"Ee... kalau tidak salah baru lima tahun!"
"Blo'on. Jangan bergurau."
rungut kakek berbaju merah.
"Kalau tidak salah sudah hampir delapan belas tahun!"
"Bagus!" Malaikat Berambut Api tersenyum puas. "Selama itu kau sudah mempelajari
seluruh ilmu sakti yang kami punya. Kau harus ingat. Bila kau meninggalkan
puncak Mahameru ini. Maka orang-orang yang perlu kau cari adalah musuh besarmu
yang telah membunuh
kedua orang tuamu! Selain itu
pergunakanlah segala kesaktian yang kau miliki untuk menolong
sesama manusia yang membutuhkan pertolongan.
Jangan congkak dan takabur terhadap apa yang kau punya. Karena di atas langit
masih ada langit!"
Suro Blondo mendongak ke langit
tiba-tiba. "Ah, kakekku pikun barangkali. Sejak dulu langit cuma satu." membatin
Suro Blondo. "Sinting! Maksudku semuanya
adalah perumpamaan." desis kakek Dewana yang seakan mengerti apa yang dipikirkan
oleh cucunya. Suro tepuk-tepuk jidatnya.
"Disamping itu, Suro Blondo.
Akhir-akhir ini kudengar di puncak Gunung Bromo ada sekawanan manusia iblis yang
telah begitu berani membuat cemar dan mengobrak-abrik tanah milik leluhurmu!
Juga merupakan tugasmu
untuk membasmi manusia-manusia durjana pemeras rakyat itu. Lakukanlah apa yang
dapat kau lakukan. Pergunakan apa yang dapat dari kami untuk kebenaran.
Apakah kau mengerti Suro?"
"Mengerti, Kek?"
"Mengerti apa?"
"Semua ilmu yang Kakek dan guru Barata Surya berikan kepadaku, hebat semua!"
sahut Suro Blondo, mimiknya terkesan serius.
"Geblek! Sinting! Bukan itu
maksudku!"
Pemuda bertampang blo'on usap-
usap keningnya. "Sekarang aku sudah mengerti apa yang Kakek maksudkan. Dan aku
berjanji tidak akan membuat Kakek kecewa." kata Suro Blondo serius.
Malaikat Berambut Api, tokoh
sakti dari pulau Seribu Satu Malam dari laut selatan ini terdiam. Ia
menimang-nimang senjata Mandau Jantan yang berwarna putih itu dari
pinggangnya. Suro memperhatikan semua itu tanpa pernah berkedip sekali pun.
Sreek! Senjata berbentuk aneh dengan
lubang miring di tengahnya itu
dimasukkan ke dalam rangkanya.
"Kau sudah melihat senjata maut tadi, Suro?" kakek Dewana memandang tajam pada
muridnya. Suro Blondo
mengangguk. "Hampir tujuh puluh tahun aku membuat senjata sakti itu, Suro.
Segenap kemampuan dan kesaktianku
kucurahkan pada senjata ini. Dalam umur delapan puluh lima tahun. Sudah saatnya
bagiku untuk menyerahkan
senjata sakti ini pada orang yang
pantas!" Suro Blondo tersentak kaget.
Semula ia menyangka umur kakeknya
paling baru lima puluh tahun. Tidak tahunya sudah delapan puluh lima.
"Kupesankan padamu. Rangka
Mandau Jantan ini dapat melenyapkan segala macam bisa! Kau dapat
mempergunakannya jika sewaktu-waktu kau benar-benar membutuhkannya. Nah sekarang
terimalah...!" Malaikat Berambut Api mengangsurkan tangannya pada Suro Blondo.
"Guru, Kakekku! Mana berani
aku...!" "Goblok! Terima kataku!" bentak kakek Dewana, marah bukan main.
"Tapi...!" Suro masih ragu-ragu.
"Kenapa?"
"Apa aku pantas menerima
kepercayaan ini?"
"Tentu saja. Karena senjata ini khusus kuciptakan untuk orang
sepertimu. Perlu kau tahu, mulai saat ini karena tampangmu yang tolol itu.
Maka kau pantas kuberi gelar Pendekar Blo'on...!"
Suro Blondo kerutkan kening.
Wajahnya tampak berubah memerah. Tapi kemudian terdengar suara tawanya
membahak. Tawa itu semakin lama
semakin meninggi membelah langit. Jika bukan Malaikat Berambut Api yang
berada di depan Suro Blondo. Niscaya orang itu terjengkang roboh akibat pengaruh
suara tawa si pemuda.
"Diam! Kenapa kau tertawa?"
Malaikat Berambut Api meradang.
(Meradang = marah).
"Pendekar Blo'on... guru Barata Surya juga pernah berkata begitu. Aku setuju...
ha ha ha.... Blo'on...! Tapi pintar...!" Suro Blondo tertawa dan tertawa lagi.
Perutnya terguncang-guncang. Matanya sampai terpicing
karena geli. Namun pemuda ini tampak terkejut
ketika membuka mata, Malaikat Berambut Api sudah lenyap dari hadapannya. Suro
Blondo mencari-cari. Dikejauhan sayup-sayup terdengar suara Dewana.
"Aku akan pulang ke pulau Seribu Satu Malam. Sekarang sudah waktunya bagimu
untuk turun gunung...!"
"Wah aku harus turun gunung.
Bagaimana ini... ke mana perginya
guruku, si sinting yang satunya lagi ke mana dia. Beliau sekarang berada di
mana?" Suro Blondo usap-usap jidatnya yang keringatan. Tiba-tiba terdengar
sebuah suara yang seakan datang dari sebuah tempat yang sangat jauh seperti dari
perut gunung Mahameru.
"Anak bodoh! Jangan cuma
celingak-celinguk seperti kunyuk!
Lekas kau merat tinggalkan tempat
ini! Aku sudah muak lihat tampangmu!"
Jelas yang bicara melalui ilmu
mengirimkan suara itu adalah Barata Surya, gurunya yang konyol.
"Walah! Siluman jelek! Aku sudah bosan mendekam terus di puncak
Mahameru ini!" Ucapan itu disambung dengan suara tawa membahak yang tidak putus-
putusnya. Hingga membuat suasana di sekelilingnya seperti diguncang petir.
SEPULUH Adalah satu kecelakaan besar
bagi siapa saja yang berani
menentang kekuasaan partai Dunia Akhirat. Balung Raja, Braja Musti, Baja Geni
dan Ki Rambe Edan jadi
uring-uringan setelah membaca
sobekan kain kuning yang dibawa oleh Tiga Iblis Pemburu Nyawa. Hampir enam belas
tahun selama mereka mendirikan markas besar di puncak gunung Bromo.
Belum pernah ada seorang pun orang-orang rimba persilatan berani mengusik atau
mencampuri sepak terjang mereka yang ganas. Tapi hari ini tiga
pembantu utama telah jadi pecundang seorang gadis cantik yang tidak pernah
mereka kenal sama sekali.
Sungguh pun suasana di dalam
markas yang mirip istana kecil ini semakin memanas. Namun karena begitu
banyaknya urusan yang harus
diselesaikan oleh pentolan-pentolan yang tergabung dalam partai Dunia
Akhirat. Maka mereka hanya mengirimkan seorang tokoh sakti bernama Braja
Musti. Pagi-pagi sekali laki-laki bertampang kejam bersenjata bola berduri ini
dengan diiringi oleh Tiga Iblis Pemburu Nyawa tampak menggebrak kuda
tunggangannya menuju daerah
Nongkojajar. Seperti dikejar-kejar setan mereka memacu kuda-kuda
tunggangan itu. Setiap orang yang
dijumpai di tengah jalan, cepat-cepat menyingkir saat melihat siapa para
penunggang kuda tersebut.
"Heya...!"
"Heya...!" suara teriakan-teriakan menyelingi derap langkah kaki kuda. Debu
mengepul ke udara. Semakin lama para penunggang kuda itu semakin jauh
meninggalkan lereng Gunung Bromo.
Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum sampai di daerah
Nongkojajar di sebuah tempat yang agak tersembunyi terdapat sebuah telaga yang
cukup luas. Airnya terasa sejuk karena memang di atas telaga itu
tertutup pohon-pohon liar yang cukup tinggi. Masih dari atas telaga,
terdengar suara seseorang
bersenandung. Menilik besarnya suara pastilah pemiliknya merupakan seorang
gadis. Atau mungkin juga seorang
banci, atau boleh jadi kuntilanak.
Terlebih-lebih mengingat di daerah itu tidak satu pun terlihat ada rumah
penduduk. Seorang pemuda yang baru saja muncul dari arah utara. Mendadak saja
menghentikan langkahnya. Ia
menarik napas dalam-dalam saat mencium bau harum yang sangat menyengat.
Sesaat pemuda berbaju biru muda
memakai ikat kepala warna biru belang-belang kuning ini celingak-celinguk
menyapu pandang tempat di
sekelilingnya. Wajah pemuda ini
sebenarnya cukup tampan, rambutnya hitam kemerah-merahan. Cuma tampangnya
seperti orang Blo'on. Lagaknya yang cengar-cengir menimbulkan kesan lucu yang
polos. "Bau wangi ini apakah bau setan"
Tapi ada orang menyanyi-nyanyi. Ah...
sepertinya dari sana...!" Tanpa prasangka apa-apa, pemuda berbaju biru muda ini
bergerak mendatangi. Semakin dekat ia ke arah telaga, maka suara nyanyian
semakin bertambah jelas, bau harum yang sempat terendus hidungnya juga semakin
menyesakkan dada. Si
pemuda yang tiada lain Suro Blondo alias Pendekar Blo'on segera
bersembunyi di balik sebuah batu besar ketika melihat air telaga bergolak besar.
Semula ia menyangka orang yang bernyanyi-nyanyi dalam telaga itu
adalah bidadari yang baru turun dari kayangan. Dengan takut-takut ia
tongolkan kepalanya.
"Busyet! Orang itu tidak
berpakaian. Mengapa tidak seperti aku"
Dia punya bisul kembar di dadanya! Ini pasti porno. Baiknya aku cepat
pergi...!" Dengan wajah memerah karena dengan tidak sengaja ia telah
mengintip gadis cantik yang sedang mandi. Suro Blondo bermaksud
meninggalkan tempat secepatnya.
Tapi celakanya kakinya
tergelincir karena memang batu yang dipijaknya licin bukan kepalang.
Grosak! "Aduh...!" Suara berisik semak-semak dan keluhan pendekar Blo'on
terdengar oleh gadis yang baru saja mengenakan pakaiannya kembali.
"Pengintip kurang ajar! Jangan lari...!"
"Ala emak, mati aku!" Si pemuda mengeluh. Setelah celingak-celinguk dan tidak
melihat orang di situ.
Dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh yang sudah sangat sempurna ia
menjejak kakinya. Tubuhnya melesat ke udara. Dilain saat ia telah
bersembunyi di atas cabang pohon
paling tinggi. "Mudah-mudahan gadis itu tidak melihatku! Malu aku kalau ketahuan!"
batin Suro Blondo.
Dugaan pemuda tampan berambut
merah pirang ini memang tidak meleset.
Beberapa saat tampak seorang gadis berpakaian serba kuning berambut
panjang telah berdiri disitu. Matanya memandang berkeliling tapi ia tidak
melihat siapa pun disitu.
"Tadi aku mendengar suara orang di sini! Betul... ini bekasnya...!
Jelas-jelas ia mengintipku! Kurang ajar betul!" maki si gadis dengan wajah
berubah merah jengah.
"Pengintip kudisan! Aku tahu kau masih bersembunyi di sekitar sini.
Cepat tunjukkan diri kalau tidak ingin kupecahkan kepalamu!"
Suro Blondo memperhatikan kulit
tangannya. "Ah... aku tidak kudisan seperti yang dikata gadis itu. Kalau begitu
pasti ada orang lain lagi di sini selain aku!" Suro Blondo usap-usap keningnya
yang keringatan.
Namun tiba-tiba saja pemuda ini
jadi kelabakan ketika tangannya mulai diserang semut-semut merah. Semakin ia
berusaha menahan serangan semut-semut itu. Maka semakin bertambah banyaklah
makhluk-makhluk kecil ini yang
menggigitnya. "Celaka...!" Walau suara Suro Blondo tidak keras, namun cukup di dengar oleh
gadis di bawahnya. Sontak ia mendongakkan kepalanya ke atas
pohon. "Monyet pengintip baju biru,
harap turun tunjukkan tampang!" teriak gadis baju kuning sambil bertolak
pinggang. "Sudah ketahuan begini, terpaksa aku turun...!" Dengan gerakan yang sangat indah
sekali, pendekar Blo'on bersalto beberapa kali. Dengan kedua kakinya ia menjejak
persis di depan gadis itu. Ia usap-usap keningnya yang berkeringat. Lagaknya
cengar-cengir. Gadis di depannya yang semula tampak marah, kini malah terkejut.
"Aneh...! Pemuda ini tampan,
tapi mimiknya tampak tolol! Lagi pula mengapa rambutnya bisa berwarna merah
pirang begitu?" membatin gadis berbaju kuning.
Sebaliknya Suro Blondo memandang
ke arah si gadis tidak berkesip."
Cantik... cantik bukan main. Kulitnya putih bersih, ada tahi lalat pula di
dagunya. Siapakah dia" Apakah benar dia seorang bidadari?"
"Pemuda mata keranjang! Berani kau memandangku" Sudah mengintip
sekarang kau melihatku begitu rupa!"
Membentak gadis baju kuning, hingga membuat Suro Blondo terjingkat kaget.
"Ma... maaf Nisanak! Sebenarnya aku bukan mengintipmu. Aku tidak
sengaja... sungguh...!" sahut si
pemuda dengan mimik lucu. Sungguh pun ia telah berusaha bersikap serius.
"Dusta...!"
"Aku tidak berdusta!"
bantah Suro Blondo.
"Tampangmu saja seperti orang bego. Padahal kau pengintip licik!
Rasakan nih! Hiyaa...!" Tidak banyak cakap, dara berbaju kuning berwajah cantik
ini langsung kirim satu
tendangan dahsyat ke arah dada Suro Blondo. Melihat angin kencang menderu ke
dadanya. Suro Blondo yakin
tendangan yang dilakukan si gadis
mengandung tenaga dalam tinggi. Suro Blondo terkesiap. Ia melompat mundur sejauh
dua tombak. "Nisanak! Jangan...! Kau salah sangka...!" Pemuda itu berusaha membela diri.
Namun manalah gadis baju kuning mau mengerti. Ia terus
menyerang bahkan sekarang mulai
melepaskan pukulan-pukulan tangan
kosongnya. Suro Blondo terus mengelak.
"Mengelak terus bisa kojor aku!"
membatin si pemuda. Untuk menghindari serangan yang semakin bertambah ganas itu.
Suro Blondo kerahkan jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'. Spontan tubuhnya meliuk-
liuk, gerakan-gerakan yang
dilakukannya tidak ubahnya seperti tingkah seekor monyet. Terkadang
tangannya menggaruk, kaki berjingkat-jingkat. Atau menangkis dengan sikap
seperti main-main.
"Bagus! Rupanya kau hanya
sejenis kunyuk yang hanya pandai main sulap. Kerahkan semua yang kau punya!
Aku ingin melihat tiga jurus di muka kau masih mampu melompat lompat
seperti monyet!" bentak dara baju kuning marah bukan main.
"Ah... ah... jangan marah terus.
Nisanak salah paham!"
"Persetan dengan salah paham!
Mampus...!" Gerakan silat dara baju kuning berubah seketika. Jika tadi ia
menyerang dengan gerakan yang sangat teratur mengundang maut. Kini diawali
dengan satu bentakan menggeledek.
Tubuhnya berkelebat lenyap, hingga tinggal berupa bayang-bayang kuning saja.
Satu hantaman keras menderu ke bagian wajah Suro Blondo. Ia tersentak kaget
sekaligus menarik wajahnya ke depan.
"Mati aku...!" Suro Blondo menggerutu. Tangannya menyodok ke
depan dengan maksud menangkis tangan kiri lawan yang mencengkeram bagian
lambungnya. Namun rupanya serangan itu hanya tipuan belaka. Sebaliknya kaki dara
baju kuning sudah menghantam perutnya. Suro Blondo tidak dapat
selamatkan perutnya.
Buuk! Pemuda berbaju biru muda berikat
kepala warna biru belang-belang kuning ini jatuh terguling-guling. Isi
perutnya seperti diaduk-aduk. Anehnya ia masih mampu cengengesan seakan
tidak merasakan akibat apa-apa. Selain kaget, gadis ini tentu saja marah
sekali. Tendangan yang dilakukannya jelas mengandung tenaga dalam tinggi.
Paling tidak pemuda tampan bertampang tolol di depannya menderita luka dalam
yang tidak ringan. Tapi ternyata
pemuda itu malah cengengesan.
Semakin panas semakin bertambah
penasaran, dara baju kuning. Hingga amarahnya yang meluap-luap itu
dilampiaskannya dengan menyerang Suro Blondo lebih dahsyat lagi.
"Ups... tidak puaskah kau
setelah hampir membuat remuk ususku, Nisanak...!" pekik Suro Blondo.
"Mana aku bisa puas kalau belum membuat remuk mukamu yang konyol itu!"
bentak dara baju kuning.
"Gadis liar ini kalau belum
kubikin kapok semakin besar kepala saja...!" rutuk pendekar Blo'on. Saat ia
melihat serangah dara baju kuning menderu lagi menyerang sepuluh jalan darah.
Sadarlah Suro Blondo lawannya tidak main-main dengan ancamannya.
"Hiiiiiit...!" disertai suara menggeredeng panjang. Jemari tangan si pemuda
terpentang ke depan. Pinggulnya bergoyang seperti orang yang sedang menari.
Mulutnya pletat-pletot seakan mengejek. Hampir sama dengan gerakan monyet
melompat. Suro Blondo menerkam ke depan dengan badan setengah
membungkuk. Dara baju kuning terkesiap. Ia
menyambuti cengkeraman jemari tangan si pemuda dengan tendangan kaki yang
terarah pada bagian kepala lawannya.
Gerakan yang menganggap enteng lawan ini segera disambut Suro Blondo
Jab! Tangan kanan si pemuda
mencengkeram kaki lawannya. Kemudian dengan tenaga kasar didorongnya kaki sang
dara. "Ups...! Keparat betul...!" Sang dara terpaksa jungkir balik untuk
menyelamatkan kepalanya yang terus meluncur ke arah sebongkah batu di
belakangnya. Jlik! Kini gantian dara baju kuning
yang terbengong-bengong. Sama sekali ia tidak menyangka pemuda tampan
bertampang tolol itu dapat
menyerangnya sedemikian rupa. Lebih tidak menyangka lagi, pemuda berambut pirang
itu ternyata memiliki
kepandaian tinggi. Jika ia memang mau mencelakai. Pasti sejak tadi pemuda itu
telah mempergunakan tenaga
dalamnya untuk mencelakai dirinya.
Sungguh pun begitu ia masih merasa penasaran. Ia ingin menjajal sekaligus
menjajaki kemampuan yang dimiliki oleh pemuda di depannya. Namun sebelum
niatnya kesampaian. Ia mendengar derap suara langkah kaki kuda mendekat ke arah
mereka. "Jangan ke mana-mana, pemuda
Blo'on. Urusan kita belum selesai. Aku merasa perlu mengurus kunyuk-kunyuk jelek
berkuda yang baru datang
itu...!" desis dara baju kuning. Ia memandang ke arah datangnya suara
kuda. Sungguh pun masih agak jauh, namun ia sudah dapat melihat siapa-siapa saja
penunggang kuda itu,
terkecuali satu orang di antaranya ia memang tidak mengenalnya sama sekali.
SEBELAS Benar saja tidak lama para
penunggang kuda berpakaian serba hitam telah berhenti di depannya. Begitu sampai
salah seorang di antara mereka langsung menuding dara berbaju kuning gading.
"Itu dia gadis liar yang telah berbuat kurang ajar pada kami,
tetua...!" Yang bicara adalah Wongso Mendit yang bibirnya pernah disobek oleh
sang dara saat bentrokan di
warung beberapa hari yang lalu. Braja Musti, laki-laki tegap berperut buncit
berkumis melintang macam tambang dada menggeram. Tenggorakannya turun naik
setelah melihat kecantikan sang dara.
"Kulihat di tempat ini seperti bekas terjadi pertempuran!" Braja Musti yang
biasanya bersikap kasar ini bicara pelan. Suaranya juga lunak.
Dara baju kuning meludah ke tanah. Ia melihat ke arah pemuda berambut
pirang. Tapi dara baju kuning
terkesiap, karena melihat pemuda itu tampan berambut merah bertampang tolol
sudah tidak ada lagi di situ.
"Tampaknya kau kehilangan lawan, anak manis! Tapi kau tidak perlu
berkecil hati! Kami pantas menjadi lawanmu setelah kau merobek mulut
salah seorang anak buahku! Sebelum itu coba kau jelaskan mengapa kau begitu
berani mencari penyakit mengusik
ketentraman kami!" sambil berkata mata Braja Musti menjelajah lekuk liku
tubuh si gadis dengan jalang.
"Manusia anjing kurap!"
mendamprat dara baju kuning." Delapan belas tahun yang lalu, kau dan tiga
kawanmu telah membunuh orang-orang hamil tidak berdosa di lereng Gunung Bromo.
Sekarang saatnya bagimu untuk mempertanggung jawabkan dosa-dosa
kalian!" Kening Braja Musti laki-laki berusia hampir tujuh puluh tahun ini
berkerut dalam.
"Kau tidak perlu kerutkan kening segala! Berpura-pura lupa telah
menghutang nyawa ayah ibuku!" semakin lantang suara sang dara. Jelas ketika itu
ia benar-benar dikuasai amarah menggelegak. Seumur-umur belum pernah Braja Musti
dibentak oleh orang lain, apalagi oleh seorang gadis yang tidak dikenalnya sama
sekali. Wajahnya pun berubah memerah.
"Eeh... siapakah kau...!"
"Aku Dewi Bulan! Sengaja datang kemari ingin mencabut nyawa empat
tokoh sesat yang sekarang bercokol di puncak Gunung Bromo!"
Saat itu Suro Blondo yang
sengaja menghindar dan bersembunyi di kerimbunan pohon tampak melongo. Ia seka
keringat di dahi, matanya terus memandang ke bawah.
"Tidak kusangka aku mempunyai tujuan yang sama dengan gadis itu.
Tapi kurasa kunyuk jelek itu bukan orang yang membunuh orang tuaku!" Suro Blondo
menduga-duga. Namun kemudian ia teringat pesan Malaikat Berambut Api.
"Walaupun bukan pembunuh orang tuaku! Guru berpesan agar aku juga mengusir
orang-orang partai Dunia
Akhirat! Lebih baik kutunggu dulu apa yang terjadi."
Sementara Dewi Bulan yang
terlihat tegang tarik urat sudah tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Begitu
membentak ia sudah lepaskan satu
serangan dahsyat ke arah Braja Musti.
Orang yang diserang terkekeh. Ia
papaki serangan tangan kosong lawan dengan mempergunakan kaki kanan-nya.
Serangan menyamping itu luput. Dewi Bulan merasa gusar, tangannya tidak ditarik
pulang tapi terus meluncur ke kepala kuda Braja Musti.
Praak! Kuda tunggangan meringkik keras.
Braja Musti hampir terpelanting jika saja ia tidak cepat lakukan jungkir balik,
lalu jejakkan kaki ke tanah sambil memaki.
"Bocah liar! Kau akan merasakan betapa pedihnya siksaanku. Tapi
Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelum kematianmu. Aku akan
memanfaatkan kebagusan tubuhmu untuk bersenang-senang!" Braja Musti mengekeh
panjang. "Puih! Manusia hina! Mampuslah kau...!" jerit Dewi Bulan. Sekaligus menerjang,
sekarang ia mengerahkan jurus 'Dibalik Mega Gajah Semburkan Air'. Segelombang
angin kencang dingin membekukan datang bergulung-gulung melabrak tubuh Braja
Musti. Laki-laki tua ini sempat terkesiap, namun tanpa membuang waktu lagi
segera melompat ke samping. Lalu ia memutar tangannya ke arah datangnya angin
serangan itu. Buss! Serangan gencar yang dilakukan
sang dara seakan tertahan. Braja Musti membentak. Dan tubuhnya berkelebat ke
depan sambil hantamkan dua
tinjunya secara beruntun. Tanpa ayal lagi Dewi Bulan menyambuti serangan itu.
Saat tinju datang, ia menepis dengan tangan kanannya.
Plaak! "Iiih...!" Dewi Bulan berseru tertahan. Tubuhnya sempat tergetar.
Sedangkan tangan yang dipergunakan untuk menepis terasa panas mendenyut.
Sebaliknya Braja Musti juga sempat terperangah. Ia tidak menyangka gadis semuda
itu telah memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Lima jurus telah berlalu.
Braja Musti menggembor.
Tubuhnya berkelebat lenyap laksana bayang-bayang. Angin kencang
bersiuran. Sehingga dara baju kuning itu sekarang tampak terkurung
bayangan hitam yang terus melancarkan serangan-serangan mautnya.
Tawa Dewi Bulan menggema,
tubuhnya bersalto ke udara. Ketika ia berbalik ke bawah satu pukulan jarak jauh
dilepaskannya. Wuiss! "Hmm...!" Braja Musti
menggerendeng. Ia angkat tangannya tinggi-tinggi. Serangkum sinar panas datang
menggebu menyongsong pukulan yang dilepaskan oleh lawannya.
Blaar! Blaar! Dua kali ledakan dahsyat
terdengar berturut-turut. Dewi Bulan terpental sejauh tiga tombak. Wajahnya
berubah pucat. Sebaliknya Braja Musti jatuh terduduk. Mulutnya menyeringai, dada
terasa sesak seperti ditindih batu gunung.
Dewi Bulan bangkit berdiri,
dengan langkah agak terhuyung-huyung ia mencabut pedang pendek berwarna putih
berkilauan. Saat itu Wongso
Mendit, Lingga dan Karsa Jaliteng yang mempunyai dendam tersendiri terhadap
gadis itu sudah menyerbu Dewi Bulan dengan pedang terhunus di tangan
masing-masing. "Walah ini yang namanya tidak adil!" gerutu Suro Blondo. Ia memutus empat buah
ranting lalu menyambitkannya ke arah Tiga Iblis Pemburu Nyawa bersamaan waktunya
dengan berkelebatnya pedang di tangan lawan-lawan Dewi Bulan.
Traang! Terdengar tiga kali suara
berdentang. Tiga Iblis Pemburu Nyawa memekik kaget. Tangan mereka bergetar
hebat. Hawa panas terasa menyengat bagian telapak tangan sehingga membuat pedang
di tangan masing-masing hampir terlepas dari tangan.
Braja Musti sendiri sempat
tertegun melihat anak buahnya sempat tersentak ke belakang dan menjerit-jerit
seperti kesetanan.
Di saat itulah terlihat sosok
tubuh berbaju biru muda melayang turun dari kerimbunan pohon. Ia menjejakkan
kedua kakinya persis di samping Dewi Bulan. Gadis itu sempat pelototkan mata
ketika mengenali pemuda di
sampingnya. Suro Blondo tersenyum.
"Dalam keadaan seperti ini
jangan kau marah padaku, Nisanak.
Musuh-musuh yang kau hadapi adalah musuhku juga...!" Dewi Bulan akhirnya hanya
diam saja. Sementara Braja Musti sambil menggembor marah melompat
mendekati lawannya.
"Pemuda bertampang tolol! Jangan campuri urusan orang lain!
Menyingkirlah sebelum orang-orangku menggorok lehermu!" bentaknya dengan
kemarahan menggelegak.
Suro Blondo cengengesan.
Mulutnya yang pletat-pletot menggeram:
"Masa aku hanya diam saja melihat seorang gadis dikeroyok oleh empat monyet
brewok bertampang iblis!"
"Bangsat! Siapakah kau?"
"Mengenai siapa aku tidak
penting!" kata Suro Blondo mengejek.
"Cuma sedekar kalian ketahui. Aku juga mempunyai tujuan yang sama dengan
nisanak ini...!"
"Ha ha ha! Bocah bau ingus! Kau akan menyesal seumur-umur karena telah begitu
berani mengusik kewibawaan
kami!" "Tetua! Mengapa harus bertele-tele! Serahkan pada kami biar kami bereskan dua
ekor tikus yang tidak tahu peradatan ini!" menyela Karsa Jaliteng tidak sabar.
"Bunuh mereka!" teriak Braja Musti.
Ini adalah perintah yang sangat
di-tunggu-tunggu oleh Tiga Iblis
Pemburu Nyawa. Tanpa berpikir lagi, mereka sudah menerjang saling dahulu
mendahului. Pedang di tangan mereka menderu, berkelebat-kelebat menyambar dengan
ganasnya. Suro Blondo ganda tertawa. Tubuhnya melompat ke atas.
Lalu pergunakan jurus 'Serigala
Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'.
Sungguh lucu dan konyol gerakan silat yang dimainkan oleh pemuda ini. Tapi
setiap serangan balasan yang
dilakukannya cukup berbahaya disamping mengeluarkan angin menderu-deru.
"Hiya! Nguk! Nguk...!" Suro Blondo melompat-lompat. Pinggulnya bergoyang-goyang.
Tubuhnya seruduk sana seruduk sini. Karsa Jaliteng
penasaran bukan main melihat
serangannya selalu menghantam tempat kosong. Saat pemuda lawannya melakukan
sergapan ke arahnya. Pedang di
tangannya kembali menderu membacok dan membabat.
"Ups...!" Dengan gerakan yang sungguh lucu dan konyol. Suro Blondo berhasil
mengelakkan serangan lawan.
Tangan kanannya menjulur ke bagian pertahanan lawan yang lowong.
Praak! "Akkhgh...!" Karsa Jaliteng melolong setinggi langit. Tubuhnya terbanting
mukanya hancur terhantam pukulan lawannya. Wajah tokoh Tiga Iblis Pemburu Nyawa
mandi darah. Tubuhnya diam, nyawanya putus
seketika. Sementara itu Dewi Bulan juga
telah berhasil mendesak dua lawannya.
Pedang pendek di tangannya terus
menderu-deru. Mati-matian Wongso
Mendit dan Lingga berusaha bertahan.
Tapi setiap ia melakukan serangan
balasan selalu dapat dihalau oleh Dewi Bulan.
"Terus... terus...! Bunuh saja monyet jelek itu, Nisanak!" Suro Blondo memberi
semangat. Ia bahkan bertepuk tangan. Melihat ini Braja Musti berang bukan main.
"Monyet tolol! Jangan hanya
bertepuk tangan disitu! Makanlah
senjataku!" Teriak laki-laki berusia enam puluhan ini. Bola berduri di
tangannya menderu dan menimbulkan
udara dingin menusuk sumsum.
"Hups! Kurang ajar. Monyet
jelek, curang!" Suro Blondo meliukkan tubuhnya dengan gerakan yang sangat indah
sekali. Bumm! Satu ledakan terdengar ketika
senjata berbentuk aneh itu menghantam batu di belakang pendekar Blo'on. Suro
Blondo geleng-geleng kepala melihat lubang besar akibat hantaman senjata maut
lawannya. '"Seribu Kera Sakti Mengecoh
Harimau'...!" jerit pemuda tampan bertampang blo'on ini. Seketika
gerakannya berubah cepat bukan main.
Tubuhnya bergerak laksana kilat.
Tangan, kaki yang menendang tampak berubah menjadi banyak sedemikian
rupa. Seakan tubuh Suro Blondo berubah menjadi ratusan mengelilingi Braja Musti
dari segala penjuru arah.
Seumur hidup belum pernah Braja
Musti mendapat lawan yang memiliki jurus seaneh ini. Sambil kertakkan rahang,
Braja Musti semakin
memperhebat serangannya. Tapi hanya dalam beberapa jurus kemudian laki-laki ini
terpelanting roboh ketika tersapu tendangan kaki lawannya. Dalam waktu
bersamaan, tubuh Dewi Bulan tampak berputar sebat laksana sebuah
gading. Pedang di tangannya laksana kilat membacuk, menebas menusuk dan
menghantam pertahanan lawannya yang sudah morat-marit.
"Hiyaa...!"
Crass! Craas! Wongso Mendit dan Lingga tampak
melintir tubuhnya. Tenggorokannya
robek besar. Darah mengucur deras dari luka itu. Mata mereka tampak melotot
seakan tidak percaya dengan apa yang mereka alami. Tubuh kedua orang ini
langsung terguling roboh menyusul
kawannya. Trek! Dewi Bulan memasukkan pedang
pendek ke dalam sarungnya. Ia
memandang pada Suro Blondo yang terus menyerang Braja Musti dengan bola
berduri milik lawannya yang berhasil dirampasnya.
Entah mengapa sekarang timbul
rasa sukanya setelah melihat kehebatan dan kekonyolan pemuda itu.
"Lekas bunuh monyet brewok itu.
Ayo...!" Dewi Bulan berteriak-teriak ditujukan pada si pemuda. Dengan mimik
serius, Suro Blondo terus menerjang.
Braja Musti yang tampak selalu gagal melepaskan pukulan jarak jauhnya jadi
terdesak. Geram campur marah menyatu dalam jiwanya. Suro Blondo yang ketika itu
telah mengerahkan jurus tingkat tinggi. Yaitu jurus 'Tawa Kera
Siluman', benar-benar sudah tidak
dapat tertahan lagi gelombang
serangannya. Satu ketika Braja Musti bermaksud merebut senjata andalannya
kembali. Namun bersamaan dengan itu Bola Berduri rampasan tepat menderu ke
dadanya. Gerakan itu cepat bukan main.
Sehingga Braja Musti tidak mampu
menghindarinya lagi.
Braak! Bola Berduri langsung amblas ke
dalam dada Braja Musti. Laki-laki ini terhuyung, bibirnya mengeluarkan suara
seperti tercekik. Tubuhnya melejang-lejang. Kemudian mati dalam keadaan jatuh
terduduk. "Ha ha ha! Mati...! Satu dari empat iblis telah mati...!"
"Kisanak! Karena kau telah
menyelamatkan aku. Aku menganggap
urusan di antara kita telah selesai.
Oh ya... siapakah namamu?" tanya Dewi Bulan. Ditanya dengan ramah oleh gadis
cantik yang tadi sempat hampir
mencelakainya. Jantung Suro Blondo terasa dek-dekkan juga.
"Nisanak tidak marah lagi
padaku?" "Kalau masih marah, sudah
kugebuk kau sejak tadi!"
Suro Blondo sebelum menjawab
usap keningnya yang keringatan.
"Namaku Suro Blondo!"
"Pantasan...!" Dewi Bulan tidak meneruskan ucapannya.
"Pantasan apa?"
"Wajahmu ganteng tapi tampangmu bego...!" Dewi Bulan tersenyum.
Sungguh mendebarkan senyumnya. Karena dua pipinya membentuk lesung pipit.
"Kau juga cantik! Sayang ceriwis dan pemarah!" sahut Suro Blondo, cengengesan.
Anehnya Dewi Bulan tidak marah. Malah ia balas tersenyum.
Sesaat ia memandangi pemuda tampan bertampang blo'on di depannya.
Bersamaan waktunya Suro Blondo
memandang pula ke wajah si gadis.
Tatapan mata mereka bertemu. Hati Dewi Bulan berdebar keras. Wajahnya bersemu
merah. Ia cepat palingkan wajah ke arah lain.
"Suro! Maaf perjumpaan kita
sampai di sini saja. Aku ada urusan mendesak di Gunung Bromo...!" Hanya dalam
sekedipan mata saja, Dewi Bulan telah lenyap dari hadapannya.
"Hei... tunggu...! Aku juga mau ke Gunung Bromo...!" teriak Pendekar Blo'on
memanggil. Ia pun mengejar ke arah lenyapnya si gadis sambil
mengerahkan ilmu lari cepat Kilat
Bayangan. Bagaimanakah nasib Dewi
Bulan dan Pendekar Blo'on" Mampukah mereka menghadapi orang-orang yang telah
membunuh kedua orang tua mereka"
Petualangan Suro Blondo,
Pendekar Blo'on Mandau Jantan
selanjutnya, dalam episode 'Bayang Bayang Kematian'.
TAMAT Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel Tukang Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pendekar Pedang Kail Emas 7 Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Neraka Hitam 8