Bayang Bayang Kematian 1
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian Bagian 1
Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
BAYANG-BAYANG KEMATIAN Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1993
Setting Oleh : M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit
Mutiara Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun
Tanpa ijin tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Bayang-Bayang
Kematian 1 Berdirinya sebuah singgasana
kecil di gunung Bromo dengan sepak
terjangnya yang ganas tanpa pandang
bulu, telah menarik perhatian seorang
tokoh sesat dari daerah Ponorogo. Ia
seorang laki-laki memakai baju hitam
ikat kepala warna hitam. Tubuhnya
tinggi semampai berotot.
Rambut, kumis jambang dan jenggot
berwarna hitam. Walaupun umurnya sudah
mencapai hampir enam puluh tahun. Tapi
ia kelihatan masih gagah, langkahnya
tegap. Wajahnya yang angker hampir
tanpa senyum, karena memang sepanjang
hidupnya ia tidak pernah tersenyum.
Adapun tujuan laki-laki ini
adalah ingin bergabung dengan penguasa
gunung Bromo. Yang kabarnya merupakan
tokoh-tokoh aliran hitam yang sangat
kuat di samping memiliki jago-jago
bayangan sekaligus pengawal-pengawal
dalam jumlah tidak terbatas.
Sudah empat hari Warok Batiroso
melakukan perjalanan bersama gemblak-
nya (Gemblak istri yang terdiri dari
kaum sejenis). Bila sang gemblak ini
letih, tidak segan-segan
Warok menggendongnya. Ia sangat sayang pada
Gemblak ini karena wajahnya yang
sangat tampan disamping memiliki
ilmu silat tinggi.
"Hari sudah siang. Kurasa gunung
Bromo tidak jauh lagi dari sini,
istriku. Aku jadi ingin cepat-cepat
sampai ke sana!"
"Jangan terlalu berambisi, Kakang
Warok. Lihatlah ke langit, Undan milik
kita masih jauh tertinggal di
belakang. Kakang lari laksana terbang,
tidak tahu siang tidak perduli malam!"
"Undan (Sejenis burung bangau
berbulu hitam, tapi besar bukan main)
kita itu semakin tua semakin lamban.
Terkadang aku malas membawanya serta.
Tapi binatang itu selalu ngotot dan
mau ikut juga ke mana aku pergi!"
Warok Batiroso mengomel. Dalam
hidupnya sang Undan merupakan makhluk
kedua yang sangat dia sayangi setelah
Gemblaknya sendiri. Sekaligus binatang
ini merupakan pengawal setianya.
"Jangan terlalu tergesa-gesa.
Tidak akan lari gunung dikejar. Ada
baiknya jika kita istirahat dulu!"
Kening Warok Batiroso mengerut
dalam ia melirik pada sang Gemblak
bernama Panaran itu. Kemudian seraya
anggukkan kepala tanda setuju, Warok
Batiroso mengambil buli-buli tuaknya.
Kemudian menikmatinya seteguk demi
seteguk. Sang Warok kemudian menyo-
dorkan daging panggang yang mereka
bekal sejak dari Ponorogo beberapa
hari yang lalu.
Sedang mereka istirahat melepas
lelah, di atas mereka tiba-tiba
terdengar suara menggemuruh seperti
angin puting beliung.
Tanpa melihat sekalipun tentu
sang Warok sudah tahu bahwa suara itu
timbul akibat kepakan sayap sang
Undan. Hanya anehnya kali ini binatang
yang sangat besar itu menguik keras.
Suaranya berisik memekakkan gendang-
gendang telinga.
Ini adalah sebuah kebiasaan
sebagai isyarat bahwa di tempat itu
ada orang lain selain mereka berdua.
Warok Batiroso tiba-tiba mendongak ke
langit. "Turunlah kekasihku. Jika penda-
tang bermaksud baik tentu ia tunjukkan
diri. Kalau cari penyakit, tuanmu ini
tidak segan-segan mengirimnya ke
neraka!" "Ngiiiiikkh...!"
Sang Undan memperdengarkan suara
menguik keras. Sayapnya dikepak-
kepakkan hingga menimbulkan deru angin
yang sangat keras.
Dalam pada itu di balik kerim-
bunan pohon terlihat seorang gadis
cantik dengan tahi lalat di dagu dan
berbaju kuning gading melompat keluar.
Dan hanya beberapa kali lompatan saja
gadis itu telah berada di depan Warok
Batiroso. Laki-laki berbadan tegap ini
memandang kehadiran si gadis dengan
tatapan tidak suka. Ketika ia bicara,
suaranya serak sember.
"Katakan apa maumu" Mengapa
mengintip orang yang sedang melepas
lelah?" Gadis berbaju kuning gading yang
tidak lain adalah Dewi Bulan ini
tersenyum. Seraya memandang Panaran
sekejap, setelah itu menoleh ke arah
Undan yang terus berputar-putar liar
di udara. "Aku bukan mau mengintipmu,
Kisanak! Aku sedang pergi menuju ke
suatu tempat tidak jauh lagi dari
sini. Jadi teruskanlah istirahatmu,
aku akan meneruskan perjalananku!"
Dewi Bulan baru saja hendak
melanjutkan perjalanannya ketika di
belakangnya terdengar suara membentak.
"Berhenti...!"
Mau tidak mau gadis ini hentikan
langkahnya tapi tidak menoleh ke
belakang. "Kalau ingin bicara, bicaralah,
aku tidak punya banyak waktu!"
"Gadis sombong! Kau hendak ke
mama, katakan tujuanmu! Bukankah
tempat terdekat dari sini adalah
gunung Bromo" Apakah kau mau ke sana?"
"Pertanyaanmu banyak sekali. Mana
yang harus kujawab?"
"Jangan banyak mulut! Katakanlah
ke mana tujuanmu!"
"Aku mau ke gunung Bromo. Apakah
itu sudah cukup?"
"Lagakmu tengil seperti bayi
kebesaran upil! Aku tahu kau pasti
minta ingin bergabung dengan penguasa
gunung Bromo. Hak hak hak! Tujuan kita
sama. Jika kita punya nasib baik,
tentu kelak kita bisa bersahabat!"
Maka tertawalah Dewi Bulan
mendengar ucapan si baju hitam.
"Siapakah namamu, Kisanak?"
"Mengapa kau tanya nama" Aku
Warok Batiroso dari Ponorogo."
"Warok sama dengan jagoan jika
menyimpang dari kodratnya. Terus
terang, Kisanak. Aku pergi ke gunung
Bromo justru untuk menagih hutang nyawa pada para iblis yang bercokol di
sana. Jadi tujuan kita jelas jauh
berbeda" Warok Batiroso terkesiap men-
dengar ucapan Dewi Bulan. Sebaliknya
Undan yang terus terbang berputar-
putar di atas Dewi Bulan mencuik
keras. Kepakan sayapnya pang keras
saja membuat pakaian Dewi Bulan
berkibar-kibar. Dan muka gadis itu
terasa perih bukan main.
"Hmm, kita punya tujuan berbeda.
Jauh dari tanah kelahiran aku telah
berjanji untuk menghambakan diri pada
mereka. Walaupun mereka belum menerima
kehadiranku. Adalah pahala besar jika
aku membunuhmu untuk mereka!" geram
sang Warok. Dalam pada itu sang gemblak pun
menimpali pula. "Bagus, bunuh saja,
Kakang. Jika tidak dibunuh sekarang
nanti pun jadi penyakit bagi kita!"
"Heee... kau. Manusia salah
kaprah yang menyalahi kodratnya. Cap
lonceng lawan cap lonceng. Jangan ikut
campur jika tidak ingin mampus!"
damprat Dewi Bulan sengit,
Disindir begitu Panaran rupanya
tidak terima. Ia bangkit berdiri lalu
cabut keris pendek berwarna hitam dari
balik bajunya. Sebelum laki-laki ini
bertindak, Warok Batiroso mencegah.
"Jangan buang-buang keringat
istriku! Untuk membunuh bocah tengil
ini, paman Undan sudah cukup mewakili
kita." Warok Batiroso tiba-tiba menjen-
tikkan tangannya. Undan yang berputar-
putar di atasnya menguik keras.
Tubuhnya berputar-putar melayang ren-
dah. Isyarat yang diberikan oleh sang
majikan itu rupanya sangat dimengerti
oleh sang Undan sebagai isyarat
membunuh. Bukan main cepatnya gerakan
burung besar ini. Dalam waktu yang
singkat sekali ia sudah menyambar
dengan paruh terbuka ke arah Dewi
Bulan. Gadis ini terkesiap. Sambaran
angin yang sedemikian keras itu saja
sudah membuatnya tergontai-gontai.
Ia terpaksa melompat sambil
berguling-guling. Dewi Bulan selamat
dari patukan paruh sang Undan yang
panjang dan runcing. Tapi kepakan
sayapnya membuat dada sang dara
seperti terhimpit batu gunung.
Dewi Bulan tiba-tiba saja mem-
bentak keras. Ia hantamkan dua
tinjunya ke depan. Seleret sinar biru
melesat dari telapak tangannya. Sinar
yang disertai deru angin ini panas
bukan main. Tapi seperti sudali
mengerti bahaya yang mengancamnya
saja, Undan ini kepakkan sayapnya yang
lebar. Hingga pukulan yang dilepaskan
oleh Dewi Bulan buyar, mental dan
sebagian lagi berbalik nyaris menghantam diri sendiri.
Gadis itu berguling-guling.
"Bumm! Bumm!"
"Kurang ajar!" gerutunya dalam
hati. Dewi bangkit berdiri. Kali ini ia
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencabut pedang pendek dari ping-
gangnya. Pedang danda ini diputarnya
sedemikian rupa hingga menimhulkan
suara menderu-deru dingin sekali.
Di tangannya pedang kembar itu
seakan berubah menjadi banyak. Warok
Batiroso tergelak-gelak. Namun kagum
juga melihat permainan pedang si gadis
yang begitu cepat dan berbahaya itu.
Jika saja hanya orang yang mempunyai
kepandaian biasa yang melihat
permainan pedang Dewi tentu mereka
tidak dapat membedakan yang mana
bayangan dan yang mana aslinya. Tapi
karena Warok Batiroso tertokol berke-
pandaian tinggi dan sangat terkenal di
daerahnya. Jadi permainan serta jurus-
jurus pedang Dewi hanya berupa
gerakan-gerakan yang sangat menga-
gumkan. "Bunuh!" Teriak Warok Batiroso
pada Undan yang terus berputar mencari
kelemahan jurus pedang 'Kupu-Kupu
Menari Di Atas Bunga Matahari'
tersebut. "Keeek! Kreeekkh!"
Undan itu memekik keras mengge-
tarkan dada Dewi. Sayapnya kembali
mengepak membelah udara memedihkan
mata. Dewi mengerahkan tenaga dalanmya
untuk melindungi sekujur tubuhnya dari
hantaman sayap sang burung. Tidak lama
kemudian ia menggenjot tubuhnya,
hingga sekejap saja tubuhnya telah
melayang di udara. Karena burung itu
terbang rendah, begitu pedang pendek
di tangan Dewi berkiblat, maka angin
menderu disertai sinar putih berkiblat
menebas. Namun Undan itu telah mengangkat
sayapnya sehingga tebasan pedang Dewi
luput. Gadis itu tidak mau ambil
resiko. Ia alihkan pedang ke tangan
kiri. Lain tangannya menghentak ke
atas. Pada saat burung itu melayang,
pukulan Gempa Merbabu menghantam.
"Brass!"
"Kreaaakkh!"
Tubuh sang Undan terguncang. Dewi
melesat turun dan menjejakkan kedua
kakinya di tanah dengan mulus sekali.
Undan tersebut agaknya menjadi marah
sebagaimana pemiliknya. Ia terbang
tinggi, hingga bentuknya berubah
mengecil. Hanya dalam sekedipan mata,
binatang yang sudah sangat terlatih
itu menukik turun. Bukan main gerakan
burung besar ini. Sampai-sampai ham-
pir tidak terlihat kasat mata karena
cepatnya. Dewi begitu merasakan sambaran
angin langsung melompat ke samping.
Tapi kepakan sayap burung yang seakan
menendang tidak sempat dihindarinya.
Braak! "Glebuk!"
Dewi jatuh terguling-guling. Ia
merasa dada dan punggungnya seperti
remuk. Warok Batiroso melihat ini
terlonjak girang dan semakin
bersemangat. "Bunuh dengan perahumu!" perin-
tahnya. "Kreaakk...!"
Sang Undan menyahuti dengan
pekikan keras. Ia tidak lagi berputar.
Melainkan terbang serendah-rendahnya
sambil mematuk dahsyat ke arah batok
kepala Dewi. Gadis ini pasti akan kehilangan
kepalanya jika pada saat yang sangat
kritis itu tidak melesat sebuah benda
berwarna hitam panjang menderu kencang
ke arah paruh sang burung.
Begitu kencangnya hingga Undan
itu sendiri tidak sempat melihat
bahaya ini. "Taak!"
"Kreaakkkk...!"
Sang Undan menjerit keras ketika
benda hitam menghantam ujung paruhnya.
Patukannya gagal, selain itu ia
golang-golengkan kepalanya karena
didera rasa sakit bukan kepalang.
Terbangnya menjadi oleng, lalu
membumbung tinggi semakin bertambah
tinggi hingga lenyap dari pandangan
mata. 2 Kejut hati Warok Batiroso bukan
kepalang. Seseorang yang bisa me-
nyerang burung perkasanya itu tentu
merupakan mereka yang mempunyai
kepandaian tinggi. Tapi ketika ia
melihat ke samping kiri, orang yang
berdiri di situ sambil cengar-eongir
bertolak pinggang hanya seorang pemuda
berambut hitam kemerahan bertampang
tolol. Sungguh pun ia harus mengakui
bahwa pemuda itu lebih tampan dari
Gemblaknya sendiri.
"Tidak ada hujan tidak ada angin.
Hanya orang gila yang cari penyakit
kalau berani mencampuri urusan orang
lain!" bentak Warok Batiroso.
"Karena gadis baju kuning itu
kawanku. Masak aku harus melotot saja
melihat dia kehilangan kepala?"
"Hmm, rupanya kau kawannya?"
Suro Blondo garuk-garuk kepala,
lain memandang pada Dewi Bulan yang
melotol, kepadanya.
"Bagus, kurasa tujuanmu tidak
jauh beda dengan tujuan gadis ini.
Sebutkan namamu dan apa gelarmu?"
"Gelar tidak perlu, namaku Suro
Blondo!" kata Pendekar Blo'on.
"Heh...! Rupanya kau yang dika-
barkan sebagai anak ajaib yang
terlahir pada malam satu Asyuro
delapan belas tahun yang lalu"
Kebetulan sekali aku ingin tahu apa
kehebatan yang tersimpan di balik nama
dan kelahiran yang menggemparkan
dulu!" geram Warok Batiroso hampir
tidak dapat menahan tawanya.
"Ha ha ha! Yang membuat gempar
adalah tikus-tikus sesat sepertimu.
Mereka kemaruk ingin punya murid
sepertiku. Heh... apakah kau tidak
kasihan membawa-bawa istrimu yang
bunting itu?"
Merasa disindir begitu rupa, baik
Warok Batiroso dan Panaran jadi sangat
tersinggung sekali.
"Keparat!"
Warok Batiroso hendak mengemplang
kepala Suro. Tapi pemuda ini mena-
hannya "Tunggu?"
"Apa lagi?"
"Bertarung dengan manusia ajaib
seperti ku ada waktu dan batasnya.
Kalau waktu yang sudah sama-sama kita
sepakati telah berakhir. Artinya kau
kalah jika tidak mampu merobohkan
aku. Sebaliknya jika kau memang aku
bersedia menjadi kacungmu"
"Kalau aku kalah?"
"Kalau kalah kau harus menyem-
bahku tujuh kali setelah itu segera
merat dari hadapanku!"
"Ha ha ha!" Warok Batiroso
tergelak. Ia yakin dengan kemam-
puannya. Pemuda di depannya walau tadi
sempat ia lihat kehebatannya pasti
tidak sampai lima jurus ia akan
menjadi pecundang. Apalagi mengingat
wajah pemuda itu tampan. Paling tidak
jika ia dapat mengalahkannya, selain
Warok punya kacung pemuda itu dapat
pula dijadikan selirnya.
"Bagaimana, apakah kau setuju?"
tanya Pendekar Blo'on.
"Setuju. Berapa jurus kau
tawarkan?"
"Sepuluh," jawab Suro Blondo.
"Aku menawar lima."
Pendekar Blo'on menyeringai,
kemudian tertawa sambil pencongkan
mulutnya. "Kau menawar paling sedikit, jangan menyesal nanti kalau juraganmu
ini harus mengemplang kepalamu pulang
pergi, Warok...!"
"Banyak mulut!"
"Tuuing...!"
Warok mengemplang mulut si
pemuda. Tapi Suro sudah tarik mulutnya
ke belakang. Lalu ia geser langkahnya
ke samping kiri. Tinjunya menghantam
dada sang warok. Laki-laki ini menepis
dengan gerakan ringan tapi tangan
dialiri tenaga dalam tinggi. Suro tak
mau mengambil resiko. Lalu putar
tangan ke samping. Tendangan kaki
kanan menghantam perut.
Warok Batiroso terkejut sekali.
Ia melompat ke belakang. Justru pada
saat si pemuda hantamkan lagi
tangannya ke dada lawan.
Tendangan dapat dihindari, tapi
tinju lawannya menghantam telak dada
sang Warok. Karena hantaman itu cukup keras,
Warok biar pun badannya besar tetap
saja terhuyung ke belakang. Merah
wajahnya menerima kenyataan ini. Ia
kertakkan rahangnya, lalu tangan kanan
diputar cepat. Inilah jurus 'Kalinding
Bencana'. Sebuah jurus andalan yang
sangat diyakini kehebatannya.
Serasa tangan lawan semakin lama
semakin bertambah cepat. Hingga tangan
,yang berputar dan menimbulkan
gelombang angin menderu-deru ini
semakin lama seakan berubah menjadi
banyak. Pendekar Blo'on telah kerahkan
jurus 'Kera Putih Memilah Kutu' Salah
satu jurus konyol warisan gurunya
Penghulu Siluman Kera Putih.
Seketika tubuh si pemuda
terhuyung-huyung. Tangan kirinya tidak
henti menggaruk sana-sini. Sedangkan
tangan kanan moncecar mata sang Warok.
Kaki si pemuda terus bergerak lincah.
Terkadang posisinya setengah berjong-
kok sambil melompat-lompat. Tapi
begitu serangan lawan semakin meng-
hebat, ia berguling-guling sambil
menunjuk-nunjuk ke langit.
Bibir si pemuda berkomat-kamit.
Terkadang keluar suara mendesis atau
ngak ngik nguk seperti suara seekor
monyet yang ribut. Lalu dalam keadaan
tetap berguling-guling itu ia mele-
paskan tendangan beruntun menyapu kaki
sang Warok. Serangan-serangan gencar yang
dilakukan oleh Warok Batiroso selalu
luput. Sebaliknya serangan baiik yang
dilakukan oleh lawannya nyaris meng-
hantam tempat-tempat yang berbahaya.
Tidak ayal lagi, Warok Batiroso jadi
uring-uringan. Sementara itu Dewi Bulan juga
rupanya tidak tinggal diam. Ia
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melabrak Panaran gemblak sang Warok
dengan serangan-serangan yang sangat
ganas. Panaran yang sempat melihat
Dewi Bulan sempat kucar kacir mendapat
serangan sang Undan sama sekali tidak
menyangka. Kini gadis itu berubah
menjadi hebat tanpa mempergunakan sen-
jata. Kini secara pelan ia menyadari
bahwa gadis ini mempunyai jurus-jurus
yang sangat berbahaya bila tidak
mendapat serangan dari udara.
Dalam waktu singkat pertempuran
sudah berubah menjadi seru. Sebaliknya
Panaran sudah mencabut keris kecil
lekuk tiga begitu mendapat tekanan
dari lawannya. Keris berwarna hitam
mengandung racun keji ini menderu-deru
menimbulkan sinar hitam dan menebar
bau amis. Pertanda bahwa senjata
lawannya mengandung racun yang sangat
keji. "Aku tidak mungkin bertangan
kosong terus menghadapi senjatanya
yang mengandung racun itu," pikir Dewi Bulan.
"Sriing! Sring!"
"Heaaa...!"
Dewi Bulan membentak keras,
tubuhnya melesat ke depan. Sedangkan
pedang kembar pendek yang baru
dicabutnya menusuk ke arah leher lawan
sedangkan satunya lagi menebar ke
perut Panaran. Mendapat serangan dahsyat dalam
waktu bersamaan ini sempat terkesiap
juga. Namun laksana kilat ia
membanting tubuhnya ke samping kiri
lalu lepaskan tendangan ke pergelangan
tangan lawannya.
"Duuk!"
"Eeeh...!"
Walau pedang di tangan kanan
sempat tergetar dan pergelangan yang
kena tendangan terasa remuk. Tapi
pedang di tangan kirinya terus melaju
mengancam dada Panaran. Laki-laki ini
mengegoskan tubuhnya. Tidak urung....
"Reeek...!"
"Uuh...!"
Panaran mengeluh pendek. Bahunya
yang kena sambar ujung pedang Dewi
robek. Selir sang Warok menggerung
marah. Lalu bangkit berdiri, tanpa
menghiraukan luka yang dideritanya ia
menyerang kembali dengan serangan-
serangan yang lebih gencar.
Dewi Bulan tidak mau kalah. Ia
kerahkan jurus pedang 'Walet Menyambar
Buih'. Salah satu jurus terhebat
dengan fungsi menggempur dan bertahan.
"Wukk! Wukk!"
Kilatan sinar pedang itu
memedihkan mata Panaran. Sinar hitam
yang memancar dari keris Panaran
seakan terdorong dan meredup. Hanya
dalam kejapan mata saja Panaran telah
terkurung. Di lain saat
kerisnya membentur pedang di tangan Dewi Keris
mustika itu terpental. Di saat itulah
Pedang di tangan Dewi menempel di
dadanya. Kalau Dewi Bulan mau, tentu
jiwa Panaran sudah tidak dapat
diselamatkan lagi.
"Aku mengaku kalah!" desisnya
dengan muka pucat ketakutan.
"Lain kali jika bertemu dengan
kau. Kepalamu akan kupenggal!" dengus Dewi Bulan sambil memasukkan pedang ke
rangkanya. Sementara itu pertarungan antara
Warok Batiroso dan Pendekar Blo'on
sudah mencapai puncaknya. Sang Warok
yang menjanjikan waktu selama lima
jurus kini telah melewatinya sampai
empat puluh jurus. Rupanya ia tetap
penasaran juga. Karena sejak tadi ia
hanya mampu membuat lawan jatuh
tunggang langgang dan muntah darah.
Sebaliknya Suro Blondo dengan
mengandalkan jurus-jurus yang kocak
dan konyol berulang kali menghantam
sang Warok hingga membuat laki-laki
ini menderita luka dalam cukup serius.
Tokoh dari Ponorogo ini rupanya
tidak mau menyerah begitu saja. Kini
sambil menyeringai kesakitan ia
keluarkan golok panjang besar, tipis
tajam mirip golok milik tukang jagal.
"Bocah! Kuakui jurus-jurus
silatmu yang aneh dan dahsyat itu.
Tapi aku tidak mungkin membatalkan
niatku untuk bergabung dengan penguasa
gunung Bromo sebelum menjajal
kehebatan golokku ini!"
"Ha ha ha! Aku bosan tawar
menawar denganmu, kurasa kau tidak
akan tepat janji lagi. Mau pergunakan
Undanmu yang sudah terluka untuk
mengerokku silakan. Mau pergunakan
seribu senjata masa bodoh!"
"Kau terlalu memandang enteng
padaku! Hiyaa...!"
"Aku selalu memandangmu berat dan
tinggi Warok! Weiit... hampir saja
ambrol bakul nasiku...!" jerit si
pemuda sambil melompat ke belakang
selamatkan perutnya dari hantaman
golok besar lawannya.
"Wik! Wik! Wik!"
"Ngung! Ngung! Ngung!"
"Eiit! Hampir saja...!"
Suro Blondo bersalto ke udara
ketika golok di tangan Warok Batiroso
membabatkan goloknya terarah ke bagian
kakinya. Masih dalam keadaan berjum-
palitan di udara tanpa diduga-duga
sang Warok mengejarnya. Tentu sangat
sulit bagi Suro untuk menghindarkan
diri dari bahaya. Sehingga ia
mencabut senjata andalannya berupa
Mandau Jantan berwarna hitam dari
balik pakaiannya. Senjata dengan empat
sisi lubang miring pada bagian
tengahnya dan mempunyai ujung ganda
ini menderu membelah udara. Seketika
terdengar suara rintih tangis yang
menyayat hati. Suara rintihan itu
berubah menjadi jeritan yang menya-
kitkan gendang-gendang telinga ketika
si pemuda menyalurkan tenaga dalamnya
ke gagang Mandau Jantan tersebut.
Warok Batiroso terkesiap, dadanya
bergetar dan langsung terasa sesak. Ia
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya
untuk menghilangkan pengaruh aneh yang
memancar dari senjata lawan. Tapi
hingga sejauh itu ia tidak mampu juga
melakukannya. Warok kiblatkan senjatanya,
terjadi benturan hingga menimbulkan
bunga api. "Raap!"
"Traak! Traak!"
Benturan keras itu membuat
maaing-masing lawan terpental jauh.
Warok Batirono jatuh terduduk. Sedangkan Suro Blondo masih mampu
menjejakkan kakinya dengan baik di
atas tanah. Ketika Warok Batiroso melihat ke
arah goloknya maka terkejutlah tokoh
dari Ponorogo ini. Golok mustika di
tangannya telah terbabat putus menjadi
dua. Wajahnya berubah pucat, sadarlah
ia kalau pemuda itu mau sejak tadi
bukan saja goloknya yang buntung
menjadi dua, tapi juga kepalanya bisa
copot dari badannya.
Ketika ia memandang ke arah si
pemuda, maka terlihatlah dengan jelas
bahwa pemuda itu baru saja memasukkan
senjatanya yang berbrentuk
dan mengeluarkan suara aneh tersebut ke
dalam sarungnya.
Pendekar Blo'on seka keningnya.
"Apakah kau masih tetap penasaran
juga, Warok?"
"Hmm, kalau tidak melihatnya
sendiri mana aku bisa percaya. Kau
masih muda tapi sudah mempunyai
kepandaian beragam. Ternyata kau me-
mang bukan pemuda lemah. Kepandaianmu
mustahil dapat kuimbangi walau aku
belajar lima belas tahun lagi. Aku
mengaku kalah padamu, sesuai janjiku
aku membatalkan niatku untuk bergabung
dengan penguasa gunung Bromo. Di
mataku, kau pantas menyandang gelar
Pendekar Blo'on...."
"Ha ha ha...! Untuk menerima
julukan yang sama, berarti aku harus
memotong kambing lagi. Apa pun yang
kau katakan, kuharap kau tidak
melupakan janjimu...!"
"Oh tentu saja tidak!" Warok
Batiroso tiba-tiba menjatuhkan diri
dan berlutut sebanyak tujuh kali.
Ketika sang Warok bangkit kembali,
seraya berkata: "Jika kau menjambangi Ponorogo dan dapat kesulitan. Kau
cukup menyebut namaku dan orang tidak
ada yang berani mengganggumu!"
"Hmm, aku berterima kasih sekali.
Semoga kau panjang umur, Ki. Banyak
rejeki, enteng jodoh, panjang rambut,
panjang kumis dan panjang pula kau
punya...!" ujar Suro Blondo sambil
garuk-garuk kepalanya.
Sesungguhnya Warok Batiroso
mendongkol juga mendengar ueapan si
pemuda yang dianggapnya setengah
miring ini. Tapi mau apa, dia sudah
kalah dan harus tahu diri dengan
angkat kaki. Tanpa menunggu jadi bahan olokan
selanjutnya, Warok Batiroso langsung
pergi dengan menggendong Panaran di
pundaknya. Pendekar Blo'on memandangi keper-
gian Warok Batiroso sambil tersenyum-
senyum. "Dunia ini benar-benar sudah tua
apa manusianya yang semakin edan.
Perempuan tidak kalah banyaknya. Kok
kawin batangan lawan batangan" Seperti
orang main Toya saja. Ha ha ha...
gila... gila bukan main-main...!"
Pemuda itu tertawa-tawa seperti orang
miring. Namun bila ia teringat
sesuatu, maka Suro Blondo celingukan.
"Aku kecolongan. Gadis baju
kuning itu. Ahh...." Si pemuda tepuk
keningnya berulang-ulang "Siapa
namanya" Dewi... Dewi Bulan bintang.
Dewi Dewa atau Dewi Saritem. Ah... Dewi
Bundar, Dewi Bulan...! Ke mana dia
pergi?" Pendekar Blo'on memperhatikan
suasana sekelilingnya. Tapi di tempat
itu sepi seperti kuburan
"Aku yakin Dewi telah pergi ke
gunung Bromo. Kupanya ia tidak mau
kuikuti. Padahal aku punya urusan
hampir sama. Dia pergi ke sarang macan
sendirian. Bagaimana jika terjadi
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesuatu yang tidak diinginkan. Hmm,
hatiku mengapa berdebar-debar begini.
Adik bukan, ibu bukan... mengapa aku
mengkhawatirkan keselamatannya?"
Suro Blondo mondar-mandir di
tempat itu, setelah berpikir agak lama
ia kemudian mengambil kesimpulan.
"Sebaiknya aku susul dia. Siapa
tahu dia benar-benar dalam kesulitan,"
pikir Suro Blondo.
Pemuda ini kemudian berlari-lari
m-ninggalkan daerah berbukit itu
dengan mempergunakan ilmu lari cepat
Kilat Bayangan. Sehingga dalam waktu
singkat ia telah hilang dari pandangan
mata. 3 Pada sebuah lereng sebelah timur
gunung Bromo terdapat sebuah bangunan
megah berwarna biru. Bangunan itu
selain menjulang tinggi dengan
beberapa menara pengawas di atasnya
juga cukup luas. Sehingga dilihat
sepintas lalu mirip dengan sebuah
istana kerajaan. Pada setiap menara
yang berjumlah delapan buah ini
terdapat pengawal paling sedikit tiga
orang bersenjata panah, yang sewaktu-
waktu siap dibidikkan. Karena bangunan
itu dikelilingi sebuah benteng tinggi,
mustahil orang dapat memasukinya
terkecuali dari pintu gerbang depan
yang menghadap ke lereng gunung.
Waktu itu hari telah menjelang
malam ketika sosok bayangan berpakaian
serba kuning mengendap-endap di luar
benteng. Melihat gerakannya yang
sangat hati-hati, jelas bayangan ini
sengaja menghindari bentrok dengan regu pemanah yang bertugas di menara
pengawas. Setelah memastikan dalam keadaan
aman. Tidak lama setelah
itu ia menggenjot tubuhnya malompati tembok
benteng setinggi hampir dua setengah
tombak itu. Gerakannya enteng seringan
kapas. Menandakan bahwa orang ini
mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
sudah cukup sempurna. Setelah dua
kakinya menjejak tembok, ia mengawasi
suasana di dalam benteng. Ternyata
keadaan di sana dalam keadaan lengang.
Kalau pun ada pengawal, mereka sedang
duduk-duduk minum tuak keras. Bahkan
ada pula diantara mereka yang sedang
main kartu. Merasa keadaan dalam
suasana aman-aman saja, maka bayangan
kuning yang ternyata merupakan seorang
gadis cantik ini melayang turun. Sama
seperti pertama tadi, kini gerakannya
pun ringan tidak menimbulkan suara.
Tapi tanpa diduga-duga, begitu
kedua kakinya menjejak ke tanah, dua
orang laki-laki berbadan tambun dan
bertelanjang dada langsung menghan-
tamnya dengan jotosan.
"Pengacau goblok ingin cari
penyakit!" dengus salah seorang
diantara mereka. Suaranya serak
seperti dicekik setan.
Dengan gesit sekali gadis baju
kuning yang ternyata Dewi Bulan ini
menggeser wajahnya ke samping hingga
pukulan itu luput. Tapi lawan yang
satunya lagi sudah mencabut senjatanya
berupa kaitan berbentuk bengkok namun
dua sisinya memiliki ketajaman luar
biasa. Hingga sejauh ini Dewi Bulan
melayani mereka dengan jurus-jurus
tangan kosong. Sementara itu terdengar
suara teriakan-teriakan orang yang
terlibat pertarungan. Maka para
pengawal lainnya berhamburan menda-
tangi. Mereka segera mengurung Dewi
Bulan dengan sikap waspada. Menghadapi
dua orang berbadan tambun ini, semakin
lama Dewi Bulan kehilangan kesabaran.
Apalagi mengingat senjata mereka yang
berbentuk aneh itu berulang kali
nyaris membuat robek badannya.
"Triing!"
"Wiing!"
"Hiyaa...!"
Sekali bergebrak ia langsung
mengerahkan jurus 'Mentari Redup Di
Kaki Bukit'. Ini adalah salah satu
jurus yang sangat diandalkannya.
Rupanya Dewi tidak ingin membuang-
buang waktu, mengingat musuh yang
dihadapi terlalu banyak jumlahnya.
Sebaliknya dua lawan yang
berbadan tambun ini begitu bernafsu
untuk meringkus Dewi. Karena sudah
menjadi peraturan di situ siapa yang
dapat meringkus lawan dalam keadaan
hidup akan mendapat hadiah yang cukup
besar. Kedua laki-laki itu secara
berbareng langsung menggempur sambil
babatkan senjata unik di tangannya.
Dengan pedang kembar di tangan,
Dewi menangkis. Terdengar suara
berdentang dua kali berturut-turut.
Bunga api sampai memijar. Ini
merupakan tanda masing-masing lawan
mereka sama-sama mengerahkan tenaga
dalamnya. Dewi sendiri tangannya
terasa linu, pedang hampir terlepas.
Ia maju dan langsung menyeruak dengan
mengerahkan serangan yang sangat
mematikan. Salah satu dari lawan berusaha
menghalau serangannya. Tapi ia tidak
sempat lagi babatkan senjatanya karena
senjata Dewi meluncur deras membeset
lehernya. "Jres!"
"Wuaakkh...!"
Jeritannya terputus bersama
putusnya pangkal tenggorokan. Darah
menyembur, si tambun memegangi leher-
nya yang hampir putus. Melihat ini
kawannya menjadi kalap. Ia menyerang
secara membabi buta. Kenyataan ini
tentu saja menguntungkan Dewi. Semen-
tara yang satunya meregang ajal,
sedangkan yang ini bagaikan banteng
terluka terus mendesak lawannya.
Bukan main gesit gerakan Dewi
Bulan. Dengan lincah ia menghindari
setiap serangan yang datang.
Karena serangan-serangannya sela-
lu mengenai sasaran kosong, laki-laki
tinggi besar ini menggembor marah.
Dengan kedua tangannya ia ayunkan
senjata berbentuk kaitan itu.
"Wuuk! Wuuk!"
Dewi berkelit sambil merundukkan
kepala. Tangan kiri menghantam ke
depan. Pedangnya hanya menyambar
angin. Karena lawan sudah menarik
tubuhnya ke belakang. Tidak kalah
cepat pedang di tangan kanan Dewi
menyusul dan begitulah seterusnya.
"Traaang!"
Pedang itu membentur senjata si
tambun, hingga untuk yang kesekian
kalinya tubuh mereka sama-sama
tergetar. Jika si tambun mundur
sebaliknya Dewi merangsak maju.
Laki-laki berbadan besar ini
terkesiap. Ia sudah tidak dapat lagi
selamatkan diri ketika pedang pendek
di tangan Dewi Bulan menembus dadanya.
"Bleess!"
"Raaaakh!"
Karena pedang tersebut diputarnya
sedemikian rupa. Maka ketika dicabut,
perabotan dalam perut si tambun ikut
terbetot keluar. Laki-laki itu melo-
tot, lidahnya menjulur-julur keluar.
Tubuhnya terhuyung-huyung dan ambruk
ke tanah dengan jiwa melayang.
Kematian si tambun membuat
pengawal-pengawal
lainnya semakin
rapat mengurung Dewi bahkan mulai
mencabut senjatanya masing-masing.
Pada saat itu pula menyambar angin
yang begitu lembutnya. Dewi baru
menyadarinya ketika sebuah tangan
menyapu dadanya.
"Eeh...!" Dewi terkesiap dan
lontarkan makian. Karena secara kurang
ajar bayangan yang bergerak laksana
kilat tadi meremas buah dadanya. Tapi
ia jadi terkejut karena ternyata
selain tidak mampu bersuara, Dewi juga
tidak dapat menggerakkan tubuhnya.
Nyatalah sudah bahwa ia ditotok oleh
lawannya dengan cara yang sangat aneh
sekaligus kurang ajar.
"Ha ha ha...! Tamu yang tidak
diundang ternyata seorang perempuan
cantik dan menawan sekali. Hari ini
aku Ki Rambe Edan dan kawan-kawan
benar-benar ketiban rejeki yang sangat
istimewa!"
Dewi memandang laki-laki tua
bertampang angker yang berdiri tidak
jauh di depannya dengan mata tidak
berkesip sedikit pun. Melihat betapa
hormatnya para pengawal yang berada di
sekitar situ, jelas sudah bahwa laki-
laki berhidung besar ini merupakan
salah seorang pemimpin di situ. Inilah
pembunuh orang tuanya. Betapa marahnya
dia, tapi dalam keadaan tertotok
begitu rupa, mustahil ia dapat berbuat
banyak. Bisa-bisa keselamatannya
sendiri pun dalam keadaan terancam.
Tanpa sadar wajah si gadis berubah
merah padam. Ia terlalu gegabah
memasuki benteng istana yang dibangun
atas cucuran darah dan keringat rakyat
ini. Seharusnya ia bicara dulu dengan
pemuda konyol yang telah menolongnya
dari amukan Undan Warok Batiroso. Jadi
bukan meninggalkannya begitu saja.
Kini ia benar-benar berada dalam
kesulitan yang sangat besar. Apalagi
mengingat kawan-kawan Ki Rambe Edan
telah berkumpul di situ. Dan semuanya
merupakan orang yang telah menyebabkan
kematian orang tuanya.
"Gadis secantik bidadari ini
rasanya jarang kita temui di sini. Ia
datang menyerahkan
diri, Kakang. Alangkah baiknya jika kita mulai
segala-galanya untuk menemani pesta
tuak wangi!" kata yang berperut bundar sambil usap-usap perutnya.
"Kurasa dia masih benar-benar
tulen. Kakang Rambe... kami mendapat
jatah sisanya setelah Kakang pun
rasanya sangat terima kasih sekali!"
ujar yang bermuka bengis sambil lalu
membelai-belai wajah Dewi Bulan
"Manusia sesat
haram jadah. Kalian semua akan merasakan pemba-
lasanku yang sangat pedih jika sampai
berbuat macam-macam padaku!" maki Dewi Bulan. Tapi suaranya sama sekali tidak
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdengar. Sementara itu Ki Rambe Edan sudah
memberi perintah.
"Bawa dia ke kamarku! Aku ingin
melihat kebagusan tubuhnya yang halus
mulus ini!"
Dengan senang hati, Baja Geni
memanggul Dewi Bulan memasuki istana
mereka. Sepanjang jalan menuju istana
itu tidak henti-hentinya tangan Baja
Geni menggerayang kian kemari. Dewi
Bulan yang keras hati ini hanya mampu
menyumpah-nyumpah dalam hati mengingat
ia tidak menggerakkan tubuhnya sama
sekali. Di luar suasana berubah sunyi
kembali. Para pengawal pergi ke tempat
penjagaan masing-masing sambil membi-
carakan ketua dan pemimpin mereka yang
telah mendapatkan gadis cantik yang
tentu saja segera menjadi korban nafsu
bejad mereka. 4 Di balik rimbunan pohon yang
memayungi atap genteng bangunan besar
tersebut. Sepasang mata yang terus
mengawasi sejak tadi bukan tidak tahu
apa yang terjadi. Malah matanya sempat
melotot ketika Ki Rambe Edan secara
curang menotok Dewi Bulan dengan cara
meremas payudaranya. Tindakan kurang
ajar ini membuat pemilik sepasang mata
sempat garuk-garuk kepala. Dalam
suasana seperti itu mustahil ia turun
tangan, sungguh pun baginya keberadaan
para pengawal tersebut tidak masuk
dalam hitungan. Hanya kelihatannya ia
lebih bersikap hati-hati. Dan tidak
mau gegabah sebagaimana gadis itu.
Kini ia sedang mencari cara untuk
membebaskan Dewi Bulan. Memang patut
diakui sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh gurunya, ciri-ciri Ki
Rambe Edan dan kawan-kawannya. Tidak
satu pun yang mirip dengan musuh-musuh
besar yang telah membuatnya yatim
piatu. Mereka buman opembunuh orang
tus si pemuda. Tapi dulu, delapan belas tahun
yang lalu, tindakan Ki Rambe Edan dan
kawan-kawannya tidak kalah sadis
dengan yang dilakukan oleh pembunuh
kedua orang tuanya. Mereka mengum-
pulkan ibu-ibu yang hamil tua di
gunung Bromo ini juga. Kemudian mereka
membunuhinya secara semena-mena.
Termasuk kedua orang tua Dewi itu
sendiri. "Belum sepantasnya Dewi Bulan
turun gunung. Kurasa gurunya orang
gendeng. Muridnya lebih sinting lagi.
Wataknya keras, keberaniannya segu-
nung. Cuma ia terlalu ceroboh." Si
pemuda seka keningnya yang berke-
ringat, padahal udara malam di gunung
Bromo dinginnya bukan main-main. Lalu
kejap kemudian ia garuk-garuk
kepalanya. "Aku harus dapat membebas-
kannya sebelum malapetaka besar
menimpa diri gadis itu. Eeh... mengapa
jantungku berdebar-debar. Aku seakan
tidak rela jika sampai terjadi apa-apa
dengannya. Padahal... tolol sekali.
Mengapa aku terlalu merisaukannya?"
Pemuda ini kemudian melompat ke
atap genteng bangunan. Suasana malam
hari yang gelap benar-benar telah
menolongnya dari penglihatan para
pengawal yang berjaga-jaga di menara
pengawas. Lalu dengan gerakan seringan
kapas ia terus mengendap-endap sambil
memasang telinganya.
Di tengah-tengah atap genteng ia
berhenti. Ia mendengar suara orang
bercakap-cakap sambil tertawa. Lalu...
"Gluk! Gluk! Gluk!"
"Yang kudengar pasti bukan suara
kuda lagi minum atau orang lagi
kencing berdiri. Pasti para iblis
sedang menunggu giliran. Kurasa iblis
yang satunya tidak jauh dari ruangan
ini." Si pemuda menggaruk lagi belakang
kepalanya. Ia melangkah lagi, bergeser
dari genteng yang satu ke genteng
lainnya. Lalu terdiam sekitar jarak
satu batang tombak dari tempat semula.
Dia berjongkok, lalu merapatkan
sebelah telinganya ke genteng. Mula-
mula Suro Blondo tidak mendengar apa-
apa. Tapi setelah memusatkan segala
perhatiannya ke satu arah yang dituju,
yaitu bagian dalam kamar, maka
mendengar suara desah nafas memburu
seorang laki-laki.
"Kebo gelo gajah budek, sapi
lanang kebo kampret! Aku harus sampai
ke dalam sebelum iblis rambut lurus
bertindak lebih gila lagi!" desis
pemuda itu sambil menggeser genteng
satu demi satu.
Sementara itu di dalam ruangan
kamar pribadinya, Ki Rambe Edan sudah
melucuti pakaian yang melekat di tubuh
Dewi Bulan. Kini gadis itu benar-benar
dalam keadaan telanjang. Dadanya yang
putih membusung tegak menantang segera
dipermainkan oleh laki-laki bertampang
angker ini. Diremasnya kedua bukit
yang tegak menantang ini, sementara
air liur sang iblis tidak hentinya
meleleh membasahi tenggorokannya. Mata
Ki Rambe Edan yang agak sipit membulat
lebar. Kini tangannya bertindak lebih
agresif lagi. Tangan itu meluncur
melalui perut Dewi yang mulus. Lalu
terus ke bawah dan mencopot penutup
terakhir badan Dewi sehingga gadis itu
benar-benar dalam keadaan polos tanpa
selembar benang pun.
Menyaksikan pemandangan ini nafsu
iblisnya terbangkitkan. Darahnya
memanas hingga ke ubun-ubun. Dengan
leluasa ia menggerayangi seluruh
keindahan tubuh yang dimiliki Dewi.
Ki Rambe Edan kemudian mencopot
pakaiannya sendiri, hingga membuatnya
seperti bayi. Dewi Bulan ketakutan
setengah mati, wajahnya pucat, ia
ingin berteriak tapi suaranya tidak
keluar. Ia meronta, tapi tubuhnya yang
dalam keadaan tertotok tidak dapat
digerakkan sama sekali. Sedemikian
besar ancaman ini sehingga ia sendiri
merasa lebih rela dipenggal kepalanya
daripada menanggung aib yang
memalukan. Ki Rambe Edan mulai mencumbui si
gadis. Ia menjatuhkan ciuman bertubi-
tubi ke bagian mana saja yang
disukainya. Sementara itu Suro Blondo
sudah membuka langit-langit kamar. Ia
terkesiap melihat gadis yang selalu
dipikirkannya dalam keadaan begitu
rupa. Dengan penuh kegeraman ia
mencabut senjata andalannya yaitu
sebuah mandau jantan berwarna hitam
dengan empat lubang miring di tengah-
tengahnya. Setelah itu Pendekar Blo'on
melayang turun dengan kecepatan dua
kali kecepatan biasa.
Senjata di tangannya diayunkan
sekeras-kerasnya ke arah leher Ki
Rambe Edan. Mandau menderu menimbulkan
suara seperti orang sedang menangis.
Mungkin suara inilah yang membuat Ki
Rambe Edan terkejut, hingga ia cepat
berpaling. Matanya terbelalak lebar
begitu melihat senjata lawannya hanya
seperempat jengkal saja dari batang
tenggorokannya. Ia tidak sempat lagi
berteriak memanggil kawannya, apalagi
menghindar dari senjata berbentuk aneh
itu. "Jraak!"
"Cuur! Klokokk...!"
Darah menyembur dari penggalan
kepala Ki Rambe Edan. Kepala yang
terputus dari badan itu jatuh
menggelundung dan di atas perut Dewi
Bulan. Sekujur tubuh si gadis bermandi
darah musuh bebuyutannya. Sementara
kepala tanpa badan ini terhuyung-
huyung, kemudian ambruk begitu saja
setelah kehabisan darah.
Dewi terbelalak melihat kejadian
mengerikan yang berlangsung sangat
singkat ini. Suro Blondo mendekati
pembaringan Dewi, ia ingin membebaskan
totokan si gadis, tapi ragu-ragu.
Karena totokan pengunci berada di
bagian bukit kembar Dewi Bulan.
Pemuda ini melihat Dewi melotot
kepadanya, ia tidak punya pilihan
lain, Maka tak lama setelah itu
memejamkan matanya. Karena tidak
melihat ketika meraba, rabaannya tidak
tepat pada bagian yang tertotok, malah
yang terpegang bagian bukit yang
paling tinggi. Suro menahan nafas, lalu...
"Bet! Bet!"
Satu sapuan agak keras
dilakukannya. Gadis ini menjerit dan
langsung bangkit berdiri. Setelah
membersihkan darah Ki Rambe Edan yang
membasahi tubuhnya, ia cepat menge-
nakan pakaiannya kembali. Rupanya si
pemuda berhasil membebaskannya. Pada
saat yang sama, Balung Raja dan Baja
Geni bukan tidak mendengar suara gaduh
di dalam kamar sahabat tertua mereka.
Tapi mereka menyangka Ki Rambe sedang
bergumul dengan gadis bertahi lalat di
dagu itu. Mereka baru tersentak kaget
ketika melihat pintu terbuka.
Sementara seorang pemuda berambut
hitam kemerahan telah berdiri di sana
sambil menenteng kepala Ki Rambe Edan.
Sedangkan di belakang pemuda itu
berdiri seorang gadis dengan muka
bercelemongan darah.
Belum hilang rasa terkejut
mereka, tiba-tiba Suro Blondo melem-
parkan potongan kepala Ki Rambe Edan
ke arah mereka. Potongan kepala d"ngan
mata membelalak dan lidah terjulur ini
jatuh persis di atas meja. Balung Raja
dan Baja Geni saling pandang, wajah
mereka pucat kehilangan darah. Hanya
sekejap mereka terkesima, di lain
waktu mereka mencabut senjata mereka
berupa kapak berujung tombak.
Sedangkan Baja Geni mencabut rantai
baja berujung pedang.
"Manusia rendah berhati iblis!
Siapakah kau bocah bertampang tolol!"
hardik Balung Raja. Rahangnya
menggelembung pertanda amarahnya
benar-benar memuncak sampai ke ubun-
ubun. "Manusia iblis berhati setan!"
Suro membentak dengan tatapan mata
tidak kalah dinginnya. "Kau siapa
pula" Ha ha ha...! Aku tahu kalian
telah membunuh kedua orang tua gadis
ini. Sekarang kalian bermaksud
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menodainya secara keji! Tahukah kalian
hutang kalian cukup banyak pada gadis
ini. Dan semua itu belum berikut
bunganya!"
Kini Balung Raja dan Baja Geni
beralih pada Dewi Bulan yang juga
sedang dilanda kemarahan.
"Siapakah kau?" tanya Balung
Raja. "Aku! Orang tuaku kalian bina-
sakan delapan belas tahun lalu di
lereng gunung ini. Sedangkan kawanku
ini adalah yang kelahirannya ditunggu-
tunggu oleh tokoh-tokoh sesat semacam
kalian." "Jadi kau putrinya perempuan bun-
ting yang telah kami bunuh dulu"
Berarti kau muridnya Gajah Gemuk dan
Gajah Krempeng?" desis Baja Geni
sambil tersenyum sinis.
"Dan kau, siapakah?" Balung Raja ikut bertanya.
"Hmm, kawanku sudah mengata-
kannya. Aku Suro Blondo!" dengus si
pemuda dengan mimik serius.
"Jadi kaulah orangnya yang kini
sudah tumbuh besar. Bayi ajaib yang
digembar-gemborkan pertapa pantai
selatan itu ternyata setelah dewasa
tidak lebih hanya berupa seorang
pemuda bertampang tolol tidak ada
gunanya. Terlanjur kepalang basah,
hari ini peristiwa delapan belas tahun
yang lalu segera terbukti apakah benar
kau mempunyai kehebatan. Selain itu
karena dosa-dosamu telah membunuh
sahabat kami. Maka kini rasakanlah
pembalasanku!"
"Plok! Plok!"
Dari luar para pengawal
menghambur ke dalam. Dewi Bulan lang-
sung menghadangnya. Untuk menghadapi
pengawal-pengawal yang jumlahnya men-
capai puluhan ini, Dewi Bulan langsung
mencabut senjatanya. Pedang itu
diputar sedemikian rupa. Maka ter-
dengarlah suara jeritan-jeritan kesa-
kitan. Satu demi satu pengawal itu
roboh bermandikan darah.
Suro Blondo tidak membuang-buang
waktu lagi. Ia kerahkan jurus 'Kera
Putih Memilah Kutu' dan jurus
"Serigala Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor' secara silih berganti.
Balung Raja dan Baja Geni putar
senjatanya yang berbentuk aneh ini.
rantai baja berujung pedang diputarnya
sedemikian rupa. Sebaliknya Balung
Raja dengan kapak berujung tombak
mencecar Suro dari arah samping kanan.
Dengan lincah sekali si pemuda
menghindari serangan senjata lawan
yang sangat cepat dan berbahaya ini.
Angin menderu-deru. Rambut si pemuda
berkibar-kibar terkena sambaran
senjata lawannya.
Tapi dengan gerakan yang aneh dan
kacau, Suro Blondo terus menghalau
atau menghindari setiap serangan yang
datang. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak,
terkadang terhuyung ke kiri, di lain
saat condong ke kanan. Hebatnya setiap
serangan lawan selalu luput atau hanya
menyambar tempat-tempat kosong.
Sementara itu Dewi Bulan sudah
sampai di halaman depan. Sepanjang
lorong ruangan telah penuh dengan
mayat-mayat yang bergelimpangan.
Pemuda ini demi melihat gelagat yang
sangat baik segera lepaskan pukulan
'Kera Sakti Menolak Petir'.
Seleret sinar putih bergulung-
gulung menerjang Baja Geni dan Balung
Raja yang sedang menerjangnya. Sinar
yang memanca-kan hawa panas ini
menderu kencang lalu melabrak
lawannya. "Bumm! Buum!"
"Uhk... keparat!" maki Balung
Raja begitu pukulan lawan menyambar ke
arah mereka. Tapi karena melindungi
diri dengan senjata di tangan, akibat
yang timbul karena pukulan itu tidak
seberapa. Hanya bangunan itu saja yang
runtuh pada bagian atapnya.
Sebaliknya Pendekar Blo'on telah
melesat ke halaman.
"Kunyuk tolol gila! Hendak lari
ke mana kau?" bentak Balung Raja
ketika melihat lawannya berkelebat
pergi. Tentu saja mereka tidak
membiarkan lawannya meloloskan diri
begitu saja. Mereka segera mengejar ke
depan. Ternyata setelah sampai di
halaman anak buah mereka sudah
bergelimpangan, tewas di tangan Dewi
Bulan. Splak! "Gubrak! Gubraak!"
Rupanya ketika Suro sampai di
luar ia tidak langsung menuju halaman
melainkan berdiri di samping pintu.
Begitu melihat lawan-lawannya keluar
sambil berlari ia sodorkan kakinya.
Hingga membuat Baja Geni dan Balung
Raja jatuh terguling-guling. Mereka
bangkit berdiri, sambil meludah mulut
menggembor memuntahkan kemarahannya.
"Anak setan! Aku tidak akan puaa
sebelum memakan daging dan menghirup
darahmu!" Teriak Balung Raja.
"Bapak iblis.
Mulutmu berkoar
seperti kaleng rombeng. Ajal sudah di
depan mata tapi belum tobat juga!"
"Wut!"
"Wuuk! Wuuk!"
"Wiit... hampir saja putus si
ntong!" kata Pendekar Blo'on memanasi.
Ia melompat. Ketika serangan lawannya
semakin menggila, maka ia berjingkrak-
jingkrak seperti anak kecil bermain
tali. "Bangsat!" Baja Geni menggerutu.
Kedua tangannya bertepuk satu sama
lain. Kemudian kedua tangan itu
digosok-gosokkannya.
Wajah Baja Geni menegang,
mulutnya komat-kamit. Dari telapak
tangannya mengepul kabut pipih
berwarna hitam. Kabut itu kemudian
menyebar ketika Baja Geni hentakkan
tangannya ke depan. Serangkum
gelombang berhawa dingin dengan bau
menyengat menderu dan menghantam Pen-
dekar Blo'on. Pemuda ini leletkan
lidah. Ia tidak menangkis atau
memapakinya, melainkan mengerahkan
jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh
Harimau'. Pada detik itu juga tubuhnya
terangkat ke udara dengan kecepatan
laksana kilat. Pukulan yang dilepaskan
Baja Geni menyambar sejengkal di bawah
kakinya, lalu menghantam tembok
bangunan hingga hancur berkeping-
keping Pukulan mengandung racun keji
yang dilepaskan oleh Baja Geni luput.
Ia penasaran dan melepaskan pukulan
susulan secara beruntun. Gerakan
menghindar yang dilakukan oleh si
pemuda semakin menggila. Tubuhnya
berkelebat lenyap hingga berubah
menjadi bayang-bayang yang sangat
banyak membingungkan. Dalam pada itu
Balung Raja yang menyerang dengan
rantai Baja berujung pedang tampak
kewalahan. Suro yang dalam keadaan
mengambang di udara ini melepaskan
tendangan beruntun ke arah wajah
lawannya. "Dekk!"
"Buk...! Buuk! Buk!"
"Kraak!"
Terdengar tulang leher patah
berderak. Balung Raja tidak sempat
lagi melolong. Tubuhnya langsung
terbanting dengan senjata masih di
tangan ia menggelepar sesaat, lalu
gerakannya semakin lemah dan hilang
sama sekali bersamaan dengan
melayangnya selembar nyawa
Balung Raja. "Kau benar-benar telah berubah
menjadi balung seratus hari di depan,"
desis si pemuda. Kini ia hanya tinggal
menghadapi seorang kawan lagi. Tiba-
tiba terdengar suara bentakan nyaring
penuh permintaan.
"Bangsat yang satu itu bagianku,
Suro!" Berkata begitu sebuah bayangan berkelebat
sedemikian cepatnya. Bayangan menuju ke arah Baja Geni yang
sedang terpana menyaksikan kematian
sahabatnya. Lalu ketika Baja Geni
merasakan ada sambaran
angin di belakang, begitu menoleh sebuah pedang
pendek menghunjam punggungnya.
"Wuaakkh...!"
Baja Geni terhuyung. Ia mendekap
ujung pedang yang tembus dari punggung
hingga mencuat ke depan dada. Tidak
sampai di situ saja, Dewi Bulan pun
kembali mengayunkan pedangnya. Pedang
itu dihantamkannya ke tubuh lawannya
secara berulang-ulang hingga membuat
kondisi lawannya yang telah kehilangan
nyawa dalam waktu singkat ini tidak
ubahnya seperti dicincang.
Melihat kekejaman ini Suro Blondo
langsung mendatangi. Sebuah tangan
yang kokoh menahan gerakan Dewi hingga
membuat gadis itu menoleh.
"Kau... mengapa kau lakukan...?"
"Bulan... eeh, Dewi...! Baja Geni
telah meninggalkan dunia fana ini.
Apakah kau hendak memasak dagingnya?"
"Selain membunuh orang tuaku,
mereka juga hampir membuat aib yang
sangat besar atas diriku."
Suro golang-golengkan kepala.
"Memang betul...!"
Dewi memotong: "Tahukah kau
betapa sakitnya hatiku?"
"Betul. Paling tidak aku turut
merasakannya. Tapi tidak baik
menganiaya mayat. Dia sudah menjadi
bagian dari tanah...."
"Huh... jangan menggurui aku.
Pemuda sepertimu mana layak memberi
nasehat. Ah... gila...." Dewi
membanting-banting kakinya. "Kini
hanya tinggal kau yang belum mati."
"Mengapa kau menudingku begitu?"
"Karena... karena... karena kau
telah melihat tub...!" Dewi Bulan
katupkan bibirnya. Wajahnya berubah
memerah. Ia teringat bagaimana pemuda
tampan bertampang tolol ini meraba-
raba dadanya untuk membebaskan
pengaruh totokan Ki Rambe Edan.
Sebaliknya Pendekar Blo'on hanya
garuk-garuk kepala sambil tersenyum
tertahan. "Dibandingkan Ki Rambe Edan,
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dosaku tidak kelewat besar, Dewi. Dia
sudah lihat semua. Sedangkan aku
tidak. Lagipula aku telah membantumu
dan membebaskanmu dari aib maha besar.
Kalau kau bunuh aku hari ini sama
artinya aku tidak sempat mencari para
pembunuh orang tuaku. Bagaimana kalau
arwah mereka gentayangan dan mengejar-
ngejar gadis secantikmu?"
"Pemuda ceriwis. Aku tahu telah
barhutang nyawa padamu, kelak aku akan
membayarnya."
"Tidak usah dibayar, cukup kau
mengingatnya saja. Kurasa urusanmu di
sini telah selesai. Sedangkan
persoalan yang harus kuselesaikan sangat banyak sekali. Aku harus pergi
sekarang...!"
Suro Blondo putar tubuhnya,
ketika baru beberapa tombak ia
melangkah Dewi Bulan yang mulai
menyukai pemuda konyol ini
memanggilnya. "Hei... tunggu...!" cegah Dewi
Bulan. "Ada apa lagi?" tanya si pemuda.
"Kau hendak ke mana?"
Suro garuk-garuk kepalanya.
"Aku mau cari musuh yang telah
membunuh orang tuaku. Mungkin ke
Pasuruan, Bukit Arjuna, Gunung
Sumbing, Gunung Grumpung bisa jadi ke
bukit kembar! Ha ha ha...!" kata Suro Blondo tanpa menoleh-noleh lagi sambil
berlalu. "Dasar edan!" gerutu Dewi Bulan
seraya pandangi kepergian si pemuda
yang telah menarik perhatiannya itu.
Dan ketika pemuda itu lenyap dari
pandangan matanya, ia merasakan adja
sesuatu yang hilang dalam dirinya.
"Tuhan ya... Tuhan... mungkinkah
aku dapat bertemu dengan dia di suatu
saat nanti?" kata si gadis resah.
5 Di pantai Karang Bolong ada
sebuah bukit-bukit kapur menjulang
tinggi ke ungkasa. Tidak jauh dari
bukit kapur lersebut terdapat pula
sebuah bukit karang yang cukup tinggi.
Untuk mencapai tempat ini orang harus
menyeberangi laut karena letaknya
memang agak ke tengah laut. Bukit
karang ini selain sangat berbahaya
juga licin sekali karena pada
permukaannya ditumbuhi lumut-lumut
laut yang telah berusia ratusan tahun.
Siang itu setelah membatalkan niatnya
pergi ke Pasuruan, pemuda berbaju biru
berambut hitam kemerahan memakai ikat
kepala warna biru belang-belang kuning
ini pergi ke Karang Bolong. Ini semua
dilakukannya karena menurut keterangan
yang didapatnya di jalanan bahwa
manusia Katai bersaudara tinggal di
pantai Karang Bolong. Keterangan ini
memang sulit dipegang kebenarannya,
karena mungkin saja katai yang
dimaksud bukan katai yang telah
membunuh kedua orang tuanya. Karena di
kolong langit ini banyak manusia
berbadan cebol, jangkung, kurus, gemuk
dan kurus kering macam orang cacingan
juga cukup banyak.
Setengah hari setelah menyelusuri
pantai laut Jawa. Kira-kira sekitar
jam tiga sore, pemuda baju biru yang
tidak lain adalah Pendekar Blo'on ini
sampai juga di tempat tujuan. Ia
mencari-cari, kemudian terlihat
olehnya sebuah bukit karang menjulang
seperti kerucut. Suro Blondo garuk-
garuk belakang kepalanya.
"Sarang setan tempatnya memang
selalu sulit dijangkau," gerutu si
pemuda. "Di sini tidak ada perahu yang lewat, tempat ini juga lebih sepi dari
kuburan. Bukit karang itu agak jauh
dari pantai ini. Bukan aku tidak
sanggup berenang ke sana. Tapi
dinginnya ini alamak. Lagipula konon
banyak hiu-hiu ganas berkeliaran di
sekitar sini. Apa caraku...?" Suro
Blondo seka keringat yang mengalir di
keningnya. Matanya mencari-cari hingga
kemudian ia tersurut mundur. Matanya
memandang tajam pada sebuah papan kayu
peringatan dengan pesan-pesan meng-
gidikkan tertulis di atasnya.
Pantai Karang Bolong siapa datang
nyawa tidak tertolong,
Bukit Karang Hantu, siapa
mendekat tinggal tulang belulang
Terkecuali para sekutu dan para
sahabat ikan hiu
Jangan oba mendekar terkecuali
punya jiwa seikat...
"Hmm, sebuah peringatan yang
cukup Mengenaskan" Hanya dedemit
neraka yang punya kerja. Dari jauh aku
datang untuk mempertaruhkan nyawa,
untuk apa aku harus pulang sia-sia!"
dengus Pendekar Blo'on.
Pemuda ini kemudian mencari
potongan kayu untuk menyeberangi selat
kecil itu. Tapi sebelum usahanya
tercapai, tiba-tiba terdengar suara
seseorang bersenandung. Menilik sua-
ranya yang kecil dan merdu sudah jelas
pemiliknya paling tidak adalah seorang
perempuan. Suro cepat menoleh ke arah
datangnya suara. Tiba-tiba ia melihat
sebuah perahu kecil meluncur cepat ke
arahnya. Di atas perahu tampak seorang
gadis cantik memakai kerudung serba
putih. Ketika angin bertiup ke arah si
pemuda, maka tercium bau badannya yang
harum seperti bunga cempaka.
Pendekar Blo'on melongo ketika
melihat perahu kecil itu mendadak
berhenti. Seperti ada kekuatan yang
menahannya dari bawah perahu.
"Anak muda nan tampan. Aku tahu
kau mau menuju ke bukit karang itu.
Aku jadi kasihan padamu, kulihat belum
pernah ada yang selamat kembali bila
sudah sampai ke sana. Daripada kau
mengantar nyawa percuma, alangkah
baiknya jika kau ikut denganku...!"
"Siapa Nisanak ini" Aku punya
tujuan dan tidak seorang pun yang
dapat menghentikannya terkecuali
maut," kata si pemuda pelan.
"Hi hi hi! Dendam di hatimu
dendam berkarat, sampai kiamat dunia
akhirat.... Sebaik-baiknya manusia
adalah dia yang suka mengukur kemam-
puan diri sendiri!" Gadis berkerudung di dalam perahu tertawa membahak. Suro
Blondo kerutkan kening. Ia berpikir
bagaimana mungkin perempuan dalam
perahu tahu apa yang diinginkannya.
"Nisanak belum menjawab per-
tanyaanku. Katakan terus terang atau
aku harus meninggalkanmu!"
"Mengapa harus tergesa-gesa jika
hanya ingin mengantar nyawa" Aku gadis
tanpa nama, hidup, makan dan tidurku
di atas air. Kalau hanya untuk urusan
orang yang mau buang
nyawa, aku bersedia mengantarmu sampai ke bukit
itu. Tapi dengan satu syarat!"
"Hi hi hi. Sudah kuduga, pemuda
tampan bertampang tolol sepertimu mana
punya banyak uang. Bagaimana kalau kau
membayar dengan kepalamu?"
Suro Blondo garuk-garuk kepa-
lanya. "Kau sangat keterlaluan sekali.
Tidak tahukah kau bahwa aku cuma punya
satu kepala?"
"Hi hi hi! Kalau tidak mau aku
akan aegera pergi!"
Tanpa menunggu lagi gadis
berkerudung putih dan berpakaian serba
putih memutar perahunya. Di lain kejap
ia telah bergerak menjauh, kemudian
hilang di tikungan teluk.
"Heh... kalau hanya menggoda,
untuk apa tunjukkan diri" Menolong
orang dengan meminta imbalan jiwa
adalah perbuatan tercela." Suro Blondo bersungut-sungut. Ia memutar badannya,
lalu mengambil sepotong kayu kering
yang tergeletak tidak jauh dari
kakinya. Kayu itu kemudian dilemparkannya
ke dalam air. Setelah itu tubuhnya
melayang, kaki menjejak ke atas
potongan kayu tersebut. Hanya dalam
waktu sangat singkat ia telah meluncur
ke tengah selat dengan sangat cepat
sekali. Namun pemuda ini kemudian
menjadi tergagap ketika melihat
puluhan sirip ikan menjembul ke atas
permukaan air. Ikan-ikan haus darah
ini mengitari si pemuda.
"Mati aku. Binatang-binatang ini
bukan main banyaknya. Aku harus cepat
sampai ke sana kalau tidak ingin mati
konyol!" pikir si pemuda.
Dengan tetap menjaga keseimbangan
tubuhnya, Suro menggenjot kakinya
hingga potongan kayu yang diper-
gunakannya untuk menyeberang melesat
laksana anak panah. Tapi tiba-tiba di
depan pemuda itu menyembul badan ikan
tersebut. Suro tidak sempat lagi
mengurangi kecepatannya. Tidak ayal
lagi tubuhnya terbanting. Suro Blondo
tenggelam, air laut yang sangat jernih
lagi dalam membuat ia dapat melihat
puluhan ekor ikan mengejarnya. Sambil
berenang menghindar Suro cabut
senjatanya. Dengan mempergunakan
senjata andalan ini ia menyongsong
kedatangan ikan-ikan buas yang
menyerangnya. Sementara gadis berpakaian serba
putih yang tadi sempat menghilang di
balik cekungan teluk telah muncul di
tempat itu dengan maksud menolong.
Ketika ia sampai, pemuda lugu yang
hendak ditolongnya telah lenyap dari
permukaan air. Ia terkesiap ketika
melihat air laut tiba-tiba berwarna
merah. Kemudian terlihat pula gejolak
air di sana sini.
"Celaka, bocah itu telah dimangsa
ikan-ikan hiu di sini!" desisnya
dengan mata membelalak lebar.
Air laut semakin bergolak, warna
merah semakin menyebar dan berwarna
pekat. Di dalam air Suro Blondo telah
membunuh lebih dari dua puluh ekor
ikan hiu besar dan ikan-ikan yang
telah terbunuh itu dimangsa oleh
kawanannya sendiri. Rupanya bau darah
itulah yang membuat hiu-hiu lain yang
kelaparan tidak dapat membedakan kawan
sendiri. Melihat hiu-hiu lain berebut
mangsa, maka kesempatan ini diper-
gunakan oleh Suro Blondo untuk
berenang di bawah air mendekati pulau
karang yang hendak ditujunya.
Sebentar saja ia sudah sampai ke
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pinggir bukit karang. "Puah... hampir meledak paru-paruku karena menahan
nafas," keluh Suro Blondo. Ia melirik ke tengah-tengah teluk. Dilihat gadis
baju putih kerudung putih duduk
terbengong-bengong di atas perahunya.
Suro Blondo lambaikan tangannya.
"Maaf, ikan-ikanmu rupanya semakin
tidak sabar, sehingga kawaaannya
sendiri dimangsanya...!"
Si gadis bermaksud mengejar, tapi
ia mengurungkan niatnya. Seakan ia
ragu mendekati bukit karang tersebut.
Suro Blondo sambil cengar-cengir
tidak perduli lagi pada gadis di atas
perahu tersebut. Ia mulai mendaki
bukit karang yang terjal dan cukup
licin tersebut.
"Edan... sudah sampai di tengah
melorot lagi. Apakah mungkin tidak ada
jalan lain untuk sampai ke tempat yang
mirip dengan cekungan gua di atas
itu?" Si pemuda mendongakkan kepalanya
ke atas. Bersamaan dengan itu ia
melihat ada sosok tubuh melayang dan
kemudian jatuh terhempas di
sampingnya. Apa yang dilihatnya adalah
sosok telanjang perempuan. Sekujur
tubuhnya berlumuran darah, leher
patah, mata melotot dan lidahnya
terjulur. "Perempuan malang ini mustahil
jatuh dari langit. Mengapa tidak
sempat kudengar jeritannya," desis
Suro sambil goleng-golengkan
kepalanya. "Pastilah ini perbuatan iblis-
iblis berhati sapi. Aku harus bisa
sampai ke atas sana tanpa
sepengetahuan mereka. Dengan begitu
aku bisa terhindar dari bahaya...!"
Si pemuda kemudian merayap lagi,
kali ini ia menemukan jalan yang agak
lebih baik dari pada lereng terjal
yang coba didakinya tadi.
Sedikit demi sedikit ia mendaki.
Tapi gerakannya terhenti lagi ketika
melihat tiga ekor
ular berbisa menghadangnya. Ular-ular itu angkat
kepala tinggi-tinggi. Mulutnya terbu-
ka, lidahnya yang bercabang terjulur.
Ketika makhluk-makhluk melata itu
mendesis, maka tercium bau amis bisa
yang membuat mual pernafasan.
Suro Blondo yang pernah digodok
dalam sumur kawah bisa dihuni ular-
ular merah oleh gurunya, hanya
tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
"Malang benar nasibmu, Nak.
Rupanya kau diperintahkan oleh tuanmu
untuk menghadang aku! Nih gigit-
lah...!" Suro Blondo dengan sengaja
angsurkan tangannya. Tiga ekor ular
berwarna belang, kuning hitam ini
serentak menyerbu dan mematuki tangan
Suro Blondo. Tangan si pemuda berdarah, air
mukanya seketika berubah menghitam.
Rupanya kekebalan di dalam tubuhnya
mulai bekerja bertarung melawan bisa
dari ular-ular yang menggigitnya.
Kulit tubuhnya yang hitam secara
berangsur-angsur kembali ke warna
semula. Si pemuda lagi-lagi menyeringai.
"Kurasa sudah puas kalian
menggigitku!" dengus Suro Blondo,
sekejap kemudian ditangkapnya ketiga
ekor ular sebesar jempol kaki ini
setelah itu badan ular digigitnya satu
demi satu. Ular-ular ini meronta, tapi
rontaannya semakin melemah ketika
tulang belakangnya putus menjadi dua.
"Puih...!" Suro menyemburkan
ludah bercampur darah ular. Selan-
jutnya ia merayap dan merayap lagi.
Tidak sampai sepemakan sirih,
sampailah pemuda ini di depan sebuah
cekungan mirip gua. Pada dataran yang
rata ia melihat sebuah pedang, pakaian
dan juga tulang belulang lainnya.
"Mayat tadi perempuan. Pakaian
ini juga pakaian perempuan. Gua besar
itu seperti tertutup batu. Alangkah
baiknya jika aku mencoba membukanya."
Suro Blondo kemudian mendekati pintu
gua yang tertutup batu. Sekejap
kemudian ia mendorong pintu batu
karang ini. Tapi jangankan bergerak,
bergeming pun tidak.
Si pemuda mengerahkan tenaga
dalamnya ke bagian telapak tangan.
Setelah itu ia mendorong lagi.
"Uuph...!"
Kali ini secara perlahan pintu
batu terkuak sedikit. Suro mendo-
rongnya lagi. Semakin lama pintu pun
terbuka semakin lebar. Pendekar Blo'on
tercengang begitu melihat ke dalamnya.
Ruangan gua itu memancarkan
cahaya biru kehijauan yang entah
datang dari mana. Lantai gua juga
dalam keadaan bersih. Ketika melihat
ke arah kiri, di sana ada sebuah
altar. Di atas altar mirip dipan ini
tergeletak sosok tubuh perempuan pula
dalam keadaan setengah telanjang.
Perempuan ini sangat sulit dikenali
karena seluruh wajahnya yang menghadap
ke langit-langit gua tertutup kain
berwarna merah.
Suro Blondo menyelinap masuk dan
bersembunyi di salah satu sudut yang
gelap. Ketika terdengar suara langkah-
langkah kaki, maka ia menundukkan
badannya serendah mungkin sehingga ia
terhindar dari penglihatan orang lain,
6 Mula-mula yang dilihatnya adalah
kemunculan seorang laki-laki berbadan
pendek, cebol, wajahnya pucat keku-
ning-kuningan. Kumisnya cuma beberapa
gelintir saja sedangkan alis matanya
berwarna putih. Ia memakai celana
pendek sebatas dengkul, bajunya hanya
berupa selempang berwarna hitam. Di
pinggang katai Muka pucat ini
menggelantung sebuah ruyung berwarna
perak. Katai itu berjalan mendekati
perempuan setengah telanjang di atas
altar. Rupanya ia tidak menyadari
kehadiran Suro di situ, sedangkan
pemuda itu sendiri langsung tergetar
tubuhnya saat melihat katai muka
pucat. Inilah salah satu orang yang
telah membunuh kedua orang tuaku, mana
yang muka merah" pikir Suro Blondo.
Manusia katai ini setelah sampai
di atas altar langsung menyingkap
pakaian bawah gadis yang kepala serta
wajahnya terbungkus
kain merah. Setelah membuka pakaiannya sendiri, ia
melakukan perbuatan yang sangat ter-
kutuk atas diri si malang. Badannya
yang kecil menghempas-hempas di atas
tubuh si gadis. Tahulah Suro Blondo
apa yang telah dilakukan oleh Katai
Muka Mayat ini tarhadap gadis di atas
altar. Wajah Pendekar Blo'on berubah
kelam mambesi. Ia meninggalkan
kegelapan sudut gua. Tangannya melam-
bai pelan. Angin nenderu dari telapak
tangannya, melesat dengan cepat
menghantam Katai Muka Mayat. Laki-laki
berbadan kerdil ini langsung jatuh
terpelanting. Rasa kejut di hatinya
bukan alang kepalang. Kalaulah Suro
mau membokong, tentu Katai Muka Mayat
telah tergelimpang menjadi bangkai
atau paling tidak menderita luka dalam
cukup parah. Tapi pemuda berambut
hitam kemerahan bertampang tolol ini
walau mempunyai dendam sedalam lautan
terhadap orang-orang yang telah
membunuh ayah ibunya, ia tidak mau
bertindak gegabah dan kesalahan
tangan. Katai Muka Mayat bangkit berdiri.
Wajahnya jelas tidak dapat menyembu-
nyikan rasa terkejutnya tatkala
melihat kehadiran seorang pemuda asing
di ruangan itu. Ia jadi teringat pada
pintu gua yang ditutupnya. Tidak
setiap orang mampu membukanya terke-
cuali mereka yang memiliki tenaga
dalam tinggi. "Hhm, kau begitu berani menye-
berangi selat dan menyusup ke tempat
tinggal iblis. Siapa namamu?" Katai
Muka Mayat menggeram.
Suro Blondo garuk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Bicara ya bicara... tapi urusi dulu senjata kramat berikut buah
jambu milikmu. Gondal-gandil seperti
itu apakah kau mau pamer kelebatan
hutan rimbanya?"
"Aih...!" Katai Muka Mayat
langsung mendekap bawah pusarnya. Ia
mengenakan pakaian seadanya. Tidak
lupa ia juga mengambil ruyung yang
tergeletak di bawah kaki telanjang si
gadis. Wajah laki-laki itu semakin
bertambah pucat. Tiba-tiba saja ia
membentak berang: "Cepat katakan siapa kau yang sebenarnya, kunyuk bertampang
tolol!" "Dengar anjing gladak!" dengus
Suro Blondo tidak kalah sengitnya.
"Aku Suro Blondo, putra Sepasang
Pendekar Golok Terbang dari gunung
Bromo. Apakah kau ingat peristiwa
delapan belas tahun yang lalu" Hah...
mana kembaranmu yang bermuka merah?"
Katai Muka Mayat terkesiap,
matanya yang kecil molotot. Tanpa
sadar ia bahkan sampai bersurut
mundur. Bibirnya mendesis.....
"Kau bocah ajaib itu" Rambutmu
kemerahan, tapi tampangmu tidak
meyakinkan. Apakah kau punya tompel di
punggung?" tanya Katai Muka Mayat
seakan menyelidik.
"Sekarang tidak ada waktu lagi
untuk bertanya jawab, manusia cebol!
Apakah aku punya tompel di punggung,
di kening, hidung atau di kumis. Itu
bukan persoalan. Jika
kau merasa berhutang, maka hari ini aku datang
untuk menagih hutang-hutangmu!"
"Hu hu hu...!" Katai Muka Mayat
tertawa. Suaranya jelek seperti burung
hantu yang menderita mejan. "Secara
jujur aku memang ikut membunuh Satria
Purba dan Dewi Rini orang tuamu. Aku
dan kakangku dan yang satunya lagi
tidak perlu kusebutkan karena aku
sangat menghormatinya. Tapi mengingat
tampangmu yang begitu, aku yakin
ramalan pertapa itu hanya bualan saja.
Jala Pedang Jaring Sutra 10 Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Sejengkal Tanah Sepercik Darah 4
Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
BAYANG-BAYANG KEMATIAN Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1993
Setting Oleh : M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit
Mutiara Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun
Tanpa ijin tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Bayang-Bayang
Kematian 1 Berdirinya sebuah singgasana
kecil di gunung Bromo dengan sepak
terjangnya yang ganas tanpa pandang
bulu, telah menarik perhatian seorang
tokoh sesat dari daerah Ponorogo. Ia
seorang laki-laki memakai baju hitam
ikat kepala warna hitam. Tubuhnya
tinggi semampai berotot.
Rambut, kumis jambang dan jenggot
berwarna hitam. Walaupun umurnya sudah
mencapai hampir enam puluh tahun. Tapi
ia kelihatan masih gagah, langkahnya
tegap. Wajahnya yang angker hampir
tanpa senyum, karena memang sepanjang
hidupnya ia tidak pernah tersenyum.
Adapun tujuan laki-laki ini
adalah ingin bergabung dengan penguasa
gunung Bromo. Yang kabarnya merupakan
tokoh-tokoh aliran hitam yang sangat
kuat di samping memiliki jago-jago
bayangan sekaligus pengawal-pengawal
dalam jumlah tidak terbatas.
Sudah empat hari Warok Batiroso
melakukan perjalanan bersama gemblak-
nya (Gemblak istri yang terdiri dari
kaum sejenis). Bila sang gemblak ini
letih, tidak segan-segan
Warok menggendongnya. Ia sangat sayang pada
Gemblak ini karena wajahnya yang
sangat tampan disamping memiliki
ilmu silat tinggi.
"Hari sudah siang. Kurasa gunung
Bromo tidak jauh lagi dari sini,
istriku. Aku jadi ingin cepat-cepat
sampai ke sana!"
"Jangan terlalu berambisi, Kakang
Warok. Lihatlah ke langit, Undan milik
kita masih jauh tertinggal di
belakang. Kakang lari laksana terbang,
tidak tahu siang tidak perduli malam!"
"Undan (Sejenis burung bangau
berbulu hitam, tapi besar bukan main)
kita itu semakin tua semakin lamban.
Terkadang aku malas membawanya serta.
Tapi binatang itu selalu ngotot dan
mau ikut juga ke mana aku pergi!"
Warok Batiroso mengomel. Dalam
hidupnya sang Undan merupakan makhluk
kedua yang sangat dia sayangi setelah
Gemblaknya sendiri. Sekaligus binatang
ini merupakan pengawal setianya.
"Jangan terlalu tergesa-gesa.
Tidak akan lari gunung dikejar. Ada
baiknya jika kita istirahat dulu!"
Kening Warok Batiroso mengerut
dalam ia melirik pada sang Gemblak
bernama Panaran itu. Kemudian seraya
anggukkan kepala tanda setuju, Warok
Batiroso mengambil buli-buli tuaknya.
Kemudian menikmatinya seteguk demi
seteguk. Sang Warok kemudian menyo-
dorkan daging panggang yang mereka
bekal sejak dari Ponorogo beberapa
hari yang lalu.
Sedang mereka istirahat melepas
lelah, di atas mereka tiba-tiba
terdengar suara menggemuruh seperti
angin puting beliung.
Tanpa melihat sekalipun tentu
sang Warok sudah tahu bahwa suara itu
timbul akibat kepakan sayap sang
Undan. Hanya anehnya kali ini binatang
yang sangat besar itu menguik keras.
Suaranya berisik memekakkan gendang-
gendang telinga.
Ini adalah sebuah kebiasaan
sebagai isyarat bahwa di tempat itu
ada orang lain selain mereka berdua.
Warok Batiroso tiba-tiba mendongak ke
langit. "Turunlah kekasihku. Jika penda-
tang bermaksud baik tentu ia tunjukkan
diri. Kalau cari penyakit, tuanmu ini
tidak segan-segan mengirimnya ke
neraka!" "Ngiiiiikkh...!"
Sang Undan memperdengarkan suara
menguik keras. Sayapnya dikepak-
kepakkan hingga menimbulkan deru angin
yang sangat keras.
Dalam pada itu di balik kerim-
bunan pohon terlihat seorang gadis
cantik dengan tahi lalat di dagu dan
berbaju kuning gading melompat keluar.
Dan hanya beberapa kali lompatan saja
gadis itu telah berada di depan Warok
Batiroso. Laki-laki berbadan tegap ini
memandang kehadiran si gadis dengan
tatapan tidak suka. Ketika ia bicara,
suaranya serak sember.
"Katakan apa maumu" Mengapa
mengintip orang yang sedang melepas
lelah?" Gadis berbaju kuning gading yang
tidak lain adalah Dewi Bulan ini
tersenyum. Seraya memandang Panaran
sekejap, setelah itu menoleh ke arah
Undan yang terus berputar-putar liar
di udara. "Aku bukan mau mengintipmu,
Kisanak! Aku sedang pergi menuju ke
suatu tempat tidak jauh lagi dari
sini. Jadi teruskanlah istirahatmu,
aku akan meneruskan perjalananku!"
Dewi Bulan baru saja hendak
melanjutkan perjalanannya ketika di
belakangnya terdengar suara membentak.
"Berhenti...!"
Mau tidak mau gadis ini hentikan
langkahnya tapi tidak menoleh ke
belakang. "Kalau ingin bicara, bicaralah,
aku tidak punya banyak waktu!"
"Gadis sombong! Kau hendak ke
mama, katakan tujuanmu! Bukankah
tempat terdekat dari sini adalah
gunung Bromo" Apakah kau mau ke sana?"
"Pertanyaanmu banyak sekali. Mana
yang harus kujawab?"
"Jangan banyak mulut! Katakanlah
ke mana tujuanmu!"
"Aku mau ke gunung Bromo. Apakah
itu sudah cukup?"
"Lagakmu tengil seperti bayi
kebesaran upil! Aku tahu kau pasti
minta ingin bergabung dengan penguasa
gunung Bromo. Hak hak hak! Tujuan kita
sama. Jika kita punya nasib baik,
tentu kelak kita bisa bersahabat!"
Maka tertawalah Dewi Bulan
mendengar ucapan si baju hitam.
"Siapakah namamu, Kisanak?"
"Mengapa kau tanya nama" Aku
Warok Batiroso dari Ponorogo."
"Warok sama dengan jagoan jika
menyimpang dari kodratnya. Terus
terang, Kisanak. Aku pergi ke gunung
Bromo justru untuk menagih hutang nyawa pada para iblis yang bercokol di
sana. Jadi tujuan kita jelas jauh
berbeda" Warok Batiroso terkesiap men-
dengar ucapan Dewi Bulan. Sebaliknya
Undan yang terus terbang berputar-
putar di atas Dewi Bulan mencuik
keras. Kepakan sayapnya pang keras
saja membuat pakaian Dewi Bulan
berkibar-kibar. Dan muka gadis itu
terasa perih bukan main.
"Hmm, kita punya tujuan berbeda.
Jauh dari tanah kelahiran aku telah
berjanji untuk menghambakan diri pada
mereka. Walaupun mereka belum menerima
kehadiranku. Adalah pahala besar jika
aku membunuhmu untuk mereka!" geram
sang Warok. Dalam pada itu sang gemblak pun
menimpali pula. "Bagus, bunuh saja,
Kakang. Jika tidak dibunuh sekarang
nanti pun jadi penyakit bagi kita!"
"Heee... kau. Manusia salah
kaprah yang menyalahi kodratnya. Cap
lonceng lawan cap lonceng. Jangan ikut
campur jika tidak ingin mampus!"
damprat Dewi Bulan sengit,
Disindir begitu Panaran rupanya
tidak terima. Ia bangkit berdiri lalu
cabut keris pendek berwarna hitam dari
balik bajunya. Sebelum laki-laki ini
bertindak, Warok Batiroso mencegah.
"Jangan buang-buang keringat
istriku! Untuk membunuh bocah tengil
ini, paman Undan sudah cukup mewakili
kita." Warok Batiroso tiba-tiba menjen-
tikkan tangannya. Undan yang berputar-
putar di atasnya menguik keras.
Tubuhnya berputar-putar melayang ren-
dah. Isyarat yang diberikan oleh sang
majikan itu rupanya sangat dimengerti
oleh sang Undan sebagai isyarat
membunuh. Bukan main cepatnya gerakan
burung besar ini. Dalam waktu yang
singkat sekali ia sudah menyambar
dengan paruh terbuka ke arah Dewi
Bulan. Gadis ini terkesiap. Sambaran
angin yang sedemikian keras itu saja
sudah membuatnya tergontai-gontai.
Ia terpaksa melompat sambil
berguling-guling. Dewi Bulan selamat
dari patukan paruh sang Undan yang
panjang dan runcing. Tapi kepakan
sayapnya membuat dada sang dara
seperti terhimpit batu gunung.
Dewi Bulan tiba-tiba saja mem-
bentak keras. Ia hantamkan dua
tinjunya ke depan. Seleret sinar biru
melesat dari telapak tangannya. Sinar
yang disertai deru angin ini panas
bukan main. Tapi seperti sudali
mengerti bahaya yang mengancamnya
saja, Undan ini kepakkan sayapnya yang
lebar. Hingga pukulan yang dilepaskan
oleh Dewi Bulan buyar, mental dan
sebagian lagi berbalik nyaris menghantam diri sendiri.
Gadis itu berguling-guling.
"Bumm! Bumm!"
"Kurang ajar!" gerutunya dalam
hati. Dewi bangkit berdiri. Kali ini ia
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencabut pedang pendek dari ping-
gangnya. Pedang danda ini diputarnya
sedemikian rupa hingga menimhulkan
suara menderu-deru dingin sekali.
Di tangannya pedang kembar itu
seakan berubah menjadi banyak. Warok
Batiroso tergelak-gelak. Namun kagum
juga melihat permainan pedang si gadis
yang begitu cepat dan berbahaya itu.
Jika saja hanya orang yang mempunyai
kepandaian biasa yang melihat
permainan pedang Dewi tentu mereka
tidak dapat membedakan yang mana
bayangan dan yang mana aslinya. Tapi
karena Warok Batiroso tertokol berke-
pandaian tinggi dan sangat terkenal di
daerahnya. Jadi permainan serta jurus-
jurus pedang Dewi hanya berupa
gerakan-gerakan yang sangat menga-
gumkan. "Bunuh!" Teriak Warok Batiroso
pada Undan yang terus berputar mencari
kelemahan jurus pedang 'Kupu-Kupu
Menari Di Atas Bunga Matahari'
tersebut. "Keeek! Kreeekkh!"
Undan itu memekik keras mengge-
tarkan dada Dewi. Sayapnya kembali
mengepak membelah udara memedihkan
mata. Dewi mengerahkan tenaga dalanmya
untuk melindungi sekujur tubuhnya dari
hantaman sayap sang burung. Tidak lama
kemudian ia menggenjot tubuhnya,
hingga sekejap saja tubuhnya telah
melayang di udara. Karena burung itu
terbang rendah, begitu pedang pendek
di tangan Dewi berkiblat, maka angin
menderu disertai sinar putih berkiblat
menebas. Namun Undan itu telah mengangkat
sayapnya sehingga tebasan pedang Dewi
luput. Gadis itu tidak mau ambil
resiko. Ia alihkan pedang ke tangan
kiri. Lain tangannya menghentak ke
atas. Pada saat burung itu melayang,
pukulan Gempa Merbabu menghantam.
"Brass!"
"Kreaaakkh!"
Tubuh sang Undan terguncang. Dewi
melesat turun dan menjejakkan kedua
kakinya di tanah dengan mulus sekali.
Undan tersebut agaknya menjadi marah
sebagaimana pemiliknya. Ia terbang
tinggi, hingga bentuknya berubah
mengecil. Hanya dalam sekedipan mata,
binatang yang sudah sangat terlatih
itu menukik turun. Bukan main gerakan
burung besar ini. Sampai-sampai ham-
pir tidak terlihat kasat mata karena
cepatnya. Dewi begitu merasakan sambaran
angin langsung melompat ke samping.
Tapi kepakan sayap burung yang seakan
menendang tidak sempat dihindarinya.
Braak! "Glebuk!"
Dewi jatuh terguling-guling. Ia
merasa dada dan punggungnya seperti
remuk. Warok Batiroso melihat ini
terlonjak girang dan semakin
bersemangat. "Bunuh dengan perahumu!" perin-
tahnya. "Kreaakk...!"
Sang Undan menyahuti dengan
pekikan keras. Ia tidak lagi berputar.
Melainkan terbang serendah-rendahnya
sambil mematuk dahsyat ke arah batok
kepala Dewi. Gadis ini pasti akan kehilangan
kepalanya jika pada saat yang sangat
kritis itu tidak melesat sebuah benda
berwarna hitam panjang menderu kencang
ke arah paruh sang burung.
Begitu kencangnya hingga Undan
itu sendiri tidak sempat melihat
bahaya ini. "Taak!"
"Kreaakkkk...!"
Sang Undan menjerit keras ketika
benda hitam menghantam ujung paruhnya.
Patukannya gagal, selain itu ia
golang-golengkan kepalanya karena
didera rasa sakit bukan kepalang.
Terbangnya menjadi oleng, lalu
membumbung tinggi semakin bertambah
tinggi hingga lenyap dari pandangan
mata. 2 Kejut hati Warok Batiroso bukan
kepalang. Seseorang yang bisa me-
nyerang burung perkasanya itu tentu
merupakan mereka yang mempunyai
kepandaian tinggi. Tapi ketika ia
melihat ke samping kiri, orang yang
berdiri di situ sambil cengar-eongir
bertolak pinggang hanya seorang pemuda
berambut hitam kemerahan bertampang
tolol. Sungguh pun ia harus mengakui
bahwa pemuda itu lebih tampan dari
Gemblaknya sendiri.
"Tidak ada hujan tidak ada angin.
Hanya orang gila yang cari penyakit
kalau berani mencampuri urusan orang
lain!" bentak Warok Batiroso.
"Karena gadis baju kuning itu
kawanku. Masak aku harus melotot saja
melihat dia kehilangan kepala?"
"Hmm, rupanya kau kawannya?"
Suro Blondo garuk-garuk kepala,
lain memandang pada Dewi Bulan yang
melotol, kepadanya.
"Bagus, kurasa tujuanmu tidak
jauh beda dengan tujuan gadis ini.
Sebutkan namamu dan apa gelarmu?"
"Gelar tidak perlu, namaku Suro
Blondo!" kata Pendekar Blo'on.
"Heh...! Rupanya kau yang dika-
barkan sebagai anak ajaib yang
terlahir pada malam satu Asyuro
delapan belas tahun yang lalu"
Kebetulan sekali aku ingin tahu apa
kehebatan yang tersimpan di balik nama
dan kelahiran yang menggemparkan
dulu!" geram Warok Batiroso hampir
tidak dapat menahan tawanya.
"Ha ha ha! Yang membuat gempar
adalah tikus-tikus sesat sepertimu.
Mereka kemaruk ingin punya murid
sepertiku. Heh... apakah kau tidak
kasihan membawa-bawa istrimu yang
bunting itu?"
Merasa disindir begitu rupa, baik
Warok Batiroso dan Panaran jadi sangat
tersinggung sekali.
"Keparat!"
Warok Batiroso hendak mengemplang
kepala Suro. Tapi pemuda ini mena-
hannya "Tunggu?"
"Apa lagi?"
"Bertarung dengan manusia ajaib
seperti ku ada waktu dan batasnya.
Kalau waktu yang sudah sama-sama kita
sepakati telah berakhir. Artinya kau
kalah jika tidak mampu merobohkan
aku. Sebaliknya jika kau memang aku
bersedia menjadi kacungmu"
"Kalau aku kalah?"
"Kalau kalah kau harus menyem-
bahku tujuh kali setelah itu segera
merat dari hadapanku!"
"Ha ha ha!" Warok Batiroso
tergelak. Ia yakin dengan kemam-
puannya. Pemuda di depannya walau tadi
sempat ia lihat kehebatannya pasti
tidak sampai lima jurus ia akan
menjadi pecundang. Apalagi mengingat
wajah pemuda itu tampan. Paling tidak
jika ia dapat mengalahkannya, selain
Warok punya kacung pemuda itu dapat
pula dijadikan selirnya.
"Bagaimana, apakah kau setuju?"
tanya Pendekar Blo'on.
"Setuju. Berapa jurus kau
tawarkan?"
"Sepuluh," jawab Suro Blondo.
"Aku menawar lima."
Pendekar Blo'on menyeringai,
kemudian tertawa sambil pencongkan
mulutnya. "Kau menawar paling sedikit, jangan menyesal nanti kalau juraganmu
ini harus mengemplang kepalamu pulang
pergi, Warok...!"
"Banyak mulut!"
"Tuuing...!"
Warok mengemplang mulut si
pemuda. Tapi Suro sudah tarik mulutnya
ke belakang. Lalu ia geser langkahnya
ke samping kiri. Tinjunya menghantam
dada sang warok. Laki-laki ini menepis
dengan gerakan ringan tapi tangan
dialiri tenaga dalam tinggi. Suro tak
mau mengambil resiko. Lalu putar
tangan ke samping. Tendangan kaki
kanan menghantam perut.
Warok Batiroso terkejut sekali.
Ia melompat ke belakang. Justru pada
saat si pemuda hantamkan lagi
tangannya ke dada lawan.
Tendangan dapat dihindari, tapi
tinju lawannya menghantam telak dada
sang Warok. Karena hantaman itu cukup keras,
Warok biar pun badannya besar tetap
saja terhuyung ke belakang. Merah
wajahnya menerima kenyataan ini. Ia
kertakkan rahangnya, lalu tangan kanan
diputar cepat. Inilah jurus 'Kalinding
Bencana'. Sebuah jurus andalan yang
sangat diyakini kehebatannya.
Serasa tangan lawan semakin lama
semakin bertambah cepat. Hingga tangan
,yang berputar dan menimbulkan
gelombang angin menderu-deru ini
semakin lama seakan berubah menjadi
banyak. Pendekar Blo'on telah kerahkan
jurus 'Kera Putih Memilah Kutu' Salah
satu jurus konyol warisan gurunya
Penghulu Siluman Kera Putih.
Seketika tubuh si pemuda
terhuyung-huyung. Tangan kirinya tidak
henti menggaruk sana-sini. Sedangkan
tangan kanan moncecar mata sang Warok.
Kaki si pemuda terus bergerak lincah.
Terkadang posisinya setengah berjong-
kok sambil melompat-lompat. Tapi
begitu serangan lawan semakin meng-
hebat, ia berguling-guling sambil
menunjuk-nunjuk ke langit.
Bibir si pemuda berkomat-kamit.
Terkadang keluar suara mendesis atau
ngak ngik nguk seperti suara seekor
monyet yang ribut. Lalu dalam keadaan
tetap berguling-guling itu ia mele-
paskan tendangan beruntun menyapu kaki
sang Warok. Serangan-serangan gencar yang
dilakukan oleh Warok Batiroso selalu
luput. Sebaliknya serangan baiik yang
dilakukan oleh lawannya nyaris meng-
hantam tempat-tempat yang berbahaya.
Tidak ayal lagi, Warok Batiroso jadi
uring-uringan. Sementara itu Dewi Bulan juga
rupanya tidak tinggal diam. Ia
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melabrak Panaran gemblak sang Warok
dengan serangan-serangan yang sangat
ganas. Panaran yang sempat melihat
Dewi Bulan sempat kucar kacir mendapat
serangan sang Undan sama sekali tidak
menyangka. Kini gadis itu berubah
menjadi hebat tanpa mempergunakan sen-
jata. Kini secara pelan ia menyadari
bahwa gadis ini mempunyai jurus-jurus
yang sangat berbahaya bila tidak
mendapat serangan dari udara.
Dalam waktu singkat pertempuran
sudah berubah menjadi seru. Sebaliknya
Panaran sudah mencabut keris kecil
lekuk tiga begitu mendapat tekanan
dari lawannya. Keris berwarna hitam
mengandung racun keji ini menderu-deru
menimbulkan sinar hitam dan menebar
bau amis. Pertanda bahwa senjata
lawannya mengandung racun yang sangat
keji. "Aku tidak mungkin bertangan
kosong terus menghadapi senjatanya
yang mengandung racun itu," pikir Dewi Bulan.
"Sriing! Sring!"
"Heaaa...!"
Dewi Bulan membentak keras,
tubuhnya melesat ke depan. Sedangkan
pedang kembar pendek yang baru
dicabutnya menusuk ke arah leher lawan
sedangkan satunya lagi menebar ke
perut Panaran. Mendapat serangan dahsyat dalam
waktu bersamaan ini sempat terkesiap
juga. Namun laksana kilat ia
membanting tubuhnya ke samping kiri
lalu lepaskan tendangan ke pergelangan
tangan lawannya.
"Duuk!"
"Eeeh...!"
Walau pedang di tangan kanan
sempat tergetar dan pergelangan yang
kena tendangan terasa remuk. Tapi
pedang di tangan kirinya terus melaju
mengancam dada Panaran. Laki-laki ini
mengegoskan tubuhnya. Tidak urung....
"Reeek...!"
"Uuh...!"
Panaran mengeluh pendek. Bahunya
yang kena sambar ujung pedang Dewi
robek. Selir sang Warok menggerung
marah. Lalu bangkit berdiri, tanpa
menghiraukan luka yang dideritanya ia
menyerang kembali dengan serangan-
serangan yang lebih gencar.
Dewi Bulan tidak mau kalah. Ia
kerahkan jurus pedang 'Walet Menyambar
Buih'. Salah satu jurus terhebat
dengan fungsi menggempur dan bertahan.
"Wukk! Wukk!"
Kilatan sinar pedang itu
memedihkan mata Panaran. Sinar hitam
yang memancar dari keris Panaran
seakan terdorong dan meredup. Hanya
dalam kejapan mata saja Panaran telah
terkurung. Di lain saat
kerisnya membentur pedang di tangan Dewi Keris
mustika itu terpental. Di saat itulah
Pedang di tangan Dewi menempel di
dadanya. Kalau Dewi Bulan mau, tentu
jiwa Panaran sudah tidak dapat
diselamatkan lagi.
"Aku mengaku kalah!" desisnya
dengan muka pucat ketakutan.
"Lain kali jika bertemu dengan
kau. Kepalamu akan kupenggal!" dengus Dewi Bulan sambil memasukkan pedang ke
rangkanya. Sementara itu pertarungan antara
Warok Batiroso dan Pendekar Blo'on
sudah mencapai puncaknya. Sang Warok
yang menjanjikan waktu selama lima
jurus kini telah melewatinya sampai
empat puluh jurus. Rupanya ia tetap
penasaran juga. Karena sejak tadi ia
hanya mampu membuat lawan jatuh
tunggang langgang dan muntah darah.
Sebaliknya Suro Blondo dengan
mengandalkan jurus-jurus yang kocak
dan konyol berulang kali menghantam
sang Warok hingga membuat laki-laki
ini menderita luka dalam cukup serius.
Tokoh dari Ponorogo ini rupanya
tidak mau menyerah begitu saja. Kini
sambil menyeringai kesakitan ia
keluarkan golok panjang besar, tipis
tajam mirip golok milik tukang jagal.
"Bocah! Kuakui jurus-jurus
silatmu yang aneh dan dahsyat itu.
Tapi aku tidak mungkin membatalkan
niatku untuk bergabung dengan penguasa
gunung Bromo sebelum menjajal
kehebatan golokku ini!"
"Ha ha ha! Aku bosan tawar
menawar denganmu, kurasa kau tidak
akan tepat janji lagi. Mau pergunakan
Undanmu yang sudah terluka untuk
mengerokku silakan. Mau pergunakan
seribu senjata masa bodoh!"
"Kau terlalu memandang enteng
padaku! Hiyaa...!"
"Aku selalu memandangmu berat dan
tinggi Warok! Weiit... hampir saja
ambrol bakul nasiku...!" jerit si
pemuda sambil melompat ke belakang
selamatkan perutnya dari hantaman
golok besar lawannya.
"Wik! Wik! Wik!"
"Ngung! Ngung! Ngung!"
"Eiit! Hampir saja...!"
Suro Blondo bersalto ke udara
ketika golok di tangan Warok Batiroso
membabatkan goloknya terarah ke bagian
kakinya. Masih dalam keadaan berjum-
palitan di udara tanpa diduga-duga
sang Warok mengejarnya. Tentu sangat
sulit bagi Suro untuk menghindarkan
diri dari bahaya. Sehingga ia
mencabut senjata andalannya berupa
Mandau Jantan berwarna hitam dari
balik pakaiannya. Senjata dengan empat
sisi lubang miring pada bagian
tengahnya dan mempunyai ujung ganda
ini menderu membelah udara. Seketika
terdengar suara rintih tangis yang
menyayat hati. Suara rintihan itu
berubah menjadi jeritan yang menya-
kitkan gendang-gendang telinga ketika
si pemuda menyalurkan tenaga dalamnya
ke gagang Mandau Jantan tersebut.
Warok Batiroso terkesiap, dadanya
bergetar dan langsung terasa sesak. Ia
berusaha mengerahkan tenaga dalamnya
untuk menghilangkan pengaruh aneh yang
memancar dari senjata lawan. Tapi
hingga sejauh itu ia tidak mampu juga
melakukannya. Warok kiblatkan senjatanya,
terjadi benturan hingga menimbulkan
bunga api. "Raap!"
"Traak! Traak!"
Benturan keras itu membuat
maaing-masing lawan terpental jauh.
Warok Batirono jatuh terduduk. Sedangkan Suro Blondo masih mampu
menjejakkan kakinya dengan baik di
atas tanah. Ketika Warok Batiroso melihat ke
arah goloknya maka terkejutlah tokoh
dari Ponorogo ini. Golok mustika di
tangannya telah terbabat putus menjadi
dua. Wajahnya berubah pucat, sadarlah
ia kalau pemuda itu mau sejak tadi
bukan saja goloknya yang buntung
menjadi dua, tapi juga kepalanya bisa
copot dari badannya.
Ketika ia memandang ke arah si
pemuda, maka terlihatlah dengan jelas
bahwa pemuda itu baru saja memasukkan
senjatanya yang berbrentuk
dan mengeluarkan suara aneh tersebut ke
dalam sarungnya.
Pendekar Blo'on seka keningnya.
"Apakah kau masih tetap penasaran
juga, Warok?"
"Hmm, kalau tidak melihatnya
sendiri mana aku bisa percaya. Kau
masih muda tapi sudah mempunyai
kepandaian beragam. Ternyata kau me-
mang bukan pemuda lemah. Kepandaianmu
mustahil dapat kuimbangi walau aku
belajar lima belas tahun lagi. Aku
mengaku kalah padamu, sesuai janjiku
aku membatalkan niatku untuk bergabung
dengan penguasa gunung Bromo. Di
mataku, kau pantas menyandang gelar
Pendekar Blo'on...."
"Ha ha ha...! Untuk menerima
julukan yang sama, berarti aku harus
memotong kambing lagi. Apa pun yang
kau katakan, kuharap kau tidak
melupakan janjimu...!"
"Oh tentu saja tidak!" Warok
Batiroso tiba-tiba menjatuhkan diri
dan berlutut sebanyak tujuh kali.
Ketika sang Warok bangkit kembali,
seraya berkata: "Jika kau menjambangi Ponorogo dan dapat kesulitan. Kau
cukup menyebut namaku dan orang tidak
ada yang berani mengganggumu!"
"Hmm, aku berterima kasih sekali.
Semoga kau panjang umur, Ki. Banyak
rejeki, enteng jodoh, panjang rambut,
panjang kumis dan panjang pula kau
punya...!" ujar Suro Blondo sambil
garuk-garuk kepalanya.
Sesungguhnya Warok Batiroso
mendongkol juga mendengar ueapan si
pemuda yang dianggapnya setengah
miring ini. Tapi mau apa, dia sudah
kalah dan harus tahu diri dengan
angkat kaki. Tanpa menunggu jadi bahan olokan
selanjutnya, Warok Batiroso langsung
pergi dengan menggendong Panaran di
pundaknya. Pendekar Blo'on memandangi keper-
gian Warok Batiroso sambil tersenyum-
senyum. "Dunia ini benar-benar sudah tua
apa manusianya yang semakin edan.
Perempuan tidak kalah banyaknya. Kok
kawin batangan lawan batangan" Seperti
orang main Toya saja. Ha ha ha...
gila... gila bukan main-main...!"
Pemuda itu tertawa-tawa seperti orang
miring. Namun bila ia teringat
sesuatu, maka Suro Blondo celingukan.
"Aku kecolongan. Gadis baju
kuning itu. Ahh...." Si pemuda tepuk
keningnya berulang-ulang "Siapa
namanya" Dewi... Dewi Bulan bintang.
Dewi Dewa atau Dewi Saritem. Ah... Dewi
Bundar, Dewi Bulan...! Ke mana dia
pergi?" Pendekar Blo'on memperhatikan
suasana sekelilingnya. Tapi di tempat
itu sepi seperti kuburan
"Aku yakin Dewi telah pergi ke
gunung Bromo. Kupanya ia tidak mau
kuikuti. Padahal aku punya urusan
hampir sama. Dia pergi ke sarang macan
sendirian. Bagaimana jika terjadi
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesuatu yang tidak diinginkan. Hmm,
hatiku mengapa berdebar-debar begini.
Adik bukan, ibu bukan... mengapa aku
mengkhawatirkan keselamatannya?"
Suro Blondo mondar-mandir di
tempat itu, setelah berpikir agak lama
ia kemudian mengambil kesimpulan.
"Sebaiknya aku susul dia. Siapa
tahu dia benar-benar dalam kesulitan,"
pikir Suro Blondo.
Pemuda ini kemudian berlari-lari
m-ninggalkan daerah berbukit itu
dengan mempergunakan ilmu lari cepat
Kilat Bayangan. Sehingga dalam waktu
singkat ia telah hilang dari pandangan
mata. 3 Pada sebuah lereng sebelah timur
gunung Bromo terdapat sebuah bangunan
megah berwarna biru. Bangunan itu
selain menjulang tinggi dengan
beberapa menara pengawas di atasnya
juga cukup luas. Sehingga dilihat
sepintas lalu mirip dengan sebuah
istana kerajaan. Pada setiap menara
yang berjumlah delapan buah ini
terdapat pengawal paling sedikit tiga
orang bersenjata panah, yang sewaktu-
waktu siap dibidikkan. Karena bangunan
itu dikelilingi sebuah benteng tinggi,
mustahil orang dapat memasukinya
terkecuali dari pintu gerbang depan
yang menghadap ke lereng gunung.
Waktu itu hari telah menjelang
malam ketika sosok bayangan berpakaian
serba kuning mengendap-endap di luar
benteng. Melihat gerakannya yang
sangat hati-hati, jelas bayangan ini
sengaja menghindari bentrok dengan regu pemanah yang bertugas di menara
pengawas. Setelah memastikan dalam keadaan
aman. Tidak lama setelah
itu ia menggenjot tubuhnya malompati tembok
benteng setinggi hampir dua setengah
tombak itu. Gerakannya enteng seringan
kapas. Menandakan bahwa orang ini
mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
sudah cukup sempurna. Setelah dua
kakinya menjejak tembok, ia mengawasi
suasana di dalam benteng. Ternyata
keadaan di sana dalam keadaan lengang.
Kalau pun ada pengawal, mereka sedang
duduk-duduk minum tuak keras. Bahkan
ada pula diantara mereka yang sedang
main kartu. Merasa keadaan dalam
suasana aman-aman saja, maka bayangan
kuning yang ternyata merupakan seorang
gadis cantik ini melayang turun. Sama
seperti pertama tadi, kini gerakannya
pun ringan tidak menimbulkan suara.
Tapi tanpa diduga-duga, begitu
kedua kakinya menjejak ke tanah, dua
orang laki-laki berbadan tambun dan
bertelanjang dada langsung menghan-
tamnya dengan jotosan.
"Pengacau goblok ingin cari
penyakit!" dengus salah seorang
diantara mereka. Suaranya serak
seperti dicekik setan.
Dengan gesit sekali gadis baju
kuning yang ternyata Dewi Bulan ini
menggeser wajahnya ke samping hingga
pukulan itu luput. Tapi lawan yang
satunya lagi sudah mencabut senjatanya
berupa kaitan berbentuk bengkok namun
dua sisinya memiliki ketajaman luar
biasa. Hingga sejauh ini Dewi Bulan
melayani mereka dengan jurus-jurus
tangan kosong. Sementara itu terdengar
suara teriakan-teriakan orang yang
terlibat pertarungan. Maka para
pengawal lainnya berhamburan menda-
tangi. Mereka segera mengurung Dewi
Bulan dengan sikap waspada. Menghadapi
dua orang berbadan tambun ini, semakin
lama Dewi Bulan kehilangan kesabaran.
Apalagi mengingat senjata mereka yang
berbentuk aneh itu berulang kali
nyaris membuat robek badannya.
"Triing!"
"Wiing!"
"Hiyaa...!"
Sekali bergebrak ia langsung
mengerahkan jurus 'Mentari Redup Di
Kaki Bukit'. Ini adalah salah satu
jurus yang sangat diandalkannya.
Rupanya Dewi tidak ingin membuang-
buang waktu, mengingat musuh yang
dihadapi terlalu banyak jumlahnya.
Sebaliknya dua lawan yang
berbadan tambun ini begitu bernafsu
untuk meringkus Dewi. Karena sudah
menjadi peraturan di situ siapa yang
dapat meringkus lawan dalam keadaan
hidup akan mendapat hadiah yang cukup
besar. Kedua laki-laki itu secara
berbareng langsung menggempur sambil
babatkan senjata unik di tangannya.
Dengan pedang kembar di tangan,
Dewi menangkis. Terdengar suara
berdentang dua kali berturut-turut.
Bunga api sampai memijar. Ini
merupakan tanda masing-masing lawan
mereka sama-sama mengerahkan tenaga
dalamnya. Dewi sendiri tangannya
terasa linu, pedang hampir terlepas.
Ia maju dan langsung menyeruak dengan
mengerahkan serangan yang sangat
mematikan. Salah satu dari lawan berusaha
menghalau serangannya. Tapi ia tidak
sempat lagi babatkan senjatanya karena
senjata Dewi meluncur deras membeset
lehernya. "Jres!"
"Wuaakkh...!"
Jeritannya terputus bersama
putusnya pangkal tenggorokan. Darah
menyembur, si tambun memegangi leher-
nya yang hampir putus. Melihat ini
kawannya menjadi kalap. Ia menyerang
secara membabi buta. Kenyataan ini
tentu saja menguntungkan Dewi. Semen-
tara yang satunya meregang ajal,
sedangkan yang ini bagaikan banteng
terluka terus mendesak lawannya.
Bukan main gesit gerakan Dewi
Bulan. Dengan lincah ia menghindari
setiap serangan yang datang.
Karena serangan-serangannya sela-
lu mengenai sasaran kosong, laki-laki
tinggi besar ini menggembor marah.
Dengan kedua tangannya ia ayunkan
senjata berbentuk kaitan itu.
"Wuuk! Wuuk!"
Dewi berkelit sambil merundukkan
kepala. Tangan kiri menghantam ke
depan. Pedangnya hanya menyambar
angin. Karena lawan sudah menarik
tubuhnya ke belakang. Tidak kalah
cepat pedang di tangan kanan Dewi
menyusul dan begitulah seterusnya.
"Traaang!"
Pedang itu membentur senjata si
tambun, hingga untuk yang kesekian
kalinya tubuh mereka sama-sama
tergetar. Jika si tambun mundur
sebaliknya Dewi merangsak maju.
Laki-laki berbadan besar ini
terkesiap. Ia sudah tidak dapat lagi
selamatkan diri ketika pedang pendek
di tangan Dewi Bulan menembus dadanya.
"Bleess!"
"Raaaakh!"
Karena pedang tersebut diputarnya
sedemikian rupa. Maka ketika dicabut,
perabotan dalam perut si tambun ikut
terbetot keluar. Laki-laki itu melo-
tot, lidahnya menjulur-julur keluar.
Tubuhnya terhuyung-huyung dan ambruk
ke tanah dengan jiwa melayang.
Kematian si tambun membuat
pengawal-pengawal
lainnya semakin
rapat mengurung Dewi bahkan mulai
mencabut senjatanya masing-masing.
Pada saat itu pula menyambar angin
yang begitu lembutnya. Dewi baru
menyadarinya ketika sebuah tangan
menyapu dadanya.
"Eeh...!" Dewi terkesiap dan
lontarkan makian. Karena secara kurang
ajar bayangan yang bergerak laksana
kilat tadi meremas buah dadanya. Tapi
ia jadi terkejut karena ternyata
selain tidak mampu bersuara, Dewi juga
tidak dapat menggerakkan tubuhnya.
Nyatalah sudah bahwa ia ditotok oleh
lawannya dengan cara yang sangat aneh
sekaligus kurang ajar.
"Ha ha ha...! Tamu yang tidak
diundang ternyata seorang perempuan
cantik dan menawan sekali. Hari ini
aku Ki Rambe Edan dan kawan-kawan
benar-benar ketiban rejeki yang sangat
istimewa!"
Dewi memandang laki-laki tua
bertampang angker yang berdiri tidak
jauh di depannya dengan mata tidak
berkesip sedikit pun. Melihat betapa
hormatnya para pengawal yang berada di
sekitar situ, jelas sudah bahwa laki-
laki berhidung besar ini merupakan
salah seorang pemimpin di situ. Inilah
pembunuh orang tuanya. Betapa marahnya
dia, tapi dalam keadaan tertotok
begitu rupa, mustahil ia dapat berbuat
banyak. Bisa-bisa keselamatannya
sendiri pun dalam keadaan terancam.
Tanpa sadar wajah si gadis berubah
merah padam. Ia terlalu gegabah
memasuki benteng istana yang dibangun
atas cucuran darah dan keringat rakyat
ini. Seharusnya ia bicara dulu dengan
pemuda konyol yang telah menolongnya
dari amukan Undan Warok Batiroso. Jadi
bukan meninggalkannya begitu saja.
Kini ia benar-benar berada dalam
kesulitan yang sangat besar. Apalagi
mengingat kawan-kawan Ki Rambe Edan
telah berkumpul di situ. Dan semuanya
merupakan orang yang telah menyebabkan
kematian orang tuanya.
"Gadis secantik bidadari ini
rasanya jarang kita temui di sini. Ia
datang menyerahkan
diri, Kakang. Alangkah baiknya jika kita mulai
segala-galanya untuk menemani pesta
tuak wangi!" kata yang berperut bundar sambil usap-usap perutnya.
"Kurasa dia masih benar-benar
tulen. Kakang Rambe... kami mendapat
jatah sisanya setelah Kakang pun
rasanya sangat terima kasih sekali!"
ujar yang bermuka bengis sambil lalu
membelai-belai wajah Dewi Bulan
"Manusia sesat
haram jadah. Kalian semua akan merasakan pemba-
lasanku yang sangat pedih jika sampai
berbuat macam-macam padaku!" maki Dewi Bulan. Tapi suaranya sama sekali tidak
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdengar. Sementara itu Ki Rambe Edan sudah
memberi perintah.
"Bawa dia ke kamarku! Aku ingin
melihat kebagusan tubuhnya yang halus
mulus ini!"
Dengan senang hati, Baja Geni
memanggul Dewi Bulan memasuki istana
mereka. Sepanjang jalan menuju istana
itu tidak henti-hentinya tangan Baja
Geni menggerayang kian kemari. Dewi
Bulan yang keras hati ini hanya mampu
menyumpah-nyumpah dalam hati mengingat
ia tidak menggerakkan tubuhnya sama
sekali. Di luar suasana berubah sunyi
kembali. Para pengawal pergi ke tempat
penjagaan masing-masing sambil membi-
carakan ketua dan pemimpin mereka yang
telah mendapatkan gadis cantik yang
tentu saja segera menjadi korban nafsu
bejad mereka. 4 Di balik rimbunan pohon yang
memayungi atap genteng bangunan besar
tersebut. Sepasang mata yang terus
mengawasi sejak tadi bukan tidak tahu
apa yang terjadi. Malah matanya sempat
melotot ketika Ki Rambe Edan secara
curang menotok Dewi Bulan dengan cara
meremas payudaranya. Tindakan kurang
ajar ini membuat pemilik sepasang mata
sempat garuk-garuk kepala. Dalam
suasana seperti itu mustahil ia turun
tangan, sungguh pun baginya keberadaan
para pengawal tersebut tidak masuk
dalam hitungan. Hanya kelihatannya ia
lebih bersikap hati-hati. Dan tidak
mau gegabah sebagaimana gadis itu.
Kini ia sedang mencari cara untuk
membebaskan Dewi Bulan. Memang patut
diakui sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh gurunya, ciri-ciri Ki
Rambe Edan dan kawan-kawannya. Tidak
satu pun yang mirip dengan musuh-musuh
besar yang telah membuatnya yatim
piatu. Mereka buman opembunuh orang
tus si pemuda. Tapi dulu, delapan belas tahun
yang lalu, tindakan Ki Rambe Edan dan
kawan-kawannya tidak kalah sadis
dengan yang dilakukan oleh pembunuh
kedua orang tuanya. Mereka mengum-
pulkan ibu-ibu yang hamil tua di
gunung Bromo ini juga. Kemudian mereka
membunuhinya secara semena-mena.
Termasuk kedua orang tua Dewi itu
sendiri. "Belum sepantasnya Dewi Bulan
turun gunung. Kurasa gurunya orang
gendeng. Muridnya lebih sinting lagi.
Wataknya keras, keberaniannya segu-
nung. Cuma ia terlalu ceroboh." Si
pemuda seka keningnya yang berke-
ringat, padahal udara malam di gunung
Bromo dinginnya bukan main-main. Lalu
kejap kemudian ia garuk-garuk
kepalanya. "Aku harus dapat membebas-
kannya sebelum malapetaka besar
menimpa diri gadis itu. Eeh... mengapa
jantungku berdebar-debar. Aku seakan
tidak rela jika sampai terjadi apa-apa
dengannya. Padahal... tolol sekali.
Mengapa aku terlalu merisaukannya?"
Pemuda ini kemudian melompat ke
atap genteng bangunan. Suasana malam
hari yang gelap benar-benar telah
menolongnya dari penglihatan para
pengawal yang berjaga-jaga di menara
pengawas. Lalu dengan gerakan seringan
kapas ia terus mengendap-endap sambil
memasang telinganya.
Di tengah-tengah atap genteng ia
berhenti. Ia mendengar suara orang
bercakap-cakap sambil tertawa. Lalu...
"Gluk! Gluk! Gluk!"
"Yang kudengar pasti bukan suara
kuda lagi minum atau orang lagi
kencing berdiri. Pasti para iblis
sedang menunggu giliran. Kurasa iblis
yang satunya tidak jauh dari ruangan
ini." Si pemuda menggaruk lagi belakang
kepalanya. Ia melangkah lagi, bergeser
dari genteng yang satu ke genteng
lainnya. Lalu terdiam sekitar jarak
satu batang tombak dari tempat semula.
Dia berjongkok, lalu merapatkan
sebelah telinganya ke genteng. Mula-
mula Suro Blondo tidak mendengar apa-
apa. Tapi setelah memusatkan segala
perhatiannya ke satu arah yang dituju,
yaitu bagian dalam kamar, maka
mendengar suara desah nafas memburu
seorang laki-laki.
"Kebo gelo gajah budek, sapi
lanang kebo kampret! Aku harus sampai
ke dalam sebelum iblis rambut lurus
bertindak lebih gila lagi!" desis
pemuda itu sambil menggeser genteng
satu demi satu.
Sementara itu di dalam ruangan
kamar pribadinya, Ki Rambe Edan sudah
melucuti pakaian yang melekat di tubuh
Dewi Bulan. Kini gadis itu benar-benar
dalam keadaan telanjang. Dadanya yang
putih membusung tegak menantang segera
dipermainkan oleh laki-laki bertampang
angker ini. Diremasnya kedua bukit
yang tegak menantang ini, sementara
air liur sang iblis tidak hentinya
meleleh membasahi tenggorokannya. Mata
Ki Rambe Edan yang agak sipit membulat
lebar. Kini tangannya bertindak lebih
agresif lagi. Tangan itu meluncur
melalui perut Dewi yang mulus. Lalu
terus ke bawah dan mencopot penutup
terakhir badan Dewi sehingga gadis itu
benar-benar dalam keadaan polos tanpa
selembar benang pun.
Menyaksikan pemandangan ini nafsu
iblisnya terbangkitkan. Darahnya
memanas hingga ke ubun-ubun. Dengan
leluasa ia menggerayangi seluruh
keindahan tubuh yang dimiliki Dewi.
Ki Rambe Edan kemudian mencopot
pakaiannya sendiri, hingga membuatnya
seperti bayi. Dewi Bulan ketakutan
setengah mati, wajahnya pucat, ia
ingin berteriak tapi suaranya tidak
keluar. Ia meronta, tapi tubuhnya yang
dalam keadaan tertotok tidak dapat
digerakkan sama sekali. Sedemikian
besar ancaman ini sehingga ia sendiri
merasa lebih rela dipenggal kepalanya
daripada menanggung aib yang
memalukan. Ki Rambe Edan mulai mencumbui si
gadis. Ia menjatuhkan ciuman bertubi-
tubi ke bagian mana saja yang
disukainya. Sementara itu Suro Blondo
sudah membuka langit-langit kamar. Ia
terkesiap melihat gadis yang selalu
dipikirkannya dalam keadaan begitu
rupa. Dengan penuh kegeraman ia
mencabut senjata andalannya yaitu
sebuah mandau jantan berwarna hitam
dengan empat lubang miring di tengah-
tengahnya. Setelah itu Pendekar Blo'on
melayang turun dengan kecepatan dua
kali kecepatan biasa.
Senjata di tangannya diayunkan
sekeras-kerasnya ke arah leher Ki
Rambe Edan. Mandau menderu menimbulkan
suara seperti orang sedang menangis.
Mungkin suara inilah yang membuat Ki
Rambe Edan terkejut, hingga ia cepat
berpaling. Matanya terbelalak lebar
begitu melihat senjata lawannya hanya
seperempat jengkal saja dari batang
tenggorokannya. Ia tidak sempat lagi
berteriak memanggil kawannya, apalagi
menghindar dari senjata berbentuk aneh
itu. "Jraak!"
"Cuur! Klokokk...!"
Darah menyembur dari penggalan
kepala Ki Rambe Edan. Kepala yang
terputus dari badan itu jatuh
menggelundung dan di atas perut Dewi
Bulan. Sekujur tubuh si gadis bermandi
darah musuh bebuyutannya. Sementara
kepala tanpa badan ini terhuyung-
huyung, kemudian ambruk begitu saja
setelah kehabisan darah.
Dewi terbelalak melihat kejadian
mengerikan yang berlangsung sangat
singkat ini. Suro Blondo mendekati
pembaringan Dewi, ia ingin membebaskan
totokan si gadis, tapi ragu-ragu.
Karena totokan pengunci berada di
bagian bukit kembar Dewi Bulan.
Pemuda ini melihat Dewi melotot
kepadanya, ia tidak punya pilihan
lain, Maka tak lama setelah itu
memejamkan matanya. Karena tidak
melihat ketika meraba, rabaannya tidak
tepat pada bagian yang tertotok, malah
yang terpegang bagian bukit yang
paling tinggi. Suro menahan nafas, lalu...
"Bet! Bet!"
Satu sapuan agak keras
dilakukannya. Gadis ini menjerit dan
langsung bangkit berdiri. Setelah
membersihkan darah Ki Rambe Edan yang
membasahi tubuhnya, ia cepat menge-
nakan pakaiannya kembali. Rupanya si
pemuda berhasil membebaskannya. Pada
saat yang sama, Balung Raja dan Baja
Geni bukan tidak mendengar suara gaduh
di dalam kamar sahabat tertua mereka.
Tapi mereka menyangka Ki Rambe sedang
bergumul dengan gadis bertahi lalat di
dagu itu. Mereka baru tersentak kaget
ketika melihat pintu terbuka.
Sementara seorang pemuda berambut
hitam kemerahan telah berdiri di sana
sambil menenteng kepala Ki Rambe Edan.
Sedangkan di belakang pemuda itu
berdiri seorang gadis dengan muka
bercelemongan darah.
Belum hilang rasa terkejut
mereka, tiba-tiba Suro Blondo melem-
parkan potongan kepala Ki Rambe Edan
ke arah mereka. Potongan kepala d"ngan
mata membelalak dan lidah terjulur ini
jatuh persis di atas meja. Balung Raja
dan Baja Geni saling pandang, wajah
mereka pucat kehilangan darah. Hanya
sekejap mereka terkesima, di lain
waktu mereka mencabut senjata mereka
berupa kapak berujung tombak.
Sedangkan Baja Geni mencabut rantai
baja berujung pedang.
"Manusia rendah berhati iblis!
Siapakah kau bocah bertampang tolol!"
hardik Balung Raja. Rahangnya
menggelembung pertanda amarahnya
benar-benar memuncak sampai ke ubun-
ubun. "Manusia iblis berhati setan!"
Suro membentak dengan tatapan mata
tidak kalah dinginnya. "Kau siapa
pula" Ha ha ha...! Aku tahu kalian
telah membunuh kedua orang tua gadis
ini. Sekarang kalian bermaksud
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menodainya secara keji! Tahukah kalian
hutang kalian cukup banyak pada gadis
ini. Dan semua itu belum berikut
bunganya!"
Kini Balung Raja dan Baja Geni
beralih pada Dewi Bulan yang juga
sedang dilanda kemarahan.
"Siapakah kau?" tanya Balung
Raja. "Aku! Orang tuaku kalian bina-
sakan delapan belas tahun lalu di
lereng gunung ini. Sedangkan kawanku
ini adalah yang kelahirannya ditunggu-
tunggu oleh tokoh-tokoh sesat semacam
kalian." "Jadi kau putrinya perempuan bun-
ting yang telah kami bunuh dulu"
Berarti kau muridnya Gajah Gemuk dan
Gajah Krempeng?" desis Baja Geni
sambil tersenyum sinis.
"Dan kau, siapakah?" Balung Raja ikut bertanya.
"Hmm, kawanku sudah mengata-
kannya. Aku Suro Blondo!" dengus si
pemuda dengan mimik serius.
"Jadi kaulah orangnya yang kini
sudah tumbuh besar. Bayi ajaib yang
digembar-gemborkan pertapa pantai
selatan itu ternyata setelah dewasa
tidak lebih hanya berupa seorang
pemuda bertampang tolol tidak ada
gunanya. Terlanjur kepalang basah,
hari ini peristiwa delapan belas tahun
yang lalu segera terbukti apakah benar
kau mempunyai kehebatan. Selain itu
karena dosa-dosamu telah membunuh
sahabat kami. Maka kini rasakanlah
pembalasanku!"
"Plok! Plok!"
Dari luar para pengawal
menghambur ke dalam. Dewi Bulan lang-
sung menghadangnya. Untuk menghadapi
pengawal-pengawal yang jumlahnya men-
capai puluhan ini, Dewi Bulan langsung
mencabut senjatanya. Pedang itu
diputar sedemikian rupa. Maka ter-
dengarlah suara jeritan-jeritan kesa-
kitan. Satu demi satu pengawal itu
roboh bermandikan darah.
Suro Blondo tidak membuang-buang
waktu lagi. Ia kerahkan jurus 'Kera
Putih Memilah Kutu' dan jurus
"Serigala Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor' secara silih berganti.
Balung Raja dan Baja Geni putar
senjatanya yang berbentuk aneh ini.
rantai baja berujung pedang diputarnya
sedemikian rupa. Sebaliknya Balung
Raja dengan kapak berujung tombak
mencecar Suro dari arah samping kanan.
Dengan lincah sekali si pemuda
menghindari serangan senjata lawan
yang sangat cepat dan berbahaya ini.
Angin menderu-deru. Rambut si pemuda
berkibar-kibar terkena sambaran
senjata lawannya.
Tapi dengan gerakan yang aneh dan
kacau, Suro Blondo terus menghalau
atau menghindari setiap serangan yang
datang. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak,
terkadang terhuyung ke kiri, di lain
saat condong ke kanan. Hebatnya setiap
serangan lawan selalu luput atau hanya
menyambar tempat-tempat kosong.
Sementara itu Dewi Bulan sudah
sampai di halaman depan. Sepanjang
lorong ruangan telah penuh dengan
mayat-mayat yang bergelimpangan.
Pemuda ini demi melihat gelagat yang
sangat baik segera lepaskan pukulan
'Kera Sakti Menolak Petir'.
Seleret sinar putih bergulung-
gulung menerjang Baja Geni dan Balung
Raja yang sedang menerjangnya. Sinar
yang memanca-kan hawa panas ini
menderu kencang lalu melabrak
lawannya. "Bumm! Buum!"
"Uhk... keparat!" maki Balung
Raja begitu pukulan lawan menyambar ke
arah mereka. Tapi karena melindungi
diri dengan senjata di tangan, akibat
yang timbul karena pukulan itu tidak
seberapa. Hanya bangunan itu saja yang
runtuh pada bagian atapnya.
Sebaliknya Pendekar Blo'on telah
melesat ke halaman.
"Kunyuk tolol gila! Hendak lari
ke mana kau?" bentak Balung Raja
ketika melihat lawannya berkelebat
pergi. Tentu saja mereka tidak
membiarkan lawannya meloloskan diri
begitu saja. Mereka segera mengejar ke
depan. Ternyata setelah sampai di
halaman anak buah mereka sudah
bergelimpangan, tewas di tangan Dewi
Bulan. Splak! "Gubrak! Gubraak!"
Rupanya ketika Suro sampai di
luar ia tidak langsung menuju halaman
melainkan berdiri di samping pintu.
Begitu melihat lawan-lawannya keluar
sambil berlari ia sodorkan kakinya.
Hingga membuat Baja Geni dan Balung
Raja jatuh terguling-guling. Mereka
bangkit berdiri, sambil meludah mulut
menggembor memuntahkan kemarahannya.
"Anak setan! Aku tidak akan puaa
sebelum memakan daging dan menghirup
darahmu!" Teriak Balung Raja.
"Bapak iblis.
Mulutmu berkoar
seperti kaleng rombeng. Ajal sudah di
depan mata tapi belum tobat juga!"
"Wut!"
"Wuuk! Wuuk!"
"Wiit... hampir saja putus si
ntong!" kata Pendekar Blo'on memanasi.
Ia melompat. Ketika serangan lawannya
semakin menggila, maka ia berjingkrak-
jingkrak seperti anak kecil bermain
tali. "Bangsat!" Baja Geni menggerutu.
Kedua tangannya bertepuk satu sama
lain. Kemudian kedua tangan itu
digosok-gosokkannya.
Wajah Baja Geni menegang,
mulutnya komat-kamit. Dari telapak
tangannya mengepul kabut pipih
berwarna hitam. Kabut itu kemudian
menyebar ketika Baja Geni hentakkan
tangannya ke depan. Serangkum
gelombang berhawa dingin dengan bau
menyengat menderu dan menghantam Pen-
dekar Blo'on. Pemuda ini leletkan
lidah. Ia tidak menangkis atau
memapakinya, melainkan mengerahkan
jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh
Harimau'. Pada detik itu juga tubuhnya
terangkat ke udara dengan kecepatan
laksana kilat. Pukulan yang dilepaskan
Baja Geni menyambar sejengkal di bawah
kakinya, lalu menghantam tembok
bangunan hingga hancur berkeping-
keping Pukulan mengandung racun keji
yang dilepaskan oleh Baja Geni luput.
Ia penasaran dan melepaskan pukulan
susulan secara beruntun. Gerakan
menghindar yang dilakukan oleh si
pemuda semakin menggila. Tubuhnya
berkelebat lenyap hingga berubah
menjadi bayang-bayang yang sangat
banyak membingungkan. Dalam pada itu
Balung Raja yang menyerang dengan
rantai Baja berujung pedang tampak
kewalahan. Suro yang dalam keadaan
mengambang di udara ini melepaskan
tendangan beruntun ke arah wajah
lawannya. "Dekk!"
"Buk...! Buuk! Buk!"
"Kraak!"
Terdengar tulang leher patah
berderak. Balung Raja tidak sempat
lagi melolong. Tubuhnya langsung
terbanting dengan senjata masih di
tangan ia menggelepar sesaat, lalu
gerakannya semakin lemah dan hilang
sama sekali bersamaan dengan
melayangnya selembar nyawa
Balung Raja. "Kau benar-benar telah berubah
menjadi balung seratus hari di depan,"
desis si pemuda. Kini ia hanya tinggal
menghadapi seorang kawan lagi. Tiba-
tiba terdengar suara bentakan nyaring
penuh permintaan.
"Bangsat yang satu itu bagianku,
Suro!" Berkata begitu sebuah bayangan berkelebat
sedemikian cepatnya. Bayangan menuju ke arah Baja Geni yang
sedang terpana menyaksikan kematian
sahabatnya. Lalu ketika Baja Geni
merasakan ada sambaran
angin di belakang, begitu menoleh sebuah pedang
pendek menghunjam punggungnya.
"Wuaakkh...!"
Baja Geni terhuyung. Ia mendekap
ujung pedang yang tembus dari punggung
hingga mencuat ke depan dada. Tidak
sampai di situ saja, Dewi Bulan pun
kembali mengayunkan pedangnya. Pedang
itu dihantamkannya ke tubuh lawannya
secara berulang-ulang hingga membuat
kondisi lawannya yang telah kehilangan
nyawa dalam waktu singkat ini tidak
ubahnya seperti dicincang.
Melihat kekejaman ini Suro Blondo
langsung mendatangi. Sebuah tangan
yang kokoh menahan gerakan Dewi hingga
membuat gadis itu menoleh.
"Kau... mengapa kau lakukan...?"
"Bulan... eeh, Dewi...! Baja Geni
telah meninggalkan dunia fana ini.
Apakah kau hendak memasak dagingnya?"
"Selain membunuh orang tuaku,
mereka juga hampir membuat aib yang
sangat besar atas diriku."
Suro golang-golengkan kepala.
"Memang betul...!"
Dewi memotong: "Tahukah kau
betapa sakitnya hatiku?"
"Betul. Paling tidak aku turut
merasakannya. Tapi tidak baik
menganiaya mayat. Dia sudah menjadi
bagian dari tanah...."
"Huh... jangan menggurui aku.
Pemuda sepertimu mana layak memberi
nasehat. Ah... gila...." Dewi
membanting-banting kakinya. "Kini
hanya tinggal kau yang belum mati."
"Mengapa kau menudingku begitu?"
"Karena... karena... karena kau
telah melihat tub...!" Dewi Bulan
katupkan bibirnya. Wajahnya berubah
memerah. Ia teringat bagaimana pemuda
tampan bertampang tolol ini meraba-
raba dadanya untuk membebaskan
pengaruh totokan Ki Rambe Edan.
Sebaliknya Pendekar Blo'on hanya
garuk-garuk kepala sambil tersenyum
tertahan. "Dibandingkan Ki Rambe Edan,
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dosaku tidak kelewat besar, Dewi. Dia
sudah lihat semua. Sedangkan aku
tidak. Lagipula aku telah membantumu
dan membebaskanmu dari aib maha besar.
Kalau kau bunuh aku hari ini sama
artinya aku tidak sempat mencari para
pembunuh orang tuaku. Bagaimana kalau
arwah mereka gentayangan dan mengejar-
ngejar gadis secantikmu?"
"Pemuda ceriwis. Aku tahu telah
barhutang nyawa padamu, kelak aku akan
membayarnya."
"Tidak usah dibayar, cukup kau
mengingatnya saja. Kurasa urusanmu di
sini telah selesai. Sedangkan
persoalan yang harus kuselesaikan sangat banyak sekali. Aku harus pergi
sekarang...!"
Suro Blondo putar tubuhnya,
ketika baru beberapa tombak ia
melangkah Dewi Bulan yang mulai
menyukai pemuda konyol ini
memanggilnya. "Hei... tunggu...!" cegah Dewi
Bulan. "Ada apa lagi?" tanya si pemuda.
"Kau hendak ke mana?"
Suro garuk-garuk kepalanya.
"Aku mau cari musuh yang telah
membunuh orang tuaku. Mungkin ke
Pasuruan, Bukit Arjuna, Gunung
Sumbing, Gunung Grumpung bisa jadi ke
bukit kembar! Ha ha ha...!" kata Suro Blondo tanpa menoleh-noleh lagi sambil
berlalu. "Dasar edan!" gerutu Dewi Bulan
seraya pandangi kepergian si pemuda
yang telah menarik perhatiannya itu.
Dan ketika pemuda itu lenyap dari
pandangan matanya, ia merasakan adja
sesuatu yang hilang dalam dirinya.
"Tuhan ya... Tuhan... mungkinkah
aku dapat bertemu dengan dia di suatu
saat nanti?" kata si gadis resah.
5 Di pantai Karang Bolong ada
sebuah bukit-bukit kapur menjulang
tinggi ke ungkasa. Tidak jauh dari
bukit kapur lersebut terdapat pula
sebuah bukit karang yang cukup tinggi.
Untuk mencapai tempat ini orang harus
menyeberangi laut karena letaknya
memang agak ke tengah laut. Bukit
karang ini selain sangat berbahaya
juga licin sekali karena pada
permukaannya ditumbuhi lumut-lumut
laut yang telah berusia ratusan tahun.
Siang itu setelah membatalkan niatnya
pergi ke Pasuruan, pemuda berbaju biru
berambut hitam kemerahan memakai ikat
kepala warna biru belang-belang kuning
ini pergi ke Karang Bolong. Ini semua
dilakukannya karena menurut keterangan
yang didapatnya di jalanan bahwa
manusia Katai bersaudara tinggal di
pantai Karang Bolong. Keterangan ini
memang sulit dipegang kebenarannya,
karena mungkin saja katai yang
dimaksud bukan katai yang telah
membunuh kedua orang tuanya. Karena di
kolong langit ini banyak manusia
berbadan cebol, jangkung, kurus, gemuk
dan kurus kering macam orang cacingan
juga cukup banyak.
Setengah hari setelah menyelusuri
pantai laut Jawa. Kira-kira sekitar
jam tiga sore, pemuda baju biru yang
tidak lain adalah Pendekar Blo'on ini
sampai juga di tempat tujuan. Ia
mencari-cari, kemudian terlihat
olehnya sebuah bukit karang menjulang
seperti kerucut. Suro Blondo garuk-
garuk belakang kepalanya.
"Sarang setan tempatnya memang
selalu sulit dijangkau," gerutu si
pemuda. "Di sini tidak ada perahu yang lewat, tempat ini juga lebih sepi dari
kuburan. Bukit karang itu agak jauh
dari pantai ini. Bukan aku tidak
sanggup berenang ke sana. Tapi
dinginnya ini alamak. Lagipula konon
banyak hiu-hiu ganas berkeliaran di
sekitar sini. Apa caraku...?" Suro
Blondo seka keringat yang mengalir di
keningnya. Matanya mencari-cari hingga
kemudian ia tersurut mundur. Matanya
memandang tajam pada sebuah papan kayu
peringatan dengan pesan-pesan meng-
gidikkan tertulis di atasnya.
Pantai Karang Bolong siapa datang
nyawa tidak tertolong,
Bukit Karang Hantu, siapa
mendekat tinggal tulang belulang
Terkecuali para sekutu dan para
sahabat ikan hiu
Jangan oba mendekar terkecuali
punya jiwa seikat...
"Hmm, sebuah peringatan yang
cukup Mengenaskan" Hanya dedemit
neraka yang punya kerja. Dari jauh aku
datang untuk mempertaruhkan nyawa,
untuk apa aku harus pulang sia-sia!"
dengus Pendekar Blo'on.
Pemuda ini kemudian mencari
potongan kayu untuk menyeberangi selat
kecil itu. Tapi sebelum usahanya
tercapai, tiba-tiba terdengar suara
seseorang bersenandung. Menilik sua-
ranya yang kecil dan merdu sudah jelas
pemiliknya paling tidak adalah seorang
perempuan. Suro cepat menoleh ke arah
datangnya suara. Tiba-tiba ia melihat
sebuah perahu kecil meluncur cepat ke
arahnya. Di atas perahu tampak seorang
gadis cantik memakai kerudung serba
putih. Ketika angin bertiup ke arah si
pemuda, maka tercium bau badannya yang
harum seperti bunga cempaka.
Pendekar Blo'on melongo ketika
melihat perahu kecil itu mendadak
berhenti. Seperti ada kekuatan yang
menahannya dari bawah perahu.
"Anak muda nan tampan. Aku tahu
kau mau menuju ke bukit karang itu.
Aku jadi kasihan padamu, kulihat belum
pernah ada yang selamat kembali bila
sudah sampai ke sana. Daripada kau
mengantar nyawa percuma, alangkah
baiknya jika kau ikut denganku...!"
"Siapa Nisanak ini" Aku punya
tujuan dan tidak seorang pun yang
dapat menghentikannya terkecuali
maut," kata si pemuda pelan.
"Hi hi hi! Dendam di hatimu
dendam berkarat, sampai kiamat dunia
akhirat.... Sebaik-baiknya manusia
adalah dia yang suka mengukur kemam-
puan diri sendiri!" Gadis berkerudung di dalam perahu tertawa membahak. Suro
Blondo kerutkan kening. Ia berpikir
bagaimana mungkin perempuan dalam
perahu tahu apa yang diinginkannya.
"Nisanak belum menjawab per-
tanyaanku. Katakan terus terang atau
aku harus meninggalkanmu!"
"Mengapa harus tergesa-gesa jika
hanya ingin mengantar nyawa" Aku gadis
tanpa nama, hidup, makan dan tidurku
di atas air. Kalau hanya untuk urusan
orang yang mau buang
nyawa, aku bersedia mengantarmu sampai ke bukit
itu. Tapi dengan satu syarat!"
"Hi hi hi. Sudah kuduga, pemuda
tampan bertampang tolol sepertimu mana
punya banyak uang. Bagaimana kalau kau
membayar dengan kepalamu?"
Suro Blondo garuk-garuk kepa-
lanya. "Kau sangat keterlaluan sekali.
Tidak tahukah kau bahwa aku cuma punya
satu kepala?"
"Hi hi hi! Kalau tidak mau aku
akan aegera pergi!"
Tanpa menunggu lagi gadis
berkerudung putih dan berpakaian serba
putih memutar perahunya. Di lain kejap
ia telah bergerak menjauh, kemudian
hilang di tikungan teluk.
"Heh... kalau hanya menggoda,
untuk apa tunjukkan diri" Menolong
orang dengan meminta imbalan jiwa
adalah perbuatan tercela." Suro Blondo bersungut-sungut. Ia memutar badannya,
lalu mengambil sepotong kayu kering
yang tergeletak tidak jauh dari
kakinya. Kayu itu kemudian dilemparkannya
ke dalam air. Setelah itu tubuhnya
melayang, kaki menjejak ke atas
potongan kayu tersebut. Hanya dalam
waktu sangat singkat ia telah meluncur
ke tengah selat dengan sangat cepat
sekali. Namun pemuda ini kemudian
menjadi tergagap ketika melihat
puluhan sirip ikan menjembul ke atas
permukaan air. Ikan-ikan haus darah
ini mengitari si pemuda.
"Mati aku. Binatang-binatang ini
bukan main banyaknya. Aku harus cepat
sampai ke sana kalau tidak ingin mati
konyol!" pikir si pemuda.
Dengan tetap menjaga keseimbangan
tubuhnya, Suro menggenjot kakinya
hingga potongan kayu yang diper-
gunakannya untuk menyeberang melesat
laksana anak panah. Tapi tiba-tiba di
depan pemuda itu menyembul badan ikan
tersebut. Suro tidak sempat lagi
mengurangi kecepatannya. Tidak ayal
lagi tubuhnya terbanting. Suro Blondo
tenggelam, air laut yang sangat jernih
lagi dalam membuat ia dapat melihat
puluhan ekor ikan mengejarnya. Sambil
berenang menghindar Suro cabut
senjatanya. Dengan mempergunakan
senjata andalan ini ia menyongsong
kedatangan ikan-ikan buas yang
menyerangnya. Sementara gadis berpakaian serba
putih yang tadi sempat menghilang di
balik cekungan teluk telah muncul di
tempat itu dengan maksud menolong.
Ketika ia sampai, pemuda lugu yang
hendak ditolongnya telah lenyap dari
permukaan air. Ia terkesiap ketika
melihat air laut tiba-tiba berwarna
merah. Kemudian terlihat pula gejolak
air di sana sini.
"Celaka, bocah itu telah dimangsa
ikan-ikan hiu di sini!" desisnya
dengan mata membelalak lebar.
Air laut semakin bergolak, warna
merah semakin menyebar dan berwarna
pekat. Di dalam air Suro Blondo telah
membunuh lebih dari dua puluh ekor
ikan hiu besar dan ikan-ikan yang
telah terbunuh itu dimangsa oleh
kawanannya sendiri. Rupanya bau darah
itulah yang membuat hiu-hiu lain yang
kelaparan tidak dapat membedakan kawan
sendiri. Melihat hiu-hiu lain berebut
mangsa, maka kesempatan ini diper-
gunakan oleh Suro Blondo untuk
berenang di bawah air mendekati pulau
karang yang hendak ditujunya.
Sebentar saja ia sudah sampai ke
Pendekar Bloon 2 Bayang Bayang Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pinggir bukit karang. "Puah... hampir meledak paru-paruku karena menahan
nafas," keluh Suro Blondo. Ia melirik ke tengah-tengah teluk. Dilihat gadis
baju putih kerudung putih duduk
terbengong-bengong di atas perahunya.
Suro Blondo lambaikan tangannya.
"Maaf, ikan-ikanmu rupanya semakin
tidak sabar, sehingga kawaaannya
sendiri dimangsanya...!"
Si gadis bermaksud mengejar, tapi
ia mengurungkan niatnya. Seakan ia
ragu mendekati bukit karang tersebut.
Suro Blondo sambil cengar-cengir
tidak perduli lagi pada gadis di atas
perahu tersebut. Ia mulai mendaki
bukit karang yang terjal dan cukup
licin tersebut.
"Edan... sudah sampai di tengah
melorot lagi. Apakah mungkin tidak ada
jalan lain untuk sampai ke tempat yang
mirip dengan cekungan gua di atas
itu?" Si pemuda mendongakkan kepalanya
ke atas. Bersamaan dengan itu ia
melihat ada sosok tubuh melayang dan
kemudian jatuh terhempas di
sampingnya. Apa yang dilihatnya adalah
sosok telanjang perempuan. Sekujur
tubuhnya berlumuran darah, leher
patah, mata melotot dan lidahnya
terjulur. "Perempuan malang ini mustahil
jatuh dari langit. Mengapa tidak
sempat kudengar jeritannya," desis
Suro sambil goleng-golengkan
kepalanya. "Pastilah ini perbuatan iblis-
iblis berhati sapi. Aku harus bisa
sampai ke atas sana tanpa
sepengetahuan mereka. Dengan begitu
aku bisa terhindar dari bahaya...!"
Si pemuda kemudian merayap lagi,
kali ini ia menemukan jalan yang agak
lebih baik dari pada lereng terjal
yang coba didakinya tadi.
Sedikit demi sedikit ia mendaki.
Tapi gerakannya terhenti lagi ketika
melihat tiga ekor
ular berbisa menghadangnya. Ular-ular itu angkat
kepala tinggi-tinggi. Mulutnya terbu-
ka, lidahnya yang bercabang terjulur.
Ketika makhluk-makhluk melata itu
mendesis, maka tercium bau amis bisa
yang membuat mual pernafasan.
Suro Blondo yang pernah digodok
dalam sumur kawah bisa dihuni ular-
ular merah oleh gurunya, hanya
tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
"Malang benar nasibmu, Nak.
Rupanya kau diperintahkan oleh tuanmu
untuk menghadang aku! Nih gigit-
lah...!" Suro Blondo dengan sengaja
angsurkan tangannya. Tiga ekor ular
berwarna belang, kuning hitam ini
serentak menyerbu dan mematuki tangan
Suro Blondo. Tangan si pemuda berdarah, air
mukanya seketika berubah menghitam.
Rupanya kekebalan di dalam tubuhnya
mulai bekerja bertarung melawan bisa
dari ular-ular yang menggigitnya.
Kulit tubuhnya yang hitam secara
berangsur-angsur kembali ke warna
semula. Si pemuda lagi-lagi menyeringai.
"Kurasa sudah puas kalian
menggigitku!" dengus Suro Blondo,
sekejap kemudian ditangkapnya ketiga
ekor ular sebesar jempol kaki ini
setelah itu badan ular digigitnya satu
demi satu. Ular-ular ini meronta, tapi
rontaannya semakin melemah ketika
tulang belakangnya putus menjadi dua.
"Puih...!" Suro menyemburkan
ludah bercampur darah ular. Selan-
jutnya ia merayap dan merayap lagi.
Tidak sampai sepemakan sirih,
sampailah pemuda ini di depan sebuah
cekungan mirip gua. Pada dataran yang
rata ia melihat sebuah pedang, pakaian
dan juga tulang belulang lainnya.
"Mayat tadi perempuan. Pakaian
ini juga pakaian perempuan. Gua besar
itu seperti tertutup batu. Alangkah
baiknya jika aku mencoba membukanya."
Suro Blondo kemudian mendekati pintu
gua yang tertutup batu. Sekejap
kemudian ia mendorong pintu batu
karang ini. Tapi jangankan bergerak,
bergeming pun tidak.
Si pemuda mengerahkan tenaga
dalamnya ke bagian telapak tangan.
Setelah itu ia mendorong lagi.
"Uuph...!"
Kali ini secara perlahan pintu
batu terkuak sedikit. Suro mendo-
rongnya lagi. Semakin lama pintu pun
terbuka semakin lebar. Pendekar Blo'on
tercengang begitu melihat ke dalamnya.
Ruangan gua itu memancarkan
cahaya biru kehijauan yang entah
datang dari mana. Lantai gua juga
dalam keadaan bersih. Ketika melihat
ke arah kiri, di sana ada sebuah
altar. Di atas altar mirip dipan ini
tergeletak sosok tubuh perempuan pula
dalam keadaan setengah telanjang.
Perempuan ini sangat sulit dikenali
karena seluruh wajahnya yang menghadap
ke langit-langit gua tertutup kain
berwarna merah.
Suro Blondo menyelinap masuk dan
bersembunyi di salah satu sudut yang
gelap. Ketika terdengar suara langkah-
langkah kaki, maka ia menundukkan
badannya serendah mungkin sehingga ia
terhindar dari penglihatan orang lain,
6 Mula-mula yang dilihatnya adalah
kemunculan seorang laki-laki berbadan
pendek, cebol, wajahnya pucat keku-
ning-kuningan. Kumisnya cuma beberapa
gelintir saja sedangkan alis matanya
berwarna putih. Ia memakai celana
pendek sebatas dengkul, bajunya hanya
berupa selempang berwarna hitam. Di
pinggang katai Muka pucat ini
menggelantung sebuah ruyung berwarna
perak. Katai itu berjalan mendekati
perempuan setengah telanjang di atas
altar. Rupanya ia tidak menyadari
kehadiran Suro di situ, sedangkan
pemuda itu sendiri langsung tergetar
tubuhnya saat melihat katai muka
pucat. Inilah salah satu orang yang
telah membunuh kedua orang tuaku, mana
yang muka merah" pikir Suro Blondo.
Manusia katai ini setelah sampai
di atas altar langsung menyingkap
pakaian bawah gadis yang kepala serta
wajahnya terbungkus
kain merah. Setelah membuka pakaiannya sendiri, ia
melakukan perbuatan yang sangat ter-
kutuk atas diri si malang. Badannya
yang kecil menghempas-hempas di atas
tubuh si gadis. Tahulah Suro Blondo
apa yang telah dilakukan oleh Katai
Muka Mayat ini tarhadap gadis di atas
altar. Wajah Pendekar Blo'on berubah
kelam mambesi. Ia meninggalkan
kegelapan sudut gua. Tangannya melam-
bai pelan. Angin nenderu dari telapak
tangannya, melesat dengan cepat
menghantam Katai Muka Mayat. Laki-laki
berbadan kerdil ini langsung jatuh
terpelanting. Rasa kejut di hatinya
bukan alang kepalang. Kalaulah Suro
mau membokong, tentu Katai Muka Mayat
telah tergelimpang menjadi bangkai
atau paling tidak menderita luka dalam
cukup parah. Tapi pemuda berambut
hitam kemerahan bertampang tolol ini
walau mempunyai dendam sedalam lautan
terhadap orang-orang yang telah
membunuh ayah ibunya, ia tidak mau
bertindak gegabah dan kesalahan
tangan. Katai Muka Mayat bangkit berdiri.
Wajahnya jelas tidak dapat menyembu-
nyikan rasa terkejutnya tatkala
melihat kehadiran seorang pemuda asing
di ruangan itu. Ia jadi teringat pada
pintu gua yang ditutupnya. Tidak
setiap orang mampu membukanya terke-
cuali mereka yang memiliki tenaga
dalam tinggi. "Hhm, kau begitu berani menye-
berangi selat dan menyusup ke tempat
tinggal iblis. Siapa namamu?" Katai
Muka Mayat menggeram.
Suro Blondo garuk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Bicara ya bicara... tapi urusi dulu senjata kramat berikut buah
jambu milikmu. Gondal-gandil seperti
itu apakah kau mau pamer kelebatan
hutan rimbanya?"
"Aih...!" Katai Muka Mayat
langsung mendekap bawah pusarnya. Ia
mengenakan pakaian seadanya. Tidak
lupa ia juga mengambil ruyung yang
tergeletak di bawah kaki telanjang si
gadis. Wajah laki-laki itu semakin
bertambah pucat. Tiba-tiba saja ia
membentak berang: "Cepat katakan siapa kau yang sebenarnya, kunyuk bertampang
tolol!" "Dengar anjing gladak!" dengus
Suro Blondo tidak kalah sengitnya.
"Aku Suro Blondo, putra Sepasang
Pendekar Golok Terbang dari gunung
Bromo. Apakah kau ingat peristiwa
delapan belas tahun yang lalu" Hah...
mana kembaranmu yang bermuka merah?"
Katai Muka Mayat terkesiap,
matanya yang kecil molotot. Tanpa
sadar ia bahkan sampai bersurut
mundur. Bibirnya mendesis.....
"Kau bocah ajaib itu" Rambutmu
kemerahan, tapi tampangmu tidak
meyakinkan. Apakah kau punya tompel di
punggung?" tanya Katai Muka Mayat
seakan menyelidik.
"Sekarang tidak ada waktu lagi
untuk bertanya jawab, manusia cebol!
Apakah aku punya tompel di punggung,
di kening, hidung atau di kumis. Itu
bukan persoalan. Jika
kau merasa berhutang, maka hari ini aku datang
untuk menagih hutang-hutangmu!"
"Hu hu hu...!" Katai Muka Mayat
tertawa. Suaranya jelek seperti burung
hantu yang menderita mejan. "Secara
jujur aku memang ikut membunuh Satria
Purba dan Dewi Rini orang tuamu. Aku
dan kakangku dan yang satunya lagi
tidak perlu kusebutkan karena aku
sangat menghormatinya. Tapi mengingat
tampangmu yang begitu, aku yakin
ramalan pertapa itu hanya bualan saja.
Jala Pedang Jaring Sutra 10 Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Sejengkal Tanah Sepercik Darah 4