Pencarian

Perjalanan Ke Alam Baka 2

Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka Bagian 2


dan mulutnya mengucurkan darah. Kawan-kawan
utusan dari Kapuas ini segera menyadari apa yang
tengah terjadi.
"Tutup pernafasan kalian!" Dunga berteriak
memberi peringatan.
Segala-galanya memang sudah terlambat. Lima
orang laki-laki tersungkur tidak sadarkan diri. Puspita yang memang sudah
bersiaga sejak semula tidak sem-
pat mengalami kejadian yang sangat mengerikan itu.
Akan tetapi ia merasa kepalanya sakit mendenyut, ma-
tanya berkunang-kunang. Ketika pintu terbuka. Puspi-
ta masih sempat melihat seorang laki-laki kepala botak tanpa kumis tanpa jenggot
tanpa alis menyeringai padanya. "Ha ha ha...! Betapa beruntungnya aku hari ini.
Aku tidak pernah menyangka begitu lemahnya musuh-
musuh kerajaan. Lebih menguntungkan lagi karena di
antara musuh-musuh yang pantas kubinasakan, ter-
dapat pula seorang gadis cantik! Ha ha ha...! Tunggu-
lah, sayang...!" kata si botak yang tidak lain adalah Patih Luragung.
Laki-laki itu kemudian mengeluarkan segulung
besar tali. Mulailah ia mendekati lawan-lawannya yang sudah tidak sadarkan diri.
Puspita tentu saja tidak
tinggal diam, walaupun ketika itu sakit di kepalanya
semakin mendera.
"Hei... jangan coba-coba menyentuh mereka!"
teriak Puspita.
Dengan terhuyung-huyung ia menerjang. Tapi
gerakannya kacau, karena kesadarannya mulai berku-
rang. Dengan mudah sekali Patih Luragung menghin-
dari serangan Puspita. Gadis itu berbalik, lalu le-
paskan tendangan ke perut sang Patih. Serangan ini
kurang terarah, karena keseimbangan gadis itu berku-
rang. "Ha ha ha! Dalam keadaanmu seperti ini, tidak ada yang lebih baik bagimu
terkecuali melayaniku di
tempat tidur. Tunggulah... nanti kita akan bersenang-
senang. Tapi kawan-kawanmu harus dibereskan dulu!
Kurasa mereka siap menjalani hukuman pancung di
alun-alun." Seru Luragung.
Lalu tubuhnya bergerak dengan cepat, ia ber-
maksud menotok Puspita.. Seandainya gadis ini dalam
keadaan normal, tentu Patih Luragung bisa dibuat ke-
teter. Sungguh pun begitu si gadis masih mampu ber-
kelit. Sangat disayangkan kesadarannya semakin ba-
nyak berkurang karena pengaruh racun pemberian
Sang Maha Sesat yang dipergunakan oleh Patih Lura-
gung. Tidak lama kemudian gadis itu pun terjungkal
dan tidak sadarkan diri.
"Hhm, akhirnya kau roboh juga tanpa aku ha-
rus bersusah payah menotokmu!" desis sang Patih.
"Sang Maha Sesat memang hebat, Racun Pelumpuh
Kekuatan ternyata memang ampuh. Sekarang aku ha-
rus mengikat orang-orang yang sangat bodoh ini." dengus si botak.
Akhirnya satu demi satu para Lima Utusan Ak-
herat itu diikatnya. Patih agak heran ketika melihat
ada tiga mayat dengan luka-luka yang sungguh men-
gerikan sekali.
"Aku heran, mengapa orang-orang ini memba-
wa-bawa mayat kawannya" Inikah yang dikatakan oleh
Panglima Arung Garda sebagai Lima Utusan Akherat.
Mayat busuk begini sebaiknya ku bakar nanti di ten-
gah alun-alun. Sekarang aku harus mengusung mere-
ka ke halaman istana!" pikir sang Patih.
Setelah, Engku Bonang, Datuk Pala, Dendra,
Malai, Kalingga dan Dunga diikatnya. Maka ia pun mu-
lai menggusung orang-orang ini ke halaman depan.
Sampai di sana Patih menjadi kaget ketika melihat ada tiga orang laki-laki dalam
keadaan tidak berdaya. Dua diantaranya ia kenal dengan baik.
"Apa yang terjadi padamu, Panglima?" tanya Patih Luragung. Setelah meletakkan
tawanan dengan ca-
ra melemparkannya. Patih langsung menghampiri
Panglima Arung Garda.
"Malaikat Penderitaan yang telah memperlaku-
kan aku begini! Tolong bebaskan totokanku!" pinta
Panglima. "Bb... baik...!"
Dengan cepat Patih mengurut bagian yang kena
totok. Tapi sama sekali ia tidak mampu berbuat ba-
nyak. "Aku tidak bisa membebaskan totokan keparat ini, Panglima!"
Panglima Arung Garda mengeluh putus asa.
"Mungkin ini sudah nasibku! Kerjakanlah apa yang menjadi tugasmu, selamatkan
raja dari tangan Pendekar Blo'on dan Malaikat Penderitaan. Kau juga harus
berhati-hati, karena belum lama tadi muncul Perenung
Dosa!" pesan Panglima.
Patih Luragung anggukkan kepala. Seraya me-
noleh dan memandang penuh kengerian pada Raja Te-
ga. "Siapa yang membuntungi tangan dan kaki-
mu?" Raja Tega menggeram. "Pendekar Goblok Suro Blondo! Dendamku padanya sedalam
lautan...!"
"Eeh...!" Patih Luragung lebih kaget lagi ketika melihat Pertapa Seribu Abad.
"Apa yang terjadi pada Anda, Kakek pertapa?" tanya si botak lagi dengan kening
berkerut *** 6 "Ha ha ha...! Apa yang terjadi pada diriku ada-
lah karena kesalahanku sendiri. Bukan kesalahan sia-
pa-siapa. Bocah goblok itu mana bisa mengalahkan
aku jika senjataku secara tidak sengaja ditendangnya
ke langit. Itulah sumber kekuatanku sekaligus kele-
mahanku! Kupesankan padamu agar berhati-hati. Ka-
lau kau dapat melakukannya, ringkuslah dia, sebelum
kau diringkusnya!" pesan Pertapa Seribu Abad.
"Apakah dia masuk ke dalam istana?" tanya Patih Luragung curiga.
"Ya. Mungkin dia mencari raja Lalim Durjana
dan hartawan itu!" tegas si mata satu.
"Baiklah, berhubung tugas masih banyak. Aku
mohon diri. Di dalam sana masih ada empat tawanan
lagi yang harus kukeluarkan!" Tanpa menunggu jawaban Pertapa Seribu Abad. Patih
Luragung segera me-
ninggalkannya. Setelah keluar masuk memanggul para utusan
yang tidak sadarkan diri. Sekarang tibalah gilirannya menghadapi Puspita. Ia
tersenyum melihat Puspita
yang dalam keadaan menelentang. Lalu dielusnya pipi
si gadis. Elusan dan rabaan itu beralih ke leher, kemudian berpindah ke dada si
gadis. Patih Luragung
menelan ludah basahi bibir. Jantungnya berdetak ke-
ras. "Ini benar-benar nasib baikku. Semuanya ma-
sih serba asli tidak seperti isteriku yang sudah kendor kedodoran. Untung benar-
benar untung...!" serunya disertai tawa bergelak seperti orang gila.
"Mestinya kubawa ke ranjang, hitung-hitung
seperti seorang pengantin. Tapi mana aku sabar...
akh;..!" gumam Patih Luragung. Jemari tangan yang gemetaran itu kemudian
melepaskan kancing baju
Puspita. Sehingga terpampanglah pemandangan yang
mempesona nafsu iblisnya. Patih telan ludah lagi, telan ludah lagi. Bisul kembar
yang menonjol itu lalu dibe-lainya dengan lembut. Rupanya ia merasa penasaran.
Sehingga ia bermaksud melihat bagian lainnya sebe-
lum akhirnya memutuskan untuk memenuhi selera
binatangnya. Baru saja tangannya menyentuh celana
panjang hitam Puspita. Pada waktu bersamaan mele-
sat sebuah benda kecil menghantam tangannya.
"Bletak!"
"Aukkh.... Sakiit...!" teriaknya sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang benjol
membiru. Kelabakan
dan merasa terganggu ia bangkit berdiri. Memandang
ke belakangnya tidak ada siapa-siapa terkecuali pintu besar yang dalam keadaan
terbuka. Patih bangkit bermaksud menutup pintu, namun sebelum langkahnya
sampai ke sana, pintu menutup dengan sendirinya.
"Eeh... apakah setan yang menggangguku?" pikirnya. "Mungkin Sang Maha Sesat yang
suka usil."
"Blak!"
Patih lebih kaget lagi karena secara tidak ter-
duga pintu terbuka kembali dengan sendirinya. Patih
Luragung tiba-tiba saja tertawa.
"Maha Sesat, jangan kau bercanda. Apakah kau
merasa iri jika aku bersenang-senang dengan gadis
ini"!" tanyanya sambil tersenyum. Sebagai jawabannya terdengar suara dari
seluruh penjuru arah.
"Tidak ada yang melarangmu bersenang-
senang, Patih. Tapi kau juga harus ingat, kalau mau
mencangkul cangkullah ladang sendiri. Itu ladang bu-
kan hakmu, meskipun belum ada yang punya harus
dijaga kebersihan dan kelestariannya. Kalau ladang itu kau cangkul, berarti
nanti penggarap yang asli cuma
kebagian sisa, kebagian ampas. Padahal cangkulan
pertama itu paling berkesan bagi seorang suami!" jawab suara itu.
Patih tersentak kaget, mustahil Sang Maha Se-
sat mencegahnya berbuat maksiat. Karena pekerjaan
seperti itu merupakan sesuatu yang sangat dis-
ukainya. "Maha Sesat, mengapa kau melarangku" Bu-
kankah setiap pengikutmu cenderung melakukan ke-
salahan dan menjauhi perintah Gusti Allah!" protes Patih Luragung.
"Sang Maha Sesat itu bapak moyangnya setan,
sedangkan aku masih turunan manusia. Punya mata,
punya hidung, punya telinga, punya satu mulut. Kita
punya juga sama, tapi tidak ceroboh seperti kamu. Ka-
lau kebutuhanmu mendesak, bukankah masih banyak
perempuan telanjang di luar sana?"
Meskipun mulai dongkol dan curiga, Patih Lu-
ragung masih bertanya juga....
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Kambing, kerbau, ayam dan lain-lain. Kurasa
itulah pasangan yang paling cocok bagimu sesuai den-
gan selera nafsu rendahmu. Ha ha ha...!"
"Bangsat! Siapa kau?" teriak Patih Luragung berubah merah padam wajahnya.
"Ha ha ha...! Patih jahanam! Kau membuat ga-
dis itu setengah malu. Kau elus pipinya, hukumannya
tangan harus dipotong, kau pegang-pegang dadanya
imbalannya anumu harus dipotong. Nah, kau harus
memilih mana dulu yang harus kupotong"!"
"Manusia bangsat! Tunjukkan dirimu, jangan
sembunyi seperti banci...!" dengus sang Patih.
"Jika pangeranmu ini sudah keluar tunjukkan
diri. Maka kau harus merangkak di depanku, kemu-
dian garuklah rambutmu sepuluh kali seperti seekor
monyet!" Patih Luragung menggumam tidak jelas. Ber-
samaan dengan itu di depan pintu muncul seorang
pemuda berbaju biru, rambut hitam kemerah-
merahan. Wajahnya tampan, namun terkesan tolol ke-
kanak-kanakan. Pemuda itu tersenyum, sambil se-
nyum ia garuk-garuk kepala. Patih Luragung yang se-
mula kaget, kini setelah melihat tampang si pemuda
langsung tertawa tergelak-gelak.
"Ha ha ha! Kau rupanya, aku tidak menyangka
kau iri hati melihat aku mau bersenang-senang den-
gan gadis itu. Jika kau mau, tentu kita bisa bergantian setelah aku nanti!"
Suro Blondo berubah serius. Mulutnya termo-
nyong-monyong. "Sorgamu-nerakaku, dan juga neraka kawanku itu. Akh... kau sudah
melihatnya. Karena
kau sudah melihat apa yang bukan menjadi hakmu,
untuk kesalahan ini kau harus menyerahkan kedua
matamu!" desis Pendekar Mandau Jantan alias Bocah Ajaib. Mata Patih Luragung
membulat lebar. Sekarang
baru mengerti rupanya inilah pendekar yang dimak-
sudkan oleh Panglima Arung Garda. Berarti gadis itu
adalah murid Datuk Alam Salindra, sekaligus calon is-
teri hartawan Abdi Banda. Untuk lebih jelasnya (Dalam Episode Sang Maha Sesat).
"Bagus"! Ternyata aku tidak usah bersusah
payah meringkus dua kunyuk buronan yang selama ini
merugikan hartawan Abdi Banda dan juga pihak kera-
jaan." kata Patih Luragung.
Tiba-tiba saja laki-laki berkepala gundul ini
mengambil sebuah benda berbentuk bulat. Salah satu
ujungnya langsung ditekan. Sehingga keluarlah asap
tebal yang didahului dengan letupan kecil. Namun Su-
ro yang sudah mengetahui muslihat ini dan sempat
pula melihat kejadian yang menimpa para utusan su-
dah tutup pernafasannya.
Mulut Suro menggembung, lalu....
"Puuuuh...!"
Maka asap beracun yang membuat orang tidak
sadarkan diri dalam waktu yang lama berbalik menye-
rang Patih Luragung. Ternyata Patih ini sudah punya
penangkalnya. Sehingga walau asap itu menyerang di-
rinya tidak mengakibatkan apa-apa.
"Ha ha ha...! Kau dapat bertahan dengan racun
itu, Patih" Aku tahu racun yang dapat melumpuhkan
kekuatan itu berasal dari Sang Maha Sesat. Aneh...
aku tidak mencium bau bunga mayat. Kemanakah
perginya Sang Maha Sesat" Aku yakin dia sudah jadi
pecundang, bukan" Malaikat Penderitaan pasti telah
mengusirnya. Apa sekarang jawabmu untuk memper-
tanggung jawabkan semua ini?"
"Huh, untuk menghadapi Pendekar goblok se-
pertimu apa yang harus kutakutkan" Majulah aku
akan membuatmu mati penasaran. Kau tidak akan
mendapatkan gadismu itu. Jika nanti kau sudah se-
tengah mampus, aku akan memperkosanya di depan
hidung dan matamu!" tegas Patih Luragung disertai sesungging senyum sinis.
"Begitu, Patih" Lagakmu kren amat. Ingin kuli-
hat apakah ucapanmu itu benar-benar terbukti, atau
kau hanya sebangsanya anjing yang cuma dapat
menggonggong tapi tidak bisa menggigit karena terlalu tua dan giginya ompong
semua. Ha ha ha...!"
"Anak setan! Heaa...!"
"Setan gundul! Ufs...!" sahut Pendekar Blo'on menyambut serangan Patih Luragung.


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda berambut hitam kemerah-merahan ini langsung dorongkan
kedua tangannya ke depan. Sedangkan kepalanya me-
runduk. Ketika tangannya hampir membentur dengan
tangan lawannya. Maka Suro langsung tarik tangannya
dan menggeser langkah ke samping. Kaki kanannya
sedikit diangkat menggaet kaki lawannya.
"Bruuk!"
Patih Luragung tersungkur mencium lantai
mar-mar. Hidungnya mengucurkan darah. Sambil
menggeram marah Patih bangkit berdiri. Tanpa meng-
hiraukan darah yang menetes, ia berbalik menerkam
lawannya dengan satu lompatan yang sangat cepat se-
kali. Ketika itu Suro sudah berjingkrak-jingkrak seperti tingkah seekor monyet.
Terkadang ia bahkan melompat-lompat, lalu tangannya mencakar-cakar atau ter-
kadang menggaruk tubuhnya sendiri.
"Nguk! Nguk!"
Melihat jurus-jurus lawan yang tidak ubahnya
seperti gerakan-gerakan kunyuk ini. Patih Luragung
jadi kesal saja. Ia pun akhirnya semakin memperhebat
serangan dan mempercepat gerakan pula. Setiap gera-
kan yang dilakukan Patih Luragung mengeluarkan de-
sir angin dingin dan panas silih berganti. Rupanya inilah jurus "Membalik Bumi
Merubah Langit' salah satu dari kesekian banyak jurus-jurus simpanan yang
dimilikinya. Tiba-tiba saja tinju Patih Luragung meluncur cepat menghantam dada
Suro. Pemuda itu terkesiap,
ia terguling-guling selamatkan diri. Ternyata serangan itu cuma tipuan, karena
begitu lawan berguling-guling, mendadak saja Patih lepaskan tendangan beruntun
yang lebih dahsyat. Suro jadi kalang kabut. Si konyol segera berjumpalitan.
Ketika ia melakukan gerakan
kedua. Tepat pula kaki lawannya terangkat. Tidak am-
pun lagi.... "Dess!"
"Ehekgh...!"
Pendekar Blo'on menjerit keras, tubuhnya sam-
pai terputar-putar karena sedemikian kerasnya ten-
dangan. Akan tetapi murid Penghulu Siluman Kera Pu-
tih sekaligus Malaikat Berambut Api ini cepat men-
gambil tindakan. Tiba-tiba saja ia melompat ke depan.
Ketika lawan menghadang dengan pukulan jarak jauh.
Suro malah berputar mengelilingi lawannya. Sementa-
ra itu dari bibirnya terdengar suara lolongan panjang menghiba-hiba atau
terkadang suara tawa bekakakan.
"Edan! Pemuda ini punya apa" Aku sama sekali
tidak dapat menyentuh apalagi mendekatinya?" batin Patih Luragung dalam
kagetnya. Memang tidaklah
mengherankan bila Patih kerajaan ini dibuat terkejut.
Karena rupanya Suro ketika itu sudah menggabung-
kan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kobaskan
Ekor' dan 'Tawa Kera Siluman'. Akibatnya tentu sangat terasa bagi Patih
Luragung. Namun sebagai orang yang sudah kenyang ma-
kan asam garam di dalam pertempuran. Tentu Patih
tidak mudah terkecoh. Tiba-tiba saja ia menggebrak ke depan. Serangkaian
serangan gencar dilakukannya,
ternyata Suro bukannya mundur. Melainkan menyam-
but serangan itu dengan tidak kalah sengitnya. Patih
kerajaan lepaskan tendangan menggeledek, si konyol
coba menyambutnya.
Duuk! "Walah... keparat betul tuyul gundul ini...!" ma-ki si pemuda. Ia terhuyung-
huyung ke belakang. Tan-
gan pemuda itu tampak memerah, setelah diusap-usap
tangan tersebut tampak berubah biasa kembali, hanya
warna merah saja yang belum hilang sepenuhnya.
Patih Luragung memandang ke depannya den-
gan tatapan seakan tidak percaya. "Bocah ini bisa selamat dari tendangan 'Lintas
Bisa'?" pikirnya sambil menggelengkan kepala tidak habis mengerti. Laki-laki
berkepala gundul itu tiba-tiba saja mencabut senjata
mautnya berbentuk cakar. Ketika senjata itu dis-
usupkan disela-sela jarinya. Maka lima buah cakar
berbentuk mata pisau ini siap mencabik-cabik tubuh
Suro. "Krtk! Krtk!"
"Anak setan. Jika kau punya senjata yang da-
pat kau andalkan. Sebaiknya kau pergunakan. Dalam
dua jurus di depan, nyawamu pasti tidak akan sela-
mat." Suro sadar betul bahwa ucapan lawannya bu-
kan gertakan kosong belaka. Ia tersenyum sinis sambil garuk-garuk kepala. Ia
lalu acungkan tinjunya, dengan tinju terkepal ia setengah berlari dan menyerang
ke depan. Patih Luragung mengibaskan lima buah cakar
berbentuk seperti mata pisau yang cukup tajam sekali
menyambut serangan Si Bocah Ajaib.
Suro menarik tangannya. Cakar melesat mem-
beset tempat kosong. Pada waktu bersamaan tangan
kiri Suro menerobos pertahanan lawannya.
"Braak!"
Patih Luragung terguling-guling, kepalanya
menghantam dinding. Pukulan tadi cukup keras juga
sehingga membuat tulang rusuk Patih patah berderak.
Ia bangkit, tapi malah darah yang menyembur dari
mulutnya. Suro sambil menyeringai termonyong-
monyong cabut senjatanya. Melihat ke senjata Pende-
kar Blo'on yang sangat aneh bentuknya membuat Pa-
tih jadi keder juga, walaupun memang tidak sempat
kehilangan nyali seluruhnya. Suro menggerakkan
Mandau Jantan di tangannya.
"Ngiiik!"
Lalu digerakkannya lagi ke samping dengan ca-
ra berbeda dengan yang pertama.
"Huuu hu hu...!"
Setelah si konyol menggerakkan lagi ke atas.
"Haaa haha...!"
"Nah, sudah kau dengar bagaimana irama sen-
jataku ini. Sebelum aku meminta tangan dan matamu,
perlu ku jelaskan padamu tiga arti suara senjata ini.
Suara ringkik kuda sama artinya dengan penderitaan
hidup manusia. Sedangkan suara tawa, itulah kejaha-
tan dan kesenangan manusia. Sedangkan Suara tan-
gis. Itulah pertanggung jawaban manusia dihari yang
paling menentukan yaitu hari pembalasan!" kata Suro.
"Pemuda keparat! Kau hanya pandai berkhot-
bah?" maki Patih Luragung.
"Oh, kau rupanya tidak percaya dengan da-
tangnya hari kiamat. Sekarang aku dapat menunjuk-
kan salah satu contoh kecil! Hiyaa...!" Pemuda ini tiba-tiba saja berteriak
keras. Lalu pemuda ini menerjang
ke arah lawannya. Sedangkan Mandau Jantan di tan-
gannya meluncur....
"Trak!"
Senjata itu tertahan cakar di tangan Patih. Tapi
Suro terus menggerakkan tangannya yang bebas ke
mata lawannya. Apa yang dilakukannya ini tidak ber-
langsung mulus. Karena tangan kiri Patih menahannya
pula. Maka dalam keadaan saling tindih ini terjadilah dorong-mendorong. Masing-
masing lawan kelihatannya
memang berusaha menyerang atau bertahan. Suro me-
lotot, sedangkan Patih Luragung tegang berusaha se-
lamatkan matanya. Mandau terus ditekan, tapi lima
cakar di jari Patih menahan. Apa yang sedang berlang-
sung ini memang terkesan lucu menggelikan tapi juga
menegangkan. *** 7 Pendekar Blo'on lipat gandakan tenaga dalam-
nya. Mandau ditekannya, sedangkan tangan kiri terus
terarah ke mata Patih Luragung. Sampai akhirnya Su-
ro membuat gerakan ringan tapi berbahaya. Mandau di
tangannya bergerak.
"Traak!"
"Cress!"
"Aaak...!"
Patih menjerit kesakitan. Cakar mautnya han-
cur, tangan putus mengucurkan darah. Bersamaan
dengan itu pula Patih Luragung tidak dapat memper-
tahankan matanya. Dua jari tangan Pendekar Blo'on
menghunjam di kedua matanya.
"Protk!"
Maka berteriaklah Patih Luragung seperti orang
gila. Kedua matanya melesak dan hancur. Darah se-
makin bertambah banyak. Laki-laki ini memang benar-
benar mengalami penderitaan yang teramat sangat. Ia
kemudian berdiri, lalu lari sekencangnya sambil men-
dekap kedua belah matanya yang mengucurkan darah.
Karena matanya sudah tidak dapat melihat lagi, maka
berulang kali ia jatuh bangun- menabrak dinding. Se-
tiap jatuh bangun lagi lalu lari demikianlah yang terjadi seterusnya,
Murid Malaikat Berambut Api masukkan kem-
bali senjata ke dalam rangkanya. Ia mendekati Puspita dengan mata terpejam. Lalu
setelah berjongkok di
sampingnya dibenahinya pakaian si gadis yang sempat
berantakan. Karena matanya tertutup, terkadang ia
menyenggol dua daging yang menonjol itu.
"Bangsat itu mudah-mudahan saja mendapat
ganjaran yang setimpal!" gerutu Pendekar Blo'on.
Setelah pakaian Puspita rapi, maka Suro mem-
buka matanya. Lalu ia meraba denyut nadi di perge-
langan tangannya.
"Heh, jantungnya lemah sekali. Racunnya cu-
kup kuat, dia perlu pertolongan secepatnya." Karena Puspita masih belum sadar,
maka Suro jadi bingung.
Lalu garuk-garuk kepalanya
"Gila"! Kalau kutempelkan tangan ini ke da-
danya, nanti dia kira aku kurang ajar dan bermaksud
macam-macam. Padahal aku harus menyalurkan tena-
ga dalamku." kata Suro.
Lama juga ia termenung memikirkan jalan ter-
baik. Sampai kemudian bibirnya yang cemberut itu
tersenyum. Tanpa bicara apa-apa, Suro menelung-
kupkan badan si gadis. Kemudian kedua tangannya
pun menempel ketat di punggung Puspita. Suro bersi-
la, lalu pejamkan matanya. Wajah yang penuh keko-
nyolan tersebut tampak tegang. Sebentar saja tubuh-
nya telah basah oleh keringat dan bergetar. Perlahan
namun pasti. Dari ubun-ubun Pendekar kocak ini
membersit kabut tipis. Ternyata bukan dari ubun-
ubun saja kabut tipis keluar, tapi dari lubang hidung dan mulutnya keluar kabut
yang sama. Ini merupakan suatu tanda bahwa Pemuda
Ajaib yang terlahir pada malam satu Asyuro ini sedang mengerahkan seluruh hawa
murni yang dimilikinya.
Tubuh Puspita yang dingin mulai menghangat, hawa
hangat ini terus menjalar ke sekujur tubuhnya. Pori-
pori Puspita berubah merah, lalu dari setiap pori-pori yang muncul ke permukaan
itu keluar darah kental
berwarna kehitam-kehitaman.
Pendekar Blo'on lalu menarik tangannya kem-
bali saat terdengar suara rintihan si gadis. Lalu ia ber-semedhi untuk
menghimpun kekuatan kembali. Perla-
han Suro membuka matanya. Sedangkan gadis berpa-
kaian hitam ini sudah duduk, namun tubuhnya masih
terasa lemas. "Kau..."!" Puspita terkejut melihat Suro telah berada di sampingnya. Lebih
terkejut lagi ketika tidak melihat kelima laki-laki utusan lima benua sudah
tidak ada lagi di situ.
"Kemana mereka?"
"Mereka siapa?" tanya Suro Blondo.
"Para utusan itu bersama-sama aku di sini. La-
lu seseorang menjebak kami!" jelas Puspita Sari. Kemudian secara singkat Puspita
menceritakan saat-saat
terakhir memasuki jebakan.
"Tidak perlu kau risaukan. Mereka sedang me-
nunggu hukum pancung dari Patih Luragung." tegas Suro. Lalu sambil garuk-garuk
kepala ia melanjutkan
ucapannya. "Tapi Patih yang hampir menodaimu itu entah becus menjalankan hukum
pancung atau tidak."
"Apa maksudmu" Berterus teranglah...!" desak gadis itu rupanya penasaran.
"Lha wong tangannya sudah kupotong. Sedang-
kan matanya sudah kubutakan. Aku takut malah ia
memancung burungnya sendiri."
"Jadi... dia hampir kurang ajar padaku"!" desisnya dengan mata terbelalak lebar.
"Huh, kesalahanmu selalu kurang waspada,
kau kelenger melulu. Bagian atas sih sudah diacak-
diacak oleh Patih gundul tadi. Cuma bagian bukit-
bukitnya saja. Sedangkan bagian hutan dan rimbanya
aku jamin belum! Ha ha ha...!" Suro tertawa bergelak.
"Plak! Plaak!"
"Aduh...!"
Pendekar Blo'on jatuh terguling-guling. Se-
dangkan Puspita berdiri bertolak pinggang. Mata men-
delik memandang Suro dengan tatapan tidak suka.
"Kau...!" Suro terperangah.
"Ya, aku terpaksa menampar mulutmu yang
kurang ajar. Aku tidak suka mendengar ucapanmu,
kau tahu?" ketus suara Puspita.
Suro menyeka bibirnya yang berdarah. Ia me-
ringis kesakitan. Baru saja ia hendak buka mulut, satu tamparan menghantam
hidungnya. "Kau, mengapa kau menamparku!" Suro mem-
protes. "Aku tidak suka mendengar kata-katamu yang kotor!" Pendekar Blo'on masih
dapat tersenyum meskipun senyumnya terkesan dipaksakan.
"Kau rupanya lebih suka dibuka dan diraba-
raba oleh orang biadab dari pada sekedar kata-kataku
yang kurang berkenan"!"
"Sungguh aku ingin membunuh mereka, tapi
kuharap kau suka menjaga mulut dalam setiap kata-
katamu!" Suro Blondo tiba-tiba saja terkekeh. "Perem-
puan bagiku adalah makhluk misterius, ceriwis dan
menggemaskan. Sekali lagi kau berani menampar aku.


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bersumpah pasti akan membalasmu dengan se-
buah ciuman yang tidak akan pernah kulepaskan!"
"Dasar pemuda gendeng!" dengus si gadis, wajahnya berubah memerah. "Ke mana
mereka?" "Di halaman depan. Pergilah ke kamar yang su-
dah kubuka. Di sana Pendekar Lugu dan Raja Kodok
masih dalam keadaan pingsan. Mereka sudah berusa-
ha kutolong. Dan kurasa sekarang mereka sudah sa-
dar!" Pendekar Blo'on lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan ke ruangan lain
tanpa menoleh-noleh lagi.
"Kau mau kemana?"
"Tentu saja menjauh darimu, aku bosan kau
gampari (gaploki) terus menerus. Bisa-bisa mulutku
jontor dan mancung ke depan jika urusan gila ini selesai!" sahut Si Bocah Ajaib
sayup-sayup di kejauhan.
Puspita alias Rana Unggul tercenung menden-
gar kata-kata pemuda itu. Ia menyesal mengapa ia tu-
run tangan kasar terhadap pemuda yang telah menye-
lamatkan kehormatannya berulang kali. Padahal seca-
ra tidak sadar sekarang ia mencintai pemuda itu. Dia
selalu berbuat salah, sedangkan pemuda itu sama se-
kali belum pernah menyakitinya. Tingkahnya yang ko-
nyol itu memang sudah menjadi sifatnya. Sifat yang
dibawanya sejak lahir, mungkin. Tanpa pernah dibuat-
buat. "Oh, mudah-mudahan ia tidak merasa sakit ha-
ti atas perlakuanku!" rintih hati kecil Puspita. Kemudian dengan perasaan tidak
menentu ia meninggalkan
ruangan megah tersebut untuk menuju ke ruangan
lain dimana Raja Kodok dan Pendekar Lugu berada.
* * * "Patihku tidak pernah kembali ke sini"!" kata laki-laki memakai mahkota
kebesaran ditujukan pada
seorang laki-laki bertubuh besar perut besar yang kini menjadi siterunya karena
telah berani berzina dengan
salah seorang selirnya yang bernama Seriti. Si gendut kikir yang tiada lain
hartawan Abdi Banda beringsut
menjauh. "Paduka, Sang Maha Sesat adalah makhluk
yang dapat dipercaya. Ia tidak mungkin memungkiri
janjinya."
"Hartawan keparat! Apa yang dikatakannya pa-
damu diantara kebenaran-kebenaran yang dia
ucapkan?" Setengah sinis raja Lalim Durjana bertanya.
"Di... dia dapat menjaga keselamatan harta
bendaku. Dia juga membuat aku panjang umur karena
aku telah mematuhi saran dan perintahnya!"
Lalim Durjana kerutkan keningnya, seraya
mondar-mandir di depan sang hartawan yang kini be-
rubah menjadi seorang pesakitan.
"Dia berkata begitu padamu" Apakah kau su-
dah melihat harta bendamu masih utuh di tempat-
nya?" "Aku belum melihatnya, baginda."
"Apakah kau juga ingin tahu bahwa kau pan-
jang umur jika aku memenggal kepalamu"!" dengus
laki-laki itu sengit.
"Paduka, mengapa tuan berkata begitu?" tanya Abdi Banda ketakutan.
"Ha ha ha! Bukan aku bernama Lalim Durjana
jika aku bukan seorang raja yang kejam dan penuh
kedurjanaan. Ingat-ingatlah, aku tidak pernah melu-
pakan kesalahanmu, apalagi kesalahan itu menyang-
kut kehormatan dan harga diriku. Kau telah mengin-
jak-injak martabatku, Abdi Banda. Setiap kesalahan
yang diperbuat oleh seseorang, aku tidak dapat lagi
membedakan seorang kawan atau lawan. Nah, seka-
rang kepada siapa kau mau minta perlindungan selain
kepadaku"!"
"Oh jangan. Aku janji tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama!" Hartawan Abdi Banda meratap.
"Mintalah perlindungan pada Sang Maha Se-
satmu, aku punya firasat dia sekarang sudah mening-
galkanmu!" Hartawan Abdi Banda menangis, mengge-
rung sambil memanggil-manggil Sang Maha Sesat.
Sementara itu Lalim Durjana sudah mengelua-
rkan sebuah pisau tipis yang berkilat-kilat karena ke-tajamannya.
"Sekarang bukalah celanamu, punya kau harus
dipotong untuk menebus kesalahanmu!" tegas Raja
Ujung Dunia. "Paduka?"" Abdi Banda keluarkan seruan ka-
get. "Buka kataku!" perintah Lalim Durjana setengah membentak.
Dalam takutnya itu Abdi Banda ragu-ragu. Ra-
sanya kali ini memang tidak ada yang menyelamatkan
atau membelanya lagi. Tubuh laki-laki gendut ini tam-
pak menggigil. Terlintas dalam pikirannya, jika ia kehilangan pusaka yang sangat
berharga, berarti hidup ini rasanya sangat hampa sekali. Setiap ada gadis cantik
ia nanti cuma bisa gigit jari. Atau cuma dapat telan ludah tanpa, ia tahu
bagaimana lagi nikmatnya sorga
dunia. Baginya lebih baik kehilangan semua harta
bendanya dari pada harus kehilangan tongkat pusaka.
Atau kehilangan seribu surat Maha penting yang ter-
simpan di gudang harta.
"Baginda jangan sakiti aku. Sebagai gantinya
aku rela menyerahkan seluruh harta serta Surat Ke-
damaian Dunia yang tersimpan di gudang hutan la-
rangan. Percayalah baginda, asalkan jangan punya
aku satu-satunya itu kau minta dengan paksa!" Suara hartawan kaya itu memelas
sekali. "Puah, ngomong apa kau" Aku tidak butuh har-
tamu, aku juga tidak membutuhkan segala macam su-
rat. Kau harus jalani hukuman untuk menegakkan
kewibawaanku!" Raja Lalim Durjana tetap pada kepu-tusannya.
Abdi Banda semakin kecut. Dia berdoa, tapi
doa itu ditujukan pada siapa" Selama hidupnya ia ti-
dak pernah mengenal Tuhan, ia tidak pernah me-
nyembah atau melaksanakan perintahnya. Ia sering
berhura-hura dan bangga dengan hartanya. Tuhan
pasti membencinya, Tuhan pasti mentertawainya.
"Berdoa pada setan, sedangkan Sang Maha Sesat yang menjadi panutannya tidak
muncul. Keputusan terakhir ia pun berdoa pada setan....
"Oh setan, cegahlah orang ini. Aku tidak mau
kehilangan apa yang aku punya. Perempuan bagiku
adalah hidangan, mana mungkin aku menyantap hi-
dangan hanya dengan melihat-lihat saja langsung ke-
nyang. Aku juga takut mati, kalau yang satu dicabut-
nya, mungkin aku akan mati. Jangan... kumohon ga-
galkan usaha raja kejam ini...!" rintihnya dalam hati.
"Ha ha ha...! Selesaikah kau berdoa, Abdi Ban-
da" Ketahuilah, Tuhan pasti akan mencampakkan
doamu ke tong sampah. Waktu senangmu saja kau ti-
dak pernah bersyukur dan berdoa. Ketahuilah, doamu
tidak ubahnya bualan busuk! Sekarang buka!!" teriak Lalim Durjana
"Paduka!" desis si gendut. Ia beringsut mundur ketika melihat raja Lalim Durjana
bergerak mendekat
ke arahnya. "Jika kau tidak turut perintah, maka kedua ke-
palamu akan kupisahkan dari badanmu!" dengus sang raja penuh ancaman.
Karena merasa terdesak dan tidak punya pili-
han lain. Maka hartawan Abdi Banda akhirnya menjadi
nekad. Ia sadar Lalim Durjana punya kesaktian jauh
lebih tinggi dibandingkan dirinya. Namun rupanya har-
tawan ini menganut pepatah berbuat lebih baik dari
pada tidak sama sekali.
"Di sini hanya tinggal kita berdua saja, Paduka.
Aku punya keagungan kau punya kekuasaan. Jika kau
terus memaksaku. Maka salah satu dari dua kebesa-
ran itu akan ada yang runtuh. Sekarang tinggal terse-
rah kau, memilih damai atau cari permusuhan!"
Maka tertawalah raja Lalim Durjana mendengar
ucapan sang hartawan.
"Kau tidak ubahnya dengan katak yang mau
melawan lembu. Harapanmu itu hanya akan sia-sia
saja, Abdi Banda! Kau pasti pecundang dan mati di
tanganku!" dengus Lalim Durjana sengit sekaligus semakin bertambah marah.
"Aku tidak pernah mati, aku tidak akan mati
selamanya sesuai petunjuk Sang Maha Sesat. Ha ha
ha...!" Sambil tersenyum sinis, tiba-tiba saja Lalim Durjana menusukkan pisau
kecil di tangannya. Gerakannya cepat, namun Abdi Banda yang sudah nekad
itu berkelit selamatkan perutnya lalu tangannya
menghantam pergelangan tangan lawan.
"Plak!"
Lalim Durjana terhuyung, pisau di tangannya
terlepas. Sesungguhnya hartawan itu hanya memper-
gunakan tenaga kasar saja. Karena tenaganya kelewat
besar. Raja yang kurus ini nyaris jatuh. Ia menggeram, secepat kilat Lalim
Durjana melompat. Kakinya menyapu dan meluncur deras ke perut sang hartawan. Si
gendut menangkisnya, raja Ujung Dunia menarik balik
kakinya, serangan kaki digantikan pukulan tangan kiri kanan. Dengan gerakan yang
lamban si gendut coba
menangkisnya. Namun terlambat....
"Brak!"
"Akh...!"
"Buum!"
Abdi Banda jatuh berdebum. Hidungnya han-
cur, tulang iganya retak, dan ia tidak dapat bangkit
kembali. Raja Lalim Durjana menyeringai. Ia mencabut
pedang pendek, sekali melompat ia sudah membuat
celana hartawan itu robek. Lalu....
"Cres!"
Sekali lagi pedang itu berkelebat, maka putus-
lah milik hartawan itu. Abdi Banda meraung keras
sambil pegangi sisa anunya yang mengucurkan darah.
Abdi Banda totok urat nadi besar, darah terhenti, na-
mun rasa sakit itu tidak tertahankan. Begitu hebatnya ia menahan rasa sakit
sampai diluar kesadarannya ia
terkencing-kencing. Air yang mengalir keluar itu hanya membuat sang hartawan
semakin menderita. Lalim
Durjana tersenyum puas.
*** 8 Belum sempat ia menyarungkan pedang kecil-
nya yang berlumuran darah. Pintu kamar besar itu
berderak terbuka. Seorang kakek tua berpakaian putih
berjenggot putih masuk tanpa basa-basi. Raja Lalim
Durjana tersentak kaget. Ia memandang pada kakek di
depannya penuh rasa curiga. Kesempatan ini dipergu-
nakan oleh Abdi Banda untuk membetulkan pakaian-
nya yang dipenuhi darah. Lalim Durjana menyilangkan
senjatanya di depan dada. Senyumnya sinis, kumisnya
bergerak-gerak. Seakan kumis itu punya nyawa.
"Siapakah kau orang tua" Datang dengan
membawa maksud buruk atau baik" Jika buruk se-
baiknya cepat angkat kaki tinggalkan ruangan rahasia
ini. Jika maksudmu baik sejalan dengan keinginanku,
ketahuilah aku punya puteri cantik-cantik, kau berhak mendapatkan salah seorang
diantaranya!" Raja Lalim Durjana diam-diam lancarkan siasat jalankan taktik.
"Huk huk huk...!" Kakek baju putih alias Malaikat Penderitaan tertawa, tapi
tawanya seperti orang menangis. "Kemewahan dunia ini di mata Gusti Allah tidak
lebih besar dari sebelah sayap nyamuk. Aku benar-benar menderita mendengar
tawaranmu. Namun
aku lebih menderita lagi melihat cara dan jalan hidup yang kau tempuh! Ketahui
pula olehmu, hari ini Anak
Langit akan membuka sedikit rahasia dari sekian ba-
nyak rahasia besar Gusti Allah. Nanti kau akan me-
nyaksikannya, kau bahkan akan menjalaninya sebagai
bukti dan contoh bagi orang-orang yang datang setelah kita!" "Kau bicara apa,
orang tua" Sungguh kata-katamu sulit ku mengerti"!" Membentak Raja Lalim
Durjana. "Aku bicara tentang keadilan. Aku bicara ten-
tang kekejamanmu, aku juga bicara tentang kerakusan
orang gendut itu akan harta! Kalian dengar, kerakusan dan kekejaman!"
"Puah! Manusia busuk tidak tahu diuntung.
Engkaukah yang berjuluk Malaikat Penderitaan?"
tanya Lalim Durjana sinis.
"Aahk... aku menderita mendengar ucapanmu.
Kata dan tebakanmu tidak ada yang salah. Yang patut
kusesalkan adalah perbuatanmu. Maka sekarang ini
sebaiknya kau menyerah!"
Wajah Lalim Durjana berubah menegang, apa-
bila ia menarik nafas, maka desah nafasnya memburu.
Pertanda ia berusaha meredam gejolak kemarahannya.
"Tidak perlu berdebat, Kat! Sebaiknya ringkus
saja dulu kutu busuk yang bikin onar dipermukaan
bumi itu. Atau kau merasa tidak sanggup" Kalau tidak
becus, aku juga bisa meringkus mereka!" Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang
menimpali. Malaikat Penderitaan maklum siapa yang datang. Tapi Lalim Durjana
dan hartawan Abdi Banda sama memandang ke arah
pintu. Di depan pintu berdiri seorang pemuda rambut
hitam kemerahan pakai ikat kepala biru belang-belang
kuning. Lagaknya cengar-cengir seperti pemuda ku-
rang waras. Ia bertolak pinggang kedua tangannya
menyentuh ketiak. Sehingga membuat geli yang meli-
hatnya. Melihat kemunculan pemuda tampan bertam-
pang ketolol-tololan, maka hartawan Abdi Banda
bangkit berdiri, bahkan Lalim Durjana yang memang
sudah pernah melihat pemuda ini ketika bentrok den-
gan Raja Tega di halaman istana langsung melompat
ke depan. Untuk lebih jelasnya(Dalam episode Lima
Utusan Akherat).
Lalim Durjana melotot, melihat laki-laki jang-
kung itu melotot, maka Suro pun ikut melotot pula.
Sehingga beberapa saat lamanya mereka saling pelotot-
pelototan. "Haes, lama-lama pegal mataku!" Suro ke-
dipkan matanya. "Kalau dipikir-pikir sebaiknya kau
dan si gendut jelek yang telah kehilangan tongkat itu menyerah saja. Percuma
kalian melawan, kau dengar
tidak" Bukankah begitu, Kat?" Suro menoleh pada si kakek seakan minta dukungan.
"Anak setan! Kau berada di wilayah kekua-
saanku, masih juga kau berani jual lagak?" Lalim Durjana mendengus geram, lalu


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katupkan mulutnya ra-
pat-rapat. "Kekuasaan kepalamu peang"! Ha ha ha...! Bi-
cara apa kau raja jelek bau apek" Terhadap dirimu
sendiri saja kau tidak punya kuasa." Pendekar Blo'on tersenyum mencibir.
"Heaa...!"
Lalim Durjana tiba-tiba saja kirimkan pukulan
ke arah Suro. Pemuda ini dengan mulut termonyong-
monyong langsung melompat dan berlindung di bela-
kang Malaikat Penderitaan. Pukulan Lalim Durjana
praktis menghantam tembok di belakangnya. Tembok
hancur, sebagian kamar runtuh hingga tanah menim-
buni ruangan itu.
"Kat, sekarang giliranmu! Dia sudah mulai gila,
rupanya raja gendeng ini hendak mengubur kita hi-
dup-hidup di sini. Ayolah maju, tunggu apa lagi?" desak Si Bocah Ajaib serius.
"Pendekar geblek! Menyingkirlah kau dari sini."
bentak Malaikat Penderitaan. Kalau pun Pendekar
Blo'on menyingkir, maka ia duduk sambil uncang-
uncang kaki di atas kursi mewah yang terletak di su-
dut ruangan. Rupanya sekarang raja Lalim Durjana te-
lah mencabut senjatanya. Satu tikaman telak dilaku-
kannya. Hartawan Abdi Banda tutup mata ketika meli-
hat berkelebatnya senjata itu. Sedangkan Malaikat
Penderitaan hanya sedikit saja menggeser kakinya. La-
lu tangannya menyambar ujung senjata lawannya.
"Plak!"
"Heh!"
Senjata itu melesat ke atas dan tidak mengenai
sasarannya. Dengan penuh rasa geram Lalim Durjana
memutar senjata, setelah beberapa kali berkelebat-
kelebat di udara. Kemudian disertai teriakan keras ia melompat sambil babatkan
senjatanya ke bahu si kakek. Sama sekali Malaikat Penderitaan tidak menghin-
dar. Telak sekali senjata mengenai sasarannya.
"Craak!"
Lalim Durjana menjadi terkejut karena senja-
tanya seakan hanya menghantam batu cadas yang bu-
kan main-main kerasnya. Ia periksa senjatanya. Ter-
nyata senjata itu mengalami kerusakan. Kini ia menu-
sukkan senjata ke perut lawannya, ternyata si kakek
sama sekali tidak menghindar. Malah ia seakan mem-
berikan perutnya untuk ditusuk.
"Jheees!"
Sebagian senjata Lalim Durjana menembus ke
perut Malaikat Penderitaan. Ia tertawa, tawa khas se-
perti orang yang menangis sedih menghiba-hiba. Pe-
nuh kejut Lalim Durjana menarik senjatanya lagi dari
perut lawan. Astaga! Senjata itu seakan berubah panjang
dan tidak ada habis-habisnya meskipun sang raja su-
dah bergerak sampai di depan pintu.
Melihat kejadian ini Suro garuk-garuk kepala
sambil bertepuk tangan. Ia bahkan berjingkrak-
jingkrak sehingga membuat kursi bergoyang-goyang
dengan keras. "Hebat! Ha ha ha....! Ternyata kau juga pandai
main sulap, Kat. Menyesal jika kau tidak mau menga-
jari aku. Hebat...! Ha ha ha! Raja gelo itu bisa frustrasi melihat ulahmu, Kat!"
celetuk Suro tiada henti bertepuk tangan.
Malaikat Penderitaan sama sekali tidak me-
nanggapi ucapan si konyol. Ia kemudian memegang
badan pedang, senjata itu diketuk-ketuknya tiga kali.
Tiba-tiba saja pedang milik Lalim Durjana memendek.
Laki-laki itu pun tersentak dan ikut terbawa senja-
tanya. Ketika ia telah berada satu meter di depan Ma-
laikat Penderitaan. Maka kakek berjenggot putih ini
menjatuhkan totokan bertubi-tubi.
"Tak! Tik! Tuuk!"
"Aaaaa...!"
Lalim Durjana menjerit kesakitan, ia menggele-
par, meliuk bahkan membanting-banting badannya.
Ini merupakan sebuah siksaan yang sangat dahsyat
melebihi sakitnya tertusuk seribu mata pedang. Begitu menderita Lalim Durjana
sampai ia terkencing-kencing.
Si kakek menggumam tidak jelas dan mencam-
pakkan senjata lawannya. Melihat kejadian itu, harta-
wan Abdi Banda bermaksud melarikan diri. Tapi Suro
sudah menghadangnya.
"Eit... mau kemana kau gajah bunting! Ini ba-
gianmu!" desis Si Bocah Ajaib. Lalu ia menotok Abdi Banda, sehingga tubuh
hartawan itu berubah kaku tidak dapat digerakkan. Sementara itu raja Lalim
Durja- na terus berguling-guling sambil menjerit histeris.
"Apa yang kakek lakukan padanya?" tanya Suro kemudian.
"Dia harus merasakan penderitaan orang lain,
begitulah rasanya. Nah, sekarang kau uruslah gendut
kikir itu." perintah si kakek. Sekejap kemudian tubuhnya sudah berkelebat sambil
menenteng raja Lalim
Durjana "Betul-betul hebat orang itu. Aku tidak tahu
seberapa banyak kesaktian aneh yang dia miliki!" kata Pendekar Blo'on dalam
hati. Lalu ia memandang tajam
pada hartawan Abdi Banda, sementara itu keluarga ra-
ja, termasuk ratu dan puterinya sudah datang ke
ruangan itu. Rupanya mereka kaget ketika mendengar
jeritan sang raja. Kenyataannya Si Bocah Ajaib tidak
begitu perduli, perhatiannya tetap tertuju pada hartawan Abdi Banda. Lalu
terlihatlah senyumnya yang si-
nis disertai kata-kata yang cukup pedas....
"Ketika tempat-tempat maksiat, perjudian dan
rumah madat kau dirikan. Itulah awal sebuah jiwa
menjadi budak nafsu. Kau kotori bumi ini dengan ke-
maksiatan, dengan tawamu dan tawa orang-orang ber-
bau mesum. Hidupmu terangkat di atas tumpukan
dan gelimang dosa. Dari desah dan erangan nafas ber-
lendir. Mata dan hatimu, jiwa dan pikiranmu terkunci
mati. Lalu Sang Maha Sesat berdiri di atas segala, kemudian bermunculanlah
orang-orang dalam kemuna-
fikan, kau ambil pengawal-pengawal dari barisan setan yang terlaknat. Jalan
hidupmu menyalahi kodrat, betapa sia-sia hidup sepanjang usiamu. Itulah
persoalan pertama yang perlu kusampaikan padamu." kata Suro serius. "Persoalan
yang kedua adalah, kau telah menghimpun segala kebusukan dunia, kedengkiannya,
kei- riannya, kesombongan dan fitnahnya. Semua kau
kumpulkan dalam sebuah singgasana harta yang pal-
su. Diantara sekian banyak wanita yang kau zinahi
atas nama isteri. Ada satu kebiadapan yang kau per-
buat. Kau tatto tubuh si gadis malang. Dadanya, au-
ratnya dan tempat-tempat terlarang untuk menyem-
bunyikan sebuah peta tempat penyimpanan surat ke-
benaran. Kau memberi hanya mengharap imbalan, kau
menyembah setan dan nafsumu sendiri. Aku si bodoh
Pendekar Blo'on, telah bersumpah di depan mayat pe-
rempuan itu. Akan mentatto tubuhmu dengan gambar
tongkat yang paling besar di dunia. Itulah simbol ke-
perkasaanmu yang kau puja-puja sampai mati!"
Maka pucatlah wajah hartawan Abdi Banda
demi mendengar ucapan Si Bocah Ajaib yang secara ti-
ba-tiba seperti orang yang sedang berpetuah itu. Ke-
luarga raja termasuk permaisuri dan putri-putrinya
tercengang. Suro memberi isyarat pada mereka
untuk segera menyingkir.
"Ini bukan urusan kalian, menjauhlah jika in-
gin selamat!" perintah murid Penghulu Siluman Kera Putih. Maka tanpa berani
membantah lagi keluarga
kerajaan yang tidak ikut ambil bagian dalam masalah besar itu langsung
menyingkir. Suro mengeluarkan
Mandau Jantan di tangannya. Lalu secepat kilat Man-
dau itu berkelebat di atas dada Abdi Banda. Laki-laki berperut besar seperti
kuali besar tertelungkup menjerit setinggi langit. Hanya dalam waktu singkat
dari pu-sar Abdi Banda sampai ke dada terukirlah sebuah
tongkat besar memakai topi waja.
"Apa yang menjadi janjiku telah kulaksanakan.
Semoga arwah isterimu dapat tenang di alam sana!"
desis Pendekar Blo'on. Tidak lama ia pun membe-
baskan totokan, setelah totokan terbebas maka Suro
Blondo memerintahkan hartawan Abdi Banda berjalan
menuju alun-alun.
* * * Halaman istana yang luas itu kini secara aneh
telah berubah menjadi sebuah tempat yang terasa as-
ing serba putih. Semua orang termasuk di dalamnya,
Pertapa Seribu Abad, Raja Tega, Arung Garda dan Pa-
tih Luragung jadi terkejut. Mereka seakan telah dipindahkan dari satu alam ke
alam lainnya. Yang membuat para tokoh sesat ini menjadi ka-
get, karena di tengah-tengah hamparan alam yang ser-
ba putih namun panas seperti membakar itu. Terdapat
pula sebuah menara yang seakan menjulang ke langit.
Semula kejadian yang berlangsung singkat ini diawali
dengan gelegar suara petir yang sambung menyam-
bung tiada henti. Kemudian mata mereka menjadi si-
lau pada waktu sinar putih melesat seakan datang dari langit. Lalu terlihat
sinar putih lainnya yang lebih terang, berpedar-pedar seperti cahaya bintang
kejora. Malaikat Penderitaan yang muncul kemudian
bersama Lalim Durjana juga tidak kalah kagetnya. Ia
langsung memuji kebesaran Gusti Allah atas segala
keajaiban yang terjadi. Laki-laki tua ini memandang ke langit. Ia melihat sebuah
cahaya besar bersinar menyilaukan mata. Sinar yang apabila mata terlalu lama
memandangnya dapat menjadi buta. Raja Lalim Dur-
jana menggigil ketakutan, memandang ke tengah-
tengah halaman yang telah berubah menjadi sebuah
daerah yang teramat asing itu terdapat. Dua menara
yang satu berwarna putih berkilauan yang lainnya
berwarna hitam pekat.
Di sanalah menunggu Pendekar Lugu, Raja Ko-
dok, Puspita. Dan juga para Utusan Akherat. Menung-
gu kabar yang selama ini mereka harap kedatangannya
dengan perasaan takut, gembira, juga cemas. Tidak
lama kemudian muncul Suro Blondo bersama harta-
wan Abdi Banda yang sudah dibuat tidak berkutik.
Melihat kejadian yang serba aneh ini si pemuda ter-
cengang. "Weleh-weleh... orang-orang, kita berada dima-
na sekarang" Apakah kita sudah mati. Apakah kita be-
rada di alam baka" Wah... bagaimana ini aku belum
bertobat, belum juga kawin. Malaikat, Kat... kita bera-da dimana?" tanya si
konyol, saking bingungnya pemuda itu tidak henti-hentinya menggaruk kepala.
Pendekar Lugu menyahuti. "Saudaraku, kini
sudah saatnya Anak Langit berkenan memberi kabar
kepada kita. Memberi petunjuk, agar setiap jiwa dapat
merenunginya. Kalian lihatlah, Lima Utusan Akherat
sudah sadar dengan sendirinya atas kehendak Tuhan.
Lihat ke langit!"
Suro memandang ke langit. Tapi tidak ada ke-
mampuan bagi matanya untuk menentang cahaya pu-
tih berpedar-pedar itu.
"Itukah Anak Langit?"
"Ya...!" Malaikat Penderitaan menyahuti.
Murid Malaikat Berambut Api baru saja hendak
mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja cahaya putih ber-
gerak turun lebih rendah lagi. Lalu terdengar suara
guntur menggelegar. Cahaya tadi mengalami peruba-
han yang sangat aneh dan membentuk ujud seperti
seorang manusia biasa. Tapi tingginya tidak terkirakan bahkan menjulang tinggi
ke langit. Kedua kaki orang
ini tidak menyentuh tanah, melainkan mengambang
menakjubkan. Ia memakai pakaian serba putih. Tela-
pak kakinya besar dan terompanya pun sangat besar
sekali. Ketika ia mengulurkan tangannya ke arah Ma-
laikat Penderitaan. Maka kitab berisi Surat Kedamaian Dunia melesat dari balik
pakaian si kakek berpindah
ke tangannya. Kitab surat itu disentuhkannya ke dada.
Bibir Anak Langit tersenyum betapa senyumannya
penuh kedamaian. Entah mengapa para tokoh sesat
sebaliknya malah menjadi sangat ketakutan sekali.
*** 9 Anak Langit mengangkat tangannya. Semua
orang yang berada di situ jatuh terduduk. Sekujur tu-
buh mereka menjadi lemas, penglihatan menjadi gon-
cang dan hati pun ikut terguncang.
"Aku adalah makhluk yang masih ciptaan Gusti
Allah juga. Aku datang dari alam gaib, alam yang pe-
nuh dengan kebaikan dan lagi dilimpahi rahmat! Ka-
lian tidak mampu menembus alam itu dengan pengli-
hatan kalian. Tapi ketahuilah, bahwa setiap gerak-
gerik, langkah dan perbuatan manusia ada yang men-
gawasinya."
"Anak Langit" Bolehkah aku tahu siapa diri-
mu?" tanya Pendekar Blo'on serius.
"Aku adalah makhluk yang tidak pernah ber-
paling dari Tuhanku walau barang sekejap. Hanya itu
saja yang perlu kau ketahui, hai anak manusia! Seka-
rang aku ingin mengatakan sesuatu yang juga pernah
dikatakan pada orang-orang sebelum kalian. Ingat! Hi-
dup manusia itu sifatnya hanya sebentar saja. Waktu
hidup manusia di dunia sangat sempit sekali bagi
orang-orang yang mau berpikir. Maka beruntunglah
orang-orang yang berbuat kebaikan di bumi ini, saling mengasihi dan berlomba-
lomba dalam mengerjakan
kebaikan. Mereka tidak pernah lalai mengerjakan ke-
wajiban apa yang telah menjadi kewajibannya. Setiap
manusia kelak akan mempertanggung-jawabkan per-
buatannya di hari pembalasan. Hari dimana yang se-
tiap jiwa tidak punya penolong. Ayah tidak dapat me-
wakili anaknya, anak tidak dapat mewakili ibunya. Ka-
rena semua orang sibuk dengan urusan masing-
masing. Ini adalah contoh yang sangat kecil. Nah sekarang aku ingin bertanya


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada Pendekar Lugu. Apakah
yang kau banggakan dalam hidupmu, hai anak manu-
sia?" Semua mata yang hadir kini tertuju pada Wahyu Sakaning Gusti. Pemuda itu
tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Tangisnya begitu memilukan, sehingga baik
golongan lurus maupun golongan sesat ikut-ikutan
menangis. "Sesungguhnya tidak ada yang aku banggakan
dalam hidupku. Aku adalah seorang pengelana yang
menunggu datangnya ajal tiba. Aku tidak memiliki
apa-apa, terkecuali kebaikan dan mengajak semua
orang berbuat baik dan berbakti pada Tuhannya.
Sungguh Ridhonya sangat ku dambakan, melebihi du-
nia dan seisinya..." kata Pendekar Lugu di tengah-tengah sedu sedannya.
"Pendekar Lugu, aku melihat sebuah kese-
suaian antara ucapan dan isi hatimu. Gusti Allah Pen-
cipta seluruh makhluk meridhoimu. Wahai jiwa yang
tenang. Jiwa yang tidak pernah marah, tidak dengki,
tidak iri, tidak sombong, tidak takabur dan jiwa yang tidak pernah menyakiti
sesama. Teruskanlah lang-kahmu dalam keteguhan yang tidak pernah berpaling
dari Tuhanmu. Kelak kau akan mendapatkan kebaha-
giaan yang tidak terhingga dari Tuhanmu." kata Anak Langit disertai senyum.
Raja Kodok yang berada di samping Puspita
tersentak kaget. Inilah orang yang aku cari. Pikirnya.
Ia ingin mengatakan keinginannya untuk menjadi mu-
rid Pendekar Lugu. Namun mulutnya seperti terkunci.
Anak Langit beralih pada Pendekar Blo'on. Lalu ada
senyum menghias di bibirnya.
"Suro Blondo bocah yang terlahir pada malam
satu Asyuro. Bagimu telah banyak diberi kelebihan.
Antara lain dibalik ketololanmu tersimpan kecerdikan.
Teruskanlah usahamu dalam menegakkan kebenaran:
Satu sifat jelekmu terlalu mata keranjang. Kurangi dan hilangkanlah itu. Sebab
matamu adalah kemaksiatan,
telingamu, otakmu, hatimu, dan juga tangan serta ka-
kimu. Usahamu masih jauh dari sempurna, langkah-
mu masih panjang. Berusahalah memperbaiki diri,
jangan takabur dan sombong. Nah sekarang apa
usulmu?" Suro seka keningnya yang bermandikan keringat, lalu garuk-garuk kepala
"Anu... aku berada di tengah jalan membin-
gungkan. Jika aku tidak membunuh ya aku yang ter-
bunuh. Bagaimana ini, jika aku mati, aku ini masuk
neraka atau sorga...?"
"Untuk menegakkan sebuah kebenaran, terka-
dang kau harus pergunakan senjata. Menurut catatan,
kebaikan dan kesalahanmu masih kacau. Untuk itu
perbanyaklah membenahi diri, jangan suka iseng. Se-
moga Gusti Allah memberikan yang terbaik di sisimu.
Dia yang menentukan kau berada dimana sesuai amal
dan kebaikanmu!"
"Tap...!"
"Berjumpa denganku waktunya singkat sekali.
Waktumu habis, sekarang giliran Raja Kodok!" kata Anak Langit. Raja Kodok, dalam
ketakutannya langsung tunjuk tangan.
"Anak manusia, kulihat hatimu penuh dendam.
Dendam dan amarah pada masa lalu yang sesungguh-
nya sebuah kenyataan. Jangan sesali diri dan kea-
daanmu. Jangan pula kau sesali mengapa kau terlahir
ke dunia ini. Semua itu sudah digariskan oleh Tuhan
padamu. Tidak usah berkeluh kesah lagi. Tidak perlu
meratapi nasib, gantilah kemarahanmu dengan sabar,
ganti dendammu dengan sifat welas asih. Jangan kau
kutuki dirimu sendiri, karena hal itu hanya akan
membuat Gusti Allah marah. Perjalanan hidupmu ma-
sih panjang. Sampai suatu ketika nanti ajal pasti da-
tang menjemputmu. Belajarlah lebih banyak pada
Wahyu Sakaning Gusti. Sebab ia adalah sebaik-
baiknya manusia yang patut kau ikuti. Lalu sekarang
apa usulmu?" tanya Anak Langit.
"Rasanya setelah mendengar pernyataanmu ti-
dak ada lagi yang aku usulkan. Kerisauanku selama
ini telah terjawab. Wajahku begini buruk, aku ingin
mengimbangi keburukanku dengan kebaikan. Dulu
aku begitu bernafsu untuk membalas dendam pada
hartawan itu. Tetapi sekarang terserah bagaimana ke-
putusanmu. Karena aku tidak punya hak lagi atas jiwa
orang lain!"
"Hartawan itu sudah berada dalam ketentuan
Tuhan. Jangan kau risaukan. Nah bagaimana dengan
kau Malaikat Penderitaan?" Si Kakek tiba-tiba menjerit. Tangisnya meledak, ia
bersujud sedangkan seku-
jur tubuhnya terguncang keras.
"Anak Langit, makhluk suci dalam kebenaran
yang penuh rahmat tidak pernah ingkar. Hidup ini
adalah sebuah penantian yang sangat panjang. Terka-
dang aku merasa lelah menjalaninya. Aku merasa hi-
dup ini adalah ujian dan cobaan demi cobaan. Aku
menangis di tempat yang sepi melihat tingkah laku
manusia. Aku melihat kecelakaan besar dari apa yang
mereka buat sendiri. Aku melihat kekikiran manusia
apabila dia berpunya. Aku mendengar rengekan mere-
ka bila dirinya ditimpa kesusahan. Kalau boleh aku
meminta, bukalah pintu hati seluruh penghuni bumi
ini untuk menuju ke jalan kebaikan. Jadikanlah mere-
ka saling kasih mengasihi antara sesamanya." pinta si kakek sambil tersedu-sedu.
"Malaikat Penderitaan, Gusti Allah Maha Tahu,
Ia memberi petunjuk pada orang-orang yang dikehen-
dakinya, dan menyesatkan orang-orang yang dikehen-
dakinya pula. Barang siapa yang hatinya condong pada
segala macam kepentingan dunia, ia adalah budak
nafsu dan pengabdi setan. Jangan hal-hal semacam ini
membuat hatimu gelisah dan sedih. Kelak setiap orang
akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya.
Lalu apa pertanyaan yang lain?" Malaikat Penderitaan menggelengkan kepala, lalu
menangis lagi dan terus
menangis. "Anak manusia yang bernama Puspita Sari. Kau
punya tujuan ingin membalas dendam seperti Raja
Kodok. Abdi Banda memang termasuk manusia yang
melampaui batas. Kau tidak perlu melakukannya da-
lam hari yang berbahagia ini. Karena kalian akan sa-
ma-sama menyaksikan apa yang bakal terjadi pada di-
rinya. Kau termasuk beruntung, dididik oleh guru yang sesat, tapi kau menemukan
jalan terbaik. Untuk masa
yang akan datang, jangan lagi kau menyamar sebagai
laki-laki. Sebab Tuhan marah melihat perempuan ber-
prilaku seperti laki-laki dan laki-laki berprilaku seperti perempuan. Nah
sekarang apa katamu?"
"Tidak ada lagi yang ingin kutanyakan. Semua-
nya sudah sangat jelas!" sahut Puspita dengan kepala tertunduk. Setelah itu
perhatian Anak Langit beralih
pada Lima Utusan Akherat baik yang masih hidup
maupun yang sudah menjadi mayat.
"Kalian datang dari tempat-tempat yang sangat
jauh. Kalian menanti dalam waktu yang cukup lama
setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang
sekali. Sebelum aku bicara terakhir kali pada tokoh-
tokoh yang membuat keonaran di muka bumi ini. Tiba-
lah bagiku untuk membuka isi Surat Kedamaian Du-
nia." kata Anak Langit. Surat itu lalu diambilnya dari kitab tipis sebagai
tempat penyimpanannya selama ini.
Begitu surat dibuka, maka terpancarlah cahaya putih
yang sangat terang benderang. Ada pun isi Surat Ke-
damaian Dunia seperti ini....
Anak manusia terlahir ke dunia membawa dua
sifat Sifat yang baik dan yang buruk
Terserah manusia itu sifat yang mana yang
akan disuburkannya
Sesungguhnya nafsu dan setan saling berdam-
pingan, Sedangkan hati berdekatan dengan kalbu sifat
luhur. Antara nafsu dan keluhuran budi tidaklah ber-
jauhan Terserah manusia, mana yang mau diikuti
Jika keluhuran budi, berarti manusia telah me-
nempuh jalan yang lurus lagi baik
Jika nafsu yang menjadi pegangannya
Maka ia akan tersesat jauh dan menjadi pengi-
kut setan. Dunia dan seisinya ini sesungguhnya tempat
segala kebusukan, kepalsuan, sandiwara dan
tidak ada apa-apanya.
Ada pun yang lebih baik dari segala-galanya
adalah disisi Zat yang menciptakan manusia.
Maka patuhilah perintahNya dan tinggalkan
yang dilarangNya.
Sampai disini Anak Langit menghentikan pem-
bacaannya. Ia memperhatikan orang-orang di sekeli-
lingnya. Wajah-wajah yang tertunduk, tidak punya
daya dan kekuatan apa pun. Mereka tidak mampu bi-
cara, tidak dapat menunjukkan keangkuhannya. Anak
Langit kemudian kembali pada surat putih yang ber-
pedar-pedar memancarkan cahaya.
Isi penting surat ini untuk diketahui
Bahwa diantara seratus rahmat Gusti Allah
Cuma satu yang diturunkan di atas dunia ini
Satu rahmat inilah yang dibagi-bagi pada, se-
luruh makhluk yang hidup bertebaran di mu-
ka bumi. Sehingga terlihat nyata antara serigala dengan
anaknya saling mengasihi.
Sembilan puluh sembilan rahmat tertahan di
langit untuk kepentingan seluruh manusia ke-
lak. Hal yang sedemikian ini terdapat dalam perka-
taanNya sejak manusia pertama diciptakan di
permukaan bumi ini.
Anak Langit selesai sudah membaca Surat Ke-
damaian Dunia yang menjadi rebutan itu.
Ia melipat surat itu kembali dan memasukkan-
nya ke dalam kitab tipis tempat penyimpanan.
"Dengarlah kalian semuanya. Aku tegaskan pa-
da kalian untuk saling hormat menghormati, saling
welas asih, saling mengajak untuk berbuat kebaikan.
Jangan pula saling menyakiti sesamanya, jangan sal-
ing hasut, saling hina, saling dengki, iri, tamak, saling membunuh. Jangan pula
durhaka pula pada Zat yang
menciptakanmu, jangan durhaka pada orang tua, isteri
jangan durhaka pada suami, atau yang muda durhaka
pada yang tua. Jangan kalian tunggu jasad sampai
terbujur baru ingat berbuat kebaikan. Hidup ini singkat, waktu sangat berguna.
Aku juga adalah makhluk
yang diciptakanNya. Sama sekali aku tidak berkotbah
pada kalian. Sebaik-baiknya manusia adalah yang
menganggap dirinya bodoh dari pada orang bodoh
mengaku pintar. Seburuk-buruknya manusia adalah
yang menganggap dirinya paling benar." kata Anak Langit. "Makhluk yang tercipta
dari cahaya itu rupanya menyindirku!" pikir Pendekar Blo'on sambil seka air
matanya. "Para Lima Utusan Akherat. Kalian semua
sudah mendengar isi Surat Kedamaian Dunia. Meski-
pun kawan-kawan kalian sudah tiada, tapi sekarang
ini arwah-arwah mereka juga hadir di sini ikut men-
dengarkan apa yang aku kabarkan pada kalian. Sam-
paikanlah pada guru kalian, masing-masing setelah
kembali ke asal kalian kelak, tanpa ada yang kalian
kurangi atau tambahi dari apa yang kalian dengar hari ini!" "Kami semua akan
menyampaikan berita gembira ini. Tidak dapat kami lukiskan betapa gembiranya
hati kami bahwa sesungguhnya wangsit yang diterima
oleh guru kami adalah sebuah kenyataan!" kata Dunga mewakili kawan-kawannya.
"Sekarang tibalah giliran bagi para tokoh sesat."
desah Anak Langit. Wajahnya yang penuh kearifan dan
cinta kasih ini tiba-tiba saja berubah bengis. "Anak manusia yang bernama Abdi
Banda" Menurut penglihatan dan dari catatan yang tidak dapat dibantah. Se-
panjang usiamu hanya kau pergunakan untuk me-
numpuk harta yang tidak berguna. Kau mendapatkan-
nya dari gelimang kemaksiatan dan kau pergunakan
untuk kemaksiatan pula. Betapa celakanya kau hidup
di dunia, hidup hampir enam puluh tahun tidak sedi-
kit pun kulihat kebaikanmu. Tempat, yang paling kek-
al bagimu adalah neraka Jahanam. Nah sekarang sen-
tuhlah dua menara itu, Yang putih adalah menara ke-
beruntungan bagi orang-orang yang berbuat baik. Se-
dangkan yang hitam adalah seburuk-buruknya mena-
ra karena kejahatan. Cepat lakukan...!!" perintah Anak Langit. Hartawan Abdi
Banda terkesima, ia jelas tidak mau melakukannya. Karena ia tahu pasti apa yang
bakal terjadi padanya. Tapi sungguh celaka kedua ka-
kinya bergerak dengan sendirinya tanpa mampu dice-
gah. Wajah hartawan itu sepucat kain kapan, tubuh-
nya menggigil. Dan saat itu ia benar-benar memaki
dan menyumpahi kakinya karena terus berjalan ke
arah menara tanpa dapat dicegah. Bukan ke menara
putih, tapi ke menara hitam.
"Duhai celakalah aku...!" jerit hartawan Abdi Banda ketika tangannya melekat
pada menara yang
bentuknya empat persegi, panjang menjulang ke langit.
Sang hartawan menjerit tubuhnya terbakar, pada saat
itu ia melihat seluruh hartanya berdatangan ke arah-
nya dan berubah menjadi api yang membakar dirinya.
Maka tewaslah hartawan Abdi Banda. Yang lain-
lainnya terperangah. Tokoh-tokoh golongan lurus me-
nangis tersedu-sedu.
"Jangan kalian heran, ajal hartawan itu me-
mang sudah sampai hari ini." ujar Anak Langit ditujukan pada tokoh-tokoh
golongan lurus. "Nah sekarang tiba pula giliran anak manusia yang bernama Arung
Garda dan Raja Tega. Sepanjang hidup kalian hampir
tidak pernah berbuat kebaikan. Kalian menghilangkan
jiwa-jiwa orang lain yang sesungguhnya milik Gusti Allah. Pilihlah salah satu
dari menara itu. Jika memang kebaikan kalian banyak tentu kalian akan memilih


Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menara kebaikan, menara putih. Hari ini kalian tidak
akan bisa bicara!"
Baik Raja Tega maupun Arung Garda menangis
keras, tangisan itu berubah menjadi lolongan mengeri-
kan mendirikan bulu roma. Maka tanpa dapat diken-
dalikan lagi sesuai kehendak hati dan perintah otak,
kaki mereka pun melangkah. Tapi langkah mereka bu-
kan menuju ke menara putih, melainkan menuju ke
menara hitam. "Ya Tuhan, beri aku tangguh untuk menghada-
pi siksaan ini. Aku ingin bertobat!" rintih hati Arung Garda dan Raja Tega.
Dalam pada itu terdengarlah suara Anak Lan-
git. "Sungguh taubat tidak akan berguna bila ajal sudah di tenggorokan. Tidak
ada yang dapat menghenti-
kan dan menangguhkan walau barang sedetik!"
Tangan Arung Garda dan Raja Tega terulur, be-
gitu menyentuh, maka menggelegarlah suara petir
menghantam tubuh mereka. Jeritan terputus. Tubuh
mereka cerai berai menjadi serpihan daging yang han-
gus berbau busuk bukan kepalang. Lalim Durjana dan
Pertapa Seribu Abad terkesima, bagaimana pun Raja
Tega telah kehilangan kedua tangan sebelah kaki. Da-
lam keadaan ia sendiri tidak punya kuasa untuk berdi-
ri. Namun pada waktu mendengar perintah Anak Lan-
git ia langsung berdiri, bahkan sisa tangannya yang
buntung menyentuh menara hitam tersebut.
"Sekarang adalah bagian Lalim Durjana dan
Pertapa Seribu Abad. Ketahuilah, selama ini kalian telah bersekutu dengan Sang
Maha Sesat. Di sini dalam
pertemuan ini makhluk terlaknat itu memang belum
terima ganjaran. Ganjaran baru diterimanya setelah
bumi dan langit tergulung, gunung-gunung dihancur-
kan dan manusia beterbangan tanpa guna. Dia adalah
makhluk yang durhaka pada Zat yang menciptakan-
nya. Kau Lalim Durjana selama hidupmu terlalu men-
dewa-dewakan kekuasaan, sedangkan Pertapa Seribu
Abad selain memakan daging sesamanya, juga penuh
kebiadapan. Sekarang bangkitlah, kalian punya hak
untuk menghampiri menara manapun yang kalian su-
kai. Sama seperti yang lainnya, sekarang pula ajal kalian!" "Apakah ajalku tidak
dapat ditangguhkan?"
"Pertapa Seribu Abad, aku tidak punya kuasa
apa-apa untuk memberi tangguh kematianmu. Semua
ini adalah ketetapan Tuhan yang tidak dapat dirobah.
Sekarang jalan...!!" perintah Anak Langit.
Secara aneh Pertapa Seribu Abad yang lumpuh
itu berdiri, Lalim Durjana juga ikut berdiri. Lalu dengan menundukkan kepala
mereka berjalan ke arah
menara putih. Tapi sungguh aneh, kaki mereka mem-
belok ke menara yang hitam. Sungguh pun mereka
memaksakannya untuk menuju ke menara yang putih,
tetap saja mereka menuju ke menara yang hitam. Tan-
gan mereka pun terulur dan menggapai.
"Bumm!"
"Aaaa...!"
Menjeritlah kedua tokoh ini ketika tubuh mere-
ka tersengat cahaya hitam yang keluar dari menara
itu. Dua-duanya terpelanting, lalu roboh dalam kea-
daan hangus, dada pecah dan isi kepala meleleh.
"Itulah balasan bagi orang-orang yang lalai dan
melampaui batas. Sepeninggalku ini, akan timbul lagi
kesesatan dan angkara murka di bumi ini...! Teruskan-
lah sebar kebaikan di muka bumi, musuh-musuh ka-
lian akan semakin tangguh, bahkan menyaru seperti
kalian. Kitab berisi surat ini akan kubawa. Nah sela-
mat tinggal...!" kata Anak Langit. Ketika Anak Langit berubah ujudnya menjadi
cahaya, maka cahaya itu
kemudian melesat ke angkasa. Suasana di sekitarnya
berubah sebagaimana sediakala. Dua menara lenyap,
hamparan putih juga hilang. Yang terlihat hanya
mayat-mayat para tokoh sesat yang bergelimpangan
dalam keadaan menyedihkan.
Malaikat Penderitaan juga menghilang, Pende-
kar Lugu dan Raja Kodok telah pergi tanpa sepengeta-
huan Suro Blondo. Menyusul sisa-sisa Lima Utusan
Akherat. Yang tertinggal hanya Puspita Sari dan Patih Luragung, kakek buta itu
menangisi diri sendiri.
"Aku tidak diadili, tapi sisa-sisa hidupku dalam kegelapan seperti ini. Oh,
sungguh merupakan penderitaan yang sangat pedih melebihi tertusuk seribu pe-
dang!" rintih sang Patih.
"Puspita, lebih baik kita tinggalkan orang buta
maling ini. Aku takut dia iri melihat kita bermesra-
mesraan" kata Pendekar Blo'on.
"Pendekar geblek, contoh mengerikan saja be-
lum lama terjadi. Kini kau berani pegang-pegang tan-
ganku!" dengus Puspita Sari.
"Walah, aku tidak pernah kesusu (Tergesa-gesa)
kok jika memegangmu! Paling yang wajar-wajar saja
tapi asyiiik...!"
"Orang sinting!" cibir si gadis dengan wajah me-rona merah.
Suro tergelak-gelak, lalu tawanya menghilang di
kejauhan. Puspita pun seakan tidak rela kehilangan
sehingga ia mengejar. Angin dingin berhembus. Kera-
jaan Ujung Dunia berubah menjadi sepi. Hanya isak
tangis Patih Luragung sesekali terdengar dalam penye-
salan. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Raja Pedang 2 Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Sukma Pedang 1
^