Pencarian

Prahara Di Laut Selatan 2

Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan Bagian 2


tiba saja keduanya secara bersamaan menubruk tu-
buh Nyai Prodo yang dalam pandangan mereka telah
berubah menjadi wanita yang cantik jelita.
Nyai Prodo terkekeh kegelian.
Kedua pemuda itu saling berebut untuk meng-
gumuli yang pertama. Dan ini membuat Nyai Prodo
makin keenakan.
Tak lama kemudian di kamar itu pun tercium
hawa mesum yang mendebarkan. Dan sekali-kali ter-
dengar suara kekehan Nyai Prodo diiringi dengan den-
gusan kedua pemuda itu.
Dan tak lama kemudian kedua pemuda itu pun
tergolek lemah tak berdaya dengan mata yang terpe-
jam. Menikmati dan merasakan apa yang telah mereka
alami barusan tadi.
Betapa menggetarkan.
Betapa mengasyikkan.
Membuat seluruh urat darah berpacu dengan ce-
pat. Nyai Prodo perlahan-lahan bangkit mendekati
kedua pemuda itu.
Dia terkekeh. Dan secara tiba-tiba tangannya
menotok urat kaku di leher kedua pemuda itu. Yang
serentak membuka matanya.
Dalam pandangan mereka kini terlihat kembali
wajah asli Nyai Prodo.
Mereka jadi kaget.
Kemana gadis itu"
Mengapa muncul nenek peot ini lagi"
"Hehehe... jangan kaget... darah kalian dapat
menambah kekuatan ilmu Pemusnah Jiwa yang kumi-
liki.... hehehe...."
Dan tiba-tiba saja Nyai Prodo menciumi leher
pemuda yang satu. Buas. Dan tiba-tiba dia menggigit
leher itu. Terdengar pekikan yang panjang dari pemuda
yang tak bisa berontak karena seluruh tubuhnya dira-
sakan kaku. Terdengar bunyi berkecipak di mulut Nyai Prodo.
Darah dalam tubuh pemuda itu telah disedotnya hing-
ga kering. Lalu dia terkekeh sambil mengelap mulut-
nya yang berlepotan darah.
Pemuda yang satu lagi menjadi ngeri melihat pe-
mandangan yang baru saja terjadi di depan matanya.
Dia berusaha untuk memberontak, namun totokan
Nyai Prodo seakan mematikan seluruh tubuhnya.
Lebih ngeri lagi ketika Nyai Prodo berpaling pa-
danya. "Hehehe... kau pun akan merasakan kenikmatan
itu, Manis...."
"Jangan... jangan, Nyai... ampuni aku...." desis pemuda itu ketakutan.
"Hehehe... darahmu begitu segar. Begitu nikmat.
Hehehe...."
"Ampuni aku, Nyai... ampuni aku... akan kupe-
nuhi semua permintaanmu...."
Nyai Prodo terkekeh.
"Hehehe... benarkah kau akan melakukannya
dan memenuhi semua permintaanku?"
"Iya, iya, Nyai... ampuni aku... ampuni aku...
Nyai, ampuni aku...."
"Hehehe... bila kau mau berjanji untuk memenu-
hi semua permintaanku, maka aku akan kuampuni...."
"Baik, baik, Nyai... ampuni aku...."
"Kau belum mengatakan mau memenuhi semua
permintaanku?"
"Ya, ya... aku akan memenuhi semua permin-
taanmu, Nyai...."
"Bagus...."
Wajah pemuda itu sedikit lega. "Kau benar mau
mengampuniku, Nyai...."
"Ya, karena kau telah berjanji seperti itu...."
"Ya, ya... saya berjanji Nyai... saya berjanji...." ka-ta pemuda itu dengan
sungguh-sungguh.
"Baik, aku akan mengampunimu, Anak muda...."
kata Nyai Prodo sambil tersenyum. Entah senyum apa
yang tersirat sesungguhnya itu.
Wajah pemuda itu semakin lega. Dia mendesah.
Ah... betapa mengerikannya bila aku harus mengalami
hal yang sama seperti Manto, desisnya dalam hati.
Tiba-tiba dia melihat wajah Nyai Prodo semakin
dekat dengan tubuhnya.
"Oh, apa... apa, Nyai...."
"Aku ingin melihat apakah kau benar-benar mau
membuktikan ucapanmu itu...."
Pemuda itu menelan ludahnya.
"Ya, ya... Nyai... aku akan membuktikan...."
"Benar kau akan membuktikannya?" kata Nyai
Prodo dengan tersenyum.
"Ya, ya... aku akan membuktikannya, Nyai... Per-
cayalah...."
"Bagus! Aku hendak meminta darahmu...."
"Apa?" sepasang mata itu terbelalak. Mulutnya sampai terbuka.
Namun pemuda itu tak bisa berkata-kata lagi se-
lain menjerit panjang ketika gigi-gigi Nyai Prodo meng-
hunjam di lehernya.
Menyedot darahnya.
"AAAAAKKKKHHHHHH!"
*** 7 Dua ekor kuda itu semakin mendekati suara de-
buran ombak. Ambarwati memacu kudanya kencang-
kencang. Dia sudah tidak sabar untuk melihat ombak
di mana dia dibesarkan di tempat ini.
"Ayo, cepat, Kakang!" serunya pada suaminya.
Wajahnya gembira bukan main. Dia seolah telah men-
cium hawa angin laut yang segar.
Pranata segera menyusul dengan menghentakkan
tali kekang kudanya. Mereka memang baru tiba di
Laut Selatan. Pranata masih menunggu kedatangan
Jawinto lagi. Karena dia yakin laki-laki itu akan datang lagi dengan teman-
temannya. Pranata jadi ingin mengetahui siapa sebenarnya orang-orang itu. Dan
siapa sebenarnya pemimpin Gerombolan Orang-orang Bengis
itu. Tetapi setelah lama ditunggu, ternyata tak ada
seorang pun yang muncul kembali. Lalu dia pun sege-
ra mengajak istrinya untuk berangkat menuju Laut Se-
latan. Ambarwati menghentikan kudanya di tepi pantai.
Lalu dia melompat turun dan segera berlari ke laut.
Dibasahinya tubuhnya dengan air laut yang telah lama
dirindukannya. Telah lama dia ingin merasakan kem-
bali kesejukan angin dan air laut.
"Ke sini, Kakang!" serunya pada suaminya.
Pranata pun berlari, mendekati istrinya. Dengan
manja dan tawa yang gembira Ambarwati menyiram-
nyiramkan air laut ke tubuh suaminya.
"Hei, awas kamu, ya" Aku balas nanti!" kata Pranata Kumala dan mulai membalas.
Jadilah keduanya saling menyiramkan air mirip
bocah-bocah kecil yang gembira bermain air.
Saat ini keduanya berada di sebelah utara dari
Gerombolan Orang-orang Bengis berada. Hingga keda-
tangan mereka belum diketahui.
Kedua suami istri itu masih asyik bermain-main
dengan air laut.
Pranata melihat betapa bahagianya wajah is-
trinya. Ah, istrinya sudah begitu rindu sekali nampaknya dengan suasana Laut Selatan.
Dibiarkannya istrinya bergembira bermain air
laut. Setelah dirasakannya cukup dan dilihatnya ma-
tahari sudah beranjak untuk memasuki peraduannya,
Pranata pun berkata.
"Rayi... sebentar lagi malam akan datang. Tidak-
kah kita bermaksud untuk melihat rumah kita dulu?"
Ambarwati pun menghentikan bermain airnya
"Baik, Kakang...." katanya sambil mengikuti langkah suaminya yang naik ke
pantai. Sesampai di pantai, kembali dia melepas pandan-
gannya ke laut lepas itu. Ah, entah di mana air laut ini berada. Batasnya tak
pernah kelihatan.
Sedangkan Pranata yang sejak tadi memperhati-
kan sekelilingnya menjadi agak keheranan. Dia tak
melihat seorang nelayan pun berada di sana.
Bukankah sudah menjadi kebiasaan di sini, bila
sore datang mereka tengah bersiap-siap memper-
siapkan segala sesuatunya untuk mencari ikan" Dan
bila malam datang, mereka pun mulai memasang layar
untuk mendatangi laut lepas"
Tapi tak seorang pun berada di sini"
Mengapa" Dan ada apa"
Ambarwati yang sudah puas memperhatikan laut
lepas, menjadi keheranan begitu dia berpaling pada
suaminya, nampak suaminya tengah termangu.
"Ada apa, Kakang?"
Pranata tersenyum, memandang istrinya.
"Tidak apa-apa, Rayi?"
"Tetapi mengapa Kakang seperti tengah berpikir
sesuatu?" Pranata lagi-lagi tersenyum.
"Apakah kau tidak melihat keanehan di tempat
ini, Rayi?" tanyanya.
"Maksud, Kakang?" tanya Ambarwati heran setelah memperhatikan sekelilingnya.
"Apanya yang aneh?"
"Kau tidak memperhatikannya?"
"Aku tidak tahu, Kakang. Kasih tahulah padaku
apa yang menurutmu aneh?"
"Rayi... bukankah kebiasaan para nelayan di sini bila sore dan malam hari mereka
akan mencari ikan ke
laut?" kata Pranata pula.
"Memang itu kebiasaan mereka, Bukan" Lalu
apanya yang aneh, Kakang?"
"Kau tidak memperhatikannya, Rayi?"
"Maksud, Kakang?"
"Perhatikanlah sekali lagi."
Kembali Ambarwati menatap sekeliling pesisir
pantai. Dan pandangannya pun kembali menatap laut
lepas. Hei, ya, ya... dia baru tahu dan mengerti apa
yang membuat suaminya aneh. Ya, dia tidak melihat
seorang nelayan pun yang tengah bersiap-siap atau
pun yang sudah berlayar ke lautan mencari ikan.
Kembali dia berpaling pada suaminya.
"Ya, aku tahu, Kakang."
"Bukankah ini sesuatu yang aneh?"
"Lagipula... aku pun tidak melihat seorang pen-
duduk pun yang berkeliaran. Bukankah setiap sore
begini selalu banyak bocah-bocah kecil yang datang
dan ke luar untuk bermain?"
"Benar, Rayi...."
"Apakah telah terjadi sesuatu di sini, Kakang?"
"Aku pun tidak tahu."
"Apakah sebaiknya tidak kita selidiki dulu?"
"Boleh, Rayi. Tapi besok kita melakukannya. Se-
karang kita kembali ke rumah. Atau... kau ingin men-
jenguk makam ayahmu dulu sebelum malam semakin
datang?" "Ya, boleh, Kakang."
"Ayo, Rayi!"
Lalu keduanya pun segera menaiki kuda masing-
masing. Makam Jedangmoro atau pimpinan perampok
Gerombolan Golok Iblis berada tak jauh dari sana.
Saat hendak mendatangi makam ayahnya, tak te-
rasa Ambarwati menitikkan air mata. Bukan sedih ka-
rena ayahnya telah meninggal. Bukan sedih karena
ayahnya mati dalam keadaan sesat.
"Kenapa, Rayi?" tanya Pranata Kumala yang melihat wajah istrinya memerah dan
sepasang matanya
berkaca-kaca. "Ah, tidak, tidak... Kakang...." Ambarwati meng-geleng-geleng kepalanya.
"Katakanlah, Rayi... ada apa?"
"Aku... aku teringat ayah, Kakang...."
"Kenapa?"
"Aku amat menyayangi kematiannya...."
"Karena ayahmu mati di tanganku" Ah... maaf-
kan aku, Rayi... sebelumnya aku tidak tahu kalau pe-
mimpin perampok itu ayahmu...."
"Kakang!" Ambarwati menghentikan kudanya.
Menatap suaminya. "Mengapa kau berkata demikian, Kakang?"
"Aku tahu perasaanmu, Rayi...."
"Bukan itu maksudku, Kakang...."
"Jangan membohongi dirimu sendiri, Rayi...."
"Demi Gusti Allah, bukan itu maksudku...."
"Lalu apa, Rayi?"
"Aku amat menyesali kematiannya sebagai orang
sesat. Itu yang aku sesali, Kakang. Bukan karena ayah mati di tanganmu. Bukan,
bukan itu. Aku tidak pernah memikirkannya sama sekali...."
Pranata Kumala mendesah lega.
"Sebaiknya kita terus ke makam ayahmu, Rayi...
Aku pun ingin meminta maaf...."
Lalu kedua kuda itu kembali berpacu. Dari ke-
jauhan Ambarwati dan Pranata dapat melihat dua
orang penjaga membawa tombak berdiri di muka ta-
man pemakaman itu.
"Hei, sejak kapan pemakaman ini di jaga?" desis Ambarwati.
"Aku pun tidak tahu."
"Kakang..."
"Ya, Rayi?"
"Jangan-jangan perasaanku selama ini benar.
Aku selalu yakin kalau ada sesuatu yang terjadi di
Laut Selatan ini."
"Mungkin, Rayi. Sebaiknya kita datangi saja
orang-orang ini."
Pranata dan Ambarwati kembali menjalankan
kudanya. Lalu keduanya turun.


Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang yang menjaga membawa tombak itu
membentak. "Dilarang masuk ke sini!"
"Hei, apa-apaan kalian ini?" membentak Ambarwati. "Aku datang untuk menjenguk
makam ayahku!"
"Siapa kalian?"
"Aku Ambarwati... dan ini suamiku, Pranata Ku-
mala. Kami... hei, bukankah kau Pak Rejo?"
Laki-laki yang dipanggil Pak Rejo itu memicing-
kan matanya. Lalu terdengar desisannya. "Kau... Ambar... Ambarwati?"
"Iya, aku, Ambar... Pak. Aku Ambarwati... putra
dari mendiang Jedangmoro...."
"Oh, Nak Ambar... selamat datang kembali di
Laut Selatan," kata Pak Rejo lalu memberi isyarat pada pemuda yang nampak tegang
dengan tombak siap di-hunjamkan.
"Terima kasih, Pak Rejo," kata Ambarwati. Pak Rejo... katakan, apa yang tengah
terjadi di sini" Mengapa taman pemakaman ini di jaga?"
"Maafkan Bapak, Nak Ambar. Semua ini karena
orang-orang jahat itu...." kata Pak Rejo dengan nada sedih. "Apa maksud Bapak?"
"Mereka adalah Gerombolan Orang-orang Bengis,
yang dipimpin oleh seorang nenek yang amat kejam.
Kalau tidak salah dia bernama Nyai Prodo... dan bergelar Malaikat Penghisap
Darah...."
Kening Pranata Kumala berkerut. Sepertinya dia
pernah mendengar nama itu. Ya, dia teringat sekarang.
Jawinto dan Pragono pernah mengatakan hal itu.
Hmm... rupanya mereka telah membuat prahara di si-
ni. "Apa yang telah terjadi, Bapak?" tanya Ambarwati lagi. "Mereka begitu jahat.
Mereka menguasai beberapa desa yang terdapat di Laut Selatan. Dan mereka
menarik pajak yang amat menggigit. Bila ada pendu-
duk yang tidak membayar pajak, maka matilah sebagai
gantinya...."
"Pantas sejak tadi tak seorang penduduk pun
yang kulihat mencari ikan di laut?"
"Memang benar, Nak Ambar. Setiap hari Jumat
dan Sabtu, para penduduk dilarang untuk pergi men-
cari ikan."
"Kenapa?"
"Entahlah... aku sendiri tidak tahu...." sahut Pak Rejo sedih. "Nak Ambar...
kekejaman orang-orang itu amat luar biasa. Terutama pemimpin mereka yang
bernama Nyai Prodo. Setiap malam Sabtu dan malam
Minggu, ada beberapa pemuda yang diharuskan me-
nemaninya tidur. Dan keesokan paginya semuanya te-
lah mati dengan darah yang kering. Dia memang patut
bergelar Malaikat Penghisap Darah, Nak Ambar..."
"Lalu mengapa taman pemakaman ini dijaga,
Pak?" "Ini atas suruhan mereka. Tanpa izin dari orang-orang itu, tak seorang pun
yang kami perbolehkan un-
tuk masuk ke sini...."
"Mengapa?"
"Saya pun tidak tahu...."
"Pak Rejo..." berkata Pranata Kumala. "Bolehkah kami sejenak untuk menjenguk
makam orang tua ka-mi?" "Oh, silahkan, silahkan...."
Lalu sepasang suami istri muda itu pun mema-
suki tanah pemakaman. Keduanya bersimpuh dan
berdoa di makam Jedangmoro. Setelah itu keduanya
kembali lagi pada Pak Rejo.
"Kalian mau ke mana sekarang?" tanya laki-laki setengah baya itu.
"Kami hendak mendatangi rumah kami," sahut
Pranata. "Oh!" wajah Pak Rejo kelihatan pias.
"Kenapa, Pak Rejo?"
"Saranku... jangan kalian pergi ke sana."
"Kenapa?"
"Berarti kalian memasuki sarang orang-orang itu.
Rumah kalian tepat berada tak jauh dari bangunan
tempat orang-orang itu berada."
"Bangunan?"
"Ya, para penduduk desa telah disuruh dengan
paksa untuk membangun sebuah gedung tempat me-
reka tinggal."
"Kalau begitu... ceritakan pada kami bagaimana
keadaan di sana?"
Pak Rejo pun menceritakan segala sesuatunya
sejak orang-orang itu datang.
"Jadi kepala desa Ki Jibus pun tewas di tangan
orang-orang itu?"
"Ya."
"Berapa jumlah mereka, Pak Rejo?"
"Anak buahnya hanya tiga orang. Seharusnya li-
ma orang. Tetapi entah ke mana yang dua lagi."
"Berarti mereka hanya berempat?"
"Benar."
"Mengapa kalian tidak mencoba untuk melawan?"
"Itu sudah kami lakukan. Tetapi kami tidak ber-
daya menghadapi mereka. Malah rasanya hanya mem-
buang nyawa dengan percuma."
"Pak Rejo... bisakah malam ini kami menumpang
di rumahmu?" tanya Ambarwati.
"Oh, maaf, maaf... saya bukannya tidak mengi-
zinkan. Tetapi amat berbahaya bila mereka tahu ada
orang asing di sini...."
"Kami bukan orang asing, Pak Rejo..."
"Saya mengerti. Tapi bagi mereka, kalian adalah orang-orang asing...."
"Kalau begitu, terima kasih, Pak Rejo. Kami akan menginap untuk sementara di
bukit itu...."
"Hati-hati, Nak Ambar, Nak Pranata...."
"Kami permisi, Pak Rejo...."
Lalu keduanya kembali menaiki kuda masing-
masing. Berbalik, tidak jadi meneruskan perjalanan
menuju rumah mereka. Mereka mengambil jalan yang
telah mereka lalui tadi.
*** 8 Malam telah larut. Bulan sepotong, tertutup
awan. Nampak cuaca mendung. Sebentar lagi terlihat
akan segera turun hujan.
Dua sosok tubuh itu bergerak dengan cepat, ber-
lompatan mendekati bangunan besar itu. Mereka pun
bergerak cepat menotok para penjaga hingga terdiam
kaku. "Jangan dibunuh, Rayi... mereka hanyalah orang-orang suruhan yang dipaksa
oleh gerombolan orang-
orang jahat ini," berkata yang seorang.
"Ya, Kakang...." sahut yang seorang.
Keduanya tidak lain Pranata Kumala dan istrinya
Ambarwati. Setelah dua hari menginap di atas bukit,
keduanya pun segera bermaksud untuk menyelidiki
gerombolan itu. Karena mereka tidak tahan melihat
penderitaan rakyat.
Malam ini rencana itu mereka jalankan.
"Kita harus memasuki bangunan itu, Rayi."
"Tetapi temboknya terlalu tinggi, Kakang."
"Ya. Itu yang menyulitkan."
"Kakang..."
"Ya?"
"Itu ada bambu panjang. Bisa kita gunakan un-
tuk melompat tembok itu."
"Benar, Rayi. Kau berani melakukannya?"
"Aku berani, Kakang. Bersamamu apa pula yang
harus kutakutkan?"
Pranata tersenyum. Lalu mengambil sebatang
bambu panjang itu. Dia memberikannya kepada Am-
barwati. "Sebaiknya kau dulu. Berani?"
"Ya," sahut Ambarwati mantap.
Lalu dia mengambil ancang-ancang. Hup. Tanpa
bersuara sedikit pun dia telah berada di balik tembok itu. Pranata segera
menangkap bambu yang terlempar
itu. Kemudian dia sendiri pun berbuat yang sama.
Kini keduanya sudah berada di balik tembok itu.
Lalu mengendap ke balik rimbunnya bunga-bunga.
"Bukan main, bagus sekali bangunan itu, Rayi!"
desis Pranata. "Iya, Kakang... tetapi semua ini dibuat oleh tangan dan keringat para penduduk
secara paksa!" sahutan Ambarwati terdengar geram.
"Kita mendekati bangunan itu, Rayi...."
Keduanya pun berjingkat dengan menggunakan
ilmu meringankan tubuh mereka. Tak lama kemudian
keduanya pun sudah berada di dinding bangunan itu.
Merapat. Dan samar-samar telinga keduanya menangkap
suara-suara dari dalam.
"Kalian belum menemukan juga orang yang telah
membunuh teman kalian itu"!" terdengar suara berna-da geram dan terdengar
nyaring. Lalu di susul dengan suara pelan, "Maafkan ka-
mi, Nyai. Sampai saat ini kami belum menemukan-
nya." "Bodoh!"
"Kami belum tahu orangnya, Nyai...."
"Kalian bisa mencarinya, bukan" Nama sepasang
suami istri itu Pranata Kumala dan Ambarwati!"
"Iya, Nyai..."
"Apa, iya"!"
"Kami akan mencarinya kembali."
"Cepat! Aku tidak suka..." tiba-tiba Nyai Prodo menghentikan suaranya. Kepala
bergerak ke arah kiri.
Dia berseru, "Siapa di situ"!"
Pranata Kumala dan Ambarwati terkejut. Ternya-
ta ilmu pendengaran milik nenek itu begitu hebat.
"Lari, Rayi! Lari!" seru Pranata Kumala.
Keduanya pun berlari. Tetapi di hadapan mereka
kini telah berdiri empat sosok tubuh dengan pandan-
gan geram. Nyai Prodo mendengus.
"Hhh! Rupanya kucing-kucing liar!" dengusnya menggeram.
Pranata Kumala berusaha untuk tenang. Dia me-
lindungi istrinya karena dilihatnya tatapan tiga laki-laki di hadapannya begitu
buas dan nanar terhadap is-
trinya. "Hhh! Orang-orang jahat! Cepat kalian pergi dari Laut Selatan ini!"
"Hehehe... rupanya kau bisa membentak juga ru-
panya"!" bentak Nyai Prodo. "Bagaimana bila kami tidak mau pergi dari sini,
hah"!"
"Terpaksa kalian akan berurusan denganku"!"
balas Pranata tak mau kalah.
Membulatlah mata Nyai Prodo mendengar kata-
kata itu. "Tangkap mereka!" perintahnya.
Dan serentak tiga orang anak buahnya menyer-
bu. Pranata Kumala melayaninya dengan segera. Dia
berhadapan dengan Secopati dan Wiroprogo. Sedang-
kan Ambarwati menghadapi Pronomuro.
Seketika di halaman bangunan itu terjadi perke-
lahian yang hebat.
Jurus demi jurus pun berlangsung dengan cepat.
Pranata segera memadukan jurus-jurusnya. Ki-
jang Kumala, Tangan Bayangan dan Pukulan Sinar
Merah. Menghadapi Pukulan Sinar Merah ini Secopati
dan Wiroprogo menjadi kewalahan juga.
Sementara itu Ambarwati pun harus mengelua-
rkan segenap kemampuannya untuk menandingi dan
mengimbangi Pronomuro yang telah meloloskan golok-
nya. "Jangan dibunuh! Lumpuhkan keduanya! Aku
hendak memberi pelajaran pada mereka!" seru Nyai Prodo.
Tiba-tiba dia melompat karena Pukulan Sinar
Merah yang dilepaskan Pranata Kumala mengarah pa-
danya. "Bangsat!" makinya murka.
"Kau akan kubunuh, nenek Peot!"
"Tangkap mereka! Dan siksa!" geram Nyai Prodo.
Secopati dan Wiroprogo sebisanya mengeluarkan
segenap kemampuan mereka. Pukulan Sinar Merah
yang dilancarkan oleh Pranata Kumala yang membuat
mereka harus berhati-hati menghadapinya bila tidak
ingin tubuh mereka hangus terhantam sinar merah
itu. Menyadari kedua lawannya ngeri menghadapi
Pukulan Sinar Merahnya, Pranata pun terus menye-
rang dengan pukulan warisan dari gurunya, Ki Ageng
Jayasih. "Kalian mau lari ke mana, hah"!" ejeknya. "Bukankah kalian disuruh untuk
menangkap aku"!"
"Anjing buduk!" menggeram Secopati sambil meloloskan goloknya. Begitu pula
dengan Wiroprogo yang
juga meloloskan goloknya.
Dengan golok di tangan keduanya pun segera
menyerang dengan membabi buta.
Namun lagi-lagi keduanya tak berani mendekat
karena Pukulan Sinar Merah yang dilepaskan Pranata
Kumala siap untuk menghabisi mereka.
Sementara itu Ambarwati pun bergerak dengan
hebat dan cepat. Dia ternyata bisa mengimbangi per-
mainan golok Pronomuro.
Yang jadi menggeram karena marah.
"Bangsat! Kubunuh kau!"
"Buktikanlah bila kau mampu!" ejek Ambarwati yang semakin membuat Pronomuro
menjadi panas. Dan serangan-serangannya pun bertambah ce-
pat. Namun Ambarwati lagi-lagi bisa mengimbanginya.
Keduanya saling serang.
Keduanya saling balas.
Keduanya sama-sama menginginkan pertarungan
cepat selesai. Melihat tiga anak buahnya belum mampu juga
mengatasi semua itu, Nyai Prodo menggeram marah.
"Hahaha"! Cepat kalian selesaikan pertarungan itu.
Aku sudah bosan!"
Namun tiga orang anak buahnya itu pun harus
bekerja keras. Meskipun demikian belum pula mampu
untuk mengalahkan keduanya.
Lagi Nyai Prodo menggeram marah. Dan tiba-tiba


Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia bergerak ke arah Pranata Kumala dengan cepat.
Melihat dirinya diancam bahaya Pranata segera mele-
paskan Pukulan Sinar Merahnya.
Nyai Prodo menggeram seraya menghindar,
"Bangsat!"
"Mampuslah kau, Nenek jelek!" seru Pranata Kumala dan menghindari serbuan kedua
golok dari Seco-
pati dan Wiroprogo.
Dikatakan seperti itu, Nyai Prodo menjadi marah.
Dan dengan gerakan yang teramat aneh, dia berkele-
bat. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang Pranata.
Pranata segera berbalik dan melepaskan Pukulan
Sinar Merahnya, yang membuat Nyai Prodo urung un-
tuk segera menghantamkan pukulannya ke leher Pra-
nata Kumala. "Bangsat!" geramnya.
"Kau yang bangsat, Nenek! Kelakuanmu seperti
anjing yang kelaparan!"
"Anjing buduk!"
"Kau yang mirip anjing buduk!"
Dikatakan seperti itu membuat Nyai Prodo men-
jadi murka. Dia menyerang seraya membentak, "Me-
nyingkir kalian!"
Secopati dan Wiroprogo yang merasa tak mampu
untuk mengalahkan pemuda itu cepat-cepat menying-
kir. Kini Pranata pun harus menghadapi Nyai Prodo
yang menyerang dengan ganas. Menghadapi serangan-
serangan yang cepat itu membuat Pranata Kumala
menjadi kewalahan dan kebingungan. Entah jurus apa
yang digunakan oleh Nyai Prodo. Karena dalam pan-
dangannya Pranata melihat Nyai Prodo menjadi banyak
sekali. Tiba-tiba dia merasakan satu pukulan keras
mengenai dadanya.
"Des!"
Tubuhnya terhuyung.
Pranata berusaha untuk menguasai keseimban-
gannya. Dan setelah dia berdiri tegak kembali dia mem-
bentak, "Nenek peot! Kau menggunakan ilmu sihir!"
"Hehehe... perdulilah apa katamu. Nah, terimalah kekalahanmu ini!" seru Nyai
Prodo. Lalu dia menyerbu kembali dengan gerakan se-
perti tadi hebat dan cepat. Pranata menjadi kebingun-
gan. Dia melepaskan pukulan Sinar Merahnya dengan
asal saja. Pikirnya dia harus memusnahkan nenek itu.
Namun Nyai Prodo malah terbebas dari serangan
pukulan Sinar Merah. Tubuhnya berkelebat dengan
cepat. Ke sana ke mari.
Membingungkan Pranata Kumala.
Melihat dirinya sudah terkepung oleh Nyai Prodo,
Pranata berseru pada istrinya, "Rayi... lari, lari kau da-ri sini!"
Ambarwati pun melihat keadaan suaminya yang
nampak gawat. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena ha-
rus menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan
oleh Pronomuro.
"Tidak, Kakang..."
"Rayi! Lari, lari dari sini!"
"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu!"
"Rayi, pergi dari sini! Pergi kataku!" membentak Pranata Kumala.
Tak ada jalan lain bagi Ambarwati. Dia hanya
berpikir, bila mereka berdua ditawan, siapa yang akan bisa membebaskan suaminya
nanti. Berpikiran demikian, lalu dia pun segera nekat
untuk menerobos kepungan dari Pronomuro yang sea-
kan tidak memberi jalan padanya.
Tetapi saat itu pikiran Ambarwati sedang bin-
gung. Maka dia pun nekat menyabetkan pedangnya
dengan membabi buta.
Semula Pronomuro berhasil menangkis.
Namun lama kelamaan dia menjadi kewalahan
sendiri sehingga akhirnya dia memberi jalan bagi Am-
barwati. Sepintas memang seperti memberi jalan, ka-
rena Pronomuro menghindar begitu saja. Tetapi setelah Ambarwati berhasil lolos,
Pronomuro mengejar dengan
golok terhunus.
"Rayi!" seru Pranata Kumala yang melihat bahaya mengancam istrinya.
Dia pun tak perduli lagi dengan serangan-
serangan dari Nyai Prodo. Dia malah melepaskan Pu-
kulan Sinar Merahnya ke arah Pronomuro.
Sinar Merah itu tepat mengenai sasarannya.
"Akkhh!" Pronomuro terjengkang ke belakang dengan tubuh separuh hangus.
Dan bersamaan pula dengan itu, terdengar jeri-
tan Pranata Kumala. Tengkuknya dipukul oleh Nyai
Prodo hingga pemuda itu pingsan.
Ambarwati masih sempat melihat betapa sua-
minya dalam keadaan terdesak masih mencoba menye-
lamatkan dirinya. Dan dia juga melihat betapa puku-
lan tangan Nyai Prodo telah membuat pingsan sua-
minya. Sekilas ada perasaan untuk menolong suaminya.
Namun melihat serangan kembali datang dari Secopati
dan Wiroprogo yang mencoba menangkapnya, mem-
buatnya berpikir untuk melarikan diri.
"Kejar dia, jangan sampai lolos!" terdengar suara Nyai Prodo.
Secopati dan Wiroprogo pun mengejar. Namun
Ambarwati telah berhasil mencapai pintu gerbang ke
bangunan itu. Dua orang pemuda yang menjaga, di-
tamparnya hingga pingsan.
Lalu dia terus berlari menerobos pekatnya ma-
lam. Di tempat persembunyiannya, Ambarwati me-
nangis tersedu-sedu mengingat suaminya kini berada
di tangan orang-orang kejam itu.
"Kakang, Pranata...." sendatnya.
*** 9 Dua ekor kuda itu memasuki pesisir Laut Sela-
tan. Penunggangnya tak lain Madewa Gumilang dan is-
trinya Ratih Ningrum.
"Lho, mengapa sepi sekali, Kanda" Ke mana para
nelayan di sini?" tanya Ratih Ningrum yang melihat suasana amat sepi.
"Entahlah."
"Apakah kita tidak sebaiknya segera menuju ru-
mah Pranata Kumala dan istrinya, Kanda" Aku sudah
tidak sabar lagi untuk bertemu dengan mereka."
"Baik, Dinda...."
Sebelum keduanya menggerakkan kuda-kuda
mereka, tiba-tiba entah dari mana datangnya bermun-
culan sepuluh orang pemuda bersenjatakan tombak
mengurung mereka.
Madewa berpandangan dengan istrinya.
Lalu dia tersenyum arif dan bijaksana pada
orang-orang itu.
"Maaf... ada apa gerangan hingga kalian mengu-
rung jalan kami?"
Salah seorang membentak, "Ki Sanak... sebaik-
nya tinggalkan tempat ini!"
"Apa maksudmu yang sebenarnya?"
"Kami tidak ingin kalian berdua mati di sini!"
"Mengapa kami harus mati di sini!"
"Sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini"!"
seru orang itu lagi.
Madewa melihat kalau sepuluh pemuda yang
mengurung mereka tidak mempunyai niat jahat. Malah
mereka seperti hendak melindunginya dan istrinya
dengan mengusir mereka dari sini.
Hal ini membuatnya menjadi penasaran.
"Maafkan kami berdua, Saudara-saudara. Kami
datang untuk menjenguk putra dan anak menantu
kami...." "Siapa nama putra dan anak menantumu?"
"Mereka bernama Pranata Kumala dan Ambarwa-
ti...." "Mereka tidak ada di sini. Sudah lama mereka pergi dari sini!"
"Tunggu...." berseru salah seorang pemuda. Lalu dia berkata pada Madewa,
"Benarkah kalian sedang mencari orang yang bernama Pranata Kumala dan
Ambarwati?"
"Benar. Apakah kau tahu di mana mereka bera-
da?" tanya Madewa.
"Ya."
"Di mana?"
"Di atas bukit sana!" kata pemuda itu yang tak lain adalah teman jaga Pak Rejo
di taman pemakaman.
"Hei, mengapa mereka tinggal di sana" Bukankah
mereka mempunyai rumah di sini?"
"Maafkan, Orang tua... kami bukannya bermak-
sud jahat terhadap kau dan istrimu... Tetapi kami ti-
dak mau kalian berdua menjadi korban dari tangan
jahat orang-orang biadab itu."
"Apa maksudmu" O, ya. Namaku Madewa Gumi-
lang dan ini istriku Ratih Ningrum."
"Paman Madewa... di tempat ini telah berdiri bangunan atau markas yang diduduki
oleh orang-orang
jahat yang dipimpin oleh Nyai Prodo... atau Malaikat
Penghisap Darah. Kami bukannya tidak memperke-
nankan kalian untuk datang, sebelum orang-orang itu
melihat kedatangan kalian...."
"Baiklah... tapi katakan dulu mengapa putra dan
anak menantuku berada di atas bukit itu?"
"Karena rumah mereka tepat berada di dekat
bangunan atau markas orang-orang jahat itu."
"Terima kasih atas bantuan kalian. Kami permi-
si!" kata Madewa sambil memutar kudanya. Istrinya menyusul.
"Kita segera ke bukit itu, Kanda," kata Ratih Ningrum. "Baik, Dinda."
Lalu keduanya segera memacu kuda mereka me-
nuju bukit yang ditunjuk pemuda tadi.
Hati Ratih Ningrum mendadak cemas memikir-
kan nasib putra dan anak menantunya. Tetapi kalau
begitu, mereka benar berada di sini.
Perasaannya tidak salah.
*** Ambarwati tercekat mendengar derap langkah
kuda mendekati tempat kediamannya. Dia langsung
bersembunyi dan mengambil pedangnya.
"Di mana kira-kira mereka berada, Kanda?" terdengar suara itu.
"Aku pun tidak tahu. Sebaiknya kita cari saja,
Dinda," terdengar lagi sahutan itu.
Ambarwati memejamkan pendengarannya.
Tidak salahkah pendengarannya. Bukankah itu
suara ayah dan ibu mertuanya.
Setelah hati-hati mengintip dari tempat persem-
bunyiannya, dan yakin kedua orang itu ayah dan ibu
mertuanya, Ambarwati pun ke luar dari persembu-
nyiannya. "Ayah! Ibu!"
Keduanya menoleh. Dan melihat Ambarwati ter-
buru-buru mendekat. Ratih Ningrum merasa ada se-
suatu yang terjadi. Dia langsung melompat turun. Dan
benar saja anak menantunya itu menangis.
"Huhuhu... Ibu... Ibu...."
"Tenang, Ambar... tenanglah...." sahut Ratih Ningrum dengan suara keibuan. Dia
mengusap-usap ram-
but Ambarwati. "Ceritakan Ambar... apa yang telah terjadi...."
"Huhuhu... Kakang Pranata, Ibu... Kakang Prana-
ta.... huhuhu...."
"Hapus dulu air matamu dan hentikan tangismu.
Ceritakanlah dengan jelas pada ibu dan ayah...."
Ambarwati menghapus air matanya. Lalu dengan
tersendat dia pun bercerita apa yang telah terjadi.
Ratih Ningrum mencoba tersenyum walau dira-
sakan hatinya geram bukan main.
"Jadi suamimu berada dalam tangan mereka?"
"Benar, Ibu... aku sungguh cemas memikirkan
nasib Kakang Pranata...."
"Tenanglah, Ambar...." kata Ratih Ningrum. "Ibu lihat kedua matamu bengkak. Kau
kurang tidur, ya?"
Ambarwati menganggukkan kepalanya mirip
anak kecil. "Sebaiknya kau tidur saja dulu. Biar ayah dan
ibu yang akan mengurus semua...."
"Aku ikut, aku ikut! Aku ingin melihat Kakang
Pranata... Bu...."
Ratih Ningrum tersenyum. Merasa geli melihat
manjanya anak menantunya itu.
"Ya, Ibu dan ayah akan mengajakmu. Nah, seka-
rang kau lebih baik tidur saja...."
Ambarwati mengangguk. Lalu dia pun merebah-
kan tubuhnya di rumput yang telah dialasi daun-daun
pisang. Setelah anak menantunya pulas, Ratih Ningrum
berkata pada suaminya.
"Bagaimana, Kanda?"
"Secepatnya kita harus membebaskan Pranata
dan menumpas gerombolan itu."
"Ya," Ratih Ningrum mengangguk. "Aku geram sekali mendengar berita putraku di
tawan. Hhh! Akan
kubuat lumat bila kulihat putraku terluka!"
"Tenang, Dinda... kau sendiri yang tidak sabar
sekarang," kata Madewa tersenyum.
"Maafkan aku, Kanda...."
"Menurut mata batinku, aku melihat betapa
sengsaranya keadaan penduduk di pesisir Laut Selatan
ini. Dan betapa kejamnya orang-orang itu...."
"Kapan sebaiknya kita pergi, Kanda?"
"Besok pagi. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Kau tidak marah bila kukatakan?"
"Apa yang hendak kau katakan?"
"Biar aku yang pergi sendirian."
"Aku?"


Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jagalah anak Ambarwati. Kasihan, dia nampak-
nya mengalami goncangan jiwa. Bagaimana sedihnya
aku memikirkan apa yang dialami Ambarwati sebelum
kita datang. Mau ke mana dia mengadu dan membagi
perasaannya?"
"Tetapi lebih tega lagi bila kita membiarkannya di sini." "Bukan kita. Kau,
Dinda...."
"Tetapi aku harus ikut, Kanda... Aku sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan
Pranata Kumala...." kata Ratih Ningrum ngotot.
"Sudah kuduga."
"Kenapa?"
"Kau pasti akan berkata demikian. Kau tak ada
bedanya dengan Ambarwati, Rayi...." tersenyum Madewa. "Ah, betapa waktu masih
remaja kau pun seorang gadis yang keras kepala. Dan..."
"Dan apa?" tanya Ratih Ningrum penasaran ka-
rena suaminya menggantung kata-katanya dan terse-
nyum penuh arti. "Dan apa, Kanda?"
"Dan kau amat menyayangi suamimu ini, bu-
kan?" Ratih Ningrum tersenyum, tersipu. Dia jadi teringat akan album
nostalgianya dulu.
"Ah, dalam keadaan seperti ini, Kanda masih
mau bermesra-mesraan saja!" omelnya pura-pura
cemberut. Madewa tertawa.
"Baik, besok kita urus semuanya."
*** 10 "Berhenti!"
Beberapa orang penjaga di bangunan itu mem-
bentak kasar. Dan segera mengurung tiga orang yang
baru datang itu.
Madewa tersenyum arif dan bijaksana.
Jubah putihnya berkibar-kibar di hembus angin
pantai. "Aku datang ingin bertemu dengan Nyai Prodo...."
"Ada perlu apa?"
"Katakan saja, ada tamu untuknya...."
"Katakan di sini, ada perlu apa"!"
Ambarwati yang sudah tidak sabar untuk melihat
keadaan suaminya tiba-tiba menggerakkan tangannya,
menampar mulut pemuda itu hingga berdarah.
"Cepat panggil dia ke mari!" geramnya.
Pemuda-pemuda yang lain menjadi makin men-
gurung mereka. Bagi para pemuda itu lebih baik mati
daripada disiksa oleh orang-orang bengis itu.
"Jangan banyak omong!" membentak lagi yang
lain seraya menghunuskan tombaknya.
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan, "Hei, bukan-
kah gadis ini yang membuat keributan tiga hari yang
lalu"!"
"Benar, benar dia!"
"Ayo tangkap!"
Serentak para pengurung itu segera melancarkan
serangan. Ambarwati yang geram malah menjadi se-
makin geram. Dia pun bergerak melesat dengan cepat
mengirimkan serangan.
"Manusia-manusia tidak berguna! Mau-maunya
kalian diperalat orang-orang jahat itu! Buka mata ka-
lian, aku Ambarwati putra dari Jedangmoro almar-
hum!" maki Ambarwati seraya menggerakkan tangan-
nya ke sana-ke mari.
Namun orang-orang itu tak mau tahu. Bagi me-
reka, bila bisa menangkap buronan ini maka tentunya
akan ada hadiah untuk mereka.
Madewa dan Ratih Ningrum pun menjadi sasaran
serangan mereka.
Namun serangan-serangan itu tak berarti banyak
bagi mereka. Sebentar saja dengan sekali berkelebat, empat
buah tombak sudah berpindah tangan.
Dan dengan sekali tekan Madewa meremukkan
tombak-tombak itu.
Membuat mata para pengurungnya terbelalak.
Namun mereka tidak takut.
Mereka lebih takut pada orang-orang bengis itu.
Serentak mereka menyerang lagi.
"Tangkap orang-orang itu!"
Keributan pun terjadi lagi.
Dan suara ribut itu terdengar sampai ke dalam.
Secopati dan Wiroprogo pun muncul ke luar.
"Hei, apa yang terjadi"!" membentak Secopati.
"Mereka datang untuk menemui ketua! Dan kami
telah melarangnya! Namun mereka memaksa!" berkata salah seorang yang tengah
berusaha untuk menangkap Ambarwati.
Dan terbukalah mata Secopati ketika melihat
Ambarwati. "Hhh! Rupanya gadis itu! Tangkap dia!" serunya.
Lalu berpaling pada Madewa dan Ratih Ningrum yang
telah berdiri tegak. Lawan-lawan mereka telah dibuat pingsan. Mereka tidak
membunuh, karena mereka ta-hu orang-orang itu terpaksa melakukan perbuatan ja-
hat ini. "Siapa kalian berdua"!"
Madewa tersenyum.
"Kami datang untuk membebaskan putra kami!"
"Hhh... sebutkan nama kalian sebelum kalian
mampus di tangan kami...."
"Ah, namaku Madewa Gumilang..."
"Apa"!" terbelalak mata Secopati. "Sebutkan sekali lagi namamu!"
"Mengapa" Apakah namaku aneh kedengaran-
nya?" sahut Madewa tersenyum.
"Sebutkan namamu!" bentak Secopati penasaran.
"Baiklah... namaku Madewa Gumilang...."
"Hmm... Madewa Gumilang... apakah kau yang
bergelar Pendekar Bayangan Sukma?"
"Orang-orang rimba persilatan entah kenapa
menjuluki aku seperti itu...."
Secopati mendengus. Dia telah lama mendengar
sepak terjang dari Madewa Gumilang. Orang-orang
rimba persilatan seringkali membicarakannya. Dia
amat disegani oleh lawan maupun kawan.
Ada pula yang mengatakan bahwa Madewa Gu-
milang adalah manusia setengah dewa. Pendekar Bu-
diman. Dan yang lebih kondang disebut dengan Pen-
dekar Bayangan Sukma.
"Hhh! Rupanya hari ini aku tengah berhadapan
dengan manusia setengah dewa!"
Madewa cuma tersenyum.
"Ini istriku, namanya Ratih Ningrum. Salam hor-
mat dari kami untuk kalian berdua. Nah, kami minta
dengan sangat, agar kalian melepaskan putra kami
Pranata Kumala...."
"Lepaskan suamiku!" terdengar bentakan Am-
barwati, dia sudah berhasil menjatuhkan lawan-
lawannya dan membuat mereka pingsan.
Secopati cuma tertawa.
"Tidak semudah itu kau mendapatkan suamimu,
Nona. Dan kau Madewa... tidak semudah itu kau bisa
meminta putramu...."
"Kau belum menyebutkan namamu, Ki Sanak."
"Namaku Secopati. Dan ini temanku bernama Wi-
roprogo." "Lepaskan suamiku!" seru Ambarwati seraya
hendak menyerang.
Tetapi Ratih Ningrum dengan sigap menahannya.
"Sabar Ambar...." desisnya padahal dia sendiri sudah tidak sabar untuk melihat
putranya. Namun Ratih Ningrum melihat suaminya masih
mencoba meminta secara baik-baik, tidak dengan jalan
kekerasan. Lalu didengarnya lagi suara suaminya ber-
kata pada Secopati.
"Secopati... kita tak punya bibit permusuhan
yang tersebar. Dan aku pun tidak mau menanamkan
bibit permusuhan di antara kita. Maka kuminta, le-
paskan putraku sekarang juga...."
"Hahaha... jangan mentang-mentang namamu
amat di takuti di rimba persilatan ini kau bisa meng-
gertak kami?"
"Aku tidak sedang menggertak. Aku hanya me-
minta kau melepaskan putraku!"
"Bagaimana bila tidak kuizinkan?"
Madewa tersenyum penuh arif dan bijaksana.
"Agaknya kau lebih menyukai kekerasan daripa-
da persahabatan, Secopati...."
"Karena kita hidup di dunia yang keras, Madewa!"
kata Secopati dan langsung menyerang dengan hebat
ke arah Madewa.
Madewa menghindar dengan jalan bersalto.
Setelah hinggap di bumi dia berkata, "Apakah
memang tak ada jalan lagi, Secopati?"
"Sombong! Kau rasakan dulu ini!" geram Secopati seraya menyerbu.
Madewa pun tak mau dirinya dijadikan sasaran
serangan dari Secopati. Maka dia pun segera menggu-
nakan jurus Ular Meloloskan Diri. Jurus menghindar-
nya yang mampu membuat tubuhnya bergerak laksa-
na seekor ular.
Secopati menjadi geram.
Dia menyerang dengan membabi buta.
Melihat hal itu, Wiroprogo pun datang memban-
tu. Kini Madewa diserang dari dua jurusan.
Hebat. Cepat. Mengundang maut.
Namun bagi Madewa serangan-serangan kedua
orang itu bukanlah sesuatu yang membingungkan.
Bahkan dengan menggunakan jurus Ular Mematuk
Katak, dia berhasil menggedor dada Wiroprogo yang
merasa bagai dihantam oleh sebuah godam yang amat
besar. Lalu menyusul dia menghantam kaki Secopati
yang mengaduh keras dan merasakan tulang pahanya
patah. "Apakah kalian hendak meneruskan pertarungan
ini?" tersenyum Madewa.
"Jangan sombong kau, Madewa!" geram Wiropro-go seraya menyerang kembali.
Namun lagi-lagi serangannya berhasil dipatahkan
oleh Madewa dengan mudah.
Bahkan dia pun mengalami hal yang sama seper-
ti yang dialami Secopati.
Tiba-tiba terdengar kekehan dari belakang mere-
ka. Muncul Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah.
"Rupanya seorang pendekar besar sedang ber-
tandang ke rumahku. Silahkan dan jangan sungkan-
sungkan, Madewa Gumilang... hehehe...."
"Nyai Prodo... niat apa yang membuatmu mem-
buat huru-hara di Laut Selatan ini. Dan niat apa pula yang mendorongmu untuk
menawan putraku?"
"Hehehe... Madewa, Madewa... kita memang ber-
beda golongan... dan kau pun tak akan mengerti bila
kujelaskan," terkekeh nenek bongkok itu.
"Nyai Prodo... kupikir lebih baik kita selesaikan semua ini secara damai... aku
tak suka bila kekerasan harus berbicara...."
"Madewa... sebenarnya sudah cukup lama aku
mendengar sepak-terjangmu sebagai Pendekar Budi-
man. Dan hari ini untuk mencoba kehebatanmu, Ma-
dewa...." "Bukankah dengan cara begini kau sengaja me-
nanamkan bibit permusuhan?"
"Bila kau tidak menyukai kata-kata itu, lebih
baik kau ganti saja.... Ini adalah ajang uji coba kesak-tian di antara kita.
Bagaimana, kau tentunya setuju
bukan dengan usulku itu?"
"Nyai Prodo... bukankah ini semua bisa kita selesaikan secara damai?"
"Seperti tidak bisa, Madewa... karena kita berbe-da golongan."
"Hmm... haruskah darah tertumpah di sini" Pa-
dahal sudah begitu banyak darah yang kau tumpah-
kan...." "Bahkan aku menghirupnya, Madewa... hehehe...
aku memang ingin melihat sampai di mana nama be-
sarmu sebagai manusia setengah dewa...."
"Ah, hanya orang-orang saja yang menjuluki aku
seperti itu...."
"Hehehe... kau memang patut dijuluki sebagai
Pendekar Budiman, Madewa... kata-katamu itu sudah
menunjukkan bahwa kau memang patut menyandang
gelar seperti itu.... Cuma sayang, sayang sekali... karena hari ini tak akan
pernah lagi orang mendengar na-
ma besarmu... hehehe... hari ini kau akan mampus di
tanganku, Madewa...."
"Nyai Prodo... jangan bertindak bodoh dan mem-
buang nyawa dengan percuma...."
"Hehehe... siapa bilang aku hendak membuang
nyawa dengan percuma, karena nyawamulah yang
akan terbuang, Madewa... hehehe... dengan percuma...
ya, ya... dengan percuma...."
Dan tiba-tiba saja, sungguh amat tiba-tiba, Nyai
Prodo melesat dengan cepat ke arah Madewa. Dari an-
gin yang ditimbulkan oleh gerakannya, Madewa mera-
sakan hawa dingin menyerang ke arahnya.
Begitu hebat dan mampu membuang yang berte-
naga dalam rendah menggigil karena dinginnya.
"Tahan sekarang seranganku ini, Madewa! Pelaja-
ran pertama akan kita mulai!"
"Baik, Nyai Prodo! Kuterima tantanganmu!
Meskipun aku tidak menginginkannya!"
"Ingin atau tidak ingin, tahan seranganku!" bentak Nyai Prodo.
Dan tubuh itu semakin cepat meluncur ke arah
Madewa siap untuk memusnahkannya.
11 Madewa pun segera memapakinya dengan Puku-
lan Angin Salju. Karena kekuatan rasa dingin yang di-
timbulkan oleh gerakan Nyai Prodo begitu menyengat
sekali.

Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua pukulan itu beradu.
Dan masing-masing terpental ke belakang.
Masing-masing pula merasakan hawa dingin
yang menyengat keduanya. Segera keduanya mengalir-
kan tenaga dalam mereka.
Ratih Ningrum dan Ambarwati hanya menyaksi-
kan saja. Keduanya seolah lupa untuk mencari Prana-
ta Kumala. Sementara Secopati dan Wiroprogo yang patah
tulang pahanya hanya bisa menyaksikan pula. Dan
keduanya secara perlahan-lahan beringsut menghin-
dari pertempuran itu.
"Hhh! Tidak percuma kau bergelar Pendekar
Bayangan Sukma, Madewa!"
"Ah, aku hanya sedikit memiliki kepandaian yang
tak patut kubanggakan!"
"Sombong!" geram Nyai Prodo.
Lalu dia menyerang kembali. "Tahan ajian Mega
Murni ini, Madewa!"
Kembali terjadi saling menyerang yang amat he-
bat. Jurus demi jurus telah keduanya lancarkan. Se-
rangan-serangan keduanya amat berbahaya dan pe-
nuh resiko. Namun sampai sejauh itu belum terlihat
siapa yang lebih unggul.
Madewa kembali menggunakan jurus meloloskan
dirinya. Ular Meloloskan Diri. Dan di tangannya telah terangkum pukulan Tembok
Menghalau Badai.
Namun ketika terjadi benturan, kembali terlihat
kalau keduanya seimbang.
Dan keduanya terhuyung.
Nyai Prodo menyeka darah yang ke luar dari mu-
lutnya. Sementara Madewa hanya terhuyung dan telah
kembali berdiri tegak tak kurang suatu apa.
Nyai Prodo merasakan satu pukulan yang hebat
mengenai dadanya. Dia pun dapat merasakan kalau
tenaga dalamnya kalah oleh Madewa Gumilang.
Dia menggeram murka.
"Anjing kurap! Kau harus mampus di tanganku,
Madewa!" bentaknya.
"Nyai Prodo... bukankah kita bisa memilih jalan
berdamai tanpa perlu saling bertarung?" kata Madewa masih mencoba menyadarkan
Nyai Prodo. "Persetan dengan ucapanmu itu! Kau harus
mampus di tanganku, Madewa!" tiba-tiba Nyai Prodo membuka kedua tangannya. Dan
membuka jari-jarinya. Lalu dia menekuk tangannya hingga ke bahu.
"Kau lihat ini, Madewa... inilah ajian dari ilmuku yang terbaru, ajian Pemusnah
Jiwa! Nah, bersiaplah kau
untuk mampus, Madewa!"
"Nyai Prodo... sadarlah... bahwa semua yang kita lakukan ini tidak berguna...."
"Kau masih saja berkhotbah, Madewa! Memang
begitu orang yang sudah mau mampus!"
"Nyai Prodo...."
"Diam! Rasakan seranganku ini!" membentak
Nyai Prodo dan langsung menyerbu.
Dari jauh Madewa dapat merasakan angin panas
yang berkesiur ke arahnya. Dan dia pun dapat mendu-
ga kalau betapa ganasnya ilmu yang berada di tangan
Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah.
Madewa mencoba menghindar. Dia memang ber-
hasil menghindari serangan itu, namun angin panas
yang ke luar dari kedua tangan Nyai Prodo membuat-
nya amat terkejut.
Ini amat berbahaya.
Dan berarti ini bukan main-main lagi.
"Hahaha... kau jeri melihat ilmuku yang satu ini, Madewa!"
"Sadarlah, Nyai Prodo...."
"Hhh! Mampuslah kau, Madewa!"
Mendengar kata-kata itu dan melihat Nyai Prodo
telah siap untuk menyerang kembali, tiba-tiba Madewa
terdiam. Lalu dia merangkum kedua tangannya men-
jadi satu di dada. Dan terlihatlah asap putih yang
mengepul. "Pukulan Bayangan Sukma!" terdengar seruan
Nyai Prodo terkejut. Tetapi sejurus kemudian dia ter-
kekeh. "Hehehe... tak ada satu ajian atau pun pukulan yang bisa menandingi
kehebatan ilmuku ini, Madewa....!"
"Sadarlah, Nyai Prodo... Kita hanya membuang
nyawa dengan percuma!" kata Madewa Gumilang yang masih mencoba untuk menghindari
pertarungan ini.
"Hehehe... kau jeri rupanya! Kita lihat ilmu siapa yang paling tinggi, Madewa!"
Sehabis berkata begitu, Nyai Prodo menyerbu
dengan cepat. Madewa pun tak mau kalau dirinya di-
jadikan sasaran ajian yang hebat itu.
Maka dia pun menyerang pula, memapaki.
Orang-orang yang memperhatikan menjerit te-
gang. Dan dua pukulan itu pun berbenturan hingga
menimbulkan suara mirip ledakan.
"Duaaarrr!"
Keras. Amat keras sekali.
Dan dari kedua pukulan yang beradu itu, me-
nimbulkan debu-debu yang berterbangan. Daun-daun
pun berguguran.
Lalu terpental dua sosok tubuh ke belakang.
Madewa terhuyung beberapa tombak.
Sedangkan Nyai Prodo hanya tiga tombak.
Dia terkekeh. "Hehehe... tak satu pun yang bisa
menandingi kehebatan ajian Pemusnah Jiwa milikku
ini, Madewa.... Kau harus mampus, Madewa!" geramnya dan menerjang lagi. Namun
tiba-tiba dia ter-
huyung. "Oh... aku... aakh... Aaaakkh!" terdengar jeritan panjang. Tubuh itu pun
limbung dan ambruk.
Sepasang matanya melotot menampakkan bahwa
dia masih amat penasaran.
Madewa mendesah.
Ratih Ningrum dan Ambarwati seperti tersadar.
Lalu keduanya mencari Pranata Kumala. Keduanya
menemukan keadaan Pranata yang terluka parah ka-
rena disiksa. Madewa memerintahkan untuk membawa pulang
Pranata ke Perguruan Topeng Hitam.
Setelah berkata pada para penduduk bahwa ke-
zaliman telah dikalahkan, Madewa pun mengajak ang-
gota keluarganya kembali ke Perguruan Topeng Hitam.
Lalu keempatnya pun meninggalkan Laut Selatan
yang baru saja terjadi prahara. Tanpa sempat menen-
gok tempat tinggal Ambarwati dan Pranata Kumala.
Sedangkan orang-orang menemukan Secopati
dan Wiroprogo telah mati membunuh diri.
TAMAT Scan: Clickers Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
Document Outline
Uhttps://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978U
1 Dendam Empu Bharada 32 Jala Pedang Jaring Sutra Seri Thiansan Kiam Bong Cian Sie Karya Liang Ie Shen Kisah Pedang Di Sungai Es 2
^