Warisan Berdarah 1
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah Bagian 1
WARISAN BERDARAH Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Gambar oleh: Jesco Setting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau se-
luruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode: Warisan Berdarah
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Satu Semalaman hujan turun dengan lebat.
Membasahi segenap bumi. Hingga membuat be-
cek yang cukup menyiksa di jalan setapak itu.
Namun pagi ini hanya tinggal biasnya saja yang
bercampur dengan embun pagi. Mengeluarkan
bau tanah yang enak untuk dicium.
Tetapi bagi tiga orang kakek yang melang-
kah dengan masing-masing membawa sebuah pe-
ti di pundaknya, tanah becek yang tebal itu bu-
kanlah suatu halangan bagi ketiganya untuk me-
langkah. Malah mereka seakan tak pernah me-
nyadari kalau tanah yang becek itu bisa menjadi
penghalang bagi siapa pun yang melangkah.
Salah seorang kakek itu berkata, "Masih
jauhkah Perguruan Topeng Hitam berada?"
Yang seorang menyahut, dia bertelanjang
dada. Dan wajahnya mirip orang Cina. Meskipun
tubuhnya kelihatan kerempeng namun berisi, dia
kuat bertelanjang dada menahan hembusan an-
gin yang cukup dingin.
"Kata orang yang kita tanya semalam, kita
harus mengarah ke timur dari Gunung Slamet."
Yang satu lagi menggerutu. Dia mengena-
kan pakaian mirip orang-orang keraton.
"Gara-gara hujan sialan ini yang mengha-
ruskan kita berteduh. Bila tidak hujan dan kita
tidak berteduh, mungkin pagi ini kita tiba di Perguruan Topeng Hitam...."
"Ya, ya...." kata yang pertama berkata tadi.
"Aku sudah tidak sabar ingin melihat Den Putri Ratih Ningrum dan suaminya Madewa
Gumilang....!"
"Benar, Mukti...." kata yang bertelanjang dada. "Kabarnya, mereka pun telah
mempunyai seorang anak yang telah menikah. Ah, betapa bahagianya mereka..."
"Patidina...." kata yang dipanggil Mukti.
"Apakah kau yakin kalau memang Madewa
Gumilang yang memimpin Perguruan Topeng Hi-
tam" Setahuku dulu, Perguruan Topeng Hitam
dipimpin oleh si Dewa Pedang Paksi Uludara?"
Yang dipanggil Patidina itu adalah kakek
yang mengenakan pakaian mirip orang-orang ke-
raton. Dia menatap Mukti yang mengenakan pa-
kaian hitam-hitam.
"Aku pun tidak yakin. Malah ketika kuber-
tanya apakah ada yang mengenal dan tahu di
mana Madewa Gumilang berada, mereka malah
bertanya, apakah Madewa Gumilang yang berge-
lar Pendekar Bayangan Sukma" Semula aku bin-
gung. Lalu kukatakan saja iya."
"Benar katamu, Patidina," kata kakek yang bertelanjang dada, yang bernama Tek
Jien. "Malah ada pula yang bilang, nama Madewa Gumi-
lang pun kadang dijuluki manusia setengah dewa.
Ada juga yang bilang Pendekar Budiman. Dan se-
perti katamu tadi, dia pun bergelar Pendekar
Bayangan Sukma. Ah, andaikata pemuda yang
pernah mengalahkan kita beberapa puluh tahun
yang lalu itu memang benar dia adanya, aku
bangga sekali mendengarnya. Hahaha.... aku ma-
sih ingat bagaimana dulu di rumah majikan kita
Biparsena ayahanda dari Den Putri Ratih Nin-
grum kita dipecundangi dengan mudah olehnya....
hahaha.... lucu, lucu sekali bila kita mengingatnya..." "Masih untung kita tidak
dibunuhnya oleh Pukulan Bayangan Sukmanya yang hebat itu,"
kata Mukti. "Tetapi aku yakin, dia tak akan melakukan
kekejaman itu," kata Patidina. "Semula ketika majikan kita Biparsena
mengangkatnya sebagai pen-
jaga kuda, aku sudah yakin sekali kalau pemuda
itu adalah pemuda baik-baik...."
"Dan yang tak pernah kita sangka, dia ada-
lah murid tunggal dari Eyang Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti yang
mewariskan Pukulan
Bayangan Sukma padanya. Juga ajian Pandangan
Menembus Sukma...." kata Tek Jien.
"Hai, apa kau lupa.... kalau dia pun mewa-
risi seruling sakti milik gurunya," kata Patidina.
"Benar, Seruling Naga! Seruling yang maha
sakti!" kata Mukti.
Sebenarnya siapakah ketiga orang kakek
yang masing-masing membawa peti dan sedang
menuju ke Perguruan Topeng Hitam" Mereka se-
pertinya begitu banyak mengenal Madewa Gumi-
lang atau Pendekar Bayangan Sukma dan istrinya
Ratih Ningrum. Ketiga kakek itu tak lain adalah bekas para
pengawal setia ayah dari Ratih Ningrum, Biparse-
na. Dulu, ketiganya pun pernah mencoba ilmu
dari Madewa Gumilang sebelum Madewa diangkat
menjadi penjaga kuda dan penjaga Ratih Nin-
grum. Mereka adalah Mukti, si Pedang Kembar.
Patidina, si Keris Tunggal dan Tek Jien, si Pukulan Tangan Seribu. Merekalah
tiga orang guru da-
ri Ratih Ningrum. Mukti dan Patidina telah mem-
berikan senjata-senjata milik mereka pada murid
mereka, Ratih Ningrum dan ketiganya telah me-
warisi ilmu-ilmu yang hebat kepada Ratih Nin-
grum, saat Ratih Ningrum hendak mencari Ma-
dewa Gumilang. Setelah ayahnya meninggal di tangan Ma-
dewa Gumilang, Ratih Ningrum yang mencintai
Madewa Gumilang pun bermaksud mengikutinya.
Karena dia yakin dan pasti kalau hidupnya akan
bahagia bersama pemuda yang dicintainya. Ratih
Ningrum pun tahu kalau ayahnya sebenarnya
adalah orang golongan hitam. Yang menyebarkan
kabar palsu tentang adanya Pedang Pusaka Dewa
Matahari yang dimiliki Ki Rengsersari alias Pen-
dekar Ular Sakti yang menjadi guru dari Madewa
Gumilang. Sehingga banyaklah para pendekar baik
dari golongan hitam maupun golongan putih da-
tang dengan maksud untuk merebut Pedang Pu-
saka Dewa Matahari. Tetapi kenyataannya, ha-
nyalah sebuah kabar bohong belaka.
Sebelum Ratih Ningrum meninggalkan ru-
mahnya bersama Madewa Gumilang, dia menye-
rahkan seluruh harta warisnya kepada ketiga
pengawal ayahnya yang setia atau pun yang men-
jadi gurunya. (Baca: Pedang Pusaka Dewa Mata-
hari dan Dendam Orang-orang Gagah).
Ketiga gurunya itupun tak bisa menahan-
nya untuk mengikuti Madewa Gumilang. Dan me-
reka dengan setia menjaga seluruh harta ke-
kayaan milik dari Ratih Ningrum, atau warisan
dari ayahnya Biparsena.
Mereka pun dengan setia menjaga seluruh
kekayaan itu. Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan berganti bulan.
Dan tahun berganti tahun. Tak terasa berpuluh tahun telah lewat.
Dalam hati ketiganya selalu mengharapkan
kalau-kalau Ratih Ningrum dan suaminya datang
menjenguk. Karena mereka merasa sudah tua
dan tak mungkin lagi dapat menjaga seluruh ke-
kayaan yang dimiliki oleh Ratih Ningrum.
Pada suatu malam, ketiganya pun berem-
buk untuk segera mencari Ratih Ningrum dan
Madewa Gumilang berada.
"Benar kata-katamu, Mukti," kata Patidina.
"Kita sudah tua. Umur kita semakin lanjut. Dan aku pun kuatir, seluruh warisan
ini tak akan bisa kita jaga lagi."
"Memang, dan aku berpikir... lebih baik ki-
ta serahkan kembali semua kekayaan harta waris
ini pada yang mempunyai. Pada murid kita, Ratih
Ningrum...." kata Mukti.
Tek Jien berkata, "Tetapi... setelah berpu-
luh tahun kita menunggu kedatangan murid kita
dan suaminya, agaknya penantian kita sia-sia be-
laka. Bukankah menurutku akan lebih baik bila
kita segera meninggalkan desa ini, desa Bojon-
gronggo untuk mencari dan menyerahkan seluruh
harta waris ini kepada Ratih Ningrum?"
"Aha!" Mukti berseru. "Benar kata-katamu, Tek Jien. Yah, lebih baik kita mencari
di mana gerangan Ratih Ningrum dan suaminya berada. La-
gipula, bukankah kita selama ini tidak lagi per-
nah melihat keadaan dunia luar?"
"Aku pun setuju dengan usulmu, Tek Jien.
Yah... kita bisa pergi besok pagi untuk mencari di mana gerangan murid kita dan
suaminya berada,"
kata Patidina. "Lalu bagaimana dengan seluruh kekayaan
ini?" tanya Mukti. "Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang
menjaga. Nah, siapa yang ingin menjaga dan tinggal di sini se-
mentara yang lain mencari ke dunia luar di mana
Ratih Ningrum dan suaminya berada?"
Mukti menatap kedua sahabatnya yang te-
lah sama-sama menjadi kakek-kakek seperti di-
rinya pula. Namun kedua sahabatnya tidak ada
yang menyediakan diri untuk menetap di sini dan
menjaga seluruh kekayaan.
Mukti tertawa. "Hahaha... aku pun tak mau menetap di
sini," katanya masih tetap menatap kedua sahabatnya.
"Lalu siapa yang akan menjaga?" tanya Tek Jien dan Patidina bersamaan.
Ketiganya terdiam. Siapa yang menjaga ke-
kayaan itu" Sementara mereka semuanya mau
pergi mencari Ratih Ningrum.
Tiba-tiba Mukti menepuk keningnya.
Kedua sahabatnya memperhatikan.
"Bodohnya aku!"
"Kenapa?" tanya Patidina.
"Kau punya usul?" tanya Tek Jien.
"Ya, ya... bagaimana bila kita bawa saja kekayaan ini?" tanya Mukti sambil
menatap kembali kedua sahabatnya.
"Ah, apakah kita bisa membawa rumah
yang besar ini berikut perlengkapannya yang ser-
ba mewah?" tanya Patidina.
"Bukan, bukan itu maksudku!" kata Mukti.
"Lalu apa?" tanya Tek Jien.
"Kita hanya membawa emas, berlian dan
permata yang berlimpah. Yang lainnya kita biar-
kan saja di sini. Kita titipkan pada kepala desa.
Nah, bagaimana?"
Kali ini kedua kepala sahabatnya men-
gangguk setuju.
Lalu malam itu juga, mereka segera mem-
persiapkan diri.
Setelah emas, permata dan berlian itu di-
kumpulkan, ternyata mencapai tiga peti banyak-
nya. "Bukan main!" desah Mukti. "Aku tak pernah menyadari selama ini kalau
begitu banyak- nya perhiasan yang ada di rumah ini."
"Benar," kata Patidina. "Ini tak akan habis dipakai oleh lima belas turunan."
"Sudahlah," kata Tek Jien yang selalu bertelanjang dada dari masa mudanya. "Kita
tak perlu memikirkan jumlah kekayaan ini. Yang pasti
kita harus bersiap dan berangkat besok pagi."
Keesokan paginya setelah matahari se-
penggalah, ketiganya pun keluar dari rumah itu
dengan membawa masing-masing sebuah peti
yang berisi emas yang jumlahnya amat banyak.
Dan sebelumnya ketiganya telah mendatangi ru-
mah kepala desa Bojongronggo untuk menitipkan
rumah dan perlengkapannya yang masih ada.
Setelah itu, ketiganya pun memulai perja-
lanan mereka untuk mencari Ratih Ningrum dan
suaminya, untuk menyerahkan warisan yang te-
lah berpuluh tahun mereka jaga.
Karena mereka menyadari usia yang mulai
uzur dan mereka kuatir akan meninggal sebelum
menyerahkan seluruh warisan ini pada yang ber-
hak. Di samping itu, mereka pun tak mau me-
ninggal sebelum berjumpa dengan murid mereka
yang bernama Ratih Ningrum. Yang dulunya seo-
rang gadis jelita yang sopan, baik dan tulus. Itulah sebabnya ketiganya bersedia
pula menurun- kan ilmu-ilmu mereka padanya.
Dua Dalam setiap saat rasanya mereka selalu
bertanya tentang Madewa Gumilang. Dan jawa-
ban-jawaban yang didapat, sebenarnya membuat
mereka bingung.
"Oh! Madewa Gumilang" Laki-laki yang di-
juluki Pendekar Budiman?"
"Pendekar Bayangan Sukma! Ya, ya... aku
tahu... dia kini memimpin satu perguruan yang
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terletak di sebelah timur Gunung Slamet!"
"Manusia setengah dewa" Ya... istrinya
bernama Ratih Ningrum?"
"Madewa Gumilang... oh, katakan di mana
saya bisa menemuinya. Dia adalah seorang laki-
laki berjubah putih yang arif dan bijaksana."
Jawaban-jawaban itu memang membin-
gungkan ketiga kakek itu. Dari rasa bingung be-
rubah menjadi rasa penasaran. Mereka pun sepa-
kat untuk segera menuju Perguruan Topeng Hi-
tam yang terletak di sebelah timur Gunung Sla-
met. Apakah Madewa Gumilang telah menjadi
tokoh yang teramat sakti dan disegani" Dan ba-
gaimana dengan Ratih Ningrum" Oh, kalau tidak
salah dari jawaban-jawaban yang diberikan orang
yang mereka tanyai, Ratih Ningrum masih men-
dampingi laki-laki yang kabarnya gagah perkasa.
Ketiganya menjadi tidak sabar untuk
membuktikan semua itu.
"Patidina dan Tek Jien," panggil Mukti.
"Aku sebenarnya menjadi heran namun penasa-
ran tentang siapa adanya pemuda itu. Benarkah
dia telah menjadi tokoh yang amat sakti dan sela-lu membela kebenaran?"
Ketiganya masih terus melangkah dengan
ringan tanpa merasa ada sedikit halangan pun
pada tanah becek yang mereka pijak. Malah seo-
lah-olah ketiganya tidak menginjak tanah. Ini
menandakan tenaga dalam dan ilmu meringan-
kan tubuh yang mereka miliki telah amat sem-
purna. "Sebenarnya aku pun demikian adanya,"
kata Patidina. "Namun bila pemuda yang dulu mengalahkan kita telah menjadi
seorang tokoh budiman pembela kebenaran, aku amat bangga
padanya." "Begitu pula aku," kata Tek Jien. "Dan aku tak pernah menyesali kepergian murid
kita bersamanya. Karena aku yakin, tentunya murid kita
telah dibimbingnya dan diberinya hidup yang
membahagiakan."
"Ya. ya... ternyata perasaan kalian sama
dengan perasaan yang ada padaku sekarang," ka-ta Mukti. "Ini membuatku pun
merasa senang mengingat pemuda itu telah menjadi tokoh perka-
sa yang sakti dan pembela kebenaran."
Kini ketiganya berada di tempat yang agak
lapang. Dan tidak begitu becek karena rumput
yang tumbuh di sana begitu lebat.
Belum ada lagi yang menyahuti kata-kata
Mukti, tiba-tiba dari balik rumput yang tebal itu berlompatan sepuluh orang
berpakaian merah-merah dengan memegang tombak. Mereka lang-
sung mengurung ketiganya.
Tatapan mereka tidak bersahabat. Garang.
Dan tombak yang ada di tangan mereka,
agaknya telah siap terhunus.
Ketiga kakek itu berpandangan.
"Rupanya ada orang-orang yang tengah
iseng pada kita," kata Mukti.
"Ya, dan mereka tak begitu suka pada ki-
ta," sambung Patidina.
"Benar," kata Tek Jien. "Mereka memang
tidak bersahabat. Tetapi apa yang telah menye-
babkan semua itu, aku tidak tahu."
"Benar, begitu pula dengan aku." kata
Mukti. "Apakah kita akan meneruskan perjalanan lagi?" kata Patidina.
"Hei, mengapa kita tidak lihat dulu apa se-
benarnya yang mereka maui," kata Tek Jien.
Mendengar kata-kata ketiga kakek itu yang
seolah tak merasa ada orang-orang itu di sana,
yang mengurungnya, telah membuat memerah
wajah salah seorang yang mengurung mereka.
Orang itu berperawakan tegap. Wajahnya
kukuh dengan sepasang mata yang nyalang ga-
rang. Seluruh wajahnya ditumbuhi rambut yang
lebat. Orang itu menggeram.
Dan membentak dengan suara yang san-
gar, "Kakek-kakek peot... bila kalian ingin tahu apa maksud kami sebenarnya dan
siapa kami bertanyalah!"
Ketiga kakek itu berpandangan kembali.
Lalu seolah tak menyadari bahaya yang mengan-
cam mereka kembali bercakap-cakap tanpa mera-
sa orang-orang yang mengurung mereka siap
menghujamkan tombak-tombak mereka.
"Dia menyuruh kita bertanya mereka mau
apa," kata Mukti.
"Ya, dia juga menyuruh kita untuk ber-
tanya siapa mereka," kata Patidina.
"Apakah kita akan bertanya?" tanya Tek Jien.
"Untuk apa?" Mukti balik bertanya.
"Benar, toh mereka tidak bersahabat den-
gan kita," sambung Patidina.
"Kalau begitu, kita terus saja?" kata Tek Jien. "Ya, untuk apa berlama-lama di
sini," kata Mukti seraya hendak melangkah.
"Toh kita tidak mengenal mereka dan tidak
punya urusan dengan mereka," kata Patidina
yang juga hendak melangkah.
"Ayolah kalau begitu," lanjut Tek Jien dan berbuat yang sama pula.
Mendengar kata-kata yang mereka
ucapkan itu, membuat laki-laki yang membentak
tadi semakin memerah wajahnya.
Dia geram dan merasa dipermainkan.
"Kakek-kakek anjing! Jangan jual lagak di
depanku"!"
Ketiga kakek itu tidak jadi untuk melang-
kah. Kembali mereka berpandangan.
"Dia marah!" kata Mukti.
"Ya, dia membentak kita," kata Patidina.
"Bukan hanya membentak, tetapi dia juga
memaki kita seperti anjing," kata Tek Jien.
"Apakah kita harus marah?" tanya Mukti.
"Dia sudah membentak kita dan memaki
kita seperti anjing," kata Patidina.
"Kalau begitu, kita beri pelajaran pada me-
reka!" sambung Tek Jien.
Dan kepala ketiga kakek itu pun berpaling
pada laki-laki yang membentak itu.
Mukti berkata, "Hhh! kau telah lancang
berkata, Ki Sanak! Kau seenaknya saja memaki
kami seperti anjing! Apakah kau mempunyai
nyawa dua, hah"!"
Merah padam wajah laki-laki itu. Kegera-
mannya sudah sampai ke ubun-ubun dan siapa
untuk meledak. "Kakek peot! Banyak omong pula kau,
hah"! Apakah kau tidak tahu berhadapan dengan
siapa"!" membentak marah laki-laki itu.
Kali ini Mukti berpaling pada kedua saha-
batnya. Kakek itu terkekeh.
"Hehehe... untuk apa kita bertanya siapa
mereka. Dia sendiri saja tidak tahu siapa dirinya."
"Benar," Patidina pun terkekeh. "Dia bertanya pada kita siapa dirinya."
"Hei, apakah dia sebenarnya cuma seorang
badut yang tengah melucu di depan kita?" kata Tek Jien dan terkekeh panjang.
Orang itu bukan main geramnya. Marah-
nya bukan alang kepalang lagi. Begitu memun-
cak. Lalu dia membentak lagi dengan suara
orang seperti mau muntah.
"Anjing-anjing buduk! Kalian rupanya be-
lum tahu siapa kami, hah"! Kami adalah gerom-
bolan perampok Tombak Seribu. Namaku sendiri
Barong Projo, pemimpin dari gerombolan ini! Ba-
rang siapa yang berani lancang dan menentang
kemauan kami, maka dia harus mampus di tan-
gan kami!"
"Lho, kami telah berbuat lancang apa?" ka-ta Mukti. Lalu berpaling pada kedua
sahabatnya. "Agaknya pagi ini kita bertemu dengan orang sakit jiwa." "Benar, dia bilang kita
anjing buduk! Eh, bukannya mereka yang seperti anjing-anjing buduk?" kata
Patidina dan kakek itu terkekeh.
"Betul, betul... mereka bukan hanya anj-
ing-anjing buduk! Tapi anjing-anjing kudisan...
hehehe...!" terkekeh Tek Jien yang merasa lucu dengan ucapannya sendiri.
Dan murkalah Barong Projo. "Kakek-kakek
peot, cepat kalian serahkan peti-peti yang kalian bawa itu! Atau... kalian ingin
mampus hari ini ju-ga!" Mukti berkata lagi pada kedua sahabatnya,
"O... rupanya peti-peti yang kita bawa ini yang mereka incar."
"Betul! Rupanya mereka ini memang pe-
rampok-perampok di siang hari... hehehe... pe-
rampok-perampok yang ternyata mau mati!" terkekeh Patidina.
"Apakah kita akan serahkan peti-peti ini
pada mereka?" tanya Tek Jien.
"Bagaimana kalau murid kita marah?"
tanya Mukti seolah kebingungan, padahal dia
memang bermaksud untuk memancing kemara-
han Barong Projo. Sejak mereka dikepung pun dia
sebenarnya sudah tahu maksud sesungguhnya
dari orang-orang ini. Sasaran mereka pasti peti-
peti yang mereka bawa!
"Betul. Aku lebih sayang pada murid kita
daripada orang-orang ini," kata Patidina.
"Berarti mereka tidak kita berikan peti-peti
ini," kata Tek Jien yang berpura-pura baru tahu akan kesimpulan kata-kata itu.
"Betul! Tapi kalau mereka bisa mengambil-
nya dan berhasil, ya lebih baik berikan saja!" kata Mukti. "Jadi kita berikan
kalau begitu?" kata Patidina. "Kalau mereka mampu," kata Mukti.
"Berarti kita harus berkelahi?" tanya Tek Jien. "Hei, bukankah kita sudah lama
tidak pernah berkelahi," kata Mukti. "Jadi ini lebih baik untuk menyegarkan
ingatan kita pada ilmu-ilmu
yang kita miliki. Rasanya... ah, aku masih sang-
gup untuk menjatuhkan orang, hei!"
Mukti tak bisa meneruskan lagi kata-
katanya, karena dengan penuh murka dan kema-
rahan yang teramat sangat, Barong Projo sudah
menyerbunya dengan tombak di tangannya.
Barong Projo tidak bisa menahan marah-
nya lagi karena ejekan-ejekan yang dilontarkan
ketiga kakek itu. Maka dia pun segera menyerbu.
Tombak yang mengarah lurus ke arah
Mukti, dengan mudah saja dihindarkannya den-
gan memiringkan tubuh.
"Wah, wah... rupanya orang ini pemarah
betul!" kekehnya sambil melompat lagi ketika tombak itu mengarah ke kakinya.
Melihat ketua mereka sudah menyerang,
tanpa dikomando lagi, anak buahnya segera me-
nyerbu Patidina dan Tek Jien.
Dan kedua kakek itu pun segera melaya-
ninya. Meskipun masing-masing di pundak kakek
itu membawa peti yang cukup berat, namun ge-
rakan mereka cukup gesit. Bahkan dengan terke-
keh-kekeh mereka menghindari serangan-
serangan yang datang silih berganti dengan cepat.
"Wah, wah... ini tidak main-main lagi!" kata Mukti sambil menghindari beberapa
tombak yang berdatangan ke arahnya. Kini dia dikerubuti tiga orang termasuk Barong Projo.
"Betul, kita harus beri pelajaran agar me-
reka kapok dan tahu siapa kita!" sahut Patidina.
"Jadi kita harus melawan?" tanya Tek Jien yang juga menghindari serangan-
serangan itu. "Mengapa tidak"!" seru Mukti sambil bersalto ke belakang. Begitu pula yang
dilakukan dua kakek sahabatnya. Mereka pun berbuat yang
sama. Lalu sama-sama pula ketiganya meletak-
kan peti yang mereka bawa di tanah. Setelah itu
ketiganya pun bersiap.
"Mampuslah kau, kakek-kakek peot!" ge-
ram Barong Projo sambil menyerbu yang diikuti
oleh beberapa anak buahnya.
Dan ketiga kakek itu pun bergerak mema-
paki. Gerakan mereka amat gesit sekali.
Dengan tanpa beban di pundak, ketiganya
bergerak bagaikan seekor burung. Tek Jien pun
sudah mengeluarkan jurus andalannya Pukulan
Tangan Seribu. Gerakan kakek itu masih amat lincah. Tak
ubahnya beberapa puluh tahun yang lalu. Kedua
tangannya menderu-deru bagaikan berubah men-
jadi seribu. Dan dengan tangan yang telah dialiri tena-
ga dalam dia bergerak bagaikan macan ngamuk.
Dia menangkis. Memapaki dan membalas.
Membuat para penyerangnya menjadi jeri.
Apalagi ketika dua orang pingsan terkena
pukulannya. Membuat dua lagi pengeroyoknya
harus berhati-hati dengan segala serangan yang
dilancarkan Tek Jien.
"Hehehe... rupanya kalian hanya besar mu-
lut saja!" terkekeh kakek yang keturunan Cina itu. Kembali dia melancarkan
serangan. Dua penyerangnya menjadi kalang kabut. Dan sebi-
sanya mereka untuk menangkis dan membalas.
Namun tangan Tek Jien yang berubah
menjadi seribu itu, lebih dulu mendarat di bebe-
rapa bagian tubuh kedua lawannya.
"Des!"
"Des!"
Dua buah pukulan mendarat di masing-
masing tubuh lawannya, yang langsung terjeng-
kang pingsan. Kakek itu terkekeh sambil menepuk-nepuk
kedua tangannya.
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dua sahabatku... untuk apa kalian ber-
main-main lagi" Cepat bereskan! Aku sudah bo-
san! Juga sudah lapar!"
Tiga Mendengar seruan Tek Jien yang seakan
mengejek keduanya, Mukti dan Patidina pun se-
gera menyerang dengan hebat.
Apalagi ketika dengan riangnya Mukti me-
matahkan dua buah ranting pohon sebesar pe-
dang. Barong Projo dan dua anak buahnya yang
membantu menjadi kewalahan.
Kakek itu telah menggunakan kedua rant-
ing tadi sebagai pedang. Lalu dia pun memain-
kannya dengan jurus pedang kembarnya yang
hebat. "Hehehe... mengapa kalian mundur, hah"!"
terkekeh kakek itu yang melihat ketiga lawannya
menjadi ngeri dengan permainan kedua ranting
yang dipegang oleh Mukti.
Meskipun hanya berupa ranting kecil, na-
mun bila terkena rasa sakitnya bukan alang ke-
palang. Karena kedua ranting itu sudah dialiri tenaga dalam.
Mendengar kata-kata yang mengejek itu,
membuat telinga Barong Projo menjadi memerah.
Dia menggeram murka.
Dan kembali laki-laki berwajah menyeram-
kan itu menyerbu dengan buas. Disusul dengan
dua orang anak buahnya. Tombak-tombak yang
ada di tangan ketiganya benar-benar mampu un-
tuk mencabut nyawa.
Namun yang dihadapinya adalah pendekar
tua yang masih hebat memainkan ilmu pedang
kembarnya. Sebentar saja dua buah tombak yang dipe-
gang anak buah Barong Projo sudah terlepas dari
tangan mereka. Dan sambil memekik bersalto,
kedua ranting yang ada di kedua tangan Mukti
dengan cepat menotok hingga kedua orang itu
terdiam kaku. Mukti berdiri kembali dengan tegap di ta-
nah. Menatap Barong Projo dengan tatapan men-
gejek. "Hei, Muka Barong! Bukankah ini sudah sebagai bukti, bahwa kau dan para
anak buahmu itu tak bisa merebut peti-peti yang kami bawa"!
Nah, mengapa tidak kau bersujud saja untuk
meminta ampun dariku! Hehehe... percayalah,
aku adalah seorang kakek yang baik hati! Pasti
kau kumaafkan... hehehe...!"
Wajah Barong Projo semakin memerah sa-
ja. Matanya membeliak-beliak penuh emosi. Na-
fasnya mendengus-dengus mirip kerbau jantan
yang tengah mengamuk.
"Kubunuh kau, Kakek peot!" bentaknya seraya menyerbu. Kali ini dia menggunakan
jurus andalannya, Tombak Menggapai Rembulan Me-
nyapu Badai. Jurus tombak yang dimainkannya demi-
kian hebat. Menyambar-nyambar dengan ganas.
Mengancam leher dan pergelangan kaki.
Mukti sejenak kebingungan menghadapi
serangan-serangan itu. Namun dia pun memapa-
kinya dengan ranting yang ada di tangannya.
Berkali-kali kedua senjata itu berbentro-
kan. Hebat. Cepat. Dan berbahaya. Tek Jien cuma menggeleng-gelengkan ke-
palanya saja. Sedikitnya dia kagum dengan per-
mainan tombak yang diperlihatkan oleh Barong
Projo. Sementara Patidina sudah menjatuhkan
salah seorang pengeroyoknya. Dengan gerakan
berguling yang cepat, kakek itu mengambil tom-
bak yang jatuh di tanah.
Dan mematahkannya pada ujungnya.
Membentuknya sebuah keris. Dengan patahan
ujung tombak yang dianggapnya sebagai keris,
mulailah dia memperlihatkan kehebatan permai-
nan keris tunggalnya.
Para pengeroyoknya menjadi kewalahan.
Dan sebentar saja mereka sudah terdesak.
"Hei, apakah mereka ini harus kubunuh"!"
seru Patidina pada Tek Jien.
"Terserah padamu. Bila kau biarkan hidup
pun, mereka akan semakin sombong saja! Mati
pun mereka tak ada gunanya! Yah, terserah pada
pilihanmu!" kata Tek Jien sambil melipat tangannya di dada.
"Kalau begitu, mereka akan kubuat ping-
san saja!" kata Patidina. Dan kakek itu memperlihatkan kelincahannya bermain
keris tunggal dari
patahan ujung tombak.
Para pengeroyoknya menjadi kebingungan.
Dan mereka pun sebisanya saja untuk menghin-
dar dan melayani, tanpa bisa berbuat lebih ba-
nyak lagi. Dan sebentar saja ujung tombak yang telah
dipatahkan itu, mengenai sasarannya.
"Sret!"
"Sret!"
Gerakan yang diperlihatkan Patidina bukan
main cepatnya. Ujung patahan tombak itu men-
genai tangan yang seorang dan paha yang lain-
nya. Keduanya mengaduh.
Dan segera menekap darah yang mengalir.
Namun melihat kenyataan ini, keduanya
bukannya malah jeri, malah semakin nekat me-
nyerang. "Kami akan mengadu jiwa denganmu, Ka-
kek busuk!" bentak salah seorang yang segera menyerbu disusul dengan temannya.
Ganas. Dan berbahaya. Tetapi Patidina hanya menyambutnya den-
gan terkekeh saja. Dia pun mengimbanginya den-
gan hebat. Namun baginya sekarang, sulit untuk
melumpuhkan keduanya tanpa melukai mereka
dengan luka yang cukup berbahaya.
"Maafkan aku, bila aku terpaksa membu-
nuh kalian!" kata Patidina sambil melompat
menghindari sambaran tombak yang mengarah
pada kakinya. Lalu dia melenting ke depan bersalto. Saat
bersalto itu dia melakukan satu gerakan yang
amat aneh. Dengan tiba-tiba saja dia sudah bera-
da di belakang orang itu dan berguling. Dengan
gerakan yang membingungkan, dia melewati ke-
dua kaki orang itu yang terbuka.
Dan tangan kirinya pun menghantam ba-
gian paha orang itu.
"Aaaaaahhhh!" terdengar jeritan yang keras disusul dengan suara 'krak'.
Paha orang itu patah. Dan tubuhnya men-
jadi limbung. Dia tak dapat menahan keseimban-
gan tubuhnya, juga merasakan sakit yang amat
menyengat. Dan tubuh itu pun ambruk.
Melihat temannya telah berhasil dilumpuh-
kan oleh kakek itu, yang seorang pun menjadi
murka. Dia menjerit hebat.
Dan menyerang dengan kalap serta mem-
babi buta. Meskipun demikian, serangannya ma-
lah jadi berbahaya.
Namun Patidina bukanlah kakek yang baru
saja turun gunung. Tidak mengetahui tipuan ge-
rakan dari seorang jago silat. Dia sudah mengua-
sai ilmu silat dan permainan senjata keris sejak muda. Hal itu bukanlah sebuah
kebetulan saja.
Maka dengan mudahnya dia pun berhasil
mematahkan serangan orang itu. Kembali dengan
gerakan yang sama seperti yang dilakukannya
pada orang pertama, kali ini dia menghantam ke-
dua paha orang itu hingga patah dan langsung
ambruk, pingsan.
Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya
setelah berdiri kembali.
"Dasar geblek! Bukannya minta maaf, ma-
lah cari penyakit!" gerutunya.
Tek Jien terkekeh.
"Hehehe... biarkan saja mereka. Toh, bu-
kan salah kita. Ah, tapi agaknya kita sudah tidak pantas untuk berkelahi, kita
sudah terlalu tua
untuk itu," katanya yang menyadari keadaannya.
Begitu pula dengan Patidina. "Benar kata-
mu, Tek Jien... kita memang sudah tidak pantas
untuk menjadi seorang jagoan lagi. Tapi... haha-
ha... kita ini adalah pendekar-pendekar tua yang masih kok nekat berkelahi
dengan orang-orang
muda... hahahah!"
Tek Jien pun terbahak mendengar kata-
kata sahabatnya.
Lalu keduanya memperhatikan Mukti yang
masih bertarung dengan Barong Projo.
Dia memang bisa mengimbangi permainan
tombak andalan yang diperlihatkan Barong Projo.
Dan hal itupun berhasil diakhirinya dengan satu
gerakan aneh yang diperlihatkannya.
Tiba-tiba saja tubuhnya meliuk-meliuk
dengan gerakan yang membingungkan. Dan seca-
ra tiba-tiba pula kedua tangannya yang meme-
gang dua buah ranting pun bergerak dengan ge-
rakan seperti mengacau.
Ini membuat Barong Projo menjadi bin-
gung. Dan lebih bingung lagi ketika mendadak sa-
ja salah sebuah ranting yang dipegang Mukti
memukul pergelangan tangannya.
Dia menjerit. "Aaaaakh!"
Dan makin menjerit ketika ranting yang
sebuah lagi menyodok pangkal tangannya.
Tombaknya terlepas.
Mukti menghentikan serangannya. Dia ter-
kekeh. "Hehehe... lebih baik kau pergi dari sini, Barong Projo. Sebelum aku
menjadi semakin
jengkel dan menurunkan tangan telengas pada-
mu..." Barong Projo menggeram marah.
Jengkel dan kesal.
Namun bila dia melawan pun dia merasa
tidak mampu untuk mengatasinya. Kakek ini me-
nurutnya begitu tangguh.
Maka dia pun bermaksud mundur.
"Kakek peot... hari ini kau menang. Tetapi
ingat, aku akan datang kembali untuk mengambil
nyawamu!" ancamnya dengan suara menggeram.
"Hehehe... kembalilah... aku pun masih in-
gin melihat sampai di mana kehebatanmu. Tapi
kau pun perlu mengingatnya, lain kali bila kita
bertemu lagi, aku tak akan pernah memberi am-
pun padamu, Barong!"
"Hhh! Kita buktikan nanti, siapa tak akan
pernah memberi ampun!" seru Barong Projo. Lalu dia pun berkelebat meninggalkan
tempat itu dengan membawa sejuta amarah dan dendam yang
siap meledak suatu saat nanti.
Patidina berkata, "Rupanya kita sudah
kembali ke zaman di mana kita masih segar dan
muda dulu..."
Tek Jien pun menyahuti, "Benar, dan kita
tak bisa lagi menghindar dari semua ini. Tadi adalah sebuah permulaan yang akan
terjadi pada ki-
ta...." Mendengar kata-kata kedua sahabatnya, Mukti pun mendekat.
"Yah... aku pun sebenarnya merasa malu
karena di usia kita yang sudah senja ini masih
suka sok-sok berbuat seperti tadi. Tapi... bukankah ini menandakan kalau kita
masih memiliki kehebatan yang sama seperti dulu?" kata Mukti sambil memperhatikan kedua
sahabatnya. Patidina terkekeh. "Hehehe... kalau mau ju-
jur, aku pun harus mengakuinya, bahwa gera-
kanku sudah begitu lamban dan tak bertenaga...."
Tek Jien pun berkata, "Sama seperti aku.,
gerakanku pun sudah tidak selincah dulu lagi.
Aku mendadak saja merasa cepat lelah. Dan yang
pasti, aku sudah tahu, kalau aku sebenarnya tak
bisa berbuat banyak seperti dulu lagi... ah, ke-
tuaan ini ternyata mendera kita, bukan?"
"Benar kata-katamu itu, Tek Jien...," kata Mukti. "Kita memang tidak bisa
seperti dulu lagi.
Aku pun tadi merasa sudah sedikit kewalahan
menghadapi permainan tombak yang hebat dari
Barong Projo. Cuma saja, aku menang pengala-
man dalam hal bertarung...."
Ketiga kakek itu terdiam. Dan mereka baru
menyadari, kalau ketuaan mereka yang datang
perlahan-lahan ini ternyata begitu menyiksa seka-li. Mereka sebenarnya kecewa
melihat gerakan-
gerakan yang mereka perlihatkan. Karena mas-
ing-masing merasakan kalau gerakan mereka su-
dah lambat dan tidak lincah seperti dulu lagi.
Sebelum mereka bertemu dengan gerombo-
lan perampok dan berkelahi, mereka tidak me-
nyadari kalau gerakan mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Mungkin hanya naluri
mereka saja yang bisa diandalkan dalam hal berkelahi.
"Sahabat-sahabatku," kata Mukti. "Kita memang sudah semakin tua saja. Dan aku
ingin sekali di masa tuaku ini bisa tenang dalam men-
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gakhiri masa hidup. Dan aku tak ingin lagi terlibat dengan segala urusan
keduniaan."
"Begitu pula denganku, Mukti," kata Patidina. "Aku berharap, dapat hidup yang
sempurna dan berhasil di masa hayatku ini."
"Keinginan kalian tidak jauh berbeda den-
gan apa yang kuinginkan," kata Tek Jien. "Ya, ya... di samping itu, sebelum ajal
menjemputku, aku masih ingin melihat murid kita, Ratih Nin-
grum dan suaminya, Madewa Gumilang...."
Mendengar kata-kata Tek Jien, Mukti dan
Patidina seperti diingatkan akan rencana semula
mereka. Lalu Mukti berkata, "Kalau begitu, seka-
rang juga kita berangkat menuju Perguruan To-
peng Hitam...."
Dan ketiganya pun kembali mengambil pe-
ti-peti yang mereka bawa tadi. Dan ketiganya mu-
lai melangkah lagi, meninggalkan beberapa orang
yang pingsan dan terluka.
Meninggalkan tempat yang baru saja terja-
di perkelahian.
Dan menyongsong senja tak terasa mulai
datang menjelang.
Empat Malam semakin larut. Pekat. Udara ber-
hembus amat dingin. Membuat tubuh menggigil
dan sampai ke tulang sumsum rasanya. Bunyi
binatang malam bersahut-sahutan. Dan samar-
samar terdengar lolong anjing malam yang me-
nyayat dan menggetarkan hati.
Di sebuah hutan kecil itu, satu sosok tu-
buh berkelebat dengan hebat. Langkahnya cepat.
Bagai sebuah bayangan belaka.
Sinar rembulan yang terhalang oleh pohon-
pohon yang tumbuh di sana, tak bisa mencapai
ke tanah. Membuat suasana hutan itu bertambah
menyeramkan. Namun sosok tubuh yang berlari itu, tak
menghiraukan suasana yang menyeramkan. Dia
terus saja berlari.
Bila rembulan bisa menembus sedikit saja
pekatnya hutan, maka akan terlihat wajah itu be-
tapa geram. Sinar matanya seakan memancarkan
amarah yang teramat sangat.
Sosok itu adalah Barong Projo.
Setelah dikalahkan oleh Mukti, dan melihat
beberapa anak buahnya pingsan dibuat oleh Pati-
dina dan Tek Jien, Patidina Barong Projo menjadi amat murka. Dan dia tidak
terima perlakuan seperti ini.
Barong Projo bermaksud meminta bantuan
pada teman-temannya yang berada di hutan itu.
"Mudah-mudahan Tiga Setan Pemetik
Bunga berada di tempat kediaman mereka malam
ini," katanya sambil terus berlari.
Di hutan itu, terdapat sebuah telaga. Dan
di belakang telaga itu terdapat sebuah gubuk je-
lek yang amat menyeramkan.
Di pintu gubuk itu terdapat dua buah ke-
pala berbentuk tengkorak, dan dua buah dupa
yang mengepulkan asap.
Barong Projo berhenti di depan gubuk itu.
"Hmm... agaknya ketiganya ada di tempat,"
gumamnya yang melihat dupa mengepulkan asap.
Bertanda Tiga Setan Pemetik Bunga tidak ke ma-
na-mana. Bila mereka pergi. Dupa itu tak akan
mengepulkan asap.
Barong Projo bermaksud hendak mengetuk
pintu gubuk itu. Namun urung ketika mendengar
suara kekehan dan tangisan dari dalam.
Dia menjadi mendengus sendiri.
"Sialan! Rupanya tiga kakek itu sedang
asyik berpesta. Ayam-ayam bulat mana lagi yang
sedang mereka siangi ini!"
Dari dalam gubuk itu terdengar suara ke-
kehan disusul dengan suara berkata, "Hehehe...
mengapa tidak sejak tadi kau diam saja, hah"
Mengapa harus berontak" Toh berontak atau pun
tidak sama saja. Aku akan tetap menikmati han-
gatnya tubuhmu, Manis..."
Dan terdengar suara rintihan mirip tangi-
san. Begitu mengibakan.
Terdengar lagi suara yang lain, "Hehehe...
rupanya kau sudah selesai, Polodomo!"
"Kau juga demikian bukan, Pala Tunggal?"
terkekeh Polodomo.
"Aku pun sudah selesai, kawan-kawan,"
terdengar suara yang lain. "Bukan main, di malam yang dingin ini suasana menjadi
teramat hangat dengan adanya ayam-ayam bulat yang te-
lah membangkitkan birahi kita...."
"Hahaha.... ini semua karena nafsumu
yang sulit untuk kau kekang, Sakung Bukit!" tertawa Polodomo.
Dan di sela tawa Tiga Setan Pemetik Bun-
ga, terdengar isak pilu dari tiga orang gadis yang baru saja mereka perkosa.
Ketiga gadis itu diculik orang-orang itu saat mandi sore di sungai. Mereka
berasal dari desa seberang.
Tiba-tiba terdengar jeritan gadis yang be-
rambut panjang. Lalu disusul dengan kepala ter-
kulai. Rupanya dia tidak kuat menahan penderi-
taan yang telah dialami dan akan dialaminya nan-
ti. Dia tak mau dirinya diejek orang, ditertawakan orang karena sudah tidak
perawan lagi. Bahkan
yang amat memalukan, perawannya digasak
orang dengan buas.
Makanya dia lebih baik memilih mati dari-
pada hidup harus menanggung malu.
Melihat teman mereka telah menjadi mayat
dengan jalan membunuh diri dengan menggigit li-
dahnya sampai putus, kedua temannya pun ber-
buat yang sama.
Mendengar jeritan itu, Tiga Setan Pemetik
Bunga menoleh seketika.
Polodomo mendengus, "Gadis-gadis bodoh!
Dipikirnya enak mati, apalagi dengan jalan mem-
bunuh diri"! Dasar bodoh! Bukankah melayani ki-
ta-kita lebih enak, Kawan-kawan?"
Pala Tunggal dan Sakung Bukit terbahak.
"Betul, betul, itu!" kata Sakung Bukit di se-la tawanya.
"Mereka rupanya tak pernah merasakan
secara pasti, betapa nikmatnya sorga dunia yang
kita ciptakan...."
"Dan membuat kita terlena, bukan"!" sambung Pala Tunggal.
Ketiganya terbahak lagi.
Di luar gubuk itu, Barong Projo yang men-
dengarkan semua percakapan itu dan telah men-
getahui apa yang telah terjadi di dalam, menden-
gus. "Dasar, kakek-kakek cabul! Sudah pada uzur saja masih menghambur-hamburkan
nafsu!" gerutunya. Tetapi kemudian dia terkekeh. "Hehehe... bukankah bila mereka menjadi
orang baik-baik sekarang, aku tak akan bisa meminta
bantuan mereka untuk membalaskan dendamku
dan merebut tiga buah peti yang dibawa para ka-
kek brengsek itu!"
Tiba-tiba suara terbahak di dalam terhenti.
Disusul dengan suara, "Barong Projo! Sejak tadi kami menantimu untuk masuk!
Mengapa kau masih berdiam di luar, hah"! Ataukah kau senang
bila tubuh dan wajahmu yang jelek itu digigiti
nyamuk-nyamuk liar, hah!"
Barong Projo mendengus.
Lebih mendengus lagi ketika dia membuka
pintu, tiga orang kakek yang berada di dalam terkekeh. "Hahahah... bukankah
lebih baik sejak tadi kau masuk ke sini, Barong"!" kata Polodomo. Dia adalah
seorang kakek bertubuh kurus. Di pergelangan tangannya terdapat banyak gelang
berge- rigi. Wajahnya ditumbuhi janggut putih.
Kembali Barong Projo mendengus.
"Hhh! Apakah kalian mau bila kuganggu
keasyikan kalian, hah"!"
Pala Tunggal terbahak. "Hahaha... jangan
marah seperti itu sahabat. Kau adalah sahabat
kami yang paling baik. Nah, ada kabar apa kau
malam-malam datang ke sini, hah! Dan kulihat
wajahmu begitu kusut! Sepertinya kau tengah
menyimpan suatu perasaan yang menjengkelkan!"
Barong Projo menatap Pala Tunggal. Dia
adalah seorang kakek yang bertubuh gemuk. Ke-
palanya sedikit botak. Sepasang alisnya hitam le-gam di wajahnya yang tembam.
"Benar katamu, Pala Tunggal," berkata Barong Projo. Dan sepasang matanya
mendadak sa- ja memancarkan sinar dendam. Sinar mata itu
tak luput dari perhatian ketiga kakek sahabatnya itu. "He, ada apakah
gerangan"!" tanya Sakung Bukit. Dia seorang kakek yang tinggi langsing.
Dengan rambut yang terikat ekor kuda.
"Panjang bila kuceritakan seluruhnya."
"Lebih baik demikian, biar kami jelas apa
yang telah menyebabkan kau menjadi begitu," ka-
ta Sakung Bukit lagi.
"Dan yang perlu kalian ingat, warisan itu
pasti amat banyak jumlahnya!" kata Barong Projo.
Ketiga kakek pemetik bunga itu terbahak.
Pala Tunggal lalu membuang mayat tiga
gadis yang membunuh diri dengan jalan menggi-
git lidah masing-masing. Setelah itu dia kembali lagi ke gubuk itu.
Polodomo mengambil tuak merah yang me-
reka simpan. Lalu sampai pagi mereka meminum
sampai mabuk. Barong Projo sudah tidak sabar lagi me-
nunggu matahari sepenggalah. Dia sudah teramat
marah, dendam dan sakit hati pada tiga kakek
yang membawa peti yang melabrak dia dan anak
buahnya. "Tak lama lagi, kalian kakek-kakek sialan,
akan mampus berkalang tanah!" desisnya dengan suara menggeram.
"Dan kau perlu ingat, kau adalah sahabat
kami yang paling baik dan setia, Barong. Barang-
siapa yang berani mengusikmu, berarti dia juga
mengusik kami. Barang siapa dia menjadi te-
manmu, maka dia juga menjadi teman kami."
Mendengar kata-kata salah seorang dari
Tiga Setan Pemetik Bunga, wajah Barong Projo
berseri-seri. Lalu dia pun menceritakan semua
yang telah menimpa diri dan anak buahnya.
"Hhh....siapa tiga orang kakek itu"!" mendengus Polodomo dengan gusar.
"Aku tidak tahu siapa mereka sebenarnya.
Mereka bernama Mukti, Patidina dan Tek Jien...."
sahut Barong Projo.
"Hhh! Apa sebenarnya yang mereka ba-
wa"!" tanya Sakung Bukit. Dia sudah tidak sabar ingin mencari tiga kakek itu dan
membalaskan dendam sahabatnya.
"Sebenarnya sejak semula kami telah men-
gikuti ketiganya yang masing-masing membawa
sebuah peti. Dari percakapan yang mereka laku-
kan, aku yakin sekali kalau tiga buah peti itu berisi emas permata dan berlian.
Dan dari percaka-
pan mereka pula aku mendengar, kalau semua
itu adalah harta warisan...."
"Ah, sayang sekali kau tidak bisa merebut
peti-peti itu dari tangan mereka," kata Pala Tunggal. "Bila kau berhasil merebut
satu saja, maka kita akan kaya raya!"
"Hahaha... benar, benar itu!" terkekeh Polodomo. "Barong.... ya... ya... kami
akan memban-tumu untuk membalaskan sakit hatimu pada tiga
kakek itu. Dan juga merebut warisan itu dari tangan mereka. Hmmm... kau tahu
kira-kira mereka
ke mana?" "Secara pasti aku tidak tahu! Tapi yang ku-
tahu, mereka tengah menuju ke arah timur Gu-
nung Slamet!"
"Mau apa mereka ke sana?"
"Aku tidak tahu. Barangkali, si ahli waris
berada di sana."
"Bagus kalau begitu. Yang penting kita su-
dah tahu kemana orang-orang itu pergi," kata Pa-la Tunggal.
"Ya, kita akan hajar ketiga kakek itu!" sa-
hut Polodomo. "Kalau begitu, malam ini kita bersiap. Se-
hingga besok kita bisa langsung keluar mencari
ketiga kakek itu," kata Sakung Bukit. "Aku sudah tidak sabar ingin menghajar
karena ketiganya berani-beraninya menghajar dan menghancurkan
gerombolan perampok yang dipimpin oleh Barong
Projo, sahabat kita!"
Wajah dan hati Barong Projo menjadi gem-
bira mendengar ucapan dari Tiga Setan Pemetik
Bunga yang bersedia membantunya.
Lima Tiga kakek yang membawa peti di bahu
masing-masing berhenti melangkah. Dan pan-
dangan mereka lekat pada tembok-tembok tinggi
yang mengelilingi sebuah halaman besar dan
bangunan besar di dalamnya.
"Patidina... apakah kau yakin ini Pergu-
ruan Topeng Hitam?" tanya salah seorang kakek.
"Aku yakin sekali, Mukti. Bukankah kau
tadi mendengarnya sendiri ketika orang yang ku-
tanya itu menjawab?"
"Kalau memang benar ini adanya Pergu-
ruan Topeng Hitam dan dipimpin oleh Madewa
Gumilang serta murid kita Ratih Ningrum, alang-
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kah berbahagianya aku...."
"Ya, berarti kita tidak sia-sia menurunkan
ilmu dan melepas Ratih Ningrum pergi bersama
Madewa Gumilang," kata Tek Jien.
Ketiga kakek itu tak lain Mukti, Patidina
dan Tek Jien. Setelah menempuh hampir seming-
gu lamanya sejak perkelahian mereka dengan Ba-
rong Projo pimpinan gerombolan perampok Tom-
bak Seribu, kini ketiga kakek itu telah tiba di depan Perguruan Topeng Hitam.
Senja sudah mulai datang.
Dan angin berhembus dengan sejuk.
Ketiga kakek itu memandangi lagi bangu-
nan besar yang dikelilingi tembok tinggi.
"Apakah kita masuk sekarang?" tanya
Mukti. "Mengapa tidak?" sambung Patidina.
"Benar, tunggu apa lagi?" kata Tek Jien.
"Bukankah kita butuh istirahat dan makan?"
"Bagaimana bila bangunan yang dikelilingi
tembok tinggi ini bukan Perguruan Topeng Hi-
tam?" tanya Mukti.
"Benar. Bagaimana pula bila bukan dipim-
pin oleh pemuda yang pernah mengalahkan kita
dulu, Madewa Gumilang?" kata Patidina.
"Ya, ya...." Tek Jien mengangguk-angguk.
"Bila kini bukan Perguruan Topeng Hitam, kedatangan kita bisa dikatakan dengan
menantang. Dan bila ini Perguruan Topeng Hitam namun bu-
kan dipimpin oleh Madewa Gumilang, keadaan ki-
ta pun tak banyak bedanya."
"Lalu bagaimana?" kata Mukti.
"Apa yang harus kita perbuat?" kata Patidina. "Betul! Perut ku pun sudah lapar!"
kata Tek Jien. "Tapi kita harus meyakinkannya terlebih
dulu!" kata Mukti.
"Kita tak bisa berdiam diri di sini saja."
"Ya, kalau kita bengong saja kayak kamb-
ing congek, kita tidak akan pernah tahu bangu-
nan apa yang ada di balik tembok tinggi ini," kata Patidina.
"Berarti kita masuk bukan?" kata Tek Jien seolah-olah bertanya.
Ketiga kakek ini rupanya suka sekali per-
cakapan yang seolah-olah satu sama lain masih
ragu. Padahal maksud mereka untuk masuk ke
bangunan itu. Setelah itu ketiganya pun mulai melangkah
dengan membawa peti di pundak masing-masing.
Di pintu gerbang bangunan itu terdapat
dua orang penjaga yang mengenakan pakaian hi-
tam-hitam dengan bertopeng hitam pula yang
menutupi wajahnya. Di punggung masing-masing
tersampir dua buah pedang bersilangan.
Melihat ketiga kakek itu datang, kedua
penjaga tadi segera mendekat dan bersikap
menghadang. "Hmm... ada apa, Kakek?" tanya salah seorang. Mukti memandang kedua sahabatnya.
"Lihat pakaiannya. Hitam-hitam. Dan dia
pun mengenakan topeng berwarna hitam pula,"
katanya. "Berarti memang ini Perguruan Topeng Hi-
tam," kata Patidina.
"Jangan bergembira dulu, kita tanyai siapa
pemimpin mereka," kata Tek Jien.
Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga
itu. "Ki Sanak... kedatangan kami hanya untuk sekedar bertanya...."
"Bertanya apa, Kakek?"
"Benarkah ini Perguruan Topeng Hitam?"
"Ya."
"Benarkah perguruan ini dipimpin oleh
Madewa Gumilang?"
"Ya."
"Benarkah dia yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma?"
"Ya... hei, Kakek... untuk apa kau ber-
tanya-tanya seperti itu?"
Tetapi Mukti tidak perduli dengan kehera-
nan penjaga itu. Dia terus bertanya.
"Benarkah istrinya yang bernama Ratih
Ningrum?" Walau keheranan penjaga itu mengiyakan
pula "Ya."
"Apakah istrinya memiliki ilmu Sepasang
Pedang Kembar, Keris Tunggal dan Pukulan Tan-
gan Seribu?"
"Ya."
Mendengar jawaban terakhir itu di-
ucapkan, gembira Mukti berpaling pada kedua
sahabatnya. "Tidak salah lagi. Perguruan ini dipimpin
oleh penjaga kuda majikan kita dulu. Dan istrinya murid kita!"
"Benar, aku sudah tidak sabar untuk meli-
hatnya!" kata Patidina.
"Cepat kau minta pada kedua penjaga ini,
bahwa kita ingin masuk!" kata Tek Jien.
Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga
itu. "Tolong sampaikan kepada ketua kalian dan istri beliau, bahwa tiga pengawal
Biparsena datang kepada mereka...." katanya.
Tetapi kedua penjaga itu malah terdiam.
Dari balik topeng yang mereka kenakan, sepasang
mata itu menatap menyelidik.
"Hei, mengapa kalian diam saja"!" tanya Mukti sedikit heran dan kesal.
Salah seorang berkata dengan nada me-
randek, "Hmm.... tidak semudah itu datang untuk menemui ketua dan istrinya...."
"Kenapa?"
"Kami tidak mengenal kalian bertiga, Ka-
kek. Dan sepertinya kalian tidak pernah datang
kemari sebelumnya."
"Memang betul! Tapi kami guru dari Ratih
Ningrum!" "Hmm... kakek banyak orang-orang jahat
yang datang berpura-pura dengan maksud baik
kepada Ketua dan Nyonya Ketua, tapi kenyataan-
nya...." "Jadi kau menyangka kami orang jahat"!"
potong Mukti jengkel. "Dasar penjaga, Tolol! Cepat kalian masuk dan katakan kami
datang!" Tetapi kedua penjaga itu tetap berdiam di
tempat. Malah tanpa diduga, keduanya telah me-
loloskan sepasang pedang mereka.
"Tidak mudah untuk menemui Ketua dan
Nyonya Ketua. Dan pergilah kalian dari sini Ka-
kek, sebelum kemarahan kami menjadi-jadi...."
Mukti mendengus. "Dasar penjaga tolol!
Rupanya kau terlalu banyak berprasangka buruk
pada tamu...."
"Karena terlalu banyak pula tamu yang
berpura-pura baik dan mengenal Ketua dan
Nyonya Ketua tetapi sebenarnya dia bermaksud
jahat!" balas penjaga itu tak mau kalah. Suaranya pun menggeram.
"Hhh! Dan kau pun menyangka kami ada-
lah orang-orang yang bermaksud jahat"!" potong Tek Jien yang tidak sabaran. Dia
jengkel karena kedua penjaga ini terlalu lamban bergerak.
"Ya! Dan kami minta, kalian sebaiknya per-
gi dari sini!" seru penjaga itu lagi.
"Sialan!" maki ketiga kakek itu berbarengan. "Bila kalian tidak mau pergi juga
dari sini, jangan salahkan kami bila kami bertindak kejam!"
"Hei, jadi kau benar-benar menyangka ka-
mi orang jahat dan mengusir kami"!" seru Patidina.
"Kupikir, meskipun kalian sudah kakek-
kakek, tetapi telinga kalian masih berfungsi!"
Memerah wajah ketiga kakek itu. Bila dika-
takan tidak berfungsi, berarti mereka budek. Dan dibilang masih berfungsi, ini
pun sudah merupakan satu ejekan.
Mukti berkata sambil menahan geramnya,
"Hmm... kami masih ada tenggang rasa sebenarnya. Kami kagum dengan kesiagaan
kalian ber- dua menjaga. Yang amat berhati-hati. Namun
kami tidak suka melihat gerak kalian yang lam-
ban seperti ini... Bila kami bermaksud jahat, kalian sudah kami lumpuhkan, tahu!
Mengerti ka- lian"!" Bila saja ketiga kakek itu melihat wajah keduanya yang berada di balik
topeng hitam yang
keduanya kenakan, dapat melihat wajah kedua-
nya merah padam.
Gerakan mereka lamban" Hhhh! Keduanya
mendengus. Keduanya menatap tidak percaya pada ke-
tiga kakek yang nampak tidak sabar menunggu.
Tetapi keduanya pun tak mau membiarkan
ketiganya masuk begitu saja. Karena mereka ta-
hu, betapa banyaknya orang-orang jahat yang iri
dan mempunyai dendam kepada Ketua dan
Nyonya Ketua mereka. Ini menyebabkan mereka
menjadi lebih hati-hati untuk menerima tamu
yang datang. Apalagi sebagian besar orang-orang jahat
yang datang, selalu berpura-pura baik. Mengenal
ketua dan Nyonya Ketua. Sahabat akrab mereka.
Dan masih banyak lagi cara berpura-pura yang
digunakan oleh orang-orang jahat untuk membu-
nuh Ketua dan Nyonya Ketua mereka.
Itulah sebabnya, keduanya tidak mau
membuat kesalahan dengan resiko yang cukup
tinggi. Bagi keduanya, lebih baik nyawa mereka
yang lepas dari jasad daripada nyawa Ketua dan
Nyonya yang mereka amat hormati itu.
Pandangan keduanya lekat pada ketiga ka-
kek itu yang nampak sudah jengkel menunggu.
"Cepat kalian katakan pada Ketua kalian,
bahwa kami, Mukti, Patidina dan Tek Jien datang
untuk bertemu," kata Tek Jien yang sudah bosan untuk berlama-lama di sini.
Begitu pula dengan kedua sahabatnya.
Mereka sudah tidak sabar untuk berjumpa
dengan murid mereka Ratih Ningrum.
Namun kedua penjaga itu tetap pada kepu-
tusannya. "Lebih baik kalian pergi dari sini, sebelum kami menjadi marah!"
"Penjaga tolol!" membentak Mukti karena jengkelnya. "Apakah kau tidak bisa
membedakan orang yang bermaksud jahat dan bermaksud
baik...." "Pergi dari sini kataku...."
"Setan!"
"Pergi dari sini, atau kalian akan melihat
betapa gerakan kami begitu cepat. Tidak seperti
sangka kalian!" seru penjaga itu dan tiba-tiba saja dia menyerbu dengan dua buah
pedang terhunus,
ke arah Mukti! Enam Menerima serangan yang dilancarkan seca-
ra tiba-tiba itu bagi Mukti bukanlah suatu hal
yang menyusahkan. Namun dia terkejut karena
penjaga itu benar-benar membuktikan ucapan-
ucapannya untuk menyerang.
"Dasar tolol! kau hanya membuang waktu
dan tenaga saja?" geramnya seraya memiringkan tubuhnya. Namun dia pun harus
melompat ketika
kedua pedang itu bergerak menyabet ke arah ka-
kinya. "Tahan seranganku ini, Kakek!" seru penjaga itu dengan geram dan terus
melancarkan se-
rangannya. Melihat kawannya sudah menyerang, pen-
jaga yang satunya lagi pun dengan ganas me-
nyerbu ke arah Tek Jien.
"Hei!" seru Tek Jien terkejut dan menghindari dengan jalan bersalto.
Diam-diam penjaga itu kagum melihat ka-
kek itu bergerak demikian cepat dengan memba-
wa beban di pundaknya.
"Mampuslah kau, Kakek!" geramnya yang
juga punya keyakinan yang sama seperti teman-
nya kalau ketiga kakek ini bermaksud jahat.
"Hhh! Kau tak banyak beda dengan te-
manmu itu! Sama-sama tolol!"
Namun bagi kedua penjaga atau murid
Perguruan Topeng Hitam itu, hanya sia-sia saja
serangan yang mereka lakukan terhadap Mukti
dan Tek Jien. Karena kedua kakek itu bukanlah tandin-
gan mereka. Sebentar saja keduanya berhasil dilum-
puhkan. Namun suara ribut-ribut itu memancing
beberapa murid yang lain dan segera mengurung
mereka. "Runyam! Runyam sudah semuanya!"
menggerutu Patidina sambil menghentak-
hentakkan kakinya ke tanah. Apa yang dilaku-
kannya sebenarnya bisa mengundang tawa. Na-
mun tak ada seorang pun yang tertawa.
Apalagi beberapa murid Perguruan Topeng
Hitam yang baru datang dan terkejut melihat ke-
dua kawan mereka terjatuh di tanah.
"Hhh!" salah seorang mendengus. "Siapa kalian kakek" Dan maksud apa kalian
membuat onar di sini, hah.!"
Mukti pun mendengus.
"Kami adalah tiga kakek dari desa Bojon-
gronggo. Namaku Mukti, ini kawanku Patidina
dan Tek Jien. Kami datang ingin bertemu dengan
Ketua dan Nyonya Ketua kalian."
"Tidak mudah untuk bertemu dengan me-
reka, Kakek...."
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan, kami adalah guru dari Ratih
Ningrum...."
"Tidak, Kakek... tidak semudah itu...."
"Ada apa ini"!" terdengar suara di belakang mereka. Nampak seorang laki-laki
muda tengah berjalan mendekat.
Melihat kemunculan orang itu, para murid
Perguruan Topeng Hitam segera menjura.
Lalu salah seorang berkata, "Maafkan kami
Putra Guru... ada tiga orang kakek yang mengaku
sebagai guru dari Nyonya Ketua... mereka me-
maksa ingin masuk dan bertemu dengan Ketua
dan Nyonya Ketua."
Laki-laki muda yang tak lain Pranata Ku-
mala, putra dari Madewa Gumilang dan Ratih
Ningrum, memandang ketiga kakek itu dengan
seksama. Pranata Kumala dan istrinya. Ambarwati
memang berada di Perguruan Topeng Hitam. Se-
belumnya mereka selalu bertualang. Namun keti-
ka rindu datang mendera pada keduanya untuk
kembali ke rumah, malapetaka pun terjadi.
Pranata dan istrinya tinggal di Laut Sela-
tan. Rumah milik istrinya. Namun di Laut Selatan terjadi prahara yang amat
ganas. Gerombolan orang-orang jahat pimpinan
Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah datang
memporak-porandakan seisi desa dan pantai laut
Selatan. Dalam satu pertarungan yang sengit,
Pranata bisa dikalahkan oleh Nyai Prodo.
Dia ditangkap dan disiksa.
Bila Madewa Gumilang dan istrinya tidak
datang, mungkin ajal sudah menjemput Pranata
Kumala dan istrinya. Lalu Pranata pun dibawa ke
Perguruan Topeng Hitam untuk diobati (Baca:
Prahara di Laut Selatan).
Kini luka-lukanya telah sembuh.
Pranata tersenyum pada ketiga kakek itu.
"Maafkan para sahabatku, Kakek...." katanya dengan suara yang sopan.
Mendapat sambutan yang hangat dan so-
pan itu, membuat ketiga kakek itu tersenyum.
"Anak muda... kami datang untuk berjum-
pa dengan Ketua dan Nyonya Ketua dari Pergu-
ruan ini. Hmm... siapakah Anak muda sebenar-
nya?" "Namaku Pranata Kumala. Aku adalah putra dari ayah dan ibuku yang bernama
Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum."
Wajah ketiga kakek itu berseri.
"Benarkah?" tanya ketiganya serempak.
Pranata mengangguk.
"Benar, kakek... Lalu siapakah kakek seka-
lian ini" Dan mengapa kakek ingin menjumpai
ayah dan ibu?"
"Pranata... pernahkah ibumu menceritakan
kalau dia memiliki tiga orang guru yang bernama
Mukti si Pedang Kembar, Patidina di Keris Tung-
gal dan Tek Jien si Pukulan Tangan Seribu?"
"Pernah, Kek."
"Kau sudah pernah berjumpa dengan keti-
ga guru ibumu itu?"
"Belum, Kek."
"Nah, kamilah tiga guru dari ibumu itu...."
Wajah Pranata Kumala berseri. "Benar-
kah?" "Maafkan kami, Pranata... tolong panggil ibumu kemari. Biar semuanya
menjadi jelas dan
salah paham yang terjadi antara kami dengan pa-
ra murid di sini tidak berlarut-larut...." kata Mukti.
Pranata Kumala menyuruh salah seorang
murid untuk memanggil ayah dan ibunya.
Tak lama kemudian, muncul dua sosok tu-
buh dari bangunan besar itu. Satu sosok tubuh
mengenakan pakaian berjubah putih dengan se-
nyum arif dan bijaksana. Usianya kira-kira 45 tahun. Yang satu lagi seorang
wanita yang nam-
paknya telah matang dalam pengalaman hidup.
Wajahnya masih cantik jelita.
Hati ketiga kakek itu berdebar keras. Mas-
ing-masing menggumamkan kata, "Ratih! Made-
wa!" Ratih Ningrum dan Madewa sendiri terkejut melihat ketiga kakek yang datang
itu. Ratih Ningrum berlari dan menjatuhkan di-
ri di hadapan ketiga kakek itu yang menjadi ter-
haru. "Guru!"
Masing-masing menurunkan peti yang me-
reka bawa. "Guru... sembah dari muridmu yang telah
lama tidak mengunjungimu...." terdengar suara Ratih Ningrum yang terdengar
terharu. Mukti berkata, "Bangunlah, Ratih... Kau
tak pantas berbuat seperti ini di hadapan para
muridmu...."
"Tidak Guru... bila Guru belum menerima
sembah saya, saya akan terus berlutut di sini...."
"Sembahmu kami terima, Ratih...."
Perlahan-lahan tubuh Ratih Ningrum
bangkit berdiri. Terlihat kalau matanya berkaca-
kaca. Mereka merasa amat terharu melihat murid
mereka telah menjadi istri dari seorang pendekar budiman.
Madewa pun mendekat dan menjura, "Se-
Pendekar Pedang Kail Emas 5 Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Pendekar Aneh Naga Langit 19
WARISAN BERDARAH Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Gambar oleh: Jesco Setting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau se-
luruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode: Warisan Berdarah
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Satu Semalaman hujan turun dengan lebat.
Membasahi segenap bumi. Hingga membuat be-
cek yang cukup menyiksa di jalan setapak itu.
Namun pagi ini hanya tinggal biasnya saja yang
bercampur dengan embun pagi. Mengeluarkan
bau tanah yang enak untuk dicium.
Tetapi bagi tiga orang kakek yang melang-
kah dengan masing-masing membawa sebuah pe-
ti di pundaknya, tanah becek yang tebal itu bu-
kanlah suatu halangan bagi ketiganya untuk me-
langkah. Malah mereka seakan tak pernah me-
nyadari kalau tanah yang becek itu bisa menjadi
penghalang bagi siapa pun yang melangkah.
Salah seorang kakek itu berkata, "Masih
jauhkah Perguruan Topeng Hitam berada?"
Yang seorang menyahut, dia bertelanjang
dada. Dan wajahnya mirip orang Cina. Meskipun
tubuhnya kelihatan kerempeng namun berisi, dia
kuat bertelanjang dada menahan hembusan an-
gin yang cukup dingin.
"Kata orang yang kita tanya semalam, kita
harus mengarah ke timur dari Gunung Slamet."
Yang satu lagi menggerutu. Dia mengena-
kan pakaian mirip orang-orang keraton.
"Gara-gara hujan sialan ini yang mengha-
ruskan kita berteduh. Bila tidak hujan dan kita
tidak berteduh, mungkin pagi ini kita tiba di Perguruan Topeng Hitam...."
"Ya, ya...." kata yang pertama berkata tadi.
"Aku sudah tidak sabar ingin melihat Den Putri Ratih Ningrum dan suaminya Madewa
Gumilang....!"
"Benar, Mukti...." kata yang bertelanjang dada. "Kabarnya, mereka pun telah
mempunyai seorang anak yang telah menikah. Ah, betapa bahagianya mereka..."
"Patidina...." kata yang dipanggil Mukti.
"Apakah kau yakin kalau memang Madewa
Gumilang yang memimpin Perguruan Topeng Hi-
tam" Setahuku dulu, Perguruan Topeng Hitam
dipimpin oleh si Dewa Pedang Paksi Uludara?"
Yang dipanggil Patidina itu adalah kakek
yang mengenakan pakaian mirip orang-orang ke-
raton. Dia menatap Mukti yang mengenakan pa-
kaian hitam-hitam.
"Aku pun tidak yakin. Malah ketika kuber-
tanya apakah ada yang mengenal dan tahu di
mana Madewa Gumilang berada, mereka malah
bertanya, apakah Madewa Gumilang yang berge-
lar Pendekar Bayangan Sukma" Semula aku bin-
gung. Lalu kukatakan saja iya."
"Benar katamu, Patidina," kata kakek yang bertelanjang dada, yang bernama Tek
Jien. "Malah ada pula yang bilang, nama Madewa Gumi-
lang pun kadang dijuluki manusia setengah dewa.
Ada juga yang bilang Pendekar Budiman. Dan se-
perti katamu tadi, dia pun bergelar Pendekar
Bayangan Sukma. Ah, andaikata pemuda yang
pernah mengalahkan kita beberapa puluh tahun
yang lalu itu memang benar dia adanya, aku
bangga sekali mendengarnya. Hahaha.... aku ma-
sih ingat bagaimana dulu di rumah majikan kita
Biparsena ayahanda dari Den Putri Ratih Nin-
grum kita dipecundangi dengan mudah olehnya....
hahaha.... lucu, lucu sekali bila kita mengingatnya..." "Masih untung kita tidak
dibunuhnya oleh Pukulan Bayangan Sukmanya yang hebat itu,"
kata Mukti. "Tetapi aku yakin, dia tak akan melakukan
kekejaman itu," kata Patidina. "Semula ketika majikan kita Biparsena
mengangkatnya sebagai pen-
jaga kuda, aku sudah yakin sekali kalau pemuda
itu adalah pemuda baik-baik...."
"Dan yang tak pernah kita sangka, dia ada-
lah murid tunggal dari Eyang Ki Rengsersari atau Pendekar Ular Sakti yang
mewariskan Pukulan
Bayangan Sukma padanya. Juga ajian Pandangan
Menembus Sukma...." kata Tek Jien.
"Hai, apa kau lupa.... kalau dia pun mewa-
risi seruling sakti milik gurunya," kata Patidina.
"Benar, Seruling Naga! Seruling yang maha
sakti!" kata Mukti.
Sebenarnya siapakah ketiga orang kakek
yang masing-masing membawa peti dan sedang
menuju ke Perguruan Topeng Hitam" Mereka se-
pertinya begitu banyak mengenal Madewa Gumi-
lang atau Pendekar Bayangan Sukma dan istrinya
Ratih Ningrum. Ketiga kakek itu tak lain adalah bekas para
pengawal setia ayah dari Ratih Ningrum, Biparse-
na. Dulu, ketiganya pun pernah mencoba ilmu
dari Madewa Gumilang sebelum Madewa diangkat
menjadi penjaga kuda dan penjaga Ratih Nin-
grum. Mereka adalah Mukti, si Pedang Kembar.
Patidina, si Keris Tunggal dan Tek Jien, si Pukulan Tangan Seribu. Merekalah
tiga orang guru da-
ri Ratih Ningrum. Mukti dan Patidina telah mem-
berikan senjata-senjata milik mereka pada murid
mereka, Ratih Ningrum dan ketiganya telah me-
warisi ilmu-ilmu yang hebat kepada Ratih Nin-
grum, saat Ratih Ningrum hendak mencari Ma-
dewa Gumilang. Setelah ayahnya meninggal di tangan Ma-
dewa Gumilang, Ratih Ningrum yang mencintai
Madewa Gumilang pun bermaksud mengikutinya.
Karena dia yakin dan pasti kalau hidupnya akan
bahagia bersama pemuda yang dicintainya. Ratih
Ningrum pun tahu kalau ayahnya sebenarnya
adalah orang golongan hitam. Yang menyebarkan
kabar palsu tentang adanya Pedang Pusaka Dewa
Matahari yang dimiliki Ki Rengsersari alias Pen-
dekar Ular Sakti yang menjadi guru dari Madewa
Gumilang. Sehingga banyaklah para pendekar baik
dari golongan hitam maupun golongan putih da-
tang dengan maksud untuk merebut Pedang Pu-
saka Dewa Matahari. Tetapi kenyataannya, ha-
nyalah sebuah kabar bohong belaka.
Sebelum Ratih Ningrum meninggalkan ru-
mahnya bersama Madewa Gumilang, dia menye-
rahkan seluruh harta warisnya kepada ketiga
pengawal ayahnya yang setia atau pun yang men-
jadi gurunya. (Baca: Pedang Pusaka Dewa Mata-
hari dan Dendam Orang-orang Gagah).
Ketiga gurunya itupun tak bisa menahan-
nya untuk mengikuti Madewa Gumilang. Dan me-
reka dengan setia menjaga seluruh harta ke-
kayaan milik dari Ratih Ningrum, atau warisan
dari ayahnya Biparsena.
Mereka pun dengan setia menjaga seluruh
kekayaan itu. Hari berganti hari. Minggu berganti Minggu. Bulan berganti bulan.
Dan tahun berganti tahun. Tak terasa berpuluh tahun telah lewat.
Dalam hati ketiganya selalu mengharapkan
kalau-kalau Ratih Ningrum dan suaminya datang
menjenguk. Karena mereka merasa sudah tua
dan tak mungkin lagi dapat menjaga seluruh ke-
kayaan yang dimiliki oleh Ratih Ningrum.
Pada suatu malam, ketiganya pun berem-
buk untuk segera mencari Ratih Ningrum dan
Madewa Gumilang berada.
"Benar kata-katamu, Mukti," kata Patidina.
"Kita sudah tua. Umur kita semakin lanjut. Dan aku pun kuatir, seluruh warisan
ini tak akan bisa kita jaga lagi."
"Memang, dan aku berpikir... lebih baik ki-
ta serahkan kembali semua kekayaan harta waris
ini pada yang mempunyai. Pada murid kita, Ratih
Ningrum...." kata Mukti.
Tek Jien berkata, "Tetapi... setelah berpu-
luh tahun kita menunggu kedatangan murid kita
dan suaminya, agaknya penantian kita sia-sia be-
laka. Bukankah menurutku akan lebih baik bila
kita segera meninggalkan desa ini, desa Bojon-
gronggo untuk mencari dan menyerahkan seluruh
harta waris ini kepada Ratih Ningrum?"
"Aha!" Mukti berseru. "Benar kata-katamu, Tek Jien. Yah, lebih baik kita mencari
di mana gerangan Ratih Ningrum dan suaminya berada. La-
gipula, bukankah kita selama ini tidak lagi per-
nah melihat keadaan dunia luar?"
"Aku pun setuju dengan usulmu, Tek Jien.
Yah... kita bisa pergi besok pagi untuk mencari di mana gerangan murid kita dan
suaminya berada,"
kata Patidina. "Lalu bagaimana dengan seluruh kekayaan
ini?" tanya Mukti. "Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang
menjaga. Nah, siapa yang ingin menjaga dan tinggal di sini se-
mentara yang lain mencari ke dunia luar di mana
Ratih Ningrum dan suaminya berada?"
Mukti menatap kedua sahabatnya yang te-
lah sama-sama menjadi kakek-kakek seperti di-
rinya pula. Namun kedua sahabatnya tidak ada
yang menyediakan diri untuk menetap di sini dan
menjaga seluruh kekayaan.
Mukti tertawa. "Hahaha... aku pun tak mau menetap di
sini," katanya masih tetap menatap kedua sahabatnya.
"Lalu siapa yang akan menjaga?" tanya Tek Jien dan Patidina bersamaan.
Ketiganya terdiam. Siapa yang menjaga ke-
kayaan itu" Sementara mereka semuanya mau
pergi mencari Ratih Ningrum.
Tiba-tiba Mukti menepuk keningnya.
Kedua sahabatnya memperhatikan.
"Bodohnya aku!"
"Kenapa?" tanya Patidina.
"Kau punya usul?" tanya Tek Jien.
"Ya, ya... bagaimana bila kita bawa saja kekayaan ini?" tanya Mukti sambil
menatap kembali kedua sahabatnya.
"Ah, apakah kita bisa membawa rumah
yang besar ini berikut perlengkapannya yang ser-
ba mewah?" tanya Patidina.
"Bukan, bukan itu maksudku!" kata Mukti.
"Lalu apa?" tanya Tek Jien.
"Kita hanya membawa emas, berlian dan
permata yang berlimpah. Yang lainnya kita biar-
kan saja di sini. Kita titipkan pada kepala desa.
Nah, bagaimana?"
Kali ini kedua kepala sahabatnya men-
gangguk setuju.
Lalu malam itu juga, mereka segera mem-
persiapkan diri.
Setelah emas, permata dan berlian itu di-
kumpulkan, ternyata mencapai tiga peti banyak-
nya. "Bukan main!" desah Mukti. "Aku tak pernah menyadari selama ini kalau
begitu banyak- nya perhiasan yang ada di rumah ini."
"Benar," kata Patidina. "Ini tak akan habis dipakai oleh lima belas turunan."
"Sudahlah," kata Tek Jien yang selalu bertelanjang dada dari masa mudanya. "Kita
tak perlu memikirkan jumlah kekayaan ini. Yang pasti
kita harus bersiap dan berangkat besok pagi."
Keesokan paginya setelah matahari se-
penggalah, ketiganya pun keluar dari rumah itu
dengan membawa masing-masing sebuah peti
yang berisi emas yang jumlahnya amat banyak.
Dan sebelumnya ketiganya telah mendatangi ru-
mah kepala desa Bojongronggo untuk menitipkan
rumah dan perlengkapannya yang masih ada.
Setelah itu, ketiganya pun memulai perja-
lanan mereka untuk mencari Ratih Ningrum dan
suaminya, untuk menyerahkan warisan yang te-
lah berpuluh tahun mereka jaga.
Karena mereka menyadari usia yang mulai
uzur dan mereka kuatir akan meninggal sebelum
menyerahkan seluruh warisan ini pada yang ber-
hak. Di samping itu, mereka pun tak mau me-
ninggal sebelum berjumpa dengan murid mereka
yang bernama Ratih Ningrum. Yang dulunya seo-
rang gadis jelita yang sopan, baik dan tulus. Itulah sebabnya ketiganya bersedia
pula menurun- kan ilmu-ilmu mereka padanya.
Dua Dalam setiap saat rasanya mereka selalu
bertanya tentang Madewa Gumilang. Dan jawa-
ban-jawaban yang didapat, sebenarnya membuat
mereka bingung.
"Oh! Madewa Gumilang" Laki-laki yang di-
juluki Pendekar Budiman?"
"Pendekar Bayangan Sukma! Ya, ya... aku
tahu... dia kini memimpin satu perguruan yang
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terletak di sebelah timur Gunung Slamet!"
"Manusia setengah dewa" Ya... istrinya
bernama Ratih Ningrum?"
"Madewa Gumilang... oh, katakan di mana
saya bisa menemuinya. Dia adalah seorang laki-
laki berjubah putih yang arif dan bijaksana."
Jawaban-jawaban itu memang membin-
gungkan ketiga kakek itu. Dari rasa bingung be-
rubah menjadi rasa penasaran. Mereka pun sepa-
kat untuk segera menuju Perguruan Topeng Hi-
tam yang terletak di sebelah timur Gunung Sla-
met. Apakah Madewa Gumilang telah menjadi
tokoh yang teramat sakti dan disegani" Dan ba-
gaimana dengan Ratih Ningrum" Oh, kalau tidak
salah dari jawaban-jawaban yang diberikan orang
yang mereka tanyai, Ratih Ningrum masih men-
dampingi laki-laki yang kabarnya gagah perkasa.
Ketiganya menjadi tidak sabar untuk
membuktikan semua itu.
"Patidina dan Tek Jien," panggil Mukti.
"Aku sebenarnya menjadi heran namun penasa-
ran tentang siapa adanya pemuda itu. Benarkah
dia telah menjadi tokoh yang amat sakti dan sela-lu membela kebenaran?"
Ketiganya masih terus melangkah dengan
ringan tanpa merasa ada sedikit halangan pun
pada tanah becek yang mereka pijak. Malah seo-
lah-olah ketiganya tidak menginjak tanah. Ini
menandakan tenaga dalam dan ilmu meringan-
kan tubuh yang mereka miliki telah amat sem-
purna. "Sebenarnya aku pun demikian adanya,"
kata Patidina. "Namun bila pemuda yang dulu mengalahkan kita telah menjadi
seorang tokoh budiman pembela kebenaran, aku amat bangga
padanya." "Begitu pula aku," kata Tek Jien. "Dan aku tak pernah menyesali kepergian murid
kita bersamanya. Karena aku yakin, tentunya murid kita
telah dibimbingnya dan diberinya hidup yang
membahagiakan."
"Ya. ya... ternyata perasaan kalian sama
dengan perasaan yang ada padaku sekarang," ka-ta Mukti. "Ini membuatku pun
merasa senang mengingat pemuda itu telah menjadi tokoh perka-
sa yang sakti dan pembela kebenaran."
Kini ketiganya berada di tempat yang agak
lapang. Dan tidak begitu becek karena rumput
yang tumbuh di sana begitu lebat.
Belum ada lagi yang menyahuti kata-kata
Mukti, tiba-tiba dari balik rumput yang tebal itu berlompatan sepuluh orang
berpakaian merah-merah dengan memegang tombak. Mereka lang-
sung mengurung ketiganya.
Tatapan mereka tidak bersahabat. Garang.
Dan tombak yang ada di tangan mereka,
agaknya telah siap terhunus.
Ketiga kakek itu berpandangan.
"Rupanya ada orang-orang yang tengah
iseng pada kita," kata Mukti.
"Ya, dan mereka tak begitu suka pada ki-
ta," sambung Patidina.
"Benar," kata Tek Jien. "Mereka memang
tidak bersahabat. Tetapi apa yang telah menye-
babkan semua itu, aku tidak tahu."
"Benar, begitu pula dengan aku." kata
Mukti. "Apakah kita akan meneruskan perjalanan lagi?" kata Patidina.
"Hei, mengapa kita tidak lihat dulu apa se-
benarnya yang mereka maui," kata Tek Jien.
Mendengar kata-kata ketiga kakek itu yang
seolah tak merasa ada orang-orang itu di sana,
yang mengurungnya, telah membuat memerah
wajah salah seorang yang mengurung mereka.
Orang itu berperawakan tegap. Wajahnya
kukuh dengan sepasang mata yang nyalang ga-
rang. Seluruh wajahnya ditumbuhi rambut yang
lebat. Orang itu menggeram.
Dan membentak dengan suara yang san-
gar, "Kakek-kakek peot... bila kalian ingin tahu apa maksud kami sebenarnya dan
siapa kami bertanyalah!"
Ketiga kakek itu berpandangan kembali.
Lalu seolah tak menyadari bahaya yang mengan-
cam mereka kembali bercakap-cakap tanpa mera-
sa orang-orang yang mengurung mereka siap
menghujamkan tombak-tombak mereka.
"Dia menyuruh kita bertanya mereka mau
apa," kata Mukti.
"Ya, dia juga menyuruh kita untuk ber-
tanya siapa mereka," kata Patidina.
"Apakah kita akan bertanya?" tanya Tek Jien.
"Untuk apa?" Mukti balik bertanya.
"Benar, toh mereka tidak bersahabat den-
gan kita," sambung Patidina.
"Kalau begitu, kita terus saja?" kata Tek Jien. "Ya, untuk apa berlama-lama di
sini," kata Mukti seraya hendak melangkah.
"Toh kita tidak mengenal mereka dan tidak
punya urusan dengan mereka," kata Patidina
yang juga hendak melangkah.
"Ayolah kalau begitu," lanjut Tek Jien dan berbuat yang sama pula.
Mendengar kata-kata yang mereka
ucapkan itu, membuat laki-laki yang membentak
tadi semakin memerah wajahnya.
Dia geram dan merasa dipermainkan.
"Kakek-kakek anjing! Jangan jual lagak di
depanku"!"
Ketiga kakek itu tidak jadi untuk melang-
kah. Kembali mereka berpandangan.
"Dia marah!" kata Mukti.
"Ya, dia membentak kita," kata Patidina.
"Bukan hanya membentak, tetapi dia juga
memaki kita seperti anjing," kata Tek Jien.
"Apakah kita harus marah?" tanya Mukti.
"Dia sudah membentak kita dan memaki
kita seperti anjing," kata Patidina.
"Kalau begitu, kita beri pelajaran pada me-
reka!" sambung Tek Jien.
Dan kepala ketiga kakek itu pun berpaling
pada laki-laki yang membentak itu.
Mukti berkata, "Hhh! kau telah lancang
berkata, Ki Sanak! Kau seenaknya saja memaki
kami seperti anjing! Apakah kau mempunyai
nyawa dua, hah"!"
Merah padam wajah laki-laki itu. Kegera-
mannya sudah sampai ke ubun-ubun dan siapa
untuk meledak. "Kakek peot! Banyak omong pula kau,
hah"! Apakah kau tidak tahu berhadapan dengan
siapa"!" membentak marah laki-laki itu.
Kali ini Mukti berpaling pada kedua saha-
batnya. Kakek itu terkekeh.
"Hehehe... untuk apa kita bertanya siapa
mereka. Dia sendiri saja tidak tahu siapa dirinya."
"Benar," Patidina pun terkekeh. "Dia bertanya pada kita siapa dirinya."
"Hei, apakah dia sebenarnya cuma seorang
badut yang tengah melucu di depan kita?" kata Tek Jien dan terkekeh panjang.
Orang itu bukan main geramnya. Marah-
nya bukan alang kepalang lagi. Begitu memun-
cak. Lalu dia membentak lagi dengan suara
orang seperti mau muntah.
"Anjing-anjing buduk! Kalian rupanya be-
lum tahu siapa kami, hah"! Kami adalah gerom-
bolan perampok Tombak Seribu. Namaku sendiri
Barong Projo, pemimpin dari gerombolan ini! Ba-
rang siapa yang berani lancang dan menentang
kemauan kami, maka dia harus mampus di tan-
gan kami!"
"Lho, kami telah berbuat lancang apa?" ka-ta Mukti. Lalu berpaling pada kedua
sahabatnya. "Agaknya pagi ini kita bertemu dengan orang sakit jiwa." "Benar, dia bilang kita
anjing buduk! Eh, bukannya mereka yang seperti anjing-anjing buduk?" kata
Patidina dan kakek itu terkekeh.
"Betul, betul... mereka bukan hanya anj-
ing-anjing buduk! Tapi anjing-anjing kudisan...
hehehe...!" terkekeh Tek Jien yang merasa lucu dengan ucapannya sendiri.
Dan murkalah Barong Projo. "Kakek-kakek
peot, cepat kalian serahkan peti-peti yang kalian bawa itu! Atau... kalian ingin
mampus hari ini ju-ga!" Mukti berkata lagi pada kedua sahabatnya,
"O... rupanya peti-peti yang kita bawa ini yang mereka incar."
"Betul! Rupanya mereka ini memang pe-
rampok-perampok di siang hari... hehehe... pe-
rampok-perampok yang ternyata mau mati!" terkekeh Patidina.
"Apakah kita akan serahkan peti-peti ini
pada mereka?" tanya Tek Jien.
"Bagaimana kalau murid kita marah?"
tanya Mukti seolah kebingungan, padahal dia
memang bermaksud untuk memancing kemara-
han Barong Projo. Sejak mereka dikepung pun dia
sebenarnya sudah tahu maksud sesungguhnya
dari orang-orang ini. Sasaran mereka pasti peti-
peti yang mereka bawa!
"Betul. Aku lebih sayang pada murid kita
daripada orang-orang ini," kata Patidina.
"Berarti mereka tidak kita berikan peti-peti
ini," kata Tek Jien yang berpura-pura baru tahu akan kesimpulan kata-kata itu.
"Betul! Tapi kalau mereka bisa mengambil-
nya dan berhasil, ya lebih baik berikan saja!" kata Mukti. "Jadi kita berikan
kalau begitu?" kata Patidina. "Kalau mereka mampu," kata Mukti.
"Berarti kita harus berkelahi?" tanya Tek Jien. "Hei, bukankah kita sudah lama
tidak pernah berkelahi," kata Mukti. "Jadi ini lebih baik untuk menyegarkan
ingatan kita pada ilmu-ilmu
yang kita miliki. Rasanya... ah, aku masih sang-
gup untuk menjatuhkan orang, hei!"
Mukti tak bisa meneruskan lagi kata-
katanya, karena dengan penuh murka dan kema-
rahan yang teramat sangat, Barong Projo sudah
menyerbunya dengan tombak di tangannya.
Barong Projo tidak bisa menahan marah-
nya lagi karena ejekan-ejekan yang dilontarkan
ketiga kakek itu. Maka dia pun segera menyerbu.
Tombak yang mengarah lurus ke arah
Mukti, dengan mudah saja dihindarkannya den-
gan memiringkan tubuh.
"Wah, wah... rupanya orang ini pemarah
betul!" kekehnya sambil melompat lagi ketika tombak itu mengarah ke kakinya.
Melihat ketua mereka sudah menyerang,
tanpa dikomando lagi, anak buahnya segera me-
nyerbu Patidina dan Tek Jien.
Dan kedua kakek itu pun segera melaya-
ninya. Meskipun masing-masing di pundak kakek
itu membawa peti yang cukup berat, namun ge-
rakan mereka cukup gesit. Bahkan dengan terke-
keh-kekeh mereka menghindari serangan-
serangan yang datang silih berganti dengan cepat.
"Wah, wah... ini tidak main-main lagi!" kata Mukti sambil menghindari beberapa
tombak yang berdatangan ke arahnya. Kini dia dikerubuti tiga orang termasuk Barong Projo.
"Betul, kita harus beri pelajaran agar me-
reka kapok dan tahu siapa kita!" sahut Patidina.
"Jadi kita harus melawan?" tanya Tek Jien yang juga menghindari serangan-
serangan itu. "Mengapa tidak"!" seru Mukti sambil bersalto ke belakang. Begitu pula yang
dilakukan dua kakek sahabatnya. Mereka pun berbuat yang
sama. Lalu sama-sama pula ketiganya meletak-
kan peti yang mereka bawa di tanah. Setelah itu
ketiganya pun bersiap.
"Mampuslah kau, kakek-kakek peot!" ge-
ram Barong Projo sambil menyerbu yang diikuti
oleh beberapa anak buahnya.
Dan ketiga kakek itu pun bergerak mema-
paki. Gerakan mereka amat gesit sekali.
Dengan tanpa beban di pundak, ketiganya
bergerak bagaikan seekor burung. Tek Jien pun
sudah mengeluarkan jurus andalannya Pukulan
Tangan Seribu. Gerakan kakek itu masih amat lincah. Tak
ubahnya beberapa puluh tahun yang lalu. Kedua
tangannya menderu-deru bagaikan berubah men-
jadi seribu. Dan dengan tangan yang telah dialiri tena-
ga dalam dia bergerak bagaikan macan ngamuk.
Dia menangkis. Memapaki dan membalas.
Membuat para penyerangnya menjadi jeri.
Apalagi ketika dua orang pingsan terkena
pukulannya. Membuat dua lagi pengeroyoknya
harus berhati-hati dengan segala serangan yang
dilancarkan Tek Jien.
"Hehehe... rupanya kalian hanya besar mu-
lut saja!" terkekeh kakek yang keturunan Cina itu. Kembali dia melancarkan
serangan. Dua penyerangnya menjadi kalang kabut. Dan sebi-
sanya mereka untuk menangkis dan membalas.
Namun tangan Tek Jien yang berubah
menjadi seribu itu, lebih dulu mendarat di bebe-
rapa bagian tubuh kedua lawannya.
"Des!"
"Des!"
Dua buah pukulan mendarat di masing-
masing tubuh lawannya, yang langsung terjeng-
kang pingsan. Kakek itu terkekeh sambil menepuk-nepuk
kedua tangannya.
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dua sahabatku... untuk apa kalian ber-
main-main lagi" Cepat bereskan! Aku sudah bo-
san! Juga sudah lapar!"
Tiga Mendengar seruan Tek Jien yang seakan
mengejek keduanya, Mukti dan Patidina pun se-
gera menyerang dengan hebat.
Apalagi ketika dengan riangnya Mukti me-
matahkan dua buah ranting pohon sebesar pe-
dang. Barong Projo dan dua anak buahnya yang
membantu menjadi kewalahan.
Kakek itu telah menggunakan kedua rant-
ing tadi sebagai pedang. Lalu dia pun memain-
kannya dengan jurus pedang kembarnya yang
hebat. "Hehehe... mengapa kalian mundur, hah"!"
terkekeh kakek itu yang melihat ketiga lawannya
menjadi ngeri dengan permainan kedua ranting
yang dipegang oleh Mukti.
Meskipun hanya berupa ranting kecil, na-
mun bila terkena rasa sakitnya bukan alang ke-
palang. Karena kedua ranting itu sudah dialiri tenaga dalam.
Mendengar kata-kata yang mengejek itu,
membuat telinga Barong Projo menjadi memerah.
Dia menggeram murka.
Dan kembali laki-laki berwajah menyeram-
kan itu menyerbu dengan buas. Disusul dengan
dua orang anak buahnya. Tombak-tombak yang
ada di tangan ketiganya benar-benar mampu un-
tuk mencabut nyawa.
Namun yang dihadapinya adalah pendekar
tua yang masih hebat memainkan ilmu pedang
kembarnya. Sebentar saja dua buah tombak yang dipe-
gang anak buah Barong Projo sudah terlepas dari
tangan mereka. Dan sambil memekik bersalto,
kedua ranting yang ada di kedua tangan Mukti
dengan cepat menotok hingga kedua orang itu
terdiam kaku. Mukti berdiri kembali dengan tegap di ta-
nah. Menatap Barong Projo dengan tatapan men-
gejek. "Hei, Muka Barong! Bukankah ini sudah sebagai bukti, bahwa kau dan para
anak buahmu itu tak bisa merebut peti-peti yang kami bawa"!
Nah, mengapa tidak kau bersujud saja untuk
meminta ampun dariku! Hehehe... percayalah,
aku adalah seorang kakek yang baik hati! Pasti
kau kumaafkan... hehehe...!"
Wajah Barong Projo semakin memerah sa-
ja. Matanya membeliak-beliak penuh emosi. Na-
fasnya mendengus-dengus mirip kerbau jantan
yang tengah mengamuk.
"Kubunuh kau, Kakek peot!" bentaknya seraya menyerbu. Kali ini dia menggunakan
jurus andalannya, Tombak Menggapai Rembulan Me-
nyapu Badai. Jurus tombak yang dimainkannya demi-
kian hebat. Menyambar-nyambar dengan ganas.
Mengancam leher dan pergelangan kaki.
Mukti sejenak kebingungan menghadapi
serangan-serangan itu. Namun dia pun memapa-
kinya dengan ranting yang ada di tangannya.
Berkali-kali kedua senjata itu berbentro-
kan. Hebat. Cepat. Dan berbahaya. Tek Jien cuma menggeleng-gelengkan ke-
palanya saja. Sedikitnya dia kagum dengan per-
mainan tombak yang diperlihatkan oleh Barong
Projo. Sementara Patidina sudah menjatuhkan
salah seorang pengeroyoknya. Dengan gerakan
berguling yang cepat, kakek itu mengambil tom-
bak yang jatuh di tanah.
Dan mematahkannya pada ujungnya.
Membentuknya sebuah keris. Dengan patahan
ujung tombak yang dianggapnya sebagai keris,
mulailah dia memperlihatkan kehebatan permai-
nan keris tunggalnya.
Para pengeroyoknya menjadi kewalahan.
Dan sebentar saja mereka sudah terdesak.
"Hei, apakah mereka ini harus kubunuh"!"
seru Patidina pada Tek Jien.
"Terserah padamu. Bila kau biarkan hidup
pun, mereka akan semakin sombong saja! Mati
pun mereka tak ada gunanya! Yah, terserah pada
pilihanmu!" kata Tek Jien sambil melipat tangannya di dada.
"Kalau begitu, mereka akan kubuat ping-
san saja!" kata Patidina. Dan kakek itu memperlihatkan kelincahannya bermain
keris tunggal dari
patahan ujung tombak.
Para pengeroyoknya menjadi kebingungan.
Dan mereka pun sebisanya saja untuk menghin-
dar dan melayani, tanpa bisa berbuat lebih ba-
nyak lagi. Dan sebentar saja ujung tombak yang telah
dipatahkan itu, mengenai sasarannya.
"Sret!"
"Sret!"
Gerakan yang diperlihatkan Patidina bukan
main cepatnya. Ujung patahan tombak itu men-
genai tangan yang seorang dan paha yang lain-
nya. Keduanya mengaduh.
Dan segera menekap darah yang mengalir.
Namun melihat kenyataan ini, keduanya
bukannya malah jeri, malah semakin nekat me-
nyerang. "Kami akan mengadu jiwa denganmu, Ka-
kek busuk!" bentak salah seorang yang segera menyerbu disusul dengan temannya.
Ganas. Dan berbahaya. Tetapi Patidina hanya menyambutnya den-
gan terkekeh saja. Dia pun mengimbanginya den-
gan hebat. Namun baginya sekarang, sulit untuk
melumpuhkan keduanya tanpa melukai mereka
dengan luka yang cukup berbahaya.
"Maafkan aku, bila aku terpaksa membu-
nuh kalian!" kata Patidina sambil melompat
menghindari sambaran tombak yang mengarah
pada kakinya. Lalu dia melenting ke depan bersalto. Saat
bersalto itu dia melakukan satu gerakan yang
amat aneh. Dengan tiba-tiba saja dia sudah bera-
da di belakang orang itu dan berguling. Dengan
gerakan yang membingungkan, dia melewati ke-
dua kaki orang itu yang terbuka.
Dan tangan kirinya pun menghantam ba-
gian paha orang itu.
"Aaaaaahhhh!" terdengar jeritan yang keras disusul dengan suara 'krak'.
Paha orang itu patah. Dan tubuhnya men-
jadi limbung. Dia tak dapat menahan keseimban-
gan tubuhnya, juga merasakan sakit yang amat
menyengat. Dan tubuh itu pun ambruk.
Melihat temannya telah berhasil dilumpuh-
kan oleh kakek itu, yang seorang pun menjadi
murka. Dia menjerit hebat.
Dan menyerang dengan kalap serta mem-
babi buta. Meskipun demikian, serangannya ma-
lah jadi berbahaya.
Namun Patidina bukanlah kakek yang baru
saja turun gunung. Tidak mengetahui tipuan ge-
rakan dari seorang jago silat. Dia sudah mengua-
sai ilmu silat dan permainan senjata keris sejak muda. Hal itu bukanlah sebuah
kebetulan saja.
Maka dengan mudahnya dia pun berhasil
mematahkan serangan orang itu. Kembali dengan
gerakan yang sama seperti yang dilakukannya
pada orang pertama, kali ini dia menghantam ke-
dua paha orang itu hingga patah dan langsung
ambruk, pingsan.
Kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya
setelah berdiri kembali.
"Dasar geblek! Bukannya minta maaf, ma-
lah cari penyakit!" gerutunya.
Tek Jien terkekeh.
"Hehehe... biarkan saja mereka. Toh, bu-
kan salah kita. Ah, tapi agaknya kita sudah tidak pantas untuk berkelahi, kita
sudah terlalu tua
untuk itu," katanya yang menyadari keadaannya.
Begitu pula dengan Patidina. "Benar kata-
mu, Tek Jien... kita memang sudah tidak pantas
untuk menjadi seorang jagoan lagi. Tapi... haha-
ha... kita ini adalah pendekar-pendekar tua yang masih kok nekat berkelahi
dengan orang-orang
muda... hahahah!"
Tek Jien pun terbahak mendengar kata-
kata sahabatnya.
Lalu keduanya memperhatikan Mukti yang
masih bertarung dengan Barong Projo.
Dia memang bisa mengimbangi permainan
tombak andalan yang diperlihatkan Barong Projo.
Dan hal itupun berhasil diakhirinya dengan satu
gerakan aneh yang diperlihatkannya.
Tiba-tiba saja tubuhnya meliuk-meliuk
dengan gerakan yang membingungkan. Dan seca-
ra tiba-tiba pula kedua tangannya yang meme-
gang dua buah ranting pun bergerak dengan ge-
rakan seperti mengacau.
Ini membuat Barong Projo menjadi bin-
gung. Dan lebih bingung lagi ketika mendadak sa-
ja salah sebuah ranting yang dipegang Mukti
memukul pergelangan tangannya.
Dia menjerit. "Aaaaakh!"
Dan makin menjerit ketika ranting yang
sebuah lagi menyodok pangkal tangannya.
Tombaknya terlepas.
Mukti menghentikan serangannya. Dia ter-
kekeh. "Hehehe... lebih baik kau pergi dari sini, Barong Projo. Sebelum aku
menjadi semakin
jengkel dan menurunkan tangan telengas pada-
mu..." Barong Projo menggeram marah.
Jengkel dan kesal.
Namun bila dia melawan pun dia merasa
tidak mampu untuk mengatasinya. Kakek ini me-
nurutnya begitu tangguh.
Maka dia pun bermaksud mundur.
"Kakek peot... hari ini kau menang. Tetapi
ingat, aku akan datang kembali untuk mengambil
nyawamu!" ancamnya dengan suara menggeram.
"Hehehe... kembalilah... aku pun masih in-
gin melihat sampai di mana kehebatanmu. Tapi
kau pun perlu mengingatnya, lain kali bila kita
bertemu lagi, aku tak akan pernah memberi am-
pun padamu, Barong!"
"Hhh! Kita buktikan nanti, siapa tak akan
pernah memberi ampun!" seru Barong Projo. Lalu dia pun berkelebat meninggalkan
tempat itu dengan membawa sejuta amarah dan dendam yang
siap meledak suatu saat nanti.
Patidina berkata, "Rupanya kita sudah
kembali ke zaman di mana kita masih segar dan
muda dulu..."
Tek Jien pun menyahuti, "Benar, dan kita
tak bisa lagi menghindar dari semua ini. Tadi adalah sebuah permulaan yang akan
terjadi pada ki-
ta...." Mendengar kata-kata kedua sahabatnya, Mukti pun mendekat.
"Yah... aku pun sebenarnya merasa malu
karena di usia kita yang sudah senja ini masih
suka sok-sok berbuat seperti tadi. Tapi... bukankah ini menandakan kalau kita
masih memiliki kehebatan yang sama seperti dulu?" kata Mukti sambil memperhatikan kedua
sahabatnya. Patidina terkekeh. "Hehehe... kalau mau ju-
jur, aku pun harus mengakuinya, bahwa gera-
kanku sudah begitu lamban dan tak bertenaga...."
Tek Jien pun berkata, "Sama seperti aku.,
gerakanku pun sudah tidak selincah dulu lagi.
Aku mendadak saja merasa cepat lelah. Dan yang
pasti, aku sudah tahu, kalau aku sebenarnya tak
bisa berbuat banyak seperti dulu lagi... ah, ke-
tuaan ini ternyata mendera kita, bukan?"
"Benar kata-katamu itu, Tek Jien...," kata Mukti. "Kita memang tidak bisa
seperti dulu lagi.
Aku pun tadi merasa sudah sedikit kewalahan
menghadapi permainan tombak yang hebat dari
Barong Projo. Cuma saja, aku menang pengala-
man dalam hal bertarung...."
Ketiga kakek itu terdiam. Dan mereka baru
menyadari, kalau ketuaan mereka yang datang
perlahan-lahan ini ternyata begitu menyiksa seka-li. Mereka sebenarnya kecewa
melihat gerakan-
gerakan yang mereka perlihatkan. Karena mas-
ing-masing merasakan kalau gerakan mereka su-
dah lambat dan tidak lincah seperti dulu lagi.
Sebelum mereka bertemu dengan gerombo-
lan perampok dan berkelahi, mereka tidak me-
nyadari kalau gerakan mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Mungkin hanya naluri
mereka saja yang bisa diandalkan dalam hal berkelahi.
"Sahabat-sahabatku," kata Mukti. "Kita memang sudah semakin tua saja. Dan aku
ingin sekali di masa tuaku ini bisa tenang dalam men-
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gakhiri masa hidup. Dan aku tak ingin lagi terlibat dengan segala urusan
keduniaan."
"Begitu pula denganku, Mukti," kata Patidina. "Aku berharap, dapat hidup yang
sempurna dan berhasil di masa hayatku ini."
"Keinginan kalian tidak jauh berbeda den-
gan apa yang kuinginkan," kata Tek Jien. "Ya, ya... di samping itu, sebelum ajal
menjemputku, aku masih ingin melihat murid kita, Ratih Nin-
grum dan suaminya, Madewa Gumilang...."
Mendengar kata-kata Tek Jien, Mukti dan
Patidina seperti diingatkan akan rencana semula
mereka. Lalu Mukti berkata, "Kalau begitu, seka-
rang juga kita berangkat menuju Perguruan To-
peng Hitam...."
Dan ketiganya pun kembali mengambil pe-
ti-peti yang mereka bawa tadi. Dan ketiganya mu-
lai melangkah lagi, meninggalkan beberapa orang
yang pingsan dan terluka.
Meninggalkan tempat yang baru saja terja-
di perkelahian.
Dan menyongsong senja tak terasa mulai
datang menjelang.
Empat Malam semakin larut. Pekat. Udara ber-
hembus amat dingin. Membuat tubuh menggigil
dan sampai ke tulang sumsum rasanya. Bunyi
binatang malam bersahut-sahutan. Dan samar-
samar terdengar lolong anjing malam yang me-
nyayat dan menggetarkan hati.
Di sebuah hutan kecil itu, satu sosok tu-
buh berkelebat dengan hebat. Langkahnya cepat.
Bagai sebuah bayangan belaka.
Sinar rembulan yang terhalang oleh pohon-
pohon yang tumbuh di sana, tak bisa mencapai
ke tanah. Membuat suasana hutan itu bertambah
menyeramkan. Namun sosok tubuh yang berlari itu, tak
menghiraukan suasana yang menyeramkan. Dia
terus saja berlari.
Bila rembulan bisa menembus sedikit saja
pekatnya hutan, maka akan terlihat wajah itu be-
tapa geram. Sinar matanya seakan memancarkan
amarah yang teramat sangat.
Sosok itu adalah Barong Projo.
Setelah dikalahkan oleh Mukti, dan melihat
beberapa anak buahnya pingsan dibuat oleh Pati-
dina dan Tek Jien, Patidina Barong Projo menjadi amat murka. Dan dia tidak
terima perlakuan seperti ini.
Barong Projo bermaksud meminta bantuan
pada teman-temannya yang berada di hutan itu.
"Mudah-mudahan Tiga Setan Pemetik
Bunga berada di tempat kediaman mereka malam
ini," katanya sambil terus berlari.
Di hutan itu, terdapat sebuah telaga. Dan
di belakang telaga itu terdapat sebuah gubuk je-
lek yang amat menyeramkan.
Di pintu gubuk itu terdapat dua buah ke-
pala berbentuk tengkorak, dan dua buah dupa
yang mengepulkan asap.
Barong Projo berhenti di depan gubuk itu.
"Hmm... agaknya ketiganya ada di tempat,"
gumamnya yang melihat dupa mengepulkan asap.
Bertanda Tiga Setan Pemetik Bunga tidak ke ma-
na-mana. Bila mereka pergi. Dupa itu tak akan
mengepulkan asap.
Barong Projo bermaksud hendak mengetuk
pintu gubuk itu. Namun urung ketika mendengar
suara kekehan dan tangisan dari dalam.
Dia menjadi mendengus sendiri.
"Sialan! Rupanya tiga kakek itu sedang
asyik berpesta. Ayam-ayam bulat mana lagi yang
sedang mereka siangi ini!"
Dari dalam gubuk itu terdengar suara ke-
kehan disusul dengan suara berkata, "Hehehe...
mengapa tidak sejak tadi kau diam saja, hah"
Mengapa harus berontak" Toh berontak atau pun
tidak sama saja. Aku akan tetap menikmati han-
gatnya tubuhmu, Manis..."
Dan terdengar suara rintihan mirip tangi-
san. Begitu mengibakan.
Terdengar lagi suara yang lain, "Hehehe...
rupanya kau sudah selesai, Polodomo!"
"Kau juga demikian bukan, Pala Tunggal?"
terkekeh Polodomo.
"Aku pun sudah selesai, kawan-kawan,"
terdengar suara yang lain. "Bukan main, di malam yang dingin ini suasana menjadi
teramat hangat dengan adanya ayam-ayam bulat yang te-
lah membangkitkan birahi kita...."
"Hahaha.... ini semua karena nafsumu
yang sulit untuk kau kekang, Sakung Bukit!" tertawa Polodomo.
Dan di sela tawa Tiga Setan Pemetik Bun-
ga, terdengar isak pilu dari tiga orang gadis yang baru saja mereka perkosa.
Ketiga gadis itu diculik orang-orang itu saat mandi sore di sungai. Mereka
berasal dari desa seberang.
Tiba-tiba terdengar jeritan gadis yang be-
rambut panjang. Lalu disusul dengan kepala ter-
kulai. Rupanya dia tidak kuat menahan penderi-
taan yang telah dialami dan akan dialaminya nan-
ti. Dia tak mau dirinya diejek orang, ditertawakan orang karena sudah tidak
perawan lagi. Bahkan
yang amat memalukan, perawannya digasak
orang dengan buas.
Makanya dia lebih baik memilih mati dari-
pada hidup harus menanggung malu.
Melihat teman mereka telah menjadi mayat
dengan jalan membunuh diri dengan menggigit li-
dahnya sampai putus, kedua temannya pun ber-
buat yang sama.
Mendengar jeritan itu, Tiga Setan Pemetik
Bunga menoleh seketika.
Polodomo mendengus, "Gadis-gadis bodoh!
Dipikirnya enak mati, apalagi dengan jalan mem-
bunuh diri"! Dasar bodoh! Bukankah melayani ki-
ta-kita lebih enak, Kawan-kawan?"
Pala Tunggal dan Sakung Bukit terbahak.
"Betul, betul, itu!" kata Sakung Bukit di se-la tawanya.
"Mereka rupanya tak pernah merasakan
secara pasti, betapa nikmatnya sorga dunia yang
kita ciptakan...."
"Dan membuat kita terlena, bukan"!" sambung Pala Tunggal.
Ketiganya terbahak lagi.
Di luar gubuk itu, Barong Projo yang men-
dengarkan semua percakapan itu dan telah men-
getahui apa yang telah terjadi di dalam, menden-
gus. "Dasar, kakek-kakek cabul! Sudah pada uzur saja masih menghambur-hamburkan
nafsu!" gerutunya. Tetapi kemudian dia terkekeh. "Hehehe... bukankah bila mereka menjadi
orang baik-baik sekarang, aku tak akan bisa meminta
bantuan mereka untuk membalaskan dendamku
dan merebut tiga buah peti yang dibawa para ka-
kek brengsek itu!"
Tiba-tiba suara terbahak di dalam terhenti.
Disusul dengan suara, "Barong Projo! Sejak tadi kami menantimu untuk masuk!
Mengapa kau masih berdiam di luar, hah"! Ataukah kau senang
bila tubuh dan wajahmu yang jelek itu digigiti
nyamuk-nyamuk liar, hah!"
Barong Projo mendengus.
Lebih mendengus lagi ketika dia membuka
pintu, tiga orang kakek yang berada di dalam terkekeh. "Hahahah... bukankah
lebih baik sejak tadi kau masuk ke sini, Barong"!" kata Polodomo. Dia adalah
seorang kakek bertubuh kurus. Di pergelangan tangannya terdapat banyak gelang
berge- rigi. Wajahnya ditumbuhi janggut putih.
Kembali Barong Projo mendengus.
"Hhh! Apakah kalian mau bila kuganggu
keasyikan kalian, hah"!"
Pala Tunggal terbahak. "Hahaha... jangan
marah seperti itu sahabat. Kau adalah sahabat
kami yang paling baik. Nah, ada kabar apa kau
malam-malam datang ke sini, hah! Dan kulihat
wajahmu begitu kusut! Sepertinya kau tengah
menyimpan suatu perasaan yang menjengkelkan!"
Barong Projo menatap Pala Tunggal. Dia
adalah seorang kakek yang bertubuh gemuk. Ke-
palanya sedikit botak. Sepasang alisnya hitam le-gam di wajahnya yang tembam.
"Benar katamu, Pala Tunggal," berkata Barong Projo. Dan sepasang matanya
mendadak sa- ja memancarkan sinar dendam. Sinar mata itu
tak luput dari perhatian ketiga kakek sahabatnya itu. "He, ada apakah
gerangan"!" tanya Sakung Bukit. Dia seorang kakek yang tinggi langsing.
Dengan rambut yang terikat ekor kuda.
"Panjang bila kuceritakan seluruhnya."
"Lebih baik demikian, biar kami jelas apa
yang telah menyebabkan kau menjadi begitu," ka-
ta Sakung Bukit lagi.
"Dan yang perlu kalian ingat, warisan itu
pasti amat banyak jumlahnya!" kata Barong Projo.
Ketiga kakek pemetik bunga itu terbahak.
Pala Tunggal lalu membuang mayat tiga
gadis yang membunuh diri dengan jalan menggi-
git lidah masing-masing. Setelah itu dia kembali lagi ke gubuk itu.
Polodomo mengambil tuak merah yang me-
reka simpan. Lalu sampai pagi mereka meminum
sampai mabuk. Barong Projo sudah tidak sabar lagi me-
nunggu matahari sepenggalah. Dia sudah teramat
marah, dendam dan sakit hati pada tiga kakek
yang membawa peti yang melabrak dia dan anak
buahnya. "Tak lama lagi, kalian kakek-kakek sialan,
akan mampus berkalang tanah!" desisnya dengan suara menggeram.
"Dan kau perlu ingat, kau adalah sahabat
kami yang paling baik dan setia, Barong. Barang-
siapa yang berani mengusikmu, berarti dia juga
mengusik kami. Barang siapa dia menjadi te-
manmu, maka dia juga menjadi teman kami."
Mendengar kata-kata salah seorang dari
Tiga Setan Pemetik Bunga, wajah Barong Projo
berseri-seri. Lalu dia pun menceritakan semua
yang telah menimpa diri dan anak buahnya.
"Hhh....siapa tiga orang kakek itu"!" mendengus Polodomo dengan gusar.
"Aku tidak tahu siapa mereka sebenarnya.
Mereka bernama Mukti, Patidina dan Tek Jien...."
sahut Barong Projo.
"Hhh! Apa sebenarnya yang mereka ba-
wa"!" tanya Sakung Bukit. Dia sudah tidak sabar ingin mencari tiga kakek itu dan
membalaskan dendam sahabatnya.
"Sebenarnya sejak semula kami telah men-
gikuti ketiganya yang masing-masing membawa
sebuah peti. Dari percakapan yang mereka laku-
kan, aku yakin sekali kalau tiga buah peti itu berisi emas permata dan berlian.
Dan dari percaka-
pan mereka pula aku mendengar, kalau semua
itu adalah harta warisan...."
"Ah, sayang sekali kau tidak bisa merebut
peti-peti itu dari tangan mereka," kata Pala Tunggal. "Bila kau berhasil merebut
satu saja, maka kita akan kaya raya!"
"Hahaha... benar, benar itu!" terkekeh Polodomo. "Barong.... ya... ya... kami
akan memban-tumu untuk membalaskan sakit hatimu pada tiga
kakek itu. Dan juga merebut warisan itu dari tangan mereka. Hmmm... kau tahu
kira-kira mereka
ke mana?" "Secara pasti aku tidak tahu! Tapi yang ku-
tahu, mereka tengah menuju ke arah timur Gu-
nung Slamet!"
"Mau apa mereka ke sana?"
"Aku tidak tahu. Barangkali, si ahli waris
berada di sana."
"Bagus kalau begitu. Yang penting kita su-
dah tahu kemana orang-orang itu pergi," kata Pa-la Tunggal.
"Ya, kita akan hajar ketiga kakek itu!" sa-
hut Polodomo. "Kalau begitu, malam ini kita bersiap. Se-
hingga besok kita bisa langsung keluar mencari
ketiga kakek itu," kata Sakung Bukit. "Aku sudah tidak sabar ingin menghajar
karena ketiganya berani-beraninya menghajar dan menghancurkan
gerombolan perampok yang dipimpin oleh Barong
Projo, sahabat kita!"
Wajah dan hati Barong Projo menjadi gem-
bira mendengar ucapan dari Tiga Setan Pemetik
Bunga yang bersedia membantunya.
Lima Tiga kakek yang membawa peti di bahu
masing-masing berhenti melangkah. Dan pan-
dangan mereka lekat pada tembok-tembok tinggi
yang mengelilingi sebuah halaman besar dan
bangunan besar di dalamnya.
"Patidina... apakah kau yakin ini Pergu-
ruan Topeng Hitam?" tanya salah seorang kakek.
"Aku yakin sekali, Mukti. Bukankah kau
tadi mendengarnya sendiri ketika orang yang ku-
tanya itu menjawab?"
"Kalau memang benar ini adanya Pergu-
ruan Topeng Hitam dan dipimpin oleh Madewa
Gumilang serta murid kita Ratih Ningrum, alang-
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kah berbahagianya aku...."
"Ya, berarti kita tidak sia-sia menurunkan
ilmu dan melepas Ratih Ningrum pergi bersama
Madewa Gumilang," kata Tek Jien.
Ketiga kakek itu tak lain Mukti, Patidina
dan Tek Jien. Setelah menempuh hampir seming-
gu lamanya sejak perkelahian mereka dengan Ba-
rong Projo pimpinan gerombolan perampok Tom-
bak Seribu, kini ketiga kakek itu telah tiba di depan Perguruan Topeng Hitam.
Senja sudah mulai datang.
Dan angin berhembus dengan sejuk.
Ketiga kakek itu memandangi lagi bangu-
nan besar yang dikelilingi tembok tinggi.
"Apakah kita masuk sekarang?" tanya
Mukti. "Mengapa tidak?" sambung Patidina.
"Benar, tunggu apa lagi?" kata Tek Jien.
"Bukankah kita butuh istirahat dan makan?"
"Bagaimana bila bangunan yang dikelilingi
tembok tinggi ini bukan Perguruan Topeng Hi-
tam?" tanya Mukti.
"Benar. Bagaimana pula bila bukan dipim-
pin oleh pemuda yang pernah mengalahkan kita
dulu, Madewa Gumilang?" kata Patidina.
"Ya, ya...." Tek Jien mengangguk-angguk.
"Bila kini bukan Perguruan Topeng Hitam, kedatangan kita bisa dikatakan dengan
menantang. Dan bila ini Perguruan Topeng Hitam namun bu-
kan dipimpin oleh Madewa Gumilang, keadaan ki-
ta pun tak banyak bedanya."
"Lalu bagaimana?" kata Mukti.
"Apa yang harus kita perbuat?" kata Patidina. "Betul! Perut ku pun sudah lapar!"
kata Tek Jien. "Tapi kita harus meyakinkannya terlebih
dulu!" kata Mukti.
"Kita tak bisa berdiam diri di sini saja."
"Ya, kalau kita bengong saja kayak kamb-
ing congek, kita tidak akan pernah tahu bangu-
nan apa yang ada di balik tembok tinggi ini," kata Patidina.
"Berarti kita masuk bukan?" kata Tek Jien seolah-olah bertanya.
Ketiga kakek ini rupanya suka sekali per-
cakapan yang seolah-olah satu sama lain masih
ragu. Padahal maksud mereka untuk masuk ke
bangunan itu. Setelah itu ketiganya pun mulai melangkah
dengan membawa peti di pundak masing-masing.
Di pintu gerbang bangunan itu terdapat
dua orang penjaga yang mengenakan pakaian hi-
tam-hitam dengan bertopeng hitam pula yang
menutupi wajahnya. Di punggung masing-masing
tersampir dua buah pedang bersilangan.
Melihat ketiga kakek itu datang, kedua
penjaga tadi segera mendekat dan bersikap
menghadang. "Hmm... ada apa, Kakek?" tanya salah seorang. Mukti memandang kedua sahabatnya.
"Lihat pakaiannya. Hitam-hitam. Dan dia
pun mengenakan topeng berwarna hitam pula,"
katanya. "Berarti memang ini Perguruan Topeng Hi-
tam," kata Patidina.
"Jangan bergembira dulu, kita tanyai siapa
pemimpin mereka," kata Tek Jien.
Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga
itu. "Ki Sanak... kedatangan kami hanya untuk sekedar bertanya...."
"Bertanya apa, Kakek?"
"Benarkah ini Perguruan Topeng Hitam?"
"Ya."
"Benarkah perguruan ini dipimpin oleh
Madewa Gumilang?"
"Ya."
"Benarkah dia yang bergelar Pendekar
Bayangan Sukma?"
"Ya... hei, Kakek... untuk apa kau ber-
tanya-tanya seperti itu?"
Tetapi Mukti tidak perduli dengan kehera-
nan penjaga itu. Dia terus bertanya.
"Benarkah istrinya yang bernama Ratih
Ningrum?" Walau keheranan penjaga itu mengiyakan
pula "Ya."
"Apakah istrinya memiliki ilmu Sepasang
Pedang Kembar, Keris Tunggal dan Pukulan Tan-
gan Seribu?"
"Ya."
Mendengar jawaban terakhir itu di-
ucapkan, gembira Mukti berpaling pada kedua
sahabatnya. "Tidak salah lagi. Perguruan ini dipimpin
oleh penjaga kuda majikan kita dulu. Dan istrinya murid kita!"
"Benar, aku sudah tidak sabar untuk meli-
hatnya!" kata Patidina.
"Cepat kau minta pada kedua penjaga ini,
bahwa kita ingin masuk!" kata Tek Jien.
Mukti berpaling lagi kepada dua penjaga
itu. "Tolong sampaikan kepada ketua kalian dan istri beliau, bahwa tiga pengawal
Biparsena datang kepada mereka...." katanya.
Tetapi kedua penjaga itu malah terdiam.
Dari balik topeng yang mereka kenakan, sepasang
mata itu menatap menyelidik.
"Hei, mengapa kalian diam saja"!" tanya Mukti sedikit heran dan kesal.
Salah seorang berkata dengan nada me-
randek, "Hmm.... tidak semudah itu datang untuk menemui ketua dan istrinya...."
"Kenapa?"
"Kami tidak mengenal kalian bertiga, Ka-
kek. Dan sepertinya kalian tidak pernah datang
kemari sebelumnya."
"Memang betul! Tapi kami guru dari Ratih
Ningrum!" "Hmm... kakek banyak orang-orang jahat
yang datang berpura-pura dengan maksud baik
kepada Ketua dan Nyonya Ketua, tapi kenyataan-
nya...." "Jadi kau menyangka kami orang jahat"!"
potong Mukti jengkel. "Dasar penjaga, Tolol! Cepat kalian masuk dan katakan kami
datang!" Tetapi kedua penjaga itu tetap berdiam di
tempat. Malah tanpa diduga, keduanya telah me-
loloskan sepasang pedang mereka.
"Tidak mudah untuk menemui Ketua dan
Nyonya Ketua. Dan pergilah kalian dari sini Ka-
kek, sebelum kemarahan kami menjadi-jadi...."
Mukti mendengus. "Dasar penjaga tolol!
Rupanya kau terlalu banyak berprasangka buruk
pada tamu...."
"Karena terlalu banyak pula tamu yang
berpura-pura baik dan mengenal Ketua dan
Nyonya Ketua tetapi sebenarnya dia bermaksud
jahat!" balas penjaga itu tak mau kalah. Suaranya pun menggeram.
"Hhh! Dan kau pun menyangka kami ada-
lah orang-orang yang bermaksud jahat"!" potong Tek Jien yang tidak sabaran. Dia
jengkel karena kedua penjaga ini terlalu lamban bergerak.
"Ya! Dan kami minta, kalian sebaiknya per-
gi dari sini!" seru penjaga itu lagi.
"Sialan!" maki ketiga kakek itu berbarengan. "Bila kalian tidak mau pergi juga
dari sini, jangan salahkan kami bila kami bertindak kejam!"
"Hei, jadi kau benar-benar menyangka ka-
mi orang jahat dan mengusir kami"!" seru Patidina.
"Kupikir, meskipun kalian sudah kakek-
kakek, tetapi telinga kalian masih berfungsi!"
Memerah wajah ketiga kakek itu. Bila dika-
takan tidak berfungsi, berarti mereka budek. Dan dibilang masih berfungsi, ini
pun sudah merupakan satu ejekan.
Mukti berkata sambil menahan geramnya,
"Hmm... kami masih ada tenggang rasa sebenarnya. Kami kagum dengan kesiagaan
kalian ber- dua menjaga. Yang amat berhati-hati. Namun
kami tidak suka melihat gerak kalian yang lam-
ban seperti ini... Bila kami bermaksud jahat, kalian sudah kami lumpuhkan, tahu!
Mengerti ka- lian"!" Bila saja ketiga kakek itu melihat wajah keduanya yang berada di balik
topeng hitam yang
keduanya kenakan, dapat melihat wajah kedua-
nya merah padam.
Gerakan mereka lamban" Hhhh! Keduanya
mendengus. Keduanya menatap tidak percaya pada ke-
tiga kakek yang nampak tidak sabar menunggu.
Tetapi keduanya pun tak mau membiarkan
ketiganya masuk begitu saja. Karena mereka ta-
hu, betapa banyaknya orang-orang jahat yang iri
dan mempunyai dendam kepada Ketua dan
Nyonya Ketua mereka. Ini menyebabkan mereka
menjadi lebih hati-hati untuk menerima tamu
yang datang. Apalagi sebagian besar orang-orang jahat
yang datang, selalu berpura-pura baik. Mengenal
ketua dan Nyonya Ketua. Sahabat akrab mereka.
Dan masih banyak lagi cara berpura-pura yang
digunakan oleh orang-orang jahat untuk membu-
nuh Ketua dan Nyonya Ketua mereka.
Itulah sebabnya, keduanya tidak mau
membuat kesalahan dengan resiko yang cukup
tinggi. Bagi keduanya, lebih baik nyawa mereka
yang lepas dari jasad daripada nyawa Ketua dan
Nyonya yang mereka amat hormati itu.
Pandangan keduanya lekat pada ketiga ka-
kek itu yang nampak sudah jengkel menunggu.
"Cepat kalian katakan pada Ketua kalian,
bahwa kami, Mukti, Patidina dan Tek Jien datang
untuk bertemu," kata Tek Jien yang sudah bosan untuk berlama-lama di sini.
Begitu pula dengan kedua sahabatnya.
Mereka sudah tidak sabar untuk berjumpa
dengan murid mereka Ratih Ningrum.
Namun kedua penjaga itu tetap pada kepu-
tusannya. "Lebih baik kalian pergi dari sini, sebelum kami menjadi marah!"
"Penjaga tolol!" membentak Mukti karena jengkelnya. "Apakah kau tidak bisa
membedakan orang yang bermaksud jahat dan bermaksud
baik...." "Pergi dari sini kataku...."
"Setan!"
"Pergi dari sini, atau kalian akan melihat
betapa gerakan kami begitu cepat. Tidak seperti
sangka kalian!" seru penjaga itu dan tiba-tiba saja dia menyerbu dengan dua buah
pedang terhunus,
ke arah Mukti! Enam Menerima serangan yang dilancarkan seca-
ra tiba-tiba itu bagi Mukti bukanlah suatu hal
yang menyusahkan. Namun dia terkejut karena
penjaga itu benar-benar membuktikan ucapan-
ucapannya untuk menyerang.
"Dasar tolol! kau hanya membuang waktu
dan tenaga saja?" geramnya seraya memiringkan tubuhnya. Namun dia pun harus
melompat ketika
kedua pedang itu bergerak menyabet ke arah ka-
kinya. "Tahan seranganku ini, Kakek!" seru penjaga itu dengan geram dan terus
melancarkan se-
rangannya. Melihat kawannya sudah menyerang, pen-
jaga yang satunya lagi pun dengan ganas me-
nyerbu ke arah Tek Jien.
"Hei!" seru Tek Jien terkejut dan menghindari dengan jalan bersalto.
Diam-diam penjaga itu kagum melihat ka-
kek itu bergerak demikian cepat dengan memba-
wa beban di pundaknya.
"Mampuslah kau, Kakek!" geramnya yang
juga punya keyakinan yang sama seperti teman-
nya kalau ketiga kakek ini bermaksud jahat.
"Hhh! Kau tak banyak beda dengan te-
manmu itu! Sama-sama tolol!"
Namun bagi kedua penjaga atau murid
Perguruan Topeng Hitam itu, hanya sia-sia saja
serangan yang mereka lakukan terhadap Mukti
dan Tek Jien. Karena kedua kakek itu bukanlah tandin-
gan mereka. Sebentar saja keduanya berhasil dilum-
puhkan. Namun suara ribut-ribut itu memancing
beberapa murid yang lain dan segera mengurung
mereka. "Runyam! Runyam sudah semuanya!"
menggerutu Patidina sambil menghentak-
hentakkan kakinya ke tanah. Apa yang dilaku-
kannya sebenarnya bisa mengundang tawa. Na-
mun tak ada seorang pun yang tertawa.
Apalagi beberapa murid Perguruan Topeng
Hitam yang baru datang dan terkejut melihat ke-
dua kawan mereka terjatuh di tanah.
"Hhh!" salah seorang mendengus. "Siapa kalian kakek" Dan maksud apa kalian
membuat onar di sini, hah.!"
Mukti pun mendengus.
"Kami adalah tiga kakek dari desa Bojon-
gronggo. Namaku Mukti, ini kawanku Patidina
dan Tek Jien. Kami datang ingin bertemu dengan
Ketua dan Nyonya Ketua kalian."
"Tidak mudah untuk bertemu dengan me-
reka, Kakek...."
Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan, kami adalah guru dari Ratih
Ningrum...."
"Tidak, Kakek... tidak semudah itu...."
"Ada apa ini"!" terdengar suara di belakang mereka. Nampak seorang laki-laki
muda tengah berjalan mendekat.
Melihat kemunculan orang itu, para murid
Perguruan Topeng Hitam segera menjura.
Lalu salah seorang berkata, "Maafkan kami
Putra Guru... ada tiga orang kakek yang mengaku
sebagai guru dari Nyonya Ketua... mereka me-
maksa ingin masuk dan bertemu dengan Ketua
dan Nyonya Ketua."
Laki-laki muda yang tak lain Pranata Ku-
mala, putra dari Madewa Gumilang dan Ratih
Ningrum, memandang ketiga kakek itu dengan
seksama. Pranata Kumala dan istrinya. Ambarwati
memang berada di Perguruan Topeng Hitam. Se-
belumnya mereka selalu bertualang. Namun keti-
ka rindu datang mendera pada keduanya untuk
kembali ke rumah, malapetaka pun terjadi.
Pranata dan istrinya tinggal di Laut Sela-
tan. Rumah milik istrinya. Namun di Laut Selatan terjadi prahara yang amat
ganas. Gerombolan orang-orang jahat pimpinan
Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah datang
memporak-porandakan seisi desa dan pantai laut
Selatan. Dalam satu pertarungan yang sengit,
Pranata bisa dikalahkan oleh Nyai Prodo.
Dia ditangkap dan disiksa.
Bila Madewa Gumilang dan istrinya tidak
datang, mungkin ajal sudah menjemput Pranata
Kumala dan istrinya. Lalu Pranata pun dibawa ke
Perguruan Topeng Hitam untuk diobati (Baca:
Prahara di Laut Selatan).
Kini luka-lukanya telah sembuh.
Pranata tersenyum pada ketiga kakek itu.
"Maafkan para sahabatku, Kakek...." katanya dengan suara yang sopan.
Mendapat sambutan yang hangat dan so-
pan itu, membuat ketiga kakek itu tersenyum.
"Anak muda... kami datang untuk berjum-
pa dengan Ketua dan Nyonya Ketua dari Pergu-
ruan ini. Hmm... siapakah Anak muda sebenar-
nya?" "Namaku Pranata Kumala. Aku adalah putra dari ayah dan ibuku yang bernama
Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum."
Wajah ketiga kakek itu berseri.
"Benarkah?" tanya ketiganya serempak.
Pranata mengangguk.
"Benar, kakek... Lalu siapakah kakek seka-
lian ini" Dan mengapa kakek ingin menjumpai
ayah dan ibu?"
"Pranata... pernahkah ibumu menceritakan
kalau dia memiliki tiga orang guru yang bernama
Mukti si Pedang Kembar, Patidina di Keris Tung-
gal dan Tek Jien si Pukulan Tangan Seribu?"
"Pernah, Kek."
"Kau sudah pernah berjumpa dengan keti-
ga guru ibumu itu?"
"Belum, Kek."
"Nah, kamilah tiga guru dari ibumu itu...."
Wajah Pranata Kumala berseri. "Benar-
kah?" "Maafkan kami, Pranata... tolong panggil ibumu kemari. Biar semuanya
menjadi jelas dan
salah paham yang terjadi antara kami dengan pa-
ra murid di sini tidak berlarut-larut...." kata Mukti.
Pranata Kumala menyuruh salah seorang
murid untuk memanggil ayah dan ibunya.
Tak lama kemudian, muncul dua sosok tu-
buh dari bangunan besar itu. Satu sosok tubuh
mengenakan pakaian berjubah putih dengan se-
nyum arif dan bijaksana. Usianya kira-kira 45 tahun. Yang satu lagi seorang
wanita yang nam-
paknya telah matang dalam pengalaman hidup.
Wajahnya masih cantik jelita.
Hati ketiga kakek itu berdebar keras. Mas-
ing-masing menggumamkan kata, "Ratih! Made-
wa!" Ratih Ningrum dan Madewa sendiri terkejut melihat ketiga kakek yang datang
itu. Ratih Ningrum berlari dan menjatuhkan di-
ri di hadapan ketiga kakek itu yang menjadi ter-
haru. "Guru!"
Masing-masing menurunkan peti yang me-
reka bawa. "Guru... sembah dari muridmu yang telah
lama tidak mengunjungimu...." terdengar suara Ratih Ningrum yang terdengar
terharu. Mukti berkata, "Bangunlah, Ratih... Kau
tak pantas berbuat seperti ini di hadapan para
muridmu...."
"Tidak Guru... bila Guru belum menerima
sembah saya, saya akan terus berlutut di sini...."
"Sembahmu kami terima, Ratih...."
Perlahan-lahan tubuh Ratih Ningrum
bangkit berdiri. Terlihat kalau matanya berkaca-
kaca. Mereka merasa amat terharu melihat murid
mereka telah menjadi istri dari seorang pendekar budiman.
Madewa pun mendekat dan menjura, "Se-
Pendekar Pedang Kail Emas 5 Rahasia Kitab Tujuh Tujuh Manusia Harimau (5) Karya Motinggo Busye Pendekar Aneh Naga Langit 19