Pencarian

Prahara Di Laut Selatan 1

Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan Bagian 1


PRAHARA DI LAUT SELATAN
Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode: Prahara di Laut Selatan
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Angin laut berhembus dingin. Ombak bergulung-
gulung. Beberapa burung camar berterbangan di atas
Laut Selatan. Laut seperti menunjukkan kekuasaan-
nya. Seperti menampakkan keangkuhannya.
Bukit Karanghawu yang terletak di sebelah timur
dari pantai, nampak kokoh berdiri. Terlihat bukit itu begitu sombong. Seolah
membuktikan kekuatannya
dan membiarkan dihantam ombak yang seperti beru-
saha untuk merobohkannya.
Beberapa orang nelayan nampak sibuk membe-
reskan perlengkapannya. Sore sudah datang. Dan se-
bentar lagi malam akan menjelang. Pada malam-
malam seperti ini mereka sibuk untuk mencari ikan di
laut. Bagi orang-orang seperti itu, keganasan Laut Selatan seolah tidak
diperdulikan. Bagi mereka adalah
suatu keakraban. Kehidupan nelayan dengan laut
memang tak dapat untuk dipisahkan.
Tiba-tiba dari kejauhan terlihat debu mengepul
tebal. Disusul dengan teriakan-teriakan yang keras.
Para nelayan segera menghentikan kegiatannya.
Mereka memicingkan mata.
Memperhatikan beberapa penunggang kuda yang
berdatangan. Seolah saling berlomba untuk mencapai
mereka. "Siapa mereka, Paman?" tanya seorang pemuda yang baru berusia 18 tahun. Tubuhnya
tegap. Dia mengenakan baju putih yang ringkas dengan celana
hitam yang gombrang. Dia bernama Sobrang.
Yang dipanggil paman olehnya adalah seorang la-
ki-laki setengah baya. Postur tubuhnya pun tegap. Dia mengenakan pakaian hitam-
hitam. "Entahlah, Sobrang. Aku tidak tahu," kata laki-laki setengah baya yang bernama
Ki Jibus. "Melihat wajah mereka yang menyeramkan, se-
pertinya mereka datang dengan maksud tidak baik,
Paman." "Benar, Sobrang. Kita sepertinya diharuskan ber-
hati-hati menghadapi mereka," kata Ki Jibus. Lalu dia segera memanggil para
nelayan yang lain untuk berkumpul di dekatnya.
Para penunggang kuda yang berjumlah lima
orang itu sudah mendekat. Kuda-kuda mereka me-
ringkik keras saat tali kekang ditarik dan kini kuda-
kuda itu berdiri di hadapan para nelayan.
Ki Jibus yakin sekali, kalau dia tidak pernah ber-
jumpa atau pun mengenal orang-orang yang berpa-
kaian merah-merah dengan angkin hitam yang mem-
belit di pinggang. Dan di pinggang mereka terdapat pu-la sebilah golok besar.
Salah seorang yang berwajah menyeramkan,
menggunakan ikat kepala warna hitam dengan kumis
dan jenggot yang baplang, berkata seperti mendengus.
"Siapa pemimpin kalian"!"
Ki Jibus yang merasa dia menjadi pemimpin para
penduduk yang hidup di pantai Laut Selatan segera
menyahut dengan nada bersahabat.
"Aku, Ki Sanak."
"Hmm...." Orang itu memperhatikan Ki Jibus.
"Siapa namamu?"
"Orang-orang memanggilku Ki Jibus."
"Bagus! Hmm... perkenalkan, namaku Secopati.
Dari gerombolan Orang-orang Bengis! Kami datang,
membawa salam dari pemimpin kami yang bernama
Nyai Prodo atau yang bergelar Malaikat Penghisap Da-
rah!" Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan
nada kesombongan dan keangkuhan, Ki Jibus semakin
yakin kalau kedatangan dari orang-orang ini dengan
maksud tidak baik.
Tetapi dia mencoba untuk berkata dengan nada
bersahabat, "Salam dari ketua Orang-orang Bengis kami terima dengan senang hati!
Atas nama penduduk
di Laut Selatan ini, aku mengucapkan pula salam
kembali untuk Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap
Darah!" "Bagus! Dan mulai saat ini, setiap kepala keluar-ga diharuskan untuk menyetor
pajak kepada kami!"
Kening Ki Jibus berkerut. "Apa maksudmu, Ki
Sanak?" "Jangan berpura-pura tidak tahu, Laki-laki tua!"
membentak Secopati. "Barang siapa yang setiap bulan tidak menyetor pajak kepada
kami, maka nasibnya
akan menyedihkan sekali! Masing-masing lima keping
uang perak!"
Orang-orang berseru kaget. Lima keping uang pe-
rak" Uang yang susah payah dikumpulkan, diha-
ruskan untuk diberikan kepada orang-orang ini"
Oh, sudah tentu mereka tidak akan mau meme-
nuhi permintaan itu.
Beberapa penduduk berseru-seru jengkel.
"Tidak bisa! Tidak bisa kalian seenaknya saja
meminta begitu kepada kami!"
"Ya! Memangnya kalian siapa hingga dengan
enaknya saja hendak memaksa kami untuk memberi-
kan uang setoran yang kalian katakan pajak!"
"Ya, pajak apa?"
"Setoran apa"!"
Kata-kata para penduduk membuat wajah Seco-
pati memerah. Tiba-tiba saja dengan gerakan yang
amat ringan dia melompat turun dari kudanya.
"Siapa yang hendak melawan kami, hah"!" ben-
taknya. Ki Jibus yang melihat suasana mulai tidak enak,
cepat-cepat memberi isyarat agar para penduduk yang
lain terdiam. Lalu dia sendiri menatap Secopati.
"Secopati... secara pribadi, aku pun tidak suka dengan penindasan ini."
"Hm... lalu apa maumu, Ki?"
"Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini. Dan
jangan datang lagi untuk mengganggu ketentraman
hidup kami!"
Secopati terbahak. Merasa lucu mendengar kata-
kata Ki Jibus. "Meninggalkan tempat ini"! Hahaha... kami tak
akan pernah kembali sebelum kami yakin tugas kami
telah selesai, Ki!"
"Kalian sudah mendengarkan jawabanku. Dan
tugas kalian berarti telah selesai!"
Tiba-tiba Secopati merandek. Matanya melotot
nyalang. Nafasnya terdengar mendengus-dengus.
"Kamu menantang kami, Ki"!"
"Tidak... tidak pernah aku berbuat seperti itu.
Mencari permusuhan!"
"Tetapi menolak permintaan kami, sama artinya
dengan mencari mati!"
Ki Jibus pun mendengus. Dia sudah menjadi te-
ramat jengkel karena laki-laki ini begitu sombong.
"Secopati... sejengkal pun kami tak akan mundur
untuk menghadapi orang-orang seperti kau!"
"Bagus! Aku hendak melihat sampai di mana be-
sar mulutmu itu, Ki!" bentak Secopati dan secara tiba-tiba dia bergerak
menyerang ke arah Ki Jibus.
Pada masa mudanya Ki Jibus pernah mempelaja-
ri ilmu silat. Maka ketika tangan itu hendak menghan-
tam wajahnya, dia segera memiringkan tubuhnya. Se-
rangan itu meleset. Secopati sedikitnya terkejut. Na-
mun dengan gerakan yang cepat pula dia kembali
menggerakkan tangannya. Dan menyusul dengan se-
buah tendangan ke arah dada Ki Jibus.
Ki Jibus menghindari serangan tangan itu den-
gan menangkis. Dan melompat ke belakang untuk
menghindari tendangan Secopati.
"Bagus!" desis Secopati yang diam-diam menjadi kagum. "Pantas kau banyak bacot
Ki, rupanya kau
punya kebisaan juga!"
"Kebisaanku ini sudah lama tidak kupakai, Seco-
pati! Tapi menghadapi orang-orang seperti kau ini,
mau tak mau aku akan menggunakannya!"
Para kepala keluarga yang berada di sana menja-
di tegang. Mereka pun segera bersiap untuk menyam-
but datangnya serangan lawan dan membantu Ki Ji-
bus. "Ki... kubuat mampus kau hari ini!" membentak Secopati seraya menyerbu.
Kali ini serangannya amat cepat dan penuh tena-
ga. Ki Jibus berusaha untuk mengimbanginya. Namun
dia kalah jauh di bawah Secopati.
Tiga buah pukulan Secopati mendarat tepat di
dadanya. Membuat Ki Jibus terhuyung ke belakang
dan muntah darah.
Secopati terbahak.
Dan tiba-tiba dia kembali menyerbu dengan mak-
sud untuk menghabisi nyawa Ki Jibus.
"Mampuslah kau, Ki!"
Secara tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan
dengan memegang sebuah dayung. Lalu dihantamkan-
nya pada Secopati. Hal ini membuat Secopati urung
untuk menyerang Ki Jibus. Dia menangkis ayunan
dayung yang cukup keras itu.
"Praaakkk!"
Dayung itu patah seketika.
Secopati bersalto dua kali ke belakang.
Dia mendengus melihat orang yang telah menye-
rangnya. "Hhh! Kau pun mau mampus pula, Anak muda!"
Sobrang, yang mencoba menolong pamannya dari
kematian, membuang patahan dayung itu seraya men-
dengus. "Kedatangan kalian ke sini kami terima sebagai
tamu, tetapi kalian malah berbuat yang tidak baik. Ja-di jangan salahkan kami
bila kami melawan dan men-
gusir kalian dari sini!" kata Sobrang dengan berani.
Dia pun muak melihat kesombongan dan sepak terjang
dari Gerombolan Orang-orang Bengis ini.
Secopati menjadi murka.
"Mampuslah kau, Anak muda!" geramnya seraya menyerbu dengan ganas.
Sobrang pun pernah mendapatkan pelajaran il-
mu silat dari pamannya, Ki Jibus. Tetapi gerakan pe-
muda itu hanya baru sampai tahap dasar. Maka tanpa
ampun lagi dia pun berkali-kali menjadi sasaran se-
rangan Secopati.
"Sobraaaaangg!" jerit Ki Jibus ketika melihat pemuda pemberani itu ambruk dengan
berlumur darah.
Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Ki Jibus
berlari ke arah pemuda itu yang tergeletak.
"Sobrang! Sobrang!" jeritnya sambil mengguncang-guncangkan tubuh Sobrang.
Tetapi tubuh itu telah kaku dan menjadi mayat.
Ki Jibus tersedu-sedu di atas tubuh Sobrang.
Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya. Menoleh
pada Secopati yang tengah berdiri gagah. Sepasang
mata Ki Jibus nyalang. Menyiratkan sinar dendam dan
amarah. "Bangsat keji! Aku akan mengadu jiwa dengan-
mu!" geramnya. Lalu dia pun segera menyerang.
Beberapa kepala keluarga yang berada di sana,
pun tidak terima dengan kematian Sobrang. Berbekal
dayung yang dijadikan senjata mereka pun menyerbu
ke arah Secopati.
Beberapa teman Secopati pun segera melompat
dari kuda-kuda mereka. Dan serentak menyambut se-
rangan para penduduk yang marah.
Sebentar saja di tempat itu terjadi pertarungan
yang amat hebat.
Sebentar saja terdengar pekik dan jeritan yang
menyayat hati yang keluar dari mulut para kepala ke-
luarga yang gagah berani.
Dan sebentar saja di pantai Laut Selatan bergele-
takan beberapa mayat, yang ke semuanya mayat-
mayat dari kepala keluarga yang gagah berani itu.
Sementara itu Ki Jibus sendiri sudah luka parah.
Secopati sendiri terbahak-bahak sambil berkali-kali
memukul. Dia sengaja untuk menyiksa Ki Jibus lebih
dulu sebelum di buat mampus.
Dan ini merupakan satu siksaan yang amat me-
nyakitkan bagi Ki Jibus. Dia sudah ingin mati saja rasanya seperti yang dialami
oleh beberapa sahabatnya.
Namun Secopati memang bermaksud untuk memper-
mainkannya. "Hahaha... mampuslah kau, Ki Jibus!" terbahak Secopati sambil menendang tubuh Ki
Jibus hingga terpental beberapa tombak.
Sementara teman-teman Secopati pun terbahak.
Tubuh Ki Jibus ambruk dengan berlumur darah.
Dan nyawanya pun melayang saat itu juga.
Secopati meludah.
"Ciiih! Itulah akibatnya bila berani menentang
Secopati!"
"Secopati," memanggil salah seorang temannya.
Secopati berbalik. "Ada apa, Pronomuro?"


Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kita hanya diam saja di sini" Bukankah
malam sudah datang?"
Secopati terbahak, mengerti apa yang dimaksud-
kan oleh temannya itu.
"Benar, benar! Malam pun sudah semakin dingin!
Angin laut sepertinya menusuk-nusuk sampai ke tu-
lang sumsum!"
"Nah, untuk apa lagi kita berlama-lama di sini?"
kata Pronomuro sambil terbahak pula.
Lalu kelima orang itu pun menaiki kuda mereka
masing-masing. Dan menggebraknya.
Sebentar saja terdengar jerit dan tangis dari anak
manusia ketika kelima orang itu mengobrak-abrik seisi desa. Bagi kaum wanita,
lima perawan murni pun dis-eret ke balik semak. Dan di sana mereka dipaksa un-
tuk menjadi pemuas nafsu bejat orang-orang itu.
Mereka hanya bisa menangis.
Merasakan sakit yang tak terkira. Tubuh mereka
bagaikan dicabik-cabik binatang buas.
Rasa sakit hati mereka sudah sampai ke dalam.
Ke lubuk hati yang paling dalam.
Kelima orang itu terbahak-bahak begitu selesai
melampiaskan nafsu bejat mereka.
Karena malu menanggung malu yang tak ter-
hingga, empat orang dari gadis itu langsung membu-
nuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri hingga putus.
Bagi mereka memang lebih baik mati daripada
mengalami siksaan yang teramat pedih ini.
Secopati terbahak ketika dia keluar dari balik
semak itu. Gadis yang baru saja diperkosanya hanya bisa
menahan tangis. Merasakan sakit hati yang terkira da-
lamnya. Menahan pedih tubuhnya yang terasa amat
perih. Tiba-tiba dia mengambil sebatang kayu besar.
Dan dengan meradang marah dia menerjang ke arah
Secopati yang sedang tertawa-tawa bersama teman-
temannya. "Mampuslah kau, orang jahaaaaat!" maki gadis itu sambil menyerbu.
"Awas, Secopati!" memperingatkan Pronomuro.
Secopati sendiri sudah mendengar jeritan dan
desiran angin yang menerjang ke arahnya. Dia meng-
geram marah. Lalu memiringkan tubuhnya, dan ka-
kinya menjegal langkah gadis itu.
"Aaaahhh!"
Gadis itu tersuruk ke depan.
Tetapi sejurus kemudian dia bangkit kembali dan
kembali pula meradang. Dia pun menyerang lagi.
Kali ini Secopati tidak mau bertindak tanggung
lagi. Ayunan kayu itu ditangkisnya dengan tangan ka-
nannya. Dan tangan kirinya bergerak cepat menang-
kap leher gadis itu. Lalu memuntirnya.
Terdengar suara "krak" yang cukup keras diiringi dengan jeritan yang menyayat
hati. Gadis itu mati dengan leher patah.
Secopati melempar tubuh gadis itu ke pasir pan-
tai. Dia meludahi tubuh gadis yang telah menjadi
mayat itu. "Ciiih! Anjing buduk!"
Pronomuro terbahak. "Rupanya dia kurang puas
dengan pelayananmu, Secopati!"
Wiroprogo pun terbahak. "Sebaiknya kau kasih
lagi dia kepuasan yang mendalam. Biar dia tidak pena-
saran dalam matinya!"
Secopati menggeram diejek seperti itu.
Lalu dia berkata, "Pragono... dan kau Jawinto...
jemput Nyai Prodo ke mari. Katakan, daerah ini telah
menjadi kekuasaan kita! Dan setiap keluarga diha-
ruskan untuk menyetor kepada kita lima keping uang
perak! Malam ini juga kau harus tiba di Gunung
Pengging!"
Pragono dan Jawinto segera mengambil kuda-
kuda mereka. Lalu tanpa banyak cakap lagi keduanya
segera menggebrak kuda-kuda mereka hingga mening-
galkan debu yang berterbangan.
Secopati berkata pada Pronomuro. "Mulai saat
ini, kita tak bisa berdiam diri saja. Daerah ini harus terus kita kuasai! Kau
pilihkan beberapa pemuda yang
cukup kuat!"
"Untuk apa"!"
"Kita akan melatih mereka untuk dijadikan seba-
gai pengawal! Dan cari gadis-gadis cantik untuk men-
jadi pemuas nafsu kita... hahaha!"
Pronomuro dan Wiroprogo pun terbahak.
"Kau memang hebat kalau soal mencari wanita,
Secopati!" kata Wiroprogo.
"Ini adalah salah satu kelebihanku!" kata Secopati. Lalu dia mengambil kudanya.
Dan mulai mengelilin-
gi daerah itu. Setelah itu dinyalakannya beberapa obor dan dilemparkan ke atas
atap beberapa rumah.
Hingga penghuninya yang sudah ketakutan se-
makin menjadi ketakutan dan berhamburan keluar bi-
la tidak mau dimakan oleh api yang panas dan ganas
itu. Secopati cuma terbahak-bahak.
Puas dia melihat hasil dari kebengisan yang telah
dilakukannya bersama teman-temannya.
*** 2 Dua ekor kuda itu terus melesat menembus ke-
pekatan malam. Keduanya tak mengenal lelah. Jarak
dari Pelabuhan Ratu ke Gunung Pengging bukan main
jauhnya. Tetapi mereka harus tiba saat ini juga.
Pragono dan Jawinto terus memacu kuda-
kudanya. Melewati sebuah hutan kecil, keduanya berpapa-
san dengan dua orang penunggang kuda pula. Kedua
penunggang kuda itu adalah seorang pemuda dan seo-
rang pemudi. Yang pemuda berwajah tampan dan ga-
gah. Sedangkan yang pemudi berwajah cantik jelita.
"Siapa kedua orang yang berpapasan dengan ki-
ta, Kakang?" bertanya yang pemudi.
"Entahlah, Rayi... aku sendiri tidak tahu."
"Kakang... apakah kita tidak sebaiknya beristirahat dulu. Aku sudah lelah
sekali," kata pemudi itu lagi.
Yang pemuda itu mengiyakan. Lalu dia menghen-
tikan laju kudanya.
Begitu pula dengan yang pemudi.
"Masih jauhkah jalan yang harus kita tempuh,
Kakang?" tanya pemudi itu.
"Bila tidak ada halangan, besok pagi kita sudah
sampai ke Laut Selatan. Ah, Rayi... aku telah rindu
dengan rumah kita."
"Aku pun begitu, Kakang. Entah kenapa aku me-
rasa ada sesuatu yang terjadi di sana."
Siapakah sebenarnya kedua pemuda dan pemudi
itu" Keduanya tak lain adalah Pranata Kumala dan is-
trinya, Ambarwati. Keduanya memang telah lama me-
lakukan petualangan untuk mencari pengalaman hi-
dup. Sama seperti yang dilakukan oleh orang tua me-
reka, Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan
Sukma dan istrinya Ratih Ningrum.
Pranata Kumala adalah putra dari Madewa Gumi-
lang dan Ratih Ningrum. Sedangkan Ambarwati adalah
menantu mereka.
Ambarwati putri dari seorang kepala perampok
yang bernama Jedangmoro, yang memimpin Gerombo-
lan Golok Iblis. Mereka selalu beraksi di jalan menuju desa Pacitan. Namun
gerombolan itu berhasil ditum-pas oleh Pranata Kumala.
Sedangkan Jedangmoro mati di tangannya sendi-
ri. (Baca: Pendekar Kedok Putih).
Dan kini, putri dari kepala perampok itu telah
menjadi istrinya. Kini keduanya tengah rindu dengan
rumah mereka di Laut Selatan. Dan keduanya ber-
maksud untuk menengok keadaan rumah mereka se-
jak mereka tinggalkan dulu dan bermaksud berpetua-
lang (Baca: Sepasang Manusia Srigala).
Pranata menatap istrinya setelah mendengar ka-
ta-kata istrinya tadi.
"Apa maksudmu, Rayi?"
"Entahlah, Kakang..." kata Ambarwati sambil me-rebahkan kepalanya di dada
suaminya. "Tapi perasaanku mengatakan demikian. Ah... aku takut terjadi
sesuatu dengan makam ayah, Kakang...."
Mendengar kata-kata istrinya, Pranata menjadi
teringat lagi kejadian beberapa tahun lalu. Ayah dari istrinya ini telah mati di
tangannya. Namun Pranata amat mencintai istrinya.
Dirangkulnya tubuh istrinya itu dengan penuh
kasih sayang. "Percayalah, Rayi... tidak akan terjadi apa-apa di Laut Selatan. Dan tidak ada
yang mengganggu makam
ayahmu...." katanya menenangkan istrinya. Namun
Pranata sendiri entah dari mana datangnya merasa
ada sesuatu yang tengah terjadi di Laut Selatan.
"Rasanya... aku... ah, entahlah, Kakang...."
"Tenanglah, Rayi... tenanglah...." kata Pranata menenangkan istrinya. Dia
merangkul lebih ketat lagi.
"Sebaiknya, kita jangan melanjutkan perjalanan malam ini. Kita istirahat saja
dulu, sampai matahari
muncul kembali. Baru kita melanjutkan perjalanan la-
gi...." Tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh derap langkah kuda yang mendekat.
Siaga keduanya berdiri. Dan
melihat dua orang penunggang kuda mendekat.
Pranata memperhatikan kedua orang itu. Hmm,
kalau tidak salah, keduanya yang berpapasan dengan
kami tadi" Mau apa mereka datang kembali"
Terdengar salah seorang tertawa. "Nah, kau lihat sendiri Jawinto! Benarkan
ucapanku" Gadis itu begitu
cantik sekali! Kau percaya sekarang?"
Kedua orang yang ternyata Pragono dan Jawinto
itu terbahak. Tawa Jawinto lebih keras.
"Benar, Pragono. Matamu awas sekali rupanya!"
"Kalau soal wanita cantik, aku tahu, Jawinto!
Hahaha... tak sekali pun aku pernah melewatkan pe-
mandangan yang mengasyikkan ini... hahaha!"
Pranata Kumala dan istrinya menjadi makin sia-
ga dan waspada. Mereka dapat menangkap maksud ti-
dak baik dari kedua orang ini.
Pranata berkata, mencoba bersahabat, "Ki Sanak
berdua... ada apakah gerangan Ki Sanak berdua ber-
henti di hadapan kami..."
Jawinto terbahak.
"Hahaha... rupanya kau pandai berkata pula,
Anak muda" Hmm... ketahuilah, namaku Jawinto dan
ini temanku yang bernama Pragono. Kami adalah Ge-
rombolan Orang-orang Bengis. Ketua kami bernama
Nyai Prodo, atau Malaikat Penghisap Darah!"
"Sebuah nama yang cukup menakutkan!" kata
Pranata Kumala sambil tersenyum.
"Yah, memang telah menggetarkan seluruh rimba
persilatan, Anak Muda...."
"Lalu apa maksud dari Ki Sanak berdua?"
"Maksud kami" hahaha...." Jawinto berpaling pa-da Pragono. "Dia bertanya maksud
kita.... hahaha...."
Ambarwati yang berkarakter panasan menden-
gus. Dia sebal karena istirahat dan kemesraan bersa-
ma suaminya jadi terganggu karena kedatangan kedua
orang ini. "Stop!" bentaknya. "Kalian mau apa sebenarnya"
Bila tak ada maksud... cepat kalian tinggalkan tempat ini! Kalian sungguh
membosankan!"
"Hei, dia berani membentak kita, Jawinto?" kata Pragono sambil tertawa.
"Ya, ya... dan aku amat menyukai wanita yang
berkarakter seperti ini. Kau tahu sebabnya, Pragono?"
"Sudah tentu."
"Katakan, biar gadis itu mendengarnya juga!"
"Kalau dia karakternya panasan, sudah tentu di
ranjang pun dia akan mampu membuat suasana men-
jadi panas.... hahaha... bukankah begitu, Jawinto?"
"Tepat sekali! Dan aku memang menginginkan-
nya!" Jawinto pun terbahak.
Mengapa sebenarnya kedua anggota dari Gerom-
bolan Orang-orang Bengis itu muncul kembali. Bukan-
kah mereka sedang mengemban tugas untuk melapor-
kan hasil kerja mereka"
Ketika melewati Pranata Kumala dan Ambarwati
tadi, keduanya memang tak acuh saja. Tetapi begitu
melirik Ambarwati, sepasang mata Pragono menjadi
nanar. Gadis itu sungguh cantik sekali.
Sambil menghentakkan kudanya dia menjajari la-
ju kuda Jawinto.
"Winto! Gadis itu cantik sekali! Kau melihatnya?"
serunya yang sudah timbul birahinya.
"Sudahlah, Pragono... lupakan saja! Tugas ini lebih penting dari gadis itu!"
kata Jawinto. "Bodoh! Kau menyia-nyiakan kesempatan yang
begitu indah!"
"Tapi kita bisa kena marah oleh Nyai Prodo nan-
ti?" "Jawinto... kau bodoh sekali. Bukankah yang menyuruh melaporkan semua ini
pada Nyai Prodo adalah Secopati" Toh Nyai Prodo tidak tahu semua ini"
Bukankah dia menyuruh kita untuk kembali seminggu
kemudian" Ini baru lima hari. Masih ada lagi waktu
satu hari."
"Lalu apa maksudmu?" Jawinto menghentikan la-ju kudanya.
Begitu pula dengan Pragono.
"Malam ini kita bersenang-senang lagi saja dulu.
Gadis itu amat cantik!"
Jawinto terbahak. Membenarkan kata-kata te-
mannya. "Mengapa tidak?"
"Hahaha... bagus, bagus sekali! Kau akan melihat nanti, kalau omonganku itu
benar!" Lalu keduanya pun kembali memutar kuda me-


Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

reka ke jalan yang telah mereka tempuh tadi.
Sekarang keduanya tengah terbahak-bahak di
depan Ambarwati dan suaminya, Pranata Kumala.
Wajah Ambarwati memerah mendengar kata-kata
itu. Dia jadi mengerti apa maksud sesungguhnya dari
kedua orang ini" Menginginkannya!
Dan ini membuatnya semakin marah.
"Orang-orang busuk! Ucapan kalian begitu menji-
jikkan sekali!" makinya.
Jawinto terbahak. Berkata pada Pragono. "Kau
dengar itu Pragono... dia membentak kita?"
"Benar, dia begitu panasan sekali!"
Pranata Kumala yang tidak mau mencari keribu-
tan menyela sebelum istrinya berkata-kata lagi. Bila
kemarahan istrinya sudah naik, bisa jadi runyam. Mau
tak mau mereka harus bertempur dengan kedua orang
ini. Dia pun mencoba berkata dengan nada bersaha-
bat, meskipun di hatinya ada rasa marah mendengar
kata-kata yang terdengar menjijikkan itu.
Pranata pun sudah dapat menangkap apa mak-
sud dari kedua laki-laki ini.
Tak lain ingin mendapatkan istrinya!
"Ki Sanak... rasanya, kita tak pernah bertemu.
Tak pernah berurusan apa-apa. Dan tak pernah punya
bibit permusuhan. Sekali kita bertemu, kalian telah
menyebarkan rasa tidak senang di hadapan kami. Le-
bih baik kalian tinggalkan kami secara damai. Dan
kami pun tak akan berbuat apa-apa. Silahkan...."
Mendengar kata-kata itu, Jawinto dan Pragono
menghentikan tawanya. Keduanya mendengus.
Jawinto berkata dengan suara yang ke luar ber-
samaan dengan dengusannya.
"Hhh! Punya nyali juga kau rupanya! Lebih baik
kau sendiri yang meninggalkan tempat ini, dan ting-
galkan gadis itu untuk kami!"
"Ki Sanak... namaku Pranata Kumala. Dan ini is-
triku, Ambarwati. Sudah tentu tak akan pernah kube-
rikan kepada siapa pun, juga kepada kalian!"
Jawinto terbahak. "Hahaha... biarpun kau mera-
sa memiliki nyali yang cukup berani, tapi itu tak ada gunanya untuk menentang
permintaan kami!"
"Tidak hanya pada kalian aku menentang per-
mintaan ini. Pada siapa pun akan kutentang!"
Kalau bulan saat ini tidak tertutup awan, akan
terlihat jelas wajah Jawinto yang memerah karena ma-
rah. "Setan alas! Kau berarti menantang kami, hah?"
"Siapa pun orangnya yang hendak meminta istri-
ku, atau yang ingin menindas kami, akan kutentang
sampai mati sekali pun!"
"Anjing!" memaki Jawinto sambil bersalto dari kudanya. Kini dia berdiri
berhadapan dengan Pranata
Kumala. "Mampuslah kau, Pranata!" serunya seraya menyerbu.
Pranata Kumala yang sudah melihat gelagat tidak
baik itu segera memiringkan tubuhnya. Jawinto terke-
jut karena serangannya berhasil dielakkan dengan
mudah. "Punya kebisaan juga kau rupanya, hah"!" geramnya jengkel.
"Lumayan untuk memukul orang kalap seperti
kau ini!" sahut Pranata dan menghindari lagi serangan Jawinto yang kembali
menyerbu. Sementara itu Pragono tertawa melihat kawannya
belum berhasil melumpuhkan Pranata Kumala.
"Hahaha... masa kau tidak bisa mengalahkannya,
Jawinto"!" bahaknya sampai terguncang-guncang pe-rutnya.
Namun kata-katanya itu cepat disambar oleh
Ambarwati. "Orang jelek! Bila kau ingin bermain-main, cepat kau turun dari kudamu! Biar aku
yang melayani!"
Pragono terbelalak mendengar kata-kata Ambar-
wati. Namun sejurus kemudian dia tertawa.
"Hahaha... melayani kau, Manis" Boleh, boleh!
Agaknya aku pun sudah tidak sabar untuk mengelus
kulitmu yang halus!"
"Anjing buduk!" memaki Ambarwati sambil meloloskan pedangnya yang terdapat di
punggungnya. "Ma-julah!" bentaknya dengan gagah.
Pragono terbahak lagi. Dan tiba-tiba dia melom-
pat bersalto, langsung mengirimkan satu serangan ke
arah dada Ambarwati!
*** 3 Ambarwati yang sudah siap sejak tadi, segera
menyabetkan pedangnya ke arah Pragono. Pragono
menjadi urung menyerang dan dia kembali bersalto ke
belakang dan hinggap di bumi dengan ringannya.
"Hebat!" desisnya kagum.
"Dan aku akan memperlihatkan kepadamu Orang
jelek, bahwa masih ada kehebatan milikku yang harus
kau ketahui"!" maki Ambarwati.
Pragono terbahak.
"Hahaha... sudah tentu aku akan menikmatinya,
Manis! Tubuh bagian mana yang akan kau perli-
hatkan"!"
Merah padam wajah Ambarwati.
Dia pun menjadi murka.
"Anjing buduk!" makinya berang dan segera melompat menyerbu.
"Bagus, bagus!" tertawa Pragono menyambut serangan itu. Kini di tempat itu dan
di tengah malam bu-ta terjadi dua perkelahian yang hebat.
Jawinto sendiri sudah meloloskan goloknya un-
tuk segera menghabisi Pranata Kumala. Tetapi dengan
menggunakan jurus Kijang Kumala, Pranata berhasil
melepaskan diri dari kepungan golok itu.
Dia pun sudah mengeluarkan pula jurus Tangan
Bayangannya, warisan dari gurunya Ki Ageng Jayasih
yang bermukim di Gunung Muria (Baca: Kakek Sakti
dari Gunung Muria).
Pertarungan keduanya semakin hebat dan cepat.
Semakin tangguh dan berbahaya.
Begitu pula dengan Ambarwati yang terus mene-
kan Pragono dengan ilmu pedangnya.
Pragono yang semula menganggap enteng menja-
di kaget melihat kepandaian Ambarwati yang di luar
dugaannya. Dia pun segera meloloskan goloknya.
Tak lama kemudian pun terdengar suara senjata
beradu. Cukup keras.
"Kau tak akan bisa melarikan diri, Manis!" tertawa Pragono yang merasa berada di
atas angin. Dengan
golok di tangannya dia seperti bisa menguasai Ambar-
wati. Ambarwati sendiri merasakan tangannya kese-
mutan setiap kali pedangnya beradu dengan golok Pra-
gono. Ini menandakan tenaga dalamnya kalah oleh
Pragono. Hanya berada satu tingkat di bawah Pragono.
Tetapi gadis yang keras kepala itu tak mau me-
nyerah begitu saja. Dia pun mengimbanginya dengan
menggunakan kelincahannya.
"Kau yang tak bisa lari dariku, Orang jelek!" makinya. "Hahaha... sudah
kewalahan begini kau masih bisa banyak omong! Bagus, bagus sekali!"
"Anjing buduk!" maki Ambarwati sambil terus mencoba menekan.
Namun serangan-serangannya berhasil dipatah-
kan oleh ayunan golok Pragono. Sampai suatu ketika,
Pragono mencecar dengan hebat.
Ambarwati sendiri menjadi kelabakan. Sebisanya
dia mencoba menangkis, menghindar dan membalas.
Namun sepertinya gerakannya sudah terkurung oleh
Pragono. Pragono terkekeh. "Hahaha... rupanya ajal sudah
di ambang pintu untukmu, Manis... Nah, lebih baik
kau menyerah saja dan merelakan tubuhmu kunikma-
ti...." "Ciiih! Lebih baik aku mampus daripada jatuh ke tanganmu, Orang jelek!"
Pranata pun melihat istrinya dalam keadaan ter-
desak. Namun serangan-serangan yang dilancarkan
Jawinto menyulitkannya untuk membantu istrinya.
Dan dia melihat istrinya sudah benar-benar tak
mampu lagi menghindar. Golok di tangan Pragono su-
dah siap untuk mencabut nyawanya.
Tiba-tiba Pranata menggerakkan tangan kanan-
nya ke arah Pragono.
"Siiiing!"
Selarik sinar merah melesat ke arah Pragono.
Pragono terkejut. Dia mengurungkan niatnya un-
tuk menghabisi Ambarwati. Lalu dia dengan sigap me-
rundukkan kepalanya. Sinar merah itu melewati kepa-
lanya hanya beberapa senti.
Dan menerjang sebuah pohon yang terdapat di
hutan kecil itu hingga hangus.
"Bedebah!" maki Pragono pada Pranata.
Melihat lawannya lengah, Ambarwati pun segera
mengambil kesempatan. Dia mendadak saja menye-
rang. Pragono terkejut. Namun pedang di tangan Am-
barwati telah lebih dulu mengenai sasarannya.
Terdengar jeritan Pragono keras.
Darah segar menyembur dari dadanya.
Dia menekap darah itu dengan tangannya. Ma-
tanya liar dan dendam menatap Ambarwati.
"Kau..."
Hanya itu yang diucapkannya. Hanya itu. Sele-
bihnya tubuhnya ambruk bersimbah darah.
Ambarwati mendengus.
Sementara itu melihat temannya telah tewas, Ja-
winto menjadi marah yang luar biasa. Dia terus men-
cecar Pranata Kumala dengan goloknya.
Namun menghadapi lawan yang telah kalap se-
perti ini, bagi Pranata bukanlah hal yang menyusah-
kan. Dia pun memapakinya serangan-serangan itu
dengan jurus Kijang Kumalanya dan jurus Tangan
Bayangannya yang membuat tangannya seolah menja-
di bayangan dan banyak, berkali-kali mengenai sasa-
rannya. Dan tiba-tiba dia memekik.
"Des!"
Satu pukulan telak mengenai tepat di dada Ja-
winto yang terhuyung menahan rasa sakit.
"Bunuh saja, Kakang!" seru Ambarwati.
Pranata cuma tersenyum. "Tidak usah, Rayi. Dia
sudah kalah. Kita tidak boleh membunuh orang yang
sudah kalah."
"Tapi kalau kita yang kalah, kita tetap akan di-
bunuhnya, Kakang!"
"Tidak usah, Rayi... biarkan dia hidup dan me-
nyesali semua perbuatannya."
Namun menyesalkah Jawinto" Laki-laki itu ma-
lah menjadi geram. Lalu karena menyadari dia tidak
akan menang, bergegas dia melompat ke kudanya. Dan
segera menggebrak maju lari kudanya.
Meninggalkan Pragono yang telah menjadi mayat.
Dan membawa rasa sakit di dadanya yang amat terasa.
Pranata Kumala mendesah. "Ah, mengapa masih
banyaknya orang-orang jahat di muka bumi ini?"
Ambarwati mendekati suaminya.
"Mengapa dia tidak kau bunuh saja, Kakang"
Orang jahat seperti itu tidak layak untuk hidup," kata Ambarwati menyesali sikap
suaminya. Pranata tersenyum. Berpaling pada istrinya.
"Tidak perlu, Rayi. Kita tidak perlu menurunkan
tangan telengas pada lawan yang sudah kalah.
"Mengapa, Kakang" Bila orang jahat seperti itu
kau biarkan hidup, maka kejahatannya akan semakin
merajalela. Apakah kau tidak mendengar kalau tadi dia bilang dia dan kawannya
yang telah mampus itu anggota dari Gerombolan Orang-orang Bengis" Dari nama
gerombolannya saja itu sudah menandakan dia dan
mungkin beberapa orang teman lainnya, adalah orang-
orang yang kejam. Bengis! Lalu mengapa kau mem-
biarkannya hidup?"
"Rayi... mati ada di tangan Tuhan. Bila kita mencabut nyawa manusia itu, sama
saja kita mendahului
Tuhan." "Tapi kita mempertahankan nyawa, Kakang! Ka-
lau bukan kita yang mati, dia yang mati. Begitu pula
sebaliknya."
"Tetapi tadi aku tidak sedang mempertahankan
diri, Rayi."
"Kau bertarung dengannya itu tidak kau katakan
mempertahankan diri?"
"Bukan itu maksudku, Rayi...."
"Lalu apa, Kakang?" kata Ambarwati yang jadi sebal karena suaminya selalu
menentang kata-katanya.
"Orang tadi sudah tidak berdaya, tidak dalam
keadaan bertempur melawanku" Dia sudah kalah. Itu-
kah yang kau namakan sedang bertempur?"
"Semula kau bertempur dengannya, bukan?"
"Iya! Dan bila orang itu mati di tanganku saat
bertempur, aku tidak apa-apa. Tetapi orang itu sudah
tidak berdaya, tidak sedang bertempur denganku. Bila
aku membunuhnya, sama saja aku dengan mencabut
nyawanya secara sengaja. Dan itu berarti mendahului
Tuhan, Rayi...."
Ambarwati terdiam. Sebenarnya dia mengerti dan
tahu maksud dari kata-kata suaminya. Namun kejeng-
kelan karena waktu istirahat dan kemesraan yang se-
dang diberikan oleh suaminya terganggu oleh orang-
orang itu, maka dia menjadi jengkel.
Seharusnya orang itu dibunuh saja! Begitu
maunya Ambarwati. Dengan alasan, bila dibiarkan hi-
dup maka kejahatan yang dilakukannya akan semakin
merajalela. "Kau mengerti bukan, Rayi?" tanya Pranata Kumala dengan suara mesra karena
istrinya diam saja.
Ambarwati mengangkat kepalanya. Ah, semakin
lama dia semakin kagum terhadap suaminya. Dan rasa
cintanya semakin besar saja.
"Bagaimana, Rayi" Kau mengerti?" tanya Pranata Kumala lagi.


Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan perlahan-lahan kepala itu mengangguk. Ada
senyum yang tersungging di bibirnya.
"Iya, Kakang...."
"Nah, itu baru istriku yang manis." Ambarwati tersipu.
"Sebaiknya kita pindah dari tempat ini, Rayi... Ki-ta cari tempat yang lebih
sepi. Agar... hahaha... agar aku bisa merangkulmu lebih erat...."
Ambarwati tersipu. Dia memukul-mukul bahu
suaminya dengan manja.
*** 4 Pagi itu udara cerah. Matahari telah sepenggalah.
Sinarnya yang keemasan nampak telah memayungi se-
luruh dunia. Memberikan penghidupan bagi umat ma-
nusia melalui sinarnya. Ini menunjukkan salah satu
kekuatan dan kekuasaan Tuhan pada umat-Nya.
Sebagai manusia, kita memang harus mensyuku-
ri nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya.
Pagi itu pula di Perguruan Topeng Hitam, para
muridnya tengah berlatih. Memang setiap pagi murid-
murid Perguruan Topeng Hitam berlatih ilmu pedang.
Pedang memang senjata yang menjadi ciri khas
dari perguruan itu. Selain itu, mereka pun memiliki
senjata rahasia yang berbentuk topeng itu. Di samping itu pula, semua murid-
murid Perguruan Topeng Hitam
memakai pakaian hitam-hitam dan menutup wajah
mereka dengan topeng hitam.
Ketua dari Perguruan Topeng Hitam adalah Ma-
dewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma. Se-
benarnya perguruan itu dulu diketuai oleh Paksi Ulu-
dara atau yang berjuluk si Dewa Pedang. Namun sete-
lah si Dewa Pedang tewas di tangan Nindia, maka dia
pun menyerahkan tampuk kekuasaan itu pada Made-
wa Gumilang sebelum ajal menjemputnya (Baca: Dewi
Cantik Penyebar Maut).
Di bawah pimpinan Madewa Gumilang dan is-
trinya Ratih Ningrum, nama dan ketenaran Perguruan
Topeng Hitam seakan telah mengumandang ke seluruh
rimba persilatan.
Selama ini Madewa memang tidak pernah menga-
jarkan jurus, ilmu atau pun ajian yang dimilikinya kepada murid-muridnya. Dia
tidak mau merubah tradisi
yang telah mendarah daging di Perguruan Topeng Hi-
tam yang selalu bersenjatakan pedang.
Dia hanya mengajarkan jurus-jurus pedang yang
diciptakannya. Dibantu oleh Ratih Ningrum yang me-
miliki jurus Pedang Kembar warisan dari gurunya yang
bernama Mukti. Selesai memberi petunjuk kepada para murid-
muridnya, Madewa menyuruh salah seorang murid pi-
lihan untuk memimpin berlatih. Dia sendiri melangkah
masuk ke dalam.
Sesampai di dalam, Madewa melihat istrinya
nampak sedang termenung. Perlahan-lahan dia men-
dekati. "Dinda... ada apakah gerangan hingga Dinda ke-
lihatan bermuram durja?" tanyanya dengan mesra.
Ratih Ningrum mengangkat kepalanya. Terse-
nyum pada suaminya tercinta. Madewa dapat melihat
kalau sepasang mata itu seperti sedang rindu pada se-
suatu. "Kanda...." desis Ratih Ningrum bagaikan desa-han belaka.
"Ya, Dinda"! Katakanlah... ada apakah geran-
gan?" Ratih Ningrum mendesah. "Apakah Kanda sudah lupa... beberapa minggu yang
lalu Kanda pernah berjanji pada Dinda, untuk menjenguk dan mencari Pra-
nata Kumala dan anak menantuku, Ambarwati?"
Madewa tersenyum. Rupanya soal itu. Ya, dia
masih ingat sebulan yang lalu dia memang pernah ber-
janji pada istrinya untuk mencari putra dan anak me-
nantunya. (Baca: Maut Buat Madewa Gumilang).
"Lalu?"
"Apakah Kanda menjadi orang yang tidak pernah
menepati janji?"
Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana. Dia lalu
duduk di hadapan istrinya. Jubah putihnya tergerai di lantai.
"Kanda tidak pernah akan berubah."
"Sampai kapan pun?"
"Sampai kapan pun."
"Lalu mengapa Kanda tidak memenuhi permin-
taan Dinda dan mengabulkan semuanya?"
"Sudah tentu akan kukabulkan. Baik, besok pagi,
kita akan berangkat menuju Pantai Laut Selatan. Ba-
rangkali saja Pranata dan anak menantu kita Ambar-
wati, punya rasa rindu pula terhadap rumah mereka di
Laut Selatan."
Seketika sepasang mata Ratih Ningrum bersinar
cerah. Mirip seorang anak kecil yang diberi permen.
"Benarkah, Kanda?"
Madewa tersenyum.
"Mengapa tidak?"
"Oh! Aku sudah rindu sekali dengan Pranata
Kumala, Kanda. Aku sudah rindu sekali. Hei..."
"Kenapa, Dinda?"
"Apakah... apakah anak menantuku sudah ha-
mil?" Madewa tersenyum. "Kau bisa menanyakannya bila bertemu dengannya."
"Andaikata dia sudah hamil, aku akan menimang
cucu, Kanda... Oh, alangkah senangnya!"
Madewa tersenyum. "Dinda... bagaimana bila pu-
tra dan anak menantu kita tidak ada di Laut Selatan?"
"Oh!"
"Bagaimana, Dinda?"
Ratih Ningrum menatap wajah suaminya.
"Kanda akan memenuhi permintaanku, bukan?"
"Sudah tentu. Kau adalah wanita yang baik hati
dan setia, Dinda. Yang telah menemaniku hidup sela-
ma bertahun-tahun dalam suka dan duka. Mengapa
aku tidak akan memenuhi semua permintaanmu" Se-
pertinya aku tidak punya alasan untuk itu," kata Madewa sambil tersenyum.
Ratih Ningrum pun ikut tersenyum. Dia merasa
terharu dan bangga mendengar kata-kata suaminya.
Dulu, suaminya hanyalah perawat kuda di rumahnya,
dan dia tak pernah menyangka akan menjadi istrinya.
Sejak masih perawan dulu, Ratih Ningrum diam-diam
memang menyintai Madewa yang saat itu menjadi pe-
rawat kudanya. Namun percintaan itu ditentang oleh
ayahnya. Tetapi Ratih Ningrum nekat. Dan yang tak
pernah disangkanya, ayahnya yang bernama Biparse-
na adalah seorang tokoh hitam yang jahat (Baca: Pe-
dang Pusaka Dewa Matahari dan Dendam Orang-orang
Gagah). "Kanda...." terdengar suaranya lagi. "Kita akan cari Pranata Kumala dan
Ambarwati sampai bertemu.
Aku sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan mereka.
Dan aku pun sudah tidak sabar ingin mengetahui
apakah anak menantuku sudah hamil atau belum."
"Ya."
"Kau mau memenuhinya, bukan?"
"Tentu."
"Kau memang suami yang setia, Madewa...."
"Kau juga seorang istri yang setia, Ratih...."
Keduanya saling tersenyum.
*** Keesokan paginya, dua ekor kuda jantan yang
gagah telah dikeluarkan dari kandang. Madewa tengah
menyampaikan pesannya pada murid-muridnya sepe-
ninggal dia dan istrinya untuk menuju Laut Selatan.
"Aku minta... jangan ada yang membuat keribu-
tan. Onar atau pun masalah. Bila memang ada, usa-
hakan kalian semua melakukannya dengan cara da-
mai. Jangan sampai timbul bibit permusuhan yang ter-
jadi di antara sesama! Mengerti"!"
Para muridnya pun mengangguk. Lalu Madewa
dan istrinya segera menaiki kuda-kuda mereka. Dan
memulai perjalanan menuju Laut Selatan.
Bagai seorang anak kecil Ratih Ningrum sudah
tidak sabar ingin bertemu dengan putra dan anak me-
nantunya. Di sepanjang jalan dia selalu tersenyum-
senyum. Madewa Gumilang hanya membiarkan saja is-
trinya menikmati kebahagiaannya.
*** 5 Keadaan di Laut Selatan begitu menyedihkan se-
kali. Para penduduk yang tinggal di sana, kini telah
menjadi budak dari orang-orang jahat itu.
Nasib kaum wanita lebih menyedihkan lagi. Me-
reka di jadikan pemuas hawa nafsu mereka. Kadang
mereka digarap secara beramai-ramai dengan digilir.
Dan dalam waktu satu minggu saja, di tempat itu
telah berdiri sebuah bangunan yang cukup megah.
Yang dibangun dengan uang rakyat. Dan pekerjanya
pun para penduduk yang dengan paksa siang dan ma-
lam harus membanting tulang untuk mendirikan ban-
gunan itu. Kini di salah sebuah ruangan itu, berkumpul Se-
copati, Pronomuro dan Wiroprogo. Mereka tengah
membicarakan Pragono dan Jawinto yang belum kem-
bali sampai sekarang ini.
"Apakah mereka belum tiba di sana?" menduga Pronomuro.
"Kalau belum tiba tidak mungkin. Kupikir... ada
atau telah terjadi sesuatu pada diri mereka...." kata Secopati.
"Apa maksudmu?"
"Mengingat sampai sekarang mereka belum kem-
bali pula ke sini?"
"Apa kira-kira yang terjadi?" tanya Wiroprogo.
"Aku pun tidak tahu. Kalau pun mereka ada ha-
langan di jalan, mustahil mereka bisa dikalahkan.
Ataupun aku yakin mereka bisa mengatasi halangan
itu." Ketiga orang itu memang sedang sibuk memikirkan Pragono dan Jawinto.
Karena mereka tahu, waktu
yang diberikan oleh Nyai Prodo untuk menguasai selu-
ruh wilayah Laut Selatan, hanya satu minggu. Bila le-
bih dari waktu yang ditentukan, akan mendapat sangsi
yang mengerikan.
Harus mati dengan kepala terpenggal.
Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan di hadapan
mereka. Ketiganya serentak berdiri. Terkejut. Lebih
terkejut lagi ketika melihat bungkusan itu berdarah.
"Hei, apa itu?" seru Wiroprogo.
"Siapa yang telah melemparkannya"!" seru Secopati. Sedangkan Pronomuro telah
melesat ke luar.
Namun di sana dia tidak melihat sesuatu yang mencu-
rigakan kecuali beberapa pemuda yang telah dilatih
dan dipaksa oleh ketiganya untuk menjadi penjaga
bangunan itu. Pronomuro kembali lagi ke teman-temannya.
"Yah... tidak ada sesuatu yang mencurigakan!"
katanya. "Lebih baik kita lihat isi bungkusan berdarah
itu!" kata Secopati.
Lalu dia pun membukanya. Dan terdengar jeritan
yang keras dari ketiganya begitu melihat isi bungkusan itu. "Jawinto!"
"Oh!"
"Mengapa sampai begini"!"
Bungkusan yang berlumur darah itu ternyata be-
risi kepala Jawinto yang terpisah dari tubuhnya. Sepasang mata itu terbeliak
seperti menahan rasa sakit.
Belum lagi ketiganya sempat berkata-kata, ter-
dengar suara kekehan di belakang mereka.
Serentak ketiganya menoleh.
"Nyai!" Dan seruan itu pun diucapkan secara bersamaan.
Sosok tubuh yang terkekeh itu tak lain adalah
Nyai Prodo. Dia seorang nenek bongkok. Rambutnya
yang putih beruban disanggul dengan sebuah tusuk
konde. Ketika dia terkekeh terlihat semua giginya terbuat dari perak.
"Hehehe... kalian terkejut, bukan"!" terkekeh lagi Nyai Prodo.
"Nyai" Apa yang telah terjadi dengan Jawinto"
Siapa yang telah melakukannya"!" kata Secopati.
"Aku sendiri yang melakukannya?" terdengar suara Nyai Prodo. Kali ini beraksen
geram. Ketiga orang itu menjadi terdiam. Secopati mem-
beranikan diri untuk mengangkat wajahnya dan berka-
ta. "Mengapa, Nyai" Apa salahnya dia" Bukankah
dia dan Pragono sudah kuutus untuk melaporkan se-
mua ini pada Nyai" Sementara kami di sini memban-
gun gedung ini dan melabrak setiap desa?"
"Lalu apa yang kau pikir, kan?"
"Saya tidak tahu, Nyai?"
"Hhh! Kau pikir dia dan Pragono tiba di tempatku seperti waktu yang kuberikan
pada kalian?"
"Ya." Ketiganya menyahut serempak.
"Tidak!" sahut Nyai Prodo tegas. "Dia tiba di tempatku dua hari lewat dari waktu
yang kutentukan da-
lam terluka parah."
"Terluka parah" Apa yang terjadi?" tanya Secopati
mewakili keheranan kedua temannya.
"Dia memang menceritakannya padaku kejadian
yang telah dialaminya. Dia dan Pragono bertempur
dengan sepasang suami istri yang Pranata Kumala dan
Ambarwati. Kedua suami istri muda itu memang
orang-orang yang tangguh hingga mereka bisa menga-
lahkan Pragono dan Jawinto...."
"Lalu bagaimana dengan Pragono?"
"Dia telah mampus, goblok!"
Ciut hatinya Secopati mendengar bentakan yang
keras itu. Didengarnya lagi suara Nyai Prodo, "Ini semua
berkat kelalaian kedua teman kalian itu. Seharusnya
mereka bisa tiba di tempatku sebelum batas waktu
yang kutentukan. Tetapi sifat mata keranjang mereka
yang membuat mereka seperti ini."


Pendekar Bayangan Sukma 16 Prahara Di Laut Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hihihi... tapi aku tidak mau tahu soal itu. Jawinto telah lewat dari batas yang
kuberikan untuk menga-
barkan hasil kerja kalian. Dan dia pun telah merasa-
kan hasil dari kelalaiannya! Kalian telah melihat sendiri, bukan?"
Ketiga orang itu hanya terdiam. Dalam hati me-
reka pun sudah menduga, nasib yang sama akan di-
alami oleh mereka.
"Sial! Mengapa mata keranjang keduanya tidak
bisa mereka kekang dulu sebelum tugas selesai?" Maki Secopati dalam hati.
Nyai Prodo terkikik melihat ketiga kepala itu
mengangguk seperti pasrah dan ketakutan.
"Untuk kalian kuampuni!"
Seketika ketiga kepala itu terangkat. Tiga pasang
mata berbinar tak percaya.
"Kalian telah melakukan tugas yang kuberikan
dengan baik. Dan ini bukanlah kelalaian kalian! Tetapi kelalaian Pragono dan
Jawinto. Biarkan saja kedua
orang itu mampus!"
"Terima kasih, Nyai...." kata Secopati. Lalu berkata lagi, "Sebaiknya Nyai
beristirahat dulu. Biar dilayani oleh para pelayan di sini...."
Secopati menepuk tangannya tiga kali.
Tak lama kemudian muncul dua orang gadis ber-
pakaian minim. Wajah mereka nampak layu dan tak
berdaya. Mengalahkan kecantikan mereka.
"Layani Nyai Prodo dengan baik!"
"Baik, Tuan."
Nyai Prodo terkekeh.
"Hihihi... hebat, hebat sekali! Kalian telah bisa menguasai mereka dengan
sempurna!"
"Silahkan, Nyai... silahkan beristirahat...." kata Secopati.
Nyai Prodo terkekeh lagi. "Secopati... aku memin-ta kau carikan dua orang pemuda
yang masih perjaka,
untuk menambah kehebatan ilmuku ini...."
"Semuanya akan Nyai dapatkan...."
"Dan satu lagi permintaanku, kalian cari sepa-
sang suami istri muda itu. Dan kalian bunuh!"
"Baik, Nyai...."
Lalu dengan diantarkan oleh dua gadis yang ber-
pakaian minim itu, Nyai Prodo menempati sebuah ka-
mar yang indah bagus. Di dalam kamar itu terdapat
makanan yang enak-enak dan buah-buahan yang ma-
sih segar-segar.
"Hihihi... inilah yang kuimpi-impikan sejak la-
ma...." serunya mengagumi ruangan itu.
Di luar, Secopati sedang menendang kepala Ja-
winto hingga menggelinding.
"Rasakan sendiri olehmu akibat kelalaianmu itu!"
dengusnya. Lalu dia berkata pada Wiroprogo, "Cepat kau cari dua pemuda yang
masih perjaka! Jangan
sampai kemarahan Nyai Prodo semakin menjadi-jadi,
dan kita dijadikan sasaran kemarahannya!"
Wiroprogo pun tak mau kalau kepalanya harus
berpisah dengan badannya. Dia pun bergegas berlari
ke luar untuk mencari dua orang pemuda yang perja-
ka, yang akan dipersembahkannya kepada Nyai Prodo.
"Pronomuro... agaknya kita memang harus men-
cari Pranata Kumala dan Ambarwati. Bila tidak, kema-
rahan Nyai Prodo bisa melanglang setinggi langit!" kata Secopati pula.
"Benar, Secopati!" kata Pronomuro. "Aku pun tak mau kalau dijadikan sasaran
kemarahan Nyai Prodo.
Aku masih sayang dengan kepala dan tubuhku! Haha-
ha... masih banyak kenikmatan yang belum aku rasa-
kan lagi, Secopati!"
"Betul! Kita harus bersiap sekarang juga!"
Lalu kedua orang itu pun segera mengatur ren-
cana. Tak lama kemudian Wiroprogo datang kembali
dengan dua orang pemuda desa yang gagah dan ber-
wajah tampan. "Bagaimana dengan keduanya ini?" tanya Wiroprogo.
"Bagus!" sahut Secopati. "Pasti Nyai Prodo suka menikmatinya! Bawa dia ke
kamarnya sekarang juga,
Wiroprogo!"
Wiroprogo pun membawa kedua pemuda yang
bagaikan dicocok hidungnya menuju kamar Nyai Pro-
do. *** 6 Nyai Prodo terkekeh melihat kedua pemuda itu.
Tetapi kedua pemuda itu malah terbelalak melihat wa-
jah seram dari Nyai Prodo.
"Hehehe... jangan takut. Manis... masuklah...."
terkekeh Nyai Prodo. Lalu membentak pada dua gadis
yang tengah bersimpuh di kamarnya, "Kalian berdua keluar!"
Kedua gadis itu keluar.
Nyai Prodo membawa kedua pemuda itu masuk.
Lalu dia sendiri mengunci pintu.
Kedua pemuda itu nampak ketakutan.
"Hehehe... mengapa harus takut, Manis... tidak
apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa...."
Salah seorang pemuda yang mempunyai sedikit
nyali berkata, "Apa... apa yang akan kami lakukan, Nyai?"
"Hehehe... kalian hanya menemani aku tidur....
Itu saja...."
Keduanya bergidik dengan sepasang mata yang
terbelalak. Menemani tidur" Oh, Tuhan... kambing di-
beri obat perangsang pun belum tentu mau dengan
nenek jelek ini!
"Mengapa kalian kaget" Hehehe... kalian tidak
suka, ya?" suara Nyai Prodo tiba-tiba terdengar begitu mesra sekali di telinga
keduanya. Dan secara tiba-tiba keduanya nampak terdiam. Terpengaruh. Diam-diam
Nyai Prodo tengah mengeluarkan ajian penyerat raga.
"Hehehe... coba kalian buka mata kalian baik-
baik, dan lihatlah siapa aku...."
Seperti tidak percaya pada tatapannya, kedua
pemuda itu terbelalak. Dia tidak melihat lagi wajah
yang menyeramkan itu. Melainkan melihat wajah yang
begitu cantik jelita. Mirip bidadari yang baru turun da-ri kahyangan.
"Hehehe... bukankah aku cantik, Manis...." terkekeh Nyai Prodo yang sudah
menggunakan ajian Pem-
balik Mata. Dan di pandangan kedua pemuda itu kini
mereka melihat seorang gadis yang amat jelita.
"Kau... kau siapa?" bertanya salah seorang sambil menelan ludahnya.
"Aku yang akan menemani kalian tidur. Dan
memuaskan dahaga kalian...." suara Nyai Prodo terdengar begitu mesra dan
menggetarkan. Dan kedua pemuda itu memang telah terkena
ajian Penyerat Raga dan Pembalik Mata. Secara tiba-
Pedang Golok Yang Menggetarkan 6 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pendekar Patung Emas 15
^