Pencarian

Raja Alam Sihir 2

Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir Bagian 2


Mengurung', tapi usahanya hanya
sia-sia belaka. Oleh karena tak mau membuang tenaga
untuk sesuatu yang tak mungkin bisa dilakukannya,
dia pun cuma duduk termenung memikirkan segala
sesuatu yang akan segera terjadi.
"Salah satu dari orang yang sedang bertempur
itu pasti akan mendatangiku...," pikir Seno. "Bila yang
datang Bancakluka ataupun Bancakdulina, aku akan
selamat. Kalau yang datang Danyangsuli, aku tak tahu
bagaimana nasibku. Boleh saja Danyangsuli menghisap seluruh inti kekuatan
tubuhku..., namun dia harus berkorban banyak untuk mewujudkan keinginannya itu!"
Mengikuti pikiran di benaknya, Pendekar Bodoh bangkit berdiri seraya bersiap
siaga. Di lain kejap,
wajah murid Dewa Dungu itu tampak menegang. Uraturat di kedua lengannya tampak
membiru dan bertonjolan. Tanpa sadar, dia telah mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya.
*** "Hmmm.... Ilmu pukulan kita seimbang, Suli...,"
dengus Sasak Padempuan. "Tapi... dengan cincin
'Permata Kelelawar Dewa' di tanganku, dapatkah kau
mengimbangi kehebatan ilmu sihir ku?"
"Bangsat kau, Padempuan!" sahut Danyangsuli.
"Walau kau telah merampas cincin mustika yang merupakan azimatku, jangan harap
kau dapat mengungguli kekuatan ilmu sihir ku! Apa kau lupa bila aku
adalah Ratu Sihir Tercantik?"
Tersenyum sinis Sasak Padempuan. Di sekitar
kaki pemuda berambut ikal panjang itu tersebar pecahan batu cadas, berasal dari
pecahan langit-langit dan
dinding gua yang runtuh.
"Aku tak pernah lupa kalau kau adalah Ratu
Sihir Tercantik, Suli...," ujar Sasak Padempuan kemudian, "Kata 'ratu' memang
menunjukkan derajat tertinggi. Tapi kukira..., kaulah yang lupa. Bukankah gelar
Ratu Sihir Tercantik kau peroleh karena kau memiliki cincin 'Permata Kelelawar
Dewa'" Tapi kalau cincin
azimatmu telah berada di tanganku, masih pantaskah
kau memakai gelar Ratu Sihir Tercantik" Ha ha ha...!
Akulah yang mempunyai kekuatan sihir tertinggi. Akulah Raja Alam Sihir! Raja
ilmu sihir yang tak terkalahkan! Ha ha ha...!"
Mendengus gusar Danyangsuli. Wajahnya yang
cantik berubah garang dan tampak penuh nafsu membunuh. Lalu dengan bola mata
melotot besar, dia berkata....
"Boleh kau menyebut dirimu sebagai Raja Alam
Sihir, tapi buktikan dulu kemampuanmu!"
Untuk melepas hawa amarah dan kebenciannya, wanita berkulit kuning langsat itu
menjulurkan kedua tangannya ke depan. Melihat sikapnya, jelas bila
dia hendak mengeluarkan ilmu sihirnya. Hingga terlihat kemudian....
"Naga Petinggi Neraka datang! Melumat habis
tubuh sialmu itu, Padempuan! Hom asantarnas ha-
warnas... samlas...!"
Aneh! Dari ujung sepuluh jari tangan Danyangsuli mengepul asap putih kemerahan.
Kepulan asap itu
semakin lama semakin menebal, lalu membentuk wujud seekor naga terbang yang siap
mencabik-cabik tubuh Sasak Padempuan!
Tahu ada bahaya mengancam jiwanya, cepat
Sasak Padempuan menjulurkan kedua tangannya ke
depan. Dengan bantuan daya gaib cincin 'Permata Kelelawar Dewa', dia keluarkan
salah satu ilmu sihirnya
untuk menandingi ilmu sihir Danyangsuli.
"Cambuk Mahkota Api datang. Menghajar Naga
Petinggi Neraka! Hom asantarnas paranas... ramsas...!"
Sama dengan apa yang terjadi pada Danyangsuli tadi. Ujung sepuluh jari Sasak
Padempuan juga mengepulkan asap putih kemerahan. Namun ketika
menebal, asap ciptaan Sasak Padempuan membentuk
wujud sebuah cambuk terbang raksasa. Di ujung gagang cambuk terdapat mahkota
emas. Sementara, talinya yang sepanjang sepuluh depa senantiasa dikobari
lidah api menyala-nyala!
Jder...! Jder...! Dua kali Cambuk Mahkota Api mengibas. Cepat
Naga Petinggi Neraka membalikkan badan seraya menyemburkan kobaran api yang tak
kalah panas. Maka
tak dapat dihindari lagi, pertarungan dua kekuatan ilmu sihir segera berlangsung
seru. Sementara, Sasak Padempuan dan Danyangsuli
yang mengendalikan gerak Cambuk Mahkota Api dan
Naga Petinggi Neraka tampak berdiri tegak di tempatnya. Kedua tangan mereka tak
lagi terjulur, melainkan
sama-sama bersedekap dengan kelopak mata terpejam
rapat. Dan ketika terjadi pertempuran seru antara
Cambuk Mahkota Api dengan Naga Petinggi Neraka,
kepala mereka terlihat mengepulkan asap tipis.
Kekuatan ilmu sihir kedua anak manusia itu
terwakili oleh Cambuk Mahkota Api dan Naga Petinggi
Neraka yang sama-sama bernafsu untuk segera merobohkan lawan!
Ruangan gua yang cukup lebar cukup memberikan peluang bagi Cambuk Mahkota Api
dan Naga Petinggi Neraka untuk mengeluarkan kehebatan masingmasing.
Mulut Naga Petinggi Neraka tak pernah berhenti menyemburkan api ganas. Ekornya
pun mengibas ke
sana-sini untuk memotong hancur Cambuk Mahkota
Api! Namun tampaknya, gerakan Cambuk Mahkota
Api lebih gesit. Berkali-kali tubuh Naga Petinggi Neraka
terhajar telak. Hingga, tubuh Naga Petinggi Neraka
tampak menggeliat kesakitan dan mulutnya mengeluarkan suara geram yang keras
bergemuruh! Jder...! "Hmmmm...!"
Pertempuran antara Cambuk Mahkota Api dengan Naga Petinggi Neraka tak
berlangsung lama. Kehebatan ilmu sihir Sasak Padempuan benar-benar terbukti.
Cambuk Mahkota Api yang menjadi sarana untuk dapat mengalahkan ilmu sihir
Danyangsuli mampu menjadikan Naga Petinggi Neraka sebagai bulanbulanan!
"Argh...!"
Diawali satu jeritan pendek, mendadak sikap
berdiri Danyangsuli jadi sempoyongan. Sekujur tubuhnya mulai terbungkus lapisan
asap. Dan... tampak
kemudian, pakaian Danyangsuli robek-robek dengan
sendirinya. Lalu, kulit tubuhnya yang semula halus
mulus jadi dipenuhi luka panjang seperti luka akibat
cambukan yang amat kuat!
Jder...! Cambuk Mahkota Api tepat menghajar kepala
Naga Petinggi Neraka. Dan..., tubuh naga terbang itu
langsung terpelanting jatuh, lalu lenyap tanpa bekas!
Bersamaan dengan itu, tubuh Danyangsuli terpelanting jatuh pula!
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sasak Padempuan seraya menarik kekuatan ilmu
sihirnya. "Kini telah kubuktikan bahwa aku adalah Raja Alam Sihir! Ha
ha ha...! Telah kukalahkan Ratu Sihir Tercantik! Ha ha
ha...!" Sambil terus tertawa bergelak-gelak, pemuda
berpakaian hitam-hitam itu menatap sosok Danyangsuli yang terbaring lemah di
lantai gua. Tubuh Danyangsuli tampak penuh luka, hingga cairan darahnya
pun keluar bertetesan....
"Sengaja aku membiarkanmu menghirup udara
segar beberapa lama, Suli...," ujar Sasak Padempuan
kemudian. "Tentu kau tak lupa bila Seno Prasetyo masih berada di dalam gua ini.
Kekuatan ilmu sihirmu telah melemah, Suli. Pemuda itu akan dapat keluar dari
'Benteng Sihir Mengurung' dengan sendirinya.... Karena sejak semula kau berniat
tak baik kepadanya, dialah yang akan mewakili aku untuk membunuhmu!
Ha ha ha...!"
"Jahanam!" sentak Danyangsuli.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, wanita yang telah terluka parah itu
hendak menerjang.
Namun, keinginannya tak terpenuhi. Luka-luka di tubuhnya terlalu parah. Hingga,
tubuhnya jatuh terbanting lagi di lantai gua!
Sementara, suara tawa Sasak Padempuan ma-
sih terus terdengar beberapa lama walau si pemuda telah pergi meninggalkan
tempat.... *** 6 SAMPAI beberapa lama, Seno tak dapat mendengar suara apa-apa lagi, kecuali desah
napas dan detak jantungnya sendiri. Sehingga, suasana di dalam
gua terasa amat sepi. Bahkan, teramat sepi dan sunyi!
Namun ketika Seno lebih menajamkan indera
pendengarannya, mendadak dia menggerigap kaget.
Rasa hatinya menjadi berdebar-debar, namun terbersit
rasa senang juga.
Telinga pemuda remaja berpakaian biru-biru
itu dapat menangkap suara seorang wanita yang sedang berusaha membuka 'Benteng
Sihir Mengurung'
dengan kekuatan ilmu sihir! Siapa dia gerangan" Danyangsuli" Atau, seorang warga
Suku Asantar lainnya"
"'Benteng Sihir Mengurung' tak lagi berguna.
Terbukalah agar orang yang terkurung dapat menghirup udara bebas! Hom asantarnas
hawarnas... samlas...!"
Suara wanita yang sedang mengucapkan katakata untuk membangkitkan kekuatan gaib
ilmu sihir itu terdengar amat lirih dan seperti sedang menahan
rasa sakit. Hati Seno semakin berdebar-debar tak karuan. Jantungnya pun terasa
berdetak lebih cepat, sehingga membuat sesak jalan nafasnya. Apalagi setelah....
Ssshhh...! Splash...!
Didahului oleh suara mendesis seperti bara api
tersiram air, dinding-dinding gua yang mengurung Seno mengepulkan asap tipis.
Dan ketika asap tipis itu
lenyap, mata Seno dapat melihat dengan leluasa. Lorong gua yang semula tertutup
bayang-bayang putih
kini dapat terlihat dengan jelas.
Itu berarti tak ada lagi kekuatan sihir yang
mengurung dan memenjarakan Pendekar Bodoh.
'Benteng Sihir Mengurung' telah lenyap!
Namun, segera terlihat Seno berdiri terpaku
dengan mata terbelalak, penuh rasa terkejut. Sekitar
dua puluh tombak dari hadapannya, dia melihat seorang wanita yang tengah
tergolek lemah di lantai gua.
Wajah si wanita yang sebenarnya amat cantik tampak
amat pucat dengan bibir membiru. Hampir sekujur tubuhnya dipenuhi luka memanjang
seperti akibat hajaran cambuk. Sementara, pakaiannya yang berwarna
merah gemerlap terlihat lengket karena telah ternoda
cairan darah! "Danyangsuli...!" desis Seno, melompat menghampiri.
"Syu.... Syukurlah kalau kau masih dalam keadaan segar bugar, Seno...," sambut
si wanita yang memang Danyangsuli adanya.
Susah payah wanita berumur tiga puluh tahun
itu beringsut bangkit untuk dapat duduk bersandar
pada dinding gua. Seno menatap terlongong bengong.
Seno tahu bila Danyangsuli adalah seorang ahli sihir
berperangai jahat, yang berniat mencelakakan dirinya.
Namun melihat keadaan Danyangsuli yang terluka parah, Seno jadi tak tahu apa
yang harus diperbuatnya. Meneruskan perhitungan dengan wanita jahat itu" Atau,
meninggalkannya pergi" Tapi, siapa tadi
yang telah membuka 'Benteng Sihir Mengurung'" Danyangsuli-kah" Kalau memang
Danyangsuli, lalu apa
maksud wanita itu sebenarnya"
"Sedikit banyak, aku bisa merasakan apa yang
tengah kau rasakan saat ini, Seno...," ujar Danyangsuli, penuh kesungguhan.
"Jangan heran jika kau melihat keadaanku jadi seperti ini. Ini semua terjadi
karena kebodohan dan kecerobohanku...."
"Kau yang membebaskan aku?" tanya Seno.
"Ya," jawab Danyangsuli.
"Lalu..., kenapa kau terluka" Dan, siapa yang
melukaimu" Bancakluka" Bancakdulina?" tanya Seno
lagi, agak tergagap. Iba juga hatinya melihat Danyangsuli yang terus meringis
kesakitan. Tapi, haruskah dia
memberi pertolongan" Sementara, dia tahu bila wanita
itu adalah seorang ahli sihir yang amat berbahaya!
"Tentu masih segar dalam ingatanmu, seorang
pemuda bernama Sasak Padempuan...."
"Kenapa dengan dia?"
"Dialah yang telah membuatku seperti ini!"
"Dia" Bagaimana bisa" Bukankah kekuatan ilmu sihirnya telah dilenyapkan oleh
para sesepuh Suku
Asantar?" "Ketahuilah..., sebenarnya Sasak Padempuan
adalah kekasihku. Dan, siapa yang tega melihat orang
yang dicintainya hidup dalam kesengsaraan...?"
"Maksudmu?" kejar Seno, mulai tertarik mendengar penuturan Danyangsuli. Sejenak,
dia lupa pada rasa laparnya. "Aku mengembalikan kekuatan ilmu sihir Sasak Padempuan," beri tahu Danyangsuli.
"Tapi sayang..., aku tak pernah menyangka bila Sasak Padempuan punya niat tak baik
terhadapku. Usai mendapatkan kembali kekuatan ilmu sihirnya, dia merampas cincin
'Permata Kelelawar Dewa' yang menjadi
azimatku...."
"Lalu, dia membuatmu terluka parah seperti
ini?" tebak Seno.
Danyangsuli diam tak menjawab. Namun, tatapan matanya jelas membenarkan tebakan
Seno. "Kau jahat, Danyangsuli! Apa yang dilakukan
Sasak Padempuan sudah pantas kau terima! Bagaimanapun, kau harus menebus
kejahatanmu! Kau terluka parah! Kau memang pantas untuk mati!" sembur
Seno tiba-tiba.
Mendesah panjang Danyangsuli. "Ya! Ya! Aku
memang orang jahat! Aku memang pantas mati untuk
menebus dosa-dosaku!" ujarnya dengan suara bergetar. "Tapi..., ada beberapa hal
yang harus kuberitahukan kepadamu...."
"Apa itu" Kau hendak meminta maaf" Lalu,
mengembalikan Tongkat Dewa Badaiku, bukan?" sahut Seno, terdengar menyelidik.
"Itu hanya salah satunya. Tapi yang lebih penting, kau harus tahu bila saat ini
Sasak Padempuan
memiliki kekuatan ilmu sihir yang amat hebat. Dia ingin menjadi baulau Suku
Asantar! Dapat kau bayangkan bila manusia jahat macam Sasak Padempuan
menjadi pemimpin sekelompok orang yang biasa hidup
rukun dan damai. Suku Asantar akan menjadi ajang
pertumpahan darah! Karena, dia ingin membalaskan
sakit hatinya terhadap orang-orang yang pernah


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghina dan melecehkan harkat martabatnya sebagai keturunan Umpak Padempuan!"
"Lalu, apa hubungannya dengan diriku?" sahut
Seno, mulai percaya lagi pada ucapan Danyangsuli.
"Aku tahu kau seorang pemuda yang berjiwa
ksatria pendekar. Aku tahu kau tak akan pernah
membiarkan sebuah kejahatan berlangsung di depan
matamu. Jiwa kependekaranmu pasti terpanggil untuk
mencegah Sasak Padempuan melakukan kejahatan...."
Walau terluka parah, rupanya Danyangsuli masih mampu berkata-kata sedemikian
lama. Keinginannya untuk dapat bertahan hiduplah yang telah memperpanjang
usianya sampai beberapa lama. Sebelum
ajal datang menjemput, Danyangsuli memang bertekad
untuk menyampaikan apa yang ada di hatinya kepada
murid Dewa Dungu itu, termasuk menumpahkan amarah dan bencinya atas perlakuan
Sasak Padempuan.
Pendekar Bodoh yang melihat keadaan Danyangsuli yang semakin payah tampak diam
terlongong bengong lagi. Karena belum dapat mengambil keputusan apa yang harus
dilakukannya, Pendekar Bodoh pun cuma bisa berdiri terpaku sambil cengarcengir
beberapa lama. "Uh...!"
Mendadak, Danyangsuli mengeluh pendek. Setelah memuntahkan darah segar, tubuhnya
jatuh menggelosoh ke lantai gua. Namun, dia berusaha sekuat tenaga untuk dapat terus
duduk. "Kau... kau...," ujar Seno, entah apa maksudnya. Yang Jelas, pemuda ini menjadi
amat kasihan melihat keadaan Danyangsuli. Haruskah dia memberi
pertolongan"
"Seno.... Seno...," sebut Danyangsuli. "Jika di
hatimu ada keinginan untuk menolongku, aku banyak
mengucapkan terima kasih. Tapi, luka-lukaku terlalu
parah.... Kematian itu sudah semakin dekat. Aku minta..., balikkan badanmu. Kau
lihat dinding gua yang
menonjol itu...."
"Kenapa" Kenapa...?" Seno malah bertanya, tak
melaksanakan permintaan Danyangsuli.
"Cepatlah, Seno! Kalau maut keburu menjemputku, kau akan menyesal. Aku tak
bermaksud jahat
lagi kepadamu.... Percayalah!"
Kali ini, mendengar ucapan Danyangsuli yang
mengiba dan terlihat penuh kesungguhan, tak dapat
Seno menolak permintaan wanita itu. Dan ketika Seno
telah membalikkan badan....
"Kau lihat tonjolan dinding gua yang paling besar?"
"Ya! Aku melihatnya. Ada apa?"
"Tekan dengan mengalirkan sedikit tenaga dalam."
"Untuk apa?"
"Cepatlah!"
Seno nyengir kuda sebentar. Namun akhirnya,
dia menuruti Juga permintaan Danyangsuli itu. Tak
lupa dia mempertinggi kewaspadaan. Bukankah segala
sesuatu bisa saja terjadi" Walau Danyangsuli memang
telah terluka parah, jangan-jangan dia masih menyimpan maksud buruk!
Tapi setelah Seno menekan tonjolan dinding
gua, seperti yang diminta Danyangsuli, alangkah gembiranya pemuda lugu itu.
Tonjolan dinding gua yang
berupa batu tiba-tiba bergeser perlahan ke atas. Lalu..., di dinding gua
terlihat sebuah lubang. Dan, di dalam lubang itu terdapat sebatang tongkat
pendek berwarna putih.
"Tongkat Dewa Badai...!" desis Seno, bersorak
girang dalam hati.
"Cepat ambil senjata mustikamu itu!" seru Danyangsuli.
"Ya! Ya!" sahut Seno seraya menyambar Tongkat Dewa Badai yang tergeletak di
depan matanya. Kejadian aneh terulang lagi!
Begitu Seno mengambil senjatanya, tonjolan
batu di dinding gua bergeser turun kembali, dan me-
nutup lubang yang semula digunakan untuk menyimpan Tongkat Dewa Badai.
"Kemarilah cepat!" seru Danyangsuli, keras sekali.
Menggerigap kaget Seno. Karena sempat terlongong bengong melihat keanehan di
dinding gua, dia jadi terkejut mendengar seruan Danyangsuli.
"Duduklah di hadapanku...," pinta Danyangsuli, setengah memerintah.
"Duduk" Untuk apa?" tolak Seno.
"Sudahlah! Turuti saja permintaanku. Duduklah di hadapanku! Aku tak bermaksud
buruk terhadapmu. Atau bila kau ragu, bukankah kau bisa membunuhku dengan
Tongkat Dewa Badaimu itu?"
"Ya! Ya!" sambut Seno akhirnya.
Melihat Pendekar Bodoh telah duduk bersila di
hadapannya, cepat Danyangsuli bersedekap seraya
menegakkan punggung dengan bersandar di dinding
gua. "Pejamkan matamu, Seno! Jika kau merasakan
tubuhmu direjam rasa sakit, bertahanlah! Bertahanlah
agar tak jatuh pingsan!"
"Kau hendak berbuat apa?" kejut Seno, tanpa
sadar beringsut mundur.
"Diamlah di tempatmu! Lakukan apa yang kuminta!"
"Aku tak tahu apa maksudmu! Kenapa aku harus menuruti permintaanmu?"
"Tolol! Aku hendak memasukkan kekuatan ilmu sihir ku ke tubuhmu!"
"Apa?"
*** 7 DI dalam sebuah rumah panggung besar, Bancakluka dan Bancakdulina duduk bersila
dengan hati berdebar-debar. Sudah sepenanakan nasi lamanya mereka menunggu lima orang
sesepuh suku yang tengah
khusuk bersemadi.
Di sisi kanan ayah dan anak itu tampak Bancaksika dan istrinya, yang tak lain
dari orangtua Silasati. Sementara, di sisi kiri terlihat sepasang suamiistri
lain, sebaya dengan Bancaksika dan istrinya.
Sepasang suami-istri yang tampak amat gelisah
itu mengenakan pakaian bagus, terbuat dari bahan
mahal. Yang wanita memakai perhiasan emas berlian
di leher dan pergelangan tangannya. Dan, yang lelaki
memakai hiasan cemeti emas di dada kiri. Keduanya
adalah orangtua Sadeng Sabantar, salah satu keluarga
terpandang di Suku Asantar.
Mereka semua yang tengah duduk di atas anyaman tikar itu jelas menyimpan rasa
tak sabaran. Rasa khawatir yang juga terpancar di sorot mata mereka.
Lima orang sesepuh suku yang sedang duduk
bersemadi memakai jubah hitam. Mereka bersedia menuruti permintaan Bancakdulina,
walau sebenarnya
permintaan Bancakdulina lebih banyak bersifat pribadi. Namun karena Bancakdulina
adalah seorang baulau atau kepala suku yang telah banyak menunjukkan
jasa baiknya terhadap kesejahteraan warga Suku
Asantar, para sesepuh suku jadi tak keberatan memenuhi permintaan ayah
Bancakluka itu.
Seperti yang telah direncanakan bersama Bancakluka, dan karena segala daya upaya
yang telah dilakukan tak membuahkan hasil, terpaksa Bancakduli-
na meminta bantuan para sesepuh suku untuk dapat
menemukan Seno Prasetyo yang hilang bersama Silasati dan Sadeng Sabantar.
Sementara, menurut aturan
adat Suku Asantar, para sesepuh suku sama sekali tak
bertanggung jawab jika ada seorang warga suku yang
hilang. Tanggung jawab sepenuhnya berada di pundak
baulau atau kepala suku.
"Sampai berapa lama lagi kita harus menunggu,
Sangkuk?" keluh Bancakluka sambil mengeluk pinggangnya yang terasa amat kaku.
"Sebentar lagi," sahut Bancakdulina. "Lihat sikap semadi mereka. Tubuh mereka
tampak bergetar.
Kita akan segera tahu hasilnya...."
Benar kata kakek berambut putih meletak itu.
Tidak sampai sepuluh tarikan napas kemudian, satu
persatu lima orang sesepuh suku mulai membuka mata. Salah seorang dari mereka
yang bertubuh amat kurus, yang tampaknya menjadi pemimpin, langsung beringsut ke
hadapan Bancakdulina.
"Bagaimana" Bagaimana, Uwak Labodang?"
tanya Bancakdulina, tak sabaran.
Lelaki berumur delapan puluh tahun bernama
Kaluak Labodang tampak menarik napas panjang beberapa kali. Terlalu banyak
kerutan di wajahnya. Sukar untuk menebak apa yang ada di hati kakek itu
dengan menilik dari perubahan raut wajahnya.
Setelah menatap wajah Bancakdulina, Kaluak
Labodang yang sudah tua renta itu mengalihkan pandangan ke wajah Bancaksika dan
Karusang Sabantar,
ayah Sadeng Sabantar. Lalu katanya....
"Aku dan para sesepuh suku lainnya telah berusaha sekuat tenaga. Namun, kalian
semua mesti tahu bila apa yang telah terjadi ini tak lain karena kehendak Yang
Di Atas juga...."
"Maksud Uwak?" buru Bancakdulina.
"Kau tak perlu khawatir, Dulina. Karena memang tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Mereka bertiga dalam keadaan tak kurang suatu apa...."
Mendengar keterangan Kaluak Labodang, Bancakdulina dan semua orang yang berada
di dalam rumah panggung itu langsung menarik napas lega. Untuk beberapa saat,
kekhawatiran yang terpancar di sorot mata mereka langsung lenyap. Namun
demikian, hati mereka masih tetap berdebar-debar menantikan
keterangan Kaluak Labodang selanjutnya.
"Mereka di mana" Apakah kita bisa mendatanginya?" tanya Bancakluka, yang juga
tak dapat menahan rasa ingin tahunya.
"Silasati dan Sadeng Sabantar berada di suatu
tempat. Aku tak dapat mengatakan mereka ada di mana. Tapi yang pasti, mereka
akan segera kembali dengan kemauan mereka sendiri," tutur Kaluak Labodang.
Di ujung kalimat kakek uzur itu, istri Bancaksika langsung meneteskan air mata
bahagia. Diucapkannya kata-kata syukur. Demikian pula dengan
istri Karusang Sabantar yang tak dapat menahan rasa
haru pula. "Seno Prasetyo?" bum Bancakluka yang merasa
berhutang budi kepada Pendekar Bodoh.
"Pemuda asing yang datang dari tanah Jawa itu
berada di suatu tempat berbeda. Dia juga dalam keadaan selamat tak kurang suatu
apa. Hanya saja...."
"Hanya saja apa?" semakin tak sabaran Bancakluka mendengar ucapan Kaluak
Labodang yang menggantung. "Ada kekuatan gaib yang menyelubungi diri
pemuda itu. Aku tak bisa menghubunginya melalui
pancaran batin."
"Lalu...?"
Bancakluka bertanya lagi. Tapi sebelum Kaluak
Labodang menjawab, mendadak terdengar suara kemeresek di atas atap. Suara itu
disusul dengan berkelebatnya sebuah bayangan putih berkilat!
Set...! "Awasss...!"
Bancakdulina berteriak keras sekali. Cepat kakek berambut putih meletak itu
mendorong tubuh putranya ke kanan. Tak ayal lagi, tubuh Bancakluka jatuh
bergulingan. Tapi, justru karena tindakan Bancakdulina itulah jiwa Bancakluka
bisa terselamatkan!
"Haram jadah!" maki Bancakluka yang merasa
dibokong orang.
Sementara di dalam rumah terjadi kegaduhan
karena jeritan istri Bancaksika dan Karusang Sabantar, tanpa pikir panjang
Bancakluka bangkit seraya
berkelebat keluar rumah. Namun, tak ada siapa-siapa
yang dapat ditemuinya. Dengan membawa rasa kesal,
dia hendak mengitari rumah untuk mencari jejak si
pembokong. Tapi....
"Tak perlu kau cari!" cegah Bancakdulina dari
dalam rumah. "Pembokong itu mengirim serangan
dengan kekuatan gaib. Dia tidak ada di sekitar sini!"
Karena kesal, Bancakluka menggedruk tanah
beberapa kali. Namun akhirnya, dia kembali masuk ke
rumah. "Duduklah, Anakku...," sambut Bancakdulina,
menyimpan geram kemarahan pula.
Saat Bancakluka duduk bersila kembali, Bancakdulina melanjutkan ucapannya.
"Pisau inilah yang hendak merenggut jiwamu
tadi. Ada sehelai surat di gagangnya. Bukalah. Mungkin surat itu sengaja
ditujukan kepadamu...."
Dengan pandangan sedikit nanar, Bancakluka
menerima sebilah pisau yang disodorkan ayahnya.
Tergesa-gesa sekali Bancakluka membuka sehelai kertas yang terikat di gagang
pisau itu. Dan, segera pula
Bancakluka membaca tulisan yang tertera di kertas....
Bancakluka, Pada hari pengangkatan baulau yang baru nanti, mungkin kau menyangka bila tak
akan ada pemuda
lain yang sanggup menandingi ilmu bela dirimu. Tapi,
kuharap kau jangan takabur dulu. Ada seorang pemuda
berhati baja yang bermaksud mencoba kemampuanmu,
sekaligus merebut kedudukan baulau yang kau perkirakan pasti jatuh ke tanganmu.
Dan yang lebih penting,
dia akan membuat malu dirimu dan bapakmu yang sudah tua bangka itu! Ingat!
Sebentar lagi, derajatmu
akan jatuh ke tempat yang paling rendah!
Raja Alam Sihir
Usai membaca isi surat itu, kening Bancakluka
berkerut rapat. Bancakdulina yang dapat melihat perubahan air muka putranya
bergegas menyambar surat di tangan pemuda itu. Dan setelah membaca isinya,
kerut di kening Bancakdulina pun tampak makin kentara.
"Raja Alam Sihir" Siapa dia?" tanya Bancakdulina.
"Aku tak tahu. Aku tak mengenalnya," jawab
Bancakluka. "Lalu, siapa pemuda yang turut menginginkan
kedudukan baulau itu?"
"Aku juga tak tahu. Mungkin si penulis surat
itu sendiri."
"Raja Alam Sihir?"
"Mungkin sekali"
*** Tak kuasa menahan rasa sakit yang merejam
tubuhnya, Seno menjerit keras sekali. Jeritan pemuda
remaja itu terdengar amat panjang dan menyayat hati.
Menggema di seluruh ruangan gua.
Dari sekujur tubuh Danyangsuli yang tengah
duduk bersandar pada dinding gua memancar sinar
merah menyilaukan mata. Pancaran sinar merah itu
lalu masuk ke tubuh Seno melalui ubun-ubun!
Semakin keras Seno menjerit.
Rasa sakit semakin merejam tubuh murid Dewa Dungu itu. Namun sebelum
kesadarannya hilang,


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinar merah yang memancar dari tubuh Danyangsuli
telah habis masuk ke tubuh Seno. Sehingga, rasa sakit
yang dirasakan Seno lenyap dengan tiba-tiba.
"Maafkan aku, Seno...," desis Danyangsuli.
"Aku telah memaksamu menerima kekuatan ilmu sihir
ku...." "Apa" Kau telah memindahkan kekuatan ilmu
sihirmu ke tubuhku?" sahut Seno, setengah tak percaya. Sifat lugu jelas tersirat
di wajahnya. "Begitulah. Kau sekarang mempunyai kekuatan
ilmu sihir yang cukup hebat. Walau tak sehebat yang
dipunyai Sasak Padempuan, tapi aku yakin kau akan
dapat mengimbangi ilmu sihir pemuda itu, karena kau
mempunyai dasar kekuatan batin dan kesaktian hebat...."
Seno diam terpaku. Dua bola matanya terus
menatap wajah Danyangsuli yang semakin pucat.
"Seno...," sebut Danyangsuli kemudian. Kali ini
suaranya terdengar penuh getaran namun lebih lirih.
"Aku telah mengembalikan senjata mustikamu. Kekuatan ilmu sihir ku pun kuberikan
kepadamu. Oleh karenanya, kupikir tidak ada lagi utang-piutang di antara
kita. Aku telah menebus dosaku kepadamu, bukan?"
"Kau... kau tampak makin lemah...," sahut Seno. "Aku harus menolongmu!"
Pendekar Bodoh yang pada dasarnya punya sifat welas asih bergegas mendekati
Danyangsuli untuk
memberi pertolongan. Atau paling tidak, meringankan
rasa sakit wanita itu dengan memberikan beberapa totokan. Tapi, Danyangsuli
menolak. Tangan kanannya
yang hampir tak punya tenaga tampak bergoyang lemah, mencegah tindakan Pendekar
Bodoh. "Tak perlu," ujar wanita itu. "Sebagai seorang
pemuda berilmu tinggi, kau tentu tahu kalau jiwaku
tak mungkin bisa diselamatkan lagi."
"Tapi..., aku tak bisa membiarkan.... "
"Sudahlah!" sergap Danyangsuli, cepat. "Sebelum terlambat, aku harus mengatakan
bagaimana cara membuka kekuatan ilmu sihir yang ada pada dirimu.
Dengar baik-baik, Seno...."
Seno terdiam. Matanya tak pernah lepas menatap wajah pucat Danyangsuli.
"Jika kau ingin membuka kekuatan ilmu sihirmu, satukan terlebih dulu perhatianmu
ke satu titik. Lalu, katakan apa yang kau inginkan, dan akhiri dengan kata kunci hom asantarnas
hawarnas... samlas....
Tirukan kata kunci itu, Seno...."
"Hom asantarnas hawarnas... samlas...," tiru
Seno. "Bagus! Lega rasa hatiku. Aku akan dapat mati
dengan mata terpejam. Namun sebelumnya, aku ingin
kau melakukan satu pekerjaan untukku.... "
"Apa itu" Kalau masih di jalan kebenaran, pasti
akan kukerjakan...."
"Kau memang baik. Aku tak akan menyuruhmu
berbuat yang menyimpang. Permintaanku hanyalah...."
Sampai di situ sulit sekali Danyangsuli berucap. Lidahnya terasa amat kaku.
Namun, dia masih
mencoba untuk mengatakan keinginan terakhirnya
kepada Seno. "Bu.. bunuh...."
"Aku harus membunuh" Membunuh siapa?"
kejar Seno. Rasa penasaran dan tegang tiba-tiba
menggeluti hatinya.
"Bu... bunuh Sasak Pa... dem... puan...!" Setelah mengucapkan kalimat itu,
kepala Danyangsuli jatuh terkulai ke kanan. Tubuhnya turut jatuh menggelosoh di
lantai gua. Malaikat kematian telah mencabut
nyawanya. Namun, perasaan puas jelas tergambar di
bibirnya yang terus menyungging senyum.
"Danyangsuli! Danyangsuli!" seru Seno.
Murid Dewa Dungu itu mengguncangguncangkan tubuh Danyangsuli. Melihat Danyangsuli
yang telah menyadari kesalahannya, ada rasa kehilangan di hatinya....
*** 8 BANCAKLUKA berdiri termangu. Di dalam kamar yang pernah ditempati Pendekar Bodoh
itu, tak ada yang dapat diperbuat Bancakluka kecuali menatap
dipan kosong dengan sinar mata nanar. Ketidakberadaan Pendekar Bodoh membuatnya
merasa kehilan-
gan. Walau belum kenal mendalam, ada rasa senang
dalam hati Bancakluka bila berada bersama Pendekar
Bodoh. Sifat Pendekar Bodoh yang amat lugu kadang
membuat jengkel. Tapi justru dari rasa jengkel itulah
Bancakluka bisa menjadi cepat akrab.
"Aku tak tahu di mana pendekar muda itu berada. Tapi aku yakin..., dia akan
datang lagi ke Perkampungan Suku Asantar ini," gumam Bancakluka.
Perlahan, pemuda bertubuh tinggi tegap itu melangkah. Dia rebahkan tubuhnya di
atas dipan. Diusapnya anak-anak rambut yang menutupi wajahnya.
Matanya menerawang ke langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu
berlabur warna kuning gading.
"Sebentar lagi pengangkatan baulau yang baru
akan dilaksanakan...," gumam Bancakluka lagi. "Aku
jadi tak yakin akan bisa mendapatkan kedudukan kepala suku itu. Apalagi dengan
munculnya seseorang
yang mengaku bergelar Raja Alam Sihir! Hmmm....
Siapa dia sebenarnya" Mungkinlah salah seorang pemuda Suku Asantar ini?"
Cukup lama Bancakluka berkata-kata dengan
dirinya sendiri. Tatapannya tak pernah lepas dari langit-langit kamar. Rasa
gelisah makin menyerbu hati
sanubarinya. Tidak seperti kebiasaan yang berlaku di sukusuku lainnya di Pulau Salyadwipa,
Suku Asantar memiliki kebiasaan tersendiri dalam hal menentukan
ataupun pengangkatan kepala suku. Suku-suku lain
pasti memilih pemimpin seorang lelaki berumur yang
telah matang pengalaman. Namun warga Suku Asantar
sejak puluhan tahun lalu, lebih senang memilih pemimpinnya seorang pemuda.
Pemimpin Suku Asantar
itu boleh belum matang pengalaman asalkan memiliki
ilmu beladiri tinggi sekaligus ahli ilmu sihir.
Mungkin menurut perhitungan warga Suku
Asantar, seorang pemimpin yang masih muda akan lebih lama memegang jabatannya.
Sehingga, tidak perlu
sering-sering mengadakan upacara pengangkatan kepala suku baru, yang dapat
dipastikan banyak diwarnai kekerasan, bahkan sampai menimbulkan pertumpahan
darah. Tapi menurut kebiasaan Suku Asantar pula,
seorang kepala suku harus segera digantikan bila dia
telah menginjak usia enam puluh tahun. Dan oleh karena itulah Bancakdulina yang
saat sekarang masih
menduduki jabatan sebagai kepala suku harus segera
mengundurkan diri.
"Hmmm.... Andai Seno Prasetyo masih berada
di sini, tak akan aku merasakan gelisah seperti ini...,"
kata hati Bancakluka. "Harus kuakui, aku memang
membutuhkan kehadiran pemuda itu. Bukan karena
ingin meminta bantuannya. Tapi entah karena apa, jika aku melihat pemuda itu,
semangatku jadi menyala
dan berkobar-kobar...."
Bancakluka membenarkan letak berbaringnya.
Namun mendadak, tangan kanannya menyentuh benda yang terasa aneh di bawah
bantal. Terdorong rasa
ingin tahu, diangkatnya bantal itu.
Berkerut kening Bancakluka melihat sebuah
cermin berukir yang semula tergolek di bawah bantal.
Cermin itu cuma selebar telapak tangan, berbentuk
persegi empat. Ukiran pada keempat sisinya terlihat
amat bagus, seperti ukiran pada cermin putri istana.
Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'!
Rupanya, Pendekar Bodoh lupa membawanya
saat dia menerima ajakan Silasati. (Simak lagi serial
Pendekar Bodoh dalam episode: "Sengketa Ahli Sihir").
"Astaga!"
Tersentak kaget Bancakluka. Ketika memeriksa
cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa', dia tidak melihat bayangan wajahnya di
permukaan cermin itu.
Bancakluka hanya dapat melihat bayang-bayang buram. Tentu saja keanehan itu
membuat si pemuda kaget.
Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' memang bukan cermin sembarangan, melainkan
cermin ajaib milik seorang manusia setengah ular bernama
Ratu Perut Bumi, yang dipinjamkan kepada Pendekar
Bodoh. "Aku yakin cermin ini sebuah benda mustika...," pikir Bancakluka, tangannya yang
memegang cermin tampak bergetar. "Tapi, bagaimana cermin ini
bisa berada di sini" Hmmm.... Walau aku tak pernah
melihat sebelumnya, aku yakin pula bila cermin ini milik Seno Prasetyo. Mungkin
dia lupa membawanya...."
Ketika Bancakluka berpikir-pikir itulah terdengar pintu kamar diketuk. Disusul
dengan suara panggilan....
"Luka...! Luka...!"
"Ya, Sangkuk!" sahut Bancakluka yang telah
hafal warna suara ayahnya.
Karena tak mau cermin temuannya diketahui
orang, termasuk ayahnya sendiri, pemuda berparas
tampan itu menyembunyikan cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' ke balik bajunya.
Daun pintu terkuak. Muncullah seraut wajah
tua milik Bancakdulina.
"Lama sekali kau menyendiri di kamar ini. Ada
apa gerangan?" tanya lelaki tua itu, seperti menegur.
Bancakluka tak menjawab.
"Aku tahu kau mengharap kehadiran pemuda
itu. Tapi, dia tak berada di sekitar kita lagi. Jangan
berharap yang bukan-bukan, Anakku. Harapan kosong
hanya akan membuatmu pandai berkhayal, sementara
kita hidup di dunia nyata. Ada banyak tantangan yang
mesti kau hadapi. Yakinlah dengan kemampuanmu
sendiri. Kalau kau punya keinginan dan kau yakin
akan berhasil mewujudkannya, tak ada yang tak
mungkin.... Keinginanmu itu pasti dapat kau raih!"
"Ya! Ya! Aku tahu, Sangkuk...," sahut Bancakluka.
"Kalau tahu, kenapa kau tidak segera beranjak
dari tempatmu" Hari sudah sore. Apa kau lupa bila hari ini adalah hari
pengangkatan baulau baru?"
"Oh! Ya! Ya, Sangkuk!" sambut Bancakluka,
agak tergagap. Ketika hendak keluar kamar, Bancakdulina
menepuk bahu putra tunggalnya itu.
"Sebagian besar warga Suku Asantar mengharapkan dirimu dapat menggantikan diriku
sebagai baulau. Jangan kecewakan mereka."
"Ya, Sangkuk," ucap Bancakluka. Kali ini terdengar tegas dan penuh keyakinan.
*** Tanah lapang yang terletak di ujung utara Perkampungan Suku Asantar itu tampak
ramai sekali. Berduyun-duyun warga suku datang untuk menyaksikan upacara pengangkatan pemimpin
mereka yang baru. Sementara orang jadi tak sabaran menantikan
Bancakluka yang akan unjuk kebolehan, sinar mentari
di belahan langit barat menyiramkan sinar lembut. Beraneka jenis burung berkicau
bersahutan. Satwa-
satwa bersayap itu seperti turut tak sabar untuk segera melihat Bancakluka
menampakkan diri.
Namun tak lama kemudian...
Dung! Blang! Dung! Blang! Seorang pemuda kekar yang tentunya bertenaga kuat memukul genderang amat keras.
Tepat dengan berhentinya pukulan genderang itu, Bancakdulina
naik ke panggung kecil yang berada di sudut timur tanah lapang. Kehadiran si
kakek disambut sorak-sorai
para pengunjung karena mereka tahu bila upacara
pengangkatan baulau baru akan segera dilaksanakan.
"Terima kasih...! Terima kasih...!" seru Bancakdulina, mengacungkan tangan
kanannya. Saat soraksorai tak lagi terdengar, dia berkata, "Terima kasih atas
kesediaan kalian semua untuk datang ke tanah lapang
ini. Saya tahu harapan kalian semua sebagai warga
Suku Asantar. Tentu kalian semua menginginkan seorang pemimpin yang cakap,
memiliki kemampuan yang
bisa diandalkan, dan yang lebih penting lagi, bisa dijadikan panutan. Maka, tak
berlebihan kiranya kalau
saya mencalonkan Bancakluka untuk menggantikan
kedudukanku sebagai baulau Suku Asantar...."
Di ujung kalimat kakek berambut putih meletak itu, suara sorak-sorai ditimpali
tepuk tangan riuh
kembali terdengar. Apalagi setelah Bancakluka tampak
berjalan ke tengah tanah lapang. Perhatian seluruh
pengunjung beralih ke sosok pemuda gagah berparas
tampan itu. Dengan langkah berat, Bancakdulina turun dari panggung karena tak
ada lagi yang memperhatikan dirinya.
Sementara sepasang kaki Bancakluka melangkah tegap, melangkah pula sepuluh orang
pemuda berperawakan kekar dan gagah. Kesepuluh pemuda itu
adalah para ksatria suku. Mereka semua menyandang
beraneka macam senjata tajam, termasuk lembing berujung lancip dan panah.
Ketika Bancakluka menghentikan langkahnya
tepat di dalam garis melingkar yang berada di tengahtengah tanah lapang, para
ksatria terus berjalan dan
mengambil jarak sekitar tiga puluh tombak dari hadapan calon baulau baru itu.
Suara sorak-sorai kembali
terdengar manakala Bancakluka mulai memperlihatkan kemampuan beladirinya dengan
memperagakan jurus-jurus ilmu silat.
Ringan sekali tubuh Bancakluka berkelebatan
ke sana-sini. Kedua tangan dan kakinya senantiasa
bergerak cepat. Jurus-jurus yang diperagakannya cukup enak dipandang, bahkan
tampak indah sekali mirip sebuah tarian. Namun demikian, setiap tangan
atau kaki si pemuda bergerak timbul suara menderu
keras. Pertanda gerakan-gerakan itu mengandung bahaya besar apabila digunakan
untuk menyerang lawan.
Matahari telah tenggelam separo di garis langit


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barat saat Bancakluka menyelesaikan peragaan jurusjurus ilmu silatnya. Berulang
kali tepukan riuh-rendah
terdengar sebagai cetusan rasa puas para pengunjung
atas kemampuan Bancakluka.
Namun, suasana jadi hening sunyi tatkala para
ksatria menggeser tempat berdirinya untuk mengambil
jarak. Semua mata memandang dengan wajah tegang.
Rupanya, kesepuluh ksatria itu hendak menguji ketangguhan Bancakluka dengan
melemparkan senjatasenjata yang mereka bawa. Sementara, Bancakluka
masih berdiri tenang walau nafasnya terdengar sedikit
memburu, dan kain bajunya pun telah basah oleh keringat.
Saat-saat yang amat mendebarkan segera berlangsung. Para ksatria benar-benar
melemparkan senjata-senjata yang mereka bawa. Golok, pedang, lembing, dan
puluhan belati segera melesat ke arah Bancakluka!
Zing! Wut! Srattt...!
"Hiahhh...!"
Sambil memekik nyaring, Bancakluka melentingkan tubuhnya tinggi sekali. Untuk
menghindari hujan senjata tajam yang dilemparkan para ksatria,
seorang calon baulau tak diperkenankan keluar dari
lingkaran yang bergaris tengah sepuluh depa. Tapi, hal
itu tak seberapa membuat kesulitan bagi Bancakluka.
Karena dia memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup
hebat, mudah saja baginya menghindari hujan senjata
yang menyerbu beruntun ke tubuhnya.
Namun ketika para ksatria mulai merentang
busur dan menyerang Bancakluka dengan puluhan
anak panah, semua pengunjung menahan napas. Tak
ada yang dapat bersuara. Demikian pula Bancakdulina. Tentu saja Bancakdulina
mengkhawatirkan keselamatan putra tunggalnya. Tapi, tekad dan keinginan
si kakek sudah amat bulat. Sebelum ajal menjemputnya, dia ingin melihat
Bancakluka menjadi pemimpin
Suku Asantar untuk menggantikannya. Dan, dia yakin
keinginannya itu akan terwujud. Hingga, dapatlah
Bancakdulina menekan rasa khawatir di hatinya.
Akan tetapi karena hujan anak panah mengguyur bak air bah yang tak pernah ada
habisnya, Bancakluka jadi amat kerepotan. Beberapa kali tubuhnya
hampir tertembus. Kaum wanita dan anak-anak yang
berada di pinggir tanah lapang, tak kuasa melihat adegan yang amat mendebarkan
itu. Mereka mengalihkan
pandangan. Beberapa orang di antaranya bahkan men-
jerit ngeri seraya menutup mata rapat-rapat.
Untunglah, sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi, anak panah yang dibawa
para ksatria keburu habis. Berarti Bancakluka telah berhasil mengatasi ujian
pertama. Bancakdulina yang berdiri di depan kerumunan
orang banyak tampak menarik napas lega beberapa
kali. Rasa puas dan bangga tergambar jelas di sorot
matanya. Namun selagi semua orang bertepuk tangan
dan mengelu-elukan kehebatan Bancakluka, entah dari mana datangnya tiba-tiba
melesat lima belas anak
panah. Lesatan anak panah itu luar biasa cepat, dan
semuanya tertuju ke bagian-bagian tubuh Bancakluka
yang paling berbahaya!
Sratttt...! Hanya beberapa orang berkepandaian tinggi
yang dapat melihat luncuran belasan anak panah itu.
Termasuk Bancakluka. Maka tanpa pikir panjang, si
pemuda segera mengempos tubuh tinggi-tinggi. Tapi...
Wuttt...! Aneh sekali! Dua belas anak panah lewat begitu
saja di bawah kaki Bancakluka yang tengah melayang
di udara. Namun, tiga lainnya berbelok arah dan terus
mengejar ke mana tubuh Bancakluka hendak mendarat!
"Keparat!" geram si pemuda. "Ada orang jahat
sengaja hendak mencelakakan diriku!"
Cepat sekali kedua tangan Bancakluka bergerak. Dua anak panah berhasil
ditangkapnya. Namun...,
yang satu lagi tak dapat dihindarinya. Anak panah itu
terus melesat dan tepat menerpa perut si pemuda!
Bancakdulina yang sempat melihat kejadian itu
kontan memekik gusar dengan bola mata melotot be-
sar. Namun, si kakek jadi heran, bahkan teramat heran. Bancakluka tampak berdiri
di tengah lingkaran
tanpa mendapat luka sedikit pun. Sementara, anak
panah yang menerpa perutnya tadi malah hancurlebur menjadi debu!
Bancakluka sendiri tak kalah heran. Dia berdiri
terpaku menatap kain bajunya yang berlubang. Bagaimana mungkin tubuhnya jadi
kebal" Sementara,
dia merasa tak memiliki ilmu kebal!
"Astaga!" kesiap si pemuda. "Rupanya, anak
panah itu membentur cermin yang kubawa ini"
Benar dugaan Bancakluka. Anak panah yang
hendak merenggut jiwanya tadi memang membentur
cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' yang dibawa si
pemuda. Karena membentur sebuah cermin mustika
yang tentunya mempunyai banyak kelebihan, anak
panah tadi langsung remuk. Dan, itu berarti telah menyelamatkan jiwa Bancakluka.
Sorak-sorai terus membahana panjang. Beberapa orang langsung menyatakan
kekagumannya dengan mengelu-elukan nama Bancakluka dengan suara
gegap gempita. Sementara, Bancakluka sendiri masih
tampak berdiri terpaku beberapa lama.
"Hmmm.... Ada orang sengaja mengirim serangan dengan menggunakan kekuatan gaib,"
pikir pemuda berpakaian putih-kuning itu. "Aku tak tahu siapa
dia. Mungkinkah Raja Alam Sihir?"
Selagi Bancakluka berpikir-pikir, kembali genderang besar dipukul.
Dung! Blang! Dung! Blang! Sesepuh suku yang paling berpengaruh, Kaluak
Labodang, naik ke panggung. Dengan suaranya yang
serak, dia berkata, "Bancakluka telah lulus ujian per-
tama dengan baik sekali. Untuk ujian kedua, dia harus
dapat memusnahkan makhluk ciptaanku ini!"
Setelah menarik napas panjang tiga kali, kakek
uzur berjubah hitam itu mengeluarkan ilmu sihirnya.
Si kakek menjulurkan kedua tangannya seraya berkata....
"Rajawali Selaksa Petir datang menyerang! Untuk menguji Bancakluka dengan
membuat alang rintang! Hom asantarnas yalamas... sarnas...!"
Dalam waktu bersamaan, Bancakluka berseru,
"Kuubah wujudku menjadi Naga Kepala Tiga! Akan lenyap segala alang rintang yang
ada! Hom asantarnas
dadaulas... hurinas...!"
Ketika di udara muncul seekor burung rajawali
yang disebut sebagai Rajawali Selaksa Petir, tiba-tiba
leher Bancakluka melolor panjang menjadi tiga buah!
Dan..., kepalanya yang juga telah berjumlah tiga berubah menjadi kepala naga!
Karena kemampuan mengubah wujud itulah
orang-orang Suku Asantar memberi gelar Bancakluka
sebagai Naga Kepala Tiga. Dan, kehebatan Naga Kepala
Tiga segera terlihat manakala Rajawali Selaksa Petir
mulai menyerang.
Hebat sekali makhluk ciptaan Kaluak Labodang
itu. Kedua bola mata Rajawali Selaksa Petir sanggup
mengeluarkan kilatan sinar putih seperti petir.
Glar! Glar! Hari yang sudah menjelang malam jadi terangbenderang karena pijaran sinar petir
yang keluar dari
bola mata Rajawali Selaksa Petir. Namun, ledakan
yang ditimbulkan terasa amat memekakkan gendang
telinga. Melihat serangan ganas, cepat Naga Kepala Tiga
menyemburkan lidah-lidah api lewat ketiga mulutnya.
Dan ternyata, lidah-lidah api itu selalu dapat memusnahkan serangan petir
Rajawali Selaksa Petir. Berkalikali timbul ledakan keras saat lidah api dan
pijaran petir bentrok. Tapi tampaknya, lidah-lidah api yang menyembur dari mulut
Naga Kepala Tiga memang lebih
unggul. Hingga tak seberapa lama kemudian, tubuh
Rajawali Selaksa Petir hangus terbakar dan musnah
tiada berbekas!
"Hidup Naga Kepala Tiga!"
"Hidup Bancakluka!"
"Naga Kepala Tiga pantas menjadi pemimpin
Suku Asantar!"
"Bancakluka pemuda terhebat!"
Begitulah teriakan kagum orang-orang yang
menyaksikan kehebatan Bancakluka. Sementara, Bancakluka yang telah mengubah
wujudnya menjadi manusia biasa lagi cuma mengangguk-anggukkan kepala.
Walau pemuda gagah itu dapat lulus dari ujian
kedua, tak urung hatinya berdebar-debar. Menurut jalan pikirannya, Raja Alam
Sihir pasti akan muncul di
ujian ketiga. Oleh karenanya, Bancakluka tampak
mempertinggi kewaspadaan. Siapa tahu Raja Alam Sihir mengirim serangan gelap.
Kembali Kaluak Labodang naik ke panggung.
"Dengan baik pula, Bancakluka telah melewati ujian
kedua. Kini tiba saatnya kemampuan pemuda itu dicoba pada ujian ketiga!"
serunya. "Kepada para pemuda Suku Asantar lainnya yang berniat menjadi pemimpin
suku, segeralah datang ke dekat panggung. Satu
persatu di antara kalian boleh mencoba kemampuan
Bancakluka. Siapa pun yang memenangkan pertarungan akan diangkat menjadi baulau
Suku Asantar!"
Suasana jadi hening. Obor-obor besar telah di-
nyalakan di beberapa tempat Hening terus terasa. Tak
satu pun pemuda Suku Asantar yang berani unjuk diri!
"Baik!" seru Kaluak Labodang lagi.
"Karena tak ada pemuda lain yang berniat menjadi pemimpin Suku Asantar dengan
mencoba dulu kemampuan Bancakluka, oleh karenanya ku nyatakan
bila Bancakluka telah melewati ujian ketiga. Dan..., dia
pun berhak menduduki jabatan sebagai baulau!"
Di ujung kalimat kakek tua renta itu, pemuda
bertubuh kekar yang bertugas memukul genderang
hendak melaksanakan tugasnya. Tapi sebelum suara
debam genderang membahana di angkasa, tiba-tiba
sesosok bayangan berkelebat ke tengah tanah lapang!
"Akulah yang akan mencoba kemampuan pemuda sombong ini!" teriak si bayangan.
Semua mata memandang penuh keterkejutan.
Tak terkecuali Bancakluka. Yang datang ternyata Sasak Padempuan!
"Akulah Raja Alam Sihir!" kenal pemuda berambut ikal panjang itu. "Akulah yang
akan menjadi pemimpin Suku Asantar! Namun sebelumnya, aku
akan mencabut nyawamu, Bancakluka!"
*** 9 HE Siapa itu"!" tegur Kaluak Labodang yang telah lamur matanya, tetap berdiri di
atas panggung. "Aku, Wak! Aku Raja Alam Sihir!" sahut Sasak
Padempuan, keras menggelagar.
"Raja Alam Sihir" He!! Bukankah kau Sasak
Padempuan?"
"Benar! Namun kini, kau bisa menyebutku Raja
Alam Sihir, Wak! Dan..., maksud kedatanganku ke
tempat ini adalah untuk turut mencalonkan diri sebagai baulau!"
"Tidak! Tidak ada Raja Alam Sihir! Pengadilan
Agung telah menjatuhkan hukuman buang kepadamu,
Padempuan! Kau bukan lagi warga Suku Asantar! Kau
tidak berhak mencalonkan diri sebagai baulau. Bahkan menginjakkan kaki di
Perkampungan Suku Asantar pun, kau dilarang keras!"
"Ha ha ha...!" mendadak Sasak Padempuan tertawa bergelak. "Walau seribu aturan
menghadang, walau seribu aral merintang, Raja Alam Sihir pantang
berbelok tujuan. Apa pun kata orang, meski sinis mata
memandang, Raja Alam Sihir tetap berniat menjadi
baulau Suku Asantar. Raja Alam Sihir akan mengembalikan nama besar Umpak
Padempuan!"
"Hei! Jangan banyak mulut, Padempuan! Kupikir kau sudah tak waras lagi.
Pengadilan Agung telah
memusnahkan kekuatan ilmu sihirmu, mana dapat
kau mengalahkan Bancakluka?" teriak Kaluak Labodang, lebih keras.
"Ilmu sihir ku musnah" Ha ha ha...! Lihatlah
ini...!" Tenang sekali Sasak Padempuan menghadapkan tubuhnya ke arah Kaluak Labodang.
Dengan kedua tangan terjulur, dia berkata, "Biar semua orang
membuka mata. Meledaklah panggung yang ditempati
orang tua jelek itu! Hom asantarnas paranas... ramsas...!"
Terkejut Kaluak Labodang. Panggung tempatnya berdiri tiba-tiba bergetar kencang
dan mengeluarkan suara berderak-derak!
"Awasss...!" seru Bancakdulina, bisa menebak
apa yang akan terjadi.
Bergegas Kaluak Labodang meloncat jauh. Dan
begitu kaki si kakek mendarat di tanah, panggung
yang terbuat dari bilah-bilah kayu jati meledak hancur.
Pecahan kayu berhamburan ke berbagai penjuru!
Belasan orang yang berada di sekitar panggung
kontan jadi panik. Mereka lari berserabutan. Sementara, pemuda kekar yang
membawa genderang besar
tampak meloncat jauh meninggalkan tempatnya pula.
Namun, tak lupa dia membawa genderangnya yang
memang harus dapat diselamatkan.
Untunglah, ulah Sasak Padempuan tidak sampai merenggut korban jiwa. Tidak ada
yang cedera ataupun menderita luka-luka.
Meski begitu, tindakan Sasak Padempuan tadi
sudah cukup untuk memancing kemarahan seluruh
warga Suku Asantar yang berada di pinggir tanah lapang. Namun, mereka tak berani
berbuat apa-apa kecuali merutuk dan mengumpat-umpat.
Menganggap Sasak Padempuan sengaja membuat keributan yang bisa membahayakan
keselamatan orang banyak, bergegas Bancakdulina meloncat ke
tengah tanah lapang. Dengan sinar mata berkilat, dia
berkata.... "Aku tahu kau telah mendapatkan kembali kekuatan ilmu sihirmu. Namun, sungguh
perbuatanmu ini hanya pantas dilakukan binatang yang tak tahu
aturan! Pergi kau! Atau, kau ingin seluruh warga Suku
Asantar mengeroyok dan mencincang tubuhmu"!"
"Ha ha ha...!" tertawa lagi Sasak Padempuan.
"Mana mereka berani membunuhku" Bukankah mereka semua tahu kalau aku keturunan
Umpak Padempuan" Apa mereka tidak takut akan mendapat kutuk?"


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak salah apa yang dikatakan Sasak Padempuan. Seorang kepala suku dan
keturunannya memiliki harkat dan martabat tinggi. Dia tak boleh dibunuh
oleh warga Suku Asantar lainnya. Kalau ada yang berani melakukannya, maka
seluruh warga suku akan
kejatuhan kutuk para dewa. Demikianlah kepercayaan
adat yang masih melekat erat di benak warga Suku
Asantar. Mengingat hat itu, Bancakdulina jadi ragu. Apa
yang harus dilakukannya" Mengusir Sasak Padempuan" Jelas pemuda itu tak akan
mau. Memaksa dengan kekerasan" Itu pun tak boleh dilakukan. Lalu, apa
yang mesti diperbuat sebelum Sasak Padempuan benar-benar melaksanakan niat
buruknya" Meragu pula Bancakluka.
Namun pemuda gagah bertubuh tinggi tegap itu
memaksakan diri untuk berkata, "Jika kau tahu kepercayaan warga Suku Asantar,
kenapa kau berniat
membunuhku" Bukankah itu sama artinya dengan
kau hendak membuat malapetaka di perkampungan
suku yang dirintis oleh leluhurmu itu?"
"Hmmm.... Encer juga otakmu, Bancakluka...,"
cibir Sasak Padempuan. "Apa pun yang terjadi, aku
akan tetap membunuhmu! Kalau kutuk para dewa benar-benar menimpa seluruh warga
Suku Asantar, itu
malah kebetulan sekali. Aku memang berniat membuat
malapetaka! Suku Asantar dirintis oleh leluhurku,
Umpak Padempuan, tak salah kalau aku yang akan
menghancurkannya! Ha ha ha...! Bersiap-siaplah kau,
Bancakluka! Aku ingin melihat kemajuan ilmu sihirmu
setelah tempo hari kau dapat dengan mudah ku pecundangi!"
Semakin meragu Bancakluka. Haruskah dia turuti tantangan Sasak Padempuan" Tapi,
bagaimana nanti kalau kutuk para dewa benar-benar menimpa seluruh warga Suku Asantar"
Tak dapat membuat keputusan sendiri, Bancakluka menatap wajah Bancakdulina,
mengharap dukungan ataupun jalan keluar dari ayahnya itu. Namun, Bancakdulina
pun tengah bingung! Maka, jadilah
mereka berdua sama-sama berdiri terpaku tanpa berbuat apa-apa. Sementara, semua
orang yang berdiri di
pinggir tanah lapang semakin ribut dengan mengeluarkan kata-kata kotor,
menyumpah dan mencaci maki
Sasak Padempuan.
Para ksatria dan sesepuh suku pun tak berani
bertindak. Mereka percaya bila kutuk akan benarbenar jatuh jika Sasak Padempuan
dibunuh. Pada saat-saat yang mendebarkan itulah mendadak berkelebat sesosok bayangan,
langsung melesat
ke tengah tanah lapang. Ketika telah mendarat di permukaan tanah, dapatlah
dilihat bila dia seorang pemuda remaja berpakaian biru-biru dengan ikat pinggang
kain merah. Berparas tampan, rambutnya panjang tergerai. Namun, tatapan matanya
terlihat amat lugu seperti orang berotak bebal. Si Pendekar Bodoh
Seno Prasetyo! "Tenanglah! Tenanglah!" ujar murid Dewa Dungu itu. "Aku tahu kepercayaan yang
ada di sini. Oleh
karenanya, akulah yang akan membereskan pemuda
sombong itu! Aku bukan warga Suku Asantar. Bukankah tak akan melanggar
kepercayaan di sini jika aku
sampai membunuh pemuda itu?"
Seno berkata-kata penuh keyakinan. Tapi, jelas
bukan karena bermaksud menyombongkan diri ataupun memamerkan kemampuannya. Kata-
katanya tadi tercetus hanya karena sifatnya yang amat lugu.
Bancakluka berseru girang. Melihat kehadiran
Seno, terbersit satu harapan di lubuk hatinya. Tapi,
benarkah Seno akan dapat menggagalkan niat buruk
Sasak Padempuan"
Sasak Padempuan telah menunjukkan kehebatan ilmu sihirnya. Apakah Seno dapat
memberi perlawanan" Bukankah dia sama sekali tak mengerti ilmu
sihir" Begitulah pertanyaan yang ada di benak Bancakluka.
"Jangan gegabah, Seno!" tegur Bancakluka,
menyembunyikan rasa senangnya. "Aku tak ingin melihatmu celaka. Urusan dengan
Sasak Padempuan
adalah urusan semua warga Suku Asantar. Biarlah
kami sendiri yang akan menyelesaikannya!"
Nyengir kuda sejenak Seno. Setelah menatap
lekat wajah Bancakluka, dia berkata, "Bagaimana cara
warga sukumu akan menyelesaikan urusannya dengan
Sasak Padempuan, Bancakluka" Siapa yang berani
membunuh pemuda itu" Apa tidak takut kejatuhan
kutuk?" "Tapi...."
Bancakluka hendak menyahuti ucapan Seno,
namun suaranya keburu tertelan suara tawa Sasak
Padempuan. "Ha ha ha...! Dasar pemuda tolol! Yakin benar
kau pada kemampuanmu. Cobalah buka matamu lebar-lebar!"
Sasak Padempuan menjulurkan kedua tangannya ke arah Seno. Dia keluarkan ilmu
sihirnya untuk membunuh pemuda lugu itu!
"Putaran angin puting beliung muncul! Tubuh
pemuda tolol itu terisap! Dan, terbanting mati! Hom
asantarnas paranas... ramsas...!"
Seno tidak menjadi kaget ataupun ciut nyalinya
melihat Sasak Padempuan bermaksud membunuhnya.
Karena telah mencoba berkali-kali dan melatih membangkitkan ilmu sihir pemberian
Danyangsuli, dia yakin akan bisa mengatasi putaran angin puting beliung
ciptaan Sasak Padempuan.
Tampak kemudian, Seno menjulurkan kedua
tangannya pula seraya berkata....
"Putaran angin puting beliung yang lebih besar
muncul! Angin puting beliung kecil terisap dan musnah! Hom asantarnas
hawarnas... samlas...!"
Dan ternyata..., Pendekar Bodoh pun mampu
menciptakan angin puting beliung.
Wessss...! Putaran angin puting beliung ciptaan Seno lebih besar dua kali lipat dibanding
ciptaan Sasak Padempuan. Ketika terjadi bentrokan, timbul ledakan keras
menggelegar. Angin puting beliung ciptaan Sasak
Padempuan benar-benar terisap, lalu keduanya lenyap
tanpa bekas! "Haram jadah! Kurang ajar!" geram Sasak Padempuan.
Sementara pemuda berpakaian hitam-hitam itu
digeluti rasa jengkel dan amarah, Bancakluka berseru
girang. Tak dapat digambarkan lagi betapa gembiranya
Bancakluka melihat Seno telah memiliki kekuatan ilmu sihir, bahkan mampu
mengalahkan ilmu sihir Sasak Padempuan.
Melalui sinar rembulan dan obor-obor besar
yang dipasang di beberapa tempat, dapatlah dilihat bagaimana perubahan air muka
Sasak Padempuan. Raut
wajahnya yang semula garang dan mencerminkan sifat
tinggi hatinya, berubah pucat pasi karena menahan
rasa malu. Tapi justru karena desakan rasa malu itulah amarah dalam diri Sasak
Padempuan menyeruak
lepas dan membuatnya berniat membinasakan siapa
saja yang berada di hadapannya!
"Aku panggil Cambuk Mahkota Api! Binasalah
semua orang yang berada di tempat ini! Hom asantarnas... paranas... ramsas...!"
Kali ini Sasak Padempuan mengeluarkan seluruh kekuatan ilmu sihirnya. Bahkan
menggunakan pula daya gaib cincin 'Permata Kelelawar Dewa' yang
melingkar di jari tengah tangan kanannya. Sehingga,
cincin azimat bercupu kelelawar itu memancarkan sinar merah berkilat!
"Celaka!" seru Bancakluka dan Bancakdulina
ketika melihat wujud Cambuk Mahkota Api yang melayang di udara.
Jder...! Jder...! Dua kali Cambuk Mahkota Api menyalak di
angkasa. Lidah-lidah api yang menyelubungi cambuk
raksasa itu kontan bertebaran, membuat malam jadi
terang-benderang!
Bancakluka dan ayahnya yang masih belum
dapat menentukan tindakan apa yang harus mereka
lakukan untuk menghentikan niat buruk Sasak Padempuan tampak berdiri terpaku. Namun setelah menyadari ada bahaya mengancam
jiwa, cepat mereka
meloncat jauh. Sementara sambil meloncat Bancakluka berteriak ke arah Pendekar
Bodoh. "Seno! Lekas tinggalkan tempat ini!"
Seno tetap berdiri tenang. Bukan dia tak tahu
kalau Cambuk Mahkota Api bisa merenggut jiwanya.
Namun, dia memang berniat memberi perlawanan. Unggul pada gebrakan pertama tadi
membuat Seno semakin yakin bila dia bisa mengalahkan ilmu sihir Sasak Padempuan.
Tapi, benarkah demikian"
"Golok Mata Dewa datang! Membuat lumpuh
Cambuk Mahkota Api! Hom asantarnas hawarnas...
samlas...!"
Di ujung kalimat Pendekar Bodoh, tiba-tiba
muncul sebilah golok raksasa yang tajam berkilat.
Langsung melesat dan meluruk Cambuk Mahkota Api!
Zing...! Wuttt...!
Pertempuran seru antara dua kekuatan ilmu
sihir segera berlangsung. Golok Mata Dewa terus berdesing ganas dan berusaha
membabat putus Cambuk
Mahkota Api. Tapi, tentu saja Cambuk Mahkota Api
tak mau tinggal diam. Senjata raksasa ciptaan Sasak
Padempuan itu terus berkelebatan dan senantiasa
mengeluarkan suara ledakan keras. Lidah-lidah api
yang menyelubungi tali cambuk berusaha melelehkan
Golok Mata Dewa.
Orang-orang yang semula hendak berlari meninggalkan tempat ketika melihat
keganasan Cambuk
Mahkota Api tampak mengurungkan niat mereka. Mereka semua kembali berdiri di
pinggir tanah lapang untuk menyaksikan pertarungan antara Cambuk Mahkota Api
melawan Golok Mata Dewa. Mengetahui sifat jahat Sasak Padempuan yang sejak dulu
tak mereka sukai, mereka jadi berharap Golok Mata Dewa ciptaan
Pendekar Bodoh akan dapat melumpuhkan keganasan
Cambuk Mahkota Api.
Tapi tampaknya, harapan seluruh warga Suku
Asantar itu hanya akan tinggal harapan ketika....
Jder...! Werrr...!
Didahului ledakan keras, tiba-tiba tali Cambuk
Mahkota Api bergerak cepat sekali. Berhasil membelit
bilah Golok Mata Dewa!
Tubuh Pendekar Bodoh yang tengah berdiri
bersedekap dengan mata terpejam rapat tampak bergetar. Si pemuda mengempos
seluruh kekuatan ilmu si-
hirnya. Namun..., bilah Golok Mata Dewa tetap tak dapat membebaskan diri dari
belitan Cambuk Mahkota
Api! Bahkan ketika Sasak Padempuan meningkatkan kekuatan ilmu sihirnya, Golok Mata
Dewa tampak melengkung. Kalau golok terbang itu sampai patah, maka tubuh
Pendekar Bodoh akan turut patah
menjadi dua bagian!
"Astaga!" kejut Bancakluka, penuh rasa khawatir.
Dengan hati berdebar kencang, pemuda itu meloncat mendekati Seno. Namun ketika
hendak membantu Seno dengan mengalirkan kekuatan ilmu sihirnya, dia jadi ragu.
Kalau Sasak Padempuan terbunuh,
tidakkah kutuk para dewa akan menjadi kenyataan"
Pada saat Bancakluka masih terpaku dalam keraguan, tubuh Pendekar Bodoh
terbungkuk. Kedua
tangannya tak lagi bersedekap, melainkan terjulur ke
depan dan bergerak-gerak tak tentu arah.
Namun, gerakan Pendekar Bodoh yang telah
berada di ambang ajal itu diartikan lain oleh Bancakluka. Gerakan tangan
Pendekar Bodoh dikiranya meminta sesuatu kepadanya. Dan teringat akan cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa', bergegas Bancakluka
memberikan cermin ajaib itu kepada Pendekar Bodoh!
Slaps...! Luar biasa! Suatu keajaiban terjadi. Saat cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'
menyentuh telapak tangan kanan Pendekar Bodoh, Golok Mata Dewa
memancarkan sinar biru. Belitan Cambuk Mahkota
Api lepas. Dan..., cambuk raksasa itu langsung terpental jauh, lalu lenyap tanpa
bekas! "Wuahhhh...!"
Memekik parau Sasak Padempuan. Seiring
dengan terpentalnya Cambuk Mahkota Api, tubuh si
pemuda mencelat jauh. Lalu, jatuh terbanting di tanah
keras! Pendekar Bodoh yang merasa telah dapat mengalahkan ilmu sihir Sasak Padempuan
langsung membuka kelopak matanya. Dia jadi heran melihat cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa' yang telah berada dalam genggamannya.
"Cermin itu benar-benar luar biasa, Seno...!" seru girang Bancakluka.
Pendekar Bodoh cuma terlongong bengong. Sementara, Sasak Padempuan tampak
meloncat bangkit.
Dari mulut, lubang hidung, dan telinganya meleleh darah segar. Dengan sikap
berdiri sempoyongan, dia berseru lantang....
"Kedua orangtua ku mati menjatuhkan diri dari
puncak Bukit Silambar gara-gara mereka dihina dan
dikucilkan! Tak bolehkah jika aku membalas kematian
mereka"! Kalian semua Jahanam! Kalian semua kejam!"
Setelah menumpahkan seluruh kekesalan hatinya, Sasak Padempuan bermaksud
mengeluarkan ilmu sihirnya yang terhebat, yaitu 'Sihir Peruntuh Gunung'!
Karena kekuatan ilmu sihir pemuda itu dibantu
daya gaib cincin 'Permata Kelelawar Dewa', dapat dipastikan bila kedahsyatan
ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' akan berlipat ganda!
"Aku Sasak Padempuan. Adalah keturunan
Umpak Padempuan. Para dewa di jagat raya memperdengarkan keinginanku. 'Sihir
Peruntuh Gunung' akan
menunjukkan kehebatannya.... "
Mendengar kata 'Sihir Peruntuh Gunung', sebagian orang yang berada di pinggir
tanah lapang jadi
bergidik ngeri. Perkampungan Suku Asantar akan
hancur lebur bila ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' benarbenar dikeluarkan oleh Sasak
Padempuan. Maka dengan perasaan kalut dan panik luar biasa, orang-orang
itu lari pontang-panting untuk mencari selamat!
"Binasakan semua orang yang berada di tempat
ini! Hancurkan Perkampungan Suku Asantar!" lanjut
Sasak Padempuan. Hom asantarnas paranas..."
Tapi sebelum pemuda yang sudah kalap itu
mengakhiri kata kunci ilmu sihirnya, Seno mengirim
pukulan jarak jauh dengan 'Pukulan Inti Dingin'!
Memang, tak ada cara lain bagi Seno untuk


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkan seluruh warga Suku Asantar kecuali
melancarkan pukulan jarak jauh. Walau seluruh kekuatan ilmu sihir Danyangsuli
telah dimasukkan ke
tubuhnya, tapi dia tak punya ilmu sihir yang mampu
menandingi kedahsyatan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung'. Dan tampaklah kemudian....
Wusss...! "Wuahhh...!"
Sekali lagi Sasak Padempuan memekik parau.
Tertimpa gumpalan salju yang melesat dari telapak
tangan kanan Pendekar Bodoh, tubuh pemuda itu terpental keras. Ketika jatuh ke
tanah, wujudnya telah
berubah menjadi tulang-belulang terbungkus lapisan
salju kuning keemasan!
Selagi semua mata menatap terbelalak, Pendekar Bodoh meloncat sebat. Dengan
bantuan sinar obor,
dapat ditemukannya cincin 'Permata Kelelawar Dewa'
yang semula dipakai Sasak Padempuan.
Cincin yang masih utuh tanpa cacat itu lalu diberikan kepada Bancakluka.
"Cincin azimat ini milik Danyangsuli. Tapi karena dia telah meninggal, kau
miliki saja. Barangkali di
kelak hari nanti akan sangat berguna bagimu, Bancakluka. Selamat! Kau baulau
Suku Asantar yang baru."
Kalimat Seno ditimpali sorak-sorai warga Suku
Asantar yang masih berada di pinggir tanah lapang.
Sementara, Bancakluka masih berdiri terpaku, tak segera menerima cincin
pemberian Pendekar Bodoh.
Bancakdulina pun menatap dengan mulut terbuka lebar. Sementara, pemuda kekar
yang bertugas memukul genderang langsung menjalankan tugasnya.
Dung! Blang! Dung! Blang! *** "Sebenarnya warga Suku Asantar tak pernah
menghina ataupun mengucilkan kedua orangtua Sasak Padempuan. Orang-orang sini
hanya tak suka melihat sifat sombong Kalam Padempuan dan istrinya.
Jadi, bukan karena perbuatan warga Suku Asantar sini kalau kedua orangtua Sasak
Padempuan itu nekat
bunuh diri...," tutur Bancakdulina.
"Lalu, mereka bunuh diri karena apa?" buru
Seno. "Entahlah," geleng Bancakdulina.
"Mungkin karena terdorong rasa malu. Sebab,
tak satu pun keturunan Umpak Padempuan yang bisa
menduduki jabatan baulau lagi," cetus Bancakluka.
"Mungkin juga," tegas Bancakdulina.
Seno cuma mengangguk-anggukkan kepala.
Dia telanjur membunuh Sasak Padempuan. Namun,
tak ada yang perlu disesali. Sasak Padempuan memang orang jahat yang patut
dibinasakan. Dendam kesumat Sasak Padempuan pada warga Suku Asantar
sama sekali tak beralasan.
Sambil berbincang di balai-balai rumah, ketiga
orang itu menikmati kopi manis yang disuguhkan.
Namun, ketenangan mereka jadi terusik dengan kehadiran Silasati dan Sadeng
Sabantar yang datang bersama Bancaksika dan Karusang Sabantar.
"Maafkan aku, Dulina...," ucap Bancaksika setelah dipersilakan duduk. "Bukan aku
hendak mencabut kembali kesepakatan di antara kita berdua. Terpaksa aku harus
memutuskan tali pertunangan Silasati dengan Bancakluka. Karena... karena
Silasati mengancam bunuh diri bila tak diperbolehkan menikah
dengan Sadeng Sabantar...."
"Benar begitu, Sati?" selidik Bancakdulina.
Silasati mengangguk.
"Maafkan aku, Tuan Baulau...," ujar Sadeng
Sabantar dengan badan terbungkuk. "Sejak kecil, aku
dan Silasati telah berteman akrab. Kami berdua hendak melanjutkan persahabatan
itu dengan membentuk
rumah tangga bersama. Tapi kalau Tuan baulau tak
menyetujui, Tuan baulau boleh membunuh kami berdua..."
Usai berkata, Sadeng Sabantar membenturbenturkan dahinya ke lantai papan.
Benturan itu cukup keras, membuat dahi si pemuda berdarah.
"Anakku!" cegah Karusang Sabantar, memegangi bahu putranya.
"Ha ha ha...!" mendadak Bancakdulina tertawa
bergelak. "Aku bukan baulau lagi. Kalian semua tak
perlu takut dan segan. Suku Asantar telah mempunyai
baulau baru. Bancakluka! Apa kalian lupa" Dan soal
pertunangan antara Bancakluka dengan Silasati, aku
memang berniat membicarakan hal ini denganmu, Sika. Kebetulan kalau kau datang.
Aku juga berniat
memutuskan tali pertunangan di antara anak kita.... "
"Benar begitu?" sahut Bancaksika, setengah tak
percaya. "Ya! Kau tak perlu khawatir, Sika! Silasati boleh
menikah dengan Sadeng Sabantar. Kau senang, Sati?"
"Ya! Ya, Wak...," Jawab Silasati dengan hati
berbunga-bunga.
"Tak mengancam mau bunuh diri lagi?"
Silasati menunduk malu.
"Kau... kau tak apa-apa, Luka?" ganti Bancaksika yang bertanya kepada
Bancakluka. "Kalau Sadeng Sabantar dapat membahagiakan
Silasati, kenapa aku mesti keberatan?" jawab Bancakluka. "Perlu kukatakan pula,
sebenarnya sejak dulu
aku telah mempunyai kekasih yang amat kucintai. Dia
adalah...."
Bancakluka tak meneruskan ucapannya karena
dari serambi belakang muncul seorang gadis membawa
nampan berisi minuman dalam cangkir untuk disuguhkan pada para tamu. Gadis itu
cantik sekali. Kulitnya putih mulus seperti tanpa cacat sama sekali.
"Rami Sedadang...," desis Bancaksika.
"Ya! Dialah calon Istri Bancakluka, Sika," jelas
Bancakdulina. "Dia putri Suta Sedadang, satu-satunya
warga Suku Asantar yang menjadi saudagar."
"Tapi..., ayah Rami Sedadang masih berada di
tanah Jawa. Kalau barang dagangannya sudah habis,
dia tentu cepat kembali. Dan..., cepat pula bagi Bancakluka untuk menikahi
kekasihnya," tambah Seno
seraya cengar-cengir.
"Kau kenapa?" tanya Bancakluka yang melihat
kebiasaan buruk Pendekar Bodoh.
"Ah! Tak apa-apa! Aku cuma iri kepadamu, Luka. Kau begitu beruntung. Sedang aku"
Hi hi.... Mau menikah dengan siapa?"
Ucapan Seno memaksa semua orang tersenyum
geli. Sementara, Bancakdulina malah tertawa bergelakgelak....
SELESAI Segera terbit!!!!
RAHASIA SUMUR TUA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Kesatria Baju Putih 17 Gelang Perasa Serial Tujuh Senjata (4) Karya Gu Long Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 11
^