Pencarian

Raja Alam Sihir 1

Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir Bagian 1


Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 HARI masih dalam dekapan malam ketika kakek berambut putih meletak itu berdiri
terpaku bagai arca batu. Keterkejutan telah menghantam dan membuat sesak isi dadanya. Sinar
matanya nanar menatap
seorang pemuda berpakaian putih-kuning yang tengah
berlari-lari mengitari bayangan bangunan rumah
panggung. Sikap dan perbuatan pemuda bertubuh tinggi
tegap itu memang jelas menyiratkan keganjilan. Sehingga, rasa heran bercampur
khawatir menyeruak
masuk ke hati sanubari kakek berpakaian kuningmerah yang sedang menyaksikannya.
Kerut-merut di wajah si kakek jadi terlihat makin kentara.
"Bancakluka! Bancakluka! Apa yang tengah
kau lakukan"!" tegur si kakek.
Pemuda bertubuh tinggi tegap tak menghentikan perbuatannya. Dia terus berlari-
lari mengitari bangunan rumah panggung yang terbuat dari susunan
kayu jati. Apa yang dilakukan si pemuda mirip perbuatan orang yang telah
kehilangan akal sehat. Sementara
menilik dari keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya, dapat dipastikan bila
dia telah berlari mengempos
tenaga cukup lama. Memang, tak kurang dari lima puluh kali dia berlari mengitari
rumah panggung yang
cukup besar itu.
Ya! Dia memang Bancakluka. Dan, kakek yang
tengah menatap penuh kekhawatiran itu adalah ayahnya, Bancakdulina, baulau atau
kepala Suku Asantar.
Berkali-kali sudah Bancakluka berlari sempoyongan dan hampir terpeleset jatuh.
Tenaganya hampir terkuras habis. Namun demikian, tak ada tan-
da-tanda bila dia akan segera menghentikan perbuatannya.
"Bancakluka! Hentikan perbuatan gilamu itu!"
seru Bancakdulina, lebih keras.
Tapi, seruan itu pun tak mampu menghentikan
langkah kaki Bancakluka. Si pemuda terus berlari.
Kehadiran Bancakdulina dianggap seperti angin lalu.
Tapi tak seberapa lama kemudian, setelah
memperhatikan tingkah laku putranya yang ganjil, tahulah Bancakdulina bila ada
kekuatan gaib yang tengah mempengaruhi jalan pikiran Bancakluka. Oleh karenanya,
cepat Bancakdulina menghimpun kekuatan
batinnya. Lalu....
"Pada akhirnya kebenaran selalu mengungguli
kejahatan. Kekuatan putih akan menghalau kekuatan
hitam. Hom asantamas dadaulas... hurinas...!" seru
Bancakdulina sambil menjulurkan kedua pergelangan
tangannya ke depan.
Slaps...! Bush...! Di bawah daun pintu rumah panggung yang
terbuka timbul percikan api biru. Asap putih turut
mengepul. Lalu seiring dengan lenyapnya api dan asap
itu, Bancakluka menghentikan langkah kakinya. Hingga tampak kemudian, si pemuda
berdiri limbung, lalu
jatuh tertelungkup di bawah tangga rumah. Tak dapat
lagi dia menggerakkan seluruh anggota tubuhnya karena kesadarannya telah hilang.
Pingsan! Mengkhawatirkan keselamatan putra tunggalnya itu, bergegas Bancakdulina meloncat
mendekati. Setelah memeriksa keadaan si pemuda, semakin yakinlah Bancakdulina bila putranya
itu baru saja terkena pengaruh kekuatan sihir jahat. Namun, keadaan
Bancakluka tidak seberapa membahayakan. Dia jatuh
pingsan hanya karena kelelahan. Oleh karenanya, dapatlah Bancakdulina menghirup
napas lega. Usai melonggarkan kain baju Bancakluka, kakek yang tubuhnya masih tampak tegap
itu menguruturut beberapa tempat di sekitar dada si pemuda. Lalu,
dipanggulnya tubuh Bancakluka menaiki anak tangga.
Sampai di ambang pintu, Bancakdulina terhenyak langkah. Lewat sinar lampu yang
menyorot dari dalam rumah, mata si kakek dapat mengetahui adanya
butiran garam dan kacang hijau yang menebar di lantai papan.
"Hmm.... Benar dugaanku. Ada orang sengaja
punya maksud tak baik...," gumam Bancakdulina.
Dengan telapak kakinya, baulau atau kepala
Suku Asantar itu menjatuhkan butiran garam dan kacang hijau ke tanah. Kemudian,
dia berjalan memasuki
salah satu kamar yang terletak di balai-balai. Tubuh
Bancakluka yang masih lemah tak berdaya dibaringkannya di atas dipan. Di lain
kejap.... Menggerigap kaget Bancakluka. "Seno! Sati!
Tunggu!" serunya, seperti mengigau. Dia pun tersadar
dari pingsannya.
"Tenanglah. Tetaplah berbaring...," sahut Bancakdulina.
Kembali jari-jari tua Bancakdulina mengurut
dada Bancakluka. Urutan yang mengandung aliran tenaga dalam dan dilakukan dengan
penuh perasaan kasih itu dapat menyadarkan Bancakluka pada keadaan sekelilingnya. Namun,
pandangan mata si pemuda yang semula sayu berubah nanar saat mengetahui
dirinya telah berada di dalam kamar bersama ayahnya.
"Silasati.... Dia membawa pemuda itu...," desah
Bancakluka seraya beranjak bangun, tapi Bancakdulina menekan dadanya sehingga
tubuh si pemuda ter-
baring kembali.
"Aku melihat sinar ketakutan dan kekhawatiran
di matamu. Cobalah ceritakan apa yang telah terjadi...," pinta Bancakdulina
dengan suara berat berwibawa.
"Sangkuk...," desis Bancakluka, menyebut
panggilan untuk seorang ayah.
"Ya. Ini aku ayahmu, Bancakluka. Kalau kau
belum siap bicara panjang, diamlah dulu beberapa lama...."
Bancakluka pun menuruti nasihat ayahnya.
Diam merenung. Matanya menatap tatanan bambu
yang menopang sirap. Pikirannya melayang pada peristiwa yang baru dialaminya.
"Sudah tenangkah pikiranmu, Bancakluka?"
desak Bancakdulina akhirnya, tak sabaran. "Ingatingat apa yang telah terjadi
pada dirimu. Kenapa dengan Silasati" Dan, siapa yang kau maksud dengan pemuda
itu...?" "Maafkan aku, Sangkuk...," desah Bancakluka
lagi, bangkit duduk di tepi pembaringan. Kali ini Bancakdulina membiarkannya.
"Cepatlah kau ceritakan apa yang baru kau
alami," desak Bancakdulina, makin tak sabaran. "Hatiku jadi amat tak enak. Bila
ada orang yang membutuhkan pertolongan, kita bisa cepat memberi uluran
tangan. Tak perlu kau mengulur waktu. Kau sudah tidak apa-apa, bukan?"
Bancakluka mengusap wajahnya beberapa kali.
Dengan sepuluh jari tangannya, di meraup anak-anak
rambutnya ke belakang. Sesaat tatapannya tak lagi
nanar. "Silasati baru saja datang ke rumah ini. Katanya, Sangkuk yang menyuruh,..,"
tutur pemuda yang
dicalonkan menjadi baulau atau kepala suku untuk
menggantikan ayahnya itu.
"Lalu?" buru Bancakdulina. Nada suaranya sedikit meninggi karena kakek ini
merasa tak menyuruh
Silasati datang ke rumahnya.
"Gadis itu meminta Seno Prasetyo untuk datang
menghadap Sangkuk...."
"Dia mau?"
Mengangguk Bancakluka.
"Pemuda itu percaya benar pada ucapan Silasati. Sehingga, tanpa kesulitan
Silasati mengajaknya keluar dari rumah ini...."
Mendengar penuturan itu, langsung berkerut
rapat kening Bancakdulina. Bayangan buruk semakin
menggeluti benaknya. Apa maksud Silasati mengajak
pergi Seno Prasetyo" Kenapa hal itu dilakukan tengah
malam" Apakah dia sengaja hendak memancing perkara untuk memutuskan tali
pertunangannya dengan
Bancakluka"
"Sejak melihat Silasati, sebenarnya aku sudah
menaruh curiga," lanjut Bancakluka. "Oleh karenanya,
aku hendak mencegah kepergian gadis itu bersama
Seno Prasetyo. Namun.... "
Kalimat Bancakluka menggantung.
Cepat Bancakdulina menyahuti. "Kau hendak
mengejar mereka, bukan" Tapi, kau tidak tahu bila di
muka pintu rumah ini telah diberi taburan benda yang
mengandung kekuatan sihir. Menurut perasaanmu,
kau berlari-lari mengejar Silasati dan Seno Prasetyo.
Benar begitu, bukan" Kenyataannya..., kau cuma berlari mengitari bangunan rumah
ini...." Wajah Bancakluka semakin kusut.
Aku tak tahu kenapa Silasati bisa berbuat seperti itu. Apakah Sangkuk tidak
menyuruhnya?"
Menggeleng Bancakdulina. "Menurut dugaanku, kemungkinan besar Silasati sengaja
memancing kemarahanmu agar kau memutuskan tali pertunangan
dengannya. Kita tahu sendiri, sejak kecil Silasati telah
akrab dengan Sadeng Sabantar. Mungkin apa yang baru terjadi ini adalah siasat
mereka. Karena, mereka
saling mencinta dan tak mau tali cinta mereka putus
gara-gara aku menjodohkan dirimu dengan Silasati,
Bancakluka.... Atau mungkin, ada orang lain yang
memaksa Silasati untuk melakukan semua perbuatan
tak terpuji ini."
Bancakdulina bangkit dari kursi. Tatapan matanya berubah nyalang. Ada api
kemarahan tergambar
di bola mata kakek itu. Sebagai seorang kepala suku
yang tentunya cukup terpandang di mata warga
Suku Asantar, Bancakdulina tak bisa membiarkan keluarganya dilecehkan ataupun
dihina orang. Walau belum jelas apa maksud perbuatan Silasati sebenarnya,
tapi Bancakdulina telah menganggap Silasati menyimpan setitik api dalam sekam.
Namun, Bancakdulina
pun tak mau bertindak gegabah. Segala sesuatunya
memang harus dibuktikan kebenarannya dulu.
"Kita ke rumah Bancaksika saja. Kita cari keterangan di rumah pamanmu itu," ajak
Bancakdulina kemudian. Bancakluka tak menjawab. Namun, dia bangkit
berdiri pertanda menyetujui ajakan ayahnya.
Bancaksika adalah ayah Silasati, dan merupakan adik Bancakdulina. Dalam aturan
adat suku yang terletak di ujung selatan Pulau Salyadwipa itu, setiap
warga Suku Asantar diperbolehkan melakukan perkawinan sedarah. Oleh karenanya,
sah-sah saja kalau
Bancakdulina menjodohkan Bancakluka dengan Silasati yang tak lain keponakannya
sendiri. Sementara, rumah Bancaksika bersebelahan
dengan rumah Bancakdulina. Jadi, Bancakdulina dan
putranya tak butuh waktu banyak untuk sampai di
tempat yang dituju.
"Bancaksika! Bancaksika!" seru Bancakdulina
sembari mengetuk daun pintu keras-keras.
Tak lama Bancakdulina menunggu. Pintu rumah segera terkuak, dan tampaklah seraut
wajah kusut milik Bancaksika yang baru bangun tidur.
"Kau..." Ada apa malam-malam begini?" ujar
ayah Silasati itu, seperti menegur.
"Silasati ada, Wak?" Bancakluka yang bertanya.
'Wak' sama artinya dengan 'paman'.
"Kau mencari tunanganmu" Malam-malam begini" Ada apa?" Bancaksika malah balik
bertanya. Lelaki yang hampir menginjak umur enam puluh tahun
ini tak mendengar langkah kaki Bancakluka saat berlari-lari mengelilingi
rumahnya. Karena, dia tertidur
amat pulas. "Ada sesuatu yang harus dibuktikan kebenarannya. Aku ingin tahu apakah putrimu
itu masih ada di rumah, Sika?" desak Bancakdulina.
"Tentu saja ada. Masuklah...," sahut Bancaksika yang belum mengetahui perbuatan
tak terpuji Silasati.
Saat Bancakdulina dan Bancakluka berjalan
memasuki rumah untuk menuju ke ruang tamu, Bancaksika memasuki serambi belakang.
Namun tak seberapa lama kemudian, terdengar seruan terkejut Bancaksika.
"Dia... dia tidak ada!"
Bancakdulina dan Bancakluka saling pandang.
*** Cahaya rembulan menyiram temaram. Puri
Dewa Langit tegak menantang dalam kebisuan. Hembusan angin bercampur kabut
membentuk butiran
embun, yang kemudian menetes jatuh tersambut senyum rerumputan. Dingin masih
membelenggu dan terasa meremas tulang. Sepi mencekam!
Keadaan alam sekitar sangat bertolak belakang
dengan apa yang tengah dirasakan pemuda berpakaian
biru-biru itu. Isi dada si pemuda bergemuruh kencang
karena desakan gairah yang bergelora dan terus menyentak-nyentak. Jantung yang
berdegup lebih cepat
membuat aliran darahnya berdesir tak karuan. Uraturat di sekujur tubuhnya turut
bergeletaran seiring
hasratnya yang semakin memuncak.
Dengan dengus napas memburu bak seekor
kuda yang dipaksa mendaki tebing terjal, pemuda berambut panjang tergerai itu
menciumi buah dada wanita berkulit kuning yang berdiri setengah telanjang!
Pemuda yang tampaknya telah kehilangan sifat
kemanusiaannya itu adalah Pendekar Bodoh Seno Prasetyo! Dan, wanita berparas
cantik yang menjadi pelampiasan hasrat si pemuda tak lain dari Danyangsuli!
(Untuk mengetahui asal mula kejadian ini, silakan simak serial Pendekar Bodoh
dalam episode : "Sengketa
Ahli Sihir").
Merasakan ciuman ganas Pendekar Bodoh, Danyangsuli menggelinjang manja. Kedua
kakinya bergerak tak tentu arah. Urat-urat darahnya pun turut bergeletaran.
Kegembiraan semakin terpancar di sorot mata
ahli sihir yang juga pandai ilmu tenung itu. Bukan saja
karena ciuman nafsu Pendekar Bodoh, tetapi juga karena teringat akan rencananya
yang akan segera menjadi kenyataan.
Terbawa luapan rasa gembira, Danyangsuli tak


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat menahan suara tawanya. Tubuh bagian atas si
wanita yang tak tertutup tampak bergoyang-goyang
mengikuti irama tawa. Sementara, Pendekar Bodoh terus menelusuri keindahan tubuh
wanita itu dengan
bibir dan lidahnya....
"Ha ha ha...!" tawa gelak Danyangsuli. "Ayo! Terus! Lampiaskan hasratmu, Seno!
Ha ha ha...! Semakin kau tergeluti nafsu, semakin mudah aku menghisap inti
kekuatan tubuhmu! Ha ha ha...! Aku akan
menjadi ratu sihir yang terhebat! Ha ha ha...!"
Saat wanita bertubuh sintal montok itu larut
dalam kegembiraannya, Pendekar Bodoh larut dalam
hasrat jiwa mudanya. Pengaruh sihir yang diterapkan
Danyangsuli benar-benar tak dapat dilawan dan telah
membuat Pendekar Bodoh lupa segala-galanya. Yang
ada dalam benak Pendekar Bodoh hanyalah keinginan
untuk melampiaskan segenap gairahnya yang sudah
tak dapat dibendung lagi!
Tampak kemudian, Pendekar Bodoh mengangkat tubuh Danyangsuli seraya
membaringkannya di
tanah berumput tebal. Dan, Danyangsuli pun membiarkan kain bawahnya
disingkapkan. Bola mata Danyangsuli semakin berbinar saat melihat Pendekar Bodoh
mulai membuka kancing bajunya sendiri. Memang
itulah yang menjadi tujuan Danyangsuli. Melalui hubungan badan, Danyangsuli akan
menghisap habis seluruh inti kekuatan tubuh Pendekar Bodoh!
Dan apabila hal itu menjadi kenyataan, seluruh
kekuatan tenaga dalam sang pendekar akan mengalir
ke tubuh Danyangsuli. Kalau tenaga dalamnya telah
lenyap, akan lenyap pula seluruh ilmu kesaktian Pendekar Bodoh. Sementara, bagi
seorang pendekar sejati
macam Pendekar Bodoh, kehilangan ilmu kesaktian
merupakan suatu malapetaka yang lebih mengerikan
dibanding kematian!
Tapi, benarkah Pendekar Bodoh akan menemui
nasib naasnya di Pulau Salyadwipa itu" Tak ada yang
sanggup menjawabnya, kecuali sang Penguasa Tunggal. Sementara, putaran waktu
yang terus berlalu
membuat kokok ayam alas mulai terdengar mengoyak
sepi. Semburat cahaya jingga di langit timur mulai
muncul pula. Fajar akan segera datang menjelang....
"Jahanam...!" dengus Danyangsuli tiba-tiba.
"Matahari akan segera muncul. Tak dapat aku meneruskan niatku!"
Kasar sekali wanita berkulit kuning langsat dan
tampak mulus tanpa cacat itu mencengkeram bahu
Pendekar Bodoh. Tubuh si pemuda langsung jatuh
berdebam saat Danyangsuli mendorongnya.
Akan tetapi, bagai orang kesetanan Pendekar
Bodoh bergegas bangkit. Karena gairah masih menguasai jalan pikirannya, dia
hendak menerkam tubuh
sintal Danyangsuli.
Cepat Danyangsuli berkelit. Terkaman Pendekar Bodoh hanya mengenai tempat
kosong. Selagi tubuh Pendekar Bodoh masih meluncur di udara, dengan cepat pula
Danyangsuli mengenakan kembali bajunya. Tak lupa dia pun merapikan kain bawahnya
yang berwarna merah gemerlap.
"Kau hendak ke mana" Aku.... Aku...," ujar
Pendekar Bodoh dengan raut wajah menyiratkan kekecewaan.
Danyangsuli tak menjawab. Matanya menatap
sebatang tongkat yang berada di dekat kaki Pendekar
Bodoh. Panjang tongkat itu tak lebih dari dua jengkal.
Berwarna putih. Satu ujungnya tumpul, dan yang satunya lagi runcing. Tongkat
Dewa Badai! Sekali lihat, Danyangsuli dapat memastikan bila tongkat pendek itu adalah sebuah
senjata mustika.
Maka tanpa pikir panjang lagi, dia langsung menyambar senjata andalan Pendekar
Bodoh yang telah lepas
dari belitan ikat pinggangnya.
Lalu sambil mencekal erat Tongkat Dewa Badai,
Danyangsuli menjatuhkan beberapa totokan di tubuh
Pendekar Bodoh. Dan, Pendekar Bodoh pun tak dapat
menghindar karena pikirannya masih dikuasai ilmu
sihir wanita cantik itu....
*** 2 MENDENGAR bisikan mesra yang dibarengi
sentuhan dan belaian lembut menggoda, tak kuasa
Seno menolak manakala Danyangsuli menanggalkan
pakaiannya. Dan..., tak kuasa pula ia menolak saat
wanita cantik itu memeluknya..., menciuminya..., serta
merebahkan tubuhnya di atas tilam berkain sutera.
"Seno.... Seno...," sebut Danyangsuli di antara
dengus nafasnya yang memburu. "Ayolah, Seno. Keluarkan seluruh tenagamu...."
"Ya! Ya, Suli.... Kau cantik sekali. Aku tak akan
mengecewakanmu...," sambut Seno. Gelegak hasratnya
semakin bergelora.
Murid Dewa Dungu itu mendekap erat tubuh
polos Danyangsuli. Dan..., Danyangsuli pun membalas
dekapan seraya mendaratkan ciuman lebih ganas.
Kamar indah bertabur warna biru laut yang
mereka tempati segera dipenuhi suara desahan napas
dan rintihan manja. Seno dan Danyangsuli saling ber-
tukar kemesraan.
Namun tanpa disadari oleh Seno..., semakin dia
mengempos tenaga, semakin cepat inti kekuatan tubuhnya terhisap. Hingga lama-
kelamaan, Seno merasakan tubuhnya amat lemah. Lalu di lain kejap, dia
tak dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Dia pun jatuh
menggelosoh ke lantai dingin, bagai selembar kain tak
berharga! Sementara, Danyangsuli yang masih terbaring
di tilam tampak tersenyum puas. Bola matanya berbinar-binar saat bangkit.
Tanpa mempedulikan keadaan tubuhnya yang
tak tertutup selembar benang, wanita berwajah cantik
jelita itu menatap tubuh lemah Pendekar Bodoh yang
tergolek telentang di lantai. Sinar mata si pemuda telah
redup. Inti kekuatan tubuhnya telah terhisap habis
oleh Danyangsuli. Itu berarti seluruh ilmu kesaktian
Pendekar Bodoh turut lenyap!
"Ha ha ha...!" tawa gelak Danyangsuli. "Sungguh malang nasibmu, Seno. Seluruh
inti kekuatan tubuh-mu telah pindah ke tubuhku. Kini, dirimu tak lebih berharga
dari seonggok sampah! Ha ha ha...!"
"Danyangsuli...," sebut Seno, pelan sekali. "Kenapa... kenapa kau tega.... Apa
salahku...?"
"Salahmu" Hmmm.... Hanya satu kesalahanmu
sehingga aku bisa berlaku seperti ini terhadapmu. Kesalahanmu adalah karena kau
bodoh! Ha ha ha...!"
"Iblis kau, Danyangsuli!"
"Aku iblis" Boleh! Boleh saja kau sebut begitu.
Aku memang iblis! Ha ha ha...! Iblis yang amat pandai
dalam memanfaatkan kebodohanmu! Ha ha ha...!"
"Keparat! Terkutuk kau, Danyangsuli! Masih
banyak tugas yang harus kuselesaikan.... Kembalikan
inti kekuatan tubuhku!"
"Tugas" Tugas apa" Jika ilmu kesaktianmu telah musnah, tak ada lagi yang dapat
kau perbuat. Tidak percaya" Bangkitlah! Kalau kau mampu, akan ku
turuti permintaanmu. Akan kukembalikan inti kekuatan tubuhmu...."
"Be... benarkah itu" Jangan ingkar janji...!"
Danyangsuli cuma tersenyum.
Bergegas Seno menghimpun tenaganya yang
masih tersisa. Dia mencoba bangkit. Tapi..., untuk
menggerakkan jari-jari tangannya saja dia tak mampu!
"Ha ha ha...!" tertawa lagi Danyangsuli. "Bagaimana, Seno" Masihkah kau berniat
untuk menyelesaikan tugas-tugasmu?"
"Jahanam kau, Danyangsuli! Kau... kau binatang terkutuk!" maki Seno, penuh
kebencian. Ingin rasanya dia memecahkan batok kepala
Danyangsuli. Ingin rasanya dia mencabik-cabik tubuh
wanita jahat itu. Namun..., keinginannya hanya tinggal
keinginan. Kalau menggerakkan jari-jari tangan saja
tak mampu, apalagi membunuh Danyangsuli yang tentunya mempunyai ilmu kesaktian
hebat! Setidaknya untuk saat itu!
Maka, yang dapat dilakukan Seno hanyalah
merutuk, menyumpah, dan mencaci-maki Danyangsuli. Sampai akhirnya, dia pun
merutuk kebodohannya
sendiri. Dia menyesal dan benar-benar amat menyesal.
Tapi, nasi telah menjadi bubur. Apa guna penyesalan
kalau semuanya telah terjadi"
"Seno...," sebut Danyangsuli kemudian. "Dalam
keadaan seperti itu, aku tahu kau sangat menderita.
Aku ingin menawarkan jasa baik kepadamu, Seno. Aku
akan melepaskan dirimu dari penderitaan. Bersediakah kau?"
"Jahanam! Jangan bermanis mulut lagi! Aku
muak melihat tampangmu! Pergi kau!" umpat Seno.
"Hmmm... Bodoh benar kau! Aku benar-benar
ingin melepaskan dirimu dari penderitaan!"
"Jangan membual!"
"Aku tidak membual! Dengar baik-baik! Aku
memang ingin melepaskan dirimu dari penderitaan.
Dan, jalan satu-satunya untuk melepaskan dirimu dari
penderitaan itu adalah membunuhmu!"
"Membunuhku?" kejut Seno. Nanar pandangannya menatap sosok Danyangsuli yang
seakan telah berubah wujud menjadi makhluk amat menyeramkan.
"Ya!" angguk Danyangsuli. Begitu yakin ahli sihir itu mengucapkan perkataannya.
Oleh karenanya,
tatapan Seno semakin nanar. Bayangan kematian yang
amat mengenaskan segera berkelebatan di pelupuk
matanya. "Jangan! Aku masih ingin hidup! Aku masih
muda! Masih banyak yang bisa kuperbuat!" teriak Seno, mencetuskan ketakutannya.
"Benar apa yang kau katakan. Memang masih
banyak yang bisa kau perbuat. Tapi..., justru karena
itulah aku tak mau di kelak kemudian hari, kau menjadi duri dalam hidupku! Maka,
amatlah tepat bila aku
mengambil keputusan untuk mencabut nyawamu!
Bersiap-siaplah untuk mati, Seno! Semoga kau dapat
menerima kematianmu dengan ikhlas...."
Di ujung kalimatnya, Danyangsuli mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke tangan kanan. Di lain kejap,
telapak tangannya telah berubah warna menjadi merah menyala-nyala. Hawa panas
menebar ke seluruh
ruangan. Pendekar Bodoh yang sudah tak punya kekuatan lagi merasakan tubuhnya
bagai digodok di
tungku pembakaran!
"Jangan! Jangan bunuh aku!" pinta Seno den-
gan bola mata melotot. Semakin menjadi-jadi rasa takutnya.
Tapi..., Danyangsuli yang sudah dikuasai nafsu
membunuh mana mau mendengarkan permintaan
pemuda remaja itu. Sambil tersenyum penuh kemenangan, Danyangsuli menghadapkan
telapak tangan kanannya ke wajah Seno. Sesaat, mulutnya mengeluarkan suara menggerendeng.
Lalu.... "Mati kau...!" seru wanita bertubuh sintal montok itu seraya menghentakkan
telapak tangannya ke
depan. Wusss...! Seberkas sinar merah yang amat panas luar biasa, melesat ke arah Seno. Dan...,
nyawa si pemuda
pun tampaknya akan segera dijemput ajal karena tak
ada lagi yang bisa dilakukannya, kecuali menjerit sekeras mungkin....
"Jangannn...!"
Blarrr...! Jeritan Pendekar Bodoh yang sangat panjang
dan menyayat hati segera tertelan ledakan dahsyat.
Seberkas sinar merah yang melesat dari telapak tangan Danyangsuli tepat menerpa
dadanya. Dan..., tamatlah riwayat pemuda lugu itu dengan tubuh hancurlebur
menjadi setumpuk abu!
*** Melonjak kaget Seno bagai tersambar petir. Matanya nanar memandang keadaan di
sekelilingnya. Melihat dinding-dinding cadas yang kasar bertonjolan, tahulah dia
bila dirinya berada di dalam gua.
"Ya, Tuhan.... Apa yang telah terjadi?" Murid
Dewa Dungu itu mencubit lengannya sendiri beberapa
kali. Sakit! Berarti dia masih hidup! Namun, dia belum
percaya benar pada kenyataan itu. Dia tekap dada kirinya. Jantungnya masih
berdetak. Ditariknya napas
panjang. Ada hawa sejuk yang mengalir ke sekujur tubuhnya. Dia benar-benar masih
hidup! "Ya, Tuhan...," sebut Seno lagi. "Mimpi buruk!
Mimpi buruk! Aku habis mimpi buruk.... Tapi, mimpi
itu benar-benar seperti kenyataan! Oh, benar-benar
mengerikan!"
Sambil tetap duduk mendeprok di lantai gua
yang dingin, Seno mengedarkan pandangan sekali lagi.
Ingatannya melayang ke kejadian yang baru dialaminya.
"Malam begitu dingin.... Aku mendengar Silasati berbicara dengan Bancakluka. Aku
keluar dari kamar karena Silasati disuruh Kakek Bancakdulina untuk
menjemputku...," gumam si pemuda. "Aku menduga Kakek Bancakdulina memang
membutuhkan bantuanku. Oleh karenanya, malam itu juga aku pergi
bersama Silasati. Tapi ternyata, Silasati tidak disuruh
Kakek Bancakdulina. Ada seorang wanita cantik yang
sengaja menunggu kedatanganku bersama Silasati di
dekat Puri Dewa Langit. Wanita itu mengaku bernama
Danyangsuli dan bergelar Ratu Sihir Tercantik. Ada
seorang pemuda yang berdiri di dekatnya. Tubuh pemuda itu kaku kejang seperti
kena totok. Namun kemudian, Danyangsuli memulihkan keadaannya. Lalu..., pemuda
itu pergi bersama Silasati. Dan, tinggallah aku bersama Danyangsuli...."
Sampai di situ gumaman Pendekar Bodoh terhenti. Ditariknya napas panjang
berulang kali. Setelah
terlongong bengong beberapa saat, dia berkata-kata lagi seorang diri.
"Dari sinar matanya, aku tahu wanita itu me-
nyimpan maksud tak baik terhadapku. Dia menggodaku dengan memperlihatkan bagian
tubuhnya yang terlarang. Aku sempat terpana dan darahku pun berdesir
aneh. Namun kemudian, aku menjadi muak dan jijik
melihat perlakuan wanita itu. Aku pergi meninggalkannya. Tapi tiba-tiba, tubuhku
terasa limbung..., dan
aku tak ingat apa-apa lagi. Dia telah membawaku ke
tempat ini...."
Setelah menghapus peluh di wajahnya, pemuda
lugu itu merapikan pakaiannya yang kedodoran. Namun mendadak, dia terkesiap.
"Astaga! Tongkat Dewa Badai-ku lenyap!" serunya.
Walau telah memutar pandangan dan mencaricari di beberapa tempat, Seno tetap tak


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat menemukan senjata andalannya. Maka, menggeram marahlah dia teringat akan
sosok Danyangsuli yang telah
memasang perangkap terhadapnya.
"Pasti wanita itu yang membawa senjataku!" pikir Seno. "Aku harus cepat keluar
dari tempat ini. Aku
harus merampas kembali senjataku sebelum dia
menggunakannya untuk tujuan tak baik!"
Karena desakan rasa khawatir, Seno meloncat
mengikuti jalan di lorong gua. Namun tanpa diketahuinya, ada sebentuk benteng
gaib yang menahan luncuran tubuhnya. Hingga....
Jder...! "Argh...!"
Diiringi suara ledakan seperti genderang dipukul keras, tubuh Seno terpental
balik lalu jatuh bergulingan di lantai gua. Walau tak mendapat cedera berarti,
tak urung sekujur tubuhnya terasa amat sakit, terutama kepalanya yang sempat
membentur lantai gua
yang keras. "Hmmm.... Rupanya, Danyangsuli menutup lorong gua ini dengan kekuatan sihirnya."
tebak Seno. "Dan tampaknya, benteng gaib itu amat kuat. Aku tak
tahu bagaimana cara mendobraknya.... Tapi, aku harus cepat keluar dari tempat
ini!" Meskipun rasa pening di kepalanya masih belum lenyap, Seno memaksakan diri untuk
berpikir keras. Dia tak paham ilmu sihir. Oleh karenanya, pemuda berpakaian
biru-biru itu cuma dapat duduk termenung beberapa lama.
"Ah! Kalau cuma duduk diam, sampai mati aku
akan tetap terkurung di tempat ini. Kenapa tak ku coba mendobrak benteng gaib
itu dengan 'Pukulan Inti
Dingin'?" cetus Seno kemudian.
Tanpa pikir panjang, pemuda berambut panjang tergerai itu mengalirkan kekuatan
tenaga dalamnya ke tangan kanan. Hingga di lain kejap, pergelangan tangan
kanannya telah berubah warna menjadi
kuning keemasan. Hawa dingin menebar. Dan, hawa
dingin itu semakin terasa saat Seno melancarkan pukulan jarak jauhnya!
Wusss...! Blarrr...! Terkejut tiada terkira Seno. Pukulan jarak
jauhnya terpental balik, tak mampu mendobrak ataupun menjebol benteng gaib
ciptaan Danyangsuli!
Bergegas Seno menjatuhkan tubuhnya ke dekat
dinding gua sebelah kiri, karena lapisan salju kuning
keemasan meluruk ke arahnya. Saat itu juga, seluruh
ruangan gua nyaris tertutup lapisan salju wujud dari
'Pukulan Inti Dingin' Seno. Akibatnya, hawa dingin benar-benar terasa menusuk
tulang. Lebih dingin dari
hawa udara di kutub selatan sekalipun!
"Untung aku tak mengerahkan seluruh kekua-
tan tenaga dalamku. Kalau itu kulakukan, tamatlah
riwayatku sampai di sini...," gumam Seno.
Benar kata hati pemuda lugu itu. Andai tadi dia
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, benteng gaib ciptaan Danyangsuli
tetap tak akan dapat didobrak ataupun dijebol. Pukulan jarak jauh Seno justru
akan membahayakan keselamatannya sendiri.
Tampak kemudian, pemuda remaja berparas
tampan itu duduk terpuruk sambil cengar-cengir. Tapi
setelah merasakan hawa dingin yang hendak membekukan cairan darahnya, cepat dia
keluarkan ilmu 'Pukulan Inti Panas'. Dari pergelangan tangan kirinya
yang berubah warna menjadi putih berkilat menebar
hawa panas. Lapisan salju langsung lenyap tanpa bekas. Hawa dingin pun tak lagi
menyerang! "Tak ada persoalan yang tak dapat dipecahkan.
Pasti ada jalan untuk keluar dari tempat ini. Aku harus mencari jalan itu!" Seno
membulatkan tekadnya.
Jari-jari tangan pemuda lugu itu bergerak untuk memeriksa dinding gua. Namun,
keningnya segera
berkerut rapat karena ada sesuatu yang membuatnya
heran. "Aneh!" desisnya. "Telapak tanganku tak dapat
menyentuh dinding gua ini. Telah ku dorong sekuat
tenaga, tapi tetap saja dinding ini tak tersentuh. Rupanya, aku telah terkurung
benteng gaib yang tercipta
dari ilmu sihir Danyangsuli!"
Tak mau putus asa, Seno berjalan ke sana-sini.
Terus mencari jalan keluar. Tapi, berulang kail dia merutuk kesal. Tak ada jalan
keluar yang dapat ditemukannya. Benteng gaib Danyangsuli benar-benar telah
mengurung ruangan gua yang ditempati Seno!
Hingga di lain kejap, Pendekar Bodoh terlihat
duduk mendeprok sambil terus cengar-cengir. Tangan
kanannya terangkat lalu menggaruk-garuk kepalanya
yang tak gatal....
"Mati aku!" desisnya.
*** 3 PAGI rebah mengantar terang. Kicau burung
dan gemercik suara aliran sungai adalah nyanyian
alam yang tiada bandingnya. Lembut mempesona,
mengelus gendang telinga. Ditambah marak sinar mentari yang menyiram hangat,
anugerah Yang Kuasa benar-benar terasa sampai ke relung jiwa.
Tapi bukan karena sedang menikmati suasana
pagi yang memang layak untuk dinikmati kalau wanita
itu sengaja berlama-lama merendam tubuhnya di anak
Sungai Simandau. Dengan rambut basah terurai, dia
tampak tersenyum-senyum seorang diri. Tatapan matanya tertuju ke Bukit Silambar
yang samar-samar terlihat dari balik rimbunan daun pohon yang tumbuh di
tepi aliran sungai.
Bukan pula karena memikirkan keelokan bukit
itu kalau dia juga tak pernah mengalihkan pandangannya walau sekejap. Ya! Dia
memang tengah melamunkan sesuatu yang membuat hatinya begitu gembira. Pendekar
Bodoh-lah yang menjadi buah lamunannya!
"Seno Prasetyo telah kusekap dalam 'Benteng
Sihir Mengurung'. Kecuali aku sendiri, tak akan ada
orang lain yang dapat membebaskannya...," kata hati
wanita berkulit kuning langsat yang tak lain Danyangsuli. "Hmmm.... Keinginanku
akan segera tercapai.
Tinggal menunggu saja. Ketika hari telah jatuh dalam
dekapan malam, inti kekuatan tubuh pemuda itu akan
kuhisap sampai habis! Ha ha ha...!"
Danyangsuli tertawa bergelak. Air sungai yang
jernih memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang
bergoyang-goyang terbawa desakan irama tawa. Timbul
gelombang kecil di permukaan air. Gelombang itu
membesar saat Danyangsuli menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Namun tak lama kemudian, wajah wanita bertubuh amat menggiurkan itu berubah
menegang garang. Sorot matanya yang semula berbinar terang berubah tajam
menusuk. Indera pendengarannya yang
cukup tajam menangkap langkah kaki orang!
"Hmmm.... Menilik langkahnya yang lebar dan
pijakannya yang berat, aku tahu dia seorang lelaki. Berani benar dia mengusik
ketenanganku. Kalau dia sengaja ingin mengintipku, berarti dia manusia yang
telah bosan hidup! Aku pun tak akan segan mencabut nyawanya. Biar orang lain semakin
tahu, aku tak bisa dibuat main-main!"
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas Danyangsuli menenggelamkan tubuhnya
seraya berenang
menepi. Dia bermaksud mengambil pakaiannya yang
diletakkan di tepi sungai. Tapi walau dia telah menyelam untuk menyembunyikan
diri, tubuh telanjangnya
tetap terlihat. Air Sungai Simandau terlalu bening untuk dapat menyembunyikan
kemolekan tubuh wanita
berusia tiga puluh tahun itu. Saat menyelam, tetap saja terlihat sebuah
pemandangan yang benar-benar
akan sanggup meruntuhkan iman siapa pun lelaki
yang melihatnya!
Dan... saat muncul di permukaan air, tak dapat
lagi digambarkan betapa terkejutnya Danyangsuli.
Terdesak hawa amarah, bola matanya langsung melotot dan tampak berkilat-kilat.
Di dekat pakaian Danyangsuli yang menumpuk
di atas batu, tampak seorang lelaki yang tengah duduk
bersila. Sikap lelaki itu menunjukkan bahwa dia sengaja menunggu kedatangan
Danyangsuli! Dia seorang pemuda berparas cukup tampan.
Berambut ikal panjang. Tubuhnya yang tegap terbungkus pakaian hitam-hitam.
Dia Sasak Padempuan! (Tentang tokoh ini, simak kembali serial Pendekar Bodoh
dalam episode :
'Sengketa Ahli Sihir").
"Jahanam! Apa yang kau lakukan di sini, Padempuan"!" tegur Danyangsuli, keras
menggelegar. "Tahan hawa amarahmu dulu, Suli...," sahut
Sasak Padempuan, tenang. "Sengaja aku mendatangimu di tempat ini karena ada
sesuatu yang harus kubicarakan denganmu."
"Tapi..., sungguh tidak pada tempatnya bila kau
menungguku ketika aku dalam keadaan seperti ini,
bukan?" tegur Danyangsuli lagi, duduk mendeprok di
dalam air. Namun, tubuh bagian atasnya tetap saja
terlihat dengan jelas.
"Jangan berlagak sok alim, Suli...," cibir Sasak
Padempuan. "Aku tahu siapa dirimu. Bagaimanapun,
kita pernah menjadi sepasang kekasih. Kita pernah
menikmati kebahagiaan bersama-sama. Oleh karenanya, tak perlu kau bersikap ketus
macam itu. Kau bukan gadis belia yang akan marah ketika tubuh telanjangnya diintip orang.
Tubuhmu memang amat
menggiurkan, Suli. Tapi, aku datang bukan untuk
mengintip ataupun mencoba menikmati keindahan tubuhmu itu. Ada sesuatu yang
memang harus kubicarakan denganmu. Segeralah naik. Kenakan pakaian-
mu...." Sasak Padempuan tak mempedulikan tatapan
Danyangsuli yang semakin tajam. Tenang-tenang saja
dia memungut pakaian yang menumpuk di hadapannya. Pakaian itu langsung
dilemparkannya ke arah
Danyangsuli. Tak mau pakaiannya tercebur ke dalam air,
Danyangsuli merentangkan tangannya untuk menyambut. Sambil menahan hawa
amarahnya yang nyaris meledak, bergegas dirinya naik ke tepian. Cepat dia
kenakan pakaiannya. Sasak Padempuan tetap duduk
bersila di tempatnya. Matanya tak lepas memandang
apa yang tengah dilakukan wanita cantik itu.
"Kurang ajar kau, Padempuan!" geram Danyangsuli setelah mengenakan pakaiannya.
"Apa kau sudah bosan hidup, heh" Masa lalu kita hanya tinggal
masa lalu. Tidak ada hubungan apa-apa lagi di antara
kita, Padempuan! Segera enyah kau dari hadapanku!"
"Hmmm.... Di saat dirimu kuat, kau bisa berkata ketus terhadapku. Apa kau lupa
bila kau pernah
merengek dan mengemis cinta terhadapku, Suli?" sergap Sasak Padempuan, tetap
tenang. "Nyiur melambailah elok dipandang mata. Buahnya enaklah jua bila dirasa.
Walau amarah telah sesakkan dada. Hendaklah
ingat cita-cita dibawa ke mana."
"Memanglah enak buah kelapa muda. Panaslah
siang hari kan sirna, berkat seteguk air di dalam
buahnya. Siapa yang lupa pada cita-cita" Kalau keadaan telah memaksa, apalah
guna dicapai berdua?"
"Bagus benar kata-katamu itu, Suli?" sindir Sasak Padempuan. "Aku mencuri Kitab
Palanumsas sebenarnya bukan untuk tujuan pribadiku sendiri, melainkan untuk
dirimu juga. Tapi setelah usahaku gagal, kenapa kau hendak mencampakkan diriku"
Para sesepuh Suku Asantar memang telah memusnahkan
kekuatan sihir ku. Aku memang telah tak punya kemampuan apa-apa lagi. Tapi,
tidaklah kau tahu jika
aku masih punya otak yang masih bisa digunakan untuk berpikir" Aku bukan sepah
tebu yang mesti dibuang setelah hilang sari manisnya...."
"Tak perlu banyak cakap, Padempuan!" sergap
Danyangsuli yang tampak lebih elok dengan pakaian
merah gemerlapnya. "Tidakkah kau sayang pada nyawamu" Bila ada orang yang
memergokimu berada di
tempat ini, kemungkinan besar kau akan dihadapkan
ke Pengadilan Agung lagi. Kau akan dihukum mati!
Bukankah kau telah dijatuhi hukuman buang oleh para sesepuh suku" Kau tak boleh
dekat-dekat lagi dengan Perkampungan Suku Asantar! Cepat katakan apa
maumu! Dan, cepat pula enyah dari hadapanku! Aku
tak mau turut menanggung getah dosa-dosamu, Padempuan!"
"Tega benar kau berkata seperti itu, Suli...," desah Sasak Padempuan. "Aku
memang orang terbuang.
Tapi, jauh di lubuk hatiku, aku ingin mengembalikan
harkat dan martabatku sebagai keturunan Umpak Padempuan. Aku ingin membalas
semua perbuatan warga suku yang berulang kali telah menghina dan amat
melecehkan diriku! Jauh di lubuk hatiku pula, aku ingin mengembalikan nama besar
Umpak Padempuan!"
"Hmmm.... Kau ingin menjadi baulau, Padempuan?"
"Begitulah...."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Danyangsuli
yang biasa memperkenalkan dirinya sebagai Ratu Sihir
Tercantik. "Walau kau keturunan Umpak Padempuan
yang boleh dikata cikal-bakal keberadaan Suku Asantar, tidakkah kau berpikir
siapa dan bagaimana kea-
daanmu sekarang ini" Tak ada warga Suku yang menyukaimu, apalagi mendukung dan
mencalonkanmu sebagai baulau. Tidak pula kau punya kekuatan yang
bisa diandalkan untuk menduduki jabatan sebagai
baulau!" "Justru karena itulah aku datang ke hadapanmu, Suli...," cetus Sasak Padempuan,
penuh pengharapan.
Walau dia amat tersinggung mendengar suara
tawa dan perkataan Danyangsuli, tak hendak dia menuruti hati panas. Karena
memang dia amat membutuhkan bantuan wanita itu. Kalau keinginannya telah
terpenuhi, bolehlah nanti dia membuat urusan tersendiri. Begitulah isi hati
Sasak Padempuan.
"Apa maksudmu sebenarnya, Padempuan"!"
bentak Danyangsuli tiba-tiba.
"Aku ingin meminta bantuanmu, Suli," sahut
Sasak Padempuan, beranjak bangkit menghampiri.
"Bantuan itu tidak terlalu menyusahkan dirimu. Aku
yakin kau pasti bersedia memenuhinya...."
Danyangsuli diam. Tapi lewat tatapan matanya,
jelas bila wanita cantik itu menunggu Sasak Padempuan melanjutkan perkataannya.
"Suli...," sebut Sasak Padempuan dengan lembut. "Aku tahu..., sampai saat ini
ilmu sihirmu adalah
yang terhebat. Karena, kau memiliki cincin mustika
bernama 'Permata Kelelawar Dewa'...."


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seperti diingatkan, perlahan Danyangsuli mengangkat tangan kanannya. Ditatapnya
sejenak cincin hitam bercupu kelelawar yang melingkar di jari tengahnya.
"Aku mohon, Suli, gunakan daya gaib cincinmu
itu untuk mengembalikan kekuatan ilmu sihir ku...,"
pinta Sasak Padempuan.
Tetap diam Danyangsuli. Tatapannya beralih ke
wajah tampan Sasak Padempuan yang menyiratkan
berjuta pengharapan.
"Sekali ini saja, Suli. Sungguh aku sangat
mengharapkan uluran tanganmu...," pinta Sasak Padempuan, mengiba.
"Kalau aku menolak?" tanya Danyangsuli, tersenyum sinis.
"Perkataanmu tak menyiratkan isi hatimu, Suli.
Aku tahu siapa dirimu."
"Kau yakin?"
"Yakin sekali. Sejak dulu aku yakin dan percaya benar, kau tak akan pernah
mengecewakan aku.
Seperti apa yang kulakukan kepadamu sejak dulu, aku
juga tak pernah mengecewakanmu...."
"Ha ha ha...!" mendadak Danyangsuli tertawa
bergelak-gelak, keras sekali. "Keyakinan sering kali
membuat orang jadi nekat. Kalau orang sudah nekat,
mana dapat orang berpikir dengan jernih" Namun...,
kau datang ke hadapanku tentu karena kau telah berpikir dan menimbang. Ha ha
ha...! Tapi, benarkah kau
yakin bila aku akan dapat mengembalikan kekuatan
sihirmu?" "Yakin! Yakin sekali!" sahut Sasak Padempuan,
tegas. Danyangsuli menatap tajam wajah pemuda
berpakaian hitam-hitam itu. Lalu, dia tertawa bergelak
lagi, lebih keras... dan lebih panjang berderai....
Namun mendadak, ahli sihir yang juga pandai
ilmu tenung itu menghadapkan cincin 'Permata Kelelawar Dewa'-nya ke tubuh Sasak
Padempuan. Si pemuda melonjak girang dalam hati karena menyangka
Danyangsuli akan menuruti permintaannya. Tapi
alangkah terkejutnya dia manakala....
"Tiupan angin puling beliung datang. Tubuh
Sasak Padempuan terhisap dan terlontar ke puncak
Bukit Silambar. Hom asantamas hawarnas... samlas...!" seru Danyangsuli.
Saat itu juga muncul tiupan angin puting beliung. Sasak Padempuan hanya dapat
memekik parau saat tubuhnya terhisap masuk ke putaran angin ganas
itu. Hanya dalam satu kejap mata, tubuh si pemuda
telah terbawa melayang tinggi dan terlontar jauh ke
puncak Bukit Silambar!
*** Kemauan keras untuk dapat terus hidup membuat Sasak Padempuan tak sampai jatuh
pingsan, walau rasa sakit merejam sekujur tubuhnya. Putaran angin puting beliung
membuat tubuh si pemuda berputar-putar terhisap, dan terhempas mengikuti ke mana
angin itu membawanya.
Bukan saja tulang-belulangnya terasa telah
hancur berantakan, Sasak Padempuan juga merasakan kepalanya amat pening bagai
dipukuli palu godam. Namun, semangat hidup pemuda itu benar-benar
bagai api yang terus menyala, sehingga membuatnya
dapat mempertahankan kesadarannya.
Meski samar-samar Sasak Padempuan dapat
melihat bagaimana keadaan puncak Bukit Silambar
yang akan segera menyambut luncuran tubuhnya.
Puncak bukit yang terletak cukup jauh dari perkampungan Suku Asantar itu
dipenuhi bongkah-bongkah
batu besar. Kalau tidak tersangkut di dahan pohon,
pastilah tubuh Sasak Padempuan akan hancur berantakan bila jatuh di tanah
berbatu-batu itu!
Menyadari nasibnya yang akan segera dijemput
ajal, tak dapat lagi Sasak Padempuan menahan diri.
Dengan bola mata terbelalak lebar, berteriaklah dia sekuat tenaga. Maka diiringi
deru angin puting beliung
ciptaan Danyangsuli, terdengar jeritan Sasak Padempuan yang keras parau.
Satwa-satwa yang berada di puncak Bukit Silambar terkejut. Mereka lari lintang
pukang seakan merasakan badan bukit hendak meledak.
"Jahanam kauuuu, Danyangsuli...!" jerit Sasak
Padempuan saat tubuhnya hampir terbanting jatuh di
atas lempengan batu besar.
Mengetahui nyawanya yang tak mungkin tertolong lagi, Sasak Padempuan memejamkan
matanya rapat-rapat. Tapi saat pandangannya tertutup kegelapan,
mendadak dia merasakan tubuhnya amat ringan, dan
memang terasa amat ringan. Gemuruh suara putaran
angin puting beliung tak terdengar lagi. Berarti, kekuatan angin itu telah
lenyap pula! Namun demikian, Sasak Padempuan belum berani membuka kelopak matanya. Satu
tarikan napas, dua tarikan napas..., dia menunggu. Tiga tarikan...,
bahkan sampai tarikan napas ketujuh dia terus menunggu dengan hati berdebar-
debar tak karuan. Tapi..., tubuhnya tak juga jatuh di atas lempengan batu!
Merasakan keganjilan itu, tanpa pikir panjang
Sasak Padempuan membuka kelopak matanya. Dan...,
terkejutlah dia melihat tubuhnya sendiri yang tengah
mengambang di udara!
"Astaga!" seru si pemuda, menyimpan rasa girang di hati.
Bola mata pemuda berkulit sawo matang itu
langsung berbinar. Perlahan, dia merasakan tubuhnya
melayang turun..., lalu mendarat di lempengan batu
tanpa cedera sedikit pun!
"Apa yang terjadi" Apa yang terjadi?" seru si
pemuda lagi, memutar pandangan ke sana-sini.
Beberapa kali ditariknya napas panjang. Dengan penuh perasaan lega, dia meloncat
turun dari lempengan batu tempat tubuhnya mendarat.
Tak lama kemudian, pemuda itu tampak duduk
terpuruk memikirkan peristiwa yang baru dialaminya.
"Dua kali aku mengalami peristiwa aneh ini...,"
desis Sasak Padempuan. "Pertama, ketika para sesepuh suku membuang tubuhku dari
perkampungan Suku Asantar. Tubuhku melayang lalu mendarat di
lempengan batu itu juga. Aku tak mendapat cedera
apa-apa. Dan kini..., hal itu terulang lagi. Untung kali
ini pun aku tak mati karena ulah Danyangsuli. Apakah
lempengan batu itu mengandung kekuatan gaib yang
dapat menyelamatkan jiwaku?"
"Benar!"
Terdengar suara menyahuti ucapan Sasak Padempuan.
Tentu saja Sasak Padempuan terkejut. Ketika
menoleh ke belakang, ternyata tak jauh darinya telah
berdiri seorang wanita cantik berpakaian merah gemerlap. Wanita berkulit kuning
langsat dan bertubuh amat
menggiurkan itu berdiri sambil menyungging senyum
manis di bibir. Dia Danyangsuli!
"Benar dugaanmu, Padempuan...," ujar Danyangsuli, menyambung ucapannya tadi.
"Lempengan
batu itu memang telah kuisi kekuatan gaib. Kekuatan
itulah yang membuat tubuhmu dapat mendarat tanpa
mendapat cedera."
"Jahanam kau, Danyangsuli!" bentak Sasak
Padempuan, tak percaya pada ucapan si wanita. "Jangan membual! Kau baru saja
berniat membunuhku.
Siapa yang mau percaya pada ucapanmu?"
"Kau tak percaya" Boleh! Tapi sesungguhnya,
tanpa pertolonganku, mana mungkin kau bisa menghirup udara segar dalam keadaan
segar-bugar seperti
ini?" Terdiam Sasak Padempuan. "Pada Pengadilan
Agung, para sesepuh suku sebenarnya hendak membuangmu ke Teluk Balisang. Aku
tahu rencana mereka
sebelum dilangsungkannya Pengadilan Agung. Oleh
karenanya, aku mengisi kekuatan gaib ke salah satu
lempengan batu di puncak bukit ini. Dan, kekuatan
gaib itu telah menahan luncuran tubuhmu manakala
tubuhmu terbuang oleh kekuatan ilmu sihir mereka,"
jelas Danyangsuli.
Tetap terdiam Sasak Padempuan. Mendengar
ucapan Danyangsuli yang kini tampak penuh kesungguhan, hatinya mulai percaya
bila wanita itu memang
tak bermaksud buruk kepadanya.
"Andai tubuhmu benar-benar mendarat di Teluk Balisang, paling tidak tulang
lengan atau kakimu
ada yang patah. Kalau memang umurmu masih ditakdirkan lebih panjang. Kalau
tidak, yah hanya kematian
yang akan kau terima...," lanjut Danyangsuli.
"Lalu, kenapa di tepi Sungai Simandau tadi sikapmu begitu ketus dan tampak ingin
membunuhku?"
tanya Sasak Padempuan, masih berusaha menyelidik.
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Danyangsuli.
"Apa kau lupa bila aku adalah Ratu Sihir Tercantik"
Begitulah caraku bercanda dengan seorang pemuda
yang menjadi tambatan hati! Ha ha ha...!"
"Huh! Keterlaluan kau, Suli!" sentak Sasak Padempuan, tapi jelas bila dalam hati
dia tersenyum senang.
"Sekarang sudah siapkah kau, Padempuan?"
tanya Danyangsuli kemudian.
puan. "Siap apanya?" balik bertanya Sasak Padem-
"Bukankah kau menginginkan aku mengembalikan kekuatan ilmu sihirmu?"
"Oh! Betul! Aku siap! Siap sekali!"
"Hmmm.... Yah! Ketahuilah, para sesepuh suku
menyimpan kekuatan ilmu sihirmu di dalam sebuah
batu yang berada di muara Sungai Simandau."
"Aku harus mengambilnya dulu?"
Menggeleng Danyangsuli. "Tak perlu," katanya
seraya mengeluarkan sebutir batu berwarna kuning,
besarnya tak lebih dari biji kelereng. "Di sinilah kekuatan ilmu sihirmu
tersimpan. Begitu Pengadilan Agung
selesai, aku langsung mengambilnya."
"Terima kasih. Terima kasih, Suli. Kau baik sekali...," desis Sasak Padempuan.
*** 4 "SANGKUK...," sebut Bancakluka yang tengah
berbincang-bincang dengan Bancakdulina di serambi
depan rumahnya, "Aku benar-benar tak mengerti...,
ada maksud dan tujuan apa di balik peristiwa yang baru terjadi ini" Silasati
hilang bersama Seno Prasetyo.
Sadeng Sabantar pun demikian. Apakah ada kemungkinan bila mereka berada di satu
tempat" Mungkinkah
mereka tengah bersembunyi karena ada orang yang
bermaksud jahat?"
Bancakdulina menatap lekat wajah putra tunggalnya itu. Sebagai seorang ayah,
Bancakdulina dapat
merasakan adanya kesedihan dan rasa kehilangan di
balik ucapan Bancakluka. Tapi mau apa lagi" Telah dia
kerahkan hampir seluruh warga suku untuk mencari
Silasati. Seno Prasetyo, dan Sadeng Sabantar yang tiba-tiba lenyap, namun daya
upayanya itu tak membuahkan hasil apa-apa. Silasati, Seno Prasetyo, dan Sadeng
Sabantar tetap tak dapat ditemukan. Mereka lenyap bagai tertelan bumi!
"Sangkuk...," sebut Bancakluka lagi. "Apakah
Sangkuk punya gagasan lain untuk dapat menemukan
mereka" Kalau benar mereka bersembunyi karena
menghindari kejaran orang jahat, kita harus mengerahkan warga suku kita lagi,
Sangkuk. Kita harus menemukan mereka terlebih dulu. Kalau orang jahat itu
keburu menemukan mereka, mereka akan celaka...."
"Belum tentu...," sergap Bancakdulina. "Kalau
Silasati dan Sadeng Sabantar bersembunyi di satu
tempat, mungkin benar. Karena kemungkinan besar,
mereka saling mencinta dan tak mau melihat tali pertunanganmu dengan Silasati
memutuskan tali cinta
mereka itu...."
"Apa yang Sangkuk katakan memang masuk di
akal. Tapi, bagaimana dengan Seno Prasetyo" Kenapa
dia turut menghilang" Apakah memang ada orang jahat yang tidak suka melihat
kehadirannya di Perkampungan Suku Asantar ini" Dan, bermaksud mencelakakan
pemuda itu?"
"Begitulah kira-kira. Menurut dugaanku, entah
didahului dengan peristiwa apa, Sadeng Sabantar dijadikan semacam sandera oleh
seseorang yang punya
maksud tak baik terhadap Seno Prasetyo. Silasati yang
amat mencintai Sadeng Sabantar dipaksa untuk membawa Seno Prasetyo keluar dari
rumah ini. Lalu setelah
Seno Prasetyo jatuh ke tangan orang jahat itu, Silasati
dan Sadeng Sabantar menjadi amat ketakutan karena
merasa bersalah telah menjerumuskan seorang tamu
terhormat macam Seno Prasetyo. Dan, karena rasa
bersalah itulah mereka tak berani menampakkan diri
di Perkampungan Suku Asantar ini. Yang merasa ketakutan itu terutama Silasati.
Kalau dia muncul, bukankah kau bisa mengorek keterangan dan memaksanya untuk
bicara" Bukankah kau yang menjadi saksi perbuatan Silasati yang membawa pergi
Seno Prasetyo?"
"Ya! Ya, aku bisa memahami jalan pikiran
Sangkuk," sahut Bancakluka. "Tapi bagaimanapun, kita tetap harus dapat menemukan
mereka bertiga. Kalau Silasati dan Sadeng Sabantar yang kita temukan
terlebih dulu, kita bisa mengorek keterangan dari mereka. Aku khawatir akan
terjadi apa-apa terhadap Seno Prasetyo. Walau punya ilmu kesaktian tinggi, dia
teramat lugu sehingga amat mudah ditipu dan dikelabui
orang. Apalagi, dia sama sekali tak mengerti ilmu sihir.
Bagi seorang ahli sihir, amatlah mudah untuk menjatuhkan pemuda itu ke dalam
jurang marabahaya...."
Terdiam sejenak Bancakdulina. Setelah berpikir-pikir, akhirnya dia mengambil
keputusan, "Kita
minta bantuan para sesepuh. Jika mereka menggabungkan kekuatan ilmu sihir, aku
yakin Seno Prasetyo
dan Silasati beserta Sadeng Sabantar akan dapat ditemukan."
"Aku setuju dengan gagasan Sangkuk itu,"
sambut Bancakluka. "Tapi..., ada sesuatu yang harus
kutanyakan kepada Sangkuk...."
"Katakanlah...."
Menarik napas panjang Bancakluka. Lalu katanya, "Kemarin setelah selesainya
Pengadilan Agung,
Sangkuk mengumumkan bahwa upacara pengangkatan baulau yang baru dimajukan.
Kenapa harus begi-
tu" Aku merasa belum siap, Sangkuk. Bukankah
Sangkuk tahu kalau ilmu sihir ku masih teramat rendah" Aku khawatir ada pemuda
lain yang menantangku mengadu ilmu Sihir..."


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kekhawatiranmu sama sekali tak beralasan,
Anakku...," sergap Bancakdulina dengan suara lembut.
"Segala sesuatunya telah kupertimbangkan dengan
masak. Aku telah memikirkan untung dan ruginya...."
"Maksud Sangkuk?" buru Bancakluka.
"Selama menduduki jabatan sebagai baulau,
aku telah membuka mata lebar-lebar. Ilmu sihir keluarga kita menduduki urutan
keempat. Urutan pertama diduduki oleh para sesepuh, yang memang tak
perlu kita ragukan lagi kemampuan mereka. Urutan
kedua diduduki oleh para ksatria. Namun sejak beberapa tahun yang lalu, para
ksatria telah disumpah
bahwa mereka tak boleh mencalonkan diri sebagai
baulau. Tugas mereka hanya melindungi keamanan
dan ketenteraman Suku Asantar dari serangan atau
gangguan suku lain. Jadi, mereka bukan saingan. Kau
pasti tahu hal itu, Anakku. Boleh dibilang, akulah ksatria terakhir Suku Asantar
yang bisa menduduki jabatan sebagai baulau...."
"Ya. Aku tahu. Sebelum Sangkuk menjadi baulau, Sangkuk adalah seorang ksatria.
Lalu, urutan yang ketiga diduduki oleh siapa, Sangkuk?"
"Keturunan Umpak Padempuan."
"Ah! Dengan lenyapnya kekuatan ilmu sihir Sasak Padempuan, bukankah tak ada lagi
keturunan Umpak Padempuan yang memiliki ilmu sihir hebat?"
"Mungkin kau benar. Keturunan Umpak Padempuan hanya tinggal Sasak Padempuan.
Dan, pemuda itu pun sudah disambut kekuatan ilmu sihirnya
oleh para sesepuh suku. Tapi..., aku punya firasat
kuat. Kekuatan ilmu sihir Sasak Padempuan memang
telah dimasukkan ke sebutir batu yang berada di dasar
Sungai Simandau. Tapi, firasatku mengatakan bila Sasak Padempuan akan dapat
mengambil kembali kekuatan ilmu sihirnya. Oleh karena itu, sebelum Sasak
Padempuan mendapatkan kembali kekuatan ilmu sihirnya, kau harus menjadi baulau
terlebih dulu, Anakku. Maka, terpaksa aku memajukan diri upacara
pengangkatanmu."
Mengangguk-angguk Bancakluka.
Pemuda tampan berumur dua puluh lima tahun itu dapat memahami tindakan ayahnya.
Tapi, masih ada satu hal yang menjadi beban pikirannya. Kalau
nanti dirinya benar-benar dapat diangkat menjadi baulau atau kepala suku, siapa
yang akan mendampinginya" Siapa itu calon istrinya" Sementara, saat sekarang ini
Bancakdulina ayahnya masih berkeras untuk
menjodohkan dirinya dengan Silasati. Padahal....
"Kenapa diam saja?" tegur Bancakdulina tibatiba.
Bancakluka sempat menggerigap kaget. Tersadar dari lamunannya.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Ya! Ya, tunggu apa lagi" Kita temui para
sesepuh suku sekarang.
Jangan khawatir. Calon Istrimu itu akan dapat kita
temukan...."
Walau tebakan Bancakdulina kurang tepat,
Bancakluka bangkit dari tempat duduknya untuk segera keluar rumah. Soal siapa
yang akan menjadi istrinya bisa dipikirkan nanti. Yang lebih penting, Seno
Prasetyo dan Silasati beserta Sadeng Sabantar harus
ditemukan secepatnya!
*** Siang itu sinar mentari menyiram garang. Namun demikian, Sasak Padempuan dan
Danyangsuli tak peduli pada sengatan panasnya yang terasa membakar. Mereka sama-sama dalam
sikap semadi, saling
berhadapan dengan jarak sekitar tiga tombak. Sementara, di hadapan Danyangsuli
tergeletak sebutir batu
kecil berwarna kuning.
Ya! Danyangsuli memang tengah berusaha
mengembalikan kekuatan ilmu sihir Sasak Padempuan. Kekuatan ilmu sihir yang
tersimpan di batu kali,
yang tergeletak di hadapan Danyangsuli itu, hendak
dimasukkan kembali ke tubuh si pemuda. Dan tampaknya, keinginan Sasak Padempuan
akan segera membuahkan hasil manakala....
Danyangsuli membuka kelopak matanya seraya
mendekatkan cincin 'Permata Kelelawar Dewa' ke batu
kuning yang berada di atas selembar daun waru.
"Dengan kekuatan cincin 'Permata Kelelawar
Dewa', daya gaib Sasak Padempuan yang tersimpan di
dalam batu ini akan kembali ke asalnya. Hom Asantarnas hawarnas... samlas...!"
seru wanita berpakaian
merah gemerlap itu.
Mendadak, batu kuning di hadapan Danyangsuli memancarkan sinar merah amat
menyilaukan. Pancaran sinar itu semakin lama semakin menebal besar, lalu lepas dari batu
kuning dan membentuk gumpalan besar.
Wesss...! "Wuahhh...!"
Memekik kesakitan Sasak Padempuan. Sinar
merah yang menerpa tubuhnya terasa amat panas luar
biasa. Kontan bola mata si pemuda melotot besar dengan tubuh bercucuran
keringat. "Cepatlah! Cepatlah, Suli! Aku tak tahan...!" se-
ru Sasak Padempuan, menahan rasa sakit yang benarbenar merejam sekujur tubuhnya.
Danyangsuli menarik napas panjang dua kali.
Sedikit terkejut wanita cantik itu melihat Sasak Padempuan yang melonjak-lonjak
kepanasan. Maka tanpa pikir panjang lagi, dia sorongkan cincin 'Permata
Kelelawar Dewa' ke arah pemuda itu seraya berseru....
"Daya gaib cincin 'Permata Kelelawar Dewa'
pasti sanggup mengalahkan gabungan kekuatan sihir
para sesepuh Suku Asantar. Saat ini juga kekuatan sihir Sasak Padempuan kembali
ke tubuh pemiliknya.
Hom asantarnas hawarnas... samlas...!"
Kejadian lebih aneh segera terlihat. Gumpalan
sinar merah yang menyelubungi tubuh Sasak Padempuan tiba-tiba terpental tinggi
ke udara. Saat masih
melayang, gumpalan sinar itu berubah bentuk menjadi
kerucut. Lalu..., bagian ujungnya yang lancip melesat
cepat sekali. Masuk ke tubuh Sasak Padempuan melalui ubun-ubun!
Cusss...! "Wuahhh...!"
Memekik parau lagi Sasak Padempuan.
Gumpalan sinar merah berbentuk kerucut masuk perlahan ke tubuh Sasak Padempuan.
Pada waktu masuk itulah Sasak Padempuan merasakan siksaan
yang amat menyakitkan. Sekuat tenaga dia berusaha
menahan rasa sakit itu. Karena kalau dia tak tahan
dan sampai jatuh pingsan, maka sia-sialah usaha Danyangsuli yang hendak
mengembalikan kekuatan ilmu
sihirnya. "Tahan, Padempuan! Sedikit lagi! Sedikit lagi!"
seru Danyangsuli, tetap menyorongkan cincin mustikanya ke arah Sasak Padempuan.
Tak ada yang dapat dilakukan Sasak Padem-
puan kecuali menjerit-jerit dan melonjak-lonjak bagai
orang kesurupan. Namun tak lama kemudian, gumpalan sinar merah lenyap. Masuk
semuanya ke tubuh
Sasak Padempuan. Dan, Sasak Padempuan pun tak
lagi tersiksa oleh rasa sakit. Rasa sakit yang semula
merejamnya kini lenyap tanpa sisa. Bahkan, tubuhnya
malah terasa amat ringan dan segar bugar!
Angin yang berhembus di kala mentari bersinar
panas adalah anugerah yang tiada taranya. Sasak Padempuan menikmati benar
hembusan angin itu. Keringat yang membanjiri tubuhnya lenyap perlahan.
Berkali-kali dia menarik napas lega. Rasa puas dan
gembira terpancar jelas di sorot matanya.
"Danyangsuli..., kau baik sekali...," ucap pemuda berambut ikal panjang itu.
Danyangsuli tak menjawab.
"Kau baik sekali, Suli. Katakan dengan apa aku
harus membalas budimu...," ucap Sasak Padempuan
lagi. "Hmmm.... Kau tampak begitu yakin kalau kekuatan ilmu sihirmu telah kau dapatkan
kembali. Tidakkah kau ingin mencobanya dulu...?"
"Oh! Ya! Ya! Aku memang perlu mencobanya!"
sahut Sasak Padempuan.
Dengan bola mata tetap berbinar, Sasak Padempuan mengarahkan pandangan ke lereng
bukit. Dia julurkan kedua tangannya seraya berkata....
"Aku ingin melihat kekuatan mana yang menang apabila sebatang pohon dan
sebongkah batu diadu. Hom asantarnas paranas... ramsas...!"
Di ujung kalimat pemuda berpakaian hitamhitam itu, sebongkah batu sebesar kerbau
yang tergeletak di lereng bukit tampak terangkat ke udara. Batu
gunung yang cukup keras itu lalu melesat dan mem-
bentur sebatang pohon bergaris tengah satu depa!
Wusss...! Blarrr...! Diiringi ledakan keras, batang pohon pecan
berkeping-keping. Pecahannya berhamburan ke berbagai penjuru. Sementara, daun-
daunnya pun turut menebar bagai siraman hujan. Dan, bongkah batu yang
menerpanya terlontar balik. Saat masih melayang di
udara, batu itu retak lalu pecah berkeping-keping pula!
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sasak Padempuan. "Kekuatan ilmu sihir ku telah
kembali! Ha ha ha...! Terima kasih! Terima kasih, Suli! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak, mendadak pemuda
bertubuh kekar itu berkelebat menerkam Danyangsuli.
Terkaman si pemuda amat cepat luar biasa, sehingga
Danyangsuli tak sempat menghindar.
"Uh! Apa yang hendak kau lakukan, Padempuan"!" tegur Danyangsuli, merasakan
tubuhnya terguling-gulling dalam dekapan Sasak Padempuan.
"Sebagai ucapan terima kasihku, aku ingin
memberikan kemesraan, Suli...," sahut si pemuda seraya melumat bibir
Danyangsuli. Danyangsuli pun menggelinjang manakala jemari tangan Sasak Padempuan bergerak
nakal di bagian tubuhnya yang terlarang. Sejenak, Danyangsuli
menikmati perlakuan Sasak Padempuan itu. Tapi setelah ingat sosok Pendekar
Bodoh, mendadak Danyangsuli menepis dekapan Sasak Padempuan.
"Hentikan, Padempuan!" bentaknya seraya
mendorong sekuat tenaga.
"Ekh...!"
Hampir saja tubuh Sasak Padempuan terlontar
ke kaki bukit. Tapi dengan mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya, dia bersalto
beberapa kali di udara. Se-
telah menjejak ranting pohon, dia melentingkan tubuhnya ke hadapan Danyangsuli.
"Kenapa... kenapa kau menolak, Suli...?" tanya
si pemuda, penuh rasa heran.
Memang, biasanya Danyangsuli amat suka bila
diajak bercinta oleh Sasak Padempuan. Danyangsuli
biasa bersikap seperti kuda binal yang tak pernah
mengenal kata puas. Tapi kali ini" Kenapa dia menolak
ajakan untuk bercinta" Begitulah pertanyaan yang ada
di benak Sasak Padempuan.
"Aku harus menyimpan tenagaku untuk kugunakan nanti malam, Padempuan...," ujar
Danyangsuli, pelan. "Menyimpan tenaga" Untuk nanti malam" Apa
maksudmu?" bertambah heran Sasak Padempuan.
"Kau tahu pemuda asing bernama Seno Prasetyo, bukan?"
Tak menyahuti Sasak Padempuan. Hanya tatapan matanya yang terus menyelidik dan
meminta penjelasan.
"Pemuda itu memiliki inti kekuatan tubuh yang
amat hebat. Aku hendak menghisapnya!" lanjut Danyangsuli.
"Lewat hubungan badan?"
"Tentu saja!"
"Uh!" dengus Sasak Padempuan, cemburu.
"Jangan khawatir, Padempuan. Aku tetap menjadi milikmu, dan akan tetap menjadi
milikmu! Selamanya! Setelah aku dapat menguras seluruh inti kekuatan tubuhnya,
pemuda itu akan kubunuh!"
"Benarkah itu?"
"Mana pernah aku menipumu?"
"Baik, aku percaya. Tapi, aku ingin melihat dulu di mana pemuda itu sekarang."
"Dia kusekap di sebuah gua. Dia tak akan dapat meloloskan diri karena telah ku
kurung pula dengan 'Benteng Sihir Mengurung'. Jika kau ingin melihatnya, ikutlah
aku.... " Cepat Sasak Padempuan mengerahkan ilmu lari cepatnya ketika melihat Danyangsuli
berkelebat menuruni bukit....
*** 5 ITULAH dia!" tunjuk Danyangsuli ke arah Pendekar Bodoh yang tengah duduk
termenung. Melalui lorong gua, berjarak sekitar dua puluh
tombak dari hadapan Pendekar Bodoh yang berada dalam 'Benteng Sihir Mengurung',
Sasak Padempuan
menatap tak berkedip. Sesaat, hawa amarah bercampur dendam menggeluti hati
sanubarinya. Tempo hari,
karena ulah Pendekar Bodoh-lah Sasak Padempuan
mendapat celaka. Pendekar Bodoh-lah penyebab dirinya sampai bisa dihadapkan ke
Pengadilan Agung,
yang berakibat kekuatan ilmu sihirnya dilenyapkan
oleh para sesepuh suku.
Tapi setelah tahu bila Pendekar Bodoh tak dapat berbuat apa-apa, bahkan melihat
kehadirannya bersama Danyangsuli pun tak mampu, hawa amarah
dan dendam dalam diri Sasak Padempuan bisa terkikis
dan terlupakan beberapa waktu. Pada saatnya nanti,
Pendekar Bodoh akan tetap mati di tangannya! Begitulah isi hati Sasak Padempuan.
Pandangan Seno memang tertutup oleh tabib
gaib yang diciptakan Danyangsuli. Di sekitarnya, dia
hanya dapat melihat dinding-dinding gua dan bayangbayang putih yang seperti
telah membutakan matanya.
Sehingga, dia tak dapat melihat kedatangan Sasak Padempuan bersama Danyangsuli.
"Walau tampan, wajah pemuda itu seperti
orang berotak udang...," kata hati Sasak Padempuan.
"Jauh-jauh dia datang dari tanah Jawa kiranya hanya
untuk menemui kematian. Hmmm.... Tunggu saja,
Pemuda Dungu! Setelah kuselesaikan urusanku dengan Danyangsuli, hari kematianmu
akan segera datang!"
Bosan melihat sosok Pendekar Bodoh yang terus diam termenung, Sasak Padempuan
mengalihkan pandangannya ke wajah cantik Danyangsuli. Lalu dengan suara berat, dia
bertanya.... "Benarkah kau akan membunuh pemuda itu,
Suli?" "Ya! Tentu saja setelah aku menghisap habis inti kekuatan tubuhnya," jawab
Danyangsuli, tegas.
"Untuk menghisap inti kekuatan tubuh pemuda
itu, tidak adakah cara lain selain dengan berhubungan


Pendekar Bodoh 10 Raja Alam Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badan?" "Kenapa" Kau tidak suka?"
"Tentu saja! Mana ada lelaki rela membagi tubuh kekasihnya dengan lelaki lain?"
"Jangan khawatir, Padempuan.... Setelah semua berjalan sesuai rencanaku,
bukankah aku akan
tetap menjadi milikmu" Kecemburuanmu tidak pada
tempatnya. Aku hanya ingin menghisap inti kekuatan
tubuh pemuda itu! Bukan untuk bercinta dengannya!
Walau kuakui dia seorang pemuda gagah yang amat
menarik...."
"Baik! Aku percaya! Tapi..., satu permintaanku.
Sebelum kau mewujudkan keinginanmu itu, layani
aku dulu!"
"Ah! Jangan begitu, Padempuan! Bukan aku
tak mau, tapi... sudah kukatakan tadi bila aku harus
menyimpan tenaga...."
"Kau hanya mengada-ada saja! Kalau kau melakukan hal yang kuinginkan itu
denganku sekarang,
apakah tenagamu akan banyak yang hilang" Kalau
bercinta, kau memang amat ganas dan liar. Tapi, tenagamu akan cepat pulih.
Percayalah...."
Terdiam Danyangsuli. Meragu hatinya tiba-tiba.
Dia tak mau membuat kecewa Sasak Padempuan, tapi
dia juga tak mau rencananya untuk menghisap intikekuatan tubuh Pendekar Bodoh akan menemui hambatan.
Selagi wanita bertubuh sintal montok itu berpikir dan menimbang, cepat sekali
Sasak Padempuan
merengkuh bahunya. Hanya dengan satu sentakan kecil, tubuh Danyangsuli telah
terbaring telentang di lantai gua yang dingin.
"Kau... kau.... Uh! Emmm...."
Danyangsuli hendak mengucapkan sesuatu,
tapi bibirnya keburu dilumat oleh Sasak Padempuan.
Tak kuasa pula Danyangsuli menepis pelukan si pemuda yang mengerahkan seluruh
tenaganya. Dan...,
pasrah sudah Danyangsuli manakala Sasak Padempuan menjadikan tubuhnya sebagai
alat pemuas hasratnya....
Seno Prasetyo yang berada di dalam 'Benteng
Sihir Mengurung' tampak mengerutkan kening. Dia tak
melihat apa-apa di sekitar gua, tapi telinganya menangkap dengus napas memburu.
Dengus napas itu
dibarengi suara rintihan seorang wanita....
"Kurang ajar!" geram Seno. "Pasti wanita jahat
itu tengah melakukan hal tak senonoh di dalam gua
ini! Tak tahu malu! Benar-benar tak tahu malu!"
Mendengar suara rintihan Danyangsuli, Seno
tak dapat menahan rasa jengkel. Berkali-kali dia memaki dan mengumpat. Perutnya
yang sebenarnya sudah minta diisi menjadi amat mual. Tapi..., tak ada
yang dapat dilakukan murid Dewa Dungu itu kecuali
menutup lubang telinganya rapat-rapat.
*** Dengan peluh bercucuran, tubuh Danyangsuli
tergolek lemas di lantai gua. Sedikit malas dia rapikan
lagi letak pakaiannya. Sementara, Sasak Padempuan
yang telah mengenakan kembali pakaiannya langsung
berdiri berkacak pinggang. Tatapannya pada Danyangsuli berubah sinis dan
terlihat amat menghina.
"Tidakkah kau sadar bila satu peristiwa besar
telah terjadi padamu, Suli?" ujar si pemuda.
Perlahan, Danyangsuli beringsut duduk. Dibalasnya tatapan Sasak Padempuan dengan
segudang tanda tanya di hati.
"Jawab pertanyaanku, Suli! Tidakkah kau sadar bila satu peristiwa besar telah
terjadi padamu?"
ulang Sasak Padampuan.
"Peristiwa apa?" selidik Danyangsuli. "Kenapa
sikapmu berubah begini aneh, Padempuan" Baru saja
aku menuruti kemauanmu, apakah kau hendak balas
kebaikanku ini dengan sikap anehmu itu"!"
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Sasak Padempuan. "Belum pernah aku berjumpa
dengan orang tolol
sepertimu, Suli!! Kematianmu sudah di pelupuk mata,
kenapa kau sama sekali tak menyadarinya?"
"Apa maksudmu, Padempuan"!" sentak Danyangsuli. Bangkit berdiri dan menatap
wajah Sasak Padempuan lekat-lekat.
"Masih ingatkah kau, Suli" Ketika pertama kali
aku mengenalmu, aku mengatakan bahwa dalam benakku ini tersimpan cita-cita
besar" Masih ingatkah
pula kau bila untuk mewujudkan cita-citaku, aku
akan melakukan segala cara?"
"Jangan bicara terbelit-belit, Padempuan!" bentak Danyangsuli, amat penasaran
dan mulai menaruh
curiga. "Kau telah mengembalikan kekuatan ilmu sihirku, tentu saja aku menyampaikan
banyak terima kasih. Tapi kurasa, dengan kemampuan ilmu sihir ku
yang sekarang ini, aku masih belum seberapa yakin
untuk dapat mengalahkan ilmu sihir para sesepuh dan
ksatria suku. Oleh karenanya, aku butuh satu sumber
kekuatan lagi. Dan..., itu bisa kudapatkan dari cincin
'Permata Kelelawar Dewa'!"
"Apa" Kau hendak merebut cincin mustikaku?"
kejut Danyangsuli.
"Ha ha ha...!" tertawa lagi Sasak Padempuan.
"Aku bukan hendak merebut cincin mustikamu, Suli.
Bukan hendak! Tapi sudah! Cincin mustikamu sudah
berada di tanganku! Ha ha ha...!"
Kaget tiada terkira Danyangsuli. Apalagi, setelah dia melihat jari tengah tangan
kanannya. Cincin
'Permata Kelelawar Dewa' ternyata memang sudah tak
berada di tempatnya lagi!
"Jahanam kau, Padempuan!" hardik wanita
berparas cantik menawan Ku. "Kau memaksaku berhubungan kiranya hanya untuk
mengelabui aku! Setan alas kau, Padempuan! Kembalikan cincin mustikaku! Kalau
tidak, ingin kulihat sampai di mana kau
punya ketebalan kulit, sampai di mana pula kau
punya kekerasan tulang!"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan,
mengacungkan cincin 'Permata Kelelawar Dewa' yang
telah berada di jari tengah tangan kanannya. "Karena
kau beberapa kali telah berbuat baik kepadaku, tak
keberatan aku memberimu kesempatan untuk merebut kembali cincin mustikamu, Suli.
Tapi jika gagal...,
kuharap kau tidak menyesal bila terjadi apa-apa padamu...."
"Haram Jadah! Mati saja kau, Padempuan!"
Sambil berseru demikian, Danyangsuli meloncat sebat. Telapak tangan kanannya
yang telah berubah warna menjadi merah membara berkelebat ganas
untuk segera membuat remuk kepala Sasak Padempuan!
Terdorong hawa amarah yang menyesakkan
dada, lupa sudah Danyangsuli pada rasa cinta kasihnya terhadap Sasak Padempuan.
Yang ada dalam benaknya hanyalah keinginan untuk mendapatkan kembali cincin
'Permata Kelelawar Dewa'. Bila perlu, Sasak
Padempuan memang harus dibunuh!
Wesss...! "Hiahhh...!"
Melihat serangan Danyangsuli yang amat berbahaya, menggembor keras Sasak
Padempuan. Dia tahu benar, ilmu pukulan apa yang tengah diterapkan
oleh Danyangsuli. Oleh karenanya, cepat dia lentingkan tubuhnya ke samping
kanan. Dia tak boleh berdekatan dengan telapak tangan Danyangsuli yang
menebarkan hawa amat panas, apalagi bersentuhan!
Namun karena Danyangsuli terus memburunya
dengan penuh nafsu membunuh, tanpa pikir panjang
Sasak Padempuan mengeluarkan ilmu pukulannya
yang terhebat. Maka di saat tubuh si pemuda melayang di udara dan hampir
menyentuh langit-langit
gua, timbul sinar biru berkeredapan. Sinar biru itu
memancar dari pergelangan tangan kanan Sasak Padempuan!
"Hendak kulihat apakah pukulan 'Kelabang Panas'-mu dapat menahan pukulan 'Racun
Ular Hijau'ku, Suli"! Terimalah ini! Hiahhh...!"
Sambil menggembor keras, Sasak Padempuan
melentingkan tubuhnya ke arah Danyangsuli. Bau busuk yang amat menyengat hidung
menebar ke manamana. Danyangsuli sadar bila hawa beracun tengah
menyerbu ke arahnya. Maka, cepat dia hentakkan telapak tangan kanannya yang
dilambari ilmu pukulan
'Kelabang Panas' ke depan. Maksudnya adalah untuk
membuat serangkum angin pukulan yang bisa menghalau hawa beracun yang menebar
dari penerapan ilmu pukulan 'Racun Ular Hijau' Sasak Padempuan!
Namun.... bersamaan dengan itu Sasak Padempuan menghentakkan pula telapak tangan
kanannya ke depan. Hingga tak dapat dicegah lagi, dua ilmu pukulan tingkat tinggi
bentrok! Blammm...! *** Pendekar Bodoh merasakan lantai gua berguncang keras. Karena terkurung oleh
'Benteng Sihir Mengurung', tubuh Pendekar Bodoh terpelanting ke sanasini, hingga
membuatnya jatuh bergulingan.
Cepat dia keluarkan ilmu kebal 'Perisai Dewa
Badai' untuk melindungi tubuhnya dari akibat benturan yang bisa mendatangkan
luka dalam. Untung pula,
guncangan itu tidak berlangsung lama. Langit-langit
gua dan dinding-dindingnya tidak sampai runtuh.
"Hmmm.... Aku tak dapat melihat apa-apa, tapi
aku tahu kalau di dekat tempatku terkurung ini tengah terjadi pertempuran
seru...," kata hati Pendekar
Bodoh. "Aneh-aneh saja! Tadi aku mendengar suara
orang berlaku tak senonoh, sekarang aku mendengar
suara pertempuran. Mungkinkah yang sedang bertempur itu Danyangsuli pula" Dan,
lawannya adalah seseorang yang hendak menolongku" Bancakluka" Bancakdulina?"
Pendekar Bodoh duduk merenung. Tak hendak
dia berbuat apa-apa. Telah dicobanya berkali-kali menjebol 'Benteng Sihir
Pendekar Aneh Naga Langit 38 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Anak Harimau 9
^