Pencarian

Ratu Perut Bumi 2

Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi Bagian 2


akan dijemput maut dengan tubuh lebam-lebam dan paru-paru pecah!
Oleh karena itu, Pendekar Bodoh tak mau
sungkan-sungkan lagi. Tongkat Dewa Badai yang
punya khasiat memusnahkan segala jenis racun dikibaskan ke depan!
Wesss...! Kibasan Tongkat Dewa Badai walau tak disertai
aliran tenaga dalam sudah cukup mampu untuk menimbulkan serangkum angin pukulan
dahsyat, apalagi
Pendekar Bodoh mengaliri senjatanya itu dengan seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Maka, akibatnya
sungguh tak pernah disangka oleh Setan Selaksa Wajah. Demikian pula dengan Ratu
Perut Bumi yang
mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Bodoh.
Gelombang angin pukulan yang luar biasa dahsyat tiba-tiba meluruk deras tanpa
dapat dibendung
lagi. Tiupan angin bercampur racun yang keluar dari
mulut Setan Selaksa Wajah kontan lenyap tanpa bekas. Lalu, terdengar suara
berdebuk keras. Tubuh
sang katak raksasa Adiguna yang sebesar gajah terlontar jauh, kemudian jatuh
berdebam dan tak bangunbangun lagi. Satwa tunggangan Setan Selaksa Wajah
itu mati dengan dada jebol, tembus sampai ke punggung!
Sementara, Setan Selaksa Wajah berhasil menyelamatkan diri dengan meloncat turun
dari leher Adiguna. Namun, begitu murid murtad Dewa Dungu
itu menginjakkan kakinya di tanah, Pendekar Bodoh
telah berdiri tegak di hadapannya dengan Tongkat Dewa Badai ditudingkan.
"Mahisa Lodra...," sebut pemuda lugu itu. "Aku
sebenarnya mengemban tugas dari Kakek Dewa Dungu
untuk meminta dua bagian Kitab Sanggalangit yang telah kau curi tiga puluh tahun
silam. Kakek Dewa Dungu pun memberikan kuasa kepadaku untuk menghukum mati
seorang murid murtad macam dirimu. Tapi..., aku masih mau memberi kesempatan
kepadamu untuk bertobat. Serahkan...."
"Ha ha ha...!" Setan Selaksa Wajah memotong
ucapan si pemuda lugu Seno Prasetyo dengan tawa
bergelak. "Soal dua bagian Kitab Sanggalangit, dapatlah kuberi penjelasan
kepadamu bahwa kedua bagian
kitab itu telah ku bakar musnah! Ha ha ha...!"
Setan Selaksa Wajah menutup ucapannya dengan tertawa bergelak lagi. Agaknya,
kakek yang mampu mengubah wajahnya menjadi seorang pemuda itu
benar-benar manusia congkak dan keras kepala. Walau tahu dirinya menderita luka
dalam yang tak bisa
dibilang ringan, dia masih bisa menunjukkan kesombongannya.
Seno pun mendengus gusar. Ada rasa sesal di
hatinya setelah tahu dia bagian Kitab Sanggalangit sudah dibakar musnah oleh
Setan Selaksa Wajah. Tapi,
apakah itu bukan akal licik Setan Selaksa Wajah untuk mempertahankan kitab
curiannya"
Namun, Seno yang amat lugu dan jujur percaya
begitu saja pada ucapan Setan Selaksa Wajah. Usai
mendesah panjang wujud rasa sesalnya, pemuda berparas tampan itu berkata, "Kalau
begitu, cepat serahkan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam
Air' agar aku segera dapat menyelamatkan Kemuning!
Serahkan pula cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'
milik Ratu Perut Bumi!"
"Hmmm.... Begitukah maumu?" sahut Setan
Selaksa Wajah. "Baik! Baiklah aku turuti apa maumu.
Aku memang telah terluka dalam hingga tak mampu
memberikan perlawanan kepadamu...."
Di ujung kalimatnya, Setan Selaksa Wajah memasukkan jemari tangan kanannya ke
balik lipatan bajunya. Tapi tiba-tiba, dia berseru lantang.
"Mati kau!"
Begitu keluar dari balik lipatan baju, jemari
tangan kanan Setan Selaksa Wajah menyentil ke depan. Sebutir batu kecil yang tak
lebih besar dari biji
kelereng melesat sebat. Mengarah ke kepala Seno!
Pendekar Bodoh berseru kaget. Dia tak menyangka sama sekali bila akan diserang
dengan senjata rahasia. Tapi, dia masih sempat mengangkat Tongkat Dewa Badai-nya
untuk melindungi kepala.
Set...! Ting...! Walau gerakan Seno tampak asal-asalan, tapi
gerakan itu merupakan gerak bawah sadar. Selama lima tahu digembleng Dewa Dungu,
tentu saja Seno juga dilatih mempertajam indera keenamnya. Sehingga,
gerakan bawah sadar Seno jadi tepat memukul balik
senjata rahasia Setan Selaksa Wajah.
Dan, Setan Selaksa Wajah pun membelalakkan
mata melihat senjata rahasianya melesat hendak
menghujam ke dadanya sendiri!
"Ih...!"
Susah payah murid murtad Dewa Dungu itu
berkelit. Dia pun dapat bernapas dengan lega karena
terhindar dari bahaya maut. Senjata rahasianya yang
berupa sebutir batu terus melesat ke belakang tubuhnya. Begitu jatuh ke tanah
berpasir, batu kecil itu
langsung meledak dan menebarkan asap beracun berwarna hitam!
"Rupanya, kau benar-benar seorang durjana licik yang patut mati, Mahisa Lodra!"
seru Pendekar Bodoh, naik pitam.
Melihat Seno menatap dengan mata berkilat
penuh nafsu membunuh, Setan Selaksa Wajah tersurut mundur. Pada langkah ketiga,
tiba-tiba dia membalikkan badan seraya mengambil langkah seribu!
"Pengecut! Mana mungkin aku melepaskanmu"!" Menggembor keras si pemuda lugu Seno
Prasetyo. Dikeluarkannya ilmu 'Lesatan Angin Meniup
Dingin' untuk dapat mengejar kelebatan tubuh Setan
Selaksa Wajah yang menggunakan ilmu peringan tubuh bernama 'Angin Pergi Tiada
Berbekas'. Sebenarnya, ilmu peringan tubuh dua anak
manusia yang sama-sama murid Dewa Dungu itu
seimbang. Namun, karena Setan Selaksa Wajah tengah
menderita luka dalam, dia tak dapat mengempos tenaga sekehendak hatinya.
Akibatnya, belum genap berlari dua puluh tombak, dia telah terkejar!
"Berhenti kau!" geram Seno. Jemari tangan kanannya mengepal untuk menggedor
punggung Setan Selaksa Wajah. Bukkk...! "Argh...!"
Memekik kesakitan Setan Selaksa Wajah. Bogem mentah Pendekar Bodoh tepat menerpa
pung- gungnya. Suara berdebum keras terdengar manakala
lelaki berpakaian serba merah itu jatuh tersungkur lalu bergulingan di tanah.
Setan Selaksa Wajah mencoba bangkit. Tapi,
luka dalamnya terlalu parah. Darah segar menyembur
dari mulut dan lubang hidungnya. Dia pun jatuh tersungkur lagi dengan tubuh
lemah tiada daya!
"Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku...!" iba
murid murtad Dewa Dungu itu.
Seno nyengir kuda sejenak. Setelah melakukan
kebiasaannya itu, dia berkata, "Kalau kau tak kubunuh, darah orang-orang yang
tak berdosa akan terus
tumpah. Bersiap-siaplah! Aku akan segera menjalankan amanat Kakek Dewa Dungu
yang telah kau khianati!"
"Jangan...!" seru Setan Selaksa Wajah dengan
suara serak parau. "Jangan bunuh aku! Bukankah
kau menginginkan batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' dan cermin
'Terawang Tempat Lewati
Masa'" Ini...! Ini...!"
Setan Selaksa Wajah memasukkan jemari tangan kanannya ke balik lipatan bajunya.
Kali ini, kakek
berwajah pemuda itu benar-benar mengeluarkan dua
benda mustika yang diinginkan Seno.
"Ini...! ini...! Terimalah...! Tapi, jangan kau bunuh aku...," iba Setan Selaksa
Wajah lagi. Ratu Perut Bumi tampak melesatkan tubuhnya
seraya menyambar dua benda mustika di tangan Setan
Selaksa Wajah. Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'
langsung diselipkannya ke lipatan kain bajunya. Sementara, batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' diamat-amatinya beberapa lama. Batu mustika
yang sebenarnya milik Raja Penyasar Sukma itu berbentuk limas segitiga sama
sisi, besarnya tak lebih be-
sar dari kepalan tangan bocah berumur lima tahun.
"Batu mustika ini asli, Seno," beri tahu Ratu
Perut Bumi, menunjukkan batu mustika berwarna biru terang di tangannya. "Untuk
mengakhiri urusan ini,
terserah kepadamu hendak kau apakah durjana keparat itu...."
"Jangan...! Jangan bunuh aku...!" iba Setan Selaksa Wajah untuk kesekian
kalinya. Saking takutnya,
butiran air mata sampai menetes ke pipinya. Tak tampak lagi sifat angkuh dan
sombong pada dirinya.
Melihat Setan Selaksa Wajah yang duduk mendeprok tanpa daya, Seno cuma cengar-
cengir. Haruskah dia membunuh orang yang sudah tak berdaya"
"Apa lagi yang kau pikirkan, Seno?" tegur Ratu
Perut Bumi. "Lelaki durjana itu memang pantas untuk
mati!" "Ya! Ya.., tapi...," sahut Seno, ragu-ragu. "Aku
tak boleh membunuh orang yang sudah tak berdaya...."
"Hmmm.... Kau memang seorang ksatria sejati,"
puji Ratu Perut Bumi. "Kalau begitu, Mahisa Lodra tak
perlu kau bunuh. Musnahkan saja seluruh ilmu kesaktiannya."
"Ya! Ya, itu gagasan yang bagus!"
Seno melangkah beberapa tindak ke hadapan
Setan Selaksa Wajah. Dia bermaksud menotok hancur
seluruh urat darah penting di tubuh tokoh jahat itu.
Tentu saja Setan Selaksa Wajah terserang rasa
takut luar biasa. Tak dapat dia membayangkan bagaimana keadaan dirinya setelah
kehilangan seluruh ilmu
kesaktiannya. Akal pikiran lelaki berpakaian serba merah itu jadi buntu. Tanpa
sadar, dia meratap dan memohon sambil beringsut menjauhi Pendekar Bodoh.
Namun, Pendekar Bodoh yang sudah amat ben-
ci melihat segala kejahatan Setan Selaksa Wajah tak
mau mengurungkan niatnya. Tekadnya sudah bulat
untuk segera melenyapkan seluruh ilmu kesaktian Setan Selaksa Wajah. Tapi....
"Tunggu...!"
Tiba-tiba, Ratu Perut Bumi mencegah. Seno
menatap heran. Aliran tenaga dalam di ujung telunjuk
jarinya dia lepas lagi. Namun sebelum dia mengutarakan rasa herannya. Ratu Perut
Bumi berkata....
"Aku mendengar bisikan gaib. Satukan kekuatan batinmu, Seno. Tampaknya, bisikan
gaib itu sengaja ditujukan kepada kita...."
Sejenak, Seno mengarahkan pandangan ke sosok Setan Selaksa Wajah yang terus
beringsut menjauh. Seno membiarkannya karena dia yakin lelaki jahat itu sudah
tak punya kemampuan lagi untuk melarikan diri. Luka dalam Setan Selaksa Wajah
terlalu parah untuk dipaksa mengempos tenaga guna melarikan
diri. "Cepatlah, Seno...," desak Ratu Perut Bumi.
Melihat kesungguhan manusia setengah ular
itu, Seno langsung menyatukan kekuatan batinnya.
Tiga tarikan napas kemudian dia mendengar suara....
"Ratu Perut Bumi dan kau, Pendekar Bodoh,
dua benda mustika yang kalian inginkan telah kalian
dapatkan. Segera pergi dari tempat ini! Raja Penyasar
Sukma sedang menuju ke tempat kalian. Untuk sementara, lebih baik kalian tak
bertatap muka dengannya."
Suara bisikan itu lenyap sampai di situ. Ratu
Perut Bumi dan Pendekar Bodoh sating pandang. Mereka sama-sama tak tahu siapa
yang telah mengirim
bisikan. Tapi yang jelas, bisikan itu tidak dikirim dengan menggunakan ilmu
mengirim suara dari jarak
jauh. "Bagaimana ini, Ratu?" tanya Seno, kebodohbodohan.
Ratu Perut Bumi diam. Dia sendiri tak tahu apa
yang harus diperbuat. Pergi meninggalkan Padang Angin Malaikat secepatnya atau
tetap tinggal di tempat"
Tapi, bagaimana kalau Raja Penyasar Sukma benarbenar akan datang"
"Sebaiknya kita pergi saja, Seno...," cetus Ratu
Perut Bumi kemudian.
"Kenapa?" tanya Seno, tak mengerti.
Sebenarnya, dalam diri Seno telah timbul rasa
senang karena Raja Penyasar Sukma akan segera datang. Dia tahu kalau Raja
Penyasar Sukma adalah Banyak Langkir yang telah membunuh ibunya lima tahun
silam. Bukankah hal ini merupakan kesempatan bagus
untuk melampiaskan dendam"
"Kita pergi saja, Seno. Aku tahu kau menyimpan dendam kesumat terhadap Raja
Penyasar Sukma.
Tapi, ketahuilah lelaki itu saat sekarang telah menguasai isi Kitab Tiga Dewa.
Bukan aku meremehkan kemampuanmu. Tapi, kupikir belum saatnya kau membuat
perhitungan dengan tokoh kejam yang haus darah itu.... Lagi pula, kau harus
segera menyelamatkan
nyawa Kemuning...," jelas Ratu Perut Bumi.
Seno hendak menolak ajakan manusia setengah ular itu. Setan Selaksa Wajah telah
dapat dikalahkannya. Tak perlu menunggu waktu lebih lama lagi
untuk merobohkan pula Raja Penyasar Sukma. Tapi...,
tiba-tiba Ratu Perut Bumi menyambar tubuh Seno!
Dengan memeluk tubuh pendekar muda itu,
Ratu Perut Bumi melenting ke atas, lalu menukik deras, dan amblas ke dalam
tanah! Bersamaan dengan lenyapnya sosok Ratu Perut
Bumi dan Pendekar Bodoh, dari arah tenggara melesat
gumpalan cahaya kuning yang diiringi tiupan angin
kencang. "Raja Penyasar Sukma...!" desis Setan Selaksa
Wajah di antara rasa benci dan suka.
*** Tak kuasa Dewi Pedang Halilintar melihat adegan yang akan segera berlangsung di
hadapannya. Dia
pun menutup mata dengan segudang rasa ngeri dan jijik.
"Hi hi hi...! Hayo! Buka! Buka celana mu itu,
Orang Jahat! Hi hi hi...!"
Sambil tertawa cekikikan, Dewa Geli memutarmutar pisau yang dibawanya.
Sementara, kakinya terus melangkah mendekati Hantu Pemetik Bunga....
Terbawa rasa takutnya, Hantu Pemetik Bunga
jadi kalap. Sambil mundur beberapa tindak, dia mempersiapkan pukulan jarak jauh.
Namun, Dewa Geli
yang sudah menduga apa yang akan diperbuat oleh lelaki bertopeng itu masih
bersikap tenang dan tertawa
cekikikan. Hingga sampai akhirnya....
"Hiahhh...!"
Wusss...! Hantu Pemetik Bunga menggembor keras sekali. Kedua telapak tangannya dihentakkan


Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke depan. Serta-merta dua larik sinar putih berkeredapan melesat ganas ke arah Dewa Geli!
Tapi..., Dewa Geli terus saja tertawa cekikikan.
Lagak lagunya seperti tak mau ambil peduli pada bahaya yang tengah mengancam
jiwanya. Dewi Pedang Halilintar yang terbawa rasa tegang tampak meloncat untuk memapaki
pukulan jarak jauh Hantu Pemetik Bunga. Bagaimanapun, Dewa Geli
adalah manusia biasa yang tubuhnya juga terdiri dari
susunan tulang dan daging empuk. Oleh karena itu,
kekhawatiran Dewi Pedang Halilintar memang cukup
beralasan. "Diam saja di tempatmu, Nenek yang baik!" seru Dewa Geli tiba-tiba.
Sambil mengatakan kalimat itu, Dewa Geli
mengibaskan tangan kirinya untuk membuat mental
dua larik sinar putih yang melesat dari kedua telapak
tangan Hantu Pemetik Bunga. Rupanya, Dewa Geli tak
mau bertindak gegabah. Dia tak mau sembarangan
menadahi pukulan jarak jauh Hantu Pemetik Bunga
yang punya daya penghancur cukup dahsyat.
Di lain kejap, terdengar sebuah ledakan keras.
Gelombang angin pukulan ciptaan Dewa Geli mampu
meredam pukulan jarak jauh Hantu Pemetik Bunga.
Dua larik sinar putih yang hendak merenggut nyawa
Dewa Geli tampak terpental lurus ke angkasa, lalu hilang tanpa bekas!
Semakin takut Hantu Pemetik Bunga. Tak ada
yang dapat diperbuatnya lagi untuk mempertahankan
'senjata'-nya yang paling berharga, kecuali meratap
dan memohon belas kasihan,
"Jangan! Jangan kau lakukan itu...! Aku benarbenar akan menepati janji ku...."
"Hmmm.... Begitu" Memang amatlah bagus
apabila kau menepati janjimu," sambut Dewa Geli.
"Tapi, 'milik'-mu itu tetap harus ku potong!"
Di ujung kalimatnya, Dewa Geli melesatkan tubuhnya. Pisau tajam di tangannya
siap menjalankan
tugas! "Jangaaaannnn...!"
Hantu Pemetik Bunga berteriak lantang. Den-
gan kelopak mata tertutup, kedua telapak tangannya
menekap erat celana bagian depannya. Tapi, usaha
melindungi bagian tubuhnya yang paling berharga itu
sia-sia saja karena Dewa Geli melancarkan totokan terlebih dulu!
Tuk! Tuk! "Wuaahhh..!"
Memekik kesakitan Hantu Pemetik Bunga. Jalan darah besar di kedua bahunya yang
tertotok terasa
sakit luar biasa. Hingga, tanpa sadar dia membuka tekapannya pada celana bagian
depannya! "Hi hi hi...! Kini sudah tiba saatnya.... Hi hi
hi...!" Dewa Geli tertawa mengikik. Secepat kilat tangan kirinya melorotkan celana Hantu
Pemetik Bunga. Dan, terpampanglah sebuah pemandangan yang membuat Dewi Pedang Halilintar
membuang muka penuh
rasa jijik. Namun sebelum Dewa Geli berhasil melaksanakan niatnya, tiba-tiba berkelebat
sesosok bayangan.
Bayangan itu berkelebat cepat sekali, dan langsung
melancarkan tendangan!
Desss...! "Wadow...!"
Dewa Geli memekik kesakitan. Tubuhnya terlontar karena kena tendang dengan
telak. Untunglah,
bocah berpakaian kedodoran itu memiliki tenaga dalam yang sudah semakin kuatnya,
sehingga tendangan
yang mendarat di tubuhnya tak menimbulkan luka dalam yang berarti.
Bergegas Dewa Geli bangkit. Sambil memegangi
bahu kirinya yang kena tendang, dia tertawa cekikikan
lagi. Pisau yang hendak digunakan untuk menghukum
Hantu Pemetik Bunga masih tercekal erat di tangan
kanannya. "Hi hi hi...! Rupanya, kau yang datang, Putri
Budukan...," ujar Dewa Geli.
Mata bocah berambut tipis itu menatap seorang
wanita berpakaian putih-ungu yang telah berdiri di sisi
kiri Hantu Pemetik Bunga. Tubuh si wanita tampak
montok menggiurkan. Dan, kulitnya pun putih bersih.
Tapi, raut wajahnya amat mengerikan karena dipenuhi
bisul-bisul bernanah!
Dia memang Putri Budukan, seorang tokoh jahat yang juga telah punya nama besar
di rimba persilatan!
"Hi hi hi...! Apa maksudmu menendangku, Nenek Jelek?" lanjut Dewa Geli. "Apa kau
kekasih lelaki bertopeng itu" Hi hi hi...! Pantas! Pantas bila kau hendak menolongnya! Hi hi
hi...!" Putri Budukan tak menyahuti ucapan Dewa
Geli. Ditatapnya Hantu Pemetik Bunga seraya berkata,
"Kau pergilah! Bocah edan itu biar kuhadapi!"
Hantu Pemetik Bunga yang sudah tahu ketinggian ilmu Putri Budukan langsung
bersorak girang dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi, dia bergegas meloncat jauh
untuk mencari selamat!
"Hei! Mau pergi ke mana kau"!" cegah Dewa Geli seraya mengejar.
"Biarkan dia pergi, Bocah Edan!" sergap Putri
Budukan. Sambil berkata, wanita buruk rupa itu memapaki lesatan tubuh Dewa Geli dengan
sebuah tendangan. Dewa Geli yang sudah merasakan bagaimana kekuatan tendangan
Putri Budukan terpaksa menghentikan lesatan tubuhnya untuk berkelit.
"Nenek keparat kau!" umpat Dewa Geli, penasaran.
"Sekali lagi kukatakan, biarkan Hantu Pemetik
Bunga pergi!" sahut Putri Budukan. "Untuk melampiaskan rasa penasaran mu,
datanglah ke Puncak Kupu-kupu! Kutunggu kau di sana!"
Usai berkata, Putri Budukan berkelebat pergi.
Ilmu peringan tubuh wanita buruk rupa itu amat hebat. Tubuhnya tiba-tiba berubah
menjadi bayangan
yang hampir tak dapat dilihat.
"Hi hi hi...! Baik! Baik! Aku akan datang memenuhi undanganmu, Nenek Jelek! Aku
memang punya urusan denganmu! Sebelum ku potong habis 'senjata'
Hantu Pemetik Bunga, bolehlah aku menghajarmu dulu!"
Bocah berkulit hitam itu berkata-kata seakan
Putri Budukan masih berada di hadapannya. Setelah
tertawa mengikik, dia berkelebat mengikuti jejak Putri
Budukan! Dewi Pedang Halilintar yang masih berdiri di
tempatnya tampak geleng-geleng kepala melihat kecepatan gerak Dewa Geli.
Teringat akan Hantu Pemetik
Bunga yang telah mempecundanginya dengan Cambuk
Api Neraka, dia bergegas berkelebat pergi pula. Dengan
Cambuk Api Neraka yang telah berada di tangannya,
Dewi Pedang Halilintar yakin bila Hantu Pemetik Bunga akan dapat dirobohkannya.
*** 6 DEWI Pedang Halilintar menghentikan kelebatan tubuhnya di tepi aliran sungai
yang terletak di utara Kota Gambiran. Matanya yang tajam melihat sosok
manusia berpakaian putih-putih tengah duduk bersila
di balik rimbunan pohon.
Hati-hati sekali Dewi Pedang Halilintar melangkah mendekati. Sosok manusia yang
dilihat nenek itu
tampaknya sedang bersemadi. Dia duduk bersila di
atas lempengan batu dengan tangan bersedekap. Wajahnya tak dapat dikenali karena
dia mengenakan topeng yang terbuat dari baja putih.
"Hmmm.... Kiranya kau bersembunyi di sini,
Durjana Laknat...," ujar Dewi Pedang Halilintar dalam
hati. Guru Kemuning itu menyangka bila si lelaki
bertopeng adalah Hantu Pemetik Bunga yang sedang
dikejarnya. Dia tak tahu bila sebenarnya orang yang
tengah duduk bersila di lempengan batu itu adalah
Ksatria Topeng Putih!
Bentuk tubuh, warna kulit, dan topeng yang
dikenakan Ksatria Topeng Putih memang nyaris serupa
benar dengan Hantu Pemetik Bunga. Potongan dan
warna pakaian mereka pun sama persis. Hanya saja,
Hantu Pemetik Bunga masih mengenakan lagi baju
luar berwarna merah. Tapi, perbedaan yang amat sedikit itu tak pernah masuk
dalam pikiran Dewi Pedang
Halilintar. Dia benar-benar menyangka bila Ksatria Topeng Putih adalah Hantu
Pemetik Bunga. "Kau telah membuat luka di bahu kiriku, Bangsat!" geram Dewi Pedang Halilintar.
"Kau harus menebusnya dengan menggelindingkan kepalamu ke tanah!"
Berkerut kening nenek berpakaian serba kuning itu. Walau dia telah membuat suara
berisik, lelaki
bertopeng tak juga bangun dari sikap semadinya.
"Hmmm.... Durjana laknat itu mungkin sedang
menghimpun hawa sakti untuk melepas pengaruh totokan Dewa Geli di kedua
bahunya," pikir Dewi Pedang
Halilintar. "Tak dapat aku menunggu terlalu lama. Dia
harus segera kubunuh! Dosanya terlalu besar untuk
dibiarkan hidup!"
Dewi Pedang Halilintar melangkah semakin dekat. Hawa amarah dan dendam kesumat
membuat nenek itu tak dapat berpikir jernih lagi. Yang ada dalam
benaknya hanyalah keinginan membunuh, membunuh, dan membunuh!
Namun, sejenak Dewi Pedang Halilintar jadi ragu. Sebagai seorang tokoh tua yang
cukup ternama di
rimba persilatan, amatlah tak pantas apabila dia
membunuh orang yang tak memberikan perlawanan.
Tapi setelah Dewi Pedang Halilintar teringat
ucapan Hantu Pemetik Bunga yang mengatakan bahwa Dewa Keadilan telah mati
dibunuhnya, keraguan
dalam nenek itu langsung hilang. Kematian Dewa Keadilan harus segera dibalaskan.
Maka, sambil mendengus gusar, Dewi Pedang Halilintar menghunus bilah
pedang kuning yang semula telah diselipkan di punggungnya!
"Sebelum lelaki licik itu kubunuh, ada baiknya
bila aku membuka topeng yang dikenakannya...," cetus
Dewi Pedang Halilintar sebelum menjatuhkan tangan
maut. Dewi Pedang Halilintar melangkah dua tindak
lagi. Sementara, Ksatria Topeng Putih yang tengah menerapkan ilmu 'Mencari Jejak
Tunjukkan Tempat' tak
bergerak sama sekali. Tentu saja lelaki berkulit putih
halus itu tak mengetahui kehadiran Dewi Pedang Halilintar karena rohnya telah
berpisah dari badan kasarnya. Hingga di lain kejap kemudian....
Set...! Tang...! Dengan menggunakan ujung pedangnya, Dewi
Pedang Halilintar memutuskan tali pengikat topeng
yang dikenakan oleh Ksatria Topeng Putih. Topeng
yang terbuat dari baja putih itu langsung jatuh berdentang di lempengan batu,
lalu menggelinding ke tanah.
Dan..., terbelalaklah mata Dewi Pedang Halilintar! Aliran darahnya tiba-tiba
berdesir tak karuan.
Jantungnya pun berdegup lebih kencang!
"Ksatria Seribu Syair...!" kejut Dewi Pedang Halilintar, seperti tak percaya
pada penglihatannya sendiri.
Ksatria Topeng Putih yang disangka Dewi Pedang Halilintar sebagai Hantu Pemetik
Bunga memang Ksatria Seribu Syair adanya!
"Tak kusangka! Benar-benar tak kusangka...,"
desis Dewi Pedang Halilintar. "Aku tahu Ksatria Seribu
Syair adalah bekas putra mahkota yang telah tergulingkan. Aku pun tahu kalau dia
menjadi buronan
orang-orang Raksa Jalinti yang kini menduduki takhta
Mahespati. Tapi..., aku mengenal Ksatria Seribu Syair
sebagai seorang pendekar yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran. Selama lima tahun terakhir ini, aku
tak pernah lagi mendengar sepak terjangnya. Kiranya,
dia telah berubah jadi manusia jahat bergelar Hantu
Pemetik Bunga...."
Keraguan di hati Dewi Pedang Halilintar muncul kembali. Walau belum pernah
menjajal kepandaian
Ksatria Seribu Syair secara langsung, Dewi Pedang Halilintar tahu kalau bekas
putra mahkota itu berilmu
tinggi. Haruskah dia membunuhnya selagi ada kesempatan bagus" Kalau dibiarkan
hidup, bukankah orang
yang disangkanya sebagai Hantu Pemetik Bunga itu
akan terus mengumbar nafsu jahat"
Belum dapat Dewi Pedang Halilintar memutuskan apa yang harus diperbuatnya, tiba-
tiba Ksatria Seribu Syair membuka kelopak mata. Itu tandanya bila
roh Ksatria Seribu Syair telah kembali ke badan kasarnya.
Terkejut tiada terkira lelaki berpakaian putihputih itu ketika tahu ada orang
yang berdiri di hadapannya dengan membawa pedang terhunus. Lebih terkejut lagi
dia saat mengetahui topeng yang dikenakannya telah jatuh ke tanah. Itu berarti
jati dirinya yang
sengaja disembunyikan telah diketahui orang lain,
"Dewi Pedang Halilintar...," desis Ksatria Seribu
Syair dengan suara bergetar. "Apa yang sedang kau
perbuat?" "Haram jadah!" maki Dewi Pedang Halilintar.
"Tentu saja aku hendak membunuhmu! Tak pernah
kusangka bila kau seorang penjahat, Darma Pasulangit!"
Dewi Pedang Halilintar menyebut nama kecil
Ksatria Seribu Syair. Sementara, Ksatria Seribu Syair
tambah terkejut mendengar kata-kata nenek itu.
"Kau hendak membunuhku" Apa salahku?"
ujar Ksatria Seribu Syair, tak mengerti.
"Huh! Jangan berpura-pura! Aku sudah tahu
sifat belang mu! Bangkitlah! Hadapi aku!"
Mendengar tantangan Dewi Pedang Halilintar,
Ksatria Seribu Syair geleng-geleng kepala.
"Di antara kita tidak ada bibit permusuhan, kenapa mesti berbuat kekerasan?"
ujar lelaki bertubuh
tinggi tegap itu tanpa bangkit dari duduk bersilanya.
"Kau terlalu banyak mulut! Lihat serangan!"
Tiba-tiba, Dewi Pedang Halilintar menerjang.
Ketajaman pedangnya benar-benar hendak memenggal
leher Ksatria Seribu Syair!
Tentu saja lelaki yang tak tahu kesalahannya
itu tak mau mati konyol. Dua jempol kakinya menotol
lempengan batu. Dan, ringan sekali tubuhnya melayang lalu mendarat di tanah


Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam keadaan berdiri.
Sambaran pedang Dewi Pedang Halilintar hanya mengenai angin kosong.
"Tahan amarah mu dulu, Nini Kembangsari!"
seru Ksatria Seribu Syair, menyebut nama kecil Dewi
Pedang Halilintar.
Tapi, Dewi Pedang Halilintar yang sudah gelap
mata mana mau mendengar kata-kata itu. Mengetahui
ketinggian ilmu Ksatria Seribu Syair, tanpa ragu lagi
dia mengeluarkan Cambuk Api Neraka yang tersimpan
di balik bajunya.
Cambuk pusaka itu dicekalnya di tangan kiri.
Begitu dialiri tenaga dalam, cambuk yang berupa seutas tali pipih berwarna putih
itu langsung diselubungi
lidah api biru. Hawa panasnya menebar ke manamana!
"Bagaimana mungkin kau mau membunuhku,
Nini Kembangsari?" Ksatria Seribu Syair berseru lagi
penuh rasa heran dan tak habis mengerti.
Tapi, kata-kata lelaki bertubuh tinggi tegap itu
disambuti Dewi Pedang Halilintar dengan sabetan
cambuk dan tebasan pedang!
Jderrr...! Wuttt...! Sambil menghindari serangan, Ksatria Seribu
Syair berusaha mengingatkan Dewi Pedang Halilintar
yang telah dikuasai nafsu membunuh. Namun, Dewi
Pedang Halilintar malah menyerang makin ganas.
Cambuk Api Neraka dan pedang kuning di tangan nenek itu terus mengirim serangan
susul-menyusul.
Mengetahui Dewi Pedang Halilintar tak dapat
diingatkan lagi, Ksatria Seribu Syair jadi bingung. Dia
teringat akan satu urusan yang harus segera diselesai-
kannya. Dia meraba lipatan bagian dalam bajunya. Setelah tahu kantong berisi
Kodok Wasiat Dewa masih
berada di tempatnya, lelaki itu berkelebat menyambar
topengnya yang tergeletak di tanah seraya berkata...
"Aku tak punya waktu untuk melayanimu, Nini
Kembangsari! Berpikirlah masak-masak sebelum bertindak!"
Di ujung kalimatnya, Ksatria Seribu Syair mengempos tenaga. Dan, tubuh lelaki
yang sengaja menyembunyikan jatidirinya dengan memakai julukan
Ksatria Topeng Putih itu berkelebat cepat meninggalkan Dewi Pedang Halilintar.
"Pengecut!" maki Dewi Pedang Halilintar yang
tak dapat mengimbangi kelebatan tubuh Ksatria Seribu Syair.
Tinggallah nenek itu mengumpat-umpat tiada
henti. Semua sumpah serapah dikeluarkannya untuk
melampiaskan rasa dongkol, kecewa, dan hawa amarah.
Ksatria Seribu Syair atau Ksatria Topeng Putih
yang telah berkelebat lenyap tak pernah menyangka
bila pertemuannya dengan Dewi Pedang Halilintar tadi
akan menimbulkan persoalan rumit di kelak kemudian
hari.... *** Sinar mentari sore lembut menyapa bagai seorang perawan melempar senyuman.
Hembusan sang bayu merdu merayu dalam kesunyian. Sementara,
aneka bunga merah jingga mekar berkembang menyejukkan mata.
Namun, burung-burung yang tengah bersuka
ria tak lagi memperdengarkan kicau riangnya. Karena,
di kaki bukit itu tiba-tiba muncul suatu keanehan.
Permukaan tanah yang dijalari semak berduri tampak
bergetar. Seiring suara gemuruh bagai gempa, bongkah-bongkah batu menggelinding.
Dedaunan rontok
berguguran. Hingga, satwa-satwa hutan yang kebetulan berada di tempat itu
memekik ketakutan seraya
berlari menjauh.
Ketika burung-burung melesat terbang ke langit biru, getaran yang timbul dari
dalam tanah semakin
kuat. Lalu...., gumpalan tanah bercampur kerikil menyembur ke angkasa.
Akibatnya, akar dan sulur semak
belukar turut terlontar ke atas.
Brummm...! Swosss...! Mendadak, permukaan tanah di pusat getaran
itu berlubang! Semakin banyak gumpalan tanah yang
menyembur. Dan di lain kejap, dari dalam tanah melesat sosok bayangan hijau
panjang! Setelah mendarat, dapatlah dilihat bagaimana
rupa sosok bayangan yang muncul dari dalam tanah
itu. Ternyata, dia seorang wanita cantik berpakaian
merah gemeriap. Di kepalanya bertengger mahkota
emas bertahtakan intan berlian. Anehnya, wanita berambut panjang tergerai itu
tubuh bagian bawahnya
berupa ekor ular yang mempunyai sisik hijau kehitaman!
Dia Ratu Perut Bumi!
Dalam bopongan wanita setelah ular itu tampak
seorang pemuda berpakaian biru-biru dengan ikat
pinggang kain tebal merah. Tubuh si pemuda lemas
lunglai karena dia dalam keadaan tak sadarkan diri.
Dilihat dari garis-garis wajahnya yang menyiratkan keluguan dan kejujuran, siapa
lagi dia kalau bukan si Pendekar Bodoh Seno Prasetyo.
"Kau harus segera siuman, Seno...," desis Ratu
Perut Bumi yang semula telah menotok pingsan Seno
Prasetyo. Hati-hati sekali wanita berdarah siluman itu
membaringkan tubuh Pendekar Bodoh di bawah rimbunan daun trembesi. Diberikannya
beberapa totokan.
Tiga tarikan napas kemudian, Pendekar Bodoh mengeluh pendek seraya membuka
kelopak mata. "Di mana aku...?" keluh Seno. Ratu Perut Bumi
cuma diam memperhatikan. Sementara, Seno langsung
bangkit duduk dan mengedarkan pandangan.
"Bukit Pralambang. Aku berada di kaki Bukit
Pralambang...," ujar Seno kemudian seraya menatap
lekat wajah Ratu Perut. Bumi. "Ratu...," sebutnya. "Untuk apa kau membawaku
kemari" Aku ingin menumpas orang yang telah membunuh ibuku! Bawa aku
kembali ke Padang Angin Malaikat!"
Sambil menggelengkan kepala, Ratu Perut Bumi tersenyum. Diusapnya kotoran tanah
yang melekat di kening Pendekar Bodoh.
"Seno.... Aku bisa merasakan apa yang saat ini
kau rasakan. Dendam kesumat dan hawa amarah tak
akan pernah membuat manusia hidup tenteram. Semakin besar dendam dan amarah
dalam dada, semakin sulit orang mencapai kebahagiaan..," tutur manusia setengah
ular itu. "Tahan dulu gejolak jiwa mudamu, Seno. Raja Penyasar Sukma adalah
manusia jahat yang amat licik. Kau belum seberapa matang pengalaman. Walau sekarang ini ilmu
kesaktianmu setinggi
langit, jangan harap kau akan dapat mengalahkan
orang itu...."
"Tapi, Ratu...," seta Seno. "Berdosakah aku bila
tidak membalaskan kematian ibuku."
"Aku tahu. Tapi, tidakkah kau ingat bila ada sa-
tu pekerjaan penting yang harus segera kau tunaikan"
Kau lupa pada Kemuning?"
"Astaga!" kejut Seno. "Kenapa otakku jadi bebal
begini"! Kenapa aku lupa pada Kemuning"!"
"Itulah satu alasan lagi kenapa aku membawamu pergi meninggalkan Padang Angin
Malaikat."
Seno nyengir kuda sejenak. Sekali lagi, murid
Dewa Dungu itu mengedarkan pandangan. Ditatapnya
puncak bukit yang tinggi menjulang. Ditatapnya jajaran pohon hijau subur yang
tumbuh menyejukkan
pandangan. Lalu, ditatapnya lekat-lekat wajah Ratu
Perut Bumi. "Ini Bukit Pralambang, Ratu...," ujar pemuda
remaja berparas tampan itu, lirih seperti menggumam.
"Ya, aku tahu," sahut Ratu Perut Bumi. "Sengaja aku membawamu kemari."
"Untuk apa?"
"Kau ingat bisikan gaib yang kau dengar di Padang Angin Malaikat?" Seno
mengangguk. "Tanpa kau ketahui, bisikan itu terdengar lagi
oleh ku, dan menyuruhku datang ke tempat ini bersamamu."
"Kau percaya pada bisikan itu, Ratu" Bagaimana kalau...."
"Hus!" potong Ratu Perut Bumi. "Selalu berhatihati memang baik. Tapi, kita tak
boleh terlalu curiga.
Aku yakin orang yang menyampaikan bisikan gaib itu
bermaksud baik kepada kita."
"Tapi, Ratu..,."
Seno hendak menyahuti ucapan Ratu Perut
Bumi, namun suaranya tersekat di tenggorokan. Telinga murid Dewa Dungu itu
menangkap suara berkelebatnya orang yang sedang menuju ke tempatnya berada.
"Kau dengar suara itu, Ratu?" ujar Seno.
"Ya. Dia pasti orang yang menyuruhku datang
ke tempat ini," sahut Ratu Perut Bumi.
Pendekar Bodoh dan Ratu Perut Bum! samasama mengarahkan pandangan ke utara. Dua
tarikan napas kemudian, tampak sosok bayangan putih yang
berkelebat meloncati bongkah-bongkah batu besar dan
pepohonan. Ringan sekali bayangan itu melesat, bagai
seekor burung walet yang sedang terbang melayang.
"Ksatria Topeng Putih...," desis Seno setelah sosok bayangan putih berada di
hadapannya. Sementara Seno bangkit berdiri, sosok orang
yang baru muncul yang memang Ksatria Topeng Putih
mengeluarkan sebuah kantong putih dari balik bajunya. Dari dalam kantong itu,
dia mengambil sebuah
gumpalan sinar putih yang di dalamnya terdapat gumpalan sinar lain berwarna emas
yang berbentuk seekor
katak. "Kodok Wasiat Dewa...," desis Seno lagi dengan
mata terbelalak.
Seno mengucak-ucak mata. Sepertinya, dia tak
percaya pada penglihatannya sendiri. Bagaimana
mungkin Kodok Wasiat Dewa berada di tangan Ksatria
Topeng Putih" Bukankah benda ajaib itu telah diserahkannya kepada Setan Selaksa
Wajah" Apakah Setan Selaksa Wajah belum menelannya" Apakah Ksatria
Topeng Putih telah merampas benda ajaib yang berasal
dari dalam perut Ikan Mas Dewa itu"
Tak lama Pendekar Bodoh tergeluti segudang
tanda tanya. Karena, Ksatria Topeng Putih yang bisa
menebak isi hati pemuda itu langsung memberi penjelasan.
"Semula, benda ajaib ini hendak diserahkan Setan Selaksa Wajah kepada Raja
Penyasar Sukma. Un-
tunglah, sebelum orang jahat itu menggunakannya sebagai sarana mengumbar
keangkaramurkaan, aku
berhasil merampasnya.... Kodok Wasiat Dewa diberikan ikan Mas Dewa kepadamu,
Seno. Terimalah....
Benda ajaib ini milikmu."
Usai berkata lelaki yang wajahnya telah tertutup topeng itu menyodorkan Kodok
Wasiat Dewa yang
dibawanya kepada Pendekar Bodoh. Tapi, Pendekar
Bodoh tak langsung menerimanya karena hati pemuda
itu tengah digeluti perasaan heran dan tak percaya.
Ksatria Topeng Putih yang telah merampas Kodok Wasiat Dewa, yang tentu saja
dengan mempertaruhkan
nyawa, kenapa malah menyerahkan benda ajaib itu
kepadanya" Apakah Ksatria Topeng Putih punya sifat
dan pribadi yang sedemikian baiknya, sehingga dia tak
mau mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya"
Walau sesuatu itu bisa mendatangkan manfaat besar
bagi dirinya"
"Terimalah, Seno...," desak Ratu Perut Bumi.
"Kau pasti membutuhkan benda itu karena kau akan
segera menempuh bahaya besar."
"Bahaya besar?" tanya Seno, tak mengerti.
"Bukankah kau hendak menyelamatkan Kemuning?" ujar Ratu Perut Bumi. "Gadis itu
disekap Setan Selaksa Wajah di Lembah Rongga Laut. Untuk menembus tempat itu kau
akan menghadapi makhlukmakhluk aneh berkepandaian tinggi...."
Seno nyengir kuda. Pemuda yang sudah tahu
khasiat Kodok Wasiat Dewa itu lalu menatap Ksatria
Topeng Putih. Sikapnya seakan ingin melongok raut
wajah Ksatria Topeng Putih yang tersembunyi di balik
topeng. "Segeralah kau terima milikmu ini. Kau tak boleh mengulur waktu...," ujar
Ksatria Topeng Putih yang
melihat Seno cuma berdiri bengong menatapnya.
"Ya. Ya, aku memang membutuhkan benda
itu," sambut Seno kemudian. Diambilnya kantong putih berisi Kodok Wasiat Dewa
dari tangan Ksatria Topeng Putih.
"Terima kasih.... Terima kasih...," ujar Seno.
"Tapi..., kenapa kau mau berlaku begini baik kepadaku, Paman...?"
Ksatria Topeng Putih tak menjawab. Dia mengalihkan pandangan ke sosok Ratu Perut
Bumi seraya berkata. "Kau telah menanam budi baik kepada Seno,
Ratu. Itu sama artinya kau pun telah menanam budi
baik kepadaku. Kalau hanya sekadar terima kasih,
malu aku mengucapkannya. Lain waktu, budi baikmu
ini akan kubalas...."
Ratu Perut Bumi mengerutkan kening. Manusia
berdarah siluman itu tak mengerti maksud ucapan
Ksatria Topeng Putih. Namun, dia tak hendak mempersoalkannya.
"Kaukah yang telah mengirim bisikan gaib kepadaku, Orang Asing?" tanya Ratu
Perut Bumi kemudian.
Ksatria Topeng Putih mengangguk.
"Kau menyuruhku membawa Seno kemari apakah hanya untuk menyerahkan Kodok Wasiat
Dewa kepada pemuda itu?"
Ksatria Topeng Putih mengangguk lagi. "Tapi...,
andai kau masih mau menanam budi baik lagi, berikan petunjuk kepada Seno agar
dia dapat pergi ke
Lembah Rongga Laut...," pintanya.
"Pasti," sambut Ratu Perut Bumi. "Dengan bantuan Seno, aku telah berhasil
mendapatkan kembali
cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Karena batu
mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' telah
pula berada di tanganku, aku akan segera mengantarkan Seno ke Lembah Rongga
Laut." Menarik napas lega Ksatria Topeng Putih. Dari
balik topeng baja putihnya, dia menatap lekat wajah
Seno. Ada keharuan dan rasa kasih sayang yang terpancar dari sorot mata lelaki


Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpakaian putih-putih
itu. "Hati-hatilah, Seno..." nasihatnya. "Di dunia ini
ada banyak macam kejahatan. Kalau kau tak pandaipandai menggunakan otak untuk
menimbang dan berpikir, kau pasti akan tertelan oleh kejahatan itu. Sekali
lagi, hati-hatilah. Semoga Tuhan memberkati mu...."
Usai berkata, Ksatria Topeng Putih menatap
wajah Ratu Perut Bumi. "Selamat jalan, Ratu. Di lain
waktu akan kubalas budi baikmu ini...."
"Aku tak tahu apa maksudmu, Orang Asing...,"
sahut Ratu Perut Bumi. "Kau katakan aku telah menanam budi baik kepada Seno. Kau
katakan pula bahwa aku pun telah menanam budi baik kepadamu.
Budi baik macam apa yang telah kuberikan kepadamu" Sepertinya, kau sangat
mengasihi Seno. Ada hubungan apa kau dengannya?"
Mendengar pertanyaan Ratu Perut Bumi yang
seperti menyelidik itu, Ksatria Topeng Putih tercekat.
Untuk beberapa lama, dia tak bisa membuka suara.
Mendadak, hatinya diliputi perasaan tak enak.
"Aku harus segera pergi," ujar lelaki bertopeng
itu kemudian seraya berkelebat pergi.
"Tunggu...!" teriak Seno.
Tapi, Ksatria Topeng Putih tak mau menghentikan kelebatan tubuhnya. Dia terus
berlari dan berlari.
Dia mengempos seluruh tenaganya. Hingga, tubuhnya
berkelebat amat cepat seakan dapat menghilang. Tapi,
perasaan tak enak itu terus mengejar, dan terus mem-
burunya. "Seno Prasetyo...," desah Ksatria Topeng Putih.
"Seno Prasetyo.... Apakah kau putra Dewi Ambarsari"
Kalau benar, berarti kau adalah...?" Lelaki bertopeng
itu tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Tanpa terasa
butiran air bening menitik dari sudut matanya....
Rasa sedih dan pilu tiba-tiba menyeruak masuk
dalam hati Ksatria Topeng Putih. Dia teringat akan istrinya yang bernama Dewi
Ambarsari atau Putri Bunga
Putih. Setelah sekian lama berpisah, terbersit rasa rindu yang tak dapat
ditahannya. Di mana sekarang wanita cantik yang pernah mengukir kenangan indah
bersamanya itu" Di mana pula bocah lelaki putranya
yang dibawa pergi sejak kecil oleh Dewi Ambarsari"
Ksatria Topeng Putih tak dapat menjawab pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.
Tapi, dia yakin
bila Seno Prasetyo adalah putranya yang hilang belasan tahun silam....
*** 7 SEPENINGGAL Ksatria Topeng Putih, Pendekar
Bodoh berdiri termangu. Melihat kebaikan Ksatria Topeng Putih, ingatannya
melayang ke sosok Dewa Dungu yang saat sekarang ini tentu masih berada di salah
satu lembah Gunung Lawu. Gurunya yang sudah berusia lanjut itu juga amat baik
kepadanya. Hati Pendekar Bodoh jadi sedih karena ingat akan keadaan Dewa
Dungu yang lumpuh.
"Mahisa Lodra keparat!" geram Pendekar Bodoh
teringat nama orang yang telah membuat lumpuh gu-
runya. Namun sebelum pemuda lugu itu semakin hanyut terbawa arus rasa sedih, dia
menggelenggelengkan kepala, berusaha mengusir bayanganbayangan yang tak
mengenakkan hatinya. Dia pun ingat akan satu pengertian bahwa rasa sedih tak
pernah bisa mendatangkan manfaat apa-apa. Rasa sedih justru akan menjauhkan manusia
dari kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan adalah tujuan manusia hidup di
dunia. Begitulah pengertian yang selalu melekat di benak Seno. Pengertian itu didapat
Seno semasa masih
tinggal bersama ibunya. Tapi, tanpa disadari oleh Seno, dengan mengingat
pengertian itu, sosok ibunya
yang telah meninggal berkelebatan di benaknya.
"Ibu...," desis Seno sambil mendongakkan kepala, seakan dapat melihat bayangan
ibunya di langit biru. "Semoga kau berbahagia menjalani tahap kehidupanmu yang
ketiga, Bu. Yakinlah, Bu aku akan segera
membalaskan sakit hatimu...."
Lalu, Seno teringat pada Banyak Langkir yang
telah membunuh ibunya. Teringat pula dia pada katakata ibunya sebelum meninggal.
"Seno...," ucap Dewi Ambarsari, Ibu Pendekar
Bodoh, lima tahun silam, "Kau harus tahu bahwa apa
yang terjadi pada ibu ini tak lain karena akibat ketidakjujuran ayahmu....
Ayahmu telah berbohong. Dan,
Ibu yang sebenarnya tidak bersalah apa-apa turut menanggung akibatnya...."
Setelah mengatakan itu, Dewi Ambarsari menceritakan riwayat hidup ayah Seno yang
bernama Darma Pasulangit. Dan, menggeram marahlah Seno.
Karena ketidakjujuran lelaki itu, ibu Seno jadi hidup
terlunta-lunta penuh kesengsaraan. Bahkan sampai
akhirnya, Dewi Ambarsari mati dibunuh Banyak Langkir yang sebenarnya bermaksud
mencari Darma Pasulangit, ayah Seno.
"Jahanam...!" gembor Seno, keras sekali. "Akan
kucari kau Darma Pasulangit! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu! Kalau
perlu, aku akan
membunuhmu! Aku bersumpah! Sampai ke ujung dunia pun akan kucari...!"
"Hei! Hei!" tegur Ratu Perut Bumi yang melihat
Pendekar Bodoh berkata-kata seorang diri. "Kau kenapa, Seno...?"
"Eh! Tidak, tidak, Ratu.... Aku tidak apa-apa...,"
kesiap Seno, menyembunyikan apa yang tengah dirasakannya.
Ratu Perut Bumi menatap lekat wajah tampan
Seno. Yang ditatap cepat menundukkan kepala, tak
kuasa membalas tatapan manusia setengah ular itu.
"Kita harus segera pergi, Seno...," cetus Ratu
Perut Bumi kemudian. "Naiklah ke punggungku. Kau
sudah tahu apa yang harus kau lakukan. Tak perlu
aku memaksamu lagi...."
"Ya! Ya, Ratu...," sambut Seno.
Walau merasa risih dan tak enak hati, Pendekar Bodoh naik ke punggung Ratu Perut
Bumi, dan melingkarkan kedua tangannya ke leher wanita berdarah siluman itu.
Pendekar Bodoh memejamkan mata saat merasakan tubuhnya terbawa melayang ke atas
lalu menukik cepat ke bawah. Sesaat kemudian, dia mendengar
suara bergemuruh. Dan, tubuhnya terasa melayang lagi, tapi kali ini seperti
melalui jalan di bawah tanah
yang berkelok-kelok.
Tanpa membuka kelopak mata, Seno tahu kalau dirinya tengah berada di dalam perut
bumi. Dia tengah melalui lorong-lorong panjang yang dibuat oleh
Ratu Perut Bumi.
Dua peminuman teh berlalu....
Mendadak, suara gemuruh yang didengar Seno
semakin keras. Tubuhnya terasa terbawa melesat naik
lalu ke bawah lagi. Lalu, suara gemuruh itu lenyap dan
tak muncul-muncul lagi. Kini, yang didengar Seno hanyalah suara gemericik air
dan kicauan beraneka jenis
burung. "Buka matamu. Kita sudah sampai...."
Mendengar perintah Ratu Perut Bumi itu, pelan-pelan Seno membuka kelopak
matanya. Dia masih
khawatir apabila ada kotoran tanah yang akan masuk
ke mata. Tapi setelah Seno benar-benar membuka kelopak matanya, tahulah dia bila dirinya
telah berada di
sebuah muara sungai berbatu-batu. Dan, di depan
pemuda itu terlihat sebuah lubang besar di tanah. Seno tahu kalau lubang itu
adalah jalan keluar Ratu Perut Bumi yang menggendong dirinya, yang telah
menempuh perjalanan lewat jalan bawah tanah.
"Inikah tempat yang bernama Lembah Rongga
Laut itu...?" tanya Seno sambil meloncat turun dari
punggung Ratu Perut Bumi.
"Bukan," jawab Ratu Perut Bumi. "Muara sungai ini hanya sekadar pintu luar untuk
dapat menembus Lembah Rongga Laut."
"Begitukah" Lalu, bagaimana aku bisa pergi ke
sana?" "Telan dulu Kodok Wasiat Dewa yang kau bawa.
Setelah tenaga dalammu meningkat, akan kuberitahukan bagaimana cara mendatangi
Lembah Rongga Laut." Seno mengeluarkan kantong putih yang tersim-
pan di balik pakaiannya. Diambilnya Kodok Wasiat
Dewa yang berada di dalam kantong itu.
"Terima kasih, Ikan Mas Dewa...," desis Seno.
"Kau telah berbuat baik kepadaku. Benda pemberianmu ini akan segera ku telan....
Mudah-mudahan bermanfaat besar bagiku...."
Pemuda lugu itu menatap sebentar wujud Kodok Wasiat Dewa yang berupa gumpalan
sinar. Lalu, dia pejamkan matanya seraya membuka mulut lebarlebar.
Slup...! "Hkkk...!"
Kaget tiada terkira Seno. Kodok Wasiat Dewa
yang baru didekatkan ke bibir tiba-tiba lepas dari cekalannya, dan meloncat
masuk ke mulutnya, kemudian amblas ke dalam perut.
"Astaga...!" kejut Seno.
Tubuh Pendekar Bodoh bergetar kencang. Dia
merasakan tubuhnya seakan membesar bengkak menjadi dua kali lipat dari ukuran
semula. Hawa panas
berputar-putar di sekitar pusarnya. Lalu, hawa panas
itu berpencar ke seluruh aliran darah.
Tampak kemudian, tubuh Pendekar Bodoh semakin bergetar kencang. Karena
kepanasan, segera
pemuda remaja itu bermandikan keringat. Tentu saja
keringat itu membasahi kain baju Seno. Dan... tanpa
disadari oleh Seno, terciumlah aroma wangi kayu cendana yang membangkitkan
gairah! "Keanehan apa yang terjadi pada pemuda
itu...," gumam Ratu Perut Bumi.
"Setiap berkeringat, tubuhnya pasti menebarkan aroma wangi kayu cendana yang
bisa membangkitkan gairah. Mungkinkah baju yang dikenakannya
adalah baju mustika...?"
Ratu Perut Bumi tak dapat menjawab pertanyaan yang ada di benaknya. Tapi, dia
tak mau mempersoalkan hal itu. Sebelum gairah benar-benar menguasainya, bergegas
wanita berdarah siluman itu mengerahkan ilmu 'Melebur Nafsu Membersihkan Jiwa',
hingga aroma wangi yang menebar dari baju Seno tak
berpengaruh apa-apa lagi terhadapnya.
"Uhhh..!?"
Mulut Pendekar Bodoh mengeluarkan suara keluhan. Hawa panas yang dirasakannya
telah lenyap. Tapi sebagai gantinya, hawa dingin tiba-tiba
menyerang sekujur tubuhnya. Dan, menggigil kedinginanlah dia. Barisan giginya
yang bertautan memperdengarkan suara gemelutuk. Tubuhnya yang semula
terasa membesar, kini terasa mengecil dan kembali ke
ukuran semula. Sebentar saja Seno merasakan siksaan itu. Tak
sampai dua puluh tarikan napas kemudian, dia merasakan tubuhnya amat ringan dan
segar-bugar. Wajah
pemuda itu pun tampak berseri-seri. Sorot matanya
bertambah tajam berbinar, pertanda tenaga dalamnya
telah meningkat beberapa tingkat.
"Pegang batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' ini, Seno...," ujar Ratu
Perut Bumi, menyodorkan batu berbentuk lima segitiga di tangannya.
Pendekar Bodoh menerima batu mustika itu
tanpa berkata apa-apa. Setelah mengamatinya, dia
bertanya, "Aku harus berbuat bagaimana, Ratu?"
"Tempelkan batu mustika itu di pusar mu," beri
tahu Ratu Perut Bumi. "Jika kau telah merasakan tubuhmu tersedot oleh satu
kekuatan yang tak tampak,
usahakan agar kau tak pingsan. Karena kalau pingsan, bahaya besar tengah
mengintai mu...."
"Lalu..., apa yang harus kuperbuat lagi?" desak
Seno. "Kau tak perlu bertanya-tanya lagi. Kau akan
tahu sendiri. Batu mustika di tanganmu itu akan
membawamu ke Lembah Rongga Laut. Setelah berhasil
menyelamatkan Kemuning, batu mustika 'Menembus
Laut Bernapas Dalam Air' keluarkan dari dalam perutmu dengan menempelkan telapak
tangan di pusar.
Kerahkan tenaga dalam yang bersifat menghisap....
Untuk pergi dari Lembah Rongga Laut, batu mustika
itu cukup kau cium. Tapi sebelumnya, suruh Kemuning memegang salah satu bagian
tubuhmu. Misalnya,
lengan atau apa...."
"Sebentar, Ratu...," sela Seno. "Kau katakan tadi, batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air'
harus ku keluarkan dari dalam perut, apakah batu
mustika ini bisa masuk sendiri ke perutku?"
"Begitulah," jawab Ratu Perut Bumi, singkat.
Seno nyengir kuda. Rasa heran menggeluti benaknya. Bagaimana mungkin sekepal
batu yang tak bernyawa bisa masuk ke perut" Apakah harus ku telan
dulu" "Aku tahu pertanyaan yang ada di benakmu,
Seno," tebak Ratu Perut Bumi. "Pertanyaan itu akan
terjawab bila kau sudah menempelkan batu mustika
yang kau bawa itu ke pusar mu."
Seno mengangguk-angguk walau belum mengerti benar maksud ucapan Ratu Perut Bumi.
"Kau hendak ikut aku ke Lembah Rongga Laut, bukan?"
pintanya. Ratu Perut Bumi menggeleng. "Jika ikut, aku
malah akan merepotkan mu. Bukankah kau sudah tahu kalau aku tidak bisa
mengerahkan tenaga dalam?"
"Tapi, Ratu...."
Seno hendak mengutarakan isi hatinya untuk
mendesak Ratu Perut Bumi agar ikut bersamanya ke
Lembah Rongga Laut, tapi manusia setengah siluman
itu keburu memotong.
"Sudahlah. Waktumu tak banyak. Kalau terlambat, kau akan menyesal seumur
hidup...."
Seno terdiam. "Segera tempelkan batu mustika yang kau bawa
itu ke pusar mu," desak Ratu Perut Bumi kemudian.
Seno menatap lekat wajah manusia setengah
ular itu. Lalu, dia meraba pinggangnya. Setelah tahu
Tongkat Dewa Badai masih terselip di ikat pinggang,
dia berkata, "Aku akan segera pergi, Ratu. Andai nanti
umur kita sama panjang, aku akan membalas budi
baikmu ini...."


Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bibir Ratu Perut Bumi menyungging senyum tipis. "Kau telah menolongku untuk
mendapatkan kembali cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa', Kau tidak
berhutang budi kepadaku. Apa yang kulakukan ini
hanya untuk membalas budi baikmu itu... Nah! Sekarang, tunggu apa lagi?"
"Ya! Ya, Ratu.... "
Kembali Seno menatap wajah Ratu Perut Bumi.
Lalu, dia membuka kancing bajunya seraya menempelkan batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air' ke pusar. "Ya, Tuhan...."
Seno melonjak kaget. Tiba-tiba, batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' lenyap masuk ke
perutnya! "Ratu...!" teriak Seno.
Murid Dewa Dungu itu hendak bertanya apa
yang tengah terjadi pada dirinya. Tapi, sosok Ratu Perut Bumi terlihat mengabur,
lalu lenyap tanpa bekas!
Seno menyangka bila Ratu Perut Bumi dapat
menghilang. Dia tidak tahu bahwa dirinyalah justru
yang menghilang, tersedot oleh kekuatan gaib yang
berpendar dari batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang telah berada
di dalam perutnya.
"Semoga Tuhan Melindungimu, Seno...," desis
Ratu Perut Bumi yang sudah tak melihat sosok Pendekar Bodoh lagi.
Sejenak, wanita setengah siluman itu berdiri
termangu dalam kesendirian. Tapi setelah ingat pada
keadaan, bergegas dia melentingkan tubuhnya. Usai
menukik tajam, tubuh manusia berdarah siluman itu
amblas masuk ke dalam tanah!
*** 8 SENO merasakan tubuhnya terlontar amat cepat. Matanya seakan telah buta karena
apa yang dilihatnya hanya kegelapan. Pemuda remaja itu memekik
parau manakala tubuhnya direjam rasa sakit yang benar-benar amat menyakitkan.
Kedua tangan dan kakinya tak dapat digerakkan lagi. Lumpuh! Dan, tenaganya pun
bagai tersedot habis tanpa sisa. Tulangbelulangnya juga terasa telah patah
berantakan. Aliran
darah yang kacau membuat jantungnya berdetak lebih
cepat. Hingga, kepalanya terasa amat pening luar biasa!
Antara sadar dan tidak, Seno teringat pesan
Ratu Perut Bumi yang mengatakan bahwa dia tak boleh pingsan. Karena kalau
pingsan bahaya besar akan
mengintai. Oleh karena itu, Seno berusaha sekuat tenaga
untuk tetap sadar meskipun siksaan yang dirasakannya hampir tak dapat ditahannya
lagi. Dicobanya untuk membentengi tubuhnya dengan ilmu 'Perisai Dewa Badai', tapi ilmu
itu seakan telah lenyap pula. Seluruh tenaga dalamnya hilang entah
ke mana! "Ya, Tuhan...," sebut Seno dalam hati. "Andai
aku harus mati, aku rela asal Kau memberi ku kesempatan terlebih dulu untuk
menunaikan kewajibanku...."
Dengan menyebut nama Sang Penguasa Tunggal berkali-kali, Seno jadi bersikap
pasrah. Karena memang hidup mati manusia berada di tangan-Nya.
Dalam kepasrahan itulah Seno merasakan ketenteraman. Pikirannya jadi jernih.
Sedikit demi sedikit, rasa
pening di kepalanya berkurang. Berkurang pula semua
rasa sakit yang merejam tubuhnya.
Sesaat kemudian, mata Seno Jadi silau. Seberkas cahaya putih yang amat terang
tiba-tiba menerpa
tubuhnya dari depan. Cepat Seno memejamkan mata
lagi karena takut cahaya yang amat menyilaukan itu
akan membutakannya.
"Ya, Tuhan...," kejut Seno.
Mendadak, hawa dingin menyerang. Lamatlamat Seno mendengar suara meletupnya
gelembunggelembung air. Rasa sakit yang merejam hilang tibatiba.
Seno memberanikan diri membuka kelopak mata. Dan....
"Astaga...!"
Pemuda remaja itu berseru kaget. Kain baju
dan celananya basah kuyup. Sementara, di hadapannya terpampang beraneka jenis
ikan. Batu karang dan
sulur-sulur tumbuhan berwarna-warni terpampang di
mana-mana. Suara letupan gelembung itu semakin terdengar jelas. Mulut Seno terasa asin.
Ketika membuka mata lebih lebar, tahulah Seno bila dirinya berada di dasar laut!
"Aneh! Bagaimana aku bisa berada di tempat
ini?" tanya Seno dalam hati. "Aku berada di dasar laut,
tapi kenapa mataku tak pedih" Dan, bagaimana pula
aku bisa bernapas dengan leluasa" Mungkinkan ini
berkat kesaktian batu mustika 'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang telah
masuk ke perutku?"
Karena tak lagi terserang rasa sakit, Seno mencoba mengalirkan tenaga dalam ke
pergelangan tangan. Semuanya berjalan dengan lancar. Itu berarti kekuatan tenaga
dalam Seno telah kembali seperti sediakala.
"Hmmm.... Inikah tempat yang bernama Lembah Rongga Laut itu?" kembali Seno
bertanya dalam hati. "Apa yang kulihat hanya gundukan-gundukan
batu karang, tumbuhan laut, dan berbagai jenis ikan.
Lalu, di mana Kemuning?"
Seno menggerakkan tangan dan kakinya untuk
berenang. Tubuhnya melesat cukup cepat, meninggalkan suara berdebur di belakang.
Diedarkannya pandangan ke berbagai penjuru. Saat melihat sebuah lubang besar di
antara gundukan batu karang, matanya
sedikit berbinar.
"Mungkin Kemuning disekap Setan Selaksa Wajah di gua itu...," pikir Seno. "Aku
harus segera ke sana."
Tak sabaran Seno menggerakkan tangan dan
kakinya agar segera sampai di gua yang dituju. Tapi
setelah berada di depan mulut gua itu, dia malah
menghentikan gerak tubuhnya. Keraguan menyeruak
masuk di benaknya. Bagaimana mungkin Kemuning
disekap di sebuah gua dalam laut" Apakah dia juga bisa bernapas dalam air"
"Tak mungkin Kemuning berada di dalam gua
itu...," pikir Seno lagi. "Lewat cermin 'Terawang Tempat
Lewati Masa' yang dibawa Setan Selaksa Wajah, aku
melihat Kemuning berada di sebuah rawa-rawa. Gadis
itu tidak berada di dalam air...."
Menuruti pikirannya di benaknya, Seno mengedarkan pandangan lagi. Dia jadi heran
dan tak habis mengerti. Apa sebabnya dia bisa mengarahkan pandangan dengan jelas" Menurut
penuturan orangorang, di dasar laut keadaan gelap gulita karena sinar
mentari tak dapat menerobos masuk.
"Heran aku...," ujar Seno dalam hati. "Aku tak
mempunyai ilmu tembus pandang, tapi kenapa pandanganku bisa amat jelas seperti
ini" Apakah hal ini
juga berkat keajaiban batu mustika 'Menembus Laut
Bernapas Dalam Air'?"
Tak mau Seno larut dalam keheranan. Dia harus bertindak cepat. Jiwa Kemuning
harus segera diselamatkan! Tapi, bagaimana bisa Seno menyelamatkan
Kemuning kalau dia tak tahu di mana gadis itu disekap"
Seno nyengir kuda beberapa lama. Sambil terus
berpikir-pikir, murid Dewa Dungu itu melongok mulut
gua yang berada di hadapannya. Seno pun membelalakkan mata karena terkejut.
Dinding-dinding gua itu
dipenuhi lukisan yang menggambarkan sebuah kemewahan. Ada lukisan istana megah,
takhta raja, tiara,
dan perhiasan intan berlian, serta lukisan barang atau
benda berharga lainnya.
Karena tertarik, tanpa sadar Seno memasuki
gua dalam laut yang tampak aneh itu. Sambil menga-
mat-amati lukisan, dia terus masuk makin ke dalam.
Diikutinya lorong gua yang berkelok-kelok. Hingga
sampai akhirnya....
"Tanpa izin Raja Penyasar Sukma, siapa pun
yang memasuki tempat ini akan menerima kematian!"
Terdengar suara keras menggelegar. Seno tersentak kaget. Dari lorong depan tiba-
tiba muncul sosok makhluk menyeramkan!
"Ya, Tuhan...," sebut Seno untuk kesekian kalinya.
Sosok makhluk yang mendatangi Pendekar Bodoh itu tubuh bagian bawahnya berupa
ekor ikan, dan bagian atasnya berbentuk kepala cumi-cumi. Anehnya,
di kepala makhluk itu terdapat bulatan merah bening
yang menonjol besar ke depan. Seno menduga bila bulatan itu adalah mata karena
dapat berkedip-kedip.
Tapi, jumlahnya cuma satu. Sementara, di bawah mata
tunggal si makhluk mengerikan terdapat sebuah rongga lebar. Di pinggirnya
mencuat keluar dua taring sepanjang satu jengkal. Itulah mulut si makhluk
mengerikan. Walau makhluk itu tak punya kaki, tapi tangannya ada delapan.
Melolor panjang dan terus bergerak tiada henti!
"Siapa kau"!" tanya Seno tanpa sadar, tubuhnya bergetar, menyimpan rasa giris di
hati. Usai berkata, murid Dewa Dungu itu terserang
rasa heran lagi. Ternyata, dia pun bisa berkata-kata di
dalam air. "Orang yang masuk ke tempat ini tak punya
hak bertanya!" seru makhluk bertangan delapan. "Apalagi orang itu masuk tanpa
izin Raja Penyasar Sukma.
Seperti kau, Bocah Gemblung! Cepat benturkan kepalamu ke dinding gua agar aku
tak perlu bersusah
payah mengeluarkan tenaga untuk membunuhmu!"
"Membunuhku?" sahut Pendekar Bodoh. "Apa
salahku" Aku bukan orang gila! Tak sudi aku membenturkan kepalaku ke dinding!"
"Whrammm...!"
Mendadak, makhluk bertangan delapan menggeram keras sekali. Air bergelombang
besar. Lukisanlukisan yang menempel di dinding gua kontan bergerak terayun-ayun.
Sementara, bongkah-bongkah batu
karang di dasar gua tampak menggelinding ke sanasini.
"Aku tahu kau marah," ujar Seno, kebodohbodohan. "Tapi, aku datang bukan dengan
maksud buruk. Aku harus menyelamatkan seorang temanku yang
disekap di suatu tempat bernama Lembah Rongga
Laut...." "Kau punya maksud baik ataupun buruk, sama
saja! Kau tetap akan mati!" sahut makhluk bertangan
delapan. "Tapi, aku harus menyelamatkan temanku,..,"
desak Pendekar Bodoh.
"Kau jangan membual!" sentak makhluk bertangan delapan. "Tanpa bantuan Setan
Selaksa Wajah, tak satu pun manusia dapat bertahan hidup di Lembah Rongga Laut!"
"Ya! Ya, betul! Temanku itu diculik dan disekap
oleh Setan Selaksa Wajah!" seru Seno, sedikit melenceng dari arah pembicaraan si
makhluk mengerikan
yang berada di hadapannya.
"Jangan banyak mulut lagi! Persetan dengan
temanmu itu! Aku harus segera membunuhmu! Kalau
Raja Penyasar Sukma tahu ada di tempat ini, aku sendiri yang akan celaka!"
Usai berkata, makhluk bertangan delapan
menggerakkan ekornya. Tiba-tiba, dua di antara dela-
pan tangannya melesat cepat hendak menangkap tubuh Seno. Timbul suara gemuruh
keras, pertanda dua
tangan si makhluk mengerikan mempunyai tenaga
yang amat kuat.
Tak mau mendapat celaka, bergegas Seno melentingkan tubuhnya ke kiri. Namun, dua
tangan lain milik si makhluk mengerikan berkelebat menghadang.
Satu hendak menggedor dada, satunya lagi hendak
meremukkan batok kepala!
"Terpaksa aku melawanmu, Makhluk Buruk!"
Sambil berseru demikian, Pendekar Bodoh
mencabut Tongkat Dewa Badai yang terselip di ikat
pinggangnya. Dua tangan si makhluk mengerikan
hendak dibabatnya sampai putus!
Pluk! Melonjak kaget Seno. Senjata mustika di tangannya terpental seperti membentur
karet yang amat
kenyal. Tangan si makhluk mengerikan ternyata tak
mempan dibabat Tongkat Dewa Badai. Padahal, babatan senjata mustika itu sudah
cukup mampu memotong balok baja bergaris tengah dua jengkal!
"Kau harus mati! Kau harus mati!" geram mahluk bertangan delapan.
Kini, makhluk yang kulit tubuhnya kasar bersisik itu menyerang Seno dengan
gencar. Kedelapan tangannya berkelebatan semua. Tak ayal lagi, gelombang
besar muncul. Tubuh Seno terombang-ambing, hingga
tak punya kesempatan untuk balas menyerang. Bertempur dalam air, Seno tak dapat
mengeluarkan ilmu
peringan tubuhnya yang bernama 'Lesatan Angin meniup Dingin'.
Karena Tongkat Dewa Badai tak dapat mendatangkan manfaat, maka jalan satu-
satunya bagi Seno
untuk dapat memberi perlawanan adalah menunjuk-
kan kekuatan tenaga dalamnya.
Pada saat delapan tangan si makhluk mengerikan mengepung Seno dari berbagai
penjuru, tanpa pikir panjang lagi murid Dewa Dungu itu melepas pukulan 'Dewa
Badai Rontokkan Langit'!
Kedahsyatan ilmu pukulan yang berasal dari
Kitab Sanggalangit itu tak dapat diukur lagi. Apalagi,
Seno telah mendapat tambahan tenaga dalam dari Kodok Wasiat Dewa yang baru saja
ditelannya. Maka, di
lain kejap terdengar suara ledakan amat keras. Gelombang besar menyerbu.
Bongkah-bongkah batu karang
berpentalan. Lukisan-lukisan di dinding gua langsung
ambyar menjadi serbuk halus!
Tapi..., makhluk bertangan delapan yang terkena dengan telak pukulan 'Dewa Badai
Rontokkan Langit' cuma tersurut mundur. Tak sedikit pun mendapat
luka! "Astaga...!" kejut Seno dengan bola mata melotot besar.
Kalut dan bingung segera menyerbu ke hati sanubari Pendekar Bodoh. Makhluk
bertangan delapan
selain kebal terhadap babatan Tongkat Dewa Badai,
juga tak mempan pukulan 'Dewa Badai Rontokkan
Langit', apa lagi yang dapat dilakukan Seno untuk
memukul roboh makhluk mengerikan itu"
"Sampai di mana pun kehebatan makhluk ciptaan Tuhan, dia pasti punya
kelemahan...," pikir Seno,
menenteramkan dirinya sendiri. "Aku harus menemukan kelemahan makhluk itu!"
Tongkat Dewa Badai tetap tercekal di tangan
kanan, pemuda berpakaian biru-biru itu mendahului
menerjang. Tapi, tanpa diketahui oleh Seno, delapan
tangan si makhluk mengerikan molor panjang. Dan
sebelum serangan pemuda itu membuahkan hasil, tu-
buhnya telah tercengkeram!


Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seno memekik keras. Tubuhnya terasa dijepit
balok-balok baja yang amat kuat. Lalu, terdengar suara berkerutukan. Seno pun
mendelik ngeri karena tulang-belulangnya hendak hancur berantakan!
Sebelum hal yang mengidikkan itu terjadi, Pendekar Bodoh mengeluarkan seluruh
kekuatan tenaga
dalamnya. Dengan Ilmu 'Perisai Dewa Badai' dia bermaksud melindungi tubuhnya.
Namun, ternyata ilmu
kebal itu pun tak berguna apa-apa. Suara berkerutukan terus terdengar. Tulang-
belulang Seno benarbenar hendak remuk!
Namun pada saat-saat yang amat menegangkan
itu, tiba-tiba tubuh Seno diselubungi cahaya kuning
keemasan. Lalu, terdengar suara pekik kesakitan dari
mulut makhluk bertangan delapan! Cengkeramannya
pada tubuh Seno lepas. Dan, Seno pun terbelalak penuh rasa tak percaya.
Kedelapan tangan si makhluk
mengerikan tiba-tiba meledak hancur menjadi serpihan daging berbau anyir!
Apa yang terjadi"
Tanpa disadari oleh Seno, batu mustika
'Menembus Laut Bernapas Dalam Air' yang berada di
dalam perutnya menciptakan satu kekuatan maha
dahsyat. Batu mustika itu bisa begitu karena Seno telah lebih dulu menelan Kodok
Wasiat Dewa. Tanpa
disadari pula oleh Seno, kedua benda yang amat langka itu menyatu. Saat tubuh
Seno hendak diremas
hancur oleh makhluk bertangan delapan, kekuatan
yang tercipta dari penyatuan kedua benda langka itu
terdesak keluar. Akibatnya, kedelapan tangan si makhluk mengerikan hancur
berantakan! "Aku selamat! Aku selamat!" Pendekar Bodoh
berseru girang walau tak tahu apa yang telah terjadi
pada dirinya. Selagi makhluk bertangan delapan melonjak-lonjak kesakitan, Seno
melentingkan tubuhnya,
terus masuk ke rongga gua bagian dalam. Kini, dia yakin bila Lembah Rongga Laut
berada di salah satu bagian gua itu. Karena, kalau Lembah Rongga Laut tidak
berada di gua itu, untuk apa dijaga oleh sesosok makhluk yang memiliki kekuatan
hebat" Semakin lama Pendekar Bodoh bergerak memasuki lorong gua, dia semakin menambah
kewaspadaan. Tak seberapa lama kemudian, tanpa terasa Seno
bergerak ke atas. Hingga di lain kejap, kepala Seno
menyembul ke permukaan air!
"Astaga...!" kesiap Seno.
Pemuda remaja itu mendapati dirinya berada di
suatu tempat berawa-rawa. Bergegas Seno berenang
menepi. Diselipkannya Tongkat Dewa Badai ke ikat
pinggang karena tampaknya tempat berawa-rawa yang
telah didatanginya itu amat sunyi, tak ada makhluk
lain. Sehingga, Seno yakin bila tak ada bahaya lagi.
"Aku yakin inilah tempat yang bernama Lembah Rongga Laut," pikir Seno. "Keadaan
tempat ini sama persis dengan tempat yang kulihat melalui cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa'."
Bola mata Pendekar Bodoh melotot besar manakala melihat sesosok tubuh digantung
di dahan pohon yang melengkung ke tengah rawa-rawa. Sosok
orang yang digantung dalam keadaan terikat dan mulut terbungkam sehelai sapu
tangan itu berpakaian
serba kuning. Kulit tubuhnya putih halus. Dia seorang
gadis cantik yang tak lain dari Kemuning atau Dewi
Pedang Kuning! Yang mengerikan, di bawah kaki Kemuning
yang terselonjor lurus, terdapat belasan buaya lapar
yang siap mencabik-cabik tubuh murid Dewi Pedang
Halilintar itu! Sementara, beberapa ekor tikus kuning
tampak sedang mengerati tali pengikat kedua tangan
Kemuning yang disatukan dengan dahan pohon. Apabila tali itu putus, tubuh
Kemuning akan jatuh tercebur ke rawa-rawa! Dan, apa yang selanjutnya terjadi
sudah bisa dibayangkan. Belasan buaya lapar akan
segera berpesta pora!
Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar Bodoh meloncat. Tubuhnya melayang cepat, dan
hinggap di dahan pohon tempat Kemuning digantung. Beberapa
ekor tikus yang hendak mengerat putus tali pengikat
tubuh gadis itu langsung ditendangnya hingga terpental jauh, dan tercebur ke
rawa-rawa. Lalu, dibawanya
tubuh Kemuning ke tempat lain. Buaya-buaya yang
tengah menunggu jatuhnya tubuh Kemuning cuma
dapat menatap penuh kekecewaan.
"Kemuning! Kemuning!" panggil Seno, tergeluti
rasa senang bercampur khawatir.
Setelah membaringkan tubuh Kemuning ke tanah berumput, Pendekar Bodoh melepas
ikatan di kedua tangan dan kaki gadis itu. Dilepasnya pula sehelai
sapu tangan yang menutupi mulut si gadis. Usai diberi
beberapa totokan, perlahan-lahan kelopak mata Kemuning terbuka. Segera gadis itu
tersadar dari pingsannya. Begitu melihat seraut wajah tampan milik Seno, dia
langsung bangkit seraya memeluk pemuda
yang telah manyelamatkannya itu.
"Seno.... Seno...," sebut Kemuning. "Aku takut
sekali, Seno. Bawa aku pergi dari tempat ini...."
"Tenanglah. Kau telah selamat. Tanpa kau minta, aku pasti membawamu pergi,"
sahut Seno. Kemuning menatap lekat wajah Pendekar Bodoh. Dia tumpahkan tangis kebahagiaan
dalam pelukan si pemuda...
SELESAI Segera terbit!!!
KSATRIA SERIBU SYAIR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Misteri Kapal Layar Pancawarna 18 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Perjalanan Yang Berbahaya 1
^