Pencarian

Sengketa Ahli Sihir 1

Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir Bagian 1


Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 ARCA Dewa Langit berupa seorang lelaki berjubah yang berdiri dengan tangan
menengadah. Di kepalanya bertengger sebuah tiara bergerigi. Tinggi arca
hampir menyamai tinggi batang pohon kelapa. Tampak
gagah berwibawa manakala tersiram cahaya rembulan
malam keemasan.
Sekitar lima puluh tombak di hadapan arca
yang terbuat dari batu gunung itu terpampang sebuah
danau berair bening, terpagari beraneka jenis pohon
bunga. Danau Siani, begitu warga Suku Asantar memberi nama.
Anehnya, di malam itu seorang pemuda bertubuh tegap tampak memanjat Arca Dewa
Langit. Kedua tangan dan kakinya terus bergerak merayap di antara
tonjolan batu arca. Pakaiannya yang berwarna hitamhitam membuat sosok tubuhnya
sulit dilihat dari kejauhan.
Sementara, sepi berkuasa penuh atas suasana
alam sekitar. Dingin membelenggu dan hendak meremas tulang. Hanya suara desau
angin tersahuti lolongan serigala yang kadang menggetarkan gendang telinga.
"Sebentar lagi.... Sebentar lagi! Rencana ini telah kususun sejak lama. Aku tak
boleh gagal!" kata hati pemuda yang tengah memanjat Arca Dewa Langit.
Dia berumur sekitar tiga puluh tahun. Berparas
tampan, namun ketika itu kulit wajahnya penuh coreng-moreng hitam karena olesan
jelaga. Manakala tubuhnya yang tegap telah berada di
atas kepala Arca Dewa Langit, si pemuda berdiri tegak
dengan tangan bersedekap. Kedua bola matanya ben-
ing berkilat seperti mata elang, menatap tak berkedip
Puri Dewa Langit yang tinggi menjulang.
Letak Puri Dewa Langit dengan Arca Dewa Langit dibatasi bentangan Danau Siani
yang luas. Jadi, jarak kedua bangunan itu terpaut cukup jauh. Dan pada
malam itu, Puri Dewa Langit yang dilamur warna hijau
lumut hanya terlihat samar-samar. Pantulan cahaya
rembulan tak sanggup menerangi, malah seperti hendak membutakan mata.
Namun demikian, pemuda yang tengah berdiri
di atas kepala Arca Dewa Langit terus menatap Puri
Dewa Langit tanpa bosan. Tak peduli tiupan angin
yang kadang terasa hendak melontarkan tubuhnya.
Tak peduli pula pada kain bajunya yang mulai basah
karena terpaan kabut dingin.
Tapi tak lama kemudian, pemuda berpakaian
hitam-hitam itu mengangkat kedua tangannya seperti
mengiba. Lalu, dari mulutnya terdengar rentetan kata
seperti sebuah mantra panjang..
"Aku Sasak Padempuan. Kupanggil roh para leluhur Suku Asantar. Gabungkan
kekuatan untuk membuat jalan menuju Puri Dewa Langit. Hom asantarnas paranas... ramsas..!"
Usai berkata, pemuda yang menyebut dirinya
sebagai Sasak Padempuan itu meluruskan kedua tangannya sejajar pergelangan kaki,
lalu diangkat lurus ke
arah Puri Dewa Langit. Tiba-tiba, terdengar suara
mendesis seperti bara tersiram air. Dari kedua mata
Arca Dewa Langit memancar sinar merah kebiruan,
meloncat cepat ke sebuah jendela terbuka di Puri Dewa
Langit! "Ha ha ha...!" Sasak Padempuan tertawa bergelak. "Kini tiba saatnya aku
mewujudkan impian.
Orang-orang Suku Asantar tak akan dapat mengalah-
kan ilmu sihir Sasak Padempuan! Kemenangan itu telah terbentang di depan mata!
Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa bergelak, Sasak Padempuan melangkah. Luar biasa! Sinar
merah kebiruan yang melesat dari mata Arca Dewa Langit mampu menopang tubuh pemuda itu!
Sasak Padempuan berjalan menuju Puri Dewa
Langit tanpa kesulitan sedikit pun. Dia melewati bentangan Danau Siana dengan
berjalan sepuluh tombak
di atas permukaan danau itu. Sinar merah kebiruan
benar-benar telah menjadi titian yang menghubungkan
Arca Dewa Langit dengan Puri Dewa Langit!
*** Perkampungan Suku Asantar terasa sunyi lengang. Semua penghuninya sudah larut
dalam buaian mimpi. Entah karena apa tak seorang pun warga yang
masih terjaga. Padahal, beberapa orang yang mempunyai kedudukan di suku itu suka
tidur ketika telah datang dini hari.
Sementara, di tepi aliran sungai, sekitar sepeminum teh perjalanan ke arah utara
perkampungan Suku Asantar, tampak seorang pemuda bertelanjang
dada tengah duduk bersemadi. Hanya pemuda itulah
yang tak terlelap dalam tidur.
Walau pantulan cahaya rembulan hanya dapat
memberi keremangan, dapatlah dilihat bila si pemuda
bertubuh padat berisi. Otot dan urat-uratnya pun terlihat bertonjolan. Dia
berwajah tampan dengan sepasang alis tebal melintang bak sayap elang yang sedang
terbang menukik. Rahangnya yang kokoh berbentuk
persegi, seperti dapat menggambarkan sifatnya yang
keras dan amat teguh dalam memegang pendirian.
Namun, tidak seperti orang yang sedang bersemadi pada umumnya, pemuda bercelana
panjang warna merah itu melakukan semadi di atas rimbunan
daun pohon! Beberapa ranting kecil yang menopang
tubuhnya tak melengkung ataupun patah. Agaknya, si
pemuda memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup bisa diandalkan.
Dia adalah Bancakluka, putra Kepala Suku
Asantar yang lebih dikenal dengan sebutan Baulau.
Sebagai putra Baulau Asantar, Bancakluka mempunyai hak untuk menggantikan
kedudukan ayahnya
yang bernama Bancakdulina. Dan menurut rencana
yang telah disepakati Bancakdulina dengan seluruh
warga suku, Bancakluka akan menggantikan kedudukan baulau pada malam bulan
purnama depan, mengingat Bancakdulina sendiri sudah lanjut usia. Tapi
sebelum dilakukan upacara adat penyerahan kedudukan kepala suku itu, Bancakluka
wajib memperlihatkan kemampuan ilmu bela dirinya di hadapan seluruh warga Suku
Asantar. Apabila Bancakluka dianggap kurang cakap,
maka kedudukan baulau akan digantikan warga Suku
Asantar lainnya yang dirasa lebih tinggi ilmu bela dirinya. Oleh karena itulah
Bancakluka sejak beberapa
bulan lalu telah giat memperdalam ilmu kesaktiannya.
Kokok ayam terdengar melengking tinggi manakala Bancakluka membuka kelopak mata.
Tapi, dia tak segera meloncat turun dari atas pohon. Kening si pemuda tampak berkerut rapat.
Ada sesuatu yang membuatnya terkejut.
"Astaga! Aku melihat sinar merah kebiruan melesat dari mata Arca Dewa Langit.
Itu sinar 'Titisan Leluhur'! Siapa yang berani memasuki Puri Dewa Langit"
Belum pernah aku melihat orang selancang itu. Dia
pasti punya maksud jahat. Aku harus berbuat sesuatu!"
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas Bancakluka meloncat dari ranting pohon
yang semula dijadikannya sebagai tempat bersemadi. Ringan sekali
tubuh si pemuda melayang turun. Sebelum menyentuh
permukaan tanah, dia bersalto tiga kali. Dan saat menjejak permukaan tanah,
tiba-tiba tubuh pemuda berusia dua puluh lima tahun itu berkelebat cepat. Lalu,
menghilang ditelan kegelapan malam....
*** Sasak Padempuan berada di bibir salah satu
jendela Puri Dewa Langit yang terbuka. Salah satu kakinya telah menginjak lantai
ditingkat enam. Sesaat ditatapnya sinar merah kebiruan yang telah digunakannya
sebagai titian.
"Kulepas roh para leluhur Suku Asantar. Bersatulah kalian untuk membantu
mewujudkan keinginanku. Hom asantarnas paranas... ramsas...!"
Di ujung kalimat yang mengandung kekuatan
sihir itu, Sasak Padempuan mengangkat kedua tangannya ke depan. Terdengar suara
mendesis seperti
suara bara api yang tersiram air. Sinar merah kebiruan
yang memancar dari kedua mata Arca Dewa Langit
langsung lenyap!
Sasak Padempuan membalikkan badan seraya
memutar pandangan. Bola matanya tak henti bergerak
mencari sesuatu. Perlahan, kaki si pemuda pun mulai
melangkah. Enam batang obor tampak menempel di dinding
ruangan tingkat enam Puri Dewa Langit itu. Di lantai
banyak terdapat kotak kayu berukir yang disusun rapi.
Sebagian tertutup kain beludru hitam. Dan di ruangan
yang cukup besar itu juga terdapat beraneka arca.
Semuanya berupa kepala manusia berkepala binatang.
Bibir Sasak Padempuan tersenyum senang saat
melihat sebuah kotak kecil yang menempel di dada arca manusia berkepala naga.
Kotak itu penuh ukiran
indah, terbuat dari kayu hitam. Tampak berkilat tertimpa cahaya obor.
"Kitab Palanumsas...!" desis Sasak Padempuan.
Dengan bola mata berbinar-binar, pemuda yang
kulit wajahnya penuh jelaga itu menyambar kotak
kayu yang menarik perhatiannya. Tapi... alangkah terkejutnya Sasak Padempuan.
Kotak kayu berukir yang
melekat di dada arca manusia berkepala naga tak dapat dilepas. Melekat erat
karena ada suatu kekuatan
yang menahannya!
"Hmmm.... Mana dapat kekuatan sihir orangorang Suku Asantar melawan
keinginanku?" gumam
Sasak Padempuan.
Beberapa kali pemuda itu menarik napas panjang. Sambil mundur dua langkah, dia
menatap tajam kotak kayu di hadapannya. Lalu....
"Wahai para leluhur Suku Asantar..., anakcucu kalian sengaja hendak menghalangi
keinginanku. Cobalah tunjukkan kekuatan. Lepaskan ikatan kotak
kayu itu! Hom asantarnas paranas..,, ramsas...!"
Ketika Sasak Padempuan menjulurkan kedua
pergelangan tangannya ke depan, mendadak arca manusia berkepala naga memancarkan
sinar putih. Bersamaan dengan itu, kotak kayu berukir jatuh terpelanting!
Tanpa pikir panjang, Sasak Padempuan melompat. Tangan kanannya bergerak cekatan.
Di lain kejap, kotak kayu berukir telah berada dalam cekalan-
nya. "Kitab Palanumsas...!" desis Sasak Padempuan.
"Akan segera jadi milikku! Aku akan menjadi raja sihir
yang mempunyai empat kekuatan alam maha dahsyat!
Ha ha ha...!"
Suara tawa pemuda berpakaian hitam-hitam
itu menggema di setiap ruangan Puri Dewa Langit.
Sampai Sasak Padempuan berlari-lari menuruni tangga, suara tawa si pemuda masih
terus menggema panjang. Agaknya, Sasak Padempuan yakin bila tidak ada
orang yang mengetahui perbuatannya. Sehingga, dia
bisa begitu bebas mengeluarkan suara tawanya yang
keras mengakak.
"Setelah kulakukan upacara persembahan, kotak kayu ini pasti terbuka dengan
sendirinya. Dan...,
ha ha ha...! Isi Kitab Palanumsas akan segera dapat
kupelajari! Aku akan menjadi raja dari segala raja sihir! Ha ha ha...!"
Begitulah, sambil terus tertawa penuh luapan
rasa gembira, Sasak Padempuan mempercepat langkah
kakinya agar segera dapat meninggalkan Puri Dewa
Langit. Ketika sampai di lantai paling bawah, pintu puri yang terbuat dari kayu besi
tebal ditendang hancur
oleh pemuda itu. Diiringi suara ledakan cukup keras,
pecahan kayu berhamburan. Bergegas Sasak Padempuan berlari menembus kegelapan
malam. Tapi tibatiba..., sesosok bayangan datang menghadang!
"Astaga!"
Berseru kaget Sasak Padempuan. Sosok bayangan yang menghadang langkahnya
ternyata sesosok
makhluk berwujud mengiriskan!
Makhluk itu tubuh bagian bawahnya berupa
tubuh manusia pada umumnya. Namun, si makhluk
memiliki kepala tiga! Lebih aneh lagi, ketiga kepala itu
berupa kepala naga!
"Pencuri busuk! Kembalikan pusaka Suku
Asantar itu! Cepatlah! Atau, kau ingin tulang-belulang
mu kuremukkan"!"
Mulut kepala naga yang di tengah mengeluarkan suara ngorok menyiratkan ancaman.
Terdengar keras menggelegar, hingga mampu merontokkan daun
pepohonan di dekat bangunan puri.
Sasak Padempuan tersurut mundur tiga langkah. Cepat dia tekan rasa
keterkejutannya. Mendadak,
si pemuda tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Rupanya, kau tak mempan 'Sihir
Penidur'-ku, Naga Kepala Tiga. Hmmm.... Jangan besar
mulut di hadapan Sasak Padempuan! Minggirlah! Kitab
Palanumsas tetap akan menjadi milikku!"
Ketiga kepala makhluk yang disebut Naga Kepala Tiga tampak menjulur panjang ke
depan, si makhluk marah mendengar kata-kata Sasak Padempuan.
Dan, semua bola mata makhluk itu memancarkan seberkas sinar merah yang
menebarkan hawa panas!
Segera Sasak Padempuan menyadari keadaan.
Dia tahu bila dirinya menjadi sasaran serangan. Sertamerta si pemuda mengangkat
tangan kanannya seraya
berkata.... "Gelombang angin datang menghancurkan segala sesuatu! Naga Kepala Tiga terlontar
dan jatuh terbanting! Dia tak akan pernah bangun lagi! Hom asantarnas paranas...
ramsas...!"
Maka, saat itu juga terdengar suara bergemuruh keras. Angin puting beliung
muncul, menerpa tubuh Naga Kepala Tiga!
*** 2 Di dalam rumah panggung besar terbuat dari
susunan kayu jati, seekor anjing berbulu hitam tampak mengendus-endus wajah
seorang kakek yang tengah tertidur lelap. Lidah anjing itu merah basah,
senantiasa bergerak menjilati pipi dan dahi si kakek.
"Huing...! Huing...! "
Anjing berbulu hitam mendengking. Lidahnya
terjulur makin panjang. Terus mengendus dan menjilati wajah si kakek yang tak
lain dari tuannya.
Kakek itu tengah tergolek lemah seperti sudah


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak punya nyawa. Dia mengenakan baju kuning keemasan. Bercelana longgar warna
hijau daun. Rambutnya putih meletak. Namun demikian, tubuhnya masih
tampak sehat dan tegap. Dia adalah Bancakdulina,
baulau atau kepala Suku Asantar.
"Huing...! Huing...!"
Mendengking lagi anjing berbulu hitam. Karena
Bancakdulina tak segera bangun, anjing gemuk dan
bertenaga kuat itu menggigit kain baju si kakek. Lalu,
dia bergerak mundur, hingga terseretlah tubuh Bancakdulina.
Bruk...! "Uh...!"
Tak ayal lagi, tubuh Bancakdulina jatuh dari
pembaringan. Mengeluh kesakitan dia karena tulang
bahunya membentur lantai papan yang cukup keras.
Mata si kakek memicing sebentar, tapi dia segera terlelap kembali. Sepertinya,
kepala suku itu terserang rasa
kantuk yang amat hebat.
"Huing...! Huing...!"
Anjing berbulu hitam terus mendengking-
dengking. Sekali lagi, taringnya yang runcing menggigit
kain baju Bancakdulina. Diseretnya tubuh kakek itu
ke luar rumah. Sampai di ambang pintu. Bancakdulina mengeluh lagi. Kali ini, kelopak matanya
terbuka lebar. Ketika tahu tubuhnya tengah diseret anjing berbulu hitam,
tersentak kaget kepala suku itu.
"Ya, Tuhan.... Apa yang sedang kau perbuat,
Jana?" tegur Bancakdulina
"Huing...! Huing...!"
Walau tahu Bancakdulina telah tersadar, anjing
berbulu hitam yang dipanggil Jana terus mendengking.
Ganti kain celana si kakek yang digigitnya.
"Hei! Hei! Kau hendak mengajakku ke mana,
Jana?" tegur Bancakdulina lagi. "Jangan kau seret aku
seperti ini!"
Tapi, Jana tak mau peduli. Kain Bancakdulina
tetap ditarik-tariknya ke luar rumah. Terpaksa si kakek mesti mengikuti.
Dan manakala Bancakdulina berjalan menuruni tangga, terdengar suara kokok ayam
bersahutan. Berkerut kening Bancakdulina seketika.
"Hari hampir pagi," gumam si kakek. "Aku tak
tahu apa yang telah terjadi. Kenapa aku begitu terlelap
dalam tidur?"
Jana yang telah berada di anak tangga paling
bawah menetap lekat wajah Bancakdulina. Kepalanya
bergerak-gerak menandakan ajakan.
"Huing...! Huing...!"
"Kini aku tahu apa yang tengah kau rasakan,
Jana...," ujar Bancakdulina. "Tapi, cobalah bersikap
tenang. Melihat keadaan yang begitu sepi dan terkesan
tak wajar, seorang pasti telah menerapkan ilmu 'Sihir
Penidur'. Namun..., kenapa aku juga terkena pengaruh
ilmu itu" Padahal, aku punya sebuah ilmu penangkal...."
Kerut merut di kening Bancakdulina semakin
terlihat jelas. Si kakek berdiri terpaku memikirkan peristiwa yang baru
dialaminya. Sementara, anjing berbulu hitam Jana tampak sudah sangat tak sabaran
lagi untuk mengajak tuannya itu ke suatu tempat.
"Ah! Kenapa Bancakluka belum juga pulang"
Berada di mana pemuda itu?" ujar Bancakdulina, menanyakan putra tunggalnya.
"Huing...! Huing...!"
Mendengking lagi Jana. Kepalanya mengangguk-angguk. Agaknya anjing jantan
bertubuh cukup besar itu mengerti pertanyaan Bancakdulina.
"Apa" Kau tahu?" utang si kakek untuk meyakinkan.
"Huing...!"
Jana mengangguk lagi. Lalu, dia berlari pelan
melewati jalan yang membelah perkampungan.
"Tampaknya, anjing itu ingin menunjukkan sesuatu yang amat penting kepadaku,"
gumam Bancakdulina. "Jana punya naluri yang kuat. Firasatnya tak
pernah salah. Aku harus mengikutinya. Barangkali
ada sesuatu yang membutuhkan pertolonganku...."
Tahu Bancakdulina mengikuti, Jana mempercepat larinya. Dan karena tak mau
ketinggalan, Bancakdulina pun harus mengeluarkan ilmu peringan tubuh.
Walau malam yang pekat hampir membutakan
penglihatan, Bancakdulina tak mendapat kesulitan untuk terus mengikuti langkah
kaki Jana. Karena, anjing
itu menoleh ke belakang berkali-kali, sehingga bola
matanya yang merah berkilat dapat memberi arah jalan bagi Bancakdulina.
Sasak Padempuan menatap tak berkedip sosok
Naga Kepala Tiga yang tengah meronta-ronta melawan
putaran angin puting beliung. Kotak kayu berukir yang
baru diambil dari dalam puri dicekalnya erat-erat. Manakala tubuh Naga Kepala
Tiga mulai terseret, tak kuasa lagi Sasak Padempuan menahan suara tawa.
"Ha ha ha...! Mana dapat kau melawan ilmu sihir ku, Naga Kepala Tiga" Sebentar
lagi, tubuhmu pasti terangkat dan terlontar jauh, lalu... jatuh
terbantingbanting! Ha ha ha...! Habislah riwayatmu dengan tubuh remuk redam.
Sikap usilmu membuat celaka dirimu sendiri! Impian mu untuk menjadi baulau akan
kandas pula! Ha ha ha...!"
"Jahanam!" dengus Naga Kepala Tiga. "Kenapa
kau tega berbuat jahat seperti ini, Padempuan" Kenapa kau curi barang pusaka
leluhur mu sendiri" Apa
kau tidak takut akan jatuhnya kutuk" Ingat! Orang
Asantar yang melanggar adat pasti mati tanpa meninggalkan kehormatan. Tubuhnya
akan hancur lebur,
hingga tak mungkin dapat disembahyangi lagi! Ingat!
Kau akan mati dengan cara seperti itu, Padempuan!"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan.
"Sudah! Tak perlu banyak cakap! Melanggar adat atau
tidak, itu urusanku sendiri! Mati dengan kehormatan
atau tidak, itu tak penting bagiku! Kalau sudah mati,
mana dapat orang tahu apa yang akan terjadi pada tubuhnya" Ha ha ha...! Pikirkan
saja keadaan dirimu
yang sudah hampir dijemput ajal itu!"
Usai berkata, pemuda berpakaian hitam-hitam
itu membalikkan badan. Namun sebelum pergi, ia menyempatkan menoleh seraya
berkata, "Nikmati kematianmu, Naga Kepala Tiga. Maaf.
Aku tak bisa menemanimu. Tapi, esok hari akan ku
usahakan untuk datang pada upacara penguburan-
mu...." Menggeram marah Naga Kepala Tiga. Ketiga kepalanya menjulur panjang berusaha
menyerang Sasak
Padempuan. Dari mulut ketiga kepala itu menyembur
gumpalan api merah menyala-nyala!
Namun, angin puting beliung ciptaan Sasak
Padempuan mampu meredam semua serangan Naga
Kepala Tiga. Bahkan, tubuh Naga Kepala Tiga terus
terseret menjauhi puri, dan... mulai terangkat dari
permukaan tanah!
"Selamat tinggal, Naga Kepala Tiga. Sayang sekali, kau tak akan dapat melihat
Sasak Padempuan
yang akan dinobatkan menjadi baulau...."
Setelah mengucapkan kata-kata ejekan, Sasak
Padempuan berkelebat pergi. Tubuh si pemuda segera
lenyap tertelan kegelapan malam. Tapi, suara tawanya
masih terdengar sampai beberapa lama.
Tinggallah Naga Kepala Tiga yang tengah berjuang melawan maut. Mendadak, satu
keanehan terlihat. Sosok makhluk itu berubah menjadi sosok pemuda bertubuh kekar
dan berwajah tampan.
Dia Bancakluka!
"Gelombang angin datang! Bertiup dahsyat dan
mengusir marabahaya! Hom asantarnas dadaulas...
hurinas...!"
Bancakluka yang telah berubah ke wujud aslinya menepukkan kedua telapak tangan
di atas kepala. Dibarengi satu ledakan keras, muncul tiupan angin
puting beliung. Namun, tiupan angin yang berputarputar itu segera lenyap
tertelan angin puting beliung
ciptaan Sasak Padempuan!
"Ya, Tuhan...," keluh Bancakluka dalam hati.
"Pemuda jahat itu benar-benar memiliki kekuatan hebat. Sungguh aku tak
menyangka! Uhhh...!"
Karena ilmu sihirnya tak dapat mengalahkan
ilmu sihir Sasak Padempuan, tubuh Bancakluka semakin terseret jauh. Dan tak lama
kemudian, tubuh
putra baulau itu terangkat lebih tinggi. Jelas si pemuda telah berada di ambang
kematian! Tapi mendadak....
"Gelombang angin datang! Selamatkan putra
baulau! Hom asantarnas dadaulas... hurinas...! "
Muncul tiupan angin puting beliung lagi. Namun, kali ini tiupan angin itu lebih
kuat dari angin ciptaan Bancakluka. Akibatnya, dua putaran angin puting
beliung yang mempunyai kekuatan sama dahsyat berbenturan.
Blammm...! Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh
Bancakluka jatuh bergulingan di tanah. Walau begitu,
nyawanya malah selamat karena tubuh si pemuda tak
jadi terbawa putaran angin puting beliung ciptaan Sasak Padempuan.
Suasana jadi sunyi senyap.
Tak ada lagi suara gemuruh. Putaran angin
puting beliung lenyap. Beberapa batang pohon tumbang. Sebagian telah terlontar
entah ke mana. Permukaan tanah yang semula. rata terlihat jadi banyak kubangan.
Berseru girang Bancakluka melihat kedatangan
seorang kakek berambut putih meletak bersama seekor anjing berbulu hitam.
"Sangkuk...!" ucap Bancakluka, menyebut
panggilan seorang ayah.
"Ya, Anakku. Memang aku yang datang. Syukurlah kau selamat!" sahut kakek
berambut putih meletak yang tak lain Bancakdulina, kepala Suku Asantar.
Bergegas Bancakluka bangkit. Setelah meloncat, si pemuda berlutut di hadapan
Bancakdulina. "Terima kasih, Sangkuk. Bancakluka berhutang
nyawa...."
"Hus! Antara orangtua dan anak, tak ada istilah
utang-piutang!" tegur Bancakdulina. "Kalau ingin berterima kasih, sampaikan saja
kepada Jana. Kalau tak
ada dia, mana dapat nyawamu diselamatkan?"
Bancakluka menegakkan badan seraya menghampiri anjing berbulu hitam Jana.
Dipeluknya anjing
itu penuh kasih.
"Terima kasih, Jana. Pasti kau yang mengajak
Sangkuk kemari.... "
"Huing...!"
Jana mendengking. Lidahnya terjulur, menjilati
dada Bancakluka. Sehingga, si pemuda merasa geli
dan tertawa mengikik.
"Kau tak apa-apa?" tanya Bancakdulina.
"Beginilah, Sangkuk. Aku tak apa-apa. Hanya
luka lecet yang tak berarti," jawab Bancakluka. "Tapi...."
"Tapi apa?"
"Sasak Padempuan...."
"Kenapa dengan dia?"
"Dia mencuri salah satu pusaka leluhur."
"Apa?" kejut Bancakdulina.
"Kalau tidak salah aku melihat, kotak yang dicuri itu pasti berisi Kitab
Palanumsas!"
"Astaga! Pemuda itu bukan saja telah membuatmu hampir celaka, dia juga berani
melanggar aturan para leluhur! Kita kejar dia! Kau masih dapat berlari jauh,
bukan?" "Dapat... dapat, Sangkuk," sambut Bancakluka,
bangkit berdiri.
"Ayo, Jana! Kita kejar seorang penjahat! Cari jejak Sasak Padempuan!" perintah
Bancakluka kepada
anjing piaraannya.
Jana yang tengah menjilati kaki Bancakluka
langsung menghentikan perbuatannya. Cepat sekali
binatang itu berlari sambil mengendus-endus permukaan tanah. Bancakluka dan
ayahnya segera mengikuti.
*** 3 SEMBURAT cahaya jingga di langit timur menandakan hari telah berganti. Mentari
tersenyum malu-malu menampakkan wajahnya. Alam menggeliat
bangun, pagi datang menjelang.
Di dekat muara Sungai Simandau, Sasak Padempuan tampak sibuk melakukan sesuatu.
Jelaga yang mengotori wajahnya telah dibersihkan. Walau
dingin masih terasa meremas tulang, tubuh pemuda
itu bermandikan keringat. Nafasnya pun terdengar
memburu. Dia tengah berusaha keras membuka kotak
kayu berukir yang baru dicurinya dari Puri Dewa Langit.
"Luar biasa! Luar biasa!" desis Sasak Padempuan, "Telah ku kerahkan seluruh
tenaga agar dapat
membuka kotak kayu ini. Namun, hasilnya hanya siasia belaka. Agaknya, aku memang
harus melakukan
upacara persembahan. Ilmu sihir yang melindungi Kitab Palanumsas terlalu kuat
untuk dilawan..."
Sasak Padempuan menatap lekat kotak kayu
berukir di pangkuannya. Untuk beberapa lama, si pe-
muda berpikir-pikir lagi. Kedua ujung alisnya hampir
bertautan. Keningnya pun segera dipenuhi keringat.
"Hmmm.... Kalau melakukan upacara persembahan, aku mesti menunggu sampai
datangnya bulan
purnama. Selain harus menunggu beberapa hari lagi,
aku juga butuh seutas akar kelapa yang ujungnya bercabang delapan dan secangkir
darah kucing jantan
yang tak punya kemaluan. Uh! Betapa sulitnya memenuhi kedua syarat persembahan
itu.... Ah! Kenapa kotak ini tidak kuhancurkan saja" Ya! Kuhancurkan saja! Kitab
Palanumsas adalah benda pusaka. Tidak
akan turut hancur!"
Merasa mendapat gagasan bagus, air muka Sasak Padempuan yang semula keruh
langsung berubah
cerah. Dengan bola mata berbinar, pemuda berambut
ikal panjang itu meletakkan kotak kayu berukir di atas
lempengan batu. Lalu....
Blakk! Blaakk! Dua kali telapak tangan kanan Sasak Padempuan menghantam kotak kayu berukir.
Namun... kotak kayu yang menyimpan sebuah kitab pelajaran ilmu
sihir mana hebat itu cuma bergetar. Tak pecah ataupun remuk. Padahal, lempengan
batu yang menopangnya tampak retak!
Mendengus gusar Sasak Padempuan. Ditariknya napas panjang seraya mengalirkan
seluruh kekuatan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu, dia berkata....
"Demi langit yang menjadi bapakku dan bumi
yang menjadi ibuku... di mana lagi aku menaruh muka


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau tak dapat memecahkan kotak kayu ini" Bapak
dan ibuku pasti tahu kesulitanku ini. Bantulah! Kekuatan telah ku salurkan ke
tangan kanan. Kotak kayu
pecah dan keinginanku terlaksana!"
Sembari menghembuskan udara dengan deras,
tangan kanan Sasak Padempuan terayun cepat. Saat
berkelebat, tangan si pemuda mengeluarkan suara
bergemuruh keras.
Wuusss...! Blarr...! Ledakan keras membahana di angkasa. Namun..., tak dapat lagi digambarkan betapa
terkejutnya Sasak Padempuan. Bola mata si pemuda melotot besar
dengan mulut ternganga lebar. Tak sadar pemuda berkulit sawo matang itu berdiri
terpaku beberapa lama.
Lempengan batu yang menopang kayu berukir
hancur berkeping-keping. Pecahannya yang telah menyerupai pasir beterbangan ke
segala arah. Bumi pun
sempat bergetar kencang. Tapi, kotak kayu berukir
hanya amblas satu jengkal di bawah permukaan tanah. Tetap tak pecah ataupun
remuk! "Luar biasa! Luar biasa!" seru Sasak Padempuan setelah menyadari keadaan. "Tak
ada cara lain! Kekuatan ilmu sihir harus dilawan pula dengan ilmu
sihir. Apa boleh buat. 'Sihir Peruntuh Gunung' akan
menyelesaikan kesulitan ini!"
Ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' adalah ilmu sihir
terhebat yang dimiliki warga Suku Asantar. Sehingga,
hanya warga Suku Asantar tertentu yang dapat menguasainya, walau hampir seluruh
warga Suku Asantar
amat berbakat mendalami ilmu sihir.
Sampai sejauh ini, hanya ada tiga golongan Suku Asantar yang dapat menguasai
ilmu 'Sihir Peruntuh
Gunung'. Golongan pertama adalah keturunan baulau
atau kepala suku yang pertama, yaitu keturunan Sasak Padempuan. Kedua, para
ksatria Suku Asantar
yang bertugas melindungi seluruh warga suku dari se-
rangan warga suku lainnya. Ketiga, warga suku biasa
yang memiliki peruntungan diberi kekuatan oleh Dewa
Langit. Menurut kepercayaan Suku Asantar, Dewa
Langit adalah dewa tertinggi, yang menguasai alam bagian atas.
Dan, Sasak Padempuan adalah warga Suku
Asantar yang masuk golongan pertama. Oleh karenanya dia dapat menguasai ilmu
'Sihir Peruntuh Gunung'.
Setiap warga Suku Asantar percaya, jika ilmu
sihir itu diterapkan, sebuah gunung yang semula diam
tenang pun akan meletus dengan tiba-tiba. Bahkan,
ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' juga sanggup menaikkan
permukaan air laut, sehingga perkampungan yang berada di sekitar pantai akan
tenggelam. Apabila kepercayaan itu benar, bisa dibayangkan kalau Sasak Padempuan
mengeluarkan ilmu sihir
yang mempunyai daya penghancur dahsyat itu. Dan,
tampaknya si pemuda yang telah panas hatinya tak
mau pikir panjang lagi. Dengan kedua pergelangan
tangan dijulurkan, dia mengucapkan kata-kata untuk
membangkitkan kekuatan 'Sihir Peruntuh Gunung'....
"Aku Sasak Padempuan. Adalah keturunan
Umpak Padempuan. Para dewa di jagat raya memperdengarkan keinginanku. 'Sihir
Peruntuh Gunung' akan
menunjukkan kehebatannya. Pecahkan kotak kayu di
hadapanku! Hom asantarnas... "
Tapi... sebelum Sasak Padempuan menyelesaikan kata-kata kunci ilmu sihirnya,
mendadak sesosok
bayangan hitam menerkam tubuhnya dari belakang
"Hhauuung...!"
"Aargh...!"
Memekik kaget Sasak Padempuan. Tubuhnya
jatuh bergulingan di tanah berdebu. Yang menerkam-
nya ternyata seekor anjing berbulu hitam pekat. Jana!
Untung, anjing itu cuma bermaksud menjatuhkan Sasak Padempuan. Dia tidak
bermaksud menggigit
ataupun mencakar tubuh si pemuda. Namun demikian, terkaman anjing itu telah
menggagalkan niat si
pemuda yang hendak mengeluarkan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung'.
"Keparat kau, Anjing Buduk!"
Setelah mengumpat, Sasak Padempuan tak
mempedulikan lagi sosok Jana yang berdiri dengan
mata bersinar garang. Si pemuda memutar pandangan
untuk mencari kotak kayu hasil curiannya. Dan...,
mendidih darahnya seketika. Kotak kayu berukir sudah tak berada di tempatnya
lagi! Sekitar lima tombak di hadapan Sasak Padempuan, berdiri seorang pemuda
bertelanjang dada bersama seorang kakek berambut putih meletak. Mereka
tak lain Bancakluka dan ayahnya, Bancakdulina. Sementara, tangan kanan
Bancakluka mencekal erat kotak kayu berukir yang tadi hendak dipecahkan oleh
Sasak Padempuan.
"Sasak Padempuan...," sebut Bancakdulina,
mendahului putranya berkata, "Aku tahu kau keturunan keenam Umpak Padempuan.
Sayang, kau tidak
memiliki sifat seperti kakek buyutmu itu. Telah beberapa kali kau berbuat
merugikan orang lain. Karena
itulah warga suku tidak suka mencalonkanmu sebagai
baulau. Dan, perbuatanmu sekarang ini sudah tidak
bisa dimaafkan lagi. Mencuri pusaka leluhur adalah
dosa besar. Kau harus kutangkap untuk dihadapkan
pada Pengadilan Agung!"
"Huh!" cibir Sasak Padempuan. "Mana dapat
kau menangkapku" Walau kau baulau, kau tetap keturunan warga biasa. Dan karena
kau sudah tahu ka-
lau aku keturunan Umpak Padempuan, seharusnya
kau berlutut di hadapanku, Bancakdulina! Lalu, biarkan aku pergi dengan membawa
kotak kayu yang dibawa anakmu itu!"
"Keparat!" geram Bancakluka. "Berani benar
kau berkata kasar kepada seorang kepala suku. Terkutuk kau, Padempuan!"
Terkutuk" Ha ha ha...," Tertawa bergelak Sasak
Padempuan. "Apa itu terkutuk" Jangan berkata yang
bukan-bukan, Bancakluka! Aku tahu, jiwamu harus
diselamatkan orang tua buruk rupa itu. Dan, agar bahaya tak mengancam jiwamu
lagi, berlututlah kau di
hadapanku. Setelah membenturkan jidatmu ke tanah
tiga kali, akan ku maafkan segala kesalahanmu. Lalu,
kau dan orang tua buruk rupa itu boleh pergi. Tapi,
kotak kayu berukir itu harus kau tinggalkan! Cepatlah!
Jangan sampai kesabaranku habis!"
"Jahanam!" seru Bancakluka. "Kata-katamu
memanaskan telinga dan hatiku. Kalau tak dapat aku
meringkusmu, malulah aku di hadapan warga suku.
Periuk di asap nan terbebat, taklah perbaiki wujud
wadah. Untuk membela martabat, darah tak sayang bila ditumpah."
"Tak-lah perbaiki wadah, tapi-lah menolak periuk dibelah. Tak sayang darah
ditumpah, derajat Bancakluka tetap-lah setinggi tanah," sahut Sasak Padempuan.
Bagi warga Suku Asantar, derajat setinggi tanah
adalah derajat yang paling rendah, bahkan lebih rendah dari derajat seorang
penjahat. Mendengar kata-kata Sasak Padempuan, mendidih darah Bancakluka. Namun sebelum
dia berbuat sesuatu, Bancakdulina berbisik, "Walau sudah tua,
aku masih tetap kepala suku. Biarlah aku yang menangkap pemuda sombong itu."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak lagi Sasak Padempuan. Pemuda ini sempat
mendengar bisikan Bancakdulina yang ditujukan kepada putranya. "Kalau
yang sudah tua masih berkeras hati bekerja peras keringat, lalu yang muda untuk
apa" Apakah hanya untuk menggali tanah kubur apabila yang tua sudah lagi
tak punya umur?"
"Biarkan aku...," cetus Bancakluka, tapi kalimatnya terpotong.
"Kau minggir saja, Bancakluka. Jaga Kitab Palanumsas," ujar Bancakdulina.
"Hei! Hei!" tegur Sasak Padempuan. "Kalian seperti dua ekor anjing yang sedang
berebut tulang. Kalau memang sama-sama punya keinginan, kenapa tidak maju
bersamaan?"
"Jahanam! Sombong sekali kau!" seru Bancakluka. "Bolehlah tadi aku mengaku
kalah. Tapi sekarang, lihat kemampuanku...!"
Bancakluka memindahkan kotak kayu berukir
ke tangan kiri. Lalu, tangan kanannya dijulurkan ke
depan, tepat menghadap dada Sasak Padempuan.
"Jerat sinar merah melumpuhkan raga. Akan
datang membuat penjahat jatuh tak berdaya! Hom
asantarnas dadaulas... hurinas...!"
Di ujung kalimat itu, mendadak dari jari-jari
tangan kanan melesat lima larik sinar merah menggidikkan!
Srat...! "Sinar merah memang datang, tapi akan menjerat sang empunya sendiri. Hom
asantarnas paranas...
ramsas...!" seru Sasak Padempuan.
Terkejut setengah mati Bancakluka. Lima larik
sinar merah yang keluar dari jari-jari tangannya mendadak berbalik arah. Dan,
menjerat tubuhnya sendiri.
Sehingga, kedua tangan dan kakinya tak dapat digerakkan lagi!
Bruk...! Tubuh Bancakluka yang telah kehilangan keseimbangan ambruk ke tanah. Namun,
kotak kayu berukir tetap tercekal erat di tangan kiri.
Kejadian itu berlangsung amat cepat. Membuat
Bancakdulina tak sempat menolong putranya. Jelas
ilmu sihir Bancakluka kalah jauh dibanding ilmu sihir
Sasak Padempuan.
Maka, Bancakdulina yang telah berumur enam
puluh tahun tak mau bertindak gegabah. Cepat dia keluarkan ilmu sihirnya yang
terhebat untuk dapat menaklukkan Sasak Padempuan.
"Bila sinar merah berubah jadi baja, manusia
durjana tak akan dapat berbuat apa-apa. Hom asantarnas dadaulas... uhh...!"
Kata kunci ilmu sihir Bancakdulina terpotong.
Kepala Suku Asantar itu memekik lirih. Dua jarum berwarna kuning telah menancap
di bahunya! "Licik! Licik kau, Padempuan!" saru Bancakdulina dengan wajah pucat-pasi.
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan.
"Untuk apa bermain ilmu sihir, Pak Tua" Kalau aku
dapat membunuhmu dengan 'Jarum Peremuk Tulang'.
Biarlah kusimpan ilmu sihir ku! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak, Sasak Padempuan melangkah perlahan. Dihampirinya tubuh
Bancakluka yang masih terjerat lima larik sinar merah.
Tahu Sasak Padempuan hendak mengambil kotak kayu berukir, Bancakdulina
menerjang. Namun...,
gerakannya terhenti di udara. Tubuh si kakek tiba-tiba
jatuh terbanting ke tanah. Racun 'Jarum Peremuk Tulang' telah menghisap seluruh
daya kekuatannya!
4 CUKUP lama sesosok tubuh itu mengintai dari
balik jajaran pohon bersemak-semak. Dia seorang pemuda bertubuh tinggi tegap,
mengenakan pakaian biru-biru dengan ikat pinggang kain merah. Kulitnya putih
halus, berparas tampan rupawan. Sementara, di
balik ketampanan wajahnya terpancar sinar keluguan
dan kejujuran. Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh! "Astaga!" seru si pemuda dalam hati.
"Kenapa aku jadi terpukau melihat kehebatan ilmu mereka" Kakek berambut putih
itu terkena sambitan jarum beracun! Aku
harus menolongnya!"
Murid Dewa Dungu itu dapat mendengar percakapan antara Sasak Padempuan,
Bancakluka, dan
Bancakdulina. Walau tidak semua kata dapat dimengerti artinya, Seno bisa
memastikan bila Sasak Padempuan adalah orang jahat yang baru mencuri suatu
benda berharga.
Dan menuruti jalan pikirannya yang ingin menolong Bancakdulina, bergegas Seno
meloloskan Tongkat Dewa Badai yang terselip di ikat pinggangnya. Tapi...,
seperti telah kehilangan ingatan, mendadak pemuda remaja itu cuma cengar-cengir
dan berdiri terpaku.
Rupanya, Seno melihat anjing hitam Jana yang
tengah menerjang Sasak Padempuan dari belakang.
Tubuh Sasak Padempuan langsung jatuh bergulingan
di tanah karena serudukan kepala Jana tepat menerpa
punggungnya. "Anjing buduk keparat!" geram Sasak Padempuan dengan sorot mata berkilat,
langsung meloncat
bangkit. "Haung...!"
Jana balas menatap. Sorot matanya tak kalah
berkilat. Melihat dua orang tuannya tergeletak tanpa
daya, amarah anjing bertubuh besar itu memuncak.
Setelah meraung panjang, dia menyeringai dingin memperlihatkan taring-taringnya
yang runcing bak
mata panah. Sekali lagi, dia menerjang ganas. Kali ini
kedua cakarnya bergerak cepat untuk merobek-robek
tubuh Sasak Padempuan!
"Haung...!"
"Jahanam! Mati saja kau!" seru Sasak Padempuan seraya mengegos tubuhnya ke kiri.
Terkaman Jana tak mengenai sasaran.
Saat tubuh anjing berbulu hitam pekat itu masih melayang di udara, mendadak
Sasak Padempuan
meloncat. Telapak tangan si pemuda berkelebat luar
biasa cepat, memperdengarkan suara berkesiur keras.
Lalu.... Prak...! "Huiing,..! Huiiing...!"
Tamparan Sasak Padempuan tepat mendarat di
kepala Jana! Pendekar Bodoh yang masih berdiri terpaku
tampak membelalakkan mata. Hatinya bergetar melihat tubuh Jana yang jatuh
terbanting di tanah. Sasak
Padempuan tertawa bergelak-gelak.
"Ha ha ha...! Kalau cuma anjing buduk, mana
dapat menggagalkan niatku" Nikmati kematianmu! Ha
ha ha...!"
Pemuda berambut ikal itu terus tertawa bergelak melihat Jana yang telah
menggeliat kesakitan. Tak
lama kemudian, geliatan Jana terhenti. Bola matanya
melotot besar dengan lidah terjulur keluar. Mati!
Batok kepala anjing itu telah pecah! "Kejam sekali! Kejam sekali!" seru Seno
tanpa sadar. Terkesiap Sasak Padempuan mendengar seruan
murid Dewa Dungu itu. Dia mendengus gusar manakala melihat sosok Pendekar Bodoh
yang tengah berdiri di balik semak-semak.


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmmm.... Rupanya masih ada binatang lain
yang minta mampus!" ujar Sasak Padempuan. "Keluar
kau, Pengintai Busuk!"
"Eh! Eh!" sahut Seno, entah apa makna ucapannya.
Pemuda remaja berambut panjang tergerai itu
menggaruk-garuk pantatnya yang mendadak terasa
amat gatal. Tanpa ragu-ragu, dia melangkah mendekati Sasak Padempuan.
"Hmmm.... Menilik raut wajahmu, agaknya kau
bukan warga Suku Asantar," tebak Sasak Padempuan,
keras menggeram. "Siapa kau" Kenapa ada di sini" Untuk apa mengintai" Apa kau
memang sudah bosan hidup?"
"Uh! Panjang amat pertanyaanmu!" sungut Seno. "Kalau bertanya satu-satu saja!
Sebentar, ya....
Kau bisa menyelesaikan urusan denganku nanti. Aku
mau menolong kakek yang kau racuni dengan sambitan jarum itu terlebih dulu...."
Lugu sekali Pendekar Bodoh menganggap bentakan Sasak Padempuan seperti angin
lalu. Tenangtenang saja dia berjalan mendekati tubuh Bancakdulina yang terbaring
lemah. Tanpa berkata apa-apa, murid Dewa Dungu itu
membuka kain baju Bancakdulina. Ketika melihat dua
titik kecil berwarna kuning di bahu si kakek, si pemuda menempelkan telapak
tangannya di kedua tempat
itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang bersifat
mengisap, Seno bermaksud mengeluarkan 'Jarum Peremuk Tulang'.
Melihat perbuatan Pendekar Bodoh itu, Sasak
Padempuan cuma diam terbengong-bengong. Sikap
Pendekar Bodoh yang benar-benar amat lugu malah
membuatnya tak dapat melakukan sesuatu. Sasak Padempuan sendiri tidak tahu
kenapa dia bisa membiarkan begitu saja perbuatan Pendekar Bodoh yang berusaha
menyelamatkan jiwa Bancakdulina.
Dan... hanya dalam dua tarikan napas, kedua
'Jarum Peremuk Tulang' telah berhasil dikeluarkan
Seno dari bahu Bancakdulina. Sementara, Bancakdulina tampak diam saja karena si
kakek tengah tak sadarkan diri.
"Kau tak usah khawatir, Kek. Kau akan sembuh seperti sedia kala...," ujar Seno,
seperti tak tahu
kalau Bancakdulina pingsan.
Lalu, pemuda lugu itu menempelkan batang
Tongkat Dewa Badai ke kedua bahu Bancakdulina
bergantian. Tongkat Dewa Badai yang mempunyai
khasiat memusnahkan segala jenis racun dapat mengisap seluruh racun yang hampir
merenggut nyawa
Bancakdulina. Batang Tongkat Dewa Badai yang semula berwarna putih bersih berubah kekuningan.
Itu tandanya racun yang bersarang di dalam tubuh Bancakdulina
telah berhasil diisap habis.
"Puhhh...!"
Seno meniup batang tongkat mustikanya. Dari
salah satu ujung tongkat yang runcing menyembur
asap kuning. Dan, warna Tongkat Dewa Badai kembali
putih bersih seperti semula.
"Beristirahat dulu, Kek. Aku juga harus menolong putramu...," ujar Seno
kemudian. Sasak Padempuan benar-benar tak habis mengerti melihat perlakuan Pendekar Bodoh
yang dirasa aneh. Begitu enaknya Pendekar Bodoh mengobati Bancakdulina tanpa mempedulikan
keadaan sekitar. Sepertinya, Pendekar Bodoh menganggap Sasak Padempuan hanya
sebuah patung yang tak bernyawa dan
sama sekali tak berbahaya. Padahal, sorot mata Sasak
Padempuan jelas menyiratkan kemarahan besar serta
segudang nafsu membunuh!
"Uh! Apa ini" Apa ini?" seru Seno ketika memeriksa keadaan Bancakluka. "Sinar
merah yang menjerat tubuhmu ini amat aneh. Bagaimana aku harus
memutuskannya?"
Walau dalam keadaan tak berdaya, Bancakluka
tersenyum geli melihat Pendekar Bodoh yang cengarcengir di hadapannya.
"Kau mengerti sihir?" tanya Bancakluka. Sejenak, pemuda ini lupa bila Sasak
Padempuan masih berada tak jauh darinya.
"Memangnya kenapa?" Seno balik bertanya.
"Sinar merah yang menjeratku ini tercipta oleh
kekuatan sihir. Untuk memusnahkannya harus dilawan dengan ilmu sihir pula,"
tutur Bancakluka.
"Ooo..., begitu...," Seno melongo. Raut wajahnya
semakin tampak kebodoh-bodohan.
"Keparat!" geram Sasak Padempuan tiba-tiba,
seperti baru tersadar dari mimpi panjang.
Tak dapat lagi pemuda itu menahan hawa amarah. Dia merasa tak dianggap, dan
tersinggung bukan
main. Sikap serta tindakan Pendekar Bodoh memang
teramat lugu sampai berkesan tak mempedulikan keberadaan Sasak Padempuan.
Sementara, Bancakluka yang mendengar kata
kotor Sasak Padempuan langsung terserang rasa kha-
watir hebat. Hal itu tergambar dari sorot matanya yang
berubah semakin nyalang.
Dia memandang lekat-lekat wajah Pendekar
Bodoh seakan ingin melongok isi hati pemuda remaja
itu. Melihat sinar mata Pendekar Bodoh yang tampak
amat lugu dan jujur, akhirnya Bancakluka berkata....
"Terima kasih atas pertolonganmu kepada
ayah-ku. Tapi, kau harus cepat pergi! Bawalah benda
ini. Serahkan kepada salah seorang sesepuh Suku
Asantar." Di ujung kalimatnya, Bancakluka melepas cekalannya pada kayu kotak berukir.
Namun, Seno cuma
menatap kotak kayu itu tanpa berbuat apa-apa. Membuat Bancakluka bertambah
khawatir. "Cepatlah pergi! Dia datang! Dia tak boleh memiliki benda ini!" seru Bancakluka,
melihat Sasak Padempuan melangkah menghampiri.
"Biar saja dia datang. Untuk apa aku pergi" Kalau berniat menolong orang, tak
perlu tanggungtanggung...," sahut Seno, amat lugu.
"Hei kau monyet berbaju biru!" bentak Sasak
Padempuan. "Aku tak tahu kau punya ilmu apa, hingga kau dapat membuatku jadi
terpaku. Hmmm.... Siapa kau sebenarnya, heh"!"
"Aku" Kau bertanya kepadaku?" tanya Seno,
bangkit berdiri.
"Ya! Siapa lagi kalau bukan kau, Monyet"!"
"Tapi, aku bukan monyet! Aku Seno Prasetyo,
tahu!" Menggeram marah Sasak Padempuan melihat
tatapan tajam Pendekar Bodoh. "Hmmm.... Seno Prasetyo" Namamu terdengar aneh di
telingaku. Pergilah!
Perbuatanmu tadi hampir membuatku melepas tangan
maut. Tetapi, aku masih bermurah hati untuk tak
membunuhmu asal kau segera enyah dari tempat ini!"
"Untuk apa aku pergi" Aku mau menolong
orang, tahu!" sahut Seno tak kalah garang, namun lagaknya malah terlihat seperti
orang berotak amat bebal.
"Jahanam! Tak mau diberi hati, kau memang
lebih baik mati!"
Melihat Sasak Padempuan hendak menerjang,
Bancakluka yang tergeletak di belakang Seno berteriak, "Bawalah benda itu pergi!
Cepat!" Tanpa menoleh, Seno menjawab. "Tenangtenang sajalah. Apa kau tidak ingin melihat
seorang pencuri dihajar?"
Mendesah panjang Bancakluka mendengar
ucapan Pendekar Bodoh yang tampak begitu yakin
akan kemampuannya. Karena khawatir Sasak Padempuan dapat merebut Kitab
Palanumsas yang tersimpan
di dalam kotak kayu berukir, putra kepala Suku Asantar itu berteriak lagi.
"Jangan bodoh! Di daerah ini, ilmu sihir Suku
Asantar adalah yang terhebat! Kau akan mati konyol
bila berhadapan dengan pemuda itu! Lekaslah pergi!
Kebodohanmu bukan hanya merugikan dirimu sendiri.
Benda pusaka Suku Asantar akan hilang dicuri orang!
Bawalah pergi benda ini selagi masih punya kesempatan!"
"Anjing busuk kau, Bancakluka!" sergap Sasak
Padempuan. "Kenapa mulutmu jadi begitu ceriwis" Apa
kau minta aku memperlihatkan lagi kehebatan ilmu
sihir ku, hah"!"
Bancakluka tak mempedulikan ucapan Sasak
Padempuan. Namun, jengkel dan gemas juga hatinya
melihat Pendekar Bodoh tak segera beranjak meninggalkan tempat. Sekali lagi, dia
berteriak. "Apa kau tidak mendengar ucapanku" Jangan
bertindak bodoh! Tolong serahkan benda ini kepada
sesepuh Suku Asantar! Kau akan mendapat hadiah
besar!" "Hus! Aku tidak memburu hadiah. Aku juga tidak sedang berbuat bodoh. Walau aku
dijuluki orang Pendekar Bodoh, tapi aku tidak bodoh! Kau jangan
menyebutku 'bodoh', ya"! Tak enak didengar!"
Kata-kata Pendekar Bodoh nyerocos seenaknya.
Kesal tiada terkira Bancakluka. Memikirkan keselamatan Kitab Palanumsas,
Bancakluka meronta-ronta sekuat tenaga untuk dapat melepaskan diri dari jeratan
sinar merah. Heran bukan alang kepalang pemuda bertubuh
kekar itu. Lima larik sinar merah yang menjerat tubuhnya adalah ciptaannya
sendiri, tapi kenapa tidak
bisa dikendalikannya lagi" Malah menjerat amat erat
sampai dia tak mampu menggerakkan tangan dan kakinya sama sekali. Karena
menyadari kehebatan ilmu
sihir Sasak Padempuan itulah kekhawatiran di hati
Bancakluka semakin menjadi-jadi.
"Pendekar Bodoh! Pendekar Bodoh!" teriak Bancakluka, menumpahkan kekesalannya
melihat perilaku Seno yang tampak konyol. "Dasar Pendekar Bodoh!
Walau kau berkata tidak bodoh, mana orang percaya"
Kalau kau tidak segera pergi, berarti kau memang lebih bodoh dari seekor
kerbau!" "Hei! Hei" tegur Seno. "Aku hendak menolongmu, kenapa kau malah mengataiku"
Hayo! Kau diam saja di situ! Aku akan menghajar pencuri itu!"
Seno berkata penuh keyakinan. Namun, dia tidak sedang main-main atau bermaksud
menyombongkan diri. Semua perkataannya tercetus karena sifatnya
yang amat lugu.
"Ha ha ha...!" mendadak Sasak Padempuan tertawa bergelak. "Rupanya, hari ini aku
telah berjumpa dengan orang sinting. Ha ha ha...! Orang sinting hendak menghajar ku" Ha ha
ha...! Mana bisa" Mana bisa?"
"Hah" Apa katamu" Aku sinting?" sungut Seno.
"Aku tidak sinting, Tolol!"
"Jahanam! Sinting atau tidak, agaknya aku
memang harus mengirim nyawamu ke neraka!"
Sambil menggembor keras, Sasak Padempuan
menerjang. Kedua kepalan tangannya bergerak beruntun untuk menonjok dada dan
muka Pendekar Bodoh.
Tapi.... Bluk! Tok! "Uh! Aduh!"
Mata Bancakluka terbelalak dalam keterpanaan. Walau tak dapat bergerak, pemuda
itu sempat melihat kedua tangan Pendekar Bodoh yang berkelebat
lebih cepat. Bukan saja dapat menghindari pukulan
Sasak Padempuan, Pendekar Bodoh juga berhasil
mendaratkan serangan dengan telak.
Tubuh Sasak Padempuan jatuh terbanting di
tanah. Tak dapat menahan rasa sakit, mulutnya mengaduh-aduh beberapa lama.
"Luar biasa! Luar biasa!" seru Bancakluka.
"He he he...," Seno tertawa terkekeh. "Kau lihat
aku menghajar pencuri itu, bukan" Perutnya telah kugebuk. Kepalanya telah ku
jitak. He he he.... Biar dia
tahu rasa!"
"Ya! Ya! Kau tak sebodoh yang kukira!" sahut
Bancakluka, tersenyum senang.
*** 5 SETAN alas!" dengus Sasak Padempuan seraya
meloncat bangkit. "Rupanya, kau sengaja menyembunyikan kepandaian di balik sikap
tololmu itu. Hmmm.... Bukan keturunan Umpak Padempuan kalau
aku tak mampu meremukkan tulang-belulang mu!"
"Eh! Eh! Siapa yang menyembunyikan kepandaian?" sahut Seno dengan air muka polos
seperti bayi tak punya dosa. "Bukankah kau baru saja kugebuk
dan ku jitak" Aku telah memperlihatkan kepandaian.
Jangan keliru, eh... siapa ya namamu" Dan, eh... siapa
itu Umpak Padempuan?"
Mendengar kata-kata Pendekar Bodoh, makin
memuncak amarah Sasak Padempuan. Raut wajahnya
kontan menegang garang. Darahnya mendidih naik
sampai ke ubun-ubun.
Lalu sambil menghembuskan seluruh udara di
paru-parunya, pemuda berpakaian hitam-hitam itu
menerjang ganas. Pergelangan kakinya berkelebat cepat untuk mendaratkan
tendangan melingkar. Tentu
saja dia bergerak lebih hati-hati karena tak mau kejadian pada gebrakan pertama
tadi terulang lagi.
"Hiaahhh...!"
Seno cuma cengar-cengir melihat tubuh Sasak
Padempuan yang melesat cepat ke arahnya. Namun
saat telapak kaki kanan pemuda itu hampir menerpa
wajahnya, bergegas Seno membuang tubuh ke kiri.
Dengan gerakan 'Kunyuk Lapar Menyambar Pisang', tiba-tiba telapak tangan kiri
Seno berkelebat cepat sekali.
Plakkk...! "Aduh...!"
Sekali lagi, tubuh Sasak Padempuan jatuh terbanting ke tanah. Kali ini si pemuda
sempat merasa pusing beberapa lama karena tamparan Pendekar Bodoh yang cukup keras tepat
menerpa pipinya!
"Luar biasa! Luar biasa! Ilmu silat yang sangat
hebat!" seru girang Bancakluka. Andai pemuda ini tidak sedang terjerat lima
larik sinar merah, pastilah dia
berjingkrak-jingkrak senang melihat Pendekar Bodoh
menghajar Sasak Padempuan.
Sementara hati Bancakluka terpenuhi luapan
rasa gembira, berlawanan dengan isi hati Sasak Padempuan. Merah padam wajah
Sasak Padempuan. Pipi
kanannya terasa panas luar biasa. Kepalanya pun terasa amat pening, membuat


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangannya berkunang-kunang. Jemari tangan Pendekar Bodoh membekas merah di
pipi kanan pemuda itu.
"Jahanam! Keparat busuk kau, Pemuda Asing!"
maki Sasak Padempuan. "Soal ilmu silat, mungkin aku
kalah denganmu. Tapi, aku adalah keturunan Umpak
Padempuan. Ku tantang kau mengadu ilmu sihir!"
"Boleh...," sahut Seno sambil menggaruk pantat.
Begitu mudahnya murid Dewa Dungu itu menyambut tantangan Sasak Padempuan,
padahal dia nyaris tak paham ilmu sihir sama sekali. Dia tak tahu
bagaimana menyerang maupun menahan gempuran
ilmu sihir. Apa yang tercetus dari benak Seno hanya
karena sifatnya yang amat lugu. Begitu lugunya, sampai-sampai dia belum
menyadari bila Sasak Padempuan adalah sosok manusia kejam yang amat berbahaya,
walau beberapa saat tadi dia sempat melihat tindakan licik Sasak Padempuan yang
menyambitkan dua
batang jarum beracun ke bahu Bancakdulina.
Sementara, Bancakluka masih terus terbawa
luapan rasa gembira. Melihat dua kali Pendekar Bodoh
memukul roboh Sasak Padempuan, putra Bancakdulina itu jadi percaya dan amat
yakin bila Pendekar Bodoh akan dapat mengalahkan Sasak Padempuan. Tapi,
benarkah begitu"
"Api datang" Panas membakar! Tak ada yang
sanggup menahannya! Juga, pemuda berbaju biru itu!
Hom asantarnas paranas... ramsas...!" seru Sasak Padempuan dengan kedua tangan
terjulur lurus ke depan.
Si pemuda lugu Seno Prasetyo masih terus cengar-cengir. Dia tidak melihat adanya
aliran tenaga dalam di pergelangan tangan Sasak Padempuan. Hingga,
dia bisa bersikap tenang. Tapi setelah melihat ujung
jemari tangan Sasak Padempuan mengeluarkan lidahlidah api, barulah Seno
menyadari akan adanya bahaya.
Wesss...! "Astaga! Aku harus melawannya dengan
'Pukulan Inti Dingin'!" cetus Seno di balik keterkejutannya.
Tanpa pikir panjang, murid Dewa Dungu itu
memindahkan Tongkat Dewa Badai ke tangan kiri.
Sementara, tangan kanannya langsung dialiri kekuatan tenaga dalam. Hingga di
lain kejap, pergelangan
tangan Seno berubah warna menjadi kuning keemasan!
"'Pukulan inti Dingin'...!" seru Seno seraya
menghentakkan telapak tangan kanannya.
Melesat gumpalan salju berwarna kuning keemasan. Hawa dingin menyebar ke mana-
mana. Namun, mendelik mata Seno. Gumpalan salju wujud dari
'Pukulan Inti Dingin'-nya tak dapat memapaki ataupun
menahan lesatan api merah ciptaan Sasak Padem-
puan. Gumpalan salju terus melesat tanpa membentur apa-apa. Dan, lidah-lidah api yang
tercipta dari ilmu sihir Sasak Padempuan juga terus melesat. Hingga,
jiwa Seno dan Sasak Padempuan sama-sama dalam
bahaya! "Keparat!" geram Sasak Padempuan sambil meloncat jauh ke kanan.
Pukulan jarak jauh Seno hanya menerpa batang pohon. Ledakan cukup keras
terdengar. Batang
pohon sebesar dua pelukan manusia dewasa itu langsung tumbang. Titik-titik salju
berhamburan ke angkasa. Saat jatuh turun kembali, di tempat itu bagai
terjadi hujan salju. Permukaan tanah dan air Sungai
Simandau yang semula bersih bening jadi dipenuhi titik-titik salju yang
menebarkan hawa dingin menusuk.
Untuk menghindari bahaya maut, Pendekar
Bodoh berbuat serupa dengan Sasak Padempuan.
Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh 'Lesatan
Angin Meniup Dingin', Pendekar Bodoh mampu melentingkan tubuhnya seringan kapas.
Selamatlah jiwanya
dari serbuan lidah api yang panas menyala-nyala.
Namun..., tanpa disadari oleh pemuda lugu itu.
Lesatan lidah-lidah api ciptaan Sasak Padempuan
mendadak terhenti di belakang tubuhnya. Lalu, melesat lebih cepat untuk segera
membakar tubuh Pendekar Bodoh!
"Awaasss...!" teriak Bancakluka, mengingatkan.
Cepat Seno menoleh. Betapa terkejutnya dia
melihat lidah-lidah api yang melesat amat cepat ke
arahnya. Namun, dia tak mau berkelit. Tongkat Dewa
Badai dikibaskan sekuat tenaga.
Wesss...! Gelombang angin pukulan muncul bak tiupan
topan. Tapi, gelombang angin itu lewat begitu saja. Lidah-lidah api terus
melesat tanpa tertahankan lagi!
"Celaka!" desah Seno.
Bergegas pemuda remaja itu merunduk seraya
menggulingkan tubuhnya ke tanah. Namun tak urung,
sebagian rambutnya terbakar dan menebarkan bau
sangit! "Celaka! Bagaimana ini" Bagaimana ini" Ilmu
setan! Ilmu setan!"
Begitulah teriakan yang keluar dari mulut Pendekar Bodoh. Si pemuda meloncat ke
sana-sini untuk
menghindari lidah-lidah api ciptaan Sasak Padempuan. Untung, Pendekar Bodoh
memiliki ilmu peringan
tubuh 'Lesatan Angin Meniup Dingin', hingga tak mudah lidah-lidah api itu
menyentuh tubuhnya. Namun
demikian, bahaya maut tetap mengintai jiwa Pendekar
Bodoh! Wajah Bancakluka pun berubah pucat pasi melihat apa yang tengah terjadi pada
Pendekar Bodoh.
Dia hendak membantu memusnahkan lidah-lidah api
yang tercipta dari kekuatan ilmu sihir. Tapi, niatnya
itu tak pernah terwujud karena kedua tangan dan kakinya masih terjerat sinar
merah yang membuatnya
tak bisa bergerak.
Sementara, Sasak Padempuan tampak tertawa
bergelak penuh kemenangan.
"Ha ha ha...! Ilmu pukulanmu memang hebat,
Pemuda Asing! Tapi, mana mungkin dapat meredam
kehebatan ilmu sihir ku" Ha ha ha...!"
Ketika Sasak Padempuan tertawa itulah tubuh
Bancakdulina menampakkan gerakan. Setelah mengeluh pendek, si kakek siuman!
"Sangkuk...! Sangkuk...!" teriak Bancakluka
penuh pengharapan. "Kau lihat pemuda berbaju biru
itu, Sangkuk! Dia bisa menolongmu! Kini, tolonglah
dia, Sangkuk! Dia tak mengerti ilmu sihir!"
Bancakdulina mengedarkan pandangan. Keningnya langsung berkerut rapat melihat
Pendekar Bodoh yang tengah dikejar lidah-lidah api. Walau baru
tersadar dari pingsan, teriakan Bancakluka dapat didengarnya dan dapat pula
dimengerti. Merasakan tenaganya yang sudah pulih seperti sedia kala, tahulah
si kakek bila ucapan Bancakluka memang benar. Pemuda baju biru yang tak lain
Pendekar Bodoh pasti telah menolongnya.
Maka, serta-merta Bancakdulina meloncat
bangkit seraya berteriak, "Gelombang angin membawa
api pergi. Bahaya lenyap dan takkan kembali lagi. Hom
asantarnas dadaulas... hurinas...!"
Di ujung kalimat kepala Suku Asantar itu, entah dari mana asalnya tiba-tiba
muncul putaran angin
puting beliung. Diiringi suara bergemuruh memekakkan gendang telinga, putaran
angin yang tercipta dari
ilmu sihir itu menghadang lesatan lidah-lidah api yang
tengah mengejar Pendekar Bodoh,
Blarrr...! Wesss...!
Sesaat, terdengar ledakan menggelegar. Lidahlidah api terkurung putaran angin
puting beliung, lalu
dibawa terbang ke angkasa. Dan, lenyap tanpa bekas!
Marah luar biasa Sasak Padempuan. Darahnya
yang menggelegak panas membuat mulutnya ternganga dan tak dapat mengucapkan
sepatah kata pun.
Hanya bola matanya yang melotot besar, menatap
Bancakdulina penuh kebencian.
Sementara, Bancakdulina tak begitu memperhatikan pemuda itu. Si kakek
menjulurkan kedua tangannya ke arah Bancakluka yang masih terbaring di
tanah. "Kekuatan hebat datang. Sinar merah lenyap.
Putra ku bebas tak terikat lagi! Hom asantarnas dadaulas... hurinas...!"
Berseru girang Bancakluka. Lima larik sinar
merah yang menjerat tubuhnya tiba-tiba lenyap. Hingga, dapatlah dia menggerakkan
kedua tangan dan kakinya.
"Terima kasih, Sangkuk! Terima kasih!" seru
Bancakluka seraya meloncat mendekati ayahnya.
Pendekar Bodoh cuma cengar-cengir melihat
permainan ilmu sihir Bancakdulina. Namun, diucapkannya rasa syukur dalam hati
karena telah terbebas dari bahaya maut.
"Sangkuk, pemuda berbaju biru itu telah mengeluarkan 'Jarum Peremuk Tulang' dari
bahu Sangkuk," beri tahu Bancakluka. "Dia hebat. Sayang, dia
tak mengerti ilmu sihir."
Dari jarak sekitar empat tombak, Bancakdulina
menatap wajah lugu Seno. "Berdirilah di sisi ku! Di situ amat berbahaya!"
pintanya, berteriak keras.
Ada kekuatan aneh yang menyuruh Seno menganggukkan kepala. Lalu seperti kerbau
dicocok hidungnya, pemuda lugu itu melangkah ke sisi kanan
Bancakdulina. "Kotak itu!" seru Bancakluka tiba-tiba.
Rupanya, Bancakluka melihat kelebatan tubuh
Sasak Padempuan yang hendak menyambar kotak
kayu berukir yang tergeletak di tanah. Tadi, Bancakluka lupa membawa kotak kayu
itu. "Tenang saja!" sahut Pendekar Bodoh yang telah menyadari keadaan.
Murid Dewa Dungu itu menghadapkan telapak
tangan kanannya ke depan. Tongkat Dewa Badai telah
diselipkan kembali ke ikat pinggangnya.
Wusss...! Satu kekuatan tak kasat mata melesat dari telapak tangan Seno. Kekuatan yang
berasal dari pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu menarik kotak
kayu berukir! Berdecak kagum Bancakdulina dan putranya
melihat kotak kayu berisi Kitab Palanumsas melayang
sebat, lalu menempel di telapak tangan kanan Seno.
Kekaguman mereka terhadap kemampuan Seno jelas
terlihat di sorot mata.
Bertolak belakang dengan Sasak Padempuan.
Menggeram marah dia. Sambarannya hanya mengenai
angin kosong. Karena kelebatan tubuhnya diliputi hawa amarah, membuat pemuda itu
kurang hati-hati.
Hingga, si pemuda tak dapat lagi mengendalikan gerak
tubuhnya. Dan, jatuhlah dia terguling-guling!
Sumpah serapah dan kata-kata kotor lainnya
segera menyembur dari mulut Sasak Padempuan. Namun dengan tenang, Bancakdulina
menyahuti.... "Sasak Padempuan..., tak perlu kau teruskan
niatmu yang ingin memiliki Kitab Palanumsas. Mengingat kau keturunan Umpak
Padempuan, bolehlah
kau kuberi ampunan atas kesalahanmu ini. Pergilah!
Jangan sekali-sekali menginjakkan kaki di Perkampungan Suku Asantar!"
"Sangkuk...," sergah Bancakluka. "Dia tak boleh
pergi begitu saja. Lihat itu!"
Bancakdulina mengarahkan pandangan ke
tempat yang ditunjukkan Bancakluka. Kontan bola
mata kakek yang wajahnya telah dipenuhi kerutan itu
melotot besar. Dia melihat anjing piaraannya, Jana, telah mati dengan batok
kepala pecah! Dengan menarik napas panjang beberapa kali,
Bancakdulina berusaha menekan perasaan tak enak di
hatinya. "Kau benar-benar jahat dan kejam, Sasak Padempuan...," ujar Bancakdulina
kemudian. "Kau telah
membunuh anjing kesayanganku. Namun, memandang muka Umpak Padempuan, bolehlah
kau tetap kuberi ampunan. Cepat pergi! Jangan sampai aku berubah pikiran!"
Sasak Padempuan malah tertawa bergelak. "Ha
ha ha...! Sombong benar kau, Tua bangka! Jangan kau
kira dengan kehadiran pemuda asing itu kau dapat
mengalahkan ilmu sihir ku! Justru kaulah yang harus
pergi!" "Keparat!" maki Bancakdulina. "Diberi hati malah menantang perkara. Terkutuk
kau, Padempuan!"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan.
"Apa guna kau turut berkata, Bancakluka" Ilmu kepandaianmu hanya sejengkal.
Diamlah! Tunggu saja
saat kematianmu setelah kubunuh dulu bapakmu itu!"
"Keparat!" maki Bancakluka lagi.
Pemuda bertelanjang dada itu hendak menerjang, namun tangan kiri Bancakdulina
keburu menekan bahunya.
"Biarkan aku yang memberi pelajaran padanya!" bisik si kakek.
"Tapi..., dia menghinaku, Sangkuk...," tolak
Bancakluka. "Diam kataku!" bentak Bancakdulina. "Apa kau
lupa kejadian di dekat Puri Dewa Langit tadi?"
Mendengar ucapan itu, langsung meredup sinar
mata Bancakluka. Di dekat Puri Dewa Langit, dia memang hampir celaka karena tak
mampu melawan ilmu
sihir Sasak Padempuan.
"Kalau kau hendak menjajal ilmu sihir ku, kuberi kesempatan kepadamu untuk
memulai dulu!" seru
Bancakdulina. Sasak Padempuan menatap sejenak wajah kepala Suku Asantar itu, lalu....
"Kekuatan api, tanah, air, dan angin akan menyatu. Tak ada satu pun kekuatan
lain yang mampu
melawan! Segala...."
"Astaga!" kesiap Bancakluka di tengah-tengah
kalimat Sasak Padempuan, "Dia hendak mengeluarkan
ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung', Sangkuk!"
Bancakdulina tampak terkejut. Tentu saja si
kakek tahu bagaimana kedahsyatan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' karena dia sendiri
juga menguasai ilmu
itu. Sebelum menjadi baulau atau kepala Suku Asantar, Bancakdulina adalah
seorang ksatria suku. Sementara, seorang ksatria adalah golongan kedua warga
Suku Asantar yang dapat menguasai Ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung'.
Kedahsyatan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung'
hanya dapat dilawan dengan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' pula. Tapi, bentrokan
dua ilmu sihir yang sama
jenis itu akan mengakibatkan ledakan dan kerusakan
hebat, Korban jiwa pasti jatuh! Memikirkan akibat itu,
Bancakdulina jadi ragu-ragu untuk mengeluarkan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung'-nya.
Dan keraguan dalam


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri si kakek membuatnya berdiri terpaku tanpa berbuat apa-apa. Padahal, bahaya
besar akan segera datang!
Mendadak, Bancakluka meloncat ke belakang
Pendekar Bodoh yang masih tampak tenang-tenang saja karena tak tahu apa yang
akan terjadi. Bancakluka
langsung menempelkan kedua ujung telunjuk jari tangannya ke pelipis Pendekar
Bodoh. "Aku mohon keluarkan lagi ilmu 'Pukulan Inti
Dingin'-mu. Kubantu kau dengan kekuatan ilmu sihir!"
bisik Bancakluka.
Walau belum tahu apa maksud Bancakluka,
Pendekar Bodoh berkata, "Ya! Ya...."
Dalam sekejap mata, pergelangan tangan kanan. Seno berubah warna menjadi kuning
keemasan. Itu tandanya dia telah mempersiapkan ilmu 'Pukulan
Inti Dingin'! "... sesuatu meledak tanpa ampun! Mereka mati
dengan tubuh hancur tercerai-berai!" seru Sasak Padempuan, lanjutan kalimatnya
tadi. "Hom asantarnas
paranas... ramsas...!"
Mendadak, bumi bergetar kencang bagai terjadi
gempa hebat. Di sana-sini permukaan tanah retak.
Beberapa batang pohon langsung tumbang!
Dari jemari tangan Sasak Padempuan keluar
sepuluh larik sinar melengkung-lengkung berwarna
kuning kemerahan. Garis-Garis sinar itu langsung menyerbu cepat ke depan!
Sesaat, hawa udara berubah
panas membakar!
"Sekarang!" seru Bancakluka tanpa melepas
kedua telunjuk jarinya dari pelipis Seno.
"Sekarang apanya?" tanya Seno, tak mengerti.
"Keluarkan Ilmu pukulanmu itu, Tolol!" perintah Bancakluka, setengah jengkel.
Pendekar Bodoh mengangguk. Telapak tangan
kanannya dihentakkan ke depan, Gumpalan salju
berwarna kuning keemasan melesat cepat, memapaki
garis-garis sinar yang keluar dari jemari tangan Sasak
Padempuan! Wuusss...! Blammm...! Pendekar Bodoh, Bancakluka, dan Bancakdulina memekik panjang menyayat hati.
Bersamaan dengan bongkah-bongkah batu dan gumpalan tanah yang
melayang berhamburan, tubuh mereka terlontar amat
cepat. Lalu..., tercebur ke Sungai Simandau yang cukup dalam!
*** 6 BUMI yang berguncang dibarengi ledakan dahsyat membuat kerusakan hebat.
Permukaan air Sungai
Simandau bergolak naik, membentuk gelombang besar. Hampir semua batang pohon di
sekitar sungai itu
tumbang dan tercabut akarnya dari dalam tanah. Sebagian malah hancur luluh
menjadi serbuk halus. Di
pusat ledakan terbentuk lubang amat dalam bergaris
tengah sepuluh tombak, cukup untuk menguburkan
bangkai tiga ekor gajah sekaligus!
Anehnya, walau terjadi kerusakan yang begitu
mengiriskan, tubuh Sasak Padempuan tetap berdiri tegak di tempatnya. Hanya saja,
dia tak dapat bergerak
sedikit pun, apalagi beranjak ke tempat lain. Sekujur
tubuh pemuda itu terbungkus lapisan salju keras berwarna kuning keemasan. Hawa
yang teramat dingin telah menguras seluruh tenaganya. Ancaman kematian
mengintai karena cairan darahnya mulai membeku!
Agaknya 'Pukulan Inti Dingin' Pendekar Bodoh
yang disertai kekuatan ilmu sihir Bancakluka sanggup
mengalahkan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' Sasak Padempuan. Ilmu sihir Bancakluka
memang tak setinggi
ilmu sihir Sasak Padempuan. Tapi ketika digabungkan
dengan ilmu pukulan Pendekar Bodoh, ilmu sihir Bancakluka berubah menjadi sebuah
ilmu sihir lain yang
berkekuatan luar biasa dahsyat.
Putaran waktu berlalu menjadikan hening suasana. Tak ada satwa yang berani
mendekat. Hanya desau angin yang kerap menepuk gendang telinga. Sementara,
gemericik air Sungai Simandau terdengar bagai mewakili nyanyian alam yang
mendendangkan lagu
duka. Namun, aliran sungai itu segera membentuk
gelombang lagi. Sesosok tubuh muncul bersama cipratan air. Rambutnya panjang
terurai. Sesosok tubuh itu lalu bergerak menepi. Sambil
berenang menepi, tangan kanannya mencekal erat sebatang tongkat pendek berwarna
putih. Dia si Pendekar Bodoh, Seno Prasetyo!
Manakala pemuda lugu itu tengah terbaring
dengan napas megap-megap, aliran Sungai Simandau
terbentuk dua gelombang bersamaan. Diiringi suara
berdebur, dua sosok tubuh melesat ke tepian. Mereka
Bancakluka dan ayahnya, Bancakdulina!
"Kita selamat, Sangkuk! Kita selamat!" ujar
Bancakluka di antara dengus nafasnya yang terengahengah.
"Di mana pemuda itu?" sahut Bancakdulina,
menanyakan Pendekar Bodoh.
Dengan napas yang masih megap-megap, Bancakluka mengedarkan pandangan. Demikian
pula dengan Bancakdulina. Ketika melihat tubuh Pendekar Bodoh yang terbaring tak
bergerak di tanah, seperti diberi
aba-aba Bancakluka dan ayahnya merangkak menghampiri bersamaan.
"Pendekar Bodoh! Pendekar Bodoh!" teriak
khawatir Bancakluka
"Uh! Siapa memanggilku?" sahut Seno seraya
bangkit duduk. "Kau... kau tidak apa-apa, Anak Muda?" tanya
Bancakdulina. "Tidak apa-apa bagaimana" Napas ku hampir
putus.... Untung, aku tidak mati..."
Pendekar Cacad 18 Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Suling Pualam 19
^