Pencarian

Sengketa Ahli Sihir 2

Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir Bagian 2


Wajah Seno menegang kaku seperti menyimpan
kejengkelan di hati. Namun mendadak, dia tertawa
terkekeh-kekeh.
"He he he.... Lihat itu! Lihat itu! Pemuda itu jadi
patung salju! He he he...."
Bancakluka dan ayahnya langsung mengarahkan pandangan ke arah tudingan Seno.
Mereka melihat tubuh Sasak Padempuan yang masih berdiri tegak
terbungkus lapisan salju kuning keemasan.
"Makan kesombonganmu itu! He he he.... Kalau
sudah begitu, kau mau apa lagi" Mau pamer ilmu sihir
lagi" Mana bisa" Mana bisa?" ujar Seno di sela suara
tawanya. "Celaka!" desis Bancakdulina tiba-tiba, air mukanya terlihat muram menyimpan
rasa takut. "Ada apa, Sangkuk?" tanya Bancakluka, tak
mengerti. "Kalau dia mati, seluruh warga Suku Asantar
akan kejatuhan kutuk!"
"Ah! Benarkah itu?" air muka Bancakluka turut
mengeras. "Bagaimana bisa begitu, Sangkuk?"
"Seorang kepala suku termasuk keturunannya
memiliki harkat dan martabat tinggi. Dia tidak boleh
disakiti, apalagi dibunuh! Kalau ada yang berani melakukannya, kutuk para dewa
akan jatuh. Seluruh warga Suku Asantar akan menderita!"
"Benarkah itu, Sangkuk?"
"Begitulah kepercayaan yang melekat erat di
suku kita. Kepercayaan itu telah ada jauh-jauh hari
sebelum aku lahir. Setiap orang percaya kebenarannya...."
"Aku tak mengerti apa yang kalian bicarakan...," sela Seno. "Pemuda itu
keturunan kepala suku?"
Bancakdulina mengangguk. "Dia bernama Sasak Padempuan, keturunan Umpak
Padempuan. Sementara, Umpak Padempuan adalah kepala suku pertama kami, yang
hidup puluhan tahun silam," tuturnya menjelaskan.
"Ooo..., begitu.... Namun, kadang-kadang kepercayaan hanya tinggal kepercayaan.
Belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya...," sahut Seno sambil
menggeleng-geleng. Pemuda remaja ini sudah tahu bila
Bancakdulina adalah Kepala Suku Asantar. "Kalau setiap kepala suku dan
keturunannya tidak boleh disakiti ataupun dibunuh, kenapa pemuda itu hendak
melakukannya padamu dan putramu, Kek?"
"Itu karena dia jahat. Sebenarnya, dia telah lama keluar dari pergaulan suku,
karena tak ada orang
yang menyukainya. Mungkin dia punya dendam dan
sakit hati, sehingga ia bermaksud membuat sengsara
warga suku dengan berbuat sesuatu yang melanggar
salah satu kepercayaan...," tutur Bancakdulina.
"Ah! Begitu" Masuk akal juga. Tapi...."
"Tapi apa?" Bancakluka yang bertanya.
"Kita belum saling mengenal. Kenapa kok sudah akrab begini, ya...." sergap Seno,
cengar-cengir. "Eh! Ya, ya!"
"He he he.... Aku ingin bersahabat dengan kalian. Tapi, kita urus dulu pemuda
itu. Dia belum mati."
Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Seno meloncat.
Ringan sekali tubuhnya melayang menempuh jarak
sekitar sepuluh tombak. Dia mendarat sigap di hadapan Sasak Padempuan.
Setelah cengar-cengir sejenak, murid Dewa
Dungu itu mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya ke
tangan kiri. Dengan mengeluarkan ilmu 'Pukulan Inti
Panas', dia menghadapkan telapak tangan kirinya ke
tubuh Sasak Padempuan. Hawa panas menebar,
membuat lapisan salju yang membungkus tubuh Sasak Padempuan meleleh perlahan.
Saat lapisan salju tak tampak lagi, tubuh Sasak
Padempuan jatuh terjengkang. Dan tetap tak dapat
bergerak karena kesadarannya telah lenyap. Pingsan!
"Kita hadapkan saja dia ke Pengadilan Agung.
Biar para sesepuh suku yang menjatuhkan hukuman!"
cetus Bancakdulina.
"Ya" Aku juga berpikir begitu, Sangkuk," tegas
Bancakdulina. Seno cuma cengar-cengir.
*** "Dengan menumpang kapal seorang saudagar,
aku pergi ke Pulau Salyadwipa ini. Saudagar yang baik
hati itu mengaku bila dirinya salah seorang warga Suku Asantar. Dia banyak
bercerita tentang kehebatan
dan kekuatan ilmu sihir. Ketika dia menunjukkan salah satu kemampuannya, aku
benar-benar terkejut
dan tercengang. Ilmu sihirnya memang amat hebat.
Tapi katanya, ilmu sihirnya tidak seberapa. Kalau aku
ingin melihat kekuatan ilmu sihir yang lebih hebat, dia
menyuruhku untuk datang langsung ke Perkampungan Suku Asantar. Aku tertarik.
Selama beberapa hari
di atas kapal, aku belajar bahasa Suku Asantar kepadanya...," tutur Pendekar
Bodoh, menceritakan asal
mula kedatangannya.
Murid Dewa Dungu itu duduk bersila di balaibalai rumah Bancakdulina, beralaskan
tikar yang ter-
buat dari anyaman serat pohon sejenis pohon pisang.
Bancakdulina dan Bancakluka tampak duduk bersila
pula. Mereka bertiga telah berganti baju. Bancakdulina dan putranya mengenakan pakaian
putih merah yang dihiasi sulaman benang emas. Di kepala kedua
lelaki itu terdapat topi yang terbuat dari kain merah
panjang yang dililitkan melingkar. Pendekar Bodoh
mengenakan pakaian dengan potongan serupa, tapi
berwarna putih-kuning. Rambutnya dibiarkan tergerai
panjang ke punggung.
"Saudagar itu pasti Suta Sedadang," tebak Bancakdulina.
"Tepat sekali. Saudagar yang kapalnya cukup
besar dan memimpin anak buah dua puluh orang itu
memang Suta Sedadang," membenarkan Seno. "Dia
baik sekali, Kek. Hendak diantarnya aku ke Perkampungan Suku Asantar ini. Dan,
hendak diperkenalkan
pula aku kepada keluarganya. Hanya sayang, kapalnya
tak dapat lama-lama berlabuh. Ada barang dagangan
lagi yang harus cepat sampai ke tanah Jawa. Eh..., kok
Kakek tahu kalau saudagar itu Suta Sedadang...."
"Di antara Suku Asantar, hanya dia yang mempunyai kapal dan bermata pencarian
sebagai pedagang. Kami semua di sini hidup dengan bercocok tanam," jelas
Bancakdulina. "Eng.... Maaf, Seno," sahut Bancakluka. "Apa
benar kau bergelar Pendekar Bodoh?"
"Memangnya kenapa?" Seno balik bertanya.
"Ah! Tidak apa-apa. Cuma bertanya."
"Hmmm.... Bilang saja kalau gelarku terdengar
aneh. Pendekar Bodoh. He he he.... Boleh saja orang
menyebutku demikian. Kau juga boleh. Eh, kudengar
kau bergelar Naga Kepala Tiga. Benar?"
Mengangguk Bancakluka.
"Gelar yang bagus dan terdengar hebat. Tapi,
juga menimbulkan pertanyaan bagiku. Kenapa kau diberi gelar seperti itu" Naga
Kepala Tiga. Apa kau pernah membunuh seekor naga berkepala tiga, sehingga
orang-orang mengabadikan kemenangan itu dengan
menyebutmu Naga Kepala Tiga?"
"Ah! Sudahlah. Aku jadi malu. Gelarku kedengarannya memang hebat. Tapi, jelas
sekali bila aku tak
sebanding denganmu, Seno...."
"Tak sebanding bagaimana?"
"Soal ilmu kepandaian, aku jauh berada di bawahmu."
"Siapa bilang" Kau mahir ilmu sihir. Aku ingin
belajar darimu."
"Ah! Bukan aku menolak, Seno. Ilmu sihir ku
tidak seberapa tinggi. Kalau aku mengajarimu, aku takut akan membuat malu warga
Suku Asantar. Kau belajar saja pada Sangkuk. Bukan begitu, Sangkuk?"
Mendengar perkataan putranya, Bancakdulina
mengangguk. "Ilmu sihir ku juga tidak seberapa tinggi,
Seno. Tapi kalau cuma mengenalkan kepadamu apa
dan bagaimana cara menggunakan ilmu sihir, mungkin aku bisa mengajarimu."
"Kakek terlalu merendah. Aku tahu Kakek amat
hebat. Sungguh suatu kehormatan yang tiada terkira
apabila Kakek bersedia mengajariku ilmu sihir. Tidak
perlu sampai mendalam. Asal dapat digunakan untuk
menghalau serangan ilmu sihir jahat, aku akan senang
sekali. Barangkali saja di lain waktu aku dapat menggunakannya untuk menolong
kaum lemah."
"Boleh. Boleh saja," sambut Bancakdulina.
"Tinggallah beberapa hari di sini. Aku akan mengajarimu bersama Bancakluka."
"Terima kasih, Kek."
Seno membungkukkan tubuh sampai dahinya
hampir menyentuh tikar. Namun cepat Bancakdulina
menepuk bahu pemuda itu untuk menyuruhnya menegakkan tubuh kembali.
"Kau adalah dewa penolongku, Seno. Kau telah
menyelamatkan jiwaku dan putraku. Kau juga punya
andil besar dalam menyelamatkan Kitab Palanumsas.
Oleh karenanya, tak perlu kau berlutut di hadapanku.
Kalau aku mengajarimu ilmu sihir Suku Asantar, anggap saja itu sebagai balas
budiku atas kebaikanmu."
"Terima kasih. Terima kasih, Kek. Sebenarnya,
aku menolong bukan untuk mengharapkan apa-apa.
Tapi...," menggantung kalimat Seno. Keningnya tampak berkerut rapat.
"Tapi apa?" buru Bancakdulina.
"Kalau aku belajar ilmu sihir Suku Asantar,
apakah tidak melanggar aturan ataupun adat sini,
Kek?" "Tidak. Semua orang yang punya maksud baik
boleh mempelajari ilmu sihir Suku Asantar," Bancakluka yang menjelaskan.
"Besok kau bisa mengawali latihan. Sekarang
kau beristirahatlah dulu di kamar yang sudah kusediakan," sahut Bancakdulina.
"Aku bersama Bancakluka harus mempersiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan
Pengadilan Agung. Nanti sore kau harus siap untuk menjadi saksi, Seno. Sasak
Padempuan pasti akan mendapat hukuman yang seadil-adilnya."
"Ya. Ya, Kek...," sambut Seno.
*** 7 DI sebuah kamar berdinding papan berlabur
warna kuning gading, Seno duduk terpekur di hadapan jendela. Matanya tak
berkedip menatap tangkaitangkai daun pohon pisang yang bergerak melambai
tertiup angin. Murid Dewa Dungu itu duduk di kursi rotan.
Kedua tangannya menimang dua benda mustika.
Tongkat Dewa Badai dan cermin 'Terawang Tempat
Lewati Masa'. Tanpa mengalihkan pandangan dari tangkaitangkai daun pohon pisang, Seno
meletakkan batang
Tongkat Dewa Badai ke meja yang terletak di sisi kanan jendela. Sejenak, ia
menimang lagi cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa'. Cermin ajaib milik Ratu Perut Bumi itu hanya
selebar telapak tangan. Berbentuk persegi empat. Keempat sisinya berukir indah
seperti ukiran cermin putri istana.
"'Terawang Tempat Lewati Masa'...," gumam Seno. "Untung, cermin ajaib milik Ratu
Perut Bumi ini tidak hilang ketika aku jatuh tercebur ke Sungai Simandau. Untung
sekali. Ya! Aku memang masih memiliki peruntungan bagus...."
Pemuda lugu itu tampak menganggukanggukkan kepala. Kini, matanya menatap lekat
cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Lalu seperti sedang berhadapan dengan Ratu
Perut Bumi, Seno berkata....
"Dengan menggunakan kekuatan gaib cermin
ini, aku bisa mengejar Raja Penyasar Sukma yang melarikan diri ke masa silam,
Ratu. Terpaksa aku menghukum mati orang itu. Namun, maafkan aku, Ratu.
Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' yang Ratu pinjamkan kepadaku ini belum bisa
kukembalikan. Aku
membutuhkannya untuk mengejar Hantu Pemetik
Bunga. Aku harus membuktikan bila ayahku bukanlah
Hantu Pemetik Bunga seperti yang dituduhkan Dewi
Pedang Halilintar. Maafkan aku, Ratu. Begitu kembali
dari Pulau Salyadwipa ini, aku pasti mengembalikan
cermin milikmu...."
Menggerigap kaget Seno saat mendengar pintu
kamar diketuk. Ketukan itu perlahan, namun cukup
mengejutkan si pemuda yang tengah melamun. Seno
menyangka yang datang adalah Bancakluka. Oleh karenanya, dia berkata....
"Tidak dikunci. Masuklah...."
Perlahan, pintu terkuak. Seno menggerigap kaget lagi. Yang membuka pintu
ternyata bukan Bancakluka, melainkan seorang gadis berumur sekitar dua
puluh tahun. Tubuhnya padat berisi. Berkulit kehitaman, namun wajahnya terlihat
manis sekali. Si gadis
mengenakan pakaian adat Suku Asantar berwarna
kuning-merah. Sanggulan rambutnya dihiasi selendang kecil berwarna putih yang
dilibatkan sebagian,
sehingga kedua ujungnya menggantung dan tampak
terayun-ayun. "Saya boleh masuk, Tuan...?" ujar gadis itu,
masih berdiri di ambang pintu.
Seno tak langsung menjawab. Matanya menatap sosok si gadis dari ujung rambut
sampai telapak kaki. Namun setelah melihat lipatan kain yang dibawa
gadis hitam manis itu, dia mempersilakan.
"Kau membawakan bajuku, bukan" Kok cepat
sekali kering" Masuklah...."
Gadis hitam manis melangkah masuk. Diletakkannya pakaian Seno di meja besar yang
terletak di dekat pembaringan, kemudian berkata, "Tuan Baulau
menyuruhku mengeringkan pakaian Tuan cepat-cepat.
Terpaksa saya mengeringkannya di atas bara api."
"Di atas bara api" Tidak ada yang terbakar, bukan?" tanya Seno dengan raut wajah
kebodohbodohan.
"Tidak, Tuan. Mana saya berani merusakkan
pakaian Tuan" Tuan adalah orang yang amat baik...."
"Ah! Siapa bilang aku orang amat baik?"
"Tuan Baulau."
"Kakek Bancakdulina?"
"Ya, Tuan...."
"Eh, jangan panggil aku tuan!. Panggil saja Seno. Namaku Seno Prasetyo."
Gadis hitam manis tak menyahuti. Kakinya melangkah untuk keluar kamar. Pendekar
Bodoh yang sempat terpesona melihat penampilan gadis itu cuma
terlongong bengong.
"Nama saya Silasati. Kalau Tuan Seno membutuhkan sesuatu, panggillah saya. Saya


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disuruh Tuan Baulau untuk melayani semua kebutuhan Tuan...," beri tahu gadis hitam manis
ketika berada di ambang
pintu. "Eh! Apa katamu" Kau disuruh melayani semua
kebutuhanku?" tanya Seno, seperti tak yakin.
Kening gadis bernama Silasati tampak berkerut. "Jangan salah mengerti, Tuan
Seno," sergahnya.
"Saya memang disuruh melayani semua kebutuhan
Tuan. Tapi, hanya sampai pada batas-batas tertentu."
"Maksudmu?"
Kening Silasati semakin berkerut rapat. "Saya
hanya melayani kebutuhan Tuan Seno seperti menyiapkan makanan, menyediakan
sesuatu yang Tuan
butuhkan, dan hal-hal lain semacamnya, asal bukan
yang satu itu...."
Kening Seno turut berkerut. "'Yang satu itu'
apa, ya" Aku tak mengerti...."
"Beberapa suku lain yang berada di daerah sini
biasa menyediakan seorang wanita penghibur untuk
melayani tamu kehormatan. Tidak demikian kebiasaan
yang berlaku di Suku Asantar. Kaum wanita Suku
Asantar memiliki derajat yang sama tinggi dengan
kaum pria. Kami memiliki derajat yang sama tinggi
dengan kaum pria. Kami memiliki hak untuk menentukan pilihan. Kami juga punya
hak untuk menolak
sesuatu yang tidak kami inginkan...."
Seno cengar-cengir. Tak seberapa paham makna ucapan Silasati. Namun, kepala si
pemuda terlihat
mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Ya! Ya, Silasati.
Jangan panggil aku 'tuan'. Sekali lagi, namaku Seno
Prasetyo. Panggil saja 'Seno'."
"Ya, Bu..., eh Tuan Seno...."
"Seno' saja. Tak perlu pakai tuan'. Aku orang
miskin papa. Tak pantas dipanggil tuan!"
"Tapi, Tuan Seno adalah tamu terhormat Tuan
Baulau. Mana saya berani memanggil sembarangan?"
Seno cengar-cengir lagi. "Ya, sudahlah. Terserah kau. Asal tahu saja, sebelum
ini aku tak pernah
dipanggil 'tuan'. Panggilan itu membuatku risih. Aku
tak begitu suka...."
Silasati tampak tercenung sejenak. Malu-malu
dia menatap wajah lugu Seno seraya berkata, "Saya
harus pergi. Kalau ada apa-apa, panggil saja saya...."
"Ya, pergilah. Terima kasih, ya...."
Setelah Silasati menutup lagi daun pintu, Seno
langsung menyambar pakaian biru-birunya. Masih
utuh. Memang tidak ada yang terbakar. Hanya baunya
sedikit berubah. Biasanya pakaian Seno selalu mene-
barkan aroma harum kayu cendana, kini aroma harum
itu agak tersamar oleh bau sangit.
"Tak jadi apa. Tak jadi apa...," gumam Seno.
"Senang sekali pakaian pemberian Kakek Dewa Dungu
ini cepat kering. Aku bisa memakainya lagi."
*** "Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan para
saksi, dengan ini Pengadilan Agung menyatakan Sasak
Padempuan bersalah. Dia terbukti berusaha mencuri
Kitab Palanumsas yang tersimpan di Puri Dewa Langit.
Dia telah membunuh seekor anjing kesayangan kepala
suku, Bancakdulina. Dia juga berusaha membunuh
Bancakdulina dengan 'Jarum Peremuk Tulang'. Lain
itu, dia terbukti pula berusaha membunuh Bancakluka dengan kekuatan ilmu
sihirnya...," ujar seorang lelaki tua yang menjadi hakim kepala di Pengadilan
Agung Suku Asantar. "Atas semua kesalahan itu, Pengadilan Agung menjatuhkan dua
hukuman kepada Sasak Padempuan. Pertama, seluruh kekuatan ilmu sihirnya akan
dilenyapkan. Kedua, dia diusir dan tidak
dianggap lagi sebagai warga Suku Asantar."
Kakek yang duduk di belakang meja panjang
itu mengangkat telapak tangan kanannya sejajar kepala. Seorang pemuda bertubuh
kekar, yang berdiri di sisi kanan meja, langsung memukul tambur yang dibawanya
tiga kali. Hal itu menandakan bila hukuman
yang dijatuhkan kepada Sasak Padempuan telah sah
dan tak dapat ditarik kembali.
"Tidak! Tidak! Jangan hilangkan ilmu sihir ku!
Siapa yang berani melakukannya akan kubunuh!" ancam Sasak Padempuan, keras
menggelegar. Pemuda yang tampak panik itu bergegas bang-
kit dari duduknya. Namun, dia tak dapat berbuat apaapa karena kedua tangan dan
kakinya terikat tali yang
amat kuat. Pendekar Bodoh yang telah berpakaian birubiru tampak duduk di bangku saksi
bersama Bancakdulina dan Bancakluka. Mereka hanya diam tak berbuat apa ketika
melihat Sasak Padempuan melonjaklonjak bagai orang kesetanan.
Sementara, lima orang sesepuh Suku Asantar
yang menjadi hakim pada Pengadilan Agung itu tampak bangkit dari tempat
duduknya. Dengan dipimpin
oleh hakim kepala yang berada di tengah, mereka menjulurkan kedua tangan ke arah
Sasak Padempuan.
Lalu, kakek yang berada di tengah berkata, "Para leluhur Suku Asantar selalu
menjunjung tinggi kebenaran dan menentang kejahatan. Hari ini Pengadilan
Agung telah menyatakan Sasak Padempuan bersalah.
Para leluhur Suku Asantar akan mencabut seluruh
kekuatan ilmu sihir pemuda itu...."
Empat kakek lainnya yang sama-sama memakai jubah hitam menyambung dengan
kalimat, "Hom
asantarnas salawunas.... barnas...!"
Di ujung kalimat itu, mendadak Sasak Padempuan menjerit parau. Sekujur tubuhnya
memancarkan sinar merah menyilaukan. Hampir semua warga Suku
Asantar yang melihat jalannya Pengadilan Agung itu
memalingkan muka karena mata mereka terasa amat
pedih. "Wuaaahhh..,! Hentikan! Hentikaaannn...! Kubunuh kalian semua! Kubunuh kalian
semua...!" teriak
parau Sasak Padempuan.
Pemuda berambut ikal panjang itu terus melonjak dan meronta-ronta. Sinar merah
yang memencar dari tubuhnya semakin menipis. Lalu lenyap sama se-
kali. Bersamaan dengan lenyapnya sinar itu, lenyap
pula seluruh kekuatan ilmu sihir si pemuda!
"Hukuman kedua akan dijatuhkan.,.," ujar hakim kepala.
Setelah suasana menjadi hening, kakek itu
berkata, "Kekuatan para leluhur datang kembali. Sasak Padempuan terusir keluar
dari Perkampungan Suku Asantar...."
Empat kakek berjubah hitam langsung menyahuti, "Hom asantarnas salawunas...
barnas...!"
Saat itu juga, Sasak Padempuan menjerit lebih
panjang. Tiba-tiba, tubuhnya terbungkus sinar berwarna kuning. Sinar kuning itu
membawa tubuh si
pemuda melayang ke utara. Melesat sangat cepat. Sehingga tidak sampai lima kejap
mata, tubuh Sasak Padempuan sudah lenyap dari pandangan!
Semua menghela napas lega. Mendadak, Bancakdulina bangkit berdiri. Setelah
membungkuk hormat kepada lima sesepuh suku, dia mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi. "Mohon perhatian...," ujar kepala suku itu.
"Saya bersyukur atas keputusan para sesepuh yang telah menjatuhkan hukuman berat
kepada Sasak Padempuan. Lalu setelah itu, saya selaku kepala suku
menyampaikan kabar bahwa upacara pengangkatan
kepala suku yang baru akan diajukan pekan depan.
Tepatnya, hari kedelapan purnama ini"
Ucapan Bancakdulina disambut kasak-kusuk
orang-orang yang berada di tempat itu. Namun, tidak
ada yang berani mencetuskan isi hati mereka secara
langsung. Melihat Bancakdulina kembali duduk di kursinya, satu persatu para hakim
Pengadilan Agung yang
merupakan sesepuh Suku Asantar beranjak mening-
galkan tempat. Warga Suku Asantar lainnya mengikuti. Begitu juga dengan Pendekar
Bodoh, Bancakdulina,
dan Bancakluka.
Seorang wanita berkerudung hitam tampak
berdiri tegak, menatap tak berkedip sosok Pendekar
Bodoh yang tengah berjalan diapit Bancakdulina dan
Bancakluka. Menilik tatapan si wanita yang tajam menusuk, dapat dipastikan bila
di dalam benaknya tersimpan maksud tak baik. Namun ketika sosok Pendekar Bodoh
menghilang dari pandangan, wanita berkerudung hitam itu turut beranjak
meninggalkan tempat.
Dia Danyangsuli, seorang ahli ilmu sihir Suku
Asantar, yang juga ahli ilmu teluh dan tenung!
Ketika hari jatuh ke pelukan senja, tanah lapang yang menjadi tempat
dilangsungkannya Pengadilan Agung Suku Asantar berubah sunyi lengang. Kesunyian
makin berkuasa manakala malam rebah mengantarkan kegelapan.
*** 8 DI sisi kanan rumah Bancakluka, berdiri rumah gadang lain yang tak kalah besar.
Bahkan, terlihat lebih bagus dan megah. Di rumah yang dilabur
warna biru laut itulah Silasati tinggal bersama kedua
orangtuanya. Sama seperti Bancakluka, Silasati juga
anak tunggal. Hanya saja, ibu Bancakluka telah meninggal ketika Bancakluka
berumur lima belas tahun.
Jadi, Bancakluka menempati rumahnya yang besar
hanya bersama Bancakdulina ayahnya.
Keluarga Silasati tergolong orang yang cukup
terpandang karena ayah Silasati adalah adik kandung
Bancakdulina. Sementara, Bancakdulina adalah baulau atau kepala suku. Oleh sebab
itulah warga Suku
Asantar juga sangat menghormati ayah Silasati yang
bernama Buncaksika. Selain itu, ayah Silasati memiliki
kekayaan melimpah berupa sawah luas dan puluhan
kerbau serta hewan ternak lainnya.
Malam itu, Silasati yang punya nama lengkap
Bancak Silasati tak dapat tidur. Hatinya gelisah tak
menentu. Bukan karena memikirkan pertemuannya
dengan Pendekar Bodoh yang lugu tapi berparas tampan. Tapi, karena memikirkan
saat dirinya yang telah
dijodohkan dengan Bancakluka.
Suku Asantar memang menganut perkawinan
sedarah. Sehingga, boleh-boleh saja Bancakdulina
menjodohkan Bancakluka putranya dengan Silasati
yang tak lain keponakannya sendiri.
"Dia memang baik. Dia gagah. Dia juga tampan.
Tapi..., aku tak mencintainya...," kata hati Silasati,
menerawang atap sirap rumahnya yang ditata amat
rapi. Cukup lama gadis hitam manis itu terbaring telentang. Matanya tak pernah dapat
dipejamkan. Sore
tadi, Bancakdulina mengumumkan bila upacara pengangkatan kepala suku baru
diajukan pekan depan.
Kalau Bancakluka terpilih, maka esok harinya Silasati
akan duduk di pelaminan bersama Bancakluka.
Akan tetapi, menjadi istri Bancakluka yang
menjabat baulau atau kepala suku tidak akan mendatangkan kebahagiaan bagi
Silasati. Karena, dia tak
pernah mencintai Bancakluka.
Sebagai warga Suku Asantar, Silasati memang
mempunyai hak untuk memilih ataupun menentukan
pasangan hidupnya. Namun, apakah dia akan tega
menghancurkan harapan kedua orangtuanya" Sementara, kedua orangtua Silasati
sangat berkeinginan melihat anaknya menjadi istri Bancakluka.
Kenapa Silasati tidak suka dijodohkan dan
menjadi istri Bancakluka" Jawabnya sederhana saja.
Silasati telah menjatuhkan harapan hidupnya kepada
pemuda lain. Dan, pemuda itu juga sangat mencintai
Silasati. Oleh karenanya, berat bagi Silasati untuk
mengkhianati cinta pemuda tambatan hatinya itu.
Selagi Silasati merenungkan nasib cintanya,
seorang pemuda berpakaian kuning-coklat tampak
mendekati jendela. Gerakan pemuda itu tak memperdengarkan suara sedikit pun.
Setelah berada di dekat
daun jendela, si pemuda mengetuk perlahan. Ketika
itu hari telah lewat tengah malam. Perkampungan Suku Asantar sunyi-senyap
seperti tak ada kehidupan di
dalamnya. "Silasati... Silasati...," panggil si pemuda.
Terkesiap Silasati mendengar namanya disebut.
Tapi setelah mengenali warna suara si pemuda, bola
mata gadis itu langsung berbinar.
"Sadeng Sabantar...?" desis Silasati untuk
meyakinkan pendengarannya.
"Ya. Ini aku, Silasati," sebut pemuda berpakaian kuning-coklat yang dipanggil
Sadeng Sabantar.
Hati-hati sekali Silasati membuka daun jendela.
Tentu saja dia tak mau suara berderitnya daun jendela
membuat bangun siapa pun, apalagi kedua orangtuanya.
"Sadeng...," desis Sisasati.
Walau daun jendela terkuak sedikit, sinar
Sampu kamar mampu menerobos keluar. Sehingga,
terlihatlah wajah Sadeng Sabantar yang halus tampan,
berhidung mancung dan berbibir kemerahan.
"Keluarlah, Sati. Ada yang hendak kukatakan
kepadamu," sahut Sadeng Sabantar, tangannya memegang erat pinggiran jendela agar
tubuhnya tak jatuh.
Silasati merasa senang melihat kehadiran Sadeng Sabantar. Tapi, air muka gadis
yang wajahnya dihiasi lesung pipi itu terlihat keruh.
"Kalau ada orang memergoki kita, kita akan celaka...," khawatir si gadis.
"Tak akan ada orang tahu, Sati. Tak perlu takut," desak Sadeng Sabantar.
Silasati tampak berpikir-pikir. Sebenarnya, dia
ingin sekali menuruti ajakan Sadeng Sabantar. Tapi
kalau kekhawatirannya menjadi kenyataan, orang tetap akan menuduhnya yang bukan-
bukan, meskipun
dia dan Sadeng Sabantar tidak melakukan hal yang tidak senonoh.
Akibatnya, dia akan dikeluarkan dari pergaulan
hidup Suku Asantar. Lebih dari itu, sebelum diusir, dia
dan Sadeng Sabantar akan dihukum cambuk seratus
kali. Begitulah aturan yang berlaku di Suku Asantar.
Memikirkan akibat itu, Silasati jadi ragu. Dia
tak dapat membayangkan betapa sedih, marah, dan
malunya kedua orangtuanya apabila dirinya sampai


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima hukuman adat seperti itu. Silasati pun tak
dapat membayangkan rasa hati Bancakdulina dan
Bancakluka, calon mertua dan suaminya itu. Mereka
tentu amat kecewa, bahkan teramat kecewa!
"Sati! Aku tak bisa berdiri terlalu lama di sini!
Aku mau jatuh...," desak Sadeng Sabantar yang berusia dua puluh tiga tahun.
Pemuda ini putra kedua seorang warga Suku Asantar yang cukup terpandang pula.
"Aku takut...," desis Silasati, mengutarakan isi
hatinya. "Kau tidak mencintaiku" Hatimu telah terpaut
pada Bancakluka yang calon kepala suku itu" Baiklah
kalau begitu. Aku memang tak pantas menemuimu lagi! Selamat tinggal, Sati.
Jangan menyesal bila di hari
pernikahanmu nanti, kau melihat aku telah terbujur
kaku menjadi mayat!"
Kecewa sekali Sadeng Sabantar. Sinar matanya
langsung meredup. Raut wajahnya pun langsung mengelam. Seribu perasaan yang tak
mengenakkan hati
memaksanya meloncat turun.
Silasati dapat merasakan kekecewaan Sadeng
Sabantar. Silasati tak dapat menipu dirinya sendiri.
Dia akan benar-benar kehilangan jika sampai Sadeng
Sabantar membuktikan kata-katanya itu.
Oleh karenanya, ketika Sadeng Sabantar baru
melangkah dua tindak untuk meninggalkan tempat,
Silasati berseru dengan suara dalam,
"Tunggu,..?"
Langkah Sadeng Sabantar terhenti.
"Aku akan ikut denganmu, Sadeng...," putus Silasati.
"Kalau kau keluar dari kamarmu itu, kau harus
dapat melupakan semua yang ada di perkampungan
ini. Semuanya! Terutama perjodohanmu dengan Bancakluka!" ujar Sadeng Sabantar,
dengan suara dalam
pula. "Apa maksudmu!?"
"Hal itulah yang hendak kubicarakan. Sungguh
aku sangat mencintaimu, Sati. Tak mungkin aku mencelakakanmu, Sati. Tak mungkin
aku mencelakakanmu. Jika kau masih mencintaiku, turunlah cepat. Tak
perlu pikir panjang lagi."
Silasati menatap lekat wajah Sadeng Sabantar.
Gadis hitam manis itu berusaha mengukur seberapa
besar cinta Sadeng Sabantar lewat sorot mata si pemuda.
Lalu tanpa berkata apa-apa, Silasati beranjak
keluar dari kamarnya lewat daun jendela. Setelah daun
jendela tertutupnya kembali, dia meloncat turun. Sigap
sekali Sadeng Sabantar menyambut loncatan tubuh Silasati.
"Silasati.... Silasati.... aku mencintaimu...," bisik Sadeng Sabantar. Hilang
sudah rasa kecewanya
melihat Silasati telah memberi keputusan.
"Aku juga mencintaimu, Sadeng. Tapi..., aku
takut sekali...," ungkap Silasati.
Sadeng Sabantar tak menyahuti. Tangannya
yang kokoh menuntun Silasati untuk meninggalkan
tempat. "Kita hendak ke mana?"
"Ada yang hendak kubicarakan kepadamu. Kita
cari tempat yang aman."
Mendengar nada ucapan Sadeng Sabantar yang
penuh keyakinan, Silasati menuruti saja ketika dirinya
diajak berjalan menembus kegelapan, lalu keluar dari
perkampungan penduduk Suku Asantar.
Sesampai di sebuah tempat terlindung pepohonan, tak seberapa jauh dari Puri Dewa
Langit, Sadeng Sabantar merengkuh bahu Silasati seraya memeluknya
erat-erat. "Silasati.... Silasati.... Aku tak mau kehilangan
dirimu. Aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Aku mencintaimu, Sati. Sungguh aku
mencintaimu...."
Silasati tak menyahuti. Dia pun balas memeluk. Hawa dingin malam tak terasa
lagi. Kehangatan
mengalir dari dada bidang Sadeng Sabantar. Lebihlebih lagi, kehangatan cinta si
pemuda membuatnya
amat bahagia. Dan, kebahagiaan itu benar-benar
membuatnya terlena.
"Sati..., katakan sekali lagi. Kau pun mencintaiku, Sati...."
Silasati tak menjawab.
Sadeng Sabantar merenggangkan pelukannya.
"Katakan, Sati. Kau pun mencintaiku!"
"Ya. Ya, Sadeng. Aku mencintaimu...."
Bola mata Sadeng Sabantar langsung berbinarbinar. Bahagia sekali dia memeluk
tubuh sintal Silasati. Silasati pun balas memeluk lagi. Mereka nikmati
benar kebahagiaan itu dengan saling memeluk dan terus memeluk, seakan tak
mungkin ada kekuatan lain
yang mampu memisahkan mereka.
Dan... bagaimanapun, persentuhan kulit dua
anak manusia berlainan jenis yang saling mencinta, di
malam yang dingin dan sepi, selalu bisa mengundang
godaan setan. Apa yang terjadi pada Sadeng Sabantar
dan Silasati pun sudah dapat ditebak. Begitu pelukan
mereka merenggang, mereka saling cium..., saling menumpahkan hasrat cinta
mereka. Lalu, persentuhan
bibir yang hangat penuh kenikmatan membuat mereka
semakin terlena. Jangkerik yang tengah mengerik
langsung terdiam manakala Sadeng Sabantar membaringkan tubuh Silasati di atas
rumput tebal. Mereka saling cium lagi. Jemari tangan Sadeng
Sabantar turut bergerak nakal. Ditelusurinya setiap
lekuk liku tubuh Silasati dengan rabaan-rabaan panas. Namun, sejenak si pemuda
menghentikan perbuatannya.
"Sati..., kau sudah tahu kalau pemilihan kepala
suku diajukan minggu depan. Hari pernikahanmu
dengan Bancakluka diajukan minggu depan. Hari pernikahanmu dengan Bancakluka
semakin dekat. Aku
tak mau kehilangan dirimu, Sati. Kau milikku! Apa
pun yang terjadi, kau harus tetap jadi milikku!"
Silasati tak dapat menyahuti karena jemari
tangan Sadeng Sabantar mulai bergerak nakal lagi. Gerakan jemari yang bergetar
itu membuat aliran darahnya berdesir tak karuan. Apalagi, setelah bibir Sadeng
Sabantar ikut mengulum dan melumat bibirnya. Tak
kuasa Silasati menolak ketika Sadeng Sabantar membukai kancing bajunya....
*** 9 SEPASANG kaki itu melangkah... perlahan namun pasti. Gelap malam tak menjadi
penghalang. Terus melangkah seirama detak jantung pemiliknya.
Dia seorang wanita berwajah cantik jelita dan
bertubuh montok menggiurkan. Rambutnya yang panjang dijepit ke atas dengan
penjepit emas. Kesempurnaan sosok wanita itu semakin terlihat karena ia
mengenakan pakaian merah gemerlap, tak kalah bagus dibanding dengan pakaian
seorang ratu. Sayangnya, sorot mata wanita itu amat tajam menusuk, sanggup
menciutkan nyali siapa saja yang berhadapan dengannya.
Di tengah sepi membisu, sepasang kaki putih
mulus milik wanita itu terus melangkah. Ringan sekali
menjejak tanah. Tak terdengar suara sedikit pun walau
berkali-kali menginjak patahan ranting dan dedaunan
kering. Setelah melewati rimbunan pohon di tepi sungai, sepasang kaki si wanita mulai
menapaki jalan kecil
yang menuju ke Puri Dewa Langit. Ya! Menuju ke Puri
Dewa Langit! Memang ke situlah tujuannya! Tapi, bukan kemegahan bangunan itu
yang menarik perhatian
si wanita, melainkan sesuatu yang tengah terjadi di
dekatnya! Sementara, Sadeng Sabantar dan Silasati tak
tahu sedikit pun bila ada orang yang sedang berjalan
mendekati. Mereka benar-benar telah terbuai oleh
nikmatnya permainan asmara. Buaian itu begitu melenakan, sehingga tak terpikir
oleh Sadeng Sabantar dan
Silasati bila bahaya besar akan datang. Dan..., bahaya
itu akan segera menjadi kenyataan manakala....
"Sadeng...!"
Terdengar bentakan keras menggelegar. Kesunyian malam yang semula hanya digeluti
desah napas Sadeng Sabantar dan Silasati jadi terkoyak pecah. Tak
dapat lagi digambarkan betapa terkejutnya kedua anak
manusia yang tengah asyik masyuk itu.
Tanpa sadar Sadeng Sabantar melepas pelukannya seraya meloncat tinggi ke udara.
Silasati menjerit kaget dengan bola mata terbelalak lebar. Dia pun
meloncat berdiri. Tak menyadari bila keadaan tubuhnya hampir telanjang!
Sampai beberapa tarikan napas, Sadeng Sabantar dan Silasati berdiri terpaku di
tempatnya. Mata mereka sama-sama menatap sosok wanita berpakaian
merah gemerlap. Wanita berusia tiga puluh tahun itulah yang tadi mengeluarkan
suara bentakan.
"Danyangsuli...," desis Sadeng Sabantar dan Silasati, hampir bersamaan.
Wanita berpakaian merah gemerlap yang memang Dayangsuli terlihat geleng-geleng
kepala. Dari jarak sekitar tiga depa, ditatapnya wajah Sadeng Sabantar dan
Silasati bergantian. Lalu dengan suara dalam,
dia berkata, "Kalian baru saja berbuat apa yang seha-
rusnya tidak boleh kalian perbuat. Kalian baru saja
melanggar apa yang sebenarnya tidak boleh kalian
langar. Tapi walau telah begitu rendah moral kalian,
apakah kalian tetap akan membiarkan anggota tubuh
kalian yang terlarang dilihat orang?"
Sekali lagi, Sadeng Sabantar dan Silasati menggerigap kaget. Kata-kata
Danyangsuli menyadarkan bila mereka tengah berdiri dengan tubuh nyaris
telanjang. Oleh karenanya, tanpa pikir panjang mereka meloncat dan menyambar
pakaian mereka yang berceceran di tanah.
"Oh, Dewa-dewa di langit sana.... Apa yang baru kuperbuat...?" desah Silasati
dengan raut wajah pucat pasi. Menyadari kekhilafannya, perlahan air mata
mulai menitik jatuh, membasahi pipinya yang halus.
Walau belum mengenakan pakaian pelengkapnya, putri Bancaksika itu berlari cepat
untuk meninggalkan tempat. Rasa malu dan takut terbayang jelas di
matanya. Namun belum genap kakinya melangkah sepuluh tindak, Danyangsuli
berteriak lantang....
"Hei! Mau lari ke mana kau"!"
Sambil berteriak, Danyangsuli menggerakkan
telapak tangan kanannya ke depan. Satu kekuatan tak
kasat mata melesat. Memekik kecil Silasati saat merasakan tubuhnya terseret lalu
jatuh telentang di hadapan Danyangsuli.
"Bila kau lari, kau justru akan mendapat celaka! Tidak sadarkah kau bila aku
adalah saksi perbuatan tak terpujimu" Kalau aku melapor pada Baulau
Bancakdulina ataupun kepada Bancaksika ayahmu,
hukuman apa yang akan kau terima" Kau sudah tahu,
bukan" Kau baru saja berbuat tak senonoh dengan
seorang pemuda yang bukan suamimu. Kau akan dihukum cambuk seratus kali! Kau pun
akan diusir! In-
gat! Dan..., kekasihmu yang bernama Sadeng Sabantar
itu mana bisa lolos dari tangan maut Bancakluka, Sati" Dia akan dibunuh
Bancakluka untuk melampiaskan kekecewaannya! Bukankah kau tunangan
Bancakluka, Sati?"
Mendengar rentetan kata yang cukup panjang
itu, rasa takut semakin membayang di mata Silasati.
Tampak amat panik dia saat bangkit seraya merangkak dan mencium kaki
Danyangsuli. "Jangan...! Jangan... katakan pada siapasiapa...," pinta si gadis dengan air
mata terus bercucuran. "Aku mohon, Nyinyi. Aku mohon... jangan katakan
pada siapa-siapa...."
Silasati menyebut Danyangsuli 'nyinyi' karena
'nyinyi' adalah kata sebutan yang diperuntukkan bagi
seorang wanita yang dihormati. Sementara, Danyangsuli yang mendapat sebutan itu
malah tersenyum sinis. Tangannya bergerak menjambak rambut Silasati.
Wajah si gadis ditengadahkannya.
"Silasati..., adat Suku Asantar amat keras. Siapa pun yang berani melanggarnya
akan mendapat hukuman berat. Tak peduli siapa pun dia. Tak peduli dia
anak orang terpandang, sesepuh suku, ataupun baulau. Seringkali kenikmatan harus
ditebus dengan penderitaan, Silasati. Kau baru saja merasakan kenikmatan. Tapi
sayang, kenikmatan itu kau peroleh dengan
cara melanggar aturan adat suku kita. Oleh karenanya, kau pantas mendapat siksa
dan penderitaan..."
"Oh...! Jangan! Aku mohon jangan katakan pada siapa-siapa, Nyinyi...," pinta
Silasati lagi. "Kalau aku tak mau?" Geleng-geleng kepala lagi
Danyangsuli. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum
sinis. Semakin memucat wajah Silasati. Bayangan
buruk berkelebatan di benaknya. Dengan suara serak
parau, dia berkata, "Aku mohon.... Atau... bunuh saja
aku...." "Hmmm.... Tak semudah itu, Sati. Kalau aku
membunuhmu, sama halnya aku menyimpan gumpalan api di dalam saku. Api itu akan
membuatku celaka. Tentu saja aku tak mau hal itu terjadi. Lebih baik
aku laporkan saja perbuatanmu ini kepada Baulau
Bancakdulina...."
Danyangsuli melepas cekalannya pada rambut
Silasati. Dan pada saat tubuh Silasati jatuh ke tanah,
mendadak Sadeng Sabantar yang telah selesai merapikan bajunya meloncat
mendekati. "Tidak ada orang yang tahu perbuatanku bersama Silasati! Bukankah aku bisa
membunuhmu, Perempuan Keparat"!"
Usai mengucapkan kalimat itu, Sadeng Sabantar menerjang ganas. Sebilah pisau
bergagang bengkok
mirip badik meluncur cepat untuk menusuk jantung
Danyangsuli! Wuttt...! Tenang-tenang saja Danyangsuli memiringkan
tubuhnya. Saat pisau Sadeng Sabantar lewat di depan
dada, wanita bertubuh amat menggiurkan itu menggerakkan kedua tangannya. Tangan
kiri digunakan untuk memukul siku Sadeng Sabantar. Dan, yang kanan
bergerak cepat menangkap pisau Sadeng Sabantar
yang lepas dari cekalan.
"Kau gagal, Sadeng!" cibir Danyangsuli. "Cobalah sekali lagi kalau kau berani!"
Menggeram marah Sadeng Sabantar. Tertimpa
cahaya rembulan, bola mata pemuda bertubuh tegap
itu tampak berkilat.
Tak satu pun warga Suku Asantar yang tak
mengenal Danyangsuli. Demikian juga dengan Sadeng
Sabantar. Dia tahu bila Danyangsuli adalah ahli sihir
yang juga pandai ilmu tenung. Hampir tak ada orang
yang dapat menyamai keahlian Danyangsuli. Oleh karenanya, seluruh warga Suku
Asantar amat menaruh
hormat kepada wanita itu, termasuk Baulau Bancakdulina.


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun demikian, Sadeng Sabantar menatap
wajah Danyangsuli penuh nafsu membunuh. Rasa takut yang berkuasa dalam hatinya
mencetuskan niat
jahat. Hingga tampak kemudian, Sadeng Sabantar meloncat menerkam. Kedua
tangannya terjulur untuk
mencekik leher Danyangsuli!
"Mati kau...!"
Melihat serangan Sadeng Sabantar yang tak
mencerminkan gerakan ataupun jurus silat, Danyangsuli tersenyum mengejek. Ketika
tubuh Sadeng Sabantar masih melayang di udara, cepat sekali tangan kanan wanita
itu bergerak! Brett...! Brettt...!
"Sadeng...!"
Menjerit khawatir Silasati. Walau gelap malam
menghalangi pandangan, dia dapat melihat pisau di
tangan Danyangsuli yang berkelebat di dada dan perut
Sadeng Sabantar.
Namun, Silasati dapat pula menghirup napas
lega. Pisau di tangan Danyangsuli hanya mengoyakngoyak kain baju Sadeng
Sabantar. Danyangsuli tak
bermaksud membunuh pemuda itu.
"Aku masih mau bermurah hati kepadamu, Sadeng...," ujar Danyangsuli. "Seperti
halnya dengan Silasati, kau tentu telah tahu akibat apa yang akan segera kau
terima. Setelah para sesepuh suku menjatuhkan hukuman, bersiap-siaplah kau untuk
menerima kematianmu di tangan Bancakluka!"
"Jahanam!" geram Sadeng Sabantar, menahan
rasa sakit di siku kanannya. "Tak ada yang akan
menghukumku karena tak ada yang melaporkan perbuatanku! Kematian yang akan
membungkam mulutmu!"
Di ujung kalimatnya, Sadeng Sabantar menerjang lebih nekat. Tubuhnya melesat
dengan kaki kanan terjulur lurus. Walau tendangan pemuda itu
hanya mengandalkan tenaga luar, tapi karena dilancarkan dengan sekuat tenaga,
maka cukuplah berbahaya bila mengenai sasaran dengan telak.
"Rupanya, aku harus menjatuhkan hukuman
dulu kepadamu!" dengus Danyangsuli.
Pelan saja wanita berwajah amat menarik itu
menggerakkan kedua tangannya. Namun, akibatnya
sungguh tak pernah disangka oleh Sadeng Sabantar.
Plak! Des! "Uh! Aduh...!"
Diiringi pekik kesakitan, tubuh Sadeng Sabantar jatuh terbanting ke tanah. Tapi
mengingat hukuman berat yang akan dijatuhkan sesepuh suku, dia jadi kalap.
Bergegas dia bangkit. Sepuluh jari tangannya
terkepal kuat. Siap menghujani tubuh Danyangsuli
dengan pukulan beruntun.
Akan tetapi, serangan pemuda itu sama sekali
tak membuat repot Danyangsuli. Sengaja Danyangsuli
bergerak meliuk-liuk beberapa saat untuk memperlihatkan keindahan tubuhnya. Dan
selagi Sadeng Sabantar digeluti rasa kesal bercampur penasaran dan
hawa amarah, Danyangsuli melompat tinggi ke udara.
Secepat kilat ujung jari telunjuk tangan kanannya meluncur. Tepat menotok ubun-
ubun Sadeng Sabantar!
Tuk! "Wuah...!"
"Sadeng...!" Jerit Silasati, penuh kekhawatiran.
Serta-merta gadis hitam manis itu meloncat seraya
memeluk tubuh Sadeng Sabantar. Namun, si pemuda
sudah tak dapat bergerak lagi. Dia berdiri kaku-kejang
dengan bola mata melotot besar dan mulut terbuka lebar. Totokan Danyangsuli
mengandung kekuatan sihir
yang mampu mempengaruhi saraf pemuda itu.
"Sadeng...! Sadeng...! Kau kenapa, Sadeng..."!"
seru Silasati, semakin khawatir.
Seperti telah kehilangan ingatan, Silasati mengguncang-guncangkan tubuh Sadeng
Sabantar. Tapi,
tubuh si pemuda tetap berdiri kaku di tempatnya bagai
patung batu yang melekat erat di tanah.
"Jangan seperti anak kecil, Sati...!" ujar Danyangsuli. "Dia tidak mati. Namun,
nasib pemuda itu
tergantung bagaimana sikap dan tindakanmu. Sikap
dan tindakanmu juga menentukan nasibmu sendiri."
Perlahan, Silasati melepas cekalannya pada bahu Sadeng Sabantar. Dengan sinar
mata nanar, ditatapnya wajah Danyangsuli.
"Apa maksudmu?"
"Jika kau tak ingin aku melaporkan perbuatanmu dengan Sadeng Sabantar kepada
Baulau Bancakdulina, kau harus melakukan satu pekerjaan untukku."
Semakin nanar tatapan Silasati. Namun, mulutnya tak dapat lagi berkata-kata.
Terkunci rapat bagai tak akan bisa dibuka lagi.
"Dengar baik-baik, Sati...," lanjut Danyangsuli.
"Tentu kau tahu bila di rumah Baulau Bancakdulina
telah tinggal seorang pemuda yang datang dari Pulau
Jawa bernama Seno Prasetyo. Bawa dia ke hadapanku
saat ini juga!"
"Ba... bawa dia?" tergagap Silasati. "Malammalam begini" Tuan Baulau tentu
curiga...."
"Jangan khawatir. Sampai hari menjelang fajar
nanti, Bancakdulina tak akan pulang. Dia sedang memeriksa pengairan sawah
ladangnya yang luas. Jadi, di
rumahnya hanya ada Bancakluka dan pemuda itu."
Termangu Silasati. Pikirannya yang bingung
membuat rasa takutnya sirna sejenak. Namun, sanggupkah dia menjalankan perintah
Danyangsuli" Jika
benar Bancakdulina tidak berada di rumah, apakah
Bancakluka tidak akan menaruh sakwasangka melihat
kedatangannya" Bukankah dirinya seorang gadis, yang
tentu saja tak pantas mengajak seorang pemuda keluar rumah di malam hari seperti
ini" Dan lagi, bagaimana nanti sikap Seno Prasetyo" Tidakkah dia akan
punya pikiran yang macam-macam" Tidakkah pemuda
itu nanti akan menganggap dirinya gadis murahan"
Tapi kalau perintah Danyangsuli tidak dikerjakan, bagaimana nasib Sadeng
Sabantar dan nasibnya sendiri"
Terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk di
benak Silasati. Hingga sampai beberapa lama, gadis itu
cuma dapat berdiri terbengong-bengong tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Bagaimana, Sati" Kau sudah mengambil keputusan?" desak Danyangsuli
"Ah! Aku...," sahut Silasati, tak jelas apa maksudnya.
"Jangan bodoh! Kalau aku melaporkan perbuatan tak senonohmu, maka derajatmu akan
jatuh! Derajatmu akan lebih rendah dari anjing kurap sekalipun!
Ingat itu!"
Mengelam paras Silasati. Setelah berpikir-pikir,
akhirnya dia mengambil keputusan....
"Baiklah, Nyinyi..., asal kau berjanji tak akan
melaporkan perbuatanku pada siapa pun."
"Bagus! itu artinya kau masih dapat berpikir
jernih. Nah! Sekarang tunggu apa lagi" Segeralah berangkat!"
"Tapi, Nyinyi mesti berjanji dulu...."
"Hmmm.... Ya! Ya! Jika kau dapat membawa
Seno Prasetyo ke hadapanku malam ini, kau dan Sadeng Sabantar akan kulepaskan.
Soal perbuatanmu
yang tak senonoh tadi, akan kuanggap tak pernah ada!
Bagaimana?"
Silasati menatap tajam wajah Danyangsuli. Dia
ingin memastikan apakah ucapan Danyangsuli bisa
dipercaya. Sementara, Danyangsuli yang melihat Silasati tak segera beranjak dari
tempatnya menjadi tak
sabaran. Keras sekali dia membentak....
"Kalau fajar keburu datang, kau tak punya kesempatan untuk melepaskan diri dari
hukuman sesepuh suku!"
"Ah! Baik! Baiklah, Nyinyi, aku berangkat...."
Tergopoh-gopoh Silasati berjalan dari hadapan
Danyangsuli. Namun....
"Tunggu!" cegah Danyangsuli tiba-tiba.
Danyangsuli berjalan menghampiri Silasati
yang terhenyak langkah. Disodorkannya bungkusan
kain putih kepada putri Bancaksika itu.
"Apa ini?" tanya Silasati, tak mengerti.
"Terima saja. Tebarkan isinya bila kau akan
mengetuk pintu rumah. Itu akan melancarkan usahamu membawa Seno Prasetyo."
Silasati tak menyahuti. Dia tidak tahu apa isi
bungkusan yang disodorkan Danyangsuli. Tapi, tangannya bergerak menerima
bungkusan itu. Kemudian,
dia berlari-lari menembus kegelapan malam. Sementara, Danyangsuli tersenyum
penuh kemenangan.
10 SETELAH meniti anak-anak tangga yang terbuat dari sambungan kayu jati, meragu
Silasati untuk mengetuk daun pintu. Memang, sangatlah tidak pada
tempatnya bila seseorang bertemu di waktu menjelang
dini hari. Apalagi, tamu itu seorang gadis seperti Silasati. Dapat dipastikan
bila tuan rumah akan menaruh
pikiran yang macam-macam.
Semakin meragu Silasati saat mengingat perintah Danyangsuli yang mengharuskannya
membawa Seno Prasetyo menemui ahli sihir itu. Apa tujuan Danyangsuli sebenarnya"
Tidakkah dia akan bermaksud
jahat" Dan kalau benar Danyangsuli punya maksud
jahat, tidakkah dirinya akan terkena getahnya"
Cukup lama Silasati berdiri terpaku di muka
pintu. Namun setelah ingat ancaman Danyangsuli
yang akan melaporkan perbuatan tak terpujinya bersama Sadeng Sabantar, keraguan
dalam diri Silasati
lenyap seketika. Nasib Sadeng Sabantar dan dirinya
sendiri tergantung pada tindakan apa yang akan dilakukannya sekarang ini. Maka,
membulatlah tekat Silasati untuk membawa Seno Prasetyo ke hadapan Danyangsuli.
Tampak kemudian, tangan kanan Silasati terangkat untuk mengetuk daun pintu.
Tapi, gerakannya
terhenti di udara. Dia teringat bungkusan kain putih
pemberian Danyangsuli. Sebelum mengetuk daun pintu, Silasati diperintah
menebarkan isi bungkusan itu
terlebih dulu. Maka sambil menghela napas panjang, Silasati
mengeluarkan bungkusan kain putih yang tersimpan
di saku bajunya. Setelah dibuka ternyata isinya sejim-
pit garam dan beberapa butir kacang hijau. Mengingat
Danyangsuli adalah ahli sihir yang juga pandai ilmu
tenung, dapatlah Silasati menduga bila garam dan kacang hijau itu mengandung
kekuatan gaib. Kekuatan
gaib yang bagaimana dan apa manfaatnya" Tak hendak Silasati memikirkan hal itu.
Kalau dia bisa membawa Seno Prasetyo ke hadapan Danyangsuli itu sudah bagus.
Perihal isi bungkusan kain putih yang
punya kekuatan gaib, bukan urusannya. Begitulah kata hati Silasati.
Oleh karena itu, usai menebarkan garam dan
kacang hijau pemberian Danyangsuli, tanpa pikir panjang Silasati mengetuk daun
pintu. Satu kali, tak ada
jawaban. Dua kali, juga tak ada jawaban. Tiga kali, tetap tak ada jawaban. Baru
pada ketukan keempat, terdengar suara teguran Bancakluka.
"Siapa?"
"Aku, Bancakluka...," sahut Silasati, menekan
perasaannya yang berdebar tak karuan.
"Silasati?"
"Ya."
Dari dalam rumah terdengar menderitnya suara
dipan kayu, disusul suara langkah kaki. Hampir saja
Silasati menjerit kaget karena pintu dibuka dengan tiba-tiba.
"Silasati?" sebut Bancakluka, menatap sekujur
tubuh Silasati dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Pemuda ini seperti tak percaya pada penglihatannya
sendiri. "Kau Silasati?" ulang Bancakluka.
"Ya. Ya..., aku Silasati, Bancakluka...," tegas Silasati, sedikit tergagap.
"Malam-malam begini...," menggantung kalimat
Bancakluka. tu...." "Boleh aku masuk?"
"Tentu saja. Silakan. Tampaknya, ada sesua-
"Ya! Ya," sergah Silasati, cepat. "Aku disuruh
ayahmu untuk menjemput Seno Prasetyo."
"Apa" Menjemput?" kejut Bancakluka, tak jadi
mempersilakan Silasati duduk.
"Baru saja ayahmu mampir ke rumahku. Setelah berbincang-bincang dengan ayahku,
ayahmu memintaku untuk menjemput Seno Prasetyo. Ayahmu ingin Seno Prasetyo turut
memeriksa pengairan di sawah
ladangnya. Bukankah Seno Prasetyo berasal dari tanah Jawa yang terkenal subur"
Barangkali pemuda itu
bisa memberikan sumbang saran untuk perbaikan cara-cara bercocok tanam di tanah
kelahiran kita ini...,"
kilah Silasati.
"Malam-malam begini...," selidik Bancakluka lirih seperti menggumam. "Kenapa
Sangkuk tidak langsung saja pulang dan mengatakan keinginannya sendiri kepada
Seno?" "Ah! Mana aku tahu jalan pikiran ayahmu. Aku
cuma menuruti permintaannya, dan kebetulan juga
aku belum tidur. Jadi, dengan senang hati aku datang
ke sini." "Tapi...."
Kalimat Bancakluka tak berlanjut karena dia
melihat sosok si Pendekar Bodoh, Seno Prasetyo yang
tengah berjalan menghampiri. Wajah Seno tampak kusut karena sulit tidur.
"Kudengar kalian membicarakan diriku," ujar
pemuda berpakaian biru-biru itu. "Kakek Bancakdulina memerlukan kehadiranku"
Benarkah itu" Di mana
dia sekarang?"
Pendekar Bodoh yang sejak sore tadi cuma du-
duk merenung di kamarnya, menatap lekat wajah Silasati. Aneh memang bila
Silasati yang seorang gadis
disuruh Bancakdulina untuk menjemput Pendekar
Bodoh yang seorang pemuda menginjak dewasa. Tapi,
Pendekar Bodoh yang amat lugu tak begitu menghiraukan keanehan itu. Dia percaya
benar pada katakata Silasati yang sempat didengarnya dari dalam kamar. Pendekar
Bodoh mengangguk-angguk manakala
Silasati berkata....
"Tuan Baulau menunggumu, Tuan Seno. Marilah kuantar Tuan untuk menemui beliau."
"Ya. Ya...," sambut Pendekar Bodoh seraya berjalan ke luar rumah. Namun...,
kedatangan Silasati
yang begitu mendadak membuat si pemuda lupa
membawa cermin ajaib 'Terawang Tempat Lewati Masa'!
Bergegas Silasati mengikuti. Senang bukan
main hati gadis itu karena merasa akan dapat menjalankan perintah Danyangsuli.
Keluguan Pendekar Bodoh ternyata dapat memudahkan urusannya.


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara, Bancakluka yang melihat Pendekar
Bodoh dan Silasati berjalan menuruni tangga hanya
dapat menatap seperti telah hilang kesadarannya. Namun setelah dua anak manusia
itu menginjakkan kaki
di pelataran, barulah Bancakluka menyadari benar
akan adanya kejanggalan atas sikap dan tindaktanduk Silasati.
"Tunggu...!" cegah Bancakluka.
Teriakan putra Bancakdulina itu sebenarnya
sudah cukup keras untuk dapat menghentikan langkah Pendekar Bodoh dan Silasati,
tapi tampaknya Pendekar Bodoh dan Silasati sama sekali tak mendengar teriakan Bancakluka.
Mereka terus berjalan tanpa
menoleh sedikit pun ke belakang.
"Hei, Seno! Tunggu!" teriak Bancakluka lagi.
Pendekar Bodoh tetap tak menoleh.
Pemuda remaja berparas tampan itu memang
tak mendengar teriakan Bancakluka. Sementara, Bancakluka belum menyadari bila
keadaan di sekitar rumahnya telah dikuasai pengaruh kekuatan gaib Danyangsuli.
Kekuatan gaib itu bersumber dari garam
dan kacang hijau yang ditebarkan Silasati di depan
pintu. "Silasati...!" teriak Bancakluka untuk ketiga kalinya.
Teriakan itu pun tak membuahkan hasil seperti
yang diharapkan Bancakluka. Pendekar Bodoh dan Silasati terus berjalan semakin
jauh. Dan karena terdorong rasa penasaran akibat melihat kejanggalan sikap
Silasati, Bancakluka meloncat dari lantai rumah. Begitu kakinya menginjak tanah,
dia berteriak lebih keras.
"Seno! Sati! Tunggu...!"
Namun, sosok Pendekar Bodoh dan Silasati telah menghilang dari pandangan,
tertelan kegelapan
malam. Maka, hati Bancakluka pun semakin digeluti
rasa penasaran. Tapi, dia tetap belum menyadari bila
keadaan di sekitar rumahnya telah dikuasai pengaruh
kekuatan gaib Danyangsuli.
Di lain kejap, Bancakluka tampak berlari-lari
mengempos seluruh tenaganya. Pemuda calon kepala
Suku Asantar itu terus berlari seakan sedang mengejar
Pendekar Bodoh dan Silasati. Tapi sebenarnya, dia
cuma berlari-lari mengelilingi bangunan rumahnya!
*** "Untuk apa kita jalan ke sini..."* ujar Seno
mencetuskan rasa herannya karena arah jalan Silasati
tidak menuju ke sawah ladang milik Bancakdulina
yang terletak di sebelah timur Perkampungan Suku
Asantar. "Sudahlah. Ikuti saja," sahut Silasati seraya
mempercepat langkah.
"Uh! Hari masih gelap begini. Aku jadi heran.
Jangan-jangan kau hendak berbuat yang tidak-tidak,
Sati...," tegur Seno. Nada suaranya masih terdengar
datar, mencerminkan keluguannya.
"Kau jangan memandang rendah!" bentak Silasati tiba-tiba. "Kalau tidak karena
terpaksa, tak akan
aku menginjak rumah Bancakluka. Apalagi, mengajakmu seperti ini!"
"Jadi, karena terpaksa" Tak suka pada Kakek
Bancakdulina" Juga tak suka pada Bancakluka?" sahut Seno dengan raut wajah tak
berdosa. Tentu saja
pemuda ini tidak tahu jalan pikiran Silasati. Disangkanya bila si gadis memang
tengah menuruti permintaan Bancakdulina.
"Jangan banyak cakap lagi. Ikuti saja langkahku!"
Mendengar ucapan Silasati yang ketus, Seno
nyengir kuda sejenak. Karena masih menyangka Silasati memang menuruti permintaan
Bancakdulina, bergegas ia mengekor langkah gadis hitam manis itu. Dia
tak mau mengecewakan Bancakdulina yang tentunya
telah cukup lama menantikan kedatangannya.
Tak seberapa lama kemudian, dua anak manusia itu berjalan dalam kebisuan. Tak
ada yang mau membuka suara lagi. Mereka sama-sama larut dalam
pikiran di benak masing-masing. Hanya suara tapak
kaki mereka yang kadang terdengar memecah kesunyian.
Lamat-lamat terdengar lolongan serigala. Tekur
burung hantu tak ketinggalan turut mencoba mengusik suasana malam yang dingin
dan sepi. Sementara,
suara jengkerik mengerik seakan mengiringi langkah
kaki Seno dan Silasati. Dan manakala terdengar suara
kokok ayam alas, Silasati tampak mempercepat langkah.
"Ayolah...!" ajak gadis itu, setengah berlari.
"Hei! Kita makin salah arah. Tidak sadarkah
kau, Sati?" sergap Seno.
"Jangan banyak bicara, kataku! Percepatlah
langkahmu!"
Seno nyengir kuda lagi. Ketika melihat bangunan Puri Dewa Langit yang samar-
samar, Seno menghentikan langkah.
"Puri Dewa Langit...," desisnya. "Kau sengaja
mengajakku ke sana" Apakah Kakek Bancakdulina
menungguku di tempat itu?"
Silasati tak menjawab. Jantungnya berdegup
lebih kencang. Semakin dekat dengan Puri Dewi Langit, berarti
semakin mudahlah dia menyelesaikan perintah Danyangsuli. Tapi saat melihat
Pendekar Bodoh yang tiba-tiba menghentikan langkah lalu berdiri bengong,
dia jadi tak sabaran. Dihampirinya pemuda itu,
"Hai! Hai, kenapa kau?" tegur Seno karena tangannya dicekal erat dan setengah
ditarik-tarik oleh Silasati.
"Ayolah! Kita sudah dekat!" desak Silasati.
"Kakek Bancakdulina menungguku di puri itu?"
"Kau akan tahu sendiri!"
"Jawab saja pertanyaanku!" bentak Pendekar
Bodoh yang merasa ucapan Silasati berubah galak.
"Tak perlu aku menjawab pertanyaanmu! Kau
akan segera tahu sendiri jawabannya!" Silasati balas
membentak. Ditariknya tangan Seno sampai pemuda
itu terhuyung-huyung.
"Eh! Eh! Bagaimana ini?" ujar Seno. "Aku jadi
curiga. Jangan-jangan kau hendak mencelakakan
aku...." "Tidak! Aku tidak bermaksud mencelakakanmu!" sahut Silasati. "Kalau kau menuruti
kemauanku, aku akan berterima kasih sekali kepadamu. Kau telah
menolongku. Untuk kesekian kalinya, Pendekar Bodoh
nyengir kuda. Sambil menggaruk-garuk pantatnya
yang tiba-tiba terasa amat gatal, ditatapnya wajah Silasati lekat-lekat. Tahulah
kini Seno, di balik tatapan
ketus Silasati tersimpan rasa takut dan kekhawatiran.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Sati" Apa
yang telah kau katakan tadi adalah suatu kebohongan
belaka, bukan?" selidik Seno kemudian. Terdiam Silasati. Mendadak, air bening
menitik dari kedua sudut
mata putri Bancaksika itu. Kening Seno langsung berkerut rapat. Si pemuda merasa
heran melihat perubahan sikap Silasati.
"Kau menangis" Kalau ada apa-apa, aku bersedia menolongmu...," tawar Send,
kebodoh-bodohan
"Te... terima kasih, Tuan Seno...," sambut Silasati, sesenggukan. Nada bicaranya
kembali menjadi
hormat. "Kalau Tuan memang ingin menolongku, sudilah Tuan mengikutiku ke Puri
Dewa Langit..."
"Itu akan menyelesaikan persoalanmu?"
Mengangguk Silasati.
"Kalau cuma itu permintaanmu, apa susahnya"
Tapi, tidakkah kau ingin berterus terang kepadaku"
Apa permasalahanmu sebenarnya" Ada hubungannya
dengan Bancakluka?" desak Seno. Pemuda itu sudah
tahu perihal pertunangan Silasati dengan Bancakluka
Silasati diam beberapa lama. Setelah menarik
napas panjang beberapa kali, dia berkata, "Itu juga
menjadi permasalahanku. Aku jadi amat susah karenanya. Tapi, sekali lagi
kukatakan..., kalau Tuan memang ingin menolongku, ikutlah aku ke Puri Dewa
Langit...."
Seno cengar-cengir lagi. Berpikir-pikir dia, dan
menimbang-nimbang pula. Melihat raut wajah Silasati
yang tampak begitu sedih, akhirnya dia menyanggupi
permintaan gadis itu.
"Tunggu apa lagi" Ayolah...," ganti Pendekar
Bodoh yang bersemangat untuk datang ke Puri Dewa
Langit. Pendekar Bodoh benar-benar tak tahu bila bahaya besar telah
menantikannya. Sementara, bola mata Silasati langsung berbinar. Gadis itu pun tak menyangka
bila sebenarnya
Danyangsuli punya maksud tak baik terhadap Seno
Prasetyo! *** Bersorak girang dalam hati Danyangsuli ketika
melihat sosok Pendekar Bodoh yang datang ke hadapannya bersama Silasati. Begitu
gembiranya dia, hingga sampai beberapa lama dia cuma berdiri terpaku
dengan bola mata berbinar-binar!
"Nyinyi! Aku telah mewujudkan apa yang kau
inginkan...," seru Silasati. "Sekarang lepaskan pengaruh sihirmu pada Sadeng
Sabantar, dan biarkan kami
pergi! ingat pula janjimu, Nyinyi!"
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Danyangsuli
"Tentu! Tentu saja aku akan menepati janjiku. Kau
memang seorang gadis yang amat penurut Sati. Nah!
Pergilah sekarang kau cepat-cepat!"
Sambil berkata, Danyangsuli menghadapkan
kepalan tangan kanannya ke arah Sadeng Sabantar
yang masih berdiri kaku. Dari cincin bercupu kelelawar yang melingkar di jari
tengah tangan kanan wanita
itu keluar sebentuk kekuatan gaib yang melepaskan
pengaruh kekuatan sihir pada diri Sadeng Sabantar.
Maka saat itu juga, Sadeng Sabantar langsung bisa
menggerakkan tubuhnya kembali.
"Silasati...!"
Kata itulah yang pertama kali diucapkan oleh
Sadeng Sabantar saat dirinya telah pulih seperti sedia
kala. Disertai luapan rasa syukur, dia meloncat ke hadapan Silasati. Dipeluknya
gadis itu penuh haru.
Pendekar Bodoh yang melihat kejadian itu terlihat cengar-cengir. Walau masih
samar-samar, tahulah dia apa sebenarnya yang menjadi tujuan Silasati
membawanya keluar dari rumah Bancakdulina.
"Hei! Kenapa tidak segera pergi" Apa kalian ingin melihat aku berubah pikiran?"
ancam Danyangsuli
saat melihat Sadeng Sabantar dan Silasati terus berpelukan.
"Ya! Ya, Nyinyi! Kami pergi!" sahut Sadeng Sabantar, menyimpan rasa takut.
Melihat wajah Danyangsuli yang menegang garang, tanpa pikir panjang lagi pemuda
itu mencekal lengan Silasati. Lalu, diajaknya si gadis berlari-lari
meninggalkan tempat. Sementara, Pendekar Bodoh
masih saja cengar-cengir tanpa melakukan sesuatu.
"Ha ha ha....!" Danyangsuli tertawa bergelak lagi. "Selamat! Selamat berjumpa
dengan Danyangsuli si
Ratu Sihir Tercantik, Seno Prasetyo.... Selamat! Selamat datang ke Kerajaan
Gaib-ku, Seno Prasetyo. Sebentar lagi kau akan melihat kemegahan istana kerajaan
milikku itu! Ha ha ha...!"
Mendengus gusar Pendekar Bodoh mendengar
tawa gelak Danyangsuli yang lepas berderai.
"Hmmm....Tahulah aku sekarang..." ujarnya. "Rupanya, Silasati telah kau peralat,
hei kau Danyangsuli
yang mengaku bergelar Ratu Sihir Tercantik! Wajahmu
memang amat cantik jelita. Bentuk tubuhmu memang
amat menarik. Tapi melihat sorot matamu, aku tahu
kau menyimpan maksud tak baik terhadapku...."
"Uts! Jangan keburu menuduh yang bukanbukan!" sergah Danyangsuli.
"Di antara kita tak ada silang sengketa. Tak ada
pula utang-piutang. Tapi melihat kau memperalat Silasati, rupanya kau hendak
mencoba membuat urusan
denganku. Hmmm.... Manis tutur katamu mungkin bisa meredam hawa amarahku. Tapi,
sikap dan tindakanmu tetap tak bisa menutupi sifat jahatmu!
Hmmm.... Kalau memang kau sengaja hendak membuat urusan denganku, besok pagi
datanglah ke rumah Kakek Bancakdulina!"
Usai berkata, Pendekar Bodoh membalikkan
badan. Tenang saja dia melangkah untuk kembali ke
rumah Bancakdulina. Mana dia mau berhadapan muka dengan seorang wanita di malam
buta seperti itu"
"Tunggu!" seru Danyangsuli.
Ketika Seno menoleh, mendadak Danyangsuli
menanggalkan bajunya, sehingga tonjolan buah dadanya terlihat. Walau masih
tertutup kain berenda putih, tapi itu sudah cukup untuk membuat darah muda
Seno berdesir tiba-tiba.
"Ap... apa maksudmu...?" ujar Seno, sedikit tergagap.
"Kau tadi mengatakan aku cantik. Tubuhku juga menggiurkan, bukan" Tidakkah kau
ingin menciumku" Tidakkah kau ingin memelukku" Hari sudah
gelap, Seno. Andai kau punya kemauan, masih banyak
waktu untuk menuruti kemauanmu itu...."
Mendengar kata-kata Danyangsuli yang begitu
menggoda, Seno malah berdiri terpaku. Mulutnya terkunci rapat. Namun, bola
matanya terbelalak makin
lebar. "Ayolah, Seno.... Segeralah mendekat...," ajak
Danyangsuli. Wanita itu meliukkan tubuhnya sedemikianrupa, hingga membuat aliran darah Seno semakin berdesir tak karuan. Apalagi
setelah Danyangsuli turut
membuka kain berenda yang menutupi buah dadanya
yang montok ranum.
Namun..., tak diduga-duga....
"Oh! Tidak! Perempuan lacur!" teriak Seno tibatiba, tersadar dari godaan
Danyangsuli. Bergegas murid Dewa Dungu itu meloncat sebat untuk meninggalkan Danyangsuli.
Tapi..., loncatannya segera terhenti manakala Danyangsuli mendengus gusar seraya
menghadapkan cincin bercupu
kelelawarnya ke arah si pemuda.
"Kemarilah! Peluk aku! Jadilah kekasih yang
baik!" perintah Danyangsuli yang mengandung kekuatan sihir.
Begitu hebatnya pengaruh sihir yang keluar lewat cupu cincin Danyangsuli, hingga
terlihat Pendekar
Bodoh terlongong-bengong. Lalu perlahan, si pemuda
melangkah mendekati..., dan memeluk mesra tubuh
Danyangsuli seraya menjatuhkan ciuman ganas di bibir wanita itu....
Manakala ciuman Pendekar Bodoh beralih ke
dadanya, Danyangsuli tertawa bergelak-gelak. "Ha ha
ha...! Terbukti sudah ketajaman penglihatanku. Setelah aku berdekatan dengannya,


Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia memang memiliki
inti kekuatan tubuh yang hebat luar biasa! Ha ha ha...!
Aku akan segera mengisapnya! Ha ha ha...!"
Sementara Danyangsuli larut dalam kegembiraan, Pendekar Bodoh larut dalam nafsu
birahi yang tiba-tiba menguasai jalan pikirannya. Dan tampaknya,
tempat sepi di dekat Puri Dewa Langit itu akan segera
menjadi ajang pelampiasan nafsu setan...
SELESAI Segera terbit!!!
RAJA ALAM SIHIR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Tugas Rahasia 8 Pedang Pusaka Buntung Karya T. Nilkas Kisah Tiga Kerajaan 6
^