Pencarian

Serikat Kupu Kupu Hitam 1

Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam Bagian 1


SERIKAT KUPU-KUPU HITAM
Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode: Serikat Kupu-kupu Hitam
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
1 Suasana pagi cerah. Udara sejuk. Di kejauhan
nampak pegunungan yang indah seakan menyambut
cahaya mentari yang baru muncul. Keadaan seperti di bawah sadar. Begitu indah
dan mempesona. Burung-burung berkicau, bersahutan terbang kian-
kemari. Suara geresek dedaunan di hembus angin pagi terdengar merdu di telinga.
Di tengah keheningan pagi dan keindahan panora-
ma, terdengar suara seperti orang membentak keras,
dari bangunan besar yang dikelilingi tembok. Bangu-
nan itu mirip seperti sebuah istana. Halamannya luas.
Dan dari halaman itu terdengar suara seperti membentak tadi.
"Yah... coba kalian ulangi lagi gerakan yang aku ajarkan tadi!" kata seorang
wanita yang kira-kira berusia 37 tahun. Wajah wanita itu masih kencang. Kenta-ra
sekali kalau dia waktu remajanya cantik jelita. Sekarang pun bias kecantikannya
masih nampak. Wanita itu berdiri di hadapan berpuluh orang yang
berpakaian hitam-hitam dengan mengenakan topeng
berwarna hitam pula. Di tangan orang-orang itu terdapat sepasang pedang. Begitu
pula di tangan wanita ta-di. Hanya bedanya wanita itu tidak mengenakan pa-
kaian berwarna hitam dan tidak mengenakan topeng
berwarna hitam pula.
Dia mengenakan pakaian berwarna putih yang
ringkas dengan celana sebatas lutut yang ringkas pula.
Rambutnya yang tergerai panjang dikucir ekor kuda.
Dan di keningnya ada sebuah ikatan berwarna biru.
Nampak sekali kalau wanita itu sedang mengajar-
kan sebuah jurus ilmu pedang. Dan jelas sekali kalau orang-orang yang berpakaian
hitam-hitam dan menge-
nakan topeng hitam itu adalah murid-muridnya.
Sebenarnya siapakah wanita itu" Dia tak lain ada-
lah Ratih Ningrum, istri dari Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma.
Seperti biasanya setiap
pagi murid-murid Perguruan Topeng Hitam berlatih il-mu pedang, karena itu
merupakan ciri khas dari Per-
guruan Topeng Hitam.
Dulu Perguruan Topeng Hitam diketuai oleh Paksi
Uludara atau yang berjuluk si Dewa Pedang. Namun
ketika dia tewas di tangan Nindia, sebelum ajalnya dia menyerahkan sebuah amanat
kepada Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma untuk meme-
gang tampuk ketua dan meneruskan cita-citanya (Ba-
ca: Dewi Cantik Penyebar Maut).
Dan amanat itu dipegang dan dijalankan oleh Ma-
dewa Gumilang sampai sekarang. Tetapi biarpun de-
mikian, dia tak pernah mempunyai keinginan untuk
mengubah ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam yang bersenjatakan sepasang
pedang. Makanya dia dan istrinya hanya menurunkan dan mengajarkan kepada
murid-muridnya akan ilmu-ilmu pedang. Bahkan seka-
lipun Madewa tidak pernah menurunkan ilmu yang
dimilikinya. Pagi ini dia sendiri sedang bersemedi di ruang khu-
sus. Di halaman kembali lagi terdengar suara Ratih Nin-
grum, "Kalian ulangi kembali, gerakan yang telah ku-lakukan tadi! Mulai!"
Serentak para muridnya pun bergerak. Mengikuti
apa yang telah dicontohkan tadi.
Ratih Ningrum mengangguk-anggukkan kepalanya,
merasa puas karena murid-muridnya dengan cepat te-
lah menangkap apa yang telah diajarkannya.
Tiba-tiba terdengar suara terkikik.
Kepala Ratih Ningrum cepat menoleh. Begitu pula
dengan para muridnya. Mereka melihat ada empat
orang gadis berwajah cantik berdiri tegap di atas tembok yang mengelilingi
Perguruan Topeng Hitam. Keem-
pat gadis itu berpakaian ringkas berwarna hitam. Di pinggang mereka pun melilit
sebuah selendang berwarna hitam pula.
Ratih Ningrum mendesah dalam hati. Dia sampai
tidak mendengar keempat gadis itu mendekat Pergu-
ruan Topeng Hitam dan telah berdiri tegap di tembok.
Ini menandakan bahwa keempat gadis itu bukanlah
gadis-gadis sembarangan adanya.
Ratih Ningrum menjadi berhati-hati. Dia lalu berka-
ta, "Sebagai tamu yang sopan dan menghormati tuan rumah, agaknya Ni sanak
sekalian berkenan untuk turun daripada berdiri di tembok itu," kata Ratih
Ningrum dengan suara bersahabat.
Empat tubuh berpakaian hitam itu bersalto dengan
ringannya dan hinggap di tanah. Keempatnya menam-
pakkan wajah tidak bersahabat.
Salah seorang berkata pada Ratih Ningrum, "Salam kenal dari kami, Nyonya
Ketua... Kami dari Serikat
Kupu-Kupu Hitam... menyampaikan amanat dari guru
kami yang bernama Dewi Komalaputih..."
Ratih Ningrum yang sudah mencium maksud keda-
tangan mereka yang membawa itikad tidak baik berka-
ta, tetap dengan nada bersahabat, "Salam kenal kembali dariku, untuk Guru kalian
Dewi Komalaputih.
Amanat apakah yang hendak Ni sanak sekalian sam-
paikan?" "Hanya amanat kecil yang mungkin tak punya arti bagimu...."
"Katakanlah...."
"Nyonya Ketua.... nama Perguruan Topeng Hitam telah terdengar sampai ke langit
ke tujuh. Begitu pula dengan pimpinannya yang bernama Madewa Gumilang
alias Pendekar Bayangan Sukma. Namun saat ini, ka-
mi semua meminta kepadamu dan kepada suamimu,
untuk tunduk berada di bawah kekuasaan kami..."
Mendengar kata-kata itu wajah Ratih Ningrum pias.
Amarah sudah berkecamuk di dadanya. Rasanya ingin
dia segera menghantam mulut yang lancang itu. Begitu pula dengan para muridnya
yang nampak mulai tidak
senang dengan kedatangan orang-orang itu. Namun
mereka tak berani melangkah sebelum ada perintah.
Mereka masih tetap berdiri di tempat masing-
masing dan menahan kegeraman yang ada di hati.
Ratih Ningrum sendiri masih mencoba untuk ber-
sabar. "Aku belum mengerti apa maksud dari Guru kalian, Ni sanak?"
Gadis yang berkata tadi mendengus. "Ratih Nin-
grum... jangan berlagak pilon. Kau pasti sudah jelas maksud kami, yang meminta
pada Perguruan Topeng
Hitam untuk tunduk di bawah kekuasaan Serikat Ku-
pu-Kupu Hitam... Camkan itu!"
Ratih Ningrum mendengus pula. Kali ini kemara-
hannya mulai naik melihat sikap keempat gadis itu begitu sombong dan pongah.
"Bagaimana bila kami menolak?"
"Itu berarti menantang Serikat Kupu-Kupu Hitam, Nyonya Ketua..."
"Tak ada jalan lain!"
"Memang tak ada jalan lain selain untuk menyerah saja!"
"Bukan itu maksudku!"
Wajah gadis itu memerah. Matanya meradang ber-
bahaya. "Nyonya Ketua... setiap kali kami menjalankan misi dari guru kami, tak sekali
pun kami pernah berbuat
salah dan mengalah! Katakan sekali lagi yang kau
maksudkan itu..."
Ratih Ningrum tersenyum. Namun di balik senyu-
mannya tersirat kemarahan yang menggelegak.
"Kali ini kalian yang berpura-pura bodoh! Kalian tentu sudah tahu maksudku,
bukan?" "Ratih Ningrum... bila itu maumu, Perguruan Topeng Hitam akan rata dengan tanah!
Seperti Perguruan Sutra Emas. Perguruan Cakra Buana. Dan perguruan
yang lainnya...."
"Tetapi Perguruan Topeng Hitam tidak seperti perguruan-perguruan lain yang kau
sebutkan itu!"
"Bagus! Kami pun sudah tidak sabar untuk menga-du kesaktian denganmu! Hhh! Aku
beritahu dulu na-
maku, Ratih Ningrum. Bila kau sudah mampus nanti,
nama kami akan kau bawa ke liang kubur! Namaku
Priatsih! Teman-temanku, Priyanti, Prikasih dan Prilastri!"
"Hhh! Priatsih... majulah bila kau benar-benar ingin merasakan ilmu dari
Perguruan Topeng Hitam!"
"Baik! Lihat serangan!"
Sehabis berkata begitu, Priatsih menderu maju den-
gan serangan yang cukup berbahaya. Ratih Ningrum
sendiri telah menyarungkan kembali sepasang pedang
kembarnya warisan gurunya yang bernama Mukti.
Dia pun bergerak maju. Karena Priatsih bertangan
kosong, dia pun mengimbanginya dengan tangan ko-
song. Priatsih yang melancarkan serangan dengan puku-
lan lurus ke wajah Ratih Ningrum, harus terkejut ketika Ratih Ningrum tiba-tiba
maju menyerang dengan
pukulan lurus pula ke wajah Priatsih. Serentak Priatsih menarik tangannya untuk
menangkis serangan Ra-
tih Ningrum. "Des!"
Terjadi benturan yang cukup lumayan. Dan kedua-
nya bersalto ke belakang. Masing-masing dapat men-
gukur tenaga dalam lawan. Ratih Ningrum merasa te-
naga dalam lawan berada sedikit di bawahnya.
"Ayo seranglah aku kembali, Priatsih!" tantangnya yang sudah bersiap kembali.
Priatsih pun menerjang kembali. Kali ini lebih cepat.
Lebih hebat dan lebih berbahaya. Ratih Ningrum sen-
diri sudah mengeluarkan jurus Pukulan Tangan Seri-
bunya warisan dari gurunya yang bernama Tek Jien.
Kedua wanita itu pun saling serang dengan hebat.
Saling menangkis.
Saling membalas.
Keduanya bagaikan dua ekor elang yang saling me-
nyerang dengan hebat di angkasa.
Telah lima belas jurus keduanya lewati, namun be-
lum kelihatan ada yang terdesak. Hingga suatu ketika Ratih Ningrum memekik
sambil bersalto. Dia bergerak dengan pukulan Tangan Seribunya. Yang nampak
berubah menjadi seribu. Dan pukulan itu pun mengan-
cam bagian-bagian tubuh berbahaya dari Priatsih.
Priatsih sendiri terkejut melihat satu pertunjukkan yang diperlihatkan Ratih
Ningrum. Dalam keadaan
bersalto ke arahnya, Ratih Ningrum masih bisa pula
menyerang. Sebisanya Priatsih mencoba menangkis.
Satu dua pukulan berhasil ditangkisnya.
Tetapi tangan yang berubah seolah menjadi seribu
itu sulit untuk dibendung lagi.
"Des!"
"Des!"
Dua pukulan bersarang telak di dada Priatsih yang
terhuyung ke belakang. Dia merasakan dadanya nyeri
sekali. Sementara Ratih Ningrum sudah bersalto kem-
bali ke belakang dan hinggap kembali di tanah dengan ringannya.
Dia tersenyum. "Itukah ilmu Serikat Kupu-Kupu Hitam yang kau
banggakan dan andalkan"!" serunya dengan nada
mengejek. Kata-kata itu membuat wajah Priatsih memerah.
Begitu pula dengan ketiga temannya. Ketiganya siap
untuk maju menyerang Ratih Ningrum. Tetapi tangan
Priatsih menghalanginya.
"Biar aku yang selesaikan masalah ini!" katanya.
Lalu dia berkata pada Ratih Ningrum, "Nyonya Ketua.... jangan berbangga dulu
karena kau bisa memu-
kulku. Nah, sekarang terimalah satu pertunjukkan dariku!"
Sehabis berkata begitu, Priatsih menguraikan se-
lendang hitamnya yang melilit di pinggangnya. Ru-
panya selendang itu adalah senjata andalannya.
Dia pun mulai menggerak-gerakkan selendang itu.
Dan menyeringai pada Ratih Ningrum, "Nah....
Nyonya Ketua... kembali kita harus bermain-main lagi!
Kau lihatlah senjata andalan dari Serikat Kupu-Kupu Hitam ini!"
"Majulah, Priatsih!" sahut Ratih Ningrum tenang.
Dia pun menggeser kaki kanannya sedikit, hingga terbuka. Sikapnya sigap dan
waspada. Priatsih tidak mau membuang waktu lagi. Dengan
menjerit keras dia menyerang dengan selendang hi-
tamnya. Hebat. Sungguh hebat permainan selendang
yang dipertunjukkan oleh Priatsih.
Hebat! Amat hebat! Selendang itu bisa berubah menjadi tongkat yang
amat kuat. Dan kadang-kadang berubah menjadi se-
buah cemeti. Saat selendang itu bergerak, menimbulkan desiran
angin yang cukup dingin dirasakan oleh Ratih Nin-
grum. Dan suara celetar yang cukup kuat.
"Hahaha.... mengapa kau hanya bisa menghindar
saja, Nyonya Ketua"!" ejek Priatsih karena Ratih Ningrum harus kalang kabut
menghindari serangan-
serangan selendang hitam itu.
Dia mengerahkan segenap ilmu meringankan tu-
buhnya. Dan satu ketika selendang itu mendadak be-
rubah menjadi sebuah tombak dan siap untuk menu-
suk Ratih Ningrum yang sedang bersalto di udara.
"Awas serangan!" seru Priatsih.
Tubuh Ratih Ningrum yang masih bersalto di udara,
kayaknya amat menyusahkan dirinya untuk menghin-


Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dar. Apalagi selendang yang telah berubah menjadi
tombak itu telah dekat jaraknya!
*** 2 Murid-murid Perguruan Topeng Hitam hanya bisa
menahan nafas tegang karena merasa tak ada jalan
lain bagi Nyonya guru mereka untuk meloloskan diri
atau pun menghindar. Karena sepertinya jalan itu sudah tertutup.
Begitulah dengan Priatsih yang merasa akan meme-
nangi pertarungan ini. Hhh, ternyata hanya begitu saja kepandaian yang dimiliki
oleh Ratih Ningrum!
Namun satu kehebatan diperlihatkan oleh Ratih
Ningrum. Dan membuat semua mata terbelalak, seakan tak
percaya dengan apa yang terjadi.
Ratih Ningrum yang tengah bersalto di udara, den-
gan satu gerakan yang sungguh teramat cepat, menca-
but sepasang pedang kembarnya. Dan mengibaskan-
nya pada selendang yang telah berubah menjadi tom-
bak itu. "Trak!"
Pedang itu telah menyambar patah tombak yang be-
rasal dari selendang. Dan mendadak saja tombak itu
terkulai. Priatsih terkejut.
Belum lagi hilang keterkejutannya, sebuah tendan-
gan yang dilancarkan Ratih Ningrum telah mengenai
dadanya. "Des!"
Tubuh itu meluncur dengan deras ke belakang dan
ambruk dengan muntah darah.
Ketiga temannya terkejut melihat hal itu. Langsung
mereka memburu kepada Priatsih. Lalu dua orang
berdiri dengan tatapan beringas dan bernafsu untuk
membunuh dan membalas dendam.
Keduanya Priyanti dan Prilastri.
"Ratih Ningrum...." seru Priyanti dengan tatapan yang berbahaya. "Kau telah
membuat harga diri kami jatuh atas ulahmu ini! Dan kami meminta agar kau
menyerahkan diri sekarang juga!"
Tetapi kata-kata yang mengandung ancaman itu
disambut dengan tersenyum oleh Ratih Ningrum.
Lalu dengan ringannya dia berucap, "Apakah kalian masih ingin nekat
menghadapiku" Bukankah kawan
kalian yang telah jatuh itu sudah menjadi sebagai bukti, bahwa kalian tak akan
sanggup untuk mengalahkan aku"!"
Prilastri menggeram. "Sombong! Aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu,
Ratih Ningrum!"
"Majulah! Dan kupikir, kalian berbarengan saja menghadapiku, biar urusan ini
selesai! Dan katakan pada Guru kalian, jangan coba-coba mengganggu ke-tentraman
kami! Dan jangan coba-coba menyebarkan
teror ke perguruan lainnya yang terdapat di rimba per-
silatan ini!"
Wajah Priyanti dan Prilastri memerah karena ma-
rah. Keduanya saling lirik. Dan seperti sudah disepa-kati, tiba-tiba saja
keduanya bergerak menderu ke depan.
Ratih Ningrum yang sudah bersiap sejak tadi pun
segera menyambut serangan keduanya dengan sepa-
sang pedang kembarnya.
Berbahaya. "Wuuuttt!"
"Wuuuttt!"
Kedua pedang itu berkelebat ke arah Priyanti dan
Prilastri yang menderu menyerang. Dan secara seren-
tak pula keduanya bersalto ke belakang untuk meng-
hindarkan diri dari pedang Ratih Ningrum.
"Sialan!" maki Prilastri. Kali ini dia bergerak maju dengan cepat, mendahului
Priyanti. Dan sambil menderu ke depan dia menguraikan selendang hitam yang
melilit di pinggangnya. "Tahan seranganku, Nyonya Ketua! Awaaaasss!"
Ratih Ningrum pun segera menyambut dengan se-
pasang pedang kembarnya. Jurus-jurus pedang kem-
barnya pun segera mengimbangi permainan selendang
hitam dari Prilastri.
Melihat kawannya sudah maju menyerang dan
menguraikan senjata, Priyanti pun bergerak memban-
tu dan menguraikan selendangnya pula. Kali ini Ratih Ningrum diserang dari dua
jurusan. Sungguh amat berbahaya.
Mematikan. Dan kejam. Selendang itu telah dialiri tenaga dalam yang cukup kuat. Dan kadang-kadang
menjadi tombak yang berbahaya. Kadang memukul. Menusuk. Menotok. Kadang
secara tiba-tiba tombak itu berubah kembali menjadi
selendang yang bergerak bagai sebuah cemeti.
"Tar!"
"Tar!"
Ratih Ningrum menjadi agak kewalahan dengan se-
rangan-serangan yang datang bertubi-tubi. Sebisanya dia mencoba untuk membalas
dan menghindar.
Dan secara tiba-tiba kedua pedangnya bergerak be-
gitu cepat hingga menimbulkan suara angin yang ber-
gemuruh. Ratih Ningrum telah memadukan permainan
pedangnya dengan Pukulan Tangan Seribunya, hingga
pedang-pedang itu berubah menjadi seribu.
Setelah memadukan permainan pedangnya dengan
jurus Pukulan Tangan Seribunya, nampaklah Ratih
Ningrum bisa mengimbangi permainan selendang ke-
dua gadis itu. Kini nampak kedua gadis itu yang terdesak. Mereka
nampak cukup terkejut pula menyaksikan permainan
pedang yang diperlihatkan Ratih Ningrum.
"Wanita keparat!" geram Priyanti sambil berusaha menangkis dengan selendangnya
yang berubah menjadi sebatang tongkat.
"Mengapa hanya bisa memaki dan menghindar saja, hah"!" ejek Ratih Ningrum dan
terus mencecar dengan hebat.
Sepasang pedang kembarnya yang dipadukan den-
gan jurus Pukulan Tangan Seribu, ternyata menjadi
begitu dahsyat. Mampu membuat kedua lawannya
tunggang langgang kewalahan.
Para murid Perguruan Topeng Hitam berdecak ka-
gum melihat Nyonya Guru mereka ternyata masih
memiliki ilmu pedang yang dahsyat. Mereka tidak tahu kalau itu adalah jurus
perpaduan. Prikasih yang tengah berusaha mengalirkan tenaga
dalamnya pada Priatsih, menjadi terkejut melihat kedua kawannya terdesak.
Begitu pula dengan Priatsih yang telah membuka
matanya. Dia merasa cukup pulih sekarang.
"Kasih... bantulah mereka.." desisnya lemah. Meskipun telah pulih tetapi dia
merasa tubuhnya masih
agak lemah. "Baik. Bagaimana keadaanmu?"
"Agak lumayan. Cepat, kedua pedang Ratih Nin-
grum kulihat seperti mempunyai mata!"
"Baik!"
Sehabis berkata begitu, Prikasih berdiri. Dia lang-
sung menguraikan selendang hitamnya yang melilit di pinggangnya. Sambil memekik
keras, dia pun meli-batkan dirinya dalam pertarungan itu.
"Awas serangan!" serunya dan mengibaskan selendang yang telah dialiri tenaga
dalam itu. Ratih Ningrum yang tengah mencecar kedua lawan-
nya, merasakan sambaran angin yang cukup kuat da-
tang dari belakangnya. Dengan sigap dia bersalto ke belakang. Dan hinggap di
tanah dengan manisnya dalam keadaan siap siaga dan waspada.
"Bagus! Mengapa tidak sejak tadi kau ikut berga-bung dalam pertarungan ini,
hah"!" seru Ratih Ningrum sambil secara diam-diam mengatur jalan perna-
fasannya. Dan serangan dari Prikasih pun datang kembali.
Melihat datangnya bantuan, Priyanti dan Prilastri
pun segera menyerang kembali.
Kali ini Ratih Ningrum diserang dari tiga jurusan
yang cukup berbahaya.
Dia pun mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
untuk menghindari sambaran-sambaran selendang
berwarna hitam dari ketiganya.
Hingga suatu ketika, salah sebuah pedangnya ber-
hasil dilibat oleh selendang hitam milik Prilastri. Ratih Ningrum berusaha untuk
melepaskan pedangnya. Na-
mun adu tenaga itu ternyata seimbang, dikarenakan
Prilastri memegang selendangnya dengan kedua tan-
gannya. Bila sama-sama satu tangan, jelas Prilastri akan kalah tenaga oleh Ratih
Ningrum. Dan si saat tarik menarik itu terjadi, Priyanti dan Prikasih segera mengibaskan
selendang hitamnya ke
arah Ratih Ningrum.
Dua buah senjata andalan itu pun menderu dengan
hebat ke arah istri Madewa Gumilang. Ratih Ningrum
terkejut bukan kepalang. Namun mendadak tubuhnya
mengempos ke arah Prilastri. Prilastri yang sedang
mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik pe-
dang Ratih Ningrum terkejut karena tiba-tiba dia seperti menarik angin. Dan
tubuhnya menjadi hilang ke-seimbangan. Dia pun terhuyung.
Belum lagi dia sadar apa yang telah terjadi, pedang di kanan Ratih Ningrum telah
membabat selendangnya
hingga putus. Membuat tubuh Prilastri kini ambruk ke tanah. Dan dengan satu
gerakan salto yang manis, Ratih Ningrum bergerak ke arahnya. Dan mengayunkan
pedangnya kembali.
"Craaasss!"
"Aaaaaaakhhhh!"
Terdengar jeritan dari Prilastri ketika pedang Ratih Ningrum membabat dadanya.
Darah segar pun segera
menyembur keluar. Pedang itu menggores sampai jan-
tungnya. Mampuslah Prilastri dengan luka yang mengerikan.
Sementara dua serangan yang dilancarkan oleh
Priyanti dan Prikasih mengenai angin. Dan mereka
amat terkejut melihat Prilastri telah mati dengan mengerikan.
Dua pasang mata itu pun bersinar berbahaya pada
Ratih Ningrum yang telah berdiri tegap kembali.
"Bangsat! Kau harus membayar nyawa teman ka-
mi!" bentak Prikasih marah.
Ratih Ningrum hanya tersenyum sambil mengatur
jalan pernafasannya.
"Maaf., salah dia sendiri yang tidak menyadari datangnya bahaya."
"Persetan dengan ucapanmu!" geram Prikasih. "Kau harus membayar semua ini!"
"Hmm... kalian datang dengan cara yang tidak bersahabat! Dan maksud kedatangan
kalian pun tidak
menggembirakan! Kalian telah membuat onar di Pergu-
ruan Topeng Hitam! Lalu apakah aku harus diam saja
melihat semua perbuatan kalian yang sombong, mau
menang sendiri dan durjana" Tidak, sampai kapan
pun aku akan menentang semua perbuatan kalian!
Lebih baik kalian pergi dari sini, sebelum ada nyawa lagi yang terlepas dari
jasad!" "Hhh! Kau pikir kami takut dengan ancamanmu itu, Nyonya Ketua"!"
"Tidak, karena kalian adalah pengawal-pengawal yang patuh pada ketua atau guru
kalian!" "Nah, mengapa kau tidak menyerah saja"!"
"Demi kebenaran aku rela bertaruh nyawa!"
"Anjing buduk! Nyonya Ketua... sejengkalpun kami tak akan mundur dari
hadapanmu!"
"Bagus! Dan nyawa pun akan terlepas lagi dari ja-sadnya!"
"Hal itu akan terjadi padamu, Nyonya Ketua!" geram Priyanti marah. Dan setelah
berkata begitu dia pun
menderu kembali menyerang dengan selendang hitam-
nya. Melihat kawannya sudah menyerang, Prikasih pun
turut pula membantu. Namun Ratih Ningrum yang su-
dah melihat gelagat yang susah untuk dihindarkan, telah bersiap sejak tadi. Dia
pun sudah dapat memperhi-tungkan sampai di mana kehebatan dari para penye-
rangnya. Dia pun segera menyongsong serangan keduanya
dengan sepasang pedang kembarnya.
Kembali terjadi pertarungan yang hebat antara me-
reka. Serangan demi serangan saling berbalasan. Saling mencari kelemahan lawan.
Namun suatu ketika, terdengar jeritan Ratih Nin-
grum yang kuat. Dan tubuhnya pun bersalto ke arah
keduanya, yang saat itu sedang melancarkan serangan mereka.
Dahsyat! Hebat. Berbahaya. Namun penuh perhitungan.
Tubuh Ratih Ningrum pun menerobos kedua selen-
dang hitam yang sedang mengarah padanya.
"Crass!"
"Crass!"
Dengan satu gerakan yang sukar dilihat oleh mata,
kedua selendang itu pun terbabat putus setengah oleh sepasang pedang kembar
milik Ratih Ningrum. Dan
sepasang pedang kembar itu pun terus memburu ke
arah lawan. Priyanti dan Prikasih terkesiap. Serentak keduanya
bergulingan menghindar.
Ratih Ningrum yang tidak ingin mencabut nyawa la-
gi, segera menghentikan serangannya. Dia pun bersal-to ke belakang.
"Hahh! Sudah kukatakan sejak tadi, tinggalkan
tempat ini!" serunya berwibawa.
Priyanti yang telah bangkit dari bergulingnya men-
dengus. Wajahnya jelas nampak pucat dan terkejut.
Dia amat tidak menyangka Ratih Ningrum berani me-
nyongsong serangan yang dilancarkan olehnya dan
Prikasih. Begitu pula dengan Prikasih.
Dia pun telah berdiri di samping Priyanti.
Ratih Ningrum berkata lagi. "Bukankah lebih baik kalian pergi dari sini" Aku tak
ingin lagi menurunkan tangan telengas pada kalian! Cepat, jangan sampai aku
berubah pikiran!"
Priyanti mendengus.
"Nyonya Ketua... sampai kapan pun akan kami ingat kejadian di hari ini! Dan ini
telah membangkitkan dan membakar dendam kami!"
"Hhh! Pergilah dari sini secara baik-baik! Ingat, semua ini kalian yang
memulai!"

Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya! Kami tak akan pernah menerima semua ini,
Nyonya Ketua!"
"Kalau itu maunya kalian, terserah! Tetapi perlu di-ingat, Perguruan Topeng
Hitam tak akan mudah tak-
luk pada siapa pun untuk jalan kejahatan!"
Priyanti membopong mayat temannya, Prilastri. Se-
dangkan Prikasih menuntun Priatsih yang masih le-
mah. Sebelum meninggalkan tempat itu, Priyanti berkata
lagi dengan mengancam, "Ingat, Ratih Ningrum... kami akan datang lagi untuk
menuntut balas!"
"Kalian bisa datang sebagai tamuku kapan saja!"
Lalu keempat gadis berpakaian hitam itu pun me-
ninggalkan tempat itu. Membawa seorang yang telah
menjadi mayat, dan seorang lagi yang dalam keadaan
terluka. Ratih Ningrum mendesah. Perlahan-lahan dia me-
nengadah menatap langit.
Oh, mengapa masih begitu banyaknya orang-orang
yang sok jago dan mengandalkan kepandaiannya un-
tuk menindas orang lain, desahnya dalam hati pilu.
Lalu dia kembali kepada murid-muridnya yang ma-
sih tetap berdiri di tempatnya. Masih setia dan menu-
ruti perintahnya.
Kemudian dia berkata, "Murid-muridku... kalian telah mendengar sendiri tadi,
kalau orang-orang dari Serikat Kupu-Kupu Hitam akan kembali lagi ke sini. Pin-
taku, kalian harus bersiap siaga kapan pun juga. Dan satu lagi, jangan kalian
memberitahukan hal ini kepada Ketua. Karena dia tengah menjalankan semedinya!
Biarlah semua ini kita yang mengetahuinya saja. Aku tak mau konsentrasinya
terganggu!"
Para muridnya mengangguk. Dan menyahut dengan
serempak, "Kami akan menuruti semua perintah dari Nyonya Ketua!"
"Bagus! Teruskan kalian berlatih! Aku hendak masuk ke dalam!"
Para muridnya menjura hormat pada Ratih Ningrum
sebelum wanita itu melangkah. Lalu mereka pun me-
lanjutkan latihan tadi.
*** 3 Malam pekat. Rembulan bersembunyi di balik awan
hitam. Nampak mega-mega itu bergerak pekat. Ber-
gumpal. Angin berhembus kencang. Dingin sampai ke
tulang sumsum. Sebentar lagi nampak hujan akan turun.
Suasana di hutan itu nampak begitu menyeramkan.
Binatang malam yang biasanya berkeliaran, kali ini tak nampak seekor pun. Mereka
seolah menyadari kalau
malam ini nampak lain dengan malam-malam sebe-
lumnya. Di hutan kecil itu nampak terdapat sebuah danau.
Danau yang dikelilingi oleh pepohonan besar, kini
nampak pula dikelilingi oleh kabut yang cukup tebal.
Danau itu sungguh mengerikan. Konon di danau itu
banyak terdapat siluman.
Itulah sebabnya danau itu dikenal sebagai Danau
Siluman. Dan nampak samar-samar tiga sosok tubuh berke-
lebat ke arah danau itu. Ketiga sosok itu berpakaian hitam pekat. Bila
diperhatikan lebih seksama, salah seorang dari tiga sosok tubuh itu nampak
tertatih-tatih disanggah oleh temannya. Dan yang seorang lagi,
nampak sedang membopong sosok tubuh yang terkulai
tak berdaya. Nampaknya sosok yang dibopong itu telah menjadi mayat.
Mereka tak lain adalah empat gadis anggota Serikat
Kupu-Kupu Hitam yang telah dikalahkan oleh Ratih
Ningrum. Mereka sedang menuju kembali ke markas mereka.
Rupanya tak jauh dari Danau Siluman terdapat se-
buah bangunan yang cukup besar yang dikelilingi oleh tembok yang lumayan tinggi.
Di pintu gerbang untuk masuk ke bangunan itu,
terlihat dua sosok tubuh berpakaian hitam pula se-
dang menjaga. Keduanya terkejut begitu melihat orang-orang itu
datang. Keduanya segera menyongsong.
"Priyanti! Apa yang telah terjadi?" tanya salah seorang.
Priyanti yang membopong mayat Prilastri menyahut
sambil memasuki halaman bangunan itu.
"Prilaksmi, di mana Ketua"!"
"Ada di ruang khususnya!"
"Hei, kau belum mengatakan apa yang telah terja-di?" tanya yang seorang lagi.
Prikasih yang menyahut, "Kami gagal membuat Perguruan Topeng Hitam untuk tunduk
kepada kita!"
"Hei, kau tahu sendiri apa akibatnya"!" seru teman-
nya lagi. "Benar, Priyuni! Tetapi kami telah siap untuk menerima resikonya!"
"Kalau begitu sebaiknya kalian cepat menghadap Ketua! Jangan sampai terlambat,
bila tak ingin kepala kalian lepas dari leher!" seru Priyuni agak beriba. Karena
dia tahu apa hukumannya bila tugas yang telah
diberikan gagal dilaksanakan.
Kepala taruhannya!
Sambil memapah Priatsih, Prikasih menyusul
Priyanti yang telah masuk duluan sambil membopong
mayat Prilastri.
Mereka telah siap untuk menerima resiko apa pun.
Karena bagi mereka, biarpun melarikan diri, tak akan bisa lepas dari tangan Dewi
Komalaputih. Ruang khusus yang disebut Prilaksmi tadi adalah
ruangan pribadi Dewi Komalaputih. Di ruangan itu dia sering menggunakan untuk
memperdalam ilmu silat-nya. Juga untuk melampiaskan hawa nafsunya dari je-
jaka-jejaka yang diculiknya. Setelah nafsunya terpua-skan, maka jejaka-jejaka
itu akan dibunuhnya.
Saat ini Dewi Komalaputih pun sedang berada da-
lam puncak birahinya bersama dengan Ki Prodana, ke-
tua dari Perguruan Sutra Emas yang telah berhasil ditaklukannya dan menjadi
pengikutnya. Bagi Dewi Komalaputih, dia tak mengenal apakah
laki-laki yang dimauinya itu seorang jejaka ataukah seorang yang telah lanjut.
Yang penting baginya seorang laki-laki!
Dan laki-laki itu memenuhi seleranya.
Begitu pula halnya dengan Ki Prodana. Dia dikenal
sebagai orang dari golongan putih. Usianya kira-kira 53 tahun. Namun
penampilannya masih gagah perkasa. Dia berjuluk si Gagak Hitam. Namun hawa naf-
sunya, telah mengalahkan akal sehatnya. Karena dia
telah menjadi pengikut Dewi Komalaputih.
Keduanya tengah bergelut dengan penuh birahi.
Hawa mesum memenuhi ruangan yang cukup besar
itu. Di dalam ruangan itu terdapat bermacam senjata yang dimiliki oleh Dewi
Komalaputih. Tak lama kemudian terdengar desahan panjang dari
keduanya. Disusul dengan jeritan kecil dari mulut De-wi Komalaputih.
Karena yang menjadi teman tidurnya orang yang te-
lah ditaklukannya dan menjadi abdinya, sudah tentu
Dewi Komalaputih tidak menurunkan tangan telengas-
nya pada Ki Prodana.
Kini keduanya terlentang dengan mata terpejam.
Tiba-tiba Dewi Komalaputih berdiri dan berseru,
"Kalian yang berada di luar, cepat masuk!"
Lalu dia pun mengenakan pakaiannya yang berwar-
na hitam pula. Hanya bedanya dia memakai jubah
yang berwarna hitam.
Lalu dia pun melilitkan selendang hitamnya yang
terbuat dari sutra.
Begitu pula dengan Ki Prodana yang telah memakai
pakaiannya kembali.
Perlahan-lahan pintu ruangan itu terbuka.
Priyanti, Prikasih dan Priatsih langsung masuk dan
menjatuhkan diri di hadapan Dewi Komalaputih yang
tengah berdiri. Di sampingnya Ki Prodana.
"Salam hormat kami kepada Guru!" berkata ketiganya secara bersamaan.
Dewi Komalaputih mendengus.
"Hhhh! Mana Prilastri"!" tanyanya dengan suara yang dingin.
Ketiganya bangkit perlahan-lahan. Namun masih
duduk di lantai. Ketiganya melihat sepasang mata itu bersinar begitu dingin dan
menakutkan. Secara tak
sadar bulu kuduk ketiganya meremang mengingat hu-
kuman apa yang akan dijatuhkan oleh Dewi Komala-
putih bila mereka gagal dalam menjalankan tugas.
Priyanti berkata perlahan, "Maafkan kami Guru...
Kami gagal dalam menjalankan tugas Guru kali ini..."
Sepasang mata itu pun semakin dingin bersinar.
Dan terselip getaran berbahaya.
"Lalu apa yang terjadi dengan Prilastri?"
"Maafkan kami, Guru.... Prilastri... tewas di tangan istri Madewa Gumilang..."
kata Priyanti sambil menun-dukkan kepalanya.
Begitu pula dengan kedua temannya.
Terdengar dengusan dari guru mereka.
"Bagus! Aku suka sekali dengan kerja kalian" Dan kalian tahu bukan, apa
hukumannya bila kalian gagal melaksanakan tugas ini?"
"Kami mengerti, Guru," sahut ketiganya berbarengan. Seperti mengeluh.
"Dan kalian menerimanya?"
"Tak ada jalan lain bagi kami untuk menerimanya, Guru."
"Bagus! Kalian adalah pengawal dan muridku yang setia! Nah, mengapa kalian tidak
melakukannya sekarang, hah"!"
Ketika gadis itu berpandangan dengan wajah pucat.
Lalu terlihat Prikasih perlahan-lahan mengangkat kepalanya.
Menatap sang Guru.
"Guru... kali ini... bukannya kami ingin menentang perintah Guru. Kami rela
membunuh diri di hadapan
Guru. Tetapi izinkanlah kami sekali lagi untuk menyerang ke Perguruan Topeng
Hitam... kami hendak me-
nuntut balas pada Ratih Ningrum atas kematian Prilastri, Guru.... Maafkan
kami..." Lalu Prikasih menunduk kembali. Hatinya berdebar kencang.
Begitu pula dengan kedua temannya.
Dewi Komalaputih terdiam. Sebenarnya dia kagum
dengan keberanian Prikasih mengemukakan perintah-
nya. Lagi pula dia ingat, biasanya keempat murid pilihannya ini tak pernah gagal
dalam menjalankan tugas.
Sekarang mereka meminta padanya untuk menun-
tut balas pada Ratih Ningrum atas kematian Prilastri.
Bukankah ini suatu persahabatan dan persaudaraan
yang sejati"
Terdengar desahan Dewi Komalaputih.
"Kalau itu tekad kalian, baiklah. Kalian kuizinkan untuk menuntut balas atas
kematian Prilastri. Tetapi dengan satu syarat, kalian harus berhasil membunuh
Ratih Ningrum dan membawa kepalanya kepadaku.
Mengerti?"
"Terima kasih, Guru..." kata ketiganya bersamaan.
"Cepat kalian keluar dari sini! Dan ceburkan mayat Prilastri ke Danau Siluman!"
"Kami mohon pamit, Guru!"
Lalu masih duduk di lantai ketiganya perlahan-
lahan beringsut keluar dari ruangan itu. Di luar ketiganya mendesah lega. Dan
dendam semakin membara
di hati mereka pada Ratih Ningrum.
"Sebaiknya kita urus dulu mayat Prilastri ini," kata Priyanti.
"Baik, kita ceburkan ke Danau Siluman!" kata Prikasih sambil membopong mayat
Prilastri. Lalu ketiganya pun segera membawa mayat itu ke
Danau Siluman. Memang, mayat-mayat para jejaka
yang dibunuh oleh Dewi Komalaputih dan mayat-
mayat murid yang gagal dalam menjalankan tugas, di-
buang dan dibenamkan ke dalam Danau Siluman.
Namun yang membuat heran, dari danau itu tidak
tercium bau busuk yang menyengat. Malah setiap kali mayat itu diceburkan ke
sana, menguar bau harum
dari danau itu.
Sehingga mereka percaya kalau danau itu ditunggui
oleh para siluman.
Prilaksmi dan Priyuni heran begitu melihat mereka
keluar lagi dalam keadaan selamat.
"Guru memaafkan kalian?" tanya Prilaksmi tergesa karena baru kali ini ada
kejadian murid yang gagal dalam menjalankan tugasnya dimaafkan oleh guru mere-
ka. "Ya! Kami akan menuntut balas pada Ratih Ningrum!" sahut Prikasih.
"Kalau begitu, ajaklah kami pula. Karena kami pun mendendam melihat kematian
Prilastri..." kata Priyuni sambil melirik Prilaksmi yang langsung mengangguk.
"Itu bagaimana keputusan Guru nanti!"
Lalu mereka pun bergerak menuju ke Danau Silu-
man. Dan tanpa terasa ketiganya meneteskan air mata mengingat mayat Prilastri
yang telah menjadi saudara mereka harus dibenamkan ke Danau Siluman.
"Maafkan aku, Prilastri..." kata Prikasih sambil ber-linang air mata. "Tetapi
dendammu akan kami balas..."
"Tenanglah kamu di sana, Prilastri..." kata Priyanti.
"Yah... damailah jasadmu di sana..." sambung Priatsih sambil mengusap air
matanya. "Kami berjanji, akan menuntut balas atas kematianmu ini..."
Lalu dengan hati-hati dan perasaan berat, mereka
pun menceburkan tubuh Prilastri ke Danau Siluman
yang pekat tertutup kabut.
Terdengar suara "byur" lalu disusul tubuh Prilastri yang perlahan-lahan
terbenam. Ketiga gadis itu masih terisak menyaksikan mayat itu perlahan-lahan
menghilang ditelan Danau Siluman.
Dan begitu mayat Prilastri menghilang tertelan Da-
nau Siluman, mendadak menguar bau harum dari da-
nau itu. Begitu wangi. Mempesona. Ketika gadis itu pun menghirup bau wangi itu da-
lam-dalam. Seolah hendak menyatukan bau wangi itu
pada diri mereka.
Dan amat tiba-tiba, sungguh tiba-tiba, telinga me-
reka menangkap suara Prilastri yang berat seperti
mengandung kepiluan dan kesedihan yang teramat
sangat. Menyayat. "Kawan-kawan... bunuhlah Ratih Ningrum untuk
menemaniku di alam sana... Bunuhlah dia... bunuh-
lah... bunuhlah..."
Suara itu perlahan-lahan mengecil dan menghilang.
Ketiganya tersentak. Dan secara bersamaan pun
berseru. "Prilastri!"
Namun tak ada bayangan Prilastri.
Begitu pula dengan suara yang terdengar tadi.
Lenyap

Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Danau Siluman kembali sunyi dan pekat.
Namun di hati ketiganya, bergejolak dendam dan
amarah yang teramat sangat pada Ratih Ningrum.
Membuat mereka tak sabar lagi untuk segera membu-
nuhnya. Apalagi sura Prilastri itu menandakan dia masih be-
gitu mendendam. Dan membawa dendamnya ke alam
akhirat. Ketiga gadis itu pun berpandangan. Dan secara se-
rempak mereka mematahkan jari keliling tangan kiri
mereka. Lalu meludahi jari yang telah putus itu secara bersamaan.
Terdengar suara Priyanti yang diikuti oleh kedua
temannya, "Demi langit dan bumi... kami bersumpah akan membunuh Ratih Ningrum
untukmu, Prilastri!
Bila kami melanggar sumpah ini, biarlah Gusti Allah
yang akan menghukum kami! Kami tak akan mem-
biarkan kau menderita di alam sana! Dan kami tak ingin pula kau mati secara
penasaran, Prilastri!"
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh petir yang keras
di angkasa. Dan hujan secara mendadak turun dengan deras
membasahi bumi.
Berarti sumpah ketiganya didengar oleh Yang Maha
Kuasa. Sumpah yang mengerikan.
Sumpah demi seorang sahabat.
Dan secara bersamaan mereka pun melemparkan
jari kelingking yang telah putus itu ke Danau Siluman.
Seolah sudah sepakat dan yakin, jari kelingking mere-ka itulah yang akan
menemani arwah Prilastri di alam sana.
Sedangkan bau wangi yang menguar Danau Silu-
man itulah yang akan mengikuti dan menemani mere-
ka. Seolah antara mereka dengan Prilastri tak ada lagi perbedaan alam.
Telah menyatu. Namun tiba-tiba ketiganya menjerit, karena baru
merasakan sakit di kelingking mereka yang putus dan masih mengeluarkan darah.
Secara serempak ketiganya menotok urat darah
yang terdapat di pergelangan tangan mereka, sehingga darah pun berhenti
mengalir. Terdengar suara Priyanti berkata, "Sebaiknya kita harus segera mencari Ratih
Ningrum dan membunuh-nya."
Usul itu ditanggapi setuju oleh kedua temannya.
Prikasih berkata, "Dan sebaiknya pula, kita harus memulihkan kembali tenaga
kita. Terutama kau Priatsih. Kau harus bersemedi selama seminggu untuk
mengembalikan hawa murnimu yang telah banyak ter-
buang." Priatsih mengangguk.
"Yah... aku sendiri sudah tidak sabar untuk membalas kekalahan dari Ratih
Ningrum dan menuntut ba-
las atas kematian Prilastri..."
Lalu ketiganya pun kembali ke bangunan besar itu,
di mana Serikat Kupu-kupu Hitam berkumpul.
*** 4 Matahari nampak baru saja bangun dari peraduan-
nya. Sinarnya cerah. Menerangi bumi yang dua malam
berturut-turut dibasahi oleh hujan yang turun terus menerus.
Bau tanah basah yang bercampur dengan embun
pagi tercium. Bau rerumputan yang nampak segar pun
berhembus ditiup angin.
Nampak dua ekor kuda tengah melintasi jalan seta-
pak yang becek itu. Penunggangnya adalah sepasang
remaja. Yang pemuda berwajah tampan dan bertubuh
tegap. Di punggungnya terdapat busur beserta anak
panah. Sedangkan yang pemudi berwajah jelita dengan rambut terurai panjang yang
diikat ekor kuda. Sepasang matanya bersinar cerah dan jenaka. Menandakan
dia seorang gadis yang riang dan manja. Di punggung gadis itu terdapat sebilah
pedang yang sarungnya terbuat dari kulit harimau.
Keduanya sudah seminggu melakukan perjalanan
dari desa mereka. Keduanya adalah murid dari Pergu-
ruan Cakra Buana yang meminta izin pulang untuk
menengok kedua orang tua mereka yang sedang sakit.
Keduanya kakak beradik.
Si kakak bernama Perwira, sedangkan adiknya ber-
nama Ratih Ayu.
"Masih lamakah jalan yang harus kita tempuh untuk mencapai perguruan, Kakang
Perwira?" bertanya Ratih Ayu pada kakaknya.
Kalau melihat dari wajahnya saat ini, nampak wa-
jahnya tengah dirundung duka. Dan letih pun tersirat di wajah yang cantik itu.
"Kira-kira satu hari lagi, Rayi Ratih Ayu... Apakah kau sudah lelah?"
"Ya, Kakang... seluruh tubuhku penat dan lelah,"
kata Ratih Ayu.
Perwira tahu mengapa adiknya cepat menjadi lelah,
karena adiknya masih dirundung duka. Orang tua me-
reka yang sakit tak dapat tertolong lagi. Mereka meninggal akibat wabah kolera
yang melanda desa mere-
ka. Perwira menghentikan jalan kudanya.
"Sebaiknya kita beristirahat saja di sini, Rayi..." ka-ta Perwira mengusulkan.
"Itu lebih baik, Kakang..." kata Ratih Ayu sambil melompat dari kudanya. Lalu
mengikat kudanya di sebuah batang pohon.
Begitu pula dengan Perwira.
Lalu dia membuka bekal yang mereka bawa.
Di atas rerumputan yang masih basah, keduanya
pun menikmati sarapan pagi mereka.
Setelah menikmati sarapan dan merasa cukup be-
ristirahat keduanya pun kembali memacu kuda mere-
ka. Satu hari satu malam mereka berpacu. Kali ini tanpa beristirahat. Beberapa
saat kemudian, mereka pun tiba di depan sebuah bangunan besar. Di pintu gerbang
bangunan itu biasanya terdapat sebuah bendera
lambang dari Perguruan Cakra Buana.
Tetapi mereka tidak melihat bendera itu.
Bahkan biasanya di pagi seperti ini, murid-murid
dari Perguruan Cakra Buana sedang berlatih. Tetapi
mengapa bangunan itu nampak sepi" Bahkan seper-
tinya tak ada tanda-tanda kehidupan.
Keduanya saling berpandangan heran.
"Mengapa sepi sekali, Kakang?" tanya Ratih Ayu tak bisa menahan rasa herannya
lagi. "Entah, Rayi... mungkin sedang diadakan rapat di dalam..."
"Tetapi mengapa tidak ada yang menjaga, Kakang"
Bendera perguruan kita pun tak terpasang?"
"Aku juga tidak tahu, Rayi... sebaiknya kita masuk sekarang..."
Keduanya pun segera menjalankan kuda mereka
memasuki gerbang Perguruan Cakra Buana. Dan be-
tapa terkejutnya mereka begitu melihat mayat-mayat
bergelimpangan di sana sini.
Bau amis darah tercium.
Bau mayat terhembus dibawa angin.
Ratih Ayu muntah karena mencium bau yang tera-
mat busuk. Buru-buru dia mengerahkan hawa mur-
ninya untuk menutup bau yang busuk itu.
"Kakang! Apa yang telah terjadi"!" desisnya terkejut.
"Aku pun tidak tahu, Rayi!" kata Perwira tak kalah terkejutnya.
"Kakang... sepertinya di tempat ini telah terjadi pertempuran yang amat hebat."
"Betul, Rayi.. sepertinya Perguruan kita telah diserang oleh orang-orang
jahat..." "Kakang!" memekik Ratih Ayu. "Bagaimana dengan Guru"!"
Serentak keduanya melompat dari kuda mereka dan
berlari ke dalam bangunan itu. Di dalam pun terdapat banyak mayat dari murid
Perguruan Cakra Buana.
Kali ini mereka tak ambil perduli. Keduanya pun
berlari ke ruangan guru mereka biasa berada.
Pintu ruangan itu telah hancur berantakan. Seper-
tinya dihantam oleh sebuah buldozer. Di dalam ruan-
gan itu pun terdapat banyak mayat.
"Guru!" seru Ratih Ayu cemas. Duka yang telah di-alaminya seolah telah lenyap
dan berganti dengan ke-cemasan terhadap guru mereka, Ki Borgawa Darsa.
Suaranya menggema di ruangan itu.
Tak ada bayangan Ki Borgawa Darsa muncul.
Perwira pun berseru, "Guru! Di mana Guru bera-
da"!"
Kembali hanya gema suaranya yang terdengar.
Perlahan-lahan keduanya tersadar, kalau guru me-
reka tak ada di tempat itu. Serentak keduanya pun
mencari mayat guru mereka.
Tetapi tidak ditemukan!
"Kakang... mengapa mayat Guru tidak ditemukan
andaikata dia juga mati?" tanya Ratih Ayu cemas.
"Entahlah. Tetapi bila mayat Guru tidak ada, berarti Guru belum mati."
"Kalau belum mati di mana dia berada?"
"Aku pun tidak tahu, Rayi... hanya dugaanku, Guru ditahan oleh para penyerang
Perguruan Cakra Buana
ini." "Siapa mereka, Kakang?"
"Akupun tidak tahu, Rayi... Sayang, kita tidak bisa mencari keterangan dari
semua kejadian ini...."
"Kakang Perwira... Mbakyu Ratih..." terdengar suara pelan di belakang mereka.
Keduanya menoleh. Seraut wajah jelek muncul di
ambang pintu. "Bunto!" seru Perwira sambil berlari mendekati wajah jelek itu.
Begitu pula dengan Ratih Ayu yang mendekat pula
dan bertanya dengan nada tidak sabar, "Bunto... apa
yang telah terjadi" Di mana Guru?"
Bunto mendesah. Nampak di matanya tersirat duka
yang amat sangat. Wajah Bunto sangat buruk. Ma-
tanya terbuka lebar dengan luka bekas luka di kedua pelupuknya. Pipinya sebelah
kanan tumbuh benjolan.
Rambutnya agak botak. Dan tubuhnya bungkuk.
Di Perguruan Cakra Buana ini dia bertugas menjaga
kuda dan mengurusnya.
Karena Bunto diam saja, Ratih Ayu berkata lagi,
"Bunto... katakan apa yang telah terjadi" Siapa yang menyerang perguruan kita?"
"Tenang, Rayi.. tenanglah," kata Perwira yang melihat Bunto nampak sedang
menahan kesedihan di ha-
tinya. Lalu setelah melihat Bunto agak tenang, dia pun bertanya perlahan,
"Bunto... apa yang telah terjadi se-peninggal kami di sini" Ceritakanlah..."
Bunto menatap keduanya dengan sepasang ma-
tanya yang menakutkan namun bersinar lembut. Mata
itu bercahaya duka.
"Mengerikan..." desisnya pelan.
"Apanya yang mengerikan..."
"Orang-orang itu menyerang ke sini..."
"Siapa mereka?"
"Para gadis..."
"Maksudmu?" tanya Perwira. Sebenarnya dia penasaran karena Bunto memenggal-
menggal jawabannya.
Tetapi Perwira maklum sepertinya Bunto tengah men-
galami tekanan jiwa yang hebat. Boleh dikatakan dia melihat sendiri kejadian
yang mengerikan di Perguruan Cakra Buana.
"Gadis-gadis itu..."
"Gadis-gadis yang menyerang ke sini?"
"Ya."
"Siapa mereka?"
"Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam., mereka me-
nyerang perguruan ini dengan ganas dan kejam. Mere-
ka membunuh siapa saja.."
"Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam?"
"Ya, mereka berjumlah empat orang."
"Empat orang?" ulang Perwira tak percaya. Empat orang gadis menyerang ke sini
dan berhasil membunuh semua murid-murid Perguruan Cakra Buana" Se-
pertinya sukar untuk dipercaya.
Lalu terdengar lagi jawaban Bunto, "Ya, empat
orang. Mereka cantik. Tadi kejam..."
"Apa maksud kedatangan mereka?"
"Aku tidak tahu."
"Bagaimana dengan Guru?"
"Guru dibawa mereka."
"Ke mana?"
Bunto menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu."
"Bunto... katakan sekali lagi, yang menyerang perguruan kita berjumlah empat
orang?" "Ya."
"Para gadis?"
"Ya."
"Berpakaian hitam-hitam?"
"Ya."
"Senjata apa yang mereka gunakan untuk membu-
nuh dan menyerang kita?"
"Cuma selendang yang biasa dipakai seperti punya istriku."
"Selendang?"
"Ya. Tapi hebat."
Perwira mendesah. Jawaban-jawaban Bunto begitu
lambat dan terputus-putus. Dia tidak puas dengan jawaban yang diberikan Bunto.
Tetapi bila dia menekan atau memaksa, sepertinya
dia akan tetap menerima jawaban seperti itu. Perwira
bermaksud membiarkan Bunto secara lengkap.
"Ya," sahut Bunto dengan tatapan kosong. Lalu dengan terbungkuk dia mendahului
Perwira dan Ratih
Ayu melangkah. Ratih Ayu menatap kakaknya. "Kakang... sepertinya sulit dipercaya empat orang
gadis menyerang ke sini dan membuat segala kacau balau."
"Ya, aku pun demikian. Tetapi itu sudah menandakan bahwa mereka adalah gadis-
gadis yang sakti. En-
tah dari golongan mana mereka. Dan sebab apa mere-
ka menyerang dan membunuhi kawan-kawan kita ini."
"Aku sudah tidak sabar untuk mendengarkan cerita Bunto, Kakang. Sebaiknya kita
segera menyusul."
"Baik, Rayi."
Lalu keduanya berlari ke kuda mereka dan menga-
rah menuju rumah Bunto yang tak jauh dari Pergu-
ruan Cakra Buana.
*** 5 Seperti biasa pagi itu murid-murid Perguruan Cakra
Buana tengah berlatih. Senjata dari Perguruan Cakra Buana adalah sebuah cakra
bergerigi. Yang dapat di-mainkan seperti sebilah keris. Dapat pula dilempar
dan berbalik kembali kepada pemiliknya.
Ki Borgawa Darsa saat ini tengah berada di ruan-
gannya. Dia tengah bersemedi. Laki-laki yang berusia 50 tahun itu adalah dari


Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

golongan putih. Dan telah la-ma mengasingkan diri dari dunia persilatan. Dan
ilmu pun mulai diturunkan kepada para muridnya.
Tiba-tiba di halaman terjadi keributan.
Dua orang murid yang menjaga pintu gerbang ter-
pental dari tempatnya dan ambruk dalam keadaan
menjadi mayat di depan teman-temannya yang berla-
tih. Seta Angseta yang tengah melatih dan merupakan salah seorang murid terlama
menjadi terkejut. Dia segera menghentikan melatihnya.
Dan memeriksa kedua murid itu yang telah menjadi
mayat. Wajah kedua mayat itu membiru. Sepertinya
leher mereka dicekik hingga kehabisan nafas.
Belum lagi Seta Angseta berkata, tiba-tiba melompat empat sosok tubuh berpakaian
hitam-hitam di hadapan mereka. Wajah keempat sosok tubuh itu jelita.
Dan mereka merupakan gadis-gadis belia.
"Salam perkenalan kami, orang-orang Perguruan
Cakra Buana!" berseru salah seorang yang tak lain Priatsih.
Seta Angseta menjadi waspada. Dia dapat menduga
bahwa gadis-gadis inilah yang telah menghabisi nyawa kedua temannya.
"Salam kembali dari kami, Gadis-gadis berbaju hitam," balas Seta Angseta mencoba
bersahabat. Priatsih tertawa. "Hahaha... rupanya orang-orang Perguruan Cakra Buana orang-
orang yang dapat
menghormati tamunya..."
"Tamu adalah orang yang kami hormati..." kata Seta Angseta dengan mata
menyelidik. "Tetapi... tentunya kalian adalah tamu-tamu yang sopan" Namun
mengapa kalian begitu telengas membunuh dua teman kami
ini?" "Hahaha... itulah tanda perkenalan dari kami.
Orang-orang Serikat Kupu-Kupu Hitam..."
Mendengar ucapan yang sombong dan angkuh itu,
Seta Angseta menjadi geram.
"Kami rasa... kamu tak punya silang sengketa dengan Orang-orang Serikat Kupu-
Kupu Hitam..."
"Memang tidak."
"Tetapi mengapa kalian begitu telengas membunuh kawan-kawan kami ini?"
"Karena itu tanda untuk siapa saja yang membangkang kemauan dan perintah kami."
"Apa kemauan kalian"!" seru Seta Angseta semakin waspada. Dia yakin, keempat
gadis ini bermaksud tidak baik mengingat cara mereka datang dengan mem-
bunuh dua murid Perguruan Cakra Buana.
"Kemauan kami... agar orang-orang Perguruan Cakra Buana mau tunduk di bawah
Serikat Kupu-Kupu
Hitam..." "Hhh! Permainan apa pula ini"! Sepertinya kalian begitu mudah meminta pada kami
agar kami tunduk
pada kalian!"
"Ini bukan sebuah permainan! Tapi ini sebuah permintaan!"
"Bagaimana bila kami menolak permintaan kalian"!"
"Nasib kalian akan sama dengan dua orang yang telah menjadi mayat itu!"
"Bangsat! Langkahi dulu mayat kami, bila kalian ingin membuat kami menunduk dan
mengikuti segala
kemauan kalian!"
"Bagus! Aku pun sudah tidak sabar ingin membu-
mihanguskan Perguruan Cakra Buana!"
Sehabis berkata begitu, empat orang gadis itu pun
saling menjaga jarak. Posisi mereka mantap.
Seta Angseta mengangkat tangannya.
Secara serentak murid-murid Perguruan Cakra Bu-
ana mengurung keempat gadis itu.
"Hhh! Kalian tak akan bisa lari dari sini!" seru Seta Angseta.
"Bagus!" bentak Priatsih. "Akan kita lihat siapa yang masih bisa menghirup udara
segar esok pagi!"
"Seraaaang! Dan tangkap mereka!" seru Seta Angseta.
Dan secara serempak murid-murid yang menge-
pung itu pun bergerak melancarkan serangan.
Serentak pula di halaman Perguruan Cakra Buana
terjadi keributan yang hebat. Empat gadis yang dikeroyok itu ternyata begitu
lincah dan hebat menghindari setiap serangan para pengeroyoknya.
Murid-murid Perguruan Cakra Buana mengepung
keempat gadis itu dengan dua lingkaran. Lingkaran
pertama berada di dekat gadis-gadis itu. Lingkaran kedua melingkari lingkaran
pertama. Dan begitu lingkaran pertama merangsek maju,
lingkaran kedua menutup jalan keluar bagi keempat
gadis itu. Serangan-serangan yang mereka lancarkan
secara bergantian.
Begitu ada yang terkena pukul, dia akan mundur.
Dan orang yang berada di lingkaran kedua maju untuk menyerang.
Begitu seterusnya.
Pedang Medali Naga 7 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pendekar Negeri Tayli 5
^