Pencarian

Serikat Kupu Kupu Hitam 2

Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam Bagian 2


Nampak sekali kalau serangan itu sulit untuk di-
elakkan. Dan sepertinya tak ada jalan keluar bagi
keempat gadis itu.
Namun begitu keempatnya menguraikan selendang
yang melilit pinggang mereka, barulah nampak jalan
terbuka. Selendang itu kadang bisa berubah menjadi tom-
bak. Yang dengan hebatnya mengamuk. Kadang pula
bisa menjadi cemeti. Dan bagi yang terkena, langsung mampus. Karena selendang
itu telah dialiri tenaga dalam yang cukup kuat.
Sebentar saja sudah terdengar jeritan kematian dari murid-murid Perguruan Cakra
Buana. Dan barisan
melingkar itu pun terbuka. Dua orang gadis berpa-
kaian hitam bersalto melewati barisan itu dan masih bersalto mengibaskan
selendang mereka.
Dua jeritan terdengar.
Disusul dengan tubuh ambruk menjadi mayat.
"Hhh! Itulah ganjaran bagi yang membangkang!" se-ru Prikasih dan mengelebatkan
kembali selendangnya.
Kembali pula seorang ambruk dengan kepala hampir
putus. Barisan itu pun menjadi kacau balau.
Seta Angseta menjadi terkejut karena tak menyang-
ka selendang yang melilit di pinggang keempat gadis itu bisa menjadi senjata
yang mengerikan dan ampuh.
Dia sendiri pun mencabut senjata cakranya. Dan
menyerang dengan menggenggam lobang cakra itu. Se-
rangannya ganas dan berbahaya.
Setiap kali tangannya bergerak, terdengar desingan
angin yang cukup kuat.
Dan langsung mengancam bagian-bagian yang ber-
bahaya dari lawan-lawannya.
Priyanti yang melihat hal itu segera menyongsong
laju serangan Seta Angseta dengan selendang hitam-
nya. Keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran
yang hebat dan dahsyat.
Saling serang. Saling menghindar.
Saling balas. Sementara ketiga temannya telah membuat kacau
balau murid-murid yang lain. Satu per satu pun mu-
rid-murid itu mati. Bila tidak tubuhnya hancur, lehernya yang hampir putus.
Belum lagi ketika selendang yang berada di tangan
ketiga gadis itu berubah menjadi tombak. Dapat me-
nangkis jatuh cakra yang dilemparkan oleh murid-
murid Perguruan Cakra Buana.
Bahkan bisa membalikkan kepada pemiliknya den-
gan satu sentakan keras hingga pemiliknya sukar un-
tuk menangkapnya kembali. Dan tanpa ampun lagi
menancap di tubuhnya sendiri.
Hanya sebentar saja murid-murid Perguruan Cakra
Buana yang berjumlah 25 orang itu telah mati berka-
lang tanah. Sementara Seta Angseta dengan gigih menahan se-
rangan-serangan selendang hitam dari Priyanti.
"Kau tak akan bisa lari, Pemuda sombong!" geram Priyanti sambil menyerang. Dan
tiba-tiba selendangnya yang nampak lemah itu berubah menjadi tombak. Dan
siap untuk menusuk jantung Seta Angseta.
Seta Angseta sendiri terkejut. Dia cepat bersalto ke belakang. Namun tiba-tiba
tiga buah selendang telah menjerat tubuhnya dan menariknya jatuh ke bumi.
Dia memekik kesakitan.
Dan sulit baginya untuk meloloskan diri.
Priyanti terbahak. Dia mendekati Seta Angseta yang
telungkup di tanah.
Kakinya mengangkat dagu pemuda itu hingga me-
natapnya. Priyanti meludahi wajah itu.
"Hhh! Jangan banyak lagak di hadapan kami! Nah, kau sendiri yang meminta kepada
kami untuk melang-kahi mayatmu! Sebentar lagi akan kami lakukan, bu-
kan"!"
"Perempuan jahanam!" maki pemuda itu. "Kau tak ubahnya seperti iblis yang haus
darah!" "Yah, aku memang iblis yang haus darahmu!"
"Bunuhlah aku, Perempuan Iblis!"
"Sebentar lagi kami akan membunuhmu! Hhh,
mengapa kita tidak main-main sejenak"!"
Seta Angseta mendengus.
"Permainan apa lagi yang akan kau perlihatkan, hah"!"
"Sabarlah... nah, kau lihatlah permainan apa yang kami perlihatkan! Hmm...
sebenarnya kau cukup tam-
pan, Anak muda... Seharusnya kau kami serahkan ke-
pada Guru kami, tetapi entah kenapa aku mendadak
saja menyukaimu. Hmm... kau pasti menyukai per-
mainan yang akan kusuguhkan ini..."
Secara tiba-tiba tubuh Seta Angseta terangkat. Dan
berdiri dengan tubuh melilit tiga buah selendang.
Priyanti berdiri di hadapannya.
"Permainan ini segera dimulai, Anak muda..." desisnya tiba-tiba. Suaranya parau.
Di tenggorokan. Seta Angseta mencium hawa mesum yang mulai menguar.
Dan secara perlahan-lahan tubuh Priyanti meliuk-
liuk di depannya dengan erotis. Gerakannya mengan-
dung birahi yang memabukkan. Dan secara perlahan-
lahan pula dia membuka sedikit pakaian bagian dada.
Nampak pula di mata Seta Angseta bagian atas dari
buah dada gadis itu. Lalu perlahan-lahan pula Priyanti membuka pakaiannya.
Akhirnya dia pun telanjang bulat di depan Seta
Angseta. Tubuhnya semakin meliuk-liuk dengan erotis.
Seta Angseta tiba-tiba merasakan tubuhnya bergetar.
Dia berusaha menutup kedua matanya. Namun tangan
Prilastri telah menotok urat matanya hingga kedua ma-ta itu nyalang terbuka.
"Nikmatilah permainan ini, Anak muda..." desisnya.
Seta Angseta semakin merasakan gemetar di selu-
ruh tubuhnya melihat pemandangan di depannya. Wa-
jahnya mendadak memerah. Dia pun telah terundang
birahi yang mendesak.
Secara tiba-tiba dia berontak untuk menjangkau
tubuh Priyanti.
Tetapi lilitan tiga buah selendang itu semakin kuat mengikatnya. Membuat Seta
Angseta menjerit-jerit untuk mendekati tubuh Priyanti.
Tiba-tiba terdengar seruan keras dari ambang pintu
bangunan Perguruan Cakra Buana.
"Hai! Lepaskan!" seru orang yang berdiri di sana.
Lalu pemuda-pemuda yang berdiri di dekatnya segera
berlarian mengurung keempat gadis itu.
Priyanti menghentikan tariannya. Dia menebar se-
nyum yang memabukkan kepada pemuda-pemuda itu,
yang menjadi terdiam karena melihat suatu peman-
dangan yang jarang sekali mereka saksikan.
Sementara Seta Angseta masih meronta-ronta un-
tuk menjangkau tubuh Priyanti. Begitu hebat siksaan birahi yang melandanya.
"Apakah kalian datang untuk menikmati keindahan tubuhku pula"!" desis Priyanti.
Para murid-murid Perguruan Cakra Buana menjadi
salah tingkah dan serba salah. Tetapi begitu melihat betapa banyaknya teman-
teman mereka yang mati,
mereka mencoba mengusir pemandangan yang mema-
bukkan itu dengan menekan hawa murninya dan me-
nyebarkan ke seluruh tubuh.
"Teman-teman..." berseru salah seorang. "Jangan sampai terpengaruh oleh birahi!"
desisnya lagi. Dan teman-temannya pun semakin mengerahkan
hawa murni mereka. Mendadak salah seorang segera
bergerak menyerang, semata untuk menyadarkan te-
man-temannya yang tengah terpesona oleh pemandan-
gan itu. Mendengar jeritan yang keras, mereka menjadi ter-
gugah. Dan tersadar. Serentak pula mereka menye-
rang. Priyanti yang menjadi sasaran mereka.
Tetapi gadis itu dengan mudahnya menghindari se-
rangan dari pemuda-pemuda itu. Dia bersalto ke belakang, melewati tubuh Seta
Angseta yang masih meron-
ta-ronta karena dimabuk birahi. Tiba-tiba saja tangan kanan gadis itu bergerak
dengan cepat menghantam
kepala Seta Angseta.
"Traaakkk!"
Tinju yang keras itu menghantam hancur Seta Ang-
seta. Lalu tubuh itu pun ambruk tanpa bisa menjerit lagi.
Secara serempak tiga buah selendang yang melilit-
nya, terurai dan terlepas. Priyanti sendiri segera memakai pakaiannya. Dan kini
selendang hitamnya telah siap pula untuk menjalankan tugas.
Mendadak terdengar seruan dan satu sosok tubuh
melenting ke arah mereka. Ki Borgawa Darsa, Ketua
dari Perguruan Cakra Buana telah berdiri di hadapan mereka. Membelakangi murid-
muridnya. "Gadis-gadis berbaju hitam... ada masalah dan
maksud apa kalian membuat teror di sini?" tanyanya dengan suara berwibawa.
Usianya yang telah menem-panya menjadi bersikap demikian. Meskipun hatinya
geram menyaksikan pembantaian ini, namun dia ma-
sih berusaha untuk menahan diri.
"Hhh! Rupanya kami tengah berhadapan dengan Ki Borgawa Darsa, bukan"!" berkata
Priatsih. "Benar, akulah yang bernama Ki Borgawa Darsa.
Nah, katakan sebab apa kalian menurunkan tangan
telengas kepada murid-muridku?"
"Ki Borgawa... kamu membawa amanat dari guru
kami, Dewi Komalaputih untukmu..."
"Amanat apa gerangan?"
"Meminta kepada seluruh murid dan ketua Pergu-
ruan Cakra Buana untuk tunduk di bawah pimpinan
kami, Serikat Kupu-Kupu Hitam!"
Secara diam-diam Ki Borgawa Darsa sudah dapat
menangkap sebab apa gadis-gadis itu datang dan me-
nyebar teror. Dia tersenyum. Namun di balik senyum itu terdapat
kegeraman yang luar biasa.
"Bagaimana kalau aku menolak?"
"Kau akan mengalami nasib seperti murid-muridmu itu!"
"Agaknya aku lebih memilih mengikuti jejak murid-muridku yang perkasa!"
"Bagus!" kata Priatsih. "Nah, bersiaplah untuk menerima kematianmu!"
Setelah berkata begitu, Priatsih pun segera menye-
rang ke depan. Namun murid-murid yang berada di be-
lakang tubuh Ki Borgawa Darsa segera berkelebat me-
nyongsong serangan Priatsih pada guru mereka.
Priatsih terkejut. Namun dengan sigap dia kembali
bersalto. Dan bersamaan dengan itu Ki Borgawa Darsa sudah merangsek maju.
Keempat gadis itu pun menyebar dengan sigap. Ki
Borgawa Darsa dilayani oleh Priatsih. Sementara tiga temannya menghadapi
keroyokan para murid yang
berjumlah dua puluh orang.
Biarpun mereka berjumlah dua puluh orang, na-
mun yang mereka hadapi adalah gadis-gadis sakti mu-
rid dari Dewi Komalaputih. Sebentar saja mereka su-
dah kocar-kacir. Ada yang mati di tempat. Ada yang
mencoba berlari ke dalam.
Namun gadis-gadis itu tidak mau setengah-
setengah dalam melakukan pekerjaannya. Mereka pun
bergerak cepat menyusul. Dan di dalam Perguruan
Cakra Buana, pembantaian itu pun terjadi kembali.
Pekik dan jeritan bersatu dengan darah yang ber-
simbah. Sementara di luar, Ki Borgawa Darsa sudah menge-
luarkan senjata cakranya. Tiga buah. Dan senjata-
senjata itu pun bergerak menyerang Priatsih yang harus bersalto ke sana kemari
menghindar. Namun cakra itu seakan mempunyai mata. Dan su-
sul menyusul datangnya. Begitu bergerak, dia akan
kembali lagi kepada pemiliknya.
Priatsih menjadi kewalahan.
Hingga suatu saat tiga buah cakra yang bergerak
susul menyusul itu dengan hebat menyerbu ke arah
Priatsih yang susah payah bersalto.
Namun sebelum tiga senjata itu mengenai sasaran-
nya, tiga buah selendang berwarna hitam telah me-
nyambarnya dan mengikatnya.
Ki Borgawa Darsa terkejut, karena dia tidak me-
nyangka tiga buah selendang itu akan mampu mena-
han senjata cakranya.
Kini sadarlah dia siapa yang tengah dihadapi. Ga-
dis-gadis perkasa yang memiliki tenaga dalam cukup
hebat. Namun dia tak mau menyerah begitu saja. Bahkan
dia merelakan nyawanya putus daripada harus tunduk
pada perintah ketua Serikat Kupu-Kupu Hitam.
Maka dengan nekat dia pun segera menyerang den-
gan hebat. Membabi buta.
Tetapi gadis-gadis itu dengan mudahnya menghin-
dari serangan Ki Borgawa Darsa.
Pada saat itu, sosok tubuh bongkok dengan wajah
yang sangat jelek, baru saja kembali dari membawa
kuda-kuda milik Perguruan Cakra Buana di padang
rumput. Sosok tubuh itu adalah Bunto. Dan dia amat terke-
jut melihat perkelahian itu. Dia semakin terkejut begitu melihat mayat murid-
murid Perguruan Cakra Bua-
na yang bergelimpangan di bumi.
"Oh... apa yang telah terjadi?" desisnya gugup. Dan ketakutan pun menyerangnya,
hingga laki-laki bongkok itu hanya terpaku di tempatnya yang cukup ter-
sembunyi. Dia melihat Ki Borgawa Darsa tengah dikeroyok oleh
empat gadis berpakaian hitam. Ki Borgawa Darsa tak bisa berbuat banyak.
Dia pun merasa sia-sia dengan segala serangannya.
Namun dia masih tak mau mengalah.
Memang tak ada jalan lain selain menyambung
nyawa dengan gadis-gadis ini.
Dia masih mencoba untuk menyerang dengan se-
kuat tenaga. Tetapi hanya sia-sia belaka dan mem-
buang tenaga saja.
Secara tiba-tiba empat buah selendang hitam itu


Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membelit tubuhnya dan menariknya hingga ambruk ke
bumi. "Hhh! Sudah kukatakan, kau akan sia-sia belaka, Ki Borgawa Darsa!" mendengus
Priatsih. "Bunuhlah aku! Bunuh saja aku!"
"Membunuhmu tak sulit, Ki!"
"Bunuh saja aku! Lebih baik aku mati daripada harus menjadi pengikut serikatmu
yang kejam itu!"
Kata-kata Ki Borgawa Darsa disambut tawa oleh
keempat gadis itu.
"Tak sulit, Ki... tak sulit...." kata Prikasih.
"Semudah membalikkan telapak tangan, Ki," sambung Prilastri.
"Tetapi itu terlalu mudah, Ki... Kau harus mengalami satu siksaan dulu," lanjut
Priyanti. "Dan kau akan menikmatinya nanti," kata Priatsih sambil terkikik yang disambut
oleh teman-temannya.
Wajah Ki Borgawa Darsa begitu geram sekali. Na-
mun dia sudah tak berdaya. Sudah tak mampu ber-
buat apa-apa. Dia cuma bisa mendesah.
Sementara Bunto yang memperhatikan semua itu,
menjadi semakin tegang. Dia kuatir Ki Borgawa Darsa akan dibunuh. Karena dia
sudah tak melihat seorang
pun murid dari Perguruan Cakra Buana yang masih
hidup. Bunto merasa bersyukur karena tugasnya setiap
pagi dan sore membawa kuda-kuda milik Perguruan
Cakra Buana ke padang rumput.
Dia melihat keempat gadis itu masih terkikik.
"Sebaliknya kau menurut saja apa yang menjadi
kehendak Ketua kami, Ki!" kata Prikasih.
"Ya... kau akan mendapatkan pelayanan tak ubahnya seorang raja," sambung
Prilastri. "Seperti Ki Prodana, ketua dari Perguruan Sutra Emas yang mendapat perlakuan
sangat istimewa dari
guru kami dan kami semua," lanjut Priyanti.
"Bukankah itu sesuatu yang sangat nikmat, Ki?" ka-ta Priatsih.
"Hhh! Sampai kapan pun aku tak akan pernah mau menurut di bawah perintah Serikat
Kupu-Kupu Hitam!" kata Ki Borgawa Darsa tegas meskipun dia yakin dirinya tak
akan bisa lolos.
"Bagus! Itu terserah oleh Ketua kami! Bawa dia!" ka-ta Priatsih.
Lalu dengan selendang yang masih melilit di tubuh
Ki Borgawa Darsa, keempatnya berlari melesat mem-
bawa tubuh itu. Ki Borgawa Darsa merasa tubuhnya
bagai terbang belaka.
Bunto menunggu beberapa saat sebelum keluar dari
persembunyian. Setelah yakin orang-orang tidak da-
tang lagi, lalu dia pun keluar dari persembunyiannya.
Laki-laki bongkok itu hanya bisa menahan pilu me-
lihat kenyataan yang terjadi di depan matanya. Dia melihat semua murid Perguruan
Cakra Buana telah
tewas menjadi mayat.
"Gusti Allah... kesalahan apa yang telah orang-orang ini perbuat?" desisnya dan
tak terasa air matanya menggenang. Dia telah merasa sebagian dari
Perguruan Cakra Buana. Kalau tidak Ki Borgawa Dar-
sa yang mengambilnya sebagai pekerja, entah siapa la-gi yang akan mau
memanfaatkan tenaganya"
Bunto merasa berhutang budi pada Ki Borgawa
Darsa. Baginya, meskipun upah yang dia dapatkan se-
dikit, tetapi dapat mengganjal perut istri dan dua
orang anaknya yang masih kecil.
Dan sekarang dia melihat Ki Borgawa Darsa dibawa
oleh gadis-gadis berpakaian hitam itu. Dia tak bisa berbuat apa-apa.
Sungguh pilu hatinya.
Dia merasa kecil sekali.
Tiba-tiba Bunto teringat pada Perwira dan Ratih
Ayu. Kalau tidak salah ingat, dua hari yang lalu kakak beradik itu berpamitan
padanya untuk menjenguk
ibunya yang sedang sakit.
Dan entah kenapa Bunto begitu menaruh harap pa-
da keduanya. Siang dan malam Bunto menunggu dan mengintip
apakah kedua orang itu telah datang. Dia tak mengen-al lelah. Karena baginya,
hanya merekalah yang tersisa sebagai murid Perguruan Cakra Buana.
*** Bunto mendesah panjang.
Perwira dan Ratih Ayu yang mendengarkan ceri-
tanya menggeram gemas terhadap gadis-gadis itu. Me-
reka merasa bersyukur karena ternyata guru mereka
masih hidup. "Kau tahu ke mana mereka pergi?" tanya Perwira.
Bunto mendesah.
"Tahu."
"Ke mana?"
Sekali lagi terdengar desahan dari mulut Bunto.
Perwira dapat melihat duka yang teramat sangat ter-
pancar dari mata yang terbuka melotot itu.
"Setelah kejadian itu... saya mencari tahu tentang gadis-gadis berpakaian hitam-
hitam itu."
"Lalu?"
"Ada yang mengetahui, gadis-gadis itu berasal dari Serikat Kupu-Kupu Hitam. Dan
bermukim dekat Danau Siluman."
"Dari mana kau tahu?"
"Dari temanku."
"Siapa?"
"Rengga. Desanya diserang oleh para gadis-gadis itu. Dan beberapa perjaka tampan
diculik entah untuk apa!"
Perwira menatap adiknya, seolah meminta penda-
patnya apakah mereka akan pergi sekarang atau ti-
dak" Seperti mengetahui apa yang tersirat di mata ka-
kaknya, Ratih Ayu berkata.
"Terima kasih, Bunto.... sebaiknya kami permisi sa-ja sekarang. Menurut hemat
kami, sebaiknya kami le-
bih cepat mencari Guru."
"Benar, Bunto... kami kuatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada Guru..."
"Terserah kalian, aku hanya bisa berdoa semoga kalian selamat, begitu dengan
majikan..."
Istri Bunto keluar dari dapur dengan membawa be-
berapa gelas kopi dan singkong rebus. Dia menghi-
dangkan pada mereka.
"Mari Kangmas, Nimas... dicicipi... hanya ada ini sa-ja..."
"Tidak usah repot-repot, Mbakyu.." kata Ratih Ayu.
Dan menjadi tidak enak untuk pergi sekarang.
Keduanya pun mencicipi hidangan itu terlebih da-
hulu. Dan baru terasa kalau perut mereka lapar, kare-na mereka dapat
menghabiskan tiga potong singkong
rebus. Setelah merasa cukup menikmati hidangan itu, ke-
duanya pun berpamitan.
Bunto dan istrinya mengantar sampai ke halaman
rumahnya yang tidak begitu luas.
"Hati-hati Kakang Perwira... Mbakyu Ratih..." kata Bunto.
Perwira tersenyum.
"Terima kasih atas kesetiaanmu pada Guru, Bun-
to..." katanya.
Lalu segera memacu kudanya. Disusul dengan Ra-
tih Ayu. Bunto mendesah. Menatap senja yang mulai datang.
Dia berkata pada istrinya, "Mari kita berdoa di dalam, Ni... semoga keduanya
berada dalam lindungan Gusti
Allah.." "Mari, Kang Bunto..."
Lalu keduanya pun masuk ke dalam.
*** 6 Ratih Ningrum sekali lagi menatap suaminya. Dia
ada perasaan berat untuk ditinggal suaminya. Madewa mendesah.
"Aku hanya beberapa hari saja, Dinda.... Tidak la-ma... Setelah urusanku selesai
dengan Eyang Naga
Langit., aku akan segera kembali..."
Sebenarnya bukan itu yang dicemaskan Ratih Nin-
grum. Dia tahu suaminya punya urusan dengan Eyang
Naga Langit, kakek sakti yang bermukim di Gunung
Slamet. Tetapi dia kuatir gadis-gadis dari Serikat Ku-pu-Kupu Hitam akan muncul
lagi. Sebenarnya Ratih
Ningrum tidak gentar menghadapi mereka, namun
yang dikuatirkannya, dia tak sanggup untuk melawan
lagi. Sampai hari ini Madewa memang tidak tahu keja-
dian yang telah menimpa Perguruan Topeng Hitam.
Ratih Ningrum memang sengaja merahasiakannya. Dia
diam-diam kagum dengan para muridnya yang juga ti-
dak membicarakan soal itu.
"Pergilah, Kanda... Aku tidak apa-apa. Sampaikan salamku pada Eyang Naga Langit
dan Nini Arum Sari,"
kata Ratih Ningrum.
Lalu laki-laki yang selalu tersenyum arif bijaksana dan selalu mengenakan jubah
berwarna putih itu pun
melangkah. Langkahnya tegap, tak ada keraguan sedikit pun.
Sepeninggal suaminya, Ratih Ningrum segera me-
manggil beberapa murid pilihannya. Dia segera men-
gadakan rapat. "Kalian tahu bukan, beberapa minggu yang lalu orang-orang Serikat Kupu-Kupu
Hitam menyerang ki-ta. Dan kupikir... mereka akan datang lagi untuk menuntut
balas. Nah, kalian harus bersiap siaga..."
"Maksud Nyonya Ketua... kita harus memasang per-tahanan?" tanya Bayuloda.
"Benar, Bayu. Kita harus bersiap siaga. Jadi kumin-ta, kalian beserta beberapa
orang menjaga di empat
penjuru. Khusus pintu gerbang lipat gandakan dari
penjagaan semula..."
"Baik, Nyonya Ketua."
"Kalian mengerti?"
"Kami mengerti!" sahut sepuluh orang murid pilihan yang dipanggil menghadap oleh
Ratih Ningrum. "Bagus! Mulai sekarang... buka mata kalian lebar-lebar dan bersiaga."
Lalu sepuluh murid itu pun berdiri. Dan menjura.
Lalu mereka memasang topeng hitam yang menutupi
wajah mereka sebelum keluar dari ruangan itu.
Ratih Ningrum mendesah panjang.
Malam pertama dan malam kedua kepergian sua-
minya, tidak terjadi apa-apa. Nampak tenang seperti biasa.
Tetapi pada malam ketiga, terdengar suara ribut-
ribut di pintu gerbang. Disusul dengan empat sosok
tubuh yang terpental dan tewas dengan leher berda-
rah. Bayuloda yang sedang berputar terkejut melihat
empat murid Perguruan Topeng Hitam yang menjaga di
pintu gerbang telah menjadi mayat.
Dia menjadi siaga, "Menyebar!" serunya pada murid-murid yang lain!
Serentak mereka menyebar. Dan masing-masing
menjaga pintu masuk menuju bangunan utama. Mu-
rid-murid yang menjaga di tiga penjuru pun segera
berdatangan. Tiba-tiba masuk lima sosok tubuh berpakaian hi-
tam-hitam. Bulan di atas sedang purnama. Langit ce-
rah. Lima sosok tubuh yang datang itu adalah Priatsih
dan kawan-kawannya. Priyuni dan Prilaksmi pun ikut
serta, karena mereka juga ingin membalas dendam pa-
da Ratih Ningrum yang telah menyebabkan kematian
Prilastri. Bayuloda berkata dengan gagah, "Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam... agaknya
kalian masih belum
puas membuat kerusuhan!"
"Ahhh! Jangan banyak bacot!" bentak Priatsih.
"Panggil Nyonya gurumu ke mari, katakan, kami hendak membuat perhitungan
dengannya!"
"Kalian boleh menemui Nyonya Ketua, bila telah melewati barisan di hadapan
kalian ini!"
"Banyak bacot! Mampuslah kau!" bentak Priatsih dan dengan cepat menguraikan
selendang hitamnya
yang langsung menyerang ke arah Bayuloda.
Bayuloda yang sejak tadi sudah bersiaga, menghin-
dar ke kiri. Begitu pula dengan teman-temannya yang berada di belakangnya.
Priatsih menarik pulang selendangnya. Dan tanpa
dikomando lagi teman-temannya pun menguraikan se-
lendang mereka.
Bayuloda berseru, "Gunakan jurus Penutup Bari-
san!" Serentak murid-murid yang berjumlah sekitar 40
orang itu berjajar ke belakang dua-dua. Dan masing-
masing telah memegang sepasang pedang di kedua
tangan mereka. Bayuloda yang berdiri di depan berkata, "Majulah kalian semua!"
Gadis-gadis berpakaian hitam-hitam itu saling pan-
dang. Lalu serentak mereka menyerang. Priatsih,
Priyanti dan Prikasih menyerang dari depan. Sementa-ra Priyuni dan Prilaksmi
mencoba menerobos dari ka-
nan dan kiri mereka.
Namun di luar dugaan mereka, barisan yang menja-
jar ke belakang itu, berubah menjadi horizontal. Dan pedang-pedang pun menyambar
dengan ganas. Serentak keduanya bersalto ke belakang. Begitu pu-
la yang dialami Priatsih, Priyuni dan Prilaksmi. Mereka tidak menyangka ketika
barisan itu membentuk segiti-ga. Semuanya serba cepat dan hebat.
"Baik, kami tidak akan main-main lagi!" mendengus Priatsih setelah bersalto dan
hinggap di bumi.
Lalu dia pun mencoba menyerang dari jauh dengan
ayunan selendangnya, begitu pula dengan keempat
temannya. Bayuloda berseru, "Gunakan senjata Rahasia, Lemparan ke Arah Rembulan!"
Dan serentak 40 buah senjata rahasia yang berben-
tuk topeng itu melesat cepat ke arah kelima gadis itu yang harus jungkir balik
menghindar. Belum lagi me-
reka bisa bernafas, kembali 40 buah senjata rahasia melesat.
"Awas!" seru Priatsih dan jungkir balik lagi.
Namun malang bagi Priyuni, dua buah senjata ra-
hasia itu menancap deras di dada dan lehernya. Tanpa sempat menjerit, tubuhnya


Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ambruk ke bumi bersimbah darah.
Keempat temannya terkejut.
Mereka menjadi murka seketika.
Dan dengan nekat mereka menerjang, mencoba
menerobos barisan itu.
Namun kembali usaha itu sia-sia belaka, karena ba-
risan itu terlalu rapat. Dan sulit untuk diterobos.
"Lebih baik kalian kembali pulang dan bawa mayat teman kalian itu!" kata
Bayuloda. Tetapi gadis-gadis yang telah bersumpah untuk
membunuh Ratih Ningrum mendengus.
"Sejengkal pun kami tak akan mundur!"
"Bagus! Berarti kalian akan mampus di tempat ini!"
seru Bayuloda pula.
"Atau... kau yang akan mampus!" seru Priatsih dan menyerang Bayuloda. Bayuloda
terkejut, dia serentak mundur dan beberapa temannya maju. Namun Priatsih terus
mencecar Bayuloda. Begitu pula dengan te-
man-temannya. Kini mereka tahu kelemahan dari jurus Penutup
Barisan itu. Serang dan cecar bagian depan. Itulah
kuncinya karena bila yang terdepan telah jatuh, maka yang lainnya akan kocar-
kacir. Benar juga dugaan mereka itu, karena tak tahan di
serang secara beruntun, Bayuloda keluar dari barisan.
Dan serentak barisan itupun pecah.
Hal ini memudahkan gadis-gadis itu untuk memba-
las dan menyerang.
Sebentar saja terdengar jeritan dan pekik kematian
dari murid-murid Perguruan Topeng Hitam.
"Jangan mundur! Bantu kembali jurus Penutup Barisan!" seru Bayuloda
membangkitkan semangat teman-temannya.
Namun sekarang sudah sulit untuk membentuk
kembali. Karena gadis-gadis itu telah menyerang dengan hebat, dan memisahkan
diri dalam menyerang.
Membuat murid-murid yang lain menjadi terpisah-
pisah. Dari dalam, Ratih Ningrum dapat melihat kesulitan
yang tengah dihadapi para muridnya. Dia tak mau da-
rah bersimbah kembali ke bumi.
Maka dengan mantap dia pun keluar dari bangunan
itu. Dan berseru lantang, "Hentikan pertarungan ini!"
Pertarungan itu segera terhenti. Keempat gadis itu
bersalto saling mendekat.
Melihat siapa yang berseru, Priyanti mendengus,
"Ratih Ningrum... kau harus membayar kematian teman kami dengan nyawamu!"
Ratih Ningrum perlahan-lahan mendekat. Dia
memberi isyarat pada para muridnya untuk mundur.
"Priyanti... hidup, mati dan rezeki berada di tangan Gusti Allah. Bila aku
dikehendaki oleh-Nya untuk mati sekarang, maka aku pun akan mati. Tapi bila
belum, maka aku akan tetap hidup.."
"Hhh! Ratih Ningrum, kamilah malaikat pencabut nyawa yang dikirim oleh-Nya untuk
mencabut nyawamu!"
"Jangan sombong dengan kata-kata itu, Priyanti!"
"Perempuan keparat! Terimalah kematianmu!" berseru Prikasih menyela kata-kata
Priyanti. Dan dia sendiri sudah menderu menyerang dengan selendangnya
yang berubah menjadi tongkat.
Ratih Ningrum melompat ke kiri, namun serangan
itu datang kembali. Menderu ke arah kakinya. Lang-
sung dia bersalto ke belakang. Dan begitu hinggap di bumi, sepasang pedang
kembarnya sudah berada di
tangan. "Baiklah... kita akan bermain-main kembali! Majulah kalian!" seru Ratih Ningrum.
Prikasih yang sudah tahu kehebatan ilmu silat yang
dimiliki Ratih Ningrum memberi isyarat pada teman-
temannya untuk maju sekaligus keempatnya pun sege-
ra mengurung. Ratih Ningrum melihat beberapa muridnya untuk
membantu, namun dia memberi isyarat agar mereka
diam di tempat.
"Bagus!" desisnya pada keempat gadis itu dengan mata waspada.
"Mampuslah kau, Ratih Ningrum!" berseru Prikasih dan mengelebatkan selendangnya.
Begitu pula dengan
teman-temannya.
Empat buah selendang berwarna hitam itu menderu
ke arah Ratih Ningrum tak ubahnya seperti sebuah
cambuk. Ratih Ningrum mengempos tubuhnya ke atas.
Bagai seekor burung, tubuh itu melenting ke udara.
Namun empat buah selendang itu kembali menge-
jar. Kali ini Ratih Ningrum langsung memadukan ju-
rusnya. Jurus Pedang kembar dan Pukulan Tangan
Seribu. Sehingga pedangnya terlihat menjadi banyak.
Pedang-pedang itu pun menyambar selendang-
selendang yang mengarah padanya.
Namun secepat kilat selendang-selendang itu ditarik pulang pemiliknya dan
menderu kembali kali ini menjadi sebatang tombak.
Ratih Ningrum kembali mengempos tubuhnya, dan
menghindari tombak-tombak itu. Dia bersalto ke de-
pan. Namun keempat gadis yang tengah dilanda den-
dam itu tak mau melewatkan dan memberi kesempa-
tan buat Ratih Ningrum bernafas.
Mereka terus mencecar.
"Mampuslah kau, Ratih Ningrum!"
Ratih Ningrum sendiri tak mau dirinya dijadikan
sasaran senjata mereka. Dia pun segera memapakinya.
"Trok!"
"Trokk!"
Dua tombak berhasil ditangkisnya, dan dua seran-
gan tombak lainnya dihindarinya dengan bersalto.
Ratih Ningrum yang merasa bila dia terus menerus
hanya menghindar bisa terkena pula, maka dia pun
mulai membalas.
Pedang-pedangnya pun berkelebat dengan hebat.
Namun keempat gadis itu pun tak mau kalah. Mereka
pun serentak memapakinya.
Ini membahayakan Ratih Ningrum. Apalagi selen-
dang Priyanti dan Prikasih telah membelit pedangnya.
Sukar untuk dilepaskan.
Dan Priatsih dan Prilaksmi telah menderu maju ke
depan dengan selendang yang telah berubah menjadi
tombak. Tombak Priatsih berhasil dihindarnya dengan mengempos tubuhnya ke atas.
Namun tubuh itu terta-rik lagi ke bawah karena Priyanti dan Prikasih menyen-
takkan selendang mereka.
Dan tubuh Prilaksmi telah meluncur deras ke arah
Ratih Ningrum! Para murid Perguruan Topeng Hitam memekik me-
nahan nafas. Tegang. Ratih Ningrum hanya memiliki waktu beberapa de-
tik. Dan waktu yang amat sedikit itu dipergunakannya semaksimal mungkin.
Dengan cepat dia melepaskan kedua pedangnya dan
menjatuhkan diri di bumi. Tusukan selendang yang telah menjadi tombak milik
Prilaksmi meluncur deras
beberapa detik dari tubuhnya.
Dan dengan cepat pula, Ratih Ningrum menggerak-
kan kaki kanannya. Menghantam pinggul Prilaksmi
hingga gadis itu terhuyung.
Sungguh di luar dugaan, tubuh Ratih Ningrum tiba-
tiba bersalto ke arah Prilaksmi. Dan mendudukinya
hingga gadis itu telungkup.
Kala orang-orang yang menyaksikan membuka ma-
ta, terlihatlah sebilah keris menancap di punggung Prilaksmi.
Keris pemberian dari gurunya yang bernama Patidi-
na, telah ditancapkan ke punggung gadis itu.
Ratih Ningrum pun berdiri dengan sigap.
Kini di tangannya terdapat sebilah keris.
Tiga gadis berpakaian hitam-hitam yang tersisa, ti-
dak menyangka kalau Ratih Ningrum masih memiliki
senjata. Dari keterkejutan itu berubah menjadi kemarahan.
Ketiganya pun menggeram murka.
"Dua nyawa hari ini telah kau renggut, Ratih Ningrum!" bergetar suara Priatsih
menahan amarah. "Dan kami telah siap untuk menyambung nyawa denganmu!"
"Hhh! Majulah kalian!"
Tiba-tiba Prikasih menggerakkan selendangnya
yang di ujungnya masih membelit pedang Ratih Nin-
grum. Dan pedang itu meluncur deras ke arah Ratih Nin-
grum. Dengan sigap Ratih Ningrum menghindar ke kiri.
Pedang itu pun menancap di tembok tinggi yang men-
gelilingi Perguruan Topeng Hitam hingga setengah. Itu menandakan kemarahan yang
telah melanda Prikasih
begitu dalam. Lalu disusul dengan tubuh gadis itu yang mener-
jang. Begitu pula dengan Priatsih dan Priyanti. Kini ketiganya bertekad untuk
menyambung nyawa!
Sesuai sumpah yang telah mereka ucapkan!
Menghadapi ketiga lawannya yang nampak beringas
dan penuh amarah, membuat Ratih Ningrum agak ke-
walahan. Apalagi karena senjata di tangannya hanya
sebilah keris. Yang lebih pendek dari sepasang pe-
dangnya. Namun jurus-jurus ilmu keris yang pernah dipelaja-
ri dari gurunya yang bernama Patidina, membuatnya
mampu untuk bertahan.
Tetapi ketiga gadis itu demikian gencar menyerang.
Hingga suatu saat sulit bagi Ratih Ningrum untuk
menghindar. Selendang-selendang itu telah siap untuk mencabut nyawanya.
Ratih Ningrum sendiri merasa ajalnya telah tiba. Tetapi dia masih berusaha untuk
menyelamatkan ji-
wanya. Namun ketiga selendang itu telah semakin dekat
dan mengurungnya.
"Mampuslah kau, Ratih!"
"Nyawamu akan menemani teman-teman kami yang
telah mati!"
"Selamat jalan, Ratih Ningrum!"
Tiga selendang itu menderu.
Menimbulkan suara bergemuruh.
Mendesing. Menebarkan hawa kematian.
Tetapi mendadak terdengar tiga jeritan sekaligus
yang keras. Bagaikan lolongan srigala di tengah malam buta.
Dan tiba tubuh berpakaian hitam-hitam itu pun
ambruk ke bumi bersimbah darah. Beberapa buah
senjata rahasia milik Perguruan Topeng Hitam menan-
cap di bagian punggung ketiganya.
Nyawa mereka pun melayang.
Bayuloda, Renggapati dan Argamulyo yang telah
melemparkan senjata rahasia demi menolong nyawa is-
tri gurunya berlari mendekati Ratih Ningrum.
Dan mereka langsung menjatuhkan diri.
"Maafkan kami, Nyonya Ketua... kami telah lancang melanggar perintah!" kata
Bayuloda. Ratih Ningrum terharu melihat kepatuhan para mu-
ridnya. Padahal ketiga muridnya itulah yang baru saja menyelamatkan nyawanya.
"Bangunlah kalian... terima kasih, kalian telah menyelamatkan nyawaku..." kata
Ratih Ningrum. "Hukumlah kami, Nyonya Ketua... karena kami lancang tidak mematuhi perintah..."
kata Argamulyo.
"Bangunlah kalian... Kalian tidak berbuat salah....
Sekali lagi kuucapkan terima kasih..." kata Ratih Ningrum masih terharu.
Itulah yang membuat murid-murid Perguruan To-
peng Hitam sangat mematuhi perintah guru mereka.
Karena selain mengajarkan kedisiplinan yang tinggi, guru mereka pun kadang
bertindak sebagai seorang
sahabat. Belum lagi dengan ilmu-ilmu silat yang diajarkan.
Itu susah membuat mereka amat berterima kasih. Dan
wejangan-wejangan bermanfaat yang diberikan, baik
oleh Ratih Ningrum sendiri, maupun oleh suaminya,
Madewa Gumilang.
Dan mereka pun terharu dengan ucapan terima ka-
sih yang dikatakan Ratih Ningrum. Mereka dapat me-
nangkap nada tulus dari suara itu.
Inilah yang mereka anggap sebagai sahabat, bukan
layaknya seorang guru pada muridnya.
Perlahan-lahan ketiganya bangkit. Masih menun-
dukkan kepala yang tertutup topeng hitam.
Ratih Ningrum dapat mengenali mereka dari suara
mereka. "Kalian kuburlah teman-teman kalian yang mati.
Dan kuburkan pula kelima mayat gadis dari Serikat
Kupu-Kupu Hitam itu..."
Menjelang pagi, mayat-mayat itu telah dimandikan.
Lalu dengan upacara kecil yang dipimpin oleh Ratih
Ningrum sendiri, mayat-mayat itu pun dikebumikan.
Setelah itu dia menyuruh Bayuloda, Renggapati dan
Argamulyo untuk mengikutinya.
Di ruang khusus, ketiganya duduk bersila di hada-
pan Ratih Ningrum yang duduk di sebuah kursi.
"Kalian tahu mengapa kalian kusuruh menghadap, padahal kalian belum
beristirahat?"
Ketiganya berpandangan. Topeng hitam yang menu-
tupi wajah mereka telah dibuka.
Berkata Bayuloda, "Maafkan saya, Nyonya Ketua...
mungkin ada hubungannya dengan kedatangan Seri-
kat Kupu-Kupu Hitam."
"Benar, menurut informasi yang kudapat, mereka bermarkas dekat Danau Siluman.
Senja nanti, kalian
bertiga ikut bersamaku ke sana."
"Baik, Nyonya Ketua..."
"Kita akan hancurkan markas mereka!"
"Kita bumiratakan!"
Ratih Ningrum tersenyum. Lalu menyuruh keti-
ganya beristirahat.
*** 7 Danau Siluman pagi hari.
Dua ekor kuda berhenti di dekat danau itu. Kedua


Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penunggangnya memperhatikan sekitarnya dengan
mata waspada. Suasana begitu sunyi.
Padahal matahari sudah sepenggalah.
"Mungkin di bangunan besar itulah markas dari Serikat Kupu-Kupu Hitam,
Kakang..."
"Benar, Rayi Ratih...."
"Kita sebaiknya segera ke sana, kakang Perwira...
aku kuatir dengan nasib guru."
"Baik!"
Lalu keduanya pun menghentakkan tali kekang ku-
da mereka dan segera menuju ke markas Serikat Ku-
pu-Kupu Hitam. Sementara itu keadaan Ki Borgawa Darsa begitu
menyedihkan. Karena dia tak mau menurut pada pe-
rintah Dewi Komalaputih, dia disiksa sampai setengah mati. Keadaannya begitu
memilukan. Tiba-tiba pintu ruangan di mana dia disekap dan
disiksa terbuka.
Muncul sosok tubuh berwajah cantik dengan pa-
kaian yang tipis dan berjubah hitam. Di sampingnya
satu sosok setengah baya.
Dewi Komalaputih tersenyum.
"Ki Borgawa... apakah kau masih akan menolak pe-rintahku?"
Ki Borgawa mendengus dan meludah.
"Ciih! Sejengkal pun aku tak akan mundur, Dewi!"
"Hihihi... bagus, Ki Borgawa.. aku tak akan segan-segan lagi membunuhmu..."
"Borgawa..." kata Ki Prodana. "Mengapa kau begitu keras kepala, hah" Bukankah
kau lihat aku" Hidupku
senang dan bebas di samping Dewi Komalaputih..."
Ki Borgawa Darsa meludah. Dan tatapannya menge-
jek pada Ki Prodana.
"Prodana... kau memang bangsat keparat! Kau
membiarkan seluruh muridmu mati, sementara kau
sendiri menikmati hidup yang kotor seperti ini! Kau
manusia busuk, Prodana!"
"Bangsat kau, Borgawa!" desis Ki Prodana sambil menghantamkan kakinya ke dagu Ki
Borgawa, yang langsung terjengkang ke belakang.
Tetapi matanya tetap menyalang tajam.
"Hhh! Dewi...biar manusia ini aku yang bunuh!" desis Ki Prodana.
"Silahkan... tapi beri dia kesempatan untuk menikmati matinya secara
perlahan..."
"Baik!"
Tetapi sebelum Ki Prodana menjalankan maksud-
nya, di luar terjadi keributan. Keduanya berpandan-
gan. Dan cepat melihat apa yang terjadi di halaman.
Rupanya Perwira dan Ratih Ayu yang mengamuk.
Perwira sudah melepaskan anak panahnya dan me-
renggut beberapa orang anggota dari Serikat Kupu-
Kupu Hitam. Begitu pula dengan adiknya, yang telah menerjang
dengan pedangnya.
Dewi Komalaputih yang menyaksikan hal itu berse-
ru, "Tahan!"
Anak buahnya segera mundur.
Begitu pula dengan Perwira dan Ratih Ayu. Kedua-
nya saling beradu punggung dengan waspada.
"Kisanak dan Nisanak... maksud apa kalian mem-
buat onar di sini?" tanya Dewi Komalaputih.
"Hhh! Rupanya kau yang bernama Dewi Komalapu-
tih" Bagus, namaku Perwira dan ini adikku, Ratih Ayu!
Kami datang untuk membebaskan guru kami, Ki Bor-
gawa Darsa!" seru Perwira.
Dewi Komalaputih terkikik.
"Rupanya kalian murid-murid Perguruan Cakra Buana yang telah selamat dari teror
anak buahku. Bagus!
Hmmm... kalian punya nyali juga rupanya untuk da-
tang ke sini!"
"Bebaskan guru kami, Perempuan Iblis!"
"Kalian berani jual bacot di sini! Baik, majulah kalian!"
Kakak beradik itu berpandangan. Lalu terlihat ke-
duanya saling mengangguk. Dan serentak keduanya
menyerang Dewi Komalaputih yang dengan mudahnya
menghindari serangan keduanya.
Bahkan kedua tangan Dewi Komalaputih dengan
cepat memukul tangan kedua penyerangnya, hingga
bagaikan remuk tulang tangan keduanya. Keduanya
segera bersalto.
"Sungguh hebat tenaga dalamnya, Rayi Ratih..." bi-sik Perwira.
"Iya, Kakang... tapi aku kuatir akan nasib Guru! Ki-ta serang lagi!"
Kembali keduanya menyerang. Namun lagi-lagi ber-
hasil dipatahkan oleh Dewi Komalaputih. Bahkan sen-
jata keduanya pun terlepas.
"Hihihi... cepat kalian bersujud di depanku, niscaya nyawa kalian akan
kuampuni!"
"Perempuan iblis, kami tidak takut mati! Tahan serangan!" seru Ratih Ayu dan
melemparkan cakra yang terselip di pinggangnya.
"Siiingg!"
Senjata itu mengarah pada Dewi Komalaputih. Na-
mun sungguh di luar dugaan, senjata itu berhasil di-tangkap olehnya dan
lemparkan kembali pada Ratih
Ayu. "Awas, Rayiiii!" seru Perwira.
Namun lemparan Dewi Komalaputih lebih cepat da-
tangnya. Tetapi mendadak terdengar suara, "Criiingg!"
Cakra itu jatuh ke tanah dibentur oleh sebuah sen-
jata lain. Begitu benda yang membentur jatuh, terlihat tiga buah senjata rahasia
berbentuk topeng hitam.
"Bangsat! Siapa yang membuat ulah ini"!" membentak Dewi Komalaputih.
Lalu terlihat di hadapannya empat sosok tubuh
berdiri gagah. Seorang wanita gagah perkasa dengan
dua buah pedang berselempang di punggung. Dan di
belakangnya berdiri tiga sosok tubuh berpakaian hi-
tam-hitam dengan wajah yang tertutup topeng hitam.
Dan di punggung masing-masing terdapat dua buah
pedang pula. Dewi Komalaputih mendengus.
"Hhh! Rupanya Ratih Ningrum yang datang!" desisnya namun sedikit terkejut.
Bukankah lima anak
buahnya telah pergi untuk membunuh wanita ini" Ka-
lau begitu, pasti mereka telah berhasil dikalahkan wanita itu. Atau mungkin juga
telah dibunuhnya.
Perwira segera memburu adiknya yang baru saja di
selamatkan Ratih Ningrum.
"Dewi Komalaputih... sebaiknya kau pergi dari sini, dan jangan membuat onar
lagi," berkata Ratih Ningrum.
"Hihihi... omongan apa pula ini, Ratih" Aku telah lama berniat untuk menjajal
ilmumu. Hmm... di mana
suamimu Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan
Sukma berada" Apakah dia bersembunyi seperti anak
kecil hingga menyuruhmu mengantarkan nyawa?"
Wajah Ratih Ningrum merah padam.
"Bangsat hina! Majulah, jangan membuang waktu
lagi!" Ratih Ningrum pun meloloskan kedua pedangnya.
Ki Prodana yang sejak tadi terdiam, maju ke depan.
"Ratih Ningrum... bila kau ingin mati, biar aku yang mengirimmu ke akhirat..."
"Gagak Hitam... rupanya kau telah menjadi pengikut dari wanita iblis itu... Hhh,
kau tak ubahnya seperti anjing!"
Wajah Ki Prodana memerah. Lalu tanpa banyak ca-
kap lagi dia maju menyerang. Tetapi tiga murid Perguruan Topeng Hitam segera
meloncat ke depan.
"Hadapi kami, Manusia busuk!" berseru Bayuloda.
Dan segera menyongsong serangan dari Ki Prodana.
Lalu laki-laki setengah baya itu pun dikeroyok oleh tiga murid utama Perguruan
Topeng Hitam. Sementara Ratih Ningrum telah berhadapan kemba-
li dengan Dewi Komalaputih.
"Majulah, Dewi..."
"Bagus! Bersiaplah, Ratih!"
Lalu keduanya pun segera terlibat dalam pertarun-
gan yang hebat. Masing-masing mengeluarkan seluruh
kepandaian yang mereka miliki. Jurus demi jurus berlalu. Keduanya saling
mencecar lawan dan bertekad
untuk menjatuhkan.
Anak buah Dewi Komalaputih yang tinggal dua
orang itu pun segera melayani serangan-serangan dari Perwira dan Ratih Ayu.
Satu ketika, Perwira berhasil memukul jatuh la-
wannya. Dan menancapkan anak panahnya ke dada
lawan. Dia berseru pada adiknya, "Ratih... kau pergi mencari Guru! Biar lawanmu
ini aku hadapi!"
"Baik, Kakang!"
Lalu Ratih Ayu pun melesat ke dalam bangunan be-
sar itu. Di halaman, masih terjadi pertempuran yang hebat.
Ki Prodana meskipun dikeroyok oleh tiga orang, na-
mun berada di atas angin. Ilmu Gagak Hitamnya begi-
tu tangguh untuk mereka
Dan jari-jarinya yang telah membentuk seperti pa-
ruh gagak, telah menghantam ketiganya hingga ter-
huyung. Begitu pula halnya dengan Ratih Ningrum. Dia su-
dah cukup terdesak oleh Dewi Komalaputih. Bahkan
sebuah pedangnya telah lepas. Dan dengan satu sen-
takan pula, pedang itu yang satunya pun terlepas.
"Mampuslah kau, Ratih Ningrum!" seru Dewi Komalaputih sambil menyerang lagi.
Ratih Ningrum pun
menghadapinya dengan jurus Pukulan Tangan Seribu.
Namun itu pun tak berarti banyak.
Karena satu tonjokan telah mengenai dadanya.
Dia terhuyung. Lalu mengusap darah yang keluar
dari mulutnya. Matanya nyalang.
Dewi Komalaputih terkikik. Dan perlahan-lahan
menguraikan selendang hitam yang melilit di ping-
gangnya. "Aku ingin melihat kau mati tergantung oleh selendang ini. Ratih!" desisnya dan
segera menyerang lagi dari tempatnya.
Selendang itu bergerak dengan cepat. Ratih Nin-
grum jungkir balik menghindar. Dua kali dia terkena ayunan selendang yang telah
dialiri tenaga dalam. Kalau bukan Ratih Ningrum yang telah memiliki tenaga
dalam cukup sempurna, niscaya orang itu akan mati
dengan tubuh hancur seketika.
"Hihihi... kini terimalah ajalmu, Ratih!" desis Dewi Komalaputih sambil memutar-
mutar selendangnya di
udara. Dan tiba-tiba selendang itu seperti menjadi
tombak. Lalu digerakkannya ke arah Ratih Ningrum.
Ratih Ningrum hanya memejamkan matanya karena
dia merasa tak mampu lagi untuk menghindar.
Tiba-tiba terdengar seruan kesakitan dari Dewi Ko-
malaputih. Dan tubuhnya terpelanting ke kanan kare-
na dihantam oleh sebuah pukulan keras.
"Bangsat! Siapa yang berani berbuat curang seperti ini"!" makinya seraya bangkit
kembali. Dan di hadapannya kini telah berdiri satu sosok
berjubah putih yang tersenyum arif bijaksana.
Ratih Ningrum yang telah membuka matanya berse-
ru melihat sosok itu,
"Kanda!"
Sosok yang ternyata Madewa Gumilang tersenyum.
"Bagaimana keadaanmu, Dinda?"
"Aku tidak apa-apa, Kanda..."
"Menyingkirlah..."
Dewi Komalaputih mendengus melihat siapa yang
datang. "Hhh! Rupanya nama besar Pendekar Bayangan
Sukma hanyalah orang pengecut belaka! Beraninya
hanya membokong saja!"
Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana.
"Dewi... maafkan atas ulahku tadi..."
"Jangan jual lagak di depanku, Madewa! Hhh!
Mampuslah kau, Pendekar Bayangan Sukma!" dengus Dewi Komalaputih sambil
menyerang dengan selendangnya.
Madewa cuma tersenyum. Masih tersenyum dia
menghindari serangan selendang itu. Dengan jurus
Ular Meloloskan Diri, Madewa berada di atas angin. Selendang itu tak sekali pun
mengenai sasarannya.
Hal ini membuat Dewi Komalaputih menggeram ma-
rah, karena mereka merasa dipermainkan. Lalu dia
mengubah selendangnya menjadi seperti tombak. Dan
memainkannya dengan jurus Tombak Memecah Om-
bak! Serangannya semakin ganas dan membahayakan.
Madewa sendiri semakin meningkatkan jurus meng-
hindarnya, Ular Meloloskan Diri. Lalu dia pun mengi-rimkan satu pukulan lurus ke
depan, pukulan Tembok
Menghalau Badai.
"Des!" pukulan itu telah mengenai sasarannya. Namun Dewi Komalaputih telah
berdiri tegak kembali,
seolah tidak merasakan pukulan tadi.
"Hhh! Hanya begitu saja tenaga yang kau miliki,
Madewa! Inilah ilmu kebalku, Menahan Sejuta Topan
Badai!" desisnya sambil terkikik.
"Sayang... ilmu kesaktian yang kau miliki itu kau gunakan di jalan yang salah,
Dewi..." "Jangan berkhotbah, Madewa!" desis Dewi Komalaputih geram. Lalu maju menyerang
lagi. Madewa pun mengimbanginya dengan jurus Ular
Mematuk Katak. Namun ilmu kebal yang dimiliki Dewi
Komalaputih seolah tembok berlapis seribu begitu Madewa menghantamkan
pukulannya. Sementara Ki Prodana yang melihat Dewi Komala-
putih bertarung, segera menerjunkan diri. Dia pun merasa tiga lawannya sudah tak
bisa bangun lagi karena pukulannya.
"Bagus!" desis Madewa. "Prodana... tak kusangka kau akan seperti ini!"
"Diam, Madewa! Nikmatilah ajalmu yang hampir ti-ba ini!" seru Ki Prodana sambil
menyerang dengan jurus Gagak Hitamnya.
Madewa pun kembali menggunakan jurus meng-
hindarnya. Serangan berbahaya kedua orang itu lolos.
Tak satu pun yang mengenainya.


Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak Dewi Komalaputih menebarkan selen-
dangnya. Dan selendang itu pun membelit tubuh Ma-
dewa. "Hihihi... kini mampuslah kau, Madewa Gumilang!"
desisnya. Dan Ki Prodana telah meluncur dengan satu puku-
lannya. Pukulan itu pun mengenai dada Madewa Gu-
milang! Tubuh Madewa terhuyung.
"Hahaha.. hanya begitu saja kehebatan dari Pendekar Bayangan Sukma yang sering
dijuluki Manusia Se-
tengah Dewa!"
Mata Madewa menyalang. Kemarahannya mulai
naik. Mendadak dia terdiam. Dan tiba-tiba dari kedua tangannya yang terikat
rapat di tubuhnya mengepul-kan asap putih. Dan mendadak saja selendang yang
membelit tubuhnya putus!
Rupanya dia tengah mengeluarkan pukulan anda-
lannya, Pukulan Bayangan Sukma!
Dewi Komalaputih tahu akan pukulan itu, maka
terdengar seruannya, "Pukulan Bayangan Sukma!"
Madewa tersenyum. Namun matanya bersinar ber-
bahaya. "Tak ada jalan lain, Dewi... Prodana... Manusia seperti kalian tak layak
untuk hidup!"
"Hhh! Kau lupa, Madewa! Aku memiliki ilmu kebal yang tak akan mempan oleh
pukulan macam apa pun!
Termasuk Pukulan Bayangan Sukma!"
"Baik, kita buktikan!"
Dewi Komalaputih melirik Ki Prodana. Lalu kedua-
nya pun bersiap menyerang. Dan dengan diiringi pekikan keduanya, kedua tubuh itu
pun melesat. Madewa hanya terdiam di tempat, di kedua tangan-
nya telah terangkum Pukulan Bayangan Sukma.
Dan benturan pun tak dapat dihindarkan lagi.
"Des!"
"Des!"
Tubuh Dewi Komalaputih dan Ki Prodana terlempar
ke belakang, diiringi jeritan Ki Prodana yang memilukan. Lalu terlihat tubuhnya
menggeliat dan ambruk
dengan tubuh hancur. Nyawanya telah melayang.
Sementara Dewi Komalaputih telah bangkit lagi. Dia
terkikik. "Kau lihat Madewa... tak satu pun pukulan yang mampu mengalahkan aku.
Hihihi.... tak akhh...
aakhh... AAAKKKHHHH!"
Terdengar jeritan Dewi Komalaputih memilukan.
Tubuhnya pun ambruk hancur ke bumi.
Madewa mendesah. Sementara Perwira pun telah
berhasil menjatuhkan lawannya.
Ratih Ningrum berlari mendekati suaminya. "Kan-da... mengapa kau bisa berada di
sini?" "Eyang Naga Langit tak ada di tempatnya, Dinda...
Ketika hendak pulang, kulihat kau dan para murid
lainnya menunggang kuda seperti tergesa-gesa. Lalu
aku menyusul."
Madewa menghampiri tiga muridnya. Setelah dioba-
ti, ketiganya pun bisa bangkit kembali. Dari ambang pintu bangunan itu, muncul
Ratih Ayu menyangga Ki
Borgawa Darsa yang lemah sekali. Madewa pun segera
mengobatinya, memulihkan kembali tenaga Ki Borga-
wa Darsa. Lalu dengan istri dan murid-muridnya, mereka pun
kembali ke Perguruan Topeng Hitam. Ki Borgawa ber-
kata pada kedua muridnya, "Kuharap... kalian bisa seperti orang-orang perkasa
itu..." SELESAI Scanned by Clickers
Edited by Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** 2 *** 3 *** 4 *** 5 *** *** 6 *** 7 SELESAI Menuntut Balas 13 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Pendekar Riang 1
^