Pencarian

Sumpit Nyai Loreng 2

Pendekar Bayangan Sukma 13 Sumpit Nyai Loreng Bagian 2


(Baca: Undangan Berdarah).
Sudah lama keduanya melakukan perjalanan sema-
ta-mata untuk mencari pengalaman, sama seperti halnya yang dilakukan oleh orang
tua mereka. Di pinggang Pranata Kumala tadi terselip sebuah
seruling yang bila sekilas nampak seperti seruling biasa. Tetapi sesungguhnya
itu adalah seruling sakti,
yang bernama Seruling Naga. Bila seruling itu ditiup, maka yang mendengarnya
akan mendengar suara yang
amat menyakitkan telinga. Dan bagi yang memiliki tenaga dalam rendah, maka dia
akan mati kelojotan
dengan telinga yang mengeluarkan darah.
Seruling Naga itu sebenarnya milik dari Ki Rengsersari, atau berjuluk Pendekar
Ular Sakti. Ki Rengsersari adalah guru dari Madewa Gumilang yang bergelar
Pendekar Bayangan Sukma. Seruling Naga itu diserah-
kannya kepada muridnya itu saat dia berhadapan dengan Pratiwi atau si Selendang
Merah dan Gundaling.
(Baca: Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Seruling yang di tubuhnya terdapat gambar sepa-
sang naga sedang bertarung, diserahkan Madewa ke-
pada putranya Pranata Kumala saat dia hendak bergu-ru kepada Ki Ageng Jayasih
(Baca: Kakek Sakti dari Gunung Muria).
Dan berkali-kali Seruling Naga itu menjadi rebutan dari tokoh-tokoh rimba
persilatan (Sepasang Manusia Srigala). Kini seruling itu dipegang oleh Pranata
Kumala, yang dalam petualangannya selalu ditemani oleh istrinya Ambarwati putra
dari seorang pemimpin gerom-bolan perampok di daerah Pacitan (Baca: Pendekar Ke-
dok Putih). Dalam perjalanannya mencari petualangan, berkali-
kali keduanya mengalami berbagai kejadian yang menarik sekaligus mengerikan
(Baca: Datuk Sesat Bukit Kubur, Pertarungan Para Pendekar, Iblis Berbaju Hijau
dan Undangan Berdarah). Keduanya banyak mendapat
pelajaran dari perjalanan yang mereka lakukan, hingga mereka dapat mengenal
watak-watak manusia.
Kini keduanya pun tiba di lereng Gunung Kelud.
Dan tiba-tiba pendengaran mereka menangkap suara
ribut-ribut tak jauh dari sana. Disusul dengan suara senjata beradu keras yang
menimbulkan suara cukup
hebat. "Kakang... seperti ada yang berkelahi di sini," kata Ambarwati sambil menatap
suaminya. "Benar, Rayi. Sebaiknya kita selidiki saja, Rayi..."
kata Pranata sambil memacu kudanya.
Ambarwati pun menggebrak kudanya menyusul lari
kuda suaminya. Dan kini di sebuah tempat yang cu-
kup luas dan besar, terlihat di hadapannya dua orang laki-laki muda sedang
bertarung melawan seorang la-ki-laki setengah baya yang membawa sebuah bunta-
lan. "Ki Madrim! Kau telah menjual lagak di depan kami tiga hari yang lalu! Tapi
akhirnya ketahuan pula be-langmu! Kau ingin menghianati majikan kami!" seru
salah seorang penyerang laki-laki setengah baya itu.
Dia dengan hebat menyerang laki-laki setengah baya itu dengan sepasang tombak
yang bermata tiga.
"Suralaga! Sudah kukatakan padamu, bahwa se-
mua ini perbuatan dari Nyi Loreng!"
"Laki-laki tua busuk! Kau mencoba menipu kami, hah"!" seru laki-laki penyerang
yang tak lain Suralaga.
Dan yang seorang lagi Giri Lantang.
Keduanya adalah pengawal andalan dari Juragan
Seta Agung yang berkuasa di Desa Bojong Karta. Seta Agung amat terhina dengan
mengembalikan uang mu-ka dari Ki Madrim. Baginya, ini merupakan suatu
penghinaan yang besar. Menurutnya, mengapa Ki Ma-
drim tidak menggantikan saja dengan emas yang lain"
Lalu dia pun mengirim kembali Suralaga dan Giri
Lantang untuk memberi pelajaran pada Ki Madrim.
Dan di tengah jalan keduanya bertemu dengan Ki Madrim yang baru saja lolos dari
tangan Nyai Loreng.
Melihat sikap Ki Madrim yang seperti ingin melarikan diri membuat Suralaga dan
Giri Lantang menjadi salah paham. Kalau begitu benar dugaan mereka, Ki
Madrim hendak bermain api dengan mereka.
Keduanya pun langsung menyerang. Dan sudah
tentu Ki Madrim tidak mau dirinya dijadikan sasaran serangan-serangan keduanya.
Dia pun mempertahankan dirinya dan membalas.
Berulangkali Ki Madrim menjelaskan kalau dia ti-
dak bermaksud untuk membohongi Juragan Seta
Agung dan mengatakan semua itu perbuatan Nyai Lo-
reng semata-mata. Namun kedua orang penyerangnya
itu tak mau tahu, bagi mereka pesan majikan mereka lebih berarti yang menyuruh
mereka memberi pelajaran pada Ki Madrim.
Orang-orang itu masih berkelahi dengan hebat. Be-
rulang kali Ki Madrim hampir saja termakan oleh sepasang tombak bermata tiga
milik Suralaga.
"Menyerahlah, Ki Madrim! Untuk kubawa kau kepada majikan kami Seta Agung untuk
minta maaf!"
"Suralaga... aku tidak bersalah, mana mungkin aku hendak meminta maaf?" seru Ki
Madrim sambil menghindari tusukan sepasang tombak bermata tiga Suralaga.
Juga menghindari pukulan-pukulan yang dile-
paskan oleh Giri Lantang. Yang tak kalah hebatnya dengan serangan-serangan
Suralaga. Namun lama kelamaan, Ki Madrim kelihatan terde-
sak. Serangan kedua lawannya bagaikan datang dari empat penjuru. Begitu beringas
dan berbahaya. Sampai suatu ketika, Suralaga menghambur den-
gan deras ke arahnya, diiringi dengan tusukan kedua tombak bermata tiganya yang
siap untuk mencabut
nyawa Ki Madrim.
Ki Madrim mencoba bersalto menghindar, dan da-
tang lagi serangan dari Giri Lantang yang cepat dan penuh tenaga. Ki Madrim
mengambil satu tindakan
yang penuh resiko. Dia memapaki serangan dari Giri
Lantang. Dan terjadilah benturan yang cukup keras.
"Des!"
Karena Ki Madrim masih dalam keadaan bersalto,
tenaganya tidak begitu kuat. Keseimbangannya pun hilang. Dia terpental dan
ambruk ke belakang.
Sementara Giri Lantang bersalto dengan manis dan
hinggap di tanah dengan ringannya.
"Ki Madrim! Kau masih belum mau menyerahkan diri dan minta maaf pada Juragan
Seta Agung"!" geram Giri Lantang keras.
Ki Madrim menahan rasa sakit di dadanya. Dia
mencoba bangkit, namun rasa sakit itu seakan me-
nyiksa dan membelenggunya. Dia meraba dadanya dan menekannya untuk mencoba
menghilangkan rasa sakit itu.
"Giri Lantang! Bila aku punya salah... aku akan datang minta maaf pada Juragan
Seta Agung! Tanpa kau suruh dan paksa! Namun aku tak punya salah! Aku
sudah mengatakan yang sebenarnya, tiga pengirim barang ku telah dibunuh oleh
Nyai Loreng! Dan ini di luar kemauan kita semua! Dan Nyai Loreng pun baru saja
kemarin sore mendatangi kediamanku dan men-gobrak-abrik semuanya, bahkan dia
membunuhi selu-
ruh anak buahku!"
"Hhh! Bisa pula kau bicara, Ki Madrim!" seru Suralaga tak percaya. "Lalu
bagaimana kau bisa meloloskan diri, hah"! Dan apa semuanya kau biarkan terjadi
sementara kau melarikan diri?"
"Suralaga! Tadi sudah kukatakan, Nyai Loreng kujebak di ruangan pribadiku,
tempat aku menyimpan
emas dan permataku! Sedangkan untuk menghadapi
Nyai Loreng sendiri, aku merasa tidak mampu sama
sekali. Dia teramat sakti dan teramat kejam!"
"Omong kosong! Kau tentunya telah menyiapkan semua jawaban-jawaban ini, Ki
Madrim! Hhh! Aku
mau memenuhi permintaanku untuk menghadap Ju-
ragan Seta Agung, atau kubunuh di sini"!"
"Suralaga... sudah..."
"Anjing buduk! Masih berani kau bicara, hah"!" geram Suralaga dan kembali
menerjang dengan sepasang tombak bermata tiganya.
Ki Madrim adalah orang yang jujur, bila dia tidak bersalah maka dipaksa pun dia
tak akan mau meminta maaf. Kini dia hanya pasrah melihat serangan Suralaga yang
menuju padanya.
Namun mendadak secarik sinar merah melesat ke
arah Suralaga. Suralaga terkejut. Dia menarik kembali serangannya dan bersalto
untuk menghindari sinar
merah itu. "Heiiit!"
Dua kali dia bersalto ke belakang dan hinggap dengan siaga. Begitu pula dengan
Giri Lantang. Suralaga membentak, "Orang usil! Cepat nongolkan wajahmu yang buruk itu!"
Terdengar suara langkah kuda perlahan mendekati
tempat itu. Suralaga melihat dua orang penunggang kuda. Yang seorang pemuda
berwajah tampan dan
yang seorang lagi pemudi yang berwajah cantik.
"Hhh! Rupanya kalian yang telah ikut campur tangan urusan ini!" geram Suralaga.
Kedua orang itu yang tak lain Pranata Kumala dan
istrinya Ambarwati, tersenyum.
Pranata berkata, "Maafkan aku, Ki sanak. Bukan sekali-sekali aku hendak ikut
campur urusannya! Tidak sama sekali. Tapi kulihat hanya satu kebetulan sa-ja,
kau hendak menurunkan tangan telengas pada la-ki-laki setengah baya itu!"
Ki Madrim sendiri mendesah lega. Karena ada yang
berhasil menyelamatkan nyawanya. Suralaga mengge-
ram kembali. "Anak muda! Kuminta padamu untuk
meninggalkan tempat ini dengan segera! Dan jangan ikut campur urusan ini!"
"Aku tidak suka melihat kekejaman yang kalian lakukan terhadap orang tua itu,"
kata Pranata, Kumala tenang.
Namun kata-katanya itu semakin membangkitkan
kemarahan Suralaga.
"Anak muda, kau usil sekali rupanya! Hhh! Ingin kulihat sampai di mana
kemampuanmu!"
"Maafkan aku, Kisanak. Bukan sekali-sekali mak-sudku untuk bertarung denganmu.
Aku sudah tahu apa yang telah terjadi di antara kalian. Dan yang membuatku heran, mengapa kau
tidak mau menyeli-diki lebih dulu kata-kata orang tua itu" Bukankah bila kau
telah melihat buktinya semula menjadi jelas" Apakah yang dikatakan orang tua itu
hanya membual atau memang benar-benar semata."
Suralaga terdiam. Sebenarnya dia membenarkan
pula kata-kata Pranata itu. Namun kesombongannya
karena serangannya dihalau oleh Pranata tadi, membuatnya geram dan tak perduli
dengan kata-kata itu.
"Anak muda! Kau sudah masuk ke kalangan, dan berarti kau telah siap untuk
menanggung semula resi-konya!"
Pranata Kumala yang sejak tadi memang sudah
bersiap dan waspada, cepat bersalto dari kudanya dan langsung memapaki serangan
tombak bermata tiga milik Suralaga.
"Des!"
Pukulannya berbenturan dengan lengan Suralaga.
Dan Pranata langsung bersalto kembali ke belakang.
Sementara Suralaga terhenyak karena merasakan tangannya kesemutan.
"Anjing buduk! Pantas kau berani jual lagak di depanku! Rupanya kau punya
kelebihan pula"!"
"Hanya sekadarnya saja, Kisanak. Tapi cukup untuk membungkamkan mulutmu yang
sombong dan tak
mengenal keadilan!"
"Setan!" Maki Suralaga dan kembali menyerang.
Kali ini Pranata menunjukkan kebolehannya meng-
hindar. Dengan jurus Kijang Kumala dia bisa berkelit selincah seekor kijang.
Hal ini semakin membuat Suralaga menjadi panas
dan jengkel. Dia meningkatkan lagi serangan-
serangannya. Melihat hal itu pula Pranata pun mulai membalas dengan pukulan
Tangan Bayangannya warisan Ki Ageng Jayasih (Baca: Kakek Sakti dari Gunung
Muria). Tangannya bisa berkelebat bagaikan bayangan be-
laka. Siap mengancam tubuh dari Suralaga yang paling berbahaya.
Suralaga pun menjadi kewalahan. Sebisanya dia
menghindar dan membalas. Namun kecepatan dan ke-
gesitannya jauh berada di bawah Pranata Kumala.
Yang demikian cepatnya berberak.
Hingga suatu ketika, lengan kirinya dihantam oleh pukulan Pranata. Tombak yang
dipegang Suralaga terlepas. Pranata pun segera mencecar. Dengan satu tendangan
melompat kembali dia menghajar tangan ka-
nan Suralaga. Dan tombak yang berada di tangan kanannya pun terlepas. Disusul
dengan satu pukulan keras ke dada Suralaga.
"Des!"
Tubuh itu terhuyung ke belakang. Sementara Pra-
nata telah berdiri tegak kembali di bumi.
Suralaga merasakan dadanya nyeri sekali.
Ki Madrim diam-diam kagum melihat kehebatan
pemuda itu. Dan melihat hal itu, Giri Lantang menjadi murka.
Dia pun menerjang maju.
Satu sosok tubuh melenting dari kuda yang diam
disana, dan memapaki serangan Giri Lantang pada
Pranata Kumala.
"Des!"
Giri Lantang bersalto dan hinggap dengan ringan-
nya. Dia melihat sosok tubuh yang memapakinya telah berdiri di hadapannya.
Ambarwati yang berdiri gagah.
"Bila kau merasa gatal dan ingin bermain-main sejenak, aku bersedia melayanimu!"
"Perempuan sial! Aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu itu, hah"!" geram
Giri Lantang yang tidak menyangka serangannya akan dipapaki oleh gadis itu. Dia
pun menyerang kembali dengan ganas. Namun kali ini sasarannya adalah Ambarwati.
*** 6 Ambarwati pun tak malu dirinya dijadikan sasaran
empuk serangan dari Giri Lantang. Dia pun segera
membalas serangan-serangan itu.
Kini terjadilah kembali pertarungan yang hebat.
Namun kali ini antara Ambarwati dan Giri Lantang.
Kalau melihat sekilas, Ambarwati menang dalam soal kelincahan dan kegesitan.
Tetapi dia kalah tenaga dengan Giri Lantang.
Namun dengan mengandalkan kegesitannya itu,
sampai beberapa jurus dia belum kelihatan terdesak.
Malah Ambarwati yang kemudian terlihat mendesak
Giri Lantang. "Perempuan keparat!" dengus Giri Lantang yang dengan sebisanya menghindari
serangan-serangan
Ambarwati. "Mengapa kau hanya bisa menghindar saja, Ki sanak"!" seru Ambarwati dengan suara
mengejek. Mendengar kata-kata itu wajah Giri Lantang meme-
rah. "Baik, tahan seranganku!"
Lalu dia pun kembali mulai membalas. Namun se-


Pendekar Bayangan Sukma 13 Sumpit Nyai Loreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rangan-serangan dari Ambarwati seolah telah mengurung langkahnya. Dan membuatnya
kebingungan sen-
diri. Hingga akhirnya serangannya pun menjadi kacau,
sekaligus pertahanannya. Dan satu ketika, Ambarwati memekik keras dengan satu
pukulan lurus ke wajah
Giri Lantang. Giri Lantang sendiri terkejut, karena tidak me-
nyangka serangan itu datang dengan cepatnya.
Dia jatuh ke bumi setelah bergulingan beberapa
kali. Bibirnya berdarah. Dia menjadi geram sekali. Karena merasa dengan mudahnya
gadis itu mengalah-
kannya. Ketika dia hendak bangkit untuk menyerang kem-
bali terdengar seruan Pranata Kumala,
"Tahan!"
Giri Lantang hanya menahan marahnya.
Begitu pula dengan Suralaga yang tidak menyangka
dia dan temannya itu akan mudah dikalahkan oleh
pemuda-pemudi yang belia.
"Maafkan kami berdua, Ki sanak..." kata Pranata Kumala lagi. "Perkenalkan,
namaku Pranata Kumala dan ini istriku, Ambarwati. Kami petualang dari Laut
Selatan." "Hhh! Pranata, cepatlah kau menyingkir dari sini!
Kami masih punya urusan dengan Ki Madrim!" kata Suralaga.
"Maafkan aku, Ki sanak. O ya, tadi sudah kudengar nama kalian berdua.
Suralaga... melihat kejadian yang
tengah kalian alami, aku berkeyakinan kalian telah salah paham. Dan seperti
ucapan dari Ki Madrim benar adanya dan tentunya harus dibuktikan. Tadi pun
kudengar Ki Madrim mengatakan munculnya seorang to-
koh jahat yang bernama Nyai Loreng. Bukankah begi-tu, Ki Madrim?"
"Benar, Pranata..." sahut Ki Madrim yang kini bisa bernafas cukup lega. "Nenek
yang mengaku bernama Nyai Loreng itu sungguh sakti dan kejam. Tiba-tiba sa-ja
dia muncul ke tempat kediamanku dan meminta seluruh emas permataku untuk
dibuatnya menjadi sen-
jata sumpitnya. Dia pun mengaku dialah yang telah membunuh tiga pengawalku
sekaligus pengirim barang-barangku. Dan merampas emas permata yang
mereka bawa untuk diserahkan kepada pemesan, Ju-
ragan Seta Agung dari Desa Bojong Karta dan kepala desa di Glagah Mentari. Dia
pun memporak-porandakan kediamanku dan membunuhi seluruh
pengawalku. Untungnya aku berhasil meloloskan diri dan menjebaknya di ruangan
pribadiku. Sekarang dia tergantung di sana. Di dalam jaring yang cukup kuat."
"Suralaga... bukankah dengan begini kau dan te-manmu telah salah paham pada Ki
Madrim?" kata Pranata Kumala.
"Hhh! Pranata... bisa saja kakek itu berbohong, bukan?"
"Tentu. Dan untuk menguji kebenarannya kita harus melihat kenyataan yang
diceritakannya. Nah, bagaimana, Ki Madrim" Apakah kau bersedia membawa
kami ke tempat kediamanmu dan menunjukkan di
mana Nyai Loreng terjebak?"
"Dengan senang hati, Pranata. Mari!"
Pranata Kumala kembali menaiki kudanya. Begitu
pula istrinya. Sedangkan Ki Madrim, Suralaga dan Giri Lantang berjalan di depan
mereka. *** Apa yang diceritakan Ki Madrim memang benar. Be-
gitu mereka tiba di kediamannya, terlihatlah satu pemandangan yang cukup
mengerikan. Di halaman de-
pan rumah itu mayat-mayat bergeletakan. Dan ada
beberapa mayat yang mati secara mengerikan.
"Itu akibat sumpit dari Nyai Loreng!" kata Ki Madrim menjelaskan sambil menahan
pilu di hatinya.
"Sudah jangan banyak omong!" bentak Suralaga.
"Cepat tunjukkan di mana Nyai Loreng itu kau jebak, Kakek jelek!"
Ki Madrim hanya tersenyum. Lalu mengajak mereka
untuk ke ruangan pribadinya. Pranata Kumala dan
Ambarwati yang sudah turun dari kudanya kembali
melihat pemandangan yang mengerikan di dalam ru-
mah itu. Mayat-mayat banyak pula terdapat di sini. Mengerikan. Dan ini menandakan betapa
kejamnya Nyai Lo-
reng yang begitu telengas membunuhi orang-orang
yang tak berdosa.
Ki Madrim mengajak mereka langsung ke ruangan
pribadinya. Pintu rahasia yang ada di sana telah jebol itu mereka lewati.
"Di sini dia kujebak!" kata Ki Madrim.
Lalu dia pun melihat ke atas.
Dan betapa terkejutnya Ki Madrim ketika tidak me-
lihat tubuh Nyai Loreng tergantung di sana.
"Hei! Dia berhasil meloloskan diri rupanya!" serunya kaget.
Suralaga mendengus. "Jangan berbohong, Ki Madrim!" geramnya.
"Aku berani bersumpah atas nama Dewata, kalau wanita iblis itu tergantung di
sana!" "Jangan mungkir! Kau lihat sendiri kenyataannya,
wanita itu tidak berada di sana, hah"!"
Ki Madrim mendesah masygul. Tapi kemudian dia
berkata, "Suralaga... kau lihatlah jaring yang telah jebol itu. Rupanya wanita
iblis itu berhasil menjebol jaring yang terbuat dari bahan yang cukup kuat itu!
Dan meloloskan diri!"
Di atas memang terdapat jaring yang telah jebol.
Mau tak mau Suralaga dan Giri Lantang jadi memper-cayainya. Namun bagi mereka
itu bukanlah suatu ke-puasan karena bisa saja Ki Madrim telah sengaja me-
masangnya untuk mengelabui mereka.
Seperti mengetahui apa yang tersirat di hati Suralaga dan Giri Lantang, Ki
Madrim berkata lagi,
"Kalian lihatlah! Pintu itu sudah hancur oleh perbuatannya. Dan kalian lihat
tombak-tombak yang me-
nancap di dinding. Tombak-tombak itu telah menye-
rang Nyai Loreng!"
"Hahaha... tapi kenyataannya dia tidak berada di sini, Ki Madrim?" tertawa Giri
Lantang. Pranata Kumala pun bisa memahami ketidakper-
cayaan Suralaga dan Giri Lantang. Namun melihat
bukti-bukti yang ada baginya sudah cukup untuk percaya. Namun memang sulit
karena Nyai Loreng sendiri tidak tergantung di sana.
"Suralaga... kukira... bukti yang ada di ruangan ini sudah menunjukkan
keberadaan Nyai Loreng," kata Pranata, "Jadi kuminta... kau dan Giri Lantang
jangan-lah dulu mempersoalkan masalah ini kembali. Yang
penting... kita cari dulu Nyai Loreng..."
Mendengar kata-kata itu, Suralaga dan Giri Lantang memahaminya. Bagi mereka, itu
pun sudah menjadi
bukti. "Kalau begitu... baiklah. Kita akan sama-sama mencari Nyai Loreng..."
Tiba-tiba terdengar suara terkikik di belakang me-
reka. Serentak semuanya menoleh.
Seorang nenek telah berdiri di sana sambil terkikik.
Di tangannya memegang sebuah sumpit. Dia seperti
merasa lucu melihat orang-orang itu kebingungan dan keheranan. Terutama melihat
wajah Ki Madrim.
Dan nenek itu adalah Nyai Loreng!
*** 7 Sebenarnya bagaimanakah Nyai Loreng bisa melo-
loskan diri dari jaring yang terbuat dari bahan yang alot dan kuat itu"
Setelah Ki Madrim melarikan diri, Nyai Loreng tergantung di jerat itu. Dan
berusaha untuk mencoba
merobek jaring itu. Namun dirasakannya sia-sia belaka. Tiba-tiba secara tidak
sengaja, kuku-kukunya yang mengandung racun tersentuh jaring itu. Dan mendadak
saja jaring-jaring itu putus terbakar.
Lalu Nyai Loreng pun berhasil keluar dan bersalto dengan ringan dan hinggap di
lantai dengan ringan pu-la. Dia yang merasa geram pada Ki Madrim yang berhasil
menjebaknya menjadi marah besar.
Lalu diobrak-abriknya tempat itu.
Setelah itu dia melesat keluar.
Namun baginya sudah sulit untuk menemukan Ki
Madrim. Tiba-tiba dia merasa kalau Ki Madrim suatu saat akan kembali lagi ke
rumah ini karena ingin melihat dirinya yang tergantung.
Maka dengan sabarnya Nyai Loreng menunggu.
Hingga penantiannya pun berakhir. Dari tempatnya
bersembunyi dia melihat Ki Madrim dan empat orang lainnya mendekati tempat itu.
Dia masih berusaha untuk menahan marahnya. Di-
tunggunya sampai mereka masuk ke rumah itu. Du-
gaan Nyai Loreng mereka pasti akan masuk untuk melihat dirinya yang tergantung.
Dan dugaannya memang benar. Lalu dia pun segera
menyusul dan geli melihat mereka terheran-heran karena dirinya tak lagi
tergantung di sana.
Kini dia berdiri gagah dengan sumpit di tangan.
"Hihihi... kita bertemu lagi, Ki Madrim," kikiknya ge-li. Ki Madrim berseru
tertahan, "Nyai Loreng!"
Suralaga dan Giri Lantang pun kini benar-benar
mempercayai ucapan Ki Madrim. Mereka menjadi malu sendiri karena telah menuduh
sembarangan pada Ki
Madrim. Karena didasari malunya itu, keduanya melangkah
dua tindak berhadapan dengan Nyai Loreng.
"Nenek iblis! Rupanya kau yang telah membuat semua menjadi kacau begini!" geram
Suralaga. "Dan kau harus membayar dengan nyawa peotmu
itu, Nenek keparat!" sambung Giri Lantang.
"Hihihi... rupanya ada dua ekor tikus yang berani membentak padaku! Hihihi...
sebutkan nama kalian
sebelum aku membunuh kalian!"
"Nenek Iblis! Namaku Suralaga, dan ini kawanku, Giri Lantang! Kami adalah
pengawal setia dari Juragan Seta Agung!"
"Hihihi... rupanya kalian manusia-manusia yang punya nyali juga! Nah, cepat
kalian maju ke sini, biar kulubangi kepala kalian!"
"Nenek iblis! Tahan seranganku!" geram Suralaga sambil menyerang dengan sepasang
tombak bermata tiganya. Di samping geram pada Nyai Loreng dia juga malu pada Ki Madrim karena
berpikiran pendek yang langsung menuduh Ki Madrim seenaknya. Makanya
dia bertekad untuk membunuh Nyai Loreng yang di-
anggapnya sebagai biang keladinya, sebagai biang ter-jadinya salah paham ini.
Dua tombak bermata tiga milik Suralaga bergerak
dengan gencar, mengancam bagian-bagian tubuh ber-
bahaya dari Nyai Loreng. Begitu pula dengan Giri Lantang yang juga ikut
menyerang. Di tempat itu kembali terjadi pertarungan yang sengit antara Suralaga, Giri
Lantang dengan Nyai Loreng.
Namun biarpun diserang oleh dua orang, Nyai Loreng kelihatan dengan mudahnya
menghadapi keduanya.
Malah dia mulai membalas dengan tertawa.
Kuku-kuku beracunnya siap menyambar nyawa ke-
duanya. Berbahaya. Tangan-tangannya berkelebat
dengan cepat. Tiga jurus kemudian terlihat Suralaga dan Giri Lantang yang
terdesak. "Awas, kuku-kukunya mengandung racun!" seru Ki Madrim memperingatkan.
Namun terlambat. Dengan satu pekikan yang cukup
keras, tangan kanan Nyai Loreng berhasil memukul
perut Giri Lantang. Dan dengan cepat kuku-kukunya bergerak, menyayat perut Giri
Lantang. Giri Lantang mengaduh dan terhuyung.
Dia merasakan perutnya sakit sekali. Dan tiba-tiba dirasakannya sekujur tubuhnya
gatal. Seperti yang terjadi sebelumnya pada orang-orang yang terkena ku-ku-kuku
beracun Nyai Loreng, tubuh Giri Lantang pun menggeliat hebat. Kelojotan.
Gatal yang dirasakannya teramat menyakitkan. Dan
mulailah kedua tangannya menggaruk-garuk. Namun
semakin digaruk gatal itu malah semakin bertambah.
Parah. Perih dan menyakitkan.
Sekuat tenaga Giri Lantang menggaruk kembali,
hingga mulailah nampak kulit-kulitnya memerah dan berdarah. Lalu keluarlah darah
yang mengucur deras.
"Aaaakkkhhh!"
Giri Lantang memekik kesakitan. Dan tiba-tiba tu-
buhnya terkulai. Lalu nyawanya pun melayang.
Ambarwati menutup matanya, ngeri melihat pe-
mandangan di depannya itu.
Nyai Loreng terbahak.
"Hihihi... rasakan itu! Dan kau Suralaga, sebentar lagi kau pun akan menyusul
kawanmu itu!" seru Nyai Loreng dan tanpa menunggu Suralaga menyerang, dia telah
mendahului menyerang.
Menghadapi Suralaga dan Giri Lantang saja dia be-
rada di atas angin, apalagi menghadapi Suralaga yang sendirian. Sudah tentu
dengan mudah dia mendesak Suralaga.
Dan kembali kuku-kukunya menyayat tangan Sura-
laga. Seperti yang dialami Giri Lantang, Suralaga pun merasakan gatal yang
serupa. Lalu dia pun mampus
dengan tubuh berdarah.
Nyai Loreng terkikik.
"Hihihi... Ki Madrim... kini tak ada lagi jalan ke luar bagimu. Nah, serahkan
buntalan yang kau bawa itu
padaku!" Ki Madrim mendengus. "Tidak akan pernah kulakukan itu, Nyai Loreng!"
Nyai Loreng terkikik. Dan tiba-tiba dia menggeram murka.
"Kalau begitu maumu, baiklah... terimalah kematianmu, Ki Madrim!" seru Nyai
Loreng dan menderu menyerang dengan kuku-kuku yang terbuka lebar,
siap menghujam di jantung Ki Madrim.
Namun tiba-tiba Nyai Loreng bersalto ke samping
ketika sebuah sinar merah mengarah datang padanya.
"Heiiitt!"
Pekiknya dan hinggap kembali di lantai. Dia mena-
tap Pranata Kumala yang melepaskan pukulan Sinar
Merah itu padanya.
"Bocah keparat! Berani-beraninya kau membokong seperti itu! Sebutkan namamu,
hah"!"
"Nyai Loreng... namaku Pranata Kumala dan ini istriku Ambarwati."
"Nah, cepat kalian bersujud di depanku, akan kuampuni nyawa kalian!"
"Maafkan aku, Nyai Loreng... sebenarnya aku tidak terlibat dalam urusan ini dan
tidak bermaksud men-campuri urusan ini. Tapi melihat tangan telengas yang kau
turunkan pada Suralaga dan Giri Lantang, entah kenapa hatiku terpanggil untuk
menghentikan sepak terjangmu."
"Hhh! Bagus kalau begitu! Biar kucabut nyawamu dan nyawa istrimu sekalian!
Bersiaplah!"
"Majulah, Nyai Loreng!"
Nyai Loreng pun menderu menyerang dengan ga-
nas. Hebat dan kejam. Pranata Kumala pun mengha-
dapinya dengan memadukan jurus Kijang Kumalanya
dan jurus Pukulan Tangan Bayangan. Hingga sampai
sekian jurus berlangsung, Nyai Loreng belum sekali pun berhasil memukulnya.
Hal ini semakin membuatnya geram. Apalagi setelah Pranata Kumala melepaskan
pukulan Sinar Merahnya.
Sinar Merah itu pun membuat Nyai Loreng kalang kabut. Dia menyadari bila


Pendekar Bayangan Sukma 13 Sumpit Nyai Loreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya terkena Sinar Merah itu akan mati dengan tubuh hangus. Apalagi setelah
melihat pukulan sinar merah yang luput itu menerpa tembok yang menjadi bolong
berantakan. "Bocah setan! Mampuslah kau!" pekiknya keras dan menerjang kembali.
Pranata yang sejak tadi sudah mengetahui keheba-
tan dari Nyai Loreng pun segera mengimbanginya. Dia langsung membalas menyerang.
Pertarungan antara keduanya begitu hebat dan
sengit. Pranata tahu akan racun yang terdapat di ku-ku-kuku Nyai Loreng amat
berbahaya dan mematikan.
Itulah sebabnya dia menjaga jarak agar Nyai Loreng tidak bisa mendekatinya.
Secara gencar dia pun melepaskan pukulan Sinar Merahnya sehingga Nyai Loreng
harus bersalto ke sana ke mari menghindari Sinar Merah yang tak kalah
dahsyatnya. Hingga suatu ketika dia bergulingan dan bersalto ke belakang. Sumpit di
tangannya kini siap menjalankan fungsinya. Lalu diambilnya beberapa peluru dan
dima-sukkan ke mulutnya.
"Pranata! Kini terimalah kematianmu!" desisnya sambil memasang sumpit di
mulutnya. "Pranata!" seru Ki Madrim. "Hati-hati dengan sumpit itu. Peluru sumpit itu lebih
berbahaya dari racun yang terdapat di kuku-kukunya!"
Pranata pun bersiap. Dia sendiri bisa menduga
akan racun yang terdapat pada sumpit Nyai Loreng.
Dan "Plup! Sreeet!"
Peluru-peluru itu pun mulai berfungsi. Pranata
hanya mengandalkan instingnya saja untuk menghin-
dar, karena peluru sumpit itu sukar dilihat dan diikuti oleh mata.
"Hihihi... menghindarlah kau sekuat kau bisa, Pranata!" terkikik Nyai Loreng
melihat Pranata Kumala menghindar.
Dan dia pun terus menyerang dengan gencar.
Kini ganti Pranata yang terdesak. Dia menghindar
sebisanya. Walau sekali-sekali dia masih sempat melepaskan pukulan Sinar
Merahnya. Namun desakan-desakan yang dilakukan Nyai Lo-
reng lebih gencar dari pukulan Sinar Merah Pranata Kumala. Sebentar saja Pranata
kembali terdesak.
Melihat keadaan suaminya yang terdesak, Ambar-
wati segera memekik menyerang Nyai Loreng. Nyai Loreng terkejut, dia menunduk
dan berguling ketika pedang Ambarwati siap menebas lehernya.
"Hup!"
"Nenek iblis! Mampus kau!" geram Ambarwati keras karena melihat suaminya nampak
sudah kehabisan
tenaga. Kini dia yang menghadapi Nyai Loreng. Tetapi Nyai Loreng sendiri tidak mau
membuang waktu lagi. Langsung dia mengarahkan sumpitnya pada Ambarwati.
Ambarwatilah yang sekarang kalang kabut. Peluru-
peluru beracun itu demikian gencar menyerangnya.
Melihat keadaan isterinya yang terdesak, Pranata segera membantu dengan pukulan
Sinar Merahnya.
Dia merasa dapat kesempatan untuk bernafas dan
menghimpun tenaga. Maka dia pun menyerang kemba-
li dengan gencar.
"Manusia-manusia keparat!" maki Nyai Loreng yang kembali menjadi kalang kabut
dan sukar untuk membalas. Dia terus mundur untuk menjaga jarak.
Namun serangan Sinar Merah yang dilepaskan Pra-
nata Kumala begitu gencar. Tiba-tiba dia bersalto ke belakang dan menghilang di
balik pintu yang jebol.
"Nenek iblis!" bentak Pranata. "Jangan kabur, Nyai Loreng!" kejar Pranata
Kumala. Tetapi bayangan Nyai Loreng telah menghilang.
Pranata kembali lagi ke ruangan itu.
Dia berkata pada Ki Madrim, "Kini semuanya sudah jelas, Ki... Nyai Loreng adalah
manusia iblis yang kejam dan sakti. Sayang... Suralaga dan Giri Lantang telah
mampus di tangannya..."
"Pranata... biar bagaimanapun keadaanku, aku ber-terima kasih padamu. Nah,
sebaiknya kita tinggalkan tempat ini sekarang juga!"
Ki Madrim bergerak mendahului. Namun mendadak
terdengar pekikannya yang keras luar biasa.
"Aaaakkkkkhhhh!"
Tubuh yang sudah bergerak itu mencelat ke bela-
kang bagai dihantam oleh satu dorongan angin yang kuat. Dan tubuh itu kelojotan
keras. Pranata Kumala dan Ambarwati terkejut. Mereka ti-
dak menyangka satu serangan gelap datang menerpa
Ki Madrim. Dan mereka baru menyadari setelah terdengar sua-
ra Nyai Loreng, "Hihihi... rasakanlah kematianmu, Ki Madrim! Nah, Pranata Kumala
dan Ambarwati... selamat tinggal dan sampai bertemu lagi!"
Rupanya Ki Madrim terkena peluru Sumpit Beracun
Nyai Loreng. Karena tubuh itu kemudian meregang
dan pecahlah seluruh urat nadinya hingga tubuh itu pun bermandikan darah dan
mati dengan tubuh pucat pasi.
Pranata yang merasa Nyai Loreng telah meninggal-
kan tempat itu, melangkah mendekati Ki Madrim! Namun tiba-tiba terdengar pekikan
Ambarwati. "Awaaaas, Kakang!"
Satu sosok tubuh mencelat dari luar menerjang ke
arah Pranata Kumala. Pranata langsung bersalto ke belakang begitu merasakan
angin besar mendekatinya.
Sosok itu memang Nyai Loreng. Setelah Pranata
menghindar dengan gerakan cepat, Nyai Loreng me-
nyambar buntalan berisi emas permata yang terletak di dekat mayat Ki Madrim.
Lalu dia mencelat ke luar dan menghilang.
Hanya kikikannya yang menggema keras.
"Sampai ketemu lagi, Pranata dan Ambarwati!"
Pranata menggeram marah. Di samping kejam, ter-
nyata wanita iblis itu pun licik. Dia tak bisa mengejar Nyai Loreng karena tubuh
itu telah menghilang bagai ditelan bumi.
Ambarwati mendekati suaminya.
"Kau tidak apa-apa, Kakang?"
"Tidak, Rayi... tidak kusangka wanita itu demikian liciknya."
"Benar, Kakang. Dan kesaktiannya pun tinggi."
"Terutama racun pada kuku dan sumpitnya. Itu sangat berbahaya."
"Lalu apa tindakan Kakang selanjutnya?"
"Aku akan mencari Nyai Loreng, Rayi."
"Kalau itu maumu, Kakang... aku akan tetap menemanimu..."
Pranata Kumala tersenyum. Lalu mengajak isterinya keluar dari sana untuk
menyusuri jejak Nyai Loreng si penyebar mala petaka.
*** 8 Satu sosok berjubah putih dengan wajah arif dan
bijaksana, melangkahkan kakinya dengan gerakan
lambat. Matanya yang memancarkan sinar kebijaksa-
naan dan kasih sayang memperhatikan bangunan be-
sar itu. Bangunan itu dikawal oleh beberapa orang penjaga.
Sosok berjubah putih itu mendesah.
Lalu hati-hati dia mendekati bangunan yang tak
lain tempat kediaman Juragan Seta Agung. Dua orang pengawal rumah itu
menghampirinya dan saling me-nyilangkan tombak.
Laki-laki berjubah putih itu tersenyum.
"Maaf... aku perlu bertemu dengan majikan kalian."
Salah seorang pengawal yang berwajah seram, me-
nyahut galak, "Siapa kau?"
"Namaku... Madewa Gumilang."
"Hhh! Ada keperluan apa kau bertemu dengan majikan kami?"
"Aku telah mendengar kabar yang buruk, di mana seorang tokoh jahat yang bernama
Nyai Loreng hendak menyerang ke sini..." kata sosok berjubah putih itu yang
memang Madewa Gumilang alias Pendekar
Bayangan Sukma.
Dia keluar dari Perguruan Topeng Hitam, perguruan silat yang dipimpinnya warisan
dari Paksi Uludara (Ba-ca: Dewi Cantik Penyebar Maut), hendak mengikuti
petualangan putra dan menantunya. Karena selama ini salah seorang murid
Perguruan Topeng Hitam yang
mengikuti petualangan putera dan menantunya tidak pernah memberi kabar. Murid
itu bernama Pratama
(Baca: Pertarungan Para Pendekar).
Selama pencariannya Madewa Gumilang alias Pen-
dekar Bayangan Sukma tiba di sebuah desa yang
nampak hancur berantakan bagaikan dilanda angin
topan yang amat dahsyat. Dari keterangan yang didapat, desa itu telah diporak-
porandakan oleh seorang nenek iblis yang mengaku bernama Nyai Loreng yang
memiliki senjata sumpit yang amat berbahaya dan beracun.
Dari keterangan itu pula, Madewa mengetahui ka-
lau Nyai Loreng hendak menyerang dan membumi-
ratakan rumah Juragan Seta Agung dan merampok se-
luruh emas permata yang dimiliki hartawan itu.
Itulah sebabnya Madewa segera menuju Desa Bo-
jong Karta dan mencari rumah Juragan Seta Agung. Di antara rumah-rumah yang
terdapat di sana, hanya sebuah yang nampak besar dan kaya. Dugaan Madewa,
tentu itulah rumah milik Juragan Seta Agung.
"Hei, Madewa!" kata pengawal itu dengan congkak.
"Jangan coba-coba untuk berbohong! Mana ada orang yang berani menyerang kediaman
Juragan Seta Agung,
hah?" "Pengawal, aku tak punya banyak waktu! Biarkan aku menemui Seta Agung!" kata
Madewa Gumilang.
"Tak semudah itu, Madewa! Kau..." pengawal itu menghentikan kata-katanya karena
sosok tubuh di depannya mendadak menghilang. Dia kaget. Dan tak melihat Madewa
telah melompati tubuhnya dan kini dengan santainya masuk ke bangunan besar itu.
Pengawal tadi dari rasa sombong dan kaget berubah menjadi ke-takutan. Dia
melirik temannya yang juga tak kalah ka-getnya. "Apa... apakah yang berdiri di
hadapan kita ta-di dedemit?"
"Aku... aku tidak tahu... sebaiknya kita menjaga sa-ja lagi. Ah... untungnya
dedemit itu tidak mengganggu kita."
Di dalam Madewa Gumilang tengah berhadapan
dengan Juragan Seta Agung.
Seta Agung terbelalak ketika Madewa memperke-
nalkan dirinya.
"Madewa Gumilang" Pendekar Bayangan Sukma!"
serunya kaget. Dia sudah lama mendengar nama pen-
dekar budiman itu yang sering dijuluki manusia dewa.
Dan dia merasa beruntung karena bisa bertemu den-
gan pendekar budiman itu. Tiba-tiba dia bangkit dari kursinya dan menjura
hormat, "Salam hormat buatmu, Pendekar Budiman. Selamat datang di kediamanku
ini..." Melihat majikan mereka nampak menghormat, para
pengawalnya pun ikut-ikutan menghormat. Madewa
menjadi tidak enak dengan sambutan yang seperti itu.
"Seta Agung... aku datang hanya memperingatkan padamu... kalau ada seorang nenek
iblis yang akan menyerang rumahmu ini. Dia bernama Nyai Loreng..."
"Nyai Loreng! Madewa... hei!" Seta Agung terperanjat karena sosok Madewa
Gumilang sudah tidak nampak
di matanya. Dia kagum luar biasa dengan kesaktian Pendekar Bayangan Sukma.
Dan dia pun percaya apa yang disampaikan Made-
wa tadi. Maka dia pun segera mengumpulkan para
pengawalnya untuk berjaga di setiap penjuru.
*** Malam mulai larut. Dan rembulan nampak enggan
untuk bersinar. Dia bersembunyi di balik awan hitam.
Satu sosok tubuh melompat dari satu dahan pohon
ke dahan lain. Gerakannya lincah dan cepat. Sosok tubuh itu adalah Nyai Loreng.
Dia makin mendekati rumah milik Juragan Seta
Agung. Dan tanpa menimbulkan suara, dia melum-
puhkan satu per satu pengawal yang ada di sana dengan sumpitnya.
Namun tanpa setahunya, dua pasang mata melihat
perbuatannya. Keduanya tak lain Pranata Kumala dan Ambarwati, yang langsung
mengikuti Nyai Loreng secara diam-diam.
"Kita bekuk manusia iblis itu, Rayi," desis Pranata Kumala.
Sementara Nyai Loreng makin asyik beroperasi.
Membunuhi para pengawal itu dengan sumpitnya. Ke-
tika dia akan memasuki bangunan itu, terdengar ben-takan,
"Nyai Loreng! Aksimu hanya sampai di sini saja!"
Nyai Loreng berbalik dan melihat Pranata Kumala
dan Ambarwati di hadapannya.
Dia mendengus. "Hhh! Kalian rupanya memang ingin mampus!" desisnya marah.
Dan teriakan-teriakan itu menarik perhatian para
pengawal di rumah Seta Agung. Begitu pula dengan
Seta Agung. Dia melihat beberapa tubuh pengawalnya telah menjadi mayat. Dan di
halaman ada tiga sosok
tubuh yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun begitu melihat pakaian yang
dikenakan Nyai Loreng berwarna loreng mirip kulit harimau, dia dapat menduga
siapa adanya nenek itu. Pasti dialah yang bernama Nyai Loreng!
"Nyai Loreng keparat!" serunya. "Dengan maksud apa kau menyatroni rumahku dan
membunuhi para pengawalku, hah"!"
"Hihihi... Seta Agung... serahkan emas permata milikmu padaku! Cepat... bila
tidak, akan kuratakan rumahmu ini dengan tanah!"
"Tidak semudah itu, Nyai Loreng!" kata Seta Agung berani.
"Hihihi... tikus kecil punya nyali juga rupanya!" ben-taknya. Dan tiba-tiba
sumpitnya bergerak dengan cepat. Dan pelurunya pun mendesing ke arah Seta
Agung. "Berguliiiiing!" terdengar seruan Pranata Kumala.
Dan secara reflek Seta Agung menjatuhkan tubuhnya.
Pranata segera bersalto dua kali di udara dan me-
nyerang Nyai Loreng. Nyai Loreng berbalik dan me-
nyumpit. "Sreet!"
Pranata tidak jadi untuk menyerang, dia melompat
ke kiri, dan membalas dengan pukulan Sinar Merah-
nya. Tiba-tiba terdengar seruan dari Seta Agung, "Ke-pung nenek itu dan tangkap!"
Beberapa pengawal setianya segera bergerak. Men-
gurung. Namun mereka hanya mengantarkan nyawa
dengan sia-sia. Dengan santai dan ringannya Nyai Loreng menyumpit mereka satu
per satu hingga tak ada yang tersisa. Semuanya mati dengan tubuh berdarah karena
seluruh urat nadi mereka pecah.
Seta Agung menggeram marah separuh ngeri.
Begitu pula dengan Pranata Kumala. Dia menjerit
menerjang dengan hebat. Tetapi dari tempatnya, Nyai Loreng hanya menyumpit saja.
Membuat Pranata lagi-lagi menghentikan serangannya.
Tiba-tiba Pranata teringat akan Seruling Naga. Seruling sakti pemberian ayahnya.
Dia bermaksud hendak menggunakan seruling itu, namun di sini masih ada
isterinya, Seta Agung dan putera serta isterinya Seta Agung. Ini sangat
berbahaya karena bila mereka mendengar alunan suara seruling itu mereka bisa
mati kelojotan dengan telinga yang mengalirkan darah.
"Hihihi... kini tibalah saatnya kau mampus, Pranata!" kata Nyai Loreng dan siap
menyerang Pranata dengan peluru-peluru sumpitnya secara gencar.
Pranata pun menghindar dengan sebisanya. Semen-
tara Ambarwati tidak berani maju untuk membokong


Pendekar Bayangan Sukma 13 Sumpit Nyai Loreng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena di malam yang cukup gelap ini, peluru Nyai Loreng sangat sukar untuk
diikuti oleh mata.
Mendadak suatu ketika Pranata terjatuh dan pelu-
ru-peluru sumpit Nyai Loreng siap untuk menjemput nyawanya.
"Kakaaaangg!" seru Ambarwati terkejut.
Pranata sendiri sudah sukar untuk menghindar. Ti-
ba-tiba sebuah kain putih mengibaskan peluru-peluru Nyai Loreng.
Dan kain putih itu berubah menjadi sebuah jubah.
Di hadapan Pranata Kumala kini berdiri satu sosok berjubah putih.
Pranata terkejut melihatnya dan berseru, "Ayah!"
Sosok itu memang Madewa Gumilang. Sebenarnya
sejak tadi Madewa melihat perkelahian antara pu-
tranya dengan Nyai Loreng. Namun dibiarkan saja.
Hingga ketika putranya sudah kewalahan dan terdesak tak mungkin menghindar, dia
pun maju memapaki peluru-peluru Nyai Loreng dengan jubah putihnya.
Nyai Loreng sendiri menggeram marah.
"Orang berjubah putih! Siapa kau adanya"!"
"Aku... Madewa Gumilang, Nyai Loreng!"
"Madewa Gumilang!" ulang Nyai Loreng dengan suara yang terdengar terkejut. Tapi
kemudian dia terkikik.
Dia sudah lama mendengar tentang nama Madewa
Gumilang, pendekar budiman yang sering dijuluki manusia dewa. "Hihihi... selamat
berkenalan denganku, Madewa Gumilang... sudah lama kudengar namamu
dan sudah lama pula aku ingin mencoba kesaktianmu, Madewa!"
"Ah, aku tidak sehebat yang kau kira, Nyai Loreng.
Aku hanyalah manusia biasa."
"Tidak percuma kau dijuluki pendekar budiman, Madewa. Sikapmu begitu arif dan
merendah."
"Kau hanya mendengar namaku dari orang-orang saja, Nyai Loreng..."
"Madewa... sekali lagi kukatakan, aku sudah lama ingin mencoba kesaktianmu! Nah,
terimalah tantan-ganku ini!" seru Nyai Loreng sambil menerjang hebat.
Kedua tangannya terbuka. Kuku-kuku beracunnya
siap untuk menghunjam.
Namun yang dihadapinya ini adalah manusia dewa,
dengan mudah saja Madewa menghindari serangan
berbahaya dari Nyai Loreng dengan jurus Ular Meloloskan Diri.
"Jangan hanya bisa menghindar saja, Madewa!"
"Nyai Loreng... kekejamanmu sudah nampak di mataku. Kau begitu telengas dan
kejamnya! Baik, aku akan memberi pelajaran untukmu!" kata Madewa dan membuka
jurus Ular Cobra Bercabang Tiga. Mendadak tangannya bergerak sangat cepat dan
kelihatannya menjadi banyak. Nyai Loreng sendiri menghindar dan membalas. Madewa dapat
merasakan hawa panas yang
keluar dari kuku-kuku Nyai Loreng. Berarti kuku-
kuku itu mengandung racun.
Madewa pun mengganti jurusnya dengan Pukulan
Tembok Menghalau Badai. Nyai Loreng sendiri kaget ketika merasakan desiran angin
yang kuat yang ditim-bulkan oleh pukulan itu.
"Des!" suatu saat dadanya berhasil digedor oleh pukulan itu. Sadarlah kini Nyai
Loreng akan kehebatan Pendekar Bayangan Sukma. Dia pun tak mau bertindak
tanggung-tanggung lagi. Langsung dipasangnya
sumpitnya dan dia pun mulai meniup menyerang Ma-
dewa. Madewa menghindari serangan itu. Dengan ilmu
Pandangan Menembus Sukmanya dia dapat melihat la-
ju peluru-peluru itu hingga dengan mudah dia berhasil menghindar.
Hal ini membuat Nyai Loreng menjadi geram. Dia
menghentikan menyumpitnya. Dan mengambil bebe-
rapa peluru yang terbuat dari emas. Keajaiban peluru itu bisa seperti mata,
karena bila belum mengenai sasarannya, peluru itu akan mengejar terus.
Dan itu pun dialami oleh Madewa Gumilang. Dia
menghindar ke mana pun peluru itu mengikutinya.
Nyai Loreng terbahak. Madewa mendengus. Dia berpikir mengapa peluru ini bisa
seperti mempunyai mata.
Dan tiba-tiba sekali Madewa bergerak ke arah Nyai Loreng sementara peluru-peluru
itu terus mengikutinya.
Nyai Loreng sendiri kaget. Dia bergerak ke kiri. Dan Madewa pun bergerak ke
kiri. Dan secepat kilat dia bergulingan di tanah. Peluru yang mengikutinya itu
begitu dekat jaraknya dengan Nyai Loreng. Dan tanpa ampun lagi peluru-peluru itu
mengenai tuannya sendiri. Terdengar pekikan keras yang menyayat hati.
Tidak lebih dari lima detik, tubuh itu telah menjadi hangus secara mengerikan.
Madewa mendesah panjang. Lalu diambilnya sumpit
di tangan Nyai Loreng. Dia mencoba memusnahkan-
nya, namun gagal. Berkali-kali dia pukul sumpit itu tak pecah. Bahkan Pukulan
Tembok Menghalau Badai
pun sedikit juga tak membuat sumpit itu retak.
Madewa merasa sumpit itu harus dimusnahkan.
Dan tiba-tiba dia merangkul kedua tangannya di dada hingga mengeluarkan asap
berwarna putih. Itulah Pukulan Bayangan Sukma miliknya, pukulan pamungkas
yang belum ada duanya di dunia persilatan. Dan dia pun mengayunkan tangannya ke
arah sumpit itu.
Terdengar suara ledakan keras. Dan sumpit itu
hancur berantakan.
Lagi Madewa mendesah. Lalu melangkah pada pu-
tra dan anak menantunya.
"Ayah!" seru Pranata dan Ambarwati bersamaan.
"Ayah cuma minta... masihkah kalian hendak meneruskan petualangan kalian?"
"Sampai kapan pun, Ayah! Kami akan meneruskan petualangan ini!"
"Bila itu mau kalian, teruskanlah! Pesan ayah, hati-hati!" Dan tubuh itu pun
tiba-tiba menghilang, bagai ditelan bumi.
Pranata mendesah. Lalu menghampiri Seta Agung
yang sedang meratapi mayat-mayat para pengawalnya.
Setelah bercakap-cakap sebentar, lalu Pranata dan istrinya pun meninggalkan
tempat itu. TAMAT Scan: Clickers Juru Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Document Outline
1 *** 2 *** 3 *** 4 *** 5 *** 6 *** *** 7 *** 8 *** TAMAT Jala Pedang Jaring Sutra 2 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bangau Sakti 16
^