Pencarian

Maut Buat Madewa Gumilang 1

Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Bagian 1


MAUT BUAT MADEWA GUMILANG
Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang meng-
copy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma dalam episode:
Maut Buat Madewa Gumilang
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Pagi itu, penduduk yang tinggal di sekitar Gunung
Merbabu seperti biasa pergi bertani dengan gembira.
Cuaca hari ini nampak cerah, lain seperti kemarin.
Pemandangan bila dilihat dari puncak Gunung Merba-
bu bukan main indahnya. Hamparan padi menguning
bagaikan emas yang bertaburan di bumi. Dan bukit-
bukit di sebelah Barat sana menghijau. Sungai kecil melintang berkelok bagaikan
ular. Tetapi puncak Gunung Merbabu berdiri angkuh
seolah merasa besar. Puncak yang terasa begitu miste-rius. Bahkan para penduduk
di sekitar sana yakin, kalau puncak itu kadang didiami oleh dedemit.
Para penduduk yang bekerja di sawah, bersiul gem-
bira. Bocah-bocah kecil yang sedang mandi di sungai, berenang-berenang dengan
tertawa. Namun kegembiraan itu dikejutkan oleh suara
orang berseru-seru, disusul dengan derap langkah ku-da yang cepat mendatangi
desa yang ada di lereng gunung itu.
"Masuk! Semua masuk ke rumah! Gerombolan Ma-
laikat Pencabut Nyawa datang!"
Seketika suasana yang tenang itu berubah menjadi
jerit ketakutan. Para penduduk yang bekerja di sawah segera berlari pulang. Tak
menghiraukan lagi alat-alat yang mereka tinggalkan. Bocah-bocah kecil masih
dalam keadaan bertelanjang pontang panting masuk ke
rumah. Semua pintu dan jendela terlihat segera tertutup.
Keadaan menjadi tegang. Dan ketakutan.
Gerombolan para penunggang kuda yang berpa-
kaian hitam dengan celana merah itu, berhenti tepat di tengah-tengah desa.
Mereka terdiri dari tujuh orang
laki-laki berwajah bengis dan seram. Di pinggang mereka terselip sebatang golok
besar. Salah seorang yang bercambang dan berjanggut le-
bat, mendengus. Dia bernama Murko Wiroko, pimpi-
nan dari Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa.
"Hhh! Orang-orang bodoh! Keluar kalian!" serunya seperti menebar hawa maut.
"Keluaaaarrr! Bila tidak, desa ini akan kami bumi hanguskan!"
Namun orang-orang yang sedang ketakutan itu, tak
satu pun yang ke luar. Mereka saling dekap dengan
anak istri mereka.
Murko Wiroko mendengus marah.
"Kuperingatkan pada kalian semua... bila tak ada yang ke luar, akan kubakar
seluruh desa ini!"
Makin ketakutan para penduduk yang berada di da-
lam rumah. Namun dari gorden yang mereka buka se-
dikit untuk mengintip, terlihat sebuah pintu rumah
terkuak. Satu sosok tubuh berjalan ke luar. Sementara di ambang pintu rumah itu,
terlihat seorang perem-puan yang berusaha menahan dan berseru-seru, "Jangan,
Pak! Jangan! Mereka akan membunuhmu... hu-
huhu... pakkkk!"
Namun laki-laki yang berusia sekitar 45 tahun itu
terus melangkah dengan gagah menghampiri para pe-
nunggang kuda yang terbahak-bahak melihatnya
muncul. Laki-laki itu kini berhadapan dengan para penung-
gang kuda itu. Dia adalah seorang laki-laki yang ber-tubuh gagah. Tubuhnya
tegap. Kumis tipisnya ber-
tengger di atas bibirnya yang mulai keriput.
Dia berkata dengan lantang, "Murko Wiroko... sudah berulangkali kau dan
gerombolanmu membuat
onar di Desa Kaliwungu ini! Dan sikapmu begitu onar dan mengerikan! Apakah kau
tidak pernah merasa kasihan dengan orang-orang yang tak berdosa yang kau
tindas ini"!"
Laki-laki yang ternyata Ki Lurah mendengus. Sua-
ranya tetap tegar.
"Mati di tangan Tuhan, Murko Wiroko... dan kezali-man yang kau sebar ini tak
bisa kuterima dan berlangsung Lurah?" terbahak-bahak Murko Wiroko.
"Aku mengajak kau bertanding, Murko Wiroko..."
"Hei, kau berani menantangku"!"
"Tak ada jalan lain... daripada aku mengorbankan nyawa pendudukku..."
"Bagus, bagus sekali, Ki Lurah... aku menyukai sifat jantanmu itu. Nah,
bagaimana peraturannya?"
"Bila kau kalah... kalian tinggalkan tempat ini dan jangan datang lagi..."
"Bagaimana bila kau sendiri yang kalah?"
"Kau boleh menghancurkan keluargaku... tapi jangan penduduk yang lain!" kata Ki
Lurah Jalu Prakoso dengan suara seperti desahan. Sebenarnya dia berat
melakukan ini. Namun baginya, dia lebih rela mengorbankan diri dan keluarganya
daripada nyawa para
penduduk. "Bagus! Aku terima tantanganmu, Ki Lurah! Nah, kau bersiaplah!" kata Murko
Wiroko sambil melompat dari kudanya.
Ki Lurah Jalu Prakoso pun bersiap. Terbayang wa-
jah istrinya yang bernama Srinti dan putranya yang
baru berusia 12 tahun, Bayu Menggolo. Saat nikah, Ki Lurah Jalu Prakoso memang
sudah berumur, saat
usianya 30 tahun. Sedangkan istrinya saat itu berusia 19 tahun. Namun cinta dan
kesetiaan dari istrinya begitu besar dilimpahkan kepada Ki Lurah Jalu Prakoso.
Dan kini Srinti sedang memperhatikan suaminya
yang nampak siap berlaga dengan Murko Wiroko. Ha-
tinya menjadi cemas bukan main. Dia berdoa seba-
nyak-banyaknya untuk keselamatan suaminya.
Begitu pula dengan para penduduk yang lain. Mere-
ka pun tak kalah tegangnya. Kengerian itu terus me-
rambat. Perlahan. Dan semakin mencekam.
"Ki Lurah... mengapa kau hanya diam saja" Ayo, se-ranglah aku sebisamu...
hahahaha!" terbahak Murko Wiroko yang menganggap remeh Ki Lurah Jalu Prakoso.
Jalu Prakoso diangkat sebagai Lurah, karena dia memiliki ilmu silat. Dulu desa
ini pun pernah diserang oleh gerombolan, saat istrinya sedang mengandung
dua bulan. Kala itu Jalu Prakoso belum menjadi Lu-
rah. Dan berkat kegigihannya yang memimpin bebera-
pa pemuda dan orang tua, mereka berhasil mengusir
gerombolan itu.
Dari keberaniannya itulah dia diangkat sebagai Lu-
rah. Penduduk desa Kaliwungu sebenarnya adalah
orang-orang yang pemberani dan suka bahu memba-
hu. Namun kira-kira dua bulan yang lalu, saat mereka bahu membahu untuk mengusir
Gerombolan Malaikat
Penyebar Maut, hanyalah merupakan pekerjaan yang
sia-sia belaka. Mereka banyak yang mati. Dan lawan
begitu ganas membunuh.
Itulah sebabnya mereka tak berani lagi untuk me-
nentang dan melawan Gerombolan Malaikat Pencabut
Nyawa, mengingat anak istri mereka yang banyak dan
masih kecil-kecil.
Ki Lurah Jalu Prakoso menyadari pula hal itu. Itu
pula sebabnya dia mencoba menantang Murko Wiroko
berhadapan satu-satu dengannya!
*** 2 Ki Lurah menatap Murko Wiroko dengan pandan-
gan murka. "Hhh! Kau tak ubahnya seperti anjing buduk yang mengorek bangkai!"
Wajah Murko Wiroko melegam merah. Pipinya
menggelembung karena marah mendengar kata-kata
Ki Lurah Jalu Prakoso. Lalu dia pun menyerbu dengan satu jotosan ke arah dada Ki
Lurah! Ki Lurah yang sudah bersiap sejak tadi, menyambut
jotosan itu dengan memiringkan tubuhnya. Lalu mem-
balas dengan satu tendangan ke arah kaki Murko Wi-
roko, yang buru-buru melompat.
Murko Wiroko yang menganggap remeh Ki Lurah
Jalu Prakoso tidak bisa main-main lagi, karena dia menyadari kini kemampuan yang
dimiliki Ki Lurah.
Kembali dia menyerang dengan jotosannya. Kali ini
beruntun disusul dengan satu tendangan. Ki Lurah
menghadapi semua itu dengan tenang. Tubuhnya ber-
gerak dengan cepat, mengelakkan serangan itu dengan gesit. Namun dengan tiba-
tiba saja tubuh Murko Wiroko sudah berada di atas kepalanya, tinjunya siap di-
pukulkan ke kepala Ki Lurah.
Dengan sigap Ki Lurah menarik dirinya, namun pu-
kulan itu terus mencercanya. Mau tak mau membuat
Ki Lurah bergulingan di tanah. Bajunya seketika diko-tori tanah yang sebentar
lagi mungkin akan bersimbah darah.
"Hahaha... kau tak akan bisa lari dariku, Ki Lurah!"
tertawa Murko Wiroko seraya menyerbu kembali.
Ki Lurah yang masih bergulingan di tanah dengan
sigap bangkit dan mencoba memapaki serangan dari
Murko Wiroko. "Des!"
Dua tenaga berbenturan. Terlihat tubuh Ki Lurah
Jalu Prakoso terhuyung beberapa langkah. Bertanda
tenaga dalam Ki Lurah jauh berada di bawah tenaga
dalam yang dimiliki Murko Wiroko. Ki Lurah Jalu Prakoso mencoba mengimbangi
tubuhnya agar tidak ja-
tuh. Namun belum lagi dia dapat mengimbangi tubuh-
nya agar berada dalam posisi seimbang, sebuah ten-
dangan keras telah datang dan tepat mengenai da-
danya. "Des!"
"Aaaakkkkhh!"
Tubuh Ki Lurah Jalu Prakoso terpental beberapa
tombak ke belakang. Dan jatuh tidak bangun-bangun
lagi. Nyawanya telah melayang.
Istrinya yang menyaksikan hal itu mendekap pu-
tranya erat-erat sambil menangis pilu. Dia melihat
mayat suaminya diinjak-injak oleh Gerombolan Malai-
kat Penyebar Maut.
"Cih! Mampuslah kau sana, Jalu!" mendengus Murko Wiroko.
"Kakang... apakah dengan begitu kau akan meme-
nuhi janjimu?" tanya salah seorang anak buahnya.
Murko Wiroko mendengus. "Apa maksudmu, hah"!"
"Bukankah kau tadi telah berjanji padanya, bila kau dapat mengalahkannya kau
hanya akan mengganggu
keluarganya saja"!"
"Hahaha... Garot... Garot... ternyata kau bodoh sekali!" terbahak-bahak Murko
Wiroko mendengar penu-turan anak buahnya yang paling muda. Sebenarnya
Garot bukanlah laki-laki yang kejam. Tetapi karena dia telah lama bergaul dengan
Gerombolan Penyebar
Maut, maka dia pun menjadi terpengaruh.
"Maksudmu, Kakang?"
"Mana mungkin aku akan memenuhi kata-kataku
itu! Tidak, desa ini beserta isinya harus menjadi milik-ku! Dan aku ketua di
sini! Siapa saja yang berani me-nentangku, akan kubuat hancur lumat dengan
tanah!" kata Murko Wiroko sambil menepuk dadanya.
Teman-temannya tertawa. Begitu pula dengan Ga-
rot. Kehidupan garang telah menempanya menjadi be-
gitu kejam dan telengas.
Tiba-tiba terdengar suara Murko Wiroko, "Hhh! Kalian bakar desa ini menjadi
lautan api! Umumkan
bahwa akulah yang berkuasa di sini! Bunuh siapa saja yang membangkang! Hahaha...
aku sendiri akan mengurus istri dari Ki Lurah Jalu Prakoso. Tadi kulihat
wajahnya yang cantik mengintip dari balik gorden...
hahaha... masih hangat agaknya bila kupakai!"
Lalu Murko Wiroko menggebrak kudanya mendekat
rumah Ki Lurah Jalu Prakoso. Sementara anak buah-
nya mengamuk sambil tertawa-tawa. Bagi mereka, me-
lihat kesengsaraan penduduk merupakan suatu ke-
gembiraan yang mengasyikan.
Mereka membakar obor dan melemparinya ke atap-
atap rumah penduduk. Seketika di tempat itu seakan
menjadi lautan api. Terdengar jeritan memilukan dan menyayat hati. Karena tak
mau dimakan api yang
mengganas, akhirnya para penduduk pun berlarian ke
luar rumah. Dan kesempatan itu digunakan oleh Gerombolan
Malaikat Penyebar Maut untuk membunuh siapa saja.
Dan mengambil anak gadis mereka.
Terdengar jeritan, tangisan dan pekikan.
Menderu. Suasana desa seperti neraka.
Sementara itu, Murko Wiroko tengah mendobrak
pintu rumah Ki Lurah Jalu Prakoso yang tertutup.
Dengan sekali tendang pintu itu hancur berantakan.
Lalu sosok tinggi besar itu masuk ke dalam. Ma-
tanya celingukan. Bibirnya tak henti-hentinya menyeringai.
"Hai, Manis... di mana kau bersembunyi?"
Kepalanya celingukan mencari Srinti, istri dari Lu-
rah Jalu Prakoso.
"Manis... ayo keluar... Kakangmu datang?" berkata lagi Murko Wiroko sambil
mencari ke ruangan-ruangan yang terdapat di rumah itu.
Namun setelah pelosok rumah ditelusuri, bayangan
Srinti dan putranya Bayu Menggolo tak nampak. Pena-
saran Murko Wiroko mencari sekali lagi. Namun hasilnya tetap nihil.
Murkalah dia menyadari wanita itu sudah melari-
kan diri bersama anaknya.
"Anjing buduk! Berani-beraninya kalian melarikan diri dariku, hah"!" makinya
berang sambil menghantamkan tangan kanannya ke sebuah meja.
Meja itu berderak dan hancur seketika.
"Bangsat! Awas bila kalian ketemu! Akan kucincang dan kukuliti kalian!" makinya


Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi, lalu beranjak keluar.
Di luar suasana makin kacau balau. Beberapa pen-
duduk yang mencoba melawan, harus tewas dengan
kepala pecah atau bagian tubuh yang hilang terkena
sabetan golok besar dari orang-orang itu.
Murko Wiroko tersenyum puas menyaksikan semu-
anya. Baginya, ini merupakan pembalasan atas jeng-
kelnya karena tidak menemukan Srinti dan putranya.
"Bunuh siapa yang mencoba melawan!" serunya sambil mengambil sebuah obor dan
melemparkannya ke atap rumah Ki Lurah Jalu Prakoso.
Api pun cepat menyambar atap rumah yang terbuat
dari jerami itu. Menjalar dengan cepatnya. Percikan api terbawa angin dan
menyambar rumah yang lainnya
hingga ikut terbakar.
Dari sebuah rumah terlihat salah seorang anak
buah Murko Wiroko keluar sambil tertawa-tawa. Di
tangannya terbopong sebuah tubuh molek yang me-
ronta-ronta. "Lepaskan, lepaskan aku!" rintih gadis itu. "Bapak...
tolong aku... tolong, Bapak...!"
Dari dalam rumah berlari seorang laki-laki setengah baya. Keadaan laki-laki itu
amat mengerikan. Sekujur tubuhnya berdarah. Namun dia masih berusaha untuk
bertahan demi menolong anak gadisnya.
Di tangan laki-laki itu terpegang sebuah tombak.
"Lepaskan anakku, Manusia biadab!" makinya sambil menyerbu.
Tetapi anak buah Murko Wiroko itu hanya tertawa.
Begitu tubuh laki-laki itu mendekat, masih dalam
membopong tubuh gadis itu, anak buah Murko Wiroko
yang bernama Menak Supo, mengayunkan kaki ka-
nannya. "Des!"
Tendangan itu telah mengenai dada laki-laki seten-
gah baya itu. Hingga tubuhnya sempoyongan. Keseim-
bangannya pun hilang.
Dan tubuh itu pun ambruk.
Darah makin bersimbah di sekujur tubuhnya.
"Bapaaaaaa!" terdengar jeritan memilukan antara kuatir dan ketakutan.
Mendengar suara putrinya yang menyayat, mem-
buat laki-laki itu mencoba untuk bangkit kembali. Dia pun menyerbu lagi dengan
sisa-sisa tenaganya.
Namun kali ini Menak Supo mendengus dan tak
mau memberi hidup lagi. Masih tetap membopong tu-
buh gadis itu, Menak Supo mencabut goloknya dan
menghantamkan ke leher laki-laki itu hingga putus.
Dan laki-laki itu pun ambruk setelah kelojotan se-
jenak. "Bapaaaaaaa!"
Pagi yang cerah, kini telah bersimbah darah.
*** 3 Wanita itu terus melangkahkan kakinya, meskipun
dia merasa sudah lelah sekali. Sementara bocah kecil yang mengikutinya harus
tertatih-tatih dan sekali-sekali tersandung batu karena terlalu cepat mengikuti
langkah wanita itu.
Wanita itu tak lain istri dari Ki Lurah Jalu Prakoso bersama anaknya, Bayu
Menggolo. Setelah melihat suaminya ambruk bersimbah darah dan mati, Srinti
hanya bisa menahan pilu di dada. Dia tak pernah me-
nyangka suaminya akan mati dengan cara yang men-
gerikan. Dan di depan matanya!
Namun dia tersentak kala teringat akan ucapan su-
aminya sebelum mati. Dan diam-diam di hati wanita
itu begitu terharu akan kebesaran jiwa suaminya yang rela berkorban dan
mengorbankan keluarganya demi
orang banyak. Namun Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa me-
mang tak bisa dipegang janjinya, karena begitu Jalu Prakoso tewas, anak buah
Murko Wiroko segera menyerbu seisi desa.
Srinti sendiri segera menyadari bahaya yang men-
gancamnya. Dia pun bergerak cepat, mengambil bebe-
rapa perhiasan dan sejumlah uang. Kala dia mengintip lagi dari gorden jendela,
dilihatnya Murko Wiroko sedang berjalan ke arah rumahnya.
Bergegas Srinti menarik tangan putranya Bayu
Menggolo untuk meninggalkan rumah. Mereka melalui
pintu belakang. Lalu merambah semak belukar dan
rawa. Sementara Bayu Menggolo sendiri hanya mengi-
kutinya saja. Walaupun bocah itu sudah mengerti apa yang terjadi terhadap
ayahnya, namun dia tidak tahu sebab apa ayahnya dibunuh orang.
Selama satu hari satu malam, Srinti membawa pu-
tranya berjalan kaki. Baginya, saat ini adalah menjauh dari Gerombolan Malaikat
Pencabut Nyawa.
Dendam telah membara di hati wanita itu.
"Bu... istirahat lagi..." keluh Bayu Menggolo yang makin tertatih-tatih
mengikuti langkah ibunya.
Semalam mereka memang beristirahat yang hanya
beberapa jam itu sangat sedikit sekali. Bocah itu jelas sudah kelelahan sekali.
"Sebentar lagi, Bayu..." sahut Srinti, kali ini mem-perlambat langkahnya.
"Sejak tadi Ibu bilang sebentar lagi. Tetapi belum pula berhenti..." keluh anak
itu lagi. "Sebentar lagi kita akan tiba di desa Kali Anget, Bayu..."
"Ibu bohong! Sejak tadi ibu pun berucap demikian.
Tapi buktinya kita terus berjalan saja. Bayu sudah lelah, Bu..."
"Ibu tahu, Bayu... tetapi kita tetap harus berjalan..."
kata Srinti. "Istirahat dulu, Bu. Perut Bayu pun lapar."
"Nanti saja di desa Kali Anget, Bayu..."
"Sekarang saja, Bu..." rengek anak itu.
Srinti mendesah. Terbayang lagi kejadian dua hari
yang lalu. Ah, mengapa ajal begitu cepat menjemput
suaminya" Dan ingat itu, kegeramannya pada Gerom-
bolan Malaikat Pencabut Nyawa semakin menjadi-jadi.
Namun saat ini dendam itu dibaluri ketakutan yang
amat sangat. Srinti kuatir kalau-kalau orang-orang biadab itu mengejar dan
menemukannya. Maka dia berkata pada putranya, "Bayu... bukankah Bayu anak Ibu yang penurut?"
Mendengar suara yang lemah lembut itu membuat
anak itu terdiam.
"Iya kan, Bayu?"
"Iya, Bu..."
"Nah... turutilah kata-kata Ibu sekarang. Kita harus terus berjalan, Bayu.
Tujuan kita desa Kali Anget. Di sana, kita akan mencari tempat penginapan. Juga
ma-kanan yang enak-enak."
"Makanan yang enak-enak, Bu?" wajah anak itu menjadi cerah.
Srinti mengangguk. "Ya, kau bisa makan sepuas-
puasnya dan sekenyang-kenyangnya."
"Tapi masih lamakah kita sampai di sana, Bu?"
Kali ini Srinti mendesah. Desa Kali Anget masih
jauh sekali dari tempat mereka sekarang. Membutuh-
kan waktu sehari lamanya. Tetapi tentu saja di depan putranya dia mengatakan
lain. "Tidak, Bayu. Desa Kali Anget sudah dekat sekali.
Nah, kau mau bukan melanjutkan perjalanan ini lagi?"
"Kalau nanti bisa makan sepuas-puasnya, Bayu
mau, Bu. Tapi, Bu..." anak itu mendadak terdiam.
"Kenapa, Bayu?"
"Kenapa kita harus meninggalkan rumah, Bu" Dan mengapa ayah dibunuh orang seram
itu?" Pertanyaan itu sebenarnya begitu sederhana. Na-
mun bagi Srinti begitu menyengat sekali.
Dan kembali dia diingatkan bagaimana suaminya
tewas. Begitu mengenaskan.
Tiba-tiba Srinti menatap tajam putranya. Satu piki-
ran membayang di benaknya. Bukankah dia bisa
membalas dendam sakit hatinya melalui tangan anak-
nya" Mengapa dia begitu bodoh tidak berpikir ke sana.
Bayu risih ditatap seperti itu. Sangkanya ibunya
marah mendengar pertanyaannya. Buru-buru dia ber-
kata, "Bu... kenapa Ibu menatap Bayu seperti itu" Ibu marah?"
Srinti buru-buru tersenyum. Merasa bersalah kare-
na tatapannya tentu membuat putranya ketakutan.
Dia tersenyum. "Tidak, Bayu..."
"Ibu tidak marah?"
Srinti menggeleng.
"Yah... di desa Kali Anget bila kita sudah mendapatkan penginapan, Ibu akan
menceritakan semuanya
padamu. Dan kita akan mencari guru silat."
"Guru silat, Bu?"
"Ya."
"Ibu ingin belajar silat?"
Srinti tersenyum sambil menggeleng.
"Untukmu, Bayu...."
"Untuk Bayu, Bu?" suara anak itu bercampur dengan nada gembira.
"Ya. Kau harus belajar ilmu silat setinggi-tingginya.
Dan kau harus membalaskan dendam ayah dan ibumu
ini pada Gerombolan Malaikat Pencabut Nyawa."
"Benar ya, Bu?" tanya anak itu lagi.
"Ya. Ayo, Bayu... kita lanjutkan perjalanan kita la-gi," kata Srinti sambil
menarik tangan putranya lagi untuk melangkah.
Bayu Menggolo mengikutinya dengan hati riang.
Terbayang sudah dia memiliki ilmu silat. Ah, tentunya aku akan seperti ayah
nanti, desisnya dalam hati.
Namun baru saja lima tindak keduanya melangkah,
di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki berwajah seram dengan tombak
di tangan! *** 4 Srinti tercekat. Wajah ketiga orang itu jelas tidak bersahabat. Tanpa
disadarinya, Srinti menghentikan
langkahnya. Dipegangnya tangan putranya erat-erat.
Bayu Menggolo sendiri heran melihat ketiga orang itu menghadang langkah mereka.
"Si... siapa Ki sanak sekalian?" tanya Srinti mencoba tenang dan membesarkan
hati. Salah seorang dari ketiga orang itu terbahak.
"Hahaha... rupanya wanita ini punya nyali juga untuk bertanya...."
"Benar, Karto... tidak seperti kebanyakan wanita lain yang langsung terbirit-
birit begitu berjumpa dengan kita..." sahut temannya yang bernama Kuncoro.
"Hahaha... bukankah itu sesuatu permainan yang mengasyikan. Kita ibarat tiga
ekor kucing yang sedang mengejar seekor tikus," sambung yang bernama Cakoro.
Srinti mendesah dalam hati. Dia menyesali menga-pa terlalu lama dia berbincang-
bincang dengan pu-
tranya. Bila tadi mereka langsung melanjutkan perjalanan, sudah tentu tidak akan
berjumpa dengan ketiga laki-laki ini.
Bagi Srinti, baru saja dia terlepas dari sarang
buaya, kini sudah masuk ke sarang harimau! Malah
yang ini nampak lebih buas! Tiga pasang mata itu liar menatapi sekujur tubuhnya.
Srinti merinding ketakutan.
Tanpa sadar dia mundur sambil memegang tangan
putranya erat-erat.
"Hahah... rupanya dia pun tak lebih dari seekor tikus betina," kata Karto.
"Dan kita akan mempunyai lagi suatu permainan
yang mengasyikan sebelum mengganyang habis tikus
itu..." tertawa Kuncoro.
Srinti makin ketakutan.
"Mau... mau apa kalian?" desisnya ketika ketiga orang itu perlahan-lahan
mendekat sambil terbahak-bahak lebar.
"Mau apa?" tertawa Cakoro. "Sudah tentu ingin mengajakmu bersenang-senang. Bukan
begitu, kawan-kawan?"
Kata-kata Cakoro disambut pula dengan tawa yang
lebar. Pucat wajah Srinti.
Dan tiba-tiba dia berbalik melarikan diri sambil menarik tangan putranya. Bayu
Menggolo hanya mengi-
kutinya sambil tertatih-tatih.
"Hahaha... kau tak akan bisa lari dari kami, Manis...."
Ketiga orang itu mengejar dan sebentar saja mereka
sudah mengurung Srinti dan putranya. Ketiganya me-
nyeringai menakutkan.
"Mengapa kau harus takut, Manis?" kata Kuncoro.
"Kami hendak mengajakmu bersenang-senang. Kau
malah aneh, ketakutan tak beralasan...."
"Tolong... tolong jangan ganggu aku..." desis Srinti.
"Siapa yang mengganggu?"
"Pergi... pergi kalian dari sini...."
"Hahaha... kami hanya mengajak kau bersenang-
senang. Bila kau tidak mau, tidak apa-apa..." kata Kuncoro pula.
"Tapi... hahaha... kami akan memaksamu, Manis,"
sambung Karto sambil menyeringai. "Bahkan itu lebih nikmat untuk kami daripada
kau pasrah saja...."
Ketiga orang itu perlahan-lahan mendekat.
Srinti mencoba mundur. Namun ketiganya sudah
mengurungnya. Dan tiba-tiba saja salah seorang bergerak, me-
nyambar tangan Srinti. Srinti terkejut karena tidak menyangka hal itu.
Pegangan tangannya pada Bayu Menggolo terlepas.
"Ibuuuuuu!" pekik anak itu terkejut. Namun Bayu Menggolo adalah seorang anak
yang pemberani. Dia
tahu Ibunya dalam bahaya.
Tanpa berpikir panjang lagi, dia maju memukul
Kuncoro yang tengah berusaha untuk mencium
ibunya. "Lepaskan ibu! Kalau tidak kupukul kau"!" maki Bayu Menggolo.
Kuncoro terkejut melihat anak itu membentaknya
dengan tangan siap memukul. Tetapi keterkejutannya
berubah menjadi tertawa begitu yakin hanya seorang
bocah yang membentaknya.
"Hahaha... mau apa kau, Bocah?"
"Lepaskan Ibu!"
"Kau bisa apa, Anak Manis?"
"Lepaskan Ibu! Kalau tidak kupukul kau"!"
"Hahaha... kau mau memukulku?"
"Ya! Cepat, lepaskan Ibu!"
Kuncoro terbahak lebar. Sementara Srinti ketaku-
tan melihat putranya nampak nekat untuk membe-
lanya. Namun hatinya terharu melihat keberanian bo-
cah itu. Tak ubahnya seperti suaminya. Ah, sayang
mengapa maut telah menjemput suaminya"
"Bocah!" membentak Cakoro. "Kau mau apa, heh"!"
Bayu Menggolo berbalik pada Cakoro. Tatapannya


Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyalang menebarkan marah.
"Lepaskan Ibu!"
"Hahaha...."
Srinti tahu bahaya yang mengancam putranya. Dia
berseru, "Bayu... jangan nekat, Nak... biarkan ibu, biarkan Ibu...."
"Tidak! Bayu harus menolong Ibu!" seru Bayu Menggolo berani. Dia melangkah
perlahan-lahan.
Srinti semakin ketakutan. Kali ini dia tidak memi-
kirkan nasibnya lagi. Nasib putranya lebih berguna daripada nyawanya!
Siapa lagi yang akan membalaskan dendamnya
nanti" "Bayu... larilah... lari dari sini!" serunya.
Tetapi bocah itu keras kepala.
"Tidak, Bu! Bayu harus menolong Ibu!"
Dan mendadak saja bocah itu menyerang ke arah
Kuncoro yang memegang Srinti atau ibunya erat-erat.
"Bayuuuuu!" seru Srinti ketakutan.
Kuncoro tertawa, ketika kedua kepalan kecil itu
memukul-mukul tubuhnya. Memang tidak terasa, na-
mun yang membuatnya kagum keberanian bocah itu
begitu besar untuk membela ibunya.
Namun lama kelamaan dia menjadi jengkel juga.
Kakinya pun mengayun.
"Des!"
Tubuh bocah itu seketika melayang.
Dan begitu jatuh ke tanah, dia langsung bangkit
kembali sambil mengusap darah yang mengalir dari
bibirnya. Terasa getir. Dia menyerang kembali.
"Lepaskan Ibu, orang jahat!"
Namun lagi-lagi kaki Kuncoro mengayun. Dan kali
ini bocah itu pingsan seketika merasakan sakit yang luar biasa di dadanya.
Srinti menjerit, "Bayuuuu!" serunya sambil meronta-ronta untuk mendapatkan
putranya. Namun cengkeraman kedua tangan Kuncoro sukar
untuk dilepaskannya. Dia meronta-ronta sambil men-
jerit-jerit sampai tenaganya sendiri lemah.
"Hahaha... mengapa harus menjerit-jerit, Manis...
ya, ya... benar, benar... sebentar lagi kau akan kubuat
menjerit-jerit kenikmatan..." terkekeh Kuncoro sambil menyeret tubuh Srinti ke
balik semak. Srinti masih mencoba meronta dengan sisa-sisa te-
naganya. Namun tenaga yang dimilikinya seperti ter-
kuras, apalagi ketika tangan kanan Kuncoro menotok
tubuhnya hingga terkulai lemah.
"Hahaha... kawan-kawan, ayo kita berpesta untuk menikmati tubuh yang
menggairahkan ini..." kata Kuncoro sambil merebahkan tubuh Srinti di balik
semak. Kedua temannya terbahak.
"Ayo, ayo... kita potong ayam bulat ini bersama-sama..." kata Karto.
"Cepat Kuncoro... aku sudah panas dingin menung-gu bagianku," kata Cakoro.
"Sabar, sabar... kalian semua pun akan menikmatinya," kata Kuncoro sambil
merobek baju bagian dada Srinti yang hanya pasrah tak berdaya. Sepasang matanya
bersorot lemah. Dan terlihat cairan bening mengalir.
Betapa memilukannya nasib wanita ini.
"Hahaha... kalian lihat... betapa montoknya buah dada wanita ini..." kata
Kuncoro. Kedua temannya berebut untuk melihat. Dan kedu-
anya terbahak-bahak.
"Hahaha... ayolah, Kuncoro... cepat kau ganyang wanita itu... kami sudah tidak
sabar menunggu gili-ran..." kata Cakoro sambil menelan ludahnya.
"Cepat, Kuncoro!" sambung Karto.
"Sabar, sabar...."
"Hihihi... rupanya kalian tengah berpesta, ya"! Ta-pi... mengapa wanita itu
nampak tidak mau, hah"!"
terdengar suara bernada cempreng di belakang mere-
ka. Serentak ketiganya menoleh. Dan di hadapan mere-
ka telah berdiri seorang nenek bongkok dengan pa-
kaian yang bagus.
Pakaian itu berwarna ungu. Dan terbuat dari sutra.
Rambut nenek itu disanggul. Dengan dua buah tusuk
konde yang terbuat dari emas.
Ketika nenek itu menyeringai, terlihat lapisan gi-
ginya yang terbuat dari emas pula.
Dia berkesan genit, namun wajah nenek itu seperti
layaknya seorang nenek. Keriput.
Ketiga orang itu segera melompat mendekat. Mereka
seakan melupakan mangsa mereka yang sudah tak
berdaya. Kuncoro yang merasa kesenangannya diganggu
orang lain membentak, "Siapa kau, Nenek jelek"!"
"Hihihi... apakah kau tidak berkaca sehingga kau mengatakan aku jelek?" balas
nenek itu sambil terkikik geli.
Wajah Kuncoro merah padam. Legam.
"Katakan siapa kau adanya"!"
"Hihihi... bukankah saat ini aku sedang berhadapan dengan komplotan perampok
biadab yang menamakan
diri Tiga Tombak Setan?"
Mengetahui nenek ini tahu siapa mereka adanya,
ketiganya terbahak-bahak.
"Nah... mengapa kau tidak langsung bersujud di hadapan kami, hah"!" membentak
Cakoro. "Hihihi... apakah kau tidak salah" Seharusnya kalian yang langsung bersujud di
depanku sebelum nya-
wa kalian kucabut!"
"Nenek peot!" membentak Karto. "Siapa kau sebenarnya"!"
"Hihihi... kalian kayaknya begitu penasaran untuk mengetahui namaku. Baiklah...
tentang namaku, aku
sendiri sudah lupa siapa namaku. Tetapi orang-orang rimba persilatan menjulukiku
Nenek Berbaju Sutra!"
Wajah ketiga orang itu nampak sedikit pucat men-
dengar nenek itu menyebutkan julukannya. Mereka
sudah seringkali mendengar sepak terjang Nenek Ber-
baju Sutra. Yang amat kejam dan tak pernah mele-
paskan lawannya bila belum mampus.
Namun Tiga Tombak Setan tidak takut mendengar-
nya. Malah mereka bermaksud untuk menjajal kesak-
tian yang dimiliki Nenek Berbaju Sutra.
"Hhhh! Rupanya hari ini kami sedang berhadapan dengan Nenek Berbaju Sutra?" kata
Kuncoro. "Benar, Orang jelek. Nah... mengapa kalian tidak langsung bersujud di depanku?"
Nenek Berbaju Sutra menyeringai, menampakkan deretan giginya yang rata
terbuat dari emas.
"Siapa sudi bersujud di depanmu, Nenek peot!" ma-ki Kuncoro.
"Malah kami yang akan membuatmu terpaksa ber-
sujud di depan kami!" sambung Karto.
"Masa iya?"
"Nenek peot! Banyak omong pula kau! Kau tidak
menyadari dengan siapa sedang berhadapan?"
"Hihihi... tadi sudah kukatakan siapa kalian. Kalian tak ubahnya seperti
perampok-perampok hina dina
yang hanya bisa merampok orang-orang tak berdaya!
Hihihi... apa kalian sudah berganti nama sehingga kau masih menanyakan pula?"
terkikik Nenek Berbaju Sutra. "Bagus, bagus... kalau begitu biar aku yang
memberi nama pada kalian. Hm... apa ya" O iya... hihihi Ti-ga Manusia Berwajah
Jelek! Ya, ya... itu pantas untuk kalian! Hihihi... Tiga Manusia Berwajah
Jelek... hihihi!"
Wajah Tiga Tombak Setan memerah mendengar eje-
kan itu. Kemarahan pun membakar di dada. Tadi saja
mereka sudah jengkel karena kesenangan mereka ter-
ganggu. Dan sekarang mereka malah diejek dengan ju-
lukan yang jelek itu.
Ketiganya pun segera melompat mengurung Nenek
Berbaju Sutra dengan tiga buah tombak yang terhu-
nus, siap untuk menghunjam di tubuh Nenek Berbaju
Sutra. "Mampuslah kau, Nenek peot!" geram Kuncoro dan langsung menyerang dengan satu
tusukan tombak lurus ke dada Nenek Berbaju Sutra!
*** 5 Nenek Berbaju Sutra hanya terkikik. Masih terkikik
pula dia memiringkan tubuhnya ke kiri. Tusukan tom-
bak itu lewat beberapa senti dari tubuhnya.
"Wuuuut!"
Dan telapak tangan Nenek Berbaju Sutra bergerak
dengan cepat. Saat tombak itu melewati tubuhnya, telapak tangan kanan Nenek
Berbaju Sutra menepiskan
tombak itu. Lalu menyusul tangan kirinya, menggedor dada Kuncoro.
Kuncoro terkejut karena serangannya berhasil den-
gan mudah dielakkan dan dia sendiri terkena hanta-
man. Sepertinya ayunan telapak tangan Nenek Berbaju
Sutra begitu ringan dan tak bertenaga, namun yang dirasakan Kuncoro lain yang
diduga. Dia merasa da-
danya bagai dihantam oleh sebuah godam yang cukup
besar. Dan itu membuatnya terhuyung beberapa tindak.
Melihat temannya terkena hantaman dari Nenek
Berbaju Sutra, Karto dan Cakoro segera menyerbu
dengan tombak di tangan.
Kali ini Nenek Berbaju Sutra bersalto ke belakang,
karena tusukan kedua tombak itu datang begitu cepat.
Lalu kedua tombak itu pun bergerak susul menyusul.
Cepat. Hebat. Dan berbahaya. Nenek Berbaju Sutra sendiri mengeluarkan ilmu pe-
ringan tubuhnya untuk menghindari setiap serangan
yang datang. "Hihihi... keluarkan semua kemampuan kalian!" serunya sambil mengelak ke sana ke
mari. Kedua penyerangnya menjadi geram karena tak sa-
tu serangan pun yang mengenai sasaran. Kuncoro
sendiri yang telah memulihkan dadanya sejenak, langsung turun membantu setelah
dirasakannya dadanya
sudah tidak begitu sakit.
Kini tiga buah tombak itu bergerak dengan cepat
seolah mempunyai mata. Ke mana tubuh Nenek Berba-
ju Sutra menghindar, ke sana pula tombak-tombak itu menyambar.
Namun suatu ketika, tubuh Nenek Berbaju Sutra
melenting ke atas. Dan tangan Kuncoro dapat menge-
jar dengan melempar tombaknya ke arah tubuh Nenek
Berbaju Sutra. "Wuuuttt!"
Tombak itu meluncur dengan deras ke arah Nenek
Berbaju Sutra yang masih berada di udara. Namun
suatu pertunjukkan ilmu meringankan tubuh yang
hebat diperlihatkan oleh Nenek Berbaju Sutra.
Masih berada di udara, dia bergulingan. Dan tom-
bak itu pun meluncur dengan deras. Namun satu ke-
hebatan lagi diperlihatkan, kala tombak itu meluncur di bawah tubuhnya, Nenek
Berbaju Sutra menjejakkan
kedua kakinya di atas batang tombak yang masih me-
layang. Dia berdiri di atas tombak itu.
"Hihihi... kini mampuslah kau, Kuncoro!" terkikik
Nenek Berbaju Sutra sambil membalikkan arah tom-
bak itu. Lalu dengan satu dorongan tenaga dalamnya, masih berdiri di atas tombak
itu, Nenek Berbaju Sutra meluncur bersama tombak itu ke arah Kuncoro.
Kuncoro terkejut.
Tidak menyangka hal itu bisa terjadi.
Dia mencoba menghindar, namun tombak itu telah
meluncur dengan deras, ke arahnya! Sementara Nenek
Berbaju Sutra sendiri telah bersalto dari atas tombak itu. Terdengar pekikan
keras membelah langit.
"Aaaaaaakkkhhhh!"
Tubuhnya pun tertancap tombak miliknya sendiri.
Dan tubuh itu terhuyung beberapa tombak karena
tombak itu meluncur dengan tenaga dalam penuh
yang dialirkan Nenek Berbaju Sutra.
Lalu tubuh itu pun ambruk bersimbah darah. Tom-
bak telah menancap di dadanya. Sepasang mata Kun-
coro membeliak karena menahan rasa sakit dan ama-
rah yang sangat dalam.
Kedua temannya terkejut melihat kenyataan itu.
Berlari mereka mendapatkan tubuh Kuncoro yang te-
lah menjadi mayat!
"Kuncoro!" seru keduanya berbarengan.
"Hihihi..." terkikik Nenek Berbaju Sutra yang memperhatikan. Dia geli sekali.
"Hihihi... kalian bodoh, ma-na mungkin mayat itu akan menjawab. Hei, lihat dia
sepertinya mau menjawab! Hihihi... iya, Karto dan Cakoro... aku telah mati...
Hihihi... nenek itu begitu hebat, kalian kuminta untuk bersujud dan mencium te-
lapak kakinya... hihihi... penuhilah permintaanku ini...
ayo kalian cium telapak kaki nenek itu... hihihi..." Nenek Berbaju Sutra
terkikik geli. Wajah Karto dan Cakoro memerah legam menahan
marah karena dipermainkan oleh Nenek Berbaju Su-
tra. Serentak keduanya berdiri. Dua pasang mata itu menatap nyalang penuh nafsu
membunuh dan membalas dendam pada Nenek Berbaju Sutra.
Nenek Berbaju Sutra terkikik lagi, seolah tak mem-
perdulikan tatapan yang marah itu.
"Karto dan Cakoro... mengapa kalian tidak mengikuti dan memenuhi permintaanku...
aku teman kalian, cepat bersujudlah pada nenek itu... dia begitu sakti, Karto
dan Cakoro... kalian tak akan mampu untuk me-lawannya... ayo cepat ciumlah
telapak kaki nenek itu...
Hihihi...."
"Nenek peot! Kami akan mengadu jiwa denganmu!"
maki Karto sambil maju menyerbu dengan tombaknya.
Begitu pula dengan Cakoro. Dia pun langsung me-
nyerbu. Kata-kata Nenek Berbaju Sutra yang mem-
permainkannya begitu membuatnya marah dan geram.
Dia pun menghunuskan tombaknya.
"Hihihi... mengapa kalian tidak mengikuti permintaan teman kalian itu" Hihihi...
kalian mau mampus
rupanya!" "Jangan banyak bacot, Nenek peot! Ayo, hadapi ka-mi!" maki Karto sambil
menggerakkan tombaknya ke arah perut Nenek Berbaju Sutra.
"Wuuuut!"
Angin sambaran yang ditimbulkan tombak itu begi-
tu dingin. Bertanda Karto sudah mengeluarkan per-
mainan tombaknya yang hebat.


Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu pula dengan Cakoro. Keduanya sudah men-
geluarkan jurus simpanan mereka.
Tetapi Nenek Berbaju Sutra dengan mudahnya
menghindari serangan keduanya. Namun pada gebra-
kan kedua, membuat dia harus tunggang langgang
menghindar. "Bagus! Rupanya kalian masih punya ilmu simpa-
nan, hah"!"
"Dan bersiaplah untuk mampus, Nenek peot!" geram Cakoro murka.
"Hihihi... tidak mudah kayaknya! Hihihi... kalian belum mengenal siapa aku kalau
begitu!" sahut Nenek Berbaju Sutra. Dan dalam satu kesempatan dia berhasil
meloloskan diri dari serangan kedua tombak itu. La-lu, dia pun maju menyerang
dengan telapak tangan
yang terbuka. Itulah jurus Telapak Mengundang Maut
yang dimiliki Nenek Berbaju Sutra.
Kali ini keduanya yang kewalahan menghadapi ge-
rakan-gerakan yang dilakukan Nenek Berbaju Sutra.
Cepat dan hebat.
Namun keduanya berusaha untuk menangkis dan
membalas. Tetapi semua itu terasa sia-sia belaka, karena gebrakan yang dilakukan
Nenek Berbaju Sutra
begitu cepat. Mendadak dia berguling ke arah Cakoro yang men-
jadi terkejut. Buru-buru Cakoro mengempos tubuhnya
ke atas. Namun sungguh di luar dugaan, mendadak
saja tubuh Nenek Berbaju Sutra yang bergulingan itu mengempos pula ke atas.
Telapak tangan kanannya bergerak lebih dulu, me-
nyusul tubuh Cakoro.
Dan tanpa ampun lagi tubuh Cakoro terkena tela-
pak tangan yang mengandung tenaga dalam.
Tubuh itu terhempas sebelumnya terpental ke bela-
kang beberapa tindak. Dan tubuh itu pun tak pernah
bangun lagi, karena jantungnya seketika copot!
Nenek Berbaju Sutra bersalto dan berdiri berhada-
pan dengan Karto yang nampak pias ketakutan. Na-
mun dia bukanlah laki-laki pengecut. Apalagi melihat kedua temannya mati di
depan matanya. Ini membuatnya berang.
"Kau harus membayar kedua nyawa temanku, Ne-
nek jelek!"
"Hihihi... kau masih nekat pula, Karto... bukankah lebih baik kau bersujud saja
di hadapanku, hah"!" terkikik Nenek Berbaju Sutra. "Jangan sangka aku kejam dan
telengas menurunkan tangan! Aku masih berbaik
hati bila kau sudah mencium telapak kakiku, hah"!"
"Rasanya tak mungkin aku melakukan hal itu, Nenek peot!"
"Mengapa tidak" Nah, cepat lakukan sebelum aku telengas menurunkan maut pada
kau!" "Hhh... aku akan mengadu jiwa denganmu, Nenek
peot!" "Hihihi... Karto, kau begitu keras kepala! Baik bila itu yang kau inginkan! Nah,
majulah! Tapi... hihihi...
baik, kau akan kusiksa dulu sebelum kubunuh! Ayo,
maju!" Karto menggeram marah.
Dia memutar tombaknya di atas kepalanya. Tombak
itu berputar bagai baling-baling belaka. Deru yang di-timbulkannya begitu
mendesing seperti angin keras.
Menebarkan hawa maut.
Dan siap mengundang nyawa untuk mati!
Lalu diiringi satu pekikan yang keras, Karto pun
menyerbu dengan hebat. Tombaknya yang berubah se-
perti baling-baling tiba-tiba bergerak menghunus ke depan, tepat mengarah pada
dada Nenek Berbaju Sutra! Nenek Berbaju Sutra sendiri terkejut.
Kali ini dia menyadari serangan Karto begitu berba-
haya. Sebisanya dia menghindar. Namun mendadak
kembali tombak itu berputar bagaikan baling-baling.
"Mampuslah kau, Nenek Peot!"
Tombak itu terus mencerca tubuh Nenek Berbaju
Sutra dengan hebat. Dan kembali sekali-sekali tombak itu terhunus mengancam
nyawanya. Bila Nenek itu mempunyai kesempatan untuk me-
nyerang, mendadak saja tombak yang berubah baling-
baling itu berputar di depan tubuh Karto, menjadi ta-meng dan membuat Nenek
Berbaju Sutra menarik
kembali serangannya.
"Gila!" makinya
"Dan kau akan dibuat gila benaran setelah terkena ujung tombak ini!" seru Karto
sambil menyerang terus.
Karena merasa Nenek Berbaju Sutra sukar untuk me-
nembus pertahanan dan serangan tombaknya, kembali
dia mengeluarkan jurus Tombak Berputar. Dan me-
nyerang terus. Nenek Berbaju Sutra sendiri memang sukar untuk
mendekati tubuh Karto yang seperti dilindungi oleh
putaran tombak itu.
Namun dia terus mencoba memasuki pusaran tom-
bak itu. Tetapi memang sukar sekali untuk bisa me-
nembus. Dia pun berulang kali menghindari serangan itu.
"Hahaha... mau ke mana kau, Nenek peot! Kau tak akan bisa lari dari tanganku!
Hahaha... terimalah ke-matianmu ini..." seru Karto sambil terus mencecar.
Sebisanya Nenek Berbaju Sutra untuk menghindari
serangan itu. Sementara itu. Srinti yang sejak tadi memperhati-
kan pertarungan itu berdoa banyak-banyak untuk ke-
menangan Nenek Berbaju Sutra itu. Dia memang tidak
mengenal siapa adanya nenek itu, tetapi melihat nenek itu seperti membelanya,
membuatnya berpihak pada
nenek itu. Dan hati-hati dia membopong putranya
yang masih pingsan.
Kembali dia memperhatikan pertarungan yang sen-
git, hebat dan berbahaya itu. Kembali dia berdoa untuk kemenangan Nenek Berbaju
Sutra itu. Dan satu
pikiran telah ada di benaknya.
Kini dia tak perlu lagi mencari guru silat untuk pu-
tranya guna membalas dendam pada Gerombolan Ma-
laikat Pencabut Nyawa. Bukankah dia bisa memohon
pada nenek itu untuk mengangkat dan mengajari pu-
tranya sebagai murid" Ya, dia akan berusaha untuk
memintanya. Makin banyaklah doa yang keluar dari mulut pe-
rempuan yang tengah mendendam itu.
Sementara itu, Nenek Berbaju Sutra terus mencoba
untuk menghindari setiap serangan dari Karto. Namun sampai sejauh ini dia belum
berhasil sekali pun membalas, karena pertahanan Karto begitu rapat.
"Hahaha... kau tak akan bisa meloloskan diri dari tanganku, Nenek peot!" seru
Karto yang merasa sudah berada di atas angin.
"Jangan bermimpi, Karto!" seru Nenek Berbaju Sutra sambil menghindari serangan
tombak di tangan
Karto yang begitu dahsyat.
"Apanya yang bermimpi, hah" Kau yang rupanya
tengah bermimpi untuk bisa meloloskan diri! Hahaha...
bermimpilah di siang bolong, Nenek peot!"
Memang sulit bagi Nenek Berbaju Sutra untuk me-
loloskan diri. Putaran tombak itu begitu dahsyat. Namun dalam satu kesempatan,
dia berhasil mengempos
tubuhnya dan hinggap di sebatang ranting. Bukan ca-
bang, tetapi ranting!
Itu menunjukkan tenaga dalam yang dimiliki dan
ilmu peringan tubuh nenek itu begitu sempurna.
"Turun kau, Nenek peot!" maki Karto.
"Hahaha... rupanya kelemahan jurusmu itu bila dilawan dengan bersalto. Baik,
Karto! Kita akan mencoba lagi!" seru Nenek Berbaju Sutra sambil meluncur turun,
dengan satu jotosan lurus ke dada Karto.
Namun dia harus lagi menarik tangannya karena
tombak itu siap mengancamnya. Dan dia pun mencoba
untuk bersalto sambil menyerang.
Berulang kali. Benar dugaan Nenek Berbaju Sutra itu, kelemahan
putaran tombak yang dimiliki oleh Karto harus dilawan sambil bersalto.
Karena berkali-kali Karto menjadi kelimpungan.
Dan Nenek Berbaju Sutra semakin mempercepat
saltonya hingga suatu saat dirinya lolos dari putaran tombak itu.
Lalu telapak tangan kanannya pun terbuka dan
menghantam bagian punggung dari Karto.
"Des!"
Tubuh itu tersuruk ke depan. Belum lagi Karto
menguasai keseimbangannya, serangan dari Nenek
Berbaju Sutra menderu kembali.
"Des!"
Kali ini dia bukan hanya tersuruk, tetapi ambruk.
Wajahnya mencium tanah.
"Hihihi... tak ada gunanya kau menjual lagak di depanku, Karto!"
Karto bangkit perlahan-lahan. Dia merasa sakit di
bagian punggung tubuhnya.
Matanya nyalang.
Menebar nafsu membunuh.
Wajahnya belepotan tanah.
"Hihihi... kau berkacalah, Karto... pasti kau akan melihat setan!" terkikik
Nenek Berbaju Sutra.
"Anjing buduk! Mampuslah kau!" seru Karto sambil menderu menyerbu dengan
tombaknya. Namun kali ini, Nenek Berbaju Sutra yang sudah
menemukan kelemahan ilmu tombak Karto dengan
mudahnya menghindari serangan itu. Dia bersalto, dan saat berada di atas, tangan
kanannya terbuka dan
menghantam kepala Karto.
Terdengar bunyi berderak keras, disusul dengan je-
rit kesakitan. Lalu tubuh itu pun ambruk dengan kepala pecah!
Nenek Berbaju Sutra telah hinggap kembali di ta-
nah. Dia meludahi mayat Karto.
"Ciiih! Berlagak di depanku!" makinya
Nenek Berbaju Sutra melihat satu sosok tubuh ke-
luar dari balik semak sambil membopong seorang bo-
cah. Sosok tubuh yang tak lain Srinti itu langsung
menjatuhkan diri di hadapan Nenek Berbaju Sutra.
Srinti membungkuk.
"Saya menghaturkan banyak terima kasih atas per-tolongan Nenek...."
Nenek Berbaju Sutra terdiam. Mengulurkan tan-
gannya memegang kedua bahu Srinti.
"Bangunlah, Anakku... bahaya telah lewat. Dan kau bisa meneruskan perjalanan
kembali tanpa ada halangan atau pun rintangan...."
"Maafkan saya, Nenek... saya tidak akan mene-
ruskan perjalanan ini lagi...."
"Hei... bukankah kau sepertinya tengah menuju sa-tu tujuan?" tanya Nenek Berbaju
Sutra heran. "Benar, Nek. Tujuanku adalah desa Kali Anget..."
sahut Srinti. "Hmm... desa yang cukup jauh dari sini."
"Benar, Nek."
"Lalu mau apa kau ke sana?"
"Sebenarnya... aku tidak tahu mau ke mana, tapi...
aku tengah mencari seorang guru silat untuk menga-
jarkan ilmunya pada anakku..." sahut Srinti sambil mengangkat kepalanya,
memandang Nenek Berbaju
Sutra. Nenek Berbaju Sutra dapat melihat kalau sorot ma-
ta itu sarat dengan duka. Dan kalau tak salah tang-
kap, dia melihat ada kilatan dendam di sepasang mata yang nampak lelah itu.
Dalam hati Nenek Berbaju Sutra bertanya, ada apa
gerangan dengan wanita ini"
"Anakku... untuk apa sebenarnya kau mencari guru silat dan menginginkan putramu
memiliki ilmu silat
darinya?" tanya Nenek Berbaju Sutra.
Lalu sambil tersendat, Srinti pun bercerita tentang apa yang telah dialaminya.
Dan maksud apa dia menginginkan putranya pandai silat.
"Nek... maukah kau mengajarkan putraku ilmu
yang kau miliki?" desisnya penuh harap.
Nenek Berbaju Sutra mendesah. Kepedihan wanita
ini dapat dia rasakan. Dia pun pernah mendengar
akan sepak terjang dari Gerombolan Malaikat Penca-
but Nyawa, namun sampai saat ini belum sekali pun
dia berjumpa dengan mereka.
"Anakku... bila itu yang kau inginkan, baiklah... aku akan mengajarkan semua
ilmu silat pada anakmu...
selama lima tahun, aku yakin semua ilmu yang kumi-
liki akan terwaris oleh anakmu. Kulihat... tulang-
tulang anakmu begitu kukuh."
"Oh, terima kasih, Nenek..." desah Srinti gembira.
Dia menyembah berulang kali.
"Bangunlah, anakku... bila kau benar yakin anak-mu dapat membalaskan sakit
hatimu, ada baiknya se-
telah mendapat pelajaran dariku, anakmu akan kuba-
wa pada seorang manusia dewa yang bernama Madewa
Gumilang dan berjuluk Pendekar Bayangan Sukma...."
"Semua yang Nenek berikan, akan saya terima...."
"Bagus, kalau begitu... sekarang juga kita berangkat ke tempat kediamanku, di
Gunung Dieng...."
Lalu Srinti membopong kembali putranya yang ma-
sih pingsan. Dan mengikuti langkah nenek bongkok
itu. *** 6 Lereng Gunung Dieng pagi hari.
Suasana di sekitar gunung itu cerah dan damai.
Bunga-bunga bermekaran menyambut pagi. Burung-
burung berterbangan, berkicau kian ke mari. Suasana cerah. Langit begitu bersih.
Di sebelah Timur gunung itu terlihat sebuah pemandangan perbukitan yang indah
dan permai. Begitu pula dengan di sebelah Barat.
Alam begitu berseri.
Di puncak Gunung Dieng, kabut tebal menutupi
bagian puncaknya. Gunung itu berdiri dengan ang-
kuhnya, bagaikan raksasa yang sedang tidur.
Banyak menyimpan misteri.
Di salah satu bagian dari lereng itu, terdengar suara membentak-bentak keras.
Disusul dengan suara yang
berseru, "Bagus, Bayu! Coba mainkan lagi jurus Menebar Jala Sutra!"
Dan kembali terdengar bentakan-bentakan keras.
Bila diperhatikan lebih dekat, nampaknya seorang pemuda gagah bertelanjang dada


Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang memainkan ge-
rakan ilmu silat.
Tak jauh darinya berdiri sosok tubuh bongkok ber-
pakaian terbuat dari sutra.
Mereka tak lain adalah Bayu Menggolo, putra men-
diang Ki Lurah Jalu Prakoso. Dan nenek bongkok yang memperhatikan pemuda itu
berlatih, tak lain Nenek
Berbaju Sutra. Setelah diangkat menjadi murid oleh Nenek Berbaju
Sutra, kini perubahan jelas terlihat pada pemuda itu.
Kini tubuhnya tegap dan gagah. Dan tak terasa sudah genap lima tahun Bayu
Menggolo berguru pada Nenek
Berbaju Sutra. Hampir setiap malam Bayu Menggolo mendengar
cerita dari ibunya tentang kematian ayahnya yang tewas dibunuh Murko Wiroko
ketua dari Gerombolan
Malaikat Penyebar Maut. Hal itulah yang membuat
Bayu Menggolo semakin giat berlatih.
Dia bertekad untuk membalas sakit hati ibunya dan
membunuh Murko Wiroko. Nenek Berbaju Sutra sendi-
ri kagum melihat kesungguhan dari Bayu Menggolo
berlatih. Dia pun menurunkan semua kepandaiannya
kepada Bayu Menggolo.
"Bagus, Bayu! Kau telah begitu sempurna memainkan semua jurus yang kuberikan!"
"Terima kasih, Nenek!" kata pemuda itu yang kini berusia 17 tahun. Lalu dia
mengambil nafas dan
menghembuskannya. Setelah itu berdiri tegap.
"Ke marilah, Bayu..." panggil Nenek Berbaju Sutra sambil duduk di sebuah batu
besar. Bayu Menggolo mendekat dan duduk di hadapan
Gelang Kemala 4 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Badai Awan Angin 7
^