Pencarian

Sumpah Jago Jago Bayaran 1

Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran Bagian 1


SUMPAH JAGO-JAGO BAYARAN
Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Gambar oleh: Jesco Setting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode: Sumpah Jago-Jago Bayaran
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Malam telah larut. Suasana hutan jati itu
sungguh amat menyeramkan. Bulan yang tengah
bersinar, tak sampai menyinari tanah di sekeliling hutan jati yang luas itu.
Sinarnya hanya bisa menyinari pucuk-pucuk pohon jati saja.
Suara binatang malam terdengar ramai. Dan di
kejauhan terdengar srigala yang menakutkan.
Dan suasana yang senyap dan menyeramkan itu
tiba-tiba diganti oleh derap langkah kuda yang cepat. Debu-debu pun
berterbangan. Nampak sebuah kereta kuda tengah melarikan diri dengan
kencang. Saisnya begitu tegang dan tergesa-gesa mengendalikan kekang kudanya.
Cambuknya berkali-kali dia lontarkan kepada empat ekor ku-da yang saling berhubungan untuk
berlari dengan cepat.
"Hiyaaa! Hiyaaa!"
Di dalam kereta kuda nampak tiga sosok tubuh
sedang meringkuk dengan ketakutan. Sosok tu-
buh itu adalah Bupati Seda Arya dan istrinya Ro-ro Santika yang sedang mendekap
putra mereka Barong Seta. Bocah itu baru berusia tujuh tahun. Dan wa-
jahnya begitu pucat sekali. Sebenarnya wajah pucat itu tidak seperti apa yang
tengah merisaukan hati kedua orang-tuanya hingga wajah mereka itu pucat pula.
Wajah pucat Barong Seta dikarenakan dia su-
dah terlalu letih dan lapar. Karena sudah dua ha-
ri dua malam kereta kuda itu terus berlari tanpa berhenti sejenak pun.
Sedangkan yang menyebabkan wajah pucat
Seda Arya dan istrinya, disebabkan saat ini mereka tengah dikejar oleh empat
orang laki-laki berwajah ganas.
Sebenarnya Seda Arya tidak mengenal para
pengejarnya itu.
Namun empat hari yang lalu, tiba-tiba saja de-
sanya didatangi oleh orang-orang itu. Dan tanpa mengenal ampun mendadak saja
orang-orang itu
menyerang, membakar dan membunuh seisi de-
sanya. Sudah tentu Seda Arya tidak menerima semua
perlakukan itu. Dia pun mulai memimpin anak
buahnya ketika keesokan harinya orang-orang itu datang kembali.
Namun semua perlawanannya sia-sia belaka.
Akhirnya dia pun nekat untuk melarikan diri bersama keluarganya.
Sampai saat ini Seda Arya belum mengetahui
maksud apa dari orang-orang itu. Mereka hanya
menurunkan tangan telengas tanpa banyak bica-
ra. Meskipun dia tidak tahu maksud dari orang-
orang itu membuat onar, tetapi Seda Arya tidak mau kalau keluarganya ikut
terbantai. Makanya
dia pun melarikan diri.
Kini wajah laki-laki setengah baya itu menjadi tegang. Karena orang-orang itu
terus mengejar mereka. Diliriknya istrinya yang nampak begitu letih
mendekap putra mereka. Ah, ada perasaan bersa-
lah di hati Seda Arya melihat keadaan ini. Namun dia pun tidak tahu mengapa
peristiwa yang mengerikan itu bisa terjadi.
Dilihatnya kalau sepasang mata istrinya yang
begitu letih dan bersinar redup menatapnya.
Kembali perasaan bersalah di hati Seda Arya
semakin menjadi-jadi.
"Kakang..."
"Ya, Rayi?" Seda Arya menelan ludahnya. Suara itu begitu lemah dan tak
bergairah. "Sampai kapan semua ini akan berakhir..."
Seda Arya mendesah.
"Aku tidak tahu, Rayi..."
"Mengapa orang-orang ganas itu menyerang ki-ta, Kakang" Kenapa?"
"Entahlah Rayi... Aku sendiri pun tidak tahu.
Mereka adalah orang-orang yang ganas dan ke-
jam. Belum lagi perempuan yang mengenakan ca-
dar merah itu. Dia begitu telengas menurunkan
tangan." "Tetapi mengapa mereka menyerang kita, Kakang?" tanya Roro Santika yang masih
belum juga mengerti mengapa tiba-tiba saja musibah ini datang melanda mereka.
Dan dia tak pernah tahu
mengapa dan sebab apa orang-orang ganas itu
menurunkan tangan kejam mereka.
Kembali Seda Arya mendesah.
"Aku tidak tahu, Rayi... Demi nama agung Gusti Allah, aku sama sekali tidak
tahu..." sahutnya
dengan suara yang lebih meyakinkan.
Seda Arya dapat menyadari kalau istrinya tidak menerima kenyataan yang sedang
terjadi ini. Dan baginya ini merupakan sebuah kesalahan. Namun
dia sendiri tidak tahu kesalahan apa. Karena dia tidak tahu maksud apa orang-
orang itu hendak
membunuh mereka.
"Kakang..." didengarnya lagi suara istrinya yang seperti desahan belaka.
"Ya, Rayi..."
"Apakah kau tidak memikirkan nasib putra ki-ta, Barong Seta" Dia seharusnya
dapat menikmati masa kanak-kanaknya dengan bahagia, Kakang...
Bukan seperti hal yang tengah kita alami ini. Dia diharuskan menghadapi satu
persoalan yang amat mengerikan. Yang kita tidak tahu apa yang sedang terjadi sesungguhnya.
Kakang... aku kuatir, nasib kita tak beda dengan para penduduk
yang lain yang telah menemui ajal karena dibantai orang-orang itu..."
Seda Arya kembali mendesah.
Dia pun sebenarnya tak ingin semua ini terjadi.
Namun kejadian ini memang ternyata telah terja-di. Dan ini merupakan suatu
kenyataan yang amat pahit. Yang amat menakutkannya.
Dia pun tak mau bila putra mereka tak pernah
sempat merasakan kehidupan dan dunia anak-
anak yang menggembirakan. Tetapi apa yang ha-
rus dilakukannya sekarang"
Disingkapnya tirai jendela. Dan pandangannya
diedarkannya pada sekelilingnya sementara kere-
ta kuda ini berlari dengan cepat. Sekelilingnya gelap. Sama gelapnya dengan
sebab apa orang-
orang menyerang mereka.
Sekelilingnya menyeramkan. Sama menyeram-
kannya dengan apa yang dibayangkan bila mere-
ka dapat ditangkap oleh para pengejar itu.
Lalu dibukanya tirai depan kereta kuda itu.
Dia melihat Moro, sais kudanya yang telah
hampir sepuluh tahun mengabdi padanya dan
begitu setia menjalankan tugasnya, masih terus memacu lari kereta kuda itu.
Seda Arya memang tak meragukan lagi akan
kesetiaan Moro. Laki-laki yang usianya kira-kira sama dengannya. Mungkin hanya
nasiblah yang membuat keadaan mereka berbeda.
"Moro..."
"Ya, Tuan!" sahut Moro sambil terus melarikan kereta kuda itu dengan segala
kecekatannya dalam mengendalikan dan mengendarai kereta kuda
itu. "Apakah kau letih?"
"Tidak, Tuan!"
Seda Arya mendesah. Dia dapat merasakan ke-
letihannya. Dan dia pun dapat merasakan keletihan Moro yang dua hari dua malam
mengendali- kan kereta kuda itu.
Namun mendengar jawaban dari saisnya yang
setia, membuatnya menjadi pilu dan terharu.
Saisnya itu seolah tidak mau diketahui olehnya kalau dia tentunya teramat lelah.
"Apakah desa yang kita tuju masih jauh?"
"Masih jauh, Tuan! Sehari lagi kita baru tiba di sana."
"Sehari lagi?" desah Seda Arya dalam hati. Itu berarti masih memberikan
kesempatan yang cukup banyak untuk orang-orang itu mendapati
mereka. Dan ini membuat hati Seda Arya semakin tidak
tenang. Lalu tanyanya lagi pada Moro, "Kau masih sanggup mengendarai kereta kuda ini,
Moro?" "Masih, Tuan."
"Biar aku gantikan saja dulu! Kau beristirahat!"
kata Seda Arya sembari hendak keluar ke depan.
Tetapi Moro berkata, "Lebih baik Tuan berada di dalam. Biarkan saya saja yang
mengendalikan semua ini. Saya berharap, semua ini akan berlangsung dengan wajar
dan baik. Tanpa ada ha-
langan sedikit pun!"
Mendengar kata-kata Moro itu, Seda Arya
urung untuk ke depan. Dia kembali lagi pada
tempatnya. Kereta kuda itu terus berlari dengan kencang.
Berkali-kali hampir terbalik karena terantuk batu atau pun dahan kayu yang
kering tergeletak di
tanah. Namun semua itu dapat teratasi berkat keceka-
tan Moro mengendalikan dan mengendarai kereta
kuda itu. Biar pun begitu, hatinya sebenarnya tak kalah
tegang dengan hati tuannya. Moro berusaha un-
tuk menyembunyikan ketegangannya.
Padahal tubuhnya sudah letih sekali.
Kedua tangannya sepertinya sudah sukar un-
tuk digerakkan. Namun dia tak mau menampak-
kan semua itu pada majikannya. Dia adalah seo-
rang abdi yang amat setia.
Bahkan Moro pun rela bila dia harus mengor-
bankan nyawanya untuk menyelamatkan nyawa
tuannya. Moro masih terus melarikan kudanya dengan
kencang. Dan dia tak perduli lagi dengan segala batu atau pun dahan yang kadang
merintangi jalan mereka.
Roro Santika yang tengah mendekap putranya
menatap suaminya. Dia pun dapat melihat dan
membaca ketegangan yang terpancar dari mata
dan wajah suaminya.
Mendadak saja dia menjadi menyesal karena
tadi seperti mendesak dan menyalahi suaminya
hingga semua ini terjadi. Dan itu bukanlah sifat-nya sebenarnya. Dia tak pernah
melakukan hal ini sebelumnya.
"Kakang.." panggilnya.
Seda Arya yang sedang terdiam tergagap. Dan
buru-buru dia menoleh.
"Ya, Rayi..."
"Maafkan saya tadi, Kakang... Saya menyalahi Kakang mengapa semua ini
terjadi..."
Seda Arya tersenyum. "Tidak apa-apa, Rayi...
Aku pun menyesali mengapa semua ini bisa terja-di. Dan ini merupakan sebuah
malapetaka yang
diturunkan oleh gusti Allah kepada kita, Rayi...
Jadi... kuminta, kita harus sabar dan tawakal menghadapi semua cobaan ini..."
Roro Santika tersenyum.
Dan Seda Arya dapat merasakan kesejukan
yang mengaliri seluruh tubuhnya melihat senyum itu. Ah, istrinya pun masih
begitu setia padanya walaupun keadaan sudah amat menyulitkan. Dan
kadang terasa begitu mengerikan.
Karena Seda Arya tahu, bila orang-orang yang
mengejar itu dapat mencapai mereka, mungkin
nyawa sebagai taruhannya.
Dan hati Roro Santika pun menjadi tenang
kembali. Sebagai seorang istri yang amat setia, dia pun kembali merasakan
ketenangan jiwanya.
Dan kini dia tidak menyesali lagi kata-katanya yang seakan mendesak suaminya
tadi. Hati-hati pula dipegangnya tangan suaminya
seraya berkata.
"Kita akan menghadapi semua ini dengan hati tabah dan bersama-sama bukan,
Kakang?" Sedang Arya mengangguk.
"Benar, Rayi. Kita tak akan pernah terpisah walaupun kita dihadapi oleh lautan
api." "Aku akan selalu menemanimu, Kakang. Da-
lam suka mau pun duka," kata Roro Santika setu-lus hati.
Seda Arya tersenyum.
"Kau adalah istriku yang amat setia, Rayi.. Aku amat mencintaimu, Rayi..."
"Begitu pula aku, Kakang..."
Kedua tangan mereka saling genggam lagi.
Lebih erat. Masing-masing seakan mengalirkan rasa kasih
dan cinta melalui kedua tangan masing-masing.
Inilah cinta sejati. Cinta yang tak pernah takut dengan resiko apa pun. Cinta
yang tidak mengan-dalkan nafsu semata. Cinta yang datang dalam
lubuk hati mereka.
Cinta yang tak pernah hanya menginginkan bi-
la sedang ada rasa senang dan bahagia. Namun
bila datang rasa kecewa dan duka, akan hilang
rasa cintanya. Tidak, itu bukan cinta sejati. Itu cinta nafsu semata. Nafsu bisa
bermacam bentuk dan ragamnya.
Bila cinta dilandasi nafsu birahi pun maka cin-ta seperti itu tak akan pernah
abadi. Tiba-tiba keduanya tersentak.
Terdengar ringkikan kuda yang amat keras.


Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan mereka merasakan kalau kereta kuda
agak oleng sedikit.
Dan setelah dirasakan kembali pada keseim-
bangannya, kereta kuda itu telah berhenti.
Seda Arya sigap menyingkap tirai kereta kuda
bagian depan. Dan dia berseru keras, "Moro, apa yang telah terjadi" Mengapa berhenti"!"
Tetapi Seda Arya tak perlu lagi mendengarkan
jawaban Moro. Karena dia sudah melihat dengan
jelas, di depannya telah berdiri lima ekor kuda.
Dan para penunggangnya adalah empat laki-
laki berwajah seram itu. Dan seorang wanita yang mengenakan cadar berwarna
merah! Mereka seperti malaikat pencabut nyawa yang
tengah siap menjalankan tugasnya!
*** 2 Seda Arya tercekat melihat itu. Bagaimana me-
reka telah bisa berada di hadapannya" Pantas sejak tadi dia tidak melihat tanda-
tanda para pengejarnya telah kelihatan. Rupanya mereka memo-
tong jalan untuk mencegat mereka.
Seda Arya kembali masuk ke dalam kereta ku-
da itu. Lalu tergesa-gesa dia berkata pada istrinya,
"Rayi..."
Roro Santika dapat melihat kalau sepasang
mata suaminya telah bicara dan menjelaskan se-
muanya. "Orang-orang itu mencegat kita, Kakang?"
"Benar, Rayi... Kini tak ada jalan lain untuk ki-ta meloloskan diri. Dan aku tak
mau ini pun menimpa kau dengan Barong Seta."
"Apa maksudmu, Kakang?" tanya Roro Santika yang dapat merasakan ada sesuatu di
balik kata-kata suaminya.
Seda Arya mendesah. Kini waktunya menipis
sekali. "Rayi... aku akan menghadapi orang-orang
itu..." "Tetapi, Kakang..."
"Tidak ada tetapi lagi, Rayi. Sekarang kau dengarlah kata-kataku ini. Dan
kuminta jangan membantah. Tak ada jalan lain lagi, Rayi. Nah, kau dengarlah dan kau patuhi
semua kata-kataku ini. Sementara aku menghadapi orang-
orang itu, kau keluar dan larilah melalui pintu belakang kereta kuda ini. Ajak
dan bawa Barong Se-ta berlari. Selamatkan dia, Rayi.. Bila sudah tiba saatnya,
ceritakanlah semua ini padanya. Dan
kuminta, Barong Seta untuk membalaskan semua
dendam yang telah kita alami ini, Rayi..."
"Tapi, Kakang..." potong Roro Santika. Namun sebelum dia berkata suaminya sudah
terlebih du-lu memotong lagi.
"Sudah kubilang tadi, jangan membantah. Ba-wa pergi Barong Seta sekarang, Rayi.
Cepat. Kita tak punya banyak waktu!"
"Kakang... aku tak bisa membiarkanmu sendiri saja disini..."
"Ada Moro yang akan menemaniku. Dan juga
dua bilah pedang ini, Rayi..."
"Aku kuatir akan nasibmu, Kakang..."
"Bila Gusti Allah masih mengizinkan kita bertemu, pasti kita akan bertemu. Nah,
pergilah, Rayi..." "Kakang..." kata Roro Santika yang masih bingung dan kuatir.
"Ingat Rayi... kita tak punya banyak waktu lagi.
Dan siapa yang akan membalaskan semua ini
nanti, bila kau dan Barong Seta juga ikut terbunuh" Mengertilah akan semua
keadaan ini Rayi...
Kita tak punya banyak waktu lagi..." kata Seda Arya meyakinkan. Lalu dia
melepaskan kalung
yang dipakainya. Dan dipakaikan kepada Barong
Seta yang terlelap. Lalu dia mengecup pipi bocah itu. "Bila nanti kau sudah
mengetahui semua ini, bersumpahlah untuk membalaskan dendam hatiku ini,
Anakku..." Lalu dia berpaling lagi pada istrinya. "Nah, pergilah Rayi..."
"Seda Arya! Cepat kau keluar!" terdengar bentakan bernada keras.
Ini membuat Seda Arya semakin tegang karena
istrinya masih belum juga mau menuruti kata-
katanya. "Rayi... pergilah, kita tidak punya banyak waktu lagi! Ayolah, Rayi..."
"Kakang..." desis Roro Santika bagai desahan belaka. "Maafkan aku..."
"Aku yang seharusnya meminta maaf padamu, Rayi... Nah, pergilah.."
Di luar kembali terdengar bentakan yang keras.
"Seda Arya... bila kau tidak keluar dalam hi-tungan ketiga, akan kami bakar
hangus kereta kuda itu..."
"Kau dengar itu, Rayi?" kata Seda Arya pada istrinya. "Ayo. jangan membuang
waktu lagi..."
Lalu dengan hati berat dan pilu, Roro Santika
menggendong putranya. Dibantu oleh suaminya,
dia turun melalui pintu belakang kereta kuda itu dengan hati-hati.
Masih ditatapnya dulu suaminya sebelum dia
melangkahkan kaki untuk melarikan diri.
"Larilah, Rayi... larilah yang jauh...," kata Seda Arya.
Roro Santika terisak.
"Aku cinta padamu, Kakang..."
"Aku pun cinta padamu, Rayi..."
Lalu tubuh wanita yang menggendong anaknya
itu pun berlari.
Terus berlari mencoba menjauhi tempat itu.
Malam begitu pekat sekali.
Sesudah istrinya lenyap dari pandangan, Seda
Arya mengambil dua bilah pedang yang ada di kereta kudanya.
Lalu dia keluar bersamaan bentakan yang ter-
dengar lagi. "Hahaha... rupanya kau masih punya nyali ju-ga, Seda Arya! Nah, membunuh dirilah
kau seka- rang!" seru salah seorang laki-laki yang berwajah seram. Dia mengenakan kalung
tengkorak. Dengan rompi yang berwarna hitam. Di lengannya
ada cap gambar tengkorak pula.
Seda Arya melompat dari kereta kudanya den-
gan gagah. Kini dia berhadapan dengan orang-
orang itu. "Hhh! Orang-orang biadab!" bentak Seda Arya.
Laki-laki yang mengenakan kalung tengkorak
itu kembali terbahak.
"Hahaha... kami memang orang-orang biadab!
Dan orang-orang biadab ini sebentar lagi akan
mencabut nyawamu, Seda Arya!"
"Hhh! Sampai sejauh ini kalian belum mengatakan mengapa kalian mengganggu
ketenangan kami, hah"!"
"Agaknya kau amat begitu penasaran dengan sebab-sebab itu, Seda Arya!"
"Bagaimana tidak" Aku mengenal kalian pun belum! Dan mendadak saja kalian telah
membuat onar dan menurunkan tangan telengas!"
"Bila kau penasaran, baiklah... aku akan mem-beritahukannya padamu, Seda Arya...
Hhh! Per- nah kau mengingat akan satu peristiwa tiga belas tahun yang lalu, di mana kau
menggauli seorang gadis hingga gadis itu hamil lalu kau meninggal-kannya"
Ingatkah kau akan peristiwa itu?"
Seda Arya tercenung.
Dan perlahan-lahan peristiwa tiga belas tahun
yang lalu terbayang lagi. Sebelum dia menjadi
bupati, dia adalah seorang pemuda yang gagah
perkasa. Banyak para gadis yang mencintainya.
Namun tak seorang pun dari gadis-gadis itu yang mendapatkan cintanya atau pun
disambut cintanya.
Dari kesekian gadis yang mencintanya ada seo-
rang gadis yang bernama Mawar. Gadis itu begitu mencintainya. Dan amat
mendambakannya. Namun sayang, Mawar pun harus menerima sakit
hatinya karena Seda Arya tidak menyambut cin-
tanya. Tetapi hal itu bukannya malah menyurutkan
kemauan Mawar. Dia sudah terlanjur mencintai pemuda itu.
Maka pada suatu malam, dia mengundang Seda
Arya ke rumahnya.
Seda Arya yang belum tahu maksud busuk dari
gadis itu, hanya menurut saja. Dan meminum air yang telah dimasukkan obat
perangsang oleh
Mawar. Dan semuanya pun terjadi.
Dalam keadaan birahi yang mendadak saja
timbul, Seda Arya menggauli gadis itu. Setelah dia sadar, barulah dia tahu kalau
dirinya tengah dije-bak oleh Mawar.
Dan dia tak pernah lagi datang ke rumah itu.
Bahkan Seda Arya pun meninggalkan desanya la-
lu mengabdi di tumenggungan. Dari sanalah dia
bisa diangkat sebagai bupati dan mencintai seorang gadis yang bernama Roro
Santika hingga mempunyai seorang putra.
Masalah Mawar dia sudah tidak ambil perduli
lagi. Bahkan dia tidak pernah tahu lagi akan nasib Mawar.
Dan kini setelah tiga belas tahun berlalu, ternyata ada yang datang untuk
membalaskan sakit
hati Mawar. Seda Arya menatap kelima manusia itu.
"Hhhh! Rupanya kalian datang salah alamat padaku! Kalian tahu apa yang telah
terjadi sesungguhnya, bukan" Gadis yang bernama Mawar
itulah yang menjebakku hingga aku terlena. Ka-
rena minuman yang disuguhkannya telah dibu-
buhinya obat perangsang!"
"Tetapi kau tidak bertanggung jawab setelah itu, Hah!"
"Apanya yang harus kupertanggung-jawabkan"
Aku dalam keadaan terpengaruh obat perang-
sang!" "Dan gadis itu terlunta-lunta selama hidupnya!
Putranya meninggal saat berusia satu tahun. Lalu gadis itu pun menjadi setengah
gila. Untunglah aku dan ketiga kawanku ini menemukannya. Dan
dia kami angkat sebagai murid!"
"Oh!" Seda Arya tercekat. Sebagai murid" Kalau begitu, tentunya gadis bernama
Mawar itu masih hidup" Tapi di mana" Di manakah dia"
"Kau terkejut mendengarnya, bukan" Dan kau akan terkejut lagi bila mengetahui
kalau gadis itu ada di dekatmu saat ini!"
Ada di dekatnya" Dada Seda Arya berdebar ke-
ras. Oh, di mana dia" Di mana"
"Di mana gadis itu"!" bentaknya. "Sungguh tidak tahu malu dia, masih mau meminta
pertang- gung-jawabanku padahal dia sendiri yang menje-
bakku!" Orang itu tertawa.
"Hahaha.. sekarang dia sudah tidak sudi lagi menjadi istrimu. Tak pernah lagi.
Kini dia datang untuk mencabut nyawamu!" kata orang itu. Dan tiba-tiba berbalik
pada wanita yang mengenakan pakaian berwarna merah dan bercadar merah.
"Bukankah itu yang kau inginkan sekarang, Mawar?"
Seda Arya tersentak. Mawar" Wanita yang ber-
cadar merah itu Mawar"
Tiba-tiba dia mendengar suara yang dingin dari balik cadar itu, "Seda Arya.. aku
memang datang untuk membalas semua sakit hatiku! Dan aku
datang tidak lagi meminta pertanggung-
jawabanmu! Tetapi meminta nyawamu!"
Seda Arya tercekat. Suara itu... ya, ya... suara Mawar! Tetapi terdengar dingin
dan menebarkan hawa mengerikan.
Namun Seda Arya bukanlah laki-laki penakut.
Apalagi merasa tidak bersalah karena dia yang di-jebak oleh gadis itu.
"Tak kusangka peristiwa lalu yang kau buat sendiri kini malah menjeratmu!
Mawar... sadar-kah kau kalau semua yang kau lakukan itu kare-
na ulahmu sendiri"!"
"Persetan dengan semua yang kau katakan!"
bentak wanita bercadar merah itu yang tak lain Mawar, gadis yang tiga belas
tahun lalu menjebak Seda Arya.
"Lalu apa yang kau inginkan sekarang, hah"!"
"Bodoh! Masih banyak tanya pula kau, Seda Arya! Aku datang sudah tentu ingin
mencabut nyawamu!" bentak Mawar dengan marah. Di balik cadar merahnya terlihat wajah yang
begitu geram dan mendendam pada laki-laki yang menolak cintanya.
Dulu Mawar berpikir, bila dia sudah berhasil
menjerat laki-laki itu dengan jalan menggaulinya maka dia akan bisa
mendapatkannya. Namun
dugaannya salah besar karena laki-laki itu justru menjadi semakin muak padanya.
Namun malam ini, malam yang menjelang pagi,
dia tak perduli lagi akan semua cinta! Yang diin-
ginkannya hanyalah nyawa laki-laki yang telah
membuatnya menjadi terlunta-lunta.
Mawar beruntung karena bertemu dengan em-
pat laki-laki yang kemudian menjadi gurunya.
Meskipun dia harus mau digilir oleh empat laki-laki itu setiap malam.
Seda Arya mendengus.
"Kau bunuh aku pun percuma, Mawar! Karena kau tetap tak akan mendapatkan
cintamu!" "Hhh! Kau salah duga, Seda Arya. Kau yang akan mengemis cintaku! Dan kau akan
mampus di tanganku! Seperti laki-laki goblok yang mencoba menyerang kami itu dengan
pecutnya!"
Seda Arya seketika menengok ke arah yang di-
tunjuk Mawar. Dan dia terkejut melihat sosok tubuh Moro te-
lah menjadi mayat dengan luka yang dalam di bagian dadanya.
"Moro!" serunya dan berlari menghampiri.
Mawar terkikik.
"Hihihi.. nasibmu pun tak akan berbeda dengan laki-laki goblok itu, Seda Arya!"
Tiba-tiba Seda Arya berbalik. Sepasang ma-
tanya menatap marah dan beringas.
"Sungguh kejam kau, Mawar!"
"Dan kau akan melihat lagi kekejamanku nan-ti, Seda Arya! Sebagai pengobat rasa
lukaku yang begitu dalam yang kau buat tiga belas tahun yang lalu!"
"Tetapi itu semua karena perlakuanmu sendiri, Mawar! Kau sendiri yang menjebakku
untuk ber- buat demikian! Kau sendiri yang membubuhkan
obat perangsang di dalam minuman yang kau su-
guhkan padaku!"
"Perduli setan dengan semua ucapanmu itu, Seda Arya! Nah, kini ajal telah siap
untuk men-jemputmu! Maafkan bila aku menurunkan tangan


Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telengas padamu!"
"Hhh! Kau pikir aku takut dengan gertakanmu, Mawar"! Sejengkal pun aku tak akan
mundur da-ri hadapanmu! Sampai kapan pun juga!" seru Se-da Arya dengan suara
gagah dan bersiap dengan
sepasang pedang di tangannya.
"Baik! Aku ingin melihat sampai di mana kebe-naran ucapanmu itu, Seda Arya!"
seru Mawar sambil bersiap pula untuk menyerang.
Terdengar suara laki-laki yang berwajah seram
tadi. "Tolong... jangan terlalu telengas kau menurunkan tangan, Mawar!"
"Kenapa, Guru?" tanya Mawar pada gurunya yang bernama Ki Tunggang Rekso. Dia
bergelar si Tangan Tengkorak.
"Hahaha.. rupanya muridku telah menjadi bo-doh karena terlalu bernafsu untuk
membunuh! Kita akan menyiksanya nanti, Mawar!"
Mawar mengangguk.
"Kalau itu maunya Guru, baiklah!" desisnya.
Lalu dia berkata pada Seda Arya, "Nah, kau ber-siaplah untuk segera mampus, Seda
Arya!" seru gadis itu seraya menyerbu dengan dua tangan
yang seperti hendak mencekik.
*** 3 Seda Arya yang sudah bersiap sejak tadi pun
segera melompat maju memapaki dengan sepa-
sang pedangnya. Serangannya pun hebat dan ce-
pat. Penuh tenaga. Ketika keduanya hampir berbenturan, dengan
satu gerakan yang amat cepat Mawar menarik pu-
lang tangannya dan melenting ke atas.
Dan dengan satu gerakan yang hebat pula di-
perlihatkan oleh Mawar. Masih melenting ke atas dia mengirimkan satu pukulan ke
kepala Seda Arya. Namun laki-laki itu pun memperlihatkan ke-
tangguhannya pula.
Tiba-tiba saja dia berguling ke tanah.
"Hebat! Ternyata kau masih begitu hebat, Seda Arya!" desis Mawar sambil
berguling pula ketika dia telah hinggap di tanah. Tubuhnya bergulingan mengejar
Seda Arya. Seda Arya sendiri terkejut melihat kelincahan
yang diperlihatkan Mawar. Namun dia sadar ka-
rena gadis ini telah digembleng oleh empat orang guru yang tentunya amat sakti.
Dan sudah tentu pula kesaktian Mawar berlipat ganda karena dia menguasai empat
ilmu yang dipegang oleh keempat laki-laki menyeramkan itu.
Dia bukanlah seorang gadis tiga belas tahun
yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang gadis yang dipenuhi oleh dendam yang
amat sangat. Seda Arya menggerakkan tubuhnya dengan ja-
lan menumpu pada kedua tangannya dan melom-
pat berbalik ke kiri. Serangan dari Mawar pun lu-put.
Hal itu membuat Mawar menjadi murka.
Tiba-tiba dia bersalto dari bergulingnya dan
hingga di tanah. Seda Arya pun berbuat yang sa-ma.
Baginya tak ada jalan lain lagi untuk melo-
loskan diri. Kini dia diharuskan untuk memper-
tahankan diri dengan sekuat tenaga. Penuh perhi-tungan dan ketangguhan yang amat
luar biasa. "Seda Arya.. sepertinya kau memang masih seperti Seda Arya yang dulu. Yang hebat
dan gagah. Cuma sayang., kehebatan dan ketangguhanmu
itu hanya bersifat sementara saja!" bentak Mawar dengan geram.
"Mawar... hidup dan mati ada di tanah Tuhan!
Dan agaknya kau melupakan masalah itu! Ingat
Mawar., semua perbuatan kotormu ini diketahui
oleh Tuhan! Dan bila Tuhan menakdirkan aku
mati malam ini, maka aku pun pasti akan mati!
Bukan oleh tanganmu yang kotor itu! Tetapi semua ini takdir dari Tuhan Yang Maha
Esa. Bila Tuhan masih mengizinkan aku hidup, dengan ca-
ra apapun yang akan kau lakukan untuk mem-
bunuhku, tidak mustahil akan gagal dan sia-sia belaka!" seru Seda Arya dengan
suara lantang dan gagah.
Kata-katanya itu membuat wajah Mawar me-
merah. "Bangsat kau, Seda Arya! Tetapi aku yakin, malam ini Tuhan akan menakdirkanmu
mati di tanganku! Nah, tahan serangan!" sehabis berkata begitu Mawar kembali menerjang.
Kali ini serangannya begitu cepat.
Buas. Kejam. Dan berbahaya. Kedua tangannya membentuk cakar yang ta-
jam. Dan kedua tangannya berkelebat dengan ce-
pat ke sana kemari mengarah pada bagian-bagian tubuh berbahaya dari Seda Arya.
Seda Arya pun mengimbanginya dengan sepa-
sang pedangnya. Dia pun tak mau nyawanya di-
cabut Mawar dengan percuma. Maka dia kembali
meningkatkan serangan-serangannya.
Lima jurus berlalu.
Dan pada jurus berikutnya, Mawar menggeram
hebat. Dan serangannya tiba-tiba bertambah ce-
pat. Dengan satu tepisan tangan kanannya, terlepaslah pedang di tangan kiri Seda
Arya. "Hihihi.. kini pedangmu yang sebelah kiri, Seda Arya! Dan sekarang yang sebelah
kanan! Berikut nyawamu sendiri!" bentak Mawar sambil menyerang kembali.
Dengan satu pedang di tangan kanannya,
membuat Seda Arya menjadi kewalahan. Sebi-
sanya dia mencoba menahan serangan-serangan
Mawar. Dan, terlepaslah pedang di tangan kanan Seda
Arya ketika Mawar bergerak dengan satu gerak ti-pu yang hebat. Kedua tangannya
yang berbentuk cakar seakan hendak menyambar pergelangan
kaki Seda Arya. Membuat laki-laki itu melompat ke atas. Namun mendadak saja
tubuh wanita itu
pun melompat ke atas, mengancam kemaluan Se-
da Arya. Seda Arya mencoba menangkisnya den-
gan kibasan pedangnya.
Dan saat itulah Mawar bergerak cepat. Tangan
kirinya mencakar pergelangan tangan kanan Seda Arya. Hingga membuat laki-laki
itu menjerit sakit dan terkejut.
Pedangnya pun terlepas!
Mawar terkikik.
"Hihihi.. berikut ini nyawamu, Seda Arya!"
Seda Arya yang jelas-jelas melihat tak ada lagi jalan lain untuk meloloskan
diri, membentak dengan gagah, "Buktikan ucapanmu itu, Mawar!"
"Hihihi.. agaknya kau sudah tidak sabaran sekali, Seda Arya! Apakah kau tidak
mendengar ka-ta-kata guruku tadi Ki Tunggang Rekso yang me-
minta padaku agar tidak membunuhmu" Ah, aku
sebagai murid yang taat tidak akan berbuat un-
tuk melawan semua perintah guruku!"
"Lakukanlah yang diperintahkannya itu!"
"Bagus! Nyalimu memang besar sekali, Seda Arya!"
"Mawar., untuk apa kau banyak cakap lagi ter-hadapnya, hah"!" bentak salah
seorang dari mereka, yang tengah menunggu dengan tidak sabar
melihat Mawar menurunkan tangan.
Mawar menoleh pada orang yang berseru itu.
Dia berpakaian warna hitam. Dengan celana hi-
tam yang kedombrongan. Di tangannya ada se-
buah tongkat kayu yang mirip seperti tongkat
kayu untuk penggebuk anjing. Dia bernama Ki
Bayu Utara atau yang bergelar si Tongkat Penggebuk Anjing.
"Baik, Guru!" sahut Mawar.
"Cepatlah, Mawar... aku sudah tidak sabar ingin menyiksa manusia itu!"
"Baik, guru!" sahut Mawar pula. Patuh. Lalu dia berpaling pada Seda Arya. "Nah,
kau dengar sendiri itu, Seda. Bersiaplah kau sekarang!"
"Sejak tadi aku sudah tidak sabar menung-
gunya, Mawar!" sahut Seda Arya sambil membuka jurusnya.
Mawar terkikik. Dan tiba-tiba saja tubuhnya
sudah melayang ke arah Seda Arya. Dengan ce-
pat. Seda Arya memapaki.
"Des!"
Dua pukulan itu berbenturan. Tubuh Roro
Santika terhuyung ke belakang beberapa tombak.
"Gila, tenaga dalam wanita itu rupanya tinggi sekali!" desisnya dalam hati.
"Hihihi... kau terkejut mengetahui betapa hebatnya tenaga dalamku bukan, Seda?"
terkikik Mawar.
Tetapi Seda Arya adalah laki-laki yang pembe-
rani. Dia pun merasa tak ada jalan lain selain me-
lawan. Maka ketika wanita itu kembali menerjang. Se-
da Arya pun bersiap dengan segala resikonya.
Kembali keduanya saling serang dengan hebat.
Seda Arya dapat mengukur kemampuan lawan-
nya yang demikian tinggi. Dia pun sebisanya untuk melayani kemauan wanita itu.
Namun pada jurus berikutnya terlihat Seda
Arya terdesak. Pukulan dan serangan-serangan yang dilan-
carkan oleh Mawar begitu hebat. Dan membuat-
nya menjadi kalang kabut. Berkali-kali serangan-serangan wanita itu mengenai
sasarannya. Mem-
buat Seda Arya terdesak mundur.
Dan dengan satu jeritan yang kuat, tiba-tiba
tubuh Mawar melenting dan kembali kedua tan-
gannya membentuk cakar.
Seda Arya terkejut.
Namun sulit baginya untuk menghindari se-
rangan itu. Sebisanya dia mencoba memapaki. Namun
akibatnya sungguh teramat fatal.
"Des!"
Keduanya beradu tenaga. Tetapi bagi Seda Arya
yang sudah kehilangan banyak tenaga dan terde-
sak sementara Mawar masih dalam keadaan segar
bugar tidak menguntungkannya. Tubuhnya ter-
pental beberapa meter ketika kedua pukulan itu berbenturan.
Dan menabrak sebuah pohon.
"Bruak!"
Tubuh Seda Arya terpelanting jatuh dan ping-
san. Mawar mendengus dalam-dalam.
Ki Bayu Utara terbahak.
"Bagus, Mawar! Bagus sekali!" serunya.
Mawar tersenyum puas.
"Lalu apa yang akan kita lakukan, Para guru sekalian!"
"Kau lihat saja nanti" Nah... sekarang kau bu-nuhlah perempuan dan bocah yang
masih berada di dalam kereta kuda itu! Bunuhlah mereka, Ma-
war... karena merekalah yang menjadi duri dalam cintamu!"
Kemarahan dan dendam Mawar menjadi sema-
kin jadi saja. Wanita bercadar merah itu pun melangkahkan kakinya ke kereta
kuda. Lalu dengan sekali lompat dia telah berada di atasnya.
"Keluar kau perempuan laknat!" makinya seraya menyingkapkan tirai kereta kuda
itu. Tetap sungguh terkejut Mawar ketika tidak me-
lihat dua sosok yang menjadikannya amat murka.
Dia mengacak-acak. Lalu setelah yakin kedua
orang itu tidak ditemukannya dia menggeram
amat marah. Lalu tubuhnya melenting kembali keluar.
"Mereka tidak ada di dalam, Guru!"
Sadarlah orang-orang itu kalau Roro Santika
dan putranya sudah melarikan diri.
Mereka menyesali karena mereka terlalu terpa-
ku pada Seda Arya.
"Hancurkan kereta kuda itu, Mawar!"
Maka dengan geram Mawar pun menggerakkan
tangannya. Serangkum angin besar menderu
menghantam kereta kuda itu.
Terdengar suara bagai ledakan.
"DUAARRR!"
Dan hancurlah kereta kuda itu, membuat
keempat ekor kuda yang terikat di sana menjadi terkejut. Terdengar ringkikan
mereka dan keempatnya pun berlarian serabutan.
Orang-orang itu terbahak.
Melihat Mawar yang masih berdiri dengan ge-
ram di dekat kereta kuda yang hancur itu, perlahan-lahan Ki Tunggang Rekso
melompat dari ku-
danya. "Untuk apa kau menyesali lagi, Mawar" Sudahlah... toh perempuan dan bocah itu
tak akan bisa bertahan lebih lama lagi untuk hidup. Biarkan dia mampus di hutan
jati yang menyeramkan ini!" katanya sambil memegang bahu muridnya.
Mawar berpaling.
"Maafkan saya, Guru... Saya amat mendendam dan penasaran bila belum membunuh
orang-orang itu...."
Ki Tunggang Rekso tersenyum. Berusaha
membujuk Mawar.
"Belum puaskah kau membunuh semua warga
Bupati itu. Dan kau pun sekarang telah menda-
patkan Bupati Seda Arya yang tengah pingsan itu.
Nah, mari kita kerjai dia hingga mampus!"
Matahari telah sepenggalah. Sinarnya kini me-
nerangi hutan jati itu. Dan sebagian sinarnya
menerpa wajah Seda Arya yang masih pingsan.
Tak lama kemudian sepasang mata itu pun
mengerjap-ngerjap. Dan ketika dibuka kembali di-tutupnya lagi karena sinar
matahari yang menyilaukan itu.
Tiba-tiba Seda Arya merasakan sakit yang luar
biasa di kakinya. Kembali dia membuka matanya.
Bukan main terkejutnya Seda Arya ketika me-
lihat keadaan dirinya. Tubuhnya menggantung di sebuah dahan pohon dengan
menghadap terbalik.
Kakinya di atas dan kepala di bawah.
Karena menahan berat tubuhnya itulah ka-
kinya yang terikat dirasakannya amat sakit.
Apa yang telah terjadi" desisnya dalam hati.
Dan perlahan-lahan dia teringat semua kejadian semalam. Ah, tentunya orang-orang
biadab itu

Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang telah membuatnya seperti ini.
Didengarnya suara langkah-langkah mendeka-
tinya. Seda Arya melihat empat laki-laki berwajah seram dan seorang wanita
bercadar merah mendekatinya.
"Anjing buduk!" maki Seda Arya dalam hati.
Manusia-manusia ini benar-benar kejam.
Didengarnya suara Mawar berkata, "Hahaha...
betapa nyenyaknya kulihat tidurmu, Seda
Arya...." Seda Arya membuka matanya. Sepasang ma-
tanya memancarkan sinar kemarahan.
"Kau tak ubahnya iblis belaka, Mawar!"
"Ya... dan kau kini tengah berada dalam kekuasaan iblis itu, Seda Arya!"
"Turunkan aku, Mawar! Ayo kita bertarung la-gi!" "Hihihi... untuk apa kau
bertarung lagi denganku" Bukankah kau sudah kalah, Seda Arya?"
"Turunkan aku, Mawar! Turunkan aku! Kau
dengar apa yang kukatakan itu"!"
"Aku tidak tuli, Seda Arya!"
"Turunkan aku perempuan laknat!"
"Mengapa harus tergesa-gesa, Seda Arya" Bukankah kau sudah mendengar keinginan
Guruku semalam?" "Hhh! Perempuan iblis!" maki Seda Arya seraya meludah. Dan ludahnya tepat
mengenai di wajah
Mawar. Mawar mendelik gusar. Menghapus bekas lu-
dah itu. Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak melayang, menampar pipi Seda Arya
dengan keras. Wajah Seda Arya memerah. Sakitnya itu bukan
main kerasnya. Terasa sekali. Dan lebih sakit lagi hatinya mengingat dia tidak
bisa berbuat apa-apa lagi.
"Bangsat kau, Seda Arya! Masih beraninya kau berbuat seperti ini padaku, hah"!"
geram Mawar gusar.
"Kau bunuhpun aku tidak takut, Mawar! Aku lebih baik mati dari pada berada di
tanganmu dan tangan guru-gurumu yang kejam itu!" seru Seda Arya.
"Hihihi... sayang, sayang sekali, Seda Arya...
Keinginanmu itu tak akan terkabul. Karena kami
tidak menginginkan kau mati. Kami ingin me-
nyiksamu terlebih dulu! Biar kau dapat merasa-
kan kepedihan hatiku, sakit hatiku dan dendam-
ku kepadamu! Nah, katakanlah sekarang... ke-
mana istri dan anakmu itu pergi, Seda Arya"!"
Seda Arya mendengus.
"Tak pernah aku akan mengatakannya pada
orang-orang biadab seperti kau dan guru-gurumu itu, Mawar!"
"Itu terserah padamu, Seda Arya! Yang pasti, kau nikmatilah hidangan kami
berikut ini!"
Lalu Mawar mendekatinya.
Hati Seda Arya berdebar keras. Dia dapat men-
duga kalau orang-orang ini sudah akan memulai
siksaan mereka.
Tetapi dia tidak takut. Dia tidak pernah takut menghadapi resiko apa pun. Dan
Seda Arya merasa beruntung karena istri dan anaknya telah
melarikan diri.
Tiba-tiba dia melihat Mawar mengeluarkan se-
buah pisau kecil dari balik baju merahnya. Dan dengan satu gerakan yang amat
cepat, dia sudah meraih kedua tangannya, membuat Seda Arya
menjadi kesakitan.
"Nikmatilah permainan ini, Seda Arya!" den-gusnya dan tiba-tiba pula dia
mengembangkan ja-ri-jemari Seda Arya. Dengan satu gerakan yang
amat cepat, pisau bergerak, memotong jari telunjuk Seda Arya.
Seketika terdengar lolongan yang amat menge-
rikan. "Akhhhhhhhhhh!"
Mawar terkikik melihat Seda Arya yang kesaki-
tan. Darah mengucur dari jari telunjuknya yang
buntung. "Dan akan lebih menikmati permainan ini lagi, Seda Arya!" desisnya.
Dengan kejam dia pun memotong jari jemari
Seda Arya satu persatu. Lolongan keras Seda Arya tak diperdulikannya lagi.
Dan buntunglah kesepuluh jari tangan Seda
Arya. Darah semakin keras mengucur.
Seketika wajah Seda Arya menjadi pucat.
Namun siksaan yang dialaminya belum sampai
di sana saja. Ki Bayu Utara mengambil sebotol air dan me-
nyiramkannya pada jari-jemari yang buntung itu.
Membuat Seda Arya merasakan perih yang amat
sangat. Belum lagi yang dilakukan oleh Ki Tunggang
Rekso. Dia memukuli perut Seda Arya dengan ke-
ras. Ki Pergola Buta, laki-laki yang sebelah mata kirinya picak mengambil senjatanya
sepasang trisu-la. Dan keduanya berkali-kali dihunjamkan pada sekujur tubuh Seda
Arya. Perbuatan orang-orang begitu biadab. Kejam
sekali. Yang lebih biadab lagi apa yang dilakukan Ki
Jalak Pancang. Laki-laki yang mengenakan sor-
ban berwarna hitam.
Dia mengencingi wajah dan jari jemari yang
terluka dari Seda Arya. Membuat laki-laki yang tergantung itu menjadi gelagapan
dan pedih di hati. Namun orang-orang biadab itu terus tertawa
saja. Tanpa perduli akan kesakitan dan perih
yang dirasakan oleh Seda Arya.
"Bagaimana, Seda Arya" Bukankah ini sebuah permainan yang amat menyenangkan?"
desis Mawar dengan suara mirip setan betina.
Seda Arya meludah. Meskipun sekujur tubuh-
nya dirasakan bukan main sakitnya, namun dia
berusaha untuk tetap tegar.
"Kalian memang orang-orang biadab!"
"Kau amat menyukainya, bukan?"
"Mawar... mengapa semua kesalahan yang kau lakukan sendiri tiga belas tahun yang
lalu harus kau tumpahkan padaku" Berpikirlah secara sehat. Kau yang salah, kau
yang harus menanggung semua akibatnya! Bukan aku yang hanya kau jadikan sebagai
getahnya saja!"
"Memang bukan itu yang membuatku menjadi
kejam seperti ini, Seda Arya... tetapi kau yang telah berani-beraninya menolak
cintaku. Cinta tulus dan murni yang akan kupersembahkan pa-
damu... kau sia-siakan begitu saja...."
"Mawar... insaflah kau... Bahwa semua yang kau lakukan ini adalah kesalahanmu
sendiri..."
"Dan juga kesalahanmu karena menolak cinta-ku hingga aku menjadi seperti ini!"
"Mawar! Kukatakan sekali lagi, bukan kesala-hanku! Cinta tidak dapat
dipaksakan!"
"Tetapi aku ingin memaksa. Hingga timbul dalam pikiranku untuk menjebakmu.
Mungkin den- gan cara seperti itu kau mau menerima cintaku
dan mengawiniku. Namun semuanya sia-sia bela-
ka. Dan kau meninggalkan aku dalam keadaan
hamil. Kau biarkan aku terlunta-lunta. Dan kau biarkan putramu sendiri mati
secara mengerikan akibat malaria! Kau tak pernah menengoknya walau sekali pun,
Seda Arya! Tak pernah sekali pun!
Ini yang membuatku amat sakit hati dan men-
dendam padamu!"
"Dan kau sudah mengakuinya bukan, kalau ini salahmu dan sengaja menjebakku!"
"Ini bukan salahku, Seda Arya! Kulakukan semua ini karena aku mencintaimu!"
"Tetapi aku tidak mencintaimu, Mawar!"
"Saat ini aku tidak perduli lagi dengan cintamu! Yang pasti aku tetap akan
membalas semua sakit hatiku padamu!"
"Kau salah tempat, Mawar! Kau melakukan
semua ini karena cinta yang bertepuk sebelah
tangan. Cinta tidak dapat dipaksakan dan kau tidak bisa memaksakan kehendakmu
padaku! Ka- rena aku tidak mencintaimu!"
"Sekarang aku tidak perduli lagi, Seda Arya!
Nah, marilah kita lanjutkan permainan ini!" kata Mawar dengan bengis.
Wanita itu memang telah menjadi kejam kare-
na cinta yang tak terbalaskan. Lebih-lebih setelah
dia menyerahkan semuanya meskipun dengan ja-
lan menjebak, namun Seda Arya tetap tidak mau
mengawininya. Ini membuatnya semakin telengas
dan lupa diri. Dia kembali menyayat-nyayat tubuh Seda Arya
dengan pisau kecilnya.
Lalu menyayat-nyayat wajah Seda Arya.
"Sayang... Wajah yang tampan ini harus ku-musnahkan, Seda Arya!" desisnya.
Seda Arya menjerit-jerit kesakitan.
Dan lebih sakit lagi ketika tiba-tiba Mawar
mencongkel kedua matanya. Setelah itu meng-
hunjamkan pisaunya ke jantung Seda Arya.
Terdengar lolongan yang panjang menyayat ha-
ti. Lalu matilah Seda Arya dengan tubuh yang
hancur lebur akibat siksaan itu.
Mawar meludahi wajahnya.
Dan bersama keempat gurunya, mereka pun
menunggang kuda masing-masing dan mening-
galkan tempat itu.
*** 4 Tubuh wanita itu telah menjadi amat lunglai.
Sekujur tubuhnya dirasakan letih sekali. Namun anak yang baru berusia tujuh
tahun itu malah
gembira berjalan di sampingnya.
Lalu dia berkata, "Ibu... kenapa kita tidak mengajak ayah" Barong suka berjalan-
jalan seperti ini. Cuma sayang ya, Bu... kenapa ayah tidak
ikut?" Wanita yang tak lain Roro Santika dan pu-
tranya Barong Seta melirik bocah itu. Ada kepiluan yang amat sangat di hati Roro
Santika. Belum saatnya putraku, belum saatnya aku
memberitahukan semua ini padamu. Nanti bila
saatnya tiba, aku akan menjelaskannya padamu.
"Ayah... ayahmu sedang ada tugas, Anakku...."
desis Roro Santika pilu.
"Ayah memang selalu sibuk ya, Bu" Sayang, sayang sekali dia tidak ikut bersama
kita...." Sudah hampir seminggu lamanya Roro Santika
melarikan diri bersama putranya. Siang dan ma-
lam mereka berjalan terus. Walau sekali-sekali mereka beristirahat.
Dan pagi ini, mereka telah tiba di sebuah desa yang cukup ramai. Aroma masakan
yang nikmat menusuk hidung dari sebuah kedai.
Membuat perut Barong Seta menjadi lapar.
"Bu... Barong lapar...." kata bocah itu.
"Begitu pula dengan aku, Anakku... aku pun lapar," kata Roro Santika dalam hati.
Lalu dengan hati-hati dia merogoh angkinnya. Masih ada tiga keping uang perak
yang mungkin masih cukup
untuk membeli makanan.
"Kau lapar, Barong?"
"Iya, Bu. Bau masakan itu enak sekali. Barong lapar jadinya...."
"Kalau kau mau, kita bisa makan di sana, Barong...."
Lalu diajaknya putranya memasuki kedai itu.
Roro Santika hanya memesan nasi, mie dan ikan.
Karena dia kuatir tidak cukup uang yang akan
dipakai untuk membayar.
Roro Santika begitu suka melihat putranya
makan dengan lahap. Dia hanya sedikit memakan
nasinya, karena kuatir putranya masih ingin me-nambah.
Benar saja, ketika putranya hendak nambah,
diberikannya nasi yang ada di piringnya.
"Lho, kenapa tidak dipesan saja lagi, Bu?"
tanya bocah itu heran.
Roro Santika sejenak gelagapan. Dipesan lagi"
Oh, dari mana uangnya untuk membayar, Anak-
ku" Sudah tentu dia tidak menjawab seperti itu.
Lalu katanya, "Ibu sebenarnya tidak lapar, Anakku... Ibu masih kenyang...."
"Lho, bukankah kita sejak semalam belum makan, Bu?" tanya bocah itu lagi.
"Tapi Ibu masih kenyang," sahut Roro Santika.
Ah, rupanya sulit sekali untuk membuat anaknya percaya. Kalau saja keadaan kita
tidak seperti ini, Anakku... kau minta apa saja yang ada di kedai pun akan ibu
berikan, desis Roro Santika melanjutkan dalam hati.
"Heran... Ibu belum makan apa-apa kok sudah kenyang. Biar itu ibu makan saja.
Barong memesan lagi ya, Bu?"
"Oh, jangan... jangan Barong. Makanlah apa yang ibu punya ini. Sayang kan, ibu
tidak mema- kannya kau sudah memesan nasi lagi...."
Walau masih keheranan akhirnya bocah itu
pun mengambil nasi milik ibunya. Dan mema-
kannya dengan lahap.
Uang tiga keping itu pas sekali untuk mem-
bayar apa yang telah mereka makan. Setelah itu Roro Santika kembali mengajak
putranya berjalan.
"Kita memangnya mau ke mana, Bu?"
"Mau ke mana?" tertegun Roro Santika sampai menghentikan langkahnya. Dia
terdiam. Ya, mereka mau kemana" Ke mana tujuan mereka" Roro
Santika seperti disadarkan kalau dia dan pu-
tranya tidak punya tujuan.
Melihat ibunya seperti bingung, Barong Seta
menjadi bertambah heran.
"Kenapa, Bu?"
"Oh, tidak, tidak... Anakku. Ya, ya... kita hendak pergi ke rumah kakak Ibu."
"Oh, benarkah, Bu?" seru bocah itu gembira.
"Benar, Anakku. Kita akan pergi ke sana. Kau pasti senang sekali."
"Barong senang sekali mendengarnya, Bu."
"Nah... mulai saat ini, kau jangan banyak tanya lagi, ya" Bukannya Ibu tidak
suka kau bertanya, tetapi ibu tak mau kau menjadi cerewet seperti itu."
"Baik, Bu. Barong tidak akan banyak bertanya lagi."
Ketika Roro Santika bermaksud hendak me-
langkah lagi, tiba-tiba di hadapannya muncul tiga
orang laki-laki. Dan mencegat langkahnya.
Sikap mereka tidak bersahabat.
Perasaan Roro Santika mengatakan akan terja-


Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sesuatu yang menakutkan yang akan menimpa
diri dan putranya. Tanpa sadar dia celingukan.
Dan baru disadarinya kalau dia dan putranya
tengah berada di jalan setapak.
Suasananya sepi.
Dengan takut-takut dan wajah pias Roro San-
tika menatap ke tiga orang itu yang berdiri menghadang. Tatapan mereka begitu
menakutkan sea-
kan hendak menelanjangi dirinya.
"Ka-kalian siapa?" desisnya takut-takut.
"Hahaha... dia bertanya kita siapa, Muroto?"
tertawa yang seorang.
Yang dipanggil Muroto pun tertawa.
"Rupanya kau tidak sabar sekali untuk mengetahui namaku, Manis...."
"Ka-kalian siapa...." ulang Roro Santika sambil mendekap tubuh putranya yang
juga menjadi ketakutan. Namun tidak mengerti mengapa orang-
orang ini menghadang langkah mereka.
Muroto berpaling pada temannya yang berkata
tadi. "Benar apa yang kau katakan itu, Surogo. Wanita ini memang masih cantik dan
begitu padat tubuhnya...."
Surogo tertawa.
"Sejak mereka masuk ke kedai nasi itu aku sudah memperhatikannya, Muroto. Dan
ini meru- pakan sebuah makanan yang amat empuk, bu-
kan?" "Benar, benar sekali... aku pun sudah tidak sabar untuk mencicipinya sekarang,"
tertawa Muroto seraya berpaling pada Roro Santika yang semakin ketakutan
mendengar kata-kata orang itu.
"Hahaha... namaku Muroto, Manis. Ini kawanku Surogo dan Purnomo. Nah, kau
sendiri siapakah
gerangan namamu, Manis... hahaha..."
Ketakutan Roro Santika semakin menjadi-jadi.
"Kau-kau mau apa?"
"Mau apa" Sudah tentu kami akan mengajak-
mu bersenang-senang. Hmm... sepertinya kau
sudah lama sekali tidak menikmati kesenangan
sorga dunia. Hahaha... jangan kuatir Manis, kami akan memberikannya padamu...."
"Oh, jangan... jangan..." desis Roro Santika sambil mundur dan masih mendekap
putranya. Ketiga orang itu malah terbahak. Dan serentak
mereka mengurung wanita itu.
"Hahaha... kau mau lari kemana, heh?" tertawa Purnomo sambil menyeringai.
"Jangan, jangan ganggu aku... Jangan... aku sudah bersuami...."
"Tetapi kelihatannya kau sudah tidak pernah lagi menikmati kesenangan itu,
bukan?" tertawa Muroto.
"Jangan kuatir, Manis... kami akan memberikannya padamu," kata Surogo.
"Bukankah ini merupakan suatu kesenangan
bagimu. Di saat kau sedang membutuhkan, kau
diberikan secara cuma-cuma oleh tiga orang laki-
laki gagah seperti kami ini... hahaha!" tertawa Purnomo.
Dan ketakutan Roro Santika malah semakin
menjadi-jadi. "Jangan, jangan lakukan itu padaku... Jangan...."
Tetapi ketiga malah terbahak. Tak perduli den-
gan ketakutan Roro Santika.
Meskipun baru berusia tujuh tahun, namun
keberanian Barong Seta telah diwarisi dari ayahnya.
Dengan sigap dan gagah berani dia berdiri di
hadapan ibunya. Tangan berkacak di pinggang.
"Jangan ganggu Ibu, Orang-orang jahat! Jangan! Nanti kupukul kalian!" bentaknya
berani. Ketiga orang itu malah saling pandang. Lalu
meledaklah tawa mereka.
"Kau bisa apa, Bocah?" terbahak Muroto berkata. "Jangan ganggu Ibu!"
"Kami tidak ingin mengganggu Ibumu, Bocah.
Kami hanya ingin memberinya kebahagiaan dan
kesenangan!"
Kata-kata Muroto itu membuat hati Barong Se-
ta menjadi bimbang. Bukankah bila diberikan kebahagiaan dan kesenangan itu amat
menyenang- kan. Tetapi melihat wajah ibunya yang ketakutan
dan seperti amat kuatir, membuat bocah itu berubah pikiran lagi.
"Tidak, ibu tidak memerlukan apa yang kalian
ingin berikan! Sana pergi, jangan ganggu ibu!"
"Hahaha... kau memang bocah pemberani ru-
panya! Cuma sayang, kami sudah terlalu bermi-
nat pada ibumu!"
"Pergi! Atau kupukul kau!" seru bocah itu sambil hendak memukul.
Roro Santika buru-buru mendekap putranya.
Dia kuatir putranya akan kenapa-napa.
Lalu katanya mengiba, "Tolong... tolong jangan ganggu aku! Aku bermohon pada
kalian... tolonglah...."
"Manis... bila kau mau menurut kehendak ka-mi, kami tidak akan mengganggumu,
juga anak- mu...." "Tolong, tolong jangan ganggu aku...."
"Kami tidak mengganggumu, Manis... kami
hanya akan mengajakmu bersenang-senang!" ka-ta Muroto seraya melangkah mendekat.
Barong Seta kembali menghalangi.
"Jangan ganggu Ibu! Sana, sana pergi! Kupukul kau nanti! Sana pergi!"
Muroto yang tadi merasa lucu melihat sikap
anak itu, kini berubah menjadi jengkel.
"Bocah sialan!"
"Sana, sana pergi!"
Muroto mendengus. Tidak perduli dengan se-
mua yang dikatakan oleh Barong Seta. Dia malah mendekati lagi Roro Santika yang
memegang lengan putranya erat-erat.
Namun belum lagi dia sempat memegang len-
gan wanita itu, sebuah pukulan yang tidak keras
namun mengejutkannya mengenai tangannya.
"Sana, sana! Jangan dekati Ibu! Orang jahat!
Sana pergi! pergi!"
Melihat hal itu kegeraman Muroto pada Barong
Seta menjadi-jadi.
"Bocah sialan! Rupanya mau kuhajar kau!"
"Pergi sana! jangan ganggu Ibu! Kau orang jahat! Orang jahat! Pergi!" bocah itu
berseru-seru dengan tatapan gemas dan gusar. Tangannya
mengulap-ulap menyuruh orang-orang itu pergi.
Barong Seta memang seorang bocah gagah be-
rani. Kepolosan dan kejujurannya sebenarnya
amat menggemaskan. Namun bagi ketiga orang
ini, malah menjengkelkan. Karena biarpun bocah itu tidak bisa berbuat apa-apa
selain berseru-seru, mereka kuatir kalau seruan bocah itu bisa terdengar oleh
orang yang lalu lalang.
Rencana mereka bisa gagal.
Dan mereka tak mau gagal untuk menggarap
korbannya ini. Barong Seta sendiri tidak menyadari, kalau ke-
beraniannya yang timbul secara naluri untuk me-lindungi ibunya bisa membahayakan
dirinya. Bocah itu masih berseru-seru mengusir orang-
orang itu. "Jangan dekati Ibu! Tinggalkan Ibu! Ayo sana, pergi kalian! Nanti
kupukul ya"!"
Muroto yang sudah geram langsung mengi-
baskan tangannya menampar pipi Barong Seta.
Bocah itu terpental ke belakang. Berguling.
Namun herannya tak terdengar suara mengaduh
dari mulut bocah itu.
Melihat putranya ditampar oleh Muroto, Roro
Santika menjerit keras sambil menubruk pu-
tranya. Pikirnya putranya akan pingsan. Tetapi Bocah
itu tiba-tiba bangkit setelah bergulingnya berhenti. Tatapannya meradang marah
pada Muroto. Muroto terkejut karena tatapan bocah itu amat
mengerikan. Sepertinya dia marah karena ada
yang berani mengusik.
"Jahat! Kau orang jahat! Kau berani pukul aku, hah"!" bentak Barong Seta. Tangan
ibunya yang melilit di pinggangnya dilepaskan.
Roro Santika kaget karena bocah itu bisa terlepas dari pegangannya.
Matanya hampir tak percaya ketika melihat pu-
tranya kembali menyerang Muroto yang masih
berdebar dadanya oleh tatapan anak itu.
"Baaarooooong!" seru Roro Santika dengan hati yang luar biasa kuatirnya.
Namun bocah itu sudah berlari menubruk Mu-
roto. Tetapi bagi Muroto, seberani apapun dan se-
kuat apapun, Barong Seta, tetaplah seorang bo-
cah. Dan dia menjadi jengkel sendiri karena tertegun melihat tatapan bocah itu
tadi. Dan ketika bocah itu sudah dekat dengannya,
dia mengibaskan tangannya.
"Plak!"
Kembali Barong Seta terpental dan bergulingan
diiringi oleh jeritan Roro Santika. Namun kembali
bocah itu bangkit. Sungguh luar biasa keberanian dan daya tahan Barong Seta
menerima pukulan
dari Muroto. "Kupukul kau! Kupukul kau!" serunya sambil menyerbu kembali.
Lagi-lagi Muroto dibuat tertegun. Hingga dia
tak sempat mengelakkan pukulan Barong Seta
pada perutnya. Memang tidak keras dan tidak
menimbulkan sakit. Namun membuat Muroto
menjadi kaget kembali.
Dia baru sadar ketika didengarnya suara tawa
Purnomo dan Surogo.
"Hahaha... melawan bocah seperti itu saja kau kaget melulu, Muroto!" ejek
Surogo. "Cepatlah bereskan!" seru Purnomo pula. "Aku sudah tidak sabar ingin menikmati
tubuh ibunya!" Mendengar kata-kata itu, Muroto langsung
mengibaskan tangannya kembali pada Barong Se-
ta yang datang menyerang lagi.
"Plak!"
Karena kerasnya tamparan itu, kali ini Barong
Seta pingsan. Roro Santika menjerit, "Baronggg!" Lalu dibu-runya putranya dan dipeluknya
dengan hati pilu.
"Bagus, Muroto! Dan sekarang... kita siangi perempuan itu!" kata Purnomo sambil
tertawa. Lalu tanpa dikomando lagi ketiganya menu-
bruk Roro Santika. Perempuan itu berusaha un-
tuk meronta. Namun apa daya tenaganya yang
lemah. Belum lagi karena memang kondisinya
yang sudah payah berjalan.
Menghadapi salah seorang dari ketiganya saja
dia belum tentu bisa melepaskan diri. Apalagi
menghadapi ketiganya sekaligus.
Dan sebentar saja dia sudah berada dalam ke-
kuasaan mereka.
Muroto menyeringai.
"Hehehe... kini giliran kita bersenang-senang, manis!" desisnya pada Roro
Santika yang diterlen-tangkan.
"Lepaskan, lepaskan aku!" seru perempuan itu sambil mencoba meronta.
Tetapi ketiganya mana mau melepaskan. Tan-
gan Muroto pun sudah siap untuk menarik pa-
kaian Roro Santika di bagian dada. Namun belum lagi tangannya bergerak,
terdengar seruan bernada keras, "Tunggu!"
*** 5 Ketiga laki-laki itu serentak menoleh pada arah datangnya suara. Mereka melihat
seorang nenek bongkok bertongkat kayu telah berdiri di dekat mereka.
Muroto yang merasa jengkel karena ada yang
berani-beraninya menghalangi perbuatannya
langsung berdiri sambil menggeram. Tatapannya
gusar dan marah.
"Hhh! Siapa kau, Nenek peot"!" bentaknya ka-sar.
Nenek itu cuma menyeringai. Menampakkan
deretan giginya yang masih utuh. Dan gigi itu terbuat dari emas.
"Hehehe... maaf, maafkan aku yang menggang-gu keasyikan kalian bertiga...."
suara nenek itu ternyata nyaring sekali. Dia mengenakan pakaian kebaya biru
dengan kain yang terlipat sampai
ujung kakinya. Dan rambutnya dibuat seperti
konde dengan tusuknya yang terbuat dari emas
pula. "Aku tidak butuh pertanyaan maafmu! Aku
hanya tanya siapa kau yang telah lancang meng-
ganggu keasyikan kami!" bentak Muroto geram.
"Hehehe... agaknya kau begitu penasaran ingin mengetahui namaku" Baiklah...
namaku sendiri sebenarnya aku sudah lupa... maafkan aku... Tetapi orang-orang memanggilku si
Bongkok Bergigi Emas... Nah, kau boleh memanggilku dengan sebutan apa saja. Aku
paling suka bila dipanggil dengan sebutan Dewi... hehehe..."
Muroto mendengus. Nenek jelek ini minta di-
panggil Dewi" Huh!
"Kebagusan amat memanggilmu dengan sebu-
tan Dewi, Nenek bongkok!"
"Hehehe.... aku tidak memaksamu untuk me-
manggilku dengan sebutan itu hehehe... Kau ga-
lak sekali, Orang jelek... hehehe... benar, benar...
kau jelek... bahkan teramat jelek sekali.... heheheh..."
Kata-kata nenek itu membuat kuping Muroto
menjadi panas. Dia sudah jengkel karena keasyi-
kannya terganggu, kini ada yang berani-beraninya mengatakannya jelek.
"Kau minta mampus rupanya, Nenek!"
"Hehehe... tidak, aku tidak minta mampus...
Aku cuma ingin bertanya saja, Orang jelek..."
"Bertanya apa"!"
"Apa yang tengah kau lakukan bersama dua
temanmu yang juga jelek itu, hah"!"
"Ini bukan urusanmu, Nenek! Pergilah dari sini sebelum kami marah dan menurunkan
tangan telengas padamu!"
"Kau rupanya semacam orang yang ringan tangan, Orang jelek... heheheh... tapi
biarlah, biarlah... yang penting kau mau menjawab perta-
nyaanku itu...."


Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangsat! Pergi kau dari sini, Nenek Bongkok!"
"Aku akan pergi bila kau sudah menjawab pertanyaanku!"
Kemarahan Muroto semakin menjadi-jadi. Te-
tapi dia menjawab juga pertanyaan nenek itu,
"Kami hanya mengajak perempuan ini berse-
nang-senang! Bukankah ini bagus sekali"!"
"Ya, ya... bagus sekali!"
"Tentunya kau sendiri juga suka memberikan kesenangan pada orang lain, bukan"!"
"Ya, ya... aku suka melakukan itu!"
"Nah, pergilah dari sini! Kau pun suka dan se-tuju bila kita berbuat untuk
kesenangan orang
lain!" "Ya, ya... itu bagus sekali. Tapi..."
"Tapi apa, Nenek?" sahut Muroto gusar. Ra-
sanya sudah tidak sabar dia ingin menghantam-
kan tangannya kepada nenek cerewet itu.
"Kalian sungguh-sungguh hendak mengajak-
nya bersenang-senang?"
"Ya!"
"Kalian jujur?"
"Ya!"
"Kalau begitu... ada satu lagi pertanyaanku.
Kau harus menjawabnya pula!"
"Apa sebenarnya maumu, Nenek"!" bentak Muroto gusar.
"Hanya bertanya... hehehe.. bukankah kau tadi sudah mendengarnya, Orang jelek"!"
"Bangsat! Cepat kau katakan pertanyaanmu itu dan setelah ini kau pergilah!"
"Hehehehe... terburu-buru amat! Nah, jawab pertanyaanku... bila kalian mengajak
wanita itu bersenang-senang, apakah wanita itu mau menerima ajakan kalian?"
"Sudah tentu! Kau lihat sendiri bukan, kalau dia nampak begitu suka!"
"Hehehe... ya, ya., cuma mataku ini masih awas, Orang jelek. Kulihat wanita itu
tidak suka dan sekarang berada di bawah kekuasaan kalian!
Aku pun melihat bocah itu pingsan! Nah, kata-
kanlah yang jelas!"
Merasa nenek ini benar-benar mengganggunya,
Muroto menjadi naik pitam.
"Kau banyak omong, Nenek bongkok! Cepat
kau pergi dari sini!" bentaknya marah.
"Hehehe... bukankah kau belum menjawab per-
tanyaanku, Orang jelek! Nah, cepatlah jawab bila kau ingin aku benar-benar
pergi! Tetapi ingat...
bila wanita itu tidak suka kau ajak bersenang-
senang, maka ini menjadi urusanku!"
"Apa maksudmu, Nenek peot"!"
"Karena aku tidak suka yang kuat menindas yang lemah! Dan ini merupakan tugasku
untuk membasminya!"
Tiba-tiba terdengar suara Roro Santika, "Nenek... tolonglah saya dan anak
saya... mereka orang-orang jahat, Nenek... Mereka hendak mem-
perko.... aahh!"
Kata-kata itu terpotong karena tangan Surogo
sudah menamparnya hingga perempuan itu ping-
san. Si Bongkok Bergigi Emas terkekeh.
"Hehehe.. kini jelas sudah, kalau wanita itu memang berada di bawah kekuasaan
kalian. Dan aku tak pernah menyukai perbuatan itu..."
"Setan kau, Nenek peot! Kau mencari mampus rupanya!" geram Muroto seraya
menyerang dengan tiba-tiba.
Namun tanpa bergeser dari tempatnya berdiri,
tiba-tiba Si Bongkok Bergigi Emas menggerakkan tongkat butut yang dipegangnya,
ke arah ulu hati Muroto.
Karena gerakan itu amat tiba-tiba, membuat
Muroto menjadi kaget dan menghentikan gera-
kannya. Namun mendadak saja tongkat di tangan
nenek itu sudah bergerak memukul pahanya.
"Aaakhhh!" jerit Muroto. Tubuhnya sampai ter-
guling. Kalau dilihat sepintas, gerakan tenaga nenek itu tak keras. Namun
tongkat itu telah dialiri tenaga dalam. Hingga membuat Muroto merasa
pahanya bagai remuk.
"Hehehe... maaf, maafkan aku... Aku tidak sengaja menggerakkan tangan!" terkekeh
si Bongkok Bergigi Emas.
Melihat kawan mereka dihantam sedemikian
rupa dan masih diejek, membuat Surogo dan
Purnomo menjadi marah. Keduanya pun bangkit
dan menyerbu nenek itu.
Dan lagi-lagi tanpa bergeser dari tempatnya, si Bongkok Bergigi Emas
Harpa Iblis Jari Sakti 33 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Memanah Burung Rajawali 12
^