Pencarian

Sumpah Jago Jago Bayaran 2

Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran Bagian 2


menggerakkan tangannya.
Kembali tongkat itu membuat keduanya meng-
hentikan gerakan mereka.
Namun mereka tak mau mengalami nasib sial
seperti yang di alami Muroto. Keduanya sudah
dapat menduga kalau tongkat itu akan kembali
bergerak. Dugaan mereka memang benar.
Karena tongkat di tangan nenek itu sudah ber-
gerak kembali. Tetapi Surogo dan Purnomo yang sudah men-
duga akan hal itu, dapat menghindari serangan
tongkat nenek itu dengan jalan melemparkan tu-
buh ke kiri. Keduanya bergulingan.
Dan serentak kembali berdiri.
Nenek itu terkekeh. "Hehehe... rupanya kalian berdua memiliki otak yang cukup
cerdik hingga dapat membaca apa yang hendak kulakukan. Se-
karang dengarkan kata-kataku, lebih baik kalian tinggalkan tempat ini. Dan
tinggalkan pula perempuan dan bocah yang telah kalian buat ping-
san itu sebelum aku menjadi marah pada kalian!"
Mendengar kata-kata bernada mengancam itu,
tidak membuat mereka takut. Malah Surogo dan
Purnomo sudah bersiap kembali hendak menye-
rang. Sementara Muroto sudah berdiri lagi, meski-
pun dirasakan pahanya masih sakit. Tatapannya
begitu geram pada nenek bongkok itu. Dia begitu mendendam sekali karena pahanya
dihantam oleh nenek itu. Dan membuatnya ingin membalas
perlakuan itu. "Rupanya kau nenek-nenek usil, Nenek peot!"
geramnya sambil menuding dengan tatapan ma-
rah. "Kau telah menabur angin, maka kau akan menerima badai! Angin yang kau
taburkan beru-pa kecerewetanmu yang ingin tahu masalah orang lain! Dan badai
yang akan kau terima adalah kemarahan kami yang sudah sampai ke ubun-
ubun!" Tetapi si Bongkok Bergigi Emas cuma terkekeh.
Menampakkan deretan giginya yang berkilauan
terbuat dari emas.
"Hehehehe... mengapa tidak kau keluarkan sa-ja kemarahanmu itu, Orang jelek"!
Mengapa hanya kau simpan sampai ubun-ubun saja" He-
hehe... rupanya kau jeri, ya"!"
"Nenek usil! Selain usil kau pun banyak omong pula, hah"!" bentak Muroto geram.
"Persetan dengan semuanya, Orang Jelek! Aku cuma minta pada kalian untuk
meninggalkan tempat ini cepat!"
"Hhh! Kau pikir, dengan gertakan macam itu mampu membuat kami takut"!" seru
Surogo dengan suara sengak. "Kami bahkan hendak mencabut nyawamu, Nenek Peot!"
"Dan memberikan tulang-tulangmu pada anj-
ing yang kelaparan!" sambung Purnomo.
Nenek Bongkok Bergigi Emas itu cuma terke-
keh. Seakan merasa lucu dengan kata-kata yang
diucapkan keduanya. Tetapi mendadak saja ta-
wanya terhenti. Sepasang matanya meradang ke-
pada mereka. Menampakkannya sinar yang berbahaya.
Suaranya pun meradang.
"Kalian telah memancing di air keruh!" geramnya.
"Tetapi bukan ikan sepertimu yang kami pancing!" tertawa Muroto. "Kau hanya
pantas diberikan kepada binatang-binatang yang sedang kela-
paran!" "Bagus! Aku menyukai orang-orang pemberani seperti kau orang jelek!" seru nenek
itu. "Hehehe... maaf, maafkan aku, Nenek peot.
Aku tidak sudi menerima rasa sukamu... Kamb-
ing pun belum tentu mau menerima rasa suka-
mu!" Kali ini wajah itu menjadi memerah. Dan men-
dadak saja tangan kanannya yang memegang
tongkat bergerak, tetapi posisi berdirinya tetap
tak bergeser dari tempatnya.
Muroto, Purnomo dan Surogo merasakan ada
serangkum angin yang datang ke arah mereka.
Dan ketiganya dengan sigap berlompatan ke ka-
nan dan ke kiri.
Serangkum angin itu lewat. Sebagai gantinya,
batang-batang pohon yang berada di belakang ketiga orang itu terhantam. Dan
terdengar suara
"krak!" Lalu patah!
Melihat kejadian itu, ketiganya terkejut. Wajah mereka pias. Namun mereka
bukanlah orang-orang yang mudah mengalah. Apalagi pada orang
yang mereka telah merusak keasyikan mereka.
Tanpa banyak cakap lagi ketiganya berlompa-
tan menyerang. Namun lagi-lagi tanpa bergeser dari berdirinya, nenek itu kembali menggerakkan
tongkatnya. "Wut! Wut! Wut!"
Gerakannya sungguh cepat dan sukar diikuti
oleh mata. Hasilnya pun sungguh luar biasa. Tangan ka-
nan Surogo patah. Pinggang Purnomo terhantam
bagaikan kena pukulan besi yang amat kuat. Dan Muroto sendiri kembali pahanya
terhantam oleh pukulan kayu itu.
Ketiganya terpelanting ke tanah.
Nenek itu terkekeh.
"Cepat kalian tinggalkan tempat ini!" bentaknya.
"Hhh! Kami akan mengadu jiwa denganmu,
Nenek peot!" geram Muroto sambil bangkit me-
nyerbu. Namun tongkat kayu nenek itu mengakhiri ge-
rakannya. Kali ini nenek itu tak memberi ampun lagi.
Kepala Muroto yang terhantam oleh kayu itu.
"Krak!"
Kepala itu pecah dan bersimbahlah darah ber-
sama cairan berwarna putih. Melihat kenyataan itu, Surogo dan Purnomo menjadi
jeri. Keduanya saling berpandangan.
Dan seperti sudah disepakati dan tanpa diko-
mando lagi, keduanya mendadak memutar tubuh
dan berlari. Tetapi kali ini si Bongkok Bergigi Emas tak
mau melepaskan calon korbannya. Tiba-tiba saja dia menggerakkan tangannya.
"Wuuut!"
Serangkum angin keras mengarah kepada ke-
dua orang itu. Dan akibatnya sungguh fatal. Keduanya terjungkir ke depan
terhantam angin itu.
Bergulingan beberapa kali sebelum akhirnya
tubuh keduanya menabrak pohon dengan keras.
Kepala keduanya hancur seketika.
Nenek itu mendengus.
"Hhhh! Aku paling tidak suka dengan orang-orang pengecut!" gumamnya.
Lalu dihampirinya tubuh Roro Santika yang
masih pingsan. Dan menghampiri Barong Seta yang dalam
keadaan pingsan pula.
Nenek itu melihat warna biru di muka Barong
Seta. Hhh! betapa kerasnya pukulan yang ten-
tunya dilakukan oleh salah seorang dari mereka.
Lalu dialirinya tenaga dalamnya sedikit hingga warna biru itu perlahan-lahan
menghilang. Dan
mendadak nenek itu tersentak.
Seakan tidak percaya dilihatnya telapak tangan kanan bocah itu yang tadi dialiri
tenaga dalamnya.
"Apakah mataku yang sudah tua ini mulai ra-bun?" gumamnya. Lalu dia mengucak-
ngucak matanya. "Tak salahkan penglihatanku ini" Garis tangan yang ada di tangan bocah
ini, begitu mirip dengan apa yang kumimpikan semalam! Bocah ini
akan menjadi seorang pendekar tangguh di masa
mendatang! Dan agaknya, bocah inilah yang ber-
jodoh denganku, yang akan mewarisi semua ilmu
yang kumiliki..."
Tak puas hanya sampai di sana memperhati-
kan tangan bocah itu, tangan-tangan si Bongkok Bergigi Emas meraba ke sana
kemari. Memeriksa
tulang-belulang yang terdapat di tubuh Barong
Seta. Lagi-lagi dia mendesah kagum.
"Bukan main! Tulang-tulang anak ini begitu kokoh dan hebat! Kuat! Aku yakin, ya,
ya., aku yakin sekali... kalau bocah ini akan menjadi seorang pendekar yang tak
terkalahkan..."
Tiba-tiba didengarnya suara erangan dari sam-
pingnya. Kepala nenek itu menoleh. Dia melihat perem-
puan yang pingsan itu sudah menggerak-
gerakkan kepalanya.
Perlahan-lahan sepasang mata Roro Santika
mengerjap. Lalu membuka. Saat membuka mata
itu kembali tertutup karena sinar matahari yang agak menyilaukan.
Si Bongkok Bergigi Emas menghampiri.
"Kau sudah sadar, Nimas...." katanya lembut.
Mendengar ada suara di sampingnya, perlahan
kembali mata Roro Santika terbuka. Saat fokus
matanya berfungsi, dia melihat nenek yang telah menolongnya berada di dekatnya.
"Nek..." desisnya pelan.
"Tenanglah, Nimas... bahaya telah lewat..."
Mendengar kata-kata itu, kepala Roro Santika
mencari-cari dan tubuhnya menegak. Duduk.
Dia melihat tiga sosok tubuh telah menjadi
mayat. Seketika terdengar desahnya yang bernada lega.
Tetapi kemudian dia mendesis, "Anakku..."
"Anakmu tidak apa-apa, Nimas... Nah, ceritakanlah... mengapa semua ini terjadi.
Dan kau siapa, Nimas?" kata nenek itu dengan suara lembut.
Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba saja sepa-
sang mata itu mengalirkan air. Kesedihan kembali melanda hati wanita itu.
Dan betapa pilunya bila dia teringat kembali
akan kejadian yang menimpa keluarga dan sua-
minya. "Katakanlah, Nimas..."
Lalu perlahan-lahan Roro Santika mencerita-
kan apa yang telah terjadi. Hatinya benar-benar bertambah pilu. Dan amat
memilukan isaknya
yang terdengar kembali.
Si Bongkok Bergigi Emas merangkulnya.
"Tabahlah, Nimas... semua sudah merupakan takdir yang Maha Kuasa. Dan kita umat-
Nya tidak akan bisa melawan takdir yang datang pada
kita. Karena semua sudah digariskan oleh-Nya.
Jadi Nimas.... tawakallah..."
Mendengar kata-kata yang bernada nasehat
itu, membuat hati Roro Santika menjadi sedikit tentram. Bagai diguyur air yang
amat dingin. Lalu didengarnya kembali nenek itu bertanya.
"Siapa namamu. Nimas?"
"Namaku Roro Santika, Nek."
"Bocah itu putramu?"
"Ya."
"Siapa namanya?"
"Barong Seta."
"Apakah kau ingin membalas dendam atas
perbuatan orang-orang jahat itu dan kau yakin
suamimu telah mereka bunuh?"
Sepasang mata itu bersinar.
"Iya, iya... Nek... aku mau membalas dendam.
Pesan suamiku saat terakhir kali kami berpisah, dia meminta agar aku mencari
seorang guru untuk putraku yang akan bisa membalas semua sa-
kit hati ini. Nek... bisakah kau mengambil putraku sebagai muridmu?"
"Dengan senang hati Nimas. Dan kulihat, tulang belulang bocah itu begitu kuat.
Dan yang perlu kau diketahui, garis tangannya mirip sekali dengan garis tangan bocah yang
berada dalam mimpiku. Ya, aku akan menggembleng dan men-
didiknya menjadi seorang pendekar yang tang-
guh." "Oh, terima kasih, Nek!"
"Kalau begitu... mari kita pergi ke kediamanku!"
Lalu Roro Santika menggendong tubuh pu-
tranya yang masih pingsan. Dan langkahnya pun
mulai bergerak mengikuti langkah si Bongkok
Bergigi Emas yang sudah melangkah terlebih da-
hulu. *** 6 Sepuluh tahun sejak kejadian berdarah yang
menimpa keluarga Seda Arya.
Pagi itu di Perguruan Topeng Hitam seperti bi-
asanya para murid-muridnya tengah berlatih.
Perguruan Topeng Hitam adalah sebuah pergu-
ruan silat yang sudah terkenal namanya.
Ciri khas dari perguruan itu adalah, para mu-
rid-muridnya semua mengenakan pakaian ber-
warna hitam-hitam dengan sebuah topeng yang
menutupi kepala dan wajah mereka yang berwar-
na hitam pula. Mereka menggunakan senjata sepasang pedang
yang tersampir bersilangan di punggung. Juga
menggunakan senjata rahasia yang berbentuk se-
buah topeng. Perguruan Topeng Hitam dulu di pimpin oleh
seorang Dewa Pedang yang bernama Paksi Uluda-
ra. Namun sebelum maut datang padanya. Paksi
Uludara telah menyerahkan tampuk kepemimpi-
nan kepada Madewa Gumilang, atau Pendekar
Bayangan Sukma (baca : Dewi Cantik Penyebar
Maut).

Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan pagi ini laki-laki yang berusia kira-kira 45
tahun itu tengah melatih para muridnya. Dia
mengenakan pakaian kebesaran berjubah putih.
Dengan senyum arif bijaksana yang selalu meng-
hiasi bibirnya.
Dia nampak puas melihat hasil latihan hari ini.
Para muridnya begitu tekun mengikuti dan menu-
ruti semua perintahnya dalam latihan.
Tiba-tiba masuk seorang murid yang tengah
bertugas menjaga. Dia menjura pada Madewa
Gumilang. "Hmm... ada apa, Pratama?"
"Maafkan saya, Ketua," sahut murid yang mengenakan pakaian hitam-hitam dan
bertopeng hi- tam pula. Para muridnya semua sudah mengeta-
hui akan kehebatan guru mereka. Madewa Gumi-
lang memang memiliki ilmu Pandangan Menem-
bus Sukma. Pandangannya dapat menembus dua
gunung sekaligus dan dapat melihat pada jarak
ribuan mil jauhnya. Makanya meskipun semua
muridnya mengenakan topeng hitam, Madewa
dapat mengetahui siapa di balik topeng itu.
"Hmm. katakan, mengapa kau meninggalkan
tempatmu?" tanya Madewa dengan suara berwi-bawa pula.
"Maafkan saya, Ketua. Ada seorang laki-laki yang datang kepada Ketua."
"Siapa dia?"
"Dia seorang pemuda yang kira-kira berusia 17
tahun, Ketua. Dia mengaku bernama Barong Se-
ta." "Barong Seta" Ada keperluan apa dia hendak menjumpai ku?"
"Dia mengaku ingin meminta informasi dari Ketua."
"Hmm.... masalah apa?"
"Tentang beberapa nama yang hendak dia tanyakan."
Madewa terdiam. Siapa Barong Seta itu" Dan
nama-nama siapa yang hendak ditanyakannya.
Lalu dia kembali menatap Pratama.
"Suruh dia masuk. Dan antarkan ke ruang per-temuan," kata Madewa. Pratama
berlalu. Sementara Madewa sendiri berkata pada para muridnya,
"Untuk latihan pagi ini selesai! Kalian boleh beristirahat!"
Setelah para muridnya menjura, Madewa pun
berjalan ke bangunan besar itu. Perguruan To-
peng Hitam dikelilingi oleh tembok yang cukup
tinggi dan tebal.
Ketika hendak berjalan menuju ruang perte-
muan, dia melihat istrinya tengah berdiri di am-bang pintu kamarnya.
Heran istrinya bertanya, "Ada apa, Kanda?"
Madewa berhenti melangkah. Menebarkan se-
nyum pada istrinya.
"Ada seorang pemuda yang ingin bertemu denganku, Dinda," sahutnya.
"Siapakah gerangan dia, Kanda?"
"Dia mengaku bernama Barong Seta. Dan aku sendiri belum tahu apa maksud
kedatangannya."
Istrinya mendekat.
"Boleh Dinda turut dengar, Kanda?"
Madewa menatap istrinya dalam. Dari sorot
matanya terpancar kasih sayang yang tulus. Dia jadi teringat lagi siapa istrinya
dan siapa dirinya dulu. Istrinya adalah putri dari seorang kaya yang bernama
Biparsena, sedangkan dia hanyalah pen-jaga kuda-kuda dan pengawal pribadi
istrinya ka-la itu.
Namun cinta telah bersemi. Meskipun saat itu
Madewa mempunyai tugas untuk mencari penye-
bar fitnah pada gurunya, Ki Rengsersari atau
Pendekar Ular Sakti, hingga gurunya menemui
ajal karena fitnah itu, dia tetaplah mencintai Ratih Ningrum.
Dan yang membuat Madewa semakin yakin
akan cinta gadis itu, karena gadis itu pun bertualang mencarinya setelah berguru
pada tiga pen- gawal pribadi ayahnya.
Yang tak pernah Madewa sangka adalah, pe-
nyebar fitnah itu adalah ayahnya Ratih Ningrum sendiri, Biparsena (baca: Pedang
Pusaka Dewa Matahari dan Dendam Orang-orang Gagah).
Madewa mendesah melihat. Betapa kuat dan
tabahnya akan kesetiaan isterinya, meskipun dialah yang membunuh ayahnya. Namun
Ratih Ningrum merelakan semua itu, karena dia pun
tahu ayahnya seorang dari golongan hitam. Dan
dia tak pernah menyalahkan Madewa Gumilang.
Bahkan dia rela menjadi istri dari pemuda itu
dulu. Pemuda yang kini telah menjadi istrinya sela-
ma lebih dari dua puluh tahun. Bahkan putra
mereka Pranata Kumala, telah beristri pula.
Hanya saat ini, putra dan anak menantunya se-
dang bertualang mencari pengalaman.
Sama halnya dengan yang pernah dia lakukan
dulu bersama suaminya, Madewa Gumilang.
Namun ada kejadian menyedihkan yang masih
membekas di benak Ratih Ningrum. Tiga gurunya, Mukti si Pedang Kembar, Patidina,
si Keris Tunggal dan Tek Jien si Pukulan Tangan Seribu telah tewas dalam satu
pertarungan berdarah. Setelah sekian puluh tahun dia tak pernah berjumpa
dengan ketiga gurunya, dan di saat gurunya da-
tang perjumpaan itu hanya berlangsung beberapa hari saja. (baca: Warisan
Berdarah). Dan kini makam ketiga gurunya berada di be-
lakang Perguruan Topeng Hitam.
"Bagaimana, Kanda?" tanya Ratih Ningrum yang melihat suaminya terdiam.
Madewa tersenyum.
"Mengapa tidak. Dinda" Kau adalah istriku yang tercinta. Kau tentu saja boleh
turut dengar masalah apa yang dibawa oleh pemuda yang ber-
nama Barong Seta itu."
Lalu keduanya pun memasuki ruang perte-
muan. Tak lama kemudian kembali Pratama muncul.
Kali ini bersama seorang pemuda yang bertubuh
gagah perkasa. Pemuda itu bertelanjang dada.
Dan mengenakan celana pangsi berwarna hitam.
Di pinggangnya terbelit angkin berwarna merah.
Di hadapan Madewa Gumilang dan Ratih Nin-
grum, pemuda itu menjura bersamaan dengan
Pratama. "Beliau ini tamu yang saya maksudkan, Ke-
tua..." kata Pratama.
Madewa mengangguk.
Pemuda itu berkata, "Salam hormat untuk Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum..."
"Salam hormat kembali untukmu, Ki Sanak,"
Sahut Madewa. Lalu menyuruh Pratama keluar. Setelah itu, "Ki Sanak... silahkan duduk. Jangan
terlalu sung-kan."
Pemuda itu pun duduk di hadapan Madewa
Gumilang dan Ratih Ningrum.
"Hmm... ada keperluan apa kau hendak mene-muiku, Barong Seta?" tanya Madewa
Gumilang. Pemuda yang tak lain Barong Seta putra dari
Roro Santika dan Seda Arya itu kembali menjura.
Setelah sepuluh tahun lamanya dia digembleng
oleh si Bongkok Bergigi Emas, kini dia telah menjadi seorang pemuda gagah dan
sakti. Di sela-sela dia berlatih, saat dia berusia 15
tahun, ibunya menceritakan apa yang sesung-
guhnya telah terjadi. Dan bukan main geramnya
Barong Seta. Dia berulangkali mendesak ibunya
dan gurunya untuk turun gunung mencari orang-
orang yang telah menghancurkan keluarganya.
Namun berulangkali pula hal itu dilarang.
Sampai suatu ketika, Roro Santika meninggal
dunia akibat penyakit. Bukan main sedihnya hati Barong Seta. Dan suatu malam,
tiba-tiba saja dia dipanggil oleh si Bongkok Bergigi Emas.
"Muridku..." kata si Bongkok Bergigi Emas.
"Genap sudah sepuluh tahun lamanya kau berguru padaku. Dan kini semua ilmu yang
kumiliki telah kau kuasai dengan sempurna. Kini kau telah menjadi seorang
pendekar yang amat tangguh.
Nah, katakanlah... apa permintaanmu terakhir..."
"Permintaan terakhir, Nenek?" tanya Barong Seta heran.
Meskipun dia berguru pada si Bongkok Bergigi
Emas, namun dia tetap memanggilnya nenek, ti-
dak guru seperti kebanyakan para murid jago-
jago silat. "Ya, permintaan terakhir. Karena kau harus turun gunung hari ini juga."
"Tetapi Nenek?"
"Kau harus mencari pengalaman, Barong. Dan ingat, kau ditugaskan oleh ibumu
sebelum dia meninggal untuk mencari orang-orang yang telah menghancurkan keluargamu. Nah,
katakanlah apa permintaanmu?"
Barong Seta menundukkan kepalanya. Ya... dia
memang harus mencari dan membunuh orang-
orang yang telah menyebabkan keluarganya han-
cur. Lalu perlahan-lahan dia mengangkat kepa-
lanya, menatap si Bongkok Bergigi Emas yang
duduk di atas batu.
Keduanya berada di luar. Hawa dingin sebe-
narnya begitu menusuk hingga ke tulang sum-
sum. Namun keduanya telah menghalanginya dan
menghangati tubuh mereka dengan tenaga dalam.
"Permintaanku... ingin mencari dan membu-
nuh orang-orang yang telah menghancurkan ke-
luargaku, Nenek..."
"Bagus! Carilah dan bunuh mereka semua!"
"Tapi ke mana aku harus mencarinya, Nenek."
"Aku pun tidak tahu di mana orang-orang berada. Tetapi mintalah petunjuk kepada
manusia sakti yang bernama Madewa Gumilang alias Pen-
dekar Bayangan Sukma. Konon dia memiliki ilmu
Pandangan Menembus Sukma, hingga baginya
tak ada kesulitan untuk mengetahui sesuatu yang jatuh sekali."
"Kalau begitu... di manakah saya bisa men-jumpainya, Nenek?" tanya Barong Seta
pula. "Pergilah kau ke arah Timur Gunung Slamet, Cucuku. Di sebuah perguruan yang
bernama Perguruan Topeng Hitam, kau dapat menjumpai ma-
nusia dewa itu..."
"Baiklah, Nenek.... saya pergi sekarang juga."
"Bagus, lebih cepat lebih baik. Sampaikan sa-lamku kepadanya, Cucuku..."
Dan malam itu juga Barong Seta meninggalkan
tempat yang sepuluh tahun lamanya dia tinggali.
Memang berat rasanya untuk meninggalkan tem-
pat itu. Namun bila dia ingat akan kematian ayah dan
ibunya yang begitu mengenaskan, dendamnya be-
gitu membara. Selama satu bulan dia berjalan, kini dia tiba di Perguruan Topeng Hitam. Dan
sekarang tengah
berhadapan dengan Madewa Gumilang dan Ratih
Ningrum. "Salam dari guruku si Bongkok Bergigi Emas, Ketua..." kata pemuda itu pada
Madewa. Madewa tertawa. "Hahaha... rupanya kau murid dari sahabatku yang bergelar si
Bongkok Bergigi Emas. Bagaimana keadaannya, Barong?"
"Beliau sehat-sehat saja sepeninggal saya pergi." "Tentunya kau telah mewarisi
semua ilmu dari si Bongkok Bergigi Emas, bukan?"
"Memang begitulah adanya, Ketua...?"
"Barong... kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Ada maksud apa kau hendak
menjumpai-ku?"
"Maafkan aku yang telah mengganggu ketenanganmu dan ketenangan istrimu, Ketua.
Maksud kedatanganku, ingin bertanya padamu. Di mana-
kah Ki Tunggang Rekso, Ki Bayu Utara, Ki Pergola Buto, Ki Jalak Pancang dan Dewi
Bercadar Merah berada?"
Kening Madewa berkerut. Nama-nama yang
disebutkan oleh pemuda itu cukup dikenalnya.
Nama-nama dari golongan hitam.
Namun dia belum tahu siapa gerangan Dewi
Bercadar Merah adanya.
"Hm.... dengan maksud apa kau bertanya tentang keberadaan mereka di mana,
Barong?" Berceritalah Barong Seta tentang sebab-sebab
dia mencari orang itu.
"Lalu kau hendak bermaksud membalas den-
dam?" "Benar, Ketua."
"Apakah kau tidak tahu kalau dendam itu tidak baik, Barong?"
"Saya tahu, Ketua."
"Lalu mengapa kau hendak melakukannya?"
"Karena saya yakin, kedua orang tua saya tidak akan tenang matinya sebelum
kelima orang itu
mampus di tangan saya."
"Barong... agaknya saat ini kau tengah diliputi dendam yang cukup berbahaya. Kau
tidak tahu apa akibat dendam itu?"
"Saya tahu, ketua. Kelima orang itu akan dan harus mampus di tangan saya!"
"Nah, bukankah itu amat berbahaya, Barong..."
Barong Seta mengangkat kepalanya. Dia dapat
menangkap maksud dari Madewa Gumilang yang
sepertinya ingin menantang rencananya.
"Ketua... saya datang hanya ingin meminta petunjuk di mana orang-orang itu
berada. Lainnya tidak."
"Dengarlah dulu kata-kataku, Barong. Bila kau
mencari mereka dengan maksud membalas den-
dam dan membunuh, aku tak akan pernah mem-
beritahukan di mana mereka berada."
"Mengapa, Ketua?"
"Karena rencanamu itu amat keji sekali."
"Dan mereka lebih keji karena membantai semua keluargaku dan para penduduk
desaku. Ke- tua!" kata pemuda itu dengan nada keras.
Madewa tersenyum. Dapat menyelami perasaan
dan gejolak jiwa muda Barong Seta.
"Barong.... tentunya kau dapat pula memahami keadaan yang terjadi pada
keluargamu. Dan tentunya kau dapat memahami pula keadaanmu


Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sekarang ini. Bila kau dapat meredam se-
mua emosi dan amarahmu untuk membalas den-
dam, maka kau akan menjadi manusia yang sem-
purna." "Aku tidak akan menjadi manusia sempurna
bila belum membunuh orang-orang itu, Ketua!"
"Dengarlah kata-kataku, Barong...."
"Ketua!" potong Barong Seta. Jiwa mudanya telah bergejolak dan menggelegak. "Aku
datang bukan untuk mendengar khotbah dan nasehatmu.
Tetapi aku datang untuk meminta petunjukmu.
Bila kau tidak memberitahu, aku pun akan tetap mencarinya! Tanpa atau dapat
petunjuk darimu!"
"Barong.... dengarkan dulu kata-kataku!"
Tetapi pemuda itu sudah berdiri, "Selamat pa-gi, Ketua!" desisnya seraya
melangkah keluar.
Madewa Gumilang mendesah. Sayang, pemuda
itu terlalu dihantui oleh rasa dendam dan ama-
rahnya. Bila saja pemuda itu mau menggunakan
sedikit akal sehatnya, tentunya dia dapat memahami kata-katanya.
Ratih Ningrum berkata pada suaminya, "Kan-da.... bila kau mengetahui di mana
orang-orang itu berada, mengapa kau tidak mengatakannya
pada Barong Seta?"
Madewa tersenyum pada istrinya.
"Bila dia tidak sedang mendendam atau marah, tentu aku akan memberitahukan
padanya, Dinda..."
"Aku sedih mendengarkan kejadian yang telah menimpa keluarganya...."
"Begitu pula denganku, Dinda.... Tetapi aku tak bisa melepaskan pemuda itu yang
tengah diliputi dendam. Aku kuatir sepak terjangnya akan menjadi ganas dan
telengas."
"Kalau begitu... mengapa kau tidak memberitahukan padanya tadi?" tanya Ratih
Ningrum pula. "Bukankah bila dia sudah tahu, dia akan langsung mencari orang-orang itu?"
"Ya, dia akan menurunkan tangan telengas padanya. Siapa tahu orang-orang yang
sedang dicarinya sudah bertobat, Dinda...."
"Bagaimana bila belum, Kanda?"
"Dinda tentunya bisa memaafkan mereka?"
"Bagaimana bila dia tidak mau memaafkan?"
"Itulah yang aku cemaskan."
"Lalu apa rencanamu setelah ini, Kanda?"
"Aku bermaksud akan mengikutinya, Dinda...."
"Kanda...." Ratih Ningrum mendesah. "Bukan-
kah ini suatu pekerjaan lagi bagimu" Bila kau
sudah mengatakannya tadi, tentunya kau tak per-lu sibuk mengikuti jejaknya."
"Bila kukatakan pun aku akan mengikutinya."
Kembali Ratih Ningrum mendesah. Dia sudah
senang suaminya tidak terlibat lagi dalam urusan ini. Tetapi memang tak ada
jalan lain. Dan Ratih Ningrum pun tahu akan isi hati suaminya. Yang
selalu mencoba melihat keadilan. Yang selalu menolong yang lemah.
Namun meskipun begitu, Ratih Ningrum men-
ginginkan dia bisa berlama-lama dengan sua-
minya di kediaman mereka ini.
Lalu kembali dia menatap suaminya.
"Jadi itu rencanamu, Kanda?"
"Ya, Dinda..."
"Bolehkah aku turut menyertaimu?"
Madewa tertawa.
"Mengapa kau harus bertanya lagi. Aku pun bermaksud untuk mengajakmu, Dinda...
Mengapa tidak" Kau adalah istriku, yang selalu setia men-dampingiku baik suka maupun
duka. Bukankah begitu, Dinda...."
"Iya, Kanda... Sampai kapan pun aku akan tetap mendampingimu..."
"Kau memang istriku yang setia, Dinda Ra-
tih..." "Dan kau pun begitu setia padaku Kau selalu menjagaku, Kanda..." kata Ratih
Ningrum sambil merebahkan tubuhnya di pelukan suaminya.
"Karena kau adalah istriku, Dinda... Itu sudah
merupakan kewajibanku untuk menjagamu," kata Madewa Gumilang sambil merangkul
pula tubuh istrinya. Ratih Ningrum semakin menyusupkan kepa-
lanya ke dada suaminya. Dan dia merasakan satu ketentraman mengaliri seluruh
tubuhnya berada
dalam rangkulan itu.
Damai. Betapa damainya. ***
7 Setelah meninggalkan Perguruan Topeng Hi-
tam, Barong Seta pun melanjutkan perjalanannya untuk mencari orang-orang yang
telah menghancurkan keluarganya.
Suatu pagi, dia tiba di sebuah desa yang per-
mai. Dia pun telah mengisi perutnya di sebuah ke-
dai. Tiba-tiba terjadi keributan di luar kedai itu.
Orang-orang pun berlarian keluar termasuk Ba-
rong Seta. Di luar terlihat pemandangan yang mengeri-
kan. Lima orang laki-laki berwajah seram dengan golok di tangan tengah
menghentikan sebuah kereta kuda. Dan di atas kereta itu telah tergolek satu
sosok tubuh yang menjadi mayat. Sais kereta itu rupanya.
Dan di dekat kereta itu, lima sosok tubuh pun
telah menjadi mayat.
Rupanya tengah terjadi perampokan di pagi ini.
Salah seorang yang berwajah seram itu mem-
bentak pada yang menonton, "Jangan ada yang coba-coba menghalangi maksud kami!
Maka dia akan mampus!"
Yang menonton pun tak punya keinginan un-
tuk mencampuri urusan itu. Mereka ngeri. Meli-
hat wajah orang-orang yang beringas itu saja mereka sudah ketakutan, apalagi
nekat untuk menghalangi. Bahkan ada yang diam-diam meninggalkan
tempat itu. Mereka sudah tahu siapa kelima
orang ini. Mereka bergelar Lima Golok Setan, yang kerjanya hanyalah membuat
onar. Dan mereka
kadang-kadang suka berbuat nekat. Seperti hal-
nya merampok kereta kuda di pagi ini!
Dan mereka pun tahu siapa yang tengah di-
rampok oleh orang-orang ini. Juragan Mayu Dadi, orang terkaya di desa ini.
Mereka mendengar orang-orang itu memben-
tak, "Juragan! Cepat keluar dari kereta kuda! Bila tidak ingin nyawamu kubunuh!"
Dari dalam kereta kuda itu keluar sosok tubuh
tambun berpakaian indah dan mengenakan per-
hiasan yang mahal. Sosok tubuh itu berkeringat wajahnya pias.
Orang yang membentak tadi tertawa.
"Hahaha... rupanya orang yang terkaya ini punya penyakit ketakutan juga
rupanya!" "Apa... apa yang hendak kalian minta padaku?"
desis Mayu Dadi ketakutan dan terbata-bata. Sepasang matanya mengerjap-ngerjap
bagai mata kelinci. "Kami hanya meminta uang dari hasil penjualan tanahmu, Juragan!"
"Uang... Uang apa" Siapa yang menjual tanah"
Siapa yang dapat uang?" kata laki-laki tambun itu terbata-bata.
"Jangan berpura-pura, Gendut!" bentak orang itu yang membuat tubuh Mayu Dadi
mengkerut. Dan memang laki-laki itu mendadak saja merasa-
kan tubuhnya menjadi ciut.
"Aku... aku..." desisnya gugup dan keringat semakin bertambah deras membasahi
tubuhnya. Dia tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya ketika orang itu melangkah kakinya.
"Jangan berbuat macam-macam padaku, Gen-
dut!" "Ah... iya, iya! Aku..."
Sreet! golok itu pun keluar dari sarungnya.
Membuat Mayu Dadi menjadi bertambah mengke-
rut. "Kau mau lehermu terpisah dari tubuhmu,
Gendut?" "Tidak, tidak..."
"Cepat serahkan uang itu bila kau tidak ingin lehermu pisah dari kepalamu!"
Tergagap dan terburu-buru Mayu Dadi masuk
kembali. Dia pasrah dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Diambilnya kantong uang
yang baru sa-ja diambilnya dari desa sebrang sebagai pembaya-
ran tanahnya. Orang itu terbahak melihat Mayu Dadi muncul
kembali dengan kantong uangnya.
"Cepat serahkan uang itu padaku!"
Mayu Dadi memang pasrah. Dia melirik dulu
kantong uangnya dengan perasaan sayang.
"Cepat! Aku tidak suka bertele-tele begini!"
Sebelum Mayu Dadi memberikan kantong yang
berisi uang itu, tiba-tiba terdengar seruan, "Tunggu!"
Dan satu sosok melenting melewati beberapa
orang yang menonton. Orang-orang yang dilewati satu sosok tubuh itu terkejut.
Dan lebih kaget lagi ketika sosok tubuh itu
hingga di hadapan mereka dan berdiri berhada-
pan dengan kelima orang bergolok yang menjadi
tertawa. "Hahaha... rupanya kau yang membentak tadi, haha"!" tertawa orang yang pertama.
Sosok tubuh yang tak lain adalah Barong Seta
cuma tersenyum saja.
"Lebih baik kalian hentikan perbuatan biadab kalian ini sebelum aku menjadi
marah"!"
"Marah" Hahaha... rupanya bocah ini mau jual tampang, kawan-kawan!"
Tawa dari orang-orang itu pun membahana.
"Agaknya kalian memang orang-orang som-
bong! Hanya sayang, kesombongan dan kebiada-
ban kalian hari ini akan terhenti!"
"Hei, kau bicara apa bocah"!" bentak orang itu gusar dengan mata melotot.
"Apakah kau mendadak saja menjadi tuli,
hah"!"
"Bangsat! Rupanya bocah ini belum mengenal siapa kita, Kawan-kawan! hajar!"
Serentak keempat laki-laki temannya mengu-
rung Barong Seta. Tetapi yang dikurung hanya
tersenyum saja.
"Kalian rupanya sudah bosan hidup!"
"Kau yang bosan hidup, Bocah!"
"Perlihatkanlah kepadaku apakah omonganmu itu benar"!"
"Anjing buduk! Hajar bocah itu!"
Serentak empat buah golok yang amat tajam
berkelebatan ke arah Barong Seta. Namun Barong Seta yang sekarang telah menjadi
seorang pemuda gagah perkasa. Dia adalah murid tunggal si
Bongkok Bergigi Emas.
Bersamaan golok-golok itu berkelebat, Barong
Seta pun bergerak. Gerakannya cepat. Dan yang
membuat para penyerangnya kaget ketika men-
dadak saja mereka melihat golok-golok di tangan mereka sudah tidak ada lagi.
Malah kini sudah berpindah tangan.
"Bocah setan! Pantas kau berani menentang kami! Rupanya kau punya keahlian
juga!" Orang-orang yang menonton yang semula amat
menyesali dan ketakutan pemuda itu akan kena-
pa-napa, mendesis kagum melihat satu gerakan
yang amat cepat diperlihatkan Barong Seta. Bahkan kini mereka berseru-seru,
"Hajar saja orang-orang itu!"
"Bunuh!"
"Jangan beri ampun!"
"Mereka kerjanya hanya membuat onar saja!"
"Ya, bunuh saja!"
Seruan-seruan itu terdengar ramai. Orang yang
pertama dari Lima Golok Setan tadi menggeram
murka. Dia menyerbu dengan golok di tangan ke
arah Barong Seta.
Tetapi dia harus menghindar karena tangan
Barong Seta bergerak melepaskan empat golok
yang ada di tangannya,
"Anjing buduk!" maki orang itu terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika melihat
empat kawannya mengaduh dan ambruk menjadi mayat dengan
dada tertancap golok masing-masing.
Merahlah wajahnya.
"Kau benar-benar mencari mampus rupanya,
Bocah!" "Atau kau yang akan mengikuti jejak keempat kawanmu itu, hah"!"
"Bangsat!" gerutu orang itu seraya menyerbu kembali.
Kali ini serangan goloknya begitu dahsyat dan
cepat. Namun bagi Barong Seta itu bukanlah sua-tu yang membuatnya bingung, jeri
atau pun ketakutan.
Malah dia hanya menggeser tubuhnya saja, la-
lu melompat. Dan tangan kanannya bergerak
dengan cepat. "Hup!"
Ujung golok itu tertangkap.
Dan tangan kirinya pun bergerak menotok urat
di bawah pangkal lengan.
Lawannya terkejut dan menjerit kesakitan. Dia
merasakan kesemutan dan hawa dingin mengaliri
sekujur tubuhnya.
Sadarlah orang itu kalau lawan yang dihada-
pinya tidak enteng. Namun dia sudah kepalang
malu. Dia yang selalu bikin onar dan keributan harus kalah oleh seorang pemuda.
Maka tanpa memperdulikan keselamatannya
lagi, dia menerjang dengan pukulan lurus ke wajah Barong Seta. Namun tanpa
bergeser dari berdirinya, Barong Seta melancarkan serangan pula ke wajah orang
itu. Waktunya hampir bersamaan.
Orang itu terkejut dan menarik tangannya un-
tuk menangkis pukulan Barong Seta. Saat itulah Barong Seta melepaskan pukulan
tangan kirinya.
"Des!"
Tepat mengenai perut orang itu yang kontan
mengaduh keras dan bergulingan. Dia merasakan
perutnya sungguh mual.
Dan karena terlanjur malu dia kembali bangkit
menyerbu. "Bandel! Bukannya minta maaf, malah nekat menyerang lagi!" maki Barong Seta.
Kali ini dia pun tidak memberi ampun lagi.
Tangannya bergerak.


Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Des! Des!"
Dua pukulan mengakhiri perlawanan laki-laki
itu. Bahkan nyawanyapun melayang karena pu-
kulan itu tepat mengenai jantungnya.
Orang-orang berseru ramai.
Pemuda itu dielu-elukan.
Barong Seta cuma tersenyum.
Ketika dia hendak meninggalkan mereka, ter-
dengar suara memanggilnya, "Tunggu Pemuda!"
Barong Seta menghentikan langkahnya.
Berbalik. Dan melihat Juragan Mayu Dadi yang me-
manggil dan sekarang sedang berjalan mendeka-
tinya. "Ada apa, Tuan?"
"O-ho... jangan panggil aku Tuan. Namaku
Mayu Dadi. Kau bisa memanggilku Mayu saja,
Pemuda gagah..."
"Tidak, saya akan tetap memanggilmu dengan sebutan Tuan. Seperti yang dilakukan
oleh orang-orang desa."
"Ya, ya... terserah, terserah apa maumu."
"Nah, ada apa Tuan memanggilku?"
"Hehehehe... aku, aku.... ya, ya... aku mengu-capkan banyak terima kasih atas
pertolonganmu ini..." "Tidak banyak yang kulakukan untuk Tuan...."
"Kau bisa melakukannya untukku..."
"Apa maksud Tuan?"
"Maksudku... hehehe... maaf, maaf bila kau tersinggung. Maukah... kau menjadi
jago bayaranku dengan upah yang mahal... heheh... maaf, maaf bila kau
tersinggung..."
"Maksud Tuan, saya bekerja sebagai jago baya-
ran Tuan?"
"Ya, ya... kau tidak marah" Ah, kau pasti ku-bayar dengan mahal, aku., ya, ya...
sebenarnya lima orang yang mati itu adalah jago-jago bayaranku. Sayang, ilmu dan
kepandaian mereka ma-
sih berada di bawah kelima golok Setan... Kau
mau, bukan?" kata Mayu Dadi penuh harap.
"Bagaimana bila saya menolak?"
"Oh., jangan, jangan... e, maaf... ya, ya... terse-rahmu... Tapi aku berani
membayarmu mahal,
Pemuda. Aku pun masih memiliki empat jago-jago bayaran di rumah. Nah, bagaimana
dengan tawaran itu?"
Barong Seta terdiam. Berpikir. Ya, itu memang
suatu tawaran yang menarik. Selain mendapat
tempat gratis, makan gratis, juga dibayar. Bu-
kankah ini sesuatu yang mengasyikan.
Dan di samping itu dia punya tempat tinggal
sementara dia mencari orang-orang yang telah
menghancurkan keluarganya.
Ditatapnya Mayu Dadi.
"Baiklah, tuan... saya menerima tawaran itu..."
"O... bagus, bagus sekali., ayo ke rumahku..."
kata Mayu Dadi sambil mengajak Barong Seta ke
kereta kudanya. "Siapa namamu, Anak muda?"
"Barong Seta."
"Nah, Barong Seta... mulai saat ini kau adalah pengawal pribadiku merangkap jago
bayaranku. Kau bisa mengendalikan kereta kuda ini?"
"Dengan senang hati, Tuan!"
Dan mulai saat itu Barong Seta tinggal sebagai
pengawal pribadi dan jago bayaran Mayu Dadi.
Dia pun berkenalan dengan empat jago-jago bayaran tuannya.
Kemana pun Mayu Dadi pergi, Barong Seta se-
lalu menemaninya. Semua pekerjaan Mayu Dadi
menjadi lancar dan berhasil.
Para penduduk di sana pun menyukai sepak
terjang Barong Seta yang mereka anggap begitu
arif. Begitu pula halnya dengan empat orang jago
bayaran Mayu Dadi. Meskipun mereka lebih lama
bekerja sebagai jago bayaran, namun mereka tak pernah iri pada Barong Seta.
Bahkan mereka menaruh hormat pada pemuda itu.
Tetapi yang membuat mereka heran, karena se-
tiap kali bila tidak sedang mengawal Juragan
Mayu Dadi pergi, mereka sering melihat Barong
Seta melamun. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk ber-
tanya. Setelah makan malam, mereka pun berkumpul
di luar rumah besar itu.
"Barong... sebagai teman, aku menaruh rasa heran melihat sikapmu yang selalu
melamun," ka-ta Suma Agung.
"Benar, Barong... bila ada sesuatu masalah yang mengganggu hatimu, sebagai
teman, kami semua ingin mengetahuinya," tambah Genda Su-ta. Barong Seta menatap teman-
temannya. Dia menghela nafas.
"Memang ada sebuah masalah yang amat
mengganggu pikiranku," katanya.
"Apakah itu" Bila kami boleh tahu?" tanya Sumantri Puro.
"Ya, Barong... barangkali kami bisa membantumu memecahkan masalah yang tengah
kau ha- dapi..." kata Purna Jaya.
"Aku tidak ingin membuat kalian menjadi ikut berpikir dan ikut berprihatin.
Biarlah masalah ini aku tanggung sendiri."
"Barong... kami menganggapmu sebagai teman, sahabat, bahkan saudara. Kami tidak
suka melihatmu punya masalah tanpa membagi pada kami.
Kami merasa berdosa bila melihatmu selalu me-
lamun saja," kata Suma Agung.
Lagi Barong Seta menatap keempatnya.
"Kalian memang teman-temanku yang baik.
Baiklah, aku akan menceritakannya pada kalian,"
kata Barong Seta. Lalu dia pun bercerita tentang kerisauan hatinya.
Mendengar cerita Barong Seta, keempatnya
menjadi geram sekali.
"Barong... kami akan membantumu mencari
dan membunuh orang-orang biadab yang telah
menghancurkan keluargamu!" kata Sumantri Pu-ro berapi-api.
"Benar, Barong! Bahkan kami bersumpah un-
tuk membunuh mereka!" kata Suma Agung.
"Sudahlah... biarlah aku yang menghadapi semua ini!" kata Barong Seta. Mau tak
mau hatinya menjadi terharu melihat kesetiaan persahabatan
yang dilakukan keempat sahabatnya ini.
"Tidak, kedatanganmu sudah membuat kami
enak di sini! Bahkan kami pun sudah mengang-
gapmu sebagai saudara! Kami tidak akan berdiam diri melihatmu mempunyai
persoalan yang terasa begitu menyulitkan!" kata Purna Jaya.
"Benar, Barong!" sambung Genda Suta. "Nah, kawan-kawan, mari kita bersumpah
untuk menolong Barong Seta!"
Keempatnya berdiri.
Genda Suta berkata, "Kalian ikut sumpahku ini!" katanya dan berkata-kata diikuti
oleh teman-temannya, "Kami bersumpah, demi langit dan bumi, akan menolong Barong
Seta mencari orang-orang biadab yang menghancurkan keluarganya!
Meskipun ada rintangan seberat apa pun kami
tak akan mundur! Dan kami pun tak akan mun-
dur bila ada yang menghalangi niat kami ini! Bila kami melanggar sumpah, biarlah
Yang Maha Kuasa akan mengutuk kami untuk lumpuh selama-
lamanya!" Bersamaan sumpah itu selesai diucapkan, tiba-
tiba saja langit menjadi gelap. Dan petir terdengar sambar menyambar.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras.
Barong Seta melihat keempat sahabatnya men-
gulurkan tangan mereka.
Genda Suta berkata, "Ulurkan tangan kanan-mu pula, Barong!"
Walau tidak mengerti apa maksud dari Genda
Suta menyuruhnya mengulurkan tangan, Barong
Seta hanya mengikuti saja.
Tiba-tiba Genda Seta mencabut pisaunya yang
dijadikan sebagai senjata rahasianya.
Dia menatap ke langit yang menjadi gelap.
Hujan tetap turun dengan derasnya.
"Wahai langit dan bumi! Kalian yang menjadi saksi sumpah kami ini!" serunya
lantang menga-lahkan hujan yang turun dengan deras.
Dan tiba-tiba tangannya bergerak cepat, meng-
gores pergelangan tangannya hingga mengelua-
rkan darah. Lalu pisau itu diberikannya pada
Purna Jaya yang juga berbuat yang sama.
Begitu pula Suma Agung dan Sumantri Puro.
Terakhir Barong Seta sendiri yang ikut-ikutan pu-la. Lalu darah yang mengalir
dari pergelangan
tangan itu disatukan. Berarti mereka telah men-gikat sumpah menjadi bersaudara.
Barong Seta semakin terharu melihat kesetiaan
para sahabatnya itu.
"Terima kasih, Saudaraku semua. Sumpah kalian tak akan pernah kusia-siakan!"
Hujan pun semakin deras turun membasahi
bumi. Membasahi kelima orang itu yang masih
berada di sana.
*** 8 Lima orang penunggang kuda itu menghenti-
kan laju kudanya tepat di tengah-tengah desa.
Salah seorang penunggangnya seorang wanita
yang mengenakan cadar berwarna merah. Dia tak
lain adalah Mawar, dan keempat penunggang ku-
da lainnya adalah empat orang gurunya.
"Hmm... desa ini begitu makmur, Guru..." kata Mawar.
"Benar, kita bisa berbuat apa saja yang kita inginkan di sini," kata Ki Jalak
Pancang. "Kalau begitu, kita isi perut saja dulu!" Ki Tunggang Rekso seraya menjalankan
kudanya ke kedai nasi. Kedatangan orang-orang itu begitu menarik
perhatian para pengunjung kedai makan itu.
Mereka pun masih memperhatikan ketika ke-
limanya menyantap hidangan.
Namun mereka harus kembali menunduk keti-
ka secara tiba-tiba Ki Pergola Buto menggebrak meja dan menggeram, "Mau apa
kalian melihat-lihat kami hah"!"
"Sudahlah, Guru..." kata Mawar. "Biarkan saja.
Toh, nanti kita akan menguasai orang-orang goblok itu."
Ki Pergola Buto duduk kembali dengan hati
jengkel. Menyantap hidangannya lagi.
Setelah itu mereka pun keluar.
Merasa mereka belum membayar, pemilik kedai
nasi itu pun bergegas menghampiri.
"Tuan-tuan sekalian... kalian belum membayar apa yang telah kalian makan..."
Ki Pergola Buto menggeram.
"Berapa?"
Pemilik kedai nasi itu menjadi ciut melihat sepasang mata yang melotot itu.
"Mu... murah, Tuan..."
"Berapa"!"
"Cuma.... cuma dua keping uang perak..."
"Hmm.. "Ki Pergola Buto menggumam. Dan ti-ba-tiba saja dia menggerakkan tangan
kanannya ke wajah laki-laki setengah baya itu.
"Des!"
Wajah laki-laki setengah baya itu terhantam
oleh pukulannya yang keras. Dia bergulingan beberapa kali di lantai, menabrak
kursi dan meja.
Lalu terdiam tak bergerak, karena nyawanya telah melayang dengan kepala pecah.
Para pengunjung rumah makan itu menjadi
terkejut melihat tangan telengas orang-orang itu Tetapi mereka tak berani
berbuat apa-apa. Masih duduk di tempat masing-masing.
"Siapa yang berani lagi menagih, hah"!" bentak Ki Pergola Buto dengan marah.
Namun tak seorang pun yang berani menja-
wab. Lalu kelima orang itu pun meninggalkan kedai.
"Tunggu!" terdengar seruan itu.
Kelimanya tidak jadi menjalankan kuda mas-
ing-masing. Dan melihat seorang laki-laki tengah bersalto dan telah berdiri di
hadapan mereka.
Laki-laki itu adalah Sumantri Puro, yang kebe-
tulan juga sedang makan di sana.
"Hhh! Mau apa kau"!" bentak Ki Pergola Buto.
"Maafkan aku yang mengganggu perjalanan kalian. Kalau boleh aku bertanya, apakah
wanita yang bercadar merah itu yang berjuluk Dewi Bercadar Merah?"
"Kalau iya kau mau apa"!"
"Apakah kalian yang bernama Ki Tunggang
Rekso, Ki Bayu Utara, Ki Pergola Buto dan Ki Jalak Pancang?"
Orang-orang itu berpandangan. Karena ada
yang tahu nama mereka.
"Ya, kamilah orang-orang yang kau sebutkan itu!" sahut Ki Jalak Pancang.
Sumantri Puro mendesis dalam hati. Jadi ini
orang-orang yang telah menghancurkan keluarga
Barong Seta. Tadi sebenarnya saat makan dia sudah memperhatikan orang-orang itu.
Dan yang membuatnya heran ketika melihat yang wanita
mengenakan cadar berwarna merah. Dia jadi te-
ringat akan cerita Barong Seta.
"Kalau begitu kebetulan! Ada seorang kawanku yang tengah menanti kedatangan
kalian?" "Siapa dia?"
"Kalian tunggulah di sini! Lima belas menit kemudian aku akan kembali lagi!"
Sumantri Puro pun berlari. Dan menceritakan
semua itu pada Barong Seta. Bersama ketiga ka-
wan mereka yang lain, kelimanya pun kembali ke tempat semula.
Sumantri Puro berkata, "Ini kawanku yang ingin bertemu dengan kalian!"
Orang-orang yang menunggu itu heran karena
merasa belum pernah mengenal Barong Seta.
"Apa-apaan maksudmu ini"!" bentak Ki Tunggang Rekso.
"Dengarlah dulu kata-katanya, baru kau akan mengerti!" kata Sumantri Puro yang
tak perduli dengan kata-kata Ki Tunggang Rekso.
Barong Seta mendengus. Inikah orang-orang
yang telah menghancurkan keluargaku" desisnya
dalam hati. Lalu dia berkata, "Bila kalian memang benar orang-orang yang sedang kucari, aku
hendak bertanya pada kalian?"
"Bertanya apa, Pemuda sok tahu!" menggeram Ki Jalak Pancang., "Kau telah lancang


Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani menghalangi perjalanan kami!"
"Maaf... ingatkah kau akan kejadian sepuluh tahun yang lalu di mana kau membunuh
Bupati Seda Arya dan menghancurkan keluarganya?"
Sudah tentu orang-orang itu masih mengingat-
nya. Bahkan mereka sampai sekarang tetap ingat akan kejadian itu.
"Hh! Lalu apa hubungannya denganmu"!" bentak Ki Jalak Pancang lagi.
"Masih ingatkah kalian kalau bupati dan istrinya memiliki seorang putra?"
"Ya, yang tentunya sudah mampus sekarang!"
"Ingatkah kalian siapa namanya"!"
"Tentu saja kami ingat bocah sialan itu! Dia bernama Barong Seta! Hei, ada apa
kau bertanya-tanya seperti ini"!"
"Jangan gusar!" seru Barong Seta dengan ke-
marahan yang ditahan. "Hari ini kalian tengah berhadapan dengan putra dari
Bupati Seda Arya dan istrinya Roro Santika..."
"Apa"!"
"Ya, akulah Barong Seta... bocah sepuluh tahun yang lalu belum mengerti apa yang
tengah terjadi. Dan sekarang, aku ingin meminta per-
tanggungjawaban kalian semua!"
Orang-orang itu sungguh tidak menyangka ka-
lau putra dari bupati Seda Arya dan Roro Santika masih hidup. Tetapi tentu saja
hanya sejenak ke-kagetan mereka. Karena kemudian terdengar sua-
ra tawa mereka yang ramai.
"Hihihi... jadi kau putra dari Seda Arya?" terkikik Mawar.
"Hmm.... pantas, pantas... kau begitu gagah dan tampan, mirip ayahmu, Barong..."
"Diam kau perempuan iblis!" bentak Barong Seta. "Lebih baik kalian membunuh diri
sekarang, sebelum aku mencabut nyawa kalian!"
"Setan! Kau besar omong pula, hah"!" menggeram Dewi Bercadar Merah alias Mawar
sambil me- lompat dari kudanya dan langsung menyerbu ke
arah Barong Seta.
Barong Seta yang sudah bersiap sejak tadi se-
gera melayaninya dengan hebat dan sigap pula.
Tanpa disuruh lagi terjadilah pertarungan yang hebat antara keduanya.
Melihat Barong Seta sudah saling gebrak,
keempat temannya pun sambil menjerit keras
menyerang empat orang yang masih duduk di ku-
da-kuda mereka.
Pertempuran satu lawan satu pun terjadi.
Pertarungan yang begitu sengit.
Mendebarkan. Dan sungguh berbahaya.
Masing-masing mengeluarkan segenap ke-
mampuan dan kehebatan mereka. Saling mema-
merkan kecepatan yang sungguh cepat sekali.
Jurus demi jurus pun telah terlewat tanpa ter-
lihat ada yang terdesak.
Masing-masing pun sudah mengeluarkan sen-
jata-senjata mereka.
Ki Pergola Buto yang menghadapi Sumantri
Puro pun sudah mengeluarkan senjatanya sepa-
sang trisula. Dan dia pun mencecar Sumantri Pu-ro dengan cepat.
Namun Sumantri Puro pun bukanlah lawan
yang bisa dianggap enteng dengan sigap dan ce-
pat pula dia menghindari dan membalas seran-
gan-serangan itu.
Dan dengan satu gerakan yang amat cepat, dia
berhasil memukul lepas kedua trisula yang bera-da dalam genggaman Ki Pergola
Buto. Bahkan dia dapat memukulnya.
Ki Pergola Buto menjadi kalap. Dia bangkit
kembali menyerang dengan membabi buta. Na-
mun entah dari mana datangnya, mendadak saja
di ujung jari Sumantri Puro telah terdapat sebilah pisau yang langsung
dihujamkan pada dada Ki
Pergola Buto. Terdengar lolongan keras yang menyayat hati.
Tubuh Ki Pergola Buto pun ambruk dan men-
jadi mayat dengan bersimbah darah.
Dan satu per satu keempat kawan Barong Seta
berhasil mendesak lawannya. Lawan-lawannya itu kalah karena mereka terlalu
menganggap enteng.
Menyusul Ki Jalak Pancang tewas dengan leher
yang hampir putus. Lalu Ki Bayu Utara yang ha-
rus mati terduduk karena kedua kakinya terkena pisau terbang Genda Suta. Lalu
salah sebuah pisau menghujam tepat di dadanya.
Kini tinggal Ki Tunggang Rekso yang masih
menghadapi Suma Agung. Nampak keduanya be-
rimbang. Dan masing-masing masih dapat men-
guasai jalannya pertarungan.
Keduanya saling gebrak dengan hebat.
Saling hantam. Saling bernafsu untuk menjatuhkan lawan.
Begitu pula halnya dengan Barong Seta yang
menghadapi Dewi Bercadar Merah alias Mawar.
Keduanya pun sama-sama tangguh. Meskipun
Dewi Bercadar Merah berguru pada empat orang,
namun Barong Seta dapat mengimbangi semua
perlawanannya. "Kau harus mampus di tanganku, Perempuan
iblis!" "Atau kau sendiri yang akan mampus menyu-
sul ayah dan ibumu, Barong Seta!"
Keduanya saling serang dengan hebat. Jurus
demi jurus pun berlangsung dengan ketat.
Tiba-tiba terdengar jeritan Ki Tunggang Rekso, membuat konsentrasi Mawar
terganggu. Apalagi
dia sudah melihat tiga gurunya yang lain telah mampus.
Hal ini membuat Barong Seta menjadi mudah
untuk menjatuhkan pukulan.
"Des!"
Sebuah pukulannya menghantam dada Dewi
Bercadar Merah.
Hingga wanita itu terpelanting ke tanah.
Sementara itu Ki Tunggang Rekso tewas akibat
pisau terbang yang dilancarkan oleh Genda Suta.
Mawar mendengus marah. Baginya dia harus
membunuh Barong Seta.
Sambil memekik keras dia bergerak menyerbu.
Serangannya begitu ganas dan kalap. Membuat
Barong Seta sedikit kewalahan. Namun detik ke-
mudian, dia sudah bisa menguasai keadaan.
Karena Mawar dalam kondisi marah, seran-
gannya menjadi tidak terarah. Berkali-kali pukulan dan tendangan Barong Seta
mengenai sasa- rannya. Hingga membuat wanita itu kehilangan ke-
seimbangan. Dan dengan satu tendangan melom-
pat membuat wanita itu tersuruk ke belakang.
"Akkhhh!"
Mawar merasakan sakit yang luar biasa pada
perutnya. Dan baginya sulit untuk bangun lagi melanjutkan perlawanan.
Barong Seta tertawa.
Wajahnya mirip malaikat pencabut nyawa yang
siap menjalankan tugasnya.
Begitu buas dan mengerikan.
Dia menengadah menatap langit.
"Ayah dan Ibu! Kau lihatlah... hari ini orang-orang yang telah membuat matimu
tidak tenang, sudah terbunuh! Dan sekarang, saksikanlah pe-
rempuan iblis ini akan kucabut nyawanya!" serunya lantang. Tiba-tiba dia
berpaling pada Mawar. "Nah, perempuan iblis! Bersiaplah untuk mampus sekarang
juga!" Mawar cuma meringis. Dia yakin sudah tidak
mampu lagi untuk bangkit. Kini dia hanya pasrah menanti ajal.
Tiba-tiba sepasang tangan Barong Seta beru-
bah menjadi merah. Rupanya dia tengah menge-
luarkan ajian pamungkas ajaran si Bongkok Ber-
gigi Emas, Pukulan Sambar Nyawa!
Lalu sambil menjerit dia melesat ke arah Ma-
war yang hanya memejamkan mata, "Mampuslah kau, Perempuan Laknat!"
Namun tiba-tiba saja Barong Seta berbalik ke
belakang ketika dia merasakan ada sesuatu yang menghalangi pukulannya.
"Anjing! Siapa yang berani menghalangi ulahku ini!" geramnya setelah berdiri
dari bersaltonya.
Teman-temannya pun terkejut, karena mereka
tidak melihat ada sesuatu atau seseorang yang
menghalangi gerakan Barong Seta.
Dan mata mereka seperti terbuka ketika meli-
hat sosok tubuh berjubah putih yang tersenyum
arif dan bijaksana. Di sampingnya berdiri sosok wanita yang ramping dengan
pakaian ringkas dan sepasang pedang berselempangan di punggung-
nya. Barong Seta berseru kaget, "Ketua Madewa
Gumilang dan Ratih Ningrum!"
Orang yang tak lain Madewa Gumilang dan is-
trinya itu tersenyum. Dialah yang memapaki serangan Barong Seta dengan pukulan
angin salju dari jarak jauh.
"Maafkan kelancanganku, Barong..." kata Madewa tetap tersenyum, arif dan
bijaksana. Namun Barong Seta yang merasa jengkel kare-
na niatnya ada yang menghalangi menggeram
marah. "Ketua... dengan maksud apa kau menghalangi perbuatanku, hah"!"
"Barong... lawanmu sudah kalah. Apakah kau tega untuk tetap mencabut nyawanya"!"
"Ini urusanku, Ketua!"
"Di mana rasa belas kasihanmu, Barong?"
"Apakah orang-orang ini punya rasa belas kasihan ketika membantai ayahku dan
menyebab- kan ibuku mati menderita" Juga mereka dengan
seenaknya saja membantai orang-orang desaku"
Apakah aku harus mempunyai rasa belas kasihan
kepada orang semacam ini"!"
"Tetapi lawanmu sudah kalah, Barong..."
"Perduli setan! Aku akan tetap mencabut nyawanya!"
"Sadarlah, Barong... kau dirasuki dendam yang amat sangat, hingga kau bersikap
seperti iblis!"
Tiba-tiba berlompatan empat laki-laki mengha-
dang Madewa Gumilang. Suma Agung berkata
pada Barong Seta, "Barong... laksanakan saja keinginanmu itu! Biar kami hadapi
orang yang melarang ini!"
Madewa Gumilang tersenyum pada orang-
orang itu. "Lebih baik kalian sadarkan teman kalian yang mempunyai niat jelek itu. Di mana
rasa belas kasihan pada orang yang telah kalah"!"
"Madewa... kami telah lama mendengar nama besarmu. Tetapi kami telah bersumpah
akan membunuh siapa saja yang menghalangi sumpah
kami!" "Begitu pula dengan aku bila kularang Barong Seta melaksanakan niatnya?"
"Ya!"
"Kalau begitu... berarti kalian akan menghada-piku sebagai orang yang menentang
tindakan Ba- rong Seta!"
Sehabis Madewa berkata begitu, orang-orang
yang mengurungnya segera berlompatan menye-
rangnya. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri Ma-
dewa menghindarkan semua serangan itu. Bah-
kan dia menghantam mereka satu per satu den-
gan jurus Ular Cobra Bercabang Tiga.
Namun keempat orang itu yang telah bersum-
pah menjadi nekat.
Meskipun dia sudah tahu nama besar Madewa
Gumilang, mereka tidak perduli.
Kenekatan itu membuat Madewa menjadi jeng-
kel. Kali ini dia pun bergerak dengan Pukulan
Tembok Menghalau Badai. Karena dia tahu orang-
orang ini hanya terikat oleh sumpah, membuat-
nya jadi enggan untuk menurunkan tangan telen-
gas. Lagipula dia tahu, orang-orang ini hanya
membantu, Barong Seta.
Tetapi hal itu bukanlah membuat keempatnya
menjadi keder. Malah mereka nekat seakan men-
gadu nyawa. Dan sulit untuk Madewa menghindari semua-
nya. Sementara itu Barong Seta tengah melancar-
kan kembali pukulannya pada Mawar. Namun
Ratih Ningrum menghalanginya. Hingga keduanya
terlibat pertempuran yang amat hebat.
Madewa sendiri lama-lama merasa bisa kewa-
lahan menghadapi orang-orang ini. Lalu dia pun bergerak dengan cepat dan memukul
pingsan keempatnya. Sedangkan Ratih Ningrum tengah berjuang ke-
ras untuk menghindari dan membalas serangan-
serangan yang dilancarkan oleh Barong Seta.
Mendadak saja pemuda yang bertelanjang dada
itu bersalto seraya mengeluarkan Pukulan Sam-
bar Nyawanya. Hal ini membuat Ratih Ningrum
harus bergulingan menghindar. Dan tanpa didu-
ganya Barong Seta melancarkan pukulannya ke
arah Mawar. Maka tanpa ampun lagi wanita itu
pun tewas dalam keadaan yang mengerikan ter-
kena pukulan Sambar Nyawa.
"Barong!" seru Madewa melihat tangan telengas yang diturunkan Barong Seta.
Bagai tengah dirasuki iblis Barong Seta terke-
keh. "Mau apa kau, Madewa" Aku akan membunuh siapa saja yang berani menantang ku
dan menghalangiku"!"
"Sadarlah, Barong..."
"Persetan dengan kata-katamu! Mampuslah
kau, Madewa!" seru Barong Seta seraya menyerang dengan Pukulan Sambar Nyawanya.
Madewa tahu pukulan itu amat berbahaya, pukulan pa-
mungkas milik si Bongkok Bergigi Emas.
Maka dia pun menghindarinya dengan cepat


Pendekar Bayangan Sukma 18 Sumpah Jago Jago Bayaran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan hebat pula.
Namun Barong Seta tak mau kalau dia dijadi-
kan bulan-bulannya menghindar Madewa. Maka
dia pun mempercepat gerakannya.
Madewa dapat merasakan betapa hebatnya an-
gin yang ditimbulkan oleh pukulan yang sedang
dilancarkan Barong Seta. Dia pun dapat menduga pukulan sakti yang hebat itu akan
mampu menja-tuhkannya.
Tak ada jalan lain untuk menghentikan Barong
Seta kecuali menghadapinya. Tiba-tiba dia bersalto ke belakang. Saat bersalto
itu dia merangkum kedua tangannya. Dan terlihat asap putih yang
mengepul dari kedua tangan itu. Pukulan Bayan-
gan Sukma. "Sadarlah, Barong..."
"Perduli setan dengan ucapanmu, Madewa!
Mampuslah kau!"
Sambil memekik keras Barong Seta. Memang
tak ada jalan lain, Madewa mendesah pilu dalam hati.
Dan tak ada jalan lain lagi. Maka dia pun me-
mapaki pukulan yang dilancarkan Barong Seta
dengan Pukulan Bayangan Sukma.
Terjadi ledakan keras ketika kedua pukulan itu berbenturan.
"DUAAAR!"
Debu-debu berterbangan. Pekikan orang-orang
yang menonton terdengar. Satu sosok tubuh ter-
pental dari kepulan debu itu dan ambruk dengan tubuh hancur.
Ketika debu itu menipis terlihat tubuh Madewa
Gumilang yang berdiri tegak. Kepiluan terlihat jelas di wajahnya. Betapa pilunya
dia menyaksikan kematian Barong Seta.
Memang tak ada jalan lain.
"Maafkan aku, Barong..." desisnya pada angin.
Hatinya makin pilu.
Hati-hati Ningrum mendekati suaminya yang
tertunduk. SELESAI Scan: Clickers Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** 2 *** 3 *** 4 *** 5 *** 6 *** 7 *** 8 SELESAI Misteri Lukisan Tengkorak 4 Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Si Rase Kumala 3
^