Pencarian

Warisan Berdarah 2

Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah Bagian 2


lamat datang di Perguruan Topeng Hitam ini,
Guru...." Ketiga kakek itu semakin terharu. Mereka
masih ingat kalau dulu mereka pernah dikalah-
kan oleh Madewa Gumilang yang masih perjaka
dalam uji tanding di hadapan majikan mereka.
Dan kini pemuda yang telah tumbuh menjadi seo-
rang gagah perkasa memanggil mereka dengan
sebutan Guru, betapa makin terharu dan besar-
nya hati mereka.
"Madewa... tidak kusangka kau telah men-
jadi seorang tokoh yang disegani kawan maupun
lawan...." kata Mukti.
"Aku pun kagum denganmu, Madewa...."
kata Patidina. "Kau telah merawat dan melindungi murid kami terkasih. Ucapan
terima kasih yang
tak terhingga kami ucapkan..."
"Kami tetap merestui kalian sampai kapan
pun...." kata Tek Jien sambil menghapus air matanya. "Janganlah Guru berkata
demikian," kata Madewa tersenyum. "Aku tetap Madewa Gumilang yang dulu..."
"Ah, sifatmu itulah yang sejak dulu kagum
secara diam-diam, Madewa...." kata Mukti. "Kau selalu merendah dan selalu tidak
tinggi hati. Padahal hampir semua yang kami tanyai selalu
mengenal kau. Namamu agaknya sudah lekat pa-
da mereka sebagai pendekar budiman...."
Madewa tersenyum. "Jangan terlalu ba-
nyak memuji, Guru..." Lalu dia berkata pada para muridnya, "Kalian berlutut di
hadapan Kakek Guru kalian ini, dan minta maaf apa yang telah
kalian lakukan tadi...."
Serentak semua murid yang ada disana
menjatuhkan diri dan berkata, "Maafkan kami, Kakek Guru..."
Semakin terharulah hati ketiga kakek itu
menerima semua perlakuan ini.
"Bangunlah kalian semua... bukan aku
yang seharusnya kalian hormati, bukan pula den-
gan kedua sahabatku ini. Tetapi Ketua dan
Nyonya Ketua kalianlah yang harus kalian horma-
ti," kata Tek Jien.
"Mengapa Guru berkata demikian?" tanya Ratih Ningrum. "Kalian adalah tiga orang
Guruku yang baik hati, dan dengan penuh keikhlasan dan
kerelaan menurunkan ilmu kalian kepada seo-
rang gadis manja dan nakal dulu...."
Ketiga Gurunya tersenyum.
"Agaknya.... kini tak pantas lagi kami yang dihormatimu Ratih. Tetapi kami yang
harus menghormatimu. Bukankah begitu, Dua saha-
batku?" tanya Mukti sambil berpaling pada Patidina dan Tek Jien.
"Benar, Mukti. Kita yang harus menghor-
matinya...." kata Patidina.
"Dan bukan dia yang menghormati kita,"
kata Tek Jien. Hari Ratih Ningrum menjadi tercekat men-
dengar kata-kata tiga gurunya.
"Guru... janganlah Guru berkata demikian.
Aku tetaplah murid kalian yang amat setia dan
menghormati kalian... Yang selalu menjunjung
tinggi nama kalian sebagai tiga orang guruku
yang telah susah payah menurunkan ilmu kalian
kepadaku," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Tiga kakek itu kembali menjadi terharu.
Ratih Ningrum tetap seperti dulu, Hanya
bedanya kini tak lagi nampak kemanjaan pada
wajah dan matanya. Kita yang ada hanyalah seo-
rang wanita yang telah banyak memakan pahit
getirnya kehidupan ini.
Kaya akan pengalaman hidup.
Dan kini dia telah menjadi seorang wanita
yang amat dihormati dan disanjung oleh murid-
muridnya. Juga menjadi istri dari seorang pende-
kar kenamaan. Madewa memanggil Pranata Kumala untuk
mendekat. Lalu katanya. "Guru... kalian kini telah mempunyai seorang cucu yang
telah tumbuh de-wasa dan menjadi seorang suami..."
Ketiga kakek itu tertawa. Cucu sebesar ini"
Dan sudah beristri pula" Hahaha.... tetapi mereka gembira melihatnya.
"Di mana istrimu, Pranata?"
"Ada, Kek. Mungkin sedang mandi...."
"Aku sudah selesai mandi, Kakang...." terdengar suara dari belakang mereka.
Ambarwati muncul dengan pakaian yang bagus. Wajahnya
begitu cantik berseri.
Pranata berpaling.
"Ah, ini dia istriku, Kek. Namanya Ambar-
wati.... Rayi.... beri sembah pada tiga Kakek Guru ini...." Ambarwati pun
menjura. Kembali keharuan menyelimuti kakek itu.
Mereka tak pernah membayangkan akan menda-
patkan sambutan yang hangat dan penuh keke-
luargaan ini. "Sebaliknya... kita masuk saja ke dalam,"
kata Madewa Gumilang. "Karena hari sudah malam...." Lalu mereka pun masuk ke
bangunan besar itu. Peti-peti yang dibawa ketiga kakek itu ta-di, kini dibawa
oleh beberapa murid Perguruan
Topeng Hitam. Setelah mandi dan makan malam, mereka
kembali bercakap-cakap di ruangan tengah.
"Guru.... sebenarnya, apa yang membawa
Guru hingga datang kemari?" tanya Ratih Ningrum. Ketiga gurunya berpandangan.
Dan seperti sudah disepakati Mukti berkata. "Muridku Ratih dan Madewa... kedatangan kami
dari desa Bojongronggo memang bukan sekedar untuk melepas
rindu pada kalian. Tetapi kami memang datang
dengan maksud tertentu...."
"Apakah gerangan itu, Guru?" tanya Ratih Ningrum.
"Ratih... apakah kalian tidak melihat, bah-
wa kami sudah tua?"
"Maksud, Guru?"
"Sebelum kau pergi meninggalkan rumah
bersama suamimu ini, kau telah meninggalkan
harta yang berlimpah banyaknya. Harta dari
mendiang ayahmu. Dan karena kau putri tung-
galnya, maka otomatis semuanya menjadi milik-
mu. Harta warisan itu tak bisa dihitung banyak-
nya. Dan karena warisan itu pula yang membawa
kami untuk mencarinya..."
"Aku tidak mengerti, Guru."
"Ratih.... semua itu milikmu. Kami sudah
terlalu tua untuk menjaganya. Kami takut tak bi-
sa lagi berjumpa denganmu dan menjaga warisan
itu...." "Jadi...."
"Ya, tiga buah peti yang kami bawa berisi
emas, permata dan berlian. Masih banyak harta
yang tersisa di rumahmu. Seperti rumahmu sen-
diri. Kami tak berani menjualnya sebelum men-
dapat perintah darimu...."
"Guru... mengapa Guru menjadi bersikap
seperti ini" Mengapa harus menunggu perintah-
ku" Apa-apaan guru ini" Kalian bertiga adalah
guruku, orang tuaku, orang-orang yang aku hor-
mati. Janganlah guru berkata seperti tadi...." kata Ratih Ningrum dengan nada
kecewa. "Ratih...." kata Mukti. "Kami bertiga tidak bermaksud untuk mengecewakanmu.
Tetapi perlu kau ingat, kami adalah tiga pengawal setia ayah-
mu, pembantu ayahmu. Yang secara tidak lang-
sung juga menjadi pengawalmu, pembantumu.
Ingat itu, Ratih...."
"Guru! Apa kalian menduga seperti itu" Ti-
dak, aku tidak pernah menganggap kalian bertiga
sebagai pengawalku, pembantuku. Kalian adalah
Guruku, guru yang amat kuhormati!" suara Ratih Ningrum terdengar semakin kecewa.
Wajahnya memerah dan sepasang matanya berkaca-kaca.
Wajah ketiga gurunya menjadi terharu
mendengar kata-kata muridnya itu.
Lalu berkata Patidina, "Muridku... maafkan
kalau kata-kata Mukti yang juga mewakili pera-
saan kami mengecewakanmu. Tapi sudahlah. Kini
kita kembali ke masalah warisan itu...."
"Maaf...." Potong Ratih Ningrum. "Maafkan aku Guru, kalau menyela kata-katamu.
Tidak, aku tidak akan pernah menerima warisan itu.
Warisan itu sudah tidak kupikirkan lagi. Dan aku dengan penuh kerelaan telah
menyerahkan semua warisan itu kepada Guru bertiga... jadi, janganlah mengungkit-
ungkit soal warisan itu...."
"Ratih... sebelumnya kami mengucapkan
banyak terima kasih padamu. Tapi maafkan kami,
kami tidak bisa menerima warisan itu. Sebab,
pertama kami sudah terlalu tua, hingga kami
bermaksud menyerahkannya padamu, karena
kami kuatir umur kami tidak lama lagi. Kedua,
kami memang tidak butuh warisan itu. Kami ti-
dak butuh harta lagi. Ketiga, kami tidak bermak-
sud untuk memintanya dan tidak merasa berhak
untuk memilikinya. Jadi, kami tidak bisa mene-
rima warisan itu. Dan sekarang, warisan itu telah kami kembalikan kepadamu...."
"Tidak Guru... aku pun tidak akan mene-
rimanya...." kata Ratih Ningrum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ratih... kaulah yang berhak. Kaulah satu-
satunya yang mewarisi dan menjadi ahli warisan
dari mendiang ayahmu. Hanya kaulah," kata Tek Jien. "Ratih..." kata Mukti.
"Terimalah semua
warisan ini. Berbuatlah untuk mengenakan kami
bila kau menganggap kami ini sebagai gurumu.
Kami tak punya niatan sedikit pun untuk menda-
patkan imbalan darimu. Kami datang untuk me-
nyerahkan warisan ini, karena kami merasa su-
dah tua, sudah tidak sanggup lagi untuk menja-
ganya. Kami pun kuatir ajal akan menjemput ka-
mi. Padahal masih ada tugas yang belum kami se-
lesaikan. Kini tugas itu telah tuntas, Ratih... Dan aku juga kedua gurumu ini
amat rindu padamu.
Rindu yang amat mendalam, Ratih Ningrum... Ki-
ni rindu kami telah hilang. Kami bahagia melihat kau telah tumbuh dan menjadi
pendamping seorang pendekar besar, Muridku...."
Suasana kembali menjadi terharu.
Mata Ratih Ningrum semakin berkaca-
kaca. Dia tak bisa melukiskan semua kebaha-
giaan, keharuan dan rasa hormatnya pada tiga
gurunya ini. Dan rasa cintanya semakin mendalam.
Tiba-tiba dia bersujud di hadapan keti-
ganya. "Guru!"
Ketiga gurunya tersenyum menahan haru.
Mukti berkata, "Ratih... janganlah kau lagi berbuat seperti ini kepada kami...
Kau telah menjadi seorang wanita yang terhormat dan dihorma-
ti... Apa nanti kata murid-muridmu bila melihat
kau bersujud kembali kepada kami?"
"Guru... aku tidak suka mendengar kata-
kata Guru ini... kalian adalah tetap guruku yang amat kuhormati. Aku tidak
perduli dengan omon-
gan apa yang terjadi di antara murid-muridku.
Tidak Guru, karena aku amat mencintai Guru se-
kalian.... Kalianlah yang telah berbaik hati, yang telah membentukku hingga aku
menjadi sekarang
ini...." Tek Jien berkata, "Ratih... muridku... memang, kami adalah gurumu,
orang tuamu, tetapi
kini kau telah tumbuh menjadi wanita yang ter-
hormat. Dan yang perlu kau ingat lagi, kami
hanya sebatas seorang guru saja. Bila dikatakan
orang tua, itu karena kami menganggapmu seba-
gai anak kami. Dan kami adalah tetap pemban-
tumu, Ratih...."
"Tidak, tidak... Guru jangan berkata demi-
kian!" kata Ratih Ningrum yang masih bersujud di hadapan ketiganya. "Aku tidak
suka mendengar kata-kata itu. Bila kalian masih mengatakannya
lagi, berarti kalian tidak menganggapku sebagai
murid kalian!"
Kembali keharuan menyelimuti tiga kakek
itu. Lalu terdengar desahan nafas panjang Pa-
tidina. "Ratih kau tetaplah murid kami... ya, kami terima sembahmu ini... Kami
amat bahagia dan
bangga memiliki seorang murid sepertimu, Mu-
ridku... Bangunlah...."
Perlahan-lahan Ratih Ningrum bangkit dari
bersujudnya. Matanya sembab karena berkaca-kaca.
"Ya, kami bertiga adalah gurumu... dan
kau adalah murid kami," kata Patidina.
Ratih Ningrum tersenyum.
Madewa Gumilang yang sejak tadi terdiam
karena menahan haru berkata, "Sebaiknya, Guru sekalian beristirahatlah....
Tentunya kalian lelah setelah lama berhari-hari berjalan...."
"Benar, Madewa... ya, kami hendak beristi-
rahat," kata Mukti. "Selamat malam...."
Dia pun bangkit, disusul oleh Patidina dan
Tek Jien. Sepeninggal tiga kakek itu, Madewa me-
rangkul istrinya.
"Aku bangga padamu, Ratih...." desisnya seraya mengecup kening istrinya.
Istrinya hanya tersenyum saja.
Tujuh Empat sosok tubuh yang menunggang ku-
da itu menggebrak lari kuda mereka kencang-
kencang. Mereka adalah Barong Projo dan Tiga
Setan Pemetik Bunga.
"Kau yakin, Barong... kalau tiga orang itu
pergi ke arah timur?" bertanya Polodomo.
"Ya! Aku yakin sekali, karena aku menden-


Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gar percakapan mereka!" sahut Barong Projo.
Mereka sudah dua hari dua malam berku-
da dengan cepat. Hanya dua kali beristirahat un-
tuk makan. Bagi mereka lebih cepat lebih baik,
karena bila tidak sudah keduluan oleh orang-
orang yang lain.
Melewati sebuah hutan, keempatnya terus
saja memacu. Tiba-tiba terdengar kekehan yang panjang
yang menggema ke seluruh hutan.
Keempatnya menghentikan lari kuda mere-
ka. Polodomo mendesis, "Roro Kunti!"
Barong Projo menoleh ke arahnya. "Siapa
dia, Polodomo?" tanyanya.
"Roro Kunti adalah setan betina saha-
batku!" sahut Polodomo tanpa menoleh pada Barong Projo. Lalu dia berteriak,
suaranya mengge-
ma ke seluruh hutan, "Roro Kunti... keluarlah kau! Mengapa menyambut sahabatmu
ini dengan jalan bersembunyi, hah"!"
"Hihihi... Polodomo... aku tahu kau tidak
sedang datang untuk menyambangiku! Nah, ka-
takan dulu ada perlu apa kau dengan teman-
temanmu itu seperti tergesa-gesa, hah?"
"Keluarlah dulu!"
"Kau tahu sifatku, bukan"!"
"Baik! Roro Kunti... ketahuilah... aku den-
gan tiga temanku ini sedang memburu warisan
yang besar!"
"Hihihi... warisan dari mana, Polodomo"!
Yang kutahu... kau tak punya apa-apa, Kakek!"
Dipanggil dengan sebutan kakek membuat
wajah Polodomo memerah.
"Baik! Kami tengah memburu harta waris
yang dibawa oleh tiga orang kakek!"
"Banyakkah jumlahnya"!"
"Luar biasa banyaknya!"
"Apakah aku akan kebagian juga"!"
"Bila kau mau ikut serta!"
"Bagaimana bila aku menyatakan diri un-
tuk ikut"!" terkikik Roro Kunti.
"Itu lebih baik!"
"Bagaimana dengan teman-temanmu"!"
"Semua ini urusanku!"
"Tetapi kulihat wajah mereka begitu tam-
pak dan tak bersahabat!"
Mendengar kata-kata Roro Kunti itu, wajah
Pala Tunggal, Sakung Bukit dan Barong Projo
memerah. Tetapi mereka diam saja. Karena Roro Kun-
ti sahabat dari teman mereka, Polodomo.
"Mereka adalah sahabat yang baik, Roro!"
"Bisakah kupegang ucapanmu"!"
"Jangan kuatir!"
"Aku kuatir mereka akan bernafsu meli-
hatku!" "Hahaha... siapa pun akan nafsu melihat-mu, Roro!"
"Apakah aku harus keluar sekarang"!"
"Ya, keluarlah kau!"
Tiba-tiba sebuah sosok berbaju putih tipis
menerawang melompat entah dari mana dan telah
hinggap di hadapan orang-orang itu.
Roro Kunti terkekeh sambil mengipas-
ngipas wajahnya dengan kipas yang berwarna pu-
tih dengan bunga mawar merah di tengahnya.
Mata Pala Tunggal, Sakung Bukit dan Ba-
rong Projo seakan mau melompat keluar melihat
sosok tubuh yang berdiri di hadapan mereka.
Sosok itu mengenakan pakaian tipis yang
menerawang. Yang memperlihatkan dua buah ca-
rik kain berwarna merah yang menutupi bagian
dadanya dan pangkal pahanya. Wajah sosok itu
demikian cantik jelita, bagai dewi yang baru turun dari kahyangan.
Ketiganya sampai lupa menutup kembali
mulut mereka yang terbuka.
Polodomo terkekeh melihat ketiga kawan-
nya menjadi terbengong demikian.
"Selamat bertemu lagi, Roro...."
"Hihihi.... selamat bertemu pula, Polodo-
mo...." terkikik Roro Kunti. Bau wangi yang menguar dari tubuhnya begitu
semerbak. "Kau semakin cantik dan mengundang bi-
rahi saja, Roro...." kata Polodomo yang tak bisa menyembunyikan gairahnya.
"Hihihi... memang, aku pun merasakan hal
itu. Dan mengapa tiga temanmu itu terbengong,
hah" Apakah mulut mereka keram hingga tak bi-
sa menutup kembali.... hihihi..." Roro Kunti men-gikik genit.
Polodomo pun terbahak.
Membuat ketiga kawan mereka menjadi
sadar kalau mereka lupa menutup mulut.
Dan mau tak mau wajah mereka pun me-
merah. Polodomo memperkenalkan Roro Kunti ke-
pada tiga temannya.
"Hmm... sebenarnya kau hendak ke mana,
hah"!" "Kami sedang menuju ke arah timur Gu-
nung Slamet."
"Mengapa ke sana?"
"Karena tiga kakek yang membawa warisan
itu sedang mengarah ke sana...."
"Jadi sekarang aku boleh ikut?"
"Dengan senang hati. Kau pilih hendak
menunggang kuda yang mana?"
"Hihihi... sudah tentu bukan kudamu, Ka-
kek. Juga bukan kuda-kuda di kedua temanmu
yang juga seorang kakek-kakek. Tetapi.... hihi-
hi..." Roro Kunti mengerling ke arah Barong Projo.
Barong Projo menjadi kembang-kempis da-
danya. Dan debar jantungnya semakin kuat.
Polodomo terbahak melihat siapa yang di-
incar oleh Roro Kunti.
"Silahkan bila kuda itu yang kau pilih?"
"Kau tahu saja keinginanku, Polodomo...."
terkikik kembali Roro Kunti.
Dan dengan sekali melompat dia sudah
hingga di belakang Barong Projo. Yang menjadi
kikuk dan deg-degan. Bau wangi yang menguar
dari tubuh itu begitu memabukkan.
Belum lagi ketiga sepasang buah dada mi-
lik Roro Kunti menempel di punggungnya. Sema-
kin membuatnya 'Senin-Kamis'.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Polodo-mo. Barong Projo menyahut dengan nafas
se- tengah mendesah.
"Ya! Lebih cepat lebih baik!"
Lalu keempat kuda itu menggebrak berlari.
Barong Projo menjadi setengah grogi. Na-
mun lebih cepat dia melarikan kudanya, lebih
erat pegangan tangan Roro Kunti di pinggangnya.
Dan semakin membuatnya keenakan.
Di wajah Pala Tunggal dan Sakung Bukit
terpancar sinar iri yang luar biasa.
Ketika senja datang, keempat penunggang
kuda itu tiba di sebuah desa. Mereka turun di depan sebuah kedai untuk mengisi
perut. Kehadiran mereka sudah tentu menarik
perhatian para pengunjung kedai itu. Terutama
Roro Kunti yang berpakaian amat merangsang.
Di kedai itu, ada enam orang laki-laki ber-
wajah seram yang sedang makan. Mereka adalah
orang-orang yang suka mengacau seisi desa.
Melihat kehadiran orang-orang itu teruta-
ma Roro Kunti, mereka menjadi terbahak-bahak.
"Bukan main... betapa cantiknya wanita
itu...." "Ya, aku pun ingin sekali melewati malam nanti bersamanya."
"Sudah tentu aku pun demikian."
"Hei, mengapa kalian hanya berbicara saja"
Mengapa tidak kita datangi saja mereka?"
"Betul! Aku pun sudah tidak sabar untuk
melihat bagian tubuhnya lebih dekat."
"Ini merupakan anugerah dari Tuhan un-
tuk kita."
Keenam orang itu terbahak-bahak.
Dan serentak keenamnya bangkit meng-
hampiri orang-orang yang baru datang itu.
Mereka terkekeh-kekeh di hadapan kelima
orang yang sedang menikmati hidangan itu.
"Kau lihat, bukan main.... bagian tubuhnya
begitu indah sekali!"
"Betul! Aku ingin sekali menyelusup ke da-
da yang montok itu!"
"Hahahah.. mengapa tidak kau lakukan sa-
ja, Sima?"
Yang dipanggil dengan Sima tadi terbahak.
Lalu tanpa merasa malu atau pun risih dia men-
gulurkan tangannya ke arah dada Roro Kunti.
Roro Kunti diam saja ketika dadanya dira-
ba. "Bukan main, kenyal sekali!" tertawa Sima.
"Hahaha... beruntung nasibmu, Sima...."
"Apakah kau ingin merasakannya, Ireng
Guruh?" "Bukan hanya merasakannya, tetapi me-
remasnya!"
"Silahkan, silahkan!" Sima terbahak dan melepas rabaannya.
Ireng Guruh mendekat.
Ganti dia yang memegang dada itu.
Roro Kunti tetap diam saja.
Tetapi ketika Ireng Guruh meremas da-
danya, dengan satu gerakan yang amat cepat, ta-
hu-tahu sumpit yang dipegangnya telah masuk ke
salah satu lobang hidung Ireng Guruh. Yang lang-
sung menjerit kesakitan.
Hidungnya berdarah.
Roro Kunti tetap tak acuh menikmati ma-
kannya, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
Begitu pula dengan Tiga Setan Pemetik
Bunga. Barong Projo sendiri dengan nikmatnya
meneguk araknya.
Namun lain halnya dengan teman-teman
Ireng Guruh. Melihat kawan mereka dihantam
seperti itu, dengan satu gerakan yang amat cepat, membuat mereka menjadi murka.
Sima menggebrak meja yang sedang dipa-
kai sebagai alas mereka untuk makan.
"Manusia-manusia anjing! Jangan jual la-
gak di sini"!" geramnya.
Para pengunjung yang sudah melihat gela-
gat yang tidak baik, satu per satu beranjak me-
ninggalkan tempat itu. Mereka tak mau jadi sasa-
ran orang-orang ganas itu.
Mereka juga tahu siapa Ireng Guruh dan
teman-temannya. Orang-orang yang suka mem-
buat onar. Pemilik kedai itu sudah tegang, sekali. Na-
mun dia tak berani berbuat apa-apa.
Hanya memperhatikan saja dari tempat-
nya. Dibentak seperti itu, Barong Projo berdiri.
Seolah tidak melihat adanya orang, dia mengge-
rakkan kedua tangannya ke arah kiri dan kanan.
"Duk!"
Kepalan tangan kanannya mengenai dada
yang membentak tadi. Membuat Sima terhuyung
ke belakang. "Oh, maaf!" kata Barong Projo. "Maafkan aku, Ki Sanak... aku tidak melihat
Kisanak berdiri di sini...."
Sima yang sudah menguasai keseimban-
gannya menggeram murka. Lalu tanpa banyak
cakap lagi dia menyerang Barong Projo. Sudah
tentu Barong Projo tak mau dirinya dijadikan sa-
saran serangan dari Sima.
Dia tadi memang sengaja melakukannya.
Menghadapi satu pukulan yang dilancar-
kan oleh Sima, Barong Projo keluar dari duduk-
nya dan menendang kursi ke arah Sima.
"Setan alas!" Sima melompati sambil memberikan satu tendangan ke arah dada
Barong Pro- jo. Barong Projo menangkis dengan tangan-
nya. Sima merasakan kakinya membentur tem-
bok yang keras. Dan dia pun bersalto ke belakang untuk menjaga keseimbangannya.
Ireng Guruh yang masih berdarah hidung-
nya pun langsung menyerang ke arah Roro Kunti.
"Perempuan setan, kubunuh kau atas per-
lakuanmu ini padaku!"
Roro Kunti pun tak mau dirinya dijadikan
sasaran pukulan Ireng Guruh. Masih dengan tu-
buh terduduk, dia menarik kepalanya ke bela-
kang. Pukulan itu lewat beberapa senti di wajahnya. Dan tangannya segera
bergerak ke kanan, ke
arah perut Ireng Guruh.
"Des!"
Pukulan itu dengan telak mengenai perut
Ireng Guruh yang langsung mengaduh.
Teman-temannya yang lain pun menjadi
murka. Mereka langsung menyerang orang-orang
itu. Tiga Setan Pemetik Bunga pun menjadi sa-
saran serangan-serangan mereka.
Serentak di kedai itu terjadi perkelahian
yang seru. Polodomo menghadapi dua orang. Yang
lain berkelahi satu lawan satu.


Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun kali ini gerombolan Ireng Guruh
harus kena batunya. Selama ini di desa itu me-
mang belum ada yang berani menentang mereka
dan mengalahkan mereka.
Lalu dengan gerakan yang tak banyak
membuang tenaga, satu per satu menjatuhkan
lawannya hingga mampus.
Tinggal Ireng Guruh kini sendiri yang lang-
sung menjadi pias wajahnya.
Roro Kunti terkikik.
Dia mengipas-ngipas wajahnya.
"Sekarang, apa lagi yang hendak kau per-
buat hah. Orang gagah"!" Meskipun menyadari dirinya tak akan lolos dan tak akan
mungkin menang untuk melawan, Ireng Guruh mendengus
dengan berani. "Bila kalian memang jantan, lawan aku sa-
tu per satu!" serunya.
"Hihihi.... melawanmu" Tak sulit, Orang
Gagah" Malah lebih sulit membalikkan telapak
tangan!" terkikik kembali Roro Kunti.
Mendengar kata-kata itu wajah Ireng Gu-
ruh semakin pias. Dia yakin memang tak akan
menang melawan mereka, meskipun satu persa-
tu. Namun dia tidak mau orang-orang itu tahu
dirinya ketakutan.
Maka dia membentak lagi, "Sombong, kau
perempuan iblis! Majulah bila kau benar-benar
berani melawanku, hah"!"
"Hihihi... sudah kukatakan tadi, melawan-
mu lebih sulit membalikkan telapak tangan."
"Maju! Bila kau ingin membuktikannya!"
"Mengapa tidak kau sendiri yang menye-
rangku, hah"!" tersenyum menebar rangsangan Roro Kunti.
"Setan alas! Tahan serangan!" sambil
menggeram Ireng Guruh menyerang dengan ga-
nas. Namun Roro Kunti dengan masing mengi-
pas-ngipas menghindari setiap serangan itu.
"Hihihi... mana bukti omonganmu itu,
Orang Gagah"!"
Semakin jengkel dan marah Ireng Guruh.
Dia kembali menyerang dengan mengerahkan se-
genap kemampuannya. Namun sia-sia saja perla-
wanannya. Roro Kunti terkikik sambil mengipas dan
bersalto ke belakang, hinggap pada tempatnya
semula. "Hihihi.... inikah bukti yang kau ingin perlihatkan?" kikiknya.
Ireng Guruh yang megap-megap menden-
gus. "Kubunuh kau nanti!"
"Mengapa pakai nanti?"
Merasa dirinya benar-benar tak bisa lolos
lagi, Ireng Guruh mencoba menggertak, "Perem-
puan iblis... mengapa tidak kau yang menyerang-
ku, hah"! Aku pun ingin melihat apakah kau bisa
menjatuhkan aku" Atau... kau hanya besar mulut
saja, sama besarnya dengan buah dadamu itu!"
Wajah Roro Kunti memerah.
"Anjing kurap! Kau lihat seranganku ini!"
geramnya seraya menyerbu.
Kipasnya tertutup. Dan dijadikannya senja-
ta untuk menotok. Tubuhnya berkelebat dengan
cepat. Setiap kali berkelebat, menguar bau harum dari tubuhnya.
Sebisanya Ireng Guruh menghindari seran-
gan-serangan yang dilancarkan dengan cepat itu.
Namun pertahanannya sia-sia belaka.
Satu gedoran telapak tangan kiri Roro Kun-
ti menghantam dadanya.
"Dees!"
Membuat tubuhnya terhuyung ke bela-
kang. Sempoyongan.
Belum lagi Ireng Gurah dapat menguasai
keseimbangannya, Roro Kunti sudah maju den-
gan deras dengan satu pukulan yang siap dihan-
tamkan kembali.
"Tahan!" terdengar seruan itu.
Membuat Roro Kunti menghentikan seran-
gannya. Dan berpaling pada Polodomo dengan
jengkel. "Mengapa kau menyuruhku menahan"!"
serunya. Polodomo tersenyum.
"Sabar, Roro..."
"Tetapi dia telah menghinaku, Polo...."
"Sabar, Roro... dia bisa kita jadikan saha-
bat." "Apa maksudmu?"
"Orang seperti dialah yang menjadi sahabat
kita." "Aku tidak mengerti."
"Orang ini begitu gagah berani. Meskipun
maut sudah diambang pintu. Aku membutuhkan
orang-orang seperti itu."
"Aku...."
"Biar kuurus semuanya, Roro...." kata Polodomo tersenyum dan berusaha
menenangkan Roro Kunti yang menggeram marah.
Roro Kunti menoleh pada Ireng Guruh yang
nampak kesakitan. Dia mendengus.
"Hhh! Bila bukan karena perintah saha-
batku ini, sudah kucabut nyawamu, manusia anj-
ing!" makinya.
Ireng Guruh hanya terdiam. Rasa ngilu
masih menjalar di seluruh tubuhnya akibat han-
taman telapak tangan kiri dari Roro Kunti tadi.
Polodomo menghampirinya.
"Ulurkan kedua tanganmu," katanya pada Ireng Guruh.
Laki-laki berwajah seram yang merasa su-
dah tak bisa berbuat apa-apa lagi mengulurkan
tangannya, begitu menurut sekali.
Polodomo menindih telapak tangan itu
dengan telapak tangannya.
Lalu dialirkannya tenaga dalamnya melalui
telapak tangannya ke telapak tangan Ireng Gu-
ruh. Ireng Guruh merasakan hawa panas ma-
suk ke dalam tubuhnya. Dan perlahan-lahan di-
rasakannya rasa ngilu yang masuk hingga ke tu-
lang sumsumnya, perlahan-lahan menghilang.
Setelah itu Polodomo tersenyum.
"Nah.... siapa namamu?" tanyanya.
"Namaku Ireng Guruh...."
"Ireng.... nyawamu sudah kuselamatkan.
Dan kau harus berterima kasih padaku."
"Terima kasih, Ki Sanak."
"Namaku Polodomo. Itu Roro Kunti, Pala
Tunggal, Sakung Bukit dan Barong Projo. Kini se-
karang kita teman."
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah menyelamatkan nyawamu, dan
kau harus menurut pada semua kata-kataku."
"Aku belum mengerti."
"Baik, akan kujelaskan. Kini kau adalah
salah seorang anggota kami. Sahabat kami. Dan
kau harus menurut semua perintah kami. Mengi-
kuti semua yang kami lakukan."
"Berarti, mulai hari ini aku adalah bagian
dari kalian?" tanya Ireng Guruh.
"Benar! Kau adalah bagian dari kami."
"Baik, kalau begitu adanya... aku akan
menurut pada kalian dan bergabung dengan ka-
lian." "Bagus! Mari kita lanjutkan perjalanan la-gi!"
Lalu orang-orang itu pun segera mening-
galkan kedai yang porak poranda tanpa mem-
bayar sepeser pun.
Pemilik kedai itu hanya bisa menghela na-
fas dan mengelus dada. Tetapi dia tak berani un-
tuk berbuat apa-apa. Karena dia masih sayang
terhadap nyawanya.
Delapan Tiga kakek guru dari Ratih Ningrum sedang
memperhatikan para murid-murid Perguruan To-
peng Hitam yang pagi itu sedang berlatih.
Mereka kagum melihat kedisiplinan dan
ketaatan para murid-murid Perguruan Topeng Hi-
tam. Dan mereka yakin ini berkat peraturan dan
rasa kekeluargaan yang diterapkan oleh Madewa
Gumilang. Dalam kesempatan itu, Mukti pun menga-
jarkan beberapa jurus pedang yang dimilikinya.
Begitu pula dengan Patidina. Dia merubah se-
buah pedang menjadi jurus keris. Setelah hampir
seminggu berada di Perguruan Topeng Hitam, su-
atu malam ketiganya pun bertemu kembali den-
gan Madewa Gumilang dan istrinya di ruangan
tengah. Di sana hadir pula Pranata Kumala dan is-
trinya, Ambarwati.
"Ada apa gerangan Guru, hingga Guru
meminta kami untuk bertemu?" tanya Ratih Ningrum. Ketiga gurunya nampak mendesah
pan- jang. Lalu terdengar suara Mukti berkata, "Mu-
ridku... tugas kami telah selesai... warisan itu telah kami serahkan kepadamu.
Maka.... rasanya
kami sungkan selaku tamu untuk berlama-lama
di sini..."
"Apa maksud, Guru?"
"Kami ingin segera pamit, Muridku...." kata Patidina.
"Guru!" seru Ratih Ningrum terkejut.
"Muridku...." kata Tek Jien. "Kami di sini hanyalah seorang tamu. Dan kami
menjadi malu bila terlalu lama berada di sini. Kau mengerti,
Muridku?" "Guru... mengapa kalian menduga seperti
itu. Di sini adalah rumah kalian juga. Tempat
tinggal kalian juga. Di sini tidak ada kata-kata sebagai tamu dan tuan rumah.
Tidak ada sama se-
kali" "Kami mengerti, Ratih...." kata Mukti. "Tetapi kami harus segera pamit."
"Mengapa, Guru?"
"Kami ingin kembali ke asal kami masing-
masing. Kami merasa masing-masing di antara
kami sudah seharusnya kembali ke kampung ha-
laman sendiri-sendiri...."
"Tidak bisakah Guru menahan keinginan
itu?" "Sudah hampir seminggu kami berada di sini, Ratih...." kata Patidina.
"Seminggu, sebulan atau pun seumur hi-
dup. Aku tak pernah menganggap kalian sebagai
tamu di sini. Demi Tuhan, aku tak pernah men-
ganggap kalian seperti itu...."
"Benar, Guru..." kata Madewa Gumilang
yang sejak tadi dia saja. Dan merasa tidak enak
bila tidak berkata. "Apa yang dikatakan oleh istriku memang benar. Kami semua
tak pernah men-
ganggap kalian sebagai tamu. Malah kami meng-
harapkan kalian untuk selamanya menetap di si-
ni...." "Iya, Kakek...." kata Pranata Kumala. "Sejak kedatangan kakek guru
bertiga sekalian di si-ni, banyak sekali ilmu yang kudapatkan. Bukan-
kah begitu, Rayi?" tanyanya pada isterinya.
Ambarwati mengangguk.
"Benar kakek guru, apa yang dikatakan
Kakang Pranata memang benar adanya...."
Ketiga kakek itu menjadi terharu menden-
gar semua kata-kata itu. Namun mereka tetap
berkeinginan untuk kembali ke kampung hala-
man masing-masing.
Ingin menghabiskan masa tua mereka di
sana. Dan mati di tanah kelahiran.
"Kalian semua memang orang-orang bijak-
sana dan baik," kata Mukti. "Aku pribadi merasa bersyukur sekali atas semua ini.
Ternyata aku dan kedua sahabatku ini memiliki anak dan cucu
yang begitu baik sekali...."
"Kami pun bangga dengan sikap kalian se-
mua," kata Patidina.
"Namun... kami tetap berkeinginan untuk
kembali ke kampung halaman... karena kami se-
rasa usia kami sudah diambang pintu maut...."
kata Tek Jien. Orang-orang yang hadir di situ menjadi
terharu pula. Diam-diam mereka pun menjadi
rindu dengan tanah kelahiran mereka.
Dan mereka tak bisa lagi untuk mencegah
ketiga kakek itu untuk meninggalkan Perguruan
Topeng Hitam dan kembali ke tanah kelahiran
mereka. "Kapan Guru akan meninggalkan kami?"
tanya Ratih Ningrum dengan mata berkaca-kaca.
Dia memang tak perduli menangis di hadapan
suami, putra dan anak menantunya. Dia teramat
mencintai ketiga kakek ini. Teramat menyayangi
mereka. "Besok pagi, setelah matahari sepenggalah
kami sudah harus meninggalkan tempat ini," kata Mukti. "Tidak bisakah ditunda
barang sehari lagi?"
pinta Ratih Ningrum penuh harap.
"Maafkan kami, Muridku... kami merasa
sudah cukup untuk melepas rindu padamu...."
Ratih Ningrum hanya terdiam mendengar
kata-kata itu. *** Keesokan paginya, di halaman Perguruan
Topeng Hitam nampak seluruh murid perguruan


Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu berbaris di halaman. Mereka tidak sedang bersiap untuk berlatih. Tetapi
mereka tengah berdiri tegap untuk melepas kepergian tiga kakek guru
itu. Mata Ratih Ningrum berkaca-kaca. Dia tak
bisa menahan tangisnya.
Madewa mendekapnya dengan penuh kasih
sayang. Pranata Kumala juga mendekap istrinya
yang hanya terisak pelan.
Tiga kakek itu telah bersiap untuk segera
meninggalkan tempat itu.
Mukti berkata, "Janganlah kalian sekali-
kali menganggap kepergian kami ini karena kami
tidak mencintai kalian. Tidak sama sekali. Kami
teramat sangat mencintai kalian. Kami amat me-
nyayangi kalian. Namun kami memang harus
pergi meninggalkan kalian...."
"Dan kenanglah kami yang tua ini," kata Patidina.
"Mungkin bila ada satu kesempatan yang
entah kapan akan datang, kami akan kembali un-
tuk berjumpa dengan kalian," kata Tek Jien.
Ketiga kakek itu pun tak bisa menahan ra-
sa harunya. Mata mereka pun berkaca-kaca.
"Guru...." desis Ratih Ningrum seraya melepaskan diri dari rangkulan suaminya.
Dia berla-ri dan menjatuhkan diri di hadapan ketiga gu-
runya. "Maafkan aku, bila aku mempunyai salah pada kalian...."
Kembali terlihat keharuan menyelimuti ke-
tiganya. Mukti mengusap kepala Ratih Ningrum.
"Muridku... kau harus tegar. Kau telah
menjadi orang terhormat dan dihormati. Jangan-
lah kau bersikap cengeng. Kau bisa menjaga di-
rimu. Dan kami pun yakin, suamimu akan men-
jaga dirimu pula. Begitu pula dengan putra dan
anak menantumu. Banyak orang-orang yang
mencintaimu di sini. Muridku.... Jadi, janganlah kau bersikap cengeng seperti
ini...." "Benar, Muridku... kami semua mencin-
taimu... Kami tak ingin kau terbelenggu oleh rasa hormatmu kepada kami... Tidak,
Muridku... kami
hanya ingin kau hidup berbahagia dan damai se-
lamanya...." kata Patidina.
"Ya.... Ratih Ningrum, Muridku... melihat
keadaan kau yang sudah berbahagia seperti ini
kami sudah merasa teramat gembira sekali. Dan
ini merupakan pengobatan hati kami yang rindu
padamu...." kata Tek Jien.
"Yah... pagi ini, kami akan segera berang-
kat meninggalkan perguruan ini. Meninggalkan
kalian semua...." kata Mukti. "Selamat tinggal semua!" Sesudah berkata begitu,
dia pun membalikkan tubuhnya dengan segera karena tak mau
melihat Ratih Ningrum menangis. Mukti merasa-
kan muridnya itu masih seperti yang dulu. Selalu manja dan bila keinginannya
tidak dipenuhi maka
dia akan ngambek dan menangis.
Mukti tak mau melihat hal itu lagi. Melihat
kawannya sudah melangkah, Patidina dan Tek
Jien pun menyusul.
Angin pagi mengantar kepergian mereka.
Perlahan-lahan Ratih Ningrum bangkit dari
berlututnya. Lalu diucapnya pelan pada angin,
"Guru... selamat jalan...."
Sembilan Setelah melangkah setengah hari, ketiga
kakek itu beristirahat di sebuah hutan kecil. Mereka pun sebenarnya merasa berat
untuk me- ninggalkan murid mereka. Namun mau tak mau
mereka harus pergi meninggalkannya.
"Mau rasanya aku kembali kepada mere-
ka," kata Mukti.
"Begitu pula aku," kata Patidina. "Ingin pu-la rasanya aku mati di antara
mereka...."
"Yah... agar ada makam kita di tanah Per-
guruan Topeng Hitam...." kata Tek Jien.
Tiba-tiba, amat tiba-tiba, di hadapan mere-
ka telah berdiri enam sosok tubuh. Mereka terdiri dari tiga orang kakek, dua
laki-laki setengah baya dan seorang wanita yang berwajah rupawan.
Ketiga kakek itu segera bangkit berdiri.
Dan kening mereka berkerut ketika men-
genali salah seorang dari yang berdiri di hadapan mereka itu.
Dari rasa kaget itu berubah menjadi terta-
wa. Mukti berkata, "Hahaha... rupanya kau Barong Projo, bukan?"
Yang berdiri dengan sikap tak bersahabat
itu memang Barong Projo, Tiga Setan Pemetik
Bunga, Roro Dewi dan Ireng Guruh yang menjadi
salah seorang sahabat mereka sekarang.
Barong Projo mendengus.
"Hhhh! Kakek peot, kini kita bertemu kem-
bali, bukan" Aku datang untuk membalas sakit
hatiku dan mengambil peti-peti yang kalian ba-
wa!" "Peti-peti" Hahaha... peti-peti yang mana, Barong" Kau mengigau
barangkali!"
"Kakek kurapan! Di mana peti-peti itu kau
sembunyikan, hah"!" bentak Barong Projo yang melihat peti-peti itu sudah tidak
ada pada mereka.
"Sudah tentu peti-peti itu telah kami se-
rahkan pada yang berhak" Dan kau... tentunya
bukanlah orang yang berhak, bukan?" kata Mukti dengan suara mengejek dan
menyebarkan senyum yang menyakitkan.
Merah padam wajah Barong Projo.
"Kakek-kakek keparat!" geramnya.
Tetapi makian itu hanya disambut tawa sa-
ja oleh ketiga kakek itu.
Roro Kunti mengipas-ngipas tubuhnya. La-
lu sambil menggerakkan tubuh secara erotis ter-
sembunyi, dia melangkah ke muka.
"Hihihi.... kalian berikan kepada siapa, Kakek-kakek yang manis?" suaranya
mendesah, dia mencoba memikat dengan menggunakan keha-ruman tubuhnya.
Namun ketiga kakek itu cuma tak acuh sa-
ja. Seolah mereka tidak melihat pemandangan in-
dah yang terpampang di hadapannya.
"Kepada yang berhak, Nona. Itu sudah pas-
ti, bukan?" kata Patidina.
"Siapa dia?"
"Dia adalah seorang wanita yang arif, bi-
jaksana, terhormat dan dihormati...."
"Oh, siapakah wanita yang beruntung itu?"
kata Roro Kunti yang masih mencoba memikat.
"Dia tinggal cukup jauh dari sini, Nona...."
"Siapakah dia?"
"Dia lebih baik daripada kau yang cabul
seperti itu, Nona!"
Mendengar kata-kata yang dilontarkan
dengan cukup kasar itu membuat wajah Roro
Kunti menjadi memerah.
Dia menggeram marah.
"Kakek-kakek tak tahu diuntung! Kalian
rupanya mau mampus, hah"!"
"Hahaha... aku berbicara apa adanya, No-
na... Tidak melebih-lebihkan dan tidak mengu-
rang-ngurangkannya... Bukankah demikian
adanya?" Semakin memerah wajah Roro Kunti. Dia
bermaksud untuk menyerang. Namun terdengar
suara Polodomo berkata.
"Ki Sanak sekalian... bila kalian masih in-
gin melihat matahari besok pagi, beritahu kepada kami, kepada siapa kalian
serahkan peti-peti
itu...." "Hahaha... agaknya juga tidak kepada kau?" terkekeh Tek Jien.
Hal ini membuat wajah Polodomo tak
ubahnya seperti wajah Roro Kunti.
"Kalian rupanya mau mampus?" geramnya.
"Hahaha... siapa bilang kami mau mam-
pus" Kami masih ingin hidup lebih lama. Dan wa-
risan itu telah kami serahkan kepada yang ber-
hak. Bukan orang-orang seperti kalian!" terkekeh Patidina.
Dan sehabis dia berkata demikian, Polo-
domo langsung menyerangnya. Yang disusul oleh
yang lainnya. Seketika di tempat itu terjadi pertarungan
tak seimbang. Tiga guru Ratih Ningrum masing-
masing dikeroyok oleh dua orang.
Jurus demi jurus pun telah mereka lewati.
Bagi keenam orang yang bermaksud jahat
itu, mereka secepatnya ingin membunuh ketiga
kakek ini. Namun bagi ketiga guru Ratih Nin-
grum, mereka ingin secepatnya menyelesaikan
masalah tanpa bermaksud membunuh.
Sebenarnya, mereka pun sudah menduga
sejak lama. Kalau Barong Projo akan datang un-
tuk menuntut balas dan merebut peti-peti yang
mereka bawa. Itulah sebab sebenarnya mengapa keti-
ganya ingin meninggalkan Perguruan Topeng Hi-
tam. Karena mereka tak mau kejadian ini terjadi
dan menimpa perguruan itu.
Serangan demi serangan pun mereka lan-
carkan. Saling serang. Saling balas. Cepat. Hebat. Dan berbahaya. Pada jurus kedua puluh, terlihat Patidina
yang dikeroyok oleh Roro Kunti dan Polodomo
terdesak hebat. Namun dia berusaha sekuat te-
nang untuk menahan dan membalas.
Tetapi kedua penyerangnya adalah lawan-
lawan yang cukup tangguh. Dia kali ini benar-
benar terdesak hebat.
Berkali-kali pukulan keduanya masuk pa-
da bagian-bagian tertentu tubuhnya.
"Des!"
Sebuah tendangan yang dilancarkan oleh
Polodomo membuat tubuhnya kehilangan ke-
seimbangan dan ambruk.
"Hhh! katakan, kepada siapa warisan itu
kalian serahkan, hah"!" bentak Polodomo.
Patidina mengusap darah yang keluar dari
mulutnya. "Biarpun kau membunuhku, tak akan per-
nah kukatakan kepada siapa warisan itu kuse-
rahkan!" "Anjing kurap! Kau ingin mampus ru-
panya!" "Lebih baik aku mati secara terhormat da-
ripada hidup secara pengecut!"
"Baik! Aku ingin melihat sampai di mana
keberanian omonganmu itu"!" seru Polodomo seraya menyerang lagi.
Pikirnya dengan sekali serang dia akan bi-
sa segera menghabisi Patidina. Tetapi kakek itu
dengan tiba-tiba saja berguling menyongsong se-
rangan Polodomo.
Menerima serangan seperti itu Polodomo
menjadi terkejut. Maka diapun bersalto. Namun
mendadak saja tubuh Patidina yang sedang ber-
guling tiba-tiba melompat seperti menerkam.
Dan satu pukulannya bersarang telak di
dada Polodomo hingga kakek itu tersentak ke be-
lakang dan ambruk ke tanah.
Melihat hal itu, Roro Kunti yang tak me-
nyangka Patidina dapat berbuat seperti itu men-
jadi menggeram.
Dia pun menyerang kembali.
Sementara itu Mukti tengah bersusah
payah menghindari dan mengimbangi serangan-
serangan dari Pala Tunggal dan Ireng Guruh.
"Lebih baik kau menyerah saja, hah"!" bentak Pala Tunggal. "Dan beritahu kepada
kami kepada siapa kau serahkan warisan itu"!"
"Aku bukanlah orang yang pengecut, Ki
Sanak! Kau akan kecewa karena aku tak akan
pernah memberikan atau memberitahukan kepa-
da siapa warisan itu kami serahkan!" seru Mukti dan mencoba terus menyerang dan
bertahan. "Sombong! Kau mengatakannya atau tidak,
aku akan tetap membunuhmu!"
Sedangkan saat ini, Tek Jien pun tengah
kewalahan menghadapi serangan-serangan dari
Barong Projo dan Sakung Bukit. Kedua lawannya
itu seakan mematikan gerakannya. Membuatnya
sukar untuk meloloskan diri.
Belum ketika Sakung Bukit mengeluarkan
ilmu Pemunah Mataharinya yang begitu hebat.
Kedua tangannya seperti bercahaya.
Dan angin yang ditimbulkan setiap kali dia
menggerakkan tangannya menebarkan hawa yang
cukup panas. Hal ini membuat Tek Jien menjadi semakin
kewalahan. Dia pun tak berani untuk berbentrokan.
Tiba-tiba terdengar tiga buah jeritan secara
bersamaan. Disusul dengan tiga sosok tubuh yang ter-
pental ke belakang. Mukti, Patidina dan Tek Jien yang terpental itu.
Masing-masing mengusap darah yang ke-
luar dari mulut mereka. Dan mereka pun menya-
dari tak akan bisa meloloskan diri dari kepungan tiga orang ini.
Namun mereka tak mau menyerah begitu
saja. Maka dengan serentak ketiganya bangkit
meskipun rasa sakit di dada mereka begitu me-
nyengat.

Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hahaha..." Polodomo terbahak. "Bukankah lebih baik kalian mengatakan saja
kepada siapa warisan itu kalian serahkan. Kami tak akan lagi
menurunkan tangan telengas pada kalian bila ka-
lian berlaku seperti seorang sahabat kepada kami!
Dan ini merupakan jalan yang terbaik, bukan?"
Mukti mendengus. Lalu berkata seperti
orang mau muntah.
"Tak sekali pun kami mundur dari hada-
pan kalian! Dan tak sekali pun kami akan menge-
luarkan suara untuk menjawab pertanyaan dan
memenuhi permintaan kalian!"
"Berarti, kalian tidak bertindak seperti seorang sahabat kepada kami"!"
"Kami memang tak pernah punya sahabat
seperti kalian, Orang-orang busuk!"
"Anjing buduk! Kubunuh kau.!"
Sehabis berkata begitu, tubuh Polodomo
menyerbu ke arah Mukti. Mukti pun segera me-
mapaki. Dan kembali perkelahian tak seimbang itu
terjadi. Meskipun demikian, tiga kakek dari guru Ratih Ningrum itu sekuat tenaga
berusaha untuk melawan dan menghadapi setiap serangan.
Mereka pantang penyerah.
Mereka bukanlah orang-orang pengecut.
Dan mereka tak akan pernah membuka
mulut untuk memberitahukan pada siapa wari-
san itu mereka serahkan. Karena mereka tak mau
Ratih Ningrum dan keluarganya mendapat kesuli-
tan. Mereka merasa biarlah hanya mereka saja
yang mengalami hal seperti ini.
Karena mereka amat mencintai Ratih Nin-
grum. Amat mencintainya. Juga mencintai ke-
luarganya. Namun kekeras-kepalaan mereka itu,
membuat para penyerangnya semakin ganas dan
kejam. Semakin buas menyerang untuk membu-
nuh. Sebisanya mereka bertahan.
Namun setelah berkali-kali mereka terkena
hantaman, pukulan, tendangan dan sapuan yang
keras, membuat mereka menjadi kehabisan tena-
ga. Juga merasakan rasa sakit yang teramat
sakit. Kembali ketiganya terkapar di tanah, me-
nahan rasa sakit dan amarah di hati.
Polodomo mendengus lagi.
"Kami masih memberi kesempatan pada
kalian untuk hidup! katakan, kepada siapa kalian menyerahkan warisan itu"!"
"Sudah kukatakan sejak tadi, sekali pun
kalian akan menyiksa kami, tak akan pernah ka-
mi memberitahukan kepada siapa kami menye-
rahkan warisan itu. Orang-orang busuk!" kata Mukti sambil menahan rasa sakit
yang menyengat. "Kalian benar-benar ingin mampus ru-
panya!" geram Polodomo.
"Kami lebih baik mati daripada harus men-
jilat ludah kami sendiri!"
Polodomo berpaling pada teman-temannya
yang nampak tidak sabar.
"Kalian dengar apa yang diucapkannya itu"
Dia bilang, mereka ingin mati!"
"Kita bunuh saja!" seru Roro Kunti.
"Ya, manusia-manusia seperti ini tak ada
gunanya untuk hidup lebih lama!" kata Barong Projo. "Dan ini membuat kepala kita
menjadi pus-ing." "Bagus, kalau begitu siapa di antara kalian yang ingin
membunuhnya!"
Roro Kunti, Barong Projo dan Ireng Guruh
menyediakan diri.
"Bagus! Kalian masing-masing membunuh
satu orang!"
Dan yang tengah menjadi algojo itu pun
bersiap. Lalu dengan satu pekikan keras, keti-
ganya menerjang ke arah ketiga kakek yang ter-
kapar tak berdaya itu.
Sepuluh Memang tipis harapan bagi ketiga kakek
itu untuk dapat hidup lebih lama lagi. Namun
mereka pun bukanlah orang-orang pengecut. Dan
mereka pun merasa lebih baik mati daripada me-
nimbulkan kesulitan pada murid mereka, Ratih
Ningrum. Yang tak pernah mereka sangka adalah,
warisan itu telah menjadi incaran dari orang-
orang jahat ini.
Kini ketiganya hanya bisa memejamkan
mata ketika tiga sosok tubuh itu berkelebat me-
nyerbu ke arah mereka masing-masing. Tak bisa
lagi mereka untuk meloloskan diri.
Namun tiba-tiba satu sosok putih berkele-
bat ke arah tiga penyerang itu. Dan terdengar suara jeritan berbarengan dari
tiga penyerang itu.
Tubuh Roro Kunti terpental beberapa tom-
bak. Tubuh Barong Projo bergulingan muntah
darah. Sedangkan tubuh Ireng Guruh langsung
terpental dan mampus seketika.
Tiga Setan Pemetik Bunga pun terkejut me-
lihat hal itu. Begitu pula dengan tiga kakek yang tengah memejamkan matanya.
Serentak ketiganya membuka mata mereka.
Dan semua mata yang ada di sana melihat
satu sosok berjubah putih yang tersenyum arif bijaksana.
Belum lagi hilang kekagetan tiga kakek itu,
satu sosok tubuh berkelebat mendekatinya.
"Guru!"
Ketiganya menoleh.
"Ratih!" seru mereka bersamaan. Ada nada gembira dari ucapan mereka.
"Apa yang telah terjadi, Guru?" tanya Ratih Ningrum pilu melihat keadaan tiga
gurunya yang terluka. "Ada kejadian kecil sedikit yang tak perlu
dirisaukan," sahut Mukti padahal betapa sakit di-rasakannya di sekujur tubuhnya.
Namun dia be- rusaha untuk menyembunyikannya.
Ratih Ningrum berpaling pada orang-orang
yang ada di hadapannya. Tatapannya beringas
dan berbahaya. "Apa yang kalian perbuat pada guruku
ini?" bentaknya marah.
Polodomo terkekeh. Roro Kunti dan Barong
Projo susah payah bangkit mendekat. Mereka me-
rasakan sakit yang luar biasa sekali.
Hantaman satu sosok berjubah putih itu
membuat keduanya menjadi kaget karena dengan
sekali berkelebat sosok berjubah putih itu mampu membuat mereka luka parah di
bagian dalam seperti ini.
"Hehehe... rupanya kau adalah murid dari
tiga kakek sialan ini!" terdengar suara Polodomo.
"Apa maksud kalian melukainya, hah"!"
"Kami hanya meminta diberitahukan, ke-
pada siapa harta warisan itu mereka serahkan!"
"Warisan"!"
"Hehehe.. ya, ya... aku tahu... tentunya ke-padamulah harta warisan itu mereka
serahkan, bukan?" Madewa memberi tanda agar istrinya ter-
diam. Sambil menatap orang-orang itu dia berka-
ta, "Hmm... Ki Sanak sekalian, bila aku boleh ta-hu... siapakah kalian
semuanya?"
"Aku Polodomo. Salah seorang dari Tiga Se-
tan Pemetik Bunga. Ini kawanku, Pala Tunggal,
Sakung Bukit, Barong Projo dan yang wanita itu
Roro Kunti. Sedangkan yang mampus itu, Ireng
Guruh, Nah, katakanlah... siapakah kau sendiri
sebenarnya"!" sahut Polodomo angkuh.
"Rasanya... kita memang belum saling ken-
al. Tetapi karena kalian telah memperkenalkan
diri, maka aku pun layak memperkenalkan diri
pula. Namaku Madewa Gumilang... dan dia istri-
ku, Ratih Ningrum...."
"Siapa nama kau tadi, Ki Sanak"!" seru Polodomo seperti teringat sesuatu.
"Kenapa?"
"Katakan lagi siapa namamu"!"
"Namaku Madewa Gumilang!"
"Apa" Madewa Gumilang"! Pendekar
Bayangan Sukma!" seru Polodomo terkejut dan
membuat teman-temannya pun ikut terkejut.
"Mengapa" Ada yang aneh dengan nama-
ku" Dan yang kau sebutkan barusan adalah na-
ma julukanku" Rasanya... tidak ada yang aneh!"
Dari rasa terkejut Polodomo mendengus.
"Hhh! Rupanya hari ini kami tengah berhadapan dengan pendekar nomor wahid di
rimba persilatan ini! Tetapi kami tak pernah takut dengan sia-pa pun!"
"Maaf, Polodomo... siapa yang memerintah-
kan padamu untuk takut kepadaku, hah" Nah,
katakan... mengapa kau menyerang tiga kakek
guru istriku ini?" kata Madewa Gumilang atau Perguruan Topeng Hitam sambil tetap
tersenyum arif dan bijaksana.
Polodomo mendengus. "Madewa... tentunya
kau tak akan pernah ikut campur dalam urusan
orang lain, bukan?"
"Sayang sekali dugaanmu salah, Polodo-
mo.... bila kau melihat satu kezaliman, siapa pun orangnya akan aku bantu.
Yah.... siapa pun
orangnya!"
"Sombong! Rupanya pendekar nomor wahid
di rimba persilatan ini adalah seorang yang som-
bong!" "Polodomo.... kita tak punya silang sengke-ta, sebaiknya kau tinggalkan
tempat ini dan jan-
gan lagi mengganggu ketiga kakek ini...."
"Kau benar-benar sombong, Madewa! Nah,
bila kau mengetahui di mana warisan itu berada,
maka kami akan melepaskan dirimu dan orang-
orang itu!"
"Warisan itu ada pada istriku. Nah, kau
mau apa setelah mengetahuinya?"
"Kami akan merebutnya!"
"Kuminta... lebih baik kalian tinggalkan
tempat ini!" seru Madewa.
"Manusia sombong! Tahan serangan! Kami
akan tetap merebutnya!" seru Polodomo seraya maju menyerang.
Serangannya amat ganas. Karena dia me-
nyadari siapa yang tengah dihadapinya. Maka dia
pun langsung menggunakan jurus andalannya.
Pemanah Mata Api!
Madewa pun segera memapakinya. Dengan
menggunakan Jurus Ular Meloloskan Diri dia
berhasil menghindari setiap serangan yang dilan-
carkan oleh Polodomo.
Lalu diapun lalu mengimbanginya panas-
nya jurus itu dengan jurus Pukulan Angin Salju.
Melihat kawan mereka sudah bertempur,
yang lain pun segera datang membantu. Mereka
mengeroyok Madewa Gumilang.
Ratih Ningrum pun tak mau kalah. Melihat
suaminya dikeroyok, dia pun maju membantu.
Roro Kunti pun segera melayaninya.
Kembali di tempat itu terjadi pertarungan
yang amat hebat.
Tiga kakek yang dalam keadaan luka parah
itu hanya bisa memperhatikan saja tanpa bisa
berbuat apa-apa. Mereka sebenarnya ingin mem-
bantu, namun tubuh mereka dirasakan teramat
lemah. Dan diam-diam masing-masing menyesali
kejadian ini. Bila mereka tidak datang membawa
warisan, tentunya murid mereka dan suami mu-
ridnya tidak akan mengalami hal seperti ini.
Kebetulan sekali tadi Ratih Ningrum ber-
maksud mencari ketiga gurunya karena hendak
memberikan pada mereka sedikit harta warisan.
Dan ditemani suaminya, diapun mulai mencari.
Betapa terkejutnya dia dan suaminya meli-
hat guru-gurunya tengah menanti ajal dengan
mata terpejam. Dan suaminya pun segera bertin-
dak cepat memapaki serangan tiga orang itu pada
guru-gurunya. Kini mereka tengah terlibat dalam perkela-
hian yang teramat seru. Madewa sendiri menjadi
terdesak ketika Tiga Setan Pemetik Bunga bersatu padu memainkan jurus andalan
mereka bertiga bila bersama-sama.
Belum lagi dari serangan yang dilancarkan
Barong Projo. Namun Madewa masih berusaha sekuat
tenaga untuk mengimbangi serangan-serangan
itu. Kini dia menggunakan pukulan Tembok
Menghalau Badai.
Suatu ketika pukulan itu mengenai Barong
Projo yang tengah terluka parah. Dan orang itu
pun mampus seketika.
Hal itu membuat Tiga Setan Pemetik Bunga
menjadi murka. Mereka menyerang lagi dengan
ganas. "Hari ini, nama besar Perguruan Topeng Hitam akan tenggelam selama-
lamanya!" terkekeh Polodomo.
Sementara itu Ratih Ningrum pun dengan
sepasang pedangnya tengah mengimbangi per-
mainan kipas dari Roro Kunti. Kedua wanita itu
nampak berimbang. Namun ketika Ratih Ningrum
memadukan jurus sepasang Pedang kembarnya
dengan pukulan Tangan Seribu, membuat Roro
Kunti menjadi kewalahan.
Dan dengan satu gerak tipu yang hebat.


Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia mengakhiri perlawanan Roro Kunti dengan
menghujamkan pedangnya ke dada wanita itu.
Matilah Roro Kunti yang cabul itu.
Sedangkan Madewa tengah berusaha me-
nahan setiap serangan yang dilancarkan Tiga Se-
tan Pemetik Bunga.
Tiba-tiba saja Tiga Setan Pemetik Bunga
bersalto ke belakang. Dan kemudian ketiga ter-
diam dengan sikap menjura. Mendadak ketiganya
membuka tangan ke depan. Terlihatlah kalau
masing-masing tangan mereka telah berubah
menjadi hitam. "Madewa... kini mampuslah kau! Tahan ju-
rus kami ini, Bara Menghantam Gunung!" seru Polodomo.
Lalu dengan diiringi teriakan yang keras
ketiganya menyerang. Madewa menghindarkan-
nya dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Dia dapat merasakan betapa ganasnya jurus
yang dimainkan secara kompak dan cepat itu.
Namun lama kelamaan dia menjadi kewa-
lahan juga. Mendadak Madewa bersalto ke bela-
kang dan ketika hinggap di tanah dia tengah me-
rangkapkan kedua tangannya. Lalu membentang-
kannya. Rupanya Madewa tengah melancarkan
Pukulan pamungkasnya, Pukulan Bayangan
Sukma. Ketika orang itu pun tahu pukulan apa
yang siap dilancarkan Madewa Gumilang. Namun
mereka tidak takut.
Serentak pula mereka menyerbu. Madewa
pun bersiap. Namun sungguh di luar dugaan Madewa,
tiba-tiba ketiga kakek itu bersalto ke arah tiga kakek yang terkapar tak berdaya di tanah. Tangan mereka siap meluncur.
Dan tanpa ampun lagi ketika kakek yang
terkapar itu menjerit terkena hantaman ajian Ba-
ra Menghantam Gunung.
"Guru!" seru Ratih Ningrum terkejut. Namun ketiga gurunya telah menemui ajal
mereka dengan tubuh hangus.
Melihat hal itu, Madewa menjadi murka.
Lalu dia pun menyerbu ketiga kakek itu yang
langsung memapakinya.
Dua pukulan sakti berbenturan.
Terdengar suara bagaikan sebuah ledakan.
Daun-daun berguguran. Dan tempat itu
seketika mengepulkan debu tebal.
Dari debu yang menyelimuti itu terlempar
empat sosok tubuh ke belakang. Madewa ter-
huyung beberapa langkah. Sedangkan Tiga Setan
Pemetik Bunga langsung kelojotan mampus den-
gan tubuh hancur. Rupanya Madewa mengelua-
rkan Pukulan Bayangan Sukma tingkat tinggi.
Lalu dengan menahan sakit di dada, dia
menghampiri istrinya yang tengah menangisi
mayat ketiga gurunya.
"Guru... guru... huhuhu... mengapa harus
terjadi hal seperti ini... Huhuhu... mengapa
Guru?" Madewa cuma mendesah panjang. Tak berani mengusik istrinya yang sedang
bersedih. Malam pun mulai turun.
Tangis Ratih Ningrum masih berkepanjan-
gan. SELESAI Scanned by Clickers
Edited by Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 17 Serigala Dari Kunlun Long Cu Ya Sim Karya Kwao La Yen Rahasia Kampung Garuda 3
^