Pencarian

Undangan Berdarah 1

Pendekar Bayangan Sukma 12 Undangan Berdarah Bagian 1


UNDANGAN BERDARAH Oleh Fahri A. Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dila-
rang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma dalam epi-
sode: Undangan Berdarah
1 Udara berhembus dingin. Sisa-sisa air hujan yang
turun semalam bersatu dengan embun-embun pagi.
Suasana Perguruan Topeng Hitam seperti biasanya, setiap pagi murid-muridnya
selalu berlatih ilmu silat.
Ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam adalah se-
mua murid-muridnya mengenakan pakaian hitam-
hitam dengan sepasang pedang. Mereka semua juga
mengenakan topeng berwarna hitam.
Dulu Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh seorang
jago pedang yang bernama Paksi Uludara. Namun sete-
lah dia tewas di tangan Nindia alias Dewi Cantik Penyebar Maut, sebelum ajalnya
Paksi Uludara berpesan kepada Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan Suk-
ma untuk memimpin Perguruan Topeng Hitam. (Baca:
Dewi Cantik Penyebar Maut).
Dan di bawah pimpinan Madewa Gumilang, nama
Perguruan Topeng Hitam terus menjulang. Disegani
oleh kawan maupun lawan. Di samping pimpinan mere-
ka seorang pendekar sakti yang juga sering dijuluki Pendekar Budiman atau
Manusia Dewa, juga sikap dan
prilaku murid-murid Perguruan Topeng Hitam begitu
sopan dan bersahabat.
Dan pagi ini, Madewa pun tengah mengajarkan ju-
rus-jurus pedang yang baru pada murid-muridnya. Se-
panjang dia memegang pimpinan di Perguruan Topeng
Hitam, belum sekali pun dia menurunkan jurus-jurus Ular Saktinya, Pukulan Tombak
Menghalau Badai, Pukulan Angin Salju maupun Pukulan Bayangan Sukma,
senjata andalannya. Bahkan boleh dikatakan, tak satu pun ilmu silat yang
dimilikinya diturunkan kepada murid-muridnya.
Madewa Gumilang hanya menurunkan jurus-jurus
pedang yang dimilikinya. Semua itu dilakukan untuk
menjaga tradisi Perguruan Topeng Hitam sewaktu di-
pimpin oleh Paksi Uludara, yaitu mereka hanya men-
gandalkan sepasang pedang.
Di samping Madewa Gumilang, istrinya Ratih Nin-
grum pun juga ikut mengajar bila suaminya tidak ada di Perguruan Topeng Hitam,
yang sekaligus menjadi rumah mereka.
Ratih Ningrum pun seorang wanita yang tak kalah
hebatnya dengan suaminya. Dia pernah belajar pada ti-ga orang guru yang
memberinya kepandaian ilmu silat yang berbeda. (Baca: Dendam Orang-orang Gagah).
Kini dia telah berusia 35 tahun, hanya terpaut tiga tahun dengan suaminya. Namun
sisa-sisa kecantikannya masih jelas terlihat.
Tiba-tiba seorang penunggang kuda masuk ke Pergu-
ruan Topeng Hitam. Penunggang itu mengenakan se-
buah topeng pula, namun berwarna biru. Dia pun me-
miliki sebuah pedang di punggungnya. Orang itu berpe-rawakan gagah dan tinggi.
Bila melihat postur tubuhnya, dia adalah seorang laki-laki.
Dan dengan ringannya orang itu melompat dari ku-
danya. Madewa mengangkat tangannya, agar latihan
dihentikan dulu. Serentak para muridnya berdiri dalam posisi istirahat. Namun
tidak dengan tangan ke belakang, melainkan dengan pedang yang menyelempang di
dada. Orang bertopeng biru itu menjura.
"Salam hormat buat Ketua Perguruan Topeng Hitam, Madewa Gumilang...."
Madewa tersenyum. Jubah putih yang dikenakannya
berkibar dihembus angin pagi.
"Salam hormat kembali untukmu, Saudara," kata Madewa dengan suara yang berwibawa
dan tersenyum arif dan bijaksana. "Ada angin apa gerangan yang mem-
bawa Saudara ke mari?"
"Saudara ketua... saya bernama Pati Mukti, utusan dari Resi Widia Soka...."
"Resi Widia Soka?" tanya Madewa heran. Rasanya dia belum pernah mendengar nama
itu. "Benar, Ketua... Resi Widia Soka seorang sakti yang baru turun gunung. Kini dia
telah mendirikan sebuah Perguruan silat, Partai Rajawali Sakti...."
"Hmm... kabar yang bagus sekali. Lalu apa hanya kabar itu yang hendak kau
sampaikan kepadaku, Pati
Mukti?" "Sudah tentu tidak, Ketua...." sahut Pati Mukti. Lalu mengambil sesuatu dari
selipan angkinnya yang berwarna merah. Dia menyerahkannya pada Madewa Gu-
milang. "Apa gerangan ini?"
"Sebenarnya begini, Ketua... Saya diutus oleh Resi Widia Soka, untuk mengundang
Saudara Ketua menghadiri peresmian Partai Rajawali Sakti... Ketua Resi Widia
Soka begitu amat mengharapkan kehadiran Sauda-
ra Ketua.... Dan untuk lebih jelasnya, saya harap Saudara Ketua sudi untuk
membaca surat yang saya beri-
kan tadi...."
Madewa pun membuka selembar surat itu. Sebagian
besar isinya memang mengundangnya untuk hadir da-
lam peresmian Partai Rajawali Sakti pimpinan Resi Widia Soka. Dan sebagian lagi,
Resi Widia Soka begitu menyanjungnya sebagai orang sakti yang berjuluk Pendekar
Bayangan Sukma.
Sudah tentu Madewa Gumilang tidak mau mengece-
wakan Resi Widia Soka yang telah mengundangnya.
Dia pun berkata, "Baiklah... katakan kepada Resi Widia Soka... saat purnama
pertama bulan ini, aku
akan datang memenuhi undangannya...."
Pati Mukti menjura kembali. "Terima kasih, Ketua....
Saya amit mundur...."
Madewa mengangguk. Lalu dengan gerakan yang
ringan kembali, Pati Mukti melompat ke kudanya. Dan menggebraknya pergi dari
situ. Madewa berbalik pada para muridnya, "Kalian teruskan jurus baru yang aku ajarkan
tadi," katanya. La-lu dia masuk ke ruang utama Perguruan Topeng Hitam.
Madewa menemui istrinya yang nampak sedang ter-
menung. Ratih Ningrum langsung menjura begitu men-
dengar deheman suaminya.
"Oh, Kanda...."
"Dinda Ratih... kenapa kau termenung?" tanya Madewa Gumilang sambil duduk di
dekat istrinya.
Ratih Ningrum mendesah.
"Aku rindu pada anak dan anak menantuku, Kan-
da...." desisnya.
"Hmm... Pranata Kumala dan Ambarwati" Yah... aku pun rindu pada mereka. Namun
sebagai pasangan suami istri baru, aku memang mendukung rencana mere-
ka untuk mencari pengalaman, Dinda.... Nanti bila mereka merasakan pengalaman
yang mereka cari sudah
cukup, tentunya mereka akan kembali kepada kita.
Atau pulang ke rumah mereka di Laut Selatan...."
Yang dikatakan Madewa Gumilang memang benar.
Putranya Pranata Kumala, memang sedang mencari
pengalaman dengan petualangan bersama istrinya, Am-
barwati. (Baca: Sepasang Manusia Srigala). Dan Made-wa pun sering bertemu pula
dengan mereka, namun
mereka selalu menolak bila diajak pulang (Baca: Datuk Sesat Bukit Kubur,
Pertarungan Para Pendekar, Iblis Berbaju Hijau). Dan dalam pencariannya pun
Madewa kadang tidak berjumpa dengan keduanya (Baca: Racun
Kelabang Putih, Pertarungan di Gunung Tengkorak).
Namun Madewa yakin, suatu saat putra dan anak me-
nantunya pasti akan kembali, karena dia pun teringat
masa mudanya dulu yang selalu bertualang bersama
Ratih Ningrum. "Aku rindu sekali pada mereka, Kanda...." kata Ratih Ningrum lagi.
Madewa tersenyum. "Dinda... aku baru saja menerima undangan dari Resi Widia Soka
untuk menghadiri
peresmian Perguruan silatnya Partai Rajawali Sakti.
Nah, mengapa tidak kau ikut serta saja denganku, barangkali saja kita bisa
berjumpa dengan Pranata Kuma-la dan Ambarwati...."
"Benarkah itu, Kanda?" tanya Ratih Ningrum dengan mata berbinar.
"Mengapa tidak?"
"Di mana tempatnya, Kanda?"
"Menurut undangan yang aku terima, bertempat di Lembah Setan saat purnama bulan
ini muncul...."
"Kita pergi, Kanda?" ulang Ratih Ningrum dengan mata berbinar. Dalam angannya
dia sudah akan bertemu dengan putranya dan anak menantunya.
"Tentu, Dinda.... Tentu kita akan pergi...." kata Madewa sambil memeluk
istrinya. 2 Undangan dari Resi Widia Soka yang hendak meres-
mikan Partai Rajawali Sakti, beredar ke tangan jago-jago di rimba persilatan.
Seperti halnya Madewa Gumilang, mereka pun bertanya-tanya siapa adanya Resi
Widia Soka itu. Karena mereka seakan baru mengenal nama itu. Dan
mereka tidak tahu kalau di rimba persilatan ada seorang jago yang bernama Resi
Widia Soka. Pada masa itu, di rimba persilatan ada pula sebuah
Perguruan silat yang bernama Perguruan Naga Selatan.
Perguruan Naga Selatan dipimpin oleh seorang yang
bernama Praja Sewu. Praja Sewu seorang yang jago
akan ilmu kanuragan. Dia seorang laki-laki yang gagah perkasa. Wajahnya
ditumbuhi oleh cambang dan jang-gut yang lebat. Dan berkesan menyeramkan. Di da-
danya yang selalu terbuka ada tato bergambar naga sedang bertarung.
Praja Sewu dikenal sebagai laki-laki yang berotak li-cik. Dia sering pula
menyuruh anak buahnya untuk
merampok atau pun membegal pengirim-pengirim ba-
rang. Dan ketika seorang utusan dari Partai Rajawali Sakti datang, Praja Sewu
terbahak-bahak.
"Hahaha... siapa pula itu Resi Widia Soka, hah"!" katanya dengan suara mengejek.
Pati Mukti yang bertugas mengantarkan undangan
itu merah padam wajahnya di balik topeng birunya.
Memang banyak orang-orang yang bertanya siapa hal-
nya Resi Widia Soka, namun tidak bernada congkak
dan sombong yang seperti dilontarkan oleh Praja Sewu.
Dia menekan marahnya dan berkata dengan sabar,
"Resi Widia Soka adalah guruku, Ketua Praja Sewu. Dia seorang jago yang baru
turun gunung dan mendirikan Perguruan silat yang diberi nama Partai Rajawali
Sakti...."
"Hahaha... Partai Rajawali Sakti" Apa pula itu" Apakah dia benar-benar orang
sakti sehingga berani mendirikan Perguruan silat, hah"!"
"Perguruan silat yang didirikannya memang belum menandakan dia seorang yang
sakti. Maka tadi saya
hanya mengatakan dia seorang yang jago, tidak sakti...."
"Hahaha... muridnya sendiri mengatakan dia bukan seorang yang sakti. Apalagi
aku, hah" Praja Sewu yang bergelar Naga Selatan!" Praja Sewu terbahak-bahak.
Pati Mukti semakin merah padam wajahnya.
"Ketua Praja Sewu... saya datang hanya menyampaikan amanat dari ketua. Setelah
semua saya lakukan,
saya mohon diri. Tidak perduli Ketua Praja Sewu mau memenuhinya atau tidak...."
setelah berkata begitu, Pati Mukti melompat ke kudanya.
"Tunggu!" terdengar seruan Praja Sewu, lalu bangkit dari duduknya. "Kau sudah
masuk ke Perguruan Naga Selatan, dan tidak semudah itu untuk keluar dari ling-
kungan sini!"
Pati Mukti berbalik. Kesabarannya pun ada batas-
nya. Dia amat jengkel melihat sikap Praja Sewu yang demikian mengesalkan.
Sombong, congkak. Dan ang-kuh.
"Ketua Naga Selatan... sebelumnya saya amat menaruh hormat kepada Saudara
Ketua.... Namun sikap
Saudara Ketua Praja Sewu... tidak mencerminkan seorang ke tua...."
Praja Sewu melengak mendengar kata-kata yang cu-
kup jelas dan keras itu. Tetapi dia menutupinya dengan tertawa.
"Hahaha... Pati Mukti... nyalimu sungguh besar. Dan itu merupakan modal bagimu
untuk datang ke Perguruan Naga Selatan...."
"Dan aku pun memiliki modal yang lain, Praja Sewu!"
geram Pati Mukti gemas dan memanggil dengan tidak
menyebutkan kata ketua lebih dulu. Karena dia terlalu amat jengkel melihat sikap
Praja Sewu yang menurut-nya tidak pantas menjadi seorang ketua Perguruan silat.
Kali ini wajah Praja Sewu yang memerah. Dia menggeram, "Bangsat! Kau berani
menantangku, hah"!"
"Melihat sikapmu yang sombong seperti itu, aku jadi berkeinginan untuk mencoba
sendiri ketua Perguruan
Naga Selatan!" kata Pati Mukti dengan suara angker.
Tetapi kata-katanya itu disambut dengan tawa Praja
Sewu. "Hahaha... kau tidak tahu dalamnya samudra dan tingginya langit! Ingat, Pati
Mukti... kau sedang berhadapan dengan siapa?"
"Aku sedang berhadapan dengan naga sombong!" sahut Pati Mukti makin jengkel.
Dan kata-katanya itu membangkitkan kemarahan
Praja Sewu. Dia berkata kepada anak buahnya.
"Tangkap dia! Dan siksa sampai mati!"
Dua orang laki-laki yang berdiri di kanan kirinya,
langsung bersalto dua kali ke depan. Dan hinggap dengan ringannya di tanah.
Pati Mukti mendengus. "Hhh! Rupanya kau tak
sanggup melawan aku, sehingga kau menyuruh anak
buahmu, Praja Sewu!"
"Anjing buduk!" geram Praja Sewu. "Tangkap dia!
Cepaaaattt!"
Dua orang anak buahnya pun bergerak dengan ce-
pat. Keduanya melancarkan pukulan lurus ke wajah
Praja Sewu yang masih berada di atas kudanya.
Pati Mukti pun tidak mau dirinya dijadikan sasaran
empuk kedua tinju itu, dengan sekali sentak dia bersalto dan hinggap di tanah.
Kini berhadapan dengan dua orang anak buah Praja Sewu itu.
Dua orang itu menggeram karena serangan mereka
bisa dielakkan dengan mudah oleh Pati Mukti. Kedua-
nya pun serentak menyerang lagi.
Pati Mukti pun mengimbanginya. Sebagai seorang
utusan dari sebuah Perguruan silat, atau yang ditu-
gaskan langsung oleh pimpinannya, sudah tentu Pati
Mukti bukanlah seorang laki-laki yang kosong belaka.
Dia pun sudah dipersiapkan dan mempersiapkan diri
menghadapi segala kemungkinan. Lebih-lebih bila


Pendekar Bayangan Sukma 12 Undangan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadapi hal seperti ini.
Dan di samping itu, karena kejengkelannya akan si-
kap sombong Praja Sewu, membuat Pati Mukti bergerak cepat dan tidak tanggung-
tanggung lagi. Dia pun berkelebat ke sana ke mari dengan cepat,
tangkas dan berbahaya. Melewati jurus kelima, dia
nampak sudah berada di atas angin. Gerakan-
gerakannya amat berbahaya.
Tiba-tiba dia memekik.
Des! Sebuah pukulannya mengenai dada salah seorang
penyerangnya hingga tersungkur muntah darah. Meli-
hat hal itu kawannya menggeram murka.
Sambil memekik keras dia menerjang dengan ganas
dan membabi buta. Malah berkesan orang itu menye-
rang tidak memakai teknik yang dimilikinya. Hanya
menggunakan kecepatan dan gerak refleknya.
Hal ini menguntungkan Pati Mukti.
"Hahaha... Praja Sewu... orang-orang seperti ini yang kau andalkan!" ejeknya
saat melancarkan satu serangan pada lawannya.
Dan... Des! Pukulannya pun mengenai sasarannya. Disusul den-
gan satu tendangan memutar sambil meloncat. Mem-
buat lawannya kembali terkena serangannya.
Dan terhuyung muntah darah. Lalu tidak bangun-
bangun lagi. Nyawanya sudah melayang bersamaan dia
muntah darah tadi.
Pati Mukti bersalto dua kali dan berhadapan dengan
Praja Sewu. "Hahaha... rupanya Perguruan Naga Selatan cuma nama besarnya saja!" ejeknya.
Praja Sewu menjadi geram.
Dia pun memekik sambil bersalto dan melancarkan
serangannya. Pati Mukti memapakinya.
Des! Dua pukulan itu berbenturan. Pati Mukti terhuyung
beberapa tombak. Dia merasakan tangannya seakan
menghantam batu keras. Dan dia pun dapat merasakan
betapa besar tenaga dalam yang dimiliki Praja Sewu.
Sementara Praja Sewu berdiri tegak tak kurang suatu apapun.
"Hahaha... kini nyatalah siapa yang lebih kuat, Pati Mukti! Dan kau telah
membunuh salah seorang anak
buahku! Kini terimalah kematianmu, Pati Mukti!" seru Praja Sewu.
Dan mulai menyerang lagi. Pati Mukti pun kembali
mengimbanginya. Dia tidak berani untuk bentrok adu
tenaga karena dia yakin tenaganya pasti kalah oleh tenaga Praja Sewu.
Maka dia pun memperlihatkan kelincahannya meng-
hadapi jurus-jurus naga selatan milik Praja Sewu. Jurus yang mantap, kuat dan
cepat. Sedangkan Pati Mukti mati-matian mempertahankan
diri. Dia sudah agak kewalahan. Merasakan angin pu-
kulan yang dilontarkan Praja Sewu sudah membuatnya
merinding, apalagi bila dia terkena oleh pukulan atau tendangannya.
"Hahaha... mengapa bisa mu hanya berlari saja, Pati Mukti"!" ejek Praja Sewu.
"Kau pun belum bisa memukul ku, Praja Sewu!" balas Pati Mukti dan sekuat tenaga
berusaha menghindari dan membalas.
"Aku ingin melihat sampai di mana tenaga dan kekuatan yang kau miliki!"
"Hhh! Bilang saja kau tak mampu memukul ku!"
"Bangsat! Baik, akan kita buktikan kata-katamu itu!"
geram Praja Sewu dan menyerang lebih hebat lagi.
Membuat Pati Mukti harus bersusah payah menghindar
dan membalas. Namun serangan-serangan yang dilancarkan Praja
Sewu alis Naga Selatan, begitu hebat dari tadi. Membuat Pati Mukti menjadi
terdesak hebat.
Dia tersudut. Dan gerakannya seakan telah dikunci
oleh Praja Sewu. Ke mana dia bergerak, di situ pula Praja Sewu berada.
Dalam keadaan sulit untuk melepaskan diri, Pati
Mukti nekat untuk mencoba menerobos kepungan ge-
rakan Praja Sewu.
Tiba-tiba dia bersalto, mencoba melarikan diri den-
gan bersalto. Namun tanpa disangka olehnya, Praja Se-wu dengan lincah dan tanpa
diduga, bergerak cepat ke atas pula. Menyongsong tubuh Pati Mukti yang sedang
melenting di udara.
Pati Mukti terkejut. Dia tidak menyangka Praja Sewu bisa berbuat seperti itu.
Kini sadarlah Pati Mukti kalau kecepatannya kalah oleh Praja Sewu.
Dan tanpa ampun lagi satu jotosan dari Praja Sewu
mengenai perutnya. Pati Mukti yang melayang di atas, lalu ambruk dengan muntah
darah. "Hahaha... hanya begitu saja kemampuan yang kau perlihatkan, Pati Mukti! Ciiih!
Kemampuan seperti itu hanya layak kau perlihatkan pada pertunjukkan tukang-
tukang obat!" ejek Praja Sewu sambil berkacak pinggang.
Pati Mukti mengangkat kepalanya pelan-pelan. Dia
merasakan pusing yang luar biasa. Dan perutnya merasakan mual yang teramat
sangat. Pelan-pelan terdengar suara dari mulutnya sambil
meringis kesakitan, "Hhhh! Aku belum... kalah, Praja Sewu...."
"Hahaha... kalau begitu bangkitlah. Kita buktikan kembali ucapanmu itu...."
Sambil menahan rasa sakitnya, Pati Mukti pun
bangkit. Dia mengelap darah yang keluar dari mulutnya
dengan punggung tangan kirinya.
Dan tiga-tiba, "Sreeet!" pedangnya sudah berada di tangan kanannya.
Praja Sewu terbahak kembali. "Biarpun kau menggunakan pedang pusaka sekali pun,
kau tak akan mampu untuk mengalahkan aku, Pati Mukti...."
"Kita buktikan dulu, Praja Sewu...." desis Pati Mukti dengan suara gagah."Aku
siap menyabung nyawa den-ganmu! Kalau bisa... aku ingin menyumpal mulutnya
dengan pedangku ini...."
"Kalau bisa" Hahaha... hei!"
Praja Sewu berkelit ke kiri karena pedang Pati Mukti sudah menyambar ke arah
dadanya. "Hahaha... keluarkan semua ilmu pedangmu, Manusia Bertopeng Biru!"
Pati Mukti pun bergerak dengan cepat. Pedangnya
berkelebat seakan mempunyai mata mengikuti ke mana
larinya Praja Sewu.
Praja Sewu sedikit merasakan kesulitan. Namun ti-
ba-tiba saja dia menggeram hebat. Tepat saat itu pedang Pati Mukti bergerak ke
arah ulu hatinya.
Des! Pedang itu pun tepat mengenai sasarannya. Namun
satu keanehan terjadi. Karena padang itu tak mampu
menusuk kulit perut Praja Sewu.
Praja Sewu terbahak.
"Hahaha... inilah ilmu kebal Naga Berkulit Seribu, Pati Mukti!"
Pati Mukti menjadi penasaran. Dia menambah tena-
ga dalamnya. Dan sekali lagi bergerak menusukkan pedangnya ke perut Praja Sewu
yang hanya terbahak tan-pa berusaha untuk menangkis dan menghindar.
Dan lagi-lagi pedang itu tak mampu menembus kulit
Praja Sewu. Seakan pedang itu mengenai tembak yang
cukup tebal. "Kau ngeri melihat kehebatan ilmu kebal ku, bukan?" ejek Praja Sewu.
"Iblis busuk! Kau tak pantas menjadi seorang ketua Perguruan!" maki Pati Mukti.
"Kau pantasnya menjadi bajingan yang sadis!"
"Hahaha... dan kau akan melihat bajingan ini menjadi sadis! Nah, bersiaplah
untuk menerima ajalmu, Pati Mukti!"
Pati Mukti yang merasa sudah tidak mampu lagi un-
tuk menghadapi Praja Sewu, langsung melenting ke kudanya begitu Praja Sewu
menyerang. Dan menggebrak
lari kudanya dengan cepat. Dia tidak ingin ajal menjem-putnya sebelum tugas yang
ada di pundaknya selesai.
Praja Sewu yang tidak menyangka Pati Mukti akan
melompat ke kudanya dan melarikan diri, hanya bisa
memaki-maki panjang lebar.
"Hhh! Awas kau, Pati Mukti! Suatu saat, kau harus mampus di tanganku!" geramnya.
Lalu melanjutkan,
"Hhh! Aku jadi ingin tahu siapa sesungguhnya Resi Widia Soka itu! Baik, purnama
nanti, aku akan aku
menghadiri undangan ini!"
*** 3 Lembah Setan siang hari.
Nampak lembah yang mengerikan itu, ramai oleh
orang-orang yang sedang membuat sebuah panggung
besar. Orang-orang yang bekerja itu adalah murid-
murid dari Partai Rajawali Sakti. Di halaman depan sebuah bangunan besar,
terdapat bendera lambang Partai Rajawali Sakti yang bergambar seekor rajawali
sedang murka. Di antara sibuknya orang-orang yang bekerja itu,
nampak satu sosok berdiri gagah dengan kedua tangan bersedekap. Sosok itu
mengenakan pakaian berwarna
biru dengan topeng berwarna biru pula. Sama halnya
yang dikenakan oleh Pati Mukti.
Hanya bedanya sosok itu memakai jubah berwarna
merah. Dia adalah Resi Widia Soka. Dan sampai saat
ini, tak seorang pun yang mengetahui rupa wajahnya.
Juga para murid-muridnya.
Di balik topeng biru yang menutupi wajahnya Resi
Widia Soka tersenyum melihat panggung besar yang telah selesai itu. Dia
maksudkan, panggung itu untuk uji tanding antara jago-jago yang diundangnya.
Resi Widia Soka memang hendak meresmikan Pergu-
ruan silat Partai Rajawali Sakti. Semata untuk meminta restu pada para
undangannya yang terdiri dari jago-jago rimba persilatan.
Tiba-tiba masuk seekor kuda dengan berlari ken-
cang. Di atas punggung kuda itu tergolek satu sosok yang nampak amat lemah.
Dia adalah Pati Mukti yang sehari semalam memacu
kudanya untuk sampai di Lembah Setan.
Resi Widia Soka dengan sigap bersalto menghentikan
lari kudanya. Dan mengangkat tubuh Pati Mukti yang
terluka. Dia membawanya masuk ke bangunan besar itu.
Dan membaringkan tubuh Pati Mukti. Dibukanya to-
peng dan pakaian biru Pati Mukti. Nampaklah seraut
wajah yang cukup tampan milik Pati Mukti. Kalau diki-ra-kira, dia berusia
sekitar 24 tahun. Wajahnya bersih kelimis.
Dan Resi Widia Soka dapat melihat perut Pati Mukti
yang terluka. Sekali melihat, dia bisa menduga jenis pukulan apa
yang mengenai muridnya ini. Satu pukulan yang cukup
berbahaya yang mengandung tenaga dalam yang besar.
Dengan sigap Resi Widia Soka menotok beberapa ja-
lan darah Pati Mukti. Dan mengalirkan tenaga dalam-
nya melalui kedua telapak tangan Pati Mukti.
Tiba-tiba Pati Mukti muntah darah. Terasa dada dan
perutnya sakit sekali.
Darah yang keluar dari mulutnya agak berwarna hi-
jau, menandakan pukulan yang dilepaskan Praja Sewu
mengandung racun.
Dan tiba-tiba dia pingsan kembali. Resi Widia Soka
kembali menotok beberapa jalan darah Pati Mukti dan membiarkan sampai dia
siuman. Malamnya, Pati Mukti yang sudah sadar pun mence-
ritakan apa yang telah dialaminya.
"Hmm... Praja Sewu...." kata Resi Widia Soka. "Biarlah... kita tidak perlu
memperpanjang masalah ini. Bila dia ingin datang memenuhi undangan kita, kita
terima dengan senang...."
"Tapi, Guru... dia telah menghina Partai Rajawali Sakti...."
"Biarlah, Pati Mukti.... Sabarlah...."
"Aku tidak puas sebelum membalas semua ini,
Guru...." "Pati Mukti... sebenarnya aku pun geram dengan sikap dari Praja Sewu atau si
Naga Selatan terhadapmu.
Namun yang perlu diingat, undangan kita bukanlah untuk membuat huru-hara atau
pun keributan sesama.
Undangan ini kita lakukan, untuk meminta restu dari orang-orang rimba persilatan
dengan berdirinya Partai Rajawali Sakti...."
"Aku mengerti maksud, Guru.... Tetapi aku mendendam pada Praja Sewu...."
"Pati Mukti... bersabarlah dalam hal ini.... Dan ingat-lah... kita hanya meminta
restu dari orang-orang rimba persilatan. Bukan untuk menyebarkan bibit permusu-
han dan kesombongan...."
Pelan-pelan Pati Mukti menundukkan kepalanya. Dia
merasa malu dengan sikapnya tadi terhadap gurunya.
Gurunya begitu bijaksana sekali.
Lalu dia pun mohon diri untuk kembali ke kamar-
nya. Namun benarkah apa yang dikatakan Resi Widia So-
ka tadi" Bahwa dia mengundang orang-orang rimba
persilatan semata-mata hanya meminta restu dari me-
reka akan berdirinya Partai Rajawali Sakti"
Dan siapakah Resi Widia Soka yang mendadak saja
muncul di rimba persilatan tanpa seorang pun pernah mengenalnya" Termasuk Madewa
Gumilang" *** 4 Dua puluh tahun yang lalu, di sebuah desa yang cu-
kup terpencil hiduplah sepasang suami istri yang baru saja dikarunia anak
pertama. Keluarga itu amat rukun dan bahagia.
Si suami bernama Malengka Seto sedangkan istrinya
bernama Nyai Asih. Sejak dikaruniai anak, Malengka
Seto semakin rajin untuk mencari penghasilan. Apalagi dia teramat mengasihi
istri dan anaknya. Kalau pagi, Malengka Seto bertani dan bila sore menjelang
malam dia berdagang di kota.
Ketika putranya Banyu Wiro berusia tujuh tahun,
datanglah satu kejadian yang mengerikan.
Malam itu Malengka Seto belum kembali dari berda-
gang di kota. Tiba-tiba tiga orang penunggang kuda
mendekati tempat tinggalnya.
"Agaknya kita bisa bermalam di sini, Kakang...." ter-
dengar suara seseorang yang berwajah agak menyeram-
kan. Ketiga orang itu memakai ikat kepala berwarna
merah. Dan di pinggang masing-masing terdapat se-
buah golok besar.
Mereka menamakan diri Tiga Golok Maut.
Yang dipanggil Kakang tadi seorang laki-laki bertu-
buh besar. Dengan bulu dada yang lebat di dadanya.
Dia bernama Murka Tungga.
"Hmm... lumayan agaknya tempat ini. Bisa menghi-langkan dinginnya malam untuk
sementara. Coba kau
periksa tempat itu, Moro!"
Yang diperintah itu pun turun dari kudanya.


Pendekar Bayangan Sukma 12 Undangan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara di dalam rumah, Nyai Asih yang sedang
menunggu kedatangan suaminya, menjadi ketakutan
ketika dia mengintip dari jendelanya melihat tiga orang laki-laki berwajah seram
yang mendatangi rumahnya.
"Oh, mengapa suamiku sampai saat ini belum pu-
lang juga?" desisnya khawatir. Sementara Banyu Wiro sudah sejak tadi terlelap
karena tak bisa menahan kan-tuk untuk menunggu ayahnya.
Nyai Asih semakin ketakutan ketika melihat salah
seorang dari penunggang kuda itu turun dan berjalan ke arah pintu depan.
Dadanya makin berdebar hebat ketika terdengar su-
ara ketukan pintu.
"Tok! Tok! Tok!"
Suara itu baginya bagaikan sebuah ledakan yang
cukup keras. "Tak ada yang menyahut, Kakang!" kata Moro.
"Hmm...." desis Murka Tungga."Berarti tak ada penghuninya!"
"Tapi terkunci, Kakang!"
"Moro... apa kau sudah tidak mampu untuk mendo-braknya!"
Moro tertawa. Lalu dengan sekali pukul, pintu yang
terkunci itu hancur berantakan.
"Periksa!"
Moro pun masuk. Dia dapat melihat Nyai Asih yang
terduduk di pojokan karena ketakutan.
"Hei, Kakang!" serunya. "Rupanya ada ayam bulat di sini!"
"Benarkah, Moro"!" sahut Murka Tungga dengan suara yang gembira. Di malam yang
dingin ini memang
sangat mengasyikkan bila ada tubuh hangat yang bisa digelutinya.
"Benar, Kakang! Ayam ini begitu montoknya!"
Murka Tungga berkata pada yang masih duduk di
kudanya. "Asena, periksa apakah kata-kata Moro itu benar!"
Asena pun turun dari kudanya dan masuk ke dalam.
Dia berdiri di sisi Moro. Dan melihat Nyai Asih yang duduk ketakutan.
Dia pun berseru, "Benar, Kakang! Ayam ini nampaknya masih ranum!"
Murka Tungga pun melompat dari kudanya. Dan
masuk ke dalam. Dalam pandangannya pun kini terli-
hat satu sosok tubuh yang meringkuk ketakutan.
"Hahaha... siapakah kau, Manis?" tanyanya dengan suara kasar.
Nyai Asih makin ketakutan.
"Hahaha... kami orang baik-baik, Manis, Ayo... bica-ralah...."
Dengan suara ketakutan dan terbata-bata, Nyai Asih
berucap, "Saya... Nyai Asih... Tuan...."
"Nyai Asih" Hahaha... namamu bagus sekali, Nyai....
Kenalkan, aku Murka Tungga. Dan ini kedua anak bu-
ahku, Moro dan Asena. Kami lebih dikenal dengan na-
ma Tiga Golok Maut...."
"I... iya, Tuan...."
"Hmm... Nyai Asih... agaknya kau ditakdirkan oleh
dewata untuk menemani kami sepanjang malam ini....
Pasti kau bersedia, bukan?"
"Oh!" Wajah Nyai Asih semakin pucat. Sekujur tubuhnya berkeringat karena
ketakutan yang teramat
sangat. "Kenapa kau menjadi ketakutan, Manis" Kami tidak akan berbuat apa-apa. Tapi...
bila kau tidak menurut dan mematuhi semua keinginan kami... hahaha... dengan
terpaksa kami akan menyiksamu... Nyai...."
"Oh, jangan Tuan... jangan... saya sudah bersuami dan punya anak...."
"Hahaha... biarpun kau punya suami dan punya
anak, tetapi nampaknya tubuhmu masih hangat untuk
menemani kami di malam yang dingin ini...."
"Oh, jangan Tuan... jangan...." Nyai Asih beringsut namun di belakangnya tampak.
Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memohon agar ketiga orang itu
tidak berbuat apa-apa terhadap dirinya.
Namun bagi Murka Tungga dan kedua anak buah-
nya, ini adalah satu kesempatan yang baik sekali. Sudah tentu mereka tidak akan
melewatkan kesempatan
ini. Murka Tungga tertawa.
"Mengapa jangan, Nyai" Bukankah kau pun bisa turut bersenang-senang dengan
kami?" Nyai Asih makin ketakutan. "Jangan... jangan lakukan itu padaku.... Sebentar
lagi suamiku datang... Jangan, Tuan... Jangan...."
Tetapi ketiga orang itu tetap tidak perduli. Ini adalah satu kenikmatan yang
hendak mereka cari. Dan secara kebetulan apa yang mereka inginkan ada di hadapan
mereka kini. Murka Tungga perlahan-lahan mendekat. Wajahnya
menyeringai buas dengan sepasang mata yang seakan
ingin menelan hidup-hidup.
Nyai Asih menahan nafas dengan tegang. Ketakutan-
nya memuncak ketika tangannya dipegang oleh Murka
Tungga. Dia berusaha untuk membebaskan diri, namun
tenaga Murka Tungga jauh lebih besar dari tenaganya.
Tiba-tiba terdengar bentakan, "Orang-orang jahat!
Lepaskan ibu!"
Murka Tungga menoleh. Dan melihat seorang bocah
berusia 7 tahun berdiri di ambang pintu sebuah kamar.
Bocah itu adalah Banyu Wiro yang terbangun ketika
mendengar suara ribut-ribut.
"Hahaha... bocah berani! Diamlah di tempat itu, jangan kau ganggu keasyikan kami
dengan ibumu...." kata Murka Tungga yang melihat hanya seorang bocah yang
membentaknya. "Lepaskan Ibu!" kata Banyu Wiro gagah berani. Dia pun perlahan-lahan mendekati.
"Haha... kau belum tahu betapa nikmatnya sorga dunia, Bocah.... Ibumu sendiri
tentunya suka dengan kesenangan ini! Maka minggirlah, ibumu sendiri yang
meminta!" "Kau menyakiti Ibu!" bentak bocah itu tak mengenal takut. Dia makin mendekat.
Nyai Asih menjadi bertambah cemas. Dia kuatir pu-
tranya akan kenapa-napa.
"Banyu... minggirlah...." desisnya pilu karena dia sadar akan bahaya yang
sebentar lagi datang padanya.
"Tidak! Orang itu kasar, Ibu! Ibu disakiti olehnya!"
seru Banyu Wiro tetap dengan suara gagah. Dan dia
makin mendekat.
Diam-diam Murka Tungga kagum dengan keberanian
bocah ini. Namun dia tidak mau keasyikannya tergang-gu. Dia bermaksud hendak
memberi perintah pada Mo-
ro untuk menghabisi saja bocah sialan itu.
Namun mendadak saja, Banyu Wiro dengan kepolo-
san dan kenekatan seorang bocah, melompat menerjang
Murka Tungga. Walaupun serangan itu tidak menya-
kitkan, namun cukup membuat Murka Tungga kaget
luar biasa. "Bocah setan!" bentaknya sambil membanting tubuh Banyu Wiro.
Dan tanpa ampun lagi tubuh bocah itu terhempas
cukup keras di lantai. Dan pingsan seketika.
"Bunuh saja!" geram Murka Tungga marah.
Moro pun bergerak. Tangannya terangkat, siap
menghabisi nyawa Banyu Wiro.
Namun bertepatan saat itu, mendadak pintu dige-
brak dari luar. Masuklah Malengka Seto. Tadi dia ketika baru tiba, heran melihat
ada tiga ekor kuda di depan rumahnya. Dan dari keheranannya berubah menjadi
terkejut ketika melihat pintu depan rumahnya jebol.
Apalagi ketika didengarnya suara jeritan istrinya.
Bergegas Malengka Seto masuk ke dalam. Dan tera-
mat terkejut melihat tiga orang laki-laki berwajah seram sedang berdiri di
hadapan istrinya yang meringkuk ketakutan. Dan dia semakin geram begitu melihat
pu- tranya pingsan dengan mulut mengeluarkan darah.
"Siapa kalian"!" bentaknya.
Ketiga orang itu berbalik. Moro tidak jadi mengayunkan tangannya.
"Hmm... rupanya kau suami wanita ini, bukan?" desis Murka Tungga.
"Ya! Dan kalian siapa" Jangan coba-coba mengganggu istri dan anakku"!" seru
laki-laki itu dengan gagah.
Dan Malengka Seto dapat membaca apa yang terjadi di rumahnya. Tentunya ketiga
orang ini adalah manusia-manusia durjana yang kerjanya hanya membuat onar
dan menyengsarakan orang lain.
"Hmm... kami adalah Tiga Golok Maut!" kata Murka Tungga. "Cepat kau berlutut dan
biarkan kami menikmati hangatnya tubuh istrimu!"
"Biadab! Kalian hanya membuat onar saja di rumah-ku ini! Cepat kalian pergi dari
sini sebelum aku menjadi marah!" seru Malengka Seto dengan berani. Dia tidak
perduli akan dirinya. Baginya keselamatan istri dan anaknya yang terutama.
Tetapi kata-katanya hanya disambut tawa oleh ketiga orang itu.
"Hahaha... dia mengancam, Kakang...." kata Asena terbahak.
"Layanilah dia, Asena! Kasih dia pelajaran yang cukup berarti! Setelah itu bunuh
dia!" Asena pun melangkah. Malengka Seto pun bersiap.
Dia merasa tak ada jalan lagi untuk menghadapi ketiga orang itu selain melawan.
Tiba-tiba Asena menerjang.
Malengka Seto pun melayaninya. Ternyata dia pun
memiliki ilmu silat yang lumayan. Serangan Asena yang tadi menganggapnya enteng
dapat dielakkannya.
Melihat serangannya luput, Asena pun menggeram
marah. Dia menggebrak hebat.
Meskipun Malengka Seto memiliki sedikit kepan-
daian, namun menghadapi Asena dia jauh berada di
bawah laki-laki seram itu. Sebentar saja dia sudah ter-pukul jatuh.
"Hahaha... kau berani menjual lagak rupanya!" tawa Asena.
Malengka Seto menggeram marah. Namun tubuhnya
terasa sakit sekali. Dan tak mampu untuk digerakkan.
Murka Tungga terbahak.
"Hahaha.... Nah, kau lihatlah betapa montoknya tubuh istrimu ini!" kata Murka
Tungga dan tangannya bergerak cepat merobek baju bagian dada dari Nyai Asih yang
menjerit tertahan.
"Breeek!"
Baju itu pun robek dan nampaklah sepasang buah
dada yang putih mulus. Murka Tungga terbahak.
"Hahaha... benar dugaanku. Tubuhmu masih mon-
tok, Nyai...." katanya sambil membelai dada itu.
Nyai Asih meronta. Namun Murka Tungga dengan
cepat menotok urat kakunya (Editor: kaku atau kaki") sehingga wanita itu sulit
untuk bergerak.
Malengka Seto menggeram luar biasa marahnya. Dia
mencoba bangkit. Namun kaki Moro telah menendang-
nya hingga dia ambruk kembali.
"Jangan... jangan ganggu istriku...." desisnya terbata-bata.
"Hahaha... kau perhatikanlah betapa baiknya kami mengajak istrimu bersenang-
senang...." kata Murka Tungga sambil membuka pakaiannya.
Dan di hadapan Malengka Seto, Murka Tungga den-
gan buas memperkosa Nyai Asih. Lalu disusul dengan
Asena. Kemudian Moro.
Malengka Seto menahan rasa sakit hati, kecewa, se-
dih dan marahnya. Dia merasa kecil sebagai laki-laki di mana istrinya diperkosa
orang dia tak berdaya.
Dan dia tak sanggup menyaksikan adegan yang
mengerikan itu. Belum lagi jeritan istrinya yang terdengar amat menyayat
hatinya. Diiringi dengan tawa terbahak-bahak dari Tiga Golok Maut.
Malengka Seto merasa kiamat sudah tiba. Dan tiba-
tiba dia seperti mendapat tenaga baru. Dengan ganasnya dia menyerang Murka
Tungga. Namun dia bukan-
nya lawan dari Murka Tungga.
Dengan sekali mengayunkan tangannya Murka
Tungga menghajar Malengka Seto hingga terhuyung ke
belakang dan ambruk kembali. Lalu nyawanya pun me-
layang. Malengka Seto mati dengan sejuta dendam yang
membara. Nyai Asih sendiri pun merasakan sekujur tubuhnya
sakit. Tercabik-cabik bagaikan disayat oleh sembilu. Hatinya pun pecah
berkeping-keping. Dia hanya bisa menahan air matanya menyaksikan dan menghadapi
se- mua ini. Seumur hidupnya Nyai Asih tidak pernah berpikir
akan mendapatkan musibah yang teramat mengerikan.
Dan tak pernah terpikir pula olehnya, kalau dia akan menyaksikan kematian
suaminya secara mengenaskan
di depan matanya sendiri.
Sementara itu ketiga orang durjana itu masih terta-
wa-tawa. Mereka pun melakukan perbuatan keji itu kembali
terhadap Nyai Asih.
"Hahaha... alangkah sedapnya tubuhmu, Nyai...." desis Murka Tungga setelah
selesai untuk kedua kalinya.
Lalu menyusul Asena dan Moro.
Setelah itu ketiganya terbahak-bahak. Mereka lalu
mengobrak-abrik seisi rumah itu. Mengambili barang-
barang dan uang yang dimiliki Nyai Asih.
Setelah itu pun mereka meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan Nyai Asih yang menderita kesakitan, yang teramat menyesal mengapa
dia tidak mati saja di saat kejadian mengerikan itu menimpanya.
Dia hanya bisa menangis tersedu-sedu.
Lalu hati-hati dihampirinya suaminya. Murka Tung-
ga sudah membebaskannya dari totokannya. Dia tidak
membunuh Nyai Asih maupun Banyu Wiro. Karena me-
nurutnya kedua orang itu tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Nyai Asih menangis di depan mayat suaminya.
"Huhuhu.... Kakang... mengapa kejadian ini menimpa kita. Mengapa, Kakang?"
tangisnya pilu. Dan sekujur tubuhnya terasa sakit sekali. Teramat sakit.
"Dosa apa yang telah kita lakukan, Kakang... sehing-
ga Dewata marah kepada kita?" tangisnya menjadi-jadi.
Dibelainya wajah suaminya sambil berlinang air mata.
Bajunya yang sudah tidak karuan, tidak diperduli-
kannya lagi. Tangisnya makin menjadi-jadi. Kepedihannya terasa menyayat hati.
Lalu dia pun menghampiri putranya yang masih da-
lam keadaan pingsan. Dipangkunya bocah yang berusia tujuh tahun yang berani itu.
"Banyu...." panggilnya pilu. "Maafkan bu, Nak....
Maafkan pula ayahmu... yang... oh, yang tak mampu...
untuk menjaga mu lebih lama lagi, Nak... maafkan ibu...
maafkan kedua orang tuamu ini, Nak.... Oh, Dewata...
bimbinglah anakku ini.... Dan ku mohon pada-Mu... bi-la dia dewasa nanti...
tunjukkanlah padanya siapa
orang-orang yang telah berbuat jahat kepada kami ini...
Ku mohon pada-Mu, Dewata yang agung....Biarkanlah dia membalas dendam semua
ini.... Biarkanlah...." Lalu dengan hati-hati dia menurunkan kepala putranya
dari pangkuannya. Lalu sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Nyai Asih
merangkak mengambil pisau
yang tergeletak di lantai. Terjatuh dari sebuah meja yang telah di obrak-abrik
oleh orang-orang jahat itu.
"Suamiku... aku akan menyusulmu, Kakang...." Lalu dia menatap kembali putranya,
"Maafkan ibu, Banyu...."
Dan dihunjamkannya pisau itu ke dadanya. Darah
menyembur deras. Dan ambruklah Nyai Asih dengan


Pendekar Bayangan Sukma 12 Undangan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pisau yang menancap di dada.
Nyawanya melayang dari tubuhnya.
Malam semakin larut dan dingin.
*** 5 Pagi telah menjelang. Matahari bersinar dengan ce-
rah menerangi seantero jagat raya. Dari kejauhan nampak seorang kakek bertongkat
tengah berjalan tertatih-tatih. Nampak sekali sepertinya dia tengah keletihan
dan teramat lelah.
Begitu dilihatnya sebuah rumah kecil, dia agak ter-
senyum. "Ah... barangkali saja penghuninya mau menyediakan aku sedikit minum dan makan
untuk mengganjal
perutku yang kosong ini...." desis kakek itu.
Dan dibawanya langkahnya ke rumah yang dilihat-
nya tadi, rumah yang tak lain milik Malengka Seto.
Namun kakek itu menjadi amat terkejut, melihat
keadaan rumah itu. Pintu depannya hancur beranta-
kan. Dan nampak pula barang-barang di dalam rumah
itu berantakan juga.
Dengan hati-hati kakek itu masuk ke dalam rumah.
Kali ini keterkejutannya menjadi lebih besar ketika melihat tiga sosok tubuh
tergolek. "Oh, Jagat Batara Agung! Apa gerangan yang telah terjadi di sini?" desisnya
seraya memeriksa sosok yang laki-laki. Dia tak merasakan denyut nadi di
pergelangan tangan laki-laki itu.
Agaknya layar kehidupan sudah tertutup untuknya.
Lalu dihampirinya sosok wanita yang terlentang dengan pisau menancap di dada.
Pakaian wanita itu tak karuan adanya.
Secara pasti laki-laki tua itu dapat menduga apa
yang telah terjadi di rumah ini. Tentunya ada beberapa orang jahat yang membunuh
mereka dan memperkosa
yang wanita. Tiba-tiba telinganya mendengar suara terbata-bata
bernada kesakitan, "Oghhh... aaakhh...."
Kakek itu melirik. Dia melihat bocah kecil yang tergolek tadi menggeliatkan
tubuhnya. "Oh, rupanya kau hanya pingsan, Nak!" desis kakek itu. Banyu Wiro yang memang
cuma pingsan adanya,
membuka matanya perlahan-lahan. Kepalanya dirasa-
kan pusing. Dan fokus matanya yang gelap tadi mengerjap-ngerjap karena cahaya
matahari. Ingatannya berputar akan kejadian semalam. Dia
melihat betapa ibunya hendak disakiti oleh tiga orang jahat itu. Dan Banyu Wiro
marah besar. Dia ingin menolong ibunya, tapi orang-orang jahat itu telah memu-
kulnya hingga pingsan.
Teringat akan semua itu, matanya mencari-cari. Dan
melihat dua sosok yang tergolek lemah. Satu sosok ter-tancap pisau di dadanya.
"Ibuuuu! Bapaaaaa!" pekiknya seraya memburu. Tak diperdulikannya kepalanya yang
pusing menyengat. Ditahannya. Banyu Wiro menangis tersedu-sedu. "Ibu....
Bapa... jangan tinggalkan Banyu... huhuhu... Banyu hidup sama siapa, Bu, Pa"
Huhuhu... Banyu takut...
Banyu takut...."
"Jangan takut, Nak...."
Terdengar suara di sampingnya. Banyu Wiro seren-
tak mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang kakek sedang bersimpuh tersenyum
padanya. Dasar anak yang jujur dan berani, Banyu Wiro lang-
sung bertanya, "Siapakah kau, Kakek?"
Kakek itu tersenyum.
"Sebutkanlah dulu namamu, Nak...."
"Namaku Banyu Wiro, Kek.... Kakek siapa?"
"Hehehe... orang-orang memanggilku Pengemis Tua Bertongkat Sakti...?"
"Pengemis Tua Bertongkat Sakti?"
"Ya... tetapi aku sendiri lupa dengan namaku yang sesungguhnya...."
"Lalu bagaimana cara teman-teman Kakek memang-
gil Kakek?"
"Mereka memanggilku dengan nama.... Pengemis
Tua... atau kalau tidak Gembel Tua...."
"Kakek tidak marah dipanggil dengan kata-kata seperti itu?" tanya Banyu Wiro
heran. Baginya bila dia dipanggil dengan sebutan jelek itu, tentu saja dia akan
marah. Kakek itu terkekeh. "Tentu tidak, Nak.... Namaku memang itu. Mengapa harus
marah" Orang-orang semua memanggilku dengan sebutan itu. Ah... kau tidak tahu...
betapa panggilan itu terasa amat merdu di telin-gaku ini...."
Banyu Wiro cuma memperhatikan wajah kakek itu.
Sepasang mata tuanya nampak teduh menyejukkan.
Bibirnya pun selalu tersenyum. Entah kenapa sekali lihat saja Banyu Wiro sudah
bersimpati padanya.
Dan ketika Kakek itu bertanya apa yang telah terjadi di rumahnya, Banyu Wiro pun
menceritakan semuanya.
"Tapi aku tidak tahu bagaimana matinya Bapa, Kek?"
kata bocah itu sambil menundukkan kepala. "Kini aku sendiri, Kakek...."
Pengemis Tua Bertongkat Sakti itu tersenyum. Lalu
hati-hati disentuhnya bahu bocah itu.
"Banyu... bukankah sekarang ada aku di dekatmu.
Mengapa kau harus mengeluh?"
"Bagaimana tidak, Kakek.... Kakek hanyalah orang lain bagiku. Tentunya setelah
ini Kakek akan pergi meninggalkan aku...." kepala bocah itu tertunduk kembali.
Hati Kakek itu jadi terenyuh. Dan simpatinya pun
muncul. Melihat sikap polos, jujur dan berani dari
Banyu Wiro tadi saja sudah membuatnya simpati.
"Banyu... apakah kau tidak bisa menganggapku se-
bagai kakekmu sendiri?"
Kepala bocah itu terangkat dan sepasang matanya
berkilat-kilat jenaka.
"Tentu saja aku bisa, Kek. Dan Kakek akan men-
ganggapku sebagai cucu Kakek sendiri?"
Pengemis Tua Bertongkat Sakti tersenyum.
"Tentu saja, Banyu."
"Oh, Kek! Terima kasih!" seru Banyu Wiro sambil memeluk tubuh Pengemis Tua
Bertongkat Sakti.
"Nah, Banyu... kita harus menguburkan dulu mayat kedua orang tuamu. Setelah itu
kita pergi mencari makan. Perutku lapar sekali...."
Setelah menguburkan mayat kedua orang tua Banyu
Wiro, Pengemis Tua Bertongkat Sakti pun segera men-
gajak bocah itu pergi dari situ. Sekali lagi Banyu Wiro menatap dua buah makam
yang masih baru itu.
"Ibu.... Bapa... maafkan Banyu, ya" Banyu pergi sa-ma kakek.... Tentunya Ibu dan
Bapa pasti senang sama kakek pengemis ini... dia baik hati, Bu, Pa...."
"Ayo, Banyu!"
Banyu Wiro pun bangkit. Lalu mulailah dia ikut ber-
tualang dengan Pengemis Tua Bertongkat Sakti. Mula-
mula Banyu Wiro malu ketika disuruh mengemis, na-
mun melihat kakek itu dengan tak acuh saja menadah-
kan tangan, Banyu Wiro pun ikut-ikut melakukannya.
Pernah dia bertanya mengapa kakek tidak bekerja
saja atau mencari pekerjaan lain.
Jawab Pengemis Tuan Bertongkat Sakti, "Banyu
memang pekerjaan sebagai pengemis itu sepertinya hi-na. Namun lebih hina lagi
bila bekerja sebagai pencopet, maling, atau pun merampok. Jadi dari pada bekerja
tidak halal, bukankah lebih baik mencari yang halal?"
"Tapi bukankah kesannya kita pemalas, Kek?"
"Benar, Banyu. Tetapi bila kita tidak mendapatkan pekerjaan lain dan tak ada
yang mau menggaji kita ba-
gaimana" Lebih baik mengemis bukan daripada mela-
kukan perbuatan yang tidak halal?"
Semula Banyu Wiro tidak mengerti apa yang dimak-
sud kakek itu, namun ketika suatu hari dia melihat
pencopet di pasar, barulah dia tahu makna dari kata-kata kakek itu.
Dan semakin lama dia semakin kagum dengan kakek
yang baik hati itu. Banyu Wiro tidak tahu, kalau Pengemis Tua Bertongkat Sakti
adalah seorang jago dari golongan putih. Keahliannya bermain tongkat tuanya
teramat hebat dan sakti, dia banyak disegani oleh kawan dan lawan. Dan yang
lebih terutama, Pengemis Tua Bertongkat Sakti amat pemurah dan selalu menolong
se- samanya. Meskipun dia mencari nafkah dengan jalan
mengemis. Banyu Wiro baru mengetahui kalau kakek itu pandai
ilmu silat ketika dia menghajar beberapa orang pemeras di pasar. Tiga pemeras
itu dibuat tunggang langgang dengan tongkatnya.
Dan diam-diam Banyu Wiro yang saat itu sudah be-
rusia 10 tahun, ingin pula memiliki kepandaian ilmu silat dari Kakek itu.
Apalagi Ketika dia teringat akan kematian kedua orang tuanya. Dan mendadak saja
timbul rasa ingin membalas dendam.
Lalu diutarakannya semua keinginannya itu.
"Banyu... aku sendiri memang ingin mewariskan semua kepandaianku ini padamu. Dan
aku memang me- nunggu saat yang paling tepat. Baiklah, sambil meneruskan petualangan kita...
aku akan mengajarkan se-
mua kepandaianku kepadamu secara bertahap...."
Dan sejak saat itu, bila ada kesempatan Pengemis
Tua Bertongkat Sakti mengajarkan kepandaiannya ke-
pada Banyu Wiro. Sejak semula Pengemis Tua Bertong-
kat Sakti dapat menduga kecerdasan dari bocah ini. Dalam selang waktu tujuh
tahun, semua kepandaiannya
telah dimiliki oleh Banyu Wiro.
Dan ingatan Banyu Wiro pun terus tertuju pada Tiga
Golok Maut, yang telah menyebabkan kematian kedua
orang tuanya. Dalam petualangannya bersama Pengemis Tua Ber-
tongkat Sakti, Banyu Wiro selalu di setiap kesempatan bertanya tentang Tiga
Golok Maut pada orang-orang
yang dijumpainya. Namun sampai sejauh itu tak seo-
rang pun memberi keterangan yang pasti.
Dan yang lebih membuatnya cemas. Pengemis Tua
Bertongkat Sakti nampak mulai sakit-sakitan karena
sudah tua. Banyu Wiro sendiri telah melarang Pengemis Tua Bertongkat Sakti untuk
mengemis lagi. Kini pekerjaan itu diambil alih olehnya. Namun Banyu Wiro pun
mencari pekerjaan. Dan didapatinya sebagai tukang cu-ci piring di sebuah warung
makan. Tetapi pada suatu malam, ketika dia baru pulang
bekerja dan membawa sedikit makanan serta obat-
obatan, dia menemukan tubuh Pengemis Tua Bertong-
kat Sakti telah terbujur kaku. Bukan main sedihnya
Banyu Wiro menyaksikan hal itu.
Dia menahan tangisnya.
Dan menguburkannya keesokan paginya.
Dia bersimpuh di makam itu.
"Kakek.... Kakek telah begitu baik padaku. Hampir sepuluh tahun Kakek
membimbingku, menjagaku dan
merawatku.... Kek... rasanya belum puas aku ganti
menjaga dan merawat Kakek...." desisnya dengan air mata berlinang. "Kakek... aku
akan meneruskan petualanganku untuk mencari pembunuh ibu dan bapa...
doakan Kek... semoga tiga manusia durjana itu kutemui dan aku bisa membalas
dendam sakit hati kedua orang tuaku yang mereka bawa ke alam kubur.... Doakan
aku, Kek...."
Lalu hati-hati dia bangkit. Ditatapnya lagi makam
itu. "Kek... aku pergi dulu... Tongkatmu kubawa untuk menjadi temanku selama
petualanganku mencari pembunuh kedua orang tuaku.... Aku pergi, Kek... semoga
kau bahagia di sisi Tuhan...."
Lalu hati-hati Banyu Wiro pun melangkah. Baru di-
rasakannya sepi yang begitu mendalam tanpa Pengemis Tua Bertongkat Sakti.
Wanita Iblis 16 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Istana Yang Suram 13
^