Pencarian

Air Mata Di Sindang Darah 1

Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah Bagian 1


AIR MATA DISINDANG DARAH Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
Dalam bentuk apapun
Tanpa Ijin tertulis dari penerbit D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam episode 003:
Air Mata Di Sindang Darah
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Suasana dingin mencekam mewarnai
Dusun Bajul yang akhir-akhir ini dilanda keresahan. Sejak sore, pintu-pintu
rumah sudah terkunci rapat. Apalagi malam ini hujan gerimis mengguyur daerah
sekitarnya tiada henti, keadaan ini tentu semakin membuat hati mereka semakin
was-was. Siapa tahu malam ini segerombolan manusia bertopeng datang lagi.
Kemudia merampok harta benda penduduk, lebih dari itu korban pun berjatuhan
kembali. Kini mereka menanti dengan harap-harap cemas,bagai anak ayam kehilangan
induknya mereka kelabakan, bingung tak tau apa yang harus mereka perbuat.
Wirakarta, Kepala Dusun yang
bijaksana dengan beberapa orang
bawahannya sudah hampir dua hari tidak pulang ke Dusun itu. Padahal seperti
pesan Wirakarta sendiri, ketika mereka hendak berangkat mencari sarang manusia
bertopeng. Berhasil atau tidak mereka akan kembali pada hari itu juga.
Wirakarta yang telah kehilangan
istrinya itu memang patut berjuang mati-matian, guna mencari tahu apakah istri
tercinta yang telah disandera oleh kawanan orang-orang bertopeng, masih hidup
atau tidak. Begitu pun seluruh penduduk desa hanya mampu berdoa, semoga istri
pamong desa mereka masih dapat
diselamatkan. Mereka tak dapat
membayangkan bagaimana jadinya dengan nasib Wanti Sarati, anak tunggal Kepala
Desa yang masih berumur sembilan tahun itu nantinya.
Sementara tidak begitu jauh di
pinggiran dusun, dalam sebuah gubuk tua terlihat sebuah pelita minyak dengan
enggan menerangi seisi ruangan yang sangat bersahaja. Di tengah-tengah ruangan
gubuk itu, di atas sebuah balai seorang nenek peot sedang kerepotan membujuk
seorang gadis kecil yang masih saja merengek dan menangis. Siapa lagi anak itu
kalau bukan Wanti Sarati, putri tunggal kepala desa.
Seperti diketahui, sejak umur lima tahun Wanti Sarati oleh Wirakarta memang
sengaja dimomongkan oleh nenek peot yang penyabar dan sekaligus merupakan guru
silat bocah itu. Meskipun nenek ini sudah keiihatan sangat tua bangka, tapi dia
masih kelihatan segar bugar. Semua penduduk desa Bajul tahu kalau nenek yang di
usia senja itu masih tetap perawan, dalunya adalah merupakan seorang tokoh
persilatan dari Kurung Lawer yang sangat disegani oleh kawan maupun lawan. Lalu
mengapa malam itu Wanti Sarati yang sudah biasa tinggal bersama si nenek peot
nampak menangis tidak henti"
Tak lain hanyalah karena sudah
hampir tiga hari kedua orang tuanya belum datang-datang menjenguknya. Hal itulah
yang membuat Wanti Sarati uring-uringan dan sulit dibujuk. Si nenek peot yang
memang sudah kehabisan akal,
lama-kelamaan menjadi jengkel, marah dan bahkan senewen. Wanti Sarati mana mau
tahu dengan keadaan si nenek, gadis cilik itu terus menangis dan menangis.
Akhirnya kesabaran si nenek peot
habislah sudah, meskipun nada ucapannya tidak membentak, akan tetapi dari
getaran ucapannya sudah dapat diketahui kalau nenek peot berusaha meredam
kemarahannya. "Nduk... diamlah! Kalau tidak mau diam, nanti kau dipelototi setan!"
Mendengar si nenek peot
menyebut-nyebut setan, gadis itu
hentikan tangisnya sejenak. Lalu
kucek-kucek matanya.
"Setan..." Rupanya setan suka melototi orang yang lagi nangis...?"
Nenek peot angguk-anggukkan
janggutnya yang lonjong.
"Nenek pernah lihat setan?" Wanti Sarati bertanya lugu.
"Sudah!" sahut nenek peot. "Setan itu jelek, wajahnya seram menakutkan!
Kalau kau tidak mau diam nanti
setan-setan berdatangan kemari...."
Begitu mendengar kata-kata si nenek peot, mendadak tangis Wanti Sarati bertambah
keras. Nenek peot bengong melompong.
"Lho kok bertambah keras!" Nenek peot membanting-bantingkan kakinya yang keriput
dan segemuk kaki meja.
"Nenek... aku mau lihat setan! Biar aku nangis kuat-kuat!" Tangis Wanti Sarati
semakin menjadi-jadi. Nenek peot jadi kalang kabut. Tapi begitu dia mendapat
akal, nenek peot tersenyum membujuk.
"Nduk. Kalau mau lihat setan nggak boleh nangis keras-keras. Setan malah jadi
takut...." kata nenek peot menyela.
Lagi-lagi gadis cilik itu hentikan tangisnya sambil menatap heran pada si nenek.
"Habisnya bagaimana nek. Bapak nggak datang, ibu pun enggak ke mari dan setan-
setan pun tak mau datang, habisnya aku mau main dengan siapa...!" ujar Wanti
Sarati berkata lugu.
Nenek peot segera duduk di sisi
Wanti Sarati, kemudian tangan-tangannya yang keriputan itu membelai-belai rambut
si bocah. Dengan penuh kasih sayang ia berkata: "Wanti... nenek kan selalu ada
di dekatmu. Kita boleh bermain apa saja!"
Wanti Sarati geleng-gelengkan kepala, lain tersenyum mencemooh.
"Main sama nenek membosankan, tidak enak! Paling bisanya cuma, silat...
haiit... huiit... gabruk!"
"Bagaimana
kalau kita nyanyi
saja...!" Nenek peot coba mengalihkan perhatian. Wanti Sarati menoleh dan
memandang nenek peot beberapa saat lamanya.
"Nyanyi...!" ulangnya menirukan ucapan si nenek.
Nenek peot anggukkan kepalanya.
Wajah gadis cilik itu berubah cerah,
"Kalau nyanyi aku mau. Sedari tadi aku juga pengin nyanyi...!"
Berkata begitu Wanti Sarati segera turun dan bermaksud melangkah ke pintu bela-
kang. Hal ini tentu saja membuat heran si nenek peot. Dengan segera ia memanggil
Wanti Sarati. "Eeh mau kemana...?"
Wanti Sarati yang saat itu sudah
membuka grendel pintu menoleh.
"Katanya.Wanti disuruh nyanyi!
Sudah pengen nyanyi nenek malah larang!"
"Nyanyi sih boleh Nduk, tapi jangan jauh-jauh! Kalau mau nyanyi di telinga nenek
saja...!" kata si nenek peot.
Seraya merebahkan badannya di atas balai-balai. Sambil melangkah kembali ke arah
si nenek. Wanti Sarati menyela:
"Nanti kalau aku nyanyi di telinga nenek, aku takut nenek malah marah...!"
ujar gadis cilik itu was-was.
Nenek peot tertawa panjang.
"Jangan takut. Nenek tidak akan marah."
Dengan enggan Wanti Sarati segera naik ke atas balai-balai, si nenek yang sudah
pejamkan mata, mana tahu kalau gadis itu telah mengangkangi kepalanya.
Barulah ketika ia merasakan ada sesuatu yang telah menyiram kuping dan
kepalanya, cepat-cepat dia tersentak dan bangun. Begitu melihat ke arah Wanti
Sarati alangkah terperanjatnya nenek peot ini, karena ternyata Wanti Sarati
telah ke-cing di atas kepalanya.
"Wee... bocah nakal, kau telah kencing di atas kepalaku...?" nenek peot menjadi
geram. Sebaliknya Wanti Sarati maiah tertawa gelak-gelak.
"Nenek ini lucu! Tadi nenek bilang aku disuruh nyanyi di telingamu, ee sekarang
kok malah marah-marah...!"
Katanya mau nyanyi, bukah mau
kencing...?" Nenek peot semakin sewot.
Masih dengan sesungging senyum di bibirnya Wanti Sarati meleceh: "Ibu bilang
kalau mau kencing itu, katanya menyanyi! Nenek saja yang sudah
pikun...!"
Nenek peot manggut-manggut membe-
narkan, kemudian sambil menyeka
sisa-sisa air yang membasahi wajahnya.
Nenek per-wan yang berusia sangat lanjut itu menyela.
"Ya, sudah, memang dasar aku yang tolol! Sekarang kau tidur...!" Si nenek peot
memerintah. Dengan sikap enggan Wanti Sarati menurut, akan tetapi sebelum gadis itu
memejamkan matanya, dia menyela:
"Nenek... mengapa nenek selalu menyelipkan tusuk konde jelek ini di atas
rambutku...!" sela Wanti Sarati sambil meraba kepalanya.
"Biar jelek tapi kau tak boleh membuangnya atau menggantikannya dengan yang
lainnya...!" Nenek peot menyergah.
"Untuk apa, bukankah yang lebih bagus dari ini sangat banyak dijual di pasar
sana?" Nenek peot geleng-gelengkan
kepalanya. "Nenek pesan sampai kapan pun tusuk konde itu jangan kau buang, dia bisa menjaga
keselamatanmu ke mana pun kau pergi. Lebih dari itu tusuk konde itu merupakan
sebuah kunci rahasia pada suatu tempat!" ujar nenek peot berkata lirih.
Gadis cilik itu nampak tercenung, meskipun usianya masih sembilan tahun akan
tetapi dia seorang anak yang cukup cerdik.
"Kalau begitu aku harus menjaganya, ya Nek...!" sela Wanti Sarati polos.
"Hendaknya memang begitu."
Gadis cilik itu tiba-tiba menyela lagi: "Tapi mengapa harus aku yang menjaganya,
bukan nenek saja...!"
Mendengar pertanyaan Wanti Sarati, nenek keriputan itu tersenyum penuh arti.
"Nduk... engkau masih terlalu polos untuk mengetahui lebih banyak tentang seisi
dunia ini. Kelak pada saatnya kau akan mengetahuinya juga, betapa dunia
ini penuh dengan segala macam kejahatan.
Sampai saat ini yang perlu kau perhatikan adalah menjaga Tusuk Konde itu agar
jangan sampai terjatuh pada orang Iain yang berniat tak baik!" jelas si nenek
peot. Mata Wanti Sarati nampak berkedip-kedip begitu mendengar kata kata si nenek.
Dalam. hatinya yang lugu telah timbul berbagai pertanyaan, namun dia merasa
enggan untuk menanyakannya.
Dalam pada itu, terdengar gemerisik langkah kaki tidak begitu jauh dari gubuk
tua tempat tinggal nenek peot. Wanti Sarati begitu mengetahui isyarat si nenek
langsung terdiam seribu bahasa.
Nenek peot yang sudab. menaruh
curiga. segera jejakkan kakinya lalu berjalan berjingkat-jingkat menghampiri.
dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Melalui dinding tepas yang banyak
berlubang di sana sini, nenek peot dapat melihat adanya dua bayangan orang-orang
bertopeng. Meskipun suasana malam dalam keadaan gelap gulita, si nenek peot
dapat merasakan bahwa kehadiran orang-orang itu adalah dengan membawa maksud-
maksud tak baik. Dengan agak terburu-buru si nenek peot cepat-cepat kembali
menghampiri Wanti Sarati, kemudian membisikkan sesuatu di telinga gadis cilik
itu. Wanti Sarati mengangguk-angguk pelan, agaknya dia menyadari
bahwa ada sesuatu yang sedang mengancam keselamatan mereka.
Baru saja nenek peot hendak
melangkahkan kaki, menghampiri pintu depan, tiba-tiba saja terdengar teguran,
pelan namun mengancam .
"Tikus betina yang ada di dalam rumah! Serahkanlah pusaka rahasia pembuka
Sindang Darah! Kalau tidak kami akan membakarmu hidup-hidup bersama gubuk buruk
ini!" Nenek peot terdiam seribu bahasa, dia mencoba mengingat suara parau namun berat,
rasa-rasanya si nenek peot pernah mendengar suara seperti itu. Akan tetapi entah
di mana. Dari luar kembali terdengar
perkataan yang lebih keras.
"Tikus peot, mengapa mematung seperti orang suiting begitu. Cepat keluar!"
bentak si Drang bertopeng tak sabaran. "Apakah kau ingin kami menyeretmu ke
luar...!" "Kita gebuk saja, baru suruh dia merangkak minta ampun!" tukas yang satunya lalu
memukulkan tangannya ke arah gubuk reot. Angin pukulan menderu melabrak dinding
bnmbu. Dinding itu bobol, serangan yang dilancarkan si orang bertopeng terus
meluncur mongarah pada si nenek peot. Nenek berambut keperak-perakan ini
langsung berkelit ke samping sambil mengeluarkan seruan tertahan, Begitu
mengetahui serangan
yang dilancarkan oleh orang bertopeng tahulah dia siapa adanya orang-orang ini.
Si nenek peot melesat ke luar melalui dinding yang jebol itu. Dengan tanpa
menimbulkan suara, kedua kakinya mendarat persis di depan orang itu. Nenek peot
langsung saja tunjuk hidung.
"Kalau tak salah penglihatanku!
Tentu kalian berdua adalah kunyuk-kunyuk dari Gunung Kadas! Mau apa kalian?"
tanya si nenek sambil bertolak pinggang.
Kedua orang bertopeng itu langsung terkekeh: "Rupanya mata tuamu masih awas
juga, bagus! Kalau kau memang masih mengenali kami! Cepat serahkan kunci rahasia
Sindang Darah!" perintahnya.
"Hihihi... kalian sudah menjadi pecundangku. Apakah aku tidak salah dengar?"
Mendengar jawaban si nenek yang
mencemooh, marahlah si orang bertopeng dari Gunung Kadas ini.
"Tua bangka keparat... sepuluh tahun yang lalu kau boleh jual lagak di depan
kami." * * * 2 Lagi-lagi nenek peot terkekeh,
sampai-sampai giginya yang tinggal tiga ikut bergoyang-goyang. Hal ini tentu
saja membuat si orang bertopeng semakin bertambah marah.
"Tikus peot, hanya dua pilihan ada padamu, kau serahkan kunci rahasia Sindang
Darah atau kukirim kau ke liang kubur...!" ancam dua bangsat dari Gunung Kadas.
Nenek peot hentikan tawa, lalu
gertakkan mining yang sudah tak bergigi lagi.
"Setan-setan tak berguna, dulu nyawa busuk kalian telah kuampuni! Kini kalian
hendak meminta kunci rahasia!"
bentak nenek peot geram. "Kalau kalian mau, nih kunci kakus...!"
Bersamaan dengan ucapannya, nenek perlihatkan dua lempengan batu cadas tepat
kearah ke perut si orang bertopeng.
Kedua bangsat itu tergelak-gelak.
"Segala tua bangka bau tanah mau bertingkah didepan topeng hitam...!"
Orang-orang bertopeng serentak
tadahkan tangan.
"Grep... Grep...!
Sambitan lempengan batu cadas yang telah dialiri tenaga dalam itu dapat
ditangkap dengan baik oleh si manusia bertopeng. Lain dengan kekuatan yang
berlipat ganda, orang bertopeng itu mengembalikan serangan.
"Weer... weer...!"
Laksana kilat batu lempengan itu
melesat tanpa ampun.
Begitu diiihatnya batu itu mengarah pada dua jalan kematian, sambil berseru
kaget nenek peot berjumpalitan.
Batu-batu itu terus mendera, kemudian menghantam sebatang pohon. Pohon itu pun
roboh menimbulkan suara berisik,
sedangkan yang satu lagi melesat entah ke mana. Demi melihat kemajuan yang
dimiliki Topeng Hitam, terkesiaplah darah si nenek peot. Dia benar-benar tiada
menyangka kalau dalam waktu hanya sepuluh tahun si Topeng Hitam telah memiliki
kemajuan yang demikian
pesatnya. Si orang bertopeng demi melihat si nenek peot berdiri tegak laksana
patung, keduanya lalu
tergelak-gelak.


Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nenek pikun! Kau tentu heran melihat kehebatan yang telah kami miliki,
ketahuilah dunia yang gersang ini penuh dengan kemungkinan!" ujar Topeng Hitam.
"Tunggu apa lagi, kalau kau sayang pada jiwamu yang tiada harga!
Cepat serahkan Kunci Rahasia
dan merangkaklah seperti seekor monyet, mudah-mudahan kami berkenan mengam-
punimu...!"
"Puih, manusia-manusia anjing!
Mampus lebih terhormat bagiku daripada harus menyembah pada budak iblis...!"
Nenek peot nampak marah sekali. Si Topeng Hitam kembali tergelak-gelak.
"Hemm... rupanya kau jenis manusia kepala batu, mampuslah...!"
Berkata begitu dua orang bertopeng ini kirimkan serangan dahsyat sekaligus.
Andai saja nenek peot tidak bersikap waspada sejak semula, tentu dengan sekali
bantam remuklah dadanya yang kurus kerempeng itu, akan tetapi bukan si nenek
peot kalau dalam segebrakan saja dia kena dipukul roboh. Seperti
diketahui, dulunya nenek ini adalah seorang tokoh persilatan dari bagian
Tenggara yang dijuluki oleh banyak orang
"PERAWAN KELABANG UNGU." Selama malang melintang di rimba persilatan, dia sangat
disegani oleh kawan maupun lawan, apalagi dengan senjata andalan berupa
"Kelabaag Ungu" yang sangat tidak diragukan kemampuannya. Dengan senjatanya yang
sangat beracun itu dalam tempo sekejap mata saja dia mampu merobohkan sepuluh
bahkan lebih secara bersamaan.
Demikianlah dengan sedikit berkelit kesamping kiri serangan yang dilancarkan
oleh si Topeng Hitam pertama dapat dielakkan, sedangkan serangan si Topeng Hitam
kedua karena datangnya hampir bersamaan sangat sulit baginya untuk
melakukan hal yang sama. Tak pelak lagi tangannya berkelebat menangkis.
"Plak... plak...!"
Dua tangan yang sudah dialiri tenaga dalam itu bertemu, si Topeng Hitam kedua
terjengkang mencium tanah, sedangkan si nenek peot bersurut dua langkah ke
belakang. Belum lagi si nenek siap pada posisinya, si Topeng Hitam pertama sudah
kembali menyerangnya dengan gencar.
Nampaknya si Topeng Hitam ini ingin segera menghabisi riwayat si nenek peot.
Kini dengan Ajian Bolo Sewu, yang baru saja dipelajarinya, kemampuan si Topeng
Hitam ini, baik dalam hal tenaga, kekuatan maupun kesempurnaan kemampuan
batinnya nampak lebih mantap dan patut dia banggakan. Si nenek peot terus
berkelit menghindar, angin pukulan menyambar-nyambar. Bahkan rambut dan pakaian
si nenek yang berwarna putih itu sampai berkibar.
Nenek peot dibuat kalang kabut,
apalagi si Topeng Hitam kedua kini sudah bangkit dan langsung ikut menyerang si
nenek peot tanpa ampun, dari dua arah si nenek mendapat perlawanan yang cukup
sengit. Pertarungan berlangsung dua puluh jurus, sejauh itu dia hanya mampu
membendung dan menangkis serangan serangan yang dilancarkan lawan. Agaknya
faktor usia yang sudah sangat jauh berbeda ditambah lagi dengan kemajuan yang
dimiliki oleh si Topeng Hitam.
Beberapa saat kemudian dia segera jatuh di bawah angin, si nenek semakin
terdesak hebat, hingga pada satu saat yang tepat si Topeng Hitam pertama
berhasil menyarangkan sebuah pukulan yang diberi nama "Gajah Menendang Semut." Tanpa
ampun tubuh nenek peot terpelanting roboh dan muntah darah. Si Topeng Hitam
terus memburu dan melancarkan
pukulan-pukulan andalan. Tubuh si nenek yang sudah terluka itu berguling-guling.
Topeng Hitam kedua agaknya sudah tidak sabar lagi untuk segera mengakhiri
riwayat si nenek, Dengan jarak yang sangat dekat dia terus mencecar nenek peot.
Perawan bangkotan ini semakin tunggang langgang. Merasa benar-benar sangat
keteter, nenek peot merogoh jubahnya, sekah tangannya bergerak, seekor kelabang
warna ungu melesat ke arah tangan si Topeng Hitam kedua. Orang ini sudah tidak
sempat menarik tangannya yang sudah sempat terjulur. Tak ayal Kelabang Ungu yang
disambitkan nenek peot menekat erat dan melukai tangan si Topeng Hitam. Si
Topeng Hitam menjerit setinggi langit sambil
inemegangi tangannya yang mulai berubah warna ungu.
Demi menyaksikan adiknya kena dicederai oleh senjata si nenek, Si Topeng Hitam
pertama semakin bertambah gusar. Sambil mengeluarkan jurus-jurus yang paling
diandalkan, Topeng Hitam pertama
membentak: "Peot, sialan bau cacing tanah, kau pasti akan menyesali perbuatanmu itu sampai
keliang kubur! Sekarang terimalah kematian...!"
Bersamaan dengan ucapannya, si
Topeng Hitam pertama lancarkan pukulan yang cukup telak. Nenek peot meskipun
berusaha menghindar, namun jemari tangan si Topeng Hitam bagai bermata terus
saja mengejar ke mana pun nenek peot berkelit.
Akibatnya: "Buuuuk...!"
Untuk yang kedua kalinya nenek peot terlempar beberapa tombak dengan
menderita luka dalam yang teramat parah.
Darah kental membasahi pakaian yang dikenakannya. Nenek peot menggeliat beberapa
kali. Agaknya si Topeng Hitam masih kurang puas dengan keadaan yang terjadi.
Lalu rangkapkan kedua
tangannya, sekali saja tangan itu berkelebat, meluncurlah puluhan benda hitam
runcing menderu. Tanpa ampun puluhan benda itu menembusi tubuh yang sudah tiada
berdaya. Tubuh nenek peot menggeliat sesaat dan kemudian diam untuk selama-
lamanya. Topeng Hitam tersenyum tipis, sepasang matanya yang tipis menyiratkan
rasa puas. Sambil melangkah mendekati mayat nenek peot, Si Topeng Hitam
bergumam: "Dasar nenek sial! Diberi jalan ke surga, ee... malah memilih jalan ke neraka!"
Topeng Hitam berjongkok dekat
tubuh si nenek peot yang mulai membeku, kemudian dia langsung menggeledah
pakaian yang dikenakan si nenek peot.
Begitu dia mendapatkan sesuatu yang terselip di pinggang si nenek. Si Topeng
Hitam tertawa tergelak-gelak. Akan tetapi begitu dia menoleh ke belakang betapa
terkejutnya orang dan Gunung Kadas ini begitu melihat kawannya tergeletak
pingsan. Dengan cepat dia membara, si Topeng Hitam segera memeriksa keadaan kawannya yang
satu ini. Begitu mengetahui apa yang sesungguhnya sedang terjadi, pucatlah si
Topeng Hitam ini. Kiranya bisa Kelabang Ungu yang sempat melukai tangan Topeng
Hitam kedua mulai menjalar ke mana-mana.
Topeng Hitam pertama segera menotok jalan darah utama untuk mencegah jangan
sampai bisa yang sangat ganas ini menjalar ke jantung. Tubuh kawannya ini segera
pula diumtnya pada bagian-bagian tertentu. Beberapa saat kemudian tubuh Topeng
Hitam kedua menggeliat lemah, dengan mengeluarkan erangan dia mencoba bangkit
untuk duduk, si Topeng Hitam pertama segera membantu.
"Saudaraku... kau tadi sempat kelenger! Bisa Kelabang milik tua bangka keparat
itu bisa merenggut nyawamu!
Bagaimana ini...?" Hela si Topeng Hitam pertama kebingungan.
"Bagaimana...! Apakah kau sudah mendapatkan kunci rahasia Sindang Darah dari si
terkutuk itu...?"
Yang ditanya hanya mengangguk.
"Kalau begitu potong saja tangan yang sudah tak berguna ini...!" tukas si Topeng
Hitam kedua pasrah. Sebaiknya kawannya menjadi tampak ragu. Hal ini membuat
jengkel Topeng Hitam yang terluka.
"Tunggu apa lagi, apakah kau mau menungguku sampai mampus baru kemudian memotong
mayatku...!"
"Tapi Saudaraku...!"
"Tak ada tapi-tapi! Cepat
kerjakan...!" bentak Topeng Hitam kedua tak sabar. Lalu tanpa menunggu
diperintah dua kali orang ini pun segera mencabut belati yang sangat tajam
mengkilap. Sekali saja belati yang sangat tajam itu berkelebat.
"Craas...!"
Darah memancar deras dari lengan
tangan yang sudah terkutung. Dengan cepat si Topeng Hitam pertama menotok
pembuluh nadi besar demi mencegah mengalirnya darah lebih banyak lagi.
Meskipun si Topeng Hitam kedua telah merelakan tangannya untuk dibuntungi tak
urung orang ini menjerit-jerit
kesakitan. Tanpa buang-buang waktu lagi, si Topeng Hitam pertama segera
menyambar tubuh kawannya. Akhirnya dengan
memanggul tubuh si Topeng Hitam kedua,
orang ini pun berkelebat pergi. Beberapa saat kemudian mereka lenyap ditelan
kegelapan malam.
Sementara itu Wanti Sarati yang
sejak awal ikut menyaksikan pertarungan melalui lubang dinding dapur, kini
mengetahui nenek peot terkapar kojor segera memburu ke luar.
Begitu sampai di sisi tubuh si nenek peot, demi mengetahui keadaannya yang
sangat menyedihkan. Menjeritlah gadis cilik ini. Dipelukinya tubuh yang kaku
membeku itu. Diiringi tangis yang tiada henti.
"Nenek peot... huhuhu... apa dosamu nek! Jangan tinggalkan aku...." Wanti Sarati
terus menangis, hingga tak berapa lama kemudian tetangga di kanan kiri pun
berdatangan. Dusun Karta kembali gempar, berita tentang kematian si nenek peot
cepat tersebar dari mulut ke mulut.
Dalam pada itu Wanti Sarati yang telah kehilangan kedua orang tua dan kini harus
kehilangan nenek peot satu-satunya orang yang paling dekat dalam hidupnya.
Mendadak hentikan tangis. Tangannya yang kecil mungil terkepal, mulut terkatup
rapat. Gadis cilik yang cerdik ini nampak marah sekali.
"Manusia Topeng busuk...!
Nantikanlah pembalasanku!"
Berkata begitu Wanti Sarati di luar sepengetahuan orang-orang dusun segera
bergegas pergi.
* * * Langit terang, resik tiada ber-
gumpal awan. Matahari di pagi itupun bersinar sangat cerah. Kehidupan mahluk di
pagi hari berjaian seperti hari-hari sebelumnya. Di sebuah jalan setapak seorang
pemuda berwajah sangat tampan, nampak berjalan melenggang menuruni kaki bukit.
Sinar matahari pagi yang berwarna kemilau kekuning-kuningan mengiringi
langkahnya yang ringan. Dengan pakaian warna merah darah, sebuah periuk besar
yang selalu dia bawa ke mana-mana. Siapa lagi gerangan pemuda ini kalau bukan
Buang Sengketa, si Hina Kelana dari negeri Bunian.
Sejak Buang hentikan langkah, tak begitu jauh di depannya dia melihat seorang
bocah kecil melangkah
terseok-seok menjauh darinya.
"Hemm, Siapa bocah itu, sepagi ini telah berada di bukit tandus seorang diri!"
gumam Buang Sengketa dalam hati.
Begitu pemuda tampan ini kembali
memandang ke depan bocah cilik yang tadi dilihatnya kini sudah tak tampak lagi.
Dengan mempergunakan ajian Sapu Angin sebentar saja tubuh pemuda itu melesat
laksana terbang. Hanya dalam tempo yang singkat dia sudah sampai didekat si
bocah cilik yang tak Iain merupakan seorang perempuan. Semenjak Buang Sengketa
memperhatikan gadis yang tengah njelepok
di atas batu pinggiran jalan. Sepasang matanya yang sayu, nampak tak perduii
pada kehadirannya. Sebaliknya malah menatap kosong pada tumpukan batu-batu yang
berserakan. * * * 3 Tentu saja tingkah si bocah menarik perhatian
Buang Sengketa. Dengan
hati-hati Pendekar Hina Kelana bermaksud menghampiri bocah itu. Namun baru saja
dia melangkah beberapa tindak, gadis cilik itu dengan garang membentak.
"Jangan dekati aku! Sekali lagi kau melangkah, aku akan terjun ke dalam jurang
sana...." Gadis cilik itu mengancam membuat Buang Sengketa membatalkan niatnya.
Buang Sengketa sendiri merasa heran mengapa bocah ini bertingkah sangat aneh.
Mungkinkah telah terjadi sesuatu dengannya, sehingga dia menaruh curiga pada
setiap orang. "Nduk. Jangan nekad, aku bukan orang jahat...!"
Pendekar Hina Kelana coba membujuk.
Gadis cilik itu mencibir sambil
memandang penuh kebencian.
"Jangan bohong... semua orang jahat!" tukasnya.
"Mereka menculik Ibu, membunuh Ayah! Nenek peot juga mereka bunuh. Masih kau
mungkir bahwa kau juga bukan orang jahat...?"
Tudingnya seolah menuduh.
Mengertilah pemuda ini apa
sesungguhnya yang sedang terjadi pada gadis itu. Buang Sengketa nampak
berpikir sejenak, kemudian ucapnya dengan suara pelan.
"Percayalah Nduk, Ibuku juga mati dibunuh orang! Kau tidak sendirian, aku juga
mengalami nasib seperti engkau."
Si gadis cilik yang tak lain Wanti Sarati adanya, walau masih berumur sembilan
tahun sebagai bocah yang berpikiran cerdas tentu dapat memahami apa yang
diucapkan Buang Sengketa.
Mendadak dia menoleh.
"Jadi Ibumu juga sudah mati...?"
selanya tak percaya.
"Benar! Ibuku telah tiada bahkan ketika aku masih berumur satu hari...!"
Mendengar pengakuan Buang Sengketa, serta merta gadis itu langsung bangkit dari
duduknya. "Paman!" Ujar si gadis berubah sopan. "Aku ingin membalas dendam...
mereka harus mati paman...!"
Tanpa ragu lagi Buang Sengketa
menghampirinya. Gadis itu berlari dan memeluk si Hina Kelana. Dalam pelukan
Buang Sengketa dia menangis
sejadi-jadinya. Untuk beberapa saat dia
membiarkan hal itu berlalu. Akan tetapi tak lama kemudian dia membujuk.
"Nduk, siapakah namamu?"
Wanti Sarati hentikan tangisnya,
kemudian memandang agak lama pada Buang Sengketa. Lalu tanpa ragu lagi dia
berucap. "Namaku Wanti Sarati, paman...!"
"Wanti Sarati! Asalmu dari
mana...?" tanya si Hina Kelana lebih lanjut.
"Dusun Karta...! Paman sendiri siapa...?"
Wanti Sarati balik bertanya. Buang Sengketa tersenyum ramah, kemudian mengajak
Wanti Sarati berteduh di bawah sebatang pohon. Pendekar dari negeri Bunian itu
segera mengeluarkan dendeng ikan lumba-lumba dari dalam periuknya.
Pemuda itu memberikan beberapa potong dendeng pada Wanti Sarati.
"Makanlah... dendeng ini enak sekali...!" ujar Buang Sengketa sambil menikmati
bekal yang selalu dia bawa,
"Paman tadi belum menjawab
pertanyaanku...!" kata Wanti Sarati menuntut.
Lagi-lagi Buang Sengketa tersenyum.
"Namaku Buang Sengketa...!"
"Buang Sengketa! Namamu aneh sekali paman...?" ujar Wanti Sarati heran.
"Buang... adalah karena memang sejak bayi aku sudah dibuang! Sedangkan Sengketa
karena memang kelahiranku
dipersoalkan oleh banyak orang...!" kata Buang Sengketa seadanya. Wanti Sarati
masih mengangguk heran.
"Paman aneh sekali... lalu paman berasal dari mana...?"
Pendekar Hina Kelana tergelak gelak be gitu dia melihat bahwa sesungguhnya Wanti
Sarati meskipun merupakan bocah yang sangat cerdik tetapi juga lugu.
Sambil mengusap-usap rambut Wanti Sarati, pemuda itu melanjutkan.
"Aku datang dari negeri yang jauh.
Wanti..!" "Maksud Paman?"
"Aku perpaduan antara alam gaib dan nyata! Tapi kurasa akalmu belum sampai untuk
menerima apa yang kukatakan ini.
Dan kurasa itu tak begitu penting bagimu.
Sekarang katakanlah kau hendak ke mana.
Kalau mungkin Paman akan membantumu...!"
kata Buang Sengketa tegas.
Wanti Sarati begitu mendengar
keputusan Buang Sengketa kelihatan sangat bergembira sekali.
"Benarkah itu Paman...!" sela Wanti Sarati tak begitu yakin.


Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar dari negeri Bunian ini
hanya mengangguk pasti.
"Katakan dulu kau mau ke mana!"
Dengan mantap pula dia menjawab.
"Aku mau mencari si Topeng Hitam yang telah membunuh bapak dan nenek peot!"
Mendengar penjelasan Wanti Sarati, Pendekar Hina Kelana ini gelengkan kepala dan
garuk-garuk rambutnya yang tak gatal.
"Wanti... dendam mendendam itu tidak baik! Lagipula apa yang akan kau lakukan
seandainya bertemu dengan orang-orang itu?"
Wanti Sarati katupkan gerahamnya
rapat-rapat, kemudian dengan bibir bergetar: "Aku akan membunuh mereka dengan
tusuk konde ini...!" Wanti Sarati mencabut tusuk konde yang berada di atas
rambutnya. Kemudian segera memper-lihatkannya pada Buang Sengketa. Pemuda itu
segera mengamati tusuk konde yang diberikan Wanti Sarati padanya. Buang Sengketa
mendadak tersentak kaget.
Meskipun tusuk konde itu sudah sangat butut, akan tetapi dengan pasti dia dapat
memastikan bahwa tusuk konde itu
sesungguhnya merupakan sebuah pusaka yang sangat ampuh. Kemudian apabila ia
memperhatikan lebih jauh lagi maka pemuda ini semakin bertambah terkejut, sebab
pada sisi yang lainnya terdapat sebuah lekukan-lekukan kecil yang sangat mirip
dengan sebuah anak kunci.
"Jangan-jangan tusuk konde ini merupakan sebuah kunci rahasia yang kini sedang
dicari-cari oleh berbagai
golongan persilatan. Kalau memang benar apa yang dia duga, tentu Wanti Sarati
dalam bahaya." Dengan cepat Buang Sengketa segera bertanya:
"Wanti... dari mana kau peroleh tusuk konde ini...!"
tanya Buang Sengketa tiada berkedip.
"Mengapa Paman! Mengapa Paman terkejut seperti itu...!" tanya Wanti Sarati
keheranan. "Wanti. Itu tidak penting, yang ingin Paman ketahui dari mana kau dapatkan tusuk
konde ini...?"
Mendadak Wanti Sarati tertawa.
"Hihihi... paman lucu, tusuk konde itu pemberian nenek peot. Katanya dia dapat
menjaga keselamatanku. Lagi pula pesan nenek tusuk konde ini tidak boleh sampai
hilang atau terjatuh ke tangan orang lain...!"
Kini semakin yakinlah Buang
Sengketa bahwa tusuk konde yang ada pada gadis cilik itu merupakan sebuah kunci
pusaka pembuka pintu rahasia Sindang Darah. Demi menjaga keselamatan Wanti
Sarati dia pun lalu berucap pada gadis cilik itu: "Wanti. Bagaimana kalau engkau
ikut Paman saja...!"
Wanti Sarati gelengkan kepala.
"Tidak Paman! Aku mau mencari si Topeng Hitam yang membuat hidupku sengsara...!"
jawab gadis itu tegas.
"Jadi kau benar-benar tak mau ikut dengan Paman...!"
"Tidak...!" tegas-tegas Wanti Sarati menjawab.
"Bagaimana kalau Paman juga berniat mencari si Topeng Hitam,..?" pancing
pendekar Hina Kelana menunggu beberapa saat lamanya.
"Kalau begitu aku mau...!" kata Wanti Sarati tersenyum cerah.
"Kalau begitu, marilah kita
berangkat!" kata Buang Sengketa.
Kemudian dengan menggandeng tangan Wanti Sarati keduanya melesat dan terbang
laksana angin. * * * Dengan rambutnya yang setengah
botak dan berwarna keabu-abuan, dia terus melangkah, seolah dia begitu mengenali
jalan yang sedang dilaluinya.
Padahal kedua matanya buta sama sekali.
Siapa lagi si rambut setengah botak dan berpakaian putih ini" Dia tak lain
adalah si Padri Mata Elang adanya.
Hampir seluruh kaum rimba
persilatan mengenali dia. Kemampuan silat yang tiada memiliki tanding, jurus-
jurus elang mautnya yang dahsyat serta tindakannya yang sewenang-wenang.
Membuat semua orang merasa jerih
terhadap Padri Buta dari lembah hantu ini. Konon sudah sangat lama Padri Buta
ini sudah sangat jarang sekali
menampakkan diri di dunia ramai, selama bertahun-tahun terakhir dia
mengasingkan diri dan menyepi di lembah
hantu. Dari kabar yang dapat dipercaya kebenarannya. Sejak Padri Mata Elang
berhasil dikalahkan oleh saudara
seperguruannya, yaitu Padri Agung Sindang Darah, belakangan dia
memperdalam dan menciptakan ilmu sakti yang sangat langka. Tujuannya jelas ingin
membalas dendam atas kekalahannya pada Padri Agung Sindang Darah.
Lain lagi halnya dengan Padri Agung Sindang Darah, semenjak terjadinya keributan
yang memakan banyak korban itu kini dia mengasingkan diri di
tengah-tengah pulau yang terletak di Sindang Darah. Dia benar-benar telah insyaf
dan menyesali perbuatannya yang dengan tega membunuh gurunya sendiri, yaitu
Padri Suci Pengayom Jagat. Semua itu sampai terjadi adalah karena akibat ulah
Padri Mata Elang yang telah
menghasutnya untuk bersekutu demi merebut sebuah kitab pusaka "Pembelah Jagat."
Tak urung setelah semuanya kesampaian tahulah Padri Sindang Darah bahwa dirinya
telah diperalat oleh saudara seperguruannya. Untuk itu dia menuntut agar kitab
pusaka Pembelah Jagat dikembaiikan ke tempat asalnya.
Akan tetapi mana mau Padri Mata Elang melakukan permintaan Padri Agung Sindang
Darah, sebaliknya Padri Mata Elang malah mengerahkan
murid-muridnya untuk
mengeroyok Padri Agung Sindang Darah.
Pertarungan itu berakhir dengan
kemenangan di pihak Padri Agung Sindang Darah. Dendam kesumat pun terbawa pergi.
Kebencian terhadap almarhum gurunya yang selalu pilih kasih terhadap
murid-muridnya, ditambah lagi kekalahan yang dia terima dari Padri Agung Sindang
Darah semua berbaur menjadi satu, dan membulatkan satu tekad untuk mempelajari
kitab pusaka Pembelah Jagad dalam waktu sesingkat mungkin.
Sementara Padri Agung Sindang Darah sejak peristiwa itu segera menyerahkan
sebuah kunci rahasia yang berupa tusuk konde pada salah seorang murid
wanitanya. Dan Padri pun menyuruh sang murid untuk mengunci pintu rahasia dari
luar. Kalau siang itu Padri Mata Elang
keluar dari sarangnya Lembah Hantu sudah barang tentu ada sesuatu yang sangat
penting yang sempat sampai ke
telinganya. Seperti yang dilaporkan oleh salah seorang muridnya bahwa kunci
Rahasia Sindang Darah kiranya kini menjadi rebutan berbagai golongan yang punya
ambisi untuk mengangkangi
pusaka-pusaka yang berada di sebuah daratan yang masih dalam wilayah yang
dijadikan tempat nyepi oleh Padri Agung Sindang Darah.
Padri Mata Elang begitu mendengar berita itu, mana mau hanya berpangku tangan
begitu saja. Apalagi sejak dulu semasih gurunya hidup dia memang puny a
ambisi besar untuk menguasai segala peninggalan almarhum gurunya.
Kini ada orang lain pula yang ingin mengangkangi kitab-kitab pusaka yang sangat
berharga itu. "Huh. Hal ini tidak boleh terjadi, dia harus menjagal orang-orang
yang berniat serakah itu!"
Tanpa menghiraukan situasi di
sekelilingnya Padri Buta itu terus melangkahkan kakinya. Semilir angin berhembus
sepoi-sepoi sesekali
mengibarkan jubah panjang yang
dipakainya. Meskipun Padri Mata Elang selama
melangkah tiada pernah menoleh ke belakang akan tetapi dia tahu kalau sejak tadi
ada beberapa orang yang sedang menguntit perjalanannya. Hingga tak begitu lama
kemudian sampailah dia di sebuah tikungan jalan yang sangat sempit. Padri Mata
Elang hentikan langkah, kemudian tanpa menoleh ke belakang dia gerakkan
tangannya. "Weer... weeer...!"
Senjata rahasia yang berupa Ular
Hijau itu melesat bagaikan anak panah. Si penguntit yang tiada menduga akan
gerakan Padri Mata Elang yang begitu tiba-tiba, beberapa orang di antara mereka
sudah tidak dapat mengelak lagi.
Ular-ular melekat erat pada bagian dada, tangan bahkan mata para korbannya.
Saat itu juga pekik kematian
menggema di tempat itu. Anehnya begitu
ular-ular hijau itu telah membunuh mangsanya mereka bagai mengerti saja segera
kembali pada tuannya.
* * * 4 Tanpa diperintah ular-ular itu
berebut memasuki kantong jubah Padri Mata Elang. Terkesiaplah hati para
penguntit Padri Mata Elang, namun karena mereka disertai oleh pemimpinnya, maka
sedikit banyaknya rasa gentar itu perlahan-lahan mulai pupus. Apalagi mereka
cukup tahu bahwa sang pemimpin mempunyai kemampuan yang sangat luar biasa.
Ketika mereka saling berpandangan sesamanya, saat itu pula Padri Mata Elang
membentak: "Penguntit sialan... mengapa hanya saling pandang seperti itu, Cepat
menyingkir... atau aku harus mengirim kalian ke liang kubur?"
Meskipun mereka tahu bahwa Padri
Mata Elang yang mereka hadapi ini masih sangat
awas perasaannya agaknya
orang-orang ini merasa takut. Bahkan dua orang di antara mereka melompat dan
langsung berhadapan dengan si Padri Buta.
"Padri mata picak... lancang sekali perbuatanmu
telah berani membunuh
kawan-kawan kami...!" bentak pimpinan mereka yang berbadan kurus macam
Jerangkong. Sesuai dengan keadaan tubuhnya, dunia persilatan mengenalnya sebagai
Si Jerangkong Hidup. Usianya juga tidak jauh beda dengan si Padri Mata Elang.
Sama halnya dengan si Padri Mata Elang beberapa tahun terakhir, Si Jerangkong
Hidup sudah sangat jarang sekali berkeliaran di dunia ramai.
Agaknya dia juga punya tujuan yang sama dengan si Padri Mata Elang, yaitu sama-
sama ingin memperebutkan berbagai kitab pusaka yang tiada ternilai
harganya. "Segala tikus-tikus tiada guna, bapak moyangnya sekalipun berani
bertingkah di hadapanku tak kan kuberi kesempatan hidup...!" Padri Mata Elang
balik membentak. Tiba-tiba Si Jerangkong Hidup tertawa tergelak-gelak.
"Hak... hak... hak...! Padri terkutuk, raja dari segala malapetaka.
Kau sudah menjadi pecundang saudara seperguruanmu! Masihkah engkau mau unjuk
gigi di depanku...!" ejek Si Jerangkong Hidup diiringi derai para
kembrat-kembratnya. Padri Mata Elang terdiam sesaat, dia mencoba
mengingat-ingat siapa gerangan adanya.
Tapi begitu dia ingat suara tawanya, Padri Mata Elang malah tertawa ganda.
Suara tawanya sambung menyambung tiada henti, hingga mereka yang berada di
sekitarnya merasakan rasa sakit yang sangat luar biasa. Mengetahui
kawan-kawannya kena dipengaruhi oleh si Padri Buta, marahlah Si Jerangkong Hidup
bukan alang kepalang.
"Padri gila! Kau mau pamer suara tawa si Gelitik Setan! Huh... cuma mainan bocah
saja kau pamerkan di depanku...!"
Si Jerangkong Hidup mendengus.
Mendadak Padri Mata Elang hentikan tawanya, sebagian alisnya yang sudah memutih
nampak bergerak-gerak.
"Jerangkong Hidup... mau sebut nama saja mengapa kau sungkan-sungkan...!"
"Bagus kalau kau sudah mengenaliku!
Aku jadi tidak usah repot-repot menagih hutang darah yang telah kau lakukan pada
adik seperguruanku...!" kata Si Jerangkong Hidup sambil menyiapkan senjatanya
yang berupa sebuah Gunting Raksasa. Agaknya Padri Mata Elang juga mengetahui apa
yang sedang dilakukan oleh Si Jerangkong Hidup. Lalu dia berkata mengejek:
"Jerangkong tukang potong rumput.
Mengapa tidak dulu-dulu kau
melakukannya, atau bukan karena tergiur pada kitab Pusaka milik perguruan kami
maka engkau mencariku...!" Padri Mata Elang tersenyum sinis.
Si Jerangkong Hidup semakin ber-
tambah geram. "Hak... hak... hak! Setelah kau membunuh guru sendiri, masihkah kau hendak
mengaku bahwa Padri Agung
Pengayom Jagat itu gurumu...!" sindir Si Jerangkong Hidup.
Marahlah Padri Mata Elang mendapat penghinaan seperti itu.
"Jahanam! Kau terlalu mencampuri urusanku. Mampuslah...!"
Bersamaan dengan kata-katanya Padri Mata Elang angkat tangan ke atas, kemudian
sekali saja tangan itu
berkelebat, tapi Si Jerangkong Hidup sebagai orang yang seangkatan dengan Padri
Mata Elang tidaklah berkepandaian rendah. Dengan segala kemampuan, dia pun malah
menerang ke depan. Sebentar saja perlarungan menjadi seru. Agaknya yang ada di
dalam otak pikiran Si Jerangkong Hidup adalah bagaimana agar secepatnya dapat
merobohkan si Padri Mata Elang yang telah membunuh saudara seperguruannya.
Si Jerangkong Hidup dengan mengandalkan ilmu totokan yang dimilikinya terus
mencecar lawan, kedua tangannya yang bagaikan bermata itu berkiblat ke segala
arah. Sementara itu Padri Mata Elang dengan mempergunakan jurus-jurus
andalan yang diberi nama "Elang Maut Kepakkan Sayap" juga tidak kalah hebatnya.
Sambil kirimkan satu pukulan mengarah ke dada, kakinya juga menendang ke arah
selangkangan Si Jerangkong Hidup. Lawannya begitu mengetahui
gerakan yang sangat berbahaya ini segera menarik balik totokannya, akan tetapi
tanpa terduga tubuhnya melesat ke atas.
Meskipun matanya buta kiranya Padri Mata Elang mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh lawannya, dia pun segera bertindak cepat. Begitu tubuh Si
Jerangkong Hidup menukik ke bawah dan langsung kirimkan satu pukulan, tak ayal
lagi Padri Mata Elang yang sempat merasakan adanya angin menyambar ke arah
kepalanya dengan cepat dia memapasi. Tak dapat dihindari lagi:
"Braaasss...!."
"Wer... wer...!"
Tubuh Padri Mata Elang tergetar
untuk beberapa saat lamanya, sementara itu Si Jerangkong Hidup begitu kakinya
menginjak ke tanah hanya terpeleset sedikit saja.
"Hak... hak... hak...!" Si Jerangkong Hidup tertawa ngakak.
"Sebentar lagi kau kubikin mampus mata picak...." geram Si Jerangkong Hidup.
Kemudian tanpa ampun dia menerjang lagi. Sebentar saja pertarungan sudah
berlangsung puluhan jurus. Sementara kembrat-kembrat Si Jerangkong Hidup nampak
menanti dengan sikap tak sabar.
Dalam pada itu tiba-tiba saja, Padri Mata Elang melompat beberapa langkah
kebelakang ketika pada saat yang tepat Si Jerangkong Hidup berhasil menotok
bagian dada Padri Mata Elang. Agaknya Padri Mata Elang sangat kebal terhadap
segala macain ilmu totokan. Terbukti ilmu totokan Si Jerangkong Hidup yang
dikenal tiada duanya tidak berpengaruh apa-apa terhadap Padri Mata Elang. Hal
ini tentu sangat mengejutkan hati Si Jerangkong Hidup, sebab sepanjang yang dia
ketahui Padri Mata Elang ini
sesungguhnya bukanlah manusia yang kebal terhadap berbagai senjata tajam apalagi
dengan ilmu totokan si Jari Sakti yang dia miliki. Dalam keragu-raguan seperti
itu mendadak Padri Mata Elang tertawa tergelak-gelak.
"Tengkorak Hidup, ketahuilah bahwa Padri Mata Elang yang kini sedang kau hadapi
bukanlah Padri Mata Elang yang kau jumpai beberapa tahun yang lalu. Dengan ilmu
Pusaka Pembelah Jagat yang telah kukuasai, jangankan kau yang tiada harga.
Guruku sekalipun andai masih hidup tak akan mampu menghadapiku!"
tukas Padri Mata Elang mengejek.
"Manusia sombong sialan! Nanti setelah menjelang ajal baru kau tahu siapa di
antara kita yang paling pantas hidup di kolong langit ini...!" Si Jerangkong
Hidup segera cabut senjatanya yang berupa sebuah Tasbih Raksasa.
Bersamaan dengan itu pula kawan-kawannya yang lain serentak ikut maju, lalu
beramai-ramai mengeroyok Padri Mata Elang. Orang buta dari Lembah Hantu itu pun
tertawa ganda: "Bagus...! Majulah kalian semuanya!
Aku pun tak ingin buang-buang waktu melayani tikus-tikus tiada berguna...!"
Disertai dengan sebuah bentakan
Padri Mata Elang menerjang maju. Dalam waktu sekejap saja dia sudah terkurung
dari segala penjuru.


Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi walaupun begitu dengan sikap tenang Padri Mata Elang melayani
mereka. Bahkan bagai orang yang sedang kesetanan, dengan gencar dia mencecar
lawan-lawannya. Dalam pada itu si Padri Mata Elang mendapat perlawanan yang
sangat sengit dari Jerangkong Hidup. Dan sesungguhnya dari sekitar sembilan
orang pengeroyoknya hanya serangan Si
Jerangkong Hiduplah yang paling sangat berbahaya. Dengan senjata tasbih di
tangan Si Jerangkong Hidup mengumbar segenap kemampuannya, hingga pada satu
kesempatan: "Craaak...!"
Tubuh Padri Mata Elang terhuyung, meski dalam keadaan begitu tangannya masih
sempat menyambar dua pergelangan tangan lawan sekaligus. Dengan
mempergunakan tubuh lawan dia berusaha melindungi diri dari serangan-serangan
tasbih Si Jerangkong Hidup. Sudah barang tentu Si Jerangkong Hidup menarik balik
serangannya. Kali ini Si Jerangkong Hidup dengan dibantu oleh beberapa orang
kawannya terus mencecar mengarah ke bagian kaki. Padri Mata Elang bergerak
cepat dan terus memutar tubuh lawan yang ia pergunakan sebagai perisai itu,
bagaikan sebuah baling-baling. Praktis kedua lawan yang dia pergunakan sebagai
tameng pelindung menjerit-jerit
ketakutan. Lama kelamaan agaknya Si Jerangkong Hidup sudah hilang
kesabarannya, hingga dia sudah tidak perduli lagi dengan keselamatan
kawannya. Keadaan ini tentu sangat menguntungkan bagi Si Padri Mata Elang.
Hingga beberapa saat kemudian senjata di tangan Si Jerangkong Hidup menderu ke
arah bagian kepalanya, dengan sangat mudah sekali Padri Mata Elang berkelit.
Dengan sedikit mengangkat tubuh lawannya ke atas. Jerangkong Hidup sudah tak
sempat menarik serangannya yang terus meluncur tanpa kompromi. Maka:
"Proook... prook!"
Jeritan kematian menyertai
berkelojotannya tubuh kawannya sendiri masih di tangan Padri Mata Elang.
Terkejutlah kawan-kawan Si Jerangkong Hidup begitu melihat nasib maiang yang
dialami oleh kawan-kawannya.
Padri Mata Elang dengan tersenyum mengejek berkata: "Hmm... nih, kawanmu yang
sudah tiada guna kukembalikan."
Bersamaan dengan ucapannya,tubuh
lawannya yang sudah menjadi mayat itu dia lemparkan meng-arah pada Si Jerangkong
Hidup. Terdengar suara bergedebukan begitu tubuh-tubuh itu nyungsep ke bumi.
Semakin marahlah Si Jerangkong Hidup melihat ulah Padri Mata Elang yang
menyebalkan itu.
"Mata picak terkutuk... kekejamanmu sudah melampaui batas! Kau harus mati secara
mengerikan di tanganku...!"
bentak Si Jerangkong Hidup dengan pandangan yang berapi-api.
"Nyalimu saja yang besar! Mulutmu berkoar bagai perempuan yang kebingungan
bahkan kini kawanmu sendiri kau bunuh.
Apakah bukan pertanda bahwa kau memang sudah edan?" ejek Padri Mata Elang.
"Keparat. Anjing licik...!"
Si Jerangkong Hidup menoleh pada
kawan-kawannya yang tinggal tiga orang lagi, lalu dia membentak gusar: "Minggir
kalian, biar aku sendiri yang menghadapi si picak iblis ini...!"
Lagi-lagi Padri Mata Elang
tersenyum penuh kemenangan.
"Kau pikir aku akan membiarkan kawan-kawanmu yang tiada guna itu!
Sebelum aku membinasakan biangnya, nih kalian makan...!"
"Weer... werr!"
Senjata rahasia yang berupa ular
hijau itu melesat begitu cepat,
sampai-sampai tiga orang kawan Si Jerangkong Hidup tidak sempat mengelak lagi.
"Grep... crep... crep...!"
Disertai jerit lolong yang panjang tiga orang kawan Si Jerangkong Hidup ambuk ke
bumi dengan nyawa melayang.
Semakin bertambah besar kemaraban Si Jerangkong Hidup demi menyaksikan nasib
yang dialami oleh kawan-kawannya.
"Keparat terkutuk...!" Lagi-lagi Si Jerangkong Hidup melabrak. Kali ini
serangannya semakin bertubi-tubi.
Agaknya Padri Mata Elang pun sudah tak sabar untuk segera menyudahi
pertarungan. Mendadak dia merobah jurus-jurus silatnya. Suatu ketika tubuhnya
berkelebat lenyap bagai
bayang-bayang, dan di lain waktu dengan pukulan-pukulan
tangan kosong dia
memapaki serangan-serangan tasbih lawannya. Dan apabila kedua tangannya sudah
dirakapkan ke depan dada,
sementara mulutnya berkomat-kamit.
Dalam keadaan seperti itulah pukulan Pembelah Jagat telah menguasai dirinya.
Tasbih di tangan Si Jerangkong Hidup terus berkelebat dan menghantam tubuh Padri
Mata Elang bertubi-tubi. Namun sedikit pun Padri Mata Elang yang sudah menjadi
kebal karena mantra ajian Pembelah Jagat tidak bergeming. Hingga beberapa saat
kemudian begitu tasbih di tangan Si Jerangkong Hidup dan kembali menderu
mengarah pada bagian kepala. Tangan Padri Mata Elang pun bergerak cepat.
"Creep...!" Bahkan langsung.
"Prook...!" Tanpa sempat menjerit Si Jerangkong Hidup roboh ke tanah dengan
kepala remuk dan nyawa terputus. Padri Mata Elang tergelak-gelak tanda puas,
kemudian tanpa menolah lagi tubuhnya melesat pergi bagai angin.
* * * 5 Desa Sindang Sari adalah sebuah desa yang merupakan perbatasan antara Sindang
Darah di sebelah Selatan dan desa Sindang Warakan di sebelah Utara.
Pagi itu seorang pemuda tampan
berpakaian merah darah dengan sebuah priuk besar yang selalu dia bawa ke mana-
mana. Nampak sedang memasuki desa Sindang Sari yang berpenduduk sangat padat
namun penuh dengan keramah
tamahan. Dengan langkahnya yang
melenggak lenggok sementara seorang bocah perempuan duduk ongkang-ongkang di
atas pundaknya. Sepintas orang tentu mengira bahwa pemuda dan bocah yang duduk
di atas pundaknya itu tak lain adalah seorang gelandangan yang kebetulan kesasar
di desa mereka.
Apapun tanggapan mereka sesung-
guhnya pemuda yang selalu nampak kumuh dan kotor ini tak lain adalah Pendekar si
Hina Kelana adanya. Seperti diketahui
pemuda keturunan manusia alam gaib itu sedang berusaha untuk mengejar orang
bertopeng yang telah membunuh orang tua Wanti Sarati. Hari itu merupakan hari
yang kesepuluh daiam perjalanannya mencari jejak si manusia bertopeng.
Namun sejauh itu masih belum ada
tanda-tanda bahwa manusia bertopeng akan segera ditemukan. Kalau tujuan si
manusia bertopeng itu hanyalah ke Sindang Darah, mengapa dia tak tanyakan saja
di mana letak Sindang Darah yang sesungguhnya" Berpikir sampai di situ, Buang
Sengketa segera belokkan langkah menghampiri sebuah warung yang terletak di sisi
jalan itu. Suasana pagi yang segar serta bau aroma makanan yang lezat membuat
perut si pemuda berkerukukan minta diisi.
Begitu dia sampai di dalam warung yang saat itu memang sarat dengan pengunjung,
Buang Sengketa langsung memesan makanan pada pemiliknya.
"Sediakan kami dua mangkuk nasi berikut lauk-pauknya, dan juga dua bumbung
tuak...!"kata pemuda itu ramah.
"Baik Kisanak... tapi tunggulah di meja yang kosong itu!" kata pemilik warung
lalu menunjuk tempat yang
dimaksudkan. Buang Sengketa setelah menurunkan Wanti Sarati dari pundaknya segera melangkah
ke arah meja yang terletak di sudut ruangan.
"Paman. Sampai di manakah kita ini...?" tanya Wanti Sarati sambil memperhatikan
orang-orang di sekelilingnya.
"Paman juga tidak tahu. Tapi nanti bisa kita tanyakan pada pemilik warung."
"Tempat ini ramai sekali, Paman...!"
Buang Sengketa tersenyum sambil
memandangi wajah Wanti Sarati yang polos dan cantik.
"Hemmm... kau suka tempat seperti ini...?"
"Suka, tapi aku kurang suka pada orang-orang yang galak seperti mereka itu!"
Ujar Wanti Sarati.
"Hus. Tak boleh bicara seperti itu, nanti mereka marah...!"
Buang Sengketa menegur dengan suara lunak.
Wanti Sarati tiba-tiba menjadi
cemberut. "Mengapa Paman melarangku! Bukankah aku bicara yang sebenarnya...?" protes Wanti
Sarati mengajuk.
Buang Sengketa kembali kembangkan senyum.
"Wanti, memang tidak salah, tapi orang bisa tersinggung dengan ucapanmu itu."
Ujar pemuda itu menasehati. Wanti Sarati manggut-manggut.
"Tapi aku suka pada Paman! Paman selalu baik dan sayang sama Wanti...!"
Mendengar pujian yang lugu, Buang Sengketa
terenyuh. Kemudian dengan
perasaan sayang dibelainya rambut Wanti Sarati yang panjang sebatas pinggang.
"Lupakanlah itu Wanti! Lihat pesanan kita sudah datang."
Begitu Wanti Sarati menoleh,
tahu-tahu pemilik warung sudah berada di depan meja mereka. Dengan cepat pemilik
warung itu segera menghidangkan makanan di atas meja. Begitu selesai dengan
pekerjaannya. Laki-laki yang masih sangat muda itu bermaksud meninggalkan mereka
berdua. Buang Sengketa segera menggamit tangannya. Laki-laki itu menoleh.
"Ada apa Ki sanak?" tanya si pemilik warung sekilas mengamati Buang Sengketa
dengan perasaan ragu.
"Dapatkah kau katakan padaku, desa ini desa apa namanya...?"
"Agaknya Kisanak datang dari daerah yang lain?"
"Benar...!" Jawab pemuda itu jujur.
"Desa ini bernama desa Sindang Sari...."
Mendengar jawaban si pemilik
warung, pemuda itu nampak mengangguk-anggukkan kepala. "Kalau begitu tentu
sebuah tempat yang bernama Sindang Darah itu letaknya sudah tidak begitu jauh
lagi dari tempat ini." Batin Pendekar Hina Kelana.
"Saudara... masih jauhkah letak Sindang Darah dari desa ini...?" tanya si pemuda
kemudian. Si pemilik warung nampak terkejut begitu mendapat pertanyaan seperti itu.
Kemudian tanpa sadar dipahdanginya Buang Sengketa dari ujung ram but hingga ke
ujung kaki. Melihat penampilan Buang Sengketa yang agak ganjil dari
kebanyakan orang umum, mengertilah pemilik warung yang masih sangat muda ini
bahwa sesungguhnya dia sedang berhadapan dengan orang kalangan persilatan.
Kemudian setelah melirik kanan dan kiri laki-laki itu dengan gemetar menjawab
pelan: "Apakah Ki sanak bermaksud datang ke tempat yang menakutkan itu...?"
Tanpa menjawab Pendekar Hina Kelana mengangguk. Tapi curiga. "Kisanak!
Akhir-akhir ini Sindang Darah banyak dibicarakan orang...!"
"Maksudmu..."!"
Sejenak pemilik warung itu menarik nafas pendek.
"Dari berbagai penjuru mereka datang untuk memperebutkan kitab-kitab pusaka
peninggalan Padri Agung Pengayom Jagat. Bahkan mereka saling bertarung mati-
matian sesamanya. Tetapi sejauh itu mereka masih belum mampu membuka pintu
rahasia yang merupakan jalan
satu-satunya menuju tempat penyimpanan kitab-kitab peninggalan Padri Agung
Pengayom Jagat...!" Ujar pemilik warung.
Mendengar penjelasan pemilik
warung, Buang Sengketa semakin bertambah
tertarik. Tanpa sadar pemuda itu melirik Wanti Sarati yang sedang sibuk melahap
makanan. Kini dia kembali menoleh pada laki-laki itu.
"Saudara. Tadi saudara belum jeiaskan padaku di nama letak Sindang Darah. Dan
mungkin juga kau dapat jeiaskan padaku, mengapa tempat itu bernama Sindang
Darah...?"
Lagi-lagi pemilik warung itu
menoleh ke sekelilingnya. Kemudian masih dengan suara yang serupa dia berkata
lagi: "Sesungguhnya Ki sanak, aku sangat takut untuk menjelaskan persoalan ini pada
Kisanak!" Jawabnya sambil celingukan.
"Katakan saja mengapa mesti takut!
Aku yang akan bertanggung jawab kalau sampai terjadi sesuatu di tempat
ini...!" Jawab si pemuda pasti.
"Baiklah kalau sudah begitu
keinginan Ki sanak."
Pemilik warung tersenyum lega.
Kemudian setelah berpikir-pikir
sejenak: "Sindang Darah letaknya di sebelah Tenggara desa ini, untuk sampai ke sana hanya
memakan waktu dua hari perjalanan kaki. Dulunya tempat itu merupakan sebuah
tempat suci sekaligus rumah tinggal Padri Agung Pengayom Jagat bersama para
muridnya. Akan tetapi sejak terbunuhnya Padri Agung Pengayom Jagat
oleh muridnya sendiri, tiba-tiba saja tempat itu telah berubah menjadi sebuah
tempat yang sangat menyeramkan bahkan sampai kini...."
"Maksudmu...?" Potong pendekar Hina Kelana.
Pemilik warung itu tampak terdiam beberapa saat lamanya. Tapi kemudian dia
menyambung lagi:
"Padri Agung Pengayom Jagat
menjelang kematiannya sempat mengutuk tempat itu. Bahkan tidak tahu dari mana
datangnya, air di dalam Sindang yang hampir seluas danau kini telah dipenuhi
oleh buaya kuning. Dalam waktu-waktu tertentu air di dalam Sindang bisa berubah
warna menjadi merah darah.
Itulah makanya Sindang Darah yang dulunya bernama Sindang Pengayom jadi berubah
nama!" Jelas si pemilikwarung sambil memijit-mijit keningnya.
Lagi-lagi Buang Sengketa
angguk-anggukkan kepalanya macam buruk pelatuk.
"Benarkah seperti kata orang, bahwa di tengah-tengah sindang itu terdapat sebuah
daratan yang luas?" Sela pendekar Hina Kelana tiba-tiba.
"Sesungguhnya yang paling tepat adalah sebuah pulau. Pulau Cadas yang dipenuhi
dengan gua-gua buatan!" Ujar laki-laki itu, kemudian menyela kembali:
"Apakah Ki sanak bermaksud untuk datang ke sana?"
Perasaan was-was membayang jelas di wajah laki-laki pemilik warung.
Buang Sengketa anggukkan kepala.
"Kalau bisa jangan Kisanak...!"
Kata pemilik warung bermaksud mencegah.
Melihat kekhawatiran laki-laki itu, Buang Sengketa tergelak-gelak. Kemudian dia
hentikan tawanya lalu memandang pada pemilik warung sejurus.
"Mengapa kau melarangku...?" Pemuda itu menegur dengan sikap tak senang.
"Eee.. anu, Kisanak tempat itu benar-benar sangat berbahaya!" Jawabnya terbata-
bata. Begitu mendengar ucapan laki-laki itu Pendekar Hina Kelana tersenyum kecut, lalu
selanya: "Mengapa takut! Jalan yang kutempuh memang selalu penuh dengan kekerasan.
Kalau memang Sang Hyang Widi memang sudah menentukan bahwa aku harus mati, aku
pun harus rela menerimanya. Tapi kalau belum pada saatnya siapa yang bisa
melakukannya..,?"
"Kalau memang sudah begitu
keinginan Kisanak, tentu saya tak mungkin mencegah, saya hanya memberitahu
saja." "Hemm... terima kasih atas
peringatanmu."
Laki-laki itu hanya menganggukkan kepala untuk kemudian melangkah pergi melayani
tamu-tamu yang lain.
Baru saja Pendekar Hina Kelana
menyuap makanannya beberapa kali, mendadak orang-orang yang berada didalam
warung itu berlarian ke luar. Tak seorang pun di antara mereka yang tersisa.
Tinggallah laki-laki pemilik warung yang nampak menggigil ketakutan sambil
memandang ke arah pintu. Begitu Buang Sengketa menoleh ke tempat yang sama. Dia
melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan tua dengan rambut yang sudah
memutih sedang berdiri di ambang pintu.
Yang mengherankan hati pendekar
Hina Kelana, adalah penampilan Kakek dan Nenek ini yang sangat menyolok mata. Si
Kakek berpakaian putih perak
berkilat-kilat dengan dandanan yang sangat rapih. Sementara si Nenek


Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenakan jubah warna biru langit.
Meskipun sudah tua bangka bau tanah agaknya kedua orang aneh ini termasuk
pesolek berat. Dan sesungguhnya kaum persilatan mengenalnya sebagai "Sepasang
Sejoli Dari Timur". Di bagian Timur mereka inilah yang merupakan rajanya kaum
persilatan dari semua golongan. Memiliki kepandaian silat yang sangat tinggi dan
selama malang melintang dalam rimba persilatan belum pernah terkalahkan.
Kini mata mereka menyapu kesegenap penjuru ruangan, mereka hanya melihat seorang
pemuda dan seorang bocah
perempuan sedang duduk ongkang-ongkang menikmati hidangan yang mereka pesan.
Tanpa ragu kedua orang ini segera melangkah ketengah-tengah ruangan, kemudian
duduk saling berhadapan
mengelilingi sebuah meja besar yang berukir indah.
"Pelayan! Cepat sediakan makanan kesukaan kami...!" Perintah si nenek.
"Baik, junjungan."
Dengan langkah terburu-buru pemilik warung segera bergegas ke belakang.
Dengan cepat dia telah kembali pula membawakan makanan yang dipesan oleh kedua
orang aneh ini. Ketika pemilik warung itu sedang sibuk menghidangkan makanan di
depan mereka tiba-tiba saja si Kakek berjubah putih dengan suaranya yang kecil
mirip suara perempuan, menegur:
"Pelayan goblok! Padamu kami pernah berpesan apa...?" bentaknya marah.
Pemilik warung nampak menjadi
gugup. Kemudian dengan suara tersendat dia menjawab: "Jun... junjungan bilang
tak seorang pun berada di warung ini pada saat junjungan datang...!" Ujarnya
sambil melirik ke arah Buang Sengketa yang masih enak-enakan menikmati
hidangan. * * * 6 Bagus sekali kalau kau masih ingat.
Itu menandakan bahwa kau masih
menghormati kami." Sela Kakek tua berpakaian putih mulai geram. Sebaliknya laki-
laki pemilik warung yang tak menyadari bahwa Sepasang Sejoli dari Timur ini
sedang marah, malah menyahuti:
"Pesan junjungan saya memang selalu mengingatnya." jawabnya sedikit bangga.
Mendengar jawaban laki-laki itu
memuncaklah amarah si Kakek. Lalu tanpa terduga dia langsung mengebrak meja.
Meja berikut makanan yang baru mereka pesan berantakan dan bertaburan ke mana-
mana. Pucatlah wajah pemilik warung itu. Dengan mata melotot si Nenek ikut
membentak: "Kalau kau masih ingat pesanku, mengapa masih kau biarkan dua ekor lalat
menjijikkan itu berada di dalam
warungmu...!"
Menggigillah tubuh laki-laki itu
ketakutan. Dia tak mampu menjawab hanya pandangan matanya silih berganti melirik
pada Buang Sengketa dan Sejoli Dari Timur. Buang Sengketa meskipun menyadari
bahwa yang dimaksud si Nenek pesolek itu sesungguhnya adalah mereka berdua. Akan
tetapi tetap saja dia acuh.
"Pelayan! Kalau kau tidak segera mengusir lalat-lalat gembel itu dari warungmu,
maka aku akan segera
menyeretnya ke luar." Sela si Nenek pesolek semakin gusar. Buang Sengketa segera
menyudahi makannya. Sementara Wanti Sarati nampak tenang-tenang saja.
Pemilik warung kini nampak
kebingungan, dalam pada itu Buang Sengketa maju beberapa tindak.
"Orang tua, lagumu setinggi langit.
Sepertinya hanya kalian sendiri yang berhak hidup di Kolong Jagat ini! Toh
warung ini bukan milik bapak moyangmu, semua orang punya hak untuk berada di
sini!" sela Buang Sengketa pelan namun menyakitkan.
"Bocah keparat! Lancang sekali mulutmu...!" Ben tak Nenek berpakaian biru langit
marah sekali. Selama malang melintang dalam rimba persilatan baru kali ini ada
seorang bocah yang masih hijau dan tak dikenal asal usulnya berani membentak
sedemikian rupa. Dan ini sangat keterlaluan sekali.
"Kau telah berani menghina Sepasang Sejoli dari Timur, itu berarti tiada pilihan
lain bagimu kecuali mati...!"
Kakek berambut putih ikut menyela.
Mendadak Buang Sengketa tertawa
panjang-panjang.
"Hemm... monyet tua bangka!
Kematian bagimu, kau sendiri tak tahu kapan datangnya. Bagaimana kau bisa
menentukan kematian orang lain...?"
Sepasang Sejoli dari Timur
kertakkan rahang, kemudian dengan satu
hentakan dahsyat secara bersamaan Kakek Nenek rambut putih itu kirimkan pukulan
jarak jauh dan pada saat itu juga gelombang angin pukulan berhawa panas menderu
mengarah pada Buang Sengketa dan Wanti Sarati. Secepat kilat pendekar dari
negeri Bunian sambar tubuh Wanti Sarati, lalu tanpa banyak bicara segera dia
memasukkan tubuh Wanti Sarati ke dalam periuk besar yang disandangnya.
Diperlakukan begitu Wanti Sarati yang mengetahui gelagat tak baik hanya menurut.
Demikianlah ketika pukulan maut
yang dilepaskan oleh Sepasang Sejoli dari Timur itu hampir saja melabrak tubuh
Buang Sengketa, dengan gerakan yang sangat indah sekali dia berkelit untuk
kemudian kirimkan satu pukulan pula.
Begitu tangan kanannya dia dorongkan ke depan, tak ayal selarik sinar Ultra
Violet yang menimbulkan suara bergemuruh bagai air bah melesat ke arah Sepasang
Sejoli dari Timur. Mereka yang tidak menyangka bahwa si pemuda berpakaian gembel
itu sangat terkejut begitu Buang Sengketa lepaskan pukulan. Serta merta secara
berbareng Sepasang Sejoli dari Timur memapaki.
"Blaar...!"
Kakek dan Nenek pesolek ini
terhuyung beberapa tindak, meja dan kursi di kanan kiri mereka jadi
berantakan tersambar dua pukulan sakti.
Memucatlah wajah kedua orang ini begitu mengetahui kehebatan lawannya. Sesaat
sesudahnya Kakek dan Nenek rambut putih itu saling pan dang sesamanya. Bocah ini
masih sangat muda, usianya pun paling baru berkisar dua puluhan, akan tetapi
sudah memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna. Bahkan dapat digolongkan dan
setaraf dengan tokoh-tokoh sakti
angkatan tua. Begitulah yang ada di benak mereka. Akan tetapi meskipun mereka
sudah mengetahui kehebatan si pemuda mana mau Sepasang Sejoli dari Timur ini
mengakuinya. Mereka yang selalu bersifat tinggi hati belum pernah dalam hidupnya
mengaku kehebatan orang lain, meskipun pada akhirnya mereka akan jadi
pecundang. Kini setelah agak lama memandangi Buang Sengketa kemudian mereka
membentak: "Rupanya kau cukup berisi juga. Tapi jangan kau kira kau bisa bertingkah di
depan Sepasang Sejoli dari Timur."
Tukasnya. "Sebutkanlah namamu bocah hina, agar kami dapat menuliskannya di
nisanmu nanti...!"
Pendekar Hina Kelana tertawa ganda.
"Kunyuk bau tanah. Galilah kuburmu dulu nanti kalau sudah di liang kubur kalian
berbulan madu kembali."
Merahlah paras kedua orang ini
mendapat ejekan sedemikian rupa.
"Jahanam terkutuk... jangan
salahkan kami kalau kau tetap tak ingin sebutkan nama...!"
"Huahahaha...! Apa artinya sebuah nama bagimu, kalau hidup yang hanya sekejap
hanya bikin onar di mana-mana.
Meskipun hari ini kau ingin bertobat semuanya sudah terlambat Sejoli
gila...!" "Keparat...!"
Disertai dengan lengkingan dahsyat kedua Sejoli irii serentak menerjang.
Buang Sengketa segera bertindak cepat, bagai bayang-bayang tubuhnya berkelebat
mengarah ke halaman warung.
"Bocah sialan mau lari ke mana kau...!" bentak si Kakek tua suara perempuan.
"Kita main-main di sini Sejoli gila!
Aku tak ingin warung itu kotor dengan darah anjingmu...!" ejek si Hina Kelana.
Tanpa berkata Sepasang Sejoli dari Timur ini kembali menerjang dan kirimkan
jurus-jurus yang paling diandalkan.
Buang Sengketa pun tak mau memberi hati lagi pada Si Pesolek Dari Timur ini.
Dengan jurus si Hina Mengusir Lalat, tubuhnyaa berkelebat kian ke mari.
Sekali waktu dia lancarkan pukulan Empat Anasir Kehidupan. Pukulan yang
datangnya bagai gelombang dan bertubi-tubi ini membuat Sepasang Sejoli dari
Timur ini kerepotan, bahkan terkadang mereka harus menarik balik serangannya dan
berganti merubah jurus-jurus silatnya untuk melindungi diri. Pada saat itulah Buang
Sengketa menyadari bahwa gempuran-gempurannya tak akan banyak berarti bila salah
seorang dari mereka tidak dibunuh terlebih dulu.
Otaknya bekerja cepat untuk melihat situasi yang sangat memungkinkan, pada saat-
saat seperti itulah tiba-tiba dari dua arah Kakek dan Nenek rambut putih
kirimkan pukulan yang sangat mereka andalkan. Sebuah pukulan yang sangat sulit
untuk dicari duanya. "Sepasang Sejoli Bermesraan." Dua pukulan bertenaga sakti
itu terus menderu dan mengeluarkan suara bergemuruh bagai angin top an, mengarah
pada bagian yang sangat berbahaya. Waktu yang hanya beberapa detik itu tiada
mungkin bagi Buang Sengketa untuk mengelakkannya.
Tiada pilihan lain baginya, maka dengan nekad ia memapaki.
"Creep... creep...!"
Satu kesalahan telah dilakukan oleh si pemuda. Salah satu sifat ilmu Sepasang
Sejoli Bermesraan adalah menyedot habis tenaga lawannya. Dan hal itu tanpa dapat
dihindari telah dilakukan oleh Buang Sengketa. Tak ayal kedua tangannya kini
melekat erat dengan tangan-tangan musuhnya.
Baik Kakek maupun si Nenek rambut putih kedua-duanya nampak tersenyum puas.
Mereka dapat memastikan bahwa
sebentar lagi tentu pemuda berkuncir ini akan mati lemas kehabisan tenaga. Buang
Sengketa sejak bertemunya kedua
tangannya dengan tangan-tangan lawannya bukan tak menyadari bahwa ada sesuatu di
dalam tubuhnya mengalir ke luar lewat telapak tangannya. Akan tetapi dia
berusaha sekuat tenaga agar sesuatu yang meledak-ledak mengalir deras ke arah
kedua tangannya itu mampu dicegahnya.
Keringat dingin mulai berlelehan
membasahi pakaian Buang Sengketa. Begitu juga halnya dengan Sepasang Sejoli dari
Timur, akan tetapi mereka masih tetap tersenyum mengejek.
Sementara itu tubuh Pendekar Hina Kelana mulai goyah dan nampak gemetaran.
Perasaan lemas terasa mulai menjalar ke mana-mana. Dalam keadaan terancam maut
seperti itu tiba-tiba dia teringat pesan gurunya. Maka dengan cepat dia
mengerahkan unsur api mengaliri
tangannya. Karena sifat ilmu Sepasang Sejoli Bermesraan adalah menyedot. Tak
ayal lagi hawa panas yang sangat luar biasa dari tangan Buang Sengketa pun ikut
terse dot pula. Sejoli Dari Timur itu tersentak kaget begitu hawa yang sangat
panas itu mengalir deras dari tangan yang menyatu, akan tetapi mereka masih
belum melepaskan tangannya dari tangan
Pendekar Hina Kelana. Buang Sengketa kembali meningkatkan kemampuannya. Hawa
panas yang lebih hebat lagi kembali mengalir lewat tangannya, Sejoli Dari Timur
kembali terbelalak begitu mereka merasakan panas yang sangat luar biasa.
Namun sejauh itu masih belum ada
tanda-tanda bahwa Sepasang Sejoli dari Timur berniat melepaskan tangan-tangan
mereka yang melekat erat pada tangan Pendekar Hina Kelana. Mengetahui bahwa
Sepasang Sejoli dari Timur ini memang menghendaki nyawanya. Marahlah pemuda ini,
secepatnya dia keluarkan suara lengkingan dari ilmu Pemenggal Roh.
"Haiiiiiiik...!"
Bergemuruhlah suara jeritan yang
sambung menyambung tiada
henti-hentinya. Daun dan ranting kering luruh berjatuhan kebumi, jerit pekik
ketakutan serta tunggang langgang dari mereka yang ingin menyelamatkan diri
berbaur menjadi satu. Bahkan pemilik warung yang sejak tadi menyaksikan
pertarungan itu dengan wajah tegang.
Kini nampak terkapar dengan hidung dan kuping mengalirkan darah. Masih untung
Wanti Sarati berada dalam priuk yang kedap suara. Andaikata tidak, sudah barang
tentu gadis cilik itu mengalami nasib tak jauh beda dengan orang-orang yang
menyaksikan pertarungan itu.
Meskipun Sepasang Sejoli dari Timur ini berkepandaian sangat tinggi dan bahkan
sempat menutup jalan indra pendengaran mereka, akan tetapi suara
lengkingan yang sambung menyambung tiada putus-putusnya ini membuat pertahanan
mereka hancur juga. Darah mulai menetes dari hidung dan kuping Sepasang Sejoli
dari Timur ini. Bagi mereka kalau ingin nyawa selamat, maka tiada pilihan lain
kecuali menarik tangan yang melekat pada tangan musuhnya. Bersamaan dengan itu
Kakek dan Nenek rambut putih secara serentak menarik balik tangannya.
"Wut!"
"Wut!"
Sepasang Sejoli Dari Timur
terguling-guling beberapa tombak!
Buang Sengketa terhuyung beberapa tindak ke belakang. Dengan cepat dia
menghimpun hawa murni, akan tetapi meskipun begitu dia masih merasakan lemas
yang teramat. Pemuda dari negeri Bunian itu tersenyum getir begitu melihat
Sepasang Sejoli dari Timur yang nampak saling berpandangan sesamanya.
"Tua bangka. Mengapa kalian
bertatapan mata seperti itu...!" Buang Sengketa mencemooh.
Kakek dan Nenek rambut putih itu
segera berdiri sambil menyeka darah yang meleleh di bibir dan telinga mereka.
"Budak hina... kau pikir kami takut dengan ilmu gila yang kau miliki itu?"
bentak Nenek rambut putih lalu meludah.
"Kalau kalian tidak merasa jeri dan takut
mati. Mengapa kalian hanya
berhenti sampai di situ...!" cibir Buang Sengketa.
"Kami masih punya urusan di Sindang Darah, lain waktu kami pasti akan
membunuhmu...."
Kakek rambut putih suara perempuan ikut menyela.
Tengkorak Maut 10 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Senopati Pamungkas 26
^