Pencarian

Neraka Lembah Halilintar 3

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar Bagian 3


kau jangan bangga dulu! Aku mas ih mempunyai
dua pukulan andalan, yang kuberi nama Dua
Jalan Neraka Lembah Halilintar. Mengapa aku memberi nama pukulan itu begitu.
Nanti akan kuceritakan padamu jika kau mampu
menahan dua pukulanku itu. Akan tetapi jika kau
tak mampu, aku hanya bisa mengucapkan selamat jalan ke neraka padamu...!"
* * * * * 10 Mendengar keputusan si Kakek Rombeng, Buang Sengketa tiba-tiba saja
mendengus: "Huhh... enak di kau tapi tak enak di aku...!"
"Tunggu dulu penjelasanku...
begini kalau kau bisa keluar sebagai pemenang
dalam adu jiwa nanti, maka aku si Tua
Rombeng dari Lembah Halilintar yang terbuang, dengan rela hati akan merelakan
sisa-sisa hidupku untuk menjadi seorang
abdimu yang paling setia...!"
Lagi-lagi pemuda itu mendengus dengan
perasaan tak senang.
"Heh... aku bukan seorang raja, bukan seorang majikan dan bukan pula seorang
kesepuhan. Manusia Hina Kelana sepertiku
ini, tentu tak akan sanggup memberimu
makan, apalagi memberimu pakaian rombeng...!"
ejek Buang Sengketa tersenyum kecut.
"Bocah edan, pokoknya, mau tidak mau, rela tidak rela! Aku akan menepati
janjiku. Sekarang bersiap-siaplah engkau...!"
Usai dengan kata-katanya, si kakek
segera merangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Dengan cepat dia mengerahkan
segenap kemampuannya, tak lama kemudian
kedua telapak tangan yang menyatu itu
mulai mengepulkan uap panas, udara di
sekitar si kakek mulai diliputi kabut. Sementara itu kedua tangan si kakek semakin lama nampak berubah menjadi
merah bara. Si kakek menyeringai puas,
keringat terus bercucuran membasahi pakaiannya. Hanya sekilas saja Buang Sengketa menyaksikan perubahan yang dialami oleh Kakek Rombeng, saat-saat
berikutnya dia mulai menyiapkan sebuah
pukulan pula. Dengan tangan terpentang di
atas kepala, dia telah mempers iapkan sebuah pukulan andalan, yaitu salah satu
dari Empat Anasir Kehidupan. Berbeda
dengan keadaan si Kakek yang saat itu
tubuhnya akibat pengaruh ilmu Dua Jalan
Neraka Lembah Halilintar, merasakan panas
yang teramat sangat, sedangkan si pemuda
merasakan tubuhnya kedinginan yang luar
biasa. Segalanya berlalu cepat, sampai-sampai
si Kembar yang dalam keadaan terluka parah terbeliak seolah tak percaya dengan
apa yang mereka saks ikan. Disertai dengan
lengkingan keras, tubuh si Kakek melesat
bagai sebuah busur ke arah Buang Sengketa.
Saat tangan yang bagaikan bara itu tinggal beberapa senti saja menerpa wajah
Pendekar dari Negeri Bunian, saat itu pula tangan si pemuda berkiblat. Benturan
tangan maha dahsyat pun tak dapat dihindari lagi.
"Plaaak... blaam...!"
Tubuh si Kakek Rombeng
terpental berpuluh-puluh tombak, darah berlelehan
dari celah bibirnya, bahkan dia sempat
merasakan hawa dingin menjalari sekujur
tubuhnya. Setelah mengerahkan hawa murni
barulah dia merasakan tubuhnya normal
kembali. Kakek ini segera maklum bahwa
pemuda itu tidaklah bernama kosong. Begitu pun dengan cepat dia bangkit kembali.
lalu kembali menghampiri Buang Sengketa yang
sedang menarik kedua kaki yang sempat
terbenam sebatas tumit.
Dengan tatapan iba dipandanginya Kakek
Rombeng. Wajah kakek ini nampak sedikit
memucat, akan tetapi agaknya si kakek tidak perduli dengan keadaannya.
"Kau memang hebat, bocah! Tapi masih
ada satu pukulanku lagi yang harus kau
tahan...!" tukasnya dengan nafas terengah-engah.
"Orang tua, luka dalammu saja sudah
parah! Masihkah kau ingin menyerangku
kembali...!" kata pemuda itu sedih.
Si Kakek Rombeng ini agaknya sangat
keras kepala, terbukti di beri peringatan
seperti itu dia malah ngotot.
"Perduli apa...! Aku harus memenuhi
janjiku, kalaupun aku mati, aku merasa
sangat puas...." sela si kakek. Kemudian dia mulai mempersiapkan pukulan
terakhir. "Bersiap-siaplah,
bocah...!"
Buang Sengketa meskipun sesungguhnya sudah
tidak sampai hati untuk melayani si Kakek, akhirnya dengan sangat terpaksa
bersiap-siap juga. Kemudian segera mempers iapkan
pukulan berikutnya. Sebuah pukulan yang
masih merupakan rangkaian dari "Empat Anasir Kehidupan". Sementara itu si Kakek
Rombeng sudah nampak siap dengan sebuah
pukulan pamungkas. Kini kedua tangannya
terpentang bagaikan cakar burung hantu,
dengan sorot mata menggidikkan. Kedua
tangannya kembali mengepulkan asap, lama
kelamaan asap itu semakin menebal, berputar-putar di sekitar tubuh si kakek dan hanya beberapa saat setelah itu,
tubuh si Kakek Rombeng ini pun lenyap terbungkus
kabut. Di ringi dengan jeritan melengking, kabut yang membungkus tubuh si kakek
bergelung-gelung dengan cepat ke arah
Buang Sengketa. Kabut tebal itu terus
melesat dan melabrak apa saja yang berada
di sekitarnya. Hingga tak begitu lama, ketika kabut tebal itu hanya tinggal
beberapa depa saja
sampai pada sasarannya, dengan perasaan setengah tega, Pendekar Hina
Kelana itu segera kiblatkan tangan kanannya ke arah kabut yang menggulung tubuh
si kakek. Seberkas sinar Ultra Violet melesat cepat ke arah tubuh si kakek. Kembali
benturan tenaga sakti pun tak dapat dihindari lagi.
"Bress... blaaarr...!"
Si Kakek Rombeng kembali terpental
jauh lalu muntahkan darah segar. Sementara Buang Sengketa sendiri nampak
bersurut beberapa langkah, sambil memegangi dadanya yang terasa sesak.
Pemuda itu tersenyum getir
begitu dilihatnya si Kakek berjalan sempoyongan
menuju ke arahnya. Si kakek Rombeng
terbatuk beberapa kali, darah berlelehan dari celah-celah
bibirnya. Buang Sengketa semakin merasa iba saja begitu melihat
keadaan si kakek yang agaknya terluka
cukup parah. "Orang tua... lukamu cukup parah! Kau harus segera mendapat pertolongan...!"
ujar Buang Sengketa merasa sangat prihatin.
Si kakek geleng kepala lalu terkekeh.
"Aku tak apa-apa, orang muda, aku
mengaku kalah! Untuk itu aku akan memenuhi janjku yang pertama...!"
"Janji...!" sela pemuda itu. "Aku lupa apa janjimu...." sambungnya pula.
"Bocah bukankah aku telah berjanji
andai aku kalah, aku akan cerita tentang
Lembah Halilintar" Dan karena ternyata aku kalah aku ingin mengatakan sesuatu
padamu dan juga telah siap untuk mengabdi padamu.
Akan tetapi sebelumnya, bolehkah aku yang
tua ini tahu, siapa namamu, dari mana asal usulmu dan siapa pula gurumu...!"
kata si kakek rombeng. Mendapat pertanyaan beruntun Buang Sengketa jadi tergelak.
"Kakek Rombeng, dengan pertanyaan
seabrek-abrek seperti itu yang mana lebih
dulu yang harus kujawab...?"
"Hehehe... terserah saja. Toh aku hanya seorang abdimu...!" ujar
si kakek kini berubah ramah. Begitu si kakek menyebut-
nyebut abdi, Buang Sengketa menggelengkan kepala: 'Tidak! Kau bukan
seorang abdi, kalau kau

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih tetap menyebut-nyebut dirimu sebagai seorang
abdiku maka aku tak akan sudi mendengar
ceritamu dan akan segera pergi dari tempat ini...!"
"Baiklah... baiklah! Kalau engkau tak ingin aku mengabdi padamu. Tapi jawab dulu
pertanyaanku...!" sela si Kakek Rombeng.
Sementara si Kembar dari Bukit Sumplung
pun kini sudah berkumpul dan bergabung
dengan mereka, "Aku paling tidak suka bicara muter-
muter! Untuk itu kalian dengarlah apa yang akan kukatakan ini." kata Buang
Sengketa, lalu menarik nafas sejenak. Lalu dipandanginya ketiga orang itu masih dengan tatapan curiga.
"Orang tua, sesungguhnya aku bukanlah orang
yang suka mengagung-agungkan
nama akan tetapi agar kalian tidak merasa
penasaran dengan terpaksa aku harus mengatakannya juga. Namaku Buang Sengketa, asalku dari seberang, sedangkan
guruku... aku tak bisa mengatakan siapa
guruku...!"
Agaknya si kakek menjadi sangat maklum, untuk itu dia pun menyela: "Siapa pun adanya gurumu itu aku sangat yakin
bahwa dia berilmu sangat tinggi, bahkan
secara sepintas rasa-rasanya jurus-jurus
yang kau pergunakan tadi aku pernah
mengenalnya. Tapi tak mungkin... sebab
tokoh yang sangat menggegerkan itu sudah
ratusan tahun yang lalu adanya...!"
"Kau terlalu
memuji setinggi langit,
orang tua...." sela Buang Sengketa.
Tanpa menjawab protes si pemuda. Si
Kakek Rombeng langsung bicara pada persoalan yang sebenarnya.
"Buang Sengketa... maafkan aku karena telah menguji segala kemampuanmu! Akan
tetapi hanya dengan cara itulah aku bisa
mengetahui. Apa yang kau inginkan dengan
maksud apa kau datang ke Neraka Lembah
Halilintar...?"
Masih belum selesai si kakek berbicara,
tiba-tiba saja Buang Sengketa memotong.
"Tunggu dulu, orang tua! Sedari tadi kau menyebut-nyebut Neraka Lembah
Halilintar, apakah maksudmu...!"
"Aku mengatakan demikian karena memang benar adanya, bahwa lembah itu
kini benar-benar berubah menjadi sebuah
neraka bagi mereka pemburu-pemburu harta
karun itu...!" ujar si kakek lebih lanjut.
Tentu saja keterangan si kakek sangat
menarik perhatian Buang Sengketa, untuk itu dia kembali menyela: "Sesungguhnya
apakah yang telah terjadi di Lembah Halilintar, orang tua...?"
Ditanya seperti itu, kakek berpakaian
compang camping ini nampak terdiam tiba-
tiba saja wajahnya tertunduk sedih. Lalu
tanpa terasa beberapa butir air matanya
menggelinding menuruni kedua pipinya yang
keriput. Kemudian dengan suara tersendat,
dia berkata: "Semuanya ini adalah karena salahku, dulu lembah itu merupakan
sebuah daerah yang sangat damai. Secara turun
temurun keluargaku tinggal di sana. Kami
hidup dari has il bercocok tanam. Akan tetapi sejak
kedatangan laki-laki keparat itu, semuanya menjadi berubah. Dia yang pada
mulanya hanya hidup menumpang pada
kami, akhirnya merampas segala yang kami
miliki. Mulanya kami tak tahu mengapa dia
begitu berhasrat untuk memiliki lembah itu.
Akan tetapi akhirnya kami tahu juga, kiranya di luar sepengetahuan kami. Lembah
itu merupakan yang besar...!"
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba saja
Buang Sengketa menyela: "Mengapa orang tua
tidak melawannya atau sekaligus mengusir orang itu dari tanah leluhurmu?"
tanya Buang Sengketa dengan penasaran
sekali. Mendapat pertanyaan seperti itu si Kakek
Rombeng tersenyum getir, Buang melihat
ada sesuatu yang nampak menekan perasaan si kakek.
"Bukan kami tak mengadakan perlawanan, bahkan keluargaku pun hanya
tinggal aku yang tersisa. Orang itu di
samping memiliki kepandaian yang sangat
tinggi, tetapi juga seorang ahli sihir yang tiada duanya. Bahkan dua orang
anakku telah dis ihir menjadi burung hantu...!"
Terkejutlah pendekar dari negeri Bunian
itu begitu mendengar apa yang baru saja
dikatakan oleh si kakek. Dengan cepat dia
memotong. "Orang tua, jadi tepat seperti apa yang kuduga,
bahwa sesungguhnya burung- burung itu merupakan manusia yang telah
disihir olehnya...?"
"Benar, Buang. Mereka berasal dari
tokoh-tokoh sakti, yang ditugaskan menjadi pengawal
Lembah Halilintar, sedangkan kebanyakan dari padanya adalah penduduk
desa biasa yang sebelumnya merupakan
pemburu harta. Jadi burung-burung itu
terbagi antara yang biasa dan yang buas...!"
Tahulah Buang Sengketa dengan makna
yang baru dikatakan si kakek rombeng.
Kalau begitu dia segera harus turun tangan.
Dengan menggertakan rahangnya dia kembali bertanya pada si kakek: "Orang tua, siapakah si keparat ahli sihir
itu...?" "Namanya Nukman Jaya Tiga Momba...!"
Buang Sengketa mengangguk- anggukkan kepala, namun begitu dia teringat akan sesuatu. Kembali matanya
melirik pada ketiga orang itu dengan tatapan menyelidik.
"Orang tua... apakah gadis cantik yang menjadi pemilik waning dan penginapan itu
anakmu...!" tanya si pemuda.
Mendadak si Kakek Rombeng terkekeh.
"Anakku..."
Sungguh beruntung aku mempunyai anak secantik dia, agaknya kau
kepincut pada gadis itu...!" si Kakek Rombeng menyindir. Diejek seperti itu,
seketika wajah pendekar tampan ini tampak
memerah. Dengan dia menegur: "Siapa sudi pada perempuan siluman yang setiap
waktu dapat berubah menjadi burung hantu yang
menakutkan!"
Si kakek tersenyum lega, "Syukurlah
kalau kau sudah mengetahuinya! Dan perlu
kau ingat bahwa dia adalah anak musuhku...!"
Tentu saja jawaban si kakek membuat
Buang Sengketa merasa heran, kalau gadis
itu merupakan anak musuhnya, tapi mengapa si kakek tidak menculiknya atau
bahkan membunuhnya" Bahkan dia sendiri
sempat melihat bahwa si kakek berkunjung
di kedai itu. Apakah artinya semua ini" Batin pemuda itu.
* * * * * 11 Agaknya Kakek Rombeng ini mengetahui
apa yang sedang difikirkan oleh si pemuda.
Sebab tak begitu lama kemudian dia menyela: "Kau jangan salah paham dan
mungkin dalam hatimu bertanya-tanya,
mengapa aku tak melakukan seperti apa
yang ada di dalam fikiranmu" Perlu kau
ketahui, bahwa gadis itu memiliki tingkat
kepandaian jauh di atasku. Aku tak mampu
menandingi segala ilmu yang dimilikinya...!"
Lagi-lagi Buang Sengketa memotong:
"Kalau memang benar apa yang kau katakan itu, akan tetapi mengapa justru kau
kulihat malah datang ke kedai itu?"
Melihat kecurigaan Buang Sengketa, si
Kakek Rombeng tertawa tergelak-geiak.
Setelah itu sambil tetap terkekeh dia menyela: "Buang Sengketa! Kau tak perlu curiga.
Ketahuilah, aku tak pernah bermusuhan dengannya, dan sesungguhnya
dia seorang gadis yang baik, jauh berbeda
dengan sikap ayahnya. Akan tetapi karena
dia hanya ingin berbakti pada orang tuanya, mau tak mau dia harus patuh dengan
segala apa yang diperintahkan oleh orang

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuanya...!"
"Hemm... hebat! Sungguh kau orang tua yang bijaksana, walau menderita sekali
pun...!" Buang Sengketa tersenyum mengejek. "Aku memang tolol, bocah... akan tetapi semua
itu karena aku tidak sanggup mengatasi kesaktian yang dimilikinya. Akan tetapi aku yakin kau mampu mewakili
aku...!" ujar s i Kakek Rombeng. Seketika itu Buang
Sengketa memelototkan
matanya pada si kakek. "Kalau aku tak mau melakukannya, kau
mau apa...?"
"Kalau pendekar tidak merasa kasihan
dengan apa yang dialami oleh para pemburu
harta itu. Tentu kami juga tidak bisa
memaksakan kehendak kami pada pendekar."
Tiba-tiba si Kembar ini memberanikan
diri ikut bicara. Tidak lagi melotot, kali ini sepasang mata Buang Sengketa
bagai mau meloncat ke luar, begitu mendengar ucapan
si Kembar muka pucat ini.
"Hei... Kembar kurang darah! Aku tak
perlu nasehatmu...!"
tukasnya sambil menuding pada si Kembar dari Bukit Sumplung ini. Dibentak seperti itu dua orang kembar
ini langsung tutup mulut. Kini
pendekar Hina Kelana itu kembali menoleh
pada si kakek, dipandanginya wajah lelaki
tua yang banyak menanggung derita. Tiba-
tiba saja dia merasa sangat iba pada si
kakek, kemudian Buang Sengketa berucap:
"Kakek Rombeng, aku telah memutuskan
agar secepatnya aku sampai di Lembah
Halilintar, untuk itu bagaimana saranmu...?"
Sudah barang tentu keputusan pemuda
itu sangat melegakan hati si kakek, sebab
setelah mengetahui kehebatan si pemuda.
Kakek Rombeng itu merasa, mungkin hanya
Buang Sengketa seoranglah yang mampu
melawan ahli sihir Nukman Jaya Tiga Momba.
Itu makanya dengan senang hati dia segera
berujar: "Untuk sampai di lembah itu kau harus dapat mengalahkan burung-burung
jejadian yang telah dipengaruhi oleh si
keparat itu terlebih dulu! Jumlahnya yang
ribuan ekor itu mengharuskan kau agar
selalu bersikap waspada. Kita harus terpisah, dan menyerbu dari dua arah.
Mungkin aku dan kawanku ini hanya dapat membantumu
sebatas membasmi burung-burung buas itu.
Sedangkan untuk menghadapi Nukman Jaya
Tiga Momba, sepenuhnya kuserahkan padamu...!" kata si kakek berterus terang.
Namun tiba-tiba Buang Sengketa me-
nyela: "Bukankah tadi kau bilang bahwa burung-burung
itu merupakan jelmaan manusia, begitu tegakah kau membunuhnya...?" tanya Buang Sengketa.
Si kakek tertunduk sedih, beberapa saat
lamanya dia hanya terdiam. Akan tetapi
kemudian dia berkata tegas: "Walaupun mereka
itu manusia kau tak mungkin mengalah pada mereka! Sebab mereka itu di
bawah pengaruh Nukman Jaya Tiga Momba.
Burung-burung itu sedemikian buas dan
sangat berbisa sekali. Kalau dagingmu tak
ingin hancur dicabik-cabiknya,
sudah seharusnya kau mengambil keputusan yang
bijaksana...!" jelas si kakek rombeng. Buang Sengketa kembali manggut-manggut.
"Baiklah, aku sangat setuju dengan
saranmu! Dan kuharap saja kita masih dapat berjumpa lagi dalam keadaan
hidup...!" kata pemuda itu dengan diiringi seulas senyum
getir. "Aku juga berharap begitu...!" sela si kakek.
Demikianlah, setelah segalanya menjadi
jelas, mereka segera berpisah. Akan tetapi dengan
satu tujuan. Neraka Lembah Halilintar tentunya.
Cuaca berkabut di siang hari itu, mengiringi langkah-langkah Pendekar Hina
Kelana. Namun sedikit pun keadaan ini tiada mengurangi
semangat Buang Sengketa untuk dapat secepatnya sampai di Lembah
Halilintar. Ketika tak begitu lama kemudian murid si Bangkotan Koreng Seribu ini
segera berkelebat. Dengan mempergunakan ajian
Sapu Angin, sebentar saja tubuhnya telah
lenyap ditelan bayang-bayangnya sendiri.
Hanya dalam waktu sekejap saja, Buang
Sengketa telah jauh meninggalkan hutan
belantara Mentoak dan Lembah Halilintar.
Untuk sesaat dia menghentikan langkahnya.
Sepasang matanya nanar memandang pada
keadaan di sekelilingnya.
Pemuda itu menyadari beratus-ratus
pasang mata memandang padanya dengan
nafsu membunuh yang berkobar-kobar.
Pendekar dari Negeri Bunian ini segera
tingkatkan kewaspadaannya. Dengan sikap
tenang dia terus melangkah, namun begitu
langkahnya baru beberapa tindak. Dengan
tiba-tiba diawali dengan suara riuh, bermunculanlah ratusan burung hantu meluruk ke arahnya. Dengan ganas burung-
burung itu menyambar dan menyerang si
pemuda tanpa ampun. Buang Sengketa
segera bertindak. Dengan mempergunakan
sebuah jurus andalan si Hina Mengusir Lalat dia segera bertindak cepat. Bagai
sebuah baling-baling, tangan berputar melindungi
tubuhnya. Akan tetapi jumlah burung-burung mengerikan
itu jumlahnya semakin bertambah banyak saja. Buang Sengketa
melompat kian ke mari. Laksana seekor
monyet yang kebakaran ekor, dia berjingkrak, melompat, menendang bahkan
mencaci maki. Meskipun begitu, burung-
burung itu semakin bertambah gencar menyerangnya. Hingga kemudian kesabarannya pun
habislah sudah. Diawali dengan
jeritah dahsyat melengking. Tidak pelak lagi kiranya kini pemuda itu sudah mempergunakan
sebuah ilmu sakti yang diberi nama ilmu
Pemenggal Roh. Demikianlah setelah berjumpalitan beberapa kali, pemuda itu
nampak berdiri tenang. Burung-burung hantu itu terus menyambar tanpa ampun. Akan
tetapi ketika tidak berapa lama kemudian,
terdengar kembali jerit menggelegar. Tak
pelak lagi, bagai daun-daun kering, ratusan burung-burung itu, diawali dengan
pekik kematian, nampak rontok ke bumi. Tubuh
burung-burung hantu itu bertebaran di mana-mana, akan tetapi, keanehan segera
terjadi. Secara perlahan namun pasti ujud
burung-burung yang sudah menjadi bangkai
itu segera berubah dan kembali pada asalnya. Buang Sengketa meskipun sebelumnya sudah diberi tahu oleh si kakek rombeng tak urung merasa sangat
menyesal dengan kenyataan yang dialaminya. Dia
tidak dapat memikirkan kenyataan ini lebih jauh lagi, karena tak begitu lama
kemudian bagai tak ada habis-habisnya terdengar
kembali jerit suara burung yang sama dalam kemarahan. Begitu pemuda itu menoleh
ke arah datangnya suara, kiranya burung-
burung itu telah begitu dekat dan langsung menyambar-nyambar menyerang si
pemuda. Buang Sengketa tidak dapat berfikir panjang.
Burung hantu yang jumlahnya menjadi
berlipat ganda itu terus mencecamya tanpa
ampun. Pendekar dari Negeri Bunian ini
menjadi kalang kabut Akan tetapi tanpa
membuang-buang waktu lagi Buang Sengketa segera lipat gandakan tenaganya,
hingga hanya dalam waktu yang singkat dia
telah bersiap-siap kembali dengan ajian Pemenggal Rohnya yang sangat ampuh itu.
Lagi-lagi terdengar suara teriakan yang
menggelegar. "Heig... heaaaat...!"
Jerit dan pekikan Buang Sengketa terdengar sambung menyambung. Bagai


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rentetan gemuruh halilintar tiada terhenti.
Jerit kepanikan dan pekik kematian berbaur menjadi satu. Puluhan burung-burung
hantu dan bahkan ratusan, berjatuhan dan menggelepar mati. Berserakan bagai puing
puing bangunan yang runtuh.
Begitu pemuda ini baru
saja akan menarik nafas, terlihat kembali burung-
burung yang sama meluruk ke arah pemuda
ini. Meski pun jumlahnya hanya mencapai
puluhan ekor akan tetapi burung-burung ini lebih ganas dan bahkan lebih buas
dari para pendahulunya.
Menghadapi kenyataan seperti ini pendekar dari negeri Bunian ini tak ingin berlama-lama.
"Burung-burung
keparat... sungguh malang sekali nasibmu! Kau datang dari jauh ingin mencari penghidupan baru...
siapa sangka begini jadinya. Enyahlah dari hadapanku, sebelum cahaya maut kejam
merenggutmu...!"
Usai dengan bentakannya itu, dengan
di ringi pekik menggelegar, Buang Sengketa segera kiblatkan kedua tangannya ke
segala penjuru. Seberkas sinar Ultra Violet melesat dan menderu ke segala arah
dengan begitu cepatnya. Tak ayal lagi, jerit kematian
kembali membahana meningkahi sunyi. Dengan tubuh hangus disertai lelehan darah yang keluar dari telinga maupun
hidung burung-burung itu secara bersamaan mereka
pun rontok ke bumi. Apa yang terjadi
sesudahnya, tidak jauh beda dengan burung-
burung lainnya. Secara perlahan
tubuh burung-burung ini kembali pada ujud semula. Melihat kenyataan ini, pendekar Hina Kelana ini semakin tertunduk sedih.
Dia merasa sangat menyesal dengan kejadian
itu, kini ditatapnya mayat-mayat yang bergelimpangan itu dengan hampa. Puluhan
bahkan ratusan nyawa telah melayang karena tangannya. Akan tetapi begitu dia
ingat bahwa untuk mewujudkan sesuatu itu
harus rela mengorbankan yang lain. Maka
sedikit banyaknya hatinya merasa lega.
"Semoga pengorbanan kalian tidak sia-
sia...!" kata pemuda itu seorang diri.
Pada saat itu sesungguhnya pemuda itu
tak menyadari bahwa ada sepasang mata
yang sejak tadi mengawasi segala sepak
terjangnya. Bahkan pemilik sepasang mata
itu sempat dibuat terbelalak tak percaya. Kini semakin bertambah kagumlah dia
pada kehebatan si pemuda. Tak berapa lama
kemudian ketika dia melihat bahwa pemuda
itu bermaksud meninggalkan tempat itu,
maka melompatlah dia dari tempat persembunyiannya. Buang Sengketa yang
merasa dikejutkan oleh kehadiarannya serta merta berbalik ke arah datangnya
suara. Begitu melihat kehadiran orang itu, maka
terkesiaplah darah Buang Sengketa. Dengan
sikap sangat hati-hati dan waspada, Buang
Sengketa menegur: "Hemmm... rupanya kau menguntitku. Apa yang kau inginkan...?"
tanya pemuda itu tiada berkedip.
Gadis yang bernama Jelita itu dengan
pandangan penuh arti, menjawab lirih:
"Tuan benar-benar seorang laki-laki yang hebat! Hanya dalam beberapa gebrakan
saja burung-burung menakutkan itu telah binasa
di tangan Tuan...!"
Mendengar jawaban si gadis Buang
Sengketa tersenyum mencibir: "Bukan burung-burung itu yang mati! Akan tetapi
manusia-manusia yang malang itu yang
kojor!" ujar Buang Sengketa acuh tak acuh.
Lagi-lagi si gadis nampak tersenyum
walau dia tahu si pemuda memandang sinis
padanya. "Apa pun kenyataannya, Tuan merupakan orang yang pantas mendapat
pujian... aku kagum pada Tuan...!"
"Oh begitu. Sayangnya aku bukanlah
orang yang gila sanjungan!" ujar Buang Sengketa,
tak lama kemudian ia menyambung lagi: "Orang secantik kau, apakah tidak takut keluyuran di hutan ini
seorang diri...!" pancing pemuda itu.
Kali ini gadis itu tertawa: "Hihihi... Tuan lucu. Aku sudah biasa pergi di hutan
sendirian...."
"Kau tidak takut kalau burung-burung itu menyerangmu...!" sindirnya.
Agaknya, gadis yang bemama Jelita itu
merupakan seorang gadis yang cukup cerdik.
Terbukti dia mas ih saja dapat berkilah:
"Burung itu hanya mau menyerang pada
orang yang belum dikenalnya tuan, sedangkan aku sudah sangat sering bertemu
dengan burung-burung itu. Selama ini dan
sampai sekarang mereka tak pernah menyerangku...!"
"Hemm... gadis ini sungguh licin untuk dijebak." batin Buang Sengketa mulai
kesal. "Agaknya kau merupakan pemilik dari
burung-burung itu...!" kata Pendekar dari Negeri Bunian ketus. Terbelalaklah
mata gadis ini begitu mendengar tuduhan Buang
Sengketa. Akan tetapi dengan berpura-pura
marah si gadis menegur: "Kejam sekali tuduhan Tuan... Tuan tak berperasaan!
Ketahuilah, Tuan. Sengaja aku meninggalkan kedaiku, semata-mata hanya karena aku
mengkhawatirkan keselamatan Tuan...!"
Mendengar jawaban si gadis mendadak
Buang Sengketa tertawa tergelak-gelak:
"Hehahaha... hahaha... tidak salahkah apa yang aku dengar" Kalau tiba-tiba saja
ada seorang gadis yang sangat cantik mengkhawatirkan keselamatan gembel Hina
Kelana seperti aku ini! Tetangga bukan
saudara bukan... mengapa justru kau mengkhawatirkan keselamatanku...?" tanya Buang Sengketa.
Mendapat pertanyaan seperti itu tentu
saja si gadis menjadi kalang kabut. Wajahnya mendadak berubah
memerah. Sebagai seorang gadis walaupun dia merupakan anak seorang sesat sudah barang
tentu dia tidak bisa melupakan kodratnya
sebaga wanita. Baginya terasa sangat mustahil untuk menyatakan perasaan isi
hatinya pada si pemuda, terlebih-lebih Buang Sengketa baginya merupakan sosok
yang masih sangat asing dalam hidupnya. Akan
tetapi dia tidak dapat membohongi perasaannya sendiri.
12 Haruskah dia mengatakan keadaan yang
sebenarnya, bagaimana pula andai nantinya
pemuda itu menjadi salah mengerti" Dalam
keadaan resah seperti itu, tiba-tiba saja
Buang Sengketa nyeletuk: "Mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku!"
"Apa yang perlu kujawab, pertanyaan
Tuan yang aneh-aneh saja...!" ujar si gadis dengan wajah kemerah-merahan.
"Agaknya kau telah jatuh cinta padaku, bukan...!" kata Buang Sengketa sekenanya.
Jelita semakin tesipu malu, kemudian dengan lirik-lirik mesra dia menjawab.
"Mana ada orang
mau pada gadis semacamku ini...!"
Pendekar Hina Kelana terbatuk beberapa
kali begitu mendengar jawaban si gadis.
Akan tetapi agaknya sedikit pun dia tidak
terpengaruh dengan gadis itu, karena beberapa saat kemudian dia berkata tegas:
"Sayang... sungguh sayang...!"
"Apa maksudmu, Tuan...?" sela Jelita harap-harap cemas.
Sebelum menjawab, Pendekar dari Negeri Bunian itu menatap tajam pada si
gadis. Dalam hati dia membenarkan apa
yang dikatakan oleh si Kakek Rombeng.
Gadis ini sesungguhnya merupakan seorang
gadis yang jujur dan lugu, siapa pun tak
akan menyangka kalau dia anak seorang ahli sihir yang sangat kejam. Akan tetapi
walau bagaimana pun baiknya hati gadis itu sedikit pun Buang Sengketa tetap
tidak ingin terpengaruh padanya. Untuk itu dia segera
berkata tegas: "Aku paling tidak suka pada orang
yang selalu bersikap pura-pura. Maaf... lebih dari itu, aku tak akan bersekutu dengan anak seorang tukang
sihir...!"


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terkesiaplah darah gadis jelita ini, wajahnya berubah pucat. Rasanya dia ingin
menangis. Merah bercampur malu berbaur
menjadi satu, akan tetapi karena perasaan
cintanya itulah membuatnya berusaha bersabar. Lalu dengan bibir gemetar dia pun bertanya:
"Tuan... dari mana Tuan mengetahui semuanya ini" Apakah Kakek
Rombeng orang tua edan itu yang mengatakannya padamu...?"
Lagi-lagi Buang Sengketa tersenyum
mengejek: "Darimana pun aku memperoleh keterangan ini. Apa peduliku... kau tidak
mungkin mungkir bahwa malam itu kau telah
berubah menjadi seekor burung hantu...."
tukas pemuda itu dengan sesungging senyum kemenangan. Akan tetapi betapa
sabarnya gadis yang bernama Jelita ini,
sebab sedikit pun dia tidak terpengaruh
dengan penghinaan yang sengaja dilakukan
Buang Sengketa demi memancing kemarahannya. "Tuan... mengapa tuan berkata sekejam
itu. Tidak bisakah tuan membedakan yang
mana musuh dan yang mana kawan. Ketahuilah Tuan bahwa aku bersedia ikut
dengan Tuan ke mana pun Tuan mau, asal
saja Tuan mau mengerti bagaimana perasaanku ini!" sela Jelita dengan wajah tertunduk sedih.
"Maaf, Nona yang baik. Aku menghargai akan maksud baikmu! Untuk itu minggirlah
aku mau pergi ke Lembah Halilintar...!" kata Buang Sengketa.
"Jangan, Tuan! Hal itu sangat berbahaya bagi Tuan, ayahku sangat kejam, sekali
Tuan bisa mendapat celaka...!"
tukas Jelita berusaha mencegah.
Pendekar Hina Kelana mendengus kesal:
"Kalau orang tuamu itu sangat kejam, sangat kebetulan sekali. Biar aku tidak
bertindak setengah-setengah...!"
"Jadi tuan tetap berniat ke sana" Untuk kemudian
membunuh ayahku...."
Jelita nampak khawatir sekali.
"Ya... sekalian mengobrak-abrik Lembah Neraka itu...!" jawab Buang Sengketa.
Demi mendengar keputusan si pemuda, wajah
gadis jelita ini nampak berubah merah
padam. Jelita memang benar-benar marah,
walau sesungguhnya dia telah jatuh cinta
pada si pemuda, akan tetapi sebesar apa pun cintanya pada pemuda itu siapa rela
orang tua kandungnya diperlakukan tidak baik.
Walau sesungguhnya gadis itu pun tahu
bahwa ayandanya merupakan orang yang
sangat kejam. Dia telah membujuk, memohon bahkan telah mengutarakan perasaannya. Kalau semua itu tak membawa
hasil bahkan orang yang berdiri di hadapannya itu malah berniat mencelakakan
orang tuanya. Sebagai seorang anak yang
ber-akti tentu dia tak akan membiarkan
pemuda itu berbuat semau-maunya.
Demikianlah yang ada dalam fikiran si
gadis. Ketika setelah beberapa saat lamanya mereka saling terdiam, kini gadis
itu segera bertanya
kembali: "Jadi Tuan tetap bermaksud meneruskan niat Tuan...?"
"Keputusanku tidak bisa ditawar-tawar lagi...!" kata Buang Sengketa tegas.
Mendengar jawaban Buang Sengketa,
dengan perasaan kecewa gadis itu pun
berubahlah pendiriannya.
"Kalau Tuan memang sudah tidak dapat
di cegah lagi, kalau begitu akulah orang
pertama yang akan merintangi niatmu itu...!"
sela Jelita dengan tatapan berapi-api. Mendengar keputusan si gadis, Buang Sengketa nampak tergelak-gelak.
"Huahahaha... bagus, membabat rumput
kalau bisa memang harus sampai ke akar-
akar-nya...!"
Buang Sengketa yang sudah mengetahui
kehebatan gadis jelita ini dari si Kakek
Rombeng sudah sejak awal sudah mempersiapkan segala sesuatunya.
"Tuan, sungguhpun Tuan dapat memusnahkan ratusan ribu ekor burung
hantu, hal itu tidak akan berarti banyak
bagiku! Hati-hatilah...!"
kata si gadis mengingatkan. Selesai dengan ucapannya,
tanpa banyak berkata lagi Jelita mulai
melancarkan serangan-serangannya. Setiap
pukulan yang dilancarkannya selalu mengarah pada bagian-bagian yang mematikan. Baru beberapa jurus saja si
gadis melakukan serangan, sudah cukup bagi Buang Sengketa untuk mengetahui bahwa
gadis cantik ini benar-benar patut diperhitungkan. Kini dengan permainan silat tangan
kosong Jelita menggempur
dari segala arah, dengan jurus-jurus andalan
tangan-tangan si gadis bergerak demikian
cepat. Bahkan dalam pandangan si pemuda,
tangan-tangan itu jumlahnya seperti bertambah banyak. Tak ayal lagi Buang
Sengketa segera membentengi diri dengan
jurus si Gila Mengamuk. Dengan gerakan
ringan sekali tubuhnya berkelebat kian ke
mari. Terkadang memukul membalas serangan si gadis di lain saat dia mengelak, menendang dan di lain kesempatan
dia menggaruk pantatnya sendiri. Pertarungan
nampak semakin seru, masing-masing dari
mereka punya ambis i yang sama yaitu
menjatuhkan lawan secepat mungkin. Sementara itu si gadis dengan mempergunakan jurus Burung Hantu Mengintai Mangsa nampak sangat lincah.
Dengan ilmu mengentengi tubuh yang sangat
sempurna dia terus mencecar bahkan berkelebat kian ke mari. Menghadapi lawan
yang sangat tangguh. Buang Sengketa terus
kerahkan segala kemampuan yang ada.
Suara pukulan saling bercuitan, debu dan
batu kecil beterbangan di sekitar tempat itu.
Agaknya kekuatan mereka sangat berimbang. Hingga pada satu kesempatan, si gadis
berhasil menyarangkan sebuah pukulannya dengan telak ke dada Pendekar
dari Negeri Bunian ini. Si pemuda terjengkang dua tombak. Namun dengan
cepat dia bangkit kembali. Beberapa saat dia pegangi dadanya yang terasa sesak.
Namun begitu dia menarik nafas rasa sakit itu pun hilang. Melihat kenyataan itu gadis
jelita itu tersenyum penuh arti.
"Sudan kubilang, berhati-hatilah,
Tuan...!" ulangnya memperingatkan. Buang Sengketa mendengus.
"Huh... aku masih belum apa-apa.

Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Haait...!"
Buang Sengketa menerjang kembali. Pertarungan semakin seru pun
terjadi lagi. Buang Sengketa kembali lipat gandakan
serangannya. Jelita terus mendesaknya tanpa ampun, dalam waktu
sekejap saja pemuda itu menjadi kalang
kabut. Hingga tak lama kemudian Buang
Sengketa berjumpalitan menjauhi pertarungan. Gadis itu terus memburu ke
mana pun Buang mengelak, secepat kilat
Buang mengerahkan setengah dari tenaganya ke arah kedua tangannya, kini dia telah bersiap-siap dengan pukulan
Empat Anasir Kehidupan yang sudah tidak diragukan akan kemampuannya.
Saat itu Jelita sudah datang kembali
dengan sebuah pukulan Burung Hantu Melempar Mangsa, tak ayal lagi pemuda itu
mendahului. Seberkas sinar Ultra Violet
meluncur cepat dengan disertai suara menderu-deru. Sementara itu dari pihak si
gadis, selarik sinar ungu juga meluruk ke
arah Buang Sengketa. Tak dapat dihindari
lagi. Dua tenaga sakti itu pun bertemu.
"Blaammm...!"
Bumi seakan amblas, seketika udara di
sekitarnya terasa sangat panas. Tujuh Jelita terpelanting
berpuluh-puluh tombak, sementara Buang Sengketa sendiri tunggang
langgang. Dengan cepat Buang Sengketa
segera bangkit kembali, begitu pun halnya
dengan Jelita, meskipun tubuhnya nampak
limbung, akan tetapi seulas senyum getir
menghias di bibirnya yang menawan.
Sambil mencabut senjatanya yang berupa sebuah kipas yang berwarna kuning
keemasan dia berucap: "Tuan, kau memang benar-benar hebat! Kalau kau punya
senjata cabutlah... sebab aku juga tidak pernah
bertindak setengah-setengah."
Kemudian sambil memandang sinis pada
si gadis dia menyela: "Bila tiba saatnya tanpa kau perintah pun tentu aku akan
mencabut senjata-ku...r
Belum lagi Buang Sengketa selesai
dengan kata-katanya, gadis
ini dengan geram telah meluruk kembali. Buang Sengketa menyadari, meskipun senjata si
gadis hanya sebuah Kipas, namun dia dapat
merasakan bahwa senjata itu merupakan
senjata yang sangat ampuh. Di tangan si
gadis senjata itu berkelebat kian ke mari, mengintai setiap pertahanan yang
lemah untuk kemudian bagai malaikat maut, mencabut nyawa dengan paksa. Buang terus
menghindar sambil melakukan serangan-
serangan balasan. Sesekali dia berjumpalitan ke udara, di lain saat tubuhnya
berkelit menghindari kipas ampuh yang datangnya
bertubi-tubi. Hingga pada suatu saat pendekar Hina Kelana ini nampak terdesak
dengan hebat, senjata di tangan si gadis terus
meluncur mengarah ke lehernya. Buang
sudah tidak mempunyai pilihan lain. Dengan mempergunakan
pukulan Empat Anasir Kehidupan tingkat kedua pemuda ini pun
kembali kiblatkan tangannya. Lagi-lagi selarik sinar Ultra Violet melesat begitu
cepat. Agaknya Jelita tidak menduga akan
datangnya serangan yang begitu cepat itu.
Dengan gugup, senjata kipas yang tadinya
meluncur untuk menebas leher lawannya,
dengan sangat cepat dia merubah kipas itu
untuk melindungi diri, tak pelak lagi.
"Braak... Plaaar...!"
Senjata di tangan Jelita hancur berkeping-keping dilanda pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang dilepaskan oleh pendekar Hina Kelana. Tubuh Jelita terjengkang beberapa tombak. Sementara
dari mulutnya menyembur darah segar.
Meskipun keadaannya sudah begitu gadis ini masih
menyunggingkan seulas senyum penuh arti. Buang Sengketa nampak diam
tiada bergeming. Tak lama setelah gadis itu berhasil menghimpun hawa murni,
dengan tegar dia kembali bangkit, kemudian dengan langkah mantap kini dia kembali
berhadapan dengan Pendekar dari Negeri Bunian yang
tampan namun bersikap dingin. Lalu dengan
tatapan sendu gadis itu memandang pada
Buang Sengketa beberapa saat lamanya.
"Tuan... sesungguhnya aku tak menghendaki hal ini terjadi, akan tetapi
kalau pun aku mati di tanganmu. Bagiku hal itu tidak menjadi soal...!"
"Kau sudah terluka, Nona, kau tak
mungkin mampu membendung seranganku..!" ujar Buang Sengketa dengan tatapan iba. Lagi-lagi si gadis
tersenyum getir, ada perasaan sedih bergelayut di
dadanya. "Tuan jangan berbangga diri! Aku masih mempunyai beberapa
ilmu yang belum pernah Tuan lihat...!"
Setelah berkata begitu, gadis ini tanpa
banyak cakap lagi kembali meluruk dan
mendesak Buang Sengketa, kali ini dengan
pukulan-pukulan yang sangat ampuh yang
juga dipenuhi dengan berbagai tipuan s ihir dipergelarkan
di depan pendekar Hina Kelana. Di lain waktu tubuh berubah menjadi kembar, dua, tiga dan empat dan
sudah barang pasti Buang Sengketa sering terkecoh. "Hemm... ilmu sihir." batin pemuda itu dalam hati. Dengan disertai
jeritan melengking Buang segera merubah variasi
jurus-jurus silatnya. Keadaan segera berubah, tanpa ampun pemuda itu sudah tak
memberi kesempatan pada si gadis untuk
mempergunakan ilmu sihirnya.
Kiranya jurus pamungkas yang diberi
nama Si Jadah Terbuang inilah yang kini
dipergunakan oleh pemuda itu. Saat-saat
berikutnya si gadis jelita semakin bertambah-tambah
terdesak. Hingga kemudian tubuhnya nampak melesat ke
udara. Keanehan pun segera terjadi. Sebab
hanya dalam waktu beberapa detik saja
tubuh si gadis telah berubah menjadi ribuan burung
hantu dan menyerang Buang Sengketa tanpa ampun. Meskipun tubuh si
gadis telah berubah menjadi ribuan burung
hantu namun dia masih dapat mengenali
yang mana sebenarnya gadis berada. Dalam
keadaan seperti itu sudah barang tentu
Buang Sengketa tidak ingin mati konyol.
Dengan cepat dia meraba pinggangnya.
Begitu pusaka Golok Buntung itu berada di
tangan sinar berwarna merah darah itu pun
memancar dari golok yang berada dalam
genggamannya. Burung hantu jelmaan Jelita
kembali menyambar tanpa mengenal rasa
jera. Pada saat itulah dengan di ringi satu pekikan dahsyat, golok di tangannya
pun berkelebat. "Craaas...!"
Pekik kesakitan
dari mulut seorang gadis, menyertai ambruknya tubuh si gadis
dengan bersimbah darah. Buang segera
memburunya, gadis cantik itu merintih-rintih sambil memandang penuh arti,
sementara darah terus mengucur dari perutnya yang
terobek. Begitu pun dia masih tetap tersenyum, Buang Sengketa nampak tertunduk sedih.
"Tuan... biarkanlah aku mati di pangkuan ayahku!
Tuan benar-benar hebat. Aku semakin kagum padamu, kalau kau ingin


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuh ayahku. Kelemahannya ada pada
lehernya. Selain itu, dia kebal terhadap
senjata apa pun. Sampai hari matiku aku
tetap mencintaimu, Tuan. Selamat tinggal...!" Setelah berkata begitu, tubuh Jelita kembali berubah ujud.
Burung hantu yang terluka itu setelah
begitu lama menatap pada Buang Sengketa
nampak menitikkan air mata. Pendekar Hina
Kelana ini jadi iba karenanya. Lalu dengan perasaan sedih dia menghampiri burung
jelmaan Jelita. Dengan penuh penyesalan
pula dia mengelus kepala burung itu. Lalu
tanpa sadar dia berucap: "Maafkan aku! Aku tahu sesungguhnya kau merupakan gadis
yang baik, aku berharap kau bisa sembuh
kembali...!"
kata Buang Sengketa lirih. Burung itu nampak menggelengkan kepala.
Agaknya dia sadar bahwa lukanya tak
mungkin tersembuhkan.
Kemudian dengan diiringi suara lirih,
setelah kembali memandang pada Buang
Sengketa beberapa saat
lamanya. Lalu dengan gerakan yang sangat dipaksakan
burung itu pun segera terbang meninggalkan Buang Sengketa seorang diri.
* * * * * 13 Ahli sihir Nukman Tiga Momba begitu
mengetahui putri satu-satunya datang ke
tempat kediamannya dalam keadaan luka
parah, nampak menjadi sangat
murka. Dengan segenap kemampuan yang dia miliki
dia berusaha menyelamatkan anak gadisnya
yang cuma satu-satunya itu. Namun karena
luka yang diderita anaknya memang cukup
parah, pada akhirnya gadis itu menghembuskan nafasnya di pangkuan sang
ayah. Sampai menjelang kematiannya kiranya gadis itu tetap tidak mau menyebutkan siapa yang telah melukainya.
Hal inilah yang menjadi penyesalan orang
tua itu. Kini si ahli sihir itu menangis
menggerung-gerung
bagai anak kecil. Dipeluknya tubuh anaknya yang telah kaku
menjadi mayat. Kemarahan yang meluap-
luap membuat tubuhnya yang jangkung itu
nampak meng-gigil. Dia segera menutupi
tubuh anaknya yang sudah membeku itu.
Lalu dengan menggertakkan rahang dia
berdiri, dan menatap nanar pada ruangan
sekitarnya. "Siapa pun yang telah melakukan semua ini, aku akan mencari dan membalasnya
dengan setimpal...!" geramnya.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba saja
terdengar suara tantangan dari luar.
"Ahli sihir Nukman Jaya Tiga Momba...
kau tak perlu repot-repot mencari siapa
pembunuh anakmu! Keluarlah kau, kalau
ingin tau siapa yang telah melakukannya...!"
Nukman Jaya Tiga Momba menggerendeng: "Keparat... belum tahu siapa aku rupanya...!" Sambil berkata
begitu tubuhnya berkelebat ke luar dari istananya.
Setelah berada di luar, tahulah laki-laki itu bahwa orang yang telah membunuh
anaknya itu ternyata hanya seorang pemuda berpakaian lusuh warna merah. Dengan
rambut di kuncir serta menyandang sebuah
priuk penuh jelaga di pundaknya. Dengan
kemarahan yang sudah mencapai ubun-
ubun, laki-laki itu langsung mendamprat:
"Gembel busuk... kau telah
membunuh anakku! Dosa apakah yang telah dia perbuat sehingga
kau begitu telengas membunuhnya.. ?"
Pemuda yang memang tak lain Buang
Sengketa adanya, tertawa sinis.
"Nyawanya saja
tidak cukup untuk menebus dosa-dosamu, masihkah kau ingin
berhitung soal hutang...!"
Laki-laki itu mendengus, kemudian menoleh ke salah satu pintu yang terbuka.
Selanjutnya dia memberi perintah: 'Tujuh
burung hantu pilihan, hadapi dan kunyah
tubuh di gembel ini, cepaat...!"
Sesuai dengan kata-katanya dari dalam
pintu itu berserabutanlah burung-burung itu keluar, pada saat yang sama
terdengar pula bentakan dari arah lain.
"Buang Sengketa, burung-burung keparat itu bagian kami...!"
Bersamaan dengan suaranya, tiba-tiba
saja kakek Rombeng telah hadir di antara
mereka disertai dengan si Kembar dari Bukit Sumplung. Nukman Jaya Tiga Momba
agak terkejut melihat kehadiran kakek ini. Akan tetapi meskipun begitu, tak begitu
lama kemudian dia membentak.
"Oh... rupanya setelah merasa punya
kawan yang dapat diandalkan kau baru
berani datang ke mari! Bagus hari ini aku
tidak segan-segan lagi mengirim kalian ke
liang kubur...!"
Berkata begitu, laki-laki bertampang
bengis itu langsung lancarkan satu serangan pada Buang Sengketa. Masih untung
sudah sejak semula pemuda ini telah bersiap siaga.
Kalau tidak tentu saja dia sudah mati konyol.
Dalam waktu sebentar saja pertarungan pun
segera terjadi. Si Kakek Rombeng dan si
Kembar dari Bukit Sumplung melawan kawanan burung hantu. Sedangkan Buang
Sengketa melawan ahli sihir Nukman Jaya
Tiga Momba. Pertarungan baru saja berlangsung beberapa jurus akan tetapi
segera terlihat
bahwa Buang Sengketa nampak sangat keteter, bahkan sekali pun
dia tak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan-serangan
balasan. Maklumlah pemuda ini, bahwa kini dia benar-benar meng-hadapi lawan yang benar-
benar tangguh. Dengan satu teriakan memekakkan
telinga kembali Nukman Jaya mendesaknya
tanpa ampun. Hingga pada satu kesempatan
pemuda ini sudah tidak dapat mengelak lagi, maka dengan nekad dia memapasi.
"Blarrr...!"
Laki-laki itu tersurut beberapa langkah,
akan halnya dengan Buang Sengketa yang
nampak terjengkang beberapa tombak. Nampaknya Nukman Jaya Tiga Momba sudah
tak memberinya ampun. Belum lagi Buang
Sengketa sempat bangkit, laki-laki itu telah memburunya, pukulan-pukulan sakti
pun dia lancarkan dengan gencar. Buang mengelak
kian ke mari. Ketika serangan itu kembali
datang bertubi-tubi, salah
satu darinya sempat luput dari perhatian pemuda itu. Tak pelak
lagi, pukulan yang diberi nama Gendewa Halilintar itu kembali melabrak
tubuh Buang Sengketa. Tubuh pemuda itu
terlempar beberapa tombak. Darah meleleh
dari celah-celah bibirnya. Dalam keadaan
seperti itu teringatlah Buang pada pesan si gadis
bahwa kelemahan orang tuanya terletak pada bagian lehernya. Buang Sengketa sudah tak ingin mengulur-ulur
waktu lagi. Dan dia pun tak ingin laki-laki itu sempat mempergunakan ilmu s
ihirnya yang terkenal jahat. Dengan cepat pemuda itu
segera bangkit.
Sementara itu Nukman Jaya Tiga Momba telah meluruknya kembali
dengan satu serangan yang mematikan.
Dengan cepat Buang Sengketa segera mencabut golok serta melolos cambuknya.
Sinar kemerahan serta warna pelangi nampak terpencar dari golok dan cambuk
yang tergenggam di tangannya itu.
Begitu tangan laki-laki itu terulur ke arah perut Buang Sengketa, dia segera
kiblatkan Golok Buntungnya. Disertai suara menjerit
golok itu menyambar ke arah tangan si laki-laki. Nukman Jaya menarik balik
tangannya. Sambil berseru kaget. Tak lama kemudian
laki-laki itu telah merubah jurus-jurus silatnya. Tapi sebaliknya Buang Sengketa
pun sudah tidak memberinya ampun. Segera
pula Buang memainkan Cambuk Gelap Sayuto yang berada di tangannya.
"Ctar! Ctarr! Ctar!"
Begitu cambuk itu terayun ke atas dan


Pendekar Hina Kelana 2 Misteri Neraka Lembah Halilintar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan bunyi yang merontokkan gendang-gendang telinga, seketika itu juga langit berubah hitam pekat. Mendadak
alam di sekeliling mereka menjadi gelap gulita.
Tak lama kemudian suara petir pun sambung
menyambung. Sementara cambuk di tangan
pemuda itu bagai mempunyai mata saja
terus bergerak mengejar si ahli sihir yang masih diliputi keheranan.
Nukman Jaya yang tadinya sudah bersiap-siap dengan ilmu sihirnya, jadi mengurungkan niatnya demi menyaksikan
keanehan yang terjadi, dan sudah barang
tentu hal itu sangat menguntungkan Buang
Sengketa. Dengan cepat dia bertindak, sekali saja golok di tangan pemuda itu
berkelebat, maka jerit lolong kematian pun membahana
memecah kesunyian lembah. Tubuh Nukman
Jaya Tiga Momba ambruk ke bumi dengan
nyawa melayang. Tamatlah riwayat Penguasa Lembah
Halilintar ini dengan keadaan sangat menyedihkan. Buang Sengketa segera menyimpan golok dan
cambuk pusakanya. Begitu
cambuk itu tersimpan kembali di pinggangnya. Keanehan pun terjadi kembali. Alam sekitar
yang tadinya gelap gulita secara perlahan kembali kepada keadaan
semula. Begitu Buang Sengketa menoleh dilihatnya Kakek Rombeng dan dua orang dari Bukit Sumplung
itu pun telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Dengan kematian Nukman Jaya
Tiga Momba, maka secara pasti pengaruh ilmu
sihirnya pun lenyap. Dan burung-burung
hantu itu pun kembali pula menjadi manusia biasa. Dengan segera Pemuda dari
Negeri Bunian itu pun berkelebat pergi.
TAMAT Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Beno Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Pendekar Mata Keranjang 2 Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Kemelut Iblis 2
^