Pencarian

Air Mata Di Sindang Darah 2

Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah Bagian 2


Tahulah Pendekar Hina Kelana bahwa Sepasang Sejoli dari Timur ini telah ciut
nyalinya. * * * 7 "Hemm Apakah kalian mengira bahwa aku akan membiarkan kalian pergi begitu saja!
Enak sekali...!" sela Buang Sengketa diiringi sesungging senyum rawan.
Memerahlah wajah Sepasang Sejoli
Dari Timur seketika itu juga. Untuk kabur bagi mereka bukanlah jalan yang sulit.
Akan tetapi bagaimana tanggapan kaum persilatan nantinya, tentu mereka akan
menertawakan tindakan yang pengecut itu.
Terlebih-lebih lawan yang mereka hadapi hanyalan bocah yang masih bau ingus.
Memalukan! "Gembel sombong! Jangan kira kau sudah mehang, kami akan mengadu jiwa denganmu."
Nenek rambut putih mendengus.
Bagus... biar aku tak usah
sungkan-sungkan membasmi bibit penyakit dari permukaan bumi ini...!"
Belum lagi Buang selesai dengan
kata-katanya Sepasang Sejoli Dari Timur sudah lancarkan satu rangkaian serangan
yang bertubi-tubi. Kakek rambut putih mencecar tubuh lawannya pada bagian bawab,
sedangkan si Nenek pesolek menyerang pada bagian atasnya. Dengan mempergunakan
jurus si Hina Mengusir Lalat tangan Buang Sengketa berputar bagai sebuah baling-
baling. Pada satu kesempatan Nenek rambut putih kirimkan satu sodokan mengarah
ke ulu hati sedangkan kaki kanan mengirimkan satu sapuan yang mengarah ke bagian
perut. Begitu pun Kakek rambut putih tak kalah hebatnya, dengan sebelah kaki kiri agak
ditekuk, kemudian tangan kanan kirimkan satu jotosan yang mengarah ke bagian
vital. Secara bersamaan mereka lancarkan serangan. Buang Sengketa secara
tiba-tiba pula rubah jurus-jurus
silatnya, si Gila Mengamuk.
Sebentar saja keadaan menjadi kacau balau, tubuh pemuda itu meliuk-liuk bagaikan
seekor ular Piton yang sedang marah. Sementara gerakan-gerakan
silatnya menjadi berubah tak beraturan, kadang kaki kiri menendang, tangan kanan
memukul atau bahkan tubuhnya melompat-lompat bagai seekor monyet yang terkena
penyakit gatal. Meskipun gerakan-
gerakan silat Pendekar Hina Kelana tak ubahnya bagai orang sinting yang lagi
mabuk. Akan tetapi sejauh itu serangan-serangan lawannya selalu dapat dia
kandaskan, bahkan sekali waktu dia dapat mengirimkan sebuah pukulan yang sangat
telak. Mengetahui lawannya dapat
mengelakkan bahkan mematahkan setiap serangan yang mereka lancarkan. Sepasang
Sejoli Dari Timur nampak sangat marah sekali. Kembali mereka menggempur Buang
Sengketa dari berbagai penjuru. Bahkan mereka sudah sampai pada tingkat jurus
silat yang paling tinggi yang mereka miliki. Sebegitu jauh semakin hebat
Sepasang Sejoli Dari Timur berusaha menekan kawannya, maka semakin menggila pula
gerakan-gerakan silat yang
dimainkan oleh si pemuda. Sementara itu pertarungan sudah memakan puluhan jurus.
Deru angin pukulan saling menyambar bercuitan debu dan pasir berterbangan
kemana-mana. Tapi masih belum ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar hidup-
hidup dalam pertarungan maut itu.
Kini Pendekar Hina Kelana merubah jurus-jurus silatnya. Gerakan silat yang
tadinya kacau balau tak beraturan kini telah berubah seperti biasa, akan tetapi
dia lebih hebat dan tak kalah hebatnya dengan gerakan-gerakan terdahulu. Jurus
apalagi kalau bukan jurus si Jadah Terbuang.
Dalam waktu sekejap saja Pendekar Hina Kelana sudah berada di atas angin.
Sepasang Sejoli Dari Timur semakin terdesak hebat. Tidak ada kesempatan bagi
mereka untuk berpikir lagi. Hingga pada satu kesempatan yang sangat tepat.
Buang Sengketa berhasil mendaratkan pukulannya pada batok kepala si Kakek rambut
putih. "Prook...!"
Si Kakek rambut putih melolong
setinggi langit, tubuhnya terpelanting beberapa tombak dengan kepala remuk dan
otak berhamburan ke mana-mana. Tubuh Kakek rambut putih diam tiada berkutik
lagi. Nenek pesolek begitu mengetahui suaminya roboh dengan nyawa terputus
nampak meraung sejadi-jadinya. Setelah puas menangisi jenazah suaminya, kini dia
menoleh dan memandang pada Buang Sengketa dengan penuh kebencian.
"Manusia sombong! Kau harus
membayar mahal nyawa suamiku dengan nyawa Anjingmu...!" bentak Nenek rambut
putih sinis. Buang Sengketa tergelak-gelak.
"Hemm... bagus kalau begitu. Biar hari ini aku si Hina Kelana akan
menggusur nama besar kalian dari kolong langit ini...!"
Mendengar Buang Sengketa menyebut nama julukannya, terkejutlah si Nenek pesolek
ini. Belakangan ini dia memang telah mendengar adanya tokoh muda yang
berjuluk si Hina Kelana. Bahkan
kesadisannya dalam membasmi lawan-lawannya yang tiada mengenal ampun telah
membuat gempar dunia persilatan. Siapa sangka hari ini dia berhadapan langsung
dengan tokoh muda yang ditakuti
lawan-lawannya. Pula telah membunuh suaminya sendiri. Meskipun Nenek rambut
putih ini tidak yakin dapat mengalahkan pemuda tampan yang membuat heboh itu.
Akan tetapi sedikit pun dia tiada gentar.
Mati bersama suami tercinta baginya lebih baik daripada harus hidup seorang
diri. "Oh... jadi kaulah kunyuknya yang berjuluk Pendekar Hina Kelana dari negeri
Bunian itu." sela si Nenek rambut putih sambil gertakkan rahang. "Ahik...
ahik... ahik...! Aku jadi ingin tahu bagaimana hebatnya Pusaka Golok Buntung
sekaligus cambuk Gelap Sayuto yang menghebohkan itu...!"
"Sayangnya sebelum kau sempat menyaksikan semua yang ingin kau lihat, nyawamu
keburu melayang!" kata Buang Sengketa lirih.
"Puih, kau pikir hanya kau seorang yang paling hebat di kolong langit ini...?"
Nenek rambut putih mencemooh.
"Aku tak pernah berkata begitu Nenek bau tanah...!"
Tanpa menyahut, Nenek rambut putih segera keluarkan senjatanya yang berupa
sebuah Badik Pendek. Dengan senjata di
tangannya Nenek rambut putih dengan ganas menerjang Buang Sengketa. Berulang
kali senjata yang tajam mengkilat itu nyaris merobek lambung, leher bahkan
kepala Buang Sengketa. Kini pemuda itu harus mengakui bahwa senjata yang
berkiblat-kiblat itu benar-benar
merupakan senjata yang sangat berbahaya.
Pendekar Hina Kelana akhirnya tidak mau terlalu ambil resiko. Sekali tubuhnya
berkelebat dan hiking lenyap, Nenek rambut putih nampak kebingungan. Dalam pada
itu terdengarlah suara mendesis bagai bunyi seekor ular Piton yang sedang marah.
Tubuh Buang Sengketa nampak berkelebat. Diiringi dengan sebuah bentakan
menggelegar sinar merah yang berkilauan menyambar ke arah bagian perut Nenek
rambut putih. Nenek pesolek ini berseru kaget lalu kiblatkan Badik pendeknya.
"Traaang...!"
Senjata di tangan si Nenek hancur berantakan dilanda golok buntung yang berada
di tangan Buang Sengketa. Tidak berhenti sampai di situ saja, golok itu bagai
bermata terus menyambar-nyambar, Nenek rambut putih yang tiada memiliki senjata
itu pun menjadi gugup. Tak terelakkan lagi:
"Craaas... craaas...!"
Nenek rambut putih sudah tidak
sempat melolong atau pun menjerit, dengan leher hampir terputus tubuhnya
terpelanting, lalu roboh bagaikan batang pisang ditebang. T-matlah nama besar
Sepasang Sejoli Dari Timur pada saat itu juga. Buang Sengketa segera buka tutup
periuknya. Kepala Wanti Sarati segera tersembul kemudian melompat keluar.
"Paman, orang yang hebat! Aku ingin jadi seperti Paman...!" kata Wanti Sarati
penuh kagum. Tanpa menanggapi ocehan Wanti Sarati dia segera sambar tubuh gadis
cilik itu, setelah mendukung di pundaknya tubuh Pendekar Hina Kelana berkelebat
pergi seperti angin.
* * * Riuh rendah suara lebih dari tiga puluh orang manusia bergemuruh di pinggir
Sindang Darah yang tenang menyimpan seribu satu macam misteri.
Agaknya rombongan dari bagian Barat yang sampai ke tempat itu paling awal sudah
merasa yakin bahwa merekalah yang akan berhasil memiliki kitab-kitab peninggalan
Padri Agung Pengayom Jagat. Kini partai persilatan Hantu Berkabung yang dipimpin
langsung oleh Baja Wungu itu sudah keiihatan mulai mendirikan
beberapa tenda darurat.
Menjelang tengah hari datang pula rombongan manusia bertopeng yang
jumlahnya tak kurang dari empat puluh orang. Mereka ini juga dipimpin langsung
oleh ketuanya yaitu dua bersaudara
manusia bertopeng. Berbeda dengan rombongan Hantu Bergabung yang berusaha
memiliki kitab-kitab pusaka itu masih bersifat untung-untungan. Sedang
rombongan manusia bertopeng sudah merasa sangat yakin bahwa merekalah yang
paling berhak untuk memiliki seluruh
kitab-kitab pusaka peninggalan Padri Agung Pengayom Jagad. Sebab seperti
diketahui bahwa ketua mereka telah mendapatkan kunci rahasia yang
menghubungkan tempat penyimpanan kitab dengan ruang-ruang yang sangat banyak
jumlahnya. Sebagiamana yang dilakukan oleh
rombongan Hantu Berkabung, rombongan orang-orang bertopeng ini pun segera
mendirikan tenda-tenda darurat.
Nampaknya di antara mereka ada saling tenggang rasa. Terbukti meskipun mereka
telah di tempat itu dengan tujuan yang sama. Tapi nampaknya di antara dua
rombongan itu tidak ada tanda-tanda saling mencurigai. Mereka saling acuh dan
bahkan tidak ambil perduli dengan kegiatan rombongan yang lain.
Ketika semuanya dirasa beres, hari sudah menjelang malam. Di belahan Timur bulan
sabit yang hanya merupakan
bayang-bayang merah nampak mengintip di celah-celah dedaunan. Suara sepi
mencekam mewarnai alam sekitarnya. Tak ada suara tawa dan canda. Masing-masing
orang tenggelam dalam lamunan yang tiada
berkesudahan. Di luar tenda perkemahan dari dua rombongan yang cukup besar
jumlahnya, nampak beberapa orang
pengawal sedang berjaga-jaga. Udara dingin yang terasa menggigil membuat
beberapa orang di antara mereka ber-gerombol mengelilingi api unggun.
Sementara itu di dalam tenda
rombongan Topeng Hitam nampak para ketua mereka sedang berbicara serius tentang
rencana mereka untuk menyeberangi Sindang Darah dalam waktu secepatnya.
Malam itu juga dicapai kata sepakat bahwa kira-kira menjelang pertengahan malam
mereka harus mendahului menyeberangi Sindang Darah yang sesungguhnya sangat
luas. Apa pun yang akan mereka kerjakan semua itu di luar sepengetahuan
rombongan Hantu Berkabung.
Demikianlah waktu terus berjaian
tanpa terasa, hingga saat yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Lebih dari separoh rombongan Topeng Hitam berikut ketua mereka kini sudah
berkumpul di tepi Sindang. Air Sindang yang begitu luas sedikit pun tiada
menimbulkan rasa curiga. Ketua
perkumpulan si Topeng Hitam tidak begitu lama mulai memberi aba-aba pada
orang-orangnya.
"Aku berharap kalian bisa sampai ke sana dengan masing-masing kelompok sebanyak
tiga orang. Usahakan jangan
sampai menimbulkan suara berisik hingga memancing perhatian orang lain. Bila
kalian bisa sampai dengan selamat dan kembali ke sini dalam keadaan yang sama
pula, maka sebagai ketua, aku sudah memutuskan untuk memberi hadiah pada
kalian...!" ujar ketua Topeng Hitam pada tiga anggota yang akan diberangkatkan
lebih awal. "Terima kasih ketua...!" jawab ketiga
orang bawahannya sambil
mengangguk hormat.
"Sekarang kalian boleh mulai...!"
Ketua Topeng Hitam mulai memberi
aba-aba. "Byuuur...!"
Air di dalam Sindang nampak
bergelombang menerima berat tubuh mereka bertiga.
* * * 8 Selanjutnya tanpa ragu-ragu lagi, mereka mulai berenang menuju ke pulau karang
yang terletak di tengah-tengah Sindang. Namun di luar sepengetahuan mereka,
puluhan ekor mahluk-mahluk ampibi yang berwarna kuning keemasan nampak bergerak
cepat mengarah pada ketiga orang penyebrang itu. Agaknya mahluk-mahluk melata
itu saling berlomba untuk memperebutkan mangsa yang sudah
berada di depan mata. Begitu cepat sekali gerak mahluk-mahluk reptil ini, dalam
waktu sebentar saja mahluk-mahluk ini sudah begitu dekat dengan mereka. Begitu
buaya-buaya ini sudah hampir di
sekeliling penyeberang, dengan ganas dan mulut ternganga lebar mereka langsung
menyerang mangsanya tanpa ampun. Air di dalam Sindang langsung bergolak.
Beberapa saat mereka terlibat
pergumulan, ingin berteriak minta pertolongan mereka tidak berani, hanya bungkam
seribu bahasa. Mereka yang sudah sampai di tengah-tengah Sindang kiranya tidak
terawasi dengan baik oleh ketua Topeng Hitam. Sungguh malang nasib mereka
manusia bertopeng ini.
Dalam waktu sekejap saja tubuh
mereka sudah tercabik-cabik oleh
gigi-gigi yang tajam. Air Sindang masih terus bergolak, warna air di sekitarnya
berubah menjadi merah. Hanya dalam waktu yang singkat, tubuh mereka mulai
tenggelam diseret mahluk-mahluk melata itu. Suasana di. tengah Sindang kembali
tenang seperti sediakala. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu di dalamnya.
Nampak tenang mengerikan.
Sementara itu di tepian Sindang
Darah, tiga orang penyebrang telah bersiap-siap menyusul para pendahulunya.
Ketua Topeng Hitam memberi aba-aba kembali.
"Byuur...!"
Sama seperti pendahulunya, mereka ini juga tidak menyadari bahwa bahaya sedang
menanti mereka di depan sana.
Agaknya mahluk-mahluk reptil yang lainnya mengetahui bahwa ada mangsa yang
secara rela menyerahkan diri. Sebab begitu mahluk-mahluk ini mencium bau darah,
mereka yang tadinya berada di tepian pulau karang nampak saling berlomba
bergerak ke tengah-tengah Sindang.
Kini jumlah mereka semakin ber-
tambah banyak saja. Semuanya nampak tenang menantikan datangnya sang mangsa.
Orang-orang malang itu tak menyadari bahwa ajal mereka semakin di ambang pintu.
Bagitu mahluk melata itu meluncur ke arah mereka. Ketiga penyebrang ini
terbelalak tak percaya. Namun hanya sesaat keadaan itu berlalu karena pada saat-
saat berikutnya mereka sudah harus berjuang mati-matian melawan maut. Lebih lima
ekor setiap orangnya melayani mahluk air yang sangat ganas itu.
Betapapun tingginya ilmu silat mereka, namun berada pada posisi yang sangat
tidak menguntungkan ditambah lagi jumlah mahluk-mahluk ini yang tidak kepalang
tanggung, lama kelamaan tenaga mereka terkuras habis. Darah kembali mewarnai air
Sindang. Tubuh mereka tercabik-cabik tak karuan ujudnya. Dalam waktu hanya
beberapa saat saja tubuh mereka telah lenyap dari permukaan air.
Kini mahluk-mahluk reptil itu
bergerak lebih berani lagi. Tanpa mengenal rasa takut mereka mulai
berenang agak ke tepi. Agaknya mereka juga tahu dari mana sebenarnya sumber
makanan itu datang.
Pada saat yang sama Ketua Topeng
Hitam sudah nampak menyiapkan para perenangnya yang handal. Baru saja ketua
Topeng Hitam ini bermaksud memberi aba-aba pada ahli-ahli renangnya, mendadak
wakil ketua Topeng Hitam menunjuk ke tengah-tengah Sindang.
Walaupun cahaya bulan sudah tak
keiihatan lagi, tetapi mereka dapat melihat sesuatu di dalam Sindang yang
bergerak-gerak. Lama kelamaan semakin jelas ujudnya. Apa-lagi mata mahluk melata
itu menyiratkan cahaya berwarna kemerah-merahan. Tak pelak lagi ketua Topeng
Hitam berseru kaget:
"Hah... buaya?" ucapnya tertahan.
"Dari mana datangnya mahluk-mahluk keparat itu...?"
"Celaka kakang! Orang-orang kita pasti tak akan pernah sampai di pulau
Karang...!" sela wakil ketua Topeng Hitam cemas.


Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu kita harus singkirkan mahluk-mahluk sialan itu...!" ketua Topeng
Hitam kertakkan rahang geram.
"Tidak usah... kita tak mungkin melakukannya...!" bantah yang menjadi wakilnya.
Tentu saja ketua Topeng Hitam menjadi heran. Korban sudah berjatuhan tapi
mengapa kawannya yang bertangan buntung ini maiah melarangnya untuk bertindak.
Lama sekali ketua Topeng Hitam berpikir, sejauh itu dia tak tahu mengapa
saudaranya maiah mencegah niatnya.
"Tidak tahukah engkau, sudah berapa banyak korban di pihak kita?" tanya ketua
Topeng Hitam penasaran.
"Korban akan lebih banyak lagi, apabila kita membiarkan orang-orang kita
menyeberang menantang maut. Kakang harus ingat bukan kita saja yang ingin
memiliki kitab yang sangat berharga itu. Tokh kita masih bisa menunggu di sini
sambil menunggu kesempatan yang lebih baik lagi...." wakil ketua Topeng Hitam
menjelaskan. "Maksudmu...?"
Wakil ketua Topeng Hitam tersenyum licik.
"Kita biarkan saja mereka menanam apa saja, setelah berbuah baru kita memetik
hasilnya!"
"Maksudmu kita harus membiarkan mereka berangkat menuju pulau Karang setelah itu
kita merampas kitab-kitab itu dari tangan mereka?"
"Tak salah...!"
Meskipun Topeng Hitam merupakan ka-um persilatan golongan hitam tapi dia kurang
setuju dengan gagasan yang diberikan oleh wakilnya.
"Aku tak ingin hal itu terjadi. Aku ingin mendapatkannya dengan cara bersih.
Lagi pula kunci rahasia itu ada di tangan kita, tak seorang pun yang bisa
membuka pintu rahasia di dalam goa tanpa
kehadiran kita...!"
Wakil ketua Topeng Hitam tersenyum kecut begitu mendengar ucapan ketuanya yang
dia anggap berpandangan picik.
"Kakang percaya bahwa kunci itu merupakan kunci yang sesungguhnya...?"
"Mengapa tidak...?" ujar ketua Topeng Hitam begitu yakin.
Wakil ketua Topeng Hitam nampak
geleng-gelengkan kepalanya.
Ketua Topeng Hitam menjadi sangat heran dengan tingkah saudaranya itu.
"Apa maksudmu...?"
"Kakang jangan bertindak bodoh!
Coba pikir saja, mana mungkin nenek peot mau bertindak gegabah. Begitu sembrono
membawa-bawa kunci pusaka yang sangat berharga. Menurut cerita yang aku dengar,
kunci rahasia pembuka goa karang adalah sebuah tusuk konde yang sudah butut!"
jelas wakil ketua Topeng Hitam.
Mendengar kata-kata saudaranya
ketua Topeng Hitam nampak merenung sejenak.
"Tapi kita tak menemukannya pada saat tubuh nenek peot kuperiksa!"
"Mungkin saja kakang kurang
teliti...!"
"Kurang teliti emakmu! Semuanya sudah kuperiksa bahkan sampai ke
pusernya, masihkah kau bilang aku kurang teliti...?" ketua Topeng Hitam nampak
tersinggung. Wakil ketua Topeng Hitam tersenyum geli begitu mendengar keterus
terangan saudaranya. Dengan menahan tawa wakil ketua Topeng Hitam menyela:
"Mungkin saja nenek peot
menyimpannya pada suatu tempat yang sangat dirahasiakan. Atau mungkin juga dia
punya seorang murid kemudian
menitipkan padanya!" kata wakil ketua Topeng Hitam mereka-reka.
Ketua Topeng Hitam kerutkan kening, pikirannya berputar-putar, dia
berkesimpulan bahwa mungkin saja ada seseorang yang sangat dipercaya oleh si
nenek. Lalu padanya si nenek peot titipkan barang yang sangat berharga itu.
"Mungkin juga anggapanmu itu benar, Adi...!" Ketua Topeng Hitam mengakui.
"Bagaimana tanggapan kakang tentang gagasanku tadi?"
Ketua Topeng Hitam kembali
manggut-manggut.
"Agaknya kita harus berbuat begitu!
Tak usah susah payah mengorbankan orang-orang kita. Kita hanya menunggu
siapa yang bakal keluar jadi pemenang, setelah itu dengan sangat mudah kita
merampasnya!" sela ketua Topeng Hitam dengan sesungging senyum penuh
kelicikan. Tak lama setelah memberi perintah pada anggotanya, mereka segera kembali ke
tenda. Sebentar saja suasana menjadi sepi kembali.
* * * Pagi itu udara nampak cerah,
burung-burung berkicauan terbang dari dahan yang satu hinggap di dahan lainnya.
Apabila ketua Topeng Hitam maupun ketua Hantu Berkabung menyingkap pintu
tendanya, terkejutlah hati mereka. Nun jauh di sana sebelah Barat, Timur, Utara
dan Selatan telah bermunculan
tenda-tenda baru. Sungguh pemandangan yang sangat luar biasa. Bagai jamur di
musim hujan tenda-tenda itu bermunculan.
Anehnya mereka sampai tidak tahu kapan tenda-tenda baru itu dipasang.
Kini setelah kehadiran empat
rombongan lainnya maka jumlah mereka semakin be-tambah menjadi enam kelompok.
Tidak sampai setengah setelahnya
suasana di sekeliling Sindang telah ramai dipenuhi oleh pendatang dari berbagai
golongan persilatan.
Masing-masing kelompok telah menyiapkan ahli-ahli penyeberangan. Nampaknya
mereka saling berlomba mendahului. Dari sekian banyak rombongan hanya di kemah
Topeng Hitam saja yang nampak lenggang.
Agaknya pagi itu mereka hanya akan bertindak sebagai penonton saja. Apabila
tontonan yang akan digelar di
tengah-tengah Sindang oleh orang-orang goblok itu adalah satu tontonan yang
sangat menarik lagi gratis. Air Sindang yang menyimpan seribu satu macam
misteri, buaya kuning yang ganas, serta jerit kematian yang menyayat. Semua itu
akan terjadi tak begitu lama lagi.
Diam-diam ketua Topeng Hitam tersenyum mengejek.
"Orang-orang tolol itu sebentar lagi pada mampus semuanya, ya Adi...!"
kata ketua Topeng Hitam menoleh sekilas pada wakilnya yang berdiri mengawasi
kesibukan rombongan lainnya.
Wakil ketua Topeng Hitam mengangguk pelan.
"Hemm... biar tahu rasa! Nanti kalau daging mereka sudah berada di perut buaya
keparat itu, tentu mereka segera
menemukan kitab-kitab itu...!"
"Hei... lihatlah! Agaknya Hantu Berkabung mulai memberi perintah untuk terjun ke
dalam Sindang...!" seru ketua Topeng Hitam sambil menunjuk ke sebelah Tenggara.
"Bagus sekali. Rupanya mereka ingin cepat-cepat terkubur di perut mahluk-
mahluk menjijikkan, yang berada di pinggiran Pulau Karang...!"
Benar saja apa yang mereka duga,
orang-orang penyebrang dari kelompok Hantu Berkabung mulai melaksanakan
tugasnya. Disusul dengan rombongan lain yang jauh di sebelah Barat. Mereka ini
berasal dari perburuan Lumpang, yang dipimpin langsung oleh ketuanya yang
bernama Mujiman, beberapa saat
berikutnya di sebelah Timur menyusul pula Padepokan Gunung Kuali yang juga
dipimpin langsung oleh ketuanya si Cebol Gagu. Tak lama kemudian menyusul pula
perguruan Angkara Murka yang juga dipimpin oleh ketua mereka yang bernama Soka
Durjana. Kelompok terakhir yang mengutus orang-orangnya melakukan penyebrangan
adalah rombongan yang berada di sebelah Selatan.
Mereka ini berasal dari Sungai mati, yang hanya bekerja secara kelompok dan
tidak memiliki ketua. Meskipun jumlah mereka hanya berkisar tiga orang. Akan
tetapi tiga orang dari Sungai Mati ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Rimba persilatan mengenal mereka sebagai Tiga Kembar Berhati Suci. Dari ikan
yang mereka miliki saja sudah jelas bahwa mereka merupakan kaum persilatan
golongan lurus.
Demikianlah masing-masing rombo-
ngan telah mengirim orang-orang keper-
cayaan mereka untuk menyebrangi sindang Darah.
Berbeda dengan rombongan lainnya.
Tiga Kembar dari Sungai Mati ini
bertindak sangat hati-hati. Bahkan sebelum ketiga orang itu secara
keseluruhannya terjun ke dalam Sindang salah seorang di antara mereka yang
memiliki penciuman pembeda rasa, sejak awal sudah meneliti keadaan air.
Begitulah ketika orang yang bernama Kakang Barep itu sedang sibuk dengan
tugasnya, adiknya yang paling bungsu datang menegur.
"Bagaimana kakang Barep" Apakah Sindang ini tidak berbahaya bagi
kita...?" tanya adiknya yang kerap dipanggil Adi Ragil.
Laki-laki jangkung itu menoleh pada kedua adiknya yang berdiri tegak tidak jauh
darinya. "Lebih baik kita tak usah menyebrang ke sana...!" ujar si Barep memutuskan.
Serentak dua orang yang lainnya menoleh.
"Mengapa Kakang Barep tiba-tiba saja memutuskan begitu...?" tanya saudara yang
nomor dua. Saudara-saudaranya yang lain Bering menyebutnya dengan kakang Tengah
atau adi Tengah.
Laki-laki jangkung kerutkan kening.
Kemudian menarik nafas pendek.
"Sindang ini terlalu bahaya buat kita. Lebih baik kita menonton
pertunjukan yang sebentar lagi bakal menarik...!"
"Kami semakin tak mengerti saja dengan maksud kata-katamu kakang
Barep...!" sela mereka hampir bersamaah.
"Sindang ini dipenuhi buaya-buaya yang ganas...!" tukasnya pendek.
Terbelalaklah saudaranya yang lain demi mendengar penjelasan si Jangkung.
"Benarkah apa yang kau katakan itu Kakang..."!" tanya yang paling bungsu.
"Kita li...!" Belum lagi si Barep menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba di tengah-
tengah Sindang terdengar jerit pekik para penyeberang dari berbagai rombongan.
Serangan Buaya Kuning yang datangnya hampir bersamaan itu membuat suasana
menjadi hiruk pikuk.
Masing-masing orang berusaha melepaskan diri dari ancaman mahluk melata yang
bergigi tajam itu. Bahkan sebisa mungkin mereka , melakukan perlawanan. Melihat
bahaya mengancam kawan-kawan mereka, tentu kawan-kawannya yang lain tidak
tinggal diam. Dengan senjata terhunus, masing-masing kelompok mengirim bala
bantuan. Tanpa berpikir panjang mereka langsung terjun dan memburu ke tengah.
Keadaan semakin bertambah gempar.
Satu demi satu korban-korban mulai berjatuhan. Sebentar saja air Sindang sudah
berubah warna merah. Darah!
Kiranya buaya-buaya itu bagai
mengerti saja, begitu lawan-lawannya
berdatangan lebih banyak, maka
buaya-buaya yang masih berada di Pulau Karang langsung terjun membantu
kawan-kawannya yang lain.. Mereka tidak hanya sekedar memangsa saja, akan tetapi
sebagaimana layaknya manusia, mereka langsung menyerang anggota itu secara
bertubi-tubi. Meskipun dengan membawa bekal berupa senjata andalan dan juga
kepandaian silat yang mereka miliki.
Akan tetapi bertarung di dalam air dengan mahluk-mahluk yang sangat ganas itu,
sudah barang tentu sangat tidak
menguntungkan bagi pihak penyebrang.
Sementara dengan ekornya yang tajam dan panjang, buaya-buaya itu dengan begitu
mudahnya melibasi tubuh lawan-lawannya.
Akan tetapi meskipun korban telah banyak yang berjatuhan, bagai tiada mengenal
rasa jeri, kawan-kawan mereka yang masih berada di darat, bagai sudah kemasukan
ibhs saling berlomba terjun ke dalam sindang. Air sindang benar-benar telah
berubah menjadi danau darah.
Pada saat itu di luar perkemahan
Topeng Hitam, gelak tawa yang sambung menyambung tiada henti mewarnai
rombongan itu. Seperti apa yang mereka duga, tontonan yang sangat menarik itu
kini benar-benar terbentang di depan mata.
"Kek... kek... kek...!" ketua Topeng Hitam tertawa lebar. "Orang-orang
tolol itu benar-benar menghendaki kematian adi!"
Wakilnya yang sejak tadi juga ikut tertawa tiada henti menyahut:
"Biar pada mati semua! Tokh mereka bukan orang-orang kita...!"
"Mungkin tak lama lagi ketua mereka pun ikut terjun, kakang...!" selanya.
"Itu bagus, biar kita tahu bagaimana hebatnya kesaktian ketua Hantu Berkabung
dan juga empat partai-partai persilatan lainnya. Andai mereka selamat dan keluar
sebagai pemenang. Tentu kita segera serang mereka...!" ketua Topeng Hitam
menyela. Wakilnya manggut-manggut setuju. Akan tetapi tak lama setelah itu dia
bergumam: "Sayangnya Tiga Kembar dari Sungai Mati tak ikut ambil bagian! Siapa tahu mereka
juga mempunyai siasat seperti kita! Kalau dugaanku ini benar, tentunya ketiga
orang itu akan merepotkan
kita...!" Ketua Topeng Hitam
gelengkan kepalanya. "Kau tak perlu curiga pada mereka!
Aku tahu betul siapa mereka. Tak mungkin mereka mau mencampuri urusan yang
beginian...!"
"Kalau Tiga Kembar dari Sungai Mati tidak menghendaki Kitab Pusaka
peninggalan Padri Agung Pengayom Jagat, lalu apa mau mereka, sehingga ikut hadir
di sini...!" tanya wakil Topeng Hitam penasaran.
Ketua Topeng Hitam nampak
tersenyum. "Adi. Dulu ketika Partai kita belum terbentuk, pernah terjadi perebutan pusaka
peninggalan Resi Karma di Gunung Sumbing. Pada saat itu aku juga melihat
kehadiran mereka. Seperti engkau mulanya aku juga mencurigai mereka. Akan tetapi
setelah peristiwa berdarah itu terjadi ternyata kecurigaanku tidak beralasan.
Mereka datang ke sana kiranya hanya menjadi penonton dalam peristiwa itu.
Mungkin juga mereka membawa maksud yang sama datang ke tempat ini!"
"Apapun alasan mereka, kita harus tetap berhati-hati kakang...!" wakil ketua
perguruan Topeng Hitam
mengingatkan. "Oh, itu sudah barang tentu...!"
jawabnya pasti.
Sementara itu sedikit demi sedikit anggota dari empat rombongan itu mulai
berkurang. Akan tetapi agaknya ketua Hantu Berkabung maupun ketua partai yang
liannya sudah tidak memperdulikan keselamatan anak buahnya lagi. Meskipun baik
yang ditolong mau pun yang menolong tidak satu pun yang selamat, mereka masih
tetap saja bersikeras. Mengirimkan orang-orangnya untuk membinasakan mahluk-
mahluk reptil yang ganas itu.
Menyaksikan adegan yang terjadi di ha dapan mereka, Tiga Kembar dari Sungai Mati
yang tadinya hanya menjadi penonton akhirnya sudah tidak dapat lagi menahan
kesabarannya. Menurut pendapat mereka bertiga, langkah yang telah diambil baik
oleh ketua perkumpulan Hantu Berkabung, maupun tiga partai lainnya, sesungguhnya
hanya karena mementingkan diri sendiri, mereka begitu tega mengorbankan
pengikut-pengikutnya. Hal ini harus dicegah demi menghindari banyak nya korban
yang berjatuhan. Untuk itu mereka segera bergerak mendekati tenda-tenda yang
terpasang hampir di sekeliling Sindang Darah.
Pada saat Tiga Kembar dari Sungai Mati itu sampai di tenda Hantu Berkabung,
mereka melihat hanya tinggal lima orang saja, sisa anggota Hantu Berkabung.
Tanpa sungkan-sungkan lagi salah seorang yang berbadan jangkung menegur ketua
rombongan Hantu Berkabung:
"Saudara Ketua Baja Wungu. Ah... tak menyangka hari ini kita bertemu
kembali...!" ujar si jangkung sambil mengangguk hormat pada ketua Hantu
Berkabung. Disapa sedemikian rupa, ketua Hantu Berkabung ini nampak keheranan.
Sejenak wajahnya nampak berkerut, dia meneliti si Tiga Kembar dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Rasa-rasanya dia pernah bertemu dengan laki-laki berbadan
kurus jangkung ini, tapi entah di mana.
"Masa saudara Baja Wungu sudah lupa pada kami yang pernah menjadi penunjuk jalan
di Gunung Sumbing tujuh tahun yang lalu...!"
si tinggi jangkung
mengingatkan. Seketika wajah ketua Hantu Berkabung ini berubah cerah.
Sambil menepuk-nepuk jidatnya yang licin, Baja Wungu menjawab dengan ramah pula:
"Aha... tidak dinyana, kiranya aku Baja Wungu yang pernah berhutang budi pada
saudara kembar dari Sungai Mati, hari ini bertemu kembali...!" Baja Wungu
membalas hormat.
"Saudara ketua Hantu Berkabung, terlalu berlebihan!" Si Ragil menyela.


Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenyataannya memang begitu saudara kembar...!" jawab Baja Wungu lunak.
"Bagaimana keadaan orang-orangmu saudara ketua...!" tanya si Barep mengalihkan
persoalan. Ditanya seperti itu, wajah ketua
Hantu Berkabung nampak resah. Kemudian dipandanginya ketiga wajah sahabat
lamanya ini dengan hati bimbang. Lalu ketua Hantu Berkabung itu tanpa sadar
bergumam: "Semuanya terlalu cepat, bagai sebuah mimpi buruk yang sangat
menakutkan. Salahku sendiri, mengapa aku harus mengambil keputusan begitu cepat;
Mungkin berita tentang kitab pusaka itu hanya merupakan kabar angin belaka.
Orang-orangku sudah terlanjur habis jadi korban keganasan buaya-buaya keparat
itu!" Baja Wungu menyela menyesali nasib.
"Tapi saudara Baja Wungu, masih punya kesempatan untuk menarik diri.
Percayalah, andaipun berita tentang pusaka itu memang benar adanya, akan tetapi
sangat tidak mungkin untuk memperolehnya. Mahluk-mahluk mengerikan itu agaknya
merupakan penjaga
kitab-kitab peninggalan Padri Agung Pengayom Jagat!"
"Pula, andaipun berhasil,
musuh-musuh telah menanti di depan mata!" Adi tengah ikut menimpali sambil
mengerling pada tenda-tenda yang berada di sekitarnya.
Ketua Hantu Berkabung nampak
anggukkan kepala.
"Tapi orang-orangku sudah terlanjur habis...!" kata Baja Wungu meragu.
"Anggaplah itu merupakan suatu kekeliruan yang paling pahit...!" ujar Adi Ragil.
Kembali Baja Wungu anggukkan kepala.
"Kalian ada benarnya! Tadi aku sempat berpikir ingin terjun langsung andai
orang-orangku habis. Untuk kalian segera datang...!" Dengan jujur ketua Hantu
Berkabung mengakui.
"Sekali lagi kalian menghutangkan budi padaku, tentu aku tak dapat
membalasnya...!"
"Saudara Baja Wungu, sudah
sepantasnya kami mengingatkan saudara sebagai sahabat lama...!"
Setelah berkata begitu si Tiga
Kembar dari Sungai Mati ini bermaksud meninggalkan tempat bersama ketua Hantu
Berkabung serta lima orang sisa anak buahnya.
Namun baru saja mereka
melangkah beberapa ti-dak, dari tenda si Topeng Hitam terdengar
bentakan-bentakan yang menggelegar.
"Tiga Setan Penghasut Dari Sungai Mati... berhenti...!"
Belum lagi hilang rasa terkejut di hati si Tiga Kembar. Tahu-tahu ketua dan
wakil ketua Topeng Hitam telah
menghadang langkah mereka.
"Saudara Topeng Hitam! Ada
keperluan apakah hingga saudara
menghadang langkah kami...!" tanya si Janggkung mewakili yang lainnya.
Ditanya seperti itu, marahlah ketua Topeng Hitam, sambil meludah ke tanah dia
menyela: "Manusia kembar tak tahu adat! Masih juga kau berpura-pura...!"
Dimaki sedemikian rupa, sudah
barang tentu saudara kembar lainnya tak bisa terima. Adi Tengah mendamprat:
"Monyet busuk bertopeng....
katakanlah apa kesalahan kami! Jangan marah-marah begitu...!"
* * * 9 Wakil ketua Topeng Hitam kertakkan rahang kemudian maju selangkah. Lalu memaki
habis-habisan. "Budak hina... kalian telah
menghasut ketua Hantu Berkabung untuk tidak meneruskan usahanya mendapatkan
kitab-kitab itu. Padahal keberhasilan sudah di pelupuk mata. Lihatlah
gara-gara ulah kalian menghentikan usaha Hantu Berkabung, mereka semua
terpengaruh...!"
Mengertilan si Tiga Kembar akan
maksud yang tersembunyi di balik ucapan wakil ketua Topeng Hitam. Adi Tengah
langsung meloncat ke depan, keduanya kini saling berhadapan. Sejurus dia
memandang maka tertawalah dia
panjang-panjang.
"Setan licik, Pengecut. Kalau kalian merasa hebat, mengapa tidak sekalian orang-
orangmu saja yang dikorbankan pada binatang-binatang itu...?"
"Mungkin dia bermaksud menangguk di air keruh Kakang Tengah...!" si kembar
paling bungsu ikut menimpali.
Memerahlah wajah wakil ketua maupun ketua Topeng Hitam.
"Aku yakin monyet bertopeng ini merasa jera! Sebab tadi malam
orang-orangnya sempat terkubur di dalam perut buaya-buaya itu...!" Ketua Hantu
Berkabung yang memang sudah tak dapat menahan kesabarannya ikut nyeletuk.
Marah bercampur malu berbaur
menjadi satu, ketua Topeng Hitam
benar-benar tiada menyangka kalau kejadian yang sangat memalukan itu sempat juga
diketahui oleh orang lain.
Meskipun belangnya sudah ketahuan akan tetapi masih saja orang bertopeng ini
membentak: "Bangsat rendah Iblis Berkabung!
Tidak tahu membalas guna. Dibela malah menghina...!"
Si Topeng Hitam menyela geram.
Begitu mendengar ucapan si Topeng Hitam, baik si Tiga Kembar, maupun Ketua Hantu
Berkabung serentak tertawa
tergelak-gelak.
"Katakan saja bahwa kau ingin mempergunakan kemampuan orang lain untuk memiliki
kitab pusaka itu...!" Hantu Berkabung mengejek.
Mendidihlah darah ketua Topeng
Hitam sampai ke ubun-ubun.
"Keparat...! Kalian lebih baik mampus...!" Diawali dengan satu teriakan
menggelegar ketua dan wakil ketua Topeng Hitam langsung menerjang dan kirimkan
pukulan-pukulan yang mematikan.
Mengetahui ketua mereka terlibat
pertarungan, maka anggota Topeng Hitam yang lainnya pun serentak ikut menyerbu.
Dalam waktu sekejap saja
pertarungan sangit pun terjadi di
wilayah Sindang Darah. Jerit kematian mulai terdengar di mana-mana. Dalam
keadaan seperti itu masing-masing pihak telah mengeluarkan senjata maupun jurus-
jurus andalan. Dan dalam waktu singkat pertarungan sudah berlangsung puluhan
jurus. Agaknya dalam segi jumlah si Tiga Kembar dan Ketua Hantu Berkabung kalah
banyak bila dibandingkan dengan anggota Topeng Hitam. Walaupun begitu si Tiga
Kembar dan ketua Hantu Berkabung, adalah orang-orang yang punya segudang
pengalaman dalam berbagai pertarungan, dan pula merupakan lawan yang sangat
tangguh. Tidak mudah bagi anggota Topeng Hitam untuk dapat mencapai kemenangan.
Si Topeng Hitam ketua dan wakilnya mendapat perlawanan sengit dari si Tiga
Kembar. Bahkan kerjasama di antara mereka yang terbina dengan baik ditambah
banyaknya variasi jurus-jurus yang mereka miliki dalam waktu sekejap saja, ketua
dan wakil Topeng Hitam ini sudah terdesak hebat.
Sementara itu dengan bersenjatakan Pedang Mustika dibantu oleh lima orang
bawahannya. Ketua Hantu Berkabung dengan sangat mudahnya membabat habis semua
kroco-kroco Topeng Hitam.
Ketua Hantu Berkabung yang sudah
sangat muak melihat sepak terjang Si Topeng Hitam segera ikut mengeroyok.
Melawan si Tiga Kembar saja mereka ini sudah sangat kerepotan dan bahkan sering
terdesak, apalagi kini dengan pedang di tangannya Baja Wungu ikut melabrak,
kedua si Topeng Hitam semakin tak mampu berbuat banyak. Dari segala penjuru
serangan datang bertubi-tubi, si Topeng Hitam nampak kalang kabut, mengelak dan
menangkis serangan itulah yang dapat mereka lakukan.
Kini pertarungan maut itu
disaksikan oleh partai-partai lainnya.
Akan tetapi rupanya dari tiga partai yang tersisa, yang jumlah keseluruhannya
tak lebih dari lima belas orang nampaknya cenderung berpihak pada si Topeng
Hitam, hingga suara-suara sumbang mulai
terdengar. Saat itu Kakang Barep berhasil
menendang jatuh wakil ketua Topeng Hitam, Baja Wungu yang mengetahui kesempatan
yang sangat baik segera bertindak cepat dengan pedang terhunus dia memburu wakil
Topeng Hitam dan bermaksud memenggal lehernya. Nampaknya wakil ketua Topeng
Hitam ini sudah tiada mampu berkelit, dia sudah pasrah
menerima nasib. Namun pada saat yang kritis itu tiba-tiba terdengar bentakan
melengking dari salah seorang ketua partai yang tidak terlibat pertempuran.
"Berhenti...!"
Bentakan itu benar-benar sangat
berpengaruh bagi mereka yang sedang terlibat pertarungan. Secara serentak mereka
bagai dihipnotis menghentikan
pertarungan. Baja Wungu yang hampir saja berhasil membabatkan pedangnya pada
leher lawannya, secara tiba-tiba
menghentikan gerakannya. Barulah
setelah dia mengerahkan hawa murni, dia dapat menoleh dan memperhatikan
orang-orang yang berada di seke-
lilingnya. "Tak tahu malu bertarung main keroyokan...!"
Seorang laki-laki dengan kumisnya yang tebal menyela. Begitu Baja Wungu dan si
Tiga Kembar menoleh tahulah mereka bahwa orang inilah yang telah melakukan
serangan jarak jauh pada mereka.
Baja Wungu yang kiranya telah
mengenal orang ini segera menegur:
"Saudara Soka Durjana ketua
perguruan Angkara Murka! Maksud apakah mencampuri urusan orang lain...?" tanya
Baja Wungu berusaha meredam
kemarahannya. Yang di tanya melengos, sambil
meludah. Si Tiga Kembar melihat tingkah si kumis tebal macam ijuk nampak marah
sekali. Kalau saja Baja Wungu tidak memberi isyarat pada mereka untuk menahan
diri, sudah barang tentu Kakang Barep sudah melabrak Soka
Durjana mati-matian. Meskipun
begitu si jangkung ini mencaci maki habis-habisan:
"Durjana keparat! Selamanya kami tidak pernah bermusuhan dengan perguruan
Angkara Murka. Tak dinyana, hari ini engkau berani lancang mencampuri urusan
kami...!" Ketua perguruan Angkara Murka
men-dengus! Tiba-tiba dia meloncat ke depan, kemudian sambil bertolak pinggang
dia mencela: "Bertarung main kroyok! Begitu mengaku orang gagah! Aku sendiri sebagai
dedengkotnya golongan hitam, belum pernah bertindak sepengecut kalian...!"
Soka Durjana mencemooh.
"Anjing sinting! Rupanya kalian semua memang sengaja cari persoalan.
Hmm... bagus, kami si Tiga Kembar dari Sungai Mati tidak akan sungkan-sungkan
membasmi tikus comberan...!" Adi Ragil ikut mencela.
"Seratus Kembar lagi pun datang di hadapanku,
akan kupotes kepalanya!
Jangankan hanya kalian bertiga!" Soka Durjana memanasi.
Usai dengan ucapannya, Soka Durjana memberi isyarat pada. seluruh sisa partai
yang ada. Maka dengan serentak mereka berbareng maju menyerang si Tiga Kembar
dan Baja Wungu.
Sambil maju bergerak memapaki
serangan lawannya, Baja Wungu berseru marah:
"Anjing-anjing biadab, rupanya kalian sudab. bersekongkol untuk
mengeroyok kami...!"
Berkata begitu Baja Wungu langsung membabatkan pedangnya. Beberapa orang yang
berada paling depan roboh seketika dengan bermandikan darah. Pertarungan dalam
sekejap saja telah menjadi seru kembali. Hiruk pikuk dan denting
beradunya senjata tajam berbaur menjadi satu. Baik anggota si Cebol Gagu dari
Gunung Kuali, maupun anggota dari perguruan Lumpang dan Angkara Murka satu demi
satu roboh tak berkutik. Kini tinggallah pentolan dari masing-masing perguruan
ditambah dengan ketua dan wakil Topeng Hitam. Jumlah keseluruhannya sebanyak
lima orang, meskipun boleh dikata hampir seimbang. Akan tetapi mereka merupakan
lawan-lawan yang sangat tangguh. Ilmu dan kepandaian silat mereka sama-sama satu
tingkat, dan mungkin ada beberapa orang di atas mereka. Bahkan!
Apalagi si Cebol Gagu, dengan
senjatanya berupa sebuah tombak sakti bermata ganda. Berkelebat menderu mencecar
pada bagian yang mematikan.
Baja Wungu yang berhadapan dengan si Cebol Gagu nampak mulai terdesak. Begitu
pula yang terjadi dengan si Tiga Kembar dari Sungai Mati ini. Agaknya keempat
orang lawannya sudah mengetahui
kelemahan jurus-jurus gabungan yang diberi nama Tiga Tarian Walet Kembar.
Terbukti bagai diobrak-abrik mereka mulai kelihatan cerai berai. Beberapa
jurus berikutnya mereka sudah kena didesak oleh lawan-lawannya.
Pertarungan sudah berlangsung empat puluh jurus. Baik Baja Wungu maupun si Tiga
Kembar dari Sungai Mati sudah jatuh di bawah angin. Bahkan tombak Sakti bermata
ganda milik si Cebol Gagu, berulang kali nyaris merobek bagian lambung Baja
Wungu. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu mengentengi tubuh yang sudah sangat
sempurna, sudah barang tentu
sudah sejak tadi nyawanya
melayang. Walaupun begitu beberapa saat di depan, laki-laki itu nampak terdesak
hebat, hingga akhirnya Baja Wungu benar-benar kepepet, senjata di tangan si
Cebol Gagu terus meluncur mengancam bagian perutnya. Bagi Baja Wungu
meskipun dirinya benar-benar dalam bahaya, namun otaknya segera berpikir cepat.
Hanya ada satu pilihan demi menyelamatkan nyawanya, yang tidak ada dijual di
waning mana pun. Secepat kilat dia kiblatkan pedangnya.
"Traaang...!"
Terlihat bunga api berpijar dari
kedua senjata yang saling berbenturan.
Baja Wungu berseru kaget dan langsung bergulungan di atas tanah. Pedang Mustika
milik ketua Hantu Berkabung patah menjadi dua, sementara Tombak Sakti bermata
ganda milik si Cebol Gagu, tanpa ampun terus memburunya, ke mana pun dia
berusaha menghindar. Sampai pada:
"Craas!"
Dan pada saat yang sama.
"Tuuuuk!"
Baja Wungu berseru kaget karena
tangan kanannya sempat robek tersambar mata Tombak milik si Cebol Gagu.
Sementara Cebol Gagu melenguh pelan tanpa mampu menggerakkan tubuhnya.
Jerit tertahan dari mulut Baja Wungu membuat perhatian si Tiga Kembar jadi
terpecah. Kelengahan yang hanya sesaat itu pun dimanfaatkan oleh lawan-lawannya.
Dengan diiringi bentakan menggelegar keempat orang musuhnya kirimkan pukulan
yang sangat telak.
"Bunk!"
"Buuk!"
"Buuk!"
Si Tiga Kembar terpental tujuh
tombak lalu memuntahkan darah segar.
Agaknya lawan-lawannya tidak ingin bertindak tanggung-tanggung, mereka sudah
bersiap-siap untuk mengakhiri lawan-lawannya dengan pukulan yang paling ampuh.
Namun begitu mereka bermaksud menerjang secara bersamaan pula.
"Tees! Tess! Tees! Tees...!"
Tubuh mereka mendadak terus kaku
sangat sulit untuk digerakkan. Tentu saja kejadian yang sangat tiba-tiba ini
benar-benar mengejutkan hati dan
sekaligus melegakan hati Baja Wungu maupun si Tiga Kembar. Dan mereka
menyadari jiwa mereka telah di
selamatkan oleh seseorang yang tentunya berilmu sangat tinggi. Siapa pun adanya
orang itu, mereka patut mengucapkan terima kasih.
* * * 10 Pada saat hati mereka diliputi


Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanyaan seperti itulah tiba-tiba di atas air sindang telah berdiri seorang
pemuda yang sangat tampan serta seorang gadis cilik duduk di atas pundaknya.
Bukan saja lawan-lawan Baja Wungu yang nampak menjadi jerih, melihat kehadiran
pemuda berpakaian merah darah. Akan tetapi orang yang di tolong oleh si pemuda
penyandang periuk besar itu pun merasakan hal yang sama. Mereka menduga tentu
pemuda berkuncir ini merupakan Dewa Penunggu Sindang Darah. Sebab seperti yang
mereka lihat pemuda
berpakaian merah-merah itu ternyata kedua kakinya bukanlah terapung di atas
permukaan air. Tidak sama sekali. Dengan mata melotot mereka dapat melihat bahwa
kedua kaki pemuda ini ternyata berpijak di atas punggung buaya-buaya yang ada di
tengah Sindang. Bahkan buaya yang jumlahnya mencapai ratusan ekor itu kini
nampak sangat patuh. Seolah mereka sedang mengawal sang rajanya.
Mengapa hal itu sampai bisa terjadi"
Sebenarnya pada malam yang sama, Buang Sengketa juga sudah sampai di Sindang
Darah. Pada saat itu dia sudah menemukan rombongan Topeng Hitam, yaitu seorang
musuh yang telah membunuh orang tua dan sekaligus nenek peot, orang tua asuh
gadis cilik Wanti Sarati yang sampai saat itu turut dalam pengembaraannya. Pada
saat itu dia sudah hampir turun tangan untuk membunuh ketua Topeng Hitam, kalau
saja di dalam Sindang itu tidak terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan hatinya.
Topeng Hitam yang kemaruk kitab pusaka ternyata menurunkan orang-orang
kepercayaannya malam itu juga. Seperti yang telah diceritakan di atas, kiranya
pemuda ini juga sempat menyaksikan bagaimana buasnya mahluk-mahluk reptil itu
dalam membantai mangsanya. Lalu timbullah rasa penasarannya. seperti yang pernah
dituturkan oleh gurunya, yaitu Si Bangkotan Koreng Seribu bahwa ayah kandungnya.
Yaitu si Piton Utara adalah merupakan raja dari segala raja binatang melata.
Mahluk melata apa pun akan selalu tunduk dan patuh kepadanya.
Sebagai keturunan langsung dari Raja mahluk melata tentu dia ingin mencoba
tentang kebenaran cerita gurunya. Buang Sengketa
seketika berubah niat.
Tujuannya untuk membunuh si Topeng Hitam dia tangguhkan. Kemudian berkelebat
pergi menghampiri sekawanan Buaya Kuning yang sudah siap menunggu mangsanya.
Mulanya dengan hati berdebar Buang Sengketa mempergunakan sebatang ranting untuk
mengusik ketenangan buaya-buaya itu, akan tetapi diperlakukan sedemikian rupa,
buaya kuning itu tidak bergeming.
Kemudian dengan sangat berani Buang Sengketa mempergunakan kaki kirinya, keadaan
tetap tak berubah. Apabila pemuda itu mengeluarkan bunyi mendesis mirip dengan
seekor ular Piton,
tiba-tiba dari berbagai penjuru
berdatangan buaya-buaya kuning dari berbagai ukuran. Yang membuat pendekar dari
negeri Bunian itu
keheranan kedatangan buaya-buaya itu bagai
menghaturkan sembah terhadap putra Sang Raja. Tentu saja kejadian ini sangat
melegakan hati pendekat Hina Kelana.
Dengan penuh suka cita dia melompat ke punggung buaya yang paling besar, dengan
tujuan ingin segera melihat pulau yang terletak di tengah-tengah sindang.
Dengan diantar dan dikawan oleh puluhan ekor buaya yang berukuran besar,
akhirnya sampai juga mereka ini di pulau Karang yang menyeramkan. Tidak begitu
sulit bagi mereka untuk menemukan pintu rahasia gua karang, dengan mempergunakan
tusuk konde yang berada di atas rambut Wanti Sarati dengan mudah dia dapat
membuka pintu utama. Akan tetapi betapa terkejutnya hati pemuda ini begitu pintu
terbuka dia melihat sosok tubuh yang sudah sangat berumur nampak sedang semedi.
Pemuda itu lalu menegur, akan tetapi setelah tak ada jawaban dia menghampiri
orang itu. Tahulah dia kiranya orang tua itu sudah mati dalam keadaan semedi.
Ketika pemuda itu memeriksa keadaan sekelilingnya
ternyata tidak begitu jauh di hadapan jenazah kakek tua itu terdapat sebuah
surat yang ditulis dengan guratan tangan di atas selembar kulit buaya. Pesan
surat itu berbunyi:
Siapa yang sampai di Pulau
Karang ini dilarang membuka
pintu kedua. Tiada Kitab Pusaka, kecuali malapetaka...
Buat pembawa kunci pintu rahasia.
Kuhadiahkan sebuah
Buku silat hasil ciptaanku....
Mohon dibuka setelah jauh
dari tempat ini.
Dan kunci rahasia lemparkan
ke dalam Sindang Darah....
Murid Durhaka...
Paderi Agung Sindang Darah
Setelah membaca pesan di dalam surat itu Pendekar Hina Kelana untuk beberapa
saat lamanya nampak merenungi makna kata-kata yang tertulis di atas kulit buaya
itu. Hingga Buang Sengketa pun
sampai pada kesimpulan bahwa sampai pada akhir hayatnya. Kiranya Paderi Agung
Sindang Darah masih menyesali
perbuatannya yang telah membunuh Sang Guru.
Sejenak Buang Sengketa memandang
iba pada jenazah Paderi Agung Sindang Darah. Kemudian dia membungkuk hormat,
lalu ucapnya: "Maaf orang tua, aku akan
menyempurnakan kuburmu...!"
Setelah berkata begitu Buang
Sengketa dengan cepat membuatkan sebuah kubur, untuk Paderi Agung Sindang Darah.
Tak lama kemudian setelah mengambil sebuah kitab yang terletak di bawah tempat
duduk jenazah Paderi Agung Sindang Darah maka seperti pesannya Buang Sengketa
segera melemparkan tusuk konde kunci pembuka gua karang ke tengah-tengah
Sindang. Dengan diantar oleh buaya-buaya
yang berdiam di dalam Sindang, Buang Sengketa dan Wanti Sarati kembali bergerak
ke daratan. Namun begitu dia hampir mencapai tepian sindang, korban telah
berjatuhan. Masih untung ketua Hantu Berkabung dan lainnya yang
diketahui oleh Pendekar Hina Kelana sebagai kaum yang beraliran lurus masih
dapat dia selamatkan dari ancaman si Cebol Gagu dan empat partai lainnya.
Buang Sengketa menatap sinis pada Ketua Topeng Hitam dan juga pada
kembrat-kembratnya. Tapi lama kemudian dia membentak:
"Monyet-monyet bertopeng, dosa kalian sudah kelewat batas! Aku tak mungkin
memberi ampun pada kalian.
Kalaupun ada yang dapat memberimu ampun hanyalah bocah ini...!" sela si pemuda
sambil menepuk bahu Wanti Sarati yang kini juga telah berdiri di atas punggung
buaya-buaya itu.
"Jawab... kalian toh masih bisa bicara...!"
Mendengar ancaman si pemuda yang
nampak bersungguh-sungguh, ketua dan wakil ketua Topeng Hitam tubuhnya nampak
menggigil ketakutan. Dengan gemetar mereka bertanya:
"Apa ya... yang harus kami jawab!
Sedangkan kami merasa tidak pernah membunuh seorang nenek apalagi seorang suami
istri...!" Ketua Topeng Hitam berusaha berkelit.
"Mulutmu sungguh busuk Topeng Hitam! Bukankah kalian telah membunuh nenek peot
beberapa bulan yang lalu"
Masihkah kalian ingin mungkir...?"
Agaknya Topeng Hitam sudah tidak
dapat menyangkal tuduhan Buang Sengketa.
Kini mereka nampak diam seribu bahasa.
"Wanti... mereka telah membuat hidupmu sengsara! Menurutmu hukuman apakah yang
paling pantas buat mereka...?" tanya Pendekar Hina Kelana
pada Wanti Sarati yang berdiri di sebelahnya.
Wanti Sarati yang merupakan seorang bocah cerdik, tanpa berpikir segera
menjawab: "Mereka harus memotong kedua tangannya masing-masing Paman...!"
Wanti Sarati berkata tegas.
Saat itu juga ketua dan wakil ketua Topeng Hitam berubah pucat parasnya.
"Ti... tidak! Jangan! Kami membunuh nenek peot karena nenek itu telah berhutang
nyawa kepada kami...!" wakil ketua Topeng Hitam beralasan.
Pendekar Hina Kelana berkata ketus:
"Hmm... lagi-lagi engkau
berbohong...!"
Kemudian pemuda itu merenung
sejenak. Lalu berkata lugas.
"Wanti... apa hukumannya bagi orang pembohong?"
Kembali jawaban Wanti Sarati sangat mengejutkan ketua Topeng Hitam.
"Untuk seorang pembohong mereka harus memotong lidahnya sendiri...!"
sela gadis cilik itu polos.
"Hmm... kalian berdua telah
mendengar sendiri hukuman apa yang harus kalian jalani, sekarang aku akan
membebaskan kalian dari pengaruh
totokan!" Seiring dengan ucapannya Buang
Sengketa segera sentilkan jari
telunjuknya mengarah pada tubuh si
Topeng Hitam dua buah benda sebesar butiran pasir segera meluncur dan membentur
bekas totokan secara lunak.
Kedua orang ini segera terbebas dari pengaruh totokan.
Buang Sengketa melirik pada Baja
Wungu lalu berseru:
"Saudara Baja Wungu! Ambil pedang yang tergeletak di atas tanah itu, kemudian
serahkan pada monyet-monyet sialan di depanmu...!"
Tanpa menjawab Baja Wungu melakukan apa yang diperintah oleh orang yang telah
menyelamatkan jiwa mereka, untuk
kemudian, bermaksud menyerahkannya pada si Topeng Hitam. Akan tetapi di luar
dugaan mereka semua setelah pedang itu berada dalam genggamannya. Dengan nekad
ketua Topeng Hitam menyerang Baja Wungu yang paling dengat dengan dirinya. Masih
untung sejak semula Baja Wungu sudah memperhitungkan adanya kemungkinan ini,
kalau tidak tentu dia sudah kojor dengan dada tertembus pedang. Baja Wungu
berkelit dan melakukan serangan balasan.
Dalam keadaan nekad serangan-serangan vang dilancarkan oleh Topeng Hitam
bersaudara nampak ganas sekali.
Pendekar Hina Kelana demi
menyaksikan kenekatan Topeng Hitam, nampak sangat marah. Apalagi tadi, nyaris
membunuh Baja Wungu. Dengan sekali genjot tubuhnya melentik ke atas, kemudian
tanpa menimbulkan suara dia
menginjakkan kakinya tepat di sebelah si Tiga Kembar. Tanpa menoleh dia
berpesan. "Saudara bertiga harap jaga bocah ini! Aku mau mengkremus batok kepala
mereka...!"
Tanpa menunggu jawaban si Tiga Kembar, Pendekar Hina Kelana langsung meluruk si
Topeng Hitam. Kemudian dia berseru pada Baja Wungu:
"Saudara Baja Wungu menying-
kirlah...!"
Mendengar aba-aba yang diberikan
Buang Sengketa, Baja Wungu segera melompat mundur, kemudian bergabung dengan si
Tiga Kembar dan Wanti Sarati.
Kini si Topeng Hitam tersenyum
mengejek, lalu mencemooh:
"Budak hina... kau pikir kami akan menuruti keinginanmu yang gila itu?"
kata Topeng Hitam mendengus. "Kami lebih baik mati dalam pertarungan daripada
harus bertekuk lutut di bawah
perintahmu...!"
Buang Sengketa kertakkan rahang.
Dia benar-benar merasa sangat jengkel sekali. Kemudian dia berkata lantang.
"Agaknya buaya-buaya di bawah sana lebih pantas menyantap bangkai kalian
daripada harus bersusah-susah menggali kubur...!"
Pendekar Hina Kelana lalu menoleh pada tiga partai yang bersekutu dengan Topeng
Hitam. Yang keadaannya masih tertotok, sekali saja tangan pemuda itu
bergerak orang-orang itu pun terbebas dari pengaruh totokan. Suasana nampak
tegang. Tak lama kemudian Buang Sengketa membentak:
"Sekarang tikus-tikus telah
kubebaskan semuanya, kalian hanya bisa selamat apabila mampu menghindari setiap
seranganku. Andai tidak jangan harap bertemu esok...!"
"Bocah sombong mampuslah...!"
Soka Durjana tanpa banyak cingcong langsung menerjang.
* * * 11 Tak begitu lama diikuti pula oleh kawan-kawan mereka yang lain. Meskipun
sesungguhnya hati mereka masih diliputi perasaan jerih. Akan tetapi bagi mereka
lebih baik bertarung daripada harus pasrah menerima nasib. Demikianlah hanya
dalam beberapa saat saja pertarungan sudah berlangsung puluhan jurus.
Masing-masing telah mengeluarkan
jurus-jurus yang paling sangat mereka andalkan. Sementara si Cebol Gagu dengan
senjatanya tombak sakti terus mencecar lawannya dengan beringas. Apalagi tadi
pemuda itu sempat mengerjai dirinya.
Peristiwa itu sungguh sangat memalukan dan patut dibalas. Akan tetapi jurus
silat yang dimainkan oleh si pemuda
sering berubah-rubah. Kadang tubuh lawannya nampak bergerak cepat sambil
melancarkan serangan-serangan yang mematikan, di lain saat berkelebat dan hanya
merupakan bayang-bayang merah. Hal ini sudah barang tentu sangat
membingungkan lawan-lawan Buang
Sengketa. Hingga beberapa saat kemudian dia nampak sudah tak sabar.
Kini mulailah dia melancarkan
pukulan-pukulan Empat Anasir Kehidupan yang sangat diandalkannya. Agaknya lawan
yang berjumlah lima orang ini bagi Buang Sengketa bukan merupakan lawan yang
tangguh. Sekali waktu pemuda itu melepaskan dan kiblatkan tangannya, selarik sinar Ultra
Violet menderu mengarah pada ketua dan wakil Topeng Hitam, angin pukulan
bercuitan. Pukulan yang datangnya begitu mendadak dan terasa sangat cepat
membuat kedua orang itu tak mampu mengelak lagi, sinar yang sangat panas itu
tanpa ampun melabrak tubuh mereka.
"Brees...!"
"Arrggghhk...!"
Jerit kematian bergema di penjuru Sindang. Tubuh Topeng Hitam yang hangus itu
terlempar beberapa tombak dan langsung tercebur ke dalam Sindang Darah. Sebentar
saja tubuh manusia bertopeng yang sudah tidak bernyawa menjadi mangsa yang
sangat empuk bagi buaya-buaya yang berada di dalamnya.
Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan Buang Sengketa yang kini sedang
dicecar oleh tiga orang lawan nampaknya tidak ingin membuang banyak waktu.
Sekali saja jemari tangannya meraba pinggang kemudian berkelebat memapasi Tombak
Sakti milik si Cebol Gagu. Tombak di tangan si Cebol
berantakan dilanda Pusaka Golok Buntung di tangan pendekar negeri Bunian. Bahkan
tanpa tanggung-tanggung lagi senjata pusaka di tangan Buang Sengketa
bertindak lebih lanjut:
"Craas!"
"Crees!"
Darah memancar dari leher si Cebol Gagu yang hampir terputus, sementara nasib
Mujiman ketua padepokan Gunung Lumpang pun tidak jauh berbeda, Darah bercucuran
dari bagian perut yang robek terbabat Pusaka Golok Buntung di tangan Pendekar
Hina Kelana. Hanya beberapa saat tubuhnya limbung untuk kemudian ambruk ke bumi
dengan nyawa melayang.
Mengetahui sobat-sobatnya berge-
limpangan ke bumi dengan keadaan yang sangat mengerikan Soka Durjana yang
tinggal seorang diri menjadi lumer nyalinya. Dengan hati kecut dia
memandangi Buang Sengketa tiada
berkedip. Agaknya pemuda ini tidak akan memberi kesempatan pada Soka Durjana
untuk hidup selanjutnya.
"Cecunguk sial! Hanya tinggal kau seorang yang masih hidup, mungkin kau masih
punya keinginan mengaju jiwa denganku. Majulah...!" Pendekar Hina Kelana
mencemooh. "Hari ini aku memang kalah! Tetapi tunggulah pembalasaanku nanti...!" Usai
berkata Soka Durjana membalikkan tubuh, dan bermaksud ambil langkah seribu.
Buang Sengketa segera bertindak cepat.


Pendekar Hina Kelana 3 Air Mata Di Sindang Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak seorang pun musuh-musuhku pergi dengan seenaknya! Mampuslah...!"
Pendekar Hina Kelana pukulkan tangannya ke depan. Tak pelak lagi selarik sinar
ultra violet menderu dahsyat ke arah Soka Durjana. Jerit kematian tak terelakkan
lagi. Soka Durjana terlempar ke depan dilanda gelombang yang panas membakar.
Soka Durjana ketua perguruan angkara murka tewas seketika itu juga dalam keadaan
hangus menyedihkan.
Buang Sengketa sudah bermaksud
menghampiri Baja Wungu, si Tiga Kembar juga Wanti Sarati ketika terdengar gelak
tawa yang menimbulkan suara bergemuruh tidak begitu jauh dari mereka. Begitu
Buang Sengketa menoleh tahu-tahu di tempat itu telah berdiri seorang
laki-laki berambut setengah botak dengan matanya yang buta. Baik Baja Wungu
maupun si Tiga Kembar yang sudah pernah mengenal itu tanpa sadar berseru: "Padri
Mata Elang...!" Tanpa menghiraukan mereka, Padri Mata Elang melirik pada
Pendekar Hina Kelana. Rasa-rasanya dia belum pernah melihat pemuda berkuncir ini.
Akan tetapi sepak terjangnya.
Benar-benar membuat Padri Mata Elang berdecak kagum.
"Hahahaha... rupanya aku sebagai tuan rumah terlambat datang ke tempat suci ini!
Sungguh sayang keparat dari mana yang telah mengotori tempat ini dengan bangkai-
bangkai yang tiada harga...!"
Padri Mata Elang mencaci maki
habis-habisan. Walaupun Padri Mata Elang tidak langsung menunjuk hidung akan
tetapi dia menyadari bahwa ucapan padri buta ditunjukkan padanya. Baja Wungu
maupun si Tiga Kembar dari Sungai Mati meskipun hatinya tersinggung dengan
ucapan Padri Mata Elang tetapi dia hanya mampu menahan perasaan marah di hati.
Mereka merasa jerih untuk berurusan dengan orang sadis dari Lembah Hantu ini.
Lain lagi dengan Pendekar Hina Kelana.
Dimaki sedemikian rupa sudah barang tentu dia menjadi sangat marah. Dia yang
sudah merasa yakin bahwa laki-laki buta ini sesungguhnya adalah Padri Mata
Elang, tanpa sungkan-sungkan lagi balas membentak:
"Orang tua mata picak ada apakah hingga kau marah-marah seperti setan?"
Padri Mata Elang kertakkan rahang.
"Bocah edan, siapakah kau! Berani benar pada Pewaris Sindang Darah...?"
Pendekar Hina Kelana tersenyum
mencibir. "Pandai sekali si tua buta ini bersilat lidah!" batinnya.
"Tua bangka tidak tahu diri. Siapa kata kau merupakan pewaris Kitab Pusaka
peninggalan Paderi Agung Pengayom Jagad"
Bukankah kau merupakan murid durhaka yang telah begitu tega membunuh guru
sendiri...?" ejek pemuda ini.
Terkesiaplah darah Padri Mata
Elang. Wajahnya nampak memerah seketika.
Bagaimana mungkin bocah ini bisa
mengetahui apa yang pernah dilakukan.
"Lancang sekali mulutmu...
katakanlah siapa namamu supaya kau tidak menyesal nantinya."
Buang Sengketa tertawa ganda. Kemudian:
"Aku ini si Hina Kelana yang tiada harga, apa gunanya kau mau tahu namaku?"
pemuda itu menyela.
Begitu mendengar julukan si pemuda, Padri Buta ini kerutkan kening. Tak kalah
terkejutnya dengan Baja Wungu dan si Tiga Kembar. Mereka benar-benar tak mengira
bahwa Pendekar Hina Kelana yang
belakangan ini membikin gempar dunia persilatan karena sepak terjangnya,
ternyata masih muda belia. Beberapa saat kemudian Padri Mata Elang
tergelak-gelak.
"Hahaha... kek... kek... kek! Hemm, kiranya kau budak hina yang akhir-akhir ini
bikin heboh berbagai golongan
persilatan itu. Bagus! Aku jadi ingin tahu berapa hebatnya sepak terjangmu yang
membuat tikus-tikus tiada guna lari terkencing-kencing...!" kata Padri Mata
Elang. "Tua durhaka! Tidak seorang pun manusia di atas dunia ini yang lebih perkasa
dari Sang Pencipta. Aku yang hina ini mana mungkin sanggup menandingimu!"
Meskipun Pendekar Hina Kelana
berkata merendah akan tetapi Padri Mata Elang cukup tahu bahwa pemuda itu
sesungguhnya tengah mengejeknya.
"Keparat... bicaramu hanya membikin perutku mau muntah! Terimalah ini...!"
Tangan Padri Mata Elang berkelebat, kemudian meluncurlah benda-benda
berwarna kekuning-kuningan. Pendekar Hina Kelana maklum bahwa si Padri Buta
telah melemparkan senjata rahasia padanya. Untuk tidak membuat Padri Mata Elang
semakin besar kepala, Buang Sengketa segera kirimkan satu pukulan dahsyat dari
Empat Anasir Kehidupan.
Selarik sinar Ultra Violet yang berhawa sangat panas menderu dan timbulkan suara
bereuitan. Senjata rahasia bertemu dengan sebuah kekuatan yang dahsyat.
"Brees.....Blaar...!"
Senjata rahasia milik si Padri Mata Elang yang berupa puluhan Ekor Ular Kuning
berpentalan ke segala arah dengan keadaan hangus dan mati. Padri Mata Elang
keluarkan seruan tertahan begitu
merasakan hawa pukulan yang sangat panas melanda tubuhnya. Kalau tidak
cepat-cepat lompat ke samping tentu tubuh Padri Mata Elang menjadi sasaran
pukulan yang dilancarkan Buang Sengketa.
Padri Buta Mata Elang seolah bagai tak percaya nampak tertegun untuk beberapa
saat lamanya. "Padri Buta, ajal sudah di depan mata! Bersiap-siaplah untuk mampus...!"
"Keparat...!" Padri Buta mendengus.
Lalu secara hampir bersamaan dia
menerjang dan langsung kirimkan
serangan-serangan yang sangat dahsyat.
Sebentar saja pertarungan sengit
pun terjadi, masing-masing lawan segera melancarkan pukulan yang bertubi-tubi.
Dan di antara lawan-lawannya terdahulu nampaknya kali ini Buang Sengketa benar-
benar berhadapan dengan seorang lawan yang sangat tangguh.
Beberapa saat saja pertarungan
sudah mencapai belasan jurus. Buang Sengketa kerahkan segenap kemampuan yang
ada. Begitu juga halnya dengan Padri Mata Elang. Dengan Jurus Elang Menyambar
Mangsa, tubuhnya berkelebat, mencecar dengan serangan yang bertubi-tubi.
Begitu pun dengan lawannya. Dengan jurus si Gila Mengamuk, tubuh si pemuda
meliuk-liuk tak beraturan, terkadang kakinya menendang atau di lain saat
tangannya mencakar dan bergerak pada bagian-bagian yang mematikan. Sejauh itu
dia masih belum mampu mendesak lawannya.
Bahkan beberapa saat berikutnya dia malah terdesak hebat. Hingga pada satu
kesempatan Padri Mata Elang berhasil mendaratkan satu pukulan telak pada bagian
dada pemuda itu:
"Puuk!"
"Bruuk!"
Buang Sengketa terjengkang,
tubuhnya terlempar beberapa tombak. Dia merasakan dadanya bagai remuk. Pandangan
matanya berkunang-kunang. Perasaan mual berbaur menjadi satu. Dengan cepat
Pendekar Hina Kelana gelengkan kepalanya beberapa kali. Begitu rasa sakitnya
agak berkurang, sudah tiada kesempatan lagi pemuda itu untuk berdiri. Padri
Agung Mata Elang yang terus memburunya segera kirimkan satu pukulan yang sangat
diandalkan. Seberkas sinar be-warna kebiru-biruan meluruk dan menderu ke
arahnya. Itulah salah satu pukulan sakti yang diberi nama Elang Buta Menubruk
Mangsa yang terkenal ganas. Sinar itu terus meluruk. Tentu saja Buang Sengketa
tak ingin mati konyol, secepat kilat dia kiblatkan tangannya. Kembali selarik
sinar Ultra Violet menderu dan timbulkan suara bergemuruh. Tak terelakkan lagi,
dua tenaga sakti bertemu.
"Blaar...!"
Bumi bergetar terasa mau kiamat.
Batu-batu bertebangan ke segala arah.
Tubuh Buang yang masih dalam posisi
terlentang amblas beberapa centi ke dalam tanah. Sementara Padri Mata Elang
terlempar jauh, darah berlelehan dari lubang hidung dan bibirnya. Padri Mata
Elang segera bangkit kembali, begitu pula dengan Buang Sengketa. Sambil
memandang dengan penuh kebencian dia membentak:
"Budak Hina! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"
Disertai dengan lengkingan dahsyat Padri Mata Elang langsung menyerang kembali.
Namun kiranya Buang Sengketa sudah tak ingin mengulur-ulur waktu.
Sekali kedua tangannya meraba
pinggang, maka pusaka Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto ikut bicara. Dengan
sinarnya yang berwarna kemerahan golok dan cambuk di tangan si pemuda segera
berkelebat. Menyambar kian ke mari. Di lain waktu cambuk Gelap Sayuto di tangan
kirinya melecut.
"Ctar.... Ctaar.... Ctar...!"
Seketika itu juga langit berubah
gelap gulita, petir dan halilintar sambung menyambung. Terkesiaplah mereka yang
berada di tempat itu.
Terlebih-lebih Padri Mata Elang.
Tanpa membuang waktu ke lengan Padri Mata Elang yang hanya sekejap itupun
dimanfaatkan oleh Pendekar Hina Kelana.
Pusaka Golok Puntung di tangannya berkiblat:
"Craas...!"
Akibatnya sungguh sangat mengerikan sekali. Padri Mata Elang hanya melotot
beberapa saat lamanya. Darah memancar dari tenggorokan yang menganga. Tanpa
mampu mengeluh tubuhnya langsung ambruk ke bumi untuk selama-lamanya.
Tak lama kemudian suasana berubah sepi, secara perlahan kegelapan alam sekitar
mulai pudar. Kemudian menjadi terang kembali. Begitu Baja Wungu maupun si Tiga
Kembar menoleh mereka sudah tak melihat Buang Sengketa dan Wanti Sarati.
Yang ada hanyalah mayat Padri Mata Elang yang tewas dalam keadaan yang sangat
menyedihkan. TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Heng Thian Siau To 2 Kedele Maut Karya Khu Lung Petualang Asmara 22
^