Pencarian

Alap Alap Liang Kubur 2

Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur Bagian 2


pedang terus mencecar.
"Empat orang-orang Ki Wirayuda boleh lari me-
lihat kebolehan mu, tapi aku putri sakti dari Gunung Tunggul jangan di samakan!"
Pedang di tangannya berputar sangat cepat, sehingga nampak seleretan sinar yang
bergulung-gulung siap membawa maut. Se-
tengah mati Wintara mengelak.
Perempuan ini boleh dikata lihai dalam ilmu
pedang. Setiap gerakannyapun selalu nyaris mengena.
Namun bagi pendekar Kelana Sakti serangan-serangan
itu masih dapat dielakan. Bahkan sudah sampai pada
jurus yang kedelapan pun Srikaton Munggel belum
dapat menjatuhkan lawannya. Hal ini membuat Srika-
ton Munggel makin gigih lancarkan serangan.
"Ayo keluarkan semua ilmu yang kau dapat da-
ri Gunung Tunggul! Aku gembel busuk sekaligus bo-
cah tengik ingin tahu sampai mana kebolehanmu!"
Wintara mengejek. Gerakan-gerakannya licin. Tubuh-
nya meliuk-liuk ke sana ke mari menghindari setiap
sambaran pedang. Mendengar ucapan itu pula Srika-
ton Munggel makin gusar. Serangannya makin nafsu.
Hal ini mengakibatkan ia kehilangan keseimbangan.
Selama itu pula Wintara belum membalas serangan.
"Kalau belum cukup ilmu, jangan turun gu-
nung. Bantu saja emakmu di dapur!" oceh Wintara La-gi. Kali ini sambaran pedang
Srikaton Munggel tidak
main-main. Sekali hentakan kaki, tubuhnya melesat
bersama tikaman pedang yang tajam mengarah.
"Hreaaaaa...!" Wintara menyambut dengan pukulan Bayu Menghempas Tebing. Srikaton
Munggel memekik. Pedangnya bergetar sampai ke pangkal len-
gan. Dan ia sendiri ambbruk tanpa bisa mengimbangi.
"Soal urusanmu dengan orang-orang Ki Wi-
rayuda, aku tak ambil pusing. Tapi sikap mu itu yang memuakkan, Srikaton!"
Wintara memandangi perempuan dari Gunung Tunggul bangkit berdiri.
"Pergilah dari hadapanku! Kau boleh urus diri-
mu terhadap orang-orang Ki Wirayuda. Tak ada un-
tungnya mencampuri urusan kalian!" ujar Wintara. Diapun segan berhadapan dengan
Srikaton lagi. Maka
dengan tidak perduli ia membalikkan tubuh sambil
melangkah. Tentunya perempuan ahli dalam ilmu pe-
dang ini, tidak akan terima diperlakukan begitu.
"Bocah sialan. Jangan merat. Kau pikir puku-
lan tahi kerbaumu itu dapat membuatku jera" Kau bo-
leh hindari ini!" Wintara benar-benar tak peduli, manakala Srikaton Munggel
menerjang dari arah bela-
kang. Pedangnya menyambar-nyambar bagai kilat.
Bersama desiran angin yang mengarah deras. Wintara
membalikkan tubuh. Serta merta ia lepaskan hanta-
man Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Trlaaak....! Aaaikht...!"
Pedang Srikaton Munggel terlepas. Srikaton
Munggel sendiri terbanting hebat. Dadanya terasa se-
sak. Wintara balik nyengir. "Dasar perempuan tidak baik. Begitukah gurumu
mengajari main bokong?"
Wintara tahan amarah.
"Jangan sebut-sebut guruku! Kalau beliau ta-
hu, tubuhmu akan hancur lebur!" tukas Srikaton
Munggel sambil mengusap tetesan darah dari sela bi-
birnya. "Sekali-sekali boleh juga kau bawa guru mu untuk menghadapi aku. Asal
tahu saja, aku Pendekar Ke-
lana Sakti tak bakal mundur barang selangkah pun!"
Mendengar siapa adanya pemuda itu Wajah
Srikaton berubah kecut. Kiranya inilah sosok pendekar urakan maha sakti itu.
Tidak menyangka pula kalau ia harus berhadapan secara kebetulan. Baru tahu pula
kalau kepandaian Pendekar Kelana Sakti jauh berada
di atasnya. Nama besar pendekar sial ini memang bu-
kan nama kosong, pikir Srikaton Munggel, ia bangkit
menudingkan pedang. Tanpa mengelak Wintara tetap
berdiri di hadapannya.
"Ingat bocah pendekar! Mengingat kita tidak
pernah berurusan maupun tidak saling kenal, aku
mengalah hari ini. Tapi bila suatu saat kita bertemu tahu sendiri. Aku tidak
segan-segan lagi untuk men-cincangmu!" sumbar Srikaton Munggel. Sambil menahan
malu. Ia menyarungkan pedangnya ke pinggang, lain
berjingkat merat. Wintara hanya memandangi keper-
gian Srikaton Munggel. Ia hanya menggelengkan kepa-
la mengartikan ucapan Srikaton Munggel yang cuma
gertak sambal. Dari mana asal perempuan hebat itu, Wintara
tak ambil pusing. Di mana letak Gunung Tunggul pun
ia tidak tahu. Yang jelas ia tidak boleh bertindak sembarangan. Mengenai
Srikaton Munggel maupun orang-
orang Ki Wirayuda sama sekali asing. Pertemuan yang
hanya sekilas itu cukup membuat dirinya bisa mem-
pertimbangkan. Srikaton Munggel jelas seorang tokoh sesat. Tapi belum bisa
dipastikan. Apa latar belakangnya sampai-sampai tokoh
ahli dalam ilmu pedang macam Srikaton Munggel be-
rani datang ke tanah Sungkawarang ini. Dalam hal ini Wintara tahu kalau empat
orang tadi adalah para pengikut Ki Wirayuda. Jelas Ki Wirayuda bercokol di desa
ini. Begitu seriusnya empat orang pengikut Ki Wirayuda mati-matian menghadapi
Srikaton Munggel ketika
dilihatnya tadi. Kalau saja Wintara tidak keburu da-
tang, pastilah ke-empat orang itu sudah celaka.
* * * 10 Masih dalam berpikir, tiba-tiba saja Wintara di-
kejutkan oleh derap kaki kuda yang begitu cepat.
Spontan ia menoleh ke arah suara itu. Dilihatnya seekor kuda lari tunggang
langgang dengan seorang pe-
nunggang yang nampaknya tengah terluka.
Lebih terkejut lagi ketika Wintara dapat melihat
jelas penunggang kuda itu membawa sesuatu. Pe-
nunggang kuda itu sendiri seperti terombang ambing
di atas pelana. Semakin dekat semakin jelas apa yang dibawanya itu. Wintara
hampir tidak percaya. Bulu
kuduknya berdiri.
Penunggang kuda itu menggenggam sebuah ku-
tungan kepala seorang perempuan. Darah menetes di
setiap langkah kuda. Wintara melompat minggir saat
kuda itu berlari cepat melaluinya. Kiranya sosok pe-
nunggang kuda tidak lain dari pendekar dari bukit Sinimbung. Wita Soma. Dia
sudah setengah pingsan ter-
bawa oleh kudanya kemana lari.
Tergerak pula dalam keinginan Wintara untuk
mengikuti kuda itu. Maka dengan kecepatan larinya,
Wintara berusaha mengimbangi. Tak urung ia harus
mengikuti lari kuda yang tak terkendali. Menelusuri
sebuah jalan becek. Lari Wintara bagai terbang.
Di sebuah persimpangan tajam, Wita Soma ti-
dak kuat lagi duduk di atas pelana. Tubuhnya ambruk
bersama menggelindingnya kutungan kepala Mawarni
Runi. Kudanya ikut berhenti, seakan menunggu maji-
kannya bangkit kembali. Wintara menahan nafas
memperhatikan raut wajah pucat Wita Soma.
Tubuh pingsan itu penuh luka memar. Sekitar
pinggangnya mengembar darah. Pastilah tulang ping-
gangnya telah remuk, pikir Wintara. Tapi ia yakin kalau orang ini cuma pingsan.
Tanpa ragu Wintara me-
meriksa seluruh tubuh penuh luka. Pertolongan per-
tama Pendekar Kelana Sakti menotoki tiap-tiap jalan
darah. "Terlambat saja barang sedikit, orang ini tak akan tertolong lagi." desah
Wintara. Hati-hati ia mere-bahkan Wita Soma di tanah berumput. Ia melirik pula
kutungan kepala seorang perempuan tergeletak di ta-
nah. "Manusia mana yang telah bertindak sekeji ini"
Begitu banyakkah orang-orang jahat di Sungkawa-
rang" Benar-benar edan." Wintara tak habis pikir. Ia tidak tahu apa yang mesti
diperbuat. Pemukiman terpencil begitu jauh. Lagi pula mana mungkin ia harus
membawa Wita Soma kesana. Tentunya para pendu-
duk terpencil itu akan ketakutan.
Kembali ke gubuk Ki Karantungan" Rasanya ti-
dak mungkin. Biar saja tunggu sampai siuman. Ingin
tahu pula kutungan kepala siapa yang dibawanya ini.
Juga apa yang membuat dia begitu parah. Wintara
memotes selembar pelepah daun pisang. Ditutupinya
kutungan kepala itu. Lalu kembali duduk di pinggiran jalan menunggui Wita Soma.
Sebentar kemudian Wita Soma mulai siuman.
Tubuhnya menggeliat-geliat tapi setelah dirasakan betapa sekujur tubuhnya sangat
sakit, Wita Soma men-
gerang hebat, Wintara bangkit menotok lagi. Kali ini di bagian belakang tulang
leher. Akibatnya Wita Soma
seperti tidak merasakan sakit.
"A.. Akh...Di-dimana ini..." Ma-mana is.. istri-ku...?" Wita Soma bergerak
bangkit. Tapi sekujur tubuhnya kaku.
"Tenang... Tenang, Sobat. Apa sebenarnya yang
terjadi denganmu...?" tanya Wintara memegangi tubuh Wita Soma. Pendekar dari
bukit Sinimbung ini balas
menatap. "Jangan takut. Aku menemukan anda da
lam keadaan begini. Perbuatan siapa ini?" Win-
tara membuka pelepah daun. Kutungan kepala seo-
rang perempuan menghadap ke arah Wita Soma, ma-
ka... "Mawarni.... Mawarni...!" Wita Soma berteriak histeris.
"Diakah istrimu?" Wintara menutup kembali.
"Gentara Karma... Ini perbuatan Gentara Kar-
ma. Orang-orang bukit Sinimbung harus tahu. Genta-
ra Karma harus mendapat balasan atas kematian istri-
ku...! Sobat... Tolong bebaskan aku dari totokan ini.
Aku harus menemui Ki Wirayuda." Wita Soma men-
cengkeram lengan Wintara kuat-kuat berusaha bang-
kit. "Ki Wirayuda?" ulang Wintara. Ia berpikir sebentar. Lalu... "Sebaiknya aku antar
kau ke Sana. Lu-ka-lukamu sangat parah. Di manakah pemukiman Ki
Wirayuda itu?" Wintara membawa bangkit tubuh Wita Soma. "Siapakah kau ini,
terhadap Ki Wirayuda saja tidak kenal. Beliau salah seorang tokoh aliran lurus
yang sangat ditakuti. Tolong naikan aku ke atas kuda dan juga kepala istriku
itu." Pinta Wita Soma. Wintara menghela nafas. Berniat memenuhi permintaan
pendekar bukit Sinimbung. Hal itu tentunya ia harus
membebaskan totokannya. Tapi, akan sanggupkah Wi-
ta Soma menahan rasa sakit setelah terbebas dari to-
tokannya" Wintara jadi serba salah. Belum habis ber-
pikir, Tiba-tiba saja...
"Itu dia orangnya...! Kebetulan sekali kita bisa menjumpainya di sini!"
Terdengar sebuah teriakan.
Wintara jadi terkejut. Tahu-tahu saja ia telah terkurung oleh belasan orang.
"Astaga! Rupanya ia baru saja melukai sobat ki-
ta Pendekar Bukit Sinimbung!" teriak mereka. Wintara makin tidak habis pikir. Ia
memandang berkeliling pa-da dua belas orang yang mengurungnya. Diantara
orang-orang itu ada empat orang yang tadi berhadapan dengan Srikaton Munggel.
"Hm... Orang-orang Ki Wirayuda rupanya." kata Wintara dalam hati. Belasan orang
itu serentak mencabut senjata.
"Biar Srikaton Munggel lolos dari kita! Tapi kita telah mendapat satu orang
perusuh ini!" bentak mereka lagi siap menyerang.
"Kalian apa-apaan...!" bentak Wita Soma. Ia tetap terbaring di atas tanah
berumput. "Kalian bermaksud hendak mencelakai kami"
Bukankah kalian para pengikut Ki Wirayuda?" kata Wita Soma Geram. Ia melindungi
kutungan kepala isterinya. Setiap orang memandang jijik.
"Tujuan kami bukanlah untuk menyakiti anda,
Pendekar Wita Soma. Tapi terhadap cecurut kecil ini.
Seluruh orang-orang persilatan tahu kalau orang-
orang aliran sesat telah menerobos ke desa ini." jawab mereka. Yang lain siap
menyerang. Wintara tenang-tenang saja.
"Sungguh bodoh kalian semua! Justru pemuda
ini yang telah menolongku!" bela Wita Soma.
"Tidak mungkin. Kami melihat sendiri kalau
anak muda itu bersekutu dengan Srikaton Munggel!"
"Kalau dia ingin, bermaksud jahat. Dia sudah
dari tadi membunuhku!" Jawaban Wita Soma sangat tepat. Ucapan itu membuat mereka
serentak diam. "Benar! Apa yang diucapkan pendekar bukit Si-
nimbung memang benar!" Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan menggema. Suara
itu parau namun masih
jelas kedengaran. Semua mata mencari-cari sumber
suara itu. "Kalian secepatnya membawa pendekar Wita
Soma untuk menemui Ki Wirayuda! Suara itu meng-
gema lagi. Namun sosok orang berteriak itu belum juga menunjukkan diri.
Wintara menatap ke atas. Sebelah telapak tan-
gannya memungut batu kerikil. Dengan cepat pula ia
melempar ke atas. Ke arah rimbunnya dedaunan. Batu
kerikil meluncur deras bak peluru.
"Bocah hebat! Jangan menyerang! Baik aku
akan menampakkan diri!" Rimbunan daun itu ber-goyang-goyang. Dari situ melesat
sosok berbaju serba hitam. Sebelum menginjak tanah tubuhnya berjumpalitan. Dan
begitu ia hinggap di hadapan mereka.
Orang-orang Ki Wirayuda, Pendekar Wita Soma mau-
pun Wintara sangat terkejut. Mengapa tidak. Sosok
serba hitam itu berwajah buruk mirip hantu gentayan-
gan. Tapi cepatnya mereka tahu kalau wajah buruk itu
hanyalah sebuah topeng.
Para pengikut Ki Wirayuda ini berbalik mengu-
rung sosok menyeramkan.
"Tunggu dulu, tiada maksud jahat atas peng-
hadanganku ini. Sama sekali tiada maksud apa-apa."
Sosok menyeramkan itu melangkah tenang. Lalu ia
berkata lagi.... "Kecuali untuk mengingat pada segenap orang-orang persilatan
agar berhati-hati di tanah
Sungkawarang. Juga perlu kalian sampaikan pada Ki
Wirayuda. Bahwa ia telah membuat kesalahan besar."
Setelah berkata begitupun sosok menyeramkan itu me-
lesat lagi kemudian menghilang. Mereka tidak menge-
jar. Karena sosok menyeramkan cepat lenyap.
* * * 11 Bulan penuh menerangi pelataran bangunan
usang. Sekelilingnya tumbuh pohon-pohon besar bagai


Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepasukan raksasa. Tanah merah yang tergenang air
berkilat bagai perak. Bangunan usang itu berdiri tegar menyeramkan. Saat itu
sosok hitam berlompatan dari
pohon ke pohon. Gerakannya sangat lincah. Jelas tu-
juan sosok hitam itu menuju bangunan usang terse-
but. Tanpa ragu sosok hitam itu menjajaki anak
tangga yang membawa tubuhnya memasuki ruangan
gelap. Barulah kita tahu kalau sosok hitam itu tidak lain sosok berwajah
menyeramkan. Sosok yang pernah
mengintai pasangan pendekar dari bukit Sinambung,
juga pernah berhadapan dengan orang-orang Ki Wi-
rayuda bersama pendekar Kelana Sakti di persimpan-
gan jalan. Di dalam ruangan pengap itu telah menunggu
seseorang. Meskipun dalam suasana remang, kita da-
pat melihat seseorang itu berpakaian penuh lumpur
kering. Dialah sosok Gentara Karma. Sosok wajah me-
nyeramkan masuk ke dalam ruangan menemui Genta-
ra Karma. "Ha-ha... Sobat Siluman Muka Buruk, akhirnya
kita bertemu lagi." sambut Gentara Karma. Terhadap sosok berwajah menyeramkan
ini Gentara Karma me-nyebut Siluman Muka Buruk.
"Senang rasanya bertemu orang seperti eng-
kau!" kata Gentara Karma lagi. Siluman Muka Buruk hanya diam. Sepertinya ia
tidak suka dengan perte-muan gelap itu.
"Di antara kita memang saling kenal. Kedatan-
ganku ke sini bukan untuk bergabung. Tidak lebih un-
tuk menengokmu saja." jawab Siluman Muka Buruk
dingin. "Apa maksudmu?" tanya Gentara Karma. Lalu ia meneruskan kata-katanya...
"Di Sungkawarang ini hanya kita berdua yang
memiliki Ilmu Mati Pamungkas. Kau jangan berlagak
alim, Siluman Muka Buruk. Kita ditakdirkan harus
bergabung untuk menguasai dunia persilatan."
"Benar. Tapi sudah lama pikiranku telah beru-
bah. Kita berdua sebenarnya telah mati, Gentara Kar-
ma. Kau harus ingat itu." Ujar Siluman Muka Buruk.
Gentara Karma tertawa mengekeh.
"Kita berdua telah mengalami nasib yang sama.
Lahir dari liang kubur. Tapi apakah kau rasakan kalau diri kita ini sudah mati"
Kita masih bisa bicara, masih bisa melakukan apa saja sekehendak hati. Kurang
apa" Itukah yang disebut mati?"
"Kita berdua sudah mati. Jantungmu tidak ber-
denyut! Hatimu tidak lagi memiliki perasaan, dan juga tidak bernafas dengan
udara. Kau tidak bisa menyangkal lagi kalau kita sudah mati."
"Itulah kehebatan Ilmu Mati Pamungkas. Sela-
ma kita hidup dari kematian, kita tidak pernah akan
mati lagi." jawab Gentara Karma. "Dan yang harus kau ingat...."
"Kita berdua berdiri pada pihak aliran sesat."
Bicara Gentara Karma bernada murka.
"Sekarang tidak lagi. Aku tidak berdiri di pihak manapun. Dunia persilatan hanya
membuat diri ku
semakin jenuh." ujar Siluman Muka Buruk.
"Katakan saja kau takut!" bentak Gentara Karma.
"Bukan takut atau tidak memanfaatkan Ilmu
Mati Pamungkas. Kau pikir memiliki ilmu itu cukup
enak" Bayangkan saja, kita semakin lama-semakin
tua. Apa jadinya kalau kita tidak pernah mati?" kata Siluman Muka Buruk.
"Kalau begitu sebaiknya kita bertempur sampai
di antara kita berdua ada yang betul-betul mampus!"
Murka Gentara Karma.
"Percuma. Di antara kita tidak akan ada yang
mati." Mendengar itu Gentara Karma menghantam
tinjunya ke tembok. Tembok dinding yang setebal satu jengkal ambrol berlubang.
Apa yang dikatakan Siluman Muka Buruk benar. Sebenarnya pula Siluman
Muka Buruk tidak gentar melihat kemarahan Gentara
Karma. Maka setelah ia melihat Gentara Karma cukup
tenang. Sosok berwajah buruk melangkah mundur...
"Kau boleh melakukan apa saja kemauanmu.
Yang jelas aku tidak ingin terlibat." Siluman Muka Buruk melesat ke luar. Dalam
sekejap sosok hitam itu lenyap dalam kepekatan malam.
Gentara Karma melangkah ke luar. Ia tidak
perduli ke mana Siluman Muka Buruk pergi. Pandan-
gannya hanya menatap terangnya bulan purnama.
"Manusia dungu...! Manusia bodoh...! Tidak ta-
hu arti Ilmu Mati Pamungkas. Tidak tahu ribuan mu-
suh membentang di depan mata! Dasar tolol....!" Teriakan Gentara Karma nyaring
memecah suasana malam.
*** Ki Wirayuda tidak percaya dengan penuturan
Wita Soma yang terbaring penuh dengan balutan. Ter-
lebih-lebih Nyi Andini. Kedatangan pendekar dari bukit Sinimbung ini benar-benar
merepotkan. Wintara yang
juga berada di tempat itu jadi serba salah. Ia selalu di-curigai oleh orang-
orang Ki Wirayuda. Tindakan itu
memang wajar, karena Wintara orang asing.
Apalagi empat pengikut Ki Wirayuda mengata-
kan kalau Wintara bersekutu dengan Srikaton Mung-
gel. Juga membantu Srikaton Munggel ketika mereka
hendak meringkusnya. Sekalipun tindakan Wintara itu
hanya terjadi karena salah paham, hal itu cukup
membuat Ki Wirayuda menyesali. Mungkin juga tidak
ada lagi kesempatan untuk menemui Srikaton Mung-
gel. "Ki Wirayuda... Sobat Wintara tidak bersalah.
Dia hanya pendatang asing yang belum mengenai se-
luk beluk tanah Sungkawarang." ujar Wita Soma. Lu-kanya agak membaik. Ia sudah
bisa bersandar pada
dinding kamar. Hari itu mereka baru saja selesai men-guburkan kutungan kepala
Mawarni Runi. "Aku memang memakluminya, Pendekar Wita
Soma. Cuma harus juga ku sesali. Srikaton Munggel
seorang tokoh sesat yang mendampingi Gentara Kar-
ma. Sangat disayangkan ia lolos." Tak ada kata lain
yang diucapkan Ki Wirayuda.
"Siapa sobat Wintara mu ini" Tentulah bukan
manusia sembarangan. Empat orang-orangku saja lari
terbirit-birit dibuatnya." ujar Nyi Andini yang sebenarnya nada ucapan itu
mengandung sindiran.
"Kiranya hal itu tidak lagi dipersoalkan. Lebih baik kita membicarakan perihal
kemunculan Gentara
Karma. Bukankah begitu saudara Pendekar Wita So-
ma?" kata Wintara
"Benar. Gentara Karma harus menerima hu-
kuman yang setimpal. Aku harus menyerahkan bang-
sat itu ke bukit Sinimbung." sumpah Wita Soma. Ki Wirayuda dan Nyi Andini saling
pandang. "Ucapanmu sangat ngelantur, Pendekar Wita
Soma. Mungkin saja kau salah lihat. Tidak mungkin
orang itu Gentara Karma. Sebab Gentara Karma seka-
rang telah menjadi makanan cacing di liang kubur."
ucap Ki Wirayuda.
Wintara keheranan. Wita Soma merasa seperti
tidak ditanggapi. Bagaimanapun Wita Soma yakin sia-
pa gerangan orang yang telah membunuh istrinya
maupun membuat dirinya jadi terluka parah seperti
ini. Terhadap Gentara Karma, Wita Soma sangat men-
genalinya. Dia sendiri jadi bingung setelah mendengar pengakuan Ki Wirayuda.
"Semua orang-orang tanah Sungkawarang me-
nyaksikan bagaimana Gentara Karma menerima ajal-
nya di dalam liang kubur. Mereka ikut menguruknya
hidup-hidup!" Nyi Andini meyakinkan.
"Mana ada orang lain yang memiliki pukulan
Tinju Guntur Geledek, selain Gentara Karma." tukas Wita Soma.
"Jelas ia bukan hantu gentayangan seperti yang
kalian kira. Dia mengaku dirinya belum mati. Bahkan
ia telah membuat aku mati kutu. Ilmunya makin sem-
purna. Belum tentu sepuluh orang seperti kita sang-
gup menghadapinya."
Ki Wirayuda maupun Nyi Andini menelan lu-
dah. Bagaimana mereka harus mempercayai ucapan
Wita Soma" Dendamnya saja selama ini belum terha-
pus. Lagi pula Gentara Karma memang telah dikubur-
nya hidup-hidup. Mereka berdua bersama orang-orang
persilatan melihat betapa Gentara Karma tewas men-
derita. Untuk sementara keluarga Ki Wirayuda terpak-
sa mengalah. "Baiklah... Aku mempercayai penuturan mu itu,
Pendekar Wita Soma. Kita lihat saja perkembangannya.
Nanti setelah sembuh kita boleh mencari orang yang
memiliki pukulan Tinju Guntur Geledek." ujar Nyi Andini jadi tenang melihat
percakapan tegang itu beru-
bah dingin. * * * 12 Kemunculan laki-laki yang memiliki ilmu Tinju
Guntur Geledek, ternyata bukan isapan jempol belaka.
Juga bukan cerita ngawur Pendekar dari bukit Sinim-
bung. Banyak orang mengatakan hantu Gentara Kar-
ma kini gentayangan, Baik siang maupun malam sela-
lu saja ada korban.
Penduduk Tanah Sungkawarang benar-benar
resah. Gentara Karma tidak segan-segan membunuh
siapa saja orang yang tidak disukainya. Apalagi orang-orang persilatan. Di sana
sini telah banyak bergelimpangan mayat mereka. Yang dadanya bolong, yang ke-
hilangan lengannya, yang buntung kakinya, juga yang
terbaring tanpa kepala.
Darah membercak di mana-mana. Setiap lang-
kah Gentara Karma selalu mengundang maut. Di su-
dut desa banyak para penduduk
yang kehilangan anak gadisnya. Setiap malam
hampir setiap anak gadis mereka tewas secara menge-
rikan. Setiap korban perempuan selalu terdapat luka
di tenggorokan yang nyaris putus. Setelah tewas, Gentara Karma sempat pula
memperkosa mereka. Suatu
kelebihan super maniak.
Peristiwa itu cepat tersebar membuat semua
penduduk Sungkawarang semakin gelisah. Hal itu bu-
kannya tidak diketahui oleh Ki Wirayuda. Tapi ia be-
lum percaya kalau ia belum menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri. Untuk itu ia tetap merahasiakan
pada Pendekar dari bukit Sinimbung. Meskipun demi-
kian Nyi Andini tetap menyebarkan orang-orangnya
untuk mencari kebenaran berita itu secara diam-diam.
Telah satu minggu Wintara berada di dalam
pemukiman Ki Wirayuda. Dirinya merasa seperti ter-
kurung. Sehingga ia tidak mengetahui apa yang tengah terjadi di luar.
Satu-satu tempat yang cukup tenang adalah le-
reng bukit Tunggul. Lereng itu memang tidak berpen-
duduk. Hutan-hutan-nya yang lebat tak terurus, juga
banyak binatang buas yang berkeliaran. Tidak pernah
ada seorang pendatang atau orang-orang yang ber-
maksud membuat tempat tinggal di sana. Bagi orang
yang tahu, mereka mengenal adanya seorang tokoh tua
bersama seorang perempuan cantik tinggal di sana. Ilmunya sangat luar biasa.
Yang membuat orang-orang itu takut adalah
karena dua tokoh berilmu tinggi itu tidak suka dengan adanya pendatang yang
mengusik ketenangan Gunung
Tunggul. Guru serta murid sakti itu tidak segan-segan
membantai para pendatang. Mereka adalah Srikaton
Munggel bersama gurunya Nilasari Grewek. Guru dan
murid ini sama-sama telengasnya menjaga Gunung
Tunggul. Saat itu Srikaton Munggel kembali ke puncak
Gunung Tunggul. Ia membatalkan niatnya untuk ber-
temu Ki Wirayuda. Dan sekarang ia telah menemui sa-
tu persoalan yang amat berat. Persoalan yang sama
sekali tidak dapat dimengerti. Hal itu harus cepat dibe-ritahukan pada sang
guru, Nilasari Grewek. Maka ke-
tika ia menjajaki puncak gunung itu langkahnya se-
makin cepat. Kediaman Nilasari Grewek nampak tenang. Me-
rupakan sebuah bangunan batu. Nampak pula bangu-
nan itu mirip bekas sebuah candi. Hampir seluruh
dindingnya banyak di tumbuhi tumbuhan merambat
sampai ke atas genting. Di depan pelatarannya tum-
buh alang-alang menghijau sebatas pinggang. Srikaton menerobos menerjang
hamparan alang-alang.
"Murid centil. Mengapa kembali begitu cepat"
Apakah kau sudah mencari tahu berita itu?" Terdengar suara sambutan dari dalam
bangunan. Jelas itu suara
Sang guru. Srikaton Munggel tidak menjawab. Lang-
kahnya cepat masuk ke dalam bangunan. Nilasari
Grewek nampak duduk bersemedi di sudut ruangan.
Rambut putih berubah terjuntai sampai ke lantai. Ba-
junya yang serba merah membuat dirinya nampak ke-
kar meskipun usianya hampir mencapai tiga perempat
abad. "Gentara Karma tidak mati seperti apa kata orang. Guru. Dia masih malang
melintang dalam dunia
persilatan." kata Srikaton Munggel sambil menghenyakkan dirinya pada sebuah
tumpukan jerami kering.
"Bagus. Berarti masih ada harapan untuk me-
lanjutkan pertunanganmu dengan Gentara Karma.
Hik-hik-hik-hik...." jawab Nilasari Grewek sambil tertawa mengikik.
"Lebih baik batalkan saja pertunangan itu. Aku
sudah muak melihat tingkah Kakang Gentara Karma.
Gara-gara ulahnya, orang-orang Ki Wirayuda mengeta-
hui kehadiranku di tanah Sungkawarang." gerutu Srikaton Munggel. Tingkahnya
bagaikan gadis remaja
yang manja. "Hik-hik-hik-hik... Mana mungkin orang-orang
Ki Wirayuda berani mengusikmu, Cah Ayu...." Nilasari Grewek bangkit, lalu
berjalan ke arah Srikaton. Perempuan muda ini mendadak nangis tersenguk-
senguk. "Siapa bilang! Mereka hampir saja membunuhku." tukas Srikaton Munggel
disertai deraian air mata.
"Astaga... Sampai sejauh itu mereka berani
mengusik"... Tapi aku tidak percaya, Srikaton. Aku berani bertaruh. Ki Wirayuda
sendiri pun tidak akan
sanggup menghadapimu. Ilmu pedang mereka jauh di
bawah kemampuan kita. Mana bisa terjadi begitu?"


Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seseorang telah membuat aku malu di hada-
pan orang-orang Ki Wirayuda. Dia berilmu tinggi. Ilmu pedangku tidak ada
artinya." Srikaton Munggel menyeka air matanya.
"Siapa dia" Pasti bukan Ki Wirayuda?" Nilasari Grewek seperti marah.
"Memang bukan. Dia mengaku seorang pende-
kar." ujar Srikaton.
"Pendekar" Pendekar apa" Aku banyak tahu
tentang ratusan pendekar yang ada muka bumi ini."
ujar Nilasari Grewek dengar nada kesal. Terhadap Srikaton Munggel murid semata
wayang ini. Sang Guru
teramat menyayanginya. Tentu saja ia jadi murka
mendengar murid tunggalnya dihina orang.
"Dia mengaku dirinya Pendekar Kelana Sakti."
"Pendekar Kelana Sakti"..." Nilasari Grewek berpikir sebentar, lalu....
"Hik-hik-hik-hik-hik... Apa hebatnya pendekar
yang tidak punya arah tujuan itu" Berani betul ia
membuat malu muridku di hadapan orang-orang Ki
Wirayuda. Ia belum tahu siapa kita, Cah Ayu." gerutu sang guru. Rambut putihnya
tergerai sampai sebatas
pinggang bergerak-gerak.
"Ilmu pedang tingkat tinggi yang kumiliki masih bisa diatasi, bahkan ia sempat
memaki dan menantang
kita berdua!" Srikaton Munggel membakar.
"Bangsat...! Pendekar tak tahu penyakit! Di
mana dia sekarang" Hah?" Nilasari Grewek terbakar emosi. "Di mana lagi kalau
bukan di tanah Sungkawarang!" "Cepat berbenah. Kita cari pendekar sialan itu
sampai dapat. Sekalian kita obrak abrik aki-aki keparat Wirayuda sampai mampus!"
Sang Guru berjingkat.
Srikaton Munggel mengencangkan ikat pinggangnya.
Pedangnya berkilat terserong di pinggang.
"Kita tidak perlu lagi mencari Kakang Gentara
Karma, Guru. Guru akan menyesal bila menjum-
painya. Tindakannya sangat jorok. Suka memperkosa
mayat-mayat perempuan. Itu yang membuat aku tidak
suka lagi padanya."
"Itu berkat kesalahanmu sendiri, Srikaton.
Orang macam Gentara Karma mana bisa menyimpan
birahi. Kalau ia suka memperkosa mayat, itu tandanya Gentara memiliki suatu
kelebihan. Kau akan berun-tung memiliki suami macam dia. Ayo berangkat." ajak
Nilasari Grewek. Saat ia menerobos alang-alang yang
menghampar di pelataran bangunan batu, rambut ser-
ta bajunya bergerak-gerak tertiup angin. Srikaton
Munggel bermalas-malasan melangkah.
"Cepat, Cah Ayu... Setelah kita membereskan
pendekar sial itu, Gentara Karma akan kuseret untuk
hidup bersamamu menguasai Gunung Tunggul." Nilasari menunggu Srikaton Munggel.
Murid tunggalnya
itu agak segan mendengar ucapan gurunya.
Mereka memang berdiri pada aliran sesat. Soal
membunuh jangan ditanya. Tanpa berkedippun ia bisa
membunuh. Sama mudahnya membalik telapak tan-
gan. Tapi kalau harus bertunangan dengan seorang le-
laki yang gemar meniduri mayat perempuan, amit-amit
dah, pikir Srikaton Munggel. Lebih baik ia jadi perawan tua. Atau sebaliknya.
Srikaton, terpaksa harus
mencuri para pemuda gagah untuk kebutuhan naf-
sunya. Dia bebas memilih juga bebas membunuhnya,
toh itu lebih baik dari pada harus tidur bersama seorang lelaki menjijikkan
seperti Gentara Karma.
* * * 13 Kian lama keadaan Wita Soma berangsur mem-
baik. Pendekar dari bukit Sinimbung ini sudah dapat
berdiri. Bahkan ia kini nampak bergerak-gerak meng-
kertakkan seluruh tulang-tulang sendinya. Terdengar
gemeretak. Kalau ia bisa sembuh begitu cepat, itu berkat bantuan Wintara yang
senantiasa ikut terkurung
dalam kamar. Tanpa sepengetahuan Ki Wirayuda maupun Nyi
Andini, setiap hari Wintara menyalurkan tenaga inti
pada Wita Soma. Itulah sebabnya kalau hari ini Wita
Soma sudah merasa tidak kurang suatu apa. Pendekar
dari bukit Sinimbung ini benar-benar berterima kasih
sekali. Meskipun sekarang ia harus kehilangan is-
trinya. Seperti biasa Ki Wirayuda bersama Nyi Andini menengok keadaan mereka.
Mereka masih tetap curiga
terhadap Wintara. Tapi Wintara bersikap biasa-biasa saja. Ia juga berharap agar
Wita Soma cepat sembuh,
agar ia bisa selekasnya keluar dari pemukiman Ki Wi-
rayuda. "Nampaknya anda telah sehat betul, Pendekar Wita Soma." tegur Ki
Wirayuda. Kehadirannya diiringi oleh Nyi Andini.
"Rasanya memang demikian, Ki... Lebih bagus
bukan" Karena sekarang aku bisa mencari si keparat
Gentara Karma." Wita Soma mengenakan pakaiannya.
"Bukankah kau juga akan meringkus orang
yang memiliki ilmu Tinju Guntur Geledek" Dengan
bantuan sobat Wintara, Gentara Karma tidak akan lo-
los." Mendengar itu Ki Wirayuda terkesiap. Selama ini perasaannya selalu
dihantui oleh kemunculan Gentara Karma yang sepak terjangnya lebih brutal dan
menantang. Tapi sampai saat ini baik Ki Wirayuda
maupun Nyi Andini belum pernah melihat Gentara
Karma dengan mata kepalanya sendiri.
"Kalau boleh, aku bersama Pendekar Wita So-
ma akan meninggalkan pemukiman ini sekarang." tukas Wintara.
"Bukan aku melarang, aku masih khawatir
akan keadaan Pendekar Wita Soma yang belum sem-
buh betul." ujar Nyi Andini. Sikap Nyi Andini agak lain.
Garis mukanya menampakkan tengah dilanda ketaku-
tan. "Kita akan sama-sama mencari Gentara Karma.
Kita-kita pula yang akan mengadilinya." kata Ki Wirayuda. Wita Soma tidak bisa
berkata lain. "Tidak ada waktu untuk menunda-nunda, Ki.
Orang semacam Gentara Karma tidak perlu diberi ke-
sempatan luang. Kau boleh tidak mempercayai menge-
nai adanya sosok Gentara Karma. Kau boleh percaya
pada keyakinanmu kalau kalian pernah mengubur
Gentara Karma hidup-hidup. Sebaiknya kita mencari
jalan masing-masing menurut pengalaman sendiri."
Wita Soma bicara tegas. Sejak lama ucapan Wita Soma
selalu tidak diabaikan.
Tapi sekarang setelah mendengar ucapan pen-
dekar Wita Soma, Ki Wirayuda bagaikan tertikam belati di ulu hatinya.
Sementara itu keadaan di luar sangat gaduh.
Orang-orang yang berada di dalam ini mendadak terke-
jut. Nyi Andini langsung berlari ke luar diikuti Ki Wirayuda, begitu juga dengan
dua pendekar ini. Semua-
nya berlari ke depan pelataran.
Mereka dapat melihat langsung belasan para
pengikut Ki Wirayuda mengurung seseorang. Seseo-
rang ini tidak lain dari sosok hitam berwajah menye-
ramkan. Siapa lagi kalau bukan Siluman Muka Buruk.
Melihat itu, Wintara maupun pendekar dari bukit Si-
nimbung sudah tidak asing lagi.
Siluman Muka Buruk melangkah maju ber-
maksud mendekati majikan mereka, tapi belasan
orang itu menghalangi dengan hunusan senjata mere-
ka. Dari golok, pedang, sampai tongkat dengan mata
pisau bercagak dua. Namun semua itu tidak digubris.
Dia hanya bergerak memutar lengan kanan serta ki-
rinya, maka beberapa penghadang bergulingan am-
bruk. Melihat inipun Nyi Andini serta Ki Wirayuda bertambah murka.
"Monyet busuk! Sungguh lancang berani me-
masuki tempat ini serampangan!" bentak Ki Wirayuda seraya maju.
"Sudah, Kakang. Jelas maksud kedatangannya
akan mengacau. Belah saja kepalanya...!" gertak Nyi Andini. "Sabar tuan dan
nyonya...! Kedatanganku ini demi keselamatan kalian. Suruh menyingkir semua
anak buah kalian." ujar Siluman Muka Buruk semakin maju. Ia menjatuhkan lagi dua
orang penghalang. Pukulan-pukulan yang dilancarkan tidak berarti sama
sekali. Hanya membuat para pengikut Ki Wirayuda
terpelanting tanpa luka. Wintara dapat melihat itu.
"Keselamatan apa" Berani betul kau meremeh-
kan kami!" hardik Nyi Andini. Ki Wirayuda bersiap melepaskan hantaman.
"Sebaiknya kalian menyingkir semua dari tem-
pat ini. Kalau tidak kalian bakal tewas di tangan Gentara Karma." kata Siluman
Muka Buruk. "Apa katamu" Gentara Karma akan datang ke
mari" Bagus secepatnya suruh ia ke mari! Kepalanya
mestinya kupenggal untuk kujadikan Tumbal!" Pendekar Wita Soma sengit. Iapun
melompat ke depan
menghadapi Siluman Muka Buruk.
"Pendekar Wita Soma syukurlah kau nampak
sehat-sehat saja. Sebaiknya kaupun kembali ke bukit
Sinimbung. Percuma menghadapi Gentara Karma." ka-ta Siluman Muka Buruk. Saat itu
Ki Wirayuda sudah
melepaskan sebuah hantaman. Sosok hitam menye-
ramkan ini cepat menangkis.
"Bangsat rendah!" hardik Wita Soma. "Kaupun akan sama mampusnya dengan Gentara
Karma! Hreaaaaa...!" Wita Soma bergerak maju. Hantamannya menyilang mendera. Melihat
itupun Nyi Andini tidak
tinggal diam. Serta merta ia menerjang dengan babat
pedang. Wintara tenang-tenang saja di depan pintu.
Melihat para pentolan persilatan berdatangan meng-
gempur Siluman Muka Buruk, para pengikut Ki Wi-
rayuda berjingkat mundur.
"Tuan-tuan pendekar, hendaklah mengerti akan
maksudku. Saat sekarang Gentara Karma amat berba-
haya. Aku hanya memperingati kalian." ujar Siluman Muka Buruk lantang. Seraya ia
menyambut sekaligus
serangan-serangan itu. Sosok hitam nampak lincah. Ia bergerak kian ke mari
memapaki tiap serangan. Ki Wirayuda sengit. Hantamannya selalu tidak mengena.
Wi- ta Soma yang melancarkan pukulan Tinju Karangnya
selalu saja dapat ditangkis. Nyi Andini yang bersenjatakan pedang melepaskan
babatan-babatan pedang.
Sinar putih menyilaukan bergulung-gulung menyam-
bar. Namun hanya dengan sekali gerakan, tangan Si-
luman Muka Buruk menghantam ke depan.... "Bug!"
Nyi Andini memekik. Tubuhnya terhuyung ke
belakang. Punggungnya serasa berdenyut.
"Kalian betul-betul tidak bisa dikasihani! Jan-
gan keras kepala dan cepat tinggalkan tempat ini!"
hardik Siluman Muka Buruk. Melihat tiga pendekar ini mengepung kembali. Wintara
menghentakkan kakinya,
maka secepat angin tubuhnya langsung hinggap di ha-
dapan sosok menyeramkan. Terhadap Pendekar Kelana
Sakti ini, Siluman Muka Buruk masih memandang
muka. "Pendekar muda. Hanya kau yang bisa menga-tasi kebodohan ini. Bujuk mereka
agar mengetahui
adanya malapetaka!" ujar Siluman Muka Buruk.
"Pendekar sakti. Mohon anda memberikan pen-
jelasan yang jelas. Kami semua benar-benar tidak
mengerti." kata Wintara.
"Bagaimana aku bisa menjelaskan. Kalau
orang-orang tidak kenal takut ini selalu menyerang-
ku?" Siluman Muka Buruk balik bicara. Wintara menoleh ke arah tiga pendekar yang
berdiri di belakangnya.
Mereka sudah bersiap-siap menyerang lagi.
"Berapa orang yang kau utus untuk mencari
Gentara Karma, Ki Wirayuda"... Apakah mereka sudah
kembali" Ayo jawab." tanya Siluman Muka Buruk. Ki Wirayuda menggeram tidak
menjawab. Harus pula sosok menyeramkan ini terpaksa menjawab sendiri.
"Kesepuluh orang utusan itu telah tewas di
tangan Gentara Karma. Kau tidak perlu menyembu-
nyikan perasaanmu, Ki. Itu suatu pukulan untukmu.
Dan juga kematian mereka termasuk sepak terjang
Gentara Sukma yang selama ini meresahkan orang-
orang persilatan maupun penduduk Sungkawarang,
adalah akibat tindakanmu terhadap Gentara Sukma."
Suara Siluman Muka Buruk lantang. Ki Wirayuda ti-
dak berani menyahut. Kesepuluh orang utusannya
memang belum kembali. Selama ini Ki Wirayuda me-
rahasiakannya. Mungkin sekarang telah menjadi tu-
lang belulang tanpa kubur.
Dalam keterbisuan itu, mendadak terdengar
suara tawa yang melengking, "Hik-hik-hik-hik-hik-hik...!" Tawa yang melengking
itu disertai dengan tenaga dalam yang sempurna.
* * * 14 Serempak semuanya menoleh ke arah suara
itu, maka mereka melihat sosok Nilasari Grewek ber-
sama murid tunggalnya, Srikaton Munggel. Sang Guru
terus melepaskan suara tawa yang amat menusuk
gendang telinga. Cepat Siluman Muka Buruk menepuk
kedua telapak tangannya. Suara tawa itu mendadak
berhenti. Dua pendekar perempuan ini melangkah ter-
buru-buru mendekati mereka.
"Hik-hik-hik.... Ki Wirayuda.... Hik-hik-hik....
Sebenarnya aku tidak akan turun gunung kalau saja
murid tunggalku ini tidak dihina oleh para pengikut-
mu." ujarnya mengekeh. Ia mengelus-elus rambut halus Srikaton Munggel.
"Guru, pendekar sial yang menantang kita ke-
betulan ada di sini." bisik Srikaton Munggel sambil memoncongkan bibirnya ke
arah Wintara. Wintara sudah mengerti apa yang dimaksudkan perempuan itu.
"Sabar, Muridku... sabar. Jangan terburu, bu-
ru.... Toh mereka bakal mampus semua. Hik-bik-hik-
hik...." "Bagus, guru dan murid sudah menampakkan diri. Semua orang-orang aliran
sesat mesti dihukum.
Celakanya, kalian berhadapan denganku, Tua bangka
keriput!" bentak Ki Wirayuda. Nyi Andini bersiap-siap menghadapi Srikaton
Munggel. "Nilasari Grewek. Urusanmu hanya mencari
Gentara Karma untuk maksud tertentu. Jangan coba-
coba mengusik orang-orang ini. Pergilah! Aku segan
berhadapan dengan] orang pikun macam kau." ujar Siluman Muka Buruk.
"Sialan kau manusia jelek! Aku jijik melihat ru-pamu yang busuk itu. Rupanya kau
yang terlebih da-


Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hulu mesti dikirim ke akherat. Jiaaaa...!" Serta merta Nilasari Grewek lepaskan
satu hantaman dahsyat. Pukulan itu serasa bagai angin taufan. Siluman Muka
Buruk memapakinya dengan pukulan Tirai Tebing.
Kedua tangannya bergerak menyilang.
"Mumpung ada di depan mata. Kenapa kita di-
am saja!" bentak Nyi Andini menerjang Srikaton. Perempuan dari Gunung Tunggul
ini tidak gentar me-
nyambut. Melihat istrinya sudah bertindak, Ki Wirayu-da datang membantu.
Wintara tidak tinggal diam. Sekali lesatan tu-
buhnya ia sudah menyambar melepaskan pukulan ke
punggung Srikaton. Perempuan ini memekik mundur.
"Ki Wirayuda.... Nyi Andini.... Menyingkirlah!
Biar olehku manusia-manusia sesat ini ku lumpuh-
kan." Wintara lepaskan pukulan Bayu Menghantam
Karang. Jurus yang teramat dahsyat. Ki Wirayuda
maupun Nyi Andini sampai terhuyung terkena samba-
ran anginnya. "Pendekar sialan! Lagi-lagi kau ikut campur
urusanku! Mampuslah!" Srikaton Munggel sengit. Ia sudah tahu kalau berhadapan
dengan Pendekar Kelana Sakti tidak bakal mampu. Maka ia menghadapinya
sambil bergeser ke samping gurunya.
Saat itu Nilasari Grewek sudah melepaskan ku-
rang lebih sembilan jurus. Selama itu pula Siluman
Muka Buruk selalu menyambutnya. Keduanya sama-
sama melancarkan serangan gencar. Dalam hal ini
nampak Nilasari sudah berada di atas angin. Di luar
dugaan Nilasari Grewek lepaskan pukulan Jari Tom-
bak. Tanpa bisa menghindar Siluman Muka Buruk ter-
tembus jari-ari runcing Nilasari ke dadanya. Sosok
menyeramkan itu menghadapi tanpa memekik. Mana-
kala Jari Tombak semakin menembus ke jantung.
Dan saat Nilasari menarik kembali tangannya.
Segumpal jantung ikut terbawa, bercampur dengan da-
rah kehitaman berbau busuk. Siluman Muka Buruk
berdiri tegar tanpa merasakan sakit. Malah di luar dugaan ia membalas serangan.
Hantamannya keras me-
nyampok pelipis Nilasari Grewek. Nenek keriput itu
tersungkur kelojotan. Namun ia masih dapat bangkit
dengan cepat. "Manusia jelek! Aku ingin tahu sampai di mana
batas kekuatanmu tanpa jantung! Hreaaa...!" Pendekar Sakti Bukit Tunggul ini
menerjang deras. Siluman Mu-
ka Buruk menyambut dengan pukulan menyilang.
"Dueeeees!"
Kembali Nilasari Grewek memekik, kali ini ia
menyemburkan darah. Tubuhnya terhuyung mundur.
Sebagai majikan tanah Sungkawarang, tidak
mungkin Ki Wirayuda dan Nyi Andini tinggal diam. Ke-
duanya maju serempak lancarkan serangan pada Sri-
katon Munggel yang saat itu sibuk menghadapi gem-
puran Wintara. Sambaran pedang Nyi Andini hampir
menghantam putus leher murid tunggal Nilasari Gre-
wek. Pukulan disertai tenaga dalam Ki Wirayuda me-
nyerempet perut. Tapi saat Srikaton membalas seran-
gan. Dua majikan tanah Sungkawarang ini terlempar
jauh. Melihat itupun Wintara tidak tanggung-tanggung lepaskan Tinju Bayu Delapan
Penjuru. Pukulan itu
sangat menyesakkan dadanya. Mata Srikaton Munggel
merem melek menahan sakit. Tubuhnya berguling ke
arah Pendekar Wita Soma yang masih menyaksikan
pertarungan seru itu.
Pendekar Wita Soma nampaknya tidak menyia-
nyiakan kesempatan. Saat tubuh Srikaton masih ber-
gulingan. Ia lancarkan sebuah tendangan ke bawah.
Maka tak pelak tendangan itu menghantam perut.
"Jreess!"
Srikaton Munggel makin kelojotan, tapi saat itu
Nilasari Grewek sempat meninggalkan Siluman Muka
Buruk. Ia langsung menyambar tubuh murid tunggal-
nya. Pendekar Wita Soma terkejut pula mendapat han-
taman dari Nilasari Grewek.
Dua murid dan guru ini benar-benar telah kehi-
langan muka. Kehadirannya di pemukiman Ki Wirayu-
da hanya menjadi bulan-bulanan mereka. Apalagi Si-
luman Muka Buruk terus mencecar tanpa berhenti.
Malah serangannya sekarang ini bagaikan banteng
tengah mengamuk. Serangan-serangan balasan Nilasa-
ri tidak diperdulikannya. Meski repot macam itu, Nilasari Grewek sempat
menyambar tenggorokan Siluman
Muka Buruk dengan Jari Tombak.
"Jraaaas...!"
Darah hitam menyembur dari kulit tenggorokan
yang robek berlubang.
Suatu pemandangan yang mengerikan. Silu-
man Muka Buruk mendapat deraan-deraan dari Nila-
sari Grewek. Pukulan-pukulan, Jari Tombak seakan
mencabik-cabik seluruh tubuhnya. Namun tanpa per-
duli apa-apa Siluman Muka Buruk terus bertahan
sambil membalas serangan-serangan itu.
Wintara tidak sampai hati melihat Siluman
Muka Buruk terluka parah demikian. Serta merta ia
melompat sambil melepaskan hantaman Tinju Bayu
Delapan Penjuru. Pukulan itu tidak kepalang tanggung menghantam. Nilasari Grewek
tidak sanggup bertahan.
Ia beserta murid tunggalnya terlempar beberapa meter.
Begitu juga dengan Siluman Muka Buruk. Ia terpelant-
ing berkali-kali.
Merasakan hebatnya pukulan itu, Nilasari Gre-
wek cepat menarik tubuh Srikaton Munggel yang tan-
pa daya. Sikapnya seperti orang yang akan melarikan
diri. Wintara tidak menyangka kalau Siluman Muka
Buruk masih bisa berdiri tanpa kurang suatu apa. Tu-
buhnya seperti hancur penuh luka-luka sayatan. Na-
mun tidak banyak darah yang keluar. Kecuali bercak-
bercak darah yang menghitam berbau busuk.
"Pendekar sial. Siapa gurumu sampai-sampai
aku yang telah banyak makan asam garam dunia per-
silatan ini dibuat tidak berdaya." Nilasari Grewek mengatur nafasnya. Sebelah
tangannya memegangi tubuh
Srikaton Munggel.
"Soal guruku, tidak perlu kau ketahui. Nama
besar guruku pantang disebut di hadapan orang-orang
sesat macam kalian."
"Pendekar muda...! Jangan biarkan dia lolos!
Bangsat renta itu sangat licik!" bentak Siluman Muka Buruk. Dilihat dari nada
ucapannya sosok menyeramkan ini mulai berpihak pada Wintara.
Tapi sebelum Wintara melepaskan hantaman
lagi. Guru dan murid dari Gunung Tunggul ini terlan-
jur melarikan diri. Hanya dalam sekejap keduanya su-
dah melesat jauh. Serta merta Nilasari terus mengge-
rutu. "Pendekar sial...! Moga-moga jangan bertemu lagi!" teriakan itu hilang
bersama lenyapnya dua pendekar wanita dari Gunung Tunggul. Siluman Muka
Buruk melangkah ke samping Wintara.
"Pendekar muda.... Kenapa kau biarkan dua
cecunguk itu melarikan diri" Kau bisa menumpas me-
reka tadi." ujarnya.
"Dua perempuan sesat itu tidak berarti, Ki Sa-
nak. Lagi pula persoalan yang sebenarnya bukan men-
gurusi orang-orang Gunung
Tunggul!" jawab Wintara tenang.
"Maksudmu kalian akan nekad berhadapan
dengan Gentara Karma" Betul-betul tidak tahu penya-
kit." kata Siluman Muka Buruk.
"Sudah tahu kami tidak takut penyakit kau
masih juga menghalangi. Pergilah dari hadapan kami
Siluman Muka Buruk!" Bentak Ki Wirayuda. Tanpa
menyahut Siluman Muka Buruk melangkah mundur.
Lalu ia melesat pergi jauh. Semua pendekar itu me-
mandang aneh terhadap Siluman Muka Buruk. Jelas
jantungnya sudah terkorek ke luar. Juga tubuhnya
penuh luka, bagaimana ia tidak mati"
* * * 15 Siang itu juga tanah pemakaman Sungkawa-
rang penuh sesak oleh orang-orang yang datang ber-
duyun-duyun. Saat itu rombongan Ki Wirayuda tengah
membongkar sebuah kuburan. Ki Wirayuda sendiri
bersama Nyi Andini berdiri menatap anak buahnya
menggali tanpa berkedip. Di sebelah sana Wintara bersama Pendekar Wita Soma,
berdiri pula menatap te-
gang. Semakin lama lubang semakin dalam tergali.
"Ke mana Ki Karantungan" Kenapa ia tidak ada
di pemakaman ini?" tanya Nyi Andini. Ki Wirayuda cepat menjawab.
"Entahlah. Di gubuknya aku tidak menemui
dia." Ki Wirayuda terus menatap para pengikutnya mengucurkan keringat menggali
tanah di mana mereka
pernah menanam tubuh Gentara Karma hidup-hidup
di situ. Wajah Ki Wirayuda makin tegang pula. Sema-
kin dalam mereka menggali, mereka tidak menemukan
apa-apa. "Cukup!" bentak Ki Wirayuda. "Kalian telah menggali lebih dari kedalaman semula.
Kita tidak menemukan tanda adanya mayat keparat itu." Ki Wirayuda berkata geram.
"Hal ini kita perlu tanyakan pada Ki Karantun-
gan, Kakang."
"Justru diapun telah lenyap dari tempat ini."
Wintara dan Pendekar Wita Soma saling pan-
dang. Wintara juga bukannya tidak pernah ke pema-
kaman ini. Juga ia telah mengenal Ki Karantungan si penggali kubur. Mungkinkah
ia bersekongkol mengeluarkan Gentara Karma dari liang kubur" Semuanya
tidak habis pikir.
Dalam pada itu Ki Karantungan melangkah
sendiri. Ia meninggalkan rombongan itu. Langkahnya
sangat cepat. Melihat itupun Nyi Andini cepat mengi-
kuti. Keduanya sama-sama melesat dengan kecepatan
larinya. Wintara dan Pendekar Wita Soma turut menge-
jar. Seluruh orang-orang yang berada di situ berubah keheranan. Para pengikut Ki
Wirayuda tetap tinggal di situ, membiarkan kedua majikannya pergi.
"Kakang.... Kau hendak ke mana?" seru Nyi
Andini menyusul. Tanpa menjawab Ki
Wirayuda terus memacu larinya. Wintara dan
Wita Soma menyusul di belakang. Mereka menerobos
hutan belukar. Empat orang berilmu tinggi berlari saling kejar. Dalam beberapa
saat mereka telah menem-
bus hutan tersebut. Di hadapan mereka kini meng-
hampar alang-alang. Dari kejauhan mereka dapat me-
lihat sebuah bangunan batu yang telah usang. Bangu-
nan itu dikelilingi dengan pohon-pohon besar.
Wita Soma baru menyadari. Kalau ia pernah
singgah di situ bersama istrinya. Maka ia mempercepat mengejar langkah larinya.
Keempatnya terus berlari
menerobos alang-alang. Tapi mereka di kejutkan oleh
suara teriakan.
"Pendekar-pendekar tolol! Kalian hanya men-
gantarkan nyawa dengan percuma! Kembali! Dan ting-
galkan tanah Sungkawarang!" teriakan itu menggema.
Tapi mereka masih mengenali suara itu.
"Siluman Muka Buruk, kau selalu menguntit
kami. Sebaiknya kau yang buru-buru merat dari
Sungkawarang!" hardik Ki Wirayuda. Sosok Siluman Muka Buruk tidak menampakkan
diri. Ki Wirayuda tidak perduli. Ia sudah menjajaki tangga batu yang me-
nuju masuk ke dalam bangunan. Tiga pendekar yang
berlari di belakangnya cepat mengiringi Ki Wirayuda.
Empat pendekar berilmu tinggi ini membelalak-
kan matanya. Mengapa tidak. Keempatnya serentak
melihat sosok Gentara Karma tengah menggeluti sosok
mayat perempuan bugil. Gentara Karma seakan tidak
perduli dengan kehadiran empat orang ini. Ia malah
semakin bernafsu merengkuh mayat perempuan itu.
Nyi Andini hampir muntah melihat pemandangan jorok
seperti itu. Sosok mayat perempuan memang bertubuh
mulus tanpa cela. Namun kedua rongga matanya
nampak berlubang mengembar darah. Sedangkan dua
biji matanya berserakan di lantai berdebu.
Serta merta Ki Wirayuda melepaskan sebuah
tendangan menghantam pinggang Gentara Karma. La-
ki-laki tengah menindih mayat perempuan mencelat
membentur tembok. "Manusia laknat! Pandai juga kau meloloskan diri dari liang
kubur. Tapi sekarang mana bisa lari lagi!" Bentak Ki Wirayuda siap lancarkan
serangan. Gentara karma bangkit menggeliat. Giginya
gemeretak menahan amarah. Berdiri menantang.
"Satu.... Dua.... Tiga.... Empat! Bagus hari ini empat nyawa akan melayang
sekaligus. Kebetulan pula
kau datang bersama Nyi Andini, Ki Wirayuda! Kau ta-
hu benar seleraku!" ujar Gentara Karma. Nyi Andini betul-betul terhina. Pendekar
Wita Soma sudah tidak
sabaran. Ia menerjang lebih dulu. Tinju Karang bergulung menderu-deru menghantam
Gentara Karma. Tapi
laki-laki berbaju penuh lumpur kering ini tidak bergeser menyambut hantaman itu.
"Rupanya belum jera juga merasakan hanta-
man Tinju Guntur Geledek! Sambut ini.... Hraaaaa...!"
Sekonyong-konyong Gentara Karma melepaskan se-
buah hantaman. "Blaaaar...!"
Wita Soma memekik hebat tubuhnya terbanting
membentur dinding batu. Kepala hampir remuk.
Nyi Andini bersama Ki Wirayuda merangsak
maju. Pedang Nyi Andini bergerak sukar dihindari. Pukulan-pukulan Ki Wirayuda
mencecar bagian dada.
Dengan gesit Gentara Karma berkelit.
"Anak muda, kenapa tidak maju sekalian. Apa-
kah kau takut mati?" ejek Gentara Karma, sebelah lengannya memapaki serangan Ki
Wirayuda. Tapi tusu-
kan tajam pedang Nyi Andini tidak bisa dielakan. Pedang itu menembus di perut
Gentara Karma. Lalu di
tariknya pedang itu kuat-kuat ke samping.
"Breeeet...!"
Perut Gentara Karma robek semakin lebar.
Ususnya terburai. Namun laki-laki penuh lumpur ker-


Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ing ini tetap berdiri tegar, seolah-olah luka yang dahsyat itu tidak dirasakan
sama sekali. Ki Wirayuda jadi terkejut. Dalam pada itu Gentara Karma melepaskan
Tinju Guntur Geledek ke arah mereka berdua.
"Blaaaar...!"
Hantaman itu deras menerjang. Ki Wirayuda
dan istrinya sampai terlempar ke luar bangunan. Ke-
duanya menyemburkan darah. Gentara tertawa terke-
keh-kekeh. "Kini giliranmu, Pendekar ingusan! Hraaaat...!"
Gentara Karma lepaskan lagi sebuah hantaman. Win-
tara bergerak cepat menyingkir. Melihat betapa mu-
dahnya Wintara menghindar, Gentara Karma makin
gigih lancarkan serangan berikut. Tinju Bayu Delapan Penjuru Wintara cepat
bertindak. Maka.... "Bledaaaar...!"
Hantaman mereka saling bentur. Keduanya
sama-sama terlempar. Membentur dinding tembok,
"Hebat-hebat...! Baru kali ini Tinju Guntur Ge-
ledek ku mendapat saingan." kata Gentara Karma ter-gelak-gelak. Ususnya yang
terburai bergerak-gerak
menjijikkan. "Sambut lagi ini, anak muda!" Gentara karma murka. Wintara tetap menyambut,
sekalipun ia masih
merasakan sakit ketika hantaman mereka tadi saling
bentur. Tak urung Wintara juga menyemburkan darah.
Apalagi saat Gentara Karma lepaskan sebuah tendan-
gan. Tubuh Wintara bergulingan ke luar. Empat pen-
dekar berusaha bangkit. Tubuh mereka seperti berge-
tar. Menatap Gentara Karma yang melangkah ke luar.
Tinju Guntur Geledek memang tidak boleh dianggap
ringan. Pantas Pendekar Wita Soma hampir mati di-
buatnya. "Sudah kukatakan kalian bukan tandingan
Gentara Karma!" Terdengar teriakan menggema Siluman Muka Buruk. Sekarang sosok
menyeramkan ini
menampakkan diri. Lesatan tubuhnya sangat ringan.
Berjumpalitan di udara kemudian hinggap di hadapan
empat pendekar yang siap-siap menghadapi Gentara
Karma. "Siluman Muka Buruk, menyingkirlah. Kau tidak perlu menakut-nakuti kami!"
bentak Ki Wirayuda seraya menerjang. Begitu juga dengan Nyi Andini. Babatan
pedang bergerak cepat bagai kilatan angin. Wita Soma tidak ketinggalan
melancarkan jurus Tinju Karang, warisan dari bukit Sinimbung. Siluman Muka
Buruk tidak bisa menghalangi mereka.
Mendapat serangan dari tiga orang itu, Gentara
Karma malah maju menerjang. Kedua lengannya ber-
putar. Menghantam Ki Wirayuda dan Wita Soma tanpa
ampun mereka berdua terguling ambruk dengan tu-
lang iga yang remuk. Nyi Andini yang bersenjatakan
pedang, murka melancarkan babatan pedang lebih
dahsyat. "Crak...! Crak...! Crak!" Tanpa ampun pedang Nyi Andini menebas berkali-kali di
tubuh Gentara Karma. Laki-laki penuh lumpur kering ini tetap berdiri tanpa kesakitan, Nyi
Andini benar-benar terkejut. Ia bisa melihat jelas luka-luka babatan pedangnya
begitu dalam merobek bagian dada. Bahkan sebuah sabetan
pedangnya sempat menembus sampai ke jantung. Ia
mulai gentar. Di luar dugaan Gentara Karma lepaskan
Tinju Guntur Geledek. Tak kepalang Nyi Andini mence-
lat bersama pedangnya yang entah ke mana.
* * * 16 Begitu tubuhnya ambruk ke tanah. Darah me-
nyembur banyak dari mulutnya. Sedangkan tubuhnya
tidak berkutik lagi. Karena seluruh tulang dadanya
rontok. Melihat itu pun Ki Wirayuda cepat berlari ke arah istrinya. Didapati
tubuh istrinya telah lemas tanpa nyawa.
Siluman Muka Buruk belum beranjak dari
tempatnya. Ia saling pandang dengan Wintara. Pende-
kar Wita Soma hampir tidak dapat berdiri. Nafasnya
tersengal-sengal karena tulang iganya patah.
"Siluman Muka Buruk, kenapa kau berada di
sini" Bukankah kau tidak akan mencampuri urusan-
ku?" ujar Gentara Karma. Tubuh tanpa luka itu tidak mengeluarkan darah sama
sekali. Hanya Siluman Mu-ka Buruk yang tahu mengapa demikian.
"Sekarang terpaksa aku harus mencampuri
urusanmu, Gentara Karma. Mulai saat ini tidak ada
lagi korban tangan jail mu. Karena kita akan mati bersama-sama." ucap Siluman
Muka Buruk. "Chis! Sampai leburpun kita tidak bakalan ma-
ti. Menyingkirlah jangan halangi aku!" Gentara Karma menerjang Jelas
terjangannya itu mengarah pada sosok Ki Wirayuda. Tapi sebelum Gentara Karma
dapat melepaskan hantaman, Siluman Muka Buruk mengha-
langi dengan sebuah pukulan. Begitu juga dengan
Wintara yang sejak tadi sudah mengatur pernafasan-
nya. Pendekar Kelana Sakti tidak segan-segan lancar-
kan Bayu Menghempas Tebing. Jurus ini cukup dah-
syat. Gentara Karma terhempas mundur ke belakang.
Hantaman Wintara tidak berhenti sampai di si-
tu. Siluman Muka Buruk juga terus lancarkan seran-
gan-serangan yang sebenarnya tak berarti bagi Genta-
ra Karma. Sepak terjang ketiga orang ini mengoyak per-
mukaan tanah. Setiap serangan serta hantaman mere-
ka beradu nyaring. Gentara Karma pantang mundur
menghadapi mereka berdua.
"Anak muda, kau membuang-buang tenaga
percuma. Sebaiknya bawa pergi mereka dari sini." kata Siluman Muka Buruk
menyerang Gentara Karma dengan pukulan-pukulan beruntun.
"Tidak, Ki Sanak. Kau yang harus menyingkir
dari sini. Tidak kau lihatkah luka-lukamu yang demi-
kian parah?" jawab Wintara melepaskan tendangan.
Gentara Karma terhuyung ke belakang. Namun masih
dapat maju membalas.
"Kau tidak akan mengerti, Anak muda." Siluman Muka Buruk menepis hantaman
Gentara Karma. "Banyak mulut! Seharusnya kau berpihak ke-
padaku, manusia jelek!" bentak Gentara Karma. Ia menyambut serangan mereka
dengan Tinju Guntur
Geledek yang dilancarkan secara berturut-turut. Se-
tengah mati Wintara menghindarinya. Secepatnya ia
menyusun kekuatan dengan Menyibak Tirai Bayu. Ma-
ka hantaman-hantaman Gentara Karma berderak-
derak melenceng. Siluman Muka Buruk cukup tercen-
gang melihat kebolehan Pendekar Kelana Sakti.
Dan pada jurus yang kesebelas, Wintara meng-
gebrak dengan Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Duaaaar...!"
Tubuh Gentara Karma mencelat ke belakang.
Selama tubuhnya melayang di udara Gentara Karma
menjerit-jerit. Tapi tak lama ia hinggap kembali di tanah sambil menyeringai.
Wintara bergidik melihatnya.
Kalau manusia biasa, pastilah sudah tewas terkena
hantaman tadi. Sekarang ia hampir kehabisan tenaga.
Untunglah saat itu Siluman Muka Buruk mengganti-
kan posisi Wintara. Perkelahian mereka malah nampak
lebih seru. Selain jurus-jurus mereka begitu dahsyat.
Juga setiap terjangan mereka bagaikan harimau lapar
yang saling mematikan.
Dalam pertarungan itu tampak Gentara Karma
sudah berada di atas angin. Hantaman-hantamannya
selalu mengena telak di tubuh Siluman Muka Buruk.
Namun sekeras apapun pukulan Gentara Karma sama
sekali tidak dirasakan. Bahkan ketika Gentara Karma
lancarkan pukulan karate. Tak terduga hantaman itu
memukul putus pangkal lengan Siluman Muka Buruk.
Jelas kutungan tangan itu terbanting jatuh di tanah.
Tapi Siluman Muka Buruk tetap seperti tidak merasa-
kan sakit. Barulah Wintara mempunyai satu kesimpulan.
Kalau mereka berdua memiliki ilmu kebal rasa. Jalan
satu-satunya mungkin harus memenggal kepalanya.
Maka dengan gerakan yang sangat cepat, Wintara me-
nyambar pedang Nyi Andini yang tergeletak di tanah.
Lalu diteruskan terjangannya mengarah pada perta-
rungan. Teriakan Wintara menggelegar saat pedang di
tangannya berkelebat menyambar putus kepala Genta-
ra Karma. Kepala itu menggelinding di tanah. Siluman Muka Buruk melangkah
mundur. Apalagi Wintara. Ia
masih terkejut melihat tubuh Gentara Karma tetap
berdiri meski tanpa kepala. Yang lebih menakutkan la-gi. Kutungan kepada itu
masih bisa bicara.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Baru tahu sekarang, bu-
kan. Gentara Karma bukan orang yang gampang mati."
"Anak muda, pergi! Bawa mereka jauh-jauh!"
perintah Siluman Muka Buruk. Wintara masih berpikir
keheranan. Manakala tubuh tanpa kepala itu bergerak
maju menyerang Wintara. Tapi Wintara bisa menghin-
darinya, karena hantaman-hantaman yang dilancar-
kan itu membabi buta tanpa arah. Sepertinya pula se-
rangan-serangan itu dikendalikan oleh kepala yang
tergeletak di tanah.
Maka dengan reflek Wintara menendang ku-
tungan kepala. Sekali sambar kutungan kepala itu
mencelat. "Des!"
Hinggap tepat di antara cabang pohon. Saat itu
juga. "Waaaarght...!" Kutungan kepala itu menjerit-jerit. Terjepit erat di
antara cabang pohon dan tidak mungkin terlepas. Bau busuk menyebar menusuk hi-
dung. Bersamaan dengan itu perubahan pada kutun-
gan kepala terjadi. Kutungan kepala Gentara Karma
berubah hitam seperti arang. Lalu jeritan itu berhenti.
Siluman Muka Buruk mendadak berjingkat menghin-
dari serangan tubuh Gentara Karma. Tanpa kepala se-
rangan Gentara Karma tidak menentu arah. Gerakan-
nya bagaikan orang buta. Hal itu memudahkan Silu-
man Muka Buruk menyerangkan hantaman-
hantamannya. Namun tak urung juga Siluman Muka
Buruk terkena hantaman nyasar.
Serta merta Wintara datang membantu. Tubuh
mencelat Siluman Muka Buruk dapat ditangkap. Sete-
lah itupun Wintara melompat maju menghadapi tubuh
Gentara Karma yang terus melancarkan Tinju Guntur
Geledek. Tanpa ambil resiko Wintara menghadapi han-
taman-hantaman itu. Dia juga melepaskan pukulan
maut Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar...!"
Hantaman mereka beradu. Tubuh Gentara
Karma mencelat. Wintara jatuh duduk. Tapi ia terus
lancarkan Tinju Bayu Delapan Penjuru disambung lagi
dengan Bayu Menghantam Karang. Tak urung tubuh
Gentara Karma terus didera dengan hantaman-
hantaman maut Pendekar Kelana Sakti.
Tubuh itu terus melayang tersangkut pada ca-
bang pohon juga. Tubuh itu seperti kelojotan berontak.
Namun tubuh yang bergerak-gerak itu membuat di-
rinya semakin terjepit di sela-sela cabang pohon.
Seperti yang telah terjadi dengan kutungan ke-
pala Gentara Karma. Tubuh itupun mnyebarkan bau
busuk. Tubuh itu tidak meronta-ronta lagi. Kulitnya
yang penuh luka seperti hangus menjadi arang. Winta-
ra memandangi perubahan itu dengan perasaan jijik.
Siluman Muka Buruk melangkah ke samping Wintara.
"Kau telah memecahkan kelemahan Ilmu Mati
Pamungkas, Anak muda. Aku bersama Gentara Karma
memang telah menguasai ilmu itu. Tapi sampai saat
ini aku tidak mengetahui kelemahannya. Sungguh he-
bat." ujar Siluman Muka Buruk. Lengannya tinggal sebelah. "Kau...?" Wintara
balas menatap. Pantas ia tidak merasakan rasa sakit. Kiranya mereka memiliki
Ilmu Mati Pemungkas, pikir Wintara. Saat itu Pendekar Wita Soma bangkit berdiri.
Dengan perlahan ia melangkah pula. Ki Wirayuda masih memeluki mayat is-
trinya. Ia hanya memandangi para pendekar itu.
"Sebenarnya pula, jasad ku telah mati dua pu-
luh tahun yang lalu. Aku dapat hidup kembali dari
liang kubur karena memiliki ilmu tersebut. Selama hidup di atas kematian. Orang-
orang yang memiliki ilmu itu tidak akan mati lagi. Tapi sekarang ilmu Mati
Pamungkas telah terpecahkan." kata Siluman Muka Buruk tertunduk.
"Ki Sanak, kau sangat berbeda dengan Gentara
karma. Padahal sudah menguasai ilmu Mati Pamung-
kas. Tapi kau tetap berada di jalan yang benar."
"Benar. Semula aku berdiri pada aliran sesat.
Tapi setelah hidup kembali, aku masih merasakan be-
tapa sakitnya manusia menerima kematian. Untuk itu
pikiranku jadi berubah."
"Manusia gagah siapakah sebenarnya anda.
Mengapa selalu menutupi wajah dengan topeng yang
sangat menakutkan itu?" tanya Pendekar Wita Soma.
"Hanya untuk penyamaran. Banyak orang yang
masih mengenali aku. Tapi kalian akan tahu seka-
rang." ujar Siluman Muka Buruk. Sebelah lengannya menarik kulit tipis
menyeramkan yang menutupi wajahnya. Sekejap itu pula tiga pendekar yang berada
di situ terkejut bukan kepalang. Di hadapan mereka tidak lain sosok Ki
Karantungan, si penggali kubur.
"Ki Karantungan?" Serempak mereka heran.
"Ya, memang aku." katanya datar.
"Kami betul-betul tidak menyangka...." kata Wintara tak berkedip. Ki Karantungan
hanya tersenyum. "Ilmu Mati Pamungkas sudah tidak ada artinya.
Pendekar Kelana Sakti telah memecahkan rahasia ke-
lemahan ilmu tersebut. Tanpa menyentuh tanah, pen-
ganut ilmu itu akan mati menjadi kerak tanah." kata Ki Karantungan sambil
menunjuk ke arah sosok tubuh
menghitam tersangkut di celah cabang pohon.
"Hidupku tidak ubahnya bagai mayat hidup.
Hampa tak punya selera. Kenikmatan hidup bisa dira-
sakan dari yang mati. Sungguh menjijikkan, bukan?"
ujar Ki Karantungan melangkah mundur.
"Ki Karantungan, apa yang hendak kau laku-
kan?" Wintara berusaha menyusul.
"Tetapi diamlah di situ, Pendekar Kelana Sakti.


Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku telah menemukan jalan yang ku anggap paling
baik untuk diriku." Ki Karantungan menghalangi dengan sebelah lengannya.
Di luar dugaan tubuh Ki Karantungan melesat
ke atas. Sebelah tangannya meraih cabang tertinggi.
Membiarkan dirinya tergantung demikian rupa. Maka
kejadian seperti Gentara Karma terjadi pada Ki Karantungan. Wintara tidak
menatap ke atas. Bau busuk me-
nyebar luas. Pendekar dari bukit Sinimbung bersama
Ki Wirayuda menyaksikan sampai tuntas proses peru-
bahan tubuh Ki Karantungan yang berangsur-angsur
menjadi arang. Lalu jatuh ke bawah, pecah berkeping-
keping bagai kaca.
Kedua orang penganut Ilmu Mati Pamungkas
telah lenyap. Tapi bukan berarti cerita ini berakhir begitu saja. Selama orang-
orang yang berpihak pada aliran sesat belum tuntas. Pendekar Kelana Sakti belum
bisa meninggalkan tanah Sungkawarang. Apalagi dua
perempuan sesat dari Gunung Tunggul! masih berke-
liaran. Suatu waktu Srikaton Munggel bersama gu-
runya akan muncul kembali untuk membuat perhi-
tungan. Jelas dua perempuan itu berilmu sangat ting-
gi. Ki Wirayuda bersama pendekar dari Bukit Sinim-
bung belum tentu mampu menghadapinya.
Nab, untuk itu para pembaca sekalian bisa
mengikuti kisah selanjutnya dalam:
"Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul"
TAMAT E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dewi Penyebar Maut I 1 Si Pedang Kilat Karya Gan K L Kisah Sepasang Rajawali 29
^