Pencarian

Alap Alap Liang Kubur 1

Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur Bagian 1


ALAP-ALAP LIANG KUBUR Oleh Buce L. Hadi
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. 11 B52/69
Jl. Samanhudi No.14-16, Jakarta-Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti dalam episode: Alap-Alap Liang Kubur
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Langit mendung menutupi suasana tanah pe-
kuburan. Hari itu tanah pekuburan nampak ramai.
Semua orang berdiri mematung menghadapi mayat
membujur terbungkus kain kafan. Di sebelah mayat
telah tersedia liang lahat yang cukup dalam. Hampir
seluruh mata memandangi mayat pucat pasi itu.
Hari itu seorang putri tunggal Ki Wirayuda te-
lah tewas di tangan seorang tokoh berilmu tinggi. Padahal Ki Wirayuda sendiri
seorang tokoh silat yang
sangat disegani. Selain berilmu tinggi, ia juga memiliki banyak cabang
perguruan. Oleh karena itu kebanya-kan yang menghadiri pemakaman tidak lain
orang- orang persilatan. Mereka benar-benar turut belasung-
kawa. Istri Ki Wirayuda tidak mengikuti upacara pe-
makaman. Ia sengaja diam dalam sebuah kereta. En-
tah sudah berapa kali ia tidak sadarkan diri. Begitu ju-ga Ki Wirayuda. Ia
hampir tidak tahan saat jenasah
mulai dimasukkan ke dalam liang kubur.
Pemimpin upacara pemakaman melihat laki-
laki yang tengah dilanda duka ini meninggalkan kera-
maian. Tidak satupun dari para pelayat itu berani me-nyapa atau mengikuti ke
mana ia pergi. Mereka hanya
menunduk hormat serta memberi jalan.
Suara tanah yang mulai menguruk kembali
liang kubur menggetarkan jantung Ki Wirayuda. Ia be-
rusaha untuk tidak mendengarnya. Langkahnya se-
makin cepat menuju sebuah kereta. Istrinya sudah si-
uman dan tengah menunggu kedatangan Ki Wirayuda.
Tapi sebelum ia mendekati kereta, Ki Wirayuda
menatap langsung seorang tua telanjang dada berdiri
di bawah pohon kering memegangi sebuah cangkul
bernoda lumpur. Ki Wirayuda masih ingat akan siapa
gerangan orang tua itu. Dialah yang telah mengabdi-
kan dirinya selama berpuluh-puluh tahun di tanah
pemakaman ini. Tugasnya sebagai penggali kubur. Un-
tuk anak tunggal Ki Wirayuda, dia pula tadi yang
menggalinya. "Terimalah ini, Ki Karantungan. Anggap saja
sebagai upah tambahan dariku." kata Ki Wirayuda sambil memberikan beberapa
keping uang logam ke
dalam tangan orang tua itu.
"Terimakasih. Tuan.... Saya berterima kasih se-
kali. Dan juga turut belasungkawa." jawab orang tua bernama Ki Karantungan.
Sambil menggenggam erat
uang pemberian Ki Wirayuda.
"Aku betul-betul merasa kehilangan anakku,
Ki..." ujar Ki Wirayuda. Pandangannya pada sebuah kerumunan yang mengelilingi
makam putra tunggalnya. "Bagaimanapun aku tidak akan terima atas
perlakuan ini." katanya lagi. Ki Karantungan menelan ludah. Lalu...
"Siapa orang yang telah berbuat keji ini" Kema-
tian putra tuan sangat mengerikan," tanya Ki Karantungan. Ki Wirayuda tidak
langsung menjawab. Kema-
tian putranya masih membayang terus. Dia tidak bisa
melupakan bagaimana keadaan jasad putra tunggal-
nya saat ditemukan. Tubuh anaknya hampir putus
menjadi dua. Dalam hal ini Ki Karantungan sendiri dapat melihat raut wajah Ki
Wirayuda diliputi oleh dendam. "Ini semua perbuatan Gentara Karma! Dia harus
menebus nyawa anakku!" sumpah Ki Wirayuda
dengan tubuh gemetar.
"Astaga...! Benarkah ini perbuatan Gentara
Karma?" Ki Karantungan si penggali kubur tak percaya. "Sediakan saja satu liang
kubur lagi. Setelah itu kau akan tahu mayat siapa yang ku bawa nanti." jawab Ki
Wirayuda. Setelah itupun ia melangkah lagi
menuju kereta di mana istrinya telah menunggu.
Upacara pemakaman telah selesai, para pelayat
mulai menghambur meninggalkan gundukan tanah
yang masih baru. Semuanya mendekati ke arah di ma-
na Ki Wirayuda berdiri di samping kereta. Si Penggali kubur Ki Karantungan masih
berdiri di bawah pohon
memperhatikan mereka.
"Guru... Kita harus mencari Gentara Karma se-
karang juga. Kematian den Arimbang mesti diselesai-
kan cara persilatan." Begitu kata mereka ketika mendekat di hadapan Ki Wirayuda.
"Kalian bicara apa! Gentara Karma bukan tan-
dingan kalian. Mencari keparat itu sama saja mengan-
tarkan nyawa. Biar aku sendiri yang akan berhadapan
dengannya!" jawab Ki Wirayuda. Orang-orang itu yang ternyata para muridnya tidak
berani membantah.
"Kakang... Gentara Karma harus mampus hari
ini juga. Bawa mayatnya ke hadapanku." kata wanita dalam kereta itu.
"Tenanglah, istriku. Anjing itu takkan hidup
sampai sore nanti.!" Ki Wirayuda menghibur istrinya.
Setelah berkata begitupun ia tidak memperdulikan
semua para muridnya. Ia terus melangkah menuju di
mana kudanya tadi ditambatkan.
"Kalian semua boleh pulang boleh tetap me-
nunggu di sini. Dan jangan coba-coba ada yang mem-
buntuti," kata Ki Wirayuda dengan nada dingin. Mendengar ucapan itupun semua
muridnya tertunduk
seakan mematuhinya. Maka tanpa bicara apa-apa lagi
laki-laki setengah tua itu menaiki kudanya.
Dengan sekali helaan saja, kuda itu berlari
kencang. Semua mata memandang kepergian Ki Wi-
rayuda. Lalu setelah Ki Wirayuda tidak nampak dari
pandangan. Mereka berbalik memandang seorang pe-
rempuan dalam kereta.
Wajah perempuan itu sangat pucat. Kedua ma-
tanya membengkak akibat banyak mengeluarkan air
mata. Saat itu ia masih sesenggukan,...
"Pulang saja. Tidak perlu menunggu guru ka-
lian di sini. Dia pasti akan pulang menyeret Gentara Karma." katanya dengan
pandangan kuyu. Dua orang penarik kereta langsung mengendalikan kuda penarik.
Yang lain berjalan membuntuti kereta itu. Dalam sekejap tanah pemakaman kembali
sunyi. Kepergian mereka bagaikan serombongan iring-
iringan yang semakin jauh meninggalkan tanah peku-
buran. Si penggali kubur menggeleng-gelengkan kepala menatap kepergian mereka.
Ia menghela napas meninggalkan pohon kering. Cangkulnya yang bernoda
tanah basah tersandang di bahu. Langkah-langkahnya
yang tegap menginjak tanah pemakaman. Ditatapnya
pula kuburan putra tunggal Ki Wirayuda. Makam itu
menyebar bau wangi kembang segar.
Di sekitarnya nampak kuburan-kuburan lain
yang memenuhi tanah pemakaman. Patok-patok nisan
tumbuh malang melintang menghalangi jalannya. Ki
Karantungan menurunkan cangkulnya di tanah agak
lapang. Sampai di situ ia menggali lagi. Tenaga rentangannya dikerahkan untuk
membuat satu lubang lagi.
Benturan-benturan cangkulnya menghantam permu-
kaan tanah. Mengeruk gumpalan-gumpalan tanah me-
rah. "Hhhh... Entah siapa yang bakal jadi penghu-ninya nanti." gumam Ki
Karantungan. Keringat membanjir di sekujur tubuhnya. Manakala ia terus meng-
hentakkan cangkulnya semakin kuat dan cepat. Tanpa
mengenal lelah, sekalipun matahari mencorot terik
membakar kulit hitamnya.
Sementara itu Ki Wirayuda memacu kuat-kuat
kuda tunggangannya. Saat ia mulai masuk daerah
lembah. Selama itu pula ia seperti tidak sabaran untuk menemui Gentara Karma.
Pandangannya selalu lurus
ke depan. Menerobos hutan belukar. Juga alang-alang
yang menghampar menghalangi langkah-langkah ku-
danya. Derap kaki kuda seakan memecahkan kesu-
nyian pekatnya hutan. Apalagi teriakan-teriakan he-
laan Ki Wirayuda yang menggelegar. Burung-burung
dan para penghuni hutan seakan lari terbirit-birit
mendengarnya. Sudah pasti kedatangan laki-laki itu
menjumpai Gentara Karma tidak lain untuk membalas
dendam atas kematian putra tunggalnya. Dia sudah
membayangkan bagaimana harus memperlakukan ter-
hadap pembunuh itu. Apalagi Ki Wirayuda sudah
mencium kalau Gentara Karma salah seorang tokoh
sesat berilmu tinggi.
Sebagai seorang pentolan persilatan, ia akan
mengadu nasib untuk menghadapi Gentara Karma.
Kalau pembunuh itu telah memutus duakan tubuh
anaknya, mungkin Ki Wirayuda akan membalas den-
gan memenggal kepalanya atau mencincangnya seka-
lian! Untuk itulah Ki Wirayuda semakin memacu
kudanya. Hutan yang begitu lebat menakutkan dilewa-
ti. Alang-alang bercampur duri telah diterjang. Tidak perduli permukaan tanah
yang berbaur dengan lumpur menghambat perjalanannya. Ki Wirayuda tahu be-
nar di tempat tinggal Gentara Karma. Tidak sulit untuk mencarinya. Saat itupun
sudah nampak sosok bangunan runtuh berdiri usang.
Ki Wirayuda dapat melihat tiga orang berjaga-
jaga di sekitar bangunan usang tersebut. Ia tidak peduli apapun yang dilihatnya.
Ia terus nekad membawa
kudanya mendekati bangunan itu.
* * * 2 Tiga orang menghadang saat Ki Wirayuda me-
masuki pelataran bangunan usang. Kudanya mering-
kik-ringkik saat ketiganya mencabut senjata.
"Bagus. Kau hanya mengantarkan nyawa men-
datangi tempat kami, Ki Wirayuda. Ha-ha-ha-ha... Kau memang pantas mampus untuk
menemani anakmu!"
bentak ketiga orang itu. Senjata-senjata mereka yang berupa golok panjang sangat
tajam berkilat. Tanpa
membabatkan kudanya lagi Ki Wirayuda langsung me-
lompat dari atas pelana. Dia langsung berdiri menghadapi ketiga orang itu. Sorot
matanya nanar serta buas.
"Suruh keluar Gentara Karma. Kalian boleh
ikut mampus nanti bersamanya!" jawab Ki Wirayuda.
Sebelah tangannya sigap menarik gagang pedang. Keti-
ga orang penghadangnya menyambut lebih dulu.
"Menghadapi kami bertiga belum tentu kau
sanggup!" Salah seorang dari mereka menyerang dengan babatan golok. Yang dua
lagi menyerang dari posi-si lain. Babatan golok mereka berdesing bareng mengarah
kepala Ki Wirayuda.
Laki-laki yang sudah dipengaruhi oleh dendam
ini cepat berkelit ke bawah. Pedangnya menangkis ke-
ras sambaran-sambaran golok. Menghadapi serangan
dari tiga arah yang berlawanan, sama sekali bukan ha-
langan. Karena dalam waktu yang sangat cepat ia su-
dah dapat menjatuh gulingkan dua orang lawan. Sam-
baran balasan pedangnya jangan dikata, sekalipun tiga orang lawannya menggunakan
jurus-jurus golok yang
sangat tangguh, Wirayuda dapat mematahkan seran-
gan lawan-lawannya.
Tidak percuma Ki Wirayuda memimpin bebera-
pa perguruan. Juga tidak sedikit tokoh sesat yang ber-tekuk lutut atau tewas di
bawah kakinya. Kiranya ia
memiliki ilmu pedang yang sangat tangguh. Setiap
sambaran pedangnya berkelebat bagai serentetan sinar siap menumbangkan lawan.
Entah pada jurus yang keberapa, tiga orang la-
wannya bergelintingan tewas. Rata-rata tenggorokan
mereka tersayat dan menyemburkan darah. Ki Wi-
rayuda menatap mereka dengan posisi masih memen-
tang jurus pedangnya.
"Plok...! Plok...! Plok...!" Ki Wirayuda mendengar suara tepukan tangan, cepat
ia menoleh ke arah suara.
Darahnya seperti mendidih saat munculnya seseorang
bertampang menyeramkan tahu-tahu berdiri di ten-
gah-tengah pintu bangunan. Serta merta Ki Wirayuda
menudingkan pedangnya ke arah orang itu.
Gentara Karma! Kau pikir setelah membunuh
anakku kau dapat hidup tenang"... Jangan berangga-
pan begitu!" Ki Wirayuda geram. Laki-laki yang berdiri di tengah-tengah pintu
bangunan usang itu hanya tersenyum.
"Kematian putramu itu atas kesalahannya sen-
diri. Siapa suruh coba-coba mengusik ketenangan ka-
mi. Akupun tidak bermaksud membunuhnya saat itu.
Tapi ilmu pedangnya sangat membuat aku gusar. Cara
menghentikannya harus membunuhnya terlebih dahu-
lu. Maafkan atas kekhilafan ku ini, Ki Wirayuda,..."
Tenang sekali Gentara Karma bicara. Ki Wirayuda
tambah geram. "Untuk itu kaupun harus tahu kalau kedatan-
ganku ini akan menagih hutang darah. Semuanya
akan ku maafkan bila kau benar-benar telah mampus
di tanganku!" Ki Wirayuda melompat maju. Serta merta sambaran pedangnya
berputar. Tapi Gentara Karma
cepat pula lompat menghindar.
"Tunggu, Ki...! Bukankah sudah cukup hutang
darah ini kau tebus dengan tiga orang anak buahku?"
sahut Gentara Karma. Lentingan tubuhnya tadi cukup
jauh menghindari sambaran pedang. Ki Wirayuda ce-
pat berbalik. "Seratus orang macam mereka pun belum bisa
menghapuskan hutang darah ini dibanding dengan sa-
tu nyawa anjingmu, Gentara Karma!" Ki Wirayuda
mengarahkan pedangnya maju ke depan. Leretan sinar
menjurus dan hampir tidak dapat dihindari oleh orang menyeramkan macam Gentara
Karma.

Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu, apa boleh buat. Kita memang ha-
rus bertempur mati-matian." jawab Gentara Karma.
Iapun tidak kalah hebat mulai mengeluarkan jurus-
jurus mautnya. Menghadapi serangan-serangan Ki Wi-
rayuda, Gentara Karma sengaja tidak menggunakan
senjatanya. Padahal kalau ia mau, Gentara Karma da-
pat menarik langsung gagang golok panjangnya dari
pinggang. Ia sengaja menghadapi lawannya dengan tan-
gan kosong. Hal itu betul-betul membuat Ki Wirayuda
kehilangan muka. Karena ia tahu, Gentara Karma sa-
lah seorang ahli dalam menggunakan golok. Semua
orang persilatan tahu. Kalau Gentara Karma memiliki
jurus yang sangat ditakuti.
Begitu juga dengan Gentara Karma. Ia bukan-
nya tidak tahu kalau pentolan rimba persilatan ini
hampir merajai seluruh tanah Sungkawarang dalam
ilmu pedang. Ia harus hati-hati dalam menghadapi se-
tiap sambaran pedang. Maka nampaklah lesatan-
lesatan tubuh Gentara Karma yang begitu lincah. Ba-
batan pedang Ki Wirayuda bergerak tanpa mengenal
ampun. Sambaran pedangnya berdesing nyaring men-
gikuti ke mana gerak gerik lawannya bergeser meng-
hindar. Sudah tentu Gentara Karma yang menghada-
pinya tanpa menggunakan senjata itu merasa kewala-
han. Api dendam yang membakar jantung Ki Wirayuda
mempengaruhinya. Sehingga setiap serangannya nam-
pak ganas dan mematikan.
Demi mempertahankan nyawanya, Gentara
Karma melesat mundur ke belakang. Dalam pada wak-
tu itupun ia cepat menarik goloknya. Terlihat bilah golok yang panjang berwarna
hitam namun panjang. Go-
lok itu langsung menyambut sambaran pedang Ki Wi-
rayuda. Benturanpun tak dapat dielakkan. Kedua sen-
jata itu beradu memercikkan bunga api.
Dengan menggunakan senjata goloknya, Genta-
ra Karma lebih mudah membalas serangan. Ki Wirayu-
da agak tersentak saat senjatanya beradu saling ben-
tur. Dirasakannya sambaran golok Gentara Karma dis-
ertai dengan tenaga dalam penuh. Menghadapi itu pula Ki Wirayuda terpaksa
mengerahkan tenaga dalamnya.
Setiap sambaran pedang bergerak sangat cepat.
Tidak terlihat lagi bentuk pedang di tangan Ki Wirayu-da. Yang nampak hanya
leretan-leretan sinar putih
disertai desingan angin yang bergerak menggetarkan
senjata lawan. "Mana jurus maut mu yang sangat ditakuti
orang-orang persilatan, Gentara Karma...! Mana! Tun-
jukkan jurus Golok Pembelah Langit padaku!" bentak Ki Wirayuda. Gentara Karma
melesat ke atas. Tahu-tahu saja ia sudah hinggap di atas reruntuhan atap
bangunan. Karuan saja Ki Wirayuda lompat menyusul.
"Menghadapi orang macam kau tidak perlu aku
susah-susah mengeluarkan jurus Golok Pembelah
Langit. Dengan jurus dasarpun kau pasti mampus!"
Ujar Gentara Karma. Sudah tentu ucapan itu memba-
kar telinga Ki Wirayuda. Maka dengan sengit ia lancarkan Sapuan Pedang
Halilintar. Gentara Karma coba-
coba menyambut. Tapi ia tidak menyangka kalau tu-
buhnya hampir terpelanting jatuh. Bagusnya ia memi-
liki ilmu peringan tubuh yang sangat sempurna. Gen-
tara Karma tetap dapat mengendalikan dirinya berdiri pada puncak atap.
Pertarungan di atas reruntuhan bangunan ti-
dak dapat dipastikan siapa yang bakal menang. Kedu-
anya nampak begitu sengit saling lancarkan serangan.
Babatan-babatan pedang serta sambaran golok berke-
lebat saling bentur. Teriakan-teriakan mereka seakan meruntuhkan bangunan usang
tersebut. Manakala
mereka selalu melompat-lompat dari sasaran.
"Bangsat! Rupanya kau tidak boleh dianggap
main-main, Ki Wirayuda! Rasakan ini! Hreaaaaa...!" Teriak Gentara Karma. Tidak
tanggung-tanggung lagi ia
lepaskan juga jurus andalannya itu. Golok berwarna
kehitaman yang kini merupakan seleret sinar gelap
menyeruak menimbulkan suara yang bergemuruh.
"Yeaaaaaaa...!" Ki Wirayuda kepalang menyambut. Diam-diam pula ia melepaskan
jurus pedang yang
bernama Kilat Menggulung Hujan. Pedangnya bergerak
zig zag, namun kelihatan begitu cepat menjurus ke segala arah. Tapi yang pasti
menyambut hantaman Go-
lok Pembelah Langit.
"Bledaaaaar...! Sreeet...! Craaaas...!" benturan senjata mereka saling bentur.
Kali ini benturannya lebih keras. Benturannya menimbulkan suara yang
amat memekakkan telinga. Tapi tak urung juga kedu-
anya jatuh menggelinding dari reruntuhan atap ban-
gunan itu. Senjata-senjata mereka pun berpentalan
berdenting nyaring di tanah pelataran berbatu.
* * * 3 Kedua jago dari aliran yang berbeda ini berebut
bangkit. Mereka saling tatap dan mementang jurus.
Senjata-senjata mereka menyilang menancap di tanah.
Bibir Ki Wirayuda bergetar. Ia menahan sakit akibat
sabetan golok Gentara Karma yang melukai di bagian
pangkal lengannya. Sungguh parah dan nyaris putus.
Terlebih-lebih Gentara Karma. Sorot matanya
menandakan rasa sakit yang sangat hebat. Sambaran
pedang Ki Wirayuda mengakibatkan perutnya robek
dan menghamburkan darah. Namun luka itu sama se-
kali tidak dirasakannya.
"Kita sama-sama telah terluka, Ki Wirayuda.
Sebentar lagi kita berdua bakal mati. Bagiku tidak ada untung ruginya bila
tewas." Gentara Karma menyeringai.
"Kau boleh mampus! Tapi aku tidak!" jawab Ki Wirayuda menatap garang. Gentara
Karma tidak perduli dengan usus terburai bercampur darah di perut-
nya. Sikapnya malah seperti menantang. Hal itu betul-betul membuat Ki Wirayuda
semakin murka. Sekalipun Ki Wirayuda hampir kehilangan se-
belah lengannya, ia tidak ragu-ragu menerjang dengan sebuah hantaman yang paling
keras. Di tempat itu pu-la lawannya tetap berdiri menyambut. Hantaman Ki
Wirayuda "dapat ditepis, lalu Gentara Karma berusaha
membalas. Tapi darah yang keluar begitu banyak
membuat dirinya semakin lemah.
Tendangan Ki Wirayuda yang bergerak cepat
tanpa bisa dihindari menghantam tenggorokannya.
Maka tak kepalang tubuh Gentara Karma mencelat
membentur dinding bangunan usang itu. Tak pelak la-
gi tubuh lelaki menyeramkan ini ambruk dengan kepa-
la remuk. Ki Wirayuda sendiri sudah kehabisan tena-
ga. Ia tidak mampu melancarkan serangan lagi. Ia
hanya menatap Gentara Karma berusaha bangkit den-
gan payah. "He-he-he-he... Aku puas mati di tangan mu, Ki
Wirayuda. Ayo jangan tanggung-tanggung. Aku sudah
siap menerima ajal." ujar Gentara Karma. Wajahnya sudah tidak karuan tertutup
oleh darah. Katanya itu
jelas menantang.
"Kau memang pantas mampus, Keparat. Kema-
tianmu di sini tidaklah menyenangkan.
Istriku juga orang-orang persilatan harus me-
nyaksikan." kata Ki Wirayuda sambil melangkah.
Nampak sekali ia menahan sakit pada pangkal lengan-
nya. "Lebih mengasyikkan lagi. Di sana kau boleh sesuka hatimu. Mau penggal mau
potong atau cincang,
terserah." Jawab Gentara Karma sembrono.
"Kau akan lebih parah dari apa yang kau
bayangkan!" ujar Ki Wirayuda, kuda miliknya mendatangi. Ia meringkik-ringkik
puas melihat majikannya
telah mengakhiri pertarungan. Ki Wirayuda meraih se-
gulungan tambang yang tergantung di pelana.
"Tapi yang jelas kau bakal mampus tersiksa!"
kata Ki Wirayuda lagi. Dengan tali itu ia mengikat seluruh tubuh Gentara Karma.
Laki- laki ini sudah tidak berdaya. Tapi Gentara Karma masih sempat mengeluarkan
kata-kata yang membuat Ki Wirayuda jengkel.
"Keparat kau. Kenapa musti diikat macam mal-
ing jemuran" Aku sudah menyerahkan diri, tak bakal
aku kabur!"
"Kau boleh mengoceh apa saja, Gentara Karma.
Memaki diriku juga boleh!" ucap Ki Wirayuda tak perduli. Setelah selesai
mengikat, tokoh sakti ilmu pedang ini menariknya.
Kemudian mengaitkan pada kudanya. Lalu
sendiri menunggangi.
Gentara Karma tidak bergerak. Apalagi saat Ki
Wirayuda menghela kudanya kuat-kuat. Lari kuda itu
sangat cepat menyeret tubuh Gentara Karma.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha...!" Tubuh tak berdaya itu tertawa terbahak-bahak. Padahal
tubuhnya terasa
hancur membentur permukaan tanah berbatu. Belum
lagi ketika ia mulai terseret pada tanah berumput penuh duri. Bilur-bilur
berlumur darah memenuhi seku-
jur tubuh Gentara Karma.
"Ha-ha-ha-ha... Rasanya aku tidak bakal mati.
Yang kau lakukan ini sangat ringan bagiku!" celoteh Gentara Karma. Tubuhnya
terseret makin deras. Terdengar benturan benturan nyaring saat tubuh penuh
darah itu menerpa bebatuan dan batang-batang pohon
kering. *** Langit memerah. Tapi suasana tanah pekubu-
ran kembali ramai. Orang-orang persilatan kembali
berdatangan. Ki Karantungan si penggali kubur berdiri menatap kedatangan mereka.
Sebuah lubang kubur
menganga tersedia di hadapannya. Keringat Ki Karan-
tungan belum kering. Juga nafasnya masih memburu
setelah menguras tenaganya untuk menggali lubang
itu. Ditatapnya pula sebuah kereta berlari kencang
menuju tempat itu. Dari situ Ki Karantungan dapat
melihat seorang perempuan yang tidak lain istri Ki Wirayuda duduk dalam kereta.
Semua orang persilatan
seperti tidak sabaran menunggu sesuatu. Mereka se-
mua sudah berkumpul tepat pada makam Arimbang.
Perempuan itu turun dari kereta dengan terge-
sa-gesa. Ia langsung berlari mendekati Ki Karantungan yang berdiri menghadapi
sebuah lubang. "Mana Ki Wirayuda" Mana dia...?" tanyanya
terburu-buru. "Belum datang. E-e... benarkah ia telah mene-
waskan Gentara Karma?" Ki Karantungan balik ber-tanya. "Kami datang kembali ke
sini karena mendengar kabar dari para penduduk Desa Sungkawarang.
Mereka pasti tidak bohong." jawab istri Ki Wirayuda. Si penggali kubur manggut-
manggut. "Sukurlah... sebenarnya aku khawatir sekali
terhadap dirinya."
"Demikian pula aku, Ki.... Kalau Ki Wirayuda
tidak datang sore ini, terpaksa aku yang kan turun
tangan." ujar perempuan ini.
Ki Karantungan tersenyum. Wajah keriput ter-
makan usia itu menampakkan raut wajah yang agung.
"Kenapa berbuat senekad itu" Bukankah kau
sudah mendengar kabar dari pada penduduk" Ki Wi-
rayuda bukanlah seorang tokoh silat yang mudah di-
perdaya. Aku yakin beliau pasti akan datang ke sini."
jawab Ki Karantungan.
Tanah pekuburan semakin penuh. Dan hari
semakin gelap. Orang-orang persilatan hampir putus
asa menunggu kedatangan Ki Wirayuda. Tapi beberapa
saat kemudian semua kepala menoleh ke arah suara
derap kaki kuda yang berderak-derak kencang. Semu-
anya pun berlari menyusul. Langkah-langkah mereka
begitu semangat setelah melihat Ki Wirayuda adanya.
Di belakang kudanya terseret sosok tubuh ber-
lumuran darah bercampur tanah.
"Ki Wirayuda datang....' Dia betul-betul mem-
bawa si keparat Ki Gentara Karma...!" teriak mereka.
Ki Karantungan bersama istri Ki Wirayuda se-
rempak menoleh. Apa yang didengar serta dilihatnya
benar. Ki Wirayuda memenuhi janjinya. Tubuh Genta-
ra Karma sudah tidak karuan lagi. Apalagi semua
orang persilatan yang menggiringnya itu tidak henti-
henti melancarkan hantaman. Tubuhnya terus terseret
bersama larinya kuda yang mengarah pada Ki Karan-
tungan. "Hebat, benar-benar hebat! Rupanya kau telah menyediakan liang kubur
untukku!" Ujar Gentara
Karma. Ki Wirayuda hampir tidak percaya melihat so-
sok Gentara Karma masih tetap sehat bugar. Meskipun
seluruh tubuhnya sudah membanjir darah. Dengan ge-
ram pula ia turun dari kudanya. Istrinya datang me-
nyambut. "Kau terluka kakang" Astaga lengan mu...."
"Tidak apa-apa, Andini. Luka ini tidak bebera-
pa. Dalam waktu yang singkat pasti akan sembuh."
jawab Ki Wirayuda. Lalu ia menoleh pada Ki Karantun-
gan... "Bagaimana, Ki... Apakah kau telah menggali lubang untuk anjing ini?"
tanyanya. Ki Karantungan diam seperti beku. Tapi Ki Wirayuda sudah dapat melihat
di hadapannya sebuah lubang yang cukup dalam
dan besar. "Bagus. Hari ini juga seperti apa yang telah aku katakan, Gentara Karma harus
mampus di hadapan
istriku. Juga seluruh orang-orang persilatan, hendaknya hal ini menjadi bahan
pelajaran bagi kita. Setiap
musuh yang berdiri pada pihak sesat, sebaiknya kita
hancur leburkan!"
"Kau terlalu banyak bicara Ki Wirayuda. Mau
bunuh cepat bunuh! Tidak perlu khotbah macam itu!"
bentak Gentara Karma. Tubuhnya tetap terikat. Men-
dengar ucapan itupun Nyi Andini istri Ki Wirayuda
menjadi kalap. Serta merta ia menendang tubuh Gen-
tara Karma. * * *

Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

4 Sekali tendang tubuh terikat Gentara Karma
mencelat sekaligus langsung masuk ke dalam lubang
yang telah disediakan. Semua orang yang memenuhi
tempat itu diam tak bersuara. Mereka begitu kagum
akan kehebatan Nyi Andini. Perempuan berilmu tinggi
ini memandang geram pada laki-laki terikat lemas da-
lam liang kubur.
"Tindakanmu yang paling kusukai, Nyi. Aku
memang ingin sekali mampus." ujar Gentara Karma. Ia balas menatap tatapan nanar
Nyi Andini. "Nyawa anakku terlalu mahal. Kau akan mene-
rima ajalmu dengan penuh kesakitan!" bentak Nyi Andini. "Kenapa tidak cepat-
cepat kau lakukan, Nyi.
Aku sudah siap menerima." jawab Gentara Karma. Nyi Andini berpaling pada Ki
Karantungan. "Kubur dia, Ki...." perintah Nyi Andini tidak main-main.
"Tapi, Nyi... Gentara Karma masih hidup." Ki Karantungan gugup.
"Timbun dia dengan tanah! Biar dia tahu ba-
gaimana sakitnya manusia menjelang ajal!" perintah Nyi Andini makin keras. Ki
Karantungan kikuk. Ia tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Bagaimanapun Ki
Karantungan mengenal betul siapa adanya Gentara
Karma. Sepertinya ada sesuatu rahasia yang tersimpan di antara mereka berdua.
"Aku tidak tega, Nyi...." Ki Karantungan berala-san. "Lakukan saja, Ki
Karantungan. Kenapa mesti ragu-ragu." ujar Gentara Karma. Ki Karantungan makin
kikuk. Mendengar itu Nyi Andini bertambah gusar.
"Manusia tidak kenal mampus. Rasakan ini...!"
Nyi Andini terpaksa menimbun lubang itu sendiri. Ke-
dua lengannya mengais-ngais menguruk dengan ta-
nah. Demi melihat itu Ki Wirayuda ikut membantu.
Begitu juga dengan orang-orang yang ada di tempat
itu. Tertimbun tanah dalam liang itu, Gentara Kar-
ma meronta-ronta sekuat tenaga. Namun ikatan yang
begitu erat membuat dirinya tidak berkutik. Manakala tanah semakin menimbun.
Semua orang menatap ngeri melihat Gentara Karma tertimbun hidup-hidup. Se-
makin tertutup. Semakin lemas dan lemas. Sampai
akhirnya benar-benar teruruk tanpa sisa.
Jeritan panjang terdengar melengking meski-
pun tubuh Gentara Karma telah tertimbum. Gundu-
kan tanah yang telah membukit itu bergerak-gerak. Nyi Andini langsung menginjak-
injak gundukan tanah berlumpur sampai rata dengan permukaan tanah. Nam-
pak bengis dan tanpa ampun. Ki Wirayuda sendiri me-
lihat istrinya bagai kesetanan.
Sesaat kemudian tempat itu berubah sunyi. Nyi
Andini memandang berkeliling menatap seluruh orang-
orang yang hadir menyaksikan peristiwa itu. Ki Karan-
tungan diam seribu bahasa. Sebagai seorang penggali
kubur, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia belum beranjak dari situ saat orang-
orang mulai meninggalkan
gundukan tanah satu persatu.
Ki Wirayuda menuntun Nyi Andini melangkah.
Perempuan itu langsung menuju kereta yang siap me-
nunggu. Sebelum Ki Wirayuda mendekati kudanya. Ia
menemui Ki Karantungan. Ia memberi lagi beberapa
keping uang logam. Sebenarnya Ki Karantungan eng-
gan menerimanya.
"Tenagamu cukup terkuras hari ini, Ki... Orang
macam Ki Karantungan ini tidak semestinya bekerja
keras sebagai penggali kubur." ucap Ki Wirayuda.
"Semestinya memang aku sudah beristirahat.
Tapi rasanya enggan untuk meninggalkan pekerjaan
yang telah mendarah daging ini." jawab Ki Karantungan. "Jangan terlalu
memaksakan tenagamu. ujar Ki Wirayuda.
"Sekarang hari hampir gelap. Kami harus kem-
bali ke perguruan. Mungkin besok-besok aku akan
menjengukmu." kata Ki Wirayuda lagi. Setelah itupun ia benar-benar meninggalkan
Ki Karantungan sendiri.
Sekali lompat ia sudah hinggap di atas pelana.
Maka rombongan itupun segera meninggalkan
tanah pekuburan. Ki Wirayuda berjalan membawa ku-
danya beriringan dengan kereta yang ditumpangi Nyi
Andini. Perasaan mereka sore itu benar-benar puas.
Pembunuh anaknya telah membayar dengan nyawanya
juga. Itu berarti hutang darah telah tuntas. Siapapun adanya Gentara Karma
mereka tidak perduli. Biar seluruh orang-orang aliran sesat membuat perhitungan
atas perlakuan ini, mereka akan tetap meladeni.
Orang-orang aliran sesat memang meski ditumpas.
Mereka pantas dimusnahkan.
Ki Karantungan berdiri mematung menghadapi
gundukan tanah dingin. Manakala hari makin gelap
gulita. Angin semilir berdesir menerpa kulit rentanya.
Tanah pekuburan kembali sunyi. Seperti mati. Orang-
orang persilatan maupun kelompok Ki Wirayuda sudah
sirna dari pandangan matanya.
Dengan lesu ia melangkah meninggalkan ma-
kam tanpa nisan itu. Ditujunya sebuah gubuk kecil
yang cuma satu-satunya berdiri di sudut tanah peku-
buran. Ki Karantungan memang tinggal di situ. Demi
melakukan tugas yang sangat membosankan dan
menguras tenaga dia menghabiskan sisa hidupnya
dengan menggali kubur. Ketika ia memasuki pintu gu-
buknya, pasukan kelelawar beterbangan menyingkir.
Bagi Ki Karantungan hal semacam itu sudah ti-
dak mengejutkan lagi. Ia sudah terbiasa dengan kea-
daan yang demikian. Malah setiap malam ia terus di-
hibur oleh suara-suara burung bantu maupun suara-
suara lain yang menakutkan. Ia sama sekali tidak terpengaruh. Mungkin karena
terlalu lamanya ia tinggal
di tanah pekuburan. Dan juga tugasnya sebagai penja-
ga sekaligus penggali kubur.
*** Suatu peristiwa yang tidak masuk di akal se-
hat. Semua orang yang mendengar peristiwa kematian
Gentara Karma seakan tidak percaya. Bagi orang-orang persilatan yang telah
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, mungkin Ya! Tapi bagi mereka yang
tidak sempat menghadiri peristiwa di tanah pekuburan,
tidak mungkin percaya begitu saja.
Tapi setelah melihat adanya gundukan tanah
tanpa nisan, juga diperkuat dengan cerita-cerita orang setempat. Mereka semua
jadi tidak habis pikir.
Bagaimanapun mereka sukar mempercayainya.
Gentara Karma seorang tokoh sesat yang tidak kenal
ampun. Ilmunya yang setinggi langit tidak mungkin bi-sa dikalahkan begitu saja.
Apalagi mereka mendengar
kalau Gentara Karma sampai menyerah. Bahkan sam-
pai menerima hukuman yang demikian rupa.
Sekalipun mereka tahu Ki Wirayuda memang
pentolan orang-orang persilatan. Tapi mereka bisa
mengukur akan kehebatan tokoh sakti dari aliran pu-
tih itu. Ki Wirayuda sendiri di pesanggrahannya mera-sa tidak habis pikir. Ia
seperti merasa ada kelainan sewaktu menghadapi Gentara Karma. Rasa tidak
mungkin jika ia bisa mengalahkan begitu cepat. Seta-
hunya, Gentara Karma seorang tokoh yang sulit dija-
mah. Sejak hari itu Ki Wirayuda selalu nampak ter-
menung. Namun ia dapat menyembunyikan perasaan
itu di hadapan istrinya. Kematian putra tunggalnya memang suatu pukulan berat.
Kedua suami istri ini
betul-betul seperti kehilangan segalanya. Bagi Nyi Andini, ia sudah merasa puas.
Karena ia telah melakukan apa yang dianggapnya jalan terbaik terhadap pembunuh
anaknya. Den Arimbang putra tunggal mereka sebenar-
nya seorang anak muda yang tangguh dan telah men-
guasai penuh seluruh ilmu-ilmu yang diwarisi oleh Ki Wirayuda. Sepak terjangnya
dalam dunia persilatan
sangat mengagumkan. Semuda itu ia sudah dapat me-
nyingkirkan beberapa pentolan orang dari aliran sesat.
Tidak mengherankan kalau ia sering mewakili
ayahnya dalam menghadapi kerusuhan-kerusuhan da-
lam dunia persilatan. Tapi nasib buruk telah menje-
ratnya ke jalan lain. Ia harus berhadapan dengan Gentara Karma. Semua orang tahu
kalau Gentara Karma
sangat sukar untuk diatasi. Sudah banyak orang-
orang persilatan yang ambruk di kakinya. Tidak segan-segan pula Gentara Karma
mengirim Den Arimbang ke
akherat. Tapi sekarang kedua orang tua mereka sudah
membalas atas kematiannya. Mungkin Den Arimbang
akan merasa puas dan tidak mati penasaran.
* * * 5 Untuk mencari kebenaran adanya berita kema-
tian Gentara Karma. Dua pasangan pendekar dari Bu-
kit Sinimbung diutus untuk mendatangi pemukiman
Ki Wirayuda. Pasangan pendekar yang tidak lain suami istri itu bernama Wita Soma
dan Mawarni Runi. Dua
suami istri ini cukup memiliki ilmu yang tinggi. Mereka berdua sanggup melakukan
perjalanan jauh. Segala
rintangan apa pun dapat diatasi.
Dua pendekar ini tanpa mengenal lelah mene-
robos lebatnya hutan. Mengarungi tanah perbukitan
terjal juga lembah ngarai. Manakala panas terik men-
corot menggarangi mereka. Dua kuda mereka yang di-
tunggangi melangkah lesu kelelahan.
Untunglah di hadapan sana banyak mengham-
par rerumputan hijau. Ada juga sebuah
telaga dengan airnya yang bening. Pohon-pohon
subur banyak tumbuh di sekitar tempat itu. Kedua
pendekar ini membawa kuda mereka ke sana.
Wita Soma langsung turun dari atas pelana be-
gitu sampai di tepian telaga. Ia bagaikan menemukan
sumber kehidupan ketika melihat beningnya air. Be-
lum meminumnya saja perasaannya sudah demikian
segar. Maka tidak ragu-ragu lagi Wita Soma mereguk
dengan kedua belah telapak tangannya.
"Segar... Sungguh segar, Mawarni. Kita bisa
minum sepuasnya atau bila perlu kita mandi sekalian
di sini!" teriak Wita Soma. Mawarni Runi menatap melepaskan senyum terhadap
suaminya. Ia juga ikut tu-
run dari atas pelana kuda. Langkahnya langsung me-
nuju ke samping Wita Soma yang nampak mengguyur
sekujur tubuhnya dengan air telaga.
"Kakang... Rasanya aku ingin mandi. Seharian
ini terasa sekali panas. Apakah kau tidak bisa merasakan kalau tubuhmu sudah
tujuh rupa baunya." ujar Mawarni Runi.
"Mandilah sepuasmu. Aku masih terlalu letih.
Setelah itu kita boleh mencari tempat peristirahatan untuk malam ini." jawab
Wita Soma. "Kakang pun harus mandi biar tidak bau." Mawarni Runi mulai membuka pakaiannya.
"Ya... ya... Aku pasti mandi." Wita Soma menatap lekuk-lekuk tubuh istrinya.
Betapa putih halus seluruh kulit Mawarni Runi. Setiap laki-laki pasti akan
tergiur bila melihatnya. Buah dada yang mengkal, be-risi padat. Ditambah lagi
dengan wajah yang cantik.
Rambutnya terurai sebatas pinggang saat Mawarni
Runi melepaskan ikat rambutnya.
"Byuuuur...!" lamunan Wita Soma buyar. Air telaga menyiprat ke wajahnya saat
istrinya terjun ke telaga. Beberapa detik kemudian ia menyembul dari
permukaan air. "Yang kau katakan benar, Kakang. Air di sini
begitu segar." ujar Mawarni Runi. Maka Wita Soma langsung membuka seluruh
pakaiannya. Secepatnya ia
terjun. Keduanya menyelam. Permukaan air beriak-
riak. Mereka ke sana ke mari. Saling kejar melepaskan senda gurau setelah
seharian penuh mengarungi perja-
lanan yang melelahkan. Dalam keriangan itu mereka
dikejutkan oleh suara ringkik kuda. Keduanya seren-
tak kaget. Sebagai seorang pendekar, mereka selalu
awas dan waspada.
"Cepat berpakaian. Ada seseorang yang mengin-
tai kita." Wita Soma berlari ke tepi telaga. Lalu menyambar pakaiannya. Dengan
tergesa-gesa ia langsung
mengenakannya. "Anjing busuk mana yang berani mengusik ke-
tenangan kita, Kakang" Biar kuhantam matanya agar
juling." bentak Istri Wita Soma. Perempuan bugil itupun mulai mengenakan
pakaiannya. "Entahlah... Tingkahnya macam setan gen-
tayangan. Menclak sana menclok sini. Dikiranya kita
tidak tahu kalau kelakuannya itu sudah terlihat," jawab Wita Soma. Dia memang
sudah melihat satu sosok
bayangan berkelebat dari pohon ke pohon. Namun
nyatanya sosok itu terus berlalu tanpa menunjukkan
diri. Kedua pasangan pendekar ini tidak mengejarnya.
Sengaja mengawasi sosok itu pergi menghilang.
"Dia hanya memperingatkan kita agar cepat
meninggalkan tempat ini. Huh! Perduli apa. Lagi pula siapa yang mau berlama-lama
di sini." gerutu Wita Soma. Kedua kuda mereka melangkah mendekat.
"Kira-kira siapa, Kakang?" tanya Mawarni Runi.
Perempuan ini telah rapi berpakaian. Dia langsung
menerima seekor kuda yang diberikan oleh suaminya.
"Mungkin seperti katamu tadi. Gerak-geriknya
macam anjing busuk. Orang macam itu tidak perlu di-
pikirkan. Ayo, Mawarni. Sebentar lagi hari akan gelap.
Di sebelah sana ada bangunan usang. Kita bisa beristirahat di nana." ajak Wita
Soma. Dia sudah siap menunggangi kudanya. Mawarni Runi tidak menyahut.
Rambutnya yang basah dibiarkan tergerai sebatas
pundak, Cepat sekali ia melesat ke atas kudanya.
"Jalan sini, setelah menembus alang-alang itu
kita akan menemukan bekas reruntuhan bangunan.
Dulu aku pernah singgah di sana. Suasananya nam-
pak bersih. Entah sekarang." ujar Wita Soma menggiring kudanya. Istrinya
mendampingi. Rumput alang-alang kering tidak jauh meng-
hampar. Sebentar saja mereka sudah menerobos.
Alang-alang itu hampir setinggi perut kuda. Saat itu hari mulai gelap. Langit
kemerahan bercampur hitam
menghiasi cakrawala.
Seperti apa yang diketahui Wita Soma. Ternyata
benar. Setelah mereka menerobos alang-alang. Dari si-tu mereka sudah dapat
melihat berdirinya bekas se-


Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buah bangunan usang. Adapun sebenarnya bangunan
itu tempat kediaman Gentara Karma. Di tempat itulah
Ki Wirayuda menumpas tiga orang anak buah Gentara
Karma sekaligus menyeret Gentara Karma itu sendiri.
Tapi mana tahu kalau tempat itu pernah terjadi
peristiwa luar biasa. Apalagi bagi kedua pendekar ini.
Sekarang mereka memasuki pelataran reruntuhan
bangunan tersebut. Tanpa ragu-ragu pula mereka me-
nambatkan kuda-kudanya di depan bangunan.
"Bah! Tempat macam ini kau bilang nyaman.
Tidakkah kau cium bau busuk ini?" ujar Mawarni Ru-ni. Perempuan ini sudah tahu
dari mana asal bau bu-
suk itu. Karena ia dapat melihat sepasukan tikus-tikus liar berlari meninggalkan
tiga sosok kerangka manusia.
Wita Soma mengangkat bahu.
"Dulu tidak seperti ini suasananya. Mungkin di
dalam sana tidak akan seperti ini." jawab Wita Soma.
Ia melangkah masuk menjajaki anak tangga batu. Ma-
warni Runi mengikutinya.
"Apa tidak ada tempat lain lagi?" "Ada. Kau boleh bermalam di dalam hutan
belantara sana." gurau Wita Soma.
"Lebih baik di sana dari pada harus terkurung
dalam bangunan ambruk yang pengap ini." Balas Mawarni Runi.
"Tidak, Istriku... Bila kita membuat api unggun suasana buruk macam ini akan
lain." Wita Soma me-munguti serpihan-serpihan kayu. Mawarni Runi hanya
berpangku tangan mengawasi suaminya. Pandangan-
nya ke luar mengawasi dua ekor kuda yang tertambat
di pelataran bangunan.
Api unggun meletup-letup menerangi ruangan
pengap itu. Bau busuk seakan hilang terbius oleh
hangatnya api unggun. Pasangan pendekar ini duduk
berdampingan bersandar pada dinding batu berlumut.
Mereka menikmati suasana hangatnya malam.
Cuaca terang mendadak saja berubah hitam.
Bulan yang tadinya bersinar penuh kini mulai tertutup awan berarak. Malam itu
kian mendung menakutkan.
Kedua pendekar yang berada di dalam bangunan ter-
sentak kaget saat sambaran petir bersama datangnya
hujan menghantam permukaan tanah berbatu..
"Traaaaazs... Glalaar!"
Dua pendekar ini berjingkat bangkit. Di tatap-
nya hujan begitu deras. Begitu juga dengan hembusan
angin yang membawa masuk percikan-percikan air hu-
jan bagaikan mata jarum.
"Kakang, kuda kita di luar kehujanan. Bawa sa-
ja mereka masuk ke dalam. Tempat ini cukup luas
kok. Kasihan, mereka akan mati kedinginan." bisik Mawarni Runi. Wita Soma
mengencangkan ikat pinggangnya, lalu ia melompat ke luar menerobos derasnya
hujan. "Sial! Kenapa mendadak hujan begini! gerutu Wita Soma. Keduanya
meringkik-ringkik basah kuyup.
Mereka meronta-ronta menghindari derasnya hujan.
Tapi tali ikatan yang mengikat kuda-kuda itu begitu
kuat dan tak mungkin terlepas.
* * * 6 Wita Soma menyeret dua ekor kudanya masuk
ke dalam ruangan hangat. Saat itu Mawarni nampak
tengah menambahi serpihan kayu bakar. Api unggun
semakin meletup-letup menggarang mereka. Tubuh
Wita Soma tak urung jadi keluncum. Pakaiannya ba-
sah kuyup. Dia menghenyakkan pantatnya di sebelah Ma-
warni Runi. Perempuan ini merinding menyentuh tu-
buh Wita Soma yang basah dingin.
"Keringkan dulu pakaianmu, Kakang. Nanti
masuk angin," ujar Mawarni Runi seraya ia membuka baju kuyub suaminya. Tapi Wita
Soma malah menyambutnya dengan menarik lengan istrinya ke dalam
pelukan. Mawarni Runi berontak.
"Buka dulu bajumu. Ini basah semua." kata istrinya lirih. Wita Soma menurut.
seperti anak kecil
yang ditelanjangi. Istrinya pula yang menggarang seluruh pakaian Wita Soma. Dan
laki-laki ini seperti tidak sabaran. Ia menarik lagi lengan Mawarni Runi.
Perempuan ini pura-pura meronta. Tapi tak urung tubuhnya
masuk jua ke dalam dekapan Wita Soma.
Suasana ruangan makin hangat. Dua ekor ku-
da berdiri salah tingkah. Kaki-kaki mereka perlahan
menyepak-nyepak lantai. Di luar hujan bertambah de-
ras. Angin bertiup kencang. Suara geledek bersahutan tanpa mengeluarkan petir.
Sosok hitam berdiri kaku di balik pintu Geme-
riciknya tetes air dari baju hitam yang kuyub sama sekali tak terdengar.
Wajahnya yang menyeramkan terus
mengawasi pasangan pendekar itu saling gumul. Jelas
wajahnya yang menyeramkan itu bukanlah wajah asli.
Wajah cukup menjijikkan itu tidak lebih sebuah to-
peng. Demi mengetahui adanya seseorang melihat
pergumulan mereka, Mawarni Runi tersentak kaget.
Hampir saja ia memekik ketakutan. Serta merta ia
mendorong tubuh Wita, Soma yang menindih kuat. Wi-
ta Soma sendiri kaget bukan kepalang.
"Ada apa, Mawarni...?" tanya Wita Soma keheranan. "Aku melihat hantu
menyeramkan. Dia ada di sana." tunjuk Mawarni Runi ke arah pintu. Tapi tidak ada
siapa-siapa di sana. Sosok hitam menyeramkan telah pergi menghilang. Wita Soma
jadi penasaran. Ia
berjingkat bangkit berlari ke arah pintu batu.
Di balik derasnya hujan Wita Soma meman-
dang berkeliling. Laki-laki ini mempertajam penglihatannya. Jangankan hantu,
seekor lalatpun tidak nam-
pak di ujung penglihatannya. Wita Soma kembali ma-
suk. "Ah, kau ini hanya mengada-ada, Istriku. Perasaanmu hanya terpengaruh oleh
mayat-mayat tadi."
ujarnya sambil mengelus-elus bulu lebat di leher ku-
danya. Laki-laki ini melangkah lagi mendekati istrinya.
"Kau tidak akan percaya, Kakang. Aku melihat-
nya sendiri kalau hantu itu berdiri di sana mengawasi kita. Wajahnya...."
Mawarni Runi tidak meneruskan kata-katanya. Karena Wita Soma cepat memotong.
"Kalaupun ada hantu di sini. Pastilah dia hantu kesepian." cetus Wita Soma tidak
perduli. Dia mulai membelai lagi tubuh istrinya. Tapi Mawarni Runi mengelak.
Birahinya telah beku saat ia melihat wajah menyeramkan tadi. Bagaimanapun
perempuan itu tidak
bisa melupakan sosok menakutkan itu. Menghadapi
ini Wita Soma hanya menghela nafas panjang. Lesu
pula ia menyambar pakaiannya yang digarang di atas
api unggun. *** Hujan deras masih terus menyiram Desa Sing-
kawarang. Banyak air yang tergenang mana-mana.
Apalagi di sekitar tanah pemakaman. Tanah mereka
makin becek bagai lumpur darah. Ada juga beberapa
makam tua yang rata dengan genangan air. Bahkan
patok-patok nisannya hampir hanyut terbawa air.
Saat itu sosok tubuh kekar berlari kencang
menerobos derasnya hujan. Tapak kakinya mengoyak
tanah pekuburan. Meski dalam keadaan gelap gulita,
masih nampak kelihatan kalau ia seorang anak muda.
Baju bulunya yang dikenakan telah keluncum basah.
Juga rambutnya yang gondrong selalu meneteskan air
bergerak-gerak kaku.
Langkah larinya semakin cepat tatkala hampir
mendekati sebuah gubuk reyot. Gubuk itu cuma ada
satu-satunya di sudut tanah pemakaman. Kerlip lam-
pu pelita menerangi ruangan gubuk itu. Sosok renta Ki Karantungan nampak duduk
di atas balai menghisap
daun kawung. Ia dapat terlindung dari derasnya hujan meskipun berada di atas
gubuk. Dari situ Ki Karantungan bukannya tidak tahu kalau ada seorang anak
muda berlari ke arahnya. Ki Karantungan menyambut
berdiri ketika pemuda basah kuyup itu telah berdiri di hadapannya.
"Maaf, Ki... Aku. tidak sempat mencari tempat
berteduh. Tidak disangka pula hujan demikian deras-
nya. Kalau boleh saya akan menumpang berteduh."
ujar pemuda itu yang tidak lain Pendekar Kelana Sakti adanya.
"Oh silahkan... Silahkan, Den." sambut Ki Karantungan sambil menggigit lintingan
daun kawung. Ia membuka pintu gubuk. Mempersilahkan masuk.
"Ah aku cuma tamu tak diundang. Juga bukan
orang ningrat. Mana pantas aki memanggil dengan se-
butan aden. Panggil saja aku Wintara." Pemuda ini melangkah masuk mengikuti Ki
Karantungan. "Lalu apa artinya aki yang miskin ini. Hhh...
Maaf, tempatnya kotor sekali. Sudah beberapa hari ini aki tidak mengurusnya.
Silahkan... Silahkan duduk.
Yang ada hanya balai reyot ini." kata Ki Karantungan ramah. Wintara tersenyum
mengangguk. Laki-laki renta ini sibuk menuangkan air kendi.
"Den Wintara dari mana?" tanya Ki Karantungan sambil meletakkan gelas bambu di
samping Winta- ra. Pemuda ini menyeka air di sekitar wajah dengan
lengan. "Aku baru saja dari Desa Curing Kencana.
Sampai di sini mendadak hujan." jawab Wintara.
"Baru saja" Kau berolok-olok, Den Wintara. De-
sa Guring Kencana sangat jauh dari sini. Menuju ke
sana akan memakan waktu dua sampai tiga hari." Ki Karantungan mengawasi pemuda
itu. Melihat dari bentuk tubuhnya yang kekar serta pakaiannya yang san-
gat aneh, pastilah anak muda ini bukan orang semba-
rangan. Tidak mungkin pula kalau pemuda ini manu-
sia biasa berani menempuh perjalanan yang sangat
jauh. Dari keyakinannya itu Ki Karantungan sudah ta-
hu kalau Wintara adalah seorang pendekar berilmu
tinggi. "Kenapa nampak heran begitu, Ki. Perjalanan menuju ke mari memang
kutempuh selama tiga hari
penuh. Rasanya pun aku sudah lelah betul." Wintara berbohong. Padahal ia harus
menempuhnya hanya dalam satu harian saja. Itupun dia harus menggunakan
kecepatan larinya.
"Jangan membohongi dirimu sendiri, Den.!
Pendekar-pendekar berilmu tinggi memang selalu tidak menonjolkan diri. Jarang
kutemui seorang pendekar
muda yang rendah hati." ujar Ki Karantungan. Kedua lengannya
bermaksud menutupi pintu gubuk. Agar udara
tidak terlampau dingin. Tapi tanpa diketahui oleh Wintara, lelaki renta ini
membelalakkan matanya. Ia Me-
mandang ke luar setengah tidak percaya. Dalam kege-
lapan malam dan derasnya hujan, mata rentanya me-
lihat jelas kuburan tanpa nisan seperti bergetar hebat.
Takut dilihat pula oleh Wintara, ia cepat-cepat menutup pintu gubuk. Lalu
berusaha menutupi sikapnya
yang agak kikuk. Wintara betul-betul tidak menyada-
rinya. "Aki bicara apa" Aku ini bukan seorang pendekar juga bukan apa-apa.
Apalagi sampai memiliki ilmu setinggi langit. Rasanya tidak mungkin bagiku.
Kalau hanya untuk sekedar membela diri memang aku cukup menguasai. Makanya aku
bisa sampai dengan se-
lamat di sini." ucap Wintara makin akrab. Rasa gugup Ki Karantungan tidak nampak
selama ia menemani
Wintara, Namun kedua bola matanya yang jujur selalu
melirik ke arah pintu. Pandangannya seakan ingin
menerobos ke balik pintu melihat kejadian pada kubu-
ran tanpa nisan yang baru saja dilihatnya bergetar.
Di luar sana di balik derasnya hujan. Kuburan
tanpa nisan bergetar hebat. "Ztraaaaas... Glaaar...'."
Bersamaan dengan sambaran kilat gundukan tanah
retak seperti terjadi gempa. Di luar dugaan pula gundukan tanah itu terkuak
lebar. Dari dalamnya muncul
sosok tubuh Gentara Karma bercampur lumpur tanah.
Ke dua tangannya mengais membersihkan kotoran-
kotoran tanah. Lalu bangkit sebagaimana layaknya
orang yang bangun dari tidur.
* * * 7 Cicit burung-burung yang memenuhi atap ban-
gunan tua menghiasi suasana pagi berkabut. Sinar
matahari menerobos melalui celah-celah daun dari pe-
pohonan yang banyak tumbuh di sekitar bangunan tua
itu. Membuyarkan semua kabut putih yang merambat
di sekitar anak tangga batu.
Semalaman suntuk pasangan pendekar ini ti-
dak dapat memejamkan mata. Mawarni Runi masih
membayangkan wajah seram menakutkan. Keduanya
saling duduk diam menghadapi api unggun yang sebe-
narnya sudah padam. Bau busuk ketiga mayat yang
tergeletak di pelataran bangunan tercium lagi.
Mawarni Runi mendengus mengusir bau busuk
itu. "Masih mau berdiam di sini terus?" ujar Mawarni Runi bangkit dari duduknya.
"Terserah kau." jawab Wita Soma mengangkat bahu. "Tapi aku pikir hari. masih
terlalu pagi. Segan rasanya melangkah ke tanah yang becek ini." kata Wita Soma
lagi. Mawarni Runi nampak kesal. Ia melangkah
keras mendekati kudanya.
"Kalau kau tidak mau berangkat sekarang, biar
aku sendiri yang meneruskan perjalanan!" Kesal
menggerutu. "E-e-e... Tunggu dulu! Mana bisa aku biarkan
kau pergi sendiri?" Wita Soma bangkit menyusul. Isterinya sudah siap di atas
pelana. Ia juga langsung mele-
sat menunggangi kuda satunya lagi. Mawarni Runi te-
tap cemberut. "Apa nanti kata Ki Wirayuda kalau kau hanya
sendirian sampai di sana?" ujarnya lagi.
"Bagus kalau masih punya rasa tahu diri." tukas isterinya. Cemberut begitu
Mawarni Runi tambah
cantik. Dua kuda mereka menerobos bergantian mele-
wati pintu bangunan. Wita Soma berusaha membawa
kudanya berdampingan. Tanpa menoleh mereka mele-
wati tiga sosok mayat berbau busuk. Mereka terus me-
ninggalkan bangunan yang hampir runtuh.
Terasa lega nafas mereka setelah berada jauh.
Saat itupun mereka harus menerobos hutan belukar.
Udara masih sangat dingin. Sekitar tanah yang mereka lalui masih becek tergenang
air bekas hujan semalam.
Perlahan kabut mulai sirna terbawa angin pagi. Meski rawan, hutan belukar nampak
lebih indah dalam suasana pagi. Namun ketenangan langkah kuda mereka
mendadak goyah. Kuda-kuda mereka meringkik-
ringkik. Sukar sekali kedua pendekar ini menjinak-


Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kannya. Kuda-kuda mereka bagai liar tak mengenal
tuannya lagi. Barulah tahu apa yang menyebabkan mereka
terguncang-guncang demikian. ternyata sosok tubuh
bercampur lumpur telah menghadang. Raut wajah
penghadang itu bersih dari noda-noda lumpur. Hanya
darah kering yang masih menghiasi sekitar wajahnya.
Kedua pendekar ini melompat dari pelana. Membiar-
kan kuda-kuda mereka menyingkir.
"Diakah hantu yang mengganggu ketenangan
kita semalam?" bisik Wita Soma mengernyitkan alis.
"Bukan. Keadaannya memang hampir sama bu-
ruk, tapi jelas bukan dia." jawab Mawarni Runi dengan berbisik pula. Wita Soma
melangkah maju menatap
sosok baju berlapis lumpur.
"Ki Sanak, Ilmu apa yang kau gunakan sehing-
ga kuda kami lari terbirit-birit, jelas kemunculan ki Sanak membawa alamat yang
kurang baik." Mendengar ucapan itu, penghadang ini menyeringai seperti
mengejek. "Kau ini sungguh pikun, Kakang. Tidakkah kau
kenali kalau kutu busuk ini tidak lain si Keparat Gentara Karma?" Mawarni Runi
melangkah mendampingi Wita Soma.
"Kalaupun aku percaya dia Gentara Karma,
pastilah mahluk jelek ini setan gentayangannya." tukas Wita Soma.
"Kalian boleh menganggap aku setan gentayan-
gan, iblis atau siluman, ... Terserah Yang jelas, berhadapan denganku kalian
bakal mampus. Asal tahu saja.
Aku memang Gentara Karma." Sosok penuh lumpur
menuding pasangan pendekar ini.
"Berita apa sebenarnya yang kita dengar ini ka-
kang" Bukankah Gentara Karma sudah mampus" Ke-
napa sekarang kunyuk ini ada di hadapan kita?"
"Siapapun dia, apa susahnya menyingkirkan
penghalang! Minggir...!" Wita Soma nyeruduk. Serta merta ia melepaskan hantaman.
Sosok penuh lumpur
yang ternyata Gentara Karma menyingkir bagai angin.
Gerakannya langsung menyambut hantaman Mawarni
Runi yang datang dari arah belakang. Serangan-
serangan isteri Wita Soma lebih gencar. Namun selalu saja Gentara Karma dapat
menghindar dengan kecepatan geraknya.
"Siapa bilang Gentara Karma mati! Orang yang
mengatakan itu yang bakal mati nanti!" bentak Gentara Karma. Ketika ia menyambut
hantaman Isteri Wita
Soma, Perempuan ini memekik. Tulang lengannya te-
rasa patah. Karuan saja tubuhnya terhuyung mundur.
Melihat itupun Wita Soma merangsak main. Se-
rangannya lebih gencar. Pendekar dari Bukit Sinim-
bung ini tidak tanggung-tanggung melepaskan puku-
lan. Dan nampaknya pula Gentara Karma agak kewa-
lahan menghadapi hantaman yang beruntun. Dua
hantaman sekaligus menghantam dadanya.
Wita Soma terkejut sekali dua hantamannya
tadi bagai menyentuh benda kenyal. Padahal ia yakin
bila lawannya tidak akan sanggup bertahan. Ia sudah
membayangkan kalau tadi Gentara Karma bakal jatuh
ambruk dengan menyembur darah. Tapi yang ia lihat
sama sekali di luar dugaannya. Gentara Karma tidak
bergeming sedikitpun. Hantaman itu seakan tidak be-
rarti. Kini kedua pendekar dari bukit Sinimbung ini menyerang serempak.
Hantaman-hantaman mereka
bergulung-gulung merencah sosok penuh lumpur. Tapi
saat Gentara Karma membalas serangan, kedua pa-
sangan pendekar ini terhuyung mundur. Bersamaan
dengan itu pula Gentara Karma melepaskan tendangan
memutar. "Deees!"
Jelas tendangan itu masuk ke perut Mawarni
Runi. Tak urung perempuan ini terjungkal ambruk.
Wita Soma cepat berlari melindungi. Tapi ia pun men-
galami nasib yang sama.
"DEEEER!"
Pukulan Gentara Karma menghantam pung-
gung serta lehernya.
Darah menyembur dari mulut Wita Soma. Hal
itu tidak membuatnya jera. Dia bangkit lagi memen-
tang jurus. Mawarni Runi sudah siaga kembali. Ter-
jangannya melesat bagai terbang.
Menghadapi dua serangan dari pendekar-
pendekar tangguh, Gentara Karma tidak gentar. Setiap perguruan atau pendekar
lain yang bercokol di tanah
Sungkawarang pasti tahu akan kehebatan mereka. Se-
lain itu mereka tahu kalau pasangan pendekar ini
memiliki satu pukulan yang sangat dahsyat. Jurus itu bernama Tinju Karang. Jurus
ini pula yang merupakan
jurus andalan pasangan pendekar ini.
Sekarang mereka diam-diam tengah menyusun
tenaga inti untuk melepaskan ilmu andalan mereka.
Selama itu pula mereka terus mencecar Gentara Kar-
ma. Sosok penuh lumpur ini terus menyambut mema-
paki serangan-serangan mereka. Dan pada satu ke-
sempatan, "Deees...! Blaaaaar...!"
Pasangan pendekar dari bukit Sinimbung mele-
paskan Tinju Karang berbarengan. Pukulan itu meng-
hantam dahsyat Gentara Karma. Tubuhnya yang kotor
penuh lumpur jatuh bergulingan. Untuk sesaat diam
tak berkutik. Wita Soma menghantam bagian dadanya. Pasti-
lah seluruh tulang iga Gentara Karma rontok. Mawarni Runi menghantam bagian
perut dan yakin sekali kalau
lambung Gentara Karma pasti pecah. Seperti yang su-
dah-sudah memang demikian. Setiap lawannya tidak
akan dapat bangkit setelah mendapat hantaman Tinju
Karang. Tapi mendadak saja mereka membelalakan
mata sambil saling pandang. Perlahan Gentara Karma
dapat bangkit tanpa kurang satu apapun.
"He-he-he-he... Inikah ilmu dahsyat orang-
orang bukit Sinimbung" Kalau hanya sebegini kenapa
setiap orang-orang aliran sesat merasa takut." ujar Gentara Karma melangkah
maju. Wita Soma maupun
Mawarni Runi merasa heran. Mereka bermaksud me-
lancarkan pukulan lagi. Hantaman-hantaman Tinju
Karang bergulung-gulung menderu. Gentara Karma te-
tap menyambut dengan terjangan yang disertai samba-
ran kedua tangannya.
"Bleeedar!"
Hantaman mereka beradu dahsyat. Gentara
Karma berjumpalitan di udara. Tapi dua pendekar dari bukit Sinimbung mencelat
tidak kepalang tanggung.
Mereka jatuh tepat di bawah kaki kuda mereka yang
sedari tadi meringkik-ringkik.
Wita Soma merasa tidak akan sanggup meng-
hadapi Gentara Karma. Maka meskipun seluruh tu-
buhnya terasa hancur ia berusaha melompat ke atas
pelana. * * * 8 "Mawarni....! Tinggalkan bangsat itu. Dia bukan tandingan kita!" teriak Wita
Soma. Ia membawa kudanya mendekati Mawarni Runi. Perempuan ini tidak
sempat meraih kudanya. Karena ia sibuk menghadapi
serangan-serangan Gentara Karma.
Sudah tentu menghadapi Gentara Karma akan
sia-sia. Mawarni Runi hanya menghindar dan mencari-
cari kesempatan agar bisa melompat ke atas kudanya
untuk kemudian lari. Tapi serangan Gentara Karma
sangatlah gencar dan bertubi-tubi.
Wita Soma tidak sempat untuk turun lagi. Ia
menyambar tubuh istrinya dari serangan-serangan
Gentara Karma. Mengetahui adanya Wita Soma sudah
menunggangi kudanya. Mawarni melesat ke atas. Tapi
saat tubuh ramping itu masih berada di udara. Genta-
ra Karma melepaskan hantaman...
"Des!"
Mawarni Runi memekik. Darah menyembur.
Sebelum jatuh ke tanah, Wita Soma dapat menyambar.
Sayang cengkeraman Wita Soma tidak begitu kuat. Ia
hanya dapat menarik rambut panjang isterinya.
Meskipun begitu Mawarni Runi dapat ditarik naik ke
atas kuda. Tapi sebelum itu rupanya Gentara Karma lan-
carkan satu sabetan pukulan karate. Hantaman itu te-
pat mengenai tulang leher. Wita Soma memekik ngeri.
Yang dapat ia raih bukan tubuh isterinya. Tapi hanya kepala buntung Mawarni Runi
yang bergelimang darah. Tubuh ramping isterinya tanpa kepala kelojotan di tanah.
Pada batas potongan leher menyembur darah
bagai air mancur. Wajah Wita Soma pucat pasi. Mana-
kala Tawa Gentara Karma kian mengekeh mena-
kutkan. "Jahanam...! Kau harus menebus nyawa isteri-ku...!" teriak Wita Soma
lantang. Ia serta kudanya menerjang maju ke arah Gentara Karma. Laki-laki penuh
lumpur ini tidak menyingkir selangkahpun. Ia malah
menghadapi dengan gerakan-gerakan yang sangat
aneh. "Kau boleh bandingkan pukulan Tinju Pasir dengan pukulan Tinju Guntur
Geledek....Hraaaa!" serta merta Gentara Karma menghempaskan tinjunya ke
depan. Akibatnya sangat luar biasa sekali. Kuda yang ditunggangi Wita Soma
mendadak terdorong dan jatuh
terguling di tanah. Wita Soma sendiri mencelat mem-
bentur batang pohon besar. Lalu berdegum di tanah.
Tulang punggung Wita Soma remuk. Karuan saja ia ti-
dak dapat bangkit lagi. Pendekar dari bukit Sinimbung ini mengerang-ngerang
tanpa daya. "Kau telah mati, Wita Soma. Tanpa ku bunuh-
pun kau bakal mati dengan sendirinya." ujar Gentara Karma. Ia meninggalkan tubuh
Wita Soma tergeletak di
bawah pohon. Langkah lelaki penuh lumpur mendekati
sosok tubuh ramping tanpa kepala. Ia menatap kagum
tubuh ramping Mawarni Runi yang telah kaku. Tanpa
ragu pula Gentara Karma memreteli semua baju pe-
rempuan itu. Maka dalam sekejap tubuh perempuan
tanpa kepala telah bugil polos.
Wita Soma seakan ingin menjerit sekuat-
kuatnya. Bahkan kalau sanggup berdiri ia akan mela-
brak Gentara Karma. Bagaimana tidak" Dilihatnya tu-
buh penuh lumpur itu menindih rakus tubuh bugil is-
terinya. Nafsu binatangnya dilampiaskan pada tubuh
kaku tanpa kepala itu. Demi melihatnya, Wita Soma
memejamkan matanya erat-erat. Rahangnya terkatup
bergemeretak. Serta dengan tubuh yang bergetar.
*** Ketika Wintara bangun, Ki Karantungan sudah
tidak ada di dalam gubuknya. Ruangan itu telah rapi
bersih. Tidak seperti keadaan semalam. Matanya ma-
sih terasa sepat, tapi masih bisa dilihat tanah pekuburan itu becek berlumpur.
Pendekar Kelana Sakti ini berjingkat bangkit
manakala dilihatnya sosok Ki Karantungan nampak
berdiri pada sebuah gundukan tanah yang lebih mirip
sebuah kuburan tanpa nisan. Apalagi letaknya di anta-ra kuburan-kuburan lain.
Lama berdiri memandangi
sosok renta itu, kepala Wintara teras agak pusing.
Dalam hal ini Ki Karantungan sengaja membu-
buhkan semacam obat bius ke dalam air minum Win-
tara. Itulah sebabnya Wintara sampai tertidur pulas
dan bangun kesiangan Hal itu guna menyembunyikan
kejadian semalam. Saat Ki Karantungan melihat ku-
buran Gentara Karma Retak di balik hujan geledek.
Maka pagi-pagi sekali Ki Karantungan bangun
tanpa diketahui oleh Wintara. Iapun dapat bebas
membetulkan kuburan yang terbongkar itu. Dan sece-
pat itu pula ia membereskan kuburan tanpa nisan se-
perti sedia kala.
Rasa pening di kepala Wintara mulai berang-
sur-angsur menghilang. Ia kertakan seluruh tulang-
tulang sendinya. Perlahan ia keluar untuk menemui Ki Karantungan. Si penggali
kubur dapat mengetahui dari pintu gubuk yang berderit terbuka. Sebelum Wintara
mendekat, Ki Karantungan menyambut lebih dahulu.
"Apa yang kau kerjakan sepagi ini, Ki..." tegur Wintara.
"Akibat hujan deras semalam beberapa kubu-
ran longsor. Yah jadi terpaksa harus diperbaiki." jawab Ki Karantungan
berbohong. Padahal ia hanya membetulkan kuburan Gentara Karma. Dan sekarangpun
si penggali kubur ini yakin sekali kalau di dalam liang kubur telah kosong tanpa
jenasah. "Merepotkan sekali" Kiranya untuk orang tua
semacam Ki Karantungan sudah tidak pantas menan-
gani tugas ini." Wintara kembali masuk ke dalam gubuk mengikuti langkah Ki
Karantungan. "Seharusnya memang demikian. Tapi sampai
saat ini belum ada pengganti untuk tugas yang mele-
lahkan ini."
"Ajukan saja keluhan aki pada kepala desa."
"Sudah, beliau tengah mencari beberapa orang
untuk menggantikan tugasku sebagai penggali kubur."
jawab Ki Karantungan cepat.
"Setelah bebas tugas, aki bagaimana?" Wintara berhenti melangkah, karena Ki
Karantungan berdiri
diam di depan pintu gubuk. Lelaki renta ini seperti
menarik nafas panjang.
"Itulah yang aki pikirkan. Di desa Sungkawa-
rang ini aki tidak punya sanak saudara. Aki tidak tahu
harus pergi ke mana setelah bebas tugas. Mari silah-
kan masuk... Maaf kalau aki belum sempat menyedia-
kan makanan."
"Ah... Tidak perlu, Ki. Aku cukup prihatin atas kehidupan Ki Karantungan. Pagi
ini aku menemuimu
untuk mohon pamit." Wintara tersenyum.
"Kenapa harus terburu-buru, Den Wintara."
sergah Ki Karantungan.
"Justru suasana pagi seperti ini membuat kita
sehat. Apalagi kalau berjalan kaki." jawab Wintara. Ki Karantungan tidak bisa
menghalangi. Dan memang


Pendekar Kelana Sakti 13 Alap Alap Liang Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya Ki Karantungan menginginkan agar Winta-
ra segera cepat-cepat meninggalkan tempatnya.
Hebatnya, rasa ketidaksukaan Ki Karangtugan
tidak nampak. "Selamat tinggal, Ki. Jagalah dirimu baik-
baik..." Wintara memberi salam. Tanpa menjawab Ki Karantungan melepaskan
kepergian Wintara. Selama
meninggalkan tanah pekuburan itu Wintara tidak me-
noleh. Yang ia rasakan hanya kesejukan pagi itu.
Kicau burung mengiringi setiap langkahnya. Je-
jaknya menapak jelas di sepanjang jalan tanah merah.
Wintara melenggang semakin cepat melalui pohon-
pohon besar yang tumbuh di kedua sisi jalan. Dedau-
nan yang rimbun masih nampak basah bekas hujan
semalam. Sesekali pula Wintara harus melompati ge-
nangan air yang menghalangi jalannya.
Sampai ditikungan jalan. Wintara tidak mene-
mukan jalan lagi. Buntu. Di hadapannya menghadang
hutan belukar. Bercampur semak-semak setinggi dua
meter lebih. Sebagai seorang pengelana, Wintara tidak perduli dengan aral
melintang. Langkahnya terus menerobos. Semakin jauh masuk ke dalam belukar, ke-
tinggian semak agak berkurang. Juga tanah sekitar
hutan belukar agak jarang ditumbuhi pohon-pohon
besar, Wintara bisa leluasa meneruskan perjalanan.
Di dalam lebatnya belukar itu nampak bebera-
pa gubuk terpencil. Kehadirannya
yang berjalan lenggang itu menjadi perhatian
para penduduk setempat. Keadaan Wintara nampak
lebih buruk dibanding dengan orang-orang kampung.
Pakaian bulunya yang nampak begitu usang serta ce-
lananya yang telah koyak pada ujung kakinya mem-
buat orang-orang yang dilaluinya tidak perlu meng-
hormat. Wintara sama acuhnya. Dia sendiri malah
yang cengengesan bila berpapasan pada penduduk gu-
buk terpencil itu. Langkahnya pun semakin jauh me-
ninggalkan mereka.
Saat matahari mulai tinggi di ufuk Timur, Win-
tara baru keluar dari hutan semak. Bukit tinggi mem-
bentang dihiasi langit biru.
* * * 9 Mendadak saja Wintara dikejutkan oleh suara
benturan senjata. Juga suara teriakan seorang wanita penuh semangat melepaskan
hantaman-hantaman.
Saat itu seorang perempuan bersenjatakan pedang
tengah menghadapi empat orang lawan. Wintara men-
gernyitkan alis mengawasi pertarungan itu.
Tergerak pula jiwa satrianya untuk turun
membela perempuan itu. Padahal ia tahu benar kalau
perempuan itu memiliki ilmu pedang yang sangat ting-
gi. Dan nampaknya pula keempat lawannya mulai ke-
teter. Namun dilihatnya pertarungan itu tidaklah
seimbang, empat lawan satu. Maka tanpa kompromi
lagi pendekar Kelana Sakti segera melesat. Kehadirannya yang tabu-tahu saja
berada diantara mereka
membuat semua terkejut. Apalagi Wintara langsung
menggebrak dengan sebuah jurus.
Empat orang laki-laki bersenjatakan tombak
bercagak dua mundur serempak. Masing-masing men-
dapat satu pukulan di dada. perempuan yang menda-
pat pertolongannya diam keheranan. Tapi begitu empat lelaki ini mengira bala
bantuan itu dari pihak si jago pedang. Lalu salah seorang dari lelaki ini segera
memberi aba-aba. Serentak pula semua nya berjingkat lari.
"Anak muda. Kau telah menggagalkan kami.
Kau akan tahu rasa nanti!" bentak mereka semakin jauh berlari. Mendengar itu
Wintara hanya balas menatap. Tapi ia sendiri mendadak terkejut. Karena sesuatu
benda runcing menyentuh lehernya. Wintara tidak
bergerak. Ia hanya melirik perempuan cantik namun
setengah tua menudingkan pedangnya. Penampilan
perempuan ini yang serba bagus nampak bagai seo-
rang gadis remaja.
"Nona... Apa-apaan ini. Aku baru saja mengusir
keempat manusia usil itu. Jelas aku berada dipihak-
mu, Nona. Kenapa kau bertindak begini?" sapa Wintara.
"Kau memang usil, Pemuda sialan! Tanpa ke-
hadiranmu keempat orang itu pasti sudah jadi mayat!"
jawab perempuan itu sengit.
"Ah, jauhkan dulu mata pedangmu ini nona.
Baru kita bicara baik-baik." ujar Wintara. Tangannya bermaksud menyingkirkan
pedang yang menuding di
lehernya, tapi....
"Tidak bisa! Perlu kau ketahui kedatangan ku
ke tanah Sungkawarang memang tengah berurusan
dengan orang-orang Ki Wirayuda. Tapi kau malah ber-
tindak tolol! Sebagai gantinya, kau harus mampus!"
Perempuan ini geram. Wintara tak bisa berkutik, bergerak sedikit saja pasti
lehernya akan robek. Nampaknya pula perempuan cantik ini tidak main-main.
"Nona... Tidak bisakah kita bicara sebentar?"
"Sudah kukatakan tidak bisa!"
"Kalau begitu, kenapa bersikap begini terus.
Kalau mau bunuh, coba kalau berani!" Wintara nyolot.
Karuan saja perempuan ini menghentakan pedangnya.
Tapi sebelum itu Wintara menepis gagang pedang den-
gan dibarengi gerakannya. Dengan begitu ia terhindar dari sambaran pedang.
Sedangkan pendekar Kelana
Sakti bergerak cepat ke belakang.
"Bocah tengik! Di hadapan Srikaton Munggel
berani jual lagak" Benar-benar cari penyakit!" sumbar perempuan yang mengaku
dirinya Srikaton Munggel.
Seraya ia memutar balikkan pedangnya menyambar ke
depan. Wintara melompat ke samping. Tapi sambaran
Dayang Tiga Purnama 1 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Kisah Sepasang Rajawali 12
^