Dewi Jalang Gunung Tunggul 1
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul Bagian 1
1 Gunung Tunggul tetap menyeramkan. Hutan-
hutan yang gelap serta semak-semak belukar tumbuh
di sana sini. Dataran tanahnya banyak berbatu. Na-
mun sangat subur. Di situ pula banyak ditumbuhi
alang-alang yang tinggi sebatas pinggang. Alang-alang itu terus menghampar
sampai ke atas puncak.
Meski keadaan Gunung Tunggul sangat menye-
ramkan, udara di sekitar puncak amatlah sejuk dan
segar. Bila angin berhembus, suaranya menderu-deru
bagai iringan musik alam yang membuat pohon-pohon
cemara hutan bergoyang-goyang.
Sesekali pula burung-burung beterbangan ber-
kelompok-kelompok meninggalkan sarangnya. Mereka
terbang meliuk-liuk kemudian hinggap pada satu ban-
gunan yang nampaknya bekas sebuah kuil. Bangunan
batu itu tetap tegar meski sudah sangat usang. Seluruh dindingnya banyak
ditumbuhi akar-akar pohon
merambat. Juga lumut-lumut jamur hampir menutupi
seluruh genting yang nyaris ambruk. Di sekitar pelataran bangunan terkumpul
tumpukan-tumpukan jerami
kering. Di situlah tempat pemukiman dua pendekar
wanita penguasa Gunung Tunggul. Dua perempuan
sakti dari aliran sesat itu dapat tinggal tenang, tanpa ada yang mengetahui di
mana adanya bekas sebuah
kuil. Murid dan guru yang sama-sama malang melin-
tang mengacaukan dunia persilatan kerap kali selalu turun gunung. Kehadiran
mereka selalu mencemaskan
orang-orang dari aliran lurus. Nama busuknya sebagai Penguasa Gunung Tunggul
betul-betul sangat menakutkan. Tapi pagi ini mereka, murid dan guru, yang ti-
dak lain Nilasari Grewek dan Srikaton Munggel, hanya berdiam diri dalam
pemukiman mereka. Sang guru, Nilasari Grewek yang telah berusia hampir tiga
perempat abad dengan rambut yang memutih sebatas pinggang
serta selalu mengenakan pakaian serba merah tengah
duduk menikmati teh hangat ramuannya sendiri. Ia
duduk bersila di sudut ruangan. Matanya tidak lepas menatap Srikaton Munggel
murid tunggalnya. Perempuan cantik molek ini duduk di atas tumpukan jerami
menatap keluar dengan pandangan yang kosong! Melihat itu, Nilasari Grewek
menggelengkan kepalanya.
"Berhari-hari kerjamu hanya memikirkan Gen-
tara Karma. Latihan ilmu pun kau tidak bersemangat.
Mau jadi apa" Mau jadi Telembuk?" gerutu Nilasari Grewek. Srikaton Munggel
tersadar dari lamunannya.
"Tapi Kakang Gentara Karma telah tewas,
Guru. Kematiannya sangat mengenaskan. Siapa yang
tidak kasihan mendengar tokoh hebat macam Kakang
Gentara Karma." sahut Srikaton Munggel. Nenek berambut putih ini seperti hendak
tertawa mengekeh.
"Kau ini ada-ada saja. Dulu semasa aku mem-
pertunangkan kau dengan Gentara Karma, kau tolak.
Kau bilang jorok, memuakkan, dan masih banyak lagi
sumpah serapahmu, dulu, semasa Gentara Karma ma-
sih hidup, hubungan kalian bagaikan anjing dan kuc-
ing. Sekarang pasanganmu sudah mampus, bagaikan
pungguk merindukan bulan. Lupakan saja soal ka-
kakmu itu. Yang kau pikirkan bagaimana kita dapat
membalas dendam?"
"Balas dendam" Balas dendam terhadap siapa,
Guru".... Siluman Muka Buruk juga telah tewas." jawab Srikaton Munggel.
"Dasar murid tolol. Musuh-musuh kita masih
banyak di depan mata. Bagaimana pun aku tidak bisa
melupakan Pendekar Kelana Sakti. Tindakannya mem-
buat kita terhina di mata orang-orang persilatan. Kalau saja pendekar sialan itu
tidak ada, Ki Wirayuda bersama Pendekar dari Bukit Sinimbung sudah kucabut
jantungnya." Nilasari Grewek kertakan rahangnya.
Kemarahannya tiba-tiba saja muncul saat teringat
akan Pendekar Kelana Sakti.
"Satu-satunya penghalang cuma bocah ingusan
itu. Dia harus disingkirkan terlebih dulu." sambung Srikaton Munggel.
"Nah, itulah yang sekarang tengah ku pikirkan, muridku. Persoalan Gentara Karma
sudah basi. Masih
banyak laki-laki di luar sana. Kupikir kau sangat cantik. Tubuhmu sangat molek
menggiurkan. Siapa yang
tidak tertarik denganmu!?" Setelah berkata begitu Nilasari Grewek menghirup
habis teh hangat dalam cang-
kir bambu. "Apakah kita berdua cukup mampu menghada-
pi Pendekar sialan itu" Ilmunya yang setinggi langit membuat kita lari morat
marit. Aku khawatir kita berdua akan celaka."
"Pendekar asal jadi itu setingkat denganku." jawab Nilasari Grewek.
"Kenapa saat kita menggempur Ki Wirayuda ha-
rus lari?"
"Sekali lagi kubilang kau murid tidak punya
otak!" Maki nenek berambut putih. Srikaton Munggel bergidik ketakutan.
"Hal itu dikarenakan adanya Siluman Muka
Buruk. Saat itu kita memang betul-betul buta. Tidak tahu kelemahan Ilmu Mati
Pamungkas. Tapi sukurlah
sekarang bangsat itu sudah mampus."
Srikaton Munggel diam. Matanya tidak berkedip
menatap gurunya bangkit berdiri. Nilasari melangkah ke depan pintu batu. Ia
berdiri di situ memandang
jauh keluar. Hembusan angin gunung menerpa rambut
putihnya. Pikirannya melayang mundur pada beberapa
hari sebelumnya. Ketika mereka berdua menyatroni
pemukiman Ki Wirayuda. Hal itu memang tidak bisa
dilupakan. Nama besar Pendekar Gunung Tunggul be-
nar-benar telah tercoreng.
Belum pernah ia merasa gentar atau lari mun-
dur dari musuh-musuhnya. Wajah Pendekar Kelana
Sakti membekas berat di lubuk matanya. Tentunya
pendekar muda itu tengah disanjung-sanjung saat ini.
Srikaton Munggel mengernyitkan alis melihat gurunya berdiri seperti menahan
amarah. Murid tinggal ini
mendadak kaget saat Nilasari hentakkan kedua tan-
gannya ke depan.
"Bledaaaar...!" Kiranya Nilasari Grewek lepaskan satu hantaman. Pukulan jarak
jauh itu merun-
tuhkan satu pohon kering yang ada di muka bangu-
nan. Itulah luapan amarah Nilasari Grewek. Nenek keriput ini memang selalu
begitu bila dilanda kemara-
han. "Lihat, Srikaton! Hantaman Tombak Gunung akan menghancurkan tubuh pendekar
sialan itu." kata Nilasari Grewek dengan nafas yang kian memburu.
"Be-benar, Guru. Pendekar Kelana Sakti tidak
akan mampu menghadapi hantaman itu." sambut Srikaton Munggel memberi semangat.
Seraya ia melang-
kah bangun mendekati gurunya.
"Guru pun harus mengajarkan jurus itu pada-
ku. Belum pernah kulihat ilmu yang sedahsyat ini...."
Srikaton Munggel merayu.
"Belum saatnya, Srikaton. Belum saatnya. Kau
tidak akan sanggup mempelajarinya sekaligus. Ini terdiri rangkaian jurus Jari
Tombak dan Jari Pedang.
Apakah kau sudah menguasai jurus keduanya?" ujar Nilasari Grewek. Srikaton
Munggel menunduk.
"Bagaimana aku bisa melumpuhkan Pendekar
Kelana Sakti, kalau guru tidak memberi pelajaran jurus itu." celetuk Srikaton.
"Heh! Pendekar ingusan itu bagianku! Biar
olehku pendekar sial itu berjalan merangkak seperti anjing." Sumpah nenek
keriput Nilasari Grewek. "Ba-gianmu Ki Wirayuda dan pendekar Witasoma. Aku ya-
kin mereka berdua tidak akan mampu menghadapi
engkau. Bersiaplah... Sebentar lagi kita akan turun gunung."
"Hari ini" Apakah tidak terlalu lelah?"
"Bila menunggu-nunggu lagi. Pendekar Kelana
Sakti keburu merat. Ke mana kita mencari pendekar
itu. Langkah-langkahnya sukar untuk dicari." jawab Nilasari Grewek. Ia kembali
masuk menutupi semua
jendela ruangan. Ruangan bangunan bekas kuil itu
menjadi gelap. Srikaton Munggel melangkah keluar. Di pelataran bangunan, ia
mengikuti gerakan-gerakan jurus gurunya. Seolah-olah ia arahkan hantaman Tom-
bak Gunung pada sebuah pohon kering yang ada di
hadapannya. Berulang-ulang ia lancarkan hantaman
jarak jauh itu. Tapi pohon kering tetap berdiri tegak tak bergeming.
Hampir kesal ia menghadapi pohon kering yang
berdiri diam menantang. Manakala ia terus melancar-
kan jurus Tombak Gunung. Diam-diam Nilasari Gre-
wek yang telah menutup pintu batu memandangi sam-
bil mengekeh. Diam-diam pula nenek keriput ini lan-
carkan hantaman yang serupa. Srikaton Munggel ter-
kejut dengan tiba-tiba. Karena pohon kering di hadapannya hancur berderak,
maka..... "Guru.... Aku bisa! Aku bisa!" Srikaton melon-cat kegirangan.
"Bisa apa" Matamu Pecak" Aku tadi yang
menghancurkan pohon itu. Kau belum sanggup untuk
melakukannya, Srikaton. Jangan mimpi. Untuk mem-
pelajari jurus Tombak Gunung, harus disertai kesungguhan yang bulat. Juga tidak
memakan waktu yang
sedikit." ujar Nilasari Grewek masih mementang jurus.
Srikaton Munggel jadi malu.
Daerah itu di tumbuhi pohon-pohon besar.
Nyaris gelap dan menakutkan. Namun bagi kedua
pendekar wanita ini sama sekali bukan halangan. Dari puncak Gunung Tunggul
sampai lereng memang daerah kekuasaannya. Binatang apapun lari sembunyi bi-
la melihat mereka.
Dengan bebas tanpa halangan mereka menem-
bus lereng gunung. Keduanya menatap lapang tanah
perbukitan tandus berbatu. Keduanya tidak langsung
melanjutkan perjalanan. Karena mereka dapat melihat sesuatu yang menjadi
perhatian. "Nampaknya seperti sebuah iring-iringan.
Guru." ujar Srikaton Munggel. Sang Guru tidak menjawab. Ia mempertajam mata
tuanya. Lalu tak lama ia mengangguk-anggukkan kepala.
Iring-iringan berkuda itu makin lama makin
dekat. Beberapa penunggang kuda memegangi bebera-
pa bendera. Di tengah-tengah iring-iringan itu sebuah tandu gemerlapan didukung
enam orang. Di belakangnya berderet para pengawal berkuda.
"Hm, calon pengantin perempuan rupanya."
gumam Nilasari Grewek. Srikaton Munggel tidak men-
gerti. Dia hanya diam mengawasi rombongan itu. "Mereka akan mempertemukan calon
pengantin perem-
puan dengan pengantin laki-laki." gumamnya lagi. Srikaton makin tidak mengerti.
"Dari mana guru tahu kalau iring-iringan itu
membawa calon pengantin perempuan?" tanya Srikaton Munggel.
"Tiga puluh tahun malang melintang dalam du-
nia persilatan rupanya membuat otakmu tambah beb-
al. Tidakkah kau lihat bendera-bendera yang mereka
bawa?" kata Nilasari Grewek seraya ia menarik kepala Srikaton Munggel agar dapat
terlihat dengan jelas iring-iringan itu.
"Oh, bendera yang bergambar sebuah pedang
dengan ular melingkar?" jawab Srikaton Munggel.
"Bukan bendera yang bergambar. Bendera itu
menyatakan mereka dari perguruan 'Pedang Ular.'
Yang kumaksud bendera-bendera yang berwarna me-
rah tersulam benang mas." Srikaton Munggel men-ganggukkan kepalanya.
"Pasti calon pengantin perempuan itu berada
dalam usungan tandu. Entah mereka mengadakan
pertemuan di mana. Biasanya orang-orang aliran lurus selalu merahasiakannya."
kata Nilasari Grewek, sikap-nya hati-hati sekali agar tak terlihat oleh
rombongan berkuda itu.
"Lalu apakah kita membiarkan orang-orang ali-
ran lurus melintasi sekitar lereng Gunung Tunggul?"
"Tidak akan, Srikaton. Tanganku selalu gatal
bila melihat orang-orang aliran lurus." Nilasari Grewek kertakan tinju. Serta
merta ia mendorong tubuh Srikaton Munggel. Meski dorongan itu perlahan, namun
akibatnya sangat fatal. Tubuh Srikaton Munggel ter-
guling dahsyat.
"Guru...! Apa yang kau lakukan?" Srikaton Munggel memekik. Nilasari Grewek tidak
menjawab. Malah ia melepaskan lagi hantaman-hantaman ringan
ke arah Srikaton, murid tunggalnya. Sudah tentu mu-
rid tunggalnya itu tidak berani membalas atas perbuatan nenek berambut putih.
"Kau ingin membunuhku?" Srikaton Munggel
berusaha mengelak.
"Murid tolol. Diam dan jangan berteriak, kita
bermain sandiwara di hadapan mereka. " Srikaton ba-
ru mengerti. Dirasakan hantaman-hantaman gurunya
seperti menghalau ke arah rombongan itu. Tahu begi-
tu, Srikaton sengaja bergulingan. Tindakan mereka seperti tengah melakukan
perkelahian sungguhan.
Sementara itu rombongan kuda jadi mendadak
berhenti. Seorang setengah tua mengangkat tangan-
nya. Ia memimpin rombongan berkuda itu. Matanya ti-
dak lepas mengawasi perkelahian dua orang wanita.
Nampak jelas sosok nenek keriput menghajar habis-
habisan seorang wanita yang jauh lebih muda.
Di dalam tandu duduk seorang wanita berumur
dua puluhan lebih. Ia juga turut terheran-heran melihat perkelahian tersebut. Ia
dapat melihat langsung peristiwa itu.
"Paman, nampaknya nenek keriput itu! bukan-
lah orang baik-baik. Aku curiga ia dari aliran sesat.
Rupanya pun amat buruk. Lihat saja tindakannya
yang kelewat telengas." ujar gadis yang berada dalam tandu. Laki-laki yang
mengangkat tangan ini membawa kudanya ke samping tandu.
"Sekitar lereng Gunung Tunggul ini memang
rawan, Umbayani. Aku khawatir tua. bangka itu pen-
guasa Gunung Tunggul." jawab lelaki setengah tua ini.
"Kalau begitu lerai saja mereka. Cari tahu siapa mereka berdua." perintah gadis
bernama Umbayani.
Tanpa menyahut pemimpin rombongan memacu ku-
danya. Langkah kudanya cepat menuju ke arah perke-
lahian. Lelaki itu langsung melompat dan hinggap di antara mereka.
"Nenek yang maha sakti, mohon hentikan se-
bentar. Persoalan apa kiranya yang membuat turun
tangan begini kelewatan?"
Nenek keriput yang tidak lain Nilasari Grewek
tidak menjawab. Malah ia melancarkan serangan pada
laki-laki yang baru turun dari kuda. Sudah tentu laki-
laki setengah tua ini jadi kelabakan.
"Jangan campuri urusanku. Biar aku si tua
majikan Gunung Tunggul menghajar sampai mampus
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan ini!" bentak Nilasari Grewek, sebelah tangannya menyambar melepaskan
hantaman. Serta mer-
ta lelaki yang tidak tahu menahu itu menjadi sasaran.
Meski ia menangkisnya, tak urung tubuhnya ter-
huyung akibat pukulan yang sangat keras itu.
"Kalau begitu engkau seorang tokoh aliran se-
sat yang selama ini meresahkan rimba persilatan." Lelaki ini menarik tubuh
Srikaton Munggel yang berpura-pura mencari perlindungan.
"Siapa pun tidak ku ijinkan melintasi lereng
Gunung Tunggul. Siapa pun bagusnya jadi mayat
penghias di sini!" Nenek berambut putih mengembangkan jurus-jurusnya. Srikaton
Munggel nampak keta-
kutan sekali, ia memegangi tubuh laki-laki yang bermaksud melindungi. Tapi malah
berakibat memba-
hayakan. Hantaman Nilasari tidak bisa dielakkan.
Hantaman itu masuk ke bagian dada, sampai jatuh
terguling., "Nenek keriput! Kebetulan aku akan mering-
kusmu!" bentak lelaki itu bangkit balas menerjang.
Menghadapi kemarahannya, Nilasari Grewek agak ked-
er. Pemimpin rombongan berkuda agaknya tidak dapat
dianggap main-main. Terjangannya disertai pukulan
yang beruntun. Sambil mundur nenek berambut putih
itu memapaki serangan-serangan itu. Tapi sekali ia melepaskan hantaman Tombak
Gunung, pemimpin
rombongan ini memekik dengan tubuh yang terlempar
jauh terasa tulang-tulangnya remuk. Dalam urutan
perguruan Pedang Ular, laki-laki ini tergolong cukup berilmu tinggi. Ia bernama
Rakadewa Geni. Makanya ia cukup mampu menahan hantaman Tombak Gunung
yang sangat ampuh itu.
Dengan seloyongan Rakadewa Geni bangkit
mencabut pedang dari pinggangnya. Melihat pemimpin
rombongan ini tidak main-main menghadapi seorang
tokoh aliran sesat. Semua anak buahnya turun tan-
gan. Mereka serempak maju mengepung. Melihat itu
pun Srikaton Munggel berlari ke belakang dengan si-
kap ketakutan. Sambaran pedang Rakadewa Geni berkelebat
bagai kiciran angin. Serangan-serangan itu gencar
mencecar nenek berambut putih yang bergerak-gerak
berkelit menghindari sambaran pedang. Manakala be-
lasan orang mulai maju melepaskan serangan pula. Nilasari Grewek makin
kewalahan. Namun menghadapi
itu semua nenek keriput itu hanya mengekeh men-
gumbar tawa, Gerakannya yang sangat ringan menepis
tiap-tiap sambaran pedang. Bahkan sekali ia memba-
las serangan, tiga sampai lima orang jatuh menyembur darah.
* ** 2 Nenek berambut putih terus melepaskan seran-
gan balasan meskipun sambaran-sambaran pedang se-
lalu nyaris nyerempet di tubuhnya. Rombongan pen-
gantar calon pengantin perempuan makin gigih men-
desak. Apalagi setelah dilihatnya beberapa orang temannya berjatuhan terluka
parah. Rakadewa Geni lepaskan jurus-jurus maut per-
guruan Pedang Ular. Tapi jurus-jurus itupun nampak-
nya tidak berarti. Untunglah ia dibantu dengan belasan orang para pengikutnya.
Sehingga Nilasari Grewek
agak sukar lepaskan hantaman Tombak Gunung.
Dalam hal ini Nilasari Grewek tidak henti-
hentinya memaki. Serangan lawan-lawannya pating se-
rabut lancarkan babatan-babatan pedang. Hingga
nampak nenek berambut putih itu di kelilingi dengan gulungan-gulungan sinar
pedang yang mematikan.
Sebenarnya pula serangan-serangan itu amat-
lah mudah dielakkan. Karena Nilasari Grewek yang
jauh memiliki kepandaian selalu bisa berkelit meng-
hindari, maka dalam satu kesempatan ia lepaskan juga hantaman Tombak Gunung.
"Bledaaaar...!" Jurus itu selain aneh, juga disertai dengan tenaga yang sangat
tinggi. Tak urung dari hantaman itu bergulingan lima orang sekaligus. Derak
tulang iga mereka yang patah sampai terdengar mengi-lukan. Dan kelima orang itu
ambruk tak berkutik ba-
gai tumpukan-tumpukan sampah.
Melihat itu pun Rakadewa Geni tidak tanggung-
tanggung lancarkan serangan. Babatan pedangnya ce-
pat berputar menyilang. Lalu memutar lagi ke arah
bawah, selalu begitu. Membuat Nilasari Grewek agak
kewalahan. Menghadapi pemimpin rombongan ini me-
mang harus mementang mata. Kalau tidak entah jadi
apa tubuh renta Nilasari Grewek.
Sambil terus berkelit, nenek keriput penguasa
Gunung Tunggul mencari-cari kesempatan. Gerakan-
nya selalu dibayang-bayangi oleh beberapa orang la-
wannya yang masih tersisa. Kedua tangannya mengi-
bas-ngibas bergulung memapaki tiap-tiap serangan.
Ringan saja Nilasari Grewek memutar kedua
lengannya, tapi malah berakibat sangat meyakinkan.
Tiga orang lawan jatuh terguling. Hal itu menjadi satu kelonggaran nenek
berambut putih lepaskan Tombak
Gunung. Serta merta kedua tinju keriput Nilasari Grewek menjurus ke depan
mengarah pada Rakadewa Ge-
ni. "Blaaaaar...!" Rakadewa Geni tidak sempat menghindar, ia memekik keras dengan
tubuh terbant-ing. Dua kali ia terkena hantaman yang dahsyat itu.
Sebagai orang berilmu tinggi, hantaman itu bagi Rakadewa Geni cukup hanya
menyemburkan darah. Tidak
fatal seperti para pengikutnya.
Lawan-lawan Nilasari Grewek tinggal beberapa
orang termasuk Rakadewa Geni, gadis dalam tandu
bukannya tidak melihat pertarungan itu, apalagi sepa-ruh para pengawalnya jatuh
luka parah, ada juga yang sampai tewas. Ia murka sekali.
Srikaton Munggel yang masih berada di situ
pura-pura berlari ketakutan. Dengan tubuh yang ge-
metar penuh luka memar ia menuju ke arah tandu.
Srikaton Munggel sudah dapat melihat seorang gadis
duduk dalam tandu berlapis sutra.
"Nona.... Tolong, iblis itu bisa membantai kita semua! Cepat nona,
bertindaklah...!" Srikaton Munggel memohon-mohon di samping tandu. Umbayani
sendiri memang sudah tidak sabaran ingin turun tangan. Ma-
kin lama para pengawalnya habis bergelimpangan di
bawah kaki nenek penguasa Gunung Tunggul, paman-
nya sendiri, Rakadewa Geni sudah keteter terus menerus menyambut hantaman Tombak
Gunung. "Nona yang berilmu tinggi, mohon cepat mem-
bantu mereka. Iblis tua itu tidak pernah main-main."
Srikaton Munggel merengek-rengek.
Maka saat itu pula tandu berlapis sutra berde-
rak hancur. Kain sutra yang tipis sebagai tirai penghias hancur menjadi
serpihan-serpihan kain, Begitu juga dengan tandu yang bagus berukir gemerlapan.
Dari situ sosok ramping Umbayani melesat berjumpalitan di udara. Umbayani
hinggap di tanah tanpa bersuara.
Mata Srikaton Munggel tidak berkedip. Bukan
melihat kehebatan ilmu peringan tubuh Umbayani, ta-
pi karena benda yang ada dalam genggaman gadis itu.
Sebilah pedang berwarna keemasan.
Pedang itu meliuk-liuk bagai tubuh ular. Pan-
jangnya satu meter lebih. Setiap kali Umbayani bergerak Pedang itu membiaskan
sinar keemasan. Itulah
Pedang Ular Emas. Pusaka turun temurun perguruan
'Pedang Ular'. Kebetulan sekali Srikaton Munggel dapat meli-
hat sekarang. Maka sandiwara itu telah usai. Serta
merta Srikaton Munggel melesat cepat bagai angin
menjurus ke arah Umbayani. Gadis itu tidak me-
nyangka kalau pedang ular dalam genggamannya ter-
lepas, Srikaton Munggel cepat merebutnya dari geng-
gaman Umbayani. Gadis itu pun menghardik dengan
suara keras. "Bangsat! Kembalikan pedang itu, kalau ti-
dak...?" Srikaton Munggel tidak perduli. Ia terus berlari ke arah Nilasari
Grewek. Nenek berambut putih itu sekarang tengah menghadapi Rakadewa Geni
seorang di- ri. Para pengikutnya yang belasan telah bergelimpangan di tanah.
"Murid goblok, kenapa harus lari meninggalkan
mangsa. Cepat habiskan calon pengantin perempuan
itu!" bentak Nilasari Grewek. Tangannya menampar muka Rakadewa Geni. Lelaki
inipun terjatuh untuk
yang kesekian kalinya.
"Terkutuk! Rupanya kalian sengaja memper-
mainkan aku! Kalian akan tahu rasa akibatnya!" Umbayani berdiri murka. Lalu ia
keluarkan jurus-jurus tangan kosong. Rakadewa Geni sudah bangkit siap
lancarkan serangan lagi. Ia sampai terheran-heran melihat pedang Ular Emas
berada di tangan Srikaton
Munggel. Malah perempuan penuh luka memar itu se-
karang berdiri berdampingan dengan nenek penguasa
Gunung Tunggul.
"Dasar mata kalian pecak semua. Tidak kenal-
kah kalau kami berdua adalah para pendekar sesat
Gunung Tunggul" Hik... hik... hik... hik...! Sungguh bodoh. Sudah mengantarkan
nyawa, harus pula kehi-langan pusaka." ujar Nilasari Grewek.
Sudah tentu ucapan itu membuat para pende-
kar Pedang Ular makin sengit. Maka serta merta Um-
bayani dan Rakadewa Geni menyerang serempak. Se-
belumnya Umbayani si calon pengantin meraih pedang
anak buahnya yang tergeletak di tanah. Keduanya ma-
ju melancarkan babatan-babatan pedang.
Srikaton Munggel tenang menyambut. Ia mena-
rik keluar Pedang Ular Emas dari sarungnya. Maka terlihatlah pedang yang lebih
langsing. Bersinar keemasan menyambut sambaran pedang kedua lawannya......
"Traaakk!.... Traaaaak!" Pedang Umbayani maupun Rakadewa Geni patah dua. Tapi
mereka terus lancarkan serangan meski pedang dalam tangan mere-
ka kuntung. "Guru, biar kedua pendekar-pendekar tolol ini
menjadi bagianku. Sekalian ingin mencoba keampu-
han pusaka Pedang Ular Emas. Hreaaaaaa...!" ujar Srikaton tanpa mundur menyambut
dua serangan dari
arah berlawan. "Bikin habis mereka, Muridku! Orang-orang ali-
ran lurus pantang berdiri di sekitar Gunung Tunggul!"
jawab Nilasari Grewek mengekeh.
Murid tunggalnya makin bersemangat. Ia mera-
sakan ada suatu kejutan dalam membalas serangan.
Pedang Ular Emas dapat mempengaruhi setiap gera-
kan Srikaton Munggel. Sambaran pedangnya cepat dua
kali lipat. Saat berkelebat pedang itu hampir tidak ke-lihatan. Hanya desingan
angin yang terdengar.
Umbayani yang tergolong paling tinggi dalam
perguruan Pedang Ular betul-betul merasa tidak ber-
kutik. Apalagi Rakadewa Geni. Keduanya jatuh ban-
gun. Srikaton Munggel tidak menyadari kalau kehe-
batannya makin bertambah saat menggunakan pedang
itu. Maka sekali ia babatkan memutar. Tubuh Raka-
dewa Geni berguling bersama penggalnya kepala lelaki itu. Darah menyembur dari
tubuh kelojotan tanpa kepala. Umbayani gusar tidak kepalang. Tapi ia pun harus
mengalami nasib sial. Sabetan Pedang Ular Emas
menghantam perutnya. Umbayani memekik. Tubuh
rampingnya menggelosoh lemas ke tanah. Lalu diam
tak berkutik. Dua penguasa Gunung Tunggul masih berdiri
memandangi tubuh-tubuh yang bergelimang darah. Ia
seperti puas melihat belasan orang tumpang tindih di sekitar tempat itu.
"Hik-hik-hik-hik...! Tuntas sudah semua. Itu
berarti riwayat perguruan Pedang Ular sudah tamat.
Hik-hik-hik-hik...!"
* ** 3 Tragis memang. Umbayani pewaris terakhir
perguruan Pedang Ular. Sekarang pusaka milik mereka pun telah lenyap. Nasib
Umbayani belum dapat dipas-tikan. Luka di perutnya sangatlah parah. Tapi kalau
nasib pamannya, Rakadewa Geni jelas sudah. Ia tewas dengan kepala terpisah. Yang
lebih mengenaskan lagi dikarenakan oleh pusakanya sendiri.
Dulu semasa ayah Umbayani masih memegang
tampik sebagai majikan perguruan Pedang Ular, paling pantang ia mendengar para
murid atau kerabatnya di-hina orang. Apalagi mengetahui putrinya yang cuma
satu-satunya ini mengalami nasib seperti sekarang.
Pastilah mati hidupnya dipertaruhkan untuk membela.
Nasib tak dapat dirobah. Orang sakti gagah be-
rani macam ayah Umbayani tidak berumur panjang. Ia
tewas karena sakit setahun yang lalu. Kalau saja ia dapat hidup bertahan dua
sampai tiga tahun lagi, sudah tentu majikan perguruan Pedang Ular dapat men-
gantar putrinya mempertemukan calon pengantin pria.
Umbayani memang sudah dijodohkan dengan
seorang putra dari Resi Wesakih. Ayah Umbayani su-
dah mengikat tali pertunangan semasa Umbayani ka-
nak-kanak. Sebagai anak berbakti pada orang tua
Umbayani tidak dapat menolak. Bagaimanapun Um-
bayani harus menikah dengan Arso Lumbing putra Re-
si Wesakih. Tapi selama ia hidup, belum pernah Um-
bayani melihat bagaimana rupa calon suaminya itu.
Ayah Umbayani cuma berpesan saat-saat akhir
hidupnya. Bahwa calon suaminya itu memiliki Pedang
Ular Emas juga. Dan hari pertemuannya sudah diten-
tukan tanpa bisa diundur-undur lagi. Adapun Pedang
Ular Emas yang dimiliki calon pengantin pria itu, tidak lain buatan Resi Wesakih
sendiri. Resi itu sengaja
membuatnya atas persetujuan Ayah Umbayani sebagai
tanda. Orang yang paling dekat dengan Umbayani setelah ayahnya wafat adalah
Rakadewa Geni, pamannya.
Dia pula yang ,mewakili ayah Umbayani mengantarkan
ke pertemuan sepasang pengantin.
Tapi apa mau dikata, malapetaka datang tanpa
diundang. Orang-orang perguruan Pedang Ular menga-
lami musibah luar biasa. Dua pendekar wanita sesat
penguasa Gunung tunggul telah merubah segalanya.
Umbayani tetap terbaring. Bergetar ia membu-
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ka kedua kelopak matanya. Ia tidak tahu macam apa
luka di perutnya itu. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu hebat.
Samar-samar dilihatnya para pengawal berse-
rakan tanpa nyawa. Di sebelahnya terbaring tubuh
tanpa kepala. Tapi setelah ia melihat kutungan kepala yang tidak jauh dari situ,
Umbayani hampir memekik.
Matanya berkunang-kunang lagi. Pandangannya jadi
gelap. Lapat-lapat ia mendengar suara derap langkah kuda. Tapi ia hanya mampu
mendengar sampai sebatas itu. Ia tidak kuat bertahan lama, tubuhnya kembali
terkulai lemas. Ia pingsan.
Kiranya si penunggang kuda itu seorang pemu-
da yang kebetulan melintasi daerah itu. Langkah ku-
danya dipercepat saat mendekati sosok-sosok berge-
limpangan. Sebuah benda panjang berguncang-
guncang saat kudanya berlari cepat. Benda itu terserong di punggung. Benda
sepanjang satu meter lebih
terbungkus kain sutra berwarna putih.
Pemuda itu langsung turun dari kuda dan me-
meriksa satu demi satu sosok-sosok bergelimpangan
itu. Semuanya tidak ada harapan. Mereka telah tewas.
Ia bergidik pula saat melihat sosok bersimbah darah tanpa kepala. Tapi justru
melihat itu pandangannya
membentur pada seorang gadis cantik terbaring den-
gan luka di sekitar perut.
Ia langkahkan kakinya ke situ. Gadis itu tidak
luput dari pemeriksaannya. Dan pemuda ini benar-
benar membelalakkan matanya. Betapa tidak, saat ia
memijit urat nadi pada leher gadis itu, masih berde-nyut meskipun lemah.
"Astaga.... Dia masih hidup. Rupanya pertem-
puran baru saja terjadi." kata pemuda itu dalam hati.
"Darahnya pun masih segar, tapi syukurlah su-
dah tidak mengalir lagi." gumamnya, ia menarik ikat pinggangnya yang dari kain.
Lalu ia balut melilit menutupi luka Umbayani.
"Kasihan.... Sayang aku tidak membawa obat-
obatan. Tapi tak apalah kalau lukanya tertutup akan lebih aman. Mudah-mudahan
saja gadis ini masih dapat bertahan. Karena aku akan membawanya ke Desa
Sungkawarang. Kebetulan desa itu tidak jauh lagi. Aku bisa meminta pertolongan
pada Ki Wirayuda di sana."
Selesai membalut, pemuda ini mengangkat tubuh Um-
bayani. Hati-hati sekali ia meletakkan di atas punggung kuda.
Tak lama pun kuda itu meninggalkan bekas
arena pertempuran. Selama dalam perjalanan, pemuda
ini menjaga agar tubuh si gadis tidak terguncang,
meskipun demikian benda yang terselubung kain sutra terus bergoyang-goyang di
punggungnya. *** Kematian Nyi Andini membuat Ki Wirayuda pa-
tah semangat. Sudah lebih satu minggu ia tidak melatih para muridnya. Menyadari
akan kekalutan sang
guru, murid-muridnya ini sengaja berlatih sendiri, Ki Wirayuda tidak melarang.
Ia menghabiskan waktunya
dengan menyendiri dalam ruangan khusus.
Wintara agak kerasan berada dalam pemuki-
man Ki Wirayuda. Sekalipun sikap Ki Wirayuda agak
kurang enak. Pendekar Kelana Sakti ini menyadari kalau Ki Wirayuda seorang yang
'Dingin' bergaul. Untunglah Wintara bisa menempatkan diri. Kalau sampai
saat ini Wintara masih berada dalam pemukiman Ki
Wirayuda, ia masih yakin kalau di tengah kekalutan
ini akan muncul tokoh-tokoh sesat macam Nilasari
Grewek dan Srikaton Munggel.
Pendekar Kelana Sakti ini hanya sendirian se-
bagai tamu di antara orang-orang Ki Wirayuda, karena Wita Soma, Pendekar yang
sama-sama melumpuhkan
Gentara Karma telah kembali membawa kepahitannya
ke Bukit Sinimbung.
Diam-diam pula orang-orang Ki Wirayuda me-
rasa kagum akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti
ini, untuk itu mereka selalu melayani Wintara seba-
gaimana layaknya seorang tamu. Entah kapan Wintara
akan meninggalkan pemukiman itu, mungkin nanti se-
telah situasi benar-benar tenang.
Namun di tengah-tengah kekalutan itu menda-
dak saja jadi bising. Pintu gerbang seperti digedor orang secara paksa. Beberapa
murid yang tengah lati-han ini menjadi terkejut. Wintara hanya berdiri mengawasi
kegaduhan itu. Ki Wirayuda yang tengah men-
gasingkan diri dalam ruangan khusus, tersentak
bangkit. Pintu gerbang semakin. kencang berderak
berkali-kali. Seorang murid bermaksud membukakan pintu,
Tapi sebelum tangannya membuka palang pintu, se-
buah benda tajam keemasan dari balik pintu member-
sit keras. Pintu gerbang terbelah dua. Bahkan sambaran pedang itu menembus pada
orang yang bermaksud
membuka pintu gerbang. Tak ayal orang itu langsung
memekik kelojotan. Dari atas muka sampai ke perut
nyaris terbelah dua pula.
Semua orang yang berada di situ menatap nge-
ri, namun serempak pula mereka semua berlari meng-
hambur ke arah pintu. Nampaklah dua orang perem-
puan tertawa menyeringai. Siapa lagi kalau bukan Srikaton Munggel dan gurunya.
Pedang di tangan Srika-
ton Munggel masih bersimbah darah.
Melihat itu pun Ki Wirayuda yang berada dalam
ruangan khususnya langsung berjingkat lari. Cepat-
cepat ia meraih pedangnya yang tergantung di dinding.
Wintara sudah dapat menerka apa yang akan dilaku-
kan Ki Wirayuda. Maka sebelum Ki Wirayuda bertin-
dak, Wintara menghadapi dua perempuan sesat itu le-
bih dulu. Anak buah Ki Wirayuda segera menyingkir
saat Wintara berhadapan dengan dua pendekar wanita
itu. "Hik-hik-hik...! Bagus kau masih tetap berada
di sini, Pendekar sialan. Kedatangan kami kemari memang sengaja untuk mengambil
kepalamu!" ujar Nilasari Grewek.
"Aku khawatir ucapanmu itu akan terbalik, Ne-
nek sakti." jawab Wintara tenang.
"Terhadap orang-orang aliran lurus tidak perlu banyak basa-basi, Guru. Musuhmu
sudah ada di depan mata, langsung labrak saja!" kata Srikaton Munggel. Wintara
melirik ke arahnya. Pedang Ular Emas berada di tangan perempuan itu, sebuah
pedang yang meliuk-liuk bagai tubuh ular berwarna keemasan.
* ** 4 "Perempuan-perempuan setan! Kalian hanya
mengantar nyawa datang ke sini!" Tiba-tiba saja Ki Wirayuda menerjang dengan
babatan pedangnya. Srika-
ton yang sedari tadi menunggu-nunggu kehadirannya
melesat menyambut.
"Mari kita perhitungan, Ki Wirayuda...!" Tubuh Srikaton berjumpalitan di udara
seraya ia memutar
Pedang Ular Emas. Tapi mana mau Wintara membiar-
kan tindakan itu. Cepat pula ia bergerak mundur lan-
carkan pukulan ke atas.....
"Bug!" Tepat mengenai pinggang Srikaton
Munggel. Perempuan itu memekik hinggap dengan
sempoyongan. Bahkan ia hampir saja kena sambaran
pedang Ki Wirayuda.
Ternyata nenek sakti penguasa Gunung Tung-
gul pun tidak tinggal diam. Serta merta ia maju menjurus ke arah Wintara.
Pendekar Kelana Sakti ini tidak kalah siap. Hantamannya menyambut serangan
Nilasari Grewek. Terhadap perempuan berusia lanjut ini
Wintara tidak segan-segan lancarkan pukulan keras.
Karena ia tahu siapa adanya Nilasari Grewek. Terasa sekali hantaman-hantaman
nenek itu sangat mematikan. Jurus-jurus Jari Tombak mengais-ngais menga-
rah jantung, tidak henti-hentinya Wintara keluarkan jurus Menyibak Tirai Bayu,
sehingga hantaman-hantaman Jari Tombak selalu meleset.
Saat itu lima jurus pedang sudah membentang
di hadapan Ki Wirayuda. Ia sendiri sudah kewalahan
menghindari sambaran-sambaran Pedang Ular Emas.
Tidak menyangka pula kalau Srikaton Munggel kini
demikian hebat. Sukar sekali bagi Ki Wirayuda untuk membalas serangan.
Kepandaian Srikaton Munggel memang seting-
kat lebih tinggi dari Ki Wirayuda, Srikaton Munggel sudah berada di atas angin.
Apalagi sekarang ia menggunakan Pedang Ular Emas. Manakala pedang itu te-
rus menyabet berkali-kali. Dengan nekad ia menyam-
but lancarkan babatan pedangnya. Tapi yang ia lihat sungguh diluar dugaan.
Sambaran pedang Srikaton
Munggel yang berkali-kali menghantam memutuskan
pedang Ki Wirayuda menjadi potongan-potongan besi
mengkilat. Pedang di tangan Ki Wirayuda benar-benar pu-
pus. Yang tersisa tinggal beberapa senti lagi dari ga-
gang pedang. Mana mampu ia menggunakan pedang
itu lagi. Terpaksa pula ia menghadapinya dengan tangan kosong.
"Sudah kubilang, Ki Wirayuda. Kau harus tahu
akibat perbuatan mu terhadap Kakang Gentara Karma!
Kau harus menebusnya dengan nyawamu!" Kuat-kuat Srikaton Munggel lepaskan
babatan pedang.....
"Swwwwiiiiiiiiit...!" Ki Wirayuda cepat bergulir.
Meski cepatnya ia menghindar, tak urung punggung-
nya kena sambar juga.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Sebentar lagi kepalamu
yang akan menggelinding!" Srikaton Munggel makin sengit lancarkan serangan.
"Perempuan sundal! Kita boleh mati bareng!"
ujar Ki Wirayuda. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan
Srikaton Munggel yang terus menerus mencecar den-
gan babatan pedang. Terpaksa pula Ki Wirayuda ber-
gulingan untuk menghindarinya.
Melihat itu pun, Wintara sempat meninggalkan
pertarungannya dengan Nilasari Grewek. Gerakannya
yang cepat bagai angin memapak serangan Srikaton
Munggel. Perempuan itu tidak menyangka kalau Win-
tara akan menyerang secara mendadak.
Tahu-tahu saja hantamannya bersarang di pe-
rut, sudah tentu ia gagal melepaskan babatan pedangnya terhadap Ki Wirayuda. Ia
memaki habis-habisan.
Saat itu pun telah datang Nilasari Grewek di samping Srikaton Munggel.
"Pengecut! Kau lawanku Pendekar ingusan!"
bentak Nilasari Grewek, nampaknya ia tak mau keha-
bisan lawan. "Kalian boleh berdua menghadapi aku perem-
puan-perempuan sesat!" jawab Pendekar Kelana Sakti.
Ki Wirayuda sudah berdiri siap lancarkan serangan la-gi.
"Mari kita hadapi bersama kedua wanita busuk
ini, Wintara."
"Hem.... Bagaimana keadaanmu, Ki?" kata Wintara terus mengawasi gerak gerik dua
perempuan pen- guasa Gunung Tunggul.
"Tidak apa-apa. Selama berada di sampingmu
aku tidak perlu takut." jawab Ki Wirayuda mantap.
"Jangan selalu berharap keselamatanmu bera-
da di tanganku. Dua wanita ini memiliki ilmu yang
tinggi. Salah-salah kita berdua bakal tewas."
"Kenapa harus kasak kusuk macam anjing gu-
dik! Hadapi ini!" Nilasari Grewek menghardik serangannya deras lepaskan dua
hantaman sekaligus.
"Cwwiiiiiiiit...!" Pedang Ular Emas di tangan Srikaton Munggel berdesing
menyambar kepala mereka.
Tidak kepalang Wintara lepaskan hantaman Tinju
Bayu Delapan Penjuru. Maka kedua perempuan ini
mendadak mundur. Keduanya merasakan benturan
hantaman itu demikian kerasnya.
Demi keadaan mereka yang mulai mundur-
mundur itu, Ki Wirayuda makin bersemangat lancar-
kan serangan, meskipun dengan tangan kosong. Puku-
lannya menderu-deru ke arah Nilasari Grewek.
Tentu saja hal itu merupakan tindakan yang
salah. Dia lupa akan siapa adanya Nilasari Grewek.
Serta merta nenek berambut putih ini lepaskan sebuah hantaman keras....
"Deeeer!" Ki Wirayuda memekik hebat, tubuhnya mencelat sangat jauh dan jatuh
berdegum di ta-
nah menyemburkan darah. Kiranya hantaman Tombak
Gunung telah mematahkan beberapa tulang iganya.
Meski dalam keadaan terluka itu Ki Wirayuda
tetap bangkit bermaksud membalas serangan. Wintara
yang sibuk menghadapi , babatan-babatan Pedang
Ular Emas sempat melihat Ki Wirayuda jatuh bangun
terkena hantaman Tombak Gunung Nilasari Grewek.
Maka demi melihat itu Wintara tidak tanggung-
tanggung lepaskan hantaman paling dahsyat....
"Buuuug!" Bayu Menghempas Gelombang
membuat Srikaton Munggel terhuyung mundur. Pada
kesempatan itu Wintara meninggalkan lawannya. Lesa-
tan tubuh pemuda kekar ini langsung hinggap meng-
hadapi Nilasari Grewek.
Nenek berambut putih ini sudah tahu akan ke-
datangan Pendekar Kelana Sakti. Maka Nilasari Gre-
wek langsung menyambut dengan Tombak Gunung-
nya. Demikian pula dengan Wintara. Sebagai seorang
pendekar yang banyak makan pengalaman ia tidak
hanya berdiri mematung menunggu serangan lawan.
Hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru dihempaskan-
nya di hadapan Nilasari Grewek, maka:
"Bledaaaaar...!" Kedua hantaman mereka bera-du nyaring. Nilasari Grewek memekik
terhuyung ke belakang. Hampir saja ia terjatuh terserimpat kakinya sendiri.
Wintara hanya terdorong dua langkah. Namun sebenarnya hantaman nenek berambut
putih ini mengena telak di tubuh Pendekar Kelana Sakti. Namun
Wintara bisa menyembunyikan rasa sakitnya.
Srikaton Munggel berjingkat maju. Pedang Ular
Emas terhunus ke depan. Ia belum berani maju. Sen-
gaja ditunggunya Nilasari. Dan mereka bisa melancarkan serangan berdua.
"Mari kita kepruk bersama-sama pendekar sial
ini, Guru!" Srikaton Munggel mementang jurus. Nilasari berdiri di samping murid
tunggalnya. Ia kerahkan tenaga dalamnya untuk melepaskan pukulan Tombak
Gunung lagi. Melihat keduanya murka, Wintara bersiap-siap
pula dengan pukulan-pukulan ampuhnya.
Dua perempuan penguasa Gunung Tunggul ini
memang berniat menyerang serempak. Maka Nilasari
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Grewek memberi aba-aba dengan dengusan nafasnya.
Keduanya maju menerjang. Srikaton Munggel lepaskan
babatan-babatan pedang menyilang sekuat tenaga. Ni-
lasari Grewek lontarkan hantaman Tombak Gunung
disertai tenaga
dalam penuh. Pedang bergulung-gulung bercui-
tan juga hantaman-hantaman nenek berambut putih
menderu-deru menyambar keras.
Wintara mundur selangkah memapaki hanta-
man Nilasari Grewek, juga ia harus merunduk serta
berkelit menghindari babatan Pedang Ular Emas. Tapi ia masih sanggup lepaskan
pukulan Bayu Menghempas Tebing.....
"Splaaaak!" keduanya seperti terhuyung. Serangan Wintara tidak berhenti sampai
disitu. Serta merta ia melanjutkan serangannya lagi dengan Puku-
lan Tinju Rayu Delapan Penjuru.... '
"Blaaaaaaar!"
Keduanya kontan bergulingan. Keduanya pula
menyemburkan darah.
Mereka betul-betul kena batunya. Pendekar Ke-
lana Sakti bukan orang yang mudah disentuh. Hal itu pula membuat nyali kedua
perempuan penguasa Gunung Tunggul jadi ciut.
* ** 5 Nenek berambut putih ini menggeliat mengu-
rangi rasa sakit. Tapi sebenarnya ia segan untuk
menghadapi pendekar itu lagi. Ia sudah dapat mengu-
kur akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti yang se-
tinggi langit itu. Pukulan apalagi yang akan dikerahkan Nilasari Grewek" Sudah
tidak ada. Tombak Gu-
nung satu-satunya jurus andalan nenek berambut pu-
tih itu. Murid tunggalnya bangkit terhuyung-huyung.
Karena pukulan Tinju Bayu Delapan Penjuru tadi
mengena telak di tubuhnya. Pedang Ular Emas dalam
tangannya bergetar. Ia tidak berani menyerang sendiri.
Srikaton Munggel hanya menunggu perintah gurunya.
Tapi rupanya Nilasari Grewek tidak punya cara
lain. Cepat kilat ia menyambar lengan Srikaton Munggel. Perempuan ini tidak
menolak saat gurunya mem-
bawa dirinya menyingkir jauh-jauh. Wintara lepaskan lagi sebuah hantaman. Tapi
kedua perempuan itu sudah terlanjur melarikan diri. Dalam beberapa kejap sa-ja
keduanya sudah melesat jauh.
"Wintara, jangan beri mereka kesempatan lolos!
Kejar!" perintah Ki Wirayuda. Ia berdiri memegangi rusuk kirinya. Tapi Wintara
tidak memenuhi perintah
itu. Pendekar Kelana Sakti mulai melangkah mendeka-
ti Ki Wirayuda. Langkahnya agak tersendat-sendat. Setiap orang yang berada di
situ dapat melihat wajah
Wintara begitu berobah pucat.
"Maaf, Ki.... Aku tidak dapat mengejar mereka.
Karena.... Karena...." Wintara tidak meneruskan kata-katanya. Tubuh Pendekar
Kelana Sakti seperti menge-
jang. Sesaat kemudian....
"Hroooooek...!" Darah kental hitam menyembur dari mulut Wintara. Ki Wirayuda
maupun seluruh anak buahnya mendadak terkejut. Kiranya Wintara
terluka pula. Mungkin tadi ketika Nilasari melancarkan pukulan Tombak Gunung. Ki
Wirayuda sendiri
hampir tidak dapat berjalan. Bahkan tulang iganya
mungkin ada yang patah. Karuan saja para murid Ki
Wirayuda terpecah menjadi dua. Sebagian mengeru-
bung Wintara, sebagian lagi menolong Ki Wirayuda.
"Terima kasih.... Aku tidak apa-apa, kalian tolong saja Ki Wirayuda. Bawa beliau
langsung ke da-
lam." ujar Wintara. Keadaannya memang segera pulih.
Beruntunglah ia masih dapat bertahan saat kedua pe-
rempuan Penguasa Gunung Tunggul menyerang. Ka-
lau kedua perempuan itu masih dapat melancarkan
serangan-serangan lagi pastilah Wintara sudah menja-di bubur. Bersyukur pula
Pendekar Kelana Sakti ini, karena kedua penguasa Gunung Tunggul telah kalah
mental. Anak buah Ki Wirayuda sibuk memapah. Mere-
ka berduyun-duyun membawa masuk ke dalam, tubuh
Ki Wirayuda. Wintara sudah pulih melangkah mengi-
kuti mereka. Tapi semua orang-orang yang berjalan di belakang dikejutkan oleh
sesuatu. Jelas sekali suara derap langkah kuda mema-
suki pekarangan mereka. Wintara yang berjalan paling belakang melihat seorang
pemuda memegangi tubuh
seorang perempuan di atas kudanya. Langkah kuda
makin pelan saat memasuki ke dalam pelataran.
Anak buah Ki Wirayuda segera berbalik menge-
pung kuda itu. Pada saat-saat seperti ini mereka perlu kecurigaan terhadap
orang-orang asing. Melihat sikap yang berhati-hati itupun pemuda di atas kuda
ini bersikap ramah.
"Saudara-saudara sekalian, maafkan kami yang
kurang sopan ini. Aku, Arso Lumbing hendak meminta
pertolongan terhadap Ki Wirayuda." ujar pemuda itu yang mengaku dirinya Arso
Lumbing. "Gadis yang bersamaku ini tengah terluka. Sa-
tu-satunya tempat pertolongan adalah tempat ini. Aku berharap kalian sudi
mempertemukan aku dengan Ki
Wirayuda." kata Arso Lumbing ramah. Wintara hanya
mengawasi pemuda itu. Arso Lumbing balas menatap
dengan senyum bersahabat. Yang lain perlahan me-
nyingkir memberi kelonggaran jalan. Mata mereka se-
mua tidak lepas menatap sosok Arso Lumbing meme-
gangi tubuh seorang gadis bersimbah darah.
Mereka memang pernah dengar nama Arso
Lumbing putra dari Resi Wesakih yang kosen dalam
rimba persilatan. Tapi mengenai siapa adanya Arso
Lumbing itu tidak satu pun yang mengenali.
Arso Lumbing menatap jauh ke dalam gedung.
Matanya mendadak menyipit saat dilihatnya Ki Wi-
rayuda duduk bersandar pada dinding serambi. Bebe-
rapa anak buahnya tengah memijiti. Pemuda ini dapat mengetahui kalau Ki Wirayuda
tengah terluka.
"Apa yang telah terjadi di sini?" tanya Arso Lumbing. Wintara cepat menjawab....
"Kami baru saja diserang oleh dua perempuan
sesat penguasa Gunung Tunggul. Sukurlah Ki Wirayu-
da hanya terluka ringan."
"Astaga.... Kedatangan aku ke sini akan me-
nambah susah saja. Sungguh aku tidak tahu kalau
terjadi sesuatu di sini. Lalu bagaimana dengan kedua perempuan sesat itu?" kata
Arso Lumbing. Pemuda itu tetap di atas kudanya. Hal itu bukan berarti Arso
Lumbing sangat angkuh. Karena ia harus terus meme-
gangi tubuh gadis berlumur darah.
"Ah, aku pikir orang-orang Ki Wirayuda tidak
keberatan memberi pertolongan. Sudah menjadi kewa-
jiban berbuat tolong menolong. Apalagi kita berdiri pa-da pihak aliran lurus.
Silahkan." sambut Wintara bermaksud membantu menurunkan gadis itu.
Arso Lumbing tidak menolak.
Wintara memapah membawa masuk ke dalam
gedung. Arso Lumbing turun dari kudanya mengikuti
langkah-langkah di Wintara. Ia membetulkan letak
benda panjang terbungkus di punggungnya. Pemuda
ini terus melangkah masuk mendekati sosok Ki Wi-
rayuda yang hampir pingsan. Dalam kesamaran pan-
dangannya itu, Ki Wirayuda masih dapat melihat kedatangan seorang pemuda yang
sangat dikenalinya betul.
Namun untuk menyebutkan namanya, Ki Wirayuda
berusaha mengingat-ingat....
"Kau.... Kau...?" Ki Wirayuda hendak mengangkat tubuhnya. Tapi rasa sakit di
sekitar rusuknya menyengat hebat. Rintih Ki Wirayuda tertahan. Arso
Lumbing berjalan ke sampingnya.
"Aku Arso Lumbing, Paman Ki Wirayuda. San-
gat disayangkan kalau pertemuan kita dalam keadaan
seperti ini." ujar Arso Lumbing. Ki Wirayuda tertawa mengekeh.
"Justru aku berterima kasih dalam keadaan
begini kau bisa menyambangi ke mari." kata Ki Wirayuda, lalu Ki Wirayuda
meneruskan kata-katanya la-gi...... "Bagaimana keadaan Resi Wesakih" Sudah la-ma
aku tidak menengok beliau."
"Ayahku baik-baik saja, Paman. Aku hanya ke-
betulan lewat sini, dan juga bermaksud...." Arso Lumbing ragu-ragu mengutarakan
maksudnya. "Sobat Arso Lumbing ini membawa seorang ga-
dis yang tengah terluka, Ki. Keadaannya sangat parah.
Dan harus mendapat perawatan sekarang juga." ujar Wintara sambil meletakkan
tubuh gadis itu di sebuah balai. Melihat itu Ki Wirayuda menghela nafas.
Bagaimana ia mau menolong orang kalau ia sendiri tengah
terluka juga. Wintara cukup mengerti akan hal itu.
"Terlambat sedikit saja menolong, gadis ini tidak akan tahan lagi. Biarlah aku
yang akan menanga-
ni." kata Pendekar Kelana Sakti. Mendengar ucapan Wintara, Arso Lumbing merasa
lega. "Siapa gadis ini sebenarnya, mengapa anak Ar-
so Lumbing ingin menolongnya mati-matian?" tanya Ki Wirayuda yang nampaknya
mulai setuju dengan usul
Wintara. "Entahlah...." tukas Arso Lumbing. "Tapi melihat dari pakaiannya pasti gadis ini
seorang tokoh persilatan juga. Aku yakin lukanya itu bekas babatan pedang.
Untunglah hanya tergores sedikit."
"Kalau begitu bawa saja ia masuk ke dalam
kamar. Luka-lukanya mesti dibersihkan." ujar Ki Wirayuda. Wintara mengangguk ke
arah Arso Lumbing.
Ia mengerti maksud Wintara. Maka Arso Lumbing se-
gera membawa tubuh gadis itu ke dalam sebuah ka-
mar. Ki Wirayuda memanggil beberapa pembantu pe-
rempuan, mereka ditugaskan untuk mengganti pa-
kaiannya yang koyak serta membersihkan luka-
lukanya. Arso Lumbing keluar lagi bersama Wintara.
"Sebelumnya aku yang merepotkan ini berteri-
ma kasih sekali atas keringanan tangan kalian. Sekali lagi aku ucapkan terima
kasih. Karena secepat ini pula aku harus pamit mundur. Resi Wesakih telah
menugaskan aku untuk keperluan sesuatu." kata Arso Lumbing tertunduk. Ia merasa
tidak enak sekali harus meninggalkan mereka secepat itu. Ki Wirayuda nampak
mengerutkan kening.
* ** 6 Sepertinya Ki Wirayuda teringat akan sesua-
tu.... "Oh, ya... ya.... Aku baru ingat sekarang. Bu-
kankah Resi Wesakih telah menjodohkan engkau den-
gan seorang putri dari perguruan Pedang Ular?" tukas Ki Wirayuda.
"Sebenarnya memang demikian, Paman. Hari
ini pula aku harus menjemput calon istriku." jawab Arso Lumbing.
"Sayang sekali keadaan kami seperti ini. Jadi
tidak bisa ikut mengantar." ujar Ki Wirayuda.
"Ah, tidak mengapa, Paman. Akupun cukup
mengerti."
"Kalau begitu pergilah. Kami di sini semua me-
restui atas pertunangan kalian. Juga jangan khawatir, gadis ini akan kami rawat
baik-baik." Wintara ikut bicara. "Terima kasih, aku pasti ke mari lagi untuk
menengok gadis itu. Permisi...." Arso Lumbing beri salam. Ki Wirayuda
mengangguk. Wintara mengantar Ar-
so Lumbing sampai mendekati kudanya.
"Sampai jumpa lagi, Sobat. Nanti kita akan bertemu lagi." Tak ketinggalan ia
memberi salam pada Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini tersenyum mengangguk. Arso
Lumbing tidak menunggu waktu lagi. Ia langsung memacu kudanya meninggalkan
tempat pemukiman Ki Wirayuda.
Sementara itu dua perempuan penguasa Gu-
nung Tunggul berjalan tersaruk-saruk. Mereka mene-
lusuri jalan berbatu. Langkah-langkah Nilasari Grewek agak lambat, karena memang
ia tengah terluka. Srikaton Munggel tidak kurang suatu apa. Ia hanya merasa
kehabisan tenaga. Melihat gurunya itu berjalan payah, Srikaton Munggel tidak
perduli. Ia sengaja berjalan paling dulu.
"Murid dogol, tunggu aku! Tidak kasihankah
melihat gurumu seperti ini." Nilasari Grewek berjalan
tertatih-tatih.
"Masih untung kita dapat cepat-cepat kabur.
Mungkin kau sudah mati duluan. Mana jurus ampuh
Tombak Gunung itu" Menghadapi anak ingusan itu sa-
ja sampai lari terbirit-birit." jawab Srikaton Munggel acuh. Tapi ia
menghentikan langkahnya menunggu
sang guru yang berjalan menyusul tersaruk-saruk.
"Dasar murid sialan. Menyesal aku mengu-
rusmu sejak kecil. Tidak mau mampus disambar kilat!"
gerutu nenek berambut putih. Tak urung juga Srikaton Munggel membantu gurunya
berjalan. "Kalau Pendekar Kelana Sakti itu masih tetap
berada di Sungkawarang, kita-kita sebagai pendekar
sesat akan tidak mendapat muka. Dengan apa lagi kita menyingkirkan pendekar sial
itu" Jurus Tombak Gunung tidak berarti, Pedang Ular Emas sama sekali tidak
berpengaruh. Ilmu apa sebenarnya yang dimiliki
pendekar sial itu." Srikaton bergumam.
"Sudah jangan ngoceh terus. Pusing aku men-
dengarkan celotehmu. Sebaiknya kau pergi saja ke ko-ta. Carikan aku obat."
Perintah Nilasari Grewek. Sambil mendorong tubuh Srikaton Munggel.
"Bagaimana guru bisa sampai ke puncak sa-
na?" ujar Srikaton Munggel. Nenek berambut putih memandang melotot.
"Aku jangan dianggap remeh. Jelek-jelek aku
ini gurumu. Aku masih bisa mencapai puncak Gunung
Tunggul dibanding menghadapi pendekar sialan itu!"
bentaknya. Srikaton Munggel merungkut. "Cepat berangkat! Kembali secepatnya!"
bentaknya lagi. Nilasari Grewek melangkah berpisah. Srikaton Munggel juga
melangkah lesu.
Tapi dalam beberapa saat nenek penguasa Gu-
nung Tunggul ini berbalik lagi.
"Srikaton...! Tunggu dulu!" Nenek yang tadi ber-
jalan tertatih-tatih mendadak berlari cepat ke arah Srikaton Munggel.
"Ada apa lagi sih" Aku pasti balik membawa
obat untuk luka-lukamu." sambut Srikaton Munggel.
"Seharusnya kau tidak perlu membawa Pedang
Ular Emas. Hal itu akan membahayakan dirimu. Aku
khawatir orang-orang persilatan mengepung mu bera-
mai-ramai." kata Nilasari Grewek. Apa yang di-
ucapkannya memang benar. Srikaton Munggel tidak
perlu berpikir panjang. Maka ia langsung berikan saja pedang itu.
"Ambillah untukmu. Aku tidak perlu barang
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rongsokan itu." kata Srikaton Munggel.
"Hus! Ngomong sembarangan. Gini-gini benda
pusaka, tahu!"
Srikaton Munggel tidak perduli ia terus me-
langkah cepat meninggalkan gurunya. Buat apa Pe-
dang Ular Emas kalau tidak mampu mengalahkan seo-
rang bocah ingusan macam Pendekar Kelana Sakti, pi-
kir Srikaton Munggel. Dalam hatinya terselip pula ren-cana lain. Ia tidak perlu
lagi mengikuti jejak Nilasari Grewek. Untuk apa mengikuti nenek peyot yang sudah
tidak mampu. Tiga puluh tahun lamanya mengekor
bersama Nilasari Grewek tidak pernah merajai dunia
persilatan. Malah sekarang harus lari kocar kacir di bawah kaki Pendekar Kelana
Sakti. Permintaan Nilasari Grewek untuk membawa-
kan obat-obatan tidak perlu lagi dituruti, sebab Srikaton Munggel sudah
menentukan hidupnya sendiri.
Perduli apa dengan Nilasari Grewek, guru yang selama tiga puluh tahun
mengurusnya. Mau mati kek.... Mau
keriput kek.... Mau mati berdiri kek, masa bodoh!
Bagi perempuan cantik seperti Srikaton Mung-
gel, mudah saja ia mencari jalan kehidupannya. Apala-gi ia mantan tokoh sesat.
*** Apapun yang ia lakukan tidak pernah memper-
timbangkannya terlebih dahulu.
Sesiang itu ia sudah berada dalam sebuah desa
yang sangat ramai. Ia berjalan menunjukkan lenggak
lenggok tubuhnya yang aduhai. Pandangannya meno-
leh kanan kirim melihat keramaian desa itu. Pada sisi jalan banyak terdapat
tempat-tempat penginapan dan
kedai-kedai. Para pendatangnya pun banyak yang ber-
datangan. Ada beberapa tempat penginapan yang selalu
ramai. Siang malam selalu dikunjungi para tamu. Ten-tu saja penginapan itu
selalu ramai. Selain tempatnya besar dan bersih, tempat itu disediakan wanita-
wanita penghibur.
Tak urung kemunculan Srikaton Munggel yang
kebetulan melewati penginapan itu, menjadi perhatian para hidung belang. Sampai
ada yang tidak tahan, co-ba-coba menggoda. Diperlakukan seperti itu, Srikaton
Munggel makin genit mempermainkan mereka. Sudah
tentu para wanita penghibur yang kebetulan melihat-
nya jadi iri hati.
Kecantikan Srikaton Munggel jauh lebih tinggi
dibanding para wanita penghibur. Penampilannya juga lebih seksi. Dia mengenakan
pakaian yang sangat me-nyolok mata.
Pahanya yang putih mulus nyaris telanjang
tanpa penutup. Tidak ada para wanita penghibur yang seberani itu.
Beberapa pentolan dari lembah hitam tersebut
datang menghadang. Srikaton Munggel menyambut
mereka dengan senyuman genit. Tiga orang laki-laki
penghadang ini langsung mengurungnya. Tindakan
mereka menjadi perhatian orang banyak.
Siapapun sudah mengetahui watak tiga lelaki
yang menguasai desa itu. Sudah banyak para wanita
yang jatuh menjadi korban nafsu mereka. Mereka akan bertindak kasar bila seorang
wanita coba-coba menolak keinginannya.
"Nona.... Tidak sembarangan orang asing me-
masuki desa ini." tegur mereka. Mata mereka tidak lepas menatap tubuh yang
menggiurkan itu.
"Maafkan aku, orang-orang gagah. Aku tidak
tahu tata krama peraturan desa ini." ujar Srikaton Munggel. Gerakannya lemah
gemulai membuat setiap
orang yang melihatnya makin gemas.
"Bagus kalau kau menyadari akan kesalahan-
mu. Kau harus membayar upeti terlebih dahulu pada
kami." kata mereka lagi.
"Upeti" Aku tidak punya apa-apa."
"Jangan pura-pura bodoh. Tubuhmu saja se-
rahkan pada kami." Seseorang dari mereka menarik lengan Srikaton Munggel.
Perempuan cantik ini tidak menolak. Dua orang temannya mengikuti. Mereka menuju
sebuah penginapan yang cukup ramai.
"Tunggu dulu...." Srikaton Munggel berhenti melangkah. Lalu:
"Tidak mungkin aku harus melayani kalian ber-
tiga." Mata Srikaton mengerling. Ketiga laki-laki ganas ini saling pandang.
"Kami biasa melakukannya bergiliran, nona.
Jangan coba-coba menolak keinginan kami." bentak mereka.
"Aku tidak mau. Aku tidak biasa seperti itu. Terus terang saja aku perlu satu
orang di antara kalian."
jawab Srikaton Munggel. Sikapnya menantang namun
memberi harapan pada ketiga orang laki-laki ini. Keti-ganya jadi serba salah.
* ** 7 "Atau sama sekali kalian tidak akan menikmati
'upeti' ku?" gertak Srikaton Munggel. Seraya ia hendak pergi begitu saja. Tapi
seseorang cepat meraih kembali lengannya.
"Tunggu, Nona." kata salah seorang dari mereka. Orang itu paling seram.
Brewoknya memanjang
sampai sebatas dada.
"Aku pemimpin mereka. Karena aku paling he-
bat di antara mereka. Namaku Rengga Loka." kata laki-laki penuh brewok menatap
pada kedua temannya.
"Hm.... kalau begitu kaulah yang berhak atas
diriku." Srikaton Munggel langsung menggandeng menuntun laki-laki bernama Rengga
Loka memasuki se-
buah penginapan. Semua orang yang tadi menyaksi-
kan penghadangan mereka jadi terheran-heran. Baru
kali ini mereka melihat seorang gadis cantik dapat me-lemahkan ketiga orang
pentolan lembah hitam terse-
but. Hari makin siang dengan sinar matahari men-
corot menggarang bumi. Rengga Loka merasa bangga
mendapatkan seorang wanita cantik bernama Srikaton
Munggel. Perempuan itu duduk di sebelahnya mene-
mani laki-laki brewok itu minum arak.
Para tamu yang kebetulan singgah pada pengi-
napan itu bersikap hormat pada Rengga Loka. Wanita-
wanita penghibur lainnya mencibir melihat kegenitan Srikaton Munggel. Ia tidak
mengelak pula saat Rengga Loka menciumi habis-habisan di ruangan itu. Rintihan-
rintihan Srikaton Munggel membuat suasana ma-
kin panas. Apalagi Rengga Loka semakin mabuk. Di
dalam dekapan perempuan itu Rengga Loka semakin
tidak berdaya. Tamu-tamu semakin berdatangan. Yang hanya
makan, yang minum, ada juga yang hendak menginap
di penginapan itu. Para wanita penghibur berebut
mencari mangsa. Tawa-tawa cekikikkan perempuan
memenuhi suasana panas ruangan.
Saat itu seorang pemuda gagah memasuki
ruangan itu. Ia memilih sebuah meja yang masih ko-
song. Benda panjang yang terserong di punggungnya
diletakkannya di atas meja. Kemudian ia memesan
makanan pada salah seorang pelayan yang hilir mudik menyambut para tamunya.
Pemuda itu pun tidak luput dari serbuan para
wanita penghibur. Dikerubungi oleh wanita-wanita itu pemuda tampan jadi kikuk.
Kehadiran pemuda tampan ini juga jadi perhatian Srikaton Munggel yang duduk pada
meja sebelahnya.
"Aih, tampannya...!" Tidak sadar ia memekik kagum. Rengga Loka yang hampir
terlena dalam pelukan Srikaton Munggel tersentak kaget. Ia mengira Srikaton
memuji dirinya, maka ia semakin terlena menciumi jenjang leher Srikaton Munggel.
Sedangkan Srikaton Munggel sendiri tidak henti-hentinya menatap pemuda itu.
Rayuan-rayuan para wanita penghibur tidak
mengena. Pemuda tampan yang tidak lain Arso Lumb-
ing ini bersikap dingin. Maka satu persatu perempuan-perempuan itu mulai
menyingkir, "Maaf.... Tiada maksud apa-apa aku singgah di
sini. Aku hanya ingin mengisi perut, lain tidak. Sebaiknya kalian menyingkirlah.
Masih banyak tamu-
tamu lain yang perlu hiburan." ujar Arso Lumbing.
Saat itu pelayan sudah datang membawakan pesanan.
"Sudah Sana cari yang lain..... Laki-laki kan banyak di sini." gurau pelayan
itu. Karuan saja para perempuan penghibur jadi kabur. Ada juga yang
menggerutu. "Huuuuh.... Mentang-mentang cakep, sombong
benar dia. Perempuan seperti apa sih yang dia mau."
gerutu mereka meninggalkan meja Arso Lumbing. Pe-
muda ini hanya menggelengkan kepala mendengar
sumpah serapah mereka yang bermacam. Tanpa sadar
pula ia menatap seorang perempuan berusaha meno-
lak dari dekapan seorang lelaki brewok. Srikaton
Munggel lemparkan senyum ke arah Arso Lumbing.
Pemuda tampan ini membalas senyumnya pula, lalu ia
tidak perduli mulai menikmati pesanannya.
Di lain pihak, Srikaton Munggel meronta-ronta
melepaskan diri dari pelukan Rengga Loka. Dalam ha-
sratnya ingin sekali Srikaton menaklukkan pemuda
tampan itu. Maka ia berusaha sebisanya agar terlepas dari dekapan Rengga Loka.
"Sebentar, sayang.... Aku tidak akan lama-
lama...." Rayu Srikaton Munggel. Rengga Loka akhirnya melepaskan pelukannya.
Secepatnya Srikaton
Munggel meninggalkan laki-laki itu. Langkahnya hati-hati mendekati Arso Lumbing.
Arso Lumbing menyadari kalau ia didatangi
seorang perempuan yang baru saja ditatapnya. Perem-
puan itu kini sudah duduk di hadapan meja. Menga-
wasi Arso Lumbing. Senyumnya terkulum.
"Kenapa kau tinggalkan tamu itu?" tegur Arso Lumbing.
"Aku bukan wanita penghibur macam mereka.
Aku sama seperti dirimu dan kebetulan singgah di
penginapan ini." jawab Srikaton.
"Oh, maaf atas kata-kataku tadi. Pandanganku
terlalu cetek. Lalu siapa laki-laki brewok itu. Suami-
mukah." Arso Lumbing jadi salah tingkah.
"Bu-bukan.... Dia penguasa desa ini. Sikapnya
memang menjemukan, juga sering mengganggu wani-
ta. Seperti yang kau lihat tadi. Aku harus terpaksa menemaninya minum arak."
tutur Srikaton Munggel.
Arso Lumbing mendengus.
"Kau ingin makan?" tawar Arso Lumbing.
"Terima kasih. Aku baru saja selesai makan."
jawab Srikaton cepat. Terhadap Srikaton Munggel si-
kap Arso Lumbing agak lain. Kecantikan Srikaton
Munggel memang tidak pantas disebut wanita penghi-
bur. Ia lebih pantas disebut seorang pendamping laki-laki bangsawan atau paling
tidak seorang punggawa.
Tapi kenapa perempuan ini harus berkeliaran di sini.
Tidak tahukah kalau tempat ini tidak pantas untuk dirinya" Keakraban mereka
membuat iri para wanita
penghibur- lainnya. Kenapa perempuan asing ini bisa lebih cepat mengambil hati
pemuda ganteng itu. Apakah karena perempuan itu sangat cantik, juga seksi"
Tidak urung salah seorang dari mereka menga-
dukan hal itu pada Rengga Loka. Laki-laki brewok ini sudah terpekur mabuk arak.
Kepalanya sudah terte-lungkup di atas meja dengan pundi-pundi arak berse-
rakan. Tapi setelah ia mendengar berita yang mema-
naskan telinganya, ia cepat berjingkat. Langkahnya sempoyongan serudak seruduk
macam banteng keta-ton. Langkahnya cepat menyeruak menuju ke arah
Srikaton Munggel.
Perempuan itu nampak tengah duduk mengha-
dapi seorang pemuda tampan. Hatinya makin terbakar.
Apalagi Srikaton Munggel nampak tersenyum-senyum
selama berbicara dengan pemuda itu.
Percakapan mereka mendadak terhenti saat
Rengga Loka berdiri sangar. Srikaton Munggel berjingkat bangun. Ia lari ke
samping Arso Lumbing.
"Perempuan bangsat! Kau hendak memper-
mainkan aku" He-he-he-he.... Anak muda. Pergilah da-ri sini. Perempuan itu
milikku." bentak Rengga Loka.
Matanya garang menatap. Tapi Arso Lumbing seakan
tidak mengacuhkan bentakan itu. Ia semakin asyik
menikmati santapannya. Srikaton Munggel memeluki
pemuda itu. Tiba-tiba saja....
"Braaaak...!" Rengga Loka menggebrak meja.
Piring di hadapan Arso Lumbing sampai berderak
goyang. "Dia mengaku bukan wanita penghibur. Bagaimana bisa kau bilang perempuan
ini milikmu?" ujar Arso Lumbing. Tenang ia memegang benda panjang
terbungkus kain sutra. Lalu pemuda ini bangkit
menghadapi Rengga Loka. Serta merta Rengga Loka le-
paskan sebuah tinju. Malah ketika Arso Lumbing
membalas serangan, Rengga Loka terhuyung mundur.
Tempat itu jadi gaduh seketika. Para tamu yang
lain beringsut menyingkir. Perempuan-perempuan
penghibur berlarian ketakutan. Mereka sudah tahu
kemurkaan Rengga Loka. Pastilah pemuda tampan ini
akan mati penasaran dibuatnya.
Tapi ternyata apa yang dilihat oleh mereka, sa-
ma sekali diluar dugaan. Rengga Loka berkali-kali jatuh setiap kali ia lancarkan
serangan. Arso Lumbing selalu dapat mengincar dan lancarkan serangan balasan.
Rupanya kedua teman Rengga Loka belum be-
ranjak dari tempat itu. Mereka sejak tadi mengawasi pemimpinnya. Melihat itupun
kedua orang itu berlarian membantu Rengga Loka. Arso Lumbing tidak gen-
tar menghadapi lawannya bertambah dua orang. Serta
merta ia melompat melindungi Srikaton Munggel. Tan-
Dewi Penyebar Maut V I I 2 Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan Karya Opa Bangau Sakti 44
1 Gunung Tunggul tetap menyeramkan. Hutan-
hutan yang gelap serta semak-semak belukar tumbuh
di sana sini. Dataran tanahnya banyak berbatu. Na-
mun sangat subur. Di situ pula banyak ditumbuhi
alang-alang yang tinggi sebatas pinggang. Alang-alang itu terus menghampar
sampai ke atas puncak.
Meski keadaan Gunung Tunggul sangat menye-
ramkan, udara di sekitar puncak amatlah sejuk dan
segar. Bila angin berhembus, suaranya menderu-deru
bagai iringan musik alam yang membuat pohon-pohon
cemara hutan bergoyang-goyang.
Sesekali pula burung-burung beterbangan ber-
kelompok-kelompok meninggalkan sarangnya. Mereka
terbang meliuk-liuk kemudian hinggap pada satu ban-
gunan yang nampaknya bekas sebuah kuil. Bangunan
batu itu tetap tegar meski sudah sangat usang. Seluruh dindingnya banyak
ditumbuhi akar-akar pohon
merambat. Juga lumut-lumut jamur hampir menutupi
seluruh genting yang nyaris ambruk. Di sekitar pelataran bangunan terkumpul
tumpukan-tumpukan jerami
kering. Di situlah tempat pemukiman dua pendekar
wanita penguasa Gunung Tunggul. Dua perempuan
sakti dari aliran sesat itu dapat tinggal tenang, tanpa ada yang mengetahui di
mana adanya bekas sebuah
kuil. Murid dan guru yang sama-sama malang melin-
tang mengacaukan dunia persilatan kerap kali selalu turun gunung. Kehadiran
mereka selalu mencemaskan
orang-orang dari aliran lurus. Nama busuknya sebagai Penguasa Gunung Tunggul
betul-betul sangat menakutkan. Tapi pagi ini mereka, murid dan guru, yang ti-
dak lain Nilasari Grewek dan Srikaton Munggel, hanya berdiam diri dalam
pemukiman mereka. Sang guru, Nilasari Grewek yang telah berusia hampir tiga
perempat abad dengan rambut yang memutih sebatas pinggang
serta selalu mengenakan pakaian serba merah tengah
duduk menikmati teh hangat ramuannya sendiri. Ia
duduk bersila di sudut ruangan. Matanya tidak lepas menatap Srikaton Munggel
murid tunggalnya. Perempuan cantik molek ini duduk di atas tumpukan jerami
menatap keluar dengan pandangan yang kosong! Melihat itu, Nilasari Grewek
menggelengkan kepalanya.
"Berhari-hari kerjamu hanya memikirkan Gen-
tara Karma. Latihan ilmu pun kau tidak bersemangat.
Mau jadi apa" Mau jadi Telembuk?" gerutu Nilasari Grewek. Srikaton Munggel
tersadar dari lamunannya.
"Tapi Kakang Gentara Karma telah tewas,
Guru. Kematiannya sangat mengenaskan. Siapa yang
tidak kasihan mendengar tokoh hebat macam Kakang
Gentara Karma." sahut Srikaton Munggel. Nenek berambut putih ini seperti hendak
tertawa mengekeh.
"Kau ini ada-ada saja. Dulu semasa aku mem-
pertunangkan kau dengan Gentara Karma, kau tolak.
Kau bilang jorok, memuakkan, dan masih banyak lagi
sumpah serapahmu, dulu, semasa Gentara Karma ma-
sih hidup, hubungan kalian bagaikan anjing dan kuc-
ing. Sekarang pasanganmu sudah mampus, bagaikan
pungguk merindukan bulan. Lupakan saja soal ka-
kakmu itu. Yang kau pikirkan bagaimana kita dapat
membalas dendam?"
"Balas dendam" Balas dendam terhadap siapa,
Guru".... Siluman Muka Buruk juga telah tewas." jawab Srikaton Munggel.
"Dasar murid tolol. Musuh-musuh kita masih
banyak di depan mata. Bagaimana pun aku tidak bisa
melupakan Pendekar Kelana Sakti. Tindakannya mem-
buat kita terhina di mata orang-orang persilatan. Kalau saja pendekar sialan itu
tidak ada, Ki Wirayuda bersama Pendekar dari Bukit Sinimbung sudah kucabut
jantungnya." Nilasari Grewek kertakan rahangnya.
Kemarahannya tiba-tiba saja muncul saat teringat
akan Pendekar Kelana Sakti.
"Satu-satunya penghalang cuma bocah ingusan
itu. Dia harus disingkirkan terlebih dulu." sambung Srikaton Munggel.
"Nah, itulah yang sekarang tengah ku pikirkan, muridku. Persoalan Gentara Karma
sudah basi. Masih
banyak laki-laki di luar sana. Kupikir kau sangat cantik. Tubuhmu sangat molek
menggiurkan. Siapa yang
tidak tertarik denganmu!?" Setelah berkata begitu Nilasari Grewek menghirup
habis teh hangat dalam cang-
kir bambu. "Apakah kita berdua cukup mampu menghada-
pi Pendekar sialan itu" Ilmunya yang setinggi langit membuat kita lari morat
marit. Aku khawatir kita berdua akan celaka."
"Pendekar asal jadi itu setingkat denganku." jawab Nilasari Grewek.
"Kenapa saat kita menggempur Ki Wirayuda ha-
rus lari?"
"Sekali lagi kubilang kau murid tidak punya
otak!" Maki nenek berambut putih. Srikaton Munggel bergidik ketakutan.
"Hal itu dikarenakan adanya Siluman Muka
Buruk. Saat itu kita memang betul-betul buta. Tidak tahu kelemahan Ilmu Mati
Pamungkas. Tapi sukurlah
sekarang bangsat itu sudah mampus."
Srikaton Munggel diam. Matanya tidak berkedip
menatap gurunya bangkit berdiri. Nilasari melangkah ke depan pintu batu. Ia
berdiri di situ memandang
jauh keluar. Hembusan angin gunung menerpa rambut
putihnya. Pikirannya melayang mundur pada beberapa
hari sebelumnya. Ketika mereka berdua menyatroni
pemukiman Ki Wirayuda. Hal itu memang tidak bisa
dilupakan. Nama besar Pendekar Gunung Tunggul be-
nar-benar telah tercoreng.
Belum pernah ia merasa gentar atau lari mun-
dur dari musuh-musuhnya. Wajah Pendekar Kelana
Sakti membekas berat di lubuk matanya. Tentunya
pendekar muda itu tengah disanjung-sanjung saat ini.
Srikaton Munggel mengernyitkan alis melihat gurunya berdiri seperti menahan
amarah. Murid tinggal ini
mendadak kaget saat Nilasari hentakkan kedua tan-
gannya ke depan.
"Bledaaaar...!" Kiranya Nilasari Grewek lepaskan satu hantaman. Pukulan jarak
jauh itu merun-
tuhkan satu pohon kering yang ada di muka bangu-
nan. Itulah luapan amarah Nilasari Grewek. Nenek keriput ini memang selalu
begitu bila dilanda kemara-
han. "Lihat, Srikaton! Hantaman Tombak Gunung akan menghancurkan tubuh pendekar
sialan itu." kata Nilasari Grewek dengan nafas yang kian memburu.
"Be-benar, Guru. Pendekar Kelana Sakti tidak
akan mampu menghadapi hantaman itu." sambut Srikaton Munggel memberi semangat.
Seraya ia melang-
kah bangun mendekati gurunya.
"Guru pun harus mengajarkan jurus itu pada-
ku. Belum pernah kulihat ilmu yang sedahsyat ini...."
Srikaton Munggel merayu.
"Belum saatnya, Srikaton. Belum saatnya. Kau
tidak akan sanggup mempelajarinya sekaligus. Ini terdiri rangkaian jurus Jari
Tombak dan Jari Pedang.
Apakah kau sudah menguasai jurus keduanya?" ujar Nilasari Grewek. Srikaton
Munggel menunduk.
"Bagaimana aku bisa melumpuhkan Pendekar
Kelana Sakti, kalau guru tidak memberi pelajaran jurus itu." celetuk Srikaton.
"Heh! Pendekar ingusan itu bagianku! Biar
olehku pendekar sial itu berjalan merangkak seperti anjing." Sumpah nenek
keriput Nilasari Grewek. "Ba-gianmu Ki Wirayuda dan pendekar Witasoma. Aku ya-
kin mereka berdua tidak akan mampu menghadapi
engkau. Bersiaplah... Sebentar lagi kita akan turun gunung."
"Hari ini" Apakah tidak terlalu lelah?"
"Bila menunggu-nunggu lagi. Pendekar Kelana
Sakti keburu merat. Ke mana kita mencari pendekar
itu. Langkah-langkahnya sukar untuk dicari." jawab Nilasari Grewek. Ia kembali
masuk menutupi semua
jendela ruangan. Ruangan bangunan bekas kuil itu
menjadi gelap. Srikaton Munggel melangkah keluar. Di pelataran bangunan, ia
mengikuti gerakan-gerakan jurus gurunya. Seolah-olah ia arahkan hantaman Tom-
bak Gunung pada sebuah pohon kering yang ada di
hadapannya. Berulang-ulang ia lancarkan hantaman
jarak jauh itu. Tapi pohon kering tetap berdiri tegak tak bergeming.
Hampir kesal ia menghadapi pohon kering yang
berdiri diam menantang. Manakala ia terus melancar-
kan jurus Tombak Gunung. Diam-diam Nilasari Gre-
wek yang telah menutup pintu batu memandangi sam-
bil mengekeh. Diam-diam pula nenek keriput ini lan-
carkan hantaman yang serupa. Srikaton Munggel ter-
kejut dengan tiba-tiba. Karena pohon kering di hadapannya hancur berderak,
maka..... "Guru.... Aku bisa! Aku bisa!" Srikaton melon-cat kegirangan.
"Bisa apa" Matamu Pecak" Aku tadi yang
menghancurkan pohon itu. Kau belum sanggup untuk
melakukannya, Srikaton. Jangan mimpi. Untuk mem-
pelajari jurus Tombak Gunung, harus disertai kesungguhan yang bulat. Juga tidak
memakan waktu yang
sedikit." ujar Nilasari Grewek masih mementang jurus.
Srikaton Munggel jadi malu.
Daerah itu di tumbuhi pohon-pohon besar.
Nyaris gelap dan menakutkan. Namun bagi kedua
pendekar wanita ini sama sekali bukan halangan. Dari puncak Gunung Tunggul
sampai lereng memang daerah kekuasaannya. Binatang apapun lari sembunyi bi-
la melihat mereka.
Dengan bebas tanpa halangan mereka menem-
bus lereng gunung. Keduanya menatap lapang tanah
perbukitan tandus berbatu. Keduanya tidak langsung
melanjutkan perjalanan. Karena mereka dapat melihat sesuatu yang menjadi
perhatian. "Nampaknya seperti sebuah iring-iringan.
Guru." ujar Srikaton Munggel. Sang Guru tidak menjawab. Ia mempertajam mata
tuanya. Lalu tak lama ia mengangguk-anggukkan kepala.
Iring-iringan berkuda itu makin lama makin
dekat. Beberapa penunggang kuda memegangi bebera-
pa bendera. Di tengah-tengah iring-iringan itu sebuah tandu gemerlapan didukung
enam orang. Di belakangnya berderet para pengawal berkuda.
"Hm, calon pengantin perempuan rupanya."
gumam Nilasari Grewek. Srikaton Munggel tidak men-
gerti. Dia hanya diam mengawasi rombongan itu. "Mereka akan mempertemukan calon
pengantin perem-
puan dengan pengantin laki-laki." gumamnya lagi. Srikaton makin tidak mengerti.
"Dari mana guru tahu kalau iring-iringan itu
membawa calon pengantin perempuan?" tanya Srikaton Munggel.
"Tiga puluh tahun malang melintang dalam du-
nia persilatan rupanya membuat otakmu tambah beb-
al. Tidakkah kau lihat bendera-bendera yang mereka
bawa?" kata Nilasari Grewek seraya ia menarik kepala Srikaton Munggel agar dapat
terlihat dengan jelas iring-iringan itu.
"Oh, bendera yang bergambar sebuah pedang
dengan ular melingkar?" jawab Srikaton Munggel.
"Bukan bendera yang bergambar. Bendera itu
menyatakan mereka dari perguruan 'Pedang Ular.'
Yang kumaksud bendera-bendera yang berwarna me-
rah tersulam benang mas." Srikaton Munggel men-ganggukkan kepalanya.
"Pasti calon pengantin perempuan itu berada
dalam usungan tandu. Entah mereka mengadakan
pertemuan di mana. Biasanya orang-orang aliran lurus selalu merahasiakannya."
kata Nilasari Grewek, sikap-nya hati-hati sekali agar tak terlihat oleh
rombongan berkuda itu.
"Lalu apakah kita membiarkan orang-orang ali-
ran lurus melintasi sekitar lereng Gunung Tunggul?"
"Tidak akan, Srikaton. Tanganku selalu gatal
bila melihat orang-orang aliran lurus." Nilasari Grewek kertakan tinju. Serta
merta ia mendorong tubuh Srikaton Munggel. Meski dorongan itu perlahan, namun
akibatnya sangat fatal. Tubuh Srikaton Munggel ter-
guling dahsyat.
"Guru...! Apa yang kau lakukan?" Srikaton Munggel memekik. Nilasari Grewek tidak
menjawab. Malah ia melepaskan lagi hantaman-hantaman ringan
ke arah Srikaton, murid tunggalnya. Sudah tentu mu-
rid tunggalnya itu tidak berani membalas atas perbuatan nenek berambut putih.
"Kau ingin membunuhku?" Srikaton Munggel
berusaha mengelak.
"Murid tolol. Diam dan jangan berteriak, kita
bermain sandiwara di hadapan mereka. " Srikaton ba-
ru mengerti. Dirasakan hantaman-hantaman gurunya
seperti menghalau ke arah rombongan itu. Tahu begi-
tu, Srikaton sengaja bergulingan. Tindakan mereka seperti tengah melakukan
perkelahian sungguhan.
Sementara itu rombongan kuda jadi mendadak
berhenti. Seorang setengah tua mengangkat tangan-
nya. Ia memimpin rombongan berkuda itu. Matanya ti-
dak lepas mengawasi perkelahian dua orang wanita.
Nampak jelas sosok nenek keriput menghajar habis-
habisan seorang wanita yang jauh lebih muda.
Di dalam tandu duduk seorang wanita berumur
dua puluhan lebih. Ia juga turut terheran-heran melihat perkelahian tersebut. Ia
dapat melihat langsung peristiwa itu.
"Paman, nampaknya nenek keriput itu! bukan-
lah orang baik-baik. Aku curiga ia dari aliran sesat.
Rupanya pun amat buruk. Lihat saja tindakannya
yang kelewat telengas." ujar gadis yang berada dalam tandu. Laki-laki yang
mengangkat tangan ini membawa kudanya ke samping tandu.
"Sekitar lereng Gunung Tunggul ini memang
rawan, Umbayani. Aku khawatir tua. bangka itu pen-
guasa Gunung Tunggul." jawab lelaki setengah tua ini.
"Kalau begitu lerai saja mereka. Cari tahu siapa mereka berdua." perintah gadis
bernama Umbayani.
Tanpa menyahut pemimpin rombongan memacu ku-
danya. Langkah kudanya cepat menuju ke arah perke-
lahian. Lelaki itu langsung melompat dan hinggap di antara mereka.
"Nenek yang maha sakti, mohon hentikan se-
bentar. Persoalan apa kiranya yang membuat turun
tangan begini kelewatan?"
Nenek keriput yang tidak lain Nilasari Grewek
tidak menjawab. Malah ia melancarkan serangan pada
laki-laki yang baru turun dari kuda. Sudah tentu laki-
laki setengah tua ini jadi kelabakan.
"Jangan campuri urusanku. Biar aku si tua
majikan Gunung Tunggul menghajar sampai mampus
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan ini!" bentak Nilasari Grewek, sebelah tangannya menyambar melepaskan
hantaman. Serta mer-
ta lelaki yang tidak tahu menahu itu menjadi sasaran.
Meski ia menangkisnya, tak urung tubuhnya ter-
huyung akibat pukulan yang sangat keras itu.
"Kalau begitu engkau seorang tokoh aliran se-
sat yang selama ini meresahkan rimba persilatan." Lelaki ini menarik tubuh
Srikaton Munggel yang berpura-pura mencari perlindungan.
"Siapa pun tidak ku ijinkan melintasi lereng
Gunung Tunggul. Siapa pun bagusnya jadi mayat
penghias di sini!" Nenek berambut putih mengembangkan jurus-jurusnya. Srikaton
Munggel nampak keta-
kutan sekali, ia memegangi tubuh laki-laki yang bermaksud melindungi. Tapi malah
berakibat memba-
hayakan. Hantaman Nilasari tidak bisa dielakkan.
Hantaman itu masuk ke bagian dada, sampai jatuh
terguling., "Nenek keriput! Kebetulan aku akan mering-
kusmu!" bentak lelaki itu bangkit balas menerjang.
Menghadapi kemarahannya, Nilasari Grewek agak ked-
er. Pemimpin rombongan berkuda agaknya tidak dapat
dianggap main-main. Terjangannya disertai pukulan
yang beruntun. Sambil mundur nenek berambut putih
itu memapaki serangan-serangan itu. Tapi sekali ia melepaskan hantaman Tombak
Gunung, pemimpin
rombongan ini memekik dengan tubuh yang terlempar
jauh terasa tulang-tulangnya remuk. Dalam urutan
perguruan Pedang Ular, laki-laki ini tergolong cukup berilmu tinggi. Ia bernama
Rakadewa Geni. Makanya ia cukup mampu menahan hantaman Tombak Gunung
yang sangat ampuh itu.
Dengan seloyongan Rakadewa Geni bangkit
mencabut pedang dari pinggangnya. Melihat pemimpin
rombongan ini tidak main-main menghadapi seorang
tokoh aliran sesat. Semua anak buahnya turun tan-
gan. Mereka serempak maju mengepung. Melihat itu
pun Srikaton Munggel berlari ke belakang dengan si-
kap ketakutan. Sambaran pedang Rakadewa Geni berkelebat
bagai kiciran angin. Serangan-serangan itu gencar
mencecar nenek berambut putih yang bergerak-gerak
berkelit menghindari sambaran pedang. Manakala be-
lasan orang mulai maju melepaskan serangan pula. Nilasari Grewek makin
kewalahan. Namun menghadapi
itu semua nenek keriput itu hanya mengekeh men-
gumbar tawa, Gerakannya yang sangat ringan menepis
tiap-tiap sambaran pedang. Bahkan sekali ia memba-
las serangan, tiga sampai lima orang jatuh menyembur darah.
* ** 2 Nenek berambut putih terus melepaskan seran-
gan balasan meskipun sambaran-sambaran pedang se-
lalu nyaris nyerempet di tubuhnya. Rombongan pen-
gantar calon pengantin perempuan makin gigih men-
desak. Apalagi setelah dilihatnya beberapa orang temannya berjatuhan terluka
parah. Rakadewa Geni lepaskan jurus-jurus maut per-
guruan Pedang Ular. Tapi jurus-jurus itupun nampak-
nya tidak berarti. Untunglah ia dibantu dengan belasan orang para pengikutnya.
Sehingga Nilasari Grewek
agak sukar lepaskan hantaman Tombak Gunung.
Dalam hal ini Nilasari Grewek tidak henti-
hentinya memaki. Serangan lawan-lawannya pating se-
rabut lancarkan babatan-babatan pedang. Hingga
nampak nenek berambut putih itu di kelilingi dengan gulungan-gulungan sinar
pedang yang mematikan.
Sebenarnya pula serangan-serangan itu amat-
lah mudah dielakkan. Karena Nilasari Grewek yang
jauh memiliki kepandaian selalu bisa berkelit meng-
hindari, maka dalam satu kesempatan ia lepaskan juga hantaman Tombak Gunung.
"Bledaaaar...!" Jurus itu selain aneh, juga disertai dengan tenaga yang sangat
tinggi. Tak urung dari hantaman itu bergulingan lima orang sekaligus. Derak
tulang iga mereka yang patah sampai terdengar mengi-lukan. Dan kelima orang itu
ambruk tak berkutik ba-
gai tumpukan-tumpukan sampah.
Melihat itu pun Rakadewa Geni tidak tanggung-
tanggung lancarkan serangan. Babatan pedangnya ce-
pat berputar menyilang. Lalu memutar lagi ke arah
bawah, selalu begitu. Membuat Nilasari Grewek agak
kewalahan. Menghadapi pemimpin rombongan ini me-
mang harus mementang mata. Kalau tidak entah jadi
apa tubuh renta Nilasari Grewek.
Sambil terus berkelit, nenek keriput penguasa
Gunung Tunggul mencari-cari kesempatan. Gerakan-
nya selalu dibayang-bayangi oleh beberapa orang la-
wannya yang masih tersisa. Kedua tangannya mengi-
bas-ngibas bergulung memapaki tiap-tiap serangan.
Ringan saja Nilasari Grewek memutar kedua
lengannya, tapi malah berakibat sangat meyakinkan.
Tiga orang lawan jatuh terguling. Hal itu menjadi satu kelonggaran nenek
berambut putih lepaskan Tombak
Gunung. Serta merta kedua tinju keriput Nilasari Grewek menjurus ke depan
mengarah pada Rakadewa Ge-
ni. "Blaaaaar...!" Rakadewa Geni tidak sempat menghindar, ia memekik keras dengan
tubuh terbant-ing. Dua kali ia terkena hantaman yang dahsyat itu.
Sebagai orang berilmu tinggi, hantaman itu bagi Rakadewa Geni cukup hanya
menyemburkan darah. Tidak
fatal seperti para pengikutnya.
Lawan-lawan Nilasari Grewek tinggal beberapa
orang termasuk Rakadewa Geni, gadis dalam tandu
bukannya tidak melihat pertarungan itu, apalagi sepa-ruh para pengawalnya jatuh
luka parah, ada juga yang sampai tewas. Ia murka sekali.
Srikaton Munggel yang masih berada di situ
pura-pura berlari ketakutan. Dengan tubuh yang ge-
metar penuh luka memar ia menuju ke arah tandu.
Srikaton Munggel sudah dapat melihat seorang gadis
duduk dalam tandu berlapis sutra.
"Nona.... Tolong, iblis itu bisa membantai kita semua! Cepat nona,
bertindaklah...!" Srikaton Munggel memohon-mohon di samping tandu. Umbayani
sendiri memang sudah tidak sabaran ingin turun tangan. Ma-
kin lama para pengawalnya habis bergelimpangan di
bawah kaki nenek penguasa Gunung Tunggul, paman-
nya sendiri, Rakadewa Geni sudah keteter terus menerus menyambut hantaman Tombak
Gunung. "Nona yang berilmu tinggi, mohon cepat mem-
bantu mereka. Iblis tua itu tidak pernah main-main."
Srikaton Munggel merengek-rengek.
Maka saat itu pula tandu berlapis sutra berde-
rak hancur. Kain sutra yang tipis sebagai tirai penghias hancur menjadi
serpihan-serpihan kain, Begitu juga dengan tandu yang bagus berukir gemerlapan.
Dari situ sosok ramping Umbayani melesat berjumpalitan di udara. Umbayani
hinggap di tanah tanpa bersuara.
Mata Srikaton Munggel tidak berkedip. Bukan
melihat kehebatan ilmu peringan tubuh Umbayani, ta-
pi karena benda yang ada dalam genggaman gadis itu.
Sebilah pedang berwarna keemasan.
Pedang itu meliuk-liuk bagai tubuh ular. Pan-
jangnya satu meter lebih. Setiap kali Umbayani bergerak Pedang itu membiaskan
sinar keemasan. Itulah
Pedang Ular Emas. Pusaka turun temurun perguruan
'Pedang Ular'. Kebetulan sekali Srikaton Munggel dapat meli-
hat sekarang. Maka sandiwara itu telah usai. Serta
merta Srikaton Munggel melesat cepat bagai angin
menjurus ke arah Umbayani. Gadis itu tidak me-
nyangka kalau pedang ular dalam genggamannya ter-
lepas, Srikaton Munggel cepat merebutnya dari geng-
gaman Umbayani. Gadis itu pun menghardik dengan
suara keras. "Bangsat! Kembalikan pedang itu, kalau ti-
dak...?" Srikaton Munggel tidak perduli. Ia terus berlari ke arah Nilasari
Grewek. Nenek berambut putih itu sekarang tengah menghadapi Rakadewa Geni
seorang di- ri. Para pengikutnya yang belasan telah bergelimpangan di tanah.
"Murid goblok, kenapa harus lari meninggalkan
mangsa. Cepat habiskan calon pengantin perempuan
itu!" bentak Nilasari Grewek. Tangannya menampar muka Rakadewa Geni. Lelaki
inipun terjatuh untuk
yang kesekian kalinya.
"Terkutuk! Rupanya kalian sengaja memper-
mainkan aku! Kalian akan tahu rasa akibatnya!" Umbayani berdiri murka. Lalu ia
keluarkan jurus-jurus tangan kosong. Rakadewa Geni sudah bangkit siap
lancarkan serangan lagi. Ia sampai terheran-heran melihat pedang Ular Emas
berada di tangan Srikaton
Munggel. Malah perempuan penuh luka memar itu se-
karang berdiri berdampingan dengan nenek penguasa
Gunung Tunggul.
"Dasar mata kalian pecak semua. Tidak kenal-
kah kalau kami berdua adalah para pendekar sesat
Gunung Tunggul" Hik... hik... hik... hik...! Sungguh bodoh. Sudah mengantarkan
nyawa, harus pula kehi-langan pusaka." ujar Nilasari Grewek.
Sudah tentu ucapan itu membuat para pende-
kar Pedang Ular makin sengit. Maka serta merta Um-
bayani dan Rakadewa Geni menyerang serempak. Se-
belumnya Umbayani si calon pengantin meraih pedang
anak buahnya yang tergeletak di tanah. Keduanya ma-
ju melancarkan babatan-babatan pedang.
Srikaton Munggel tenang menyambut. Ia mena-
rik keluar Pedang Ular Emas dari sarungnya. Maka terlihatlah pedang yang lebih
langsing. Bersinar keemasan menyambut sambaran pedang kedua lawannya......
"Traaakk!.... Traaaaak!" Pedang Umbayani maupun Rakadewa Geni patah dua. Tapi
mereka terus lancarkan serangan meski pedang dalam tangan mere-
ka kuntung. "Guru, biar kedua pendekar-pendekar tolol ini
menjadi bagianku. Sekalian ingin mencoba keampu-
han pusaka Pedang Ular Emas. Hreaaaaaa...!" ujar Srikaton tanpa mundur menyambut
dua serangan dari
arah berlawan. "Bikin habis mereka, Muridku! Orang-orang ali-
ran lurus pantang berdiri di sekitar Gunung Tunggul!"
jawab Nilasari Grewek mengekeh.
Murid tunggalnya makin bersemangat. Ia mera-
sakan ada suatu kejutan dalam membalas serangan.
Pedang Ular Emas dapat mempengaruhi setiap gera-
kan Srikaton Munggel. Sambaran pedangnya cepat dua
kali lipat. Saat berkelebat pedang itu hampir tidak ke-lihatan. Hanya desingan
angin yang terdengar.
Umbayani yang tergolong paling tinggi dalam
perguruan Pedang Ular betul-betul merasa tidak ber-
kutik. Apalagi Rakadewa Geni. Keduanya jatuh ban-
gun. Srikaton Munggel tidak menyadari kalau kehe-
batannya makin bertambah saat menggunakan pedang
itu. Maka sekali ia babatkan memutar. Tubuh Raka-
dewa Geni berguling bersama penggalnya kepala lelaki itu. Darah menyembur dari
tubuh kelojotan tanpa kepala. Umbayani gusar tidak kepalang. Tapi ia pun harus
mengalami nasib sial. Sabetan Pedang Ular Emas
menghantam perutnya. Umbayani memekik. Tubuh
rampingnya menggelosoh lemas ke tanah. Lalu diam
tak berkutik. Dua penguasa Gunung Tunggul masih berdiri
memandangi tubuh-tubuh yang bergelimang darah. Ia
seperti puas melihat belasan orang tumpang tindih di sekitar tempat itu.
"Hik-hik-hik-hik...! Tuntas sudah semua. Itu
berarti riwayat perguruan Pedang Ular sudah tamat.
Hik-hik-hik-hik...!"
* ** 3 Tragis memang. Umbayani pewaris terakhir
perguruan Pedang Ular. Sekarang pusaka milik mereka pun telah lenyap. Nasib
Umbayani belum dapat dipas-tikan. Luka di perutnya sangatlah parah. Tapi kalau
nasib pamannya, Rakadewa Geni jelas sudah. Ia tewas dengan kepala terpisah. Yang
lebih mengenaskan lagi dikarenakan oleh pusakanya sendiri.
Dulu semasa ayah Umbayani masih memegang
tampik sebagai majikan perguruan Pedang Ular, paling pantang ia mendengar para
murid atau kerabatnya di-hina orang. Apalagi mengetahui putrinya yang cuma
satu-satunya ini mengalami nasib seperti sekarang.
Pastilah mati hidupnya dipertaruhkan untuk membela.
Nasib tak dapat dirobah. Orang sakti gagah be-
rani macam ayah Umbayani tidak berumur panjang. Ia
tewas karena sakit setahun yang lalu. Kalau saja ia dapat hidup bertahan dua
sampai tiga tahun lagi, sudah tentu majikan perguruan Pedang Ular dapat men-
gantar putrinya mempertemukan calon pengantin pria.
Umbayani memang sudah dijodohkan dengan
seorang putra dari Resi Wesakih. Ayah Umbayani su-
dah mengikat tali pertunangan semasa Umbayani ka-
nak-kanak. Sebagai anak berbakti pada orang tua
Umbayani tidak dapat menolak. Bagaimanapun Um-
bayani harus menikah dengan Arso Lumbing putra Re-
si Wesakih. Tapi selama ia hidup, belum pernah Um-
bayani melihat bagaimana rupa calon suaminya itu.
Ayah Umbayani cuma berpesan saat-saat akhir
hidupnya. Bahwa calon suaminya itu memiliki Pedang
Ular Emas juga. Dan hari pertemuannya sudah diten-
tukan tanpa bisa diundur-undur lagi. Adapun Pedang
Ular Emas yang dimiliki calon pengantin pria itu, tidak lain buatan Resi Wesakih
sendiri. Resi itu sengaja
membuatnya atas persetujuan Ayah Umbayani sebagai
tanda. Orang yang paling dekat dengan Umbayani setelah ayahnya wafat adalah
Rakadewa Geni, pamannya.
Dia pula yang ,mewakili ayah Umbayani mengantarkan
ke pertemuan sepasang pengantin.
Tapi apa mau dikata, malapetaka datang tanpa
diundang. Orang-orang perguruan Pedang Ular menga-
lami musibah luar biasa. Dua pendekar wanita sesat
penguasa Gunung tunggul telah merubah segalanya.
Umbayani tetap terbaring. Bergetar ia membu-
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ka kedua kelopak matanya. Ia tidak tahu macam apa
luka di perutnya itu. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu hebat.
Samar-samar dilihatnya para pengawal berse-
rakan tanpa nyawa. Di sebelahnya terbaring tubuh
tanpa kepala. Tapi setelah ia melihat kutungan kepala yang tidak jauh dari situ,
Umbayani hampir memekik.
Matanya berkunang-kunang lagi. Pandangannya jadi
gelap. Lapat-lapat ia mendengar suara derap langkah kuda. Tapi ia hanya mampu
mendengar sampai sebatas itu. Ia tidak kuat bertahan lama, tubuhnya kembali
terkulai lemas. Ia pingsan.
Kiranya si penunggang kuda itu seorang pemu-
da yang kebetulan melintasi daerah itu. Langkah ku-
danya dipercepat saat mendekati sosok-sosok berge-
limpangan. Sebuah benda panjang berguncang-
guncang saat kudanya berlari cepat. Benda itu terserong di punggung. Benda
sepanjang satu meter lebih
terbungkus kain sutra berwarna putih.
Pemuda itu langsung turun dari kuda dan me-
meriksa satu demi satu sosok-sosok bergelimpangan
itu. Semuanya tidak ada harapan. Mereka telah tewas.
Ia bergidik pula saat melihat sosok bersimbah darah tanpa kepala. Tapi justru
melihat itu pandangannya
membentur pada seorang gadis cantik terbaring den-
gan luka di sekitar perut.
Ia langkahkan kakinya ke situ. Gadis itu tidak
luput dari pemeriksaannya. Dan pemuda ini benar-
benar membelalakkan matanya. Betapa tidak, saat ia
memijit urat nadi pada leher gadis itu, masih berde-nyut meskipun lemah.
"Astaga.... Dia masih hidup. Rupanya pertem-
puran baru saja terjadi." kata pemuda itu dalam hati.
"Darahnya pun masih segar, tapi syukurlah su-
dah tidak mengalir lagi." gumamnya, ia menarik ikat pinggangnya yang dari kain.
Lalu ia balut melilit menutupi luka Umbayani.
"Kasihan.... Sayang aku tidak membawa obat-
obatan. Tapi tak apalah kalau lukanya tertutup akan lebih aman. Mudah-mudahan
saja gadis ini masih dapat bertahan. Karena aku akan membawanya ke Desa
Sungkawarang. Kebetulan desa itu tidak jauh lagi. Aku bisa meminta pertolongan
pada Ki Wirayuda di sana."
Selesai membalut, pemuda ini mengangkat tubuh Um-
bayani. Hati-hati sekali ia meletakkan di atas punggung kuda.
Tak lama pun kuda itu meninggalkan bekas
arena pertempuran. Selama dalam perjalanan, pemuda
ini menjaga agar tubuh si gadis tidak terguncang,
meskipun demikian benda yang terselubung kain sutra terus bergoyang-goyang di
punggungnya. *** Kematian Nyi Andini membuat Ki Wirayuda pa-
tah semangat. Sudah lebih satu minggu ia tidak melatih para muridnya. Menyadari
akan kekalutan sang
guru, murid-muridnya ini sengaja berlatih sendiri, Ki Wirayuda tidak melarang.
Ia menghabiskan waktunya
dengan menyendiri dalam ruangan khusus.
Wintara agak kerasan berada dalam pemuki-
man Ki Wirayuda. Sekalipun sikap Ki Wirayuda agak
kurang enak. Pendekar Kelana Sakti ini menyadari kalau Ki Wirayuda seorang yang
'Dingin' bergaul. Untunglah Wintara bisa menempatkan diri. Kalau sampai
saat ini Wintara masih berada dalam pemukiman Ki
Wirayuda, ia masih yakin kalau di tengah kekalutan
ini akan muncul tokoh-tokoh sesat macam Nilasari
Grewek dan Srikaton Munggel.
Pendekar Kelana Sakti ini hanya sendirian se-
bagai tamu di antara orang-orang Ki Wirayuda, karena Wita Soma, Pendekar yang
sama-sama melumpuhkan
Gentara Karma telah kembali membawa kepahitannya
ke Bukit Sinimbung.
Diam-diam pula orang-orang Ki Wirayuda me-
rasa kagum akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti
ini, untuk itu mereka selalu melayani Wintara seba-
gaimana layaknya seorang tamu. Entah kapan Wintara
akan meninggalkan pemukiman itu, mungkin nanti se-
telah situasi benar-benar tenang.
Namun di tengah-tengah kekalutan itu menda-
dak saja jadi bising. Pintu gerbang seperti digedor orang secara paksa. Beberapa
murid yang tengah lati-han ini menjadi terkejut. Wintara hanya berdiri mengawasi
kegaduhan itu. Ki Wirayuda yang tengah men-
gasingkan diri dalam ruangan khusus, tersentak
bangkit. Pintu gerbang semakin. kencang berderak
berkali-kali. Seorang murid bermaksud membukakan pintu,
Tapi sebelum tangannya membuka palang pintu, se-
buah benda tajam keemasan dari balik pintu member-
sit keras. Pintu gerbang terbelah dua. Bahkan sambaran pedang itu menembus pada
orang yang bermaksud
membuka pintu gerbang. Tak ayal orang itu langsung
memekik kelojotan. Dari atas muka sampai ke perut
nyaris terbelah dua pula.
Semua orang yang berada di situ menatap nge-
ri, namun serempak pula mereka semua berlari meng-
hambur ke arah pintu. Nampaklah dua orang perem-
puan tertawa menyeringai. Siapa lagi kalau bukan Srikaton Munggel dan gurunya.
Pedang di tangan Srika-
ton Munggel masih bersimbah darah.
Melihat itu pun Ki Wirayuda yang berada dalam
ruangan khususnya langsung berjingkat lari. Cepat-
cepat ia meraih pedangnya yang tergantung di dinding.
Wintara sudah dapat menerka apa yang akan dilaku-
kan Ki Wirayuda. Maka sebelum Ki Wirayuda bertin-
dak, Wintara menghadapi dua perempuan sesat itu le-
bih dulu. Anak buah Ki Wirayuda segera menyingkir
saat Wintara berhadapan dengan dua pendekar wanita
itu. "Hik-hik-hik...! Bagus kau masih tetap berada
di sini, Pendekar sialan. Kedatangan kami kemari memang sengaja untuk mengambil
kepalamu!" ujar Nilasari Grewek.
"Aku khawatir ucapanmu itu akan terbalik, Ne-
nek sakti." jawab Wintara tenang.
"Terhadap orang-orang aliran lurus tidak perlu banyak basa-basi, Guru. Musuhmu
sudah ada di depan mata, langsung labrak saja!" kata Srikaton Munggel. Wintara
melirik ke arahnya. Pedang Ular Emas berada di tangan perempuan itu, sebuah
pedang yang meliuk-liuk bagai tubuh ular berwarna keemasan.
* ** 4 "Perempuan-perempuan setan! Kalian hanya
mengantar nyawa datang ke sini!" Tiba-tiba saja Ki Wirayuda menerjang dengan
babatan pedangnya. Srika-
ton yang sedari tadi menunggu-nunggu kehadirannya
melesat menyambut.
"Mari kita perhitungan, Ki Wirayuda...!" Tubuh Srikaton berjumpalitan di udara
seraya ia memutar
Pedang Ular Emas. Tapi mana mau Wintara membiar-
kan tindakan itu. Cepat pula ia bergerak mundur lan-
carkan pukulan ke atas.....
"Bug!" Tepat mengenai pinggang Srikaton
Munggel. Perempuan itu memekik hinggap dengan
sempoyongan. Bahkan ia hampir saja kena sambaran
pedang Ki Wirayuda.
Ternyata nenek sakti penguasa Gunung Tung-
gul pun tidak tinggal diam. Serta merta ia maju menjurus ke arah Wintara.
Pendekar Kelana Sakti ini tidak kalah siap. Hantamannya menyambut serangan
Nilasari Grewek. Terhadap perempuan berusia lanjut ini
Wintara tidak segan-segan lancarkan pukulan keras.
Karena ia tahu siapa adanya Nilasari Grewek. Terasa sekali hantaman-hantaman
nenek itu sangat mematikan. Jurus-jurus Jari Tombak mengais-ngais menga-
rah jantung, tidak henti-hentinya Wintara keluarkan jurus Menyibak Tirai Bayu,
sehingga hantaman-hantaman Jari Tombak selalu meleset.
Saat itu lima jurus pedang sudah membentang
di hadapan Ki Wirayuda. Ia sendiri sudah kewalahan
menghindari sambaran-sambaran Pedang Ular Emas.
Tidak menyangka pula kalau Srikaton Munggel kini
demikian hebat. Sukar sekali bagi Ki Wirayuda untuk membalas serangan.
Kepandaian Srikaton Munggel memang seting-
kat lebih tinggi dari Ki Wirayuda, Srikaton Munggel sudah berada di atas angin.
Apalagi sekarang ia menggunakan Pedang Ular Emas. Manakala pedang itu te-
rus menyabet berkali-kali. Dengan nekad ia menyam-
but lancarkan babatan pedangnya. Tapi yang ia lihat sungguh diluar dugaan.
Sambaran pedang Srikaton
Munggel yang berkali-kali menghantam memutuskan
pedang Ki Wirayuda menjadi potongan-potongan besi
mengkilat. Pedang di tangan Ki Wirayuda benar-benar pu-
pus. Yang tersisa tinggal beberapa senti lagi dari ga-
gang pedang. Mana mampu ia menggunakan pedang
itu lagi. Terpaksa pula ia menghadapinya dengan tangan kosong.
"Sudah kubilang, Ki Wirayuda. Kau harus tahu
akibat perbuatan mu terhadap Kakang Gentara Karma!
Kau harus menebusnya dengan nyawamu!" Kuat-kuat Srikaton Munggel lepaskan
babatan pedang.....
"Swwwwiiiiiiiiit...!" Ki Wirayuda cepat bergulir.
Meski cepatnya ia menghindar, tak urung punggung-
nya kena sambar juga.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Sebentar lagi kepalamu
yang akan menggelinding!" Srikaton Munggel makin sengit lancarkan serangan.
"Perempuan sundal! Kita boleh mati bareng!"
ujar Ki Wirayuda. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan
Srikaton Munggel yang terus menerus mencecar den-
gan babatan pedang. Terpaksa pula Ki Wirayuda ber-
gulingan untuk menghindarinya.
Melihat itu pun, Wintara sempat meninggalkan
pertarungannya dengan Nilasari Grewek. Gerakannya
yang cepat bagai angin memapak serangan Srikaton
Munggel. Perempuan itu tidak menyangka kalau Win-
tara akan menyerang secara mendadak.
Tahu-tahu saja hantamannya bersarang di pe-
rut, sudah tentu ia gagal melepaskan babatan pedangnya terhadap Ki Wirayuda. Ia
memaki habis-habisan.
Saat itu pun telah datang Nilasari Grewek di samping Srikaton Munggel.
"Pengecut! Kau lawanku Pendekar ingusan!"
bentak Nilasari Grewek, nampaknya ia tak mau keha-
bisan lawan. "Kalian boleh berdua menghadapi aku perem-
puan-perempuan sesat!" jawab Pendekar Kelana Sakti.
Ki Wirayuda sudah berdiri siap lancarkan serangan la-gi.
"Mari kita hadapi bersama kedua wanita busuk
ini, Wintara."
"Hem.... Bagaimana keadaanmu, Ki?" kata Wintara terus mengawasi gerak gerik dua
perempuan pen- guasa Gunung Tunggul.
"Tidak apa-apa. Selama berada di sampingmu
aku tidak perlu takut." jawab Ki Wirayuda mantap.
"Jangan selalu berharap keselamatanmu bera-
da di tanganku. Dua wanita ini memiliki ilmu yang
tinggi. Salah-salah kita berdua bakal tewas."
"Kenapa harus kasak kusuk macam anjing gu-
dik! Hadapi ini!" Nilasari Grewek menghardik serangannya deras lepaskan dua
hantaman sekaligus.
"Cwwiiiiiiiit...!" Pedang Ular Emas di tangan Srikaton Munggel berdesing
menyambar kepala mereka.
Tidak kepalang Wintara lepaskan hantaman Tinju
Bayu Delapan Penjuru. Maka kedua perempuan ini
mendadak mundur. Keduanya merasakan benturan
hantaman itu demikian kerasnya.
Demi keadaan mereka yang mulai mundur-
mundur itu, Ki Wirayuda makin bersemangat lancar-
kan serangan, meskipun dengan tangan kosong. Puku-
lannya menderu-deru ke arah Nilasari Grewek.
Tentu saja hal itu merupakan tindakan yang
salah. Dia lupa akan siapa adanya Nilasari Grewek.
Serta merta nenek berambut putih ini lepaskan sebuah hantaman keras....
"Deeeer!" Ki Wirayuda memekik hebat, tubuhnya mencelat sangat jauh dan jatuh
berdegum di ta-
nah menyemburkan darah. Kiranya hantaman Tombak
Gunung telah mematahkan beberapa tulang iganya.
Meski dalam keadaan terluka itu Ki Wirayuda
tetap bangkit bermaksud membalas serangan. Wintara
yang sibuk menghadapi , babatan-babatan Pedang
Ular Emas sempat melihat Ki Wirayuda jatuh bangun
terkena hantaman Tombak Gunung Nilasari Grewek.
Maka demi melihat itu Wintara tidak tanggung-
tanggung lepaskan hantaman paling dahsyat....
"Buuuug!" Bayu Menghempas Gelombang
membuat Srikaton Munggel terhuyung mundur. Pada
kesempatan itu Wintara meninggalkan lawannya. Lesa-
tan tubuh pemuda kekar ini langsung hinggap meng-
hadapi Nilasari Grewek.
Nenek berambut putih ini sudah tahu akan ke-
datangan Pendekar Kelana Sakti. Maka Nilasari Gre-
wek langsung menyambut dengan Tombak Gunung-
nya. Demikian pula dengan Wintara. Sebagai seorang
pendekar yang banyak makan pengalaman ia tidak
hanya berdiri mematung menunggu serangan lawan.
Hantaman Tinju Bayu Delapan Penjuru dihempaskan-
nya di hadapan Nilasari Grewek, maka:
"Bledaaaaar...!" Kedua hantaman mereka bera-du nyaring. Nilasari Grewek memekik
terhuyung ke belakang. Hampir saja ia terjatuh terserimpat kakinya sendiri.
Wintara hanya terdorong dua langkah. Namun sebenarnya hantaman nenek berambut
putih ini mengena telak di tubuh Pendekar Kelana Sakti. Namun
Wintara bisa menyembunyikan rasa sakitnya.
Srikaton Munggel berjingkat maju. Pedang Ular
Emas terhunus ke depan. Ia belum berani maju. Sen-
gaja ditunggunya Nilasari. Dan mereka bisa melancarkan serangan berdua.
"Mari kita kepruk bersama-sama pendekar sial
ini, Guru!" Srikaton Munggel mementang jurus. Nilasari berdiri di samping murid
tunggalnya. Ia kerahkan tenaga dalamnya untuk melepaskan pukulan Tombak
Gunung lagi. Melihat keduanya murka, Wintara bersiap-siap
pula dengan pukulan-pukulan ampuhnya.
Dua perempuan penguasa Gunung Tunggul ini
memang berniat menyerang serempak. Maka Nilasari
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Grewek memberi aba-aba dengan dengusan nafasnya.
Keduanya maju menerjang. Srikaton Munggel lepaskan
babatan-babatan pedang menyilang sekuat tenaga. Ni-
lasari Grewek lontarkan hantaman Tombak Gunung
disertai tenaga
dalam penuh. Pedang bergulung-gulung bercui-
tan juga hantaman-hantaman nenek berambut putih
menderu-deru menyambar keras.
Wintara mundur selangkah memapaki hanta-
man Nilasari Grewek, juga ia harus merunduk serta
berkelit menghindari babatan Pedang Ular Emas. Tapi ia masih sanggup lepaskan
pukulan Bayu Menghempas Tebing.....
"Splaaaak!" keduanya seperti terhuyung. Serangan Wintara tidak berhenti sampai
disitu. Serta merta ia melanjutkan serangannya lagi dengan Puku-
lan Tinju Rayu Delapan Penjuru.... '
"Blaaaaaaar!"
Keduanya kontan bergulingan. Keduanya pula
menyemburkan darah.
Mereka betul-betul kena batunya. Pendekar Ke-
lana Sakti bukan orang yang mudah disentuh. Hal itu pula membuat nyali kedua
perempuan penguasa Gunung Tunggul jadi ciut.
* ** 5 Nenek berambut putih ini menggeliat mengu-
rangi rasa sakit. Tapi sebenarnya ia segan untuk
menghadapi pendekar itu lagi. Ia sudah dapat mengu-
kur akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti yang se-
tinggi langit itu. Pukulan apalagi yang akan dikerahkan Nilasari Grewek" Sudah
tidak ada. Tombak Gu-
nung satu-satunya jurus andalan nenek berambut pu-
tih itu. Murid tunggalnya bangkit terhuyung-huyung.
Karena pukulan Tinju Bayu Delapan Penjuru tadi
mengena telak di tubuhnya. Pedang Ular Emas dalam
tangannya bergetar. Ia tidak berani menyerang sendiri.
Srikaton Munggel hanya menunggu perintah gurunya.
Tapi rupanya Nilasari Grewek tidak punya cara
lain. Cepat kilat ia menyambar lengan Srikaton Munggel. Perempuan ini tidak
menolak saat gurunya mem-
bawa dirinya menyingkir jauh-jauh. Wintara lepaskan lagi sebuah hantaman. Tapi
kedua perempuan itu sudah terlanjur melarikan diri. Dalam beberapa kejap sa-ja
keduanya sudah melesat jauh.
"Wintara, jangan beri mereka kesempatan lolos!
Kejar!" perintah Ki Wirayuda. Ia berdiri memegangi rusuk kirinya. Tapi Wintara
tidak memenuhi perintah
itu. Pendekar Kelana Sakti mulai melangkah mendeka-
ti Ki Wirayuda. Langkahnya agak tersendat-sendat. Setiap orang yang berada di
situ dapat melihat wajah
Wintara begitu berobah pucat.
"Maaf, Ki.... Aku tidak dapat mengejar mereka.
Karena.... Karena...." Wintara tidak meneruskan kata-katanya. Tubuh Pendekar
Kelana Sakti seperti menge-
jang. Sesaat kemudian....
"Hroooooek...!" Darah kental hitam menyembur dari mulut Wintara. Ki Wirayuda
maupun seluruh anak buahnya mendadak terkejut. Kiranya Wintara
terluka pula. Mungkin tadi ketika Nilasari melancarkan pukulan Tombak Gunung. Ki
Wirayuda sendiri
hampir tidak dapat berjalan. Bahkan tulang iganya
mungkin ada yang patah. Karuan saja para murid Ki
Wirayuda terpecah menjadi dua. Sebagian mengeru-
bung Wintara, sebagian lagi menolong Ki Wirayuda.
"Terima kasih.... Aku tidak apa-apa, kalian tolong saja Ki Wirayuda. Bawa beliau
langsung ke da-
lam." ujar Wintara. Keadaannya memang segera pulih.
Beruntunglah ia masih dapat bertahan saat kedua pe-
rempuan Penguasa Gunung Tunggul menyerang. Ka-
lau kedua perempuan itu masih dapat melancarkan
serangan-serangan lagi pastilah Wintara sudah menja-di bubur. Bersyukur pula
Pendekar Kelana Sakti ini, karena kedua penguasa Gunung Tunggul telah kalah
mental. Anak buah Ki Wirayuda sibuk memapah. Mere-
ka berduyun-duyun membawa masuk ke dalam, tubuh
Ki Wirayuda. Wintara sudah pulih melangkah mengi-
kuti mereka. Tapi semua orang-orang yang berjalan di belakang dikejutkan oleh
sesuatu. Jelas sekali suara derap langkah kuda mema-
suki pekarangan mereka. Wintara yang berjalan paling belakang melihat seorang
pemuda memegangi tubuh
seorang perempuan di atas kudanya. Langkah kuda
makin pelan saat memasuki ke dalam pelataran.
Anak buah Ki Wirayuda segera berbalik menge-
pung kuda itu. Pada saat-saat seperti ini mereka perlu kecurigaan terhadap
orang-orang asing. Melihat sikap yang berhati-hati itupun pemuda di atas kuda
ini bersikap ramah.
"Saudara-saudara sekalian, maafkan kami yang
kurang sopan ini. Aku, Arso Lumbing hendak meminta
pertolongan terhadap Ki Wirayuda." ujar pemuda itu yang mengaku dirinya Arso
Lumbing. "Gadis yang bersamaku ini tengah terluka. Sa-
tu-satunya tempat pertolongan adalah tempat ini. Aku berharap kalian sudi
mempertemukan aku dengan Ki
Wirayuda." kata Arso Lumbing ramah. Wintara hanya
mengawasi pemuda itu. Arso Lumbing balas menatap
dengan senyum bersahabat. Yang lain perlahan me-
nyingkir memberi kelonggaran jalan. Mata mereka se-
mua tidak lepas menatap sosok Arso Lumbing meme-
gangi tubuh seorang gadis bersimbah darah.
Mereka memang pernah dengar nama Arso
Lumbing putra dari Resi Wesakih yang kosen dalam
rimba persilatan. Tapi mengenai siapa adanya Arso
Lumbing itu tidak satu pun yang mengenali.
Arso Lumbing menatap jauh ke dalam gedung.
Matanya mendadak menyipit saat dilihatnya Ki Wi-
rayuda duduk bersandar pada dinding serambi. Bebe-
rapa anak buahnya tengah memijiti. Pemuda ini dapat mengetahui kalau Ki Wirayuda
tengah terluka.
"Apa yang telah terjadi di sini?" tanya Arso Lumbing. Wintara cepat menjawab....
"Kami baru saja diserang oleh dua perempuan
sesat penguasa Gunung Tunggul. Sukurlah Ki Wirayu-
da hanya terluka ringan."
"Astaga.... Kedatangan aku ke sini akan me-
nambah susah saja. Sungguh aku tidak tahu kalau
terjadi sesuatu di sini. Lalu bagaimana dengan kedua perempuan sesat itu?" kata
Arso Lumbing. Pemuda itu tetap di atas kudanya. Hal itu bukan berarti Arso
Lumbing sangat angkuh. Karena ia harus terus meme-
gangi tubuh gadis berlumur darah.
"Ah, aku pikir orang-orang Ki Wirayuda tidak
keberatan memberi pertolongan. Sudah menjadi kewa-
jiban berbuat tolong menolong. Apalagi kita berdiri pa-da pihak aliran lurus.
Silahkan." sambut Wintara bermaksud membantu menurunkan gadis itu.
Arso Lumbing tidak menolak.
Wintara memapah membawa masuk ke dalam
gedung. Arso Lumbing turun dari kudanya mengikuti
langkah-langkah di Wintara. Ia membetulkan letak
benda panjang terbungkus di punggungnya. Pemuda
ini terus melangkah masuk mendekati sosok Ki Wi-
rayuda yang hampir pingsan. Dalam kesamaran pan-
dangannya itu, Ki Wirayuda masih dapat melihat kedatangan seorang pemuda yang
sangat dikenalinya betul.
Namun untuk menyebutkan namanya, Ki Wirayuda
berusaha mengingat-ingat....
"Kau.... Kau...?" Ki Wirayuda hendak mengangkat tubuhnya. Tapi rasa sakit di
sekitar rusuknya menyengat hebat. Rintih Ki Wirayuda tertahan. Arso
Lumbing berjalan ke sampingnya.
"Aku Arso Lumbing, Paman Ki Wirayuda. San-
gat disayangkan kalau pertemuan kita dalam keadaan
seperti ini." ujar Arso Lumbing. Ki Wirayuda tertawa mengekeh.
"Justru aku berterima kasih dalam keadaan
begini kau bisa menyambangi ke mari." kata Ki Wirayuda, lalu Ki Wirayuda
meneruskan kata-katanya la-gi...... "Bagaimana keadaan Resi Wesakih" Sudah la-ma
aku tidak menengok beliau."
"Ayahku baik-baik saja, Paman. Aku hanya ke-
betulan lewat sini, dan juga bermaksud...." Arso Lumbing ragu-ragu mengutarakan
maksudnya. "Sobat Arso Lumbing ini membawa seorang ga-
dis yang tengah terluka, Ki. Keadaannya sangat parah.
Dan harus mendapat perawatan sekarang juga." ujar Wintara sambil meletakkan
tubuh gadis itu di sebuah balai. Melihat itu Ki Wirayuda menghela nafas.
Bagaimana ia mau menolong orang kalau ia sendiri tengah
terluka juga. Wintara cukup mengerti akan hal itu.
"Terlambat sedikit saja menolong, gadis ini tidak akan tahan lagi. Biarlah aku
yang akan menanga-
ni." kata Pendekar Kelana Sakti. Mendengar ucapan Wintara, Arso Lumbing merasa
lega. "Siapa gadis ini sebenarnya, mengapa anak Ar-
so Lumbing ingin menolongnya mati-matian?" tanya Ki Wirayuda yang nampaknya
mulai setuju dengan usul
Wintara. "Entahlah...." tukas Arso Lumbing. "Tapi melihat dari pakaiannya pasti gadis ini
seorang tokoh persilatan juga. Aku yakin lukanya itu bekas babatan pedang.
Untunglah hanya tergores sedikit."
"Kalau begitu bawa saja ia masuk ke dalam
kamar. Luka-lukanya mesti dibersihkan." ujar Ki Wirayuda. Wintara mengangguk ke
arah Arso Lumbing.
Ia mengerti maksud Wintara. Maka Arso Lumbing se-
gera membawa tubuh gadis itu ke dalam sebuah ka-
mar. Ki Wirayuda memanggil beberapa pembantu pe-
rempuan, mereka ditugaskan untuk mengganti pa-
kaiannya yang koyak serta membersihkan luka-
lukanya. Arso Lumbing keluar lagi bersama Wintara.
"Sebelumnya aku yang merepotkan ini berteri-
ma kasih sekali atas keringanan tangan kalian. Sekali lagi aku ucapkan terima
kasih. Karena secepat ini pula aku harus pamit mundur. Resi Wesakih telah
menugaskan aku untuk keperluan sesuatu." kata Arso Lumbing tertunduk. Ia merasa
tidak enak sekali harus meninggalkan mereka secepat itu. Ki Wirayuda nampak
mengerutkan kening.
* ** 6 Sepertinya Ki Wirayuda teringat akan sesua-
tu.... "Oh, ya... ya.... Aku baru ingat sekarang. Bu-
kankah Resi Wesakih telah menjodohkan engkau den-
gan seorang putri dari perguruan Pedang Ular?" tukas Ki Wirayuda.
"Sebenarnya memang demikian, Paman. Hari
ini pula aku harus menjemput calon istriku." jawab Arso Lumbing.
"Sayang sekali keadaan kami seperti ini. Jadi
tidak bisa ikut mengantar." ujar Ki Wirayuda.
"Ah, tidak mengapa, Paman. Akupun cukup
mengerti."
"Kalau begitu pergilah. Kami di sini semua me-
restui atas pertunangan kalian. Juga jangan khawatir, gadis ini akan kami rawat
baik-baik." Wintara ikut bicara. "Terima kasih, aku pasti ke mari lagi untuk
menengok gadis itu. Permisi...." Arso Lumbing beri salam. Ki Wirayuda
mengangguk. Wintara mengantar Ar-
so Lumbing sampai mendekati kudanya.
"Sampai jumpa lagi, Sobat. Nanti kita akan bertemu lagi." Tak ketinggalan ia
memberi salam pada Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini tersenyum mengangguk. Arso
Lumbing tidak menunggu waktu lagi. Ia langsung memacu kudanya meninggalkan
tempat pemukiman Ki Wirayuda.
Sementara itu dua perempuan penguasa Gu-
nung Tunggul berjalan tersaruk-saruk. Mereka mene-
lusuri jalan berbatu. Langkah-langkah Nilasari Grewek agak lambat, karena memang
ia tengah terluka. Srikaton Munggel tidak kurang suatu apa. Ia hanya merasa
kehabisan tenaga. Melihat gurunya itu berjalan payah, Srikaton Munggel tidak
perduli. Ia sengaja berjalan paling dulu.
"Murid dogol, tunggu aku! Tidak kasihankah
melihat gurumu seperti ini." Nilasari Grewek berjalan
tertatih-tatih.
"Masih untung kita dapat cepat-cepat kabur.
Mungkin kau sudah mati duluan. Mana jurus ampuh
Tombak Gunung itu" Menghadapi anak ingusan itu sa-
ja sampai lari terbirit-birit." jawab Srikaton Munggel acuh. Tapi ia
menghentikan langkahnya menunggu
sang guru yang berjalan menyusul tersaruk-saruk.
"Dasar murid sialan. Menyesal aku mengu-
rusmu sejak kecil. Tidak mau mampus disambar kilat!"
gerutu nenek berambut putih. Tak urung juga Srikaton Munggel membantu gurunya
berjalan. "Kalau Pendekar Kelana Sakti itu masih tetap
berada di Sungkawarang, kita-kita sebagai pendekar
sesat akan tidak mendapat muka. Dengan apa lagi kita menyingkirkan pendekar sial
itu" Jurus Tombak Gunung tidak berarti, Pedang Ular Emas sama sekali tidak
berpengaruh. Ilmu apa sebenarnya yang dimiliki
pendekar sial itu." Srikaton bergumam.
"Sudah jangan ngoceh terus. Pusing aku men-
dengarkan celotehmu. Sebaiknya kau pergi saja ke ko-ta. Carikan aku obat."
Perintah Nilasari Grewek. Sambil mendorong tubuh Srikaton Munggel.
"Bagaimana guru bisa sampai ke puncak sa-
na?" ujar Srikaton Munggel. Nenek berambut putih memandang melotot.
"Aku jangan dianggap remeh. Jelek-jelek aku
ini gurumu. Aku masih bisa mencapai puncak Gunung
Tunggul dibanding menghadapi pendekar sialan itu!"
bentaknya. Srikaton Munggel merungkut. "Cepat berangkat! Kembali secepatnya!"
bentaknya lagi. Nilasari Grewek melangkah berpisah. Srikaton Munggel juga
melangkah lesu.
Tapi dalam beberapa saat nenek penguasa Gu-
nung Tunggul ini berbalik lagi.
"Srikaton...! Tunggu dulu!" Nenek yang tadi ber-
jalan tertatih-tatih mendadak berlari cepat ke arah Srikaton Munggel.
"Ada apa lagi sih" Aku pasti balik membawa
obat untuk luka-lukamu." sambut Srikaton Munggel.
"Seharusnya kau tidak perlu membawa Pedang
Ular Emas. Hal itu akan membahayakan dirimu. Aku
khawatir orang-orang persilatan mengepung mu bera-
mai-ramai." kata Nilasari Grewek. Apa yang di-
ucapkannya memang benar. Srikaton Munggel tidak
perlu berpikir panjang. Maka ia langsung berikan saja pedang itu.
"Ambillah untukmu. Aku tidak perlu barang
Pendekar Kelana Sakti 14 Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rongsokan itu." kata Srikaton Munggel.
"Hus! Ngomong sembarangan. Gini-gini benda
pusaka, tahu!"
Srikaton Munggel tidak perduli ia terus me-
langkah cepat meninggalkan gurunya. Buat apa Pe-
dang Ular Emas kalau tidak mampu mengalahkan seo-
rang bocah ingusan macam Pendekar Kelana Sakti, pi-
kir Srikaton Munggel. Dalam hatinya terselip pula ren-cana lain. Ia tidak perlu
lagi mengikuti jejak Nilasari Grewek. Untuk apa mengikuti nenek peyot yang sudah
tidak mampu. Tiga puluh tahun lamanya mengekor
bersama Nilasari Grewek tidak pernah merajai dunia
persilatan. Malah sekarang harus lari kocar kacir di bawah kaki Pendekar Kelana
Sakti. Permintaan Nilasari Grewek untuk membawa-
kan obat-obatan tidak perlu lagi dituruti, sebab Srikaton Munggel sudah
menentukan hidupnya sendiri.
Perduli apa dengan Nilasari Grewek, guru yang selama tiga puluh tahun
mengurusnya. Mau mati kek.... Mau
keriput kek.... Mau mati berdiri kek, masa bodoh!
Bagi perempuan cantik seperti Srikaton Mung-
gel, mudah saja ia mencari jalan kehidupannya. Apala-gi ia mantan tokoh sesat.
*** Apapun yang ia lakukan tidak pernah memper-
timbangkannya terlebih dahulu.
Sesiang itu ia sudah berada dalam sebuah desa
yang sangat ramai. Ia berjalan menunjukkan lenggak
lenggok tubuhnya yang aduhai. Pandangannya meno-
leh kanan kirim melihat keramaian desa itu. Pada sisi jalan banyak terdapat
tempat-tempat penginapan dan
kedai-kedai. Para pendatangnya pun banyak yang ber-
datangan. Ada beberapa tempat penginapan yang selalu
ramai. Siang malam selalu dikunjungi para tamu. Ten-tu saja penginapan itu
selalu ramai. Selain tempatnya besar dan bersih, tempat itu disediakan wanita-
wanita penghibur.
Tak urung kemunculan Srikaton Munggel yang
kebetulan melewati penginapan itu, menjadi perhatian para hidung belang. Sampai
ada yang tidak tahan, co-ba-coba menggoda. Diperlakukan seperti itu, Srikaton
Munggel makin genit mempermainkan mereka. Sudah
tentu para wanita penghibur yang kebetulan melihat-
nya jadi iri hati.
Kecantikan Srikaton Munggel jauh lebih tinggi
dibanding para wanita penghibur. Penampilannya juga lebih seksi. Dia mengenakan
pakaian yang sangat me-nyolok mata.
Pahanya yang putih mulus nyaris telanjang
tanpa penutup. Tidak ada para wanita penghibur yang seberani itu.
Beberapa pentolan dari lembah hitam tersebut
datang menghadang. Srikaton Munggel menyambut
mereka dengan senyuman genit. Tiga orang laki-laki
penghadang ini langsung mengurungnya. Tindakan
mereka menjadi perhatian orang banyak.
Siapapun sudah mengetahui watak tiga lelaki
yang menguasai desa itu. Sudah banyak para wanita
yang jatuh menjadi korban nafsu mereka. Mereka akan bertindak kasar bila seorang
wanita coba-coba menolak keinginannya.
"Nona.... Tidak sembarangan orang asing me-
masuki desa ini." tegur mereka. Mata mereka tidak lepas menatap tubuh yang
menggiurkan itu.
"Maafkan aku, orang-orang gagah. Aku tidak
tahu tata krama peraturan desa ini." ujar Srikaton Munggel. Gerakannya lemah
gemulai membuat setiap
orang yang melihatnya makin gemas.
"Bagus kalau kau menyadari akan kesalahan-
mu. Kau harus membayar upeti terlebih dahulu pada
kami." kata mereka lagi.
"Upeti" Aku tidak punya apa-apa."
"Jangan pura-pura bodoh. Tubuhmu saja se-
rahkan pada kami." Seseorang dari mereka menarik lengan Srikaton Munggel.
Perempuan cantik ini tidak menolak. Dua orang temannya mengikuti. Mereka menuju
sebuah penginapan yang cukup ramai.
"Tunggu dulu...." Srikaton Munggel berhenti melangkah. Lalu:
"Tidak mungkin aku harus melayani kalian ber-
tiga." Mata Srikaton mengerling. Ketiga laki-laki ganas ini saling pandang.
"Kami biasa melakukannya bergiliran, nona.
Jangan coba-coba menolak keinginan kami." bentak mereka.
"Aku tidak mau. Aku tidak biasa seperti itu. Terus terang saja aku perlu satu
orang di antara kalian."
jawab Srikaton Munggel. Sikapnya menantang namun
memberi harapan pada ketiga orang laki-laki ini. Keti-ganya jadi serba salah.
* ** 7 "Atau sama sekali kalian tidak akan menikmati
'upeti' ku?" gertak Srikaton Munggel. Seraya ia hendak pergi begitu saja. Tapi
seseorang cepat meraih kembali lengannya.
"Tunggu, Nona." kata salah seorang dari mereka. Orang itu paling seram.
Brewoknya memanjang
sampai sebatas dada.
"Aku pemimpin mereka. Karena aku paling he-
bat di antara mereka. Namaku Rengga Loka." kata laki-laki penuh brewok menatap
pada kedua temannya.
"Hm.... kalau begitu kaulah yang berhak atas
diriku." Srikaton Munggel langsung menggandeng menuntun laki-laki bernama Rengga
Loka memasuki se-
buah penginapan. Semua orang yang tadi menyaksi-
kan penghadangan mereka jadi terheran-heran. Baru
kali ini mereka melihat seorang gadis cantik dapat me-lemahkan ketiga orang
pentolan lembah hitam terse-
but. Hari makin siang dengan sinar matahari men-
corot menggarang bumi. Rengga Loka merasa bangga
mendapatkan seorang wanita cantik bernama Srikaton
Munggel. Perempuan itu duduk di sebelahnya mene-
mani laki-laki brewok itu minum arak.
Para tamu yang kebetulan singgah pada pengi-
napan itu bersikap hormat pada Rengga Loka. Wanita-
wanita penghibur lainnya mencibir melihat kegenitan Srikaton Munggel. Ia tidak
mengelak pula saat Rengga Loka menciumi habis-habisan di ruangan itu. Rintihan-
rintihan Srikaton Munggel membuat suasana ma-
kin panas. Apalagi Rengga Loka semakin mabuk. Di
dalam dekapan perempuan itu Rengga Loka semakin
tidak berdaya. Tamu-tamu semakin berdatangan. Yang hanya
makan, yang minum, ada juga yang hendak menginap
di penginapan itu. Para wanita penghibur berebut
mencari mangsa. Tawa-tawa cekikikkan perempuan
memenuhi suasana panas ruangan.
Saat itu seorang pemuda gagah memasuki
ruangan itu. Ia memilih sebuah meja yang masih ko-
song. Benda panjang yang terserong di punggungnya
diletakkannya di atas meja. Kemudian ia memesan
makanan pada salah seorang pelayan yang hilir mudik menyambut para tamunya.
Pemuda itu pun tidak luput dari serbuan para
wanita penghibur. Dikerubungi oleh wanita-wanita itu pemuda tampan jadi kikuk.
Kehadiran pemuda tampan ini juga jadi perhatian Srikaton Munggel yang duduk pada
meja sebelahnya.
"Aih, tampannya...!" Tidak sadar ia memekik kagum. Rengga Loka yang hampir
terlena dalam pelukan Srikaton Munggel tersentak kaget. Ia mengira Srikaton
memuji dirinya, maka ia semakin terlena menciumi jenjang leher Srikaton Munggel.
Sedangkan Srikaton Munggel sendiri tidak henti-hentinya menatap pemuda itu.
Rayuan-rayuan para wanita penghibur tidak
mengena. Pemuda tampan yang tidak lain Arso Lumb-
ing ini bersikap dingin. Maka satu persatu perempuan-perempuan itu mulai
menyingkir, "Maaf.... Tiada maksud apa-apa aku singgah di
sini. Aku hanya ingin mengisi perut, lain tidak. Sebaiknya kalian menyingkirlah.
Masih banyak tamu-
tamu lain yang perlu hiburan." ujar Arso Lumbing.
Saat itu pelayan sudah datang membawakan pesanan.
"Sudah Sana cari yang lain..... Laki-laki kan banyak di sini." gurau pelayan
itu. Karuan saja para perempuan penghibur jadi kabur. Ada juga yang
menggerutu. "Huuuuh.... Mentang-mentang cakep, sombong
benar dia. Perempuan seperti apa sih yang dia mau."
gerutu mereka meninggalkan meja Arso Lumbing. Pe-
muda ini hanya menggelengkan kepala mendengar
sumpah serapah mereka yang bermacam. Tanpa sadar
pula ia menatap seorang perempuan berusaha meno-
lak dari dekapan seorang lelaki brewok. Srikaton
Munggel lemparkan senyum ke arah Arso Lumbing.
Pemuda tampan ini membalas senyumnya pula, lalu ia
tidak perduli mulai menikmati pesanannya.
Di lain pihak, Srikaton Munggel meronta-ronta
melepaskan diri dari pelukan Rengga Loka. Dalam ha-
sratnya ingin sekali Srikaton menaklukkan pemuda
tampan itu. Maka ia berusaha sebisanya agar terlepas dari dekapan Rengga Loka.
"Sebentar, sayang.... Aku tidak akan lama-
lama...." Rayu Srikaton Munggel. Rengga Loka akhirnya melepaskan pelukannya.
Secepatnya Srikaton
Munggel meninggalkan laki-laki itu. Langkahnya hati-hati mendekati Arso Lumbing.
Arso Lumbing menyadari kalau ia didatangi
seorang perempuan yang baru saja ditatapnya. Perem-
puan itu kini sudah duduk di hadapan meja. Menga-
wasi Arso Lumbing. Senyumnya terkulum.
"Kenapa kau tinggalkan tamu itu?" tegur Arso Lumbing.
"Aku bukan wanita penghibur macam mereka.
Aku sama seperti dirimu dan kebetulan singgah di
penginapan ini." jawab Srikaton.
"Oh, maaf atas kata-kataku tadi. Pandanganku
terlalu cetek. Lalu siapa laki-laki brewok itu. Suami-
mukah." Arso Lumbing jadi salah tingkah.
"Bu-bukan.... Dia penguasa desa ini. Sikapnya
memang menjemukan, juga sering mengganggu wani-
ta. Seperti yang kau lihat tadi. Aku harus terpaksa menemaninya minum arak."
tutur Srikaton Munggel.
Arso Lumbing mendengus.
"Kau ingin makan?" tawar Arso Lumbing.
"Terima kasih. Aku baru saja selesai makan."
jawab Srikaton cepat. Terhadap Srikaton Munggel si-
kap Arso Lumbing agak lain. Kecantikan Srikaton
Munggel memang tidak pantas disebut wanita penghi-
bur. Ia lebih pantas disebut seorang pendamping laki-laki bangsawan atau paling
tidak seorang punggawa.
Tapi kenapa perempuan ini harus berkeliaran di sini.
Tidak tahukah kalau tempat ini tidak pantas untuk dirinya" Keakraban mereka
membuat iri para wanita
penghibur- lainnya. Kenapa perempuan asing ini bisa lebih cepat mengambil hati
pemuda ganteng itu. Apakah karena perempuan itu sangat cantik, juga seksi"
Tidak urung salah seorang dari mereka menga-
dukan hal itu pada Rengga Loka. Laki-laki brewok ini sudah terpekur mabuk arak.
Kepalanya sudah terte-lungkup di atas meja dengan pundi-pundi arak berse-
rakan. Tapi setelah ia mendengar berita yang mema-
naskan telinganya, ia cepat berjingkat. Langkahnya sempoyongan serudak seruduk
macam banteng keta-ton. Langkahnya cepat menyeruak menuju ke arah
Srikaton Munggel.
Perempuan itu nampak tengah duduk mengha-
dapi seorang pemuda tampan. Hatinya makin terbakar.
Apalagi Srikaton Munggel nampak tersenyum-senyum
selama berbicara dengan pemuda itu.
Percakapan mereka mendadak terhenti saat
Rengga Loka berdiri sangar. Srikaton Munggel berjingkat bangun. Ia lari ke
samping Arso Lumbing.
"Perempuan bangsat! Kau hendak memper-
mainkan aku" He-he-he-he.... Anak muda. Pergilah da-ri sini. Perempuan itu
milikku." bentak Rengga Loka.
Matanya garang menatap. Tapi Arso Lumbing seakan
tidak mengacuhkan bentakan itu. Ia semakin asyik
menikmati santapannya. Srikaton Munggel memeluki
pemuda itu. Tiba-tiba saja....
"Braaaak...!" Rengga Loka menggebrak meja.
Piring di hadapan Arso Lumbing sampai berderak
goyang. "Dia mengaku bukan wanita penghibur. Bagaimana bisa kau bilang perempuan
ini milikmu?" ujar Arso Lumbing. Tenang ia memegang benda panjang
terbungkus kain sutra. Lalu pemuda ini bangkit
menghadapi Rengga Loka. Serta merta Rengga Loka le-
paskan sebuah tinju. Malah ketika Arso Lumbing
membalas serangan, Rengga Loka terhuyung mundur.
Tempat itu jadi gaduh seketika. Para tamu yang
lain beringsut menyingkir. Perempuan-perempuan
penghibur berlarian ketakutan. Mereka sudah tahu
kemurkaan Rengga Loka. Pastilah pemuda tampan ini
akan mati penasaran dibuatnya.
Tapi ternyata apa yang dilihat oleh mereka, sa-
ma sekali diluar dugaan. Rengga Loka berkali-kali jatuh setiap kali ia lancarkan
serangan. Arso Lumbing selalu dapat mengincar dan lancarkan serangan balasan.
Rupanya kedua teman Rengga Loka belum be-
ranjak dari tempat itu. Mereka sejak tadi mengawasi pemimpinnya. Melihat itupun
kedua orang itu berlarian membantu Rengga Loka. Arso Lumbing tidak gen-
tar menghadapi lawannya bertambah dua orang. Serta
merta ia melompat melindungi Srikaton Munggel. Tan-
Dewi Penyebar Maut V I I 2 Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan Karya Opa Bangau Sakti 44