Pencarian

Asmara Pasak Dewa 1

Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa Bagian 1


ASMARA PASAK DEWA Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Asmara Pasak Dewa
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.10
1 DOMAS Lanangseta yang berjuluk Pendekar Pusar
Bumi itu berlari paling depan. Prabima Wardana berusaha mengejarnya, kendati
untuk itu ia harus selalu menghalau perintang yang bertubuh molek dan cantik:
Andini, putri Panglima negeri Seberang. Setiap Andini berhenti untuk menyerang
Prabima, tubuh pemuda
bertampang ganteng itu melesat ke atas, bersalto
menghindari serangan Andini. Sementara itu Lanang-
seta berlari terus sambil membawa bunga Teratai Wingit yang berhasil direbutnya
kembali dari tangan Prabima. Untuk sementara ia tak menghiraukan pertem-
puran yang terjadi antara Andini dengan Prabima.
"Larilah terus! Jangan hiraukan aku dulu. Lari, Lanang!" teriak Andini sewaktu
Lanangseta masih sering bimbang dan mengkhawatirkan keselamatan Andini.
Perasaan cinta Andini kepada Lanangseta itulah
yang membuat ia sanggup menempuh resiko, berta-
rung melawan Prabima Wardana. Sesekali Andini sem-
pat mengingat betapa kasarnya pemuda berpedang pe-
rak itu ketika hendak memperkosanya beberapa waktu
yang lalu (dalam kisah KUTUKAN JAKA BEGO). Inga-
tan itu pun yang membuat Andini bernafsu untuk
membunuh Prabima.
Ia sengaja menghadang setiap gerakan Prabima
yang berusaha merebut bunga Teratai Wingit, yaitu
bunga yang menentukan siapa lelaki yang akan men-
jadi calon istri Kirana, Putri Bukit Badai.
"Perempuan bodoh! Tak ada gunanya kau melin-
dungi Lanangseta! Minggir...!" seru Prabima yang merasa dongkol sekali kepada
Andini. Ia melancarkan
tendangan sejurus yang digerakkan dengan tubuh
berputar. Tendangannya mengenai pundak Andini
yang waktu itu berkelit ke kiri. Andini terguling jatuh akibat tendangan itu,
namun ia segera melesat bagai kupu-kupu terbang. Melayang tubuhnya, dan kakinya
berhasil mengenai kepala Prabima kendati hanya me-
nyerempet saja. Prabima segera meluncurkan tangan
kanannya pada waktu Andini mendaratkan kaki ke ta-
nah. Tangan Prabima yang menghantam wajah Andini
berhasil ditangkis oleh gerakan tari yang gemulai namun punya kekuatan tenaga
dalam yang lumayan.
"Tak semudah dugaanmu menyentuh tubuh La-
nang, Setan!" kata Andini seraya mengembangkan kedua tangannya, namun pada detik
berikutnya kaki ka-
nannya maju ke depan dengan cepat sekali. Hampir
saja Prabima kehilangan dagunya yang bersih dan in-
dah itu kalau saja ia tidak segera mendongak ke atas, menghindari tendangan kaki
Andini. Pada saat itu,
Andini melihat posisi kaki Prabima lemah; sedikit tertekuk kedua nya. Maka, kaki
kanan yang masih di
atas itu segera turun bagai kibasan pedang menyamp-
ing, lalu berputar ke bawah dan menghentak kuat ke
lutut Prabima. Tubuh Prabima oleng, dan rubuh.
Andini tidak menyerangnya lagi. Ia juga takut ke-
tinggalan jauh dengan Lanangseta. Ia segera melesat bagai belalang loncat dan
terbang. "Rasakan kebodohanmu ini, Betina Jalang...!" seru Prabima yang segera
melancarkan jarum-jarum beracun dari ujung jemarinya. Jarum-jarum itu melesat
cepat seperti hembusan angin. Tak mudah dilihat mata manusia biasa. Namun Andini
punya kepekaan tersendiri. Ia merasa ada angin berdesir dari belakangnya dalam
satu kelompok. Pasti bukan sembarang angin.
Karenanya ia segera menghentakkan kaki ke batang
pohon sebesar lengan, lalu ia bersalto ke samping dengan cepat. Pada saat itu,
jarum-jarum melesat dan
menancap pada batang pohon itu. Tidak perlu me-
nunggu sampai sepuluh hitungan, pohon itu telah
menjadi kering seketika. Daun-daunnya rontok dan
pohon itu tak akan bisa tumbuh lagi. Mati!
Lanangseta harus segera keluar dari Pulau Kramat
itu. Ia sudah sampai di pantai, namun kembali hatinya was-was akan keselamatan
Andini. Ia menunggu Andini untuk menyeberangi lautan dan menuju pantai di
seberang sana. Tetapi ketika Andini muncul, gadis itu segera berkata:
"Menyeberanglah, Lanang. Cepat! Jangan tunggu
pemuda itu mengejarmu. Aku sanggup menghadapinya
di sini!" "Andini, aku malu. Aku bisa mengalahkan dia, ta-pi...!"
"Tapi aku juga tidak ingin kalau kulitmu sampai terluka oleh kemarahan orang
itu. Biar kuhadapi. Pergilah. Pergilah menyeberang, lekas...!" seraya Andini
mendorong-dorong tubuh Lanangseta. "Lekas, aku nanti akan menyusulmu setelah
menjebak dia dalam
perangkap...!"
Lanangseta tak mengerti apa rencana Andini sebe-
narnya. Tetapi ia menyadari bahwa ia harus pergi secepatnya, menyelamatkan bunga
Teratai Wingit yang
kini ada dalam genggaman tangan kirinya itu. Ia harus segera memakan bunga
tersebut dalam upacara khusus sesuai adat leluhur Bukit Badai. Karena jika tidak
segera memakan bunga itu, Prabima akan mencari peluang untuk mencurinya lagi.
Dengan ilmu peringan tubuh yang sangat sempur-
na, Lanang menyeberangi laut dengan berlari di atas permukaan air. Permukaan
laut yang bergelombang
kecil itu bagai permadani yang dapat dilaluinya dengan mudah, bahkan sambil
berlari cepat. Setiap telapak
kaki Lanang menginjak permukaan air, seolah-olah ia menginjak sebidang agar-agar
yang sulit memercik.
Prabima yang melihat hal itu segera menyusul La-
nang. Ia berseru, "Aku juga bisa seperti kamu, Lanang!"
Namun belum sempat kakinya menginjak ke per-
mukaan air laut, tiba-tiba kedua kaki Andini meluncur cepat ke arah lengan
Prabima. Tendangan dari arah
samping itu membuat Prabima terpental dan bergul-
ing-guling di tanah.
"Lanang! Hadapi aku jika kau memang jantan! Jangan lari, Lanang...!" teriak
Prabima dengan gemas, karena sebelum ia selesai bicara, Andini yang bergaun
tipis warna merah muda itu segera melancarkan puku-
lan jarak jauhnya yang diberi nama Pukulan Bidadari Senja. Pukulan itulah yang
membuat beberapa orang
Pulau Kramat mati dalam keadaan hangus di bagian
tubuh yang terkena pukulan itu.
Tapi kali ini musuh Andini tidak mudah untuk di-
robohkan. Prabima melihat gelagat tak baik dari pukulan Andini itu, ia segera
mengeraskan kedua tangan
dan kakinya, berdiri dengan sedikit merendah dan
bungkuk, kemudian ia menghentakkan tangan kanan-
nya. Dari tangan kanannya itu keluar semacam perci-
kan api yang membentuk hawa racun dari pukulan Bi-
dadari Senja. Kedua tenaga dalam itu berbenturan dan mengakibatkan suatu ledakan
yang menggema. Tubuh Andini terdesak mundur dua langkah, demi-
kian tubuh Prabima.
Sekali lagi Andini melancarkan pukulan Bidadari
Senja. Gerakan tangannya yang melambai bagai orang
menari itu nyaris tidak ketahuan jika itu adalah sebuah pukulan yang sangat
berbahaya. Tapi Prabima
Wardana rupanya tahu akan hal itu, sehingga karena
tak sempat memberi balasan seperti tadi, ia hanya me-loncat ke samping dan
pukulan Andini itu membentur
bongkahan karang di belakang Prabima.
Lanangseta sudah mendarat di pantai seberang pu-
lau itu, bahkan ia segera berlari menyelusup hutan
paya, dan berlari membawa bunga Teratai Wingit ke
Bukit Badai. Ia tak tahu bahwa kali ini Andini agak ke-teter karena Prabima
menggunakan pedangnya yang
bersarung perak putih.
"Kau tidak akan mampu menandingi ku, Betina Busuk!" teriak Prabima seraya
menebaskan pedangnya ke arah perut Andini. Tubuh Andini melengkung ke belakang
dan ujung pedang itu melintas di depan perutnya hanya berjarak beberapa
centimeter saja. Gerakan
tangan kanan Prabima yang melesat ke kiri pada wak-
tu menebaskan pedang, segera disambut dengan ten-
dangan samping dari kaki kiri Andini. Prabima meng-
geloyor, nyaris kehilangan keseimbangan tubuh. Na-
mun ia kembali menyerang Andini dengan satu lonca-
tan ke atas dan melancarkan tendangan putar dari ka-ki kirinya. Tendangan itu
dapat ditangkis oleh sekelebat kain lengan baju Andini. Kemudian Andini hendak
menyerang maju, namun pedang Prabima segera me-nusuknya. Sehingga, Andini
membatalkan serangan-
nya, ia berkelit dengan merundukkan badan serendah
mungkin dalam posisi miring ke kiri. Pedang lolos, lewat di samping leher
Andini. Kaki Prabima mulai menginjak tanah kembali, tapi
belum genap berdiri keduanya, tahu-tahu kaki Andini telah menyapunya dengan
cepat, dan Prabima pun
terpental jatuh. Andini bermaksud menyerangnya den-
gan tendangan berikutnya dari arah atas Prabima. Tetapi tangan kiri Prabima
tersentak ke depan, dan keluarlah jarum-jarum beracun warna hitam dari ujung-
ujung jarinya itu. Akibatnya, Andini terpaksa berkelit ke samping dengan
menggulingkan badan beberapa
kali. Gaun merah mudanya yang longgar itu seperti kilasan sayap kupu-kupu
menyeberang taman. Indah,
namun cukup membahayakan. Sementara itu, serom-
bongan jarum beracun itu melesat ke udara dan entah mengenai apa lagi.
Dalam satu kesempatan, Andini berhasil jatuh di
dekat sebatang ranting pohon kering. Ia segera me-
mungut ranting pohon yang panjangnya satu depa le-
bih. Ranting itu ia jadikan sebilah pedang dengan kekuatan tenaga dalamnya yang
cukup hebat. Ketika
Prabima menyerang dan menebaskan pedangnya, An-
dini menangkis dengan ranting itu. Suara yang timbul akibat benturan pedang
dengan ranting menjadi nyaring. "Tiing...!" Prabima sedikit kaget, ia berhenti
menyerang. Matanya tajam memandang Andini yang juga
berdiri menunggu serangan berikutnya dengan wajah
angkuh dan mata seperti kucing marah. Diam-diam
Prabima mulai tertarik dengan kehebatan Andini. Ia
bergerak lagi dengan tiba-tiba supaya mengagetkan
Andini. Gerakan itu adalah mengayunkan pedangnya
secepat mungkin dengan kaki kanan menghentak ke
tanah, maju ke depan, pedang Prabima pun melesat
bagai hendak membelah kepala Andini. Andini me-
nangkisnya dengan kayu kering itu, sambil kaki ki-
rinya ditarik mundur dan kini ia merendahkan badan.
Sedikit. "Trang...! Tiing...! Tiing...!"
Andini menangkis setiap kibasan pedang Prabima.
Ia agak terdesak mundur karena pukulan pedangnya
begitu kuat. Andini masih bisa bertahan menangkis-
nangkis serangan pedang Prabima. Mereka bagai sepa-
sang pemain anggar yang cukup ulet. Sebab dalam sa-
tu kesempatan. Andini pun mampu mendesak Prabima
dengan ranting keringnya.
"Kuakui kau cukup ulet, Betina Jalang!" ujar Prabima sambil bermain anggar
mengimbangi serang An-
dini. "Tapi keuletan mu itu sia-sia. Ku ingatkan, tena-
gamu ini sangat sia-sia...!"
"Bagimu mungkin sia-sia, tapi bagiku tidak!" balas Andini dengan tetap
berkonsentrasi pada permainan
anggarnya. "Hiaaah...! Tak kuizinkan siapa pun menyentuh Lanangseta!"
"Hebat. Suatu pengorbanan dan kesetiaan yang hebat!" kata Prabima seraya ia
mengibaskan pedangnya bolak-balik, lalu oleh Andini ditangkisnya terus. "Apa
dasar mu mempunyai kesetiaan kepada Lanangseta,
hah" Cinta?"
"Itu urusanku! Untuk apa kau tahu, Monyet Mati.
Uhh... Mampus kau...!"
Trang...! Ting, ting...! Tiing...!
Mereka sama uletnya, sama kuatnya. Permainan
pedang Andini benar-benar tak dapat diremehkan ke-
lincahannya, sekali pun yang ia gunakan itu sebenarnya adalah sebatang ranting
kering. Namun sudah cu-
kup mewakili sebagai pedang sama kekuatannya den-
gan pedang Prabima.
Prabima sendiri masih terus menyerang Andini ba-
gai sedang berlatih. Ia kurang begitu serius, karena ia ingin tahu siapa gadis
yang dilawannya itu"
"Aku belum pernah melihatmu, Betina Jalang! Karena itu aku sangsi dengan
pertarungan ini."
"Tak perlu kau sangsikan. Percayalah bahwa sebentar lagi kau akan mati, Setan
Gropos...!" Lalu, Andini menghentakkan pedangnya beberapa kali, "Hiaat...!
Hiaat...!"
Pergelangan tangan Prabima bagai memutar dengan
cepat dalam mempermainkan pedangnya. Ia berkata
dengan nafas tak setenang semula:
"Boleh aku mati, tapi sebelumnya sebutkan dulu namamu. Aku tak ingin mati dengan
penasaran tanpa
ku tahu siapa pembunuhku," Prabima sedikit tersenyum nakal.
Andini menyerang terus, kakinya bergerak maju
mundur. Ia sangat lincah dalam hal bermain pedang
seperti itu. Ia tetap bisa bicara dengan tenang. "Namaku Andini. Lanang sering
memanggilku, Andini
Sayang...!"
"O, ya" Woow... mesra sekali kedengarannya. Lanang memanggilku Prabima, tapi
tidak pernah pakai
embel-embel Sayang di belakang namaku." Prabima menghentakkan kaki. Pedangnya
disabetkan kuat-kuat, namun ranting kering itu belum juga mau putus.
Padahal, biasanya pohon pun dapat dipenggal putus
oleh pedang Prabima, asal jangan terlalu besar. Namun kali ini, ranting yang
kecil, sepertinya sebatang baja yang sukar dilebur dalam bara api apa pun.
"Kau akan mati dengan sia-sia, Andini."
"Mati membela seorang kekasih, bukan hal yang
sia-sia," Sambil Andini berputar tubuh dan mengibaskan senjatanya ke atas, ingin
merobek perut Pra-
bima dari bawah ka atas. Tapi Prabima sempat mena-


Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

han pedang tiruan itu dengan pedangnya yang asli sebilah pedang. Sambil begitu
ia berkata sinis:
"Jangan bohong di depanku, sebab aku tahu kau
bukan kekasih Lanangseta."
"Matamu yang buta! Pantas dicungkil dengan kayu ini! Hiiaat...!" Andini
menusukkan ranting ke mata Prabima, tapi Prabima berkelit ke samping dan me-
nangkisnya dengan hentakan keras.
"kurasa kau benar-benar perempuan bodoh! Kau
cukup cantik, kau menggairahkan, kenapa kau rela
menjadi gundik Lanangseta"! Kenapa sudi menjadi is-
tri simpanannya?"
Andini semakin panas hati. Ia membabatkan senja-
tanya dengan kuat dan bertubi-tubi ke arah leher Prabima, sekalipun mampu di
elakkan dan ditangkis oleh Prabima.
"Kau menghinaku tanpa memikirkan keselamatan-
mu, Setan! Seenaknya saja mengatakan aku istri sim-
panan Lanangseta!"
"Hei, aku bicara dengan benar, kan" Bukankah Lanangseta sudah punya calon istri
sendiri?" "Dia pernah bilang begitu, tapi itu bohong! Kau sendiri terkecoh dengan tipuan
kata-katanya!" ketus Andini sambil terus bermain anggar dengan lawannya.
"Tipuan bagaimana" Ah, ah... kau ternyata belum tahu keadaan Lanangseta
sebenarnya."
Andini tidak menjawab, matanya tak berkedip da-
lam menghindari tebasan pedang lawan. Ia berkelit
dan menangkis, lalu sesekali menyerang dengan ber-
tubi-tubi. "Hei, Lanangseta memang sudah punya calon istri, bahkan dalam waktu dekat ini,
kurasa ia akan melangsungkan perkawinannya...!" Prabima sengaja me-manaskan hati
Andini. Andini sendiri tidak berbicara apa pun, namun otaknya berputar mencari-
cari kebe-naran apa yang sepatutnya ia ketahui. Karena itu, Andini membiarkan
Prabima berceloteh terus.
"Apakah Lanangseta tak pernah bilang padamu,
bahwa ia akan kawin dengan Putri Bukit Badai" Apa-
kah ia tidak bercerita padamu, bahwa untuk menjadi
suami Putri Bukit Badai itu ia harus memakan bunga
Teratai Wingit yang tadi dibawanya kabur itu" Dan
apakah kau tidak tahu, bahwa bunga itu akan meru-
bah darah siapa saja yang memakannya, menjadi satu
darah dengan leluhur Bukit Badai. Dengan perubahan
darah itu, maka ia dapat kawin dengan Putri Bukit
Badai, dan mereka akan mempunyai keturunan. Tetapi
jika ia tidak memakan bunga Teratai Wingit, namun
nekad kawin dengan Putri Bukit Badai, maka ia tidak akan mendapat keturunan, dan
perempuan itu akan
mati dalam waktu kurang lebih satu minggu setelah ti-
dur bersama Lanang. Sebab tanpa memakan bunga
itu, berarti Lanang tidak bisa mempunyai darah sama dengan Putri Bukit Badai.
Dan kalau perempuan itu
nekad kawin, maka darahnya akan berubah, menjadi
racun dan membusuk, lalu ia akan mati. Sebab itu,
Lanang sangat marah ketika bunga itu ku curi. Ia takut kalau bunga itu ku makan,
karena dengan demi-
kian, akulah satu-satunya lelaki yang dapat kawin
dengan si Cantik Bukit Badai. Dan... dan sekarang kau membantunya dalam usaha
memperoleh bunga itu,
namun di luar kesadaran kau telah berusaha mem-
buat ia meninggalkan cinta mu, dan kawin dengan pe-
rempuan lain. Kau tidak akan memperoleh apa-apa
dari dia, Andini...!"
"Bohong...!" teriak Andini amat beremosi. Wajahnya yang kuning langsat menjadi
merah, nafasnya terengah-engah. Gerakannya semakin brutal karena dilapisi
kemarahan yang sungguh membakar darahnya. "Kau bohong, Prabima!"
Prabima bersalto ke belakang, dan berhenti menye-
rang. "Itulah kenyataan yang belum kau ketahui. Karena itu sejak tadi kukatakan, bahwa
kau perempuan bodoh! Kau membela orang yang kau cintai, tapi ia sendiri akan
menjadi milik perempuan lain. Kau tidak akan memilikinya!"
"Jahaaannaaamm...!" teriak Andini melengking panjang. Ia membuang senjatanya dan
menangis sambil
tubuhnya lemas, jatuh di hamparan pasir pantai.
Prabima tersenyum tipis. Ia memasukkan pedang-
nya pada sarung pedang perak. Ia membiarkan Andini
meraung-raung dalam tangisnya. Andini tak dapat
mengendalikan diri. Ia seperti orang kena tipu mentah-mentah oleh Lanangseta.
Penyesalannya dalam mem-
bantu Lanang memperoleh bunga itu, sungguh bagai
senjata yang menghunjam hatinya. Sakit sekali!
"Kalau ku tahu bunga itu adalah syarat perkawinanmu dengan perempuan lain, aku
tidak akan sudi
membantumu sampai sekarang ini, Lanang Setaaan...!"
teriak Andini dalam tangisnya. Kakinya bergerak-gerak seperti anak kecil
menangis minta jajan. Debu pasir berhamburan dan Andini tidak perduli akan hal
itu. Ia sangat menyesal. Sangat menyesal sekali. Kegeraman
sudah bercampur dengan kemarahan. Sebentar lagi
kemarahan itu akan berubah menjadi dendam.
Prabima mendekati Andini dengan tenang, dengan
senyum kepuasan karena mampu mempengaruhi An-
dini. Ia jongkok di depan Andini. Ia yakin Andini tidak akan menyerangnya.
"Kau tertipu, Andini. Dan orang tertipu itu sangat memalukan, sekaligus
menyakitkan hati. Lebih baik
ditampar keras-keras daripada ditipu mentah-mentah,"
tutur Prabima memberi pengaruh dendam di jiwa An-
dini. "Aku tidak tahu kalau bunga itu adalah... adalah kunci dari perkawinannya. Kalau
ku tahu begitu, ku-hancurkan saja bunga itu, atau ku injak-injak seperti aku
menginjak-injak calon istrinya! Bangsat memang
Lanangseta itu...!" Andini tak peduli kata-kata itu layak atau tidak bagi
perempuan secantik dia, tapi itulah ungkapan kemarahan yang dibungkus oleh
penye- salan seumur hidup.
Prabima merasa mendapat angin. Ada peluang un-
tuk merebut bunga itu sebelum tiba saat upacara adat leluhur Bukit Badai, di
mana dalam upacara itu Lanangseta akan memakan bunga tersebut. Lalu, ia pun
berkata kepada Andini dengan senyum kelicikan yang
selalu menghiasi bibirnya.
"Banyak orang menyangka Lanangseta itu pria pu-jaan, laki-laki yang menjadi
idaman setiap wanita, pe-
muda tampan yang pantas menjadi buah impiannya
sepanjang malam. Namun di balik itu semua, Lanang-
seta adalah impian kebusukan. Banyak gadis yang di-
permainkan olehnya. Banyak gadis yang diperas tena-
ganya, dan dimanfaatkan untuk mencari bunga teratai itu. Salah satu korbannya
adalah kamu, Andini."
Andini tidak menyadari kalau saat itu ia sedang di-
hasut, ia juga tidak menyadari kalau saat itu Prabima memanfaatkan penyesalannya
untuk merubah sikap
Andini kepada Lanangseta, yang disadari Andini ha-
nyalah gejolak dendam kian membakar darah dan me-
nimbulkan kebencian yang besar pada diri Lanangseta.
Ia merasa cintanya kepada Lanang seperti sebuah
bungkus nasi yang dibuang begitu saja di sembarang
tempat. Sebab itu, ia meredakan tangis untuk men-
dengarkan kata-kata Prabima yang seolah menghibur-
nya. "Penilaian seorang wanita sering terpatok pada ketampanan wajah, ketegapan
badan, dan daya tarik
khusus yang ada pada diri lelaki. Ia tidak tahu bagaimana cara menilai hati
lelaki sebenarnya. Sebab itu, banyak orang yang mengatakan kalau aku ini laki-
laki brengsek, karena sikapku memang suka slonang-slonong. Padahal di balik
sikapku yang seenaknya itu, aku berjanji untuk tidak mau mempermainkan perempuan
mana pun. Kalau kau suka, aku akan cinta ke-
pada perempuan itu. Kalau aku cinta, aku akan memi-
lih hanya dialah yang harus menempati hatiku. Kutu-
tup pintu hati untuk perempuan lain, sekali pun hal itu dapat membuat aku
dibenci gadis-gadis yang ingin mencintai ku."
Diam-diam hati Andini berkata, "Baik juga pribadi pemuda ini. Ia tegas dalam
menentukan pilihan. Ia calon suami yang setia kepada istrinya..."
Dan kesempatan bungkamnya mulut Andini itu
masih terus dimanfaatkan oleh Prabima. Hasutan dan
pengaruh dimasukkan secara halus sehingga Andini
tidak merasakan adanya bahaya yang lebih kejam se-
dang mengancamnya.
"Kalau aku tahu kau adalah korban kekejian hati Lanang, aku tak akan tega
menyerangmu berkali-kali.
Tapi tadi aku sendiri sangsi, jangan-jangan kau me-
mang senang menjadi istri simpanan Lanang."
"Puihh...!" Andini meludah benci, "Kalau ku tahu Lanang punya rencana begitu,
kubunuh dia sejak kemarin!"
Prabima tertawa pendek, ia berdiri dan berkata:
"Itu mudah. Dan aku akan membantumu. Kita sa-
ma-sama sebagai orang yang dikecewakan Lanang, apa
salahnya kalau kita bergabung untuk ganti mengece-
wakan dia atau calon istrinya itu" Bagaimana" kau setuju"!"
Andini menatap Prabima dengan tajam, sorot den-
dam terpancar dari matanya. Lalu ia menjawab dengan gigi menggeletuk: "Setuju!
Sangat setuju!"
*** 2 PENDEKAR Pusar Bumi: Lanangseta, sibuk dengan
upayanya membawa lari bunga Teratai Wingit. Sece-
patnya ia harus sampai kepada Kirana, calon istrinya itu, dan melangsungkan
perkawinannya setelah men-gadakan upacara adat leluhur Bukit Badai. Sedangkan
Andini dan Prabima sudah berkomplot untuk menyerang Lanangseta. Andini dibakar
dendam dan Prabima
memanfaatkan dendam itu. Sebab Prabima mempu-
nyai maksud sendiri, yaitu ingin merebut Kirana dari
Lanangseta. Sudah lama ia merindukan pelukan kasih
Kirana, sudah lama juga ia hanyut bagai mimpi semu-
sim saja. Kirana tak pernah mau menyambut kehanga-
tan cintanya. Bahkan kini Kirana semakin membenci,
karena kemunculan Lanangseta yang berhasil mengisi
hati Kirana dengan sejuta mimpi kemesraan.
Kesibukan nafsu dan dendam, membuat mereka lu-
pa pada Jaka Bego. Pemuda kurus kerempeng itu cu-
kup berjasa juga dalam merebut kembali bunga Teratai Wingit dari tangan Prabima.
Hanya saja, sayang ia kini dalam tangan penguasa Pulau Kramat yang bergelar
Iblis Pulau Kramat. Dalam panggilannya ia sering disebut: Nyai Katri. Seorang
perempuan cantik, bertubuh sexy, dan berilmu sangat tinggi. Dialah yang pernah
menculik Lanangseta dengan Lanangseta dalam kisah
Gerhana Tebing Neraka. Nyai Katri itulah musuh lama Lanangseta sejak ia
menyandang sebutan sebagai Peri Sendang Bangkai maupun Gusti Dalem. Perempuan
cantik yang mempunyai kesadisan tersendiri itu ketika menjadi istri Penghulu
Badra bernama Areswara, namun sejak ia punya niat menguasai dunia, namanya
berganti berkali-kali.
Nyai Katri bukan orang bodoh. Ia cukup pintar, cer-
dik, dan berilmu tinggi. Jaka Bego yang kini menjadi tawanannya sempat mengagumi
ketinggian ilmu Nyai
Katri, namun juga mengagumi kecantikannya. Hanya
saja, Jaka Bego merasa jijik ketika Nyai Katri menyu-ruhnya menyaksikan apa yang
dilakukan Nyai Katri.
"Diam di tempat, dan saksikan apa yang kulakukan ini!" kata Nyai Katri ketika
itu. Jaka Bego sebenarnya ingin pergi dari halaman belakang pondok di tengah
Pulau Kramat itu, namun Nyai Katri telah menotok jalan darah Jaka Bego, sehingga
tubuh pemuda kurus
kerempeng itu tak mampu berbuat apa pun, kecuali
hanya berdiri di bawah sebuah pohon. Otak dan ma-
tanya masih mampu bekerja, sehingga ia tahu apa
yang dilakukan Nyai Katri.
Dengan mengenakan gaun tipis warna biru muda,
Nyai Katri mengangkat kedua tangannya seraya kepala mendongak ke atas. Entah
mantera apa yang di-ucapkan saat itu, yang jelas tak lama kemudian beberapa
benda melayang dan berdatangan di tempatnya.
Beberapa benda itu adalah mayat para anak buahnya.
Mayat-mayat perempuan yang pernah dikalahkan An-
dini dan Lanangseta itu melayang bagai terbang dari suatu tempat menuju ke depan
Nyai Katri. Mereka
berdiri tanpa nafas. Diam, kaku dan dingin. Bagian
tubuh mereka ada yang menghitam, dan itu adalah
akibat pukulan Bidadari Senja dari Andini (dalam kisah IBLIS PULAU KRAMAT).
Tujuh mayat berjejer bagai sebuah barisan. Nyai
Katri memandang Jaka Bego yang masih bisa berbica-
ra namun tidak mampu berbuat apa pun. Tubuhnya
kaku bagai patung. Ia mendengar jelas apa yang dikatakan Nyai Katri kepadanya.
"Kuharap kau mau bersekutu denganku, kau tidak akan ku siksa, tidak akan
kubunuh, melainkan justru akan kutambahkan ilmu kanuraganmu, seperti halnya
Putra Tunggal muridku itu, yang saat ini sedang mengejar Lanangseta."
"Dia tidak akan berhasil menangkap Lanangseta,"
geram Jaka Bego, merasa tak senang dengan sikap
Nyai Katri. "Dia akan berhasil. Kau tidak tahu, bahwa separoh dari ilmuku telah dikuasai
Putra Tunggal! Dan itu sulit ditandingi pendekar mana pun," kata Nyai Katri
dengan suara kalem, seperti seorang penyabar.
Jaka Bego ingin mengucapkan sesuatu, namun ma-
tanya menjadi membelalak ketika ia melihat apa yang dilakukan Nyai Katri.
Perempuan cantik bergaun tipis
longgar itu mengeluarkan sinar dari matanya. Sinar
warna kuning menerpa satu demi satu dari ke tujuh
mayat wanita bekas anak buahnya. Lalu, dalam tempo
singkat mayat-mayat itu meleleh bagai sebuah lilin, sa-tu persatu menjadi bubur
berwarna kuning belerang.
Bau tak sedap pun tercium memuakkan.
"Hooeek...!" Jaka Bego ingin muntah, namun ia tidak bisa menundukkan kepala,
sehingga akibatnya
mulutnya saja yang menganga beberapa kali sambil
hoak-hoek. Ketujuh mayat itu telah lebur menjadi tujuh gundukan bubur kuning.
Benar-benar tak sedikit
pun terlihat tanda-tanda bahwa ketujuh gundukan
bubur itu sebenarnya adalah bekas jasad manusia.
"Sekarang giliranmu...!" seraya Jaka Bego dipan-dangnya tajam-tajam. Wajah Jaka
Bego tegang, ngeri
membayangkan kalau tubuhnya akan meleleh seperti
ketujuh mayat itu. Ia segera berkata dalam kegugu-
pannya: "Tubuhku kurus seperti ini, kuminta jangan dilebur seperti mereka. Tolong, aku
masih punya cita-cita lain sebelum aku mati. Tolong, jangan dibunuh aku
sekarang. Aku masih sibuk memikirkan cita-citaku. Nanti kalau aku sudah tidak
sibuk, kalau Nona mau bunuh
aku, bunuhlah...!"
"Nona..."! Nona..."!" Nyai Katri yang cantik merasa aneh mendapat sebutan 'nona'


Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Jaka Bego. Ia tertawa lepas, suaranya hingga menggema memenuhi Pu-
lau Kramat. Dan Jaka Bego yang tidak tahu persis
mengapa Nyai Katri tertawa, ia jadi ikut-ikutan tertawa. "Diam...!" bentak Nyai
Katri dengan mata melotot tajam. Seketika itu Jaka Bego menutup mulutnya den-
gan perasaan takut. "Kenapa kau tertawa" Kenapa, hah"!"
"Cuma... cuma ikut-ikutan, biar meriah, Nona..."
"Jangan panggil aku Nona!"
"Apakah harus kupanggil: Nenek..."!"
Nyai Katri mendekat dengan geram. "Kulumatkan
mulutmu jika memanggilku Nenek. Panggil aku:
Nyai...!" "Nyai..."!"
"Ya, Nyai Katri...! Tahu kau, Kunyuk"!"
"Maaf, jangan panggil aku kunyuk. Kulumatkan..."
"Apa"! Kau mau melumatkan aku...?" Nyai Katri marah.
Jaka Bego ketakutan. "Maksudku, yang akan ku-
lumat sepotong singkong rebus, Nyai. Hemm... namaku memang bukan Kunyuk."
"Persetan dengan namamu. Tapi aku suka me-
manggilmu: Kunyuk!"
"Jangan, Nyai. Kedengarannya kurang gagah. Na-
maku Jaka Bego, bukan..."
"Diam!" bentak Nyai Katri. "Tak ada yang mampu menentang keinginanku. Di sini,
aku penguasa! Semua harus tunduk padaku, kalau ia tak ingin kulebur seperti
ketujuh mayat ini. Mengerti"! Jadi, aku tetap akan memanggilmu Kunyuk Bego!
Bukan Jaka Bego!"
"Saya... saya agak keberatan, Nyai."
"Baik, kalau begitu kau kulebur seperti mereka...!"
"Oh, jangan...!" Jaka Bego ketakutan. "Hemm... se-baiknya panggil saja aku
Kunyuk Bego. Setelah kupi-
kir-pikir... nama itu lebih Kramat bagi dunia persilatan..."
"Lebih kramat..."!" Nyai Katri mengerutkan dahi.
"Ya. Terima kasih atas panggilan itu. Pasti aku akan jadi terkenal, karena nama
itu cukup kramat, terutama di telinga perempuan. Terima kasih..."
"O, tidak. Kau akan kupanggil Jaka Bego saja. Tidak jadi Kunyuk Bego. Keenakan
kamu nantinya...!"
"Terserah, Nyai Katri sajalah. Saya menurut..." kata
Jaka Bego dengan senyum di dalam hati. Ia lega, ia
mampu merubah keputusan Nyai Katri yang agaknya
tak bisa buat main-main itu.
"Bagus kalau kau mau menurut. Kau akan selamat dan akan menjadi orang andalanku,
Jaka Bego."
"Orang andalan, Nyai" Andalan apa?"
"Pejantanku...!"
"Pejantan, Nyai" Ah, aku ini manusia, bukan sapi!"
"Jangan menentang!" teriak Nyai Katri sambil mon-dar-mandir seraya memeriksa
keadaan sekeliling. "Kalau kau mau menjadi pejantanku, dan mau menuruti
segala yang kuperintahkan, maka kau akan selamat
dan menjadi orang kuat. Kau dapat mengalahkan La-
nangseta, atau bahkan kalau kau mau tekun meresapi
semua ilmuku, kau dapat sejajar dengan kesaktianku, Jaka Bego. Camkan itu!"
Jaka Bego tertegun beberapa saat. Mungkinkah ia
akan menjadi sejajar dengan Nyai Katri" Kedengaran-
nya menarik, namun sukar dipercaya. Tapi... ah, rasa-rasanya tak ada pilihan
lain kecuali menurut segala perintah Nyai. Jaka Bego merasa asing di pulau itu,
dan ia tak mau celaka.
Pengaruh totokan darah dibebaskan oleh Nyai Katri.
Jaka Bego siap menerima perintah. Hal yang harus dilakukan adalah memindahkan
bubur belerang yang
terbuat dari leburan raga mayat-mayat itu.
"Pindahkan tiap gundukan ke tanaman itu..." seraya Nyai Katri menunjuk beberapa
pohon setinggi manusia dewasa. Pohon itu banyak terdapat di bela-
kang rumah, seakan memang ditanam dalam satu
perkebunan. Jaka Bego tidak tahu itu pohon apa na-
manya, ia merasa asing. Sebab dilihat dari daunnya
saja pohon itu cukup anehnya. Daunnya berwarna me-
rah gelap berbentuk kecil-kecil, seperti telinga manusia. Tiap satu tangkai yang
berbulu mempunyai bebe-
rapa helai daun yang tumbuh simetris, saling berha-
dapan, seperti daun dari pohon turi.
"Ini daun apa namanya, Nyai" Saya baru sekali ini melihat pohon seperti ini."
"Itu yang namanya pohon Galih Urip. Ia akan menjadi subur dan lekas besar jika
diberi pupuk larutan daging manusia yang sudah dilebur itu. Nah, pindah-kan
semua ke bawah pohon itu. Lekas, sebentar lagi, hari menjadi gelap, kau harus
beristirahat."
Sebenarnya ada yang ingin Jaka Bego tanyakan,
yaitu tentang manfaat menanam pohon Galih Urip. Te-
tapi agaknya Nyai Katri belum mau banyak bicara soal itu. Jaka Bego menyerok
dengan geli bubur mayat itu dengan suatu skop yang terbuat dari kulit kerang
rak-sasa. Bau memualkan perut masih mengobar dari bu-
bur belerang manusia itu, namun mau tak mau Jaka
Bego harus menahannya rasa mual itu.
Sebenarnya banyak hal-hal aneh yang ingin Jaka
Bego tanyakan. Hanya saja, rasa takutnya kepada Nyai Katri membuat Jaka Bego
belum berani melontarkan
apa sebenarnya yang terjadi di Pulau Kramat itu" Apa sebenarnya yang akan
dilakukan oleh Nyai Katri itu"
"Ini adalah puriku, tempat aku dan... kau juga, ber-naung sambil mempelajari
hidup dan kehidupan" tutur Nyai Katri ketika ia membawa masuk Jaka Bego ke
pondok panjang beratap ilalang kering. Jaka Bego melompong sambil matanya
memandang seluruh isi ru-
mah panjang itu.
Hanya ada satu kamar di bagian ujung, sisanya
hanya sebentang ruangan berlantai kayu. Tiang-
tiangnya juga dari kayu tanpa dihaluskan, tanpa dipotong menjadi balok. Pada
setiap tiang yang berjumlah sepuluh itu terdapat tempat pelita yang terbuat dari
tempurung kelapa. Nyai Katri menyalakan kesepuluh
pelita. Jaka Bego memperhatikan tikar-tikar anyaman
daun pandan dan daun bakau. Ada beberapa tikar
yang tebal seperti kasur, dan agaknya tikar tebal itulah kasur bagi mereka yang
menempati puri tersebut. Sekarang kasur-kasur itu telah kosong tanpa penghuni.
Penghuninya telah mati dan lebur dalam satu nasib.
"Kau bebas memilih tempat tidurmu, Jaka Bego.
Kau hanya boleh masuk ke kamar itu, jika aku me-
manggilmu dari sana. Kalau kau masuk tanpa kusu-
ruh, kau kuanggap pencuri dan hukumannya kulebur
untuk menjadi pupuk pohon Galih Urip. Jelas..."!"
Jaka Bego mengangguk dalam keheranannya. Di
tengah ruangan panjang itu ada meja seukuran dua
kali panjang tubuh Nyai Katri. Agaknya di meja itulah mereka sering duduk
bersila sambil menikmati maka-nan yang terhidang di atas meja tersebut.
Waktu malam menjelma, suasananya benar-benar
sepi. Pulau itu bagai jalan menuju ke alam kematian.
Sepi dan menyeramkan. Hanya deburan ombak yang
sesekali terdengar sayup-sayup, bagai irama menjelang ajal. Jaka Bego merasa tak
betah tinggal di situ.
"Saya tidak betah tinggal di sini, Nyai. Saya mau pulang saja," kata Jaka Bego
kepada Nyai Katri yang duduk di depannya. Mereka bicara sambil menghadap
meja. Nyai Katri sedang merangkai beberapa bunga
yang baunya harum mewangi. Itulah Bunga Nirmala
kesukaan Nyai Katri dari dulu.
"Saya pulang sekarang saja, Nyai. Biar tidak diberi ongkos dan bekal tak
apalah." "Kau masih ingin hidup lama, Jaka?"
"Masih, Nyai."
"Kalau begitu, hilangkan niatmu untuk pulang.
Tinggallah bersamaku di sini..."
"Tapi saya tak tahan, Nyai."
"Tak tahan dengan apa" Suasana Sepi" Angin laut yang dingin ini?" Nyai bicara
sambil tetap merangkai
bunga. Jaka Bego tak berani menjawab. Hanya hatinya
yang berdebar-debar dari tadi, bibirnya gemetar, keringat dingin mulai
berserakan di keningnya. Nafas Jaka Bego pun sulit diatur. Sesekali ia menelan
air ludah-nya sendiri. Matanya mencuri pandang ke arah Nyai
Katri, yang mengenakan gaun tipis sekali sehingga le-kuk tubuhnya di balik gaun
itu terlihat dengan jelas.
Jelas sekali. Itu yang membuat Jaka Bego sejak duduk menikmati santap malam
dengan ikan bakar dan air
enau, ia kelihatan gelisah resah. Dalam sorotan cahaya api pelita, tubuh Nyai
Katri sangat menggoda dan
membuat nafas kadang-kadang menjadi sesak. Mung-
kin Nyai tahu kalau setiap lelaki yang memandangnya akan gemetar dan dicekam
kegelisahan. Tetapi Nyai tetap berpenampilan tenang. Tenang sekali. Seakan ia
tidak menyadari apa yang sedang bergolak di hati Jaka Bego.
"Kau sudah punya istri, Jaka?" Kali ini Nyai bertanya sambil memandang Jaka Bego
sekilas. Jaka Be-
go hanya menggeleng dan menghela nafas entah untuk
yang ke berapa kalinya.
"Sudah pernah punya kekasih?"
"Beb... beb... belum..." jawab Jaka Bego gemetar.
"Sama sekali belum pernah mengenal perempuan"!"
Nyai mendesak dengan sedikit senyum di ujung bibir-
nya. "Beb... belum, Nyai..."
Nyai memandang wajah Jaka Bego. Pandangan yang
lembut dan sangat menggelisahkan Jaka Bego. Lalu,
Nyai Katri tertawa dan dalam desah. Jaka Bego jadi salah tingkah.
"Kalau begitu kau harus mengenal perempuan mu-
lai sekarang. Jangan menjadi lelaki bodoh."
"Mak... mak..."
"Mau ngomong apa kau, hah" Kok jadi gugup?"
"Maksud., maksud Nyai bagaimana itu?"
"Yaah... suatu hal yang sangat kebetulan, bahwa kau belum pernah mengenal
perempuan."
"Tapi... tapi saya naksir gadis anak pak Lodang, Nyai," kata Jaka Bego dengan
polos. "Sudah pernah... tidur bersama?"
"Ah, gila...! Ya, belum...!" seraya mulut Jaka Bego monyong-monyong. "Mahani itu
susah didekati, Nyai."
"Kalau begitu, sangat kebetulan."
"Sangat kebetulannya, kenapa?" Jaka Bego makin ingin tahu apa yang sedang
direncanakan Nyai Katri.
"Kau akan mempunyai keturunan yang kuat.
Anakmu bisa menjadi manusia terkuat di dunia dan ia nanti yang akan menguasai
dunia." "Anak saya" Ah, anak saya dari siapa" Saya kawin saja tidak kok bisa punya
anak?" "Cari perempuan. Culik dia, dan bawa ke mari. Lalu tidurlah bersamanya beberapa
kali, nanti aku akan
mencampurkan benihmu dengan getah pohon Galih
Urip itu. Apabila tepat campurannya dan tepat jenis bibitmu, maka perempuan itu
akan melahirkan anak
yang terkuat di dunia. Kulitnya akan setebal baja dan ia tak akan mati. Setiap
ia mati, ia akan bangkit kembali jika mencium bau tanah atau bau air. Dia akan
mampu menghancurkan gunung dengan tenaganya
yang maha hebat itu. Belum lagi kalau anak itu diisi dengan kekuatan ilmu tenaga
dalam yang sempurna,
ia akan menjadi pendekar yang tak terkalahkan."
Jaka Bego terbengong saja. Manggut-manggut tidak,
tertawa, tidak. Mendesis pun tidak. Yang ia tatap
hanya bagian dada Nyai Katri yang kelihatan menan-
tang dan sangat menggoda kejantanannya itu. Nyai Katri berkata lagi, "Selama ini
sudah kucoba, benih Putra Tunggal dengan anak buahku itu, kucampur dengan
getah pohon Galih Urip, tetapi tidak menghasilkan
anak yang kuinginkan. Setelah kutanyakan kepada
Putra Tunggal, atau si Prabima, ternyata sebelumnya ia sering jajan dengan
perempuan nakal di pelabuhan.
Bahkan ia dulu pernah terkena penyakit memalukan
akibat berzinah dengan seorang perempuan desa. Nah, sekarang... masalahnya
berbeda. Kau masih murni.
Masih segar. Apakah hal itu akan kusia-siakan" Ra-
sanya kok tidak. Aku akan mencoba apa yang kuren-
canakan padamu. Maka, carilah gadis, bawalah ke ma-
ri dan kita akan lihat apakah gadis itu mampu mela-
hirkan anak seperti yang kurencanakan atau gagal la-gi." "Tapi... tak ada gadis
yang mau kepadaku, Nyai."
"Bisa kubantu dengan ilmuku. Kau akan digan-
drungi oleh banyak gadis cantik. Kau mau, kan?"
Jaka Bego berpikir dalam keraguan. Ia sebenarnya
justru takut jika hal itu menjadi tugas baginya. Dia ingin memikat gadis, tapi
tidak merupakan tugas yang
menjadi suatu keharusan. Dan rencananya Nyai Katri
itu sebenarnya sempat membuatnya merinding serta
tidak percaya. Tetapi, mengingat saat ini ia tidak suka dengan kesepian pulau
tersebut, dan ia tertawan oleh Nyai Katri, maka kesempatan bebas hanya ada pada
tugasnya. Tugas mencari seorang gadis bisa membuat-
nya kabur selama-lamanya dan tak ingin kembali lagi ke pulau itu.
"Apakah Nyai bisa membuat aku menarik di mata
para gadis cantik?" Jaka Bego berlagak tertarik.
"Di sini tidak ada yang tidak bisa kulakukan. Semuanya pasti bisa!"
"Kalau begitu..." Jaka Bego tersipu, berlagak malu.
"Saya mau, Nyai. Saya bersedia mencari seorang gadis sebagai bahan percobaan
rencana Nyai. Kapan saya
harus berangkat, Nyai...?"
Nyai Katri tidak menjawab. Ia terdiam, sepertinya
sedang memikirkan sesuatu. Dan tiba-tiba Nyai pun
beranjak dari duduknya, lalu berkata:
"Ikut aku ke kamar, Jaka..."
Jaka Bego sempat bingung sebentar, Nyai berjalan
menuju kamarnya. Ia berpaling sambil tersenyum ke-
pada Jaka Bego. Tangannya melambai pertanda Jaka
harus segera ikut ke kamarnya. Jaka Bego sedikit gemetar, hatinya merasa senang
jika benar Nyai Katri
mampu membuatnya jadi menarik di mata setiap wani-
ta. Maka bergegaslah ia mengikuti Nyai Katri, masuk ke kamar yang hanya satu-
satunya ada di ruangan
panjang itu. Jaka Bego benar-benar bertambah bego setelah ma-
suk kamar Nyai Katri. Di sana ada dipan berlapis permadani berbulu tebal.
Lantainya juga berlapis permadani, walau tak setebal yang ada di dipan lebar
itu. Dipan tersebut cukup dipakai tidur dua orang. Bau wan-gi kembang Nirmala
bagai memenuhi ruangan terse-
but. Ada beberapa peralatan semadi, tempat pembaka-
ran dupa, dan beberapa pusaka berupa keris serta
yang lainnya tertempel di dinding. Cermin seukuran
setengah badan juga ada. Selimut tebal dari kulit be-ruang, juga ada. Yang
jelas, kamar itu memang lebih nyaman dan lebih hangat ketimbang tempat lainnya.
Nyai Katri berdiri di pinggir dipan empuk. Rambut-
nya yang tadi disanggul, kini terlepas panjang, terurai.


Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaka Bego masih terpukau memandang tubuh berlapis
kain tipis dalam keremangan cahaya api dian. Suatu
pemandangan yang benar-benar mempunyai kekuatan
magis tersendiri.
"Mendekatlah, Jaka..." kata Nyai Katri bernada desah.
Jaka Bego yang tidak tahu apa-apa itu mendekat,
mulutnya masih melongo dan... jantungnya berdetak-
detak. Ia merasa senang dengan apa yang dilihatnya, namun merasa takut dengan
apa yang akan terjadi
nanti. Siapa tahu ia berada dalam bahaya.
"Kau mau menjadi pengikutku"!"
Jaka Bego mengangguk, matanya belum berkedip.
Ia benar-benar kelihatan lugu dan... memang bego.
Nyai Katri melepas pakaiannya sendiri pelan-pelan,
lalu gaun tipis warna biru muda itu jatuh ke lantai se-luruhnya, sehingga mata
Jaka Bego semakin melebar
menyaksikan Nyai Katri dalam keadaan polos.
"Sebelum kau bersama perempuan lain, kau harus belajar dulu bersamaku..."
"Be... belajar... belajar silat, Nyai?"
Nyai Katri menggeleng dalam senyuman. Tangannya
meraih pundak Jaka Bego.
"Kau benar masih perjaka. Gayamu yang polos dan tolol membuatku yakin, kau belum
pernah tidur dengan seorang perempuan. Karena itu, akulah yang ha-
rus merenggut kemurnianmu, Jaka..."
"Kok direnggut, Nyai" Katanya aku mau dibuat menarik?"
"Ya. Tapi itu setelah aku merenggut perjakamu, dengan begitu tubuhku akan
menjadi lebih segar dan
usiaku akan bertambah dua tahun lebih muda dari
yang sekarang."
"Jadi... jadi..." Jaka Bego semakin gemetar ketika Nyai Katri merayapkan jari-
jemarinya kebagian terten-tu. "Jadi... aku harus berbuat apa sebenarnya, Nyai?"
"Tidur bersamaku, Jaka. Hanya satu kali sudah cukup, tetapi itu sudah membuatku
menjadi lebih segar.
Aku tak ingin kemurnianmu direnggut perempuan
lain. Harus aku dulu yang melakukannya."
"Saya... saya bingung, Nyai..."
"Berbaringlah, biar kujelaskan dengan tekun..."
Nafas Jaka Bego sesak. Tubuhnya jelas gemetar,
namun ia membiarkan segalanya berlalu, asal ia bisa dibuat menarik.
Malam semakin kelam. Debur ombak sayup-sayup
bagai mengiringi deru detak jantung Jaka Bego. Di
kamar tersebut, Jaka Bego tak sempat menyebutkan
siapa dirinya. Ia hanyut dalam kemesraan Nyai Katri.
Namun yang lebih hanyut lagi adalah Nyai Katri. Ia
merasa mendapatkan sesuatu yang sangat berharga
selama hidupnya. Sesuatu itu di luar dugaan ada pada diri pemuda kurus
kerempeng. Sungguh tak terduga
sama sekali, bahwa ternyata Jaka Bego telah mampu
menjerat hati Nyai Katri dengan kemesraan yang tiada duanya.
Sekali Nyai Katri merenggut kemurnian Jaka Bego,
dua kali ia mengulanginya dan sampai beberapa kali ia masih ingin mencengkeram
Jaka Bego. Bahkan dalam
desahannya, Nyai tak sadar berkata:
"Gila...! Luar biasa kau! Mengagumkan sekali...!
Aku belum bosan-bosannya sampai sejauh ini. Benar-
benar gila!"
Jaka Bego tidak tahu apa yang dimaksud Nyai Ka-
tri. Ia hanya mengikuti perintah perempuan cantik bertubuh sekal itu. Ia tak
berani menolak perintah Nyai Katri, karena ia punya rencana tersendiri untuk
kabur dalam satu kesempatan.
"Sepanjang hidup, baru ini kutemukan sesuatu
yang paling berharga, dan yang kucari selama ini. Ternyata ada padamu, Jaka
Bego... Ooh, mengagumkan
sekali!" Jaka Bego tak bisa banyak bicara. Bahkan untuk
mengatakan satu kalimat pun ia tak sanggup. Ia bagai dicengkeram kuat-kuat oleh
Nyai Katri. Ia bagai ada dalam pengaruh perempuan itu, sehingga ia seperti
berada di bawah alam sadar. Nyai mendengus dan men-
desah tiada berkesudahan. Bahkan ketika matahari fa-
jar menyorotkan cahayanya di balik cakrawala, Nyai
masih merasa ingin merenggut sesuatu yang amat
menggetarkan jiwanya, sesuatu yang selama ini belum pernah dialami. Kehangatan
dan kemesraan yang luar
biasa dari Jaka Bego membuat Nyai lupa bahwa seben-
tar lagi matahari akan meninggi. Kehebatan Jaka Bego yang mengagumkan membuat
Nyai Katri lupa ngan-tuk, lupa menguap dan lupa kalau tenaganya telah
terkuras habis-habisan. Jaka Bego pun demikian, sa-
ma lupanya dengan Nyai Katri. Tetapi dalam hempasan nafas kelegaan yang
terakhir, Nyai sempat berbisik, seperti bicara sendiri, "Kau... seperti
mempunyai ilmu Pasak Dewa...! Ilmu yang membuat wanita tergila-gila...!"
Sepatah kata pun Jaka Bego tidak bicara.
*** 3 LUDIRO melihat sekelebat bayangan menuju Bukit
Badai. Segera tubuh pendek yang gempal dan me-
nyandang pedang di pinggang serta Cambuk Naga di
punggung itu melesat mengejar bayangan itu. Karena
kecepatan Lanangseta berlari, sampai-sampai Ludiro, pengawalnya, tidak tahu
bahwa bayangan yang melesat itu Lanangseta sendiri.
"Hei, berhenti...!" teriak Ludiro dalam jarak yang sudah mulai dekat. Tapi
bayangan itu tetap melesat
bagai segumpal bayangan sinar. Ludiro berusaha me-
nyusulnya dengan memotong jalan lewat arah lain. Betapapun jadinya, ia merasa
bertanggung jawab jika ada kejadian yang membahayakan terhadap wilayah Bukit
Badai, terutama Griya Teratai Wingit, tempat Kirana dan ayahnya tinggal.
Lompatan yang ringan melayang, tubuh Ludiro ba-
gaikan terbang dalam satu arah. Kemudian kakinya
segera menapak kembali ke tanah di depan bayangan
yang dikejarnya. Bayangan itu terhenti seketika setelah Ludiro mencabut pedang
Jalak Pati seraya berseru:
"Berhenti! Atau kupotong kakimu itu!"
"Paman..."!"
"Oh, sialan! Kau Lanang...! Kukira siapa yang melesat seperti segumpal sinar.
Maaf, kukira kau orang
yang bermaksud jahat hendak membikin onar di Bukit
Badai." Lanangseta menghempaskan nafasnya yang mem-
buru. "Aku bangga dengan tanggung jawabmu, Paman,"
kata Lanang seraya menepuk pundak Ludiro.
"Hei, bunga Teratai Wingit sudah ada di tanganmu kembali, Lanang" Oh, syukurlah
kalau begitu."
"Aku berhasil merebutnya dari Prabima, Paman Ludiro."
"Prabima"! Jadi, pencurinya benar Prabima"!"
"Ya. Dan agaknya ia telah bersekutu dengan Peri Sendang Bangkai yang kini
menguasai Pulau Kramat
itu." "Bangsat...!" geram Ludiro. "Mereka memang harus di musnahkan, jangan diberi
ampun dan peluang sedikit pun!"
"Sekarang Prabima sedang mengejarku, Paman. Ta-pi... Andini yang
menghalanginya."
"O, Andini menghalangi Prabima" Apakah itu tidak berbahaya?"
"Dia mencintai ku, Paman. Dia membelaku mati-
matian untuk menunjukkan cintanya kepadaku."
"Anak sinting dia itu!" gumam Ludiro seraya memasukkan pedang peninggalan Sekar
Pamikat, bekas ke-
kasih Lanang yang sudah menjadi wanita suci di da-
lam Goa Malaikat.
"Lanang, apakah kau bertemu dengan Jaka Bego"
Kami berangkat bersama menyusulmu, tapi dia meng-
hilang entah lari ke mana, dan aku sibuk mencarinya."
"Jaka Bego..."! O, ya... waktu aku berusaha merebut bunga Teratai Wingit ini,
dia tahu-tahu muncul dan menyerobot bunga ini dari tangan Prabima. Kemudian dia
serahkan kepadaku, tapi... tapi dia ter-
tangkap oleh Peri Sendang Bangkai, dan tak tahu ba-
gaimana nasibnya sekarang..."
"Gila juga itu anak; tahu-tahu sudah terlibat urusan di Pulau Kramat. Tahu-tahu
sudah jadi tawa-
nan...!" Ludiro bagai bicara sendiri. Lalu ia menatap Lanangseta dan berkata
lagi: "Kalau begitu, biar kuhadapi Prabima, dan kau se-geralah menghadap Rama
Sabdawana dengan bunga
itu. Akan kuhadang Prabima kalau sampai ia berani
melewati batas wilayah Bukit Badai ini. Pergilah secepatnya, Lanang...!"
"Baik, Paman. Hati-hati, Prabima sudah bertambah ilmunya, sebab ia sudah
bersekutu dengan Peri Sendang Bangkai."
"Sekali pun ia bersekutu dengan raja iblis pun aku tidak akan takut. Cambuk Naga
tak pernah gentar
menghadapi siapa pun, sejak di tangan Putri Ayu Se-
kar Pamikat sampai ke tanganku, tak pernah gentar
sedikit pun..."
Sejak Ludiro mewarisi pusaka Cambuk Naga dan
pedang Jalak Pati dari Sekar Pamikat, ia memang tak pernah merasa takut kepada
siapa pun. Apalagi ia telah memakan lumut bercahaya dari sebuah goa, yang
di luar kesadarannya ternyata lumut bercahaya itu
membuat tubuhnya kebal terhadap senjata apa pun.
Ini menambah Ludiro yang bertindak sebagai pengawal Lanangseta, sekaligus kepala
keamanan keluarga Ki-
rana, tak pernah mundur dalam menghadapi lawan di
mana pun dan siapa pun orangnya.
Memang pedang Jalak Pati tidak seberapa keheba-
tannya namun Cambuk Naga yang bertengger di pun-
daknya itu, bukan sekedar cambuk kuda yang tak
mempunyai kehebatan. Justru keunggulan Ludiro se-
lama ini terletak pada kehebatan cambuk itu. Jika
cambuk itu digunakan, Ludiro tak pernah tahu bagai-
mana ia harus bergerak. Tetapi Cambuk Naga itulah
yang seakan telah menuntun Ludiro untuk bergerak,
memainkan beberapa jurus yang dimiliki Sekar Pami-
kat. Jadi, pada Cambuk Naga itu seakan roh Sekar
Pamikat selalu mendampinginya.
Dulu, ketika Ludiro belum menjadi kebal dan belum
mewarisi senjata pusaka dari Sekar Pamikat, ia mem-
punyai senjata andalan berupa pisau kecil. Mata pisau kecil itu adalah senjata
rahasianya yang paling dian-dalkan, di samping itu beberapa jurus yang menjadi
unggulannya ialah Tendangan Dewa, Pukulan Hati
Dewa, Tendangan Dewa Mimpi dan beberapa jurus
yang menjadi simpanannya. Tetapi sejak ia menyan-
dang cambuk naga di pundaknya, ia jarang menggu-
nakan senjata rahasianya itu.
Jiwa pengabdian Ludiro sungguh dapat dipercaya,
kesetiaannya begitu agung. Itulah yang membuat se-
lama ini Ludiro tidak pernah merasa hebat. Ia tetap menghormati Lanangseta,
sebagai bekas kekasih putri asuhannya, ia juga masih merendahkan diri di hadapan
Kirana maupun ayah Kirana, Rama Sabdawana.
Dan kepada teman-teman lainnya, Ludiro yang sudah
setengah umur itu bersifat sebagai pengayom yang tak pernah menyombongkan
kekuatannya dalam mewarisi
Cambuk Naga dan pedang Jalak Pati. Pembelaannya
begitu besar, bahkan ia tak segan-segan menjadikan
nyawanya sebagai taruhan jiwa pengabdiannya.
Kali ini, Ludiro sengaja menunggu kedatangan Pra-
bima seandainya Andini tidak dapat melumpuhkan
pemuda sombong itu. Ludiro tidak tahu apa yang telah terjadi pada diri Andini
dengan Prabima. Yang jelas, ia yakin kalau satu di antara mereka pasti akan
melewati perbatasan Bukit Badai itu. Dan Ludiro siap menunggu dari atas pohon.
Jika Andini yang datang, pasti dialah yang menang, tapi jika Prabima yang
muncul, berarti Andini kemungkinan besar mati terbunuh oleh
Prabima. Dalam keremangan senja, mata Ludiro masih tajam
memandang daerah sekeliling dari atas pohon. Me-
mang enak mengawasi dari atas pohon, tempat jauh
pun masih bisa dijangkau oleh pandangan matanya. Ia hampir saja merasa bosan
menunggu kemunculan Andini atau Prabima. Tetapi suatu gerakan di sebelah sa-na
membuat Ludiro menjadi bersemangat lagi. Ada ge-
rakan di sana, gerakan dua orang yang belum jelas
siapa mereka. Dengan hati-hati dan berusaha untuk tidak menim-
bulkan suara, Ludiro mendekati tempat yang mencuri-
gakan itu. Samar-samar ia mendengar suara seorang
lelaki berkata:
"Tak jauh lagi tempatnya. Kita masuk ke sana setelah malam tiba. Jadi kita bisa
beristirahat dulu di si-ni..."
Berdebar hati Ludiro mendengarnya. Suara itu cu-
kup dikenal; tak salah lagi, itu suara Prabima.
"Usahakan kau membuat sibuk Lanangseta dan
orang-orangnya. Pancing dia ke suatu tempat, dan aku akan berusaha mencuri bunga
teratai warna ungu itu.
Kalau calon istri Ladang memergokinya, akan kubu-
nuh sekalian dia...!"
Sekali lagi jantung Ludiro berdebar dalam kehera-
nan. Seingatnya suara perempuan yang baru saja di-
dengarnya itu adalah suara Andini. Tetapi apakah Andini sekarang sudah berpihak
kepada Prabima" Pikir
Ludiro. Mengapa Andini jadi memusuhi Lanangseta"
Bukankah dia bekas kekasih Ekayana, adik kembar
Lanangseta itu"
"Oo... ya, aku tahu," kata Ludiro dalam hati. "Pasti ini siasat si keparat
Prabima itu. Dia berhasil mengha-sut dan mempengaruhi Andini. Kebetulan Andini
me- mang kecewa karena Lanangseta ingin kawin dengan
Putri Bukit Badai. Ah, memang tak salah lagi kalau
mereka kini bersatu untuk menyerang Lanangseta dan
keluarga Griya Teratai Wingit!"
Dengan gerakan yang sangat pelan, Ludiro semakin
mendekati mereka. Ia naik ke atas pohon dengan
menggunakan ilmu peringan tubuh yang semula men-
jadi milik Sekar Pamikat, kini telah merasuk dalam dirinya sejak Cambuk Naga
diwariskan kepadanya. Le-
wat atas pohon yang berdaun rimbun itu Ludiro dapat melihat jelas apa yang
dilakukan Andini bersama Prabima. Ludiro tidak terburu-buru bertindak, melainkan
ia ingin tahu sampai sejauh mana pengaruh Prabima
menguasai jiwa Andini.
Andini duduk bersandar pada batang pohon. Pra-
bima masih berdiri di depannya sambil memeriksa
keadaan di sekitar mereka. Ia tak tahu ada sepasang mata mengintai dari balik
kerimbunan daun di atas
pohon. Prabima ikut duduk di samping Andini dan
berkata: "Aku belum habis pikir, mengapa kau mencintai


Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lanangseta yang berjiwa kerdil itu" Bukankah di jagad raya ini banyak pemuda
yang lebih tampan dan lebih
sempurna ketimbang Lanangseta?"
Andini menghela nafas. Ia bermain sehelai rumput
dengan mata bagai menerangi memandangi rumput
itu. "Semula aku adalah kekasih adiknya..."
"Adik Lanangseta"!"
"Ya. Ekayana namanya," Andini bicara dengan nada sedikit tertekan, mungkin
karena pedih hatinya. Ia
menyambung lagi:
"Aku sudah berkorban untuk Ekayana. Aku lari dari keluargaku mengikuti Ekayana,
yang pada waktu itu
diculik seseorang. Lalu dalam pencarianku itu, aku
bertemu dengan Lanangseta yang ternyata kakak dari
Ekayana. Tetapi demi melihat Lanangseta, hatiku menjadi iri, ingin merenggut
kedua saudara kembar itu..."
"O, begitu keinginanmu?"
Andini tersipu. "Mungkin aku memang serakah. Ta-pi jika aku melihat Lanangseta,
aku seperti menjadi miliknya juga. Jika aku dicium Ekayana, aku merasa
dicium olehnya juga. Tetapi... sekarang kenyataannya menjadi lain."
"Lanangseta sudah punya calon istri, begitu?"
Sebaris desah terhempas lewat mulut Andini.
"Kepahitanku bukan hanya itu saja. Itu yang kedua.
Tapi yang jelas, hatiku mulai terluka sejak Ekayana melarikan gadis Cina. Dan ia
jatuh cinta dengan Yin Yin, putri seorang Laksamana dari negeri Tiongkok.
Aku dibuangnya begitu saja. Padahal kami sudah tu-
nangan. Lalu, aku lari kepada Lanang untuk menga-
dukan nasibku. Tak tahunya ada orang berkerudung
hitam yang ingin memperkosaku..." Andini melirik Prabima, sebab ia tahu, Prabima
itulah yang berkerudung hitam dan ingin memperkosanya, setelah Prabima
memperoleh bunga teratai yang dicurinya dari rumah
Kirana. Prabima mendengar hal itu hanya tersenyum
malu. "Dan kau berhasil diperkosa pemuda itu?" sindir Prabima.
Andini menjawab, "Sayang, pemuda itu cukup bo-
doh. Ia tak berhasil memperkosaku, hanya... hanya
merayapkan tangannya ke ujung birahiku..."
"O, begitu" Jadi pemuda itu bodoh, ya?"
Andini tertawa geli sendiri. Kemudian ia berkata,
"Lalu aku bertemu dengan Lanangseta. Kuceritakan tempat yang disebut oleh orang
yang ingin memperkosaku itu. Pulau Kramat. Dan Lanang pun menuju Pu-
lau Kramat. Aku ikut dengannya. Tetapi, dalam perjalanan ke sana, aku selalu
berdebar-debar jika memandang Lanangseta, terutama, memandang bibirnya. En-
tah ada daya tarik apa di bibir Lanangseta itu sehingga aku benar-benar luluh,
bahkan... sikapku seperti ma-can betina yang kelaparan dan kehausan di padang
pasir. Aku benar-benar kasmaran kepadanya. Aku
nyaris tak dapat mengendalikan nafsuku sendiri..."
"Lalu kau bertemu denganku dan... masihkah se-
perti kau bertemu dengan Lanangseta"!" pancing Prabima.
Andini memandang Prabima dalam keremangan
senja. Ia masih bisa melihat jelas betapa menggairahkan juga bibir Prabima yang
tampak selalu basah dan menyegarkan itu. Ia memperhatikan wajah Prabima
yang tampan dan imut-imut, seakan sebuah genangan
air sendang yang bening terhampar di wajah itu. Kesegaran dan kesejukan ada di
sana. Andini sempat kelu melihat bibir Prabima begitu menggairahkan.
Prabima memandang Andini lekat-lekat. Ia berkata
dalam desah bisikan:
"Apakah kau masih punya gairah yang tertunda
itu?" "Entah," jawab Andini. "Yang ku tahu, kau ternyata jauh lebih menarik dari
Lanangseta, Prabima. Aku melihat kesegaran lain di bibirmu, dan... sentuhan saat
kau memperkosaku waktu itu, bagai terasa menjalar di sekujur tubuhku."
"Kau ingin aku menyelesaikan tugasku yang dulu tertunda itu?" desak Prabima.
Tangannya mulai merayap ke dada Andini. Tetapi Andini tidak menepiskan tangan
itu. Ia hanya mendesah kecil dan berkata bagai sebuah rengekan:
"Aku benar-benar gila birahi... Apakah kau sanggup menyembuhkannya, Prabima?"
"Akan kubuktikan, asal kau bersedia..."
"Kalau aku tidak bersedia?"
"Akan kupaksa..."
Andini tertawa kecil. "Kalau begitu, paksalah aku.
Aku akan berpura-pura tidak bersedia supaya aku
memaksaku dengan kebuasanmu. Kau bisa sebuas
singa, kan?"
Prabima semakin menjadi. Mencium leher Andini
dengan nafas yang memburu. Andini hanya menggeliat
dalam erangan yang sangat tipis. Ia pun memberikan
serangan balasan dan tak kalah gesit dengan Prabima.
"Apakah begini kurang ganas...?" bisik Prabima.
"Aku ingin lebih buas lagi, Prabima. Oh... lakukanlah...!"
Ludiro yang memandang dari atas pohon mengeram
dongkol. Ia berkata dalam hati, "Benar-benar perempuan jalang dia. Sungguh di
luar dugaan semula! Du-
lu, ketika aku bertemu dengan Andini yang pertama
kali, kusangka ia perempuan yang agung dalam kecan-
tikannya. Ternyata sekarang ia tak lebih dari seekor singa betina. Benar-benar
singa betina yang jalang...!"
Ludiro menggeram-geram melihat Andini semakin
menjadi gila ketika Prabima menyerangnya dengan
buas dan kasar.
Ludiro tidak bisa menahan diri terlalu lama di atas pohon, ia segera melompat
turun dan membuat kedua
orang bercumbu itu terlonjak kaget. Andini segera meraih gaunnya dan mengenakan
secepatnya. Prabima
segera menutup bagian tubuhnya yang sudah terlanjur terbuka.
"Paman Ludiro..."! Kau ada di sini, rupanya?" Andini berlagak ramah, namun
wajahnya menjadi pucat.
"Ya. Sudah sejak tadi aku di atas pohon itu, dan sudah puas aku melihat
kebusukan bercampur dengan bangkai! Kau dan Prabima, Si Keparat itu!" Ludiro
menuding Prabima dengan berani.
Prabima memerah mukanya. Selain gejolak bira-
hinya terputus, juga mendengar ucapan Ludiro bagai-
kan menembus hatinya. Karena itu Ludiro segera am-
bil posisi ketika Prabima menggeram dengan menge-
palkan kedua tangannya:
"Kurobek mulutmu yang kotor itu, Bangsat!"
"Prabima...! Jangan!" teriak Andini. "Dia telah berjasa menolongku dan..."
"Dan sekarang kau menjadi musuhku, Andini! Tak ada jasa, tak ada hutang budi
baik lagi! Kau sudah terang-terangan menjadi sekutu setan!"
"Paman, aku sebenarnya..." Andini ingin menjelaskan, tapi Ludiro menyerobot
kata: "Aku tahu, sekarang kau menjadi perempuan ja-
lang! Itu yang ingin kau katakan padaku, bukan" Dan aku siap membunuh perempuan
jalang semacam kau,
Andini. Ketahuilah, perempuan seperti kau tidak ada harganya hidup di dunia.
Sebaiknya kau kukirim ke
neraka sebelum kau ganggu kedamaian Lanangseta
dengan istrinya...!"
"Jangan salahkan aku kalau aku terpaksa meng-
hancurkan mulutmu, Ludiro...!" teriak Andini yang tak tahan mendengar penghinaan
Ludiro. Ia segera melayang dengan cepat menyerbu Ludiro dengan suatu
tendangan, tetapi Ludiro sigap. Ia menangkis tendangan Andini dan segera
bersalto ke belakang, karena
Prabima menyerangnya juga dengan kaki kanannya.
"Mampus kau, Ludirooo... hiaaat...!"
Prabima menyusul gerakan Ludiro. Kedua tangan-
nya memukul dengan cepat, namun Ludiro berhasil
menghindar. Kepala Ludiro miring ke kiri, pukulan
tangan kanan melesat ke tempat kosong. Dan pukulan
tangan kiri Prabima ditangkisnya dengan lengan. Setelah itu secepatnya tangan
yang habis dipakai untuk
menangkis itu melesat ke arah pinggang Prabima.
Mengena telak, membuat Prabima sedikit menyeringai
kesakitan. Ia segera melompat, menjauhi Ludiro.
"Andini, serang dia bersama-sama...! Dia adalah penghalang kita...!" teriak
Prabima. Andini membuka jurus andalannya. Tangannya te-
rentang yang satu ke atas, yang satunya ke bawah.
Tubuhnya meliuk dengan kaki berjingkat. Ia seperti
seorang sedang menari. Ludiro sempat terkesima sejenak, namun buru-buru
menyadari kalau itu hanya se-
buah tipuan pusat pikiran. Hanya saja, ia terlambat bergerak. Ketika Prabima
melancarkan pukulan jarak
jauhnya, dengan tangan terhentak ke depan keduanya
dan pekik keganasan melengking: "Hiaaatt...!"
Ludiro terpental ke belakang dan membentur po-
hon. Keseimbangan tubuhnya bagaikan hilang. Namun
ia segera bergegas bangkit dan berdiri dengan kedua kaki merendah, tangan keras
tersulur ke depan, yang satu menekuk ke belakang dengan telapak tangan
menghadap ke depan.
Prabima sempat terhenyak sejenak. Biasanya orang
yang terkena pukulan tenaga dalamnya tak mampu la-
gi berdiri, bahkan dadanya akan bolong seketika. Tapi Ludiro ternyata tidak.
Ludiro hanya terpental ke belakang lalu sigap berdiri menunggu serangan berikut-
nya. Andini yang seperti orang menari itu makin lama
makin dekat dengan Ludiro, kemudian dengan kibasan
cepat tangannya menghentak ke depan. Pukulan Bida-
dari Senja dilancarkan ke arah Ludiro. Secepatnya Ludiro menarik kedua tangannya
ke pinggang dan me-
nyodokkan kedua telapak tangan itu ke depan dengan
hentakan kuat. Lalu segumpal asap putih menyembur
dari dalam telapak tangannya. Asap putih itu berta-
brakan dengan kekuatan pukulan Bidadari Senja. Ada
letupan kecil yang menyemburkan bunga api pada saat itu. Dan tubuh Ludiro
terguncang sesaat, sementara tubuh Andini diam tak bergerak.
"Kau tak akan mampu menandingi pukulan Bidada-
ri Senjaku, Ludiro," kata Andini dengan sinis.
"Andini," kata Prabima. "Cepat selesaikan orang itu, dan kita mulai lagi
kemesraan kita yang tertunda ta-di..."
Andini mengangguk dan tersenyum. "Ya. Aku san-
gat setuju. Kita bunuh dia, dan... kau menjadi singa lapar lagi, sedangkan aku
akan menjadi mangsamu...
hi, hi, hi..." Andini tertawa manja. Ludiro segera melompat menerjangnya.
Dalam keadaan bersalto ke depan, kaki Ludiro ber-
hasil menendang Andini yang tengah membuka jurus
tarian Bidadari Manja.
"Aaah...!" Andini memekik dengan tubuh terlempar ke belakang. Ia ditangkap
Prabima, sehingga tubuhnya tak jadi membentur batang pohon.
"Kau tidak boleh diberi kesempatan, rupanya! Berani kau menendang Andini,
berarti kau cari mampus...!"
geram Prabima yang kemudian segera melancarkan
pukulan sambil tubuhnya melayang lurus ke depan.
Ludiro melompat tinggi, bersalto kembali. Kakinya berada di atas tubuh Prabima
yang meluncur cepat itu.
Kaki Ludiro segera menghentak ke bawah dan menge-
nai punggung Prabima dengan telak. Prabima tersung-
kur mencium tanah. Ludiro tak sempat menerjangnya
lagi, sebab Andini menyerang dari arah lain. Kali ini ia melancarkan pukulan
Bidadari Senja lagi, yang biasanya mampu membuat hangus tubuh lawannya lalu
segera membusuk. Namun kali ini, Ludiro hanya ter-
pental lagi walau mengenai dadanya. Ludiro tidak ce-dera sedikit pun. Ia hanya
terpelanting ke belakang, dengan dada masih utuh tanpa bekas luka. Andini
penasaran. Dalam keadaan Ludiro terjungkal ke tanah, ia melancarkan pukulan
Bidadari Senja lagi. Pukulan itu bagai sebuah angin yang menghempas di lengan
Ludiro. Namun anehnya, tak ada luka sedikit pun di lengan itu. Ludiro hanya
merasa tertahan waktu hendak
bangkit kembali.
"Dia tak mempan senjata dan pukulan apa pun,
Prabima!" teriak Andini. Prabima segera mencabut pedangnya. Ia menyerang dengan
pedang hendak ditu-
sukkan ke tubuh Ludiro. Waktu itu Ludiro baru saja
berdiri, tahu-tahu ujung pedang Prabima menghentak
kuat di lehernya. Tetap pedang itu tidak mampu me-
nembus leher Ludiro, bahkan menggoreskan luka pun
tak mampu. Ludiro sengaja tertawa sombong untuk memancing
kepenasaranan hati lawan-lawannya. Andini mendeka-
ti Prabima dan berbisik, "Dia memang kebal senjata apa pun, Prabima!"
"O, ya...?" Prabima tersenyum tipis. Lalu ia mengambil sebuah cincin dari saku
celananya. Cincin itu terbuat dari batu putih, seperti berlian, berbentuk
kerucut. Ujungnya tajam. Dan Prabima mengenakannya
seraya berkata:
"Apakah dia akan mampu menahan cincin Cupu
Gina ini?"
"Ya, ya... cepat serang dia, Prabima. Ooh... aku sudah tak tahan untuk meresapi
adegan tadi. Ayolah...!"
rengek Andini dengan manja.
"Cupu Gina membelah karang...!" seru Prabima seraya menyerbu Ludiro dengan
cincin di tangannya.
Ludiro tak tahu apa kehebatan cincin Cupu Gina itu.
Kisah Membunuh Naga 43 Pendekar Sakti Im Yang Karya Rajakelana Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 6
^