Pencarian

Asmara Pasak Dewa 2

Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa Bagian 2


Namun ia tetap menghindar pukulan Prabima dengan
kaki dihentakkan ke atas, dan tangan Prabima terpental ke atas. Bagian dadanya
terbuka, lalu kaki kiri Ludiro segera menghantam dengan tangan kiri, seperti
sebilah golok menebas bambu.
"Huughh...!" Prabima mengalami sesak nafas. Ludiro hendak memukul lagi, tetapi
punggungnya diten-
dang oleh Andini dengan kuat. Ludiro terjengkang dalam keadaan melintir. Pada
saat itu, tangan Prabima yang mengenakan cincin mengibas ke bawah, tepat
mengenai perut Ludiro. Dan pada saat itulah Ludiro
menjerit sekuat tenaga. Perut itu robek panjang dan mengeluarkan darah kental.
"Berhasil...!" teriak Andini dengan girang. "Ia berhasil terluka dengan
cincinmu...!"
"Serang terus...!" teriak Prabima seraya kakinya bergerak keras bagai menendang
bola. Tendangan itu
mengenai wajah Ludiro sehingga Ludiro menjerit dan
terpental beberapa langkah.
"Aaahhh...!" jeritan Ludiro melengking tinggi. Ia berusaha bertahan memegangi
perutnya yang robek. An-
dini menyerangnya lagi dengan tendangan Bidadari
Manja. Tendangan itu mengenai dada Ludiro, sehingga Ludiro sempat terbatuk-batuk
tak kontrol diri. Ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk bangkit. Pada waktu
itu, Prabima segera melancarkan pukulan bercincin
Cupu Gina ke arah punggung Ludiro. Namun pukulan
itu meleset, karena Ludiro berguling sambil mencabut Cambuk Naga dari
punggungnya. "Cambuk Naga...!" teriak Andini ketakutan. "Hati-hati, Prabima... Ia mulai
menggunakan Cambuk Na-
ga...!" Prabima tak sempat menyadari kata-kata Andini. Ia
sudah semakin bernafsu membunuh Ludiro dengan
cincinnya. Ia menyerang Ludiro dengan hentakan tan-
gan mengibas lagi, tetapi: "Taaarr...!" Cambuk Naga melecut tangan Prabima, dan
Prabima menjerit:
"Aaaaahh...!" Pergelangan tangan itu nyaris putus total. Andini segera menarik
Prabima, dan segera mem-
bawa lari pemuda itu dengan tangan terkuak ngeri.
"Tangguhkan dulu, Prabima...! Tunggu saat yang baik...!" Andini kabur bersama
Prabima, dan Ludiro meringis kesakitan.
*** 4 Darah Prabima banyak yang keluar. Wajahnya su-
dah menjadi pucat Andini sangat cemas. Ia mengguna-
kan tangannya yang bertenaga dalam untuk menopang
tubuh Prabima. Ke mana mereka lari" Tak lain ialah
kembali ke Pulau Kramat.
"Nyai Katri sanggup memulihkan lukaku ini. Pulih tanpa bekas. Bawa aku kembali
ke Pulau Kramat dulu, nanti kita kembali menyerang mereka, Andini."
Tak ada pilihan lain bagi Andini, kecuali menuruti
perintah Prabima. Hatinya yang gampang luluh oleh
ketampanan itu membuat Andini merasa sayang kalau
sampai Prabima kehabisan darah dan mati. Ada sesua-
tu yang diharapkan dari Prabima, yaitu kepuasan. Tetapi, jika Prabima mati,
Andini sulit mencari singa lapar yang ganas seperti Prabima. Sebab itu, ia
berusaha keras untuk menolong Prabima.
Tetapi ketika sampai di Pantai, Andini dan Prabima
sama-sama terbengong dalam kebingungan. Pulau
Kramat itu hilang. Tak terlihat gugusannya walau seti-
tik pun. Hari sudah menjelang petang. Ada sinar bulan yang mengintip dari balik
mega, tapi pulau itu tetap tidak kelihatan.
"Ke mana pulau itu, Prabima?"
"Entahlah. Aku sendiri heran," jawab Prabima dengan lemas. Matanya yang sayu
memandang kian ke
mari, dan pulau itu tidak diketahui di mana letaknya.
Lautan kosong, ombak bergulung rendah.
"Mungkin kita salah alamat. Mungkin bukan di pantai ini seharusnya kita
berdiri." kata Prabima.
"Tak mungkin," sanggah Andini. "Aku ingat, di pantai ini aku nyaris merenggut
kejantanan Lanangse-
ta...." "Yaaah... seingatku memang begitu. Inilah pantai waktu kita menyeberang bersama
tadi. Tapi... pulau
itu, oh... sungguh ajaib. Apa-yang terjadi di pulau itu sebenarnya?" Prabima
berkata dengan lemah. Darah sudah banyak yang mengalir. Rasa sakit akibat
tangannya nyaris terpotong itu sangat menyiksa diri Prabima. Pergelangan tangan
itu sedikit lagi akan putus sama sekali. Untung ada satu urat yang belum
terpotong sehingga masih bisa dipakai tambatan telapak
tangan. Apa yang terjadi dengan Pulau Kramat, agaknya tak
seorang pun tahu. Bahkan Jaka Bego yang berada di
pulau itu pun tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu kalau pulau
tersebut hilang dari pandangan mata orang-orang yang berada di pantai.
Jaka Bego hanya menyadari bahwa dirinya sudah
dua malam berada di dalam kamar Nyai Katri. Ia dijadikan kuda, budak nafsu Nyai
Katri yang sangat terkagum-kagum oleh kejantanan Jaka Bego. Suatu kejan-
tanan yang baru kali itu ditemui Nyai Katri sepanjang hidupnya. Nyai Katri
sendiri tidak menyadari bahwa
kejantanan yang ada pada Jaka Bego itu telah mem-
buat dirinya lupa segala-galanya. Ia telah menjadi seseorang yang tergantung
kepada Jaka Bego, dan ia telah menjadi seseorang yang tunduk meratap di bawah
kaki Jaka Bego. Namun, posisinya sebagai penguasa
Pulau Kramat tetap dipertahankan, sehingga sekali
pun ia sangat terbuai dan luluh hatinya kepada Jaka Bego, namun ia tetap
berusaha bertindak sebagai Sang Penguasa. Jaka Bego tetap bersikap sebagai kuda
yang selalu menurut perintah majikannya.
Bahkan, dalam pengaruh kehebatan Jaka Bego, kali
ini Nyai Katri bersedia memijit punggung Jaka Bego
yang mengeluh kecapekan. Nyai Katri mengurut pung-
gung hingga pinggang Jaka Bego dengan lembut na-
mun mantap. Udara malam yang menghembuskan ke-
dinginan tidak dihiraukan oleh mereka. Pakaian-
pakaian yang berserakan di lantai tak pernah sempat dipungut oleh mereka.
Segalanya dibiarkan terbuka
polos, dibiarkan berlalu dalam kelambu birahi yang
meledak-ledak tiada hentinya. "Kau merasa dingin, Ja-ka?" bisik Nyai Katri
seraya kembali menyusupkan bibirnya ke tengkuk kepala Jaka Bego.
"Ya. Dingin."
"Kita buat hangat saja malam ini, seperti malam kemarin, Jaka. Ooh..." Nyai
Katri mengusap pungggung Jaka Bego yang kurus kerempeng itu. Ke-
palanya bersandarkan pinggang Jaka Bego yang mene-
lungkup di tempat tidur itu.
"Jaka... buatlah kamar ini menjadi hangat kembali."
"Sudah dua malam tanpa berhenti, Nyai. Apakah
Nyai tidak bosan padaku?"
"Bosan"!" Nyai Katri tertawa mengikik. "Bersamamu aku tak akan bosan, Jaka. Kau
benar-benar pria jantan yang kuharapkan selama ini. Hanya kau satu-
satunya lelaki yang bisa menandingi ku, bahkan sam-
pai dua malam tanpa berhenti kau masih sanggup me-
nunjukkan kejantananmu. Ooh... sungguh aku bisa
tergila-gila kepadamu, Jaka Bego. Kau punya senjata yang jauh lebih ampuh, jauh
lebih sakti dari Prabima maupun pria lain yang pernah tidur bersamaku. Pedangmu,
adalah pedang berkekuatan dahsyat yang
mampu menembus dinding karang tebal, yang lebih
panjang dari pedang lelaki lainnya. Dan aku sudah la-ma merindukan pedang
sehebat itu. pedang yang
mampu menembus dinding karang, bahkan aku yakin
mampu menembus pegunungan es di dataran Tiong-
kok." Nyai Katri berceloteh sambil mengusap-usap kulit punggung Jaka Bego,
sesekali merayap dengan nak-al sehingga Jaka Bego tertawa kegelian.
"Nyai tidak capek?" kata Jaka Bego sewaktu Nyai Katri menyerangnya dengan
gigitan kecil di paha. Nafas perempuan cantik itu mulai berpacu tak teratur
kembali. "Mungkin aku tak akan pernah capek berlayar bersamamu di kamar ini, Jaka.
Ayolah, kita mengarungi
lautan sorgawi lagi..."
Jaka Bego tidak menolak. Semangatnya masih tetap
seperti semula pertama ia masuk ke kamar tersebut.
Dan Nyi Katri sendiri mengakui bahwa kekuatan pacu
yang ada pada Jaka Bego bagai tak pernah berkurang
sedikit pun. Ia selalu mengerang dalam kekagumannya menerima ketahanan Jaka Bego
dalam mendayung
sampan keindahan itu.
Sebenarnya, pada saat-saat mereka berlayar itulah
Pulau Kramat menjadi hilang. Tak seorang pun bisa
melihat di mana letak Pulau Kramat, karena penguasa tunggal pulau itu sedang
dalam ayunan gelombang
asmara yang menggila. Jerit kemesraan, pekikan as-
mara, menggema di seluruh pulau itu. Jeritan seorang perempuan yang di puncak
khayalan itulah yang
membuat Pulau Kramat hilang dari pandangan mata.
Jelas dari suara jeritan dan pekikan asmara Nyai Katri ternyata mempunyai
pengaruh ajaib yang mengagumkan. Pulau bisa hilang, dan air laut menjadi rata.
Tetapi apabila Nyi Katri terengah dan lemas di
samping Jaka Bego, pulau kembali nyata. Terlihat jelas. Menggunduk hitam dalam
terpaan cahaya rembu-
lan. Lalu pada saat seperti itulah, Andini dan Prabima dapat melihat pulau itu
ada di seberang mereka. Sekali pun mereka sangat kagum dan terheran-heran, namun
semua rasa itu mereka pendam di hati. Prabima me-
nyuruh Andini membawanya ke pulau itu sebelum pu-
lau tersebut hilang kembali.
Andini menggunakan ilmu Badai Es, yang mampu
membuat ombak lautan menjadi beku. Licin seperti es, dan salju pun turun
bertaburan. Dengan ilmu Badai
besi itu, ia mampu berjalan di atas permukaan air
yang membeku, yang menjadi padang es keras dan
dingin. Prabima masih dipapah Andini pada waktu
menyeberangi lautan yang membeku itu.
Malam semakin tinggi, kesunyian mencekam. Udara
es yang dingin mencekam tulang itu menyelusup ma-
suk ke kamar Nyi Katri. Namun perempuan itu masih
memeluk Jaka Bego sehingga udara dingin itu tak
sempat terasa. Kehangatan masih meresap ke tulang
mereka. Keringat masih membanjiri tubuh mereka. Se-
kali pun keadaan mereka bagaikan patung kembar
yang lengket, namun detak-detak jantung mereka se-
perti irama musik penggugah birahi.
Berjam-jam mereka berlayar dengan kemegahan ra-
sa, berulangkali Nyai Katri naik ke puncak gunung
kemesraan, namun baru sebentar mereka berlabuh,
Nyai sudah mengajaknya berlayar lagi. Jaka Bego kelihatan tetap segar bugar, dan
Nyai yakin semangatnya mendayung sampan masih kekar, masih seperti pemu-la.
Namun rencana berlayar terpaksa batal.
Di luar, ada suara memanggil-manggil. Suara seo-
rang perempuan.
"Nyaiiii....! Nyai, buka pintunyaaaa...!"
Nyai Katri terperanjat kaget. Ia segera bergegas
mengenakan pakaiannya, demikian juga Jaka Bego.
Hanya saja, waktu itu Jaka Bego salah ambil, gaun
Nyai yang dipakainya menutup sebagian tubuhnya.
Nyai Katri menjadi kebingungan mencari pakaiannya.
"Hei, itu pakaianku, Jaka....! Ah, kamu jadi linglung begitu..." Nyai
menertawakan Jaka Bego, lalu Jaka Be-go menyerahkan pakaian Nyai Katri.
"Tolong pakaikan ke badanku gaun itu..." perintah Nyai. Dan Jaka Bego menurut
saja. Ia mengenakan
pakaian pada tubuh Nyai Katri yang kelihatan masih
menggairahkan itu.
"Siapa suara yang memanggilku, itu ya?"
"Saya kira itu suara perempuan, Nyai. Mungkin
anak buah Nyai Katri," kata Jaka Bego.
"Bukan. Anak buahku ada tujuh yang perempuan,
dan itu sudah mati semua..."
Suara teriakan di luar semakin jelas, "Nyaaaaiii...!
Buka pintuuuu....!"
Nyai Katri bergegas lebih dulu keluar dari kamar.
Jaka Bego segera mengenakan pakaiannya. Namun ia
sempat meneliti kamar itu beberapa saat. Banyak senjata pusaka di sana, bahkan
barang-barang antik atau benda-benda aneh juga ada. Mulanya Jaka Bego ingin
mencuri satu benda yang ia sukai, yaitu kalung yang terbuat dari batu-batuan
warna merah delima, tapi ia takut ketahuan Nyai Katri, takut dihukum. Maka ia
tinggalkan benda itu, dan ia bergegas keluar dari kamar.
Pada saat ia keluar dari kamar, rupanya Prabima
dan Andini sempat memergoki keadaan Jaka Bego.
Prabima tak sempat memberi ulasan kata apa pun, ka-
rena tubuhnya sangat lemas dan ia jatuh dalam pang-
kuan Nyai Katri. Tetapi Andini bergegas mendekati Ja-ka Bego dalam keheranan.
Andini tidak mengenal Jaka Bego, tetapi ia tahu bahwa Jaka Bego adalah teman
Lanangseta yang membantu menyerobot bunga teratai
Wingit dari tangan Prabima. Andini juga tahu, bahwa Jaka bego tertawan oleh
Nyai, tetapi kenapa ia keluar dari kamar itu setelah Nyai" Apa yang mereka
lakukan" "Hei, apa yang kaulakukan di kamar itu bersama Nyai?" tanya Andini bagai
menyelidik. "Tidak apa-apa," jawab Jaka Bego berwajah takut.
"Bohong! Lihat, kau memakai celana terbalik tuh...!"
Jaka Bego membelalak kaget dan mulai tersenyum
malu, setelah menyadari bahwa ia mengenakan celana
dalam keadaan terbalik. Ia jadi salah tingkah, namun Andini mendesak Jaka Bego.
"Kau telah berbuat zinah dengan Nyai, ya?"
"Tidak," jawab Jaka Bego ingin menyanggah.
"Bohong...! Kau pasti telah berbuat tak senonoh dengan Nyai Katri. Iya, kan?"
"Tidak. Aku cuma disuruh Nyai..."
"Disuruh.... ya disuruh begituan..."
"Gila...!" geram Andini. "Beruntung sekali kau!"
"Malahan Nyai yang merasa beruntung," sanggah Jaka Bego dengan kata-kata polos.
Nyai Katri mendekati Andini sebelum Andini sempat
mengatakan sesuatu lagi, Nyai langsung bicara pada
Andini: "Apakah Lanangseta yang memenggal lengan Putra Tunggal itu?"
"Bukan, Nyai. Tapi... Ludiro, pengawal Lanangseta yang mencegat kami di
perbatasan Bukit Badai."
"Kau juga dicegatnya?"
"Ya. Saya... saya telah bersatu dengan Prabima un-
tuk menyerang Lanangseta, Nyai. Saya punya tujuan
sendiri." "O, bagus sekali...!" Nyai Katri manggut-manggut.
"Bahkan kalau boleh, saya ingin bersatu dengan Nyai juga," kata Andini yang
membuat Jaka Bego terbengong sejak tadi.
"Kau tidak salah. Siapa namamu?"
"Andini..."


Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau diserang pengawal Lanangseta pada saat apa?"
Andini agak bingung untuk menjelaskan yang se-
sungguhnya. Tetapi karena Nyai berdiri dengan me-
mandangnya yang seakan menuntut kejujuran, maka
Andini pun menjawab:
"Saya... saya dan Prabima sedang... sedang bercumbu, Nyai!"
"Biadab! Orang itu harus dimusnahkan juga. Tapi sekarang, ikutlah aku membawa
Prabima ke ujung pulau..."
"Bagaimana kalau tawanan ini saja, Nyai. Saya capek!"
"Tidak!" jawab Nyai tegas. "Tenaganya khusus un-tukku. Kau harus membantu
membawa Prabima ke
ujung pulau."
Andini tak dapat membantah lagi. Sekali pun ia
bersungut-sungut karena ingin beristirahat, namun ia tetap membantu mengangkat
Prabima keluar rumah.
"Kenapa ia harus diobati di sana, Nyai?" tanya Andini.
"Di sana ada pohon yang daunnya bisa dipakai untuk menutup luka separah ini,
jika daun itu dikenakan sinar bulan pada saat menempel di luka. Daun itu dan
sinar bulan itu, merupakan perpaduan yang cukup
hebat jika mendapat penyaluran hawa murni. Dalam
sekejap luka ini akan membaik dan tak meninggalkan
bekas..." tutur Nyai Katri sambil berjalan ke tempat
yang dimaksud. Prabima tak dapat berbuat apa-apa
kecuali melemas dalam erangan di ambang ajal.
Ketika mereka sampai di ujung pulau yang dimak-
sud Nyai, yaitu di tepian pantai, Prabima digeletakkan begitu saja. Nyai Katri
memetik daun berbulu, war-nanya hijau tua, lebarnya seukuran telapak tangan
manusia dewasa. Daun itu ditempelkan pada luka ter-
potong di pergelangan tangan Prabima. Cahaya rembu-
lan menyinari ketiga sosok manusia itu. Tetapi, tiba-tiba Nyai Katri merasa ada
sesuatu yang tak beres. Ia segera menyuruh Andini pulang.
"Andini, kau pulanglah ke puri, dan jaga pemuda kurus kerempeng itu. Ia bernama
Jaka Bego, dan memang bego alias tolol. Tetapi aku khawatir kalau-kalau dia
melarikan diri. Nah, ke sanalah. Jaga dia jangan sampai melarikan diri. Aku akan
kembali membawa
Prabima dalam keadaan sehat. Dan... kau boleh me-
lanjutkan cumbuanmu dengannya..."
Andini mengangguk, lalu segera pergi meninggalkan
Nyai Katri yang tengah berusaha mengobati Prabima.
Dalam benak Andini terbayang khayalan indah bersa-
ma Prabima jika pemuda ganteng itu telah sembuh.
Debar-debar hati Andini membuat nafas birahinya se-
sekali melonjak di sela khayalan. Ia berharap, mudah-mudahan Nyai Katri tidak
sampai pagi sudah memba-
wa pulang Prabima dalam keadaan sehat. Tak tahan
rasanya Andini ingin cepat bercumbu dengan Prabima, sebab sekilas bayangan pada
waktu Ludiro belum hadir di antara mereka, masih melekat di hati Andini dan
menghasilkan desiran-desiran lembut yang menggoda
hati wanitanya.
Sewaktu Andini masuk ke rumah panjang itu, ia ja-
di kebingungan karena Jaka Bego sudah tidak ada di
tempat, Andini berseru:
"Jaka Begoooo....! Jaka Bego di mana kamu,
hah...."!"
Andini tidak memperolah jawaban. Gawat! Pasti Ja-
ka Bego telah melarikan diri. Ia bergegas memeriksa kamar yang hanya ada satu-
satunya di rumah panjang
itu. Oh, ternyata Jaka Bego ada di kamar itu, sedang tiduran telentang dengan
santai. Kedua tangannya di-taruh di bawah kepala dan kakinya yang kiri menum-
pang di lutut kaki kanannya.
"Hei, sedang apa kau di sini"!" hardik Andini. "Apakah kau memang tidur di
sini"!"
"Ya. Aku sudah dua malam di kamar ini."
"Ini kamarmu?"
"Bukan. Aku tidak punya kamar. Ini kamar Nyai Katri."
"Celaka kau?" geram Andini. "Kalau Nyai tahu kau bisa dibunuhnya."
"Ah, masa....?" Jaka Bego tetap santai seperti tadi.
"Seingatku, Nyai sendiri yang menyuruhku masuk ke mari. Kemarin malam ia
menyuruhku tidur di sini..."
Andini menggumam, matanya memandangi kea-
daan kamar tersebut. Lalu ia berani mendekati Jaka
Bego. "Dua malam kau berada di kamar ini bersama
Nyai?" "Ya. Kalau tak percaya, buktikanlah sendiri."
Andini berkerut dahi. "Gila, kau! Buktikan bagaimana maksudmu?"
"Maksudku, tanyakanlah sendiri kepada Nyai."
Andini menghela nafas panjang. Benaknya berpikir:
Dua malam di kamar bersama Nyai. Apa saja yang di-
lakukan mereka. Hal itu yang membuat Andini pena-
saran dan bertanya:
"Dua malam kau di kamar ini bersama Nyai. Apa
saja yang kau lakukan dengannya?"
"Banyak," jawab Jaka Bego dengan tenang. "Aku di-
pijit oleh Nyai. Aku dipeluk dan... dan..."
"Dan apa lagi...?" Andini mendesah, jantungnya mulai berdebar-debar.
"Kau dicumbu juga oleh Nyai?" bisik Andini agak takut.
"Ya. Dan... itu berulang-ulang dilakukan Nyai."
"Berulang-ulang" Selama dua malam?"
Jaka Bego berkerut dahi," kenapa kamu kelihatannya heran" Buat kami itu biasa-
biasa saja."
"Gila!" Andini terheran-heran. "Dua malam tanpa berhenti kau lakukan itu?"
"Nyai yang memintanya. Bukan aku. Aku hanya
menuruti perintah Nyai Katri."
"Dan. kau... kau tidak capek" Kau kelihatan segar bugar begitu" Aneh sekali.
Apakah Nyai juga tidak bosan dengan pemuda kurus kerempeng dan jelek seperti
kamu?" Jaka Bego tahu, ia dihina. Tapi Jaka Bego tidak
menanggapi hinaan itu. Ia malahan bangkit, duduk di pembaringan dan berkata
dengan jelas: "Nyai bilang... ia tidak akan pernah bosan jika bercumbu dengan lelaki seperti
aku. Kata Nyai... aku
punya kehebatan yang tidak dimiliki lelaki lain. Kata Nyai juga, aku punya
pedang panjang yang mampu
menembus dinding karang. Kata Nyai lagi, aku adalah kuda jantan yang perkasa dan
yang dicarinya selama
ini. Kata Nyai... akulah lelaki yang diharapkan selama hidupnya, dan baru
sekarang ditemukannya. Juga ka-ta Nyai, aku lebih hebat daripada Prabima dan
lelaki yang pernah bercinta dengan Nyai..."
"Cukup, cukup...!" Andini gemetar. "Kau pandai berbohong rupanya."
"Ah, pandai sih tidak. Cuma... aku memang dikatakan oleh Nyai sebagai lelaki
hebat. Itu kata Nyai, bukan kataku. Kalau kau tak percaya bilang saja sama
Nyai..." Andini tertegun, debar-debar jantungnya membara.
Ia merenungkan kata-kata Jaka Bego. Ia membayang-
kan maksud kata-kata itu. Dan ia menjadi berkeringat.
Ia berkata dengan lirih, "Nyai bilang, kau lebih hebat dari Prabima"!"
"Ah, entahlah... Itu kata Nyai, kok." jawab Jaka Be-go kalem seakan menggoda.
"Dan kata Nyai... kau... kau mempunyai pedang
panjang yang mampu menembus karang"!"
"Iya. Itu kata Nyai lho. Aku sendiri dari dulu tidak pernah punya pedang. Buat
apa!" Jaka Bego semakin berlagak sinis. Andini menjadi semakin salah tingkah.
Ia keluar dari kamar, berjalan bagai orang melamun.
Malam merajut mimpi. Nyai Katri belum pulang ju-
ga. Padahal Andini keburu ingin bertemu dengan Pra-
bima. Khayalan birahi menggodanya terus, apalagi setelah ia mendengar penuturan
Jaka Bego. Ia terus
menghayal dalam kegelisahan. Sampai akhirnya, Jaka
Bego menemukan Andini diam bersandar di lantai da-
lam keadaan sendu.
"Nyai belum pulang, ya?"
Andini menggeleng. Jaka Bego heran, lalu mende-
kat, jongkok di depannya. "Kenapa kau bersedih" Takut kehilangan Prabima?"
Andini menatap Jaka Bego dengan sayu. Lama se-
kali mereka saling tatap, lalu Andini berkata dengan suara lirih:
"Aku sangsi dengan kata-katamu tadi. Aku... aku ingin membuktikan
kehebatanmu..."
"Husy! Jangan. Itu tidak baik. Nanti kalau ketahuan Nyai, kau bisa dibunuhnya.
Aku sudah menjadi milik
Nyai. Pusaka Nyai yang tak ingin diberikan kepada
siapa pun."
"Sekali saja, Jaka...! Aku... aku tak tahan disiksa
khayalanku sendiri... oooh..." Andini meraih Jaka Be-go, menciumnya beberapa
kali. Jaka Be go masih da-
lam kebingungan.
"Jaka, lakukanlah...! Berlayarlah seperti kau mengarungi samudra bersama Nyai
Katri selama dua ma-
lam...! Berlayarlah walau sekali saja...!"
Andini semakin panas. Ia tak ingat lagi siapa di-
rinya. Namun Jaka Bego bertahan untuk tidak me-
layani keinginan Andini. Gadis itu sudah gila. Jaka Be-go dipaksa dalam ancaman.
Jaka Bego takut, lalu ia
bersedia mengarungi samudra impian bersama Andini.
Seluruh tubuh Andini bagai tidak berdesir lagi darahnya. Andini seperti ada di
awang-awang, menggeliat, mengerang dan menjerit beberapa kali.
"Kau... oh, kau benar, Jaka. Kau memang hebat
dan mempunyai pedang panjang yang mampu menem-
bus lapisan karang. Yaah... pantas kalau Nyai kecan-duan asmaramu...!"
Jaka Bego masih segar, masih mengayuh dayung
sampan, membawa Andini ke lautan lepas. Andini
menjerit lagi, dan lagi-lagi menjerit dalam buaian
khayalnya. Ia bertambah gila dan meronta-ronta seper-ti cacing kepanasan. Ia
mencengkeram Jaka Bego be-
rulang kali, bahkan menggigit, pundak Jaka Bego
hingga membekas. Ia menangis dalam raung khayalan
yang terus melambung tinggi ke atas. Ia lupa Prabima dan lupa segala-galanya.
Pagi menjelang, sinar matahari merambah permu-
kaan langit. Andini masih berpacu dalam dengus nafas yang tak teratur. Jaka Bego
tetap segar, mengayuh
sampan dengan dayung keperkasaannya. Keringat
memang berhamburan di antara kedua belah pihak,
tetapi kesegaran masih terlihat jelas di wajah Jaka Be-go. Sedangkan Andini
sudah menyerupai daun layu,
lunglai dan lemas, namun masih mengharapkan men-
garungi samudra kebahagiaan dengan Jaka Bego.
Sampai akhirnya, pintu terbuka dengan mendadak.
Nyai Katri muncul. Ia segera berlari dan menendang
Jaka Bego dengan tangis yang menjerit-jerit.
"Biadab kau...! Laknat kau...!" Nyai Katri melempar-kan apa saja yang bisa
dilemparkan ke arah Jaka be-
go. Ia tidak menyerang Andini yang tengah bergeser ke dinding dengan meraih
pakaiannya sebagai penutup
badan asal jadi. Jaka Bego kebingungan. Ia ingin mengambil pakaiannya, namun ia
tak berani karena pa-
kaiannya ada di kaki Nyai Katri. Sedangkan Nyai Katri menangis tersedu-sedu,
hilang sudah kewibawaannya.
Ia sebagai perempuan biasa yang tidak punya penga-
ruh. Ia bagai seorang istri yang melihat suaminya se-rong dengan perempuan lain.
Andini dan Jaka Bego merasa heran. Ketegaran Nyai
Katri tidak ada sama sekali dalam keadaan seperti itu.
Ia menangis sambil menutupi wajahnya memakai tela-
pak tangannya sendiri. Saat itulah, baru ada kesempatan bagi Jaka Bego untuk
mengambil pakaiannya. Ia
segera mengenakan dengan terburu-buru, sampai-
sampai satu lobang celana ia masuki dua kaki dan ia terjatuh waktu hendak
melangkah. Andini mendekati Nyai Katri dengan berkata hati-
hati: "Maafkan saya, Nyai... Saya memang... memang tak sadar, karena... karena ingat
Prabima terus, Nyai. La-lu...lalu Jaka Bego menceritakan apa yang ia lakukan
bersama Nyai selama dua malam, dan saya... menjadi
tergiur. Lalu..."
"Kau juga menjadi korbannya, Andini!"
"Menjadi korbannya, bagaimana, Nyai"!"
"Kau telah terkena ilmu Pasak Dewa. Dia mempu-
nyai ilmu itu. Dan kau tahu... ilmu itu menyedot semua kesaktianku, semua
kekuatan kita ikut tersedot.
Aku sekarang menjadi perempuan biasa, tanpa kekua-
tan sedikit pun. Nyatanya aku sejak tadi gagal menyalurkan hawa murni. Aku...oh,
aku tak mempunyai ke-
saktian apa-apa lagiiii..! Dan, kau... kau juga tidak mempunyai kekuatan apa-apa
lagi, Andini. Asmara Pasak Dewa telah merenggutmu. Merenggut semua daya
kita..." Andini tertegun bagai tak percaya dengan kata-kata
Nyai Katri. Ia memandang Jaka Bego yang masih ber-
diri dengan sikap terbengong melompong. Jaka Bego
sendiri bagai orang yang ada dalam keheranan cukup
tinggi. Ia pun sepertinya tidak percaya dengan apa
yang dikatakan Nyai Katri.
"Apakah Nyai tidak salah ucap...?" tanya Andini.
"Tidak. Aku baru sadar setelah aku gagal menyalurkan hawa murni ke tubuh
Prabima. Aku baru sadar
kalau aku tak mempunyai ilmu apa-apa lagi, aku tak
bisa menyalurkan hawa murni lagi. Bahkan memukul
batu pun aku tak sanggup lagi. Aku sudah menco-
banya berulangkali..." Nyai Katri memperlihatkan tangan dan jarinya yang
berdarah akibat memukul batu.
"Lihat... sampai tanganku luka semua, aku tetap tak bisa memecahkan sebutir batu
yang biasanya hanya
dengan satu genggaman batu itu akan menjadi debu.
Nyatanya... ooh... ini, Andini. Dia telah menyedot ilmuku dengan ilmu Pasak
Dewa...." Andini tidak percaya. Ia segera bangkit dan me-
mandang Jaka Bego. Yang dipandang jadi ketakutan.
Jaka Bego menggerak-gerakan kedua tangannya se-
raya berkata: "Tidak...! Aku tidak tahu...! Aku tidak sengaja! Jangan marah pada saya...! Nyai
yang memintanya, Andi-
ni. Bukan kemauanku sendiri...! Sumpah...! Sumpah
sekali!" Untuk menghilangkan kepenasaranannya, Andini
menggerakkan tangannya bagai sedang menari. Tu-
buhnya meliuk-liuk namun matanya masih menatap
Jaka Bego, sedangkan Jaka Bego waktu itu jadi tertegun melihat tarian Andini.
Lalu dengan cepat Andini menghentakkan tangan kanannya ke depan:
"Hiaaaaaat...!"
Jaka Bego masih terbengong, bahkan kini terse-
nyum karena dikira diajak bercanda oleh Andini.
"Bidadari Senjaaa...! Hiaaaatt...!" seru Andini sambil menggunakan pukulan
Bidadari Senja yang mampu


Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghanguskan tubuh lawan dari jarak jauh. Tetapi
ternyata pukulan itu kosong. Tanpa tenaga sedikitpun.
Bahkan tangan Andini yang menyentak ke depan itu
merasa ngilu bagian persendian sikunya. Ia pun terbelalak, tercengang memandangi
tangannya. Lalu ikut
menangis penuh penyesalan, "Ilmuku... ilmuku hilang semua, Nyaii... Ooh...!"
"Asmara Pasak Dewa telah menyedotnya, Andini...!
Kita lengah dan lalai...!"
"Siapa kau sebenarnya, Bajingan!" teriak Andini gemas sekali.
*** 5 Menjelang siang, Prabima muncul di puri. Ia sangat
heran melihat Nyai Katri dan Andini saling bertangisan, sedangkan Jaka Bego diam
di sudut ruangan da-
lam keadaan duduk dengan kedua kakinya ditekuk,
bagai orang ketakutan.
"Nyai..." Andini..."!"
Andini bergegas bangun dan menghambur dalam
tangis memeluk Prabima.
"Prabima...! Oh, syukurlah kau selamat...!"
"Apa yang terjadi dengan kalian berdua, Andini"!"
Andini yang manja tetap mengisak dalam pelukan Pra-
bima. Nyai Katri berdiri dan memandang Prabima dengan
berurai air mata kesedihan yang baru kali itu dilihat Prabima. Karenanya Prabima
sangat heran melihat perempuan setegar Nyai Katri, yang tak pernah punya
rasa belas kasihan, kali ini menangis seperti seorang ibu rumah tangga
kehilangan kucing kesayangannya.
"Ada apa, Nyai" Apa yang telah terjadi"!"
Nyai Katri yang rambutnya panjang masih terurai
itu mengisak beberapa kali, kemudian memberi penje-
lasan dengan susah payah. Nafasnya tersengal oleh
tangis yang menyesak di dada.
"Aku... aku sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi, Prabima. Aku telah lemah..."
"Apa maksud Nyai bicara begitu" Bukankah Nyai
guru saya" Nyai mampu berbuat apa saja dengan ke-
saktian Nyai."
"Tapi sekarang tidak lagi, Prabima!" tangis Nyai menjadi.
"Juga aku...!" sahut Andini dengan tangis keman-jaannya. "Aku sudah tidak
mempunyai ilmu pukulan Bidadari Senja, aku sudah tidak mempunyai tenaga
dalam lagi. Semua ilmuku habis semua. Habis!" Andini makin meraung!
"Kenapa sampai begitu, Nyai" Kenapa, Andini?"
Prabima masih bingung.
"Dia...!" Nyai Katri menuding Jaka Bego yang tampak sangat ketakutan duduk
memojok. "Dia mempunyai ilmu Asmara Pasak Dewa...!"
"Asmara Pasak Dewa"!" Prabima masih mengerutkan dahi.
Nyai Katri menjelaskan, "Ilmu Pasak Dewa adalah ilmu kuno. Di mana pada zaman
dulu hanya beberapa
orang saja yang mempunyai ilmu itu."
"Apa kehebatan ilmu itu"!" desak Prabima semakin ingin tahu. Nyai Katri mencoba
menenangkan tangisnya, lalu menjelaskan dengan terbata-bata:
"Ilmu Asmara Pasak Dewa... mampu menyerap se-
gala ilmu yang dimiliki oleh seorang perempuan.
Umumnya hal itu terjadi jika antara pemilik Asmara
Pasak Dewa sedang bermain cinta dengan perempuan
berilmu. Setinggi apapun ilmu seorang perempuan, ji-ka bermain cinta dengan
lelaki yang memiliki Asmara Pasak Dewa, maka ilmu itu akan tersedot semuanya.
Tanpa tersisa sedikit pun. Melalui permainan cinta sa-tu kali saja, semua ilmu
bisa diserap oleh Asmara Pasak Dewa. Dan...dan... Jaka Bego ternyata mempunyai
ilmu itu. Sehingga... sehingga..."
"Nyai bermain cinta dengannya"!" tebak Prabima.
Nyai Katri mengangguk seraya menangis sedih.
"Aku... aku menemukan kejantanan yang tak pernah dimiliki pria mana pun. Aku
terpikat dan lupa diri. Aku tak sadar kalau Asmara Pasak Dewa memang mampu
membuat perempuan lupa diri pada saat semua il-
munya terserap habis. Dan... dan itu terjadi pada diri Andini juga, yang waktu
aku datang, ia sedang meng-habiskan sisa kebahagiaan Asmara Pasak Dewa..."
"Gila...!" geram Prabima. "Ini gila-gilaan..!"
"Maafkan aku, Prabima. Aku sungguh tak dapat
menahan diri, dan... dan lalai kepada bahaya yang
ada. Maafkan.." Andini meratap menyesali tindakannya. Ia malu, tapi apa boleh
buat, semuanya telah terjadi dengan menyedihkan.
"Hal itu kusadari setelah aku tak mampu menya-
lurkan tenaga inti untuk menyembuhkan lukamu,"
tambah Nyai Katri. "Lalu kucoba memecahkan batu, ternyata juga gagal. Jadi, aku
segera menyadari bahwa Jaka Bego telah menyerap ilmuku, terkuras habis den-
gan cara menggunakan Asmara Pasak Dewa..."
"Siapa monyet itu sebenarnya" Mengapa ia sampai mempunyai ilmu Asmara Pasak
Dewa?" kata Prabima bagai bicara pada diri sendiri.
"Kau sudah sembuh, Prabima?" Nyai Katri memandang tangan Prabima yang telah
pulih seperti sedia ka-la. "Aku tahu waktu Nyai Katri bersusah payah menyalurkan
tenaga inti ke tanganku. Aku juga tahu Nyai
pergi dengan hati kesal. Tapi, waktu itu keadaanku
sangat lemah dan tak bisa bicara. Namun diam-diam
aku menyalurkan tenaga intiku sendiri ke tangan, dan berhasil..." Prabima
memperlihatkan pergelangan tangannya yang bagai tak pernah terluka sedikit pun
itu. Andini sempat mengagumi penyembuhan tersebut,
namun pikirannya segera kembali ke Jaka Bego.
"Siapa kau sebenarnya, hah"!" bentak Prabima kepada Jaka Bego. Pemuda kurus
kerempeng yang me-
nyimpan misteri itu hanya menggeleng ketakutan
sambil semakin memojokkan badan. Ia tampak cemas
dan rona wajahnya amat kasihan.
Prabima yang masih tetap berilmu tinggi itu segera
merenggut baju Jaka Bego yang terbuat dari kulit
kambing. Baju itu dulu pemberian dari seorang ne-
layan yang ditolong Jaka Bego dari hempasan ombak.
"Siapa kau sebenarnya, hah"! Ayo, mengakulah!"
"Jaka, Mas...!" jawab Jaka Bego dalam ketakutan.
"Siapa kau sebenarnya" Itu yang kutanyakan"!"
bentak Prabima dengan kesal.
"Jaka Bego...! Sungguh, nama saya Jaka Bego... benar sumpah...!"
Jawaban itu membuat Prabima merasa seperti di-
permainkan. Ia menampar Jaka Bego keras-keras, dan
Jaka Bego mengejang kesakitan seraya menjerit:
"Aduh...! Ampun, Mas... Sakit...!"
"Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya, hah" Aku tahu, kau bukan anak tolol
seperti yang kulihat ini!"
Karena gemas dan jengkelnya, Prabima menendang
Jaka Bego sampai anak itu terpental menjatuhi Nyai
Katri. Tentu saja Nyai Katri yang sudah menjadi pe-
rempuan biasa merasa kesakitan kejatuhan badan Ja-
ka Bego. Lalu dengan gemas Nyai Katri mendorong tu-
buh Jaka Bego sampai kepala Jaka Bego membentur
tiang. "Aaaaauuuuh...!" Jaka Bego menjerit kesakitan.
Namun benturan itu telah membuat suatu getaran itu
telah mengakibatkan beberapa lampu yang menempel
pada tiang-tiang itu bergoyang. Salah satu yang terbuat dari tempurung kelapa
jatuh, dan mengenai ke-
pala Prabima dengan keras. "Praak..!"
Prabima menyeringai kesakitan sambil memegangi
kepalanya. Kemarahannya semakin menjadi. Ia hendak
membunuh Jaka Bego dengan pedangnya, namun Nyai
Katri segera menghalangi.
"Jangan! Jangan bunuh dia..! Aku masih bisa
membujuknya untuk mengaku, dan mengembalikan
ilmu-ilmuku!"
Prabima menggeram gemas. Giginya menggeletuk.
Tangan kirinya kembali mengusap-usap kepalanya
yang kejatuhan lampu dari batok kelapa berisi minyak penuh itu.
"Sekarang pergilah, lawanlah Lanangseta. Rebut bunga itu sebelum sempat
dimakannya. Jangan sampai terlambat!" perintah Nyai masih ditaati pula oleh
Prabima. Andini berkata, "Aku tak bisa ikut dalam keadaan seperti ini, Prabima, Yang
jelas, aku ingin kau kembali dengan selamat dan... dan kita bisa bersatu sela-
manya." Dengan sinis Prabima berkata kepada Andini, "Apa-
kah kau masih pantas bercinta denganku?"
"Prabima..."!" Andini terkejut mendengar ucapan tak diduga itu. Prabima agaknya
serius, ia bahkan
berkata: "Kau telah menyerahkan dirimu kepada Jaka Bego dengan segala resiko yang harus
kau tanggung. Pan-taskah setelah itu kau ingin menyerahkan dirimu ke-
padaku" Ciiih...! Aku tak akan sudi bergumul dengan bekas keringat Jaka Bego
yang sinting itu!"
"Prabima, maafkan aku! Aku sudah mengaku salah dan..."
"Dan kau harus menanggung akibatnya sendiri!" La-lu Prabima pergi begitu saja
dengan loncatannya yang bagai panah melesat itu. Andini memanggilnya dalam
tangis, tapi tak dijawab.
Prabima masih penasaran dengan Kirana. Ia berha-
rap agar saat ia sampai nanti bunga Teratai Wingit belum sempat dimakan
Lanangseta. Betapapun juga,
Prabima lebih tertarik kepada Kirana daripada terhadap Andini. Apalagi Prabima
tahu bahwa Andini sudah tidak suci lagi, sedangkan Kirana pasti masih suci.
Sebab itu, semangatnya menjadi berkobar-kobar untuk
merebut bunga Teratai Wingit itu.
"Begitu bunga berhasil berada di tanganku, langsung akan ku makan di depan
Lanangseta! Hah..! Ra-
sakan kau, Lanangseta! Karena kehadiranmulah yang
membuat Kirana jadi sama sekali tidak mengharap ke-
hadiranku..." pikir Prabima sambil terus melesat menuju Griya Teratai Wingit.
Ternyata dugaan Prabima melesat jauh. Ia tidak ta-
hu kalau Lanangseta telah memakan bunga Teratai
Wingit pada saat itu juga, saat ia kembali membawa
bunga berwarna ungu itu. Tentu saja yang paling
bangga dan gembira adalah Kirana, Putri Bukit Badai yang cantik, anggun dan
mempunyai sepasang mata
menggetarkan hati Lanangseta.
Tengah malam, ketika mereka sedang berunding
mengenai upacara perkawinan Lanang dengan Kirana
yang akan diadakan besok pagi, tahu-tahu keadaan
Griya Teratai Wingit menjadi gempar dengan muncul-
nya Ludiro. Lelaki pendek berbadan gempal dan berkulit kehi-
tam-hitaman itu agaknya berusaha sekuat tenaga un-
tuk sampai di Griya Teratai Wingit. Begitu sampai di depan pintu gerbang ia
rubuh tak tahan lagi. Penjaga pintu gerbang segera membawa masuk Ludiro yang
terluka perutnya akibat cincin Cupu Gina. Salah seorang memberanikan diri
menghadap Sabdawana yang
sedang berembuk dengan Lanangseta dan Kirana.
"Rama, maaf saya mengganggu..." ujar penjaga itu dengan memberi hormat terlebih
dulu. "Ada apa" Apakah kau tak tahu kami sedang berbicara sangat penting"!" kata
Sabdawana yang merasa terganggu.
"Sekali lagi, saya mohon maaf, Rama Sabdawana.
Hemmm.... ada hal yang lebih penting. Kami... kami
temukan Paman Ludiro dalam keadaan luka parah,
Rama"!"
"Paman Ludiro..."!" Lanangseta yang terpekik kaget.
Sabdawana terbelalak juga melihat perut Ludiro ro-
bek dalam, nyaris isi perutnya terburai keluar. Ia segera menyuruh beberapa
orang menggotong Ludiro ke
kamar khusus. Tetapi Lanangseta sendiri yang men-
gangkat tubuh Ludiro. Lanangseta merasa khawatir
melihat keadaan Ludiro yang sudah pucat pasi karena kehabisan darah. Ia menjadi
iba melihat pengorbanan Ludiro.
"Pasti Si Keparat, Prabima itu, yang melukainya!"
geram Lanangseta.
"Aneh. Bukankah Paman Ludiro tubuhnya kebal
terhadap senjata apapun!" kata Kirana dengan cemas.
Sabdawana memperhatikan luka di perut Ludiro. Di
tepian luka itu meninggalkan serbuk putih seperti serbuk pada sayap kupu-kupu.
Lalu, ayah Kirana itu
manggut-manggut seraya menggumam.
"Pasti seseorang telah menggunakan cincin Cupu Gina," kata Sabdawana dalam
gumamnya. "Cincin Cupu Gina, Ayah"!" Kirana merasa asing dengan nama senjata itu.
"Ya. Cincin Cupu Gina adalah sejenis batu-batuan yang hanya ada satu jenis di
dunia ini. Cincin itu berbentuk seperti kerucut, ujungnya runcing mampu
menggores benda setebal apa pun. Lihat serbuk-
serbuk di sekitar lukanya. Ini menandakan ia tergores cincin Cupu Gina yang dulu
pernah geger di rimba
persilatan gara-gara merebutkan cincin tersebut."
"Tapi... mungkinkah Prabima memperoleh cincin
itu"!" tanya Lanangseta yang masih dalam kecemasan.
"Mungkin saja, kalau dia berkomplot dengan seorang ratu bajak laut yang hidup
pada masa ratusan
tahun yang lalu. Ia bernama Areswara!"
"Areswara..."!" Lanangseta teringat nama yang pernah didengarnya dari Ludiro.
"Areswara ratu bajak laut yang berilmu tinggi. Ke-saktiannya sangat hebat. Ia
bisa berganti-ganti wajah, dan tak pernah tua. Ratu Areswara selalu
berpenampilan cantik dan mempunyai daya tarik sendiri bagi setiap lelaki. Namun
ia seorang yang kejam, yang serakah dan ingin menguasai dunia."
"Ayah mengenalnya?" tanya Kirana.
Sabdawana mengangguk. Ia berkata pelan, "Ada tiga orang leluhur kita yang pernah
menjadi suaminya. Tetapi selalu mati dalam keadaan menyedihkan. Areswa-
ra itulah yang membunuhnya. Sehingga sampai seka-
rang, ia merupakan musuh bebuyutan kita juga."
Ludiro mengerang lemah, nafasnya tersengal-
sengal. Ia bagai meregang menjelang ajal. Lanangseta kebingungan, demikian juga
Kirana yang segera mendesak ayahnya untuk melakukan sesuatu demi menye-
lamatkan nyawa Ludiro. Tetapi Sabdawana berkata
dengan nada patah semangat:
"Apakah aku akan bisa" Yang ku tahu, tak pernah ada luka yang bisa disembuhkan
jika terkena goresan cincin Cupu Gina. Tak pernah kudengar cerita orang
yang selamat setelah terkena goresan cincin itu. Sebab, serbuk dari batuan
cincin itu merupakan racun yang
paling ganas. Ia akan menyerang otak, atau jantung.
Tergantung di mana lukanya berada. Kalau lebih dekat dengan jantung, dia akan
menyerang jantung, kalau
dekat otak, ia akan menyerang otak...."
Lanangseta tiba-tiba teringat kata-kata gurunya, Si Tongkat Besi, yaitu seorang
manusia yang sebenarnya dewa. Dewa yang terbuang dari Suralaya karena kesa-
lahannya. Dulu, Lanangseta pernah mendengar Tong-
kat Besi berkata:
"Kalau pedangmu bisa membunuhku, maka darah-
ku akan menempel pada pedangmu, dan akan mem-
buat pedangmu menjadi pijar bagai bara besi yang


Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyala panas. Tapi sebenarnya pedang itu dingin.
Keampuhan pedang itu cukup banyak, bisa memotong
besi atau baja mana pun, bisa menghancurkan gu-
nung dalam satu kali tusukan, bisa menyembuhkan
luka apa pun, dan bisa melayang sendiri membunuh
musuhmu dari jarak jauh dan lain-lain... karena itu kau harus..."
"Lanang...!" tegur Kirana. "Kenapa malah melamun"!"
"Menyembuhkan luka apapun..." gumam Lanangseta seraya termangu-mangu.
"Apanya" Kau bicara apa?" Kirana menggoyang-
goyang lengan Lanangseta. Lalu, segera Lanangseta
minta izin untuk mengambil pedangnya di kamar pu-
saka. Sabdawana tak keberatan, sebab dalam hati ia
percaya, pasti ada sesuatu yang ingin dilakukan La-
nangseta. Sabdawana dan Kirana menepi dari tempat Ludiro
dibaringkan di kamar perawatan itu. Lanangseta
menghunus pedangnya: Pedang Wisa Kobra, yang telah
menjadi pedang malaikat sejak ia berhasil membunuh
Tongkat Besi di luar kesengajaan. Pedang itu menyala bagai pijar api, seakan
sebatang besi yang habis di-panggang hingga membara. Warna merah api sangat
mengerikan, dan membuat Kirana bergidik. Sementara
itu, Ludiro hanya bisa mengerang tipis nafasnya semakin sesak dan seakan hampir
habis. Wajah pucat pasi, dan mata sayu berwarna putih. Manik mata hitamnya
sudah tak kelihatan lagi.
Lanangseta segera menempelkan pedang yang ber-
pijar itu pada luka memanjang di perut Ludiro. Akibat sentuhan pedang tersebut,
perut Ludiro mengepul, seperti besi panas yang tercelup dalam air. Suara desis
juga terdengar dan membuat Kirana serta Sabdawana
menyeringai ngeri. Ludiro tidak berteriak sedikitpun, juga tidak mengejang
kepanasan. Dan Lanangseta tetap menempelkan pedangnya sampai asap yang keluar
dari pedang yang menyentuh darah luka itu habis.
Memang tercium bau daging panggang, tetapi kenya-
taannya sangat ajaib.
Nafas Ludiro terhela dengan lepas. Longgar. Ma-
tanya mulai berkedip-kedip. Lanangseta mengangkat
pedang Wisa Kobranya, lalu semua mata terbelalak
melihat perut Ludiro dalam keadaan rapat. Tak ada
luka, tak ada sedikit pun bekas goresan. Perut itu bersih, bahkan darah yang
berceceran di sekitar bekas
luka juga bersih, bagai dihisap oleh pedang Wisa Ko-
bra. "Ooh... syukurlah kau segera menolongku, La-
nang..." kata Ludiro masih dengan sisa kelemahannya.
"Ya, Paman. Karena aku tidak ingin kehilangan kau, Paman Ludiro," Lanangseta
tersenyum. Ludiro dibiarkan berbaring. Kirana disuruh ayahnya menyelimuti
tubuh Ludiro. Sabdawana berkata, "Kau harus beristirahat sampai besok, Ludiro. Paling tidak
untuk menghilangkan kele-lahanmu selama bertarung dengan Prabima."
"Ya, Rama. Tapi bukan hanya Prabima yang menye-rangku, melainkan Andini..."
Ludiro berpaling kepada Lanang. "Andini bersekutu dengan Prabima. Ia terpen-
garuh ketampanan Prabima, dan bahkan nekad ber-
buat mesum dengannya..."
"Andini...?" ucap Lanang dalam desah yang bernada ragu.
"Ya. Andini. Mereka merencanakan menyerangmu,
mencuri bunga Teratai Wingit. Mereka ingin mengga-
galkan perkawinanmu, Karena... karena Andini pena-
saran, ingin merebutmu dari tangan istrimu."
"Siapa Andini itu"!" cetus Kirana dengan tajam. Lanang mulai khawatir kalau-
kalau Kirana cemburu. La-
lu dengan hati-hati Lanang menjelaskan secara singkat siapa Andini itu. Dan
rupanya Kirana bukan cemburu, melainkan justru ingin menghajar Andini untuk
menunjukkan bahwa dialah yang berhak memiliki La-
nangseta, Si Pendekar Pusar Bumi.
"Bagaimana dengan bunga itu?" Ludiro masih mengkhawatirkan bunga tersebut.
"Tenang, Paman. Aku telah memakannya dalam
upacara adat yang dilaksanakan tadi, begitu aku sampai," kata Lanang dengan
senyum ceria. Ludiro ikut tersenyum. "Syukurlah... Kapan kau menikah?" tanya Ludiro lagi.
"Besok...! Kalau Paman masih lemah, biar saja berbaring di sini."
Ya. Besok. Dan perkawinan Lanangseta dengan Ki-
rana Sari itu pun tak diketahui oleh Prabima. Dalam perjalanannya menuju Griya
Teratai Wingit, Prabima
selalu beranggapan bahwa bunga itu belum dimakan
oleh Lanangseta. Sebab ia tahu, kalau untuk memakan bunga tersebut harus melalui
upacara adat leluhur
Bukit Badai, yang tidak mudah masa persiapannya.
Tetapi dugaannya itu salah besar. Bahkan ketika ia ti-ba di depan pintu gerbang
Griya Teratai Wingit, ia melihat beberapa orang meninggalkan rumah Kirana den-
gan senyum-senyum gembira. Ia tidak tahu kalau La-
nangseta hari itu sudah resmi menjadi suami Kirana
Sari, perempuan yang menjadi incaran Prabima sejak
ia menjadi murid ibu Kirana. Prabima merasa penasa-
ran, ia mencegat salah seorang tamu yang dalam perjalanan pulang.
"Pak... bapak dari rumah Rama Sabdawana?"
"Ya. Betul. Putri tunggalnya menikah dengan seorang Pendekar gagah perkasa."
jawab orang itu dengan ceria.
Kemarahan dan kekecewaan Prabima meluap pada
saat itu juga. "Dia telah kawin.."! Bangsat...!" Ia memukul orang itu pada
bagian dadanya hingga orang
tersebut mengejang, dan roboh tak berkutik dengan
dada hangus akibat pukulan.
Kemarahan Prabima adalah kemarahan yang paling
tinggi sepanjang hidupnya. Ia menggunakan ilmu
Bramapati untuk menyerang para tamu yang hendak
meninggalkan rumah Kirana. Dengan sekali mengge-
rakkan tangannya ke depan, maka keluarlah kobaran
api yang segera melayang menghantam siapa saja yang ada di depannya. Sudah tentu
orang yang terbakar itu menjerit-jerit dan berguling-guling. Bukan hanya satu
orang, tapi lebih dari tujuh atau sembilan orang yang saat itu diserang dengan
bola api dari tangan Prabima.
"Aaaooww...! Toloooong...! Aku terbakar...!"
"Aaaauuuh...! Apiii..! Apii... ooh, tolooooong...!"
Jerit mengerikan membahana. Keadaan menjadi
kacau balau. Semua orang saling lari tunggang lang-
gang. Kepanikan menghadirkan beraneka ragam teria-
kan histeris, juga pekikan kematian menggema di ma-
na-mana. "Rama...!" teriak Lande. "Pemuda itu... eeh... Prabima mengamuk di depan
gerbang. Ia membakar orang-
orang tak berdosa, Rama...!"
Kirana dan Sabdawana segera melompat dari ruang
pertemuan, mereka segera menghambur keluar. La-
nangseta bergegas masuk ke kamar pusaka dan men-
gambil pedangnya.
Pada saat itu, Prabima segera melancarkan ilmu
Bramapatinya yang ia peroleh dari Nyai Katri. Bola api meluncur ke arah Kirana
dan Sabdawana. Namun
dengan gesit Kirana yang masih mengenakan pakaian
pengantin itu melompat ke depan ayahnya, mengha-
dang kedua bola api itu. Ia memutar kedua tangannya dengan salah satu kaki
merenggang dan merendah ke
bawah. Putaran tangannya tepat berhenti dalam satu
sentakan kuat. Sentakan itu mengakibatkan bola-bola api yang tinggal beberapa
jengkal dari tubuhnya itu melesat berbalik arah menuju Prabima.
Prabima bersalto menghindari bola-bola api yang
ganti menyerangnya itu. Kirana mengeram dalam se-
ruannya: "Saatmu untuk mati, Manusia Ibliiis...!" Lalu, tangan Kirana bergerak ke depan
dalam posisi jari jemarinya lurus semuanya. Dari ujung jari jemari itu me-
luncurlah jarum-jarum beracun, melesat cepat meng-
hantam Prabima. Prabima semakin melayang dan ber-
guling di udara menghindari jarum beracun yang ia
miliki juga. "Hiaaat....!" Prabima memekik seraya melancarkan tendangan ke arah Kirana.
Dengan tangkas Kirana
menangkis kaki kanan Prabima, lalu Kirana melam-
bung tinggi hingga kakinya berada di atas kepala Prabima. Pada saat itu, kaki
Kirana hendak menjejak kepala Prabima, tetapi Prabima lebih dulu melancarkan
pukulan Bramapatinya sambil menelentang di tanah.
Kirana terpaksa bersalto ke samping untuk menghin-
dari bola api yang telah melesat, nyaris menyentuh
lengannya itu. Pada saat kaki Kirana menapak di tanah, Prabima
melentikkan badan dengan berguling ke belakang
langsung melayang. Kedua kakinya berhasil mengenai
pinggang Kirana, sehingga perempuan cantik itu sem-
poyongan hampir jatuh. Seketika itu, mata Prabima
memancarkan sinar kecil berwarna kuning Saat...! Sinar menuju ke tubuh Kirana,
tetapi Kirana berkelit
dengan menggulingkan badan ke tanah. Sambil bergul-
ing Kirana mengibaskan tangannya yang telah meng-
genggam batu-batu kecil. Batu-batu itu dilemparkan
ke arah Prabima, oleh Prabima dilawan dengan sinar
kuning yang keluar dari matanya. Batu-batu itu ber-
benturan dengan sinar kuning, dan menimbulkan se-
buah ledakan cukup keras.
Agaknya Kirana sukar diatasi, sebab itu Prabima
segera menyerang Sabdawana, ayah Kirana yang sejak
tadi memperhatikan pertarungan tersebut. Ilmu Can-
dra Geni yang mengeluarkan sinar kuning dari mata
itu dilancarkan ke arah Sabdawana. Lelaki beruban itu menggeragap karena
datangnya serangan itu secara ti-ba-tiba dan di luar dugaan. Namun pada saat itu
se- buah bayangan melesat menyongsong gerakan sinar
kuning. Dan sinar itu pun berhenti, lalu tubuh La-
nangseta tampak dalam posisi salah satu kaki berdiri tertekuk dan satu kakinya
lagi berdiri di atas lutut.
Pedang Wisa Kobra berdiri tegak di depannya, meng-
hadang sorotan sinar kuning itu.
"Kau harus berhadapan denganku, Prabima. Bukan dengan yang lainnya...!" kata
Lanangseta dengan mata memandang tajam, memancarkan dendam. Prabima
tersenyum sinis, segera mencabut pedangnya.
"Berpamitlah kepada istrimu yang cantik itu, Lanang. Sebab sebentar lagi kau
akan kukirim ke nera-
ka, dan ia akan menjadi perawan... Janda yang masih perawan, he, he, he...!"
Prabima sengaja memancing kemarahan Lanangseta agar ia kehilangan kontrol diri.
Tetapi Lanangseta kelihatan tenang. Ia menggerakkan pedangnya dengan kedua
tangan. Pedang ditarik ke
samping atas, dan tubuh Lanangseta meliuk bagai
hendak menari. Prabima segera menyerang:
"Hiaaatt...!"
Tubuh Prabima melayang dengan pedang terarah ke
dada Lanangseta. Lanang hendak menangkis pedang
itu, namun mendadak Prabima menggerakkan pe-
dangnya ke atas sehingga tangkisan pedang Lanang
mengenai tempat kosong. Gerakan pedang tipuan itu
hampir saja menusuk ubun-ubun Lanang kalau saja
Lanangseta tidak segera berguling ke tanah tanpa menyentuh tanah sedikit pun.
Posisi Lanang membela-
kangi Prabima. Kesempatan baik bagi Prabima untuk
melancarkan senjata rahasia berupa jarum-jarum be-
racun ke punggung Lanangseta. Jaraknya cukup dekat
dan gerakan jarum bagaikan angin berhembus ken-
cang. Namun pada saat itu, Kirana dengan sigap sege-ra melancarkan pukulan
Pembeku yang membuat ja-
rum-jarum berhenti seketika dan saling mengempal,
lalu jatuh ke tanah. Kalau saja Kirana kurang cekatan sudah tentu punggung
Lanangseta menjadi sasaran
empuk jarum-jarum beracun itu.
Lanangseta segera berbalik menghadapi Prabima,
yang ternyata telah meluncur menyerangnya dengan
tendangan kaki kanan. Lanangseta mengelak dengan
miringkan badan ke samping, tetapi rupanya tendan-
gan itu hanya tipuan semata, karena begitu tendangan molos ke tempat kosong.
Prabima mengibaskan pedangnya ke leher Lanangseta. Dengan gesit Lanangseta
menghantam pedang itu dengan pedangnya. Trang...!
Prabima buru-buru berguling takut terkena tebasan
pedang Lanang yang bergerak cepat itu. Namun ketika ia mendaratkan kakinya ke
tanah, ia jadi terbengong melihat pedangnya buntung, tinggal beberapa bagian.
Lanangseta berdiri tegap sambil tersenyum.
"Bangsaaaaat... kau, Lanaaang..!" geram Prabima seraya melancarkan pukulan jarak
jauh ke tubuh Lanangseta setelah ia membuang pedangnya.
Dengan gesit Lanangseta melejit tinggi, lalu bersalto beberapa kali dan berdiri
tepat di belakang Prabima.
Prabima berpaling, dan sebuah pukulan keras menge-
nai rahangnya hingga terdengar suara gemeretak.
"Oouuuw...!" Prabima terpental jauh seraya menga-duh. Ia segera berdiri tegak
karena takut didahului serang Lanang. Matanya memerah menahan rasa sakit
pada rahangnya.
"Kau masih ingusan, Bocah Bagus...!" ledek Lanangseta. "Sebenarnya belum
waktunya kau bertanding melawanku. Lebih baik kau pulang dulu, netek du-lu pada
guru perempuanmu yang bergelar Iblis Pulau
Kramat itu. Nanti baru kau bisa mengalahkan aku..."
Prabima terpancing kemarahannya. Ia segera mem-
buka jurus baru dengan menggerak-gerakkan tangan-
nya seperti burung hendak terbang. Namun sebelum ia kesampaian menjajal jurus
barunya itu, Lanangseta telah menerjangnya dengan memutari tubuh Prabima
secara cepat sekali. Gerakan Lanang seperti kilasan cahaya bara merah
mengelilingi Prabima, sukar diikuti oleh pandangan mata. Dan beberapa saat
kemudian, Lanangseta menjauh dalam satu salto yang meninggi.
Gerakan melayang turun dari atas itu seperti burung garuda turun dari langit.
Rambutnya yang panjang itu meriap, melambai bagai sayap burung garuda. Begitu
indah dan mengagumkan. Ia berdiri dengan tegap, ke-
dua kaki terentang, tangan kanannya menjadi satu
dengan tangan kiri memegang gagang pedangnya yang
berdiri di depan dada kanannya. Otot-otot pada lengan dan dada terlihat membesar
kekar. Banyak orang yang menyaksikan keadaan Lanang itu menjadi berdecak
kagum, terutama Kirana.
Prabima menggenggam kuat-kuat, kedua tangannya
berada di samping pinggang kanan kiri dalam posisi
siap dihentakkan ke depan. Ia sempat berkata dengan sombong:
"Jangan bertarung seperti ayam mau kawin, Mo-
nyet! Terimalah aji pukulan Guntur Sambura ini..."
"Hei, hei... tunggu," kata Lanangseta. "Lihat dulu apakah kau masih mempunyai
jari tangan atau ada
yang kurang. Lihat dulu, jangan sampai kau mati pe-
nasaran..."
Prabima tertegun sejenak. Ia mulai curiga, dan se-
gera mengendurkan tangannya, membuka telapak tan-


Pendekar Cambuk Naga 10 Asmara Pasak Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gannya, memelototi jari-jarinya. Oh, ternyata masih lengkap. Ia tertipu sehingga
membuatnya tak jadi melancarkan aji pukulan Guntur Sambura.
"Kau hanya bisa bermain seperti anak kemarin sore, Lanang," ejek Prabima. "Kau
takut aku melancarkan pukulan Guntur Sambura, ya" Hemm..."!"
"Kusarankan lihat dulu jarimu..." kata Lanang dengan senyum sinis.
"Masih utuh...! Kau pikir kau jago pedang?" seraya
Prabima menyodorkan kedua tangannya ke depan da-
lam keadaan jarinya terbuka semua. Tapi tiba-tiba jari kelingking tangan kiri
jatuh secara mengejutkan. Disusul kelingking tangan yang satunya juga jatuh,
seperti cicak kehabisan tenaga.
"Hahhh..."!"
Bukan hanya Prabima yang terbelalak kaget melihat
jari kelingking itu berjatuhan. Tetapi Kirana dan semua orang yang menyaksikan
pertarungan itu jadi
menggumam seperti serombongan lebah hutan lewat.
Mereka berdecak kagum. Tak habis pikir mereka meli-
hat jurus pedang sakti yang dilakukan Lanangseta ta-di. Begitu cepat, begitu
halus, sampai-sampai Prabima tidak menyadari kalau kedua jari kelingkingnya
sudah terpotong sejak tadi.
"Heaaaahh...!" Prabima berteriak dalam kejengke-lannya. Ia merasa dipermainkan
dan segera menyerang Lanangseta dengan pukulan tenaga dalamnya. Lanangseta
melesat ke udara, tapi miring ke kiri, sehingga dua kali pukulan jarak jauh
Prabima yang tertuju ke bawah dan ke atas terpaksa mengenai tanah kosong. Tanah
itu menjadi hangus dan berongga. La-
nangseta menjejakkan kaki ke tanah, dan melayang
lagi sambil bersalto melewati kepala Prabima. Ia mengibaskan pedangnya dengan
kecepatan yang tak mam-
pu dilihat mata manusia. Tahu-tahu ia telah mendarat seperti burung garuda
hinggap di puncak bukit karang.
Prabima hendak bergerak, namun ia merasakan ada
sesuatu yang perih di telinganya. Baru saja ia hendak memegang telinganya, tahu-
tahu telinga itu telah lepas dan jatuh sendiri. "Plok!" Daun telinga jatuh ke
tanah dan sebaris gumam dan kata-kata "Woouw" terdengar menggema. Sekali lagi
mereka dibuat kagum oleh gerakan jurus pedang.
Nafas Prabima semakin terengah-engah diburu ke-
marahan yang meninggi. Ia benar-benar dianggap mai-
nan murahan oleh Lanangseta. Gemuruh di dalam da-
danya ingin meledak saja rasanya. Segera Prabima
berseru: "Lanang! Terimalah balasanku ini, Biadab...!"
Prabima merentangkan tangannya, lalu kaki kirinya
ditarik lurus ke belakang, dan kaki kanannya mene-
kuk rendah. Ia menggerakkan tangannya ke segala
arah, kemudian bersalto ke depan. Tiba-tiba segumpal asap membungkus dirinya. Ia
tak terlihat lagi.
Sabdawana berseru, "Siluman Raga Muspra...!"
"Hati-hati, Lanang...!" teriak Kirana Sari dengan cemas.
Lanangseta bergerak sigap. Tapi tahu-tahu tubuh-
nya bagai ada yang menendang dengan kuat. Ia ter-
jengkang ke belakang dengan sentakan keras. Lanang-
seta menggeragap. Ia hendak bangkit, namun terasa
ada yang memukulnya dua kali sehingga kepala La-
nang terdongak dalam satu sentakan kuat.
Prabima tidak kelihatan. Asap itu menipis lalu hi-
lang. Namun, Lanang mendengar dengus nafas Prabi-
ma di sampingnya. Bahkan kini semua orang menden-
gar ucapan sumbar Prabima:
"Lihat...! Hanya sekuku hitamku ilmu Lanangseta ini, ha, ha, ha....!"
Lanangseta menebaskan pedangnya ke samping,
namun ia tidak mengenai apa-apa. Tetapi justru se-
buah tendangan hebat mengenai dadanya dan mem-
buat Lanangseta memuntahkan darah beberapa per-
cik. Suara Prabima terdengar lagi tanpa terlihat ujud manusianya:
"Ha, ha, ha... ayo, mainkanlah aku...! Sekarang giliranmu yang harus kumainkan,
Babi bodoh...!"
"Huuukh...!" Lanangseta terpukul punggungnya,
namun rasa-rasanya bukan pukulan, melainkan ten-
dangan beruntun yang mengenai punggungnya itu.
Lanang menjadi limbung dan darah muncrat dari mu-
lutnya. "Lanang..!" Kirana bergegas hendak menolong, tapi ayah Kirana segera mencegah
seraya berbisik:
"Percayalah, Lanang pasti bisa mengatasi hal kecil seperti itu. Ingat, dia murid
Dewa Sinting, si Tongkat Besi. Ia tidak mungkin akan kalah begitu saja..." Dan
kata-kata ini membuat Kirana sedikit tenang, sekali pun kegelisahan tercampur-
baur dengan kecemasan di
wajah anggun itu.
"Ucapkan selamat tinggal kepada istrimu, La-
nang...!" seru Prabima. Tapi Lanang segera berlari dan melentik tinggi, bersalto
tiga kali di udara, lalu tubuhnya mendarat agak jauh dari tempat pertempuran se-
mula. Di sana mata Lanangseta terpejam. Ia mem-
bayangkan tubuh Prabima, dan segera mengibaskan
pedang Wisa Kobranya dengan teriakan kuat,
"Heeiaaatt...!"
"Aaaah...!" Terdengar pekikan memanjang di tempat pertarungan semula, tak jauh
dari Kirana berdiri. Semua menjadi kaget, dan Kirana sendiri sampai mun-
dur beberapa langkah bersama Sabdawana. Mereka
bagai melihat asap tipis membayang, lalu makin lama semakin jelas terlihat tubuh
Prabima berdiri dengan kepala mendongak ke atas. Tubuh yang melengkung
ke belakang itu semakin jelas, namun juga semakin
mengerikan. Tubuh itu terpotong menjadi tiga bagian, tanpa mengeluarkan darah
berlimpah-limpah. Kaki
terkulai, lalu disusul badannya dari leher ke bawah rubuh begitu saja, dan kini
kepalanya pun ikut rubuh, menggelinding beberapa langkah dari kedua potongan
badannya. Mereka yang menyaksikan hal itu banyak
yang memejamkan mata karena ngeri. Tetapi mereka
juga kagum, dalam jarak jauh, Lanangseta mene-
baskan pedangnya tiga kali dan langsung bisa memo-
tong tiga bagian lawannya yang tidak kelihatan. Sungguh merupakan ilmu pedang
yang amat hebat dan
langka dimiliki pendekar lain.
Tetapi, mereka jadi tegang kembali ketika melihat
kepala Prabima yang telah terpisah dari lehernya itu melayang sambil menyeringai
bagai bola menuju Lanangseta.
"Lanang.... awaaaaas...!" teriak Kirana. Lanang sudah terlanjur menyarungkan
pedangnya ke punggung.
Kepala Prabima itu melayang cepat dengan gigi-gigi
siap menggigitnya.
Namun sebelum kepala itu menyentuh Lanangseta,
sebuah lecutan Cambuk Naga berbunyi nyaring:
"Taaaar...!" Dan kepala itu pecah seketika terkena cambukan Ludiro. Lanangseta
mengacungkan jempol
kepada Ludiro yang baru nongol karena kelemahan
tubuhnya. Namun semua orang tetap salut kepada
Ludiro, yang mampu melecutkan Cambuk Naga tepat
pada sasaran. "Saatmu sangat tepat, Paman..." seraya Lanang memeluk Ludiro. Ludiro
menyeringai, tubuhnya masih
terasa lemas. "Sudah selayaknya kau menyisakan sedikit untuk pembalasanku. Karena dialah yang
merobek perutku
dengan cincin keparat itu, dan aku berhak mendapat
balasan, walau hanya sekali cambuk..."
Lanang, Kirana dan Sabdawana tertawa mendengar
kata-kata Ludiro. Bahkan semua orang yang menyak-
sikan pertarungan sengit itu menjadi lega dalam se-
nyum mereka. Kasak-kusuk jelas terjadi seperti lebah dan burung bersahutan,
mereka membicarakan kehebatan-kehebatan dalam pertarungan Lanangseta den-
gan Prabima, musuh yang paling dibencinya itu.
"Lanang, dan kau Putri, kuucapkan selamat me-
nempuh hidup baru, semoga kalian bahagia dalam
perkawinan yang agung ini..." kata Ludiro seraya me-nyalami Kirana dan
Lanangseta. "Terima kasih, Paman... terima kasih..." bisik Lanangseta merasa bangga. Kirana
pun memeluk Ludiro
dan memberikan satu ciuman damai di kedua pipi Lu-
diro. "Bagaimana dengan Jaka Bego yang katanya tertawan di Pulau Kramat itu?" sela
Sabdawana. Mereka ja-di tertegun sejenak. Kirana yang menyahut,
"Iya, ya..." Bagaimana dengan dia" Kasihan dia tidak ikut menikmati hari bahagia ini..."
"Aku yang akan ke sana menjemputnya," ujar Ludiro. "Kudampingi kau, Paman..."
kata Lanang. "Aku bagaimana" Masa, pengantin baru akan di-
tinggal?" Kirana berlagak cemberut.
Lanangseta tertawa seraya memeluk Kirana yang
cantik dan anggun. "Kalau begitu, biarlah paman berangkat lebih dulu, setelah
bulan maduku selesai, aku akan menyusul ke sana. Bukankah begitu, Putri
cantik..."!"
"Terserah kau, Pendekar Tampan..." bisik Kirana.
Lalu keduanya saling tertawa dan melangkah ke kamar pengantin. Itulah saat yang
ditunggu-tunggu dan di-perjuangkan mati-matian selama ini.
TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** 2 *** 3 *** 4 *** 5 TAMAT Pendekar Pemanah Rajawali 15 Wanita Iblis Karya S D Liong Kisah Para Penggetar Langit 8
^